ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATAN
” PASIEN FRAKTUR VERTEBRAE ”
Disusun Oleh :
Nur Rahmawati Kartini J 200 070 019
Wahyu Tri Widiatmoko J 200 070 020
Linda Rahmawati J 200 070 021
Erlinasari Purnomo J 200 070 022
DIII KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2010
FRAKTUR
0
A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya (Brunner & Suddarth, 2001:2357).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan / atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Arif
Mansjoer, 2000:346).
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang,
penyebab terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti
proses degeneratif juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur.(Depkes
RI, 2007)
Tulang belakang merupakan bagian sentral tubuh manusia yang
mempunyai hubungan dengan struktur jaringan lainnya seperti jaringan
pengikat sendi dan otot. Fungsi tulang belakang di samping sebagai
penyangga juga memberikan perlindungan dan merupakan sendi gerak yang
memungkinkan tulang belakang bergerak
B. Anatomi Fisiologi
1. Tulang
Tulang adalah jaringan ikat yang bersifat kaku dan membentuk bagian
terbesar kerangka, serta merupakan jaringan penunjang tubuh utama.
(Keith L. Moore, 2002:8)
Tulang berguna untuk :
a. Melindungi struktur vital
b. Menopang tubuh
c. Mendasari gerak secara mekanis
1
d. Membentuk sel darah (sumsum tulang merah adalah tempat
dibentuknya sel darah merah, beberapa limfosit, sel darah putih
granulosit dsan trombosit)
e. Menimbun berbagai mineral (kalsium, fosfor dan
magnesium)
2. Sendi
Sendi adalah suatu ruangan, tempat satu atau dua tulang berada saling
berdekatan. Fungsi utama sendi adalah memberi pergerakan dan
fleksibilitas dalam tubuh.
3. Otot
Otot ialah jaringan yang mempunyai kemampuan khusus yaitu
berkontraksi dan dengan jalan demikian maka gerakan terlaksana. Otot
dibagi dalam tiga kelompok, dengan fungsi utama untuk kontraksi dan
menghasilkan pergerakan sebagain atau seluruh tubuh.
4. Ligamen
Ligamen adalah sekumpulan jaringan fibrosa yang tebal yang merupakan
akhir dari suatu otot dan berfungsi mengikat suatu tulang.
5. Tendon
Tendon adalah suatu perpanjangan dari pembungkus fibrosa yang
membungkus setiap otot dan berkatian dengan periosteum jaringan
penyambung yang mengelilingi tendon, khususnya pada pergelanan tangan
dan tumit.
6. Fasia
Fasia adalah suatu permukaan jaringan penyambung longgar yang
didapatkan langsung di bawah kulit sebagai fasia superfisial (sebagai
pembungkus tebal) jaringan penyambung fibrosa yang membungkus otot,
saraf dan pembuluh darah.
2
7. Bursae
Bursae adalah suatu kantong kecil dari jaringan penyambung, yang
digunakan di atas bagian yang bergerak.
C. Etiologi
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun
mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan.
Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
1. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan
yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau
penarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat
yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak.. Pemukulan
biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur
komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
2. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda
lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering
dikemukakan pada tibia, fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari
atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
3. Fraktur petologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut
lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.
3
D. Klasifikasi
1. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar.
2. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragemen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukan di kulit, fraktur terbuka
dibagi menjadi tiga derajat, yaitu :
a. Derajat I
- Luka kurang dari 1
- Kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
- Fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
- Kontaminasi ringan.
b. Derajat II
- Laserasi lebih dari 1 cm
- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
- Fraktur komuniti sedang.
c. Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot
dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
3. Fraktur complete
Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami
pergerseran (bergeser dari posisi normal).
4. Fraktur incomplete
Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
5. Jenis khusus fraktur
a. Bentuk garis patah
- Garis patah melintang
- Garis pata obliq
4
- Garis patah spiral
- Fraktur kompresi
- Fraktur avulse
b. Jumlah garis patah
- Fraktur komunitif garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
- Fraktur segmental garis patah lebih dari satu tetapi saling
berhubungan
- Fraktur multiple garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang
yang berlainan.
- Bergeser-tidak bergeser
Fraktur tidak bergeser garis patali kompli tetapi kedua fragmen
tidak bergeser.
- Fraktur bergeser, terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur
yang juga disebut di lokasi fragmen (Smeltzer, 2001:2357).
E. Patofisiologi
Ketika patah tulang akan terjadi kerusakan dikorteks , pembuluh darah,
sumsum tulang dan jaringan lunak , akibat dari hal tersebut adalah terjadi
perdarahan kerusakan tulang dan jaringa sekitarnya
Proses penyenbuhan terdiri dari beberapa fase yaitu: :
1 Fase hematum
Dalam waltu 24 jam timbul perdarahan , edema, hematume, disekitar
fraktur. Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat.
2 Fase granulasi jaringan
5
Terjadi 1-5 hari injury, pada tahap fagositosis aktif produk
neorosis,hitematome berubah menjadi granulasi jaringan yang berisi
pembuluh darah baru fogoblast dan osteoblast
3 Fase formasi callus
Terjadi 6-10 hari setelah injury, granulasi terjadi perubahan berbentuk
callus
4 Fase ossificasi
Mulai pada 2-3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh , callus
permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan endapan garam kalsium
yang menyatukan tulang yang patah
5 Fase consolidasi dan remadelling
Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus terbentuk
dengan oksifitas osteoblastndan osteuctas
6
PATOFISIOLOGI
Trauma tulang
Kerusakan Dekontinuitas tulang Gesekan fragmen Nyeri
mobilitas fisik tulang
Fragmen terbuka Fraktur tertutup
Framen menembus kulit Fragmen menembus jar. Lunak
Gangguan Potensial Gangguan
Integritas kulit infeksi perfusi jaringan
7
F. Manifestasi Klinis
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema.
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah.
3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena konhan yang han yang
traksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur.
4. Krepitasi (derik tulang) akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit, akibat trauma dan
peradarahan yang mengikuti fraktur.
G. Komplikasi Fraktur
1. Komplikasi Awal
Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok, yang bisa berakibat fatal
dalam beberapa jam setelah cedera; emboli lemak, yang dapat terjadi
dalam 48 jam atau lebih; dan sindrom kompartemen, yang berakibat
kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika ditangani segera. Komplikasi
awal lainnya yang berhubungan dengan fraktur adalah infeksi,
tromboemboli, (emboli paru), yang dapat meyebabkan kematian beberapa
minggu setelah cedera; dan koagulopati intravaskuler diseminata (KID).
a. Syok
Syok Hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik
kehilangan darah eksterna maupun yang tak kelihatan) dan kehilangan
cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur
ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra. Karena tulang merupakan
organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah
8
dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya pada
fraktur femur dan pelvis.
Penanganan yang dapat dilakuakn, meliputi mempertahankan
volume darah, mengurangi nyeri yang diderita pasien, memasang
pembebatan yang memadai, dan melindungi pasien dari cedera lebih
lanjut.
b. Sindrom Emboli Lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multipel atau
cedera remuk, dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada dewasa
muda (20 – 30 tahun) pria. Pada saat terjadi fraktur globula lemak
dapat masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih
tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan
oleh reaksi stres pasein akan memobilisasi asam lemak dan
memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah. Globula
lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli, yang
kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak,
paru, ginjal dan organ lain. Awitan gejalanya, yang sangat cepat, dapat
terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cedera, namun
paling sering terjadi dalam 24 samapi 72 jam.
Gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan
pireksia. Gangguan serebral diperlihatkan dengan adanya perubahan
status mental yang bervariasi dari agitasi ringan dan kebingungan
sampai delirium dan koma yang terjadi sebagi respon terhadap
hipoksia, akibat penyumbatan emboli lemak di otak.
Respon pernapasan meliputi takipnea, dispnea, krepitasi, mengi,
sputum putih kental dan banyak dan takikardia. Gas darah
9
menunjukkan PO2 dibawah 60 mmHg, dengan alkaliosis respiratori
lebih dulu dan kemudian asidosis respiratori.
Dengan adanya emboli sistemik pasie tampak pucat. Tampak
adanay petekie pada membran pipi dan kantung konjunctiva, pada
palatum durum, pada fundus okuli, dan diatas dada dan lipatan ketiak
depan
Pencegahan dan penatalaksanaan pada kasus ini adalah dengan
segera melakukan imobilisasi fraktur, manipulasi fraktur minimal, dan
dan penyangga fraktur yang memadai saat pemindahan dan mengubah
posisi merupakan upaya yang dapat mengurangi insidensi emboli
lemak. Memantau pasien risiko tinggi (mis. Pria dewasa antara usia 20
dan 30 tahun, mereka yang mengalaimi gangguan status mental) dapat
membantu identifikasi awal masalah ini. Pemberian segera dukungan
pernapasan adalah sangat penting.
Tujuan penatalaksanaan yang diberikan adalah menyokong sistem
pernapasan dan mengoreksi gangguan homeostatis. Analisa gas darah
dilakukan untuk menentukan derajat gangguan pernapasan, karena
gagal napas merupakan penyebab utama kematian. Dukungan
pernapasan dilakukan dengan oksigen yang diberikan dengan
konsentrasi tinggi. Kortikosteroid dapat diberikan untuk menangani
reaksi inflamasi paru dan mengontrol edema otak. Obat vasoaktif untk
mendukung fungsi kardiovaskuler diberikan untuk mencegah
hipotensi, syok, dan edema paru interstisial. Morfin dapat diresepkan
untuk mengurangi nyeri dan ansietas pasien yang dipasang ventilator.
Karena emboli lemak merupakan penyebab kematian utama pasien
fraktur, dukungan pernapasan harus diberikan segera.
c. Sindrom Kompartemen
10
Sindrom Kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat
perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk
kehidupan jaringan. Hal ini dapat disebabkan karena :
- penurunan ukuran kompartmen otot karena fasia yang
membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang
menjerat
- peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau
perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (iskemia, cedera
remuk, penyuntikan bahan penghancur jatingan). Kompartemen
lengan bawah atau tungkai palins sering terkena. Kehilangan
fungsi permanen dapat terjadi bila keadaan ini berlangsung lebih
dari 6 sampai 8 jam dan terjadi iskemia dan nekrosis mioneural
(otot dan saraf).
Pencegahan dan penatalaksanaan. Sindrom kompartemen dapat
dicegah dengan mengontrol edema, yang dapat dicapai dengan
meninggikan ektremitas yang cedera setinggi jantung dan memberikan
kompres es setelah cedera sesuai resep. Bila telah terjadi sindroma
kompartemen, balutan yang ketat yang ketat harus dilonggarkan.
Peningkatan tekanan jaringan yang memerlukan fasiotomi bergantung
pada berbagaia faktor, termasuk tekanan darah sistolik dan status
hemodinamika. Setelah fasiotomi, luka tidak dijahit tapi lebih baik
dibiarkan terbuka dan ditutup dengan balutan steril yang dilembabkan
dengan larutan salin. Anggota badan dibidai dengan posisi fungsional
dan latihan rentang gerak pasif biasanya dianjurkan tiap 4 sampai 6
jam. Dalam 3 sampai 5 hari, ketika edema telah menghilang dan
perkusi jaringan telah kembali, luka didebrideman dan ditutup.
11
2. Komplikasi Lambat
a. Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan.
Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan
kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan
terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik dan distraksi
(tarikan jauh) fragmen tulang.
Tidak adanya penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan ujung
– ujung patahan tulang. Pasien mengeluh tidak nyaman dan gerakan
yang menetap pada tempat fraktur. Faktor yang ikut berperan dalam
masalah penyatuan meliputi infeksi pada tempat fraktur; interposisi
jaringan di antara ujung – ujung tulang; imobilisasi dan manipulasi
yang tidak memadai, yang menghentikan pembentukan kalus; jarak
yang terlalu jauh antara fragmen tulang ( gap tulang); kontak tulang
yang terbatas; dan gangguan asupan darah yang mengakibatkan
nekrosis avaskuler.
Tidak adanya penyatuan dapat ditangani dengan graft tulang.
Secara bedah, fragmen tulang patah ditrim, bila ada infeksi dibuang,
dan graft tulang, biasanya dari krista ilika, ditempatkan pada defek
tulang. Graft tulang memberikan kerangka untuk invasi sel – sel
tulang. Setelah penempatan graft, perlu dipasang imobilisasi rigid.
b. Nekrosis Avasuler Tulang
Nekrosis Avaskuler tulang terjadi bila tulang kehilangan asupan
darah dan mati. Dapat terjadi setelah fraktur (khususnya pada kolum
femoris), dislokasi, terapi kortikosteroid dosis tinggi berkepanjangan,
penyakit ginjal kronik, anemia sel sabit, dan penyakit lain. Tulang
yang mati mengalami kolaps atau diabsorbsi dan diganti dengan tulang
baru. Disini pasien menalami nyeri dan keterbatasan gerak. Sinar – X
12
dapat menunjukkan kehilangan kalsium dan kolaps struktural.
Penanganan umumnya terdiri atas usaha mengembalikan vitalitas
tulang dengan graft tulang, penggantian prostesis atau artrodesis
(penyatuan sendi).
c. Reaksi terhadap alat fiksasi Interna
Alat fiksasi interna biasannya diambil setelah penyatuan tulang
telah terjadi, namun pada kebanyakan pasien alat tersebt tidak diangkat
sampai menimbukan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan
indikator utama telah terjadinya masalah. Masalah tersebut meliputi
kegagalan mekanis (pemasangan dan stabilisasi yang tidak memadai);
kegagalan material (alat yang cacat atau rusak); berkaratnya alat,
menyebabkan inflamasi lokal; respon alergi terhadap campuran logam
yang digunakan; dan remodeling osteoporotik di sekitar alat fiksasi.
Bila alat diangkat, tulang perlu dilindungi dari fraktur kembali
sehubungan dengan osteoporosis, struktur tulang yang terganggu dan
trauma. Remodeling akan mengembalikan kekuatan struktur tulang.
H. Prinsip Pertolongan Pertama pada fraktur tulang belakang
Apakah penderita sadar atau tidak
Gerakan yang tidak perlu sebaiknya dihindarkan karena akan
menyebabkan kerusakan yang lebih parah pada daerah luka
Perhatikan jalan nafas( airway)
Perhatikan pernafasannya ( breathing), lancar atau tidak
Perhatikan denyut nadi, tekanan darah dan pernafasan(circulation)
13
I. Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Fraktur
Diperlukan berminggu – minggu sampai berbulan – bulan untuk
kebanyakan fraktur untuk mengalami penyembuhan. Reduksi fragmen tulang
yang bergeser harus benar – benar terjadi. Tulang yang mengalami patah
harus mempunyai peredaran darah yang memadai. Usia pasien dan jenis
fraktur juga berpengaruh pada waktu penyembuhan. Secar umum, patah pada
tulang pipih (pelvis, skapula) sebuh cukup cepat. Patah pada ujung tulang
panjang, dimana ujung tulang lebih vaskuler dan kaselus, menyembuh lebih
cepat daripada fraktur pada daerah dimana tulangnya padat dan kurang
vaskuler (pertengahan batang tulang panjang). Pembebanan berat badan akan
merangsang pertumbuhan pada fraktur panjang yang telah stabil pada
ekstremitas bawah. Selan itu, aktivitas akan meminimalkan terjadinya
osteoporosis yang berhubungan dengan aktivitas (reduksi masa tulang total,
menghasilkan tulang porotik dan rapuh akibat ketidakseimbangan
homeostatis pergatian tulang).
Bila penyembuhan fraktur terhambat, waktu penyatuan tulang
mengalami keterlambatan atau berhenti total.
Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur :
1. Imobilisasi Frgamen Tulang
2. Kontak fragmen tulang maksimal
3. Asupan darah yang memadai
4. Nutrisi yang baik
5. Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang
6. hormon – hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid
anabolik
Faktor yang Menghambat Penyembuhan Tulang :
1. Trauma lokasi ekstensif
14
2. Kehilangan tulang
3. Imobilisasi tak memadai
4. Rongga atau jaringan di antara fragmen tulang
5. Infeksi
6. Keganasan Lokal
7. Penyakit tulang metabolik (misalnya , penyakit Paget)
8. Radiasi tulang (nekrosis radiasi)
9. Nekrosis avaskuler
10. Fraktur intraartikuler
11. Usia
12. Kortikosteroid
J. Penatalaksanaan
Terdapat beberapa tujuan penatalaksanaan fraktur menurut Henderson
(1997), yaitu mengembalikan atau memperbaiki bagian-bagian yang patah ke
dalam bentuk semula (anatomis), imobiusasi untuk mempertahankan bentuk
dan memperbaiki fungsi bagian tulang yang rusak.
Jenis-jenis fraktur reduction yaitu:
1. Manipulasi atau close reduction
Adalah tindakan non bedah untuk mengembalikan posisi, panjang dan
bentuk. Close reduksi dilakukan dengan local anesthesia ataupun umum.
2. Open reduction atau reduksi terbuka
Adalah perbaikan bentuk tulang dengan tindakan pembedahan sering
dilakukan dengan internal fixasi menggunakan kawat, screlus, pins, plate,
intermedullary rods atau nail. Kelemahan tindakan ini adalah
kemungkinan infeksi dan komplikasi berhubungan dengan anesthesia. Jika
15
dilakukan open reduksi internal fixasi pada tulang (termasuk sendi) maka
akan ada indikasi untuk melakukan ROM.
3. Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur
untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 3 macam yaitu:
a. Skin traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan
menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan
bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera,
dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
b. Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera
dan sendi panjang untuk mempertahankan traksi, memutuskan pins
(kawat) ke dalam tulang.
c. Maintenance traksi
Merupakan lanjutan dari traksi, kekuatan lanjutan dapat diberikan
secara langsung pada tulang dengan kawat atau pins.
K. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rontgen
Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung-
Mengetahui tempat dan type fraktur Biasanya diambil sebelum dan
sesudah dilakukan operasi dan selama proses penyembuhan secara
periodic.
2. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 : dapat digunakan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler.
16
4. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau
menrurun ( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multiple) Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal
setelah trauma.
5. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi
multiple atau cedera hati (Doenges, 1999 : 76 ).
17
Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur
1. Pengkajian Keperawatan
Merupakan tahap awal dari pendekatan proses keperawatan dan dilakukan
secara sistematika mencakup aspek bio, psiko, sosio, dan spiritual. Langkah
awal dari pengkajian ini adalah pengumpuln data yang diperoleh dari hasil
wawancara dengan klien dan keluarga, observasi pemeriksaan fisik, konsultasi
dengan anggota tim kesehatan lainnya dan meninjau kembali catatan medis
ataupun catatan keperawatan. Pengkajian fisik dilakukan dengan cara inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi.
Adapun lingkup pengkajian yang dilakukan pada klien fraktur menurut
Brunner and Suddarth, 2002 adalah sebagai berikut :
a. Data demografi/ identitas klien.
Antara lain nama, umur, jenis kelamin, agama, tempat tinggal, pekerjaan,
dan alamat klien.
b. Keluhan utama.
Adanya nyeri dan sakit pada daerah punggung
c. Riwayat kesehatan keluarga.
Untuk menentukan hubungan genetik perlu diidentifikasi misalnya adanya
predisposisi seperti arthritis, spondilitis ankilosis, gout/ pirai (terdapat pada
fraktur psikologis).
d. Riwayat spiritual.
Apakah agama yang dianut, nilai-nilai spiritual dalam keluarga dan
bagaimana dalam menjalankannya.
e. Aktivitas kegiatan sehari-hari.18
Identifikasi pekerjaan klien dan aktivitasnya sehari-hari, kebiasaan
membawa benda-benda berat yang dapat menimbulkan strain otot dan
jenis utama lainnya. Orang yang kurang aktivitas mengakibatkan tonus
otot menurun. Fraktur atau trauma dapat timbul pada orang yang suka
berolah raga dan hockey dapat menimbulkan nyeri sendi pada tangan
f. Pemeriksaan fisik
1. Pengukuran tinggi badan
2. Pengukuran tanda-tanda vital
3. Integritas tulang, deformitas tulang belakang
4. Kelainan bentuk pada dada
5. Adakah kelainan bunyi pada paru-paru, seperti ronkhi basah atau
kering, sonor atau vesikuler, apakah ada dahak atau tidak, bila ada
bagaimana warna dan produktivitasnya.
6. Kardiovaskuler: sirkulasi perifer yaitu frekuensi nadi, tekanan darah,
pengisian kapiler, warna kulit dan temperatur kulit.
7. Abdomen tegang atau lemas, turgor kulit, bising usus, pembesaran
hati atau tidak, apakah limpa membesar atau tidak.
8. Eliminasi: terjadinya perubahan eliminasi fekal dan pola berkemih
karena adanya immobilisasi.
9. Aktivitas adanya keterbatasan gerak pada daerah fraktur.
10. Apakah ada nyeri, kaji kekuatan otot, apakah ada kelainan bentuk
tulang dan keadaan tonus otot.
g. Tes Diagnostik
Pada klien dengan trauma tulang belakang, biasanya dilakukan beberapa
tes diagnostik untuk menunjang diagnosa medis, yaitu :
1. Foto Rontgen Spinal, yang memperlihatkan adanya perubahan
degeneratif pada tulang belakang, atau tulang intervetebralis atau
19
mengesampingkan kecurigaan patologis lain seperti tumor,
osteomielitis.
2. Elektromiografi, untuk melokalisasi lesi pada tingkat akar syaraf
spinal utama yang terkena.
3. Venogram Epidural, yang dapat dilakukan di mana keakuratan dan
miogram terbatas.
4. Fungsi Lumbal, yang dapat mengkesampingkan kondisi yang
berhubungan, infeksi adanya darah.
5. Tanda Le Seque (tes dengan mengangkat kaki lurus ke atas) untuk
mendukung diagnosa awal dari herniasi discus intervertebralis ketika
muncul nyeri pada kaki posterior.
6. CT-Scan yang dapat menunjukkan kanal spinal yang mengecil,
adanya protrusi discus intervetebralis.
7. MRI, termasuk pemeriksaan non invasif yang dapat menunjukkan
adanya perubahan tulang dan jaringan lunak dan dapat memperkuat
adanya herniasi discus.
8. Mielogram, hasilnya mungkin normal atau memperlihatkan
“penyempitan” dari ruang discus, menentukan lokasi dan ukuran
herniasi secara spesifik.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan secara teoritis menurut Doengoes, 2000 untuk klien
dengan gangguan tulang belakang, yaitu :
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
musculoskeletal
20
c. Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis
situasi; perubahan status kesehatan;
d. Immobilisasi berhubungan dengan kerusakan neuromuskular
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kehilangan sensori dan
mobilitas permanen.
f. Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra
3. Perencanaan keperawatan
-
Perencanaan keperawatan secara teoritis menurut Doengoes, 2000 adalah
sebagai berikut :
a. Diagnosa keperawatan I
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik
Tujuan : Nyeri hilang atau terkonrol
Kriteria hasil :
- Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
- Klien dapat mengungkapkan yang dapat menghilangkan.
- Klien dapat mendomenstrasikan penggunaan intervensi terapeutik
seperti keterampilan relaksasi, modifikasi perilaku untuk
menghilangkan nyeri.
Rencana tindakan :
1. Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lama serangan, faktor
pencetus atau memperberat. Minta klien untuk mendapatkan skala
nyeri 1-10.
Rasional : Membantu menentukan intervensi dan memberikan dasar
untuk perbandingan dan evaluasi terhadap terapi.
21
2. Pertahankan tirah baring selama fase akut. Letakkan klien dalam
posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam
keadaan fleksi; posisi telentang dengan atau tanpa meninggikan
kepala 10° - 30° atau pada posisi lateral.
Rasional : Tirah baring dalam posisi yang nyaman memungkinkan
klien untuk menurunkan penekanan pada bagian tubuh tertentu dan
intervertebralis.
3. Batasi aktivitas selama fase akut sesuai kebutuhan
Rasional : Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang dapat
menghilangkan spasme otot dan menurunkan edema dan tekanan
pada struktur sekitar discus intervertebralis yang terkena.
4. Letakkan semua kebutuhan, termasuk bel panggil dalam batas yang
mudah dijangkau atau diraih klien.
Rasional : Menurunkan resiko peregangan saat meraih
5. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi.
Rasional : Memfokuskan perhatian klien dan membantu menurunkan
tegangan otot dan meningkatkan proses penyembuhan.
6. Instruksikan atau anjurkan klien untuk melakukan mekanisme tubuh
atau gerakan yang tepat.
Rasional : Menghilangkan stress pada otot dan mencegah trauma
lebih lanjut.
7. Berikan kesempatan untuk berbicara atau mendengarkan masalah
klien
Rasional : Berbicara dapat menurunkan strees atau rasa takut selama
dalam keadaan sakit dan dirawat.
8. Berikan tempat tidur ortopedik atau letakan papan dibawah kasur
atau matras.
22
Rasional : Memberikan sokongan dan menurunkan fleksi spinal yang
menurunkan spasme.
9. Berikan obat sesuai kebutuhan: relakskan otot seperti: Diazepam
(Valium)
Rasional : Merelaksasikan otot dan menurunkan nyeri.
b. Diagnosa Keperawatan II
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
musculoskeletal,
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik tidak terjadi
Kriteria hasil :
- Klien mengungkapkan pemahaman tentang situasi atau faktor resiko
dan aturan pengobatan individu.
- Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang mungkin
- Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian
tubuh yang sakit atau kompensasi.
Rencana tindakan :
1. Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi yang
spesifik.
Rasional : Tergantung pada bagian tubuh yang terkena atau jenis
prosedur, aktivitas yang kurang berhati-hati akan meningkatkan
kerusakan spinal.
2. Catat respon-respon emosi atau perilaku pada immobilisasi, berikan
aktivitas yang disesuaikan dengan klien.
Rasional : Immobilisasi yang dipaksakan dapat memperbesar
kegelisahan, peka rangsangan. Aktivitas pengalihan dapat
membantu dalam memfokuskan perhatian dan meningkatkan
koping dengan batasan tersebut.
23
3. Bantu klien untuk melaksanakan latihan rentang gerak aktif dan
pasif
Rasional : Memperkuat otot abdomen dan fleksor tulang belakang,
memperbaiki mekanika tubuh.
4. Anjurkan klien untuk melatih kaki bagian bawah dan lutut
Rasional : Stimulasi sir vena atau arus balik vena menurunkan
keadaan vena yang statis dan kemungkinan terbentuknya trombus.
5. Bantu klien dalam melakukan ambulasi progresif
Rasional : Keterbatasan aktivitas tergantung pada kondisi yang
khusus, tapi biasanya berkembang dengan lambat sesuai toleransi.
c. Diagnose Keperawatan III
Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis
situasi; perubahan status kesehatan;
Tujuan : Adaptasi klien efektif
Kriteria hasil :
- Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang pada tingkat dapat
diatasi.
- Mengidentifikasi ketidakefektifan perilaku koping
- Mendemonstrasikan pemecahan masalah
Rencana tindakan :
1. Kaji tingkat anxietas pasien.
Rasional : Membantu mengidentifikasi dalam keadaan sekarang.
2. Berikan informasi yang akurat dan jawab dengan jujur
Rasional : Memungkinkan pasien untuk membuat keputusan yang
didasarkan atas pengetahuan.
3. Berikan pasien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapinya
Rasional : Meningkatkan koping yang sedang dihadapi.
24
4. Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan
untuk sembuh.
Rasional : Memberikan perhatian terhadap klien, tanggung jawab
untuk meningkatkan penyembuhan.
5. Cara perilaku dari orang terdekat atau keluarga yang meningkatkan
peran sakit.
Rasional : Orang terdekat keluarga secara tanpa sadar
memungkinkan untuk mempertahankan sesuatu yang dapat klien
lakukan.
6. Rujuk pada kelompok pelayanan sosial, konselor finansial,
psikoterapi dan sebagainya.
Rasional : Memberikan dukungan untuk beradaptasi pada
perubahan dan memberikan sumber – sumber untuk mengatasi
masalah.
d. Diagnose Keperawatan IV
Immobilisasi berhubungan dengan kerusakan neuromuskular
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik dapat teratasi.
Kriteria hasil :
- Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi
- Mempertahankan posisi fungsional
- Meningkatkan kekuatan fungsi yang sakit dan mengkompensasi
bagian tubuh.
- Menunjukan teknik aktivitas
Rencana tindakan :
1. Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cedera dan perhatikan
persepsi pasien terhadap imobilisasi.
25
Rasional : Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan dari persepsi diri
tentang keterbatasan fungsi actual, memerlukan informasi untuk
meningkatkan kemajuan kesehatan.
2. Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik/ rekreasi
Rasional : Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi,
memfokuskan kembali perhatian dan membantu menurunkan isolasi
sosial.
3. Intruksikan pasien untuk dibantu dalam rentang gerak aktif dan pasif
pada ekstremitas yang sakit dan yang tidak sakit.
Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk
meningkatkan tonus otot.
4. Dorong penggunaan latihan isometik tanpa menekuk sendi atau
menggerakan tungkai, dan mempertahankan masa otot.
Rasional : Kontraksi otot isometik tanpa menekuk sendi membantu
kekuatan otot.
5. Konsul dengan ahli terapi fisik/ okupais, rehabilitasi special
Rasional : Berguna dalam membuat akktifitas individual latihan.
e. Diagnose Keperawatan V
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kehilangan sensori
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan
integritas kulit dapat teratasi.
Kriteria hasil :
- Menunjukan perilaku untuk mencegah kerusakan kulit memudahkan
penyembuhan sesuai indikasi.
- Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/ penyembuhan lesi terjadi
Rencana tindakan :
26
1. Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan,
perubahan warna.
Rasional : Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah
yang mungkin disebabkan oleh alat traksi/ gibs.
2. Masase kulit dan penonjolan tulang, pertahankan tempat tidur kering
dan bebas kerutan.
3. Ubah posisi dengan sering
4. Gunakan tempat tidur busa, bulu domba, bantal apung atau kasur
udara sesuai indikasi.
f. Diagnose Keperawatan VI
Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra
Tujuan : Setelah dilakukan tindak keperawatan retensi urinarius teratasi.
Kriteria hasil : Mengosongkan kandung kemih secara adekuat sesuai
kebutuhan individu.
Rencana tindakan :
1. Observasi dan catat jumlah frekuensi berkemih
Rasional : Menentukan apakah kandung kemih dikosongkan dan
saat kapan intervensi itu diperlukan.
2. Lakukan palpasi terhadap adanya distensi kandung kemih
Rasional : Menandakan adanya retensi urine.
3. Tingkat pemberian cairan
Rasional : Mempertahankan fungsi ginjal.
4. Berikan stimulasi terhadap pengosongan urine dengan mengalirkan
air hangat diarea suprapubis.
27
4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. (Drs. Nasrul Effendi,
2000). Ada tiga fase dalam tindakan keperawatan, yaitu :
1. Fase Persiapan
Meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana, pengetahuan dan
keterampilan menginterpretasikan rencana, persiapan klien dan
lingkungan.
2. Fase Intervensi
Merupakan puncak dari implementasi yang berorientasi pada tujuan dan
fokus pada pengumpulan data yang berhubungan dengan reaksi klien
termasuk reaksi fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Tindakan
keperawatan dibedakan berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab
secara professional, yaitu :
a. Secara Mandiri (Independen)
Adalah tindakan yang diprakarsai sendiri oleh perawat untuk membantu
pasien dalam mengatasi masalahnya atau menanggapi reaksi karena
adanya stressor (penyakit), misalnya :
1) Membantu klien dalam melakukan kegiatan sehari – hari
2) Melakukan perawatan kulit untuk mencegah decubitus.
3) Memberikan dorongan pada klien untuk mengungkapkan
perasaannya secara wajar.
4) Menciptakan lingkungan terapeutik
b. Saling ketergantungan/ kolaborasi (Interdependen)
Adalah tindakan keperawatan atas dasar kerja sama sesama tim
perawatan atau kesehatan lainnya seperti dokter, fisiotherapy, analisis
kesehatan, dsb.
28
c. Rujukan/ Ketergantungan
Adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari profesi lain
diantaranya dokter, psikologis, psikiater, ahli gizi, fisiotherapi, dsb.
Pada penatalaksanaanya tindakan keperawatan dilakukan secara:
1) Langsung : Ditangani sendiri oleh perawat
2) Delegasi : Diserahkan kepada orang lain/ perawat lain yang dapat
dipercaya
3. Fase Dokumentasi
Merupakan terminasi antara perawat dan klien. Setelah implementasi
dilakukan dokumentasi terhadap implementasi yang dilakukan. Ada tiga
sistem pencatatan yang digunakan :
a. Sources Oriented Record.
b. Problem Oriented Record.
c. Computer Assisted Record
5. Evaluasi Keperawatan
Adalah mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan
keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien. Teknik
penilaian yang didapat dari beberapa cara, yaitu :
1. Wawancara : Dilakukan pada klien dan keluarga.
2. Pengamatan : Pengamatan klien terhadap sikap, pelaksanaan, hasil yang
dicapai dan perubahan tingkah laku klien.
Jenis evaluasi ada dua macam, yaitu :
a. Evaluasi Formatif
Evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon
segera.
b. Evaluasi Sumatif
29
Merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status pasien pada
saat tertentu berdasarkan tujuan rekapitulasi dari hasil yang direncanakan
pada tahap perencanaan. Ada tiga alternatif yang dapat dipergunakan oleh
perawat dalam memutuskan/ menilai :
1) Tujuan tercapai : Jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian : Jika klien menunjukkan perubahan sebagian
dari standar dan kriteria yang telah ditetapkan.
3) Tujuan tidak tercapai : Jika klien tidak menunjukkan perubahan dan
kemajuan sama sekali dan akan timbul masalah baru.
30
SINDROME KOMPARTEMEN
A. Definisi
Syndrome kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni
kompartemen osteofasial yang tertutup. Sehingga mengakibatkan berkurangnya
perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan.
Kompartemen osteofasial merupakan ruangan yang berisi otot, saraf dan
pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual
yang dibungkus oleh epimisium.
Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak
Berdasarkan letaknya komparteman terdiri dari beberapa macam, antara lain:
1. Anggota gerak atas
Lengan atas : Terdapat kompartemen anterior dan posterior
Lengan bawah : Terdapat tiga kompartemen,yaitu: flexor superficial,
fleksor profundus, dan ekstensor
2. Anggota gerak bawah
a. Tungkai atas: Terdapat tiga kompartemen, yaitu: anterior, medial, dan
posterior
b. Tungkai bawah
Terdapat empat kompartemen, yaitu: kompartemen anterior, lateral,
posterior superfisial, posterior profundus
Syndrome kompartemen yang paling sering terjadi adalah pada daerah
tungkai bawah (yaitu kompartemen anterior, lateral, posterior
superficial, dan posterior profundus) serta lengan atas (kompartemen
volar dan dorsal)
31
B. ETIOLOGI
Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang
kemudian memicu timbullny sindrom kompartemen, yaitu antara lain:
1. Penurunan volume kompartemen
Kondisi ini disebabkan oleh
Penutupan defek fascia
Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
2. Peningkatan tekanan eksternal
Balutan yang terlalu ketat
Berbaring di atas lengan
Gips
3. Peningkatan tekanan pada struktur komparteman
Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain
Pendarahan atau Trauma vaskler
Peningkatan permeabilitas kapiler
Penggunaan otot yang berlebihan
Luka bakar
Operasi
Gigitan ular
Obstruksi vena
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera,
dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota
gerak bawah.
32
C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal
normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah
kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia.
Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan menyebabkan
obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan secara terus
menerus menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada
titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler sehingga menyebabkan
kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya tekanan
dalam kompartemen.
Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat.
Metsen mempelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intrakompartemen,
tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti.
Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi
hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan
nervus, yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut.
Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada kompartemen
sindrom yaitu, antara lain:
a. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
b. “Theori of critical closing pressure.”
Hal ini disebabkam oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan tekanan
mural arteriol yang tinggi. Tekanan trans mural secara signifikan berbeda
( tekanan arteriol-tekanan jaringan), ini dibutuhkan untuk memelihara patensi
aliran darah. Bila tekanan tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol
menurun maka tidak ada lagi perbedaan tekanan. Kondisi seperti ini dinamakan
dengan tercapainya critical closing pressure. Akibat selanjutnya adalah arteriol
akan menutup
33
c. Tipisnya dinding vena
Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan melebihi
tekanan vena maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila kemudian darah mengalir
secara kontinyu dari kapiler maka, tekanan vena akan meningkat lagi melebihi
tekanan jaringan sehingga drainase vena terbentuk kembali
McQueen dan Court-Brown berpendapat bahwa perbedaan tekanan diastolik dan
tekanan kompartemen yang kurang dari 30 mmHg mempunyai korelasi klinis
dengan sindrom kompartemen.
Patogenesis dari sindroma kompartemen) kronik telah digambarkan oleh
Reneman. Otot dapat membesar sekitar 20% selama latihan dan akan menambah
peningkatan sementara dalam tekanan intra kompartemen. Kontraksi otot berulang
dapat meningkatkan tekanan intamuskular pada batas dimana dapat terjadi
iskemia berulang.
Sindroma kompartemen kronik terjadi ketika tekanan antara kontraksi yang terus
– menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran darah. Sebagaimana terjadinya
kenaikan tekanan, aliran arteri selama relaksasi otot semakin menurun, dan pasien
akan mengalami kram otot. Kompartemen anterior dan lateral dari tungkai bagian
bawah biasanya yang kena
D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal dengan 5 P yaitu:
1. Pain (nyeri) : nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot
yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang
paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan
klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih
34
banyak dari biasanya) Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala
yang spesifik dan sering.
2. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah
tersebut.
3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi )
4. Parestesia (rasa kesemutan)
5. Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf
yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen
sindrom.
Sedangkan pada kompartemen syndrome akan timbul beberapa gejala khas,
antara lain:
1. Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olehraga. Biasanya setelah
berlari atau beraktivitas selama 20 menit.
2. Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30
menit.
3. Terjadi kelemahan atau atrofi otot.
E. PENEGAKAN DIAGNOSA
Selain melalui gejala dan tanda yang ditimbulkannya, penegakan diagnosa
kompartemen syndrome dilakukan dengan pengukuran tekanan kompartemen.
Pengukuran intra kompartemen ini diperlukan pada pasien-pasien yang tidak
sadar, pasien yang tidak kooperatif, seperti anak-anak, pasien yang sulit
berkomunikasi dan pasien-pasien dengan multiple trauma seperti trauma kepala,
medulla spinalis atau trauma saraf perifer.
Tekanan kompartemen normalnya adalah 0. Perfusi yang tidak adekuat dan
iskemia relative ketika tekanan meningkat antara 10-30 mmHg dari tekanan
35
diastolic. Tidak ada perfusi yang efektif ketika tekanannya sama dengan tekanan
diastoli.
F. PENANGANAN
Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit
fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui
bedah dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik,
namun beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah
setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk
melakukan fasciotomi
Penanganan kompartemen secara umum meliputi:
1. Terapi Medikal/non bedah
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk
dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:
a) Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan
ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena
dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemi
b) Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan
pembalut kontriksi dilepas.
c) Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat
menghambat perkembangan sindroma kompartemen
d) Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah
e) Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan
manitol dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol
mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali energi
seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui
kemampuan dari radikal bebas
36
2. Terapi Bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30
mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan
memperbaiki perfusi otot.
Jika tekanannya < 30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan
cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai
membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi
jika memburuk maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk
perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi
ganda.Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih
aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih
luas dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal.
G. KOMPLIKASI
Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera, akan
menimbulkan berbagai komplikasi antara lain:
1. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen
2. Kontraktur volkman, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh
terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul
deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya
trauma pada lengan bawah
3. Trauma vascular
4. Gagal ginjal akut
5. Sepsis
37
6. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut bd agen injuri fisik/kimiawi
2. Ketidakepektifan perfusi jaringan perifer bd gangguan aliran darah arteri
38
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Mansjoer, A., 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta.
Prince Wilson, 2000, Patologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, EGC, Jakarta.
Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
Irga, 2008, Sindroma Kompartemen, dilihat 12 November 2008,
http://www.passangereng.blogspot.com
NANDA, Nursing Diagnoses: Definitions & Classification 2001-2002 ,
Philadelphia
This entry was posted on March 5, 2009 at 5:35 am and is filed under Critical &
Emergency Nursing . You can follow any responses to this entry through the RSS
2.0 feed You can leave a response, or trackback from your own site.
39