ISBN 979-96096-0-7
ANTISIPASI PENERAPAN TRADE BARRIER
OLEH NEGARA MAJU PADA PERDAGANGAN
PRODUK MINYAK SAWIT
MASYARAKAT PERKELAPA-SAWITAN INDONESIA( M A K S I )
2000
SUSUNAN PANITIA SEMINAR
PANITIA PENGARAH:
Ketua : Prof. Dr. Tien R. MuchtadiSekretaris : Dr. Purwiyatno Hariyadi Anggota : Dr.lr. Agus Pakpahan (Dirjenbun)
Ir. Yamin Rachman (Dir Industri Makanan Depperindag) Ir. Basuki, MS (Kepala UPBP)
PANITIA PELAKSANA:
KetuaWakilSekretariat
Dr. Purwiyatno Hariyadi Dr. Slamet Budijanto Dr. Tri Panji Dr. Ani Suryani Dr. HartrisariDr. Darmono Taniwiryono
NARA SUMBER:
1. Kepala PSPG IPB2. Kepala PAU Hayati IPB3. Kepala PAU Bioteknologi IPB4 Kepala PAU Bioteknologi UGM5 Kepala PAU Pangan dan Gizi UGM6. Kepala PPAU Bioteknologi ITB7. Kepala PPAU Hayati ITB8. Kepala PPKS Medan 9 Kepala PSP IPB10. Dra. Eva Riyanti Hutapea
KATA PENGANTAR
Salah satu kekayaan alam Indonesia yang merupakan sumber
devisa negara adalah kelapa sawit dan produk-produk olahannya. Karena
itu. sudah selayaknya bahwa upaya untuk memelihara dan
mengembangkan kekayaan tersebut terus menerus dilakukan dengan
sungguh-sungguh
Sebagai komoditas perdagangan internasional produk kelapa sawit
menghadapi persaingan yang tidak ringan dari produk-produk sejenis.
Dalam kasus minyak sawit, produk minyak kedelai, jagung dan canola
merupakan pesaing-pesaing utama Untuk bisa memenangi persaingan
yang keras itu. maka perlu diupayakan kegiatan-kegiatan promosi.
advokasi dan publikasi: terutama untuk membangun image (citra) dan
persepsi yang baik mengenai kelapa sawit.
Citra dan persepsi dari aspek kesehatan dan lingkungan sangat
mewarnai persaingan perdagangan saat ini. Dalam beberapa
kesempatan, minyak sawit dan produk olahannya sering dicap (oleh
pesaing) sebagai produk yang kurang baik bagi kesehatan dan
lingkungan. Hai ini tentunya tidak benar dan karena itulah maka perlu
diluruskan Tidak hanya itu. fakta keunggulan minyak sawit yang lain, yang
tidak dipunyai oleh minyak lainnya. baik aspek kesehatan maupun
lingkungan, pertu ditonjolkan.
Dalam kerangka itulah maka Masyarakat Perkelapasawitan
Indonesia (MAKSI) menyelenggarakan seminar dengan tema 'Antisipasi
Penerapan Trade Barrier oleh Negara Maju pada Perdangan Produk
Minyak Sawit" Seminar yang diselenggarakan pada tanggai 29 Maret
2000 tesebut dihadiri oleh berbagai kalangan perkelapasawitan. baik itu
dari para praktisi bisnis. peneliti, akademisi dan pihak pemerintah
pengambil kebijakan. Hasil yang telah dicapai pada seminar ini sangat
penting terutama sebagai pelajaran, dan karena itu perlu disebarluaskan
kepada masyarakat. Karena alasan itulah maka prosiding yang diberi judul
sesuai dengan tema seminar ini diterbitkan Harapannya adalah bahwa
penerbitan ini dapat menggugah masyarakat luas, umumnya. dan
khususnya masyarakat perkefapa sawitan Indonesia, untuk dapat
menyusun langkah-langkah strategis guna mengantisipasi persaingan
perdagangan produk minyak sawit di masa mendatang.
Upaya untuk mengurangi kesalahan, terutama kesalahan dalam
pengetikan telah dilakukan dengan baik. Namun, jika masih terdapat
kesalahan, baik kesalahan pengetikan atau pun kesalahan lainnya. kami
mohon maaf.
Semoga prosiding ini bermanfaat.
Editor.
Purwiyatno Hariyadi
DAFTAR I SI
KATA PENGANTAR i
SAMBUTAN v
Ketua Panitia Seminar v
Ketua Umum MAKSI viii
Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Rl xi
RANGKUMAN EKSEKUTIF xix
MAKALAH UTAMA
Kebijakan Tentang Pengembangan Perkelapa-sawitan Indonesia Agus Pakpahan 1
Pengembangan Produk Kelapa Sawit Sesuai dengan Trend Perdagangan Internasional
Pos M. Hutabarat 4
Tantangan Penerapan Trade Barrier dalam Perdagangan Internasional Minyak Sawit dan Strategi Penanggulangannya
Tien R. Muchtadi dan Slamet Budijanto 16
Membangun Global Image Industri Minyak Sawit Menghadapi Kampanye Anti Tropical Oil
Bungaran Saragih dan Tungkot Sipayung 25
Strategi dan Pengembangan Kelapa Sawit dalam Menghadapi Technical Barrier
Zulkarnaen Pulungan, Darnoko. Purboyo Guritnodan Kabul Pamin 31
MAKALAH TAMBAHAN
Memanfaatkan Aspek Negatif Asam Lemak Trans Sebagai Faktor Pembangun Citra Minyak Sawit
Purwiyatno Hariyadi 51
Asam Lemak Trans Dalam Makanan: Mekanisme Pembentukan dan Metabolisme dalam Tubuh
Ni Luh Puspitasari Nienaber 56
Tantangan Penerapan Trade Barrier dalam Perdagangan Intenrasional Minyak Sawit dan Strategi Penanggulangannya
Pusat Penelitian Kelapa Sawit 79
The Truth in Labeling: Saturated Fatty Acid Must Be Separated from Trans Fatty Acid
MAKSI dan PPKS 90
Kebijakan Integratif Agroindustri Kelapa Sawit Antisipasi Penerapan Trade Barrier Produk Kelapa Sawit
Muhammad Said Didu 95
SAMBUTAN
Ketua Panitia Seminar
Yang terhormat Bapak Menteri Kehutanan dan Perkebunan R! Bapak Dr.
Nurmahmudi Ismail
Yang terhormat Bapak Ditjen Perkebunan. Dephutbun. Bapak Dr Agus
Pakpahan
Yang terhormat Bapak Dirjen KLIPI. Depperindag. atau yang mewakili
Yang terhormat pada anggota MAKSI
Bapak/ibu ilmuwan, peneliti, praktisi, pegiat dan peminat bidang
perkelapa-sawitan Indonesia
Assalamualaikum Wr Wb
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT bahwa pada hari
ini kita diberi rahmat sehat dan kesempatan untuk menghadiri seminar ini.
Perkenankanlah kami, sebagai panitia pelaksana untuk melaporkan
beberapa hal mengenai seminar ini.
Seminar ini mengambil tema 'Antisipasi Penerapan Trade Barrier
oleh Negara Maju terhadap Produk Minyak Sawit". Tema ini'dipilih atas
dasar kondisi yang memaksa, yaitu khususnya dipicu oleh draft pelabelan
makanan yang baru. yang disusun oleh USFDA.
Kami MAKSI menilai bahwa draft peraturan pelabelan makanan
yang baru ini di desain dan disusun dengan kesadaran penuh untuk
melindungi produk Amerika (yaitu minyak kedelai dan produk-produknya)
dan sekaligus menyerang dan memojokkan produk negara lain,
khususnya minyak sawit dan produk-produknya Proposal terbaru oleh US
Food and Drug Administration (FDA) tentang labelling trans-fatty acid yang
dikaitkan dengan saturated fat secara langsung dan tidak langsung akan
merugikan tropical oil (minyak sawit dan minyak kelapa) dan produk-
produk yang menggunakannya. Sayangnya baru sedikit kalangan di
Indonesia yang menyadari akan hal ini Pada pertengahan Januari. Pusat
Penelitian Kelapa Sawit Medan dan MAKSI di bawah koordinasi Direktorat
Jenderal Perkebunan. Dephutbun telah melakukan dan menyusun petisi
keberatan penyatuan trans dengan saturated fat sebagaimana diusulkan
oleh USFDA. Dirasakan bahwa pihak swasta kurang berpartisipasi pada
kegiatan tersebut Hal ini kemungkinan karena belum disadarinya food
labelling tersebut terhadap industri dan perdagangan kelapa sawit.
Karena itulah, maka MAKSI melalui seminar ini berupaya untuk
mengajak semua potensi danpegiat minyak sawit Indonesia untuk
bersama-sama membicarakan dan menjawab persoalan yang mendesak
tersebut. Tidak hanya itu. kami juga mengharapkan para pegiat minyak
sawit ini. baik dari pemerintah. perguruan tinggi. peneliti, dan praktisi
industri dapat bersama-sama untuk melihat jauh ke depan, mengantisipasi
kemungkinan diterapkan trade barrier oleh negara lain, bagi produk
unggulan kita, yaitu minyak sawit.
Seminar ini dipersiapkan oleh panitia MAKSI selama sekitar 1,5
bulan Kepada anggota panitia. yang telah mempersiapkan seminar ini
kami mengucapkan terima kasih. Seminar ini dihadiri sekitar 100 peserta,
baik dari kalangan pengambil kebijakan, peneliti. PT. praktisi dan
pengamat sawit nasional. Semoga seminar dapat berkontribusi menjawab
tantangan yang dihadapi perkelapa-sawitan nasional kita.
Tidak lupa juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang
membantu terlaksananya seminar ini. Ucapan terima kasih secara
langsung juga kami kami sampaikan kepada Dephutbun khususnya Bapak
Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI dan Bapak Dirjen Perkebunan,
yang telah memberikan dukungan besar bagi seminar ini.
Kepada para sponsor, yaitu PT Indofood Sukses Makmur PT Inti
Boga Sejahtera. PT Smart Coorporation dan PTPN V, panitia
menyampaikan penghargaan dan banyak terima kasih.
Akhirnya. kepada Bapak Menteri, kami mohon pada saatnya nanti
dapat kiranya berkenan memberikan sambutan dan keynote speak serta
sekaligus membuka secara resmi seminar ini.
Jika terdapat kekurangan dan kesalahan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan seminar ini, kami panitia pelaksana mohon maaf.
Selamat mengikuti seminar, semoga diskusi yang berkembang dapat
bermanfaat bagi dunia sawit Indonesia.
Billahitaufik Wal Hidayah Wassalamualaikum WR. Wb.
Ketua Panitia Pelaksana
Dr.lr. Purwiyatno Hariyadi, MSc
SAMBUTAN
Ketua Umum Masyarakat Perkelapa-sawitan Indonesia (MAKSI)
Yang terhormat Bapak Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Bapak Dr,
Nurmahmudi Ismail
Yang terhormat Bapak Dirjen Perkebunan. Dephutbun. Bapak Dr Agus
Pakpahan
Yang terhormat Bapak Dirjen KLIP1, Depperindag. atau yang mewakili
Yang terhormat pada anggota MAKSI
Bapak/ibu ilmuwan, peneliti, praktisi, pegiat dan peminat bidang
perkelapa-sawitan Indonesia
Assalamualaikum Wr Wb
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT bahwa pada hari
ini kita diberi rahmat sehat dan kesempatan untuk menghadiri seminar ini.
Kelapa sawit merupakan merupakan komoditas unggulan yang
mempunyai kontribusi penting dalam pembangunan ekonomi pada
umumnya dan dalam pembangunan agroindustri di Indonesia pada
khususnya. Pada tahun 1996 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia
sekitar 2 juta ha, dengan tingkat produksi kedua terbesar di dunia setelah
Malaysia. Pada tahun 2010 luas perkebunan kelapa sawit diproyeksikan
mencapai 7 juta ha, sehingga diharapkan Indonesia akan menjadi negara
penghasil minyak sawit terbesar di dunia.
Dalam rangka mencapai proyeksi dan mengantisipasi produksi
minyak sawit yang akan berlimpah, diperlukan kerjasama yang baik antara
para peneliti, peminat, pemerhati dan pelaku, baik dari kalangan
pemerintah. perguruan tinggi. lembaga penelitian maupun dari kalangan
swasta untuk pengembangan perkelapa-sawitan di Indonesia. Hal ini
penting untuk menjamin keberlanjutan perkelapa-sawitan di Indonesia:
secara terpadu dari sektor hulu sampai sektor hilir Dengan demikian
diharapkan sustainabilitas produksi dapat terjamin dan nilai tambah
industri hilir pengolahan kelapa sawit dapat dinikmati oleh bangsa
Indonesia.
Menyadari hal tersebut, atas prakarsa 7 PAU Biosains (PAU
Bioteknologi ITB PAU llmu Hayati ITB PAU Pangan dan Gizi UGM PAU
Bioteknologi UGM PAU Pangan dan Gizi IPB. PAU Bioteknologi IPB. PAU
llmu Hayat IPB). Pusat Studi Pembangunan IPB dan Pusat Penelitian
Kelapa Sawit Medan: para pakar kelapa sawit menganggap perlu
berhimpun dalam suatu paguyuban/wadah organisasi. maka dibentuklah
Masyarakat Perkelapa-sawitan Indonesia (MAKSI) yang berazaskan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Tujuan utama organisasi ini adalah menciptakan keterpaduan
pengelolaan sumber daya. program dan gerak langkah dari berbagai pihak
yang berkiprah di bidang perkelapa-sawitan sehingga produksi dan nilai
tambah sistem agribisnis kelapa sawit dapat dinikmati oleh rakyat
Indonesia semaksimal mungkin. Selain itu juga menjadi wadah kerjasam
yang saling menguntungkan antara pelaku perkelapa-sawitan Indonesia
pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan pelaku lainnya) dari hulu
sampai hilir. bagi komoditas unggulan kelapa sawit Indonesia.
Ruang lingkup kerja MAKSI adalah: menghimpun.
mengkoordinasikan. mengembangkan dan mempromosikan semua
kegiatan yang berkaitan dengan perkelapa-sawitan. Untuk mencapai
tujuan tersebut, kegiatan MAKSI mencakup:
• Inventarisasi dan dokumentasi karya-karya ilmiah. laporan
perkembangan industri dan teknologi serta kinerja institusi di bidang
perkelapa-sawitan
• Menjadi wadah/mengusahakan kerjasama yang serasi antara pelaku
perkelapa-sawitan (pemerintah, swasta, perguruan tinggi. litbang
pemerintah dan pelaku lainnya) untuk pengembangan perkelapa-
sawitan dari hulu sampai hilir kerjasama penelitian dan
pengembangan, pelatihan, konsultasi dan sebagainya
• Menyediakan media (seperti seminar, penerbitan, diskusi) untuk
menyampaikan pendapat, karya ilmiah dan diskusi ilmiah di bidang
perkelapa-sawitan dan ilmu-ilmu yang terkait erat dengan
perkembangan perkelapa-sawitan
• Mengusahakan kerjasama dengan perhimpunan-perhimpunan ilmiah
dan profesi yang relevan baik di dalam maupun di luar negeri
• Menyampaikan masukan kepada pemerintah dalam menentukan arah
pembangunan perkelapa-sawitan di Indonesia
• Berperan aktif dalam memberikan saran ilmiah untuk mengatasi
masalah-masalah dalam pengembangan perkelapa-sawitan di
Indonesia.
Akhirnya kepada seluruh anggota panitia kami mengucapkan terima
kasih atas kerja kerasnya sehingga seminar ini dapat terlaksana dengan
baik
Selamat mengikuti seminar.
Billahitaufik Wal Hidayah Wassalamualaikum WR. Wb.
Ketua Umum MAKSI
Prof.Dr.lr. Tien R. Muchtadi, MS
SAMBUTAN
Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Republik Indonesia Pada Pembukaan Seminar“Antisipasi Penerapan Trade Barrier oleh Negara Maju pada Perdangan Produk Minyak Sawit”
Saudara Ketua Maksi:
Saudara-Saudara Peserta Seminar yang saya hormati;
Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakhatuh.
Aihamdullillah. puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua
sehingga pada hari ini kita dapat bertemu di Hotel Bumi Karsa ini.
Pada kesempatan awai ini saya ucapkan selamat dan terima kasih
kepada Masyarakat Perkelapa-sawitan Indonesia (MAKSI) atas prakarsa
melaksanakan seminar yang sangat penting ini. Pilihan tema “Antisipasi
Penerapan Trade Barrier oleh Negara Maju pada Perdagangan Produk
Minyak Sawit", saya nilai merupakan hal yang sangat strategis. Hal ini
sangat penting untuk ditekankan mengingat manfaat dan seluruh hal yang
kita tanam di perkebunan pada akhirnya tergantung dari pasar
internasional. Oleh karena itu pula pasar internasional merupakan
kelembagaan ekonomi yang sangat menentukan, khususnya untuk
ekonomi perkebunan. Dalam era mendatang pasar internasional ini akan
makin kompetitif sifatnya. Salah satu kendala penting yang kita hadapi
adalah penerapan non trade barriers melalui ketentuan-ketentuan
"Standard Code" yang dikenal antara lain dengan perjanjian Technical
Barrier to Trade (TBT)" dan 'Sanitary and Phyto Sanitary (SPS). Oleh
karena itu pula, aktivitas yang diselenggarakan MAKSI pada hari ini
merupakan langkah maju yang tidak boleh berhenti pada taraf seminar
saja, tetapi juga dilaksanakan dalam praktek sehingga perkebunan kita
makin maju dan berkembang serta para pelakunya, khususnya para
pekebun menjadi makin sejahtera.
Saudara-saudara yang saya hormati,
Sejarah mencatat bahwa kelapa sawit mulai dikembangkan di
Indonesia pada tahun 1848 Namun kelapa sawit ini baru berkembang
pesat setelah tahun 1980. Sebelumnya perkebunan kelapa sawit masih
didominasi oleh perkebunan besar baik oleh pemerintah maupun swasta
Wilayah penyebarannya pun masih terkonsentrasi di Sumatera Utara.
Pasar produk kelapa sawit yang menguntungkan telah menank pada
investor melalui perkembangan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR).
Perkebunan Besar Nasional (PBSN) dan pola Swadaya. Dengan
pengembangan ini perkebunan kelapa sawit tidak saja menyebar di
seluruh Sumatera tetapi juga di seluruh Kalimantan. Jawa Barat. Sulawesi
Selatan. Sulawesi Tengah dan Irian Jaya. Perlu dicatat bahwa dari total
areal tanaman kelapa sawit pada tahun 1999 seluas ± 2.9 juta hektar. luas
perkebunan rakyat mencapai 972.745 hektar atau 32.9% dari total areal.
Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit, walaupun masih
didominasi oleh perkebunan besar. partisipasi pekebun (masyarakat)
dalam usaha ini telah meningkat.
Sejalan dengan amanah untuk mengembangkan ekonomi rakyat
perkebunan kelapa sawit milik pekebun ini akan terus ditingkatkan secara
proporsional Pada saat yang bersamaan usaha perkebunan besar
diharapkan menggeser investasinya pada industri pengolahan primer dan
industri hilir dari kelapa sawit ini. Dengan berkembangnya industri hilir ini
maka bukan hanya nilai tambah yang akan diperoleh tetapi juga struktur
pasar akan lebih stabil dan kondusif untuk kebutuhan jangka panjang,
termasuk di dalamnya untuk mengatasi kemungkinan gejolak pasar
internasional. Jadi, pada pnnsipnya dalam pembangunan perkebunan kita
ingin memberdayakan di sektor hulu dan sekaligus pula memperkuat di
sektor hilir dalam kerangkan keterpaduan di antara keduanya. MAKS! dan
organisasi profesi lingkup perkebunan lainnya perlu memberi dukungan
maksimal agar hal tersebut dapat kita wujudkan dalam waktu yang relatif
tidak lama.
Saudara-saudara sekalian yang saya hormati.
Perkembangan kelapa sawit pesat tersebut telah menempatkan
industri kelapa sawit dalam posisi yang penting dalam perekonomian
nasional. Di dalam negeri, kelapa sawit telah mampu memasok -90%
kebutuhan minyuak goreng. dan bahkan sekitar 75% kebutuhan minyak
nabati secara keseluruhan (vegetable oil) bersumber dari kelapa sawit.
Produksi CPO telah mendorong pertumbuhan industri minyak goreng dan
industri oleo chemical. Perlu dicatat bahwa sampai tahun sembilan
puluhan pemenuhan minyak goreng dalam negeri dilakukan melalui impor.
namun beberapa tahun terakhir telah mampun dipenuhi dari produksi
dalam negeri.
Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,
Kondisi pasar dunia kelapa sawit, sesuai dengan proyeksi yang
dilakukan Oil World, pangsa produksi dan pangsa konsumen CPO dunia
akan mencapai masing-masing 27.6% dan 22,5%. Posisi ini di atas
minyak nabati lain utamanya kedele, dengan pangsa produksi dan
pangsa konsumsi masing-masing 23,2% dan 19%. Selanjutnya, industri
kelapa sawit pada tahun 1997 memberikan kontribusi terhadap devisa
dengan nilai 1.5 milyar dollar Amerika atau 28% dari total nilai ekspor
perkebunan sebesar 5.3 milyar dollar Amerika, dengan volume ekspor
CPO 3 juta ton. Dalam perdagangan minyak sawit dunia. posisi Indonesia
menempati posisi kedua setelah Malaysia. Diharapkan dalam memasuki
tahun 2010 Indonesia menjadi produsen utama. menggeser Malaysia.
Namun demikian kita perlu mencatat bahwa nilai ekonomi kelapa sawit ini
akan jauh lebih besar seandainya kita sudah berhasil mengembangkan
industri hilirnya dengan baik.
Hadirin yang saya hormati.
Situasi perdagangan dunia pada masa mendatang akan makin
kompetitif. Persaingan yang makin tinggi tersebut tidak lagi semata-mata
ditentukan kemampuan menghasilkan produk secara kuantitatif. tetapi
posisinya akan dipengaruhi kemampuan memenuhi tuntutan kebutuhan
konsumen baik dalam hal muru. waktu, selera serta perkembangan
preferensi konsumen lainnya. Bahkan acapkali harga yang rendah atau
bersaing bukan menjadi pertimbangan utama Dalam ruang-lingkup ini
kekuatan kita sebagai produsen utama sawit akan terus mendapat
tantangan, baik dari sesama negara produsen minyak sawit maupun
produsen substitusinya seperti kedele, jagung, bunga matahari, atau
kanola/rape seed. Kecenderungan perdagangan global yang menjanjikan
pengurangan berbagai hambatan berupa bea masuk, tarif dan proteksi di
satu pihak merupakan peluang. namun di pihak lain muncul hambatan
baru berupa "non-tariff barrier* melalui ketentuan-ketentuan 'Standar
Code" yang dikenal dengan perjanjian ‘ Technical Barrier to Trade (TBT)"
dan perjanjian Sanitary and Phyto Sanitary (SPS)‘\ sebagaimana telah
dikemukakan
Saudara-saudara sekalian yang saya hormati.
TBT dan SPS ini berkaitan dengan standar mutu barang dan jasa.
perlindungan kesehatan, kesel amatan masyarakat dan lingkungan hidup.
Karenanya dalam merebut peluang yang terbuka, sebagai produsen
utama minyak sawit kita dituntut untuk terus memperbaiki mutu produksi
dan persyaratan lainnya itu. Peningkatan mutu dan persyaratan lainnya itu
memerlukan tumbuhnya budaya baru yang mengembangkan nilai dan
perilaku sebagaimana tumbuh dan hidup di negara-negara industri yang
menjadi tujuan atau pasar produk perkebunan kita. Penumbuhan nilai dan
perilaku ini lebih bersifat fundamental daripada sekedar peningkatan
keterampilan atau keahlian para pelaku di bidang perkebunan.
Kita sadari bahwa hal ini adalah sulit karena menyangkut komitmen
dari seluruh pihak yang terkait bisnis kelapa sawit. Tantangan paling berat
saat ini adalah membangun kesadaran dan kemauan yang keras dari para
pihak dalam usaha perkebunan dalam arti yang seluas-luasnya, mulai dari
pekebun hingga pengusaha besar Sebagai gambaran, dari seluruh
pengusaha perkebunan, tercatat sampai saat ini yang memperoleh
serifikat mutu ISO-9000 baru 9 perusahaan. Belum lagi yang menyangkut
lingkungan ISO 14000 dan HACCP. Banyaknya kasus penahanan
komoditas perkebunan kita di Amerika Serikat menggambarkan bahwa
mutu produk kita masih rendah. Pada periode Juni s/d Oktober 1999
kasus-kasus penahanan ini mencapai: kakao 217 kasus, lada 10 kasus
dan karet 44 kasus. Paling memprihatinkan lagi adalah kasus CPO
tercemar solar Kesemuanya ini sangat memprihatinkan betapa masih
kurangnya kesadaran dan komitmen pelaku bisnis akan pentingnya
masalah mutu sebagai salah satu ' tiket' memasuki pasar global
Saya sangat mengharapkan kontribusi MAKSi dan jajarannya, yang
juga sebagian anggotanya berasal dari perguruan tinggi. dalam hal
menumbuhkembangkan budaya baru tersebut agar komoditas
perkebunan kita makin memenuhi syarat pasar internasional
Saudara-saudara sekalian yang saya hormati
Sejalan dengan perkembangan budaya baru. aspek lain yang
sangat menentukan kemajuan perkebunan pada masa mendatang,
khususnya dalam menumbuhkan industri hilir kelapa sawit, adalah
kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang). Bahkan tidak terlalu
berlebihan apabila dikatakan bahwa litbang adalah tulang punggung
dalam menghadapi persaingan kita di pasar internasional. Kampanye anti
minyak tropis, misalnya tidak dapat kita bendung hanya dengan
mengandalkan cara-cara tradisional. Kita harus memiliki argumen ilmiah
yang sangat kuat yang didukung oleh hasil-hasil penelitian yang
mendalam dan cermat. Salah satu contoh adalah kasus trans fat. Kasus
ini terus dikembangkan terutama oleh Amerika Serikat melalui Food and
Drug Admininstration (FDA) dengan dukungan penuh dari para
industriawan seperti American Soybean Association (ASA). Pada saat ini
tantangan berupa rencana perubahan baru label makanan {food labeling)
dengan menyatukan saturated-fat dan trans-fat.
Dapat kita perkirakan apabila hal ini diterapkan maka akan
berdampak negatif terhadap pasar kelapa sawit kita di Amerika Serikat.
Tentu saja hal ini akan berpengaruh juga pada pasar lainnya, misainya.
Eropa. Hal ini akan berdampak luas terhadap keberlanjutan usaha
perkebunan usaha perkebunan kelapa sawit di tanah air. Kita akan
mampu memberikan jawaban yang kuat apabila kita memiliki pengetahuan
yang lengkap dan akurat dari isu ini. Kemampuan ini tentunya akan
tergantung dari kemampuan kita di bidang penelitian yang relevan. Isu lain
akan terus berkembang dan hanya dapat dijawab melalui peningkatan di
bidang iptek. Oleh sebab itu pula penyelenggaraan seminar ini sangat
penting bagi perkelapa sawitan di Indonesia pada masa yang akan
datang.
Khusus mengenai isu trans fat. walaupun hasi! penelitian kita
tentang pengaruh positit dan keunggulan minyak terhadap kesehatan
manusia masih terbatas, namun cukup banyak referensi dan peneliti
nutrisi di Amerika Senkat yang memberi nilai positif terhadap aspek
Keunggulan minyak kelapa sawit terhadap kesehatan konsumen Pada
kesempatan ini saya mengajak kita semua untuk terus menggerakkan petisi
penolakan pengenaan label sebagaimana dimaksud ke US-FCA. Petisi
tersebut perlu disampaikan tidak hanya oleh pemerintah. peneliti, pakar.
LSM. tetapi juga sangat penting disampaikan oleh para pengusaha
perkebunan, petani, industri minyak sawit dan industri makanan. Kami
mendukung dan berterima kasih atas segala upaya yang sudah dilakukan
oleh MAKSI dan PPKS Medan besama instansi Pemerintah. LSM dan
Pengusaha, yang telah menyiapkan dan menyampaikan petisi dan upaya
iam dalam pembatalan rencana baru labeling makanan dari FDA
dimaksud
Hadirin yang saya hormati.
Saya sangat mengharapkan seminar ini menghasilkan rumusan
yang komprehensif dan dapat ditindaklanjuti oleh rangkaian aktivitas yang
dapat menyelesaikan permasalahan kita, khususnya dalam menghadapi
"trade barrier' bagi produk-produk kelapa sawit. Saya yakin MAKSI dapat
menjadi tembaga yang strategis untuk membantu dunia usaha
perkebunan kelapa sawit pada khususnya dan perkebunan pada
umumnya Peran MAKSI akan lebih besar apabila MAKSI juga
mengembangkan network dengan lembaga-lembaga lain yang bergerak di
bidang usaha perkebunan kelapa sawit. Dengan membangun network
akan berkembang budaya saling mengisi dan suasana sinergis yang
saling memperkuat. Sekali lagi atas prakarsa dan kontribusi MAKSI
melalui seminar ini, kami sampaikan terima kasih.
Akhimya dengan mengucapkan "Bismillahirrahmanirrohiim" dengan
asma Allah S.W.T. Seminar "Antisipasi Penerapan Trade Barrier oleh
Negara Maju pada Perdagangan Produk Minyak Sawit" saya nyatakan
dibuka.
Wabillahi Taufik Wal Hidayah.
Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakhatuh.
Jakarta. 29 Maret 2000
Menteri Kehutanan dan Perkebunan.
DR.Ir. Nur Mahmudi Isma'il, M.Sc
RANGKUMAN EKSEKUTIF SEMINARANTISIPASI PENERAPAN TRADE BARIER OLEH NEGARAMAJU TERHADAP PRODUK MINYAK SAWIT
1 Segenap potensi perlu diberdayakan dan dikoordinasikan secara
optimal, sehingga target untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen
sawit nomor satu di dunia pada tahun 2010 dapat tercapai.
2 Dalam merancang strategi pengembangan perkebunan dan industri
sawit, perlu diperhatikan kondisi aktual kebun sawit yang ada di
Indonesia: termasuk penyebaran perkebunan kelapa sawit sebagai
berikut : (a) perkebunan rakyat ± 11 juta ha (80%). (b) perkebunan
BUMN +1 juta ha dan (c) perkebunan swasta besar +2 juta hektar
3. Kondisi dan pennasalahan utama yang dialami oleh perkebunan kelapa
sawit saat ini yaitu (a) masih banyaknya (40%) lahan perkebunan
kelapa sawit yang tidak ditangani secara optimal, (b) munculnya
masalah sosial kemasyarakatan yang berupa penjarahan lahan dan
hasil kelapa sawit terutama di kebun swasta & BUMN, dan (c)
permasalahan lingkungan.
4. Permasalahan lingkungan merupakan isu krusial dalam perdagangan
produk sawit, terutama bagi negara-negara Eropa Isu tersebut
mencakup (a) kebijakan bertanaman monokultur yang dikhawatirkan
dapat mengganggu konservasi keanekaragaman hayati (satwa L M O.,
dll). dan (b) masalah limbah yang belum tertangani secara baik
5. Untuk masa yang akan datang. perkembangan kelapa sawit harus
selalu memperhatikan berbagai faktor penting. antara lain :
a. Investasi jangka panjang
b. Otonomi daerah (desentralisasi)
c. Pengembangan kawasan industri dan masyarakat perkebunan
d. Liberalisasi ekonomi nasional
e. Sosial dan kemasyarakatan
'
f. Kelembagaan yang berorientasi kepada pemberdayaan
masyarakat. antara lain menjawab (a) what people can do?. (b)
what peopie can be? (c) pengembangan SDM dan (d)
penggalangan dana bersama dll
g Keterkaitan industri hulu dan hilir
h Koordinasi semua instansi terkait, pemerintah. peneliti, pengusaha,
pengembang dan teknologi. industri. assosiasi pedagang, pekebun
dan petani, dan lain-lain
5. Sebagai komoditas eskpor unggulan Indonesia kelapa sawit telah
memasuki pasar internasional ke berbagai negara, antara lain ke
Belanda (negara tujuan ekspor terbesar). Malaysia. India. RRC.
Spanyol. USA. Jerman. Singapura. Italia dan Korea Selatan. Penetrasi
pasar kelapa sawit di negara-negara pengimpor tersebut
pertumbuhannya cukup pesat. sehingga di berbagai negara keberadaan
minyak kelapa sawit telah dipandang sebagai suatu ancaman bagi
eksistensi komoditas serupa di negara tersebut Di samping itu.
kemajuan pasar minyak sawit dan produk-produknya juga dirasakan
mereka sebagai ancaman terhadap terjadinya ketidak-seimbangan
perdagangan, sehingga muncul berbagai kebijakan yang secara sadar
dirancang untuk menghambat pertumbuhan pasar produk-produk sawit
ini. Salah satu contohnya adalah adanya usulan pelabelan makanan
yang baru. yang menghendaki adanya pernyataan trans fat dan
saturated fat yang dampaknya secara langsung atau tidak langsung
memberikan kesan negatif (bad image) bagi minyak dari daerah tropis
(minyak sawit dan minyak kelapa)
7. Masyarakat kelapa sawit Indonesia: yang terdiri dari semua pihak yang
terkait dengan perkelapa-sawitan perlu menyusun langkah-langkah
strategis: yang dapat dikelompokkan menjadi tiga langkah: yaitu :
a Langkah jangka pendek. yaitu mengorganisasikan penyusunan dan
pengiriman petisi keberatan ke US-FDA (paling tambat 17 April
2000) yang menentang diberlakukannya peraturan baru tentang
pelabelan makanan. Sampai saat ini belum diketahui berapa
banyak tembaga, swasta dan perorangan yang mengirimkan petisi
ini. Semakin banyak orang yang menolak semakin baik. Pada saat
ini masih ada kesempatan bagi yang belum mengirim untuk segara
mengirimkan petisi keberatan tersebut. Dalam penyusunan petisi ini
perlu disusun dan dikaji secara ceimat mengenai potensial loss
(baik secara ekonomi. kesempatan kerja. serta aspek terkait
lainnya) yang akan dialami Indonesia jika peraturan baru tersebut
diberlakukan.
b Langkah jangka menengah yang dapat dilakukan adalah
membentuk network pelaku perkelapa-sawitan Indonesia
Banyak organisasi yang bergerak di bidang perkelapa-sawitan
seperti GAPKI. FAMNI. MAKSI dan lainnya. Ke depan perlu
adanya kerjasama yang harmonis dan saling menguntungkan
sehingga bisa bersama-sama memajukan perkelapa-sawitan
Indonesia, khususnya dalam upaya mengantisipasi praktek-praktek
trade barrier tidak adil yang diterapkan oleh negara pengimpor
produk minyak sawit,
c Langkah jangka panjang yaitu mendorong dilakukannya berbagai
penelitian yang berkelanjutan: baik penelitian yang sifatnya
mendasar maupun pengembangan produk hilir kelapa sawit,
termasuk aspek sosial ekonomi dan lingkungannya. Pusat
Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dan beberapa perguruan tinggi
serta Lembaga Litbang seperti P3KT LIPI dan BPPT sudah cukup
banyak melakukan penelitian di bidang kelapa sawit Akan tetapi
perlu lebih ditingkatkan lagi terutama dalam diversifikasi produk hilir
dan aspek dasar mengenai keunggulan sawit, (kandungan
komponen minor seperti beta karoten (pro vitamin A) dan tokoferol
^vitamin E) yang sangat baik untuk kesehatan) sehingga upaya
promosi dan pembangunan Citra positif (good image) minyak sawit
dapat dilaksanakan lebih baik
8 Perlu disadari bahwa kampanye anti (pengembangan bad image)
minyak-minyak tropika (CPO & CCO) telah dan akan terus dilakukan
oleh negara-negara pesaing khususnya produsen minyak kedelai dan
minyak btji-bijian lainnya yang merasa tersaingi oleh perkembangan
CPO dan juga dalam rangka melindungi dan memproteksi minyak
nabatinya
9. Sampai saat ini dirasakan bahwa tanggapan dan reaksi Indonesia
sebagai negara penghasil minyak sawit utama (nomor 2 setelah
Malaysia) masih sangat lamban dan bersifat defensif reaktif. Untuk
selanjutnya, disarankan supaya sikap Indonesia lebih proaktif dan
offensive, secara teratur dan terorganisasi melakukan aktivitas promosi
membangun "good global image" bagi produk minyak sawit, dengan
memperhatikan beberapa atribut penting: yaitu (a) atribut harga produk
(b) atribut food safety (food borne pathogens, heavy meta/s. pesticide
residue, naturally occuring toxin, veterinary residues), (c) atribut nutrisi,
(d) atribut value (fungsionalitas, stabilitas, dsb) (e) atribut pengemasan,
(f) atribut ekologis dan (g) atribut humanis
10 Mengingat sifat agronomi dan ekologis perkebunan kelapa sawit yang
sangat efiesien, maka atribut yang dapat dipromosikan dari kelapa sawit
ini adalah "palm oil saved our planet: yaitu sebagai penghasil 0:.dan
sekaligus konsumen gas karbon dalam skala yang sangat besar.
Karena itulah maka dalam rangka mempromosikan hal tersebut maka
MAKSI (Indonesia) dan PORIM (Malaysia) perlu bekerja sama agar
lebih kuat dan efektif dalam mengembangkan "global value" dari CPO di
masa yang akan datang
11. Untuk memberikan isi dan dukungan terhadap strategi yang lebih aktif
dan offensive ini maka pertu di susun suatu strategi penelitian dan
pengembangan Kelapa Sawit, khususnya dalam menghadapi Technical
Barrier tersebut.
12. Untuk menangani/mengantisipasi technical barrier perlu dilakukan
strategi:
Penelitian yang berusaha meningkatkan produktivitas perbaikan kultur
teknis, pemberantasan hama dan penyakit serta peningkatan
efektivitas pengolahan melalui:
1. penyediaan bahan tanaman unggul
2. perbaikan kultur teknis
3. diversifikasi produk untuk pengembangan pasar
4 eksploitasi keunggulan nutrisi minyak sawit
5 pengembangan produk dari limbah industri kelapa sawit
6 produksi bersih (peningkatan efisiensi proses dan minimisasi
limbah)
13 Dalam rangka penerapan strategi aktif dan offensive ini, perlu didukung
juga upaya perorganisasian dan penyediaan fasilitas perdagangan/dan
ekspor yang memadai Beberapa faktor penting yang perlu
dipertimbangkan dalam perdagangan global antara lain adalah (a)
ekspor bebas tanpa hambatan (b) penunjukan agen resmi (c)
penunjukan distributor tunggal. (d) proses refilling dan repacking, (e) full
manufacturing di negara yang bersangkutan. Untuk mengembangkan
hal itu semua, pertu dibangun ketjasama terpadu industri sejenis
(Indonesia Inc.), dengan dukungan kuat dari pemerintah (menyediakan
info negara tujuan, fasilitas kredit dan jaminan, asuransi atas ekspor.
memberikan dorongan ekspor dan konsistensi dalam peraturan ekspor).
KEBIJAKAN TENTANG PENGEMBANGAN PERKELAPA- SAWITAN INDONESIA
Agus Pakpahan
Dirjen Perkebunan Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI.
Inti pemikiran tentang kebijaksanaan Pengembangan Kelapa Sawit
berdasarkan beberapa hal yang menjadi inspirasinya antara lain:
1. Luas perkebunan di Indonesia adalah 14 juta ha dengan struktur 80 %
perkebunan rakyat yaitu sekitar 11 juta ha dan sisanya adalah
perkebunan besar yang terdiri dari 2 juta ha perkebunan besar swasta
dan 1 juta ha perkebunan BUMN. Orientasi perkebunan besar adalah
kelapa sawit sedangkan perkebunan rakyat 80 % berorientasi pada
perkebunan karet. Jadi jelaslah posisi perkebunan kelapa sawit
dibandingkan dengan perkebunan lainnya.
2 Isu lingkungan dikaitkan dengan kawasan hutan. Areal kelapa sawit
hanya 4.3 % dari luas areal hutan produksi yang sebesar 64 juta ha.
atau hanya 2.3 % dari total luas hutan. Tapi dari sekitar 1338 unit kebun
yang ber-HGU dengan total 4 juta ha hanya 60 % areal tersebut yang
produktif.
Isu-isu policy berkaitan dengan masalah :
1. Pemanfaatan areal perkebunan yang optimal baik dari segi
produktivitasnya maupun dari kualitas hasilnya.
2 Keharmonisan hubungan antara perkebunan besar dengan lingkungan
sekitarnya agar tidak terjadi persengketaan tanah. pencurian hasil
ataupun penjarahaan
3. Lingkungan hidup. berkaitan dengan pembukaan perkebunan baru yang
pada tahapannya akan mengubah ekosistem dan menimbulkan
limbah. Untuk itu perlu dikembangkan zero waste, yaitu dengan
memanfaatkan semua bagian kelapa sawit.
Tema "Memberdayakan di hulu dan memperkuat di hilir" dengan 3
aspek yang terkait yaitu: aspek ekonomi termasuk didalamnya masalah
produktivitas, aspek sosial yang menghindarkan konflik sosial serta aspek
lingkungan. Sehingga pada tahun 2010 Indonesia dapat menjadikan
perkiraan para ahli sebagai leading countries for production of palm oil
menjadi kenyataan.
Hal-hal penting yang menjadi isu kebijaksanaan untuk dapat
dikembangkan adalah :
1. Investasi jangka panjang. yang terkait dengan otonomisasi daerah
dalam hal ekonomi dan ekonomi internasional yang cenderung liberal.
2. Regionalisasi, perlu menangkap local spesific sebagai sumber
competitif advantage, oleh karena itu teknologi harus sesuai dengan
local advantage-nya. Selain itu regionalisasi juga perlu memperhatikan
keberlanjutan usaha dimana untuk kelapa sawit koefisien integrasinya
satu antara pengolahan dan perkebunan, sehingga sifat investasi pun
harus terkait langsung pada on farm (hulu). Salah satu bentuk konsep
inovasinya adalah pembuatan Kinbun (Kawasan Industri Masyarakat
Perkebunan) yang memuat segala aspek dari on farm sampai produk
hilir, pemasaran serta management temasuk sarana prasarananya
sebagai redesign industri perkebunan Indonesia.
3. Aspek sosial budaya dari industri perkebunan, sehingga industri
perkebunan selain akrab lingkungan dan akrab sosial budaya tetapi
juga berdaya saing tinggi
Bentuk redesign Perkebunan Indonesia dengan memperhatikan'
1. Pembukaan lahan perkebunan dengan memanfaatkan lahan kritis yang
sesuai dengan tanaman perkebunan.
2. Perkebunan bukan berupa monokultur yang akan menyebabkan The
Silent Spring.
3 Pengolahan semua bagian kelapa sawit dengan konsep zero waste.
4 Adanya pengembangan kelembagaan untuk menata property rakyat
PENGEMBANGAN PRODUK KELAPA SAWIT SESUAI DENGAN TREND PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Pos.M Hutabarat
Direktur Kerjasama Bilateral I Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI
Perkembangan ekspor Indonesia menurun dengan drastis setelah
krisis moneter. Potensi ekspor Indonesia mungkin hanya meningkat sekitar
15% pada tahun 2000. hal ini tetap lebih kecil dibandingkan tahun
1996/1997 yaitu hanya sekitar 48.5 milyar dolar Amerika pada tahun 1999
(jauh dibawah tahun 1996/1997). Sedangkan komposisi ekspor non migas
pada sektor pertanian menurun secara relatif. meskipun nilainya meningkat.
Sektor pertanian memberikan kontribusi secara proporsional menurun.
Sektor pertanian nilai tambahnya sangat besar dibandingkan sektor lain,
sehingga sektor pertanian dalam hubungan perdagangan internasional
mengalami penurunan karena Indonesia lebih memfokuskan pada sektor
dengan nilai tambah yang lebih kecil (Lihat Tabel 1. 2 dan 3).
Ekspor minyak nabati termasuk minyak sawit tidak berkembang
karena kebanyakan tidak diproses sehingga timbul masalah di negara
tujuan. Adapun beberapa negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia
adalah Belanda. Malaysia. India. Cina dan lain-lain. Pada setiap negara
tujuan ekspor tersebut Indonesia juga menghadapi beberapa pesaing yang
diantaranya adalah juga negara tujuan ekspor Indonesia, seperti Malaysia
yang lebih banyak mengekspor produk turunan minyak sawit (Tabel 3. 4
dan 5).
Perkembangan ekspor minyak sawit Indonesia terhadap berbagai
negara bervariasi, baik dari segi pangsa pasar maupun pertumbuhan nilai
absolut per tahun (Tabel 6, dan 7).
1 Pangsa pasar
Pangsa pasar <3% negara kita masih aman karena tidak pernah ada
gejolak di negara tujuan, sedangkan pada pangsa pasar 3-10% harus
berhati-hati karena mulai muncul keluhan dari industri di negara
setempat sehingga mereka mulai menahan impor, mengadakan
manuver ataupun melakukan berbagai proteksi. Dan apabila pangsa
pasar lebih dari 10%. hal ini merupakan ancaman bagi industri setempat
dan akan timbulah tuduhan dumping serta perubahan peraturan
2. Pertumbuhan nilai absolut/tahun
Jika skala peningkatannya kurang dari 10% maka masih aman bagi
negara kita, namun apabila peningkatannya telah mencapai 10-20%
mulai ada gejolak di negara setempat. Setelah ekspor kita meningkat
lebih dari 20% per tahun akan berpengaruh terhadap persaingan di
negara setempat sehingga akan dihadang untuk masuk, seperti
tuduhan dumping, perubahan label dari makanan dan lain-lain.
Saran yang diberikan:
1. Kelapa sawit merupakan komoditi potensial. tetapi dalam
pengembangannya di dalam negeri jangan berlebihan karena akan
mendapat tantangan dari industri negara tujuan ekspor.
2 Produk turunan kelapa sawit banyak sekali seperti Malaysia karena
mereka banyak mengekspor produk turunan kelapa sawit sehingga
tidak mengalami hambatan. Sehingga sektor pengembangan kelapa
sawit seharusnya lebih dititik beratkan pada produk hilir kelapa sawit.
3. Perlu dilakukan pengumpulan dana untuk sumber daya sektor kelapa
sawit, karena pemerintah dengan adanya otonomi daerah tidak mampu
lagi membiayai sektor sumber dayanya sehingga perlu kerja sama
berbagai pihak untuk menggalang dana tersebut. Disamping itu
dilakukan kampanye di luar negeri untuk mengantisipasi trade barrier
terhadap produk minyak tropis di negara maju.
4. Menggalang pengumpulan bahan untuk melengkapi petisi kepada US
FDA tentang labeling trans fat dengan petisi yang tidak seragam dari
berbagai kalangan. Disamping itu perlu estimasi dan potential
economic loss dari pemberlakuan labeling trans fat ini
Tabel 1 Perkembangan Nilai Ekspor 1975-1999 (US $ Milyar)
Tahun Migas Non Migas TotalNilai % Nilai % Nilai %
1975 5.3 74.6 1.8 25 4 7.1 1001980 15.7 71.7 6.2 28.3 21.9 100
1985 12.7 68.6 5.8 31.4 18.5 1001990 11.1 43.2 14.6 56.8 25.7 100
1995 10 5 26.0 35.0 74.0 45.5 100 1996 11.7 23.5 38.1 76.5 49.8 1001997 11.6 21.7 41.8 78.3 53.4 1001998 7.7 15.7 41.1 84.3 48.8 100 1999 9.7 20.0 38.7 80.0 48.5 100
Sumber: BPS
Tabel 2 Komposisi Ekspor Non Migas 1975-998 (Persen)
Tahun Barang Primer Manufaktur TotalPertanian Tambang
1975 81.4 13.8 4.8 1001980 77.9 13.9 8.2 1001985 50.8 13 6 35.6 1001990 28.8 7.7 63.5 100
1995 26.1 5.0 68.9 1001996 22.9 7.7 69 4 1001997 21.3 6.3 72.4 1001998 19.6 5.5 74.9 100
Sumber: BPS
____ Nilai : US $ juta
No SITC Produk 1994 1995 1996 1997 1998
1 422 Minyak nabati 1113.3 1034.4 1338.3 2174.8 1150.3
2 231 Karet alam 1273.1 1963.9 1920.1 1498.8 11063
3 036 Udang & kerang 1050.8 1080.8 1063.6 1045.9 1038.0
4 071 Kopi 753.7 614.0 606.0 529.7 615.8
5 072 Coklat 273.5 301.1 365.4 407,7 489.3
6 034 Ikan segar 369.4 i: 417.9 424.8 430.5 394.8
7 075 Rempah-rempah 167.1 240.5 183.5 246.4 284.5
8 248 Kayu 346.1 , 315.0 280.0 242.6 153.2
9 081 Makanan ternak 156.9 141.9 207.1 141.4 112.0
Sumber: BPS
Tabel 4 Negara Tujuan Ekspor Produk Kelapa Sawit
Nilai : US $ juta
No Negara 1996 1997 | 1998 I 1999*
1. Belanda 482.1 676.5 317.6 431.8
2. Malaysia 90.0 146.1 198,3 102.8 3 India 141.6 236.8 164.5 372.6
4. RRC 50.7 218.9 80.8 118.65. Spayol 56.1 93.1 70.7 70.16. Amerika Serikat 78.4 118.9 47.7 76.67. Jeman 86.3 119.3 40.9 31.98 Singapura 25.7 31.5 26.6 31.0
9. Italia 73.7 85.2 25.6 35.610. Korea Selatan 25.7 27.9 15.3 J 14.8
Sumber BPS* Januari - Nopember
Tabe
l 5 P
angs
a P
asar
Min
yak
Nab
ati I
ndon
esia
di N
egar
a Tu
juan
uta
ma
Dan
Neg
ara
Pes
aing
(199
7-19
98)
Tabe! 6 Perkembangan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia periode 1997-1999*
Nilai US $ juta
No Uraian/Negara Perub. (%) 98-99 Perub. (%) 99-98*
1 Belanda -53.05 44.352 Malaysia 35.67 -44.493. India -30.54 187.374. RRC -63.09 107.445. Spayol -24.02 7.226. Amerika Serikat -59.83 73.317 Jerman -65.71 -21 988. Singapura -15.47
j16.34
9. Italia -70 07 50.0910. Korea Selatan -45.15 13.9911. Turki -56.91 188.5312. Mesir -39.24 102.3913. Yunani 1.05 -72.2714 Kanada -25.03 -50.6815. Australia
|43.83 -96.56
Subtotal -43.23 43.65Lainnya -63.04 137.13Total Minyak Nabati -47.11 49 38
Sumber: BPS (Diolah Depperindag) * Periode Januari - Nopember
Analisa Perkembangan Ekspor
1. Pangsa pasar: <3% : Aman3-10% ; Hati-hati>10% Bahaya
2. Pertumbuhan nilai absolut/tahun<10% Aman 10-20% : Hati-hati>10% : Bahaya
Tabel 7. Perkem
bangan Ekspor M
inyak Kelapa S
awit Indonesia periode 1994 - 1999 (Januari-N
opember)
Sum
ber: BP
S (D
iolah Depperindag)
TANTANGAN PENERAPAN TRADE BARRIER DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL MINYAK SAWIT DAN STRATEGI PENANGGULANGANNYA
Tien R. Muchtadi dan Slamet Budijanto
Ketua dan Sekretaris MAKSI
PENDAHULUAN
Tahun 2000 diawali dengan dua goncangan besar pada Industri
Perkelapa-sawitan Indonesia. Pertama adalah kasus kontaminasi solar, dan
kedua adalah Food Labelling Trans Fat. Kasus solar menyebabkan
kerugian yang tidak sedikit. selain CPO harus diiimpor kembali juga masih
ada pengaruh ikutan lainnya yang sangat merugikan baik bagi Pengusaha
Sawit maupun pemerintah Indonesia. Masalah kedua yang tidak banyak
disadari oleh banyak kalangan terkait, baik pengusaha maupun pemerintah
adalah ancaman baru dari Amerika Serikat melalui food labelling (pelabelan
makanan) Pertengahan November 1999 yang lalu. US FDA (Food and
Drug Administration) telah mengajukan revisi peraturan pelabelan makanan
yang akan berpengaruh pada produk-produk pangan yang mengandung
minyak dan lemak. Peraturan baru tersebut menyangkut pencantuman
jumlah trans fat yang dikaitkan dengan saturated fat pada label produk
pangan.
Dalam rangka melindungi konsumen. Pemerintah dan Kongres AS
sebelumnya telah mengeluarkan Undang-Undang Pelabelan dan
Pendidikan Gizi pada tahun 1990 (The Nutrition Labelling and Education Act
of 1990). Komponen Gizi yang diwajibkan ada pada label bahan pangan.
antara lain jumlah kalori, jumlah minyak/lemak. jumlah lemak jenuh. dan
kolesterol. Pencantuman label ini bersifat positif bagi masyarakat dalam hal
pemilihan makanan dan pendidikan gizi. Tidak bisa dipungkiri bahwa
pelabelan ini juga merupakan salah satu hasil dari kampanye anti minyak
tropis (minyak kelapa sawit. inti sawit dan kelapa) yang gencar dilakukan
terus menerus yang dipelopori oleh asosiasi-asosiasi anti minyak tropis.
Mereka berusaha meyakinkan FDA untuk pentingnya melakukan pelabelan
tropical fats pada kemasan makanan. Hal ini dilakukan karena harga minyak
kedelai atau minyak jagung tidak mungkin bersaing dengan tropical oil.
Pengaruh negatif trans fat mulai dirasakan dan semakin menguat
dengan ditemukannya bukti-bukti ilmiah tentang dampak negatif trans fat
yaitu menaikkan kolesterol darah dan meningkatkan resiko penyakit jantung
koroner. US Center of Science in Public Interest (CSPI. 1994). National
Academy of Science (NAS) dan National Cholesterol Education Program
(FDA. 1999) mengajukan petisi ke USFDA tentang bahayanya
mengkonsumsi trans fat. Pada tahun 1994 pemerintah Inggris telah
mengeluarkan rekomendasi untuk tidak mengkonsumsi trans fat lebih dari
2% dari rata-rata konsumsi energi. Pemerintah Kanada juga telah
mengeluarkan peraturan bahwa untuk mengklaim bebas trans fat. bahan
pangan tersebut tidak boleh mengandung lebih dari 0.2 g trans fat per sajian
(FDA. 1999).
Dengan adanya tekanan tersebut di atas kemungkinan besar
mendorong beberapa lembaga yang cenderung anti minyak tropis di AS
melakukan usaha untuk melindungi minyak nabati lokal yang banyak
mengandung trans fat. Hal ini dilakukan karena akan sulit melakukan
kompetisi dengan minyak tropis seperti minyak kelapa atau minyak sawit,
biaya produksi untuk kedua minyak ini sangat kompetitif dibandingkan
dengan minyak kedelai atau minyak lainnya yang dikembangkan di
Amerika. Salah satu usaha dengan mengembangkan isu pelabelan trans fat
yang dikaitkan dengan saturated fat. Dengan demikian penggunaan
saturated fat akan menjadi sangat terbatas sebagaimana penggunaan trans
fat.
KERUGIAN PENYATUAN LABELING TRANS FAT DENGANSATURATED FAT
Berdasarkan rancangan peraturan yang baru maka pelabelan
saturated fatltrans fat harus dilakukan sebagai berikut:
(i) Pencantuman klaim "low saturated fat' hanya dapat dilakukan apabila
kandungan saturated fat < 1 g dan trans fat < 0.5 g per sajian Pada
perturan yang berlaku saat ini, klaim produk low saturated fat hanya
dengan syarat kandungan saturated fat-nya <1g.
(ii) Batas maksimum yang digunakan untuk produk makanan bayi dan
anak-anak adalah 4.0 gram per sajian, sedangkan untuk meal product
sebesar 8.0 gram dan main dish product sebesar 6.0 gram.
(iii) Apabila jumlah tersebut melebihi batas yang diijinkan. maka produsen
wajib untuk mencantumkan label tambahan yang bersifat peringatan.
"See nutrition information for saturated fat content
Kerugian penyatuan trans fat dengan saturated fat pada industri
minyak sawit. antara lain:
(i) Semua produk pangan yang menggunakan minyak sawit mungkin
harus mencantumkan label "See nutrition information for saturated fat
content, sebagai peringatan kepada konsumen tentang dampak
negatif saturated fat terhadap kesehatan. Sehingga keunggulan sawit
yang tidak mengandung trans fat tidak bisa ditonjolkan lagi. Selain itu
konsumen akan menjauhi produk-produk dari sawit.
(ii) Bagian saturated fat yang diijinkan yaitu sebesar 30% dari total
konsumsi lemak yang dianjurkan bisa digantikan 100% dengan trans
fat. Dari segi kuantitas kelihatannya tidak banyak. Akan tetapi jika
diperhatikan lebih jauh kerugiannya akan besar karena ketakutan
konsumen mengkonsumsi minyak tropis akan terbentuk.
(iii) Kemungkinan negara maju lain mengikuti jejak Amerika dengan
menerapkan peraturan sejenis. Selain itu kemungkinan negara lain
mengikutinya juga besar. hal ini karena selama ini peraturan US-FDA
sering menjadi acuan untuk membuat peraturan di negara lain
(iv) Jika point di atas terjadi, akibat yang lebih jauh adalah ancaman bagi
Indonesia yang ingin menjadi produsen utama minyak sawit dunia
PELABELAN YANG SEHARUSNYA: SATURATED FA T HARUS DIPISAHKAN DENGAN TRANS FAT
Salah satu tujuan labeling makanan adalah (1) memberikan informasi
yang benardan fair tentang kandungan gizi. (2) mendidik konsumen dan (3)
tentu saja untuk promosi perdagangan yang fair. Oleh karena itu pada label
haruslah dicantumkan informasi yang jelas dan benar.
Implikasi dari pernyataan di atas dengan labeling trans fat adalah
adanya keharusan untuk memisahkan trans fat dengan saturated fat pada
food labelling. Konsumen harus mendapatkan informasi secara benar jenis
lemak apa saja yang dimakan jika mengkonsumsi suatu makanan termasuk
juga dalam mengkonsumsi trans fat dan saturated fat. Dua kelompok lemak
ini tidak bisa dijadikan satu group dan diberi nama saturated fat. karena
kedua kelompok ini mempunyai perbedaan yang sangat nyata, baik struktur
kimia, sifat biologis dan fisiologisnya. Banyak peneliti telah melaporkan
perbedaan pengaruh trans fat dengan saturated fat pada kesehatan,
khususnya pada penyakit jantung koroner. Beberapa peneliti diantaranya
telah melaporkan bahwa trans fat mempunyai pengaruh negatif lebih besar
dibandingkan dengan saturated fat. Juga dilaporkan bahwa konsumsi trans
fat mengakibatkan konsumsi Asam Lemak Esensial harus meningkat, hal ini
lebih meyakinkan bawa trans fat mempunyai pengaruh negatif lebih kuat.
Dari uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa untuk memberikan
informasi yang benar dan adil pada konsumen, pelabelan trans fat dan
saturated fat haruslah mengikuti hal-hal sebagai berikut:
(i) Pelabelan trans fat dan saturated fat harus ditulis terpisah pada label
makanan. Trans fat dan saturated fat adalah dua kelompok lemak yang
berbeda sudah seharusnya dipisahkan. Tidak tepat menggabungkan
trans fat dan saturated fat dalam bentuk apapun
(ii) Suatu produk makanan bisa mencantumkan tidak mengandung asam
lemak trans tanpa harus menghubungkan dengan kandungan trans fat.
Informasi mengenai ulasan ilmiah mengapa trans fat harus
dipisahkan dari saturated fat dapat dilihat pada suplement (The truth
labelling: Saturated fatty acid must be separated from trans fatty acid).
ANTISIPASI MENGHADAPI RENCANA LABELING TRANS FAT
Semua pihak yang bergerak di bidang perkelapa-sawitan baik dan
kalangan swasta, pemerintah. litbang maupun perguruan tinggi haruslah
menyatukan langkah dalam mengantisipasi peraturan baru tersebut.
Beberapa langkah yang dapat diambil dapat dikelompokkan pada untuk
jangka pendek. menengah dan panjang.
1. Langkah jangka pendek yaitu menyusun petisi keberatan ke US-FDA
paling lambat 17 April 2000. Penyusunan petisi sudah dimulai dengan
diprakarsai PPKS medan bekerja sama dengan MAKSI dibawah
koordinasi Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Kehutanan
dan Perkebunan RI. Tim yang dibentuk telah berupaya untuk menyusun
petisi keberatan dengan berbagai versi antara lain versi untuk peneliti,
versi untuk lembaga. versi untuk asosiasi dan versi untuk perorangan
Tim CODEX CPO juga telah menyiapkan contoh petisi dengan berbagai
versi sehingga melengkapi yang sudah dibuat terdahulu. Sampai saat
ini belum diketahui berapa banyak lembaga. swasta dan perorangan
yang mengirimkan petisi ini. semakin banyak orang yang menolak
semakin baik maka masih ada kesempatan bagi yang belum mengirim
untuk mengirimkan petisi. Sebagai acuan telah dilampirkan contoh petisi
yang bisa dikirim.
2. Langkah jangka menengah yang dapat dibentuk adalah Membentuk
Network Pelaku Perkelapa-sawitan Indonesia Banyak organisasi
yang bergerak di bidang perkelapasawitan seperti GAPKI. FAMNI
MAKSI dan lainnya. Kedepan perlu adanya keijasama yang harmonis
dan saling menguntungkan sehingga bisa bersama-sama memajukan
perkelapasawitan Indonesia. Juga diharapkan network organisasi ini
dapat memfasilitasi dalam penggalian keunggulan minyak sawit baik
dari aspek gizi maupun sifat fungsionalnya melalui pengumpulan hasil
riset yang telah dilakukan. memfasilitasi untuk melakukan penelitian di
bidang perkelapasawitan dan mendorong peneliti perkelapasawitan
untuk mempublikasikan pada jurnal ilmiah internasional sehingga dapat
dijadikan acuan yang kuat untuk menangkis serangan pengaruh negatif
minyak sawit. Hal ini perlu dilakukan karena sawit merupakan
komoditas unggulan Indonesia.
3. Langkah jangka panjang yaitu melakukan penelitian terus-menerus baik
yang sifatnya mendasar maupun pengembangan produk hilir kelapa
sawit. PPKS sebagai pusat penelitian kelapa sawit Indonesia dan
beberapa perguruan tinggi serta Litbang seperti P3KT LIPI dan BPPT
sudah cukup banyak melakukan penelitian dibidang kelapa sawit. Akan
tetapi perlu lebih ditingkatkan lagi terutama dalam diversifikasi produk
hilir dan aspek dasar mengenai keunggulan sawit. Selain itu juga perlu
dikoordinasikan melalui network yang dibentuk Hasil penelitian ahli
Indonesia yang sudah dipublikasikan pada jurnal ilmiah masih sangat
minim sekali Hal ini sangat terasa sekali pada waktu penyusunan petisi
penolahan labeling trans fat. sulit sekali menemukan hasil penelitian
dari Indonesia yang terpublikasi. Kalau Indonesia ingin menjadi yang
terdepan di komoditas kelapa sawit hal ini tentunya tidak boleh terulang
lagi. Penelitian dasar yang kegunaannya jangka panjang misalnya untuk
antisipasi jika terjadi penerapan technical barrier seperti pada nutrition
labelling trans fat yang akan diundangkan.
Selain itu juga sudah harus dipikirkan pengembangan diversifikasi
produk hilir dari sawit. Kalau di Malaysia sudah dikembangkan lebih dari
36 produk dari sawit, di Indonesia tidak lebih dari sepuluh jenis produk
yang dihasilkan. Tentunya kita tidak ingin menunggu kebanjiran CPO
dulu baru mengembangkan produk hilir.
PENUTUP
Eksport minyak sawit ke manca negara perlu dijaga
kesinambungannya melalui promosi. pencarian pasar-pasar baru dan
peningkatan kualitas serta diversifikasi produk sawit. Dalam menghadapi
rancangan peraturan US FDA 1999 tentang pelabelan trans fat pada
makanan ini. beberapa petisi. termasuk industri minyak tropis di AS.
mendukung pelabelan trans fat asalkan tidak dikaitkan dengan saturated fat.
Sekarang waktunya bagi semua yang bergerak di bidang perkelapasawitan
bersatu padu untuk menolak rencana peraturan pelabelan trans fat yang
disatukan dengan saturated fat.
Antisipasi dalam menghadapi ancaman terhadap produk sawit di
masa mendatang perlu eksplorasi data dasar dan penelitian pengembangan
perkelapasawitan Salah satu keunggulan minyak sawit adalah kandungan
komponen minor seperti beta karoten (pro vitamin A) dan tokoferol (vitamin
E) yang sangat baik untuk kesehatan, perlu disebar luaskan ke konsumen
untuk mengkounter sisi negatif dari saturated fat dalam minyak sawit
Kerjasama semua pihak di bidang kelapa sawit terutama pemerintah.
lembaga penelitian universitas, produsen dan industri juga konsumen perlu
bekerjasama untuk melakukan kebersamaan penelitian-penelitian yang
dapat mendukung keunggulan minyak sawit Malaysia telah melakukan hal
tersebut dan telah menghabiskan dana jutaan dolar mulai tahun 80-an untuk
melawan kampanye anti minyak tropis dari Amerika Serikat. Dan kini
Malaysia telah menjadi kiblat teknologi sawit dunia. Jika kita mencanangkan
sekitar tahun 2012 Indonesia akan menjadi produsen minyak sawit terbesar
di dunia. tentunya tidak akan cukup puas dengan menambah areal baru
kebun sawit dan menghasilkan CPO.
Dilampirkan beberapa contoh petisi untuk menolak penggabungan
labeling trans fat dengan saturated fat.
DAFTAR PUSTAKA
Acherio. A.. M.B. Katan . P.L. Zock.. M.J. Stampfer., W.C. Willet. 1999. Trans fatty acid and coronary hearth diseases. New Eng. J. of Med. 340: 1994-1998.
Clevidence, B.A.. J.T. Judd. E.J. Schaefer. J.L. Jenner. A H. Lichenstein. R A. Muesing. J. Wittes and M.E. Sunkin. 1997. Plasma lipoprotein (a) levels in men and women consuming diets enriched in saturated, cis-or trans-monounsaturated fatty acids. Artenoscier. Thromb Vase. Biol. 17(9): 1657-1661.
Emg, M.G.1998. Palm Oil and the Anti-ropical: Good news toward counteracting a decades worth of damage. 1988 International Oil Palm Conference. September 23-25, 1998. Bali Indonesia.
FDA 1999 Food labeling: Trans fatty acids in nutrition labeling, nutrient content claims, and health claims (Docket no. 94P-0036), USA.
Hornstra GT.. A C. Van Houwelingen. A.D. Kester. and K. Sundram. 1991. A palm oil enriched diet lowers serum lipoprotein (a) in normocholesterolemic valunteers. Atherosclerosis 90 (1): 91-93.
Joeliani. L.D 1996. Analisa Asam Lemak Trans pada berbagai margarin di Pasaran Indonesia. Skripsi. Jurusan TPG-Fateta. IPB Bogor.
Judd. J.T.. B.A. Clevidence. R.A. Muesing. J. Wittes. M.E. Sunkin and J.J. Podczasy. 1994. Dietary trans fatty acids: Effect on plasma lipids and lipoprotein of healthy men and women. Am. J. Clin. Nutr. 59: 861-868.
Khosla. P and K.C Hayes 1996. Dietary trans monounsaturated fatty acids negatively impact plasma lipids in humans: critical review of the evidence. J. of the Am. College or Nutr. 15(4): 325-339.
Kris-Ethertcn. P.M. C.Y Ho and M.A. Fosmire. 1984 Effect of dietary fat saturation on plasma and hepatic lipoprotein in the rat J Nutr.. 114: 1675-1682.
Mensink. R.P. and M B. Katan. 1990. Effect of dietary trans fatty acids on high-density an low-density lipoprotein cholesterol levels in healthy subjects The New England J. of Medicine 323 (7): 439-445
Ng. T.K.W., K. Hassan. J.B. Lim. M.S. Lye and R. Ishak 1991. Non hypercholesterolemic effects of a palm oil diet in Malaysia voluneers. Am J Clin. Nutr. 53 (Suppl. 4): 1015s-1020s.
PPKS 2000. Ancaman baru terhadap minyak sawit melalui pelabelan makanan
MEMBANGUN GLOBAL IMAGE INDUSTRI MINYAK SAWIT MENGHADAPI KAMPANYE ANTI TROPICAL OIL
Bungaran Saragih dan Tungkot Sipayung
Pusat Studi Pembangunan. Lembaga Penelitian. IPB
PENDAHULUAN
Untuk kesekian kali negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat
(baca: American Soybean Association. ASA) kembali melakukan praktek
unfair trade minyak kelapa sawit (crude palm oil. CPO) dan minyak kelapa
(crude coconut oil. CCO). Pada tahun 1980-an ASA menuduh CPO/CCO
mengandung lemak jenuh (saturated fats) untuk mempengaruhi konsumen
untuk tidak mengkonsumsi produk-produk bahan makanan asai CPO/CCO.
Meskipun rancangan undang-undang anti minyak tropis yang diajukan ASA
kepada Kongres USA akhirnya dibatalkan oleh pemerintah USA setelah
(desakan) sidang Committee on Commodity Problems Intergovernmental
Group on Oil Seeds Oil and Fats di Roma 28-31 Maret 1988. namun
kampanye anti tropical oils tersebut telah berhasil membangun bad
images CPO/CCO dikonsumen negara-negara barat Bad images ini makin
menambah barrier-trade CPO/CCO karena Amerika Serikat membenkan
subsidi ekspor minyak nabati mereka melalui Export Enhancement
Programe (EEP) dan Maximum Guaranted Quantities (MGQS) di negara
masyarakat Eropa, sehingga ekspor produsen CPO/CCO untuk itu
mengalami penurunan
Kemudian akhir-akhir ini ASA kembali mengajukan proposal kepada
US Food and Drug Administration (FDA) tentang Labeling trans-fatty acid
yang dikaitkan dengan saturated fat. Jelas proposal ini juga masih dalam
kerangka menyudutkan CPO/CCO di pasar internasional. Diperkirakan,
dimasa yang akan datang meskipun dalam era perdagangan bebas.
praktek-praktek unfair trade tersebut masih akan tetap berlangsung, Dalam
era perdagangan bebas. diperkirakan proteksi bentuk tarif memang akan
berkurang, namun bentuk food labeling, ecolabeling dan social-labeling
menjadi bentuk proteksi baru dalam perdagangan internasional
Dibalik upaya-upaya negara Barat memproteksi minyak nabatinya
dengan menyebarkan bad image CPO/CCO. tidak terlepas dari keunggulan
CPO dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Sebelum terjadi koreksi
kurs rupiah (melalui krisi ekonomi), biaya produksi CPO lebih murah
dibandingkan dengan biaya produksi minyak nabati lain. Sebagai contoh
menurut Oil World (1987) biaya produk CPO hanya sekitar USS 180 per ton.
sementara soybean oil USS 315 per ton dan rapeseed oil USS 750 per ton.
Dengan terkoreksinya kurs rupiah sampai hampir 300 persen saat ini. jelas
biaya produksi CPO Indonesia menjadi jauh lebih murah dari biaya produksi
soybean oil dan minyak nabati lain (dalam USS). Karena itu. bentuk-bentuk
un-fair trade yang dilakukan oleh ASA merupakan motif ekonomi/bisnis
semata (bukan sentimen nasional). Karena itu untuk menghadapinya juga
harus dalam konteks bisnis/ekonomi
Sebegitu jauh upaya-upaya yang dilakukan oleh ASA maupun EEC
untuk membangun bad image CPO/CCO di pasar internasional produsen
CPO/CCO termasuk Indonesia cenderung bersifat pasif. Upaya untuk
membangun good image CPO/CCO secara pro-aktif di pasar internasional
sangat minimum (kalau tidak mau dikatakan tidak pernah ada). Bahkan
yang terjadi sebaliknya, kita ikut memperparah bad image CPO dengan
pencemaran solar baru-baru ini. Bila terjadi kampanye anti tropical oil. kita
langsung "kebakaran jenggot” dan membentuk "team pemadam kebakaran”.
Cara-cara yang demikian harus ditinggalkan. Upaya secara pro aktif dan
sistematis dalam membangun good image CPO/CCO harus dilakukan
kedepan.
Dalam teori perilaku konsumen mutakhir, dikenal konsep apa yang
disebut dengan consumer value perception (CVP) yakni suatu gugus atribut
yang melekat pada suatu produk yang mempunyai value yang tinggi bagi
konsumen, sehingga mempengaruhi keputusan konsumen dalam memilih
suatu produk. Atribut yang dimaksud mencakup antara lain: (1) atribut harga
produk. (2) food safety attributes (food borne pathogens, heavy metals
pesticide residues, naturally occurring toxin, vaterinary residues). (3)
nutritional attributes (fat content, calories, fiber, sodium, vitamin, minerals):
(4) value attributes (purity, compositional integrity, size, appearance, fastes
convenience of preparation): (5) package attributes (package materials,
labeling, other information provided): (6) atribut ekologis (apakah kegiatan
produksi dna konsumsi suatu produk menimbulkan pengaruh negatif atau
positif pada kelestarian lingkungan dan (6) atribut humanis (apakah proses
produksi suatu produk melanggar hak-hak asasi manusia).
Dengan konsep CVP tersebut konsumen tidak lagi hanya
memperhatikan mahal atau murahnya harga suatu produk yang akan
dikonsumsi, tapi juga memperhatikan atribut-atribut lainnya yang merekat
pada suatu produk. Suatu produk yang harganya murah. namun memiliki
atribut lain yang inferior dimata konsumen, dapat dipersepsikan konsumen
sebagai "produk yang mahal”. Sebaliknya suatu produk yang meksipun
harganya mahal namun memiliki atribut-atribut lainnya yang superior dimata
konsumen, justru dapat dipersepsikan sebagai ‘produk yang murah” oleh
konsumen. Produk yang ideal dimata konsumen adalah harganya murah
tetapi mengandung atribut lainnya yang superior dimata konsumen. Hal ini
menjadi salah satu penjelas mengapa keunggulan komparatif (dari segi
biaya produksi temurah) tidak otomatis menjadi keunggulan kompetitif bagi
suatu produk.
Keenam atribut diatas dapat dikelompokkan menjadi individual value
dan global value. Kelompok atribut individual value dalam hal ini merupakan
atribut produk yang berbeda-beda antar individu atau antar etnis/kelompok
masyarakat. Termasuk ke dalam hal ini adalah atribut harga. food safety
atributes. nutritional attributes, value attributes, dan packages attributes.
Sedangkan global value adalah suatu atribut produk yang berlaku atau
menjadi nilai secara global (masyarakat internasional). Termasuk dalam hal
ini adalah atribut ekologis dan atribut humanis. Dalam kaitannya dengan
kampanye anti-tropical oil (CPO/CCO) yang dilancarkan oleh negara-negara
barat dimaksudkan untuk mempengaruhi individual value tersebut
khususnya nutritional atributes.
Salah satu global value yang akhir-akhir ini makin menguat di negara-
negara barat adalah atribut ekologis. Berbagai bentuk ancaman
kemerosotan lingkungan global seperti pemanasan global (global warming),
perubahan iklim dunia (global climate change) yang disebabkan oleh
peningkatan emisi gas karbon, telah menyadarkan masyarakat internasional
bahwa atribut ekologis harus dipertimbangkan dalam pengambilan
keputusan produksi dan konsumsi suatu produk. Suatu produk yang proses
produksinya menyebabkan peningkatan emisi gas karbon ke atmosfer bumi.
telah dinilai sebagai produk yang inferior. Sebaliknya suatu produk yang
proses produksinya justru menurunkan emisi gas karbon, dinilai sebagai
produk yang superior.
Masuknya atribut ekologis yang demikian pada global value
sebetulnya menguntungkan bagi produsen CPO/CCO sehingga dapat
dijadikan sebagai salah satu atribut dalam rangka membangun global image
terhadap CPO/CCO. Sebagaimana diketahui bahwa kelapa sawit
merupakan penghasil minyak sawit terbesar per satuan waktu dan ruang
yakni sekitar 2.88 ton/ha. Sementara kacang kedele hanya 0.32 ton/ha dan
rapeseed oil 0.62 ton/ha.
Kelapa sawit yang mempunyai produktivitas minyak terbesar tersebut
dibandingkan dengan minyak nabati lain berarti juga penyerap karbon
terbesar (melalui proses fotosintesa) dibandingkan dengan minyak nabati
lain. Artinya. dari segi ekologis, perkebunan kelapa sawit juga merupakan
'perkebunan karbon" yang paling efektif ("rakus") menyerap karbon
sehingga juga berfungsi sebagai "paru-paru dunia". Karbon dioksida yang
paling besar dihasilkan oleh negara-negara barat. oleh perkebunan kelapa
sawit gas karbon tersebut ditransformasi menjadi produk yang bernilai yakni
produk oleo pangan dan oleo kimia serta oksigen. Semakin meningkat
produksi minyak sawit, semakin besar karbon yang diserap (mengurangi
konsentrasi gas karbon diudara), dan semakin besar oksigen yang
disumbangkan ke atmosfer bumi. Kalau hal ini dapat diterima berarti kelapa
sawit adalah salah satu penyelamat planet bumi (Palm oil Saved Our
Planet).
Atribut kelapa sawit tersebut yakni Palm Oil Saved Our Planet perlu
dipromosikan menjadi global value dalam rangka membangun global image
CPO khususnya di negara-negara barat Sehingga pada masyarakat
negara-negara barat sadar betul bahwa kalau mereka ingin berpartisipasi
menyelamatkan bumi dari ancaman pemanasan global, mereka harus
meningkatkan konsumsi produk-produk sehingga akan mendorong
peningkatan produksi CPO dunia. Kalau kesadaran yang demikian sudah
melekat pada masyarakat internasional. kampanye apapun yang dilakukan
produsen minyak nabati lain tidak akan efektif mempengaruhi konsumen.
Dalam mepromosikan (mengkampanyekan) Palm Oil Saved Our
Planet. MAKSI (Indonesia) dan PORIM (Malaysia) perlu bekerjasama.
sehingga promosinya menjadi lebih kuat dan efektif.
Untuk menghadapi kampanye anti-tropical oil yang dilakukan oleh
ASA. dalam jangka pendek. MAKSI dan PORIM perlu mengajukan protes
keras. Namun mengajukan protes keras tidaklah cukup. MAKSI dan PORIM/
perlu secara pro-aktif membangun global image di pasar internasional. Palm
Oil Saved Our Planet barangkali dapat dijadikan salah satu global value dari
CPO kedepan.
STRATEGI DAN PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DALAM MENGHADAPI TECHNICAL BARRIER
Zulkamaen Pulungan, Damoko, Purboyo Guritno & Kabul Pamin
Pusat Penelitian Kelapa Sawit
PENDAHULUAN
Perkebunan kelapa sawit komersial di Asia bermula dari penanaman
2000 bibit kelapa sawit di Pulau Raja. Asahan dan Sungai Liput. Aceh oleh
M Adrien Hallet pada tahun 1911. Sejak itu sampai sekarang, luas areal
kebun kelapa sawit di Indonesia terus berkembang hingga mencapai 2,9
juta ha pada tahun 1999 dengan produksi CPO sebesar 5.9 juta ton
Sejalan dengan pertambahan penduduk dan perbaikan ekonomi
dunia konsumsi minyak nabati juga terus meningkat. Pada tahun 1987-
1990. rata-rata konsumsi minyak nabati dunia adalah 57.015 juta ton
sedangkan pada tahun 1996-2000 konsumsi diperkirakan naik menjadi
83,732 juta ton atau naik sekitar 8,6%/tahun. Untuk tahun yang sama.
konsumsi minyak sawit dunia adalah 9.066 juta ton (15.9%) dan 17.756
(21.2%) juta ton. naik sekitar 14%/tahun. Dimasa yang akan datang
diperkirakan permintaan akan minyak sawit baik untuk bahan pangan
maupun non-pangan akan terus meningkat antara lain karena kenaikan
jumlah penduduk terutama Asia dan Afrika, perbaikan ekonomi di Asia dan
Eropa, terbatasnya perluasan areal untuk minyak bijian serta
pengembangan industri oleokimia.
Dilihat dari ketersediaan sumber daya yang ada. Indonesia masih
mempunyai peluang yang besar untuk mengembangkan perkebunan dan
industri kelapa sawit di masa mendatang. Pengembangan agro industri
kelapa sawit ini harus diarahkan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi
dan keberlajutan usaha sehingga memberikan dampak yang lebih besar
lagi terhadap perekonomian daerah dan pemberdayaan terutama dalam
menyongsong otonomi daerah
Apabila dilihat secara global, konstribusi minyak sawit terhadap
penyediaan minyak nabati dunia adalah sebesar 21.2%. Konstribusi yang
besar ini diperkirakan masih akan naik di tahun-tahun mendatang. Hal ini
karena produktivitas minyak sawit persatuan luas tanaman adalah yang
paling besar dengan biaya produksi rendah yang menyebabkan minyak
sawit mempunyai daya saing yang tinggi dibandingkan dengan minyak
nabati lainnya. Oleh karena itu berbagai upaya telah dilakukan oleh
beberapa negara lain untuk menyerang minyak sawit dengan tujuan utama
untuk menghambat pertumbuhan konsumsi minyak sawit dunia. Sebagai
contoh pada tahun delapan puluh telah disebarkan isu tentang dampak
buruk saturated fat yang banyak terkandung pada minyak sawit yang
mengakibatkan turunnya konsumsi minyak sawit Amerika Serikat. Pada
saat ini kembali minyak sawit mendapat ancaman dari Amerika Serikat
berupa pelabelan trans-fat yang dikaitkan dengan saturated fat yang
diperkirakan akan berdampak buruk pada konsumsi minyak sawit. Untuk
mengantisipasi ancaman-ancaman tersebut di masa yang akan datang
perlu disusun suatu strategi penelitian dan pengembangan yang dapat
menonjolkan keunggulan minyak sawit serta memacu diversifikasi produk
dari minyak sawit untuk memperluas penggunaan dan ekspor minyak sawit.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang arah penelitian
dan pengembangan kelapa sawit untuk sepuluh tahun kedepan di
Indonesia.
TECHNICAL BARRIER DALAM PERDAGANGAN MINYAK SAWIT
Minyak sawit adalah suatu minyak nabati yang biaya produksinya
terendah dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Oleh karena itu
minyak sawit dianggap sebagai pesaing utama minyak nabati lainnya
sehingga beberapa negara produsen minyak nabati berusaha untuk
menghambat konsumsi minyak sawit dengan menerapkan technical barrier.
Technical barrier berupa kampanye anti minyak tropis (minyak sawit,
minyak inti sawit dan minyak kelapa) dimulai pada tahun delapan puluhan di
Amerika Serikat. Kampanye ini didasari oleh hasil penelitian yang belum
tuntas tentang dampak buruk sturated fat yang banyak terkandung pada
minyak tropis terhadap kesehatan. Pada awai tahun 1987, Amerika
Soybean Association (ASA) mengajukan petisi ke Food and Drug
Adminitration, Amerika Serikat agar mewajibkan produsen untuk
mencantumkan label “Tropical Fats” pada produk makanan yang
mengandung minyak tropis. Walaupun usulan tersebut tidak dapat disetujui,
tetapi masyarakat Amerika sudah berhasil diyakinkan tentang dampak
buruk mengkonsumsi saturated fats yang selanjutnya berakibat langsung
terhadap konsumsi minyak sawit Amerika Serikat. Pada awai tahun tujuh
puluan, konsumsi minyak sawit Amerika kurang dari 2% dari total konsumsi
minyak nabati, sedangkan konsumsi minyak kedele lebih dari 77%. Pada
tahun 1975/1976 terjadi kenaikan konsumsi minyak sawit menjadi 7.3%
sedangkan untuk minyak kedele terjadi penurunan menjadi 73%. Sebagai
hasil dari gencamya kampanye anti minyak tropis, konsumsi minyak sawit
Amerika kembali turun menjadi kurang dari 2% sejak akhir tahun delapan
puluhan sampai sekarang. Dari data tersebut, jelas bahwa strategi technical
barrier cukup effektif untuk menghambat laju konsumsi minyak sawit.
Saat ini minyak sawit sedang menghadapai technical barrier yang
baru dari Amerika Serikat berupa usulan peraturan dari US FDA tentang
pencantuman trans fat pada produk pangan yang dikaitkan dengan
saturated fat. Peraturan tersebut diperkirakan dapat mengurangi konsumsi
minyak sawit di Amerika Serikat serta bagian dunia lainnya apabila
diterapkan.
Usaha negara maju untuk menerapkan technical barrier sebagai
upaya untuk melindungi minyak nabati mereka serta menghambat konsumsi
minyak sawit diperkirakan akan terrus berlangsung. Isu-isu lain seperti
kontaminasi dan lingkungan dapat menjadi isu potensial untuk memperketat
persyaratan perdagangan minyak sawit dunia Sebagai salah satu negara
produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia harus mempersiapkan
diri menghadapi berbagai tantangan termasuk technical barrier di masa
depan diantaranya dengan menyusun strategi penelitian yang tepat.
PERANAN PENELITIAN PADA PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT
Penelitian tidak diragukan lagi mempunyai peranan yang sangat
besar pada pengembangan kelapa sawit di Indonesia. Peranan penelitian
yang sangat menonjol antara lain ialah pada peningkatan produktivitas
melalui penemuan varietas baru. perbaikan kultur teknis, pemberantasan
hama dan penyakit serta peningkatan efisiensi pengolahan. Sebagai
gambaran potensi produksi kelapa sawit meningkat lebih dari dua kati lipat
selama kurun waktu 1960 - 1998 (Tabel 1) sebagai hasil dari program
pemuliaan tanaman yang sistematis. Penerapan teknologi terkini dalam
pemuliaan tanaman diharapkan masih dapat meningkatkan produktivitas
kelapa sawit lebih tinggi hingga mencapai sekitar 10,2 ton minyak sawit per
hektar. Sejalan dengan itu hasil penelitian dibidang pemberantasan hama
dan penyakit serta pengolahan juga telah berperan besar dalam
meningkatkan efisiensi pengusahaan perkebunan dan industri kelapa sawit.
STRATEGI PENELITIAN KELAPA SAWIT
Pada dasarnya strategi penelitian kelapa sawit diarahkan untuk
mendukung pembangunan dan pengembangan perkebunan dan industri
kelapa sawit Indonesia yang produktif, efisien serta berwawasan
lingkungan. Dalam kondisi demikian perkebunan dan industri sawit di
Indonesia diharapkan dapat menghadapi semua ancaman dan tantangan
dari luar termasuk trade barrier Untuk mencapai tujuan tersebut program-
program penelitian, baik yang dilaukan oleh lembaga penelitian, perguruan
tinggi maupun industri harus diarahkan pada:
Tahun Bahan Tanaman TBS(ton/ha/tahun)
Kadar Minyak (%)
ProduktivitasMinyak
(ton/ha/tahun)1960 DxD. DxT. TxD 23.1 18.8 4.31970 DxT. TxD. TxD 23.9 22.6 5.41980 DxP RRS I 27,2 23.5 6.41990 DxP RRS IIA 29.8 23.8 7.01998 DxP RRS IIA. IIB 31.3 24.8 7.8
Klon DxP 33,2 25.7 8.52010 DxP RRS III* 33.9 25.8 8.7
Klon DxP** 34.5 26.7 9,22020 DxP RRS IV* 36.8 26.8 9.9
Klon DxP** 36.9 27.7 10.2DxP - MAS*** ? ? ?
Prakiraan berdasarkan kemajuan seleksi untuk TBS 8,5% per siklus (2) dan produktivitas minyak 10,3% per siklus (7)
** Prakiraan kemajuan seleksi 2-4% untuk TBS dan kadar minyak *** MAS = marker-assisted selection
a Penyediaan bahan tanaman unggul
Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak yang paling
produktif dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati
lainnya Saat ini produktivitas tanaman kelapa sawit rata-rata telah
mencapai 4-5 ton minyak per hektar pertahun. Produksi yang tinggi ini
menyebabkan biaya produksi minyak sawit termasuk paling rendah
diantara minyak nabati lainnya yaitu sekitar USS 100 per ton. Untuk
meningkatkan daya saing, produktivitas tanaman kelapa sawit masih
mempunyai peluang yang cukup tinggi untuk ditingkatkan lebih tinggi
lagi. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui upaya yang sistematis untuk
mendapatkan bahan tanaman unggul melalui penelitian tanaman serta
perbaikan kultur teknis
Bertolak dari peluang dan sumberdaya yang ada. strategi
penelitian pemuliaan kelapa sawit di Indonesia harus difokuskan pada
upaya pemenuhan kebutuhan bahan tanaman unggul yang berkualitas,
baik untuk kepentingan domestik maupun ekspor. dengan memiliki
keunggulan tertentu. Bahan tanaman kelapa sawit di masa depan harus
memiliki keunggulan dalam hal sifat primer produktivitas minyak dengan
tambahan satu atau lebih sifat sekunder. Sebagai konsekwensinya.
produsen bahan tanaman (industri benih) kelapa sawit juga harus
mampu menyediakan dirinya sebagai super market di dalam memenuhi
kebutuhan bahan tanaman sesuai dengan permintaan konsumen.
Unggul dalam hal sifat primer produktivitas minyak mutlak harus
dimiliki oleh bahan tanaman kelapa sawit masa depan. Hal ini sangat
penting sebab keunggulan kompetitif kelapa sawit dibandingkan dengan
sumber penghasil minyak nabati lain (kedele, kelapa, rapeseed. bunga
matahari) adalah dari segi potensi produksinya. Dengan sistem
budidaya yang optimum, saingan terdekat kelapa sawit yaitu kedele
hanya mampu menghasilkan minyak nabati maksimum 3 ton/ha/tahun.
Selain itu dari berbagai literatur diketahui bahwa kemajuan seleksi
pertahun untuk kedele jauh di bawah kelapa sawit. Oleh karena itu.
margin kenaikan produktivitas antara komoditas ini dari tahun ke tahun
diperkirakan akan semakin melebar.
Keunggulan sifat sekunder berasal dari unggulan kualitas minyak
komponen minor minyak sawit, ketahanan terhadap hama dan penyakit,
toleransi terhadap cekaman lingkungan, atau keragaman morfologi.
Kualitas minyak bergantung pada jenis penggunaanya, Saat ini produk
minyak sawit (CPO) Indonesia yang diekspor ke luar negeri hanya
dibatasi oleh ketentuan kualitas berupa kandungan asam lemak bebas
serta Kadar air dan kotoran. Di masa depan, tuntutan akan spesifikasi
produk diperkirakan akan lebih mengkristal Misalnya. untuk bahan baku
salad oil diperlukan minyak sawit mentah (CPO) yang mempunyai
kandungan asam lemak tak jenuh tunggal (oleat) tinggi. Untuk
komponen minor minyak sawit, diperlukan minyak sawit dengan
kandungan beta carotene, tocopherol, dan tocotrianol yang tinggi
Sebaliknya untuk industri oleo kimia akan bergantung kepada minyak
inti sawit Palm Kernel Oil. (PKO). Oleh karenannya. dimasa depan
diperlukan kelapa sawit yang mempunyai kernel (ratio inti per buah)
yang tinggi. Sebagai konsekuensinya, arah dan strategi pemuliaan
kelapa sawit harus disediakan dengan perkembangan tuntutan produk
akhir tersebut.
Sifat sekunder yang tidak kalah penting adalah ketahanan
terhadap stres biotik, hama dan penyakit, seperti ketahanan terhadap
Ganoderma. Di masa yang akan datang pemuliaan terhadap ketahanan
hama dan penyakit harus diprioritaskan. Dengan mempertimbangkan
pola interaksi mikroba tanaman, peluang timbulnya penyakit akan
semakin bertambah dengan bertambahnya siklus pertanaman.
Pengalaman terhadap eksplosif penyakit layu fusarium di Afrika Barat
menunjukkan bahwa serangan penyakit jauh lebih tinggi di areal
replating dibandingkan dengan areal baru. Dengan program replating
perkebunan kepala sawit mulai tahun 2005 diperkirakan problem
penyakit akan lebih dominan. Oleh karenanya pendekatan preventif
perlu dilakukan dengan \menghasilkan bahan tanaman yang tahan
terhadap stress biotik.
Pemuliaan kelapa sawit yang toleran terhadap cekaman
lingkungan maupun yang ramah lingkungan perlu diprioritaskan Saat
ini. di Indonesia tersedia 30 juta lahan hutan konversi Hanya 5.06 juta
ha dari seluruh areal yang tersedia tersebut yang telah dimanfaatkan
untuk keperluan transmigrasi dan perkebunan. Dengan demikian seluas
24 96 juta ha (83.4%) areal konservasi masih belum dimanfaatkan.
Areal yang tersisa tersebut umumya merupakan lahan marginal yang
mempunyai keterbatasan pedo-agroklimat. Oleh karenanya, tuntutan
ketersediaan bahan tanaman kelapa sawit yang mempunyai
produktivitas tinggi di lingkungan yang memiliki banyak keterbatasan
pedo-agroklimat perlu memperoleh perhatian.
Salah satu sifat yang perlu diperbaiki dalam perbaikan bahan
tanaman adalah dengan keragaman morfologi tanaman, Hingga awai
1970-an kerapatan tanaman yang dilakukan oleh pekebun kelapa sawit
yang menggunakan materi dura adalah 143 pohon per ha Varietas
unggul D x P umumnya mempunyai kerapatan yang lebih jagur.
sehingga kerapatan optimum berkurang menjadi 130 pohon per ha.
Beberapa DxP juga tumbuh cepat. terutama di areal dengan kelas
kesesuaian lahan I yang mempunyai daya dukung lahan sangat baik
untuk pertanaman kelapa sawit. Efisiensi penggunaan lahan
kemungkinan dapat ditingkatkan jika tersedia bahan tanaman kelapa
sawit yang mempunyai pertumbuhan meninggi yang lambat dan
pelepah pendek sehingga dapat ditanam lebih rapat.
b. Perbaikan kultur teknis
Areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih dapat
dikembangkan lebih lanjut lagi, akan tetapi pengembangan tersebut
hanya dapat dilakukan pada lahan kurang subur yaitu lahan dengan
kesesuaian lahan kelas tiga (S3) mengingat lahan kelas satu sudah
sangat terbatas. Karena produktivitas kelapa sawit pada lahan tersebut
lebih rendah maka diperlukan input yang lebih tinggi untuk menaikan
produktivitas. Oleh karena itu harus ditemukan berbagai terobosan atau
teknologi baru yang mampu meningkatkan produksi tanaman kelapa
sawit pada lahan kurang subur.
Untuk mencapai tujuan tersebut strategi penelitian dalam bidang
kultur teknis harus diarahkan pada pencarian teknologi baru untuk
meningkatkan penyakit Pemanfaatan tandan kosong sebagai mulsa
pada tanaman kelapa sawit serta land aplikasi perlu diteliti lebih lanjut
mencari metode yang paling sesuai dalam memanfaatkan mutrisi dalam
kedua limbah tersebut secara optimal.
c. Diversifikasi produk untuk pengembangan pasar
Konsumsi minyak/lemak perkapita di Indonesia sekitar 10 kg per
tahun. jika penduduk Indonesia sekitar 200 juta orang maka total
konsumsi minyak/lemak per tahun sekitar 2 juta ton. Kebutuhan
minyak/lemak yang digunakan sebagai bahan baku industri oleokimia
sekitar 20% (ICBS. 1997). Dengan demikian produksi minyak sawit
nasional yang dikonsumsi dalam negeri sekitar 54%. Sebagian besar
minyak sawit digunakan sebagai bahan baku minyak goreng. margarin
dan produk oleo pangan lainnya sementara sisanya digunakan sebagai
bahan baku oleokimia. Keunggulan minyak sawit dibandingkan dengan
minyak nabati lainnya adalah biaya produksi yang rendah, komposisi
asam lemak jenuh dan tidak jenuh yang berimbang, mengandung
senyawa-senyawa minor yang sangat bermanfaat bagi kesehatan seperti
beta-karoten. tokoferol. tokotrienol. sehingga produk-produk yang dapat
dikembangkan lebih beragam.
Mengingat terbatasnya jenis-jenis produk hilir yang diproduksi di
Indonesia, maka diperlukan penelitian-penelitian untuk mencari produk-
produk baru yang dapat dibuat dari minyak sawit. Di samping untuk
meningkatkan nilai tambah, ekspor produk hilir juga tidak menghadapi
technical barrier seperti halnya ekspor bahan baku.
Komposisi asam lemak miyak sawit yang berimbang jumlah fraksi
cair dan fraksi padatnya sangat menguntungkan jika digunakan sebagai
bahan baku pembuatan margarin karena secara alami telah terbentuk
semi-padat Umumnya bahan baku yang digunakan untuk pembuatan
margarin berasal dari hidrogenasi liquid oil seperti minyak kedelai,
minyak jagung dan lainnya. Hasil samping dari proses hidrogenasi
memberikan asam lemak dengan konfigurasi trans yang berbahaya bagi
kesehatan Oleh karenanya, rencana US-FDA mencantumkan trans fat
pada produk-produk makanan jika persyaratannya tidak dikaitkan
dengan kandungan saturated fat akan memberi peluang yang besar
pada minyak sawit. Berbagai jenis produk baru lainnya dengan bahan
baku minyak sawit perlu diteliti untuk mengembangkan pasar minyak
sawit. Dengan berkembangnya pasar. technical barrier diperkirakan
tidak akan mampu membendung pasar minyak sawit.
Permintaan produk oleokimia diperkirakan juga akan meningkat
untuk mengantikan produk petro kimia. Keunggulan produk oleokimia
dibandingkan dengan produk Petrokimia adalah sifatnya yang
biodegradable dan renewable Di antara produk oleokimia yang
potensial adalah oleokimia dasar seperti asam lemak. metil ester, fatty
alkohol, fatty amina dan gliserol. Asam lemak merupakan produk
oleokimia dasar yang sangat luans penggunaannya terutama sebagai
bahan baku pada industri kosmetik, plasticier. sabun dan toiletries. Metil
ester merupakan produk antara yang dibuat dengan cara esterifikasi
antara minyak sawit atau inti sawit dengan metanol. Selain dapat
digunakan langsung sebagai bahan bakan pengganti diesel (biodiesel)
dan pelumas, metil ester dapat diproses lebih lanjut menjadi fatty
alkohol Fatty alkohol merupakan produk oleokimia dasar yang banyak
digunakan sebagai bahan baku surfaktan, kosmetik dan diterjen. Fatty
alkohol dibuat dengan cara hidrogenasi metil ester pada suhu dan
tekanan tinggi menggunakan katalis kimia Fatty amina merupakan
senyawa turunan nitrogen yang dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan surfaktan, pelembut pakaian dan shampo. Gliserm yang
merupakan hasil samping dari keempat industri oleokimia di atas sangat
diperlukan pada industri konsmetika. farmasi, makanan, toiletries, tektil
dan bahan peledak.
d. Ekspioitasi keunggulan nutrisi minyak sawit
Minyak sawit memilki beberapa keunggulan dibandingkan minyak
nabati lainnya. terutama dipandang dari aspek nutritionallnya.
Komposisi asam lemak utamannya yang teridiri dari asam lemak jenuh
(asam palmitat. C16:0) sebesar 44% dan asam lemak tidak jenuh
tunggal (asam oleat. C18:1) sebesar 39%. membuat aplikasi minyak
sawit sangat luas pada pangan. Asam oleat pada minyak sawit ini telah
dibuktikan dapat menurunkan kadar kolesterol total dan LDL-kolesterol
darah (Mattson dan Grundy. 1985). Disamping itu. kandungan
komponen minor minyak sawit, yakni karotenoid dan vitamin E
(tokoferol dan tokotrienol) yang tinggi membuat minyak sawit memiliki
nilai nutrisi yang baik. selain juga memiliki sifat antioksidan yang dapat
meningkatkan stabilitas minyak sawit itu sendiri.
Disisi lain, minyak inti sawit merupakan sumber asam lemak
rantai sedang (C6-C12) yang potensial. Asam lemak rantai sedang
sudah sejak lama digunakan sebagai bahan nutrisi enteral (oral feeding)
maupun parenteral (intravenous feeding) bagi pasien-pasien di rumah
sakit yang membutuhkan diet khusus. Minyak dengan kandungan asam
lemak rantai sedang dapat diabsorpsi dan dioksidasi lebih cepat untuk
kebutuhan energi dibandingkan dengan asam lemak rantai panjang
(Mergemis. 1991). Saat ini bentuk-bentuk lipida terstruktur (structured
lipids) dengan kandungan asam lemak rantai sedang yang tinggi
banyak digunakan sebagai bahan lemak rendah kalori dalam produk-
produk pangan Target konsumen produk ini adalah orang-orang yang
sedang melakukan diet dan menghindari kegemukan Hal ini
dimungkinkan karena asam-asam lemak rantai sedang menghasilkan
kalori yang lebih rendah (6-8 kkal/g). dibandingkan dengan asam lemak
ranti panjang yang memiliki nilai kalori 9 kkal/g (Akoh. 1995 danAkoh
1998).
Dengan keunggulan-keunggulan komparatif yang dimiliki minyak
sawit dan minyak inti sawit seperti yang disebutkan di atas maka
pengembangan industri pangan berbasis minyak sawit haruslah dapat
mengeksploitasi sifat-sifat tersebut. Saat ini negara-negara maju telah
mampu mengembangkan tanaman-tanaman penghasil minyak dengan
perbaikan komposisi asam lemak tertentu, baik dengan metode
penulisan konvensional maupun rekayasa genetik. Kandungan asam
lemak yang ditinggalkan adalah asam-asam lemak yang bermanfaat
posifit bagi kesehatan manusia namun juga memiliki stabilitas yang
baik. seperti asam oleat dan laurat Dengan arah penelitian dan
pengembangan yang tepat. maka peluang untuk lebih memeperluas
aplikasi minyak sawit di industri pangan dapat direbut. Hal ini
dimungkinkan karena dalam waktu dekat. tanaman-tanaman baru
tersebut akan belum mampu bersaing secara ekonomis dengan minyak
sawit, dismaping produksi sawit saat ini sangatlah efisien.
Penelitian dan pengembangan industrialisasi minyak sawit juga
dapat diarahkan pada teknologi proses untuk produk-produk bernilai
ekonomis tinggi. Kesadaran masyarakat dunia, terutama di negara-
negara maju, terhadap kesehatan, keamanan pangan dan kelestarian
lingkungan haruslah menjadi acuan dalam strategi penelitian dan
pengembangan minyak sawit. Diversifikasi produk pangan yang
menggunakan minyak sawit dan minyak inti sawit sebagai konstituen
dapat diarahkan ke produk-produk cocoa butter substitute (CBS),
Confectionery fats, medium chain triglyceride (MCT). lemak biskuit dan
pengganti lemak susu.
Proses modifikasi dan restruktunsasi minyak sawit secara
enzimatik juga dapat menjawab tantangan yang disebutkan di atas,
dengan mengembangkan produk minyak/lemak yang sehat" dengan
target spesifik mengatasi beberapa jenis penyakit atau ganguan, serta
untuk meningkatkan kesehatan. Minyak sawit dan minyak inti sawit
dapat digunakan sebagai sumber maupun pembawa (carrier) asam-
asam lemak spesifik yang bermanfaat positif bagi nutrisi dan kesehatan.
Dengan proses modifikasi enzimatik pula maka kandungan asam-asam
lemak spesifik yang berasal dari minyak inti sawit, minyak sawit itu
sendiri. bahkan yang berasal dari minyak lain seperti asam lemak
omega-3 dari minyak ikan atau asam lemak esensial dari minyak jagung
atau kedele. Lebih lanjut provitamin A merupakan antioksidan yang
efektif. Studi epidemiologi menunjukan adanya hubungan yang erat
antara beta karoten dengan pencegahan beberpa jenis penyakit kanker,
sehingga beta karoten dikategorikan sebagai salah satu dari 10
senyawa anti kanker utama. Vitamin E juga telah dikenal luas sebagai
senyawa antioksidan, antikanker dan bersifat hipokolesterolemik.
Kehilangan vitamin D terbesar selam proses pemurnian minyak sawit
adalah pada distilat asam lemak sawit (PFAD). Konsentrasi vitamin E
pada PFAD ini dapat 5-10 kali lebih tinggi daripada CPO. sehingga
PFAD dapat digunakan sebagai sumber vitamin E yang sangat
potensial.
Kelebihan-kelebihan aspek nutrisional pada minyak sawit dan
minyak inti sawit juga perlu diteliti secara biologis, sehingga kelak
sebagai produsen minyak sawit terbesar Indonesia siap untuk
menghadapi trade maupun technical barrier yang dilancarkan oleh
negara-negara pesaing penghasil minyak nabati lainnya. Kandungan
asam lemak jenuh yang sering digunakan sebagai alasan untuk
memojokan minyak sawit, perlu dibuktikan bersifat netral secara
alamiah apabila dikonsumsi bersama-sama dengan asam lemak tidak
jenuh. Selama ini penelitian-penelitian biologis yang berkaitan dengan
asam lemak umumnya menggunakan asam lemak secara individual
dalam diet percobaan, padahal kondisi ini tidak pernah ditemukan
dalam menu diet manusia sehari-hari. Uji biologis yang membuktikan
bahwa asam lemak jenuh pada minyak sawit tidak seburuk asam lemak
trans pada hydrogenated vegetable oil dalam meningkatkan resiko
penyakit jantung koroner juga dibutuhkan.
e. Pengembangan produk dari limbah industri kelapa sawit
Strategi penelitian pemanfaatan limbah pada kelapa sawit harus
diarahkan pada teknologi pembuatan produk-produk bernilai tinggi dan
limbah tersebut. Dengan demikian industri kelapa sawit akan
mendapatkan tambahan keuntungan dengan memproduksi berbagai
jenis produk dari limbah padat kelapa sawit.
Tandan kosong kelapa sawit, pelepah serta batang kelapa sawit
hasil replanting merupakan limbah kelapa sawit yang jumlahnya sangat
besar dan sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal
Penelitian masih diperlukan untuk mengolah limbah tersebut menjadi
produk-produk yang mempunyai nilai ekonomis tinggi sehingga dapat
meningkatkan keuntungan
Tandan kosong dan pelepah saat ini umumnya masih dibakar
atau digunakan sebagai mulsa di perkebunan kelapa sawit penelitian di
PPKS menunjukan bahwa tandan kosong dan pelepah merupakan
bahan baku yang baik untuk industri berbagai jenis kertas. PPKS
bekerja sama dengan PT. K raft Aceh, dan Balai Penelitian Selulosa
Bandung telah berhasil mendapatkan teknologi pembuatan pulp dan
kertas berbahan baku tandan kosong dan pelepah sawit pada skala
pilot. Kertas yang diproduksi berupa kertas cetak, kertas kraft. dan
kertas karton. Secara umum kualitas pulp dan kertas yang dihasilkan
telah sesuai dengan standar nasional Indonesia. Pada tahun 1999
kebun kelapa sawit di Indonesia menghasilkan sekitar 5.9 juta ton
tandan kosong. Jika bahan ini dijadikan kertas, diperkirakan akan setara
dengan 2,3 juta ton kertas.
f. Produksi bersih
Akhir-akhir ini isu lingkungan semakin gencar disuarakan oleh
berbagai kalangan. Hal ini karena semakin besarnya kepedulian
masyarakat dunia terhadap pentingnya pelestarian lingkungan
Konsumen berani membayar lebih tinggi untuk produk-produk pangan
atau non pangan yang diproduksi dengan memperhatikan kelestarian
lingkungan. Metode produksi bersih (cleaner production) semakin
banyak diadopsi oleh industri untuk mendapatkan nilai tambah
lingkungan terhadap produknya.
Penerapan produk bersih pada industri kelapa sawit akan dapat
menaikkan daya saing minyak sawit serta menjadikan industri sawit
berwawasan lingkungan Berbeda dengan pengolahan minyak nabati
lainnya yang kebanyakan menggunakan pelarut organik. pengolahan
minyak sawit dilakukan secara mekanis tanpa menggunakan pelarut
atau bahan kimia sama sekali. Keunggulan ini perlu diungkapkan
minyak sawit dapat memperoleh green label yang secara langsung
dapat menaikan daya saing minyak sawit di dunia. Adanya green label
akan mampu menangkal technical barrier yang masih akan terus
dilontarkan oleh negara-negara maju.
a. Peningkatan produktivitas perkebunan
Pengembangan perkebunan kepala sawit secara besar-besaran
di Indonesia dimulai pada awai delapan puluhan. Mengingat umur
ekonomis tanaman kelapa sawit adalah 25 tahun. maka dalam jangka
waktulima tahun mendatang akan terjadi replanting secara besar-
besaran pula. Pada saat replanting ini merupakan saat yang tepat untuk
mengganti tanaman kelapa sawit dengan bahan tanaman yang lebih
unggul untuk meningkatkan produktivitas. Kesalahan pemilihan bahan
tanaman akan berakibat sangat panjang. Ada berbagai bahan tanaman
unggul hasil pemuliaan PPKS yang dapat dikembangkan untuk
replanting diantaranya sebagai berikut:
Varietas DxP baru dengan produktivitas 6.31 ton CPO/ha/tahun
Klon baru hasil kultur jaringan dengan produktivitas 8 ton
CPO/ha/tahun.
Varietas DxP baru dengan produksi minyak sawit ini yang lebih
besar dengan produktivitas 5-6 ton CPO dan 0 79 ton inti
sawit/ha/tahun
Penggantian tanaman kelapa sawit dengan varietas dan klon-klon
baru tersebut diharapkan secara bertahap akan menaikkan
produktivitas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Pengembangan
tanaman sawit dengan inti besar akan memberikan nilai tambah berupa
peningkatan produksi minyak inti sawit dari semula 0.28 ton menjadi
0.79 ton/ha/tahun. Varietas baru ini dapat menjadi sumber minyak laurat
yang selama ini diperoleh dari minyak yang produktivitasnya 0.8-1.2
ton/ha/tahun. Kebutuhan minyak laurat sebagai bahan baku industri
oleokimia terus meningkat dengan sangat cepat yang tidak dapat
diimbangi peningkatan produksi minyak kelapa yang merupakan
sumber utama minyak lauric. Oleh karena itu tanaman dengan inti besar
mempunyai prospek yang sangat cerah. Selain untuk minyak. inti sawit
dapat juga diproses untuk dijadikan santan instan yang permintaannya
juga terus meningkat. Andaikan bahan perkembangan bahan tanaman
yang digunakan mampu meningkatkan rata-rata produksi 4 ton menjadi
4.5 ton CPO + inti/ha/tahun, maka dari perbaikan bahan tanaman
dengan produksi tinggi PPKS telah melepaskan tanaman berpostur
pendek yang memudahkan pemanenan sehingga mengurangi biaya
panen sampai 32% dan memperpanjang umur ekonomis tanaman.
b. Peningkatan mutu produk primer
Kualitas CPO yang diproduksi oleh PKS di Indonesia sebetulnya
cukup bagus dan memenuhi standar mutu, akan tetapi selama
pengangkutan dari pabrik kepelabuhan kadang-kadang terjadi
penurunan mutu akibat kontaminasi dengan bahan-bahan lain baik tidak
sengaja maupun disengaja oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab seperti terjadinya kasus pencemaran minyak sawit di Indonesia,
bukan hanya pada eksportir tetapi juga pada petani. Potongan harga
sebanyak USS 20/ton yang setara dengan Rp 30/kg TBS sebagian besar
akan menjadi beban produsen termasuk petani. Oleh karena itu untuk
menjaga mutu dan daya saing minyak sawit, perlu segera dicari upaya
pencegaha kontaminasi melalui pengawasan mutu yang ketat serta
peningkatan kedisiplinan pelaku transportasi minyak sawit.
c. Pengembangan industri hilir
Industri pangan dari minyak sawit di Indonesia didominasi oleh
industri minyak goreng disusul oleh margarin Konsumsi margarin di
Indonesia selama 6 tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup
tinggi. yaitu sekitar 15.02% per tahun (1991-1996). Dengan demikian
industri tersebut mempunyai peluang untuk lebih dikembangkan di
Indonesia.
Berbeda dengan industri minyak goreng. industri oleokimia masih
sangat sedikit. Oleokimia adalah produk kimia yang berasal dari minyak
atau lemak. baik yang berasal dari nabati maupun hewani, yang dibuat
dengan cara memutus struktur trigliserida dari minyak atau lemak
tersebut menjadi asam lemak dan gliserin, atau dengan cara
memodifikasi gugus fungsi karboksilat dan hidroksilnya baik secara
kimia, fisika maupun biologi. Sebagian besar oleokimia digunakan
sebagai bahan baku surfaktan untuk produk-produk rumah tangga dan
industri.
Surfaktan dapat dibuat baik dari petrokimia maupun oleokimia.
Dimasa mendatang, produk dari oleokimia cenderung lebih disukai oleh
konsumen dibandingkan dengan produk dari petrokimia. Hal ini terlihat
dari meningkatnya kontribusi oleokimia pada industri surfaktan dari 12%
(pada 1985) menjadi 20% (pada1995). sementara kontribusi produk
surfakan dari petrokimia seperti branch alkyl benzene dan linier alkil
benzene berturut-turut turun dari 14% dan 55% (1985) menjadi 9 dan
53% (1995). Kecenderungan ini terutama disebabkan karena minyak
nabati merupakan sumber yang dapat diperbaharui, relatif lebih aman
bagi kesehatan dan mudah terdegradasi secara biologi sehingga relatif
tidak mencemari lingkungan.
Pada awainya bahan baku utama oleokimia adalah tallow dan
minyak kelapa masing-masing merupakan sumber asam lemak C16 dan
C18 dan C12 dan C14. Namun, selama 1985-1995 peningkatan produksi
tallow sangat sedikit sehingga tallow dan minyak kelapa tidak dapat
memenuhi kebutuhan sumber bahan baku oleokimia dimasa yang akan
datang. Alternatif pengganti tallow dan minyak kelapa sebagai bahan
oleokimia adalah CPO dan PKO karena masing-masing mengandung
asam lemak C16 dan C18 dan C12 dan C14. Diperkirakan pada masa
yang akan datang CPO dan PKO akan memegang peranan penting
sebagai sumber utama bahan baku oleokimia.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, industri oleokimia yang
dapat dikembangkan adalah industri oleokimia dasar yaitu fatty acids.
fatty alcohol, glycerine.dan metil ester, industri produk akhir seperti
sabun dan diterjen atau industri bahan-bahan halus seperti vitamin A.
dan vitamin E. Namun. perkembangan industri oleokimia di Indonesia
masih lambat karena inventasi di bidang industri tersebut cukup tinggi.
yaitu sekitar Rp. 200-300 milyar. Walaupun demikian, pada 1996 industri
oleokimia di Indonesia dapat masih memberikan devisa kepada negara
cukup besar. yaitu sebesar USS 304 juta. Selain industri oleokimia dasar.
pengembangan industri kelapa sawit juga dapat dilakukan melalui
industri lanjutan seperti industri sabun. margarin, dan produk-produk
pangan.
PENUTUP
Minyak sawit sebenarnya mempunyai banyak keunggulan yang
tidak dimiliki nabati lainnya. Karena keunggulan tersebut, minyak sawit
sering mengalami technical barrier dari negara-negara maju sebagai
upaya untuk membatasi konsumsi dan perdagangan minyak sawit. Untuk
mengantisipasi technical barrier terhadap minyak sawit di masa yang
akan datang. perlu dilakukan penelitian dan pengembangan minyak
sawit yang sistematis dan berkesinambungan. Strategi-setrategi
penelitian dan pengembangan minyak sawit harus diarahkan pada
eksploitasi keunggulan minyak sawit tersebut, pengembangan produk-
produk baru dari minyak sawit serta penerapan produksi bersih untuk
mendapatkan green label.
MEMANFAATKAN ASPEK NEGATIF ASAM LEMAK TRANS SEBAGAI FAKTOR PEMBANGUN CITRA MINYAK SAWIT
Purwiyatno Hariyadi
Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fateta IPB
Perang dagang antara lemak tropika (minyak kelapa sawit, kelapa)
dan lemak non tropika (minyak jagung, kedelai, kanola. dll) terus
berkecamuk. Walaupun peraturan tentang persaingan perdagangan
internasional harus didasarkan pada fakta-fakta ilmiah yang berlaku saat itu.
namun pada kenyataannya peraturan yang ada sering merugikan negara
berkembang. Kasus adanya pelabelan asam lemak trans merupakan contoh
yang baik untuk hal ini.
Asam-asam lemak jenuh memiliki sebuah rantai yang terdiri dari
atom-atom karbon yang digabungkan oleh ikatan-ikatan tunggal. sehingga
memungkinkan adanya rotasi pada ikatannya. Pada asam-asam lemak
tidak jenuh adanya ikatan ganda membatasi terjadinya rotasi. Karena itu
asam lemak tidak jenuh dengan satu ikatan ganda dapat berada dalam dua
bentuk. Bentuk cis atau z memiliki dua bagian dari rantai karbon yang
cenderung berhadapan satu sama lain dan bentuk trans atau e memiliki dua
bagian dari rantai karbon yang hampir linear. Karena sifat-sifat inilah maka
asam-asam lemak trans (trans fatty acid/ALT) memiliki konfirmasi dan sifat
yang hampir menyerupai asam-asam lemak jenuh. Bahkan, dari aspek
kesehatan. ALT sering memberikan efek yang lebih negatif daripada asam
lemak jenuh. Karena minyak tropika tidak mengandung ALT. maka pada
kondisi ini aspek negatif ALT perlu digunakan sebagai faktor pembangun
citra positif dari minyak sawit.
Hidrogenasi
Secara alarm, asam-asam lemak tidak jenuh pada minyak nabati
berada dalam bentuk cis Pada saat minyak terhidrogenasi sebagian maka
sejumlah ikatan ganda akan hilang (menjadi ikatan tunggal) dari rantai asam
lemak. dan sebagian asam lemak tidak jenuh bentuk isomer cis dan akan
berubah menjadi bentuk trans. membentuk ALT
Sejumlah lemak tidak jenuh yang berasal dari ruminansia sebagian .
mengalami hidrogenasi oleh bakten dalam rumen. Sehingga, lemak susu
produk-produk susu dan lemak sapi dan kambing juga mengandung isomer
asam lemak cis dan trans. meskipun dalam proporsi yang agak berbeda.
Jumlah yang ditemukan umumnya adalah sekitar 2-9%. Sejumlah kecil ALT
juga terdapat pada lemak unggas dalam lemak babi, tergantung dari
makanannya
Hal ini merupakan keunggulan minyak tropika, dimana secara fisiko-
kimia. minyak tropika tidak memerlukan adanya proses hidrogenasi.
Berbeda sekali dengan minyak tropika, minyak non-tropika umumnya
memerlukan proses hidrogenasi untuk meningkatkan stabilitas dan juga
untuk meningkatkan daya gunanya. Karena itulah aspek negatif dari proses
hidrogenasi mi -yaitu terbentuknya ALT- perlu dipaparkan dengan baik.
sehingga keunggulan minyak tropika dapat ditonjolkan dengan baik pula
Proses hidrogenasi ini pula yang memberikan sumber utama bagi
asupan ALT bagi konsumen di negara maju. Menurut laporan dari Hulshof
(1999) yang melakukan penelitian bersama di 14 negara Eropa Barat
menunjukkan bahwa minyak dan lemak hasil hidrogenasi merupakan
sumber utama asupan ALT Untuk UK -misalnya- perkiraan asupan total
lemak rata-rata adalah 77 g/hari. ekivalen dengan 35.7% asupan energi
Rata-iata konsumsi ALT adalah 2.8 g/hari (=1.3% energi). sedangkan
sekitar 28.5 g/hari (=13.2% energi) adalah berupa asam lemak jenuh.
Dari survei diatas (Hustof. 1999). diketahui bahwa sumbangan (%)
dari berbagai makanan terhadap asupan ALT adalah sebagai berikut:
Susu dan keju 18 8% AlamiMentega 5.9% AlamiTelur 0.9% AlamiDaging dan produknya 10.3% AlamiMinyak dan lemak 35.5% Terutama diakibatkan dari hidrogenasiBiskuit dan cake 16.5% Terutama diakibatkan dari hidrogenasiSavoury pies, etc 3.5% Terutama diakibatkan dari hidrogenasi
Keripik, kentang goreng 4.5% Terutama diakibatkan dari hidrogenasiLain-lain ; 4.1% Terutama diakibatkan dari hidrogenasiTotal ; 100% Terutama diakibatkan dari hidrogenasi
Pengaruh negatif ALT Perlu dikomunikasikan kepada konsumen
Dan aspek pencernaan, absorbsi dan metabolisme ALT mengalami
hal yang sama dengan isomer cis. Kedua jenis asam lemak tersebut
tergabung dengan lemak dalam jaringan, dan terdapat dalam air susu ibu
dan selanjutnya dikataboiisme dengan cara yang sama seperti pada isomer
cis.
Namun dari berbagai studi, diperoleh hubungan positif peningkatan
antara peningkatan proses hidrogenasi dan peningkatan frekuensi penyakit
jantung koroner (PJK) dan masalah kesehatan lainnya. Korelasi tersebut
telah dibahas tuntas oleh British Nutrition Foundation (1995) dan kemudian
dikonfirmasi oleh berbagai laporan hasil penelitian. Antara lain, hasil
penelitian Thomas et al 1981 menunjukkan bahwa sampel jaringan adiposa
dari penderita yang meninggal akibat PJK menunjukkan konsentrasi ALT
yang lebih tinggi dibanding rata-rata.
Keberadaan ALT diketahui bersifat kompetitif terhadap absorbsi dan
metabolisme asam lemak esensial (EFA), terutama pada proses reaksi
yang penting untuk perkembangan sistem syaraf dan penglihatan. Asupan
tinggi ALT menunjukkan pengaruh pada metabolisme EFA pada hewan
percobaan, terutama pada saat asupan EFA rendah. Hal ini menjadi sangat
penting terutama untuk bayi yang baru lahir, terutama bila prematur, dimana
asupan ALT dari air susu ibu (dipengaruhi oleh asupan ALT ibu tersebut)
cukup tinggi. Pertimbangan ini membuat Danish Nutrition Council
menganjurkan pengurangan asupan ALT dan lemak nabati rata-rata
2 g/hari. Demikian juga hasil-hasil penelitian lainnya. yang menunjukkan
bahwa ALT perlu diwaspadai sebagai salah satu faktor diet yang penting
dan dapat meningkatkan peluang terjadinya masalah kesehatan pada tubuh
Lihat pula berbagai hasil penelitian yang diuraikan pada tulisan yang
berjudul “Tantangan Penerapan Trade Barrier dalam Perdagangan
Internasional Minyak Sawit dan Strategi Penanggulangannya" (PPKS) dan
"The Truth in Labeling" (MAKSI dan PPKS) dalam Prosiding ini.
Rekomendasi?
Berbagai badan yang berwenang di bidang pangan. gizi dan
kesehatan telah menerbitkan beberapa rekomendasi yang isinya adalah
untuk mengurangi asupan ALT. Badan-badan itu antara lain adalah
Departemen Kesehatan UK (1994), WHO (1994). dan BNF (1995). Secara
umum, rekomendasi tersebut menyatakan bahwa meskipun resiko
kesehatan dari asupan ALT pada tingkat konsumsi yang sekarang ini masih
belum mengkhawatirkan, namun mengingat kecenderungan yang ada dan
efek jangka panjang. maka paling tidak asupan ALT tidak seharusnya
ditingkatkan.
Hal yang sangat penting yang perlu dicermati oleh masyarakat
minyak tropika adalah adanya rekomendasi yang dibuat WHO. yang
menyatakan bahwa “Pabrik makanan harus dapat mengurangi
tingkat/jumlah isomer trans asam lemak sebagai akibat hidrogenasi"
Peluang Bag! Minyak Topika
Kalangan industri di negara-negara maju, terutama di Eropa telah
memberikan respon positip tentang rekomendasi ini. Khususnya bagi
industri margarin menurut survei Hulshof. soft margarin yang pada tahun
1894 memiliki kandungan ALT 8-12%. sekarang telah dimodifikasi menjadi
kurang dari 1% Demikian pula dengan margarin batang. yang tadinya pada
tahun 1994 mempunyai kandungan ALT sebesar 18-26%. saat ini telah
direformulasi menjadi 10-12% (Paper oleh Baldock. dalam SCI Oils and
Fats grup meeting on Hydrogenation. 16 Februari 1998)
Kecenderungan pengurangan ALT ini merupakan peluang bagi
minyak tropika, untuk mempromosikan dirinya sebagai minyak yang tanpa
mengadung ALT (trans free oil) Upaya penurunan kandungan ALT
berbagai produk pangan ini memang bisa dilakukan dengan introduksi
teknik proses yang baru. namun upaya substitusi minyak terhidrogenasi
dengan minyak tropika (minyak tak terhidrogenasi) merupakan alternatif
yang oaik dan murah yang perlu dipromosikan oleh masyarakat minyak
tropika Disamping itu. kesempatan ini perlu pula digunakan untuk
mempromosikan nilai lebih yang lain, yang dimiliki oleh minyak tropika,
khususnya minyak sawit.
Sudah saatnya masyarakat minyak sawit Indonesia, bersama-sama
dengan pemerintah dan penguasaha minyak sawit, memanfaatkan peluang
yang ada ini untuk menyusun strategi pemasaran yang efektif dan lebih
agresif Dengan dukungan data dari lembaga pendidikan dan penelitian,
dukungan dana dan fasilitas dari pemerintah dan pengusaha maka upaya
membangun citra positip dari minyak sawit akan dapat lebih cepat
direalisasikan.
ASAM LEMAK TRANS DALAM MAKANAN: MEKANISME PEMBENTUKAN DAN METABOLISME DALAM TUBUH
Ni Luh Puspitasari Nienaber
Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fateta. IPB
PENDAHULUAN
Asam lemak trans dan pengaruhnya bagi kesehatan boleh dibilang
merupakan masalah gizi mutakhir yang sedang menjadi kontroversi.
Meskipun isu mengenai asam lemak trans sudah muncul di tahun 1950-an.
isu ini ramai kembali dibicarakan sejak lima tahun terakhir. Penelitian-
penelitian berjangka panjang dengan hewan percobaan pada umumnya
menunjukkan bahwa asam lemak trans tidak berakibat buruk bagi
kesehatan. Namun, beberapa penelitian terakhir yang dilakukan pada
manusia menunjukkan bahwa kemampuan asam lemak trans dalam
menaikkan kadar kolesterol darah lebih besar daripada asam lemak tidak
jenuh cis dan serupa dengan asam lemak jenuh (mensink dan Katan, 1990.
Zock dan Katan. 1992). Meskipun demikian, masih agak terlalu pagi untuk
mengatakan bahwa kita harus segera mengganti menu atau kebiasaan
makan kita berdasarkan penemuan-penemuan tersebut.
Himbauan serupa juga diserukan oleh lembaga-lembaga
pemerintah di Kanada. Inggris dan FDA di Amerika Serikat. mengingat
beberapa fenomena masih perlu dikaji lebih ianjut seperti yang dibahas
berikut ini (Applewhite. 1994). Apabila diperhatikan, konsumsi asam lemak
trans masih relatif rendah. Konsumsi asam lemak trans di negara-negara
Barat berkisar antara 7-8 g/orang/hari. Dari jumlah tersebut. 80%
diperhitungkan berasal dari minyak yang dihidrogenasi. Jumlah ini jauh lebih
kecil dibandingkan dengan konsumsi asam lemak jenuh yang mencapai
sekitar 14% dan konsumsi lemak total yang mencapai sekitar 36% dari
kalori yang dikonsumsi per han. Di samping itu. penelitian di Finlandia
menunjukkan adanya penurunan konsumsi lemak trans, yaitu dari 3 g
/orang/ hari di tahun 1984 menjadi 2 g/orang/hari di tahun 1990. Penurunan
ini diduga merupakan akibat tidak langsung dari penurunan konsumsi lemak
secara umum.
Selain itu. rancangan percobaan mengenai fisiologis asam lemak
trans baik dengan hewan percobaan maupun dengan manusia masih
banyak kelemahannya. Beberapa penelitian mengganti asam lemak
esensial ransum begitu saja dengan asam trans sehingga rnasalah yang
timbul lebih disebabkan karena kekurangan asam lemak esensial bukan
karena konsumsi asam lemak trans. Disamping itu. banyak juga penelitian
yang menggunakan ransum dengan kandungan asam lemak trans jauh
lebih besar daripada kisaran jumlah yang dikonsumsi sehari-hari.
Di Indonesia sendiri data mengenai kadar dan konsumsi asam
lemak trans belum ada. namun margarin berpotensi pula sebagai sumber
asam lemak trans dalam diet orang Indonesia. Margarin cenderung lebih
disukai daripada mentega karena besifat lebih padat pada suhu kamar
sehingga penanganannya lebih mudah dan didukung pula oleh kebiasaan
orang Indonesia yang kurang menyukai susu maupun produk-produk susu
Tulisan ini akan mengulas sifat-sifat fisiko-kimia asam lemak trans.
mekanisme pembentukannya dalam makanan, berbagai makanan
sumbernya. serta metabolismenya dalam tubuh. Antisipasi pihak industri
maupun peneliti yang berkecimpung di bidang lemak dan minyak dalam
menurunkan kadar asam lemak trans dalam makanan akan disingung pula
di akhir tulisan ini.
SIFAT FISIK DAN KIMIA ASAM LEMAK TRANS
Isomer asam lemak tidak jenuh sebenarnya dapat dibedakan
menjadi isomer geometris dan isomer posisi. Isomer geometris atau sering
disebut isomer cisltrans terbentuk ketika asam lemak tidak jenuh dengan
konfigurasi cis terisomerasi menjadi berkonfigurasi trans Isomer posisi
terbentuk jika ikatan rangkap di dalam molekul asam lemak bergeser dan
posisi semula ke posisi lain. Asam lemak berikatan rangkap pada posisi 9
dan 12 jika mengalami isomerasi posisi. ikatan rangkapnya dapat berubah
ke berbagai posisi dalam molekul, mulai dari posisi 4 sampai 16. dengan
jumlah dominan pada posisi yang dekat pada posisi awalnya (Craig-
Schmidt 1992) Isomerasi posisi umumnya disertai pula dengan isomerasi
geometris.
Gambar 1. Struktur asam oleat (cis 9-18:1) dan asam elaidat (trans 9-18:1)
Asam lemak tidak jenuh cis- atau sering disebut sebagai asam
lemak cis saja merupakan isomer alami dari asam lemak tidak jenuh.
Contohnya dalam minyak nabati adalah asam oleat (c9-18:1. dihitung dari
ujung karboksilnya), linoleat (c9. c12-18:2) dan linolenat (c9. c12. c15-18:3).
Isomer geometris terbentuk apabila ikatan rangkap cis terisomerasi menjadi
konfigurasi trans yang secara termodinamik sifatnya lebih stabil daripada
konfigurasi cis. seperti misalnya asam oleat menjadi asam elaidat (t9-18:1)
(Gambar 1) Ikatan rangkap cis adalah sebuah konfigurasi berenergi tinggi.
sehingga molekul asam lemak tidak jenuh cis tidak linear dan bersifat cair
pada suhu kamar (asam oleat mempunyai titik leleh 16.3°C). Sebaiiknya,
ikatan rangkap trans merupakan sebuah konfigurasi berenergi lebih rendah.
Molekul asam lemak tidak jenuh trans berbentuk linear dan bersifat padat
pada suhu kamar seperti misalnya asam elaidat yang mempunyai titik leleh
45'C (Wood. 1992).
MEKANISME PEMBENTUKAN ASAM LEMAK TRANS DALAM MAKANAN
Sumber utama asam lemak trans adalah produk-produk pangan
dan lemak nabati yang dihidrogenasi seperti margarin. shortening minyak
makan, dan produk-produk lain yang mengandung bahan tersebut (Belitz
dan Grosch. 1984). Sumber kedua asam lemak trans adalah proses
biohidrogenasi Lemak nabati maupun hewani tidak mengandung asam
lemak trans. kecuali lemak hewan ruminansia. Beberapa jenis bakteri yang
terdapat di daiam rumen hewan tersebut menghidrogenasi sebagian dari
asam lemak tidak jenuh cis yang berasal dari pakan. sehingga daging sapi,
daging kambing dan susu sapi mengandung asam lemak trans (Craig-
Schmidt. 1992).
Secara komersial. hidrogenasi terhadap minyak dilakukan dengan
tujuan untuk 1) mengurangi derajat ketidakjenuhan asam lemak sehingga
mengurangi kecepatan kerusakan oksidatif. Pada prakteknya. minyak nabati
dihidrogenasi sehingga menghasilkan campuran asam-asam lemak 18:2
dan 18:1 dan untuk 2) memodifikasi sifat fisik minyak terutama kristalisasi
dan titik leleh minyak. sehingga produk yang dihasilkan lebih cocok dengan
aplikasi yang diinginkan. Minyak dapat dihidrogenasi sempurna sehingga
menghasilkan produk bersifat padat (titik leleh tinggi) yang cocok untuk
margarin, atau dihidrogenasi parsial menghasilkan produk seperti (Belitz
dan Grosch 1982) 1) minyak kaya asam lemak tidak jenuh tunggal yang
stabil terhadap oksidasi. mempunyai umur simpan panjang dan cocok untuk
minyak salad atau shortening; 2) produk-produk yang asam linolenatnya
terhidrogenasi tetapi asam lemak esensial (asam linoleat)-nya tidak
(hidrogenasi selektif). seperti pada minyak kedele: dan 3) lemak yang
meleleh pada suhu sekitar 30°C. plastis dan dapat dioles pada suhu kamar.
Umumnya hidrogenasi dilakukan menggunakan katalis nikel. dan
reaksi dilakukan pada suhu 140-225°C. 50-60 psi. Secara kimia proses
hidrogenasi masih belum dimengerti benar tetapi diduga meliputi tahap-
tahap sebagai berikut (Wong. 1989) 1) ikatan rangkap terabsorbsi (melalui
interaksi) ke permukaan dari katalis logam (Gambar 2.a); 2) sebuah atom
hidrogen ditransfer dari peimukaan katalis logam ke salah satu atom karbon
didalam ikatan rangkap, dan atom karbon yang lain berikatan (melalui
ikatan) dengan permukaan atom logam: 3) atom hidrogen kedua ditransfer
dari peimukaan katalis logam ke atom karbon tersebut terakhir.
Tahap pertama dalam reaksi tersebut bersifat balik dtmana atom
hidrogen dapat kembali ke peimukaan logam. Isomerisasi cis/trans
biasanya terjadi pada tahap ini dengan adanya rotasi disekitar ikatan C-C
Perpindahan posisi ikatan rangkap (isomerisasi posisi) juga dapat terjadi
yaitu apabila reaksi balik diatas terjadi pada gugus metilen yang terletak di
sebelah ikatan rangkap (Gambar 2 b.).
Isomerasi geometris asam lemak tidak jenuh secara tidak langsung
mengubah struktur molekul asam lemak dan trigliserida seperti terlihat pada
Gambar 3.a. untuk asam oleat dan Gambar 3 b. untuk asam linoleat.
Belakangan diketahui pula bahwa deodorisasi minyak juga
menyebabkan isomerasi geometris asam lemak dan semakin tinggi suhu
yang digunakan semakin tinggi pula derajat isomerasisasi yang terjadi
(Ackman et al.. 1974: Wolff, 1992: 1993; Wolff dan Sebedio. 1994)
Deodorisasi dilakukan untuk menghilangkan komponen volatil dari minyak
dengan jalan memanaskannya pada suhu tinggi (230-260'C). kondisi vakum
(2-8 mm Hg) atau atmosfer selama 15 menit, 4 jam Jenis isomer yang
dihasilkan oleh proses deodorisasi mirip dengan yang dihasilkan oleh
hidrogenasi, meskipun demikian, deodorisasi tidak menyebabkan
isomerisasi posisi (Ackman et al.. 1974: Wolff dan Sebedio. 1991. Wolff.
1992) Pada proses deodorisasi kemungkinan (probabilitas) asam linolenat
untuk tesisomerasi 13-14 lebih besar daripada asam linoleat (Wolff. 1992)
Gambar 2 Mekanisme hidrogenasi asma lemak tidak jenuh (Wong. 1989)
Fenomena yang terjadi selama deodorisasi dalam kondisi vakum
berbeda dengan kondisi atmosfer (Wolff. 1992) Meskipun perlakuan ini
menghasilkan isomer yang serupa. deodorisasi dalam susunan oksigen
menyebabkan penurunan jumlah asam linolenat total yang tajam seiring
dengan semakin tinggi dan lamanya suhu dan waktu deodorisasi. Diduga
reaksi-reaksi lain seperti oksidasi. siklikasi dan polimerasi berkompetisi atau
mengikuti reaksi isomensasi geometris.
Gambar 3. Isomerasi a) asam oleat dan b) asam linoieat (Wong. 1989)
Isomer-isomer yang dihasilkan dari asam tinoleat menunjukkan
bahwa ikatan rangkap pada posisi 9 (lebih dekat gugus karboksil) hampir
selalui cis. yang berarti ikatan rangkap tersebut bersifat kurang reaktif
dibandingkan dengan ikatan rangkap pada posisi 12 (lebih dekat gugus
metil) (Ratnayake dan Pelletier. 1992. Wolff, 1992). Minyak makan
mengandung 55% (9. t12-18:2 dan 45% t9. c12-18:2 (Wolff. 1992). Jika
posisi 9 diserang, yang terjadi hanyalah isomerisasi geometris, sedangkan
isomerisasi posisi tidak terjadi Letak ikatan rangkap posisi 9 yang lebih
dekat dengan gugus karboksil dan gliserol (pada trigliserida) diduga secara
stenl melindungi ikatan rangkap tersebut dari serangan hidrogen.
Jenis isomer trans yang terbentuk dan asam linolenat lebih
dipengaruhi oleh posisi ikatan rangkap dalam rantai hidrokarbon asam
lemak (di luar atau di tengah) dan bukan oleh posisi absolutnya (∆ 6 9. 12
atau 15) (Grangirard et al.. 1984. Wolff dan Sebedio. 1991: Wolff. 1993:
Wolff dan Sebedio, 1994). Sebagai contoh. ikatan rangkap yang berada di
luar (9 dan 15 pada asam α-linolenat. 6 dan 12 pada asam γ-linolenat)
terisomerasi jauh lebih cepat daripada yang berada di tengah (masing-
masing pada posisi 12 dan 9). Hal ini menarik, mengingat ikatan rangkap
yang ditengah justru yang paling suseptibel terhadap serangan oksigen
pada reaksi oksidasi lemak (Nawar, 1985). Proporsi relatif isomer-isomer
9c. 12c. 5t-18:3. 9t. 12c. 5C-18.3 dan 9c. 12t. 15c-18:3 adalah 52-55. 41-42
dan 4-6% (Wolff dan Sebedio. 1991). Asam α-dan γ-linolenat terisomerasi
dengan kecepatan yang hampir sama (Wolff dan Sebedio. 1994).
Penurunan jumlah asam linolenat. selama pemanasan pada 160-
240cC mengikuti kinetika reaksi ordo kesatu, sedangkan pembentukan
isomer 9c. 12c. 15t-18:3 tidak mengikuti kinetikan reaksi yang sederhana
(O'Keefe et al.. 1993). Hasil perhitungan terhadap konstanta kecepatan
reaksi. kecepatan awal reaksi dan energi aktivasi reaksi pembentukan
isomer trans tersebut menunjukkan bahwa perubahan yang kecil terhadap
suhu pemanasan sangat mempengaruhi pembentukan isomer trans
KANDUNGAN ASAM LEMAK TRANS BERBAGAI MAKANAN
Selain dalam berbagai makanan olahan, beberapa spesies
tanaman secara alami mengandung asam lemak trans di dalam minyak biji
atau daunnya (Sommerfeld. 1983). Sebagai contoh. sayur-sayuran seperti
bayam, daun selada daun bawang mengandung asam trans-3-
heksadekenoat (t3-16:1) sedang minyak biji raps (rapeseed oiDdilaporkan
mengandung asam brasidat <t13-22:1) dan asam gondoat (t 11-10:1).
Namun demikian, jenis tanaman yang mengandung asam lemak trans tidak
banyak
Asam Lemak Trans dalam Produk Susu, Daging dan Lemak Hewani
Bahan pangan seperti susu. mentega. daging sapi, dan daging
kambing berasal dari hewan ruminansia. Berbagai asam lemak tidak jenuh
yang berasal dari pakan mengalami modifikasi di dalam rumen, dan
diantaranya perubahan menjadi bentuk trans sebagai akibat dari proses
biohidrogenasi oleh mikroba yang ada di dalamnya (Hay dan Morison.
1970) Asam-asam lemak tersebut kemudian diserap dan sebagian
diikorposasi ke dalam lemak susu Jenis asam lemak trans terbanyak dalam
bahan-bahan pangan tersebut adalah asam vaksenat (t11-18:1). selain
isomer-isomer lain dari asam heksadekanoat (16:1) dan asam oktadekanoat
(18:1) (Hay dan Morison. 1972: Wood. 1992). Asam lemak trans di dalam
lemak yang berasal dari hewan ruminansia umumnya terletak pada posisi
sn-1 dan sn-3 dalam trigliserida, sedang pada posisi sn-2 hampir tidak ada
Kandungan asam lemak trans susu dan mentega bervariasi
menurut lokasi dan musim. tetapi berkisar 4 dan 11% (Sommerfeld. 1983).
Mentega yang diproduksi di Amerika Serikat mengandung 3 1-3 8% asam
lemak trans (Enig et a!. 1983). Kandungan asma lemak trans mentega yang
diproduksi di Peiancis hampir sama dengan di Amerika Serikat yaitu sekitar
3.8% dimana 2% adalah asam vaksenat dan 1.8% sisanya adalah jems
asam lemak trans lainnya (Wolff. 1994a). Asam lemak frans-dien juga telah
dilaporkan di dalam mentega. dimana Jumlahnya dapat mencapai 0.2% dan
asam lemaK tota! yaitu sebagai asam cis. fra/?s-oktadekenoat (Craig-
Schmidt. 1992)
Di negara-negara dengan empat musim terdapat perbedaan pola
komposisi asam lemak trans susu dan daging yang khas antara musim
panas dan musim dingin karena perbedaan komposisi pakan pada musim-
musim tersebut. Pakan musim semi dan musim panas mengandung lebih
banyak asam lemak tidak jenuh ganda daripada pakan musim dingin (Hay
dan Monson 1970) Oleh karena itu. mentega yang dihasilkan pada musim
dingin umumnya mengandung asam lemak trans lebih rendah daripada
yang dihasilkan pada musim panas Di Perancis. mentega yang dihasilkan
pada musim dingin mengandung 4.28% asam lemak trans. sedang yang
dihasilkan pada musim panas 3.22% (Wolff, 1994a).
Secara umum jumlah asam lemak trans dalam daging sapi
tergantung dari jumlah lemak yang terdapat di dalam daging (Wood. 1983).
Daging sapi yang hampir tidak mengandung lemak (lean meat) hanya
mengandung sekitar 1 g asam lemak trans/2.5 kg daging, sedang daging
cincang (hamburger) yang mengandung sekitar 30% lemak. kandungan
asam lemak trans-nya dapat mencapai 18 g/2.5 kg daging. Nilai rala-rata
kandungan asam lemak trans daging sapi adalah sekitar 3.2% dari asam
lemak total (Slover et al.. 1987). Dari jumlah tersebut sebagian besar
merupakan asam lemak trans-monoen dan nilainya berkisar antara 1.3%
sampai 4.4% tergantung dari jenis dagingnya. Disamping itu terdapat pula
asam lemak trans-dien dalam jumlah yang jauh lebih kecil (<0.2%).
terutama t9. t12-18:2 dan c9 t12-18:2. Konsentrasi asam lemak trans
daging yang telah diolah umumnya lebih tinggi daripada daging segar
sebagai akibat dari kehilangan air dan faktor-faktor lain yang terjadi selama
pemasakan. Konsentrasi asam lemak trans sosis lebih tinggi karena
kandungan lemaknya lebih tinggi dan kandungan airnya lebih rendah
daripada daging segar (Craig-Schmidt, 1992).
Lemak sapi (beef tallow) mengandung 1.8-6.5% asam lemak trans.
sedang lemak kambing kandungannya lebih tinggi (Enig et al., 1983).
Lemak babi, karena tidak berasal dari hewan ruminansia, kandungan asam
lemak trans-nya jauh lebih kecil daripada kedua jenis lemak hewani tersebut
(Enig et al.. 1983: Slover et al.. 1987).
Asam Lemak Trans dalam Margarin, Shortening dan Minyak Sayur
Margarin, shortening dan minyak sayur merupakan sumber utama
asam lemak trans dalam diet. Jenis dan jumlah asam lemak trans dalam
produk-produk tersebut bervariasi tergantung dari jenis minyak yang
digunakan dan proses hidrogenasi yang dilakukan. Asam lemak trans dalam
margarin, shortening dan minyak sayur umumnya terkonsentrasi pada
posisi sn-2 dalam trigliserida (Carpenter dan Slover. 1973). Hal ini sesuai
dengan ketentuan umum bahwa di dalam minyak nabati asam lemak tidak
jenuh (terutama linoleat) sebagian besar teresterifikasi pada posisi sn-1 dan
sn-3 dalam trigliserida (Carpenter et al., 1976). Selama hidrogenasi
sebagian dari asam lemak tidak jenuh ini kemudian mengalami isomerasi
menjadi asam lemak trans. Sebagian besar asam lemak trans dalam
margarin dan produk-produk lemak nabati yang dihirogenasi lainnya adalah
isomer trans-monoen (t-18:1), meskipun demikian isomer-isomer trans-dien
(t.c-18:2. c.t-18:2 dan t.t-18:2) juga ditemui dalam jumlah yang jauh lebih
kecil (Craig-Schmidt. 1992).
Kandungan asam lemak trans berbagai jenis margarin (hard. soft,
whipped) di Amerikan Serikat berkisar antara 14-36% dimana >10%
merupakan trans-monoen: sedangkan kandungan trans-dien tidak iebih dari
4,5% (Carpenter dan Slover. 1973), Margarin dari campuran minyak kelapa
dan minyak kelapa sawit tidak mengandung asam lemak trans dan jenis
asam lemak yang dominan adalah asam lemak jenuh denga jumlah karbon
16 dan lebih kecil. Angka-angka tersebut ternyata lebih kecil daripada
angka-angka yang pernah diiaporkan dapat menunjukkan adanya perbaikan
teknologi di dalam proses pengolahan margarin. Enig et al. (1983)
menunjukkan penurunan kandungan asam lemak trans margarin di Amerika
Serikan menjadi 6.8-31%. Yang menarik, margarin stick mengandung asam
lemak trans lebih besar (15,9%-31%) daripada margarin soft (6.8-17.6%).
Terlihat adanya pengaruh tingkat hidrogenasi terhadap kandungan asam
lemak trans margarin.
Secara umum. belakangan ini kandungan asam lemak trans
margarin mengalami penurunan. Selain di Amerikan Serikat. kandungan
trans dalam margarin di Australia juga mengamali penurunan, yaitu dari
10.8-25,1% (Parodi. 1976) menjadi 9,2-16,3% (Mansourdan Sinclair, 1993).
Keadaan di Perancis tidak jauh berbeda (Bayard dan Wolff, 1995). Margarin
yang dihasilkan di awai tahun 1990 mengandung sekitar 13% trans-18:1)
(Wolff. 1994a) sedangkan yang dihasilkan pada tahun 1995 turun drastis
menjadi 3,8% (Bayard dan Wolff. 1995). Dari dua belas merek margarin
yang dianalisa. empat diantaranya bahkan tidak mengandung asam lemak
trans sama sekali. Diduga industri pangan memberikan respons yang cepat
dan positif terhadap hasil penelitian Mensink dan Katan (1990).
Minyak dan sayur yang tidak terhidrogenasi tidak mengandung
asam lemak trans. Meskipun demikian, umumnya minyak sayur yang
dihidrogenasi ringan (partially hydrogenated) untuk mengurangi kandungan
asam lemak tidak jenuh ganda sehingga mengurangi kemungkinan
kerusakan oksidatif dan terjadinya ketengikan. Kandungan asam lemak
trans minyak sayur yang telah dihidrogenasi bervariasi antara 8-12% (Enig
et al.. 1983). Yang menarik, minyak sayur yang dihidrogenasi ringan
mengandung asam lemak frans-dien lebih tinggi dan asam lemak trans-
monoen lebih rendah daripada yang dihidrogenasi lebih lanjut.
Bahwa deodorisasi minyak juga dapat menghasilkan asam lemak
trans ditemukan pertama kali oleh Ackman et al. (1974) dan didukung oleh
penelitian-penelitian lain (Wolff, 1992: Wolff dan Sebedio. 1994). Jumlah
dan jenis isomer yang terentuk mirip dengan yang dihasilkan oleh
hidrogenasi ringan. yaitu didominasi oleh trans-dien. Minyak-minyak kedelai
dan biji rape (rapeseed) di pasaran Belgia. Inggris dan Jerman mengandung
asam lemak trans 1-3.5% (dari asam lemak total) yang terutama merupakan
isomer-isomer asam linoleat dan linolenat (Wolff. 1992).
Asam Lemak Trans dalam Makanan Olahan dan Fast Food
Minyak yang dihidrogenasi banyak digunakan dalam berbagai
makanan olahan karena umur dan stabiitas simpannya yang lebih baik
daripada minyak yang tidak dihidrogenasi. Oleh karena itu makanan olahan
juga berpotensi sebagai sumber asam lemak dalam diet. Selain itu.
shortening dan minyak yang dihidrogenasi banyak digunakan di restauran-
restauran fast foods, restauran-restauran lain dan usaha-usaha jasa boga
sebagai media penggorengan Kandungan asam lemak trans dalam
makanan olahan dan fast food sangat bervariasi dan terutama tergantung
pada jenis minyak yang digunakan dalam pengolahan. Karenanya angka-
angka yang dilaporkan untuk produk-produk tersebut umumnya berupa
suatu kisaran.
Enig et at. (1983) meneliti kandungan asam lemak trans dalam 220
makanan olahan yang beredar di Amerika Serikat. Hanya 53 dari kesemua
makanan tersebut yang kandungan asam lemak trans-nya sangat rendah
dan dapat diabaikan, diantaranya mayonnaise, salad dressing, minyak
sayur (yang tidak dihidrogenasi). dan mentega kacang. Didalam satu jenis
makanan terdapat variasi kadar asam lemak trans yang sangat besar.
seperti misalnya snack chips 0.4-30.4%: biskuit 2.5-34.2%: kue dan produk-
produk konfeksi 3.2-33.2%, dan lain-lain. Kisaran yang serupa juga
dilaporkan Smith et al (1985) dalam berbagai jenis makanan gorengan
(deep fat-fried foods).
Fast food dapat menjadi sumber asam iemak trans dalam diet,
meskipun demikian kadarnya sangat bervariasi dari 0.07 g/100g milk
shakes. 0.59 g/100 g burger keju sampai 0.60 g/100 g kentang goreng
(Lanza dan Slover, 1981). Meskipun demikian, angka-angka tersebut harus
diinterpretasikan dengan hati-hati mengingat banyak restauran-renstauran
fast foods yang dalam sepuluh tahun terakhir ini mengubah proses
pengolahan yang dipraktekkan sebagai respons terhadap kritik yang
menyangkut masalah pengaruh fast foods terhadap kesehatan.
Asam Lemak Trans dalam Susu Ibu dan Makanan Bayi
Asam lemak trans dalam susu ibu berkisar antara 2-5%. dimana
jumlah t-18:1 dalam susu ibu merefleksikan jumlah asam lemak trans dalam
diet yang dikonsumsi sehari sebelumnyai (Craig-Schmidt. 1992). Chen et al.
(1995) meneliti kandungan asam lemak trans dalam susu ibu di Kanada dan
menemukan bahwa kisarannya sangat lebar. yaitu dari 0.1-17.15% dengan
rata-rata 7.19% dari asam lemak total. Isomer asam linoleat berjumlah
0.89% dimana cis9. trans 13-18:2 merupakan isomer utama. Yang menarik.
distnbusi isomer-isomer irans-18:1 berbeda dari susu sapi tetapi sangat
mirip dengan minyak kedelai dan minyak kanola yang dihidrogenasi
sebagian merupakan sumber isomer-isomer trans-18-1 susu ibu (Chen et
al., 1995).
Makanan bayi umumnya mengandung asam lemak trans lebih
rendah. yaitu 0,1-2.0% dari asam lemak total dimana kisaran tersebut tidak
jauh berbeda dari asam lemak trans susu sapi. Oleh karena itu. bayi dan
balita pada umumnya mengkonsumsi asam lemak trans dalam jumlah
rendah.
Metabolisme Asam Lemak Trans
Pada umumnya ada anggapan bahwa manusia tidak dapat
memetabolisme asam lemak trans yang terbentuk selama hidrogenasi
karena asam lemak tersebut bersifat tidak amali. Anggapan ini berdasar
kepada pemikiran bahwa diet yang dikonsumsi oleh manusia primitif tidak
mengandung asam lemak trans. sehingga tubuh tidak memproduksi enzim-
enzim yang dapat mengenali dan memetabolisme isomer asam lemak
tersebut (Emken, 1994). Meskipun demikian, kemudian diketahui manusia
primitifpun telah mengkonsumsi asam lemak trans- terutama yang berasal
dari hewan ruminansia jauh sebelum proses hidrogenasi dikembangkan.
Seperti diketahui susu dan produk-produknya mengandung sekitar 4-11%
asam lemak trans (Sommerfeld. 1983).
Gurr (1992) juga mengatakan bahwa tidak ada bukti yang dapat
menunjukkan bahwa efisiensi pencernaan, penyerapan dan oksidasi asam
lemak untuk menghasilkan energi diganggu oleh keberadaan ikatan
rangkap trans. Penelitian Wood (1979) menunjukkan bahwa kandungan
trans-18:1 pada berbagai organ tikus percobaan sangat mirip satu sama
lain. Hasil yang menarik adalah distribusi trans-18:1 dalam trigliserida
organ-organ tersebut mirip dengan distribusinya dalam ransum.
Tingkat inkorporasi asam lemak trans ke dalam jaringan tubuh
tergantung pada asam-asam lemak lain yang terdapat di dalam diet. Asam
lemak esensial dalam jumlah cukup cenderung mengurangi akumulasi
asam lemak trans. Selain itu. metabolisme asam lemak dalam tubuh
merupakan proses yang dinamis. Artinya, setelah diakumulasi ke dalam
jaringan tidak berarti asam lemak tersebu akan selamanya tinggal disitu.
Beberapa minggu setelah diet yang mengandung asam lemak trans diganti
dengan diet kontrol, hanya sejumlah kecil asam lemak trans yang tinggal di
dalam jaringan Hal mi menunjukkan bahwa asam lemak trans dapat dan
segera dikatabolisme dan dikeluarkan dan jaringan (Gurr. 1992).
Lands (1979) menyatakan bahwa asam lemak tr.?ns dapat
dihidroiisis sama cepatnya dengan asam lemak cis oleh erzim lipase
pankreatik. Meskipun demikian, beberapa asam lemak dengan ikatan
rangkap ganda yang letaknya dekat dengan ujung karboksil (pa.1a posisi 3
sampai 6) dihidroiisis agak lebih lambat. Penelitian yang dilakukan
menggunakan asam lemak berlabel isotop stabil menunjukkan bahwa
efisiensi metabolisme asam lemak trans agak berbeda dengan asam lemak
jenuh maupun asam lemak tidak jenuh ganda (Emken. 1994). Selektivitas
asiltransferase dalam menginkorporasi asam lemak trans ke dalam
fosfolipid terletak di antara asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh
ganda Secara umum. inkorporasi asam lemak tidak jenuh tunggal trans
(trans-monoen) ke dalam jaringan tubuh proporsional dengan jumlahnya
dalam diet Untuk asam lemak tidak jenuh ganda trans (trans. trans-dien)
jumlah maksimum yang diinkorporasi adalah 6-9% tanpa melihat jumlahnya
dalam diet, sehingga secara praktis hal ini tidak terlalu membahayakan
karena proses hidrogenasi hanya menghasilkan isomer tersebut dalam
jumlah sangat kecil Margarin yang diproduksi di Kanada hanya
mengandung <0.5% t9. t12-18:2 (Ratnayake dan Pelletier, 1992).
Konsumsi asam lemak trans dalam jumlah tinggi dapat
mempengaruhi metabolisme asam lemak lain, khususnya dalam dua hal
(Gurr. 1992) Pengaruh yang pertama adalah kompetisi antara kompetisi
antara asam-asam lemak terhadap enzim yang sama (6-desaturase) Enzim
ini menambah ikatan rangkap pada posisi 6 dari asam-asam lemak
golongan n-3. n-6. n-7 dan n-9. dan berarti bahwa asam-asam lemak
tersebut akan berkompetisi untuk mendapatkan sisi aktif enzim. Asam
linoleat yang merupakan asam lemak esensial utama adalah substrat yang
'disukai' oleh 6-desaturase dalam memproduksi asam arakidorat sebagai
pembentuk membran sel dan sebagai prekursor eikosanoida Asam lemak
trans sebetulnya bersifat tidak disukai' oleh enzim tersebut. Namun jika
terdapat dalam jumiah besar dan pada saat yang bersamaai konsumsi
asam linoleat rendah, maka asam lemak trans dapat digunak m sebagai
substrat alternatif. Akibatnya setelah dimetabolisme lebih la i jut . asam
lemak trans menghasilkan asam lemak tidak jenuh ganda beran ai panjang
yang tidak mampu bertindak sebagai prekursor eikosanoida. Ratnayake dan
Pelletier (1992) menemukan bahwa isomer asam linoleat ut; ma dalam
margarin adalah isomer mono-trans. yaitu c9. t12-18:2 Isomer ini dapat
dimetabolisme karena aktivitas 6-desaturase membutuhkan asam lemak
dengan ikatan rangkap 9-cis. tetapi hasilnya asam lemak 20:4 dengan satu
ikatan rangkap trans (Ratnayake dan Pelletier. 1992: Applewhite. 1994)
Pengaruh yang kedua adalah penghambatan aktivitas desaturase oleh
asam lemak trans-trans. terutama jika terdapat dalam jumlah besar. Hanya
saja, seperti diutarakan di atas. asam lemak tersebut, asam lemak tersebut
jumlahnya dalam makanan rendah sehingga tidak perlu menimbulkan
kekhawatiran.
Yang menarik, tingkat inkorporasi asam elaidat ke dalam kolesterol
ester ternyata sangat rendah (hanya 20 dan 15% dan inkorporasinta ke
dalam trigliserida dan asam lemak bebas) (Emken. 1979) Hal inilah
kemudian yang sering dijadikan alasan bagi kecilnya pengaruh konsumsi
asam lemak trans terhadap kandungan kolesterol darah dalam penelitian-
penelitian terkontrol, terutama jika kandungan asam oleat dan linoleat dalam
diet cukup.
Meskipun bukti-bukti ilmiah yang ada sangat sedikit. kekhawatiran
akan pengaruh negatif dari konsumsi asam lemak trans masih tetap ada
Topik ini menjadi ramai kembali dibicarakan setelah hasil penelitian oleh
Mensink dan Katan (1990) dipublikasikan. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa pengaruh asam lemak trans terhadap pola liporotein
serum manusia sama buruknya dengan asam lemak jenuh karena selain
menaikkan kolesterol LDL. juga menurunkan kolesterol HDL Pada
penelitian ini diet yang hanya mengandung asam oleat dijadikan kontrl.
Gurr (1992) dan Applewhite (1994) mengkritik penggunaan asam
oleat sebagai kontrol dalam penelitian di atas. Mereka mengingatkan bahwa
menaikan' atau menurunkan’ kolesterol adalah suatu pernyataan yang
bersifat relatif. yaitu relatif terhadap kontrol Mengingat asam oleat telah
diketahui mempunyai kecenderungan menurunkan kadar kolesterol plasma
darah. maka tidak mengejutkan jika konsumsi asam lemak trans menaikan’
kolesterol. Applewhite (1994) mencoba menghitung kembali hasil penelitian
Mensink dan Katan (1990). menggunakan kadar kolesterol LDL plasma
darah subyek sebelum diberi diet kontrol (data ini tidak dipublikasi). Kadar
kolesterol LDL plasma darah subyek yang diberi diet mengandung asam
lemak trans adalah 118 mg%, sedangkan yang diberi diet asam oleat
(kontrol) adalah 103 mg% atau terjadi kenaikan sebesar 15 mg%. Ketika
dibandingkan dengan kadar kolesterol LDL plasma darah subyek sebelum
diberi diet kontrol, kenaikan yang terjadi tidak signifikan yaitu hanya sebesar
1 mg% saja. Hal serupa juga terlihat pada kadar kolesterol HDL subyek.
dimana jika dibandingkan dengan diet kontrol terjadi penurunan sebesar 7
mg% tetapi jika dibandingkan dengan kadar kolesterol HDL subyek sebelum
diberi diet kontrol terjadi penurunan yang tidak signifikan (2 mg%). Mensink
dan Katan (1990) tidak membuat perbandingan seperti yang dilakukan oleh
Applwhite (1994) karena mereka menganggap bahwa sebelum diberi diet
kontrol, kadar kolesterol plasma subyek 'tidak terkontrol' Applewhite (1994)
menarik kesimpulan bahwa konsumsi asam lemak trans dalam jumlah yang
tinggi sekalipun tidak menyebabkan kenaikan kolesterol plasma pada
tingkat yang membahayakan.
Hasii lam dari penelitian tersebut yang justru harus mendapat lebih
besar adalah kemampuan asam lemak trau^ ualam menurunkan kadar
kolesterol HDL dalam plasma (Grundy. 1990). Sebenarnya, konsumsi
karbohidrat dan asam linoleat dalam jumlah besar diketahui dapat juga
menurunkan kadar kolesterol LDL plasma. Akan tetapi, penurunan tersebut
disertai pula dengan penurunan kadar kolesterol LDL plasma. Oleh karena
itu. kombinasi pengaruh jelek asam lemak trans yang menurunkan kadar
kolesterol HDL sekaligus menaikan kadar kolesterol HDL. perlu mendapat
perhatian khusus Namun. Emken (1994) menyatakan bahwc* penurunan
kadar kolesterol HDL sebesar 7 mg%, meskipun secara statistik signifikan.
secara klinis belum tentu berarti, Lebih lanjut dinyatakan bahwa sampai
kisaran 50 mg%-pun penurunan kadar HDL secara klinis tidak
memperlihatkan pengaruh yang berarti.
Antisipasi Industri Lemak dan Minyak Makan
Industri lemak dan minyak makan ternyata tidak kalah cepatnya
dalam mengantisipasi permintaan konsumen akan produk yang memiliki
image sehat dengan stabilitas tinggi. Beberapa cara yang sudah ditempuh
dalam memproduksi produk lemak dan minyak dengan kandungan asam
lemak trans rendah antara lain dengan cara pencampuran (blending) antara
satu jenis minyak dengan yang lain Hal ini telah dikerjakan di Kanada
dimana margarin yang dipasarkan dengan label rendah trans' dibuat
dengan jalan mencampur minyak kedele. kanola atau biji matahari dengan
minyak inti sawit atau fraksi minyak sawit (Mag, 1994). Minyak inti sawit
atau minyak sawit berfungsi sebagai sumber kristal lemak. Margarin jenis mi
mengandung asam lemak trans kurang dari 3%. jauh lebih kecil
dibandingkan dengan kandungan dalam margarin lunak dan keras yang
masing-masing berkisar antara 10-25% dan 20-50%. Akan tetapi, margarin
rendah trans kandungan asam lemak jenuhnya relatif tinggi (10-25%)
dibandingkan keduanya (masing-masing 12-28% dan 17-41%). Ha! ini
menimbulkan diiema bagi konsumen karena jika mereka ingin menghindari
asam lemak trans. mereka mau tidak mau harus meningkatkan konsumsi
asam lemak jenuhnya.
Cara lain yang dapat diterapkan adalah dengan memproduksi
margann rendah trans melaiui proses interesterifikasi kimiawi (List et al..
1994). dimana minyak kedelai diinteresterifikasi dengan trigliserida jenuh
(trisaturate) Campuran dipanaskan dalam keadaan vakum sampai 100 C
dengan bantuan katalis sodium metoksida. Margarin yang dihasilkan hampir
tidak mengandung asam lemak trans (0.3%) dan teksturnya menyerupai
margarin keras
Dengan menggunakan crop breeder (baik menggunakan teknik
breeding konvensional maupun modifikasi genetik) telah dihasilkan berbagai
komoditi dengan kandungan asam iemak yang dimgmkan (designed oil aiau
property- enhanced oil) (Erickson dan Frey. 1994). Beberapa contoh adalah
minyak kedele rendah asam linolenat untuk menghasilkan minyak dengan
stabilitas oksidatif tinggi. Minyak dengan >50% lemak jenuh dari kedele.
kanola dan biji matahari juga sudah dikembangkan untuk menghasilkan
produk-produk yang tidak perlu dihidrogenasi dan rendah (bahkan tidak
mengandung) asam iemak trans.
DAFTAR PUSTAKA
Ackman. R.G.. Hooper. S N dan Hooper. D.L. 1974. Lmolenic acid artifacts from the deodorization of oils J. Am. Oil Chem. Soc 51 42-49
Applewhite. T H 1994 Margarine products in health and nutrition. Inform 5(8)914-921.
Bayard. C.C dan Wolff. R.L. 1995. Trans-18:1 acids in French tub maraannes and shortening: Recent trends. J. Am. Oil Chem. Soc. 721485-1489
Belitz H D. dan Grosch. W. 1984 Food Chemistry. Springer-Vertag. New York P. 483-485
Carpenter. D.L. dan Slover. H.T. 1973. Lipid composition of selected margarines. J. Am. Oil Chem. Soc. 50.372-376.
Carpenter. D.L.. Lenman. J.. Mason. B.S. dan Slover, H.T 1976. Lipid composition of selected vegetable ons. J Am Oil Chem. Soc. 53 713-718.
Chen. Z.-Y.. Pelletier. G.. Hollywood. R. dan Ratnayake. W.M.N 1995. Trans fatty acid isomers in Canadian human milk. Lipids 30.15-21.
Craig-Schmidt. M.C 1992. Fatty acid isomers in foods. Dalam Ching Kuang Chow (Ed.) Fatty Acids in Foods and Their Health Implications. Marcel Dekker International. New York
Emken. E.A. 1992. Trans fats-healthy or unhealthy? Fat & Nutrition Update 1(2): 1-3.
Emken. E A. 1979 Utilization and effects of isomeric fatty acids in humans. Dalam Emken E.A. dan Dutton. H.J. (Eds.) Geometrical and Positional Fatty Acid Isomers. P. 99-129. The American Oil Chemists'Society. Champaign
Emkens. E.A. 1994. Dispelling misconception with stable isotopes. Inform. 5(8):906-912.
Enig. M.G . Pallansch. L.A.. Sampugna. J. dan Keeney. M 1983 Fatty acid composition of the fat in selected food items with emphasis on trans components. J Am. Oil. Chem. Soc. 60:1788-1795.
Erickson. M.D. dan Frey, N. 1994. Property-enhanced oils in food applications Food Technol. 48(11):63-68.
Grangirard A Sebedio J.L. dan Fleury. J. 1984. Geometrical isomerization of linoleanic acid during heat treatment of vegetable oils J. Am. Oil Chem. Soc. 61 1563-1568.
Grundy. S.M. 1990 Trans monounsaturated fatty acids and serum cholesterol level. N. Engl. J. Med. 323:480-481.
Gurr. M l. 1992. Role of Fats in Food and Nutrition. Elsevier Applied Science. London.
Hay. J.D. dan Morrison. W.R. 1970. Isomeric monoenoic fatty acids in bovine milk fat. Biochim. Biophys. Acta 202:237-243
Hay. J.D dan Morrison. W.R. 1973. Positional isomers of cis and trans monoenoic fatty acid from ox (steer) perinephric fat. Lipicis 8:94-95.
Hernandez. N. dan Boatella. J. 1988. Trans isomers content of fatty acids in margannes Grasas y Aceitas 39:348-352.
Judd. J.T., Cievidence. B.A.. Muesing. R.A.. Wittes. J.. Sunkin, M E dan Podczasy. J J 1994 Dietary trans fatty acids: effects on plasma lipids and lipoprotein of healthy men and women. Am. J. Clin Nuts. 59:861-868.
Lands W E M 1979 Selective recognition of geometric and positional isomers of fatty acids in vitro and in vivo. Dalam Emken. E.A dan Dutton. H.J (Eds.). Geometrical and Positional Fatty Acid Isomers. P. 181-212 The American Oil Chemists’ Society. Champaign
Lanza. E dan Siover. H T. 1981. The use of SP-2340 glass capillary columns for the estimation of the trans fatty acid content of foods. Lipids 16:260-267
List. G.R. Pelloso. T.. Orthoefer. F . Chrysam. M dan Mounts. T.L. 1995. Preparation and properties of zero trans soybean oil margarines J Am Oil Chem. Soc, 72:383-384.
Mag. T K. 1994 Margarin oils, blends in Canada. Inform. 5 1350-1353
Mansour. M P dan Sinclair. A.J. 1993. The trans fatty acid and positional (sn-3) fatty acid compotition of some Australian margarines, dairy blends and animal fats. Asia Pacific J. Clin. Nutr. 3:155-163.
Mensink, R.P. dan Katan. M B. 1990. Effect of dietary trans fatty acids on high-density and low-density lipoprotein cholesterol levels in healthy subjects N. Engl. J Med 323:439-445
Nawar W W. 1985 Lipids. Dalam Fennema. O R (Ed.). Food Chemistry, p. 139-244 Marcel Dekker International. New York.
O Keefe. S.F.. Wiley. V.A. dan Wright, D. 1993. Effect of temperature onlinolenic acid loss and 18:3 A9-cis. Al2-cis. A-15-trans formation in soybean oil. J. Am. Oil. Chem. Soc. 70.915-917.
Parodi P W. 1976 Composition and structure of some consumer-available edible fats J. Am Oil Chem. Soc. 53:530-534.
Parodi. P/W/ 1982. Positional distribution of acids in the tnglyseride classes of milk fat J, Dairy Res. 49:73-80.
Ratnayake. WM.N dan Pelletier. G. 1992 Positional and geometrical isomers of imoleic acid in partially.
Slover, H.T.. Thompson Jr.. R.H.. Davis. C S. dan Merola. C.L. 1985. Lipids in margarines and margarine-like-foods. J. Am. Oil. Chem, Soc. 62.775-786
Smith. L.M., Clifford. A.J.. Creveling dan Hamblin. C.L. 1985. Lipid content and fatty acid profiles of various deep-fat fried foods, J. Am. Oil Chem. Soc. 62:996-999.
Sommerfeld, M, 1983. Trans unsaturated fatty acids in natural products and processed foods. Prog. Lipid Res. 22:221-233,
Wolff, R.L. 1992 Trans-Polyunsaturated fatty acids in French edible rapeseed and soybean oils. J. Am. Oil Chem. Soc. 69:106-110.
Wolff. R.L 1993. Further studies on artificial geometrical isomers of a- linolenic acid in edible linolenic acid-containing oils. J Am. Oil Chem. Soc. 70:219-224
Wolff. R L. 1994a. Contribution of trans 18:1 acids from dairy fat to European diets. J. AM. Oil Chem. SOc. 71:277-283.
Wolff. R.L. 1994b. Cis-trans isomerization of octadecatrienois acids during heating. Study of pinolenic (cis-5, cis-9. cis-12 18:3) acid geometrical isomers in heated pine seed oil. J. Am. Oil Chem Soc 71:1129-1134.
Wolff. R.L. 1995. Content and distribution of trans-18:1 acids in ruminant milk and meat fats Their importance in European diets and their effect on human milk. J Am. Oil Chem. Soc. 72:259-272
Wolff. R.L. dan Sebedio. J.L. 1991. Geometrical isomers of linolenic acid in low-calorie spreads marketed in France. J. Am. Oil Chem Soc. 68:719-725.
Wolff. R.L. dan Sebedio. J.L. 1994. Characterization of y-iinolenic acid geometrical isomers in Borage oil subjected to heat treatments (deodorization) J. Am. Oil Chem. Soc. 71:117-126.
Wong. D.W.S. 1989. Mechanism and theory in Food Chemistry p. 19-21.AVI. New York.
Wood. R. 1979. Distribution of dietary geometrical and positional isomers in brain, heart, kidney, liver, lung, muscle, spleen, adipose and hepatoma. Dalam Emken. E.A. and Dutton. H J. (Eds ). Geometrical and Positional Fatty Acid Isomers. P. 213-281. The American Oil Chem. Soc.. Champaign,
Zock. P L, dan Katan. M B 1992. Hydrogenation alternatives: Effects of trans fatty acid and stearic acid versus linoleic acid on serum lipids and lipoprotein in humans. J. Lipid Res. 33: 399-410.
TANTANGAN PENERAPAN TRADE BARRIER DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL MINYAK SAWIT DAN STRATEGI PENANGGULANGANNYA
Pusat Penelitian Kelapa Sawit
PENDAHULUAN
Di awai milenium ketiga ini. minyak sawit Indonesia harus
menghadapi banyak tantangan Belum selesai kasus kontaminasi solar
minyak sawit harus menghadapi ancaman baru dari Amerika Serikat melalui
food labeling (pelabelan makanan). Pertengahan Nopember 1999 yang lalu.
US FDA (Food and Drug Administration) telah mengajukan revisi peraturan
pelabelan makanan yang akan berpengaruh pada produk-produk pangan
yang mengandung minyak dan lemak. Peraturan baru tersebut menyangkut
pencantuman jumlah trans fat yang dikaitkan dengan saturated fat pada
label produk pangan.
Rancangan peraturan ini sesungguhnya merupakan respon
pemerintah AS terhadap semakin besarnya kepedulian masyarakat AS
terhadap pengaruh pangan. khususnya minyak dan lemak. terhadap
kesehatan. Pemerintah dan Kongres AS sebelumnya telah mengeluarkan
Undang-Undang Pelabelan dan Pendidikan Gizi pada tahun 1990 (The
Nutrition Labeling and Education Act of 1990) UU ini mewajibkan produsen
mencantumkan komponen gizi pada label bahan pangan. diantaranya kalori
total, total fat. saturated fat. dan kolesterol. Walaupun di satu sisi
pencantuman label ini bersifat positif bagi masyarakat dalam hal pemilihan
makanan dan pendidikan gizi. namun sesungguhnya pelabelan ini
merupakan salah satu hasil dari kampanye anti minyak tropis (minyak
kelapa sawit, inti sawit dan kelapa) yang gencar dilakukan tahun 1987.
Dalam salah satu petisinya. ASA (American Soybean Association) berusaha
meyakinkan FDA untuk memperkenankan pelabelan Tropical fats pada
kemasan bahan pangan yang mengandung ketiga minyak tropis tersebut
(Enig. 1998} Kampanye ini berhasil menyembunyikan untuk sementara
keburukan dari trans fat. yang banyak terdapat pada beberapa minyak
nabati domestik AS yang dihidrogenasi parsial. seperti minyak kedele.
minyak biji rape, dll.
Pada tahun 1994. US Center of Science in Public Interes (CSPI)
mengajukan petisi kepada US FDA untuk memperhatikan bukti-bukti ilmiah
yang semakin kuat tentang dampak negatif trans fatty acid yaitu menaikkan
kolesterol darah dan meningkatkan resiko penyakit jantung koroner.
National Academy of Science (NAS) dan National Cholesterol Education
Program memberikan respon yang sama (FDA. 1999). Respon ini
kemungkinan juga dipicu oleh pemberlakuan anjuran tentang konsumsi
trans fats di negara-negara maju lainnya. Pada tahun 1994 pemerintah
Inggris telah mengeluarkan rekomendasi untuk tidak mengkonsumsi asam
lemak trans lebih dari 2% dari rata-rata konsumsi energi. Pemerintah
Kanada juga telah mengeluarkan peraturan bahwa untuk mengklaim bebas
trans fat bahan pangan tersebut tidak boleh mengandung lebih dari 0.2 g
asam lemak trans per sajian (FDA. 1999).
Besar dugaan bahwa untuk melindungi minyak nabati lokal yang
banyak mengandung asam lemak trans. beberapa lembaga yang
cenderung anti minyak tropis di AS mengembangkan isu pelabelan trans fat
yang dikaitkan dengan saturated fat. FDA mengharapkan masukan petisi
dari umum (paling lambat tanggai 12 Februari 2000) sebelum
mengimplementasikan peraturan baru tersebut.
SATURATED FAT DAN TRANS FAT DALAM PELABELAN MAKANAN
Di alam. asam-asam lemak yang terdapat pada minyak/lemak dapat
digolongkan atas dua kelompok, yakni (i) asam lemak jenuh (saturated fat)
yang rantai karbonnya tidak mengandung ikatan rangkap, dan (ii) asam
lemak tidak jenuh (unsaturated fat) yang rantai karbonnya mengandung
satu atau lebih ikatan rangkap. Saturated fat banyak terkandung pada
minyak-minyak "tropis" seperti minyak sawit, inti sawit dan kelapa,
sedangkan unsaturated fat banyak terdapat pada minyak-minyak "non
tropis" seperti kedelai, jagung, bunga matahari, biji kapas. biji rape, dan lain-
lain.
Berdasarkan jenis ikatan rangkapnya, unsaturated fat ada yang
memiliki ikatan rangkap dengan konfigurasi trans (trans fat) dan ada yang
memiliki ikatan rangkap dengan konfigurasi cis (cis fat). Asam-asam lemak
tidak jenuh yang terdapat di alam umumnya terdin dari cis fat. sedangkan
trans fat umumnya terbentuk sebagai akibat dari proses hidrogenasi
minyak-minyak nabati "non tropis". Proses hidrogenasi minyak "non tropis"
ini dilakukan sebagai upaya untuk membuat minyak tersebut berbentuk
semi padat untuk keperluan bahan baku margarin atau shortening (mentega
putih). Sebaliknya, margarin atau shortening yang terbuat dari minyak sawit
tidak mengandung trans fat. karena secara alami. fraksi stearin minyak
sawit yang biasa digunakan telah berbentuk semi padat sehingga tidak
perlu dihidrogenasi.
Banyak peneliti telah membuktikan bahwa saturated fats dan trans
fats dapat meningkatkan resiko penyakit jantung koroner (PJK) melalui
peningkatan kolesterol LDL (low density lipoprotein atau kolesterol "jahat")
dalam darah. PJK merupakan penyakit penyebab kematian nomor satu di
AS maupun negara-negara maju lainnya. Dengan alasan tersebut maka US
FDA memandang perlu untuk mencantumkan informasi kandungan kedua
jenis lipida ini pada label kemasan makanan, sehingga konsumen dapat
menentukan pilihan produk pangan apa yang berdampak positif atau negatif
terhadap kesehatannya. Pada peraturan pelabelan makanan yang berlaku
di AS saat ini (dikeluarkan pada Januari 1993). informasi tentang nutrisi
yang berkaitan dengan kesehatan adalah kandungan total fat (yang
termasuk di dalamnya jumlah saturated fat. polyunsaturated fat I asam
lemak tak jenuh dengan > 2 ikatan rangkap, dan monounsaturated fat /
asam lemak tidak jenuh dengan satu ikatan rangkap), kolesterol sodium
(garam). karbohidrat dan protein.
Salah satu perubahan penting pada peraturan pelabelan makananb
aru yang dapat berdampak buruk pada minyak "tropis", khususnya minyak
sawit, adalah tentang tenninologi saturated fat Pada peraturan pelabelan
makanan tahun 1993 terminologi saturated fat dibatasi hanya sebagai
saturated fat saja, tetapi pada peraturan yang sedang diusulkan FDA.
terminologi saturated fat ini merupakan jumlah dari saturated fat dan trans
fat. Dengan terminologi saturated fat yang baru ini. produsen makanan
diwajibkan untuk menginformasikan jumlah trans fat sebagai keterangan
tambahan dari informasi saturated fat. Dalam hal ini keterangan saturated
fat harus diberi simbol asterik (*) dan diikuti dengan catatan kaki tentang
berapa jumlah trans fatnya (pasai 101.9 Nutrition Pelabelan of Foods).
seperti yang ditampilkan pada Gambar 2 di bawah ini.
Berdasarkan rancangan peraturan yang baru maka pelabelan
saturated fat/trans fat harus dilakukan sebagai berikut.
(i) Produk pangan dapat diklaim sebagai produk trans fat free
(kandungannya 0) dengan syarat kandungan trans fat-nya kurang dari
0.5 gram dan saturated fat kurang dari 0.5 gram per penyajian (per
serving). Pada peraturan yang berlaku saat ini. klaim "trans fat free"
belum diterapkan dan klaim "saturated fat free" dapat digunakan pada
produk pangan dengan syarat kandungan saturated fat-nya kurang dari
0.5 gram per sajian.
(ii) Pada produk pangan dapat dicantumkan klaim "low saturated fat"
apabila kandungan saturated fat < 1 g dan trans fat < 0.5 g per sajian.
Pada peraturan yang berlaku saat ini. klaim produk “low saturated fat"
hanya dengan syarat kandungan saturated fat-nya < 1 g.
Gambar 2. Contoh label produk pangan sesuai dengan rancangan peraturan pelabelan makanan US FDA 1999.
(iii) Pada produk pangan cukup dicantumkan jumlah saturated fat (yang
termasuk trans fat) bila jumlah tersebut masih dalam batas yang
diijinkan. Batas maksimum yang digunakan untuk produk pangan bayi
dan anak-anak adalah 4 0 gram per sajian, sedangka untuk meat
product sebesar 8 0 gram dan main dish product sebesar 6.0 gram,
(iv) Apabila iumlah tersebut melebihi batas yang diijinkan. maka produsen
wajib untuk mencantumkan label tambahan yang bersifat peringatan.
See nutrition information for saturated fat content'.
Pemberlakuan peraturan tersebut diperkirakan dapat berakibat buruk
bagi industri minyak sawit, karena :
(i) Produk pangan yang berbasis minyak sawit tidak dapat mengklaim
produknya sebagai "trans fat free" karena persyaratan untuk
pencantuman label tersebut tidak dapat dipenuhi dari aspek kandungan
saturated fat Padahal free of trans fat merupakan salah satu
keunggulan minyak sawit dan produk pangan turunannya dibandingkan
minyak sawit 'non tropis'. Keunggulan inilah yang digunakan oleh
negara produsen minyak sawit untuk memerangi kampanye anti minyak
yang dilakukan oleh AS beberapa tahun yang lalu. Sebagai bahan
perbandingan, di bawah ini tertera jumlah trans fat dan saturated fat
yang terdapat pada margarin lokal yang berbasis minyak sawit dan
margarin impor yang berbasis minyak nabati terhidrogenasi per
penyajian (14 g per penyajian).
Dengan terminologi saturated fat pada peraturan yang berlaku
saat ini, margarin lokal dapat diklaim sebagai produk "trans fat free"
karena kandungan trans fat nya kurang dari 0.5 gr per sajian. Akan
tetapi, dengan peraturan yang akan berlaku, klaim tersebut tidak dapat
dilakukan lagi karena jumlah gabungan trans dan saturated fat nya
menjadi 7 6 gr per sajian. Sedangkan produk margarin impor. tidak akan
bisa diklaim sebagai produk trans fat free, baik dengan peraturan yang
berlaku maupun yang akan berlaku
Tabel 1. Kandungan trans fat dan saturated fat yang terdapat pada margarin lokal dan margarin impor per penyajian*
Jenis lipida Margarin lokal Margarin imporTrans fat 0.3 gr 12 grSaturated fat _____ 7.3 gr 4.2 gr* dihitung berdasarkan hasil penelitian Joeliani (1996)
(ii) Semua produk pangan yang berbasis minyak sawit mungkin harus
mencantumkan label "See nutrition information for saturated fat
content", sebagai peringatan kepada konsumen tentang dampak negatif
saturated fat terhadap kesehatan. Hal ini disebabkan dengan
terminologi yang baru maka batasan jumlah saturated fat dalamproduk
pangan menjadi akan lebih rendah karena hams dikurangi dengan
jumlah trans fat yang ada.
Walaupun Amerika Serikat bukan negara pengimpor minyak sawit
terbesar, pemberlakuan peraturan baru tersebut dikhawatirkan akan
merembet ke negara-negara lain, terutama Eropa, sehingga dapat
mempengaruhi konsumsi minyak sawit dunia. Akibatnya ekspor mir^ak
sawit Indonesia akan terganggu, padahal dalam waktu sepuluh tahun
mendatang produksi minyak sawit Indonesia diperlukan masih akan
meningkat terus dari 5.9 juta ton tahun 1999 menjadi sekitar 15 juta ton
pada tahun 2012. Sementara itu konsumis dalam negeri tidak akan naik
setajam itu.
Untuk mengantisipasi peraturan baru tersebut. Pemerintah serta
semua pihak yang berkepentingan dalam bisnis kelapa sawit perlu
bekerjasama dengan cara mengajukan petisi kepada US FDA (paling
lambat tanggai 12 Februari 2000). Keputusan FDA tidak hanya berpengaruh
di Amerika saja, tetapi juga dapat berdampak ke seluruh dunia sehingga
harus segera diantisipasi. Malaysia juga akan mengajukan petisi ke FDA
melalui perwakilan PORIM {Palm Oil Research institute of Malaysia) di
Washington, Adapun petisi yang perlu diajukan adalah :
1 Pelabelan trans fat hendaknya dipisahkan dan tidak dikaitkan dengan
saturated fat. dimana trans fat dicantumkan pada baris di bawah
saturated fat.
2 Persyaratan pencantuman label trans fat free hendaknya tidak
memasukkan persyaratan jumlah saturated fat.
Adapun argumen yang mendukung petisi tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Secara ilmiah. definisi dan struktur kimia saturated fat dan fat sangat
berbeda, seperti yang telah dijelaskan di atas. Lebih lanjut. saturated
fat merupakan asam lemak alami dan normal yang dapat diterima oleh
tubuh. sedangkan trans fat merupakan asam lemak 'asing'. dan
berdampak kurang baik bagi tubuh.
b Tidak ada korelasi antara jumlah saturated fat dan trans fat di dalam
pangan dan kesehatan. American Heart Association mengajurkan
bahwa konsumsi saturated fat yang sehat adalah sebesar 10 % dari
Jotal kalori yang dibutuhkan manusia. Jika kebutuhan kalori rata-rata per
hari adalah 2000 kalori, maka jumlah saturated fat yang dianjurkan
adalah 200 kalori, yang setara dengan 22.2 gr saturated fat per hari.
Di sisi iam. Departemen Kesehatan Inggris menganjurkan konsumsi
trans fat maksimum 2 % dari kebutuhan kalori, yang setara dengan 4.4
g trans fat bila dihitung berdasarkan kebutuhan 2000 kalori. Saat ini
diperkirakan bahwa konsumsi trans fat oleh masyarakat AS adalah 20%
dari jumlah lemak yang dikonsumsi, yakni 20 -25% trans fat berasal
dari margarin dan sisanya dari produk pangan goreng dan panggang
seperti kentang goreng. cookies, crackers, dan donut (Majalah Time, 5
Juli 1999). Lebih lanjut. penelitian Ascherio et at. (1999) membuktikan
bahwa pengaruh asam lemak trans adalah dua kali dibandingkan asam
lemak saturated terhadap peningkatan resiko PJK.
c. Pengaruh trans fat dan saturated fat dalam sistem biologis memiliki
banyak perbedaan. Perbedaan tersebut diantaranya adalah :
• Trans fat bersifat menurunkan kolesterol HDL (High Density
Upoprotem atau kolesterol “baik'’), sedangkan saturated fat bersifat
meningkatkan kolesterol HDL (Mensink dan Katan. 1990 dan Judd
et al., 1994). Jumlah kolesterol HDL dalam darah berkorelasi negatif
dengan PJK. Adapun parameter kadar kolesterol HDL/total
kolesterol Dengan demikian, meskipun dan satu aspek trans fat
dan saturated fat sama-sama menaikkan tingkat kolesterol LDL
darah. namun rasio kolesterol HDUtotal kolesterol darah yang
dihasilkan saturated fat lebih baik dibandingkan trans fat Lebih
tanjut. penelitian juga telah membuktikan bahwa minyak sawit tidak
meningkatkan kadar kolesterol darah dibandingkan minyak nabati
lain yang banyak mengandung unsaturated fat (Ng et al.. 1991.
Kris-Etherton et al. 1984)
• Trans fat bersifat menaikkan tingkat atherogenic lipoprotein dalam
darah (lipoprotein penyebab penyumbatan pembuluh darah).
sedangkan saturated fat bersifat sebaliknya (Khosla et al.. 1996:
Hornstra et al.. 1991: Clevidence et al.. 1997)
• Trans fat dapat menyebabkan kerusakan asam lemak omega-3
dalam jaringan tubuh sedangkan saturated fat bersifat melindungi
asam lemak omega-3
• Trans fat bersifat menghambat aktivitas insulin dalam metabolisme
gula. sedangkan saturated fat bersifat sebaliknya
• Trans fat tidak disintesis dalam tubuh sehingga mengganggu
beberapa fungsi enzim sedangkan saturated fat merupakan asam
lemak normal bagi tubuh dan tidak menganggu fungsi enzim
• Trans fat dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh, sedangkan
beberapa saturated fat telah dibuktikan dapat meningkatkan sistem
kekebalan tubuh. (Enig. 1998).
PENUTUP
Kelapa sawit merupakan penghasil devisa utama dari subsektor
perkebunan yang mempunyai kontribusi terhadap PDB Nasional sebesar
1 39 % serta menghidupi jutaan keluarga Indonesia. Kelangsungan eksport
minyak sawit ke manca negara perlu dijaga melalui promosi dan pencarian
pasar-pasar baru. Diperoleh informasi bahwa dalam menghadapi rancangan
peraturan US FDA 1999 tentang pelabelan trans fat pada makanan ini.
beberapa petisi. termasuk industri minyak tropis di AS. mendukung
pelabelan trans fat asalkan tidak dikaitkan dengan saturated fat. Sudah
saatnya bagi Pemerintah Indonesia dan masyarakat perkelapa-sawitan
Indonesia juga berespon atas rencana peraturan pelabelan yang baru ini.
Untuk mengantisipasi ancaman-ancaman lain di masa mendatang
yang dapat mengganggu kelangsungan ekspor minyak sawit, kita perlu
membuktikan ke dunia bahwa minyak sawit mempunyai keunggulan-
keunggulan dibandingkan dengan minyak lain. Informasi tentang adanya
komponen minor dalam minyak sawit seperti karoten (pro vitamin A) dan
tokoferol (vitamin E) yang sangat baik untuk kesehatan, perlu disebar
luaskan ke konsumen untuk mengkounter sisi negatif dari saturated fat
dalam minyak sawit. Untuk itu semua pihak yang bertanggung jawab
terhadap bisnis kelapa sawit terutama pemerintah. lembaga penelitian,
universitas, produsen dan industri yang menggunakan minyak sawit perlu
bekerjasama untuk melakukan dan mendanai penelitian-penelitian yang
dapat mendukung keunggulan minyak sawit. Malaysia telah melakukan hal
tersebut dan telah menghabiskan dana jutaan dolar pada tahun 80-an untuk
melawan kampanye anti minyak tropis dari Amerika Serikat. Kini sudah
selayaknya kita melakukan hal yang sama karena sekitar tahun 2012
Indonesia akan menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia
DAFTAR PUSTAKA
Acherio. A . Katan. M B.. Zock. P.L.. Stampfer. M. J willet. W.C 1999, Trans Fatty acid and coronary hearth diseases. New Eng. J. of Med. 340 : 1994- 1998.
Clevidence. B.A., Judd. J.T.. Schaefer, E.J., Jenner. J.L.. Lichenstein. A.H.. Muesing R.A.. Wittes. J.. and Sunkin. M.E 1997. Plasma lipopretein (a) levels in men and women consuming diets enriched in saturated, cis - or trans-monounsaturated fatty acids. Arterioscier Thromb Vase.Biol. 17(9) : 1657 - 1661.
Enig. M.G, 1998, Palm Oil and the anti-ropical : Good news toward counteracting a decades worth of damage. 1988 International Oii Palm Conference September 23 - 25. 1998. Bai Indonesia.
FDA. 1999. Food labeling : Trans fatty acids in nutrition labeling, nutrient content claims, and health claims (Docket no. 94P-0036.)USA
Hornstra Gt., van Houwelingen A C., kester. A.D.. and Sundram. K. 1991. A palm oil enriched diet lowers serum lipoprotein (a) in normocholesterolemic valunteers. Atherosclerosis 9u (1) 91 -93.
Joeliani. L.D. 1996. Analisa Asam Lemak Trans pada berbagai margarin di Pasaran Indonesia. Skripsi. Jurusan TPG - Fateta. IPB Bogor.
Judd. J.T.. Clevidence. B.A.. Muesing, R.A.. Wittes. J.. Sunkin M E . and Podczasy, J.J. 1994. Dietary trans fatty acids : Effects on plasma lippids and lipoprotein of healthy men and women. Am. J. Clin. Nutr. 59 : 861 - 868.
Khosla. P. and Hayes. K.C. 1996. Dietary trans monounsaturated fatty acids negatively impact plasma lipids in humans : critical review of the evidence. J. of the Am. College or Nutr. 15(4) : 325 - 339.
Kris-Etherton. P.M.. Ho. C.Y.. and Fosmire. M.A. 1984. Effect of dietary fat saturation on plasma and hepatic lipoprotein in the rat. J. Nutr.. 114 : 1675 - 1682.
Mensink. R.P. and Katan. M B. 1990. Effect of dietary trans fatty acids on high-density an low-density lipoprotein cholesterol levels in healthy subjects. The New England J. of Medicine 323 (7) : 439 - 445.
Ng. T.K.W.. Hassan, K., Lim. J.B.. Lye. M.S.. and R. Ishak. 1991. Non hypercholesterolemic effects of a palm oil diet in Malaysia volunteers. Am. J. Clin. Nutr. 53(Suppl. 4) : 1015s- 1020s.
THE TRUTH IN LABELING : SATURATED FATTY ACID MUST BE SEPARATED FROM TRANS FATTY ACID
MAKSI dan PPKS
One of the main purposes of labeling - as the name of the Act imply :
Nutritional Labeling and Education Act-is to provide true and fair nutrient
information, to educate the consumers as well as to promote fair trade This
is achieved by providing true and clear information printed in the label.
With this in mind, labeling of saturated fat/saturated fatty acid (SFA)
must be separated with labeling of trans fat/trans fatty acids (TFA).
Consumer must have the right to be informed about what kind of fat they are
consuming, whether it's SFA or TFA. The two kind of fats should not be
grouped and named as one (as Saturated Fat) because they actually are
not the same, chemically, biologically and physiologically. sOme
researchers have shown that the two kinds of fats (SFA and TFA) have
different effect on health, especially on coronary heart disease. Some
researchers have even suggested that TFA have more netative effect on
health as compared to those of SFA.
So. it is only logical and fair to provide complete information in the label,
as the following :
1 Labeling of TFA and SFA must be pnnted separately on the nutrition
panel. TFA and SFA are different of two kind fats, and consequently
they must be declared separately. SFA is not associated with TFA in
anyway.
2. One product may be declared or labeled as trans fat free without any
requirement or consideration of SFA content.
With those labeling, the purpose of the NLEA can be preserved fairly
based on scientific reason. This should not be mixed and confused with the
trade competition. Again, trade should be done fairly, and consumer have
the right to know and be assured that all necessary information needed for
making buying decision are printed clearly in the label.
Several scientific and findings show that TFA are different than SFA
and consequently has different health effect have been published, such as
the following :
1. Saturated Fat/Saturated Fatty Acids (SFA) are not always havenegative effect on health
• SFA consists of different vanety of fatty acids, ranging from short-
chain fatty acids (C4:0) to long-chain fatty acids (C20. 0 or more) So
far. consumer have been informed that SFA are respnsible for or
associated with several health problems, such as coronary heart
disease (CHD) due to the increase level of blood cholesterol,
especially increase of blood LDL. This is not always true, since
several researcher have reported that every fatty acids (even though
ail are saturated fatty acids) have unique effect on lipid metabolisms
(Key. 1965. Keys. 1959. Hegsted 1965: Budijanto. 1993).
• Short chain fatty acids (SCFA). ranging from C4:0 to C10 0. are
believe to have no significant effect on the level of blood cholesterol.
The same is also true for Medium Chain Fatty Acid (lauric and stearic
acids: Grande. 1970, Budijanto. 1993). This is so due to the fact that
SCFA and MCFA are absorbed directly via the portal blood stream, so
they can be metabolized directly for the production of energy
(Sickinger. 1975 and Christie, 1983).
• Pietinen P. et al (1997) reported that there are no correlation between
the increase risk of coronary heart disease with the consumption of
SFA, cis-monounsaturated fatty acids, linoleic acid and linolenic acid.
• Studied have shown that consumption of plant oil rich in saturated
fatty acid do not show any significant different effect in level of blood
cholesterol as compared to thowe of plant oil rich in unsaturated fat
(Ng et al. 1991: Kris-ehterton et al. 1984).
Those findings suggest that the effects of SFA on CHD will depend on
the kind of species of SFA. This is an important fact that needs to be
provided for the consumers, the public, and also health professionals,
so that misleading information and false judgement can be avoided.
These findings also suggest that grouping all SFA info one category is
nor scientifically sound. This also suggests that grouping of such
diverse variety of SFA into one category with TFA is even misleading,
and consequently must not be done.
2. Comparison between the effect of SFA and TFA on CHD
• Several researches have shown that consumption of SFA decreases
lipoprotein lp(a) level, this has been associated with the decrease in
prevalence of CHD. The opposite is true for TFA. which cause
increase in level of the lipoprotein lp(a). and consequently increase
the prevalence of CHD (Lichtenstein et al, 1999). It has been also
reported that TFA has stronger negative effect on C"HD than that of
SFA (Ascherio et al. 1999).
• Several other previous researches using human subject have also
shown that group treated with consumption of SFA has the lowest
level of Lp(a) as compared to other group treated with TFA and oleic
acid (Mensink et al. 1992). Clevidende BA. et al. 1997. Khosla et al.
1996): Hornstra et al, 1991).
• Research to compare the effect of stearic acid and TFA has also been
done. It has been reported that stearic acid (SFA) and TFA has
different effect in LDL/HDL cholesterol ratio. Dietary stearic acid
treatment do not cause any changes in the LDL/HDL cholesterol ratio,
wherease treatment of FTA has caused increase in LDL/HDL
cholesterol ration as much as 19%. This shows that TFA has more
negative potencies in causing CHD than that of SFA. especially those
of stearic acid (Aro. A. 1997). This findings also in accordance with
the research of Frank B. Hu et al 91997), in which women treated with
consumption of SFA as much as 5% of their energy intake have
relative risk of CHD of 1.17. this relative risk is lower compared to the
risk of other group treated with consumption of TFA (at level of 2%)
which have relative nsk of 1.95. Willet WC.. et at, (1993) also reported
the same findings. Women treated with consumption of food
containing TFA has relatively higher fisk of CHD (1.67) than that
control (having consumption of food containing SFA. MUFA and
PUFA) with relative risk of 1.50.
• Research done on healthy human subject has shown that group
having dietary trans fatty acid have higher level of LDL-cholesterol
and lower level of HDL=cholesterol than other group having dietary
oleic acids. Other having treatment of SFA do not show any changes
in blood HDL-cholesterol level but do show increase in blood LDL-
cholesterol level, as compared to that of group having oleic acids
treatment. This findings suggested that TFA has stronger negative
effect on human health than that of SFA )Mesink and Katan, 1990 and
Judd et al. 1994).
Again, those findings suggest that grouping of SFA into one
category with TFA is misleading, since they have different
physiological and biological effect on human health. Consequently.
attempt to group SFA and TFA into one category must not be done.
3. Comparison on the effect of consumption of SFA and TFA on other health problems
• Trans fatty acids (TFA) may caused deterioration of essential fatty
acid; i.e. Omega-3 fatty acids SFA does not cause any effect of
Omega-3 FA (Sugano and Ikeda, 1996). Consequently, it has been
suggested to Increase the consumption of essential FA during the
consumption of TFA.
• It has been reported that TFA may inhibit the activity of insulin, and
consequently TFA will cause some disruption of sugar metabolism.
• TFA are not synthesized in the body and thus. TFA can be
considered as a unnatural of foreign substance for the body. TFA
have tendencies to disrupt the enzymatic activity. On the other hand
SFA is naturally found and synthesized in the body, and are believed
to be natural component of the body fat.
• TFA may cause an decrease/imbalance of body immunity, whereas
several species of SFA has been shown to increase the body
immune system (Enig. 1998)
Conclusion
Again, the main purpose of labeling - as the name of the Act imply :
Nutritional Labeling and Education Act - is to promote fair trade and to
educate the consumers. Therefore, labeling of saturated fat/saturated fatty
acid (SFA) must be separated with labeling of trans fat/trans fatty acid (TFA)
should not be grouped and named as one (as Saturated Fat) because they
actually are not the same, chemically, biologically and physiologically.
It has been shown that TFA have stronger negative effect on human
health than that of SFA. especially for the CHD. All of those findings
suggest that for the sake of clarity, consumers have the right to know what
kind of fat they are consuming Grouping SFA into one category with TFA is
misleading, since they have different physiological and biological effect on
human health Attempt to group SFA and TFA into one category is not wise
decision, and may endanger public health Consequently, labeling of SFA
must be made separately and distinctly different with labeling of TFA.
KEBIJAKAN INTEGRATIF AGROINDUSTRI KELAPA SAWIT ANTISIPASI PENERAPAN TRADE BARRIER PRODUK KELAPA SAWIT
Muhammad Said Didu
Direktur Teknologi Agroindustri-BPPT
ABSTRAK
Peran agroindustri, termasuk agroindustri kelapa sawit di Indonesia diharapkan semakin meningkat. Peran tersebut meliputi: (1t sebagai penghasil devisa. (2) penampung tenaga kerja. (3) pencipta pendorong pemerataan pembangunan. (4) pemacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, serta (5) sebagai pendorong pengembangan wilayah.
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki keunggulan komparatif yang berpeluang dikembangkan menjadi keunggulan kompetitif. Prospek pengembangan agroindustri kelapa sawit (PAKS) masih sangat terbuka ditinjau dari ketersediaan bahan baku. sumber daya manusia (SDM). teknologi, pendanaan, dan pemasaran.
Adanya kebijakan yang dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi PAKS akan menarik para investor untuk menanamkan modalnya pada industri kelapa sawit. Sebagai perbandingan, agroindustri kelapa sawit di Malaysia berkembang dengan baik karena didukung oleh paket kebijakan yang komprehensif Dalam pelaksanaan pengembangan kelapa sawit, seluruh lembaga yang terkait dengan pengembangan tersebut melaksanakan dan mengembangkan kebijakan pengembangan agroindustri kelapa sawit secara konsisten. terintegrasi. dan dinamis.
Menghadapi tantangan global, termasuk tantangan dalam bentuk trade barrier sangat diharapkan adanya paket kebijakan yang terdiri dari berbagai instrumen kebijakan yang secara sinergi mampu mendorong berkembangnya agroindustri kelapa sawit untuk menghasilkan devisa. meningkatkan kesejahteraan rakyat, mendorong pengembangan wilayah. dan memacu terjadinya pemerataan Untuk menghasilkan paket kebijakan demikian, dibutuhkan adanya pendekatan sistem agar permasalahan kelapa sawit yang bersifat kompleks, dinamis. dan probabilistik dapat diantisipasi. Melalui pendekatan sistem diharapkan dapat dirumuskan kebijakan integratif yang bersifat holistik. sibernetik. dan efektif.
Pengembangan agroindustri kelapa sawit (PAKS) merupakan salah
satu andalan Indonesia dalam membangun perekonomian nasional.
Terdapat lima alasan kenapa PAKS menempati posisi demikian, pertama
sumberdaya lokal yang dimiliki untuk PAKS berupa lahan dan tenaga kerja
masih cukup tersedia Sementara negara pesaing utama seperti Malaysia.
Ivory Cost, dan Papau New Gunea sudah semakin terbatas Kedua,
pangsa pasar dunia produk PAKS masih terus meningkat seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk. Dari konsumsi minyak goreng saja mencapai
10 kg/kapita/thn, belum termasuk produk hilirnya. Ketiga, produktivitas lahan
yang digunakan untuk kelapa sawit jauh lebih tinggi dari tanaman penghasil
minyak lainnya, sehingga biaya produksinyapun lebih rendah Data
menunjukkan bahwa produktivitas sawit sebasar 6 ton/ha sedangkan
kedele hanya 2.5 ton/ha. Sehingga biaya produksi minyak sawit hanya S
160/ton sedangkan kedele sebesar S 250/ton. Keempat, kandungan lokal
melalui penggunaan sumber daya domestik (Domestic Resource Cost,
DRC) yang tinggi.
Posisi demikian memberikan peluang PAKS sebagai sumber
perolehan devisa untuk jangka panjang (Gittinger. 1982). Dan kelima,
faktor sosial budaya yang mendukung, karena tanaman kelapa sawit
merupakan tanaman yang sudah lama dibudidayakan oleh masyarakat
Peluang tersebut terus menghadapi tantangan dan kendala dalam
memasuki era globalisasi. berupa pertama, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat di negara pesiang. Dan
kedua, adanya upaya-upaya untuk membatasi perdagangan (trade barrier)
minyak sawit melalui berbagai kampanye yang dikaitkan dengan dampak
konsumsi minyak sawit terhadap kesehatan manusia. termasuk
pengembangan issu minyak sawit sebagai penyebab kolestrol yang
dilanjutkan dengan adanya proposal US Food and Drug Adiministration
(FDA) tentang labeling trans-fatty acid yang dikaitkan dengan kandungan
lemak jenuh Peluang dan tantangan demikian mengharuskan kita untuk
mampu merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang mampu
mengantisipasi tantangan PAKS baik untuk jangka pendek maupun untuk
jangka panjang.
ANALISIS KEBIJAKAN
Kebijakan dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan
untuk mencapai tujuan. Kebijakan dibidang pemerintahan didefenisikan
sebagai rangkaian aksi yang dipilih pemerintah yang mencakup tujuan-
tujuan yang ingin dicapai dan metode-metode untuk mencapai tujuan
tersebut (Ellis 1994) Sedangkan dalam organisasi bisnis. kebijakan
diartikan sebagai pedornan. peraturan dan prosedur yang dibuat untuk
mendukung tercapainya tujuan yang telah ditentukan (David. 1997).
Pemerintah didefinisikan sebagai sekelompok orang yang
menjalankan suatu negara yang bertanggung jawab untuk membuat
keputusan kebijakan (Austin. 1992). Jenis-jenis kebijakan pemerintah dapat
berupa kebijakan fiskal, moneter, perdagangan, dan kebijakan pendapatan
Selain itu. pemerintah juga membuat kebijakan sektoral seperti kebijakan
pertanian, industri. transportasi. pendidikan kesehatan, lingkungan dan
sebagainya Tujuan kebijakan pemerintah umumnya untuk meningkatkan
kesejahteraan sosiai bagi seluruh masyarakat Tolok ukur yang sering
digunakan untuk menilai dampak kebijakan antara lain adalah pertumbuhan
ekonomi. distribusi pendapatan, dan stabilitas dalam berbagai aspek.
Keberhasilan pembangunan ekonomi sangat dipengaruhi oleh bentuk
kebijakan pemerintah Menurut Killick (1989) berbagai bentuk kegagalan
pasar (market failure) yang sangat ditentukan oleh kebijkan pemerintah.
yaitu: (1) kegagalan persaingan (failures of competition). (2) kegagalan
dalam pengambilan keputusan (failures of provision). (3) teijadinya
eksternalitas. (4) ketidakterbatasan akses terhadap sumber daya (open
access resourcess). (5) instrumen pasar yang belum lengkap (incomplete
market). (6) kegagalan infonmasi (information failures). (7) permasalahan
makroekonomi (macroeconomic problems). dan (8) masalah
ketidakseimbangan kepemilikan. Terdapat berbagai bentuk kegagalan
negara (state failures) yang menyebakan terjadinya kegagalan pasar. yaitu:
(1) kegagalan infoimasi. (2) dampak dari kompleksnya permasalahan. (3)
kegagalan dalam pelaksanaan (implementation failures). (4) kegagalan
motivasi (motivation failures), dan (5) timbulnya rente ekonomi (rent
seeking). Untuk menghindari terjadinya kegagalan pasar. setiap perumusan
kebijakan hendaknya memperhatikan aspek-aspek penting, yaitu: (1)
penentuan prioritas yang hendak dicapai: (2) penentuan kemampuan untuk
menerapkan kebijakan, termasuk kesiapan kelembagaan: (3) kebijakan
yang berpotensi mengintervensi pasar jangan sampai menyebabkan
kegagalan pasar. dan (4) penerapan kebijakan sejauh mungkin mengikuti
mekanisme pasar. terutama pertimbangan sosial budaya.
Formulasi Kebijakan
Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam pelaksanaan
pembangunan dapat dibedakan berdasarkan tingkatan dan jenis kebijakan.
Menurut tingkatannya kebijakan pemerintah dibedakan atas kebijakan
tingkat pusat, dan kebijakan daerah. Pada masing-masing tingkatan
tersebut, terdapat berbagai jenis kebijakan sektoral, seperti kebijakan
pertanian, industri. perdagangan, kehutanan, kesehatan, dan lainnya.
Perumusan kebijakan yang dalam implementasinya melalui berbagai
tingkat organisasi dan bersifat lintas sektoral akan menghadapi
permasalahan, yaitu sulitnya memadukan kebijakan antar sektor agar
terjadi korelasi yang erat dan saling mendukung. Selain itu, dalam
pengembangan industri. terutama untuk industri yang bersifat jangka
panjang (seperti agroindustri kelapa sawit) sangat dibutuhkan adanya
konsistensi kebijakan serta keterpaduan kebijakan pada seluruh tingkatan
organisasi.
Menurut Clay and Schaffer (1984), tahapan kebijakan biasanya
mengikuti siklus kebijakan yang terdiri dari dua fase yaitu: (1) fase formulasi
kebijakan, dan (2) fase implementasi kebijakan. Fase formulasi kebijakan
diawali dengan perumusan tujuan kebijakan, kemudian dilakukan analisis
ekonomi dan teknis terhadap berbagai alternatif solusi untuk mencapai
tujuan tersebut. Biaya dan keuntungan setiap alternatif kebijakan dihitung
dan selanjutnya disusun ranking berbagai kebijakan tersebut sebelum
diambil suatu keputusan kebijakan terbaik. Pada fase implementasi.
kebijakan terbaik tersebut ditaksanakan dan hasilnya dievaluasi apakah
sesuai dengan target dan tujuan yang dikehendaki. Evaluasi tersebut juga
mengkaji kebaikan dan kelemahan dari kebijakan tersebut, lalu dipelajari
dan dijadikan masukan untuk perumusan kebijakan berikutnya. Sedangkan
menurut Thorbecke and Hal! (1982). kerangka (framework) analisis
kebijakan terdiri dari: (1) penentuan tujuan/target yang ingin dicapai. (2)
analisis faktor pembatas, dan (3) penetapan instrumen kebijakan yang akan
digunakan.
Untuk melaksanakan kebijakan dibutuhkan adanya instrumen
kebijakan yang merupakan metode-metode intervensi yang dapat dilakukan
pemerintah untuk mencapai tujuan berdasarkan kondisi dari faktor-faktor
pembatas yang ada Dalam pembangunan pertanian, instrumen kebijakan
dapat dibedakan berdasarkan kategori. yaitu: (1) tujuan kebijakan, dapat
berupa peningkatan efisiensi atau distribusi pendapatan: (2) cakupan
operasi. dapat berupa kebijakan lahan, pemasaran, dan konsumen; (3)
berdasarkan kelompok sasaran, dapat berupa kebijakan harga institusi,
dan teknologi: (4) dari segi luasan cakupan, dapat berupa kebijakan spesifik
atau umum: dan (5) kebijakan yang dibuat untuk komoditas tertentu
(McCalia and Josling, 1985).
Seperti halnya dengan perumusan kebijakan di pemerintahan,
perumusan kebijakan dalam suatu organisasi bisnis, juga terlebih dahulu
ditetapkan tujuan organisasi tersebut. Kebijakan dalam suatu organisasi
bisnis umumnya terdiri dari kebijakan manajemen. pemasaran,
keuangan/akuntasi. produksi/operasi, riset dan pengembangan, serta
kebijakan sistem informasi. Namun untuk memilih kebijakan yang akan
dilaksanakan perlu dilakukan kajian terhadap faktor internal dan eksternal
dari suatu organisasi (David. 1997). Lingkungan internal yang dianalisis
terdiri dari kemampuan manajemen. pemasaran, keuangan, produksi. riset
dan pengembangan, serta kemampuan sistem informasi. Sedangkan
lingkungan eksternal meliputi keadaan ekonomi makro, sosial. budaya.
demografi, lingkungan, politik. hukum. pemerintahan, teknologi dan tingkat
persaingan industri.
Indikator Dampak Kebijakan
Suatu kebijakan dapat dikatakan berhasil dengan baik jika kebijakan
tersebut bisa diimplementasikan dan dapat mengoptimumkan keinginan
pihak-pihak yang terkait atau terpengaruh dari pemberlakukan kebijakan
yang dibuat Menurut Ellis. F (1994) dari segi kesejahteraan ekonomi. suatu
kebijakan dikatakan berhasil dengan baik jika dapat mewujudkan pareto
optimum Pada tingkat negara, pareto optimum suatu kebijakan dapat
terwujud jika setiap individu menjadi lebih baik atau paling sedikit terdapat
sekelompok individu menjadi lebih baik tanpa menyebabkan kelompok lain
menjadi lebih buruk setelah kebijakan tersebut diimplementasikan. Aspek
yang seharusnya menjadi pegangan bagi perumus kebijakan agar pareto
optimum dapat terjadi adalah upaya untuk mewujudkan pasar yang
kompetitif dan memperbaiki distribusi pendapatan agar semakin merata.
Untuk mengatasi dampak negatif suatu kebijakan terhadap suatu kelompok
perumus kebijakan umumnya menggunakan kntena kompensasi
{compensation criterion). Pada tingkat negara kompenasi diberikan kepada
kelompok individu yang secara potensial keadaannya akan menjadi iebih
buruk setelah kebijakan tersebut diberlakukan.
Untuk mengukur pengaruh implementasi kebijakan dapat dilihat dari
indikator ekonomi dan sosial. Untuk melihat pertumbuhan produk nasional.
indikator ekonomi yang sering digunakan Gross National Product (GNP)
dan pendapatan perkapita Namun akhir-akhir ini indikator sosial menjadi
perhatian utama setiap penetapan kebijakan Indikator sosial yang sering
dipergunakan adalah distribusi pendapatan dan kesejahteraan yang dapat
diukur antara lain dengan Human Development Index (HDI) dan Gini-ratio.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan
perkapita dalam suatu negara telah dipostulasikan oleh Simon Kuznets
sejak tahun 1955 yang dikenal dengan "Inverted-U-Hypothesis". Untuk
pengujian hipotesa Kuznets dengan beberapa modofikasi digunakan
beberapa indikator, yang salah satunya adalah koefisien Gini dengan
formula Bourguignon yang disebut L-Indeks (Arief S. 1993 dan 1998).
Akibat berbagai kegagalan dalam penggunaan koefisien Gmi untuk menilai
tingkat pemerataan pembangunan, para ahli lebih tertank menggunakan
tolok ukur HDI dengan menggunakan pendekatan tolok ukur seperti tingkat
konsumsi gizi. tingkat kesehatan, tingkat harapan hidup. dan tingkat
pendidikan masyarakat.
KEBIJAKAN INTEGRATIF
Kebijakan integratif merupakan diharapkan mampu mengakomodir
seluruh kepentingan yang terkait dengan PAKS serta dapat diiaksanakan
oleh seluruh tingkatan birokrasi (baca pemerintah). dunia usaha. dan
masyarakat. Pendekatan kebijakan integratif akan menghilangkan sekat-
sekat kebijakan sektoral yang sering dianut selama ini.
Dalam pembangunan pertanian, kebijakan dapat dekelompokan ke
dalam: (1) kebijakan harga (price policy). (2) kebijakan pemasaran
(merketing policy). (3) kebijakan input (input policy):. (4) kebijakan kredit
(credit policy). (5) kebijakan mekanisasi (mechanisation policy). (6)
kebijakan distribusi lahan (land reform). (7) kebijakan penelitian (recearch
policy), dan (8) kebijakan ingasi (irigation policy) (Ellis. 1994). Penerapan
kebijakan tersebut dapat meberikan dampak pada harga. produksi.
konsumsi, perdagangan, anggaran (budget), distribusi pendapatan, dan
kesejahteraan sosial (Colman & Young. 1989).
Kebijakan terhadap input pertanian dimaksudkan untuk: (1)
mempercepat penerapan teknologi. (2) meningkatkan hasil pertanian dan
distribusi pendapatan. (3) menutupi kerugian petani akibat penggunaan
teknologi baru. (4) menghindari kesalahan penggunaan input oleh petani.
(5) memperbaiki sistem suplai input. (6) melaksanakan sistem kombinasi
input dan kredit. (7) pengaturan dan pengawasan pemasaran bibit.
pestisida, dan insektisida. (8) meningkatkan penggunaan produk lokal. dan
(9) untuk memperbaiki sistem distribusi. Untuk mengendalikan input
pertanian, terdapat tiga instrumen kebijakan yang dapat diberlakukan, yaitu:
(1) kebijakan harga input. (2) kebijakan sistem delivery, dan (3) kebijakan
informasi.
Kebijakan pendanaan umumnya diwujudkan dalam bentuk kebijakan
kredit. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk: (1) mengurangi hambatan
pengembangan pertanian. (2) mengurangi peran rentenir. (3) mempercepat
penerapan teknologi oleh petani. (4) mengurangi ketergantungan petani
kecil terhadap penggunaan dana komersial, (5) menyediakan dana untuk
jangka pendek. (6) mengendalikan ketidakseimbangan pendapatan petani.
(7) mengurangi pengaruh disintensif pada petani, dan (8) sering digunakan
untuk menarik perhatian petani dalam bidang politik.
Penerapan kebijakan perdagangan komoditas pertanian umumnya
dimaksudkan untuk. (1) meningkatkan output pertanian. (2) memperbaiki
distribusi pendapatan masyarakat. dan (3) meningkatkan peran sektor
pertanian daiam pembangunan eknomi. Terdapat berbagai instrumen
perdagangan yang dapat diterapkan dalam pertanian dan agroindustri,
yaitu. (1) pemberlakuan pajak impor atau subsidi. (2) penetapan nilai tukar
tetap untuk perdagangan komoditas pertanian. (3) pemberlakuan pajak dan
subsidi. dan/atau (4) intervensi langsung pemerintah.
Pemberlakuan pajak impor atau subsidi dapat dilakukan dengan
berbagai alternatif. berupa: (1) penarikan retribusi oleh pemerintah daerah.
(2) penarikan pajak terhadap ekspor komoditas yang tidak diolah (bahan
mentah). (3) pengenaan pajak konsumen. (4) pemberian subsidi terhadap
kelompok masyarakat tertentu. (5) pemberian bantuan kapada produsen
terhadap selisih harga yang berlaku di pasar dengan harga yang ditetapkan
oleh pemerintah. dan/atau (6) membatasi jumlah impor.
Selain kebijakan perdagangan, juga dapat dilakukan dengan
pemberlakuan kebijakan pemasaran. Pemberlakuan kebijakan pemasaran
dimaksudkan untuk: (1) melindungi petani dan konsumen dari pedagang.
(2) menstabilkan atau meningkatkan harga pada tingkat petani. (3)
mengurangi margin keuntungan pedagang (4) meningkatkan kualitas dan
satndar minimum, dan (5) meningkatkan ketahanan pangan.
Untuk memperbaiki sistem perdagangan, pemerintah dapat
memberlakuan berbagai instrumen kebijakan, berupa: (1) pengendalian
harga dan jalur distribusi oleh pemerintah, (2) penetapan harga oleh
pemerintah di tingkat petani. (3) penetapan harga maksimum produk di
tingkat retail. (4) penetapan harga minimum pada produser (floor prices). (5)
penetapan harga minimum di tingkat produsen, dan/atau (6) penetapan
harga maksimum di tingkat distributor atau pengecer.
Dalam pengendalian pemasaran komoditas pertanian, terdapat enam
instrumen kebijakan pemasaran yang sering digunakan, yaitu: (1) monopoli
parastatals yaitu pasar dikendalikan secara penuh oleh pemerintah. (2)
non-monopoli parastatals yaitu pemerintah terbatas sebagai penjaga
stabilitas harga melalui pengadaan stok penyangga. (3) sistem koperasi. (4)
lisensi. dan (5) pemberlakuan instrumen untuk meningkatkan kinerja
pemasaran (penyediaan informasi pasar. penerapan standarisasi produk
Dan penyediaan sarana dan prasarana perdagangan), serta (6) instrumen
untuk meningkatkan struktur pasar.
Dampak dari implementasi kebijakan pertanian diukur dengan
menggunakan berbagai tolok ukur. yaitu: (1) seberapa jauh peningkatan
output pertanian secara agregat (petani dan pengusaha). (2) output masing-
masing produk pertanian. (3) stabilitas harga dan pendapatan petani. (4)
pemantapan swasembada pangan. (5) peningkatan pendapatan pajak bagi
pemerintah. (6) seberapa besar devisa yang dapat dihemat, dan (7)
seberapa jauh perkembangan agroindustri, serta (8) seberapa besar
peningkatan nilai tambah produk pertanian.
Kebijakan pengembangan agroindustri kelapa sawit di Indonesia
masih didominasi oleh kebijakan masing-masing sektor, terutama kebijakan
pembibitan, pertanahan dan penyediaan lahan, budidaya industri dan
perdagangan, serta kebijakan investasi. Tidak sedikit kebijakan tersebut
yang belum terkoordinasi dengan baik antar satu instansi dengan instansi
lainnya sehingga belum berhasil menciptakan iklim usaha yang kondusif
bagi pelaku usaha agroindustri kelapa sawit Selain itu sudah menjadi
keluhan umum pelaku usaha agroindustri kelapa sawit atas kurang
konsistennya kebijakan yang terkait dengan pengembangan agroindustri
kelapa sawit, terutama kebijakan perdagangan, penyediaan lahan,
investasi.
Sebagai gambaran perbandingan, pengembangan agroindustri kelapa
sawit di Malaysia telah didasrkan pada suatu paket kebijakan yang
ditetapkan oleh Kementerian Industri Primer Pengelompokan kebijakan
tersebut berupa . (1) kebijakan produksi (production policy). (2) kebijakan
peremajaan tanaman (replanting policy). (3) kebijakan tenaga kerja (labour
requirement policy): (4) kebijakan proses dan manufaktur (processing and
manufacturing policy) (5) kebijakan pengembangan industri (industry
development policy), (6) kebijakan harga (pricing policy). (7) kebijakan
pemasaran (marketing policy), (8) kebijakan promosi (promotion policy), (9)
kebijakan penelitian dan pengembangan (R & D policy). (10) kebijakan jasa
pendukung (support services policy), dan (11) kebijakan investasi
(investment policy).
Pendekatan Sistem
Secara umum. pengembangan agroindustri sangat terkait dengan
kemampuan untuk mengoptimumkan sumber daya yang terkait, terutama
sumber daya input meliputi: (1) lahan. (2) sarana produksi. (3) SDM. (4)
teknologi dan (5) dana, Optimasi pendayagunaan sumber daya input
tersebut sangat ditentukan oleh kebijakan yang akan diterapkan.
Sistem agroindustri terdiri dari empat sub-sistem. yaitu: (1) rantai
produksi. (2) kebijakan makro dan mikro. (3) kelembagaan, dan (4)
interdependensi antar negara, meliputi perdagangan, ekspor. impor. nilai
kurs mata uang dll (Austin. 1992). Penetapan kebijakan untuk PAKS
memerlukan kajian yang bersifat lintas sektoral dan lintas disiplin Dari segi
kelembgaan. pada tingkat pusat. tidak kurang dari 11 lembaga terkait
dengan PAKS. sedangkan di tingkat daerah sangat bervariasi PAKS
sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. baik yang dapat dikontrol maupun
yang tidak dapat dikontrol serta tergantung pada berbagai faktor lingkungan
staretegis Dengan demikian PAKS merupakan permasalahan yang
kompleks. Seiam komplek kebijakan PAKS mengandung ketidakpastian
dan peiuang dalam pelaksanaannya. Karena setiap instrumen kebijakan
yang akan ditetapkan, parameter-paramenter yang mempengaruhi
mengandung unsur peluang dalam keberhasilannya sehingga sistem PAKS
bersifat probabilistic Pengaruh atau dampak setiap penerapan instrumen
kebijakan yang ditetapkan saat ini dipengaruhi oleh faktor lain yang sangat
terkait dengan waktu serta dipengaruhi oleh faktor sosial budaya. Berarti
sistem PAKS bersifat dinamis. Suatu permasalahan yang bersifat
kompleks, probabilistik. dan dinamis selayaknya diselesaikan melalui
pendekatan sistem (Enyatno. 1997). Ditengah perubahan yang sangat
cepat dalam era persaingan saat ini dibutuhkan adanya kebijakan yang
mampu menyelesiakan permasalahan secara holistik. sibernetik. dan efektif.
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi dalam PAKS tersebut,
maka formulasi kebijakannya hendaknya didasarkan pada pendekatan yang
memandang seluruh permasalahan/prihal yang ada dalam PAKS. terutama
yang terkait dengan manajemen sumber daya sebagai suatu kesatuan yang
saling bermterakasi melalui interface antar sub-sistem dan antar elemen
sistem sehingga diperoleh gambaran penyelesaian yang bersifat holistik
Agar kebijakan tersebut mencapai tujuan, maka formulasi dan penerapan
kebijakan hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan berupa: (1)
peningkatan perolehan devisa. (2) peningkatan pendapatan rakyat pekebun.
(3) peningkatan pendapatan tenaga kerja agroindustri (pengolahan PKS)
(4) peningkatan pendapatan pelaku usaha perkebunan besar. (5)
peningkatan pendapatan pelaku usaha agroindustri. Output rancangan
kebijakan tersebut hendaknya dapat diaplikasikan di daerah setelah
memeprtimbangkan faktor sosial budaya masyarakat di daerah sekaligus
pengantisipasi berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keungan
Pusat dan Daerah Dengan demikian maka setiap kebijakan yang
dirumuskan hendaknya diorientasikan pada upaya menyelesaikan
peramasalahan berdasarkan tujuan yang jelas (sibernetik) Selain itu.
dalam perumusan kebijakan PAKS hendaknya tidak hanya didasarkan pada
level idealisme-teoritis. tetapi lebih mengutamakan untuk menghasilkan
paket kebijakan yang mengutamakan hasil guna dan dapat
dioperasionalkan (efektif). Artinya. setiap kebijakan yang memuat tentang
arah dan strategi PAKS harus dapat diterjemahkan dan dilengkapi dengan
kebijakan taktik dan opersional yang saling mendukung.
Di era masyarakat yang semakin menuntut adanya transparansi dari
setiap pengambilan keputusan dituntut adanya kecepatan dan ketepatan
bagi pengambil keputusan. termasuk penetapan kebijkan PAKS. Untuk itu.
para pengambil kebijakan dituntut kemampuannya untuk secara arif
mengikuti dan melaksanakan pengelolaan informasi dalam pengambilan
keputusan.
PENUTUP
Agroindustri kelapa sawit sebagai salah satu industri yang memiliki
prospek untuk dikembangkan, sangat membutuhkan adanya suatu paket
kebijakan pengembangan yang mencakup seluruh aspek (pembibitan,
budidaya. pengolahan dan perdagangan), dan seluruh tingkatan
(pemerintah pusat. pemerintah daerah. masyarakat dan pelaku usaha) yang
dapat diimplemetasikan oleh lembaga pemerintah dan masyarakat untuk
meningkatkan perolehan devisa. pengembangan wilayah. dan pemerataan
serta peningkatan kesejahteraan rakyat. Permasalahan yang dihadapi
PAKS yang semakin kompleks, probabilistik. dan dinamis membutuhkan
adanya pendekatan baru dalam perumusan kebijakan. Kebijakan PAKS
untuk mengantisipasi tantangan global, termasuk trade barrier hendaknya
bersifat holistik. sibernetik. dan efektif. Untuk merumuskan kebijakan
demikian, dibutuhkan adanya pendekatan sistem yang memandang
permsalahan secara utuh baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka
panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Arief. S. 1993 Metode Penelitian Ekonomi. Ul-Press Jakarta 1998. Teon dan Kebijaksanaan Pembangunan Cides. Jakarta
Austin J. E. 1992. Agroindustrial Project Analysis: Critical Design Factors The Johns Hopkins University Press. Baltimore. Maryland. USA.
Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press. Bogor.
Clay E. J. and B B Shaffer. 1984 Di dalam Ellis F 1994. Agricultural Policies in Developing Countries Cambridge University Press. Melbourne. Australia.
Colman D. and T. Young, 1989. Di dalam Ellis F. 1994 Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge University Press. Melbourne. Australia
David F. R. 1997. Strategic Management 1997. Prentice Hall International Inc.. New Jersey.
Ellis F. 1994 Agncultural Policies in Developing Countries. Cambridge University Press. Melbourne. Australia
Jauch L. R. and W. F Glueck. 1988. Business Policy and Strategic Management. McGraw-Hill International Inc.. New York.
McCalla A F and T E Josling. 1985. Di dalam Ellis F. 1994 Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge University Press. Melbourne. Australia.
Killick. T. 1981. Di dalam Ellis F. 1994 Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge University Press. Melbourne. Australia
Thorbecke E. and I. Hall. 1982 Di dalam Ellis F 1994. Agricultural Policies in Developing Countries Cambridge University Press. Melbourne. Australia
ISBN 979-96096-0-7 . Antisipasi Penerapan Trade Barrier oleh Negara maju pada
Perdagangan Produk Minyak Sawit
Sejalan dengan perkembangan budaya baru, aspek lain yang sangat menentukan kemajuan perkebunan pada masa mendatang, khususnya dalam menumbuhkan industri hilir kelapa sawit adalah kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) Bahkan tidak terlalu berlebihan apabila dikatakan bahwa litbang adalah tulang punggung dalam menghadapi persaingan kita di pasar internasional. Kampanye anti minyak tropis, misalnya tidak dapat kita bendung hanya dengan mengandalkan cara-cara tradisional Kita harus memiliki argumen ilmiah yang sangat kuat yang didukung oleh hasil-hasil penelitian yang mendalam dan cermat Salah satu contoh adalah kasus trans fat Kasus ini terus dikembangkan terutama oleh Amerika Serikat melalui Food and Drug Administration ( FDA ) dengan dukungan penuh dari para industriawan seperti American Soybean Association ( ASA ) Pada saat ini tantangan berupa rencana perubahan baru label makanan (food labeling) dengan menyatukan saturated-fat dan trans-fat
(Menteri Kehutanan dan Perkebunan DR.Ir. Nur Mahmudi Isma ’il, M.Sc.
Top Related