Astigmatisma
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mata merupakan salah satu organ indra manusia yang mempunyai fungsi yang sangat besar.
Penyakit mata seperti kelainan-kelainan refraksi sangat membatasi fungsi tersebut. Ada tiga
kelainan refraksi, yaitu: miopia, hipermetropia, astigmatisme, atau campuran kelainan-kelainan
tersebut. Diantara kelainan refraksi tresebut, miopia adalah yang paling sering dijumpai, kedua
adalah hipermetropia, dan yang ketiga adalah astigmatisma (Ilyas, 2004). Astigmatisme
merupakan salah satu bentuk kelainan refraksi, yaitu keadaan di mana sinar sejajar tidak
dibiaskan dengan kekuatan yang sama pada seluruh meridian pembiasan. Astigmatisme bisa
terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Penyebab utama terjadinya astigmatisme adalah
perbedaan lengkung kornea dan perbedaan kelengkungan lensa, dan umumnya lebih sering
disebabkan pada kelainan kornea (Nurwasis, 2006).
Prevalensi global kelainan refraksi diperkirakan sekitar 800 jutasampai 2,3 milyar. Di Indonesia
prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada penyakit mata. Kasus kelainan
refraksi dari tahun ketahun terus mengalami peningkatan. Ditemukan jumlah penderita kelainan
refraksi di Indonesia hampir 25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta jiwa. (James, 2003).
Sedangkan sebagai penyebab kebutaan di Indonesia, kelainan refraksi menempati urutan ketiga
atau 0,11% (Paramita, 2010). Menurunnya fungsi mata dapat dikarenakan oleh kelainan
refraksi,yaitu keadaan dimana bayangan tidak terbentuk pada retina. Pada kelainan refraksi
terjadi ketidakseimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang
kabur. Astigmatisma merupakan salah satu kelainan refraksi mata. Pada astigmatisma, mata
menghasilkan suatu bayangan dengan titik atau garis fokus multipel. Astigmatisma didefinisikan
berdasarkan posisi garis-garis fokus terhadap retina (Vaughan, 2008).Pada penderita
astigmatisma biasanya ditemukan gejala-gejala sebagai berikut: penglihatan kabur, kategangan
mata, kelelahan mata, dan sakit kepala. Secara garis besar terdapat 3 penatalaksanaan
astigmatisma, yaitu dengan menggunakan kacamata silinder, lensa kontak dan pembedahan.
Teknik pembedahan menggunakan metode LASIK, photorefractive keratotomy, dan radial
keratotomy (Paramita, 2010).
Pada makalah ini akan dibahas mengenai kasus astigmatisma yang penulis dapatkan dari Unit
Rawat Jalan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo,
Surabaya. Kasus tersebut akan kami bahas sesuai dengan tinjauan pustaka yang penulis
peroleh dari sumbertextbook dan internet. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhui tugas pembahasan kasus atau penyakit mata yang didapatkan di Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Soetomo dan untuk memberikan informasi tambahan bagi yang membaca
makalah ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diagnosis Banding Penglihatan Turun Perlahan Tanpa Mata Merah
Berikut ini adalah diagnosis banding penglihatan turun perlahan tanpa mata merah :
1. Kelainan Refraksi (Miopia, Hipermetropia, Astigmatisme)
2. Katarak
3. Glaukoma
4. Retinopati
2.2 Kelainan Refraksi
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea,
cairan mata, lensa, badan kaca dan panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan
pembiasan oleh media penglihatan sedemikian seimbang sehingga sinar setelah melewati
media penglihatan dibiaskan dan tepat jatuh pada macula lutea.
Mata normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di
retina pada saat mata tidak berakomodasi atau istirahat melihat jauh.
Sedangkan, ametropia atau kelainan refraksi adalah suatu keadaan dimana dalam
keadaan istirahat, tanpa akomodasi berkas sinar sejajar difokuskan tidak di retina, visus <6/6.
Penyebab ametropia diantaranya :
1. Panjang aksial mata yang abnormal, dimana terlalu oanjang pada myopia dan terlalu pendek
pada hipermetropia, atau yang disebut dengan ametropia axial.
2. Kurvatura permukaan refraktif kornea dan lensa yang abnormal, dimana terlalu kuat pada
myopia dan terlalu kuat pada hipermetropia, atau yang disebut dengan ametropia kurvatura.
3. Index refraksi media abnormal, terlalu tnggi pada myopia dan terlalu rendah pada hipermetropia,
atau yang disebut dengan ametropia index.
4. Perubahan posisi lensa , lebih kedepan pada myopia dan lebih ke belakang pada hipermetropia.
5. Kelainan yang disebabkan karena faktor genetik, maupun interaksi dengan faktor lingkungan.
Kelaianan yang tercakup dalam kelainan refraksi ini meliputi 3 macam, yaitu: miopia,
hipermetropia dan astigmatisma. Presbiopia bukan termasuk kelainan refraksi karena
merubakan suatu keadaan yang disebabkan karena berkurangnya kemampuan akomodasi
lensa karena penuaan. Presbiopia akan dibahas tersenderi pada materi kelainan daya
akomodasi.
(Nurwasis, 2006; Taib, 2010)
2.2.1 Miopia (Rabun Dekat)
Pada myopia sinar sejajar yang masuk ke mata dalam keadaan istirahat (tanpa akomodasi) akan
dibiaskan dan membentuk bayangan di depan retina.
Patofisiologi:
1. Miopia Aksial : terjadi karena sumbu aksial mata yang lebih panjang daripada normal
2. Miopia Kurvatura: terjadi karena kurvatura kornea atau lensa yang lebuh kuat daripada normal.
3. Miopia indeks: terjadi karena indeksbias kornea ataupun lensa yang lebih tinggi daripada normal.
4. Miopia Refraktif: bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi pada katarak
intumesensi, dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan menadi lebih kuat.
Gejala Klinis:
- Gejala utamanya adalah kabur bila melihat benda jauh.
- Sakit kepala, namun jarang terjadi, kecuali disertai dengan astigmatisma. Kondisi sakit
kepala ini jarang terjadi karena pada penderita myopia murni, penderita tidak pernah
berakomodasi, karena dengan berakomodasi, penglihatan akan semakin kabur.
- Cenderung memicingkan mata bila melihat jauh, Hal ini sesuai dengan efek pin hole,
dimana sinar yang dating hanya yang melalui visual aksis sehingga tidak dibiaskan.
- Suka membaca, terutama pada anak-anak, karena dengan membaca dia menjadi tidak
ada yang mengusik.
Pembagian:
Berdasarkan besar kelainan refraksi, dibagi menjadi
1. Miopia Ringan : ∫-0.25 s/d ∫-3.00
2. Miopia Sedang : ∫-3.25 s/d ∫-6.00
3. Miopia Berat : ∫-6.25 atau lebih
Berdasarkan perjalanan klinisnya, dibagi menjadi
1. Miopia Simpleks : myopia yang dimulai pada usia 7-9 tahun dan akan bertambah sampai anak
berhenti tumbuh pada usia sekitar 20th-an. Jenis yang ini banyak ditemukan
2. Miopis Progresif : myopia yang bertambah secara cepat (kurang lebih 4 dioptri per tahun), sering
desertai perubahan vitreoretinal, dimana retina semakin tipis, dan sering diikuti komplikasi lain
dari myopia.
Komplikasi:
Beberapa keadaan yang dapat terjadi sebagai akibat komplikasi myopia, diantaranya:
1. Ablasio Retina, terjadi karena myopia yang terlalu tinggi, >6D. Pada myopia tinggi retina tipis dan
mudah robek.
2. Strabismus, dapat berupa :
Esotropia
Terjadi pada myopia yang tinggi bilateral, misalnya OD ∫-11.00; OS ∫-10.00, menyebabkan
punctum remotumnya pendek, terjadi konvergensi mata yang berlebihan sehingga lama
kelamaan bisa terjadi juling.
Eksotropia
Terjadi pada myopia dengan anisometria, misalnya OD ∫-1.00; OS ∫-8.00, menyebabkan mata
yang sering digunakan hanya mata kanan dan mata kiri tidak digunakan, sehingga terjadi
ambliopia atau lazy eyes. Pada akhirnya akan menyebabkan eksotropia .
Anisometria
Yaitu perbedaan refraksi kedua mata yang lebih dari 3D. Kelainan ini merupakan penyebab
utama amliopia karena mata tidak dapat berakomodasi secara independen dan mata yang lebih
hiperopia terus-menerus kabur. Koreksi refraktif terhadap anisometria dipersulit oleh perbedaan
ukuran bayangan retina(aniseikonia) dan ketidakseimbangan okulomotor akibat perbedaan
derajat kekuatan prismatic bagian perifer kedua lensa korektif tersebut. Aniseikonia umumnya
merupakan masalah bagi afakia monokuler. Koreksi dengan kacamata menghasilkan perbedaan
ukuran bayangan diretina sekitar 25% yang jarang dapat ditoleransi. Koreksi dengan lensa
kontak menurunkan perbedaan bayangan menjadi sekitar 6% yang dapat ditoleransi . Lensa
intraokuler menghasilkan perbedaan bayangan kurang dari 1 %.
Ambliopia
Penurunan tajam penglihatan yang tidak dapat dikoreksi dan tidak didapatkana kelainan organic.
Diagnosis/ Cara Pemeriksaan:
Refraksi Subjektif
Metode “trial” and “error”
- Jarak pemeriksaan 6 meter/5 meter/20feet
- Digunakan kartu snellen yang diletakkan setinggi mata penderita
- Mata diperiksa satu persatu
- Ditentukan visus/ tajam penglihatan masing-masing mata
- Bila visus tidak 6/6 dikoreksi dengan kaca mata sferis negatif
Refraksi Objektif
- Retinoskopi: dengan lensa kerja ∫+2.00, pemeriksa mengamati reflex fundus yang
bergerak berlawanan dengan arah gerakan retinoskop (against movement) kemudian dikoreksi
dengan lensa sferis negative sampai tercapai netralisasi.
- Autorefraktometer (computer)
Penatalaksanaan:
1. Kacamata
Dikoreksi dengan lensa sferis negative terlemah yang menghasilakan tajam penglihatan terbaik.
1. Lensa Kontak
Untuk anisometria atau myopia tinggi
1. Bedah Refraktif
1. Bedah refraktif Kornea : tindakan untuk mengubah kurvatura permukaan anterior kornea
(excimer laser, operasi lasik)
2. Bedah refraktif lensa: tindakan ekstraksi lensa jernih, biasanya diikuti dengan implantasi lensa
intraokuler.
(Nurwasis, 2006; Taib, 2010)
2.2.2 Hipermetropia (Rabun Jauh)
Adalah kelainan refraksi dimana sinar sejajar uyang masuk ke mara dalam keadaan istirahat
(tanpa akomodasi) akan dibiaskan membentuk bayangan di belakang retina. Hal ini dapat
disebabkan karena berkurangnya panjang sumbu (hipermetropia aksial), seperti yang terjadi
pada kelainan congenital tertentu , hipermetropia kurvatura karena kurvatura kornea atau lensa
yang lebih lemah daripada normal, dan hipermetropia indeks yang terjadi karena menurunnya
indeks bias refraksi, seperti yang terjadi pada afakia.
Gejala klinis
Gejala klinis hipermetropia meliputi:
1. Penglihatan jauh kabur, terutama pada hipermetropia 3D atau lebih, hipermetropia pada orang
tua dimana amplitude akomodasinya menurun.
2. Penglihatan dekat kabur lebih awal, terutama bila lelah, bahan cetakan kurang terang atau
penerangan kurang.
3. Sakit kepala terutama daerah frontal dan makin kuat pada penggunaan mata yang lama dan
membaca dekat.
4. Penglihatan tidak enak (astenopia akomodatif=eye strain) terutama bila melihat pada jarak yang
tetap dan diperlukan penglihatan jelas pada jangka waktu yang lama, misalnya menonton tv dll,
terjadi astenopia akomodatifa yaitu keluhan nyeri sekitar mata, mata panas, nrocoh, yang
disebabkan karena mata terus berakomodasi.
5. Mata sensitive terhadap sinar (karena mata dalam kondisi lelah)
6. Spame akomodatif yang menimbulkan pseudomiopia (setelah melihat dekat kemudian melihat
jauh, akomodasi mata tidak menghilang, sehingga penglihatan jauh menjadi kabur, seolah-olah
terjadi myopia). Jadi pada penderita dengan keluhan penglihatan jauh kabur, namun dari
anamnesis keluhan astenopia/ perasaan penglihatan yang tidak enak dirasakan lebih dominan,
perlu dicurigai sebagai pseudomiopia. Cara pemeriksaannya adalah dengan obat siklopegik.
7. Perasaan mata juling karena akomodasi yang berlebihan akan diikuti konvergensi yang
berlebihan pula. Esoforia, terjasi gejala trias parasimpatis nII, yaitu
- Akomodasi
- Miosis
- konvergensi
Klasifikasi
Klasifikasi hipermetropia berdasakan kemampuan akomodasi, dibagi menjadi :
1. Hipermetropia Laten
Biasanya ringan,<+2 atau <+3. Merupakan bagian dari kelompok hipermetropia yang dapat
dikoreksi secara penuh oleh akomodasi mata sendiri dimana tidak digunakan siklopegik. Makin
muda usia, makin besar kemampuan akomodasi/ komponen latennya.
1. HIpermetropia Manifes
- Hipermetropia fakultatif
Bagian dari hipermetropia yang dapat diukur dan dikoreksi oleh lena cembung tetapi dapat juga
dikoreksi oleh akomodasi mata dimana tidak digunakan lensa koreksi. Visus tanpa koreksi bisa
6/6 dikoreksi dengan lensa cembung visus juga 6/6.
- Hipermetropia Absolut
Bagian dari kelompok hipermetropia yang tidak dapat dikoreksi dengan akomodasi Visus <6/6,
dikoreksi dengan lensa cembung menjadi 6/6.
1. HIpermetropia Total
Jumlah dari hipermetropia latent dan manifest.
Sedangkan klasifikasi hipermetropia berdasarkan besar kelainan refraksi . dibagi menjadi
1. Hipermetropia ringan : ∫+0.25 s/d ∫+3.00
2. Hipermetropia sedang : ∫+3.25 s/d ∫+ 6.00
3. Hipermetropia Berat : ∫+6.25 atau lebih
Diagnosis / Cara pemeriksaan:
Refraksi Subjektif
Metode “trial” and “error”
- Jarak pemeriksaan 6 meter/5 meter/20feet
- Digunakan kartu snellen yang diletakkan setinggi mata penderita
- Mata diperiksa satu persatu
- Ditentukan visus/ tajam penglihatan masing-masing mata
- Pada Dewasa bila visus tidak 6/6 dikoreksi dengan kaca mata sferis positif
- Pada anak-anak dan remaja dengan visus 6/6 dan keluhan astenopia akomodatifs
dilakukan tes siklopegik, kemudian ditentukan koreksinya.
Refraksi Objektif
- Retinoskopi: dengan lensa kerja ∫+2.00, pemeriksa mengamati reflex fundus yang
bergerak searah dengan arah gerakan retinoskop (with movement) kemudian dikoreksi dengan
lensa sferis positif sampai tercapai netralisasi.
- Autorefraktometer (computer)
Penatalaksanaan:
1. Kacamata
1. Dikoreksi dengan lensa sferis positif terkuat yang menghasilakan tajam penglihatan terbaik.
2. Lensa Kontak
1. Untuk anisometria atau hipermetropia tinggi
Komplikasi:
1. Glukoma (sudut bilik mata depan dangkal, karena mata akomodasi terus menyebabkan hipertrofi
corpus siliaris. Sehingga menyebabkan penutupan sudut bilik mata depan
2. Esotropia, karena terjadi akomodasi terus menerus , terutama pada hpermetropi yang tinggi
3. Ambliopia terutama pada anisometria), merupakan penyebab tersering ambliopia pada anak, bila
bilateral. Ambliopia pada hipermetropialebih sering terjadi daripada pada myopia , karena pada
myopia masih ada rangsangan akomodasi.
(Nurwasis, 2006; Taib, 2010)
2.2.3 Astigmatisma
Suatu kelainan dimana pembiasan pada meridian yang berbeda tidak sama. Dalam keadaan
istirahat (tanpa akomodasi) sinar sejajar yang masuk ke mata difokuskan lebih dari satu titik.
Pada astigmatisma, mata menghasilkan suatu bayangan dengan titik atau garis fokal multiple.
Orang dengan astigmatisme tetap merasa tidak nyaman walaupun sudah dikoreksi, karena
bayangan yang terbentuk bukan berupa titik, melainkan berupa garis.
Patofisiologi
Patofisiologi kelainan astigmatisma, dapat diebabkan karena kelainan bentuk kornea,
merupakan penyebab yang sering terjadi, dan pada sebagian kecil dapat disebabkan karena
kelainan lensa.
Klasifikasi
Pembagian astigmatisma menjadi 2 , yaitu:
1. Astigmatisme Reguler
Pada bentuk ini selalu didapatkan dua meridian utama yang saling tegak lurus, dengan orientasi
dan kekuatan konstan disepanjang lubang pupil sehingga terbentuk dua garis focus. Selanjutnya
astigmatisme didefinisikan berdasarkan posisi garis-garis focus ini terhadap retina. Perhatikan
gambar berikut :
Apabila meridian-meridian utamanya saling tegak lurus dan sumbu-sumbunga terletak di dalam
20 derajat horizontal dan vertical, astigmatismenya dibagi lagi menjadi astigmatisme with the
rule, dengan daya bias lebih besar terletak di meridian vertical; dan astigmatisme against the
rule, dengan daya bias lebih besar terletak di meridian horizontal. Astigmatisme with the rule
banyak ditemukan pada pasien berusia muda dan astigmatisme against the rule banyak
ditemukan pada pasien berusia tua.
1. Astigmatisme Ireguler
PAda bentuk ini didapatkan titik focus yang tidak beraturan . Penyebab tersering adalah kelainan
kornea seperti sikatrik kornea, keratokonus. Bisa juga karena kelainan lensa seperti katarak
imatur. Kelainan lensa ini tidak dapat dikoreksi dengan lensa silinder.
Secara umum kelainan astigmatisme dapat dikoreksi dengan lensa silindris, sering kali
dikombinasi dengan lensa sferis karena otak mampu beradaptasi dengan disstorsi penglihatan
yang disebabkan oleh karena kelainan astigmatisme yang tidak terkoreksi , kacamata baru yang
memperbaiki kelainan dapat menyebabkan disorientasi temporer, terutama akibat bayangan
yang tampak miring.
Diagnosisi dan cara pemeriksaan:
Refraksi Subjektif
Metode “trial” and “error”
- Jarak pemeriksaan 6 meter/5 meter/20feet
- Digunakan kartu snellen yang diletakkan setinggi mata penderita
- Mata diperiksa satu persatu
- Ditentukan visus/ tajam penglihatan masing-masing mata
- Bila visus tidak 6/6 dikoreksi dengan kaca mata lensa silinder negative atau positif
dengan aksisi diputar 0˚ sampai 180˚. Kadang-kadang perlu dikombinasikan dengan lensa sferis
negative atau positif.
Refraksi Objektif
- Retinoskopi: dengan lensa kerja ∫+2.00, pemeriksa mengamati reflex fundus yang
bergerak berlawanan dengan arah gerakan retinoskop (against movement) kemudian dikoreksi
dengan lensa sferis negative, sedangkan bila searah dengan gerakan retinoskop (with
movement) dikoreksi dengan lesa sferis positif. Meridian yang netral terlebih dahulu adalah
komponen sferisnya. Meridian yang belum netral dikoreksi dengan lensa positif sampai tercapai
netralisasi. Hasil akhirnya dilakukan transposisi.
- Autorefraktometer (computer)
Penatalaksanaan:
1. Astigmatisme regular diberikan acamata sesuai kelainan yang didapat, yaitu dikoreksi dengan
lensa silinder negative atau positif dengan atau tanpa kombinasi dengan lensa sferis.
2. Astigmatisme ireguler, bila ringan bisa dikoreksi dengan lensa kontak keras, tetapi bila berat bisa
dilakukan transplantasi kornea. (Nurwasis, 2006; Taib, 2010)
2.3 Presbiopia
Merupakan suatu keadaan dimana kemampuan akomodasi mata berkurang karena proses
sklerosis. Presbiopia bukan merupakan bagian dari kelainan refraksi, tetapi dia membutuhkan
bantuan kacamata. Patofisiologi yang terjadi pada prespbiopia adalah, pada mekanisme
akomodasi yang normal, terjadi peningkatan daya refraksi mata karena perubahan
keseimbangan antara elastisitas matriks lensa dan kapsul sehingga lensa menjadi cembung.
Dengan meningkatnya umur meka lensa menjadi lebih keras (sklerosis) dan kehilangan
elastisitasnya untuk menjadi cembung, dengan demikian kemampuan melihat dekat makin
kurang.
Gejala klinisnya adalah terjadi karena daya akomodasi yang berkurang sehingga titik dekat mata
makin menjauh dan pada awalnya kesulitan membaca dekat huruf cetakan kecil. Dalam upaya
melihat jelas, maka penderita cenderung menegakkan punggungnya atau menjauhkan objek
yang dibacanya sehingga mencapai titik dekatnya , dengan demikian objek yang dibaca dapat
menjadi lebih jelas. Presbiopia timbul pada usia 45 th untuk ras Kaukasian dan 35 tahun untuk
ras lainnya. Gejala klinis lainnya adalah kelelahan mata dan nyeri kepala.
Untuk cara pemeriksaan, penderita terlebih dahulu dikoreksi penglihatan jauhnya dengan
metode “trial” and “error” hingga visus mencapai 6/6. Dengan menggunakan koreksi jauhnya
kemudiansecara binokuler ditambahkan lensa sferis positif dan diperiksa menggunkan kartu
“Jaeger” pada jarak 33cm.
Penatalaksanaanya adalah dengan diberikan lensa sferis positif sesuai pedoman umur, yaitu
pada umur 40 tahun ditambahkan sferis +1.00 dan setiap 5 th di atasnya ditambahkan lagi sferis
+0.50. Lensa sferis positif yang ditambahkan dapat diberikan berbagai cara:
1. Kacamata baca saja untuk melihat dekat saja
2. Kacamata bifikal unutk melihat jauh dan dekat
3. Kacamata progresif di mana tidak ada batas bagian lensa unutk melihat jauh dan dekat.
Jika koreksi jauhnya tidak dapat mencapai 6/6 maka penambahan lensa sferis positif tidak terikat
umur, tetapi boleh diberikan seberapapun sampai membaca cukup memuaskan (Nurwasis,
2006).
Prognosis dari presbiopi ini adalah baik karena presbiobi dapat dikoreksi menggunakan kaca
mata maupun lensa kontak. Komplikasi presbiopi bila tidak dikoreksi dapat makin parah dan
mengakibatkan kualitas hidup menurun. Belum ada bukti ilmiah yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya presbiopi. (Donahue, 2008).
BAB III
KASUS
3.1 Identitas
Nama : Ny. I
Umur : 44 tahun
Jenis kelamin : Wanita
Alamat : Surabaya
Pekerjaan : Guru SMP
Suku / Bangsa : Jawa / Indonesia
Tgl pemeriksaan : 23 Mei 2012
3.2 Anamnesis
Keluhan utama : kedua mata terasa kabur saat membaca
Riwayat penyakit sekarang :
Kedua mata pasien dirasakan kabur saat membaca terutama jika membaca tulisan yang kecil
dan dari jarak yang dekat sehingga ketika membaca pasien berusaha untuk menjauhkan tulisan
tersebut. Pasien tidak pernah mengeluhkan melihat seperti kilatan cahaya, bayangan / titik yang
melayang, ataupun nabrak-nabrak saat berjalan. Pasien juga tidak pernah mengeluhkan mata
merah sebelumnya. Pasien datang ke poli untuk meminta diberikan resep kacamata jauh dan
kacamata baca secara terpisah.
Pasien sudah memakai kacamata sejak 12 tahun yang lalu. Mulanya pasien merasa pandangan
kedua matanya terasa kabur untuk melihat jauh. Hal ini dirasakan sejak 12 tahun yang lalu. Bila
kacamata dipakai, pasien merasa penglihatannya membaik.
Pasien tidak mengeluhkan mata merah, tidak silau bila terkena cahaya, tidak didapatkan rasa
seperti melihat kilatan cahaya, bayangan / titik yang melayang maupun pelangi.
Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat darah tinggi disangkal.
- Riwayat kencing manis disangkal.
- Riwayat minum jamu atau sering menggunakan obat tetes mata disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
- Ayah pasien memakai kacamata sejak remaja.
- Tidak ada keluarga pasien yang memiliki penyakit darah tinggi dan kencing manis
3.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : baik
GCS : 456
Vital sign : dalam batas normal
Pemeriksaan fisik mata:
Funduskopi:
OD : Fundus
refleks +, papil
nervus optikus
batas tegas, warna
normal,
Retina :
perdarahan -,
eksudat –
Makula: refleks +
OS : Fundus
refleks +, papil
nervus optikus
batas tegas, warna
normal,
Retina :
perdarahan -,
eksudat –
Makula: refleks +
3.4 Problem
List
1. Kedua mata kabur saat membaca
2. Sering membaca dengan menjauhkan tulisan
3. Kedua mata kabur saat melihat jauh
4. Visus
OD 6/60 pinhole 6/6,6
OS 6/8,5 pinhole 6/6
1. Refraksi
Oculi dextra Pemeriksaan Oculi sinistra
6/60 pinhole 6/6,6 Visus 6/8,5 pinhole 6/6
5/60 S -2.25 C -0.75 A 900 5/5
Refraksi
5/8,5 S -0.75 C -1.00 A 9005/5
Normal per palpasi Tensi Normal per palpasi
5/60 S -2.50 C -0.75 A 900 5/5
Kacamata Lama
5/8 S-0.75 C -1.25 A 900 5/5
Segmen anterior
edema -, spasme - Palpebra edema -, spasme -
Hiperemi - Konjungtiva Hiperemi -
Jernih Kornea Jernih
Dalam BMD Dalam
Radier Iris Radier
Bulat 3mm, Reflek cahaya + Pupil Bulat 3mm, Reflek cahaya +
Jernih
Iris shadow - Lensa
Jernih
Iris shadow -
OD 5/60 S -2.25 C -0.75 A 900 5/5
OS 5/8,5 S -0.75 C -1.00 A 900 5/5
3.5 Assessment
ODS Astigmatisma Miopia Kompositus + ODS Presbiopia
3.6 Planning
- Diagnosis : -
- Terapi : 1. Kacamata jauh
OD 5/60 S -2.25 C -0.75 A 900 5/5
OS 5/8,5 S -0.75 C -1.00 A 900 5/5
2. Kacamata dekat (baca)
OD S -1.00 C -0.75 A 900
OS S +0.50 C -1.00 A 900
- Monitoring : Keluhan, visus, kontrol 6 bulan
- Edukasi :
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya bahwa penyakitnya merupakan proses
degeneratif yang mengakibatkan perubahan fungsi normal mata dan dapat dikoreksi dengan
kacamata. Selain itu, pasien juga menderita rabun jauh sehingga pasien harus terus memakai
kacamata agar tidak memperparah kelainan refraksinya.
- Menjelaskan kepada pasien bahwa kacamata bifokal akan membuat pasien lebih nyaman
untuk melihat jauh dan dekat karena pasien tidak perlu menggunakan dua kacamata.
- Menjelaskan kepada pasien untuk rutin kontrol minimal 6 bulan sekali untuk melihat adakah
perubahan kelainan refraksinya.
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Pasien Ny. I datang ke Pli Mata RSUD Dr. Soetomo dengan keluhan kedua mata kabur saat
membaca. Hal ini dirasakan terutama bila membaca tulisan yang kecil dan dari jarak yang dekat
sehingga ketika membaca pasien berusaha untuk menjauhkan tulisan tersebut.
Diagnosa banding untuk mata kabur antaralain kelainan refraksi, yang dapat berupa miopia,
hipermetropia, dan astigmatisma, katarak, glaukoma, dan retinopati. Pada kelainan refraksi
miopia didapatkan gejala kabur jika melihat benda jauh, sedangkan hipermetropia didapatkan
gejala penglihatan kabur saat melihat benda dekat, membaca buku misalnya. Pada katarak juga
dapat memberikan gejala mata kabur dan disertai penglihatan yang menurun. Namun, katarak
yang mengalami miopisasi akan membuat pasien merasa lebih enak bila membaca dekat tanpa
kaca-mata. Penyakit glaukoma juga dapat memberikan keluhan mata kabur dan disertai
penurunan lapang pandang.
Pada anamnesis pasien ini tidak didapatkan kelainan penurunan lapang pandang, maupun
penyakit yang merupakan faktor risiko dari glaukoma seperti Diabetes Mellitus. Keluhan utama
mata kabur saat melihat dekat dan keluhan yang disangkal berupa melihat seperti kilatan
cahaya, bayangan / titik yang melayang, nabrak-nabrak saat berjalan dan mata merah
sebelumnya, juga riwayat pemakaian kaca mata sebelumnya telah menyingkirkan diagnosis
banding tersebut dan mengarahkan diagnosis ke kelaian refraksi.
Pada pemeriksaan fisik berupa segmen anterior tidak didapatkan kelainan. Sedangkan pada
pemeriksaan visus awal OD 6/60 pinhole 6/6,6 dan S 6/8,5 pinhole 6/6. Setelah dilakukan trial
and error test dengan menggunakan lensa sferis OD -2.25 silindris OD -0.75 dan OS –sferis -
0.75 silindris -1.00 didapatkan kedua visus 5/5. Dari pemeriksaan di atas dan melihat umur
pasien yang 44 tahun, maka pasien dapat didiagnosis dengan ODS Astigmatisma Miopia
Kompositus + ODS Presbiopia.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maka dapat diberikan penatalaksanaan berupa
pemakaian kacamata jauh dan dekat mengingat pasien menginginkan dua kaca mata yang
berbeda. Kacamata jauh dengan OD 5/60 S -2.25 C -0.75 A 900 5/5 dan OS 5/8,5 S -0.75 C -
1.00 A 9005/5. Kacamata dekat/baca dengan OD S -1.00 C -0.75 A 900 OS S +0.50 C -1.00 A
900. Edukasi mengenai penyakit pasien, saran untuk pemakaian kaca-mata bifokal dan kontrol
tiap 6 kali telah diberikan pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Donahue SP, 2008. Presbyopia And Loss Of Accommodation. In Yanoff M, Duker JS,
Eds. Ophthalmology 3rd ed. St. Louis, Mo: Mosby Elsevier; Chap 9.2.
Ilyas, Sidarta, 2004. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
James B, Chew C and Bron A, 2003. Lecture Notes on Ophtalmology. New York: Blackwell
Publishing, 20-26
Nurwasis, dkk, 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata Edisi III Hal
181-182. Surabaya: Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo
Paramita, Laksmi Pradnya, 2010. Perbedaan Derajat Astigmatisma Pasca Operasi Katarak
Dengan Teknik Fakoemulsifikasi Metode Korneal Insisi Dan Skleral Insisi. Diambil
dari http://www.scribd.com/doc/45823385/KTI-Mata-Ami-02 (29 Mei 2010)
Taib, Trisnowati, 2010. Handout Kuliah “Ilmu Penyakit Mata”, dr. Trisnowati Taib, Sp. M
(K). Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo
Whitcher, John P. dkk., 2008. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran ECG
Top Related