8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
1/83
APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DENGAN CITRA
SATELIT QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN MANGROVE
DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA,
JAWA TENGAH
Oleh :
Suseno Wangsit Wijaya
C06400040
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
2/83
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :
APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DENGAN CITRA
SATELIT QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN MANGROVE
DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA,
JAWA TENGAH
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam DaftarPustaka dibagian akhir Skripsi ini.
Bogor, November 2005
SUSENO WANGSIT WIJAYA
C06400040
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
3/83
RINGKASAN
SUSENO WANGSIT WIJAYA. Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
Satelit QuickBird Untuk Pemetaan Mangrove di Pulau Karimunjawa,
Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Dibimbing oleh VINCENTIUS PAULUSSIREGAR dan MUJIZAT KAWAROE.
Penelitian ini bertujuan untuk identifikasi mangrove dengan satelit QuickBird
di Taman Nasional Karimunjawa. Selain itu juga dilakukan pemetaan ekosistem
mangrove dan kajian Indeks Nilai Penting (INP) dari ekosistem mangrove
tersebut.
Survei lapang dilaksanakan pada 3-12 Juli 2004 di Taman Nasional
Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah. Parametar yang diukur meliputi nama spesies
dan diameter batang. Pengolahan citra dilakukan di Laboratorium Geomatic and
Natural Recources, SEAMEO-BIOTROP, Bogor.
Citra Satelit QuickBird yang akan digunakan telah mengalami berbagai tahap
pengolahan awal, yaitu : koreksi geometrik, koreksi radiometrik dan penajaman
citra menggunakan komposit 423. Setelah itu dilakukan pembuatan training area
dan supervised classification dengan metode maximum likelihood . Ketelitian
klasifikasi dapat diketahui dengan confusion matrix.
Satelit ini mampu membedakan dua genus mangrove yaitu Avicennia dan
Rhizophora. Genus lain yang terdapat di Karimunjawa tidak dapat dipisahkan
karena luasannya kecil sehingga tidak dapat dibuat daerah latihnya. Untuk
kerapatan mangrove ditentukan dengan indeks vegetasi.
Citra hasil klasifikasi dari komposit 423 tersebut memiliki overall accuracy
sebesar 84,33% dengan koefisien kappa 0,812. Hal ini berarti jumlah total piksel
yang terkelaskan dengan benar adalah 84,33% dan proses klasifikasi yang
dilakukan memiliki ketepatan 81,20% yang dihasilkan dari klasifikasi acak.Indeks vegetasi yang digunakan adalah yang memiliki koefisien determinasi
dan koefisien korelasi tertinggi. Dari indeks vegetasi yang dicobakan, koefisien
determinasi terbesar untuk Rhizophora adalah RVI dengan (R2) = 54,02% dan
korelasi (r) = 0,73. Untuk Avicennia koefisien determinasi terbesar (R2) = 54,02%
dan korelasi (r) = 0,73 dengan TNDVI.
Setelah itu dilakukan proses overlay antara citra penutupan lahan dengan citra
kerapatan dari indeks vegetasi. Hasil ini memberikan informasi mengenai genus
mangrove dan tingkat kerapatannya. Pada hasil overlay kelas Rhizophora dengan
kerapatan sedang memiliki luasan terbesar, dan kelas Avicennia dengan kerapatan
sangat rapat memiliki luasan terkecil.
Kecilnya koefisien determinasi dan koefisien korelasi antara Indeks Nilai
Penting (INP) dan nilai spektral satelit menandakan satelit belum mampumendeteksi hubungan antara nilai spektral dengan INP mangrove. Kesulitan ini
disebabkan INP merupakan indeks ekologi, yang menyatakan peranan jenis
mangrove dalam komunitasnya.
Dari survei lapang hutan mangrove di P. Karimunjawa ditemukan delapan
spesies mangrove, yaitu : Acanthus ilicifolius, Aegiceras corniculatum, Avicennia
alba, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata,
Rhizophora stylosa, dan Sonneratia alba.
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
4/83
APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DENGAN CITRA
SATELIT QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN MANGROVE
DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA,
JAWA TENGAH
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Suseno Wangsit Wijaya
C06400040
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
5/83
Judul : APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DENGAN CITRA
SATELIT QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN
MANGROVE DI PULAU KARIMUNJAWA,
KABUPATEN JEPARA, JAWA TENGAH
Nama : Suseno Wangsit WijayaNRP : C06400040
Disetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si.
NIP. 131 471 372 NIP. 132 090 871
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi
NIP. 130 805 031
Tanggal lulus : 9 September 2005
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
6/83
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Topik yang diajukan adalah
Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra Satelit QuickBird Untuk Pemetaan
Mangrove di Pulau Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir.
Vincentius P. Siregar, DEA dan Ir. Mukjizat Kawaroe, M.Si. selaku komisi
pembimbing, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi
ini.
Penulis menyadari akan adanya kekurangan-kekurangan pada skripsi penelitian
ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya.
Bogor, November 2005
Suseno Wangsit Wijaya
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
7/83
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xi
1. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang................................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian .............................................................................. 2
2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 32.1. Definisi dan Ruang Lingkup Mangrove ........................................... 3
2.2. Penyebaran dan Luas Hutan Mangrove............................................. 3
2.3. Fungsi Ekosistem Hutan Mangrove ................................................. 5
2.4. Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Mangrove ................................. 6
2.5. Penggunaan Indeks Vegetasi Untuk Kerapatan Mangrove .............. 8
2.6. Karakteristik Satelit QuickBird ........................................................ 12
2.7. Keadaan Umum Wilayah Penelitian ................................................ 14
3. BAHAN DAN METODE ....................................................................... 17
3.1. Waktu dan Lokasi ............................................................................. 17
3.2. Alat dan Bahan ................................................................................. 17
3.3. Metode Penelitian ............................................................................. 173.3.1. Survei lapang ........................................................................... 18
3.3.1.1. Penentuan lokasi .......................................................... 18
3.3.1.2. Ukuran, jumlah dan bentuk petak contoh ................... 19
3.3.1.3. Parameter yang diukur ................................................ 20
3.3.2. Pengolahan data lapang............................................................ 20
3.3.3. Pemrosesan data citra .............................................................. 22
3.3.3.1. Pemulihan citra .......................................................... 22
3.3.3.2. Penajaman citra .......................................................... 24
3.3.3.3. Klasifikasi citra .......................................................... 24
3.3.3.4. Ketelitian klasifikasi .................................................. 26
3.3.3.5. Algoritma yang digunakan ......................................... 27
3.3.3.6. Gabungan citra hasil klasifikasi dengan indeksvegetasi ....................................................................... 28
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 30
4.1. Koreksi Radiometrik dan Geometrik ................................................ 30
4.2. Klasifikasi Citra Komposit ............................................................... 32
4.3. Ketelitian Klasifikasi ........................................................................ 37
4.4. Analisis Indeks Vegetasi .................................................................. 38
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
8/83
4.5. Overlay Klasifikasi Citra Komposit dan Indeks Vegetasi ................ 40
4.6. Hubungan INP dan Indeks Vegetasi ................................................. 43
4.6. Kondisi Ekosistem Mangrove .......................................................... 44
5. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 47
5.1. Kesimpulan ....................................................................................... 475.2. Saran ................................................................................................. 48
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 49
LAMPIRAN ................................................................................................ 51
RIWAYAT HIDUP .................................................................................... 71
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
9/83
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Karakteristik Satelit QuickBird ................................................................ 13
2. Bentuk Matriks Kesalahan (Confusion Matrix) ....................................... 26
3. Nilai Digital Citra Sebelum dan Sesudah Koreksi Radiometrik .............. 31
4. Luasan Penutupan Lahan Citra QuickBird Hasil Klasifikasi ................... 36
5. Hubungan Antara Indeks Vegetasi dengan Kerapatan Rhizophora dan
Avicennia .................................................................................................. 39
6. Luasan Genus dan Kerapatan Mangrove ................................................. 41
7. Hubungan Antara Indeks Vegetasi dengan INP Rhizophora dan
Avicennia .................................................................................................. 43
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
10/83
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Sifat Pantulan Komponen Vegetasi ......................................................... 6
2. Satelit QuickBird ..................................................................................... 12
3. Peta Lokasi Penelitian .............................................................................. 18
4. Bentuk Petak Contoh ............................................................................... 19
5. Diagram Alir Pengolahan Citra ............................................................... 29
6. Perbandingan Histogram Band 1 Sebelum dan Sesudah Koreksi
Radiometrik ............................................................................................. 30
7. Citra Hasil Koreksi Geometrik dan Radiomertik .................................... 31
8. Penajaman Citra dengan RGB 423........................................................... 32
9. Histogram Citra Komposit 423 ............................................................... 33
10. Grafik Reflektansi Tiap Band Dari Beberapa Kenampakan
Panjang Gelombang (ë) .........................................................................35
11. Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan Citra QuickBird Komposit 423 ........ 36
12. Grafik Regresi Linear Antara Kerapatan Rhizophora dan RVI ............. 39
13. Histogram Citra Dengan Indeks Vegetasinya ........................................ 40
14. Peta Distribusi dan Kerapatan Mangrove di P. Karimunjawa................ 42
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
11/83
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Data Hasil Survei Lapang .......................................................................... 51
2. Perhitungan Statistik Nilai Rentang, Nilai Rata-Rata dan Standar
Deviasi Nilai Digital................................................................................... 54
3. Grafik Rata-Rata dan Standar Deviasi Digital Number Tiap Band .......... 55
4. Contoh Perhitungan Uji Nilai Tengah (Uji T) .......................................... 56
5. Nilai Thitung Citra Komposit 423 ................................................................ 57
6. Confusion Matrix Klasifikasi Citra Komposit 423 ................................... 58
7. Nilai Kerapatan Vegetasi Mangrove dan Nilai Indeks Vegetasinya ......... 59
8. Nilai INP Mangrove dan Nilai Indeks Vegetasinya .................................. 60
9. INP Mangrove Tingkat Pohon, Anakan, dan Semai Tiap Stasiun ............ 60
10. Resample Karakteristik Spektral ............................................................. 64
11. Foto Mangrove di Sekitar Lokasi Penelitian ........................................... 70
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
12/83
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau
dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, yaitu
diperkirakan sepanjang 81.000 km (Dahuri, et al., 1996). Pada garis pantai
sepanjang itu terkandung potensi sumberdaya alam wilayah pesisir yang
jumlahnya cukup besar. Salah satu sumberdaya pesisir di Indonesia adalah
ekosistem hutan mangrove.
Hutan mangrove memiliki berbagai fungsi ekologi, ekonomi dan sosial.
Secara ekologis hutan mangrove berfungsi sebagai feeding ground , spawning
grounds, dan nursery ground . Secara ekonomi hutan mangrove dapat
dimanfaatkan kayunya untuk bahan bangunan dan arang, dikembangkan untuk
lahan pertambakan dan pertanian, serta daerah ekowisata (eco-tourism).
Luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta ha
atau 3,98% dari seluruh hutan Indonesia (Nontji, 1987). Pada tahun 1993
Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan (INTAG) memperkirakan
bahwa luas hutan mangrove di Indonesia tinggal 3,73 juta ha.
Taman Nasional Laut Karimunjawa merupakan kawasan konservasi yang
memiliki ekosistem mangrove. Meskipun Karimunjawa merupakan taman
nasional tetapi tetap terjadi kerusakan dan degdradasi hutan mangrove.
Kerusakan hutan mangrove ini diakibatkan oleh pembukaan lahan tambak dan
pemanfaatan kayu hutan mangrove oleh masyarakat setempat.
Untuk mencegah dan menaggulangi kerusakan hutan mangrove diperlukan
inventarisasi tentang distribusi, luas dan kerapatan magrove. Inventarisasi ini
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
13/83
2
berguna untuk pengelolaan dan penetapan kebijakan pada ekosistem mangrove
dan daerah pesisir.
Dalam melakukan pemantauan dan inventarisasi mangrove tidaklah mudah.
Kesulitan pemetaan di lapangan merupakan kendala kelangkaan data mangrove.
Sebagai alternatifnya dikembangkan teknik penginderaan jauh. Teknik ini
memiliki jangkauan yang luas dan dapat memetakan daerah-daerah yang sulit
dijangkau dengan perjalanan darat.
Salah satu data penginderaan jauh yang dapat dimanfaatkan untuk memantau
hutan mangrove adalah citra Satelit QuickBird. Citra ini memiliki lebar sapuan
16,5 x 16,5 km2 dengan resolusi spasial 2,44 m untuk sensor multispectral.
Pengamatan hutan mangrove dengan citra satelit meliputi distribusi, luasan, dan
kerapatan.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Identifikasi mangrove dengan satelit QuickBird
2. Mengkaji peranan spesies mangrove dalam komunitas mangrove
3. Pemetaaan ekosistem mangrove dengan menggunakan citra satelit QuickBird
di Taman Nasional Karimunjawa
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
14/83
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi dan Ruang Lingkup Mangrove
Kata mangrove merupakan kombinasi antara Bahasa Portugis mangue dan
Bahasa Inggris grove. Dalam Bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk
menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan dalam Bahasa Inggris kata
mangrove menggambarkan komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah
jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang
menyusun komunitas tersebut (Macnae, 1974).
Menurut Nybakken (1982) hutan bakau atau mangal adalah sebutan umum
yang digunakan untuk menggambarkan semua varietas komunitas pantai tropik
yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak
yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Sebutan bakau
ditujukan untuk semua individu tumbuhan sedangkan mangal ditujukan bagi
seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan ini.
Ciri khas yang dimiliki oleh spesies mangrove yaitu karakteristik morfologis
yang terlihat pada sistem perakaran dan buahnya. Beberapa spesies mangrove
memiliki sistem perakaran khusus yang disebut akar udara, cocok untuk kondisi
tanah yang anaerobik dan spesies mangrove memproduksi buah yang biasanya
disebarkan melalui air ( Japan International Coorporation Agency /JICA, 1998).
2.2. Penyebaran dan Luas Hutan Mangrove
Menurut Nybakken (1988), komunitas hutan mangrove tersebar di seluruh
hutan tropis dan subtropis, mulai dari 250 Lintang Utara sampai 25
0 Lintang
Selatan. Mangrove mampu tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
15/83
4
gerakan gelombang, bila pantai dalam keadaan sebaliknya, benih tidak mampu
tumbuh dengan sempurna dan menjatuhkan akarnya.
Tumbuhan ini dapat tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai
berlumpur dan lingkungan yang anaerob. Mangrove juga dapat tumbuh pada
substrat pasir, batu atau karang yang terlindung dari gelombang, karena itu
mangrove banyak ditemukan pada pantai-pantai teluk, estuari, lagun dan pantai
terbuka yang berhadapan dengan terumbu karang yang memecah gelombang
datang.
Luas hutan mangrove di seluruh wilayah Indonesia diperkirakan kurang lebih
3,7 juta ha (Direktorat Bina Program, 1982 in Kusmana, 1995). Berdasarkan studi
yang dilakukan oleh FAO/UNDP (1982) in JICA (1998), total areal mangrove di
Indonesia adalah 4,25 juta ha. Menurut Nontji (1987) luas hutan mangrove di
seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta ha atau 3,98% dari seluruh luas
hutan Indonesia.
Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang
termasuk tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis; 35 jenis berupa pohon,
dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), epifit (29 jenis) dan parasit
(2 jenis) (Nontji, 1987). Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu
jenis tumbuhan sejati penting atau dominan yang termasuk dalam empat famili
Rhizophoraceae, Sonneratiaceae, Avicenniaceae, dan Meliaceae.
Areal hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di Pesisir Timur
Sumatera, Pesisir Kalimantan dan Pesisir Selatan Irian Jaya. Hutan mangrove di
Jawa banyak yang telah mengalami kerusakan atau telah hilang sama sekali
karena aktivitas manusia.
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
16/83
5
Menurut Kusmana (1995) terjadinya proses pengurangan lahan mangrove di
beberapa propinsi disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini :
1. Konversi hutan mangrove menjadi bentuk lahan penggunaan lain seperti
pemukiman, pertanian, industri, pertambangan dan lain-lain
2. Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahaan-
perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) serta penebangan liar dan
bentuk perambahan hutan lainnya
3. Polusi di perairan estuaria, pantai dan lokasi-lokasi perairan lainnya
tempat tumbuhnya mangrove
4. Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses abrasi atau
sedimentasi yang tidak terkendali
2.3. Fungsi Ekosistem Hutan Mangrove
Menurut Soegiarto (1982) manfaat hutan mangrove yang tidak langsung
adalah :
1.
Sebagai pelindung pantai
2. Sebagai pengendali banjir
3. Sebagai pengendali bahan pencemar, dan
4. Sebagai sumber energi atau bahan organik bagi lingkungan sekitarnya
Manfaat hutan mangrove secara langsung adalah berupa kayu, bahan baku
chips, pulp dan tanin. Mangrove juga memiliki peranan sebagai daerah asuhan
(nursery grounds), daerah mencari makan ( feeding grounds) dan daerah
pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan ,udang dan biota laut lainnya.
Disamping itu mangrove juga dapat dijadikan tempat pariwisata.
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
17/83
6
2.4. Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Mangrove
Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang
diperoleh dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek,
daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer, 1990).
Menurut Lo (1996), aplikasi baru dari penginderaan jauh multispektral telah
menitikberatkan pada estimasi jumlah dan distribusi vegetasi. Estimasi
didasarkan pada pantulan dari kanopi vegetasi. Intensitas pantulan tergantung
pada panjang gelombang yang digunakan dan tiga komponen vegetasi, yaitu daun,
substrat dan bayangan.
Daun memantulkan lemah pada panjang gelombang biru dan merah, namun
memantulkan kuat pada panjang gelombang inframerah dekat (Gambar 1). Daun
memiliki karakteristik warna hijau, dimana klorofil mengabsorbsi spektrum
radiasi merah dan biru serta memantulkan spektrum radiasi hijau.
Sumber : Lo, 1996
Gambar 1. Sifat Pantulan Komponen Vegetasi
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
18/83
7
Menurut Susilo (2000) penginderaan jauh untuk vegetasi mangrove didasarkan
atas dua sifat penting yaitu bahwa mangrove mempunyai zat hijau daun (klorofil)
dan mangrove tumbuh di pesisir. Dua hal ini akan menjadi pertimbangan penting
di dalam mendeteksi mangrove melalui satelit. Sifat optik klorofil sangat khas
yaitu bahwa klorofil menyerap spektrum sinar merah dan memantulkan dengan
kuat spektrum inframerah.
Klorofil fitoplankton yang berada di air laut dapat dibedakan dari klorofil
mangrove karena sifat air yang sangat menyerap spektrum inframerah. Tanah,
pasir dan batuan juga memantulkan infra merah tetapi bahan-bahan ini tidak
menyerap spektrum sinar merah sehingga tanah dan mangrove secara optik juga
dapat dibedakan.
Beberapa aspek lingkungan mangrove yang dapat dipelajari dengan
menggunakan penginderaan jauh adalah spesies mangrove dan identifikasi zonasi,
perubahan tata guna lahan mangrove, keberadaan mangrove dan distribusinya,
serta lingkungan fisik mangrove (Hartono, 1994).
Chaudhury (1985) manjelaskan bahwa informasi lebih lanjut yang dapat
diperoleh dari penginderaan jauh untuk studi ekosistem mangrove adalah :
1. Identifikasi dan kuantifikasi hutan mangrove
2. Identifikasi dan kenampakan zona (tipe-tipe vegetasi) di daerah mangrove
3. Identifikasi keberadaan dan profil dataran berlumpur
4.
Monitoring proses-proses dinamis (akresi, erosi) di lingkungan mangrove
5. Monitoring sedimentasi laut lepas, ekspor bahan organik dan sistem aliran
6. Identifikasi tipe-tipe tanah
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
19/83
8
7. Monitoring karakteristik air (contoh : salinitas, turbiditas) di dearah
mangrove
8. Monitoring tata guna lahan mangrove (contoh : akuakultur, kehutanan)
9. Monitoring perubahan aktivitas penggunaan lahan di daerah mangrove
Indeks vegetasi yang dapat diperoleh dari citra satelit dan digital airbone data
untuk area mangrove menunjukkan hubungan yang dekat dengan Indeks Luas
Daun ( Leaf Area Index atau LAI) dan persentase penutupan kanopi mangrove.
LAI didefinisikan sebagai area daun pada satu sisi tunggal daun di tiap unit area
tanah.
LAI dapat digunakan untuk memprediksi pertumbuhan dan buah, dan
memantau perubahan kanopi yang diakibatkan oleh polusi dan perubahan iklim.
LAI dapat digunakan untuk mengetahui status dan produktivitas ekosistem
mangrove. Sama halnya dengan LAI, penutupan kanopi juga digunakan untuk
mengukur densitas pohon (Green et al., 2000).
Menurut Lo (1996), pantulan spektral dari kanopi vegetasi bervariasi menurut
panjang gelombang karena adanya sifat pantulan hemispheric dari individu daun.
Daun terbentuk dari tiga lapisan bahan organik serat yang berstruktur, dimana
ketiga lapisan tersebut mempunyai pigmen, kandungan air, dan ruang udara.
Ketiga sifat tersebut mempengaruhi sifat pantulan, penyerapan, dan transmisi.
2.5. Penggunaan Indeks Vegetasi Untuk Kerapatan Mangrove
Carolita (1995) mengatakan indeks vegetasi adalah suatu formulasi pengolahan
data inderaja secara digital yang dapat diarahkan secara khusus untuk mengkaji
informasi tematik dari lahan bervegetasi. Indeks vegetasi ini adalah suatu metode
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
20/83
9
pendekatan yang bersifat matematis, dengan pendekatan tersebut hasil yang
didapatkan mencerminkan keadaan vegetasi pada saat tertentu.
Indeks vegetasi adalah persentase pemantulan radiasi matahari oleh permukaan
daun yang berkorelasi dengan konsentrasi klorofil. Jadi banyaknya konsentrasi
klorofil yang terkandung dalam suatu permukaan tanaman khususnya daun akan
menunjukkan tingkat kehijauan tanaman tersebut.
Pemantauan indeks vegetasi ini didasarkan pada karakteristik pantulan objek.
Pada panjang gelombang inframerah dekat nilai pantulan dari objek (vegetasi)
tinggi, sedangkan pada selang panjang gelombang merah nilai pantulannya
rendah. Jika kedua kanal ini dikombinasikan akan dihasilkan data yang memiliki
pantulan yang respon terhadap kehijauan vegetasi (Lillesand dan Kiefer, 1990).
Fanani (1992) menyatakan bahwa dengan memahami perbedaan intensitas
radiasi tenaga elektromagnetik yang dipantulkan dan dipancarkan maka akan
dapat diidentifikasi jenis pohon atau tegakan hutan, umur, kesehatan, kerapatan
dan tekanan kelembaban dari suatu kelompok hutan.
Hasil penelitian Dirgahayu (1992) memperlihatkan adanya hubungan antara
kerapatan tegakan dengan indeks vegetasi yang diperoleh dari data inderaja satelit
(Landsat-TM dan SPOT). Penelitian tersebut diterapkan untuk menduga potensi
hutan (volume tegakan dan biomassa hutan) pada hutan primer dan sekunder di
Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Penelitian dari Japan International Coorperation Agency (JICA) bersama
Departemen Pekerjaan Umum menunjukkan korelasi yang kuat antara kerapatan
tegakan dan LAI serta produksi biomassa vegetasi di sekitar Jabotabek dengan
nilai-nilai indeks kehijauan dari data Landsat-TM (Dirgahayu, 1992).
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
21/83
10
Estimasi LAI didasarkan pada pantulan dari kanopi vegetasi (Lo, 1996). LAI
daun berhubungan negatif dengan pantulan merah, tapi berhubungan positif
dengan pantulan inframerah. Rasio pantulan merah dengan inframerah dekat
menunjukkan kenaikan LAI.
Berdasarkan keadaan tersebut maka dapat dibentuk model-model algoritma
yang dapat menghasilkan nilai untuk menduga kehijauan vegetasi. Nilai inilah
yang disebut dengan indeks vegetasi. Adapun beberapa formula indeks vegetasi
yang digunakan untuk memantau vegetasi, antara lain :
1. Indeks Mangrove (IM) = NIR / ( MIR)2
(Daniher dan Luck, 1991)
2. Difference Vegetation Index (DVI) = NIR - RED
(Richardson dan Weigand, 1997 in Hariyadi, 1999)
3. Middle Infra Red Index (MIR) = ( MIR- RED) / ( MIR+ RED)
(Roy dan Shirish, 1994 in Hariyadi, 1999)
4. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) = ( NIR- RED) /
(NIR+RED) (Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999)
5.
Ratio Vegetation Index (RVI) = NIR / RED
(Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999)
6. Transformed Ratio Vegetation Index (TRVI) = ) / ( RED NIR
(Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999)
7.
Transformed Normalized Vegetation Index (TNDVI) = )5.0( + NDVI
(Deering, 1974 in Hariyadi 1999)
Keterangan :
RED = nilai digital pada citra kanal merah (kanal 3)
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
22/83
11
NIR = nilai digital pada citra kanal inframerah dekat (kanal 4)
MIR = nilai digital pada citra kanal inframerah menengah (kanal 5)
Secara kualitatif, Food and Agriculture Organization / FAO (1982) in
Dirgahayu et al.(1992) telah mendefinisikan batasan mengenai kelas kerapatan
hutan mangrove. Kerapatan tajuk dapat dikelaskan secara umum sebagai berikut :
1. Kerapatan tertutup (closed ) dengan kerapatan > 80%
2. Kerapatan rapat (dense) dengan kerapatan antara 40% - 80%
3. Kerapatan sedang (open) dengan kerapatan antara 10% - 40%
4. Kerapatan jarang (sparse) dengan kerapatan antara 2% - 10%
Di kawasan hutan Indonesia, kelas kerapatan hutan mangrove yang digunakan
oleh FAO tidak seluruhnya dapat diterapkan. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukannya Dirgahayu et al.(1992) membagi kerapatan hutan menjadi selang-
selang sebagai berikut :
1. Kerapatan 10% -20%; strata hutan jarang
2. Kerapatan 20% - 30%; strata hutan sedang 1
3. Kerapatan 30% - 40%; strata hutan sedang 2
4.
Kerapatan 40% - 50%; strata hutan sedang 3
5. Kerapatan 50% - 60%; strata hutan rapat 1
6. Kerapatan 60% - 70%; strata hutan rapat 2
7. Kerapatan 70% - 80%; strata hutan rapat 3
8.
Kerapatan 80% - 100%; strata hutan tertutup
Identifikasi dan klasifikasi objek vegetasi menggunakan data satelit
penginderaan jauh didasarkan pada interaksi kanopi vegetasi dengan spektrum
radiasi elektromagnetik yang mengenainya (Harsanugraha et al., 1999).
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
23/83
12
Dewanti (1999) mengemukakan bahwa pada umumnya mangrove jenis
Avicennia spp. dan Sonneratia spp. mempunyai nilai NDVI relatif rendah
dibanding dengan Rhizophora spp. dan Bruguiera spp. Hal tersebut banyak
dipengaruhi oleh bentuk, ukuran, kerapatan, warna daun dan asosiasi dengan
tumbuhan bawah yang menutupi permukaan lahan.
2.6. Karakteristik Satelit QuickBird
Satelit QuickBird diluncurkan pada Bulan Oktober 2001. Satelit ini
merupakan salah satu satelit tercanggih, terbaru dan terbaik karena resolusi
spasialnya yang sangat tinggi, dan datanya sudah bisa didapatkan di pasaran
secara komersial. Satelit ini mempunyai berat 2100 pounds dan panjang 3,04 m
(Gambar 2).
Sumber : Digital Globe, 2004
Gambar 2. Satelit QuickBird
Satelit QuickBird memiliki dua macam sensor yaitu sensor panchromatic
(hitam dan putih) dengan resolusi spasial 0,6 m (2- foot ) dan sensor multispectral
(berwarna) dengan resolusi spasial 2,44 m (8- foot ). Tingginya resolusi spasial
pada citra ini memberikan keuntungan untuk berbagai aplikasi, terutama yang
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
24/83
13
membutuhkan ketelitian yang tinggi pada skala area yang kecil. Contohnya
adalah pemetaan secara detail dan perencanaan tata kota.
Satelit ini mempunyai orbit polar sunsynchronus, yaitu orbitnya akan melewati
tempat-tempat yang terletak pada lintang yang sama dan dalam waktu lokal yang
sama pula. Satelit QuickBird melewati tempat yang sama untuk satu putaran kira-
kira 1-3 hari, ini merupakan kemajuan yang sangat hebat dibandingkan berbagai
satelit yang diluncurkan tahun 1980-an dan 1990-an.
Periode orbit dari satelit ini adalah 93,4 menit dengan sudut inklinasi 980 dan
ketinggiannya 450 km di atas permukaan bumi. Minimum area yang terliput oleh
citra satelit QuickBird adalah 8 x 8 km2. Karakteristik lebih lanjut dari Satelit
QuickBird akan di berikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Satelit QuickBird
Kanal ( Band ) Panjang Gelombang (µm)
1 0,45 – 0,52 (biru)
2 0,52 – 0,60 (hijau)
3 0,63 – 0,69 (merah)
4 0,76 – 0,89 (IR dekat)
PAN 0,45 – 0,90 (PAN)
Sumber : Digital Globe, 2004
Menurut Lillesand dan Kiefer (1994), karakteristik tiap kanal (spektrum
energi) adalah sebagai berikut :
a. Kanal 1, spektrum biru
Baik untuk pemetaan perairan pantai karena penetrasinya dalam kolom air
cukup tinggi. Sangat kuat diabsorpsi oleh klorofil sehingga berguna untuk
membedakan tanah dan vegetasi.
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
25/83
14
b. Kanal 2, spektrum hijau
Digunakan untuk mengukur pantulan warna hijau dari puncuk vegetasi untuk
mengetahui seberapa sehat vegetasi tersebut dan menguji daya tegak vegetasi.
Juga untuk identifikasi kenampakan kultur.
c. Kanal 3, spektrum merah
Energi pada spektrum ini sangat kuat diserap oleh klorofil sehingga membantu
perbedaan spesies tanaman. Diserap oleh banyak vegetasi.
d. Kanal 4, spektrum inframerah dekat
Energi pada saluran ini diserap seluruhnya oleh air, sehingga berguna untuk
mengidentifikasi badan atau kolom air. Dipantulkan seluruhnya oleh vegetasi,
sehingga berguna untuk menentukan tipe vegetasi, daya tegak, dan kandungan
biomassanya. Menghasilkan kontras yang nyata antara darat dan air.
2.7. Keadaan Umum Wilayah Penelitian
Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Taman Nasional Laut ini terletak 45 mil laut
di sebelah barat laut kota Jepara. Secara geografis Karimunjawa terletak antara
5040’-5
071’ LS dan 110
04’-110
041’ BT.
Kepulauan Karimunjawa terdiri dari 27 pulau kecil dengan luas terkecil 0,5 ha
(P.Batu dan P.Merica) dan terbesar 4.302,5 ha (P.Karimunjawa). Kepulauan ini
membentang dari barat ke timur seluas 114.345 ha yang terdiri dari 107.225 ha
perairan dan 7.210 ha daratan.
Pulau Karimunjawa mempunyai topografi bergelombang dengan puncak
tertinggi mencapai 506 m di atas permukaan laut. Substrat dasar tanah di
P.Karimunjawa adalah kwarsa pasir putih, sedangkan substrat tanah di P.Kemujan
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
26/83
15
berupa pasir putih dan sedikit pecahan-pecahan karang yang termasuk substrat
campuran (substrat berpasir dan campuran gravel).
Temperatur udara di daerah ini antara 23° - 32° C, dengan musim hujan antara
Bulan November sampai dengan Maret (Musim Barat). Pada musim ini angin
cukup kencang dan terjadi gelombang yang besar. Umumnya pada musim hujan
tersebut perhubungan kepulauan Karimunjawa dengan Pulau Jawa praktis
terputus.
Taman Nasional Laut Karimunjawa merupakan kawasan konservasi laut yang
memiliki kandungan potensi keanekaragaman flora dan fauna dan ekosistem laut
yang khas. Kandungan potensi tersebut serta letaknya yang berada pada lintasan
wisata bahari antara Indonesia Bagian Barat dan Timur menjadikan wilayah ini
sebagai obyek wisata bahari yang strategis (BTNKJ, 2004).
Kawasan Taman Nasional Laut Karimunjawa dibagi ke dalam beberapa
zonasi, agar berbagai kepentingan pemanfaatannya dapat berjalan selaras dan
serasi.
Pembagian zonasi adalah sebagai berikut :
a) Zona Inti : zona ini diperuntukkan bagi upaya pelestarian sumber genetik dan
perlindungan proses ekologi, meliputi P. Geleang dan P. Burung.
b) Zona Perlindungan / Rimba : peruntukan zona rimba sama dengan zona inti
tetapi dapat dilakukan kegiatan wisata terbatas, meliputi P. Krakal Besar,
P. Krakal Kecil, P. Menyawakan, P. Cemara Besar, P. Cemara Kecil,
P. Bengkoang dan sebagian P. Karimunjawa dan P. Kemujan.
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
27/83
16
c) Zona Pemanfaatan : pada zona pemanfaatan dapat dilakukan kegiatan yang
dapat menunjang pengembangan taman nasional antara lain kepariwisataan.
Zona ini meliputi P. Menjangan Besar, P. Menjangan Kecil, P. Kumbang,
P. Kembar, P. Karang Katang, P. Karang Besi dan sebagian P. Parang,
P. Karimunjawa dan P. Kemujan.
d)
Zona Penyangga : zona ini merupakan daerah pemanfaatan sumber daya alam
secara tradisionil oleh masyarakat setempat dan merupakan tempat
bermukimnya penduduk, meliputi P. Nyamuk, sebagian P. Karimunjawa dan
P. Kemujan, P. Parang dan pulau-pulau lain di perairan sekitarnya.
Hutan mangrove di Kepulauan Karimunjawa dapat dijumpai di Pulau
Karimunjawa, Kemujan, Cemara Kecil, Cemara Besar, Krakal Kecil, Krakal
Besar dan Sintok (BTNKJ, 2002). Pulau Karimunjawa dan Kemujan memiliki
hutan mangrove yang paling baik dan paling lebar dibandingkan pulau lain.
Data hasil penelitian hutan bakau tahun 1984 menunjukkan bakau yang
dominan di P.Karimunjawa adalah bakau hitam ( Rhizophora mucronata) dan
bakau putih ( Rhizophora conjugata). Jenis lain yang umum dijumpai di
P.Karimunjawa adalah Avicenia sp dan Bruguiera sp.
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
28/83
17
3. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Lokasi
Penelitian ini meliputi beberapa pulau di Taman Nasional Karimunjawa, yaitu
P. Karimunjawa, P. Menjangan Besar dan P. Menjangan Kecil. Survei lapang
dilaksanakan pada tanggal 3-12 Juli 2004 di Taman Nasional Laut Karimunjawa,
Kabupaten / DATI II Jepara, Jawa Tengah. Analisis citra dilakukan di
Laboratorium Geomatic and Natural Resources, SEAMEO-BIOTROP, Bogor.
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang diperlukan dalam penelitian lapang maupun analisis data
adalah :
1. Kompas bidik
2. Meteran
3.
Buku identifikasi mangrove Kitamura
4.
GPS Garmin 12 XL
5. Peta rupabumi skala 1 : 25.000 dari BAKOSURTANAL
6. Print out peta komposit citra QuickBird
7. Software ER Mapper 5.5 dan Arc View 3.1
8. Citra Satelit QuickBird 3 Juli 2003
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan analisis data penginderaan jauh.
Untuk mendukung analisis yang akan dilakukan maka dilaksanakan survei lapang
(ground check ).
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
29/83
18
Gambar 3. Lokasi Penelitian
3.3.1. Survei lapang
Survei lapang perlu dilakukan sebagai salah satu input data dalam
menginterpretasi citra satelit di suatu daerah. Kegiatan survei lapangan ini
meliputi berbagai kegiatan, baik pengukuran posisi dengan GPS, maupun
pengumpulan data lapangan seperti identifikasi jenis mangrove dan pengukuran
diameter batang. Pengambilan contoh dilakukan secara acak (random sampling),
dimana tiap contoh mewakili beberapa tingkat kerapatan mangrove.
3.3.1.1. Penentuan lokasi
Titik contoh ditentukan pada setiap lokasi pemetaan dengan prinsip
penyebaran yang merata, keterwakilan dan dapat dijangkau. Tiap lokasi
ditentukan beberapa titik contoh tergantung dari luas lokasi, keseragaman
penutupan lahan, dan belum tuntasnya pengenalan penutup lahan dalam proses
interpretasi. Pada penelitian ini terdapat 6 plot yang terdiri dari 24 stasiun.
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
30/83
19
3.3.1.2. Ukuran, jumlah dan bentuk petak contoh
Ukuran, jumlah dan bentuk petak contoh tergantung pada strata pertumbuhan
(pohon, semai, anakan), kerapatan dan keragaman jenis serta heterogenitas.
Dalam penentuan ukuran petak pada prinsipnya adalah bahwa petak harus cukup
besar agar mewakili komunitas, tetapi juga harus cukup kecil agar individu yang
ada dapat dipisahkan.
Metode yang digunakan untuk memperoleh data kerapatan mangrove adalah
metode transek kuadrat (quadrate transect ). Metode ini digunakan untuk
menghitung jumlah tegakan mangrove di dalam transek berukuran 10 m x 10 m,
5 m x 5 m, dan 1 m x 1 m. Transek 1 m x 1 m dan 5 m x 5 m terletak di dalam
transek 10 m x 10 m (Gambar 4).
Sumber : English et al., 1994
Gambar 4. Bentuk Petak Contoh
Transek 10 m x 10 m digunakan untuk menghitung jumlah tegakan mangrove
pada tingkat pohon yang memiliki diameter batang > 4 cm. Transek 5 m x 5 m
digunakan untuk menghitung jumlah tegakan mangrove pada tingkat anakan
dengan diameter batang < 4 cm dan tingginya > 1 m. Transek 1 m x 1 m
5x5 m2
1x1 m2
10x10 m2
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
31/83
20
digunakan untuk menghitung jumlah tegakan mangrove pada tingkat semai yang
tingginya kurang dari 1 m.
3.3.1.3. Parameter yang diukur
Dalam analisis vegetasi ada beberapa parameter yang diamati di lapangan,
yaitu :
a.
Nama spesies
b.
Diameter batang, dengan cara mengukur kelilingnya, untuk mengetahui luas
bidang dasar untuk menduga volume pohon dan tegakan
3.3.2. Pengolahan data lapang
Data mengenai spesies, diameter batang, dan jumlah tegakan diolah lebih
lanjut untuk mendapatkan kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area penutupan,
dan indeks nilai penting.
a. Kerapatan Jenis (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area :
A
n
D i
i =
Di = kerapatan jenis i
ni = jumlah total tegakan dari jenis i
A = luas total petak pengambilan contoh (luas plot / transek)
b. Kerapatan Relatif Jenis (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan
jenis i (ni) dan jumlah total tegakan seluruh jenis (∑n ) :
100 xn
n RD
i
i
=
∑
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
32/83
21
c. Frekuensi Jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak contoh /
plot yang diamati :
∑= p p
F
i
i
Fi = frekuensi jenis i
pi = jumlah petak contoh / plot di mana ditemukan jenis i,
∑ p = jumlah total petak contoh atau plot yang diamati
d. Frekuensi Relatif Jenis (RF) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi)
dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (
∑F ) :
100 xF
F RF i
i
=
∑
e. Penutupan Jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area :
A
BAC i
∑=
4
2 DBH
BA π
= (dalam cm)
ð = 3,14
DBH (diameter pohon dari jenis i) =π
CBH
CBH = lingkaran pohon setinggi dada
A = Luas total petak pengambilan contoh (luas plot atau transek)
f. Penutupan Relatif Jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan
jenis i (Ci) dan luas total area penutupan untuk seluruh jenis (∑C ) :
100 xC
C RC ii
=
∑
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
33/83
22
Jumlah nilai kerapatan relatif jenis (RDi), frekuensi relatif jenis (RFi) dan
penutupan relatif jenis (RCi) menunjukkan Indeks Nilai Penting (INP), yang
dilambangkan dengan IVi :
IVi = RDi + RFi + RCi
Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 dan 300. Nilai penting ini
memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis
tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove.
3.3.3. Pemrosesan data citra
Citra QuickBird diproses dengan menggunakan software ER Mapper 5.5 dan
Arc View 3.1, sedangkan analisis visual dilakukan berdasarkan hasil identifikasi
objek.
Beberapa tahap yang akan dilakukan dalam pengolahan citra antara lain :
pemulihan citra, penajaman citra dan klasifikasi citra. Dari tahapan inilah
informasi mengenai kerapatan dan distribusi mangrove didapatkan (Gambar 5).
3.3.3.1. Pemulihan citra
Pemulihan citra dilakukan dengan tujuan untuk memulihkan data citra yang
mengalami distorsi ke arah gambaran yang tidak sesuai dengan keadaan aslinya.
Proses pemulihan citra ini terdiri dari koreksi geometrik dan koreksi radiometrik.
Distorsi geometrik terjadi karena adanya pergeseran piksel dari letak yang
sebenarnya. Distorsi tersebut disebabkan oleh kurang sempurnanya sistem kerja
Scan Deflection System dan ketidakstabilan sensor atau satelit, dimana untuk
mengatasinya dapat dilakukan dengan koreksi geometrik yang melalui dua tahap,
yaitu : transformasi koordinat dan resampling.
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
34/83
23
Transformasi koordinat dilakukan dengan menggunakan Ground Control Point
atau disebut juga GCP. GCP (titik kontrol tanah) adalah suatu kenampakan
geofrafis yang unik dan stabil sifat geometrik dan radiometriknya serta lokasinya
dapat diketahui dengan tepat, misalnya : persimpangan jalan, sudut dari suatu
bangunan ataupun tambak dan sebagainya.
GCP yang telah ditentukan ditempatkan pada citra dan pada peta topografi
dengan tingkat akurasi satu pixel. Penempatan GCP yang benar akan
menghasilkan matriks transformasi hubungan titik-titik pada citra dan sistem
proyeksi yang terpilih.
Pada tahap ini titik persamaan pada citra (u,v) ditransformasikan ke dalam
koordinat peta (x,y) dengan menggunakan fungsi pemetaan (f dan g), seperti yang
dijelaskan pada persamaan dibawah ini :
u = f (x,y)
v = g (u,v)
Proses penerapan alih ragam geometrik terhadap data asli disebut resampling.
Dalam melakukan resampling dapat dilakukan dengan tiga teknik, yaitu : nearest
neighbour , bilenier dan cubic convolution.
Pengaruh atmosfer (penghamburan dan penyerapan), noise pada waktu
transmisi data, perubahan cahaya, radiasi dan buramnya bagian optik pada sistem
pencitraan dapat menyebabkan distorsi radiomertik. Koreksi radiometrik
biasanya dilakukan pada kanal visible (ë = 0,4 – 0,7 µm), sedangkan kanal
inframerah (ë = > 0,7) sebagian besar bebas dari pengaruhnya.
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
35/83
24
Koreksi radiometrik dilakukan dengan metode penyesuaian histogram
(histogram adjusment ), yaitu dengan mengurangi nilai kanal terdistorsi ke arah
kiri sehingga nilai minimumnya menjadi nol.
Secara matematis, koreksi pengaruh atmosfer dengan penyesuaian histogram
dapat dilihat pada persamaan di bawah ini :
DNi,j,k(output:tekoreksi)= DNi,j,k(input:asli)– bias
3.3.3.2. Penajaman citra
Penajaman citra digunakan untuk memperjelas penampakan objek yang
terdapat pada citra sehingga dapat diperoleh citra yang informatif. Tujuan dari
penajaman citra adalah untuk mempertajam interpretabilitas visual citra, baik
untuk memperoleh keindahan gambar atau untuk analisis citra.
Penajaman ini dilakukan sebelum menampilkan citra dengan tujuan
meningkatkan informasi yang dapat diinterpretasi secara digital. Prosesnya
melibatkan penajaman kontras yang tampak pada wujud gambaran yang terekam
pada citra, sehingga dapat memperbaiki kenampakan citra dan meningkatkan
perbedaan yang ada di antara objek yang ada dalam citra.
Ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam penajaman citra khususnya
untuk kerapatan dan distribusi mangrove. Salah satu tekniknya dengan False
Colour Composit (FCC) yang merupakan penajaman dengan menggabungkan tiga
warna primer, yaitu merah (red ), hijau (green) dan biru (blue).
3.3.3.3. Klasifikasi citra
Klasifikasi bertujuan untuk mengelompokan kenampakan yang homogen.
Klasifikasi merupakan proses pengelompokan piksel-piksel ke dalam suatu kelas
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
36/83
25
atau kategori berdasarkan kesamaan nilai spektral tiap piksel. Nilai spektral
merupakan gambaran sifat dasar interaksi antara objek dengan spektrum yang
bekerja.
Ada dua proses klasifikasi, yaitu : klasifikasi terbimbing (supervised
classification) dan klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification). Pada
penelitian ini digunakan supervised classification karena didukung dengan data
lapangan.
Klasifikasi terbimbing bertujuan mengelompokkan secara otomatis kategori
semua nilai piksel dalam citra menjadi beberapa kelas didasarkan pada daerah
contoh (training area). Daerah contoh pada citra didapatkan dari peta acuan, data
sekunder dan data lapangan.
Pengkelasan piksel pada supervised classification didasarkan pada kemiripan
maksimum piksel dengan sekelompok piksel lainnya dalam citra. Pengkelasan ini
dikenal dengan metode kemiripan maksimum (maximum likelihood ).
Dengan metode maximum likelihood piksel yang belum diketahui identitasnya
dikelompokkan berdasar vektor dan matriks kovarian dari setiap pola spektral
kelas. Nilai peluang piksel yang belum teridentifikasi akan dihitung oleh
komputer dan dimasukkan ke dalam salah satu kelas yang peluangnya paling
tinggi.
Dari hasil klasifikasi dengan menggunakan supervised classification
selanjutnya dilakukan pengkelasan kembali atau pengkelasan ulang (reclass)
dengan berdasarkan pada peta dan data pendukung. Pengkelasan ulang ini
bertujuan untuk mendapatkan citra yang lebih informatif mengenai daerah
penelitian.
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
37/83
26
3.3.3.4. Ketelitian klasifikasi
Ketelitian klasifikasi dilakukan dengan perhitungan matriks kekeliruan
(confusion matrix). Matriks ini berordo (m x m) dan variabel A, B, C adalah kelas
yang didapatkan dari proses klasifikasi.
Baris dan kolom matriks menunjukkan jumlah piksel hasil pengujian pada
kelas-kelas tersebut. Jumlah seluruh piksel yang terdapat pada setiap baris dan
kolom adalah jumlah total piksel yang diuji.
Tabel 2. Bentuk Matriks Kesalahan (Confusion Matrix)
ReferenceClassification
Data A B C
Total
Baris UA (%)
A Xkk X+k Xkk /Xk+
B
C Xkk
Total Kolom Xk+ N
PA (%) Xkk /X+k
%100×=+k
kk
X
X PA %1001 ×=
∑ = N
X OA
r
k kk
%100×=+k
kk
X
X UA
Pada kasus yang ideal seluruh sel di luar diagonal utama bernilai nol, yang
mengisyaratkan tidak ada penyimpangan dalam klasifikasi. Nilai dalam sel
di bawah diagonal utama menunjukkan kekurangan jumlah piksel akibat masuk
ke dalam kelas lain (comission error ). Nilai dalam sel di atas diagonal utama
merupakan kelebihan jumlah piksel (omission error ).
Produser’s accuracy (PA) adalah peluang (dalam %) suatu piksel akan
diklasifikasikan dengan tepat, yang menunjukkan seberapa baik masing-masing
kelas di lapangan telah diklasifikasikan. User’s accuracy (UA) adalah nilai
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
38/83
27
persentase peluang rata-rata piksel dari citra yang telah terklasifikasi secara aktual
mewakili kelas di lapangan. Overall accuracy (OA) adalah nilai persentase dari
piksel yang terkelaskan dengan sempurna.
Selain itu dilakukan juga perhitungan koefisien kappa. Dalam koefisien kappa,
off-diagonal tergabung sebagai total marginal kolam dan baris. Koefisien kappa
akan mempunyai nilai lebih kecil dari overall accuracy. Koefisien kappa bernilai
antara 0 – 1 (Edward, 2000).
)(
)(
1
2
11
∑
∑∑
= ++
= ++=
×−
×−=
r
k k k
r
k k k
r
k kk
X X N
X X X N Kappa
Keterangan : r = jumlah baris dalam matriks
Xkk = jumlah pengamatan pada baris i dan kolom i
Xk + dan X+k = total marginal dari baris i dan kolom i
N = jumlah total dari pengamatan
3.3.3.5. Algoritma yang digunakan
Untuk penentuan tingkat kerapatan kanopi mangrove dilakukan analisis indeks
vegetasi. Analisis ini dilakukan dengan cara mengurangkan, menambah, dan
membandingkan nilai digital setiap saluran yang spektralnya berbeda.
Beberapa algoritma yang digunakan untuk mengetahui kerapatan mangrove,
antara lain :
a)
Difference Vegetation Index (DVI) = NIR - RED
(Richardson dan Weigand, 1997 in Hariyadi, 1999)
b) Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) = ( NIR- RED) /
( NIR+ RED) (Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999)
c) Ratio Vegetation Index (RVI) = NIR / RED
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
39/83
28
(Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999)
d)
Transformed Ratio Vegetation Index (TRVI) = ) / ( RED NIR
(Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999)
e) Transformed Normalized Vegetation Index (TNDVI) = )5.0( + NDVI
(Deering, 1974 in Hariyadi 1999)
Keterangan :
RED = nilai digital pada citra kanal merah (kanal 3)
NIR = nilai digital pada citra kanal inframerah dekat (kanal 4)
Dari lima algoritma diatas akan dipilih satu algoritma terbaik, yaitu yang
memiliki koefisien determinasi dan koefisien korelasi terbesar. Koefisien
determinasi dan koefisien korelasi didapatkan dari hubungan data lapang dengan
nilai pantulan spektral. Selanjutnya algoritma tersebut akan diproses untuk
menentukan tingkat kerapatan mangrove.
3.3.3.6. Gabungan citra hasil klasifikasi dengan indeks vegetasi
Penutupan lahan berdasarkan hasil klasifikasi meliputi distribusi, genus, dan
luasan mangrove, sedangkan kerapatan mangrove diperoleh dari klasifikasi indeks
vegetasi.
Proses selanjutnya adalah citra penutupan lahan hasil supervised classification
dengan metode maximum likelihood ditumpang-tindihkan (overlay) dengan citra
hasil analisis indeks vegetasi. Hasil overlay ini memberikan informasi mengenai
genus mangrove dan tingkat kerapatannya.
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
40/83
29
Gambar 5. Diagram Alir Pengolahan Citra
Citra Satelit
Koreksi Geometrik dan Radiometrik
Citra Komposit 423
Training Area
Pengujian Hasil
Klasifikasi
Data
Lapang
Ya
TidakHasil
Baik
Citra Terklasifikasi
Pemilihan Indeks
Vegetasi
TRVI = 5.0)( + NDVI
Overlay
Citra
Akhir
Intrepretasi
Avicennia Rhizophora
RVI = NIR/RED
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
41/83
30
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Koreksi Radiometrik dan Geometrik
Kesalahan geometrik adalah kesalahan distribusi spasial atau posisi lokasi dari
nilai-nilai piksel yang diukur oleh sensor karena beberapa hal seperti : pergerakan
satelit yang tidak stabil, rotasi bumi, dan perubahan posisi wahana terhadap objek.
Untuk menanggulanginya maka pada citra perlu dilakukan koreksi geometrik.
Pada dasarnya citra Satelit QuickBird sudah mengalami koreksi geometrik oleh
stasiun penerima ( Digital GlobeTM
). Untuk meningkatkan akurasi citra maka
dilakukan koreksi geometrik dengan menggunakan GCP, koreksi ini dilakukan
oleh BIOTROP.
Koreksi radiometrik dilakukan terhadap kesalahan yang terjadi akibat
pengaruh atmosfer. Koreksi radiometrik dilakukan dengan metode penyesuaian
histogram (histogram adjusment ), yaitu dengan mengurangi nilai kanal terdistorsi
ke arah kiri sehingga nilai minimumnya menjadi nol (Gambar 6). Nilai digital
tiap kanal sebelum dan sesudah koreksi radiometrik disajikan dalam Tabel 3.
Gambar 6. Perbandingan Histogram Band 1 Sebelum dan Sesudah Koreksi
Radiometrik
Band 1 sebelum Koreksi Radiometrik Band 1 sesudah Koreksi Radiometrik
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
42/83
31
Tabel 3. Nilai Digital Citra Sebelum dan Sesudah Koreksi Radiometrik
Kanal Panjang
Gelombang (µm)
Nilai Digital Awal Nilai Digital
Terkoreksi
1 0,45 – 0,52 46 – 252 0 – 206
2 0,52 – 0,60 34 – 254 0 – 220
3 0,63 – 0,69 16 – 253 0 – 237
4 0,76 – 0,89 8 – 254 0 – 246
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa semakin besar panjang gelombang
pada kanal QuickBird, maka distorsi atmosfer terhadap kanal tersebut akan
semakin berkurang. Pada panjang gelombang yang lebih pendek terjadi
hamburan yang lebih kuat.
Citra yang akan diproses haruslah citra yang telah terkoreksi secara geometrik
dan radiometrik (Gambar 7).
Gambar 7. Citra Hasil Koreksi Geometrik dan Radiomertik
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
43/83
32
4.2. Klasifikasi Citra Komposit
Sebelum proses klasifikasi dilakukan proses masking citra. Proses ini
bertujuan untuk memudahkan proses klasifikasi dan meningkatkan akurasi
klasifikasi. Pada penelitian ini dilakukan masking pada area awan dan laut untuk
setiap kanal.
Setelah itu dibuat terlebih dahulu citra komposit warna semu (False Colour
Composit ) pada kanal-kanal tertentu untuk mengetahui dan memperjelas objek
pada citra. Citra komposit yang digunakan pada penelitian ini merupakan
komposit dari kanal 4 (red ), kanal 2 (green) dan kanal 3 (blue) (Gambar 8).
Gambar 8. Penajaman Citra dengan RGB 423
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
44/83
33
Pada citra komposit di atas, vegetasi mangrove tampak berwarna merah gelap
yang terletak di pesisir pantai sedangkan vegetasi non-mangrove berwarna merah
cerah dan terletak di tengah daratan. Pada citra tersebut laut yang berwarna biru
dan awan yang berwarna putih telah dihilangkan (masking), untuk memudahkan
dalam proses klasifikasi.
Untuk menentukan jumlah kelas yang akan diklasifikasikan pada citra
digunakan beberapa acuan, antara lain : visualisasi citra komposit, data lapang dan
histogram citra komposit 423 (Gambar 9). Banyaknya puncak yang terdapat pada
histogram dapat dianalogikan sebagai jumlah kelas yang dapat diklasifikasikan.
Berdasarkan hasil pengamatan histogram, dapat diinterpretasikan bahwa citra
komposit dapat dibagi menjadi 6 kelas, yaitu : 1.Pemukiman 2.Vegetasi lain
3.Bayangan Awan 4.Tambak 5. Avicennia 6. Rhizophora.
Gambar 9. Histogram Citra Komposit 423
Tiap kelas mempunyai selang nilai digital, yaitu : kelas pemukiman antara
45 – 56, kelas bayangan awan antara 41 – 52, kelas vegetasi lain antara 99 – 157,
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
45/83
34
kelas tambak antara 17 – 38, kelas Avicennia antara 81 – 95 dan Rhizophora
antara 92 – 108.
Dalam penentuan genus mangrove dilakukan dengan proses pembesaran
( zoom) pada daerah tersebut, kemudian dilihat histogramnya. Berdasarkan
histogram maka mangrove di P. Karimunjawa dapat dibedakan menjadi 2 kelas,
yaitu Avicennia dan Rhizophora. Genus mangrove lainnya yang terdapat di
P. Karimunjawa belum dapat dikelaskan. Hal ini dikarenakan kecilnya luasan
mangrove tersebut, sehingga sulit untuk dibuat daerah contohnya (training area).
Proses klasifikasi citra diawali dengan pembuatan training area pada daerah
yang homogen. Training area tersebut didapatkan dari survei lapang, pengamatan
visual citra dan peta rupabumi. Dalam klasifikasi tiap kelas diwakili oleh training
area pada citra.
Training area yang telah dibuat tersebut kemudian dihitung statistiknya untuk
mengetahui ciri spektralnya sehingga dapat diketahui rata-rata, rentang atau
distribusi digital number tiap kelas (Lampiran 2) dan tingkat keterpisahan spektral
antar kelas (menggunakan uji nilai tengah / uji t). Secara visual keterpisahan
spektral ditunjukkan oleh diagram kesesuaian spektral (Gambar 10).
Distribusi atau sebaran pola tanggapan spekral daerah contoh dapat
ditampilkan dalam bentuk grafik (Lampiran 3). Grafik ini merupakan pengecekan
visual atas distribusi normal tanggapan spektral tersebut (Purwadhi, 2001). Grafik
tersebut juga digunakan untuk memutuskan suatu band untuk memisahkan kelas
tertentu agar tidak terjadi tumpang-tindih.
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
46/83
35
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4
Band
D i g i t a l N u m b e r
Avicennia
Bayangan aw an
Pemukiman
Rhizophora
Tambak
Vegetasi lain
Sumber : Diolah dari Lampiran 2
Gambar 10. Grafik Reflektansi Tiap Band Dari Beberapa Kenampakan
Panjang Gelombang (ë)
Sesuai Gambar 10 di atas, untuk memisahkan vegetasi non-mangrove dan
mangrove digunakan kanal 4, karena kanal 4 memiliki respon spektral yang
berbeda-beda tergantung banyaknya klorofil yang terdapat pada tanaman tersebut.
Untuk memisahkan genus antara Avicennia dan Rhizophora juga digunakan kanal
4 sebagai kanal tunggal maupun dengan kombinasi kanal 3 dan kanal 4.
Untuk mengetahui keterpisahan spektral tiap kelas dapat juga digunakan uji
nilai tengah (uji t). Uji t (Lampiran 5) dapat memperkuat kesimpulan dari
distribusi kesesuaian spektral. Dengan uji ini dapat diketahui apakah suatu band
dapat memisahkan suatu kelas dengan nyata atau tidak pada selang kepercayaan
tertentu.
Training area yang telah dilihat karakteristik tiap kanalnya tersebut kemudian
diproses dengan klasifikasi terselia / terbimbing (supervised classification)
menggunakan metode kemiripan maksimun (maximum likelihood ). Setelah itu
dilakukan perhitungan statistik oleh software, dalam hal ini ER Mapper 5.5 untuk
mengetahui luasan kelas dan akurasinya.
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
47/83
36
Peta hasil klasifikasi citra komposit 423 ditunjukkan pada Gambar 11.
Klasifikasi citra komposit 423 memberikan informasi distribusi dan luas tutupan
lahan. Luas tiap kelas tutupan lahan ditunjukkan pada Tabel 4.
Gambar 11. Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan Citra QuickBird Komposit 423
Tabel 4. Luasan Penutupan Lahan Citra QuickBird Hasil Klasifikasi
Kelas Jumlah Piksel Luas (ha)
Pemukiman 23.400 13,93
Bayangan Awan 98.361 58,56
Vegetasi Lain 2.461.412 1.465,43
Tambak 51.223 30,49
Avicennia 40.537 24,13
Rhizophora 198.117 117,95
Pada P. Menjangan Besar dan P. Menjangan Kecil tidak berpenghuni, jadi
tidak terdapat pemukiman. Di pulau tersebut tutupan lahan didominasi oleh
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
48/83
37
vegetasi lain non-mangrove dan hanya terdapat beberapa tambak serta sedikit
mangrove.
Pada P. Karimunjawa pemukiman banyak terdapat di pesisir selatan atau barat
daya, hal ini dikarenakan pusat aktivitas penduduk seperti pelabuhan, sekolah dan
pasar terkonsentrasi di daerah tersebut. Tambak terdapat di beberapa sisi pesisir
pulau, dan untuk tutupan lahan didominasi oleh vegetasi lain non-mangrove
karena relief pulau yang berbukit.
Untuk mangrove Rhizophora banyak terdapat di pesisir bagian barat dan utara,
sedangkan Avicennia banyak terdapat di pesisir bagian utara. Pemukiman
memiliki areal terkecil sebesar 13,93 ha, sedangkan vegetasi lain memiliki luasan
terbesar senilai 1.465,43 ha.
4.3. Ketelitian Klasifikasi
Ketelitian hasil klasifikasi dilakukan untuk mengetahui kualitas citra hasil
klasifikasi dengan cara membuat matriks kesalahan (confusion matrix).
Confusion matrix untuk tiap kelas ditampilkan pada Lampiran 6. Dari matriks
tersebut dapat diketahui beberapa parameter keakuratan, antara lain : overall
accuracy, producer accuracy, user accuracy, dan koefisien kappa.
Nilai produser accuracy berkisar antara 74% - 96%, dengan nilai terendah
pada kelas Avicennia dan tertinggi pada kelas vegetasi lain. Nilai user accuracy
berkisar antara 73,85% - 92,50%, dengan nilai terendah pada kelas vegetasi lain
dan tertinggi pada kelas Avicennia.
Produser’s accuracy (PA) adalah peluang (dalam %) suatu piksel akan
diklasifikasikan dengan tepat, yang menunjukkan seberapa baik masing-masing
kelas di lapangan telah diklasifikasikan. Nilai produser accuracy kelas
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
49/83
38
Rhizophora adalah 76%, artinya peluang suatu piksel Rhizophora yang
terkelaskan dengan benar adalah 76%.
User’s accuracy (UA) adalah nilai persentase peluang rata-rata piksel dari citra
yang telah terklasifikasi secara aktual mewakili kelas di lapangan. Nilai user
accuracy kelas Rhizophora adalah 88,64%, artinya setiap suatu area diberi label
Rhizophora maka hanya 88,64% yang terwakili di lapangan.
Overall accuracy (OA) adalah nilai persentase dari piksel yang terkelaskan
dengan sempurna, sedangkan koefisien kappa adalah ketepatan yang dihasilkan
oleh klasifikasi acak. Nilai Overall accuracy citra komposit 423 adalah 84,33%
dengan koefisien kappa 0,812. Dari nilai tersebut dapat diinterpretasikan bahwa
jumlah total piksel yang terkelaskan dengan benar adalah 84,33% dan proses
klasifikasi yang dilakukan memiliki ketepatan 81,20% dari klasifikasi acak.
4.4. Analisis Indeks Vegetasi Untuk Kerapatan Mangrove
Indeks vegetasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Difference
Vegetation Index (DVI), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI),
Ratio Vegetation Index (RVI), Transformed Ratio Vegetation Index (TRVI), dan
Transformed Normalized Vegetation Index (TNDVI). Dari kelima indeks vegetasi
tersebut akan dipilih salah satu indeks vegetasi yang memiliki koefisien
determinasi dan koefisien korelasi terbaik.
Nilai kerapatan mangrove dan nilai indeks vegetasinya dapat dilihat pada
Lampiran 7. Dari lima indeks vegetasi yang digunakan menghasilkan koefisien
determinasi (R2) dan koefisien korelasi (r) yang dibedakan antara Rhizophora dan
Avicennia (Tabel 5).
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
50/83
39
Tabel 5. Hubungan Antara Indeks Vegetasi dengan Kerapatan Rhizophora dan
Avicennia
Rhizophora AvicenniaIndeks Vegetasi
R2 (%) r R
2 (%) r
DVI 21,95 0,47 20,03 0,45
NDVI 31,23 0,56 66,45 0,81
RVI 54,02 0,73 56,90 0,75
TRVI 48,27 0,69 59,47 0,77
TNDVI 29,62 0,54 66,82 0,82
Dari indeks vegetasi tersebut yang memiliki koefisien determinasi terbesar
untuk Rhizophora adalah RVI dengan koefisien determinasi (R2) = 54,02% dan
korelasi (r) = 0,73. Untuk Avicennia koefisien determinasi terbesar (R2) = 54,02%
dan korelasi (r) = 0,73 dengan TNDVI.
Sebagai contoh nilai R2 RVI untuk Rhizophora adalah 54,02%, ini
menunjukkan bahwa hubungan antara kerapatan Rhizophora dan RVI dapat
dijelaskan sebesar 54,02%, nilai r sebesar 0,73 menunjukkan hubungan kerapatan
Rhizophora dan RVI erat (Gambar 12).
y = 0.0015x + 7.4196
R2 = 0.5402
0
2
4
6
8
10
12
14
16
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000
Kerapatan (ind/ha)
R V I
Sumber : Diolah dari Lampiran 7
Gambar 12. Grafik Regresi Linear Antara Kerapatan Rhizophora dan RVI
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
51/83
40
Persamaan yang dihasilkan adalah :
y = 0,0015x + 7,4196
Keterangan : y = nilai indeks vegetasi
x = kerapatan mangrove
Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa nilai koefisien regresi bernilai
positif. Ini berarti kerapatan Rhizophora dengan RVI berbanding lurus, yaitu
semakin besar kerapatan Rhizophora maka semakin besar pula nilai RVI dan
begitu pula sebaliknya.
4.5. Overlay Klasifikasi Citra Komposit dan Indeks Vegetasi
Untuk menentukan jumlah kelas yang pada citra digunakan beberapa acuan,
antara lain : visualisasi citra, data lapang dan histogram (Gambar 13). Banyaknya
puncak yang terdapat pada histogram dapat dianalogikan sebagai jumlah kelas
yang dapat diklasifikasikan.
Gambar 13. Histogram Citra Dengan Indeks Vegetasinya
(a) TNDVI untuk Avicennia dan (b) RVI untuk Rhizophora
Tiap kelas mempunyai selang nilai digital tertentu, untuk kerapatan Avicennia
dengan algoritma TNDVI yaitu : kelas Avicennia sangat jarang < 1,1358,
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
52/83
41
Avicennia jarang 1,1359 – 1,1425, Avicennia sedang 1,1426 – 1,1529, Avicennia
rapat 1,1530 – 1,1634, dan Avicennia sangat rapat > 1,1634.
Untuk selang nilai digital kerapatan Rhizophora dengan algoritma RVI yaitu :
kelas Rhizophora sangat jarang < 6,02, Rhizophora jarang 6,03 – 7,91,
Rhizophora sedang 7,92 – 10,14, Rhizophora rapat 10,15 – 13,19, dan Rhizophora
sangat rapat > 13,20.
Klasifikasi citra komposit 423 menghasilkan kelas penutupan lahan dengan
dua kelas mangrove, yaitu Avicennia dan Rhizophora. Citra algoritma TNDVI
menghasilkan beberapa tingkat kerapatan Avicennia, dan citra algoritma RVI
menghasilkan beberapa tingkat kerapatan Rhizophora.
Overlay antara hasil klasifikasi citra komposit, kerapatan Avicennia dan
kerapatan Rhizophora akan menghasilkan kelas mangrove berdasarkan
kerapatannya (Gambar 14). Luas tiap kelas genus mangrove dan kerapatannya
ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Luasan Genus dan Kerapatan Mangrove
Kelas Jumlah Piksel Luas (ha)
Avicennia sangat jarang 5.497 0,55
Avicennia jarang 6.188 0,62
Avicennia sedang 14.399 1 ,44
Avicennia rapat 9.786 0,98
Avicennia sangat rapat 2.876 0,29
Rhizophora sangat jarang 21.534 2,15
Rhizophora jarang 47.396 4,74
Rhizophora sedang 68.781 6,88
Rhizophora rapat 49.626 4,96
Rhizophora sangat rapat 8.686 0,87
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
53/83
42
Gambar 14. Peta Distribusi dan Kerapatan Mangrove di P. Karimunjawa
Dari gambar dan tabel di atas dapat dilihat bahwa luasan terbesar ada pada
kelas Rhizophora dengan kerapatan sedang, sedangkan luasan terkecil terdapat
pada kelas Avicennia sangat rapat. Hal ini sangat dimungkinkan karena
Rhizophora banyak terdapat di sepanjang pesisir pulau sedangkan Avicennia
hanya banyak terdapat pada pesisir utara saja.
Avicennia merupakan tumbuhan pionir bagi mangrove, sedangkan Rhizophora
tumbuh setelah mangrove mengalami suksesi. Di P. Karimunjawa ekosistem
mangrovenya bukanlah suksesi primer, hal ini mengakibatkan Rhizophora
terdapat jauh lebih banyak dibandingkan Avicennia.
PETA DISTIBUSI DAN KERAPATAN
MANGROVE DI
P. KARIMUNJAWA
Dibuat oleh :
Suseno Wangsit Wijaya / C06400040
Di Lab. Geomatic and Natural Resources
BIOTROP
Sumber :
Citra Satelit QuickBird 3 Juli 2003
S 5 0 5 1 ’ 4 5 ”
S 5 0 5 1 ’ 4 5 ”
E110025’45” E110
026’00”
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
54/83
43
4.6. Hubungan INP dan Indeks Vegetasi
Pada penelitian - penelitian sebelumnya, penginderaaan jauh yang
memanfaatkan citra satelit hanya dapat melihat distribusi, luasan dan kerapatan
mangrove. Hal ini mengakibatkan belum diketahuinya apakah penginderaan jauh
dengan satelit mampu mendeteksi suatu INP jenis mangrove.
Sama halnya dengan kerapatan, untuk melihat INP dari citra satelit digunakan
indeks vegetasi. Nilai INP mangrove dan nilai indeks vegetasinya dapat dilihat
pada Lampiran 8. Dari lima indeks vegetasi yang digunakan menghasilkan
koefisien determinasi (R2) dan koefisien korelasi (r) yang dibedakan antara
Rhizophora dan Avicennia (Tabel 7).
Tabel 7. Hubungan Antara Indeks Vegetasi dengan INP Rhizophora dan
Avicennia
Rhizophora AvicenniaIndeks Vegetasi
R2 r R
2 r
DVI 24,78 4,98 17,08 4,13
NDVI 29,08 5,39 12,82 3,58
RVI 30,11 5,49 7,17 2,68
TRVI 30,80 5,55 8,47 2,91
TNDVI 28,63 5,35 12,83 3,58
Indeks nilai penting suatu jenis mangrove ditentukan oleh kerapatan jenis,
frekuensi jenis dan penutupan jenis. Nilai ini biasanya dihitung berdasarkan data
survei lapang, untuk menghitung INP dengan citra satelit cukup sulit. Kesulitan
ini disebabkan INP merupakan indeks ekologi yang memberikan gambaran
mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam
komunitas mangrove.
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
55/83
44
Satelit belum mampu mendeteksi hubungan antara suatu spesies dengan
lingkungannya. Ini tercermin dari kecilnya koefisien determinasi dan koefisien
korelasi antara INP dan nilai spektral satelit. Untuk Rhizophora koefisien
determinasi terbesar R2 = 30,80 dengan r = 5,55, sedangkan untuk Avicennia
koefisien determinasi terbesar R2 = 17,08 dengan r = 4,13.
4.7. Kondisi Ekosistem Mangrove
Indeks Nilai Penting (INP) suatu jenis mangrove memberikan gambaran
mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam
komunitas mangrove. Indeks nilai penting ini berkisar antara 0 -300 untuk pohon
serta anakan dan berkisar antara 0 – 200 untuk semai (Lampiran 9).
Vegetasi mangrove yang ditemukan pada saat pengamatan dibedakan antara
pohon, anakan dan semai. Jenis mangrove yang ditemukan mempunyai kerapatan
dan luas penutupan jenis yang berbeda.
Berdasarkan survei lapang hutan mangrove di P. Karimunjawa ditemukan
delapan spesies mangrove, yaitu : Acanthus ilicifolius, Aegiceras corniculatum,
Avicennia alba, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Rhizophora
mucronata, Rhizophora stylosa, dan Sonneratia alba.
Pada tingkat pohon hanya jenis Acanthus ilicifolius yang tidak ditemukan.
Jenis ini hanya ditemukan di Stasiun 21 pada tingkat anakan dengan nilai INP
sebesar 145. Jenis tumbuhan ini merupakan tumbuhan berduri dan dapat menjadi
dominan di hutan mangrove yang rusak.
Aegiceras corniculatum ditemukan pada tingkat pohon di Stasiun 10 dan 11,
serta pada tingkat anakan di Stasiun 10 dan 12. Jenis ini berperan penting pada
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
56/83
45
tingkat semai di Stasiun 12 dengan nilai INP sebesar 156. Jenis tumbuhan ini
sering tumbuh serempak membentuk semak belukar.
Jenis Avicennia alba ditemukan pada tingkat pohon dan anakan di Stasiun 21,
22, 23, 24. Keempat staiun ini terletak di pesisir utara P. Karimunjawa yang
letaknya relatif terlindung dari hempasan gelombang secara langsung. Jenis ini
berperan penting di keempat stasiun tersebut.
Excoecaria agallocha hanya terdapat pada tingkat pohon di Stasiun 2, 8, 11,
12. Jenis ini memiliki INP terendah di Stasiun 12 dengan nilai INP 52, dan
memiliki INP tertinggi senilai 98 di Stasiun 11. Jenis ini memiliki getah yang
berwarna putih susu dan dapat merusak mata.
Jenis mangrove yang paling sering ditemukan adalah Rhizophora apiculata.
Spesies ini ditemukan baik pada tingkat pohon, anakan maupun semai.
Rhizophora apiculata berperan penting di beberapa stasiun, dengan nilai INP
terendah sebesar 61 dan nilai INP tertinggi sebesar 300 untuk tingkat pohon.
Rhizophora mucronata ditemukan pada tingkat pohon di Stasiun 2, 4 , 13, 14,
15, 16, 19, 20 dan pada tingkat anakan pada Stasiun 2, 4, 8, 14, 20. Jenis ini
berperan penting pada tingkat pohon di Stasiun 13, 14, 15, 16 dengan nilai INP
tertinginya sebesar 239. Pada tingkat anakan Rhizophora mucronata juga
berperan penting di Stasiun 14 dengan INP sebesar 205.
Jenis Rhizophora stylosa ditemukan pada tingkat pohon di Stasiun 6, 8, 10, 12,
16, 17, 18, pada tingkat anakan di Stasiun 5, 6, 7, 8, 10, 14, 18 dan semai di
Stasiun 6. Spesies ini berperan penting pada tingkat pohon dan semai di Stasiun 6
dengan INP sebesar 192 dan 200. Untuk tingkat anakan Rhizophora stylosa
berperan penting di Stasiun 6, 8, 10.
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
57/83
46
Sonneratia alba hanya dijumpai pada tingkat pohon di Stasiun 5, 20 dan 21,
dengan nilai INP berkisar antara 77 – 187. Jenis ini merupakan vegetasi yang
berperan penting di Stasiun 5.
Masyarakat setempat banyak yang mengambil kayu dari hutan mangrove
sehingga terjadi kerusakan di beberapa tempat. Luasan hutan mangrove di
P. Karimunjawa semakin berkurang karena banyak dikonversi menjadi lahan
tambak dan pemukiman.
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
58/83
47
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Salah satu kelebihan citra satelit QuickBird adalah resolusi spasialnya yang
sangat tinggi, yaitu 2,44 m x 2,44 m. Dengan resolusi tersebut satelit ini mampu
membedakan dua genus mangrove yaitu Avicennia dan Rhizophora. Genus lain
yang terdapat di Karimunjawa tidak dapat dipisahkan karena luasannya kecil
sehingga tidak dapat dibuat daerah latihnya.
Nilai overall accuracy citra QuickBird komposit 423 adalah 84,33% dengan
koefisien kappa 0,812. Avicennia memiliki nilai produser accuracy 72% dan nilai
user accuracy 92,50%, sedangkan Rhizophora memiliki nilai produser accuracy
76% dan nilai user accuracy 88,64%.
Kerapatan dan respon spektral memiliki hubungan linear, ini dapat dijelaskan
dengan indeks vegetasi. Dari indeks vegetasi tersebut yang memiliki koefisien
determinasi terbesar untuk Rhizophora adalah RVI dengan koefisien determinasi
(R2) = 54,02% dan korelasi (r) = 0,73. Untuk Avicennia koefisien determinasi
terbesar (R2) = 54,02% dan korelasi (r) = 0,73 dengan TNDVI.
Untuk kerapatan Rhizophora dengan algoritma RVI memiliki persamaan
regresi linear y = 0,0015x + 7,4196, dengan y = nilai indeks vegetasi,
x = kerapatan mangrove. Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa nilai
koefisien regresi bernilai positif. Ini berarti kerapatan Rhizophora dengan RVI
berbanding lurus, yaitu semakin besar kerapatan Rhizophora maka semakin besar
pula nilai RVI dan begitu pula sebaliknya.
Dari hasil klasifikasi penutupan lahan dan klasifikasi indeks vegetasi dilakukan
proses overlay. Hasil overlay ini berinformasikan genus mangrove dan tingkat
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
59/83
48
kerapatannya. Pada hasil overlay kelas Rhizophora dengan kerapatan sedang
memiliki luasan terbesar, dan kelas Avicennia dengan kerapatan sangat rapat
memiliki luasan terkecil.
Kecilnya koefisien determinasi dan koefisien korelasi antara Indeks Nilai
Penting (INP) dan nilai spektral satelit menandakan satelit belum mampu
mendeteksi hubungan antara nilai spektral dengan INP mangrove. Kesulitan ini
disebabkan INP merupakan indeks ekologi, yang menyatakan peranan jenis
mangrove dalam komunitasnya.
Berdasarkan hasil survei lapang ditemukan delapan jenis mangrove, yaitu :
Acanthus ilicifolius, Aegiceras corniculatum, Avicennia alba, Excoecaria
agallocha, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa,
dan Sonneratia alba.
Jenis yang paling banyak dijumpai adalah Rhizophora apiculata yang tersebar
di pesisir bagian barat sampai utara pulau. Jenis Avicennia alba hanya dijumpai
di pesisir utara pulau, hal ini dikarenakan wilayahnya yang relatif terlindung dari
hempasan ombak secara langsung.
5.2. Saran
Dalam menentukan reflektansi dari tanaman mangrove lebih akurat jika
menggunakan spektroradiometri. Untuk penelitian lebih lanjut perlu dipilih suatu
lokasi yang memiliki genus mangrove lebih beragam.
Selain itu perlu dilakukan pengukuran biomassa, penutupan tajuk dan Leaf
Area Indeks (LAI). Hal ini berguna untuk membandingkan faktor apa yang paling
erat hubungnnya dengan indeks vegetasi.
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
60/83
49
DAFTAR PUSTAKA
Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ). 2002. Inventarisasi dan
Penyebaran Mangrove di Taman Nasional Karimunjawa. BTNKJ.
Semarang.
Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2004. Kawasan Taman Nasional Laut
Karimunjawa.
http://mofrinet.cbn.net.id/informasi/tamnas/karim_1.html
Carolita, I., I Made P., Y. Erowati, dan Asikin A. 1995. Monitoring Keadaan
Hutan dengan Menggunakan Data NOAA AVHRR di Daerah
Kalimantan Barat dan Sebagian Kalimantan Timur. Warta LAPAN
volume 43 Hal 32-42. Jakarta.
Chaudhury, M. U. 1985. LANDSAT : Application to Mangrove Ecosystem
Studies. UNDP/ESCAP Regional Remote Sensing Programme and
SEAMEO-BIOTROP. Bogor. Hal 57-63.
Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting, dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber
Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya
Paramita. Jakarta.
Dewanti, R. 1999. Kondisi Hutan Mangrove di Kalimantan Timur, Sumatra, Jawa,
Bali dan Maluku. Majalah LAPAN edisi Penginderaan Jauh No.01
Vol. 01. LAPAN. Jakarta.
Digital Globe. 2004. Standart Imagery.http://www.digitalglobe.com
Dirgahayu, D., M. Kusumowidagdo, E. D. Djaiz, dan I Made P. 1992. Metode
Penentuan Potensi Hutan dengan Menggunakan Data Satelit
Penginderaan Jauh. (Prosiding Hasil-hasil Penelitian Proyek
Pemanfaatan Satelit Lingkungan dan Cuaca). Pusfatja-LAPAN.
Jakarta.Hal 16-25.
English, S., C. Wilkinson dan V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical
Marine Resources. Australian Institut of Marine Science.
Fanani, Z. 1992. Pengantar Interpretasi Data Penginderaan Jauh. FakultasKehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Green, E.P., P.J. Mumby, A.J. Edwards, dan C.D. Clark. 2000. Remote Sensing
Handbook for Tropical Coastal Management. Coastal Management
Sourcebook 3, UNESCO. Paris.
8/17/2019 Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra
61/83
50
Hariyadi. 1999. Pembentukan Algoritma Penduga Kerapatan Vegetasi Mangrove
Menggunakan Data Landsat Thematic Mapper (Studi Kasus di Kawasan
Segara Anakan, Jawa Tengah). Skripsi (Tidak dipublikasikan). Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor
Harsanugraha, W. K. dan Farid T. 1999. Transformasi Resolusi Spasial CitraInderaja AVHRR dalam Proses Pengolahan Data Indeks Vegetasi.
(Prosiding Hasil-hasil Penelitian Proyek Teledeteksi Sumber Alam
TELSA – Pusat Teknologi Inderaja). Pusfatja-LAPAN. Jakarta. Hal 531-
544.
Hartono. 1994. Penggunaan Penginderaan Jauh Menggunakan Landsat Thematic
Mapper (Studi Kasus da Areal HPH PT. Bina Lestari Indragiri Hulu,
Riau). Skripsi (Tidak dipublikasikan). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Japan International Coorporation Agency (JICA). 1998. Pengertian Dasar
Mangrove (Bakau). Ministry of Suistainable Mangrove and Estate Crops
and Japan International Coorporation Agency. Bali.
Kusmana, C. 1995. Ekologi Hutan. Lab Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor.
Lillesand, T. M. dan R.W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Diterjemahkan oleh Dulbari et al. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Top Related