ANALISIS SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI DI INDONESIA
(Studi atas Divided Government dalam Relasi Eksekutif – Legislatif
Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Hendra Sunandar
1111112000019
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
i
ABSTRAKSI
Skripsi ini memusatkan analisis terjadinya divided government pada pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dipandang sebagai dampak dari kombinasi sistem
presidensialisme-multipartai yang menurut beberapa ilmuan terdahulu, seperti Juan Linz
(1990), Scott Mainwaring (1993), Alfred Stephan dan Cindy Skach (1993) dinilai sebagai
kombinasi yang menyulitkan bagi efektivitas pemerintahan. Terlebih, jika kombinasi
tersebut menghasilkan pemerintahan terbelah (divided government) yang diasumsikan
akan memicu kebuntuan dan kesulitan antara eksekutif dengan legislatif untuk mencapai
keputusan bersama (Cheibub, 1999; Elgie, 2001). Tujuan penelitian ini adalah untuk
menguji asumsi teoritik tersebut dalam kasus periode divided government pada
pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui analisa serta pemahaman
mendalam (deep-understanding). Selain itu teknik pengumpulan data dilakukan melalui
studi pustaka, wawancara mendalam (in-depth interview) dan penelusuran dokumen.
Penelitian ini menggunakan pendekatan koalisi presidensial (Chaisty, Cheeseman, Power,
2005) untuk selanjutnya mengeksplorasi relasi eksekutif-legislatif melalui penelusuran
transkrip-transkrip yang berisi proses pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini,
periode divided government itu terjadi sesaat setelah Presiden dan DPR periode 2014-
2019 dilantik sampai Golkar versi Agung Laksono menyatakan keluar dari Koalisi Merah
Putih dan menyatakan dukungannya terhadap pemerintah. Pembatasan periode masalah
tersebut didasarkan pada konsepsi divided government itu sendiri yang mengharuskan
eksekutif memiliki partai koalisi pemerintahan (the ruling coalition parties) diatas single
majority (50%+1) di legislatif agar relasi eksekutif-legislatif bisa berjalan tanpa deadlock.
Penelitian ini menemukan bahwa divided government yang terjadi pada
pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla disebabkan oleh faktor ketidakmampuan
eksekutif dalam membangun koalisi presidensial yang mencapai single majority (50%+1)
di legislatif. Namun, berbeda dengan asumsi para teoritisi sebelumnya, divided
government yang terjadi di Indonesia hanya terjadi dalam ranah struktural dan bukan
sebagai fenomena yang menyulitkan eksekutif untuk membangun kesepakatan dengan
legislatif, bahkan hal tersebut mampu berakhir dengan win-win solution. Fenomena
tersebut terjadi disebabkan karena adanya dua pendekatan yakni: pendekatan melalui
prosedur konstitusi seperti yang tertuang dalam pasal 20 (2) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa antara Presiden dan DPR harus saling duduk bersama dalam pengambilan
keputusan sehingga konstitusi memiliki kekuatan untuk menjembatani hubungan
eksekutif-legislatif dan mendorong terjadinya sikap kompromi. Selain itu, pendekatan
diluar prosedur konstitusi seperti adanya pola komunikasi informal antara Presiden
dengan oposisi pemerintah seperti pertemuan Joko Widodo dengan Prabowo Subianto
pada tanggal 29 Januari 2015 di Istana Bogor yang kemudian diikuti pidato Prabowo
mengenai dukungannya terhadap kebijakan Pemerintah. Selain itu tidak solidnya partai
terhadap arah koalisi serta kemungkinan berpindahnya partai dari satu koalisi ke koalisi
lain berdampak pada tidak kuatnya bangunan divided government yang terjadi di
Indonesia sehingga tidak terjadi dalam waktu yang lama. Oleh karenanya, berbeda
dengan asumsi teoritik para ilmuan sebelumnya, meskipun mengalami periode divided
government, relasi eksekutif-legislatif dalam sistem presidensialisme-mutipartai di
Indonesia bisa berjalan tanpa ada deadlock.
Kata Kunci: Presidensialisme, Multipartai, Divided Government, Koalisi Presidensial,
Deadlock, Joko Widodo - Jusuf Kalla.
ii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Penelitian skripsi ini bukanlah akhir dari perjalanan akademik, tetapi ini baru
memasuki pintu gerbang yang mengawali dunia intelektual tak mengenal batas apriori.
Sehingga ini menjadi tantangan tersendiri bagi penulis untuk mempertanggungjawabkan
argumentasi dan kesimpulan dalam penelitian ini, karena dalam prosesnya, penelitian ini
melibatkan banyak pihak yang sangat membantu penulis dalam menyusun argumentasi
dan analisa serta memungkinkan penelitian skripsi ini selesai.Temuan penelitian ini tidak
akan muncul tanpa adanya bantuan dan dorongan dari banyak pihak. Oleh karena itu,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zulkifli sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh staff dan jajarannya.
2. Bapak Dr. Iding Rosyidin Hasan, sebagai Kepala Program Studi Ilmu Politik.
3. Ibu Suryani, M.Si sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Politik
4. Bapak Dr. Ali Munhanif, sebagai dosen pembimbing dalam penelitian ini.
Terima Kasih Pak Ali, atas banyak masukan dan selalu membuka ruang diskusi
yang menyenangkan selama penulisan skripsi ditengah kesibukannya.
5. Terima kasih juga kepada Bapak Dr. A. Bakir Ihsan dan Bapak Zaki Mubarak,
M.Si sebagai dosen penguji skripsi. Keduanya juga telah memberikan masukan
yang konstruktif.
6. Kepada semua dosen-dosen di Program Studi Ilmu Politik yang tidak bisa
disebutkan satu per satu. Mereka selalu mengajakan pentingnya keseriusan
dalam menuntut ilmu. Terima kasih atas segala dedikasinya.
iii
7. Ulil Abshar Abdalla, yang selalu menjadi teman diskusi yang menyenangkan.
Meskipun Mas Ulil juga bertindak sebagai politisi tetapi juga tidak kehilangan
gairah untuk membaca buku dan menggali ide.
8. Nong Darol Mahmada (Manajer Freedom Institute), yang sudah membantu
penulis untuk menghubungi beberapa narasumber guna keperluan wawancara
dalam penelitian ini.
9. Mbak Dewi, dari Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Sekretariat Jenderal DPR-RI yang sudah mempermudah penulis untuk
mendapatkan dokumen-dokumen persidangan DPR-RI.
10. Teman-teman di Teater Utan Kayu: Evi Rahmawati, Ade Juniarti, Novriantoni
Kahar, Guntur Romli, Malja Abrar. Penulis banyak belajar dari mereka.
11. Rekan dan sahabat penulis di Forum Ide: Rizal Lubis, Erton Vialy Arsy, Nadya
Karima, Raden Fadillah, Bashroni Rizal, Nisfu, Surahmat Eko, serta Imam
Hidayat dan Soleman Siregar yang sedang menimba ilmu di Istanbul, Turki.
Terima Kasih atas kebersamaannya.
12. Teman-teman di FISIP UIN Jakarta: Zamiral Hamdi, Ahmad Nurcholis, Amar
Raunsfikry, Roy Imanuddin, Rezza R. Ramadhan, Nasrul, Icksan Nst,
Sulaiman Nukman, Afdal Fitrah, Isworo, Iskandar, Derio, Handi, Fadhli, Fauzi,
Abimanyu, Heni, Ndu, Ino, Neneng, Fini Rubianti, Hilman Hidayat, Farah
Dina, Iir Irham Mudzahir, Ahmad Garaudi dan lain-lain.
13. Sahabat-sahabati PMII KOMFISIP: Muhammad Sutisna, Muhammad Sulton,
Ronald Adam, Khairy Fuady, Masmuhah Oecha, Rida Fauzia, Adi Budiman,
Kholid Syaifulloh, Hakim, Anhari, M. Rafsanjani, Cendy Vicky, Ade Prasetyo,
Syahrul Fadhil, Kadir, Syara Anissa, Ahmad Subandi, Reynaldi Akbar, Juple,
Ical, Masayu, Nje, Kholid, Erika, Muhammad Faruqi, Adriansyah, Udin
iv
Syarifuddin, Imam Fitra, Amizar Isma, Yasir Risay, Majid, Khairunnisa Lubis
dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Tanpa adanya mereka, mustahil penelitian ini bisa selesai. Semoga Allah membalas
kebaikan mereka. Dan sudah tentu, mereka tidak bertanggungjawab atas segala
kekurangan dalam penelitian ini. Akhir al- kalam, penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada Anda, para pembaca. Tentunya penulis sangat menantikan kritik dan
masukannya, Wallahualam bishawab.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Depok, 1 Juni 2015
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK....................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................... v
DAFTAR TABEL........................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................... x
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian.............................................................................. 16
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................................... 16
D. Tinjauan Pustaka..................................................................................... 18
E. Metode Penelitian.................................................................................... 22
F. Sistematika Penulisan.............................................................................. 25
BAB II KERANGKA TEORI
A. Sistem Presidensial.................................................................................. 26
B. Sistem Multipartai................................................................................... 30
C. Koalisi Presidensial................................................................................. 35
D. Divided Government............................................................................... 44
BAB III KONFIGURASI POLITIK TERBENTUKNYA PEMERINTAHAN
JOKO WIDODO - JUSUF KALLA DALAM SISTEM
PRESIDENSIALISME - MULTIPARTAI
A. Perkembangan Sistem Presidensialisme di Indonesia............................. 51
B. Konfigurasi Politik Pemilihan Legislatif 2014........................................ 59
1. Pemilihan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik
Indonesia Periode 2014-2019......................................................... 67
2. Pemilihan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Republik Indonesia Periode 2014-2019.......................................... 71
C. Konfigurasi Politik Pemilihan Presiden Repubulik Indonesia Periode
2014 - 2019.............................................................................................. 73
BAB IV ANALISIS DIVIDED GOVERNMENT DALAM RELASI
EKSEKUTIF-LEGISLATIF PEMERINTAHAN JOKO WIDODO –
JUSUF KALLA
A. Divided Government dalam Pendekatan Koalisi
Presidensial.............................................................................................. 81
1. Kegagalan Membangun Koalisi Presidensial..................................... 85
B. Divided Government dalam Relasi Eksekutif-Legislatif Pemerintahan
Joko Widodo - Jusuf Kalla...................................................................... 94
vi
1. Fungsi Budgeting APBN-P 2015....................................................... 97
2. Fungsi Legislasi Pembahasan Rancangan Undang-Undang............ 106
a) Revisi UU Pilkada dan UU Pemerintah Daerah........................ 108
b) Revisi UU MD3......................................................................... 113
c) Pengangkatan Kapolri................................................................ 116
C. Model Pendekatan dalam Divided Government...................................... 119
1. Pendekatan melalui Prosedur Konstitusi........................................... 120
2. Pendekatan diluar Prosedur Konstitusi............................................. 126
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................. 137
B. Rekomendasi untuk Penelitian Selanjutnya............................................ 142
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 145
vii
DAFTAR TABEL
Tabel I.A.1 Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer
dalam Konteks Keberlanjutan Sistem Demokrasi..................... 4
Tabel I.A.2 Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer
dalam Konteks Intervensi Militer.............................................. 5
Tabel I.A.3 Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer
dalam Konteks Kemampuan Eksekutif dalam Memperoleh
Kekuatan Dominan di Legislatif................................................ 6
Tabel I.A.4 Relasi Eksekutif – Legislatif Periode 1997 – 2009.................... 9
Tabel I.A.5 Komposisi Koalisi Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.. 10
Tabel II.B.1 Sistem Kepartaian Giovani Sartori............................................ 32
Tabel II.D.1 Divided Government dalam Berbagai Jenis Sistem
Pemerintahan............................................................................. 45
Tabel II.D.2 Veto dalam Sistem Presidensial................................................. 48
Tabel III.A.1 Perbandingan UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen. 54
Tabel III.B.1 Jumlah Kursi Partai Politik Hasil Pemilihan Legislatif 2014.... 64
Tabel III.B.2 Polarisasi Dua Koalisi di DPR setelah Pileg 2014 dan
Sebelum Pilpres 2014................................................................ 65
Tabel III.B.1.1 Hasil Sidang Paripurna Pemilihan Pimpinan DPR-RI 2014-
2019........................................................................................... 67
Tabel III.B.2.1 Komposisi Paket Calon Pimpinan MPR-RI 2014-2019............ 72
Tabel III.C.1 Komposisi Koalisi Indonesia Hebat & Koalisi Merah Putih
Saat Pemilihan Presiden 2014.................................................... 75
Tabel III.C.2 Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014....................... 76
Tabel III.C.3 Komposisi Kabinet Kerja Jokowi – JK...................................... 79
Tabel IV.A.1 Komposisi Kursi Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah
Putih di DPR dalam Periode Divided Government.................... 88
Tabel IV.B.1 Relasi Eksekutif - Legislatif dalam Periode Divided
Government............................................................................... 96
Tabel IV.B.1.1 Proses Silang Pendapat Eksekutif-Legislatif dalam Asumsi
Dasar Ekonomi Makro APBN-P 2015....................................... 102
Tabel IV.B.1.2 Pendapatan Negara dalam APBN-P 2015................................. 103
viii
Tabel IV.B.1.3 Kesepakatan Belanja Negara dalam APBN-P 2015.................. 104
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.A.1 Sistem Pemerintahan Negara di Dunia...................................... 30
Gambar II.C.1 Peluang deadlock dan Dominasi Oposisi dalam Sistem
Presidensial................................................................................ 39
Gambar II.C.2 Tiga Gelombang Studi Presidensialisme................................... 41
Gambar III.A.1 Sistem Politik Indonesia Setelah Amandemen UUD 1945....... 53
Gambar III.B.1 Hasil Pemilihan Legislatif 2014................................................ 63
Gambar IV.A.1 Peluang deadlock dan Dominasi Oposisi dalam Sistem
Presidensial................................................................................ 83
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Transkrip Wawancara dengan Eva Kusuma Sundari (Politisi PDI-
Perjuangan dan Anggota Komisi III DPR-RI Periode 2009-2014)........ 157
Lampiran II Transkrip Wawancara dengan William R Liddle (Professor bidang
Ilmu Politik, Ohio State University, USA)............................................ 159
Lampiran III Transkrip Wawancara dengan Thomas Pepinsky (Asisten Professor
studi Asia Tenggara dan Direktur Cornell Modern Indonesia Project,
Cornell University, USA)....................................................................... 166
Lampiran IV Transkrip Wawancara dengan Robert Elgie (Professor bidang Ilmu
Pemerintahan dan Studi Internasional, School of Law and
Government, Dublin City University, Ireland)....................................... 169
Lampiran V Transkrip Wawanxara dengan Sébastien G. Lazardeux (Asisten
Professor Ilmu Politik St. John Fisher College, USA)........................... 171
Lampiran VI Transkrip Wawancara dengan Indra J. Piliang (Ketua DPP Golkar
Bidang Penelitian dan Pengembangan dan Ketua Tim Ahli
Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi).... 173
Lampiran VII Transkrip Wawanara dengan Hamdi Muluk (Profesor Psikologi
Politik Universitas Indonesia dan Ketua Perhimpunan Survei dan
Opini Publik Indonesia).......................................................................... 179
Lampiran VIII Transkrip Wawancara dengan Wandy N. Tuturoong (Pokja Lembaga
Kepresidenan Tim Transisi Jokowi-JK)................................................. 185
Lampiran IX Transkrip Wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla (Ketua Dewan
Pimpinan Partai (DPP) Demokrat bid. Kajian Strategis dan
Kebijakan)............................................................................................... 190
Lampiran X Transkrip Wawancara dengan Viva Yoga Mauladi (Wakil Ketua
Komisi IV DPR-RI 2014-2019 / Fraksi Partai Amanat Nasional)......... 197
Lampiran XI Transkrip Wawancara dengan Adian Napitupulu (Anggota Komisi III
DPR-RI periode 2014-2019 / Fraksi PDI-Peerjuangan)......................... 199
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam literatur ilmu politik, kombinasi antara sistem presidensialisme
dengan sistem multipartai dinilai tidak terlalu ramah untuk menghasilkan
efektivitas pemerintahan, karena berpotensi memunculkan presiden minoritas,1
atau dalam artian eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang
berbeda (divided government), dan berpotensi menghasilkan legitimasi demokrasi
ganda (dual democtatic legitimacy) antara eksekutif dan legislatif yang sama-sama
dipilih rakyat.2 Selain itu, kombinasi ini juga bertendensi pada permainan konflik
karena diiringi oleh konsep pemisahan kekuasaan serta kewenangan the winner
takes all yang melekat pada Presiden,3 atau dalam istilah Juan Linz sebagai sistem
yang paradoks. Berikut seperti yang dikutip dalam tulisan Juan Linz:
“Presidential constitution paradoxically incorporate two opposite
principles and assumption. On to one hand, their purpose is to create a
stable powerful executive endowed with popular legitimacy, tending toward
plebistarian legitimation capable of opposing the particularistic interest
represented in congress on the basic of party, region, local and conception
of democracy implicit in the ideal of people of the people rhetoric. On the
other hand, those same constitutions are based on a deep suspicion of the
personalization of power and on the memories and fear of Caudillismo,
going back even further, the fear of an absolute monarch, and therefore
introduce many mechanisms to limit that power which might turn out to be
arbitrary: foremost, the rule excluding reelection. The number of provisions
1 Presiden minoritas diartikan sebagai situasi dimana presiden tidak dapat mengontrol dan
mengendalikan mayoritas kursi di legislatif atau presiden hanya mengantongi sedikit dukungan di
parlemen. Lihat, Jose Antonio Cheibub, “Minority Presidents, Deadlock Situations, and the
Survival of Presidential Democracies,” Yale University, 3. 2 Juan Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy, Vol 1, No 1, (1990):
62. 3 Linz, “The Perils of Presidentialism,” 56.
2
to control the presidential power like making certain appointments
dependent on congressional approval, different provisions for impeachment
and. the whole institutionalization of granted to the judiciary reflect this
suspicion.” (Diterjemahkan penulis: sistem presidensialisme pada dasarnya
menggabungkan dua prinsip dan asumsi yang berlawanan, sehingga
dipandang paradoks. Di satu sisi, tujuannya adalah untuk menciptakan
kekuatan eksekutif yang stabil dengan legitimasi yang cukup plebiscitarian
untuk berhadapan dengan berbagai kepentingan di legislatif yang berbasis
pada banyak partai, daerah lokal dan konsepsi tentang demokrasi yang
tersirat dalam ide dan retorika masing-masing legislator. Di sisi lain, sistem
presidensialisme juga menunjukan kekhawatiran serius terhadap
personalisasi daya seorang presiden, yakni kenangan dan ketakutan presiden
yang sulit dihilangkan. Selain itu, konstitusi telah membuat benteng
konstitusional bagi potensi kesewenangan kekuasaan presiden melalui
larangan pemilihan kembali. Selain itu, untuk mengontrol kekuasaan
presiden dilakukan mekanisme kesepakatan yang berdasarkan pada
persetujuan kongres/legislatif, ketentuan untuk mekanisme impeachment
terhadap presiden dan pelembagaannya diserahkan kepada pengadilan, ini
menunjukan adanya kekhawatiran bagi presiden yang berkuasa.)4
Tudingan bernuansa negatif terhadap sistem presidensialisme juga paparkan oleh
Scott Mainwaring yang menilai sistem tersebut berpotensi melahirkan
pemerintahan minoritas dan konflik antara eksekutif-legislatif serta berujung pada
kehancuran demokrasi, seperti yang dikutip dalam artikelnya berikut:
“Consequently, presidential systems are simultaneously more prone to
minority governments and to immobilism. Immobilism has often led to
enervation of executive power, problems of governability, and severe
conflict between legislatures and presidents, sometimes contributing
decisively to democratic breakdowns” (Diterjemahkan penulis: Akibatnya,
sistem presidensial secara bersamaan lebih rentan bagi munculnya
pemerintah minoritas dan cenderung immobilism. Immobilism menyebabkan
kekuasaan eksekutif yang lemah, masalah terhadap penyelenggaraan
pemerintahan, dan konflik yang berlarut antara legislatif dan presiden,
sehingga itu memberikan kontribusi bagi kehancuran demokrasi.)5
4 Juan Linz, “Presidential or Parlementary Democracy: Does it Make a Difference?,” The
paper prepared for the Project „The Role of Political Parties in the Return to Democracy in the
Southern Cone, sponsored by the Latin America Program of The Wodrow Wilson International
Center for Sholar, and the World Peace Foundation, 1985, 4-5. 5 Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult
Equation,” Working Paper 144, September 1990, 3.
3
Penilaian Scott Mainwaring dan Juan Linz tersebut dijadikan titik awal pijakan
dalam penelitian tentang presidensialisme di periode selanjutnya, sampai pada
akhirnya muncul penelitian dalam skripsi ini.
Selain itu, menurut Scott Mainwaring dan Mathew Shugart, studi tentang
sistem presidensialisme banyak merujuk kasus yang terjadi di Amerika Latin
seperti Amerika Serikat, Brazil, Columbia, Chille, Argentina dan lain-lain.6 Hal
tersebut sependapat dengan John Carey yang mengatakan bahwa tradisi
presidensialisme di kawasan Amerika Latin adalah yang tertua.7 Bahkan, seperti
halnya tudingan negatif yang dilakukan oleh Juan Linz dan Scott Mainwaring
tentang presidensialisme, John Carey dalam penelitiannya di beberapa negara di
Amerika Latin semisal Brazil, Chille, Uruguay dan Peru menemukan hasil yang
cukup mengecewakan karena adanya invasi militer sebagai dampak dari konflik
antara eksekutif dan legislatif.8 Tidak hanya itu, Jose Antonio Cheibub bahkan
mengatakan bahwa potensi deadlock akan selalu menghantui sistem presidensial,
namun secara spesifik Cheibub tidak langsung mengkaitkannya sistem
presidensial dengan potensi deadlock dan democratic breakdown, menurutnya
potensi deadlock hanya akan terjadi ketika eksekutif tidak bisa mengontrol
mayoritas kursi di lembaga legislatif.9 Selain itu, Beberapa data statistik yang
ditunjukan oleh Alfred Stephan dan Cindy Skach pada tahun 1990-an menunjukan
6 Scott Mainwaring dan Mathew Shugart, Presidentialism and Democracy in Latin
America: Rethinking the Term of The Debate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 12. 7 John Carey, “Presidential versus Parliamentary Government,” dalam C Menard dan M.M
Shirley, ed., Handbook of New Institutional Economic (Netherlands: Springer, 2005), 93. 8 John Carey, “Presidential versus Parliamentary,” 95.
9 Jose Antonio Cheibub dan Fernando Limongi, “Democratic Institutions and Regime
Survival: Parliamentary and Presidential Democracies Reconsidered,” Forthcoming in Annual
Review of Political Science, 2002, 4.
4
bahwa sistem presidensialisme rentan terjadinya destabilisasi bila dibandingkan
dengan sistem parlementer.10
Tabel I.A.1 di bawah ini menjelaskan perbandingan
antara sistem presidensialisme dan sistem parlementer dalam hal menjaga
keberlangsungan demokrasi dalam sebuah negara.
Tabel I.A.1
Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer dalam Konteks
Keberlanjutan Sistem Demokrasi
Regime Type During Democracy
Pure
Parlemantary
Pure
Presidentialism
Semi-
Presidentialism
Total non OECD
countried democratic for
at least one year during
1973-1989
28 25 0
Number of countries
from above set
continuously democratic
for ten consecutive year
in this period
17 5 0
Democratic Survival
Rate 61% 20% N/A
Sumber: Stephan dan Skatch , Constitutional Framework, 11.
Hasil penelitian dalam rentan waktu 1973-1989 di beberapa negara yang
publikasikan oleh Alfred Stephan dan Cindy Skatch dalam tabel diatas
menunjukan bahwa keberlanjutan sistem demokrasi dalam sistem parlementer
terlihat tiga kali lebih besar ketimbang sistem presidensial, yakni 61% pada sistem
parlementer dan 20% pada sistem presidensial. Selanjutnya apabila dilihat dari
10
Alfred Stephan dan Cindy Skatch, “Constitutional Framework And Democratic
Consolidation; Parliamentarism Versus Presidentialism,” World Politics Journal, Vol 46, No 1,
(Okt 1993): 1-22.
5
aspek pengalaman intervensi militer, sistem presidensialisme juga memiliki
persentase yang lebih besar. Berikut adalah tabel penjelasannya:
Tabel I.A.2
Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer dalam Konteks
Intervensi Militer
Regime Type During Democracy
Pure
Parlemantary
Pure
Presidentialism
Semi-
Presidentialism
Total non OECD
countried democratic for
at least one year during
1973-1989
28 25 0
Number of Countries
from Above set Having
Experience a Military
Coup While a
Democracy
5 10 0
Military Coup
Susceptibility Rate 18% 40% N/A
Sumber: Stephan dan Skatch , Constitutional Framework, 12.
Berdasarkan tabel diatas, intervensi militer pada sistem presidensialisme
mencapai angka 40% pada interval tahun 1973 – 1989, sedangkan dalam sistem
parlementer hanya sekitar 18%. Hal tersebut terjadi karena sistem
presidensialisme dalam konteks pemisahan kekuasaan memungkinkan terjadinya
kegaduhan saat eksekutif tidak mendapatkan dukungan kuat di legislatif, sehingga
berpotensi pada terjadi krisis dan pada kondisi tersebut kekuatan militer bisa saja
muncul ke permukaan disaat eksekutif dan legislatif memiliki ketidaksepahaman
yang menyebabkan destabilitas pemerintahan.11
11
Stephan dan Skatch, “Constitutional Framework,” 19.
6
Selain dua data tersebut, Stephan dan Skatch juga menunjukan betapa
sulitnya pengalaman eksekutif dalam sistem prsidensialisme untuk mendapatkan
dukungan mayoritas di lembaga legislatif. Tabel I.A.3 dibawah ini menjelaskan
persentase kemampuan eksekutif untuk mendapatkan dukungan mayoritas di
legislatif dalam sistem presidensialisme dan sistem parlementer.
Tabel I.A.3
Perbandingan Sistem Presidensialisme dengan Parlementer dalam Konteks
Kemampuan Eksekutif dalam Memperoleh Kekuatan Dominan di Legislatif
Total Year of
Democracy
Total Democracy
Year in Which
Executive Had a
Majority
Legislative
Percentage of
Democracy year
in Which
Executive Had a
Majority
Legislative
Parliamentary
Years 208 173 83%
Presidential Years 122 58 48%
Sumber: Stephan dan Skatch , Constitutional Framework, 16.
Dengan menggunakan tiga indikator yakni: (1) intervensi milier, (2)
keberlangsungan sistem demokrasi dan (3) kemampuan eksekutif mendapatkan
dukungan mayoritas, studi Stephan dan Skach dalam rentan waktu tahun 1973-
1989 berkesimpulan bahwa sistem presidensialisme yang awalnya bertujuan untuk
membuat lembaga eksekutif yang kuat, justru berakhir dengan terjadinya
kegaduhan pemerintahan. Berbeda hal dengan sistem parlementer yang mana
kepala pemerintahan merupakan mandat penuh yang diberikan oleh parlemen,
7
sehingga mekanisme konstitutional dalam sistem parlementer mampu
meminimalisir kegaduhan dalam relasi ekeskutif-legislatif.12
Studi Stephan dan Skach sebagaimana yang dikutip diatas, banyak merujuk
fenomena di Amerika Latin yang sebelumnya juga dituduhkan oleh Scott
Mainwaring dan Mathew Shugart yang melihat fokus pada maraknya studi
presidensialisme pada kawasan Amerika Latin. Berbeda dengan arus mainstrem
para peneliti-peneliti sebelumnya yang mengidentifikasikan studi presidensialisme
pada kawasan Amerika Latin, penelitian ini berupaya untuk menganalisa sistem
presidensialisme di Indonesia, yang posisinya jauh dari kawasan Amerika Latin,
yang cukup unik karena dikombinasikan dengan sistem multipartai,13
kombinasi
ini yang menurut Scott Mainwaring sebagai sesuatu yang sulit dan complicated.14
Dalam konteks Indonesia, perkembangan studi presidensialisme dalam satu
dekade terakhir mengalami perdebatan di kalangan ilmuan mengenai berhasil atau
tidaknya berjalannya sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia.15
Karena
12
Stephan dan Skatch, “Constitutional Framework,” 18. 13
Seperti yang sudah diketahui, dalam pasal 4 UUD 1945 digarisbawahi bahwa sistem
pemerintahan Indonesia adalah presidensialisme, pilihan tersebut menjadi salah satu kesepakatan
politik di sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang pada saat yang sama sejak
sebelum pemilu 1999 telah berkembang sistem multipartai ekstrim sebagai konsekuensi logis
meluasnya kebebasan berserikat. Setelah tumbangnya orde baru, orang beramai-ramai untuk
mendirikan partai politik. Hal tersebut menjadi tuntutan era reformasi yang meniscayakan adanya
jumlah partai yang lebih dari dua partai dominan, sistem ini merupakan produk dari struktur
masyarakat yang majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial ekonomi. Sehingga pilihan
politik terhadap presidensialisme harus di impementasikan dalam konteks sistem multipartai,
sehingga kombinasi yang antara presidensialisme dan sistem multipartai menjadi realitas politik
yang tak terhindarkan pasca amandemen konstitusi UUD 1945. Lihat, disertasi Valina Singka
Subekti, “Menyusun Konstitusi Transisi; Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses
Perubahan UUD 1945,” dalam A.M Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945
(Jakarta: Penerbit Kompas, 2011) hlm xiii. 14
Scott Mainwaring dan Matthew Shugart, “Juan Linz, Presidentialism and Democracy: A
Critical Appraisal,” The Hellen Kellogg Institute for International Studies, University of Notre
Dame, Working Paper 200, Juli 1993, 26. 15
Terjadi perdebatan mengenai berhasil atau tidaknya sistem presidensialisme multipartai
diterapkan di Indonesia. Pertama, Hanta Yuda dalam “Presidensialisme Setangah Hati; Dari
8
hal itu tidak saja terkait dengan problematika teoritis tetapi juga menyangkut
persoalan efektifitas pemerintahan. Namun studi tentang berhasil atau tidaknya
sistem presidensialisme di Indonesia hanya berkisar pada pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono saja, sebagaimana nanti yang akan dijelaskan pada bagian
tinjauan pustaka dalam penelitian ini.
Pengalaman Indonesia dalam sistem presidensialisme-multipartai pasca
amandemen UUD 1945 selalu menghasilkan partai koalisi pemerintahan (the
ruling coalition party) diatas single majority (50%+1). Sehingga ini yang menurut
Djayadi Hanan menjadi salah satu faktor mengapa sistem presidensialisme-
multipartai di Indonesia dapat berjalan, hal itu dikarenakan terpenuhinya syarat
bagi sikap akomodatif dari presiden terhadap banyak partai di legislatif.16
Dengan
adannya sikap akomodatif tersebut maka membuat eksekutif dan legislatif tidak
mengalami kesulitan dalam membangun kesepakatan, meskipun dalam realitanya
seringkali partai yang tergabung dalam koalisi pemerintahan sering berbeda
pendapat tetapi selalu berakhir dengan kesepakatan bersama dan tanpa terjadi
Dilema ke Kompromi” menunjukan bahwa sistem presidensialisme multipartai di Indonesia rentan
terjadi konflik kelembagaan dan tarik menarik kewenangan antara Presiden dengan DPR sehingga
berujung pada adanya kewenangan Presiden yang dipangkas oleh DPR sebagai dampak dari tarik
menarik kepentingan dengan banyak partai. Kedua, Djayadi Hanan dalam disertasinya “Making
Presidentialism Work; Legislative and Executive Interacton in Indonesian Democracy”, (terj
Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang
Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia). Temuannya menunjukan bahwa hubungan
eksekutif dan legislatif tetap stabil. Hal tersebut dikarenakan praktek politik mengisyaratkan
adanya lobi-lobi antara eksekutif dan legislatif dalam bentuk koalisi. Presidensialisme Multipartai
berhasil diterapkan dengan adanya karakter presiden yang mau berkompromi sehingga agenda-
agenda kebijakan eksekutif tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan persetujuan legislatif. 16
Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia; Upaya Mencari
Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan,
2014), 17.
9
suatu deadlock. Sikap akomodatif tersebut seperti yang dipaparkan oleh
Kawamura dalam tabel 1.A.4 dibawah ini.17
Tabel I.A.4
Relasi Eksekutif – Legislatif Periode 1997 - 2009
Periode Habibie Gus Dur Megawati SBY SBY
Pemilu 1997 1999 2004 2009
Presidensiali
sme
Dominasi
Eksekutif Dominasi Legislatif
Perimbangan tiga
cabang kekuasaan
(eksekutif-legislatif-
yudikatif)
Multiprtai Predominan Pluralisme
% Partai
penguasa 65 % 10,2% 30,6% 10,2 % 26,8 %
% Partai
Presiden &
Wapres
---- 40,8 % 42,1 % 33,3 % 26,8 %
% Partai
Koalisi
Pemerintaha
n
97,8 % 94,8 % 83,2 % 73,4% 75,1 %
Jumlah
Partai
Koalisi
2 Partai & 1
Faksi
7 partai & 1
Faksi
5 Partai &
1 Faksi 7 Partai 6 Partai
Komposisi
Partai
Koalisi
Golkar
PPP
Militer
PKB, PDIP.
Golkar,
PAN, PPP,
PBB, PK,
Militer
PDIP,
PPP, PBB,
PAN,
Golkar,
Militer
Demokrat,
Golkar,
PKS,
PAN,
PBB,
PKPI, PPP
Demokrat,
Golkar,
PKS,
PAN,
PPP, PKB
Sumber: Kawamura, Is Indonesian President strong or weak?, 17.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa persentase partai koalisi pemerintahan di
masing-masing presiden selalu mencapai angka diatas single majority (50% + 1)
atau lebih dari lima partai pendukung di legislatif, tidak terkecuali juga setelah
pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kali pada tahun 2004.
17
Koichi Kawamura, “Is Indonesian President strong or weak?,” Institute of Developing
Economic Disscusion Paper, No 235, Japan, Mei 2010, 18.
10
Sehingga tuduhan akan kesulitan presiden dalam membangun partai koalisi
pemerintahan (the ruling coalition party) dengan angka diatas single majority
(50%+1) atau kekuatan mayoritas cenderung tidak terbukti pada masa era
reformasi hingga periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, atau
komposisi antar eksekutif dan legislatif sering disebut dengan unified government.
Dalam penelitian ini, karena berbeda dengan periode kepresidenan
sebelumnya, sejak dilantik pada 20 Oktober 2014 pemerintahan Joko Widodo –
Jusuf Kalla justru melahirkan kekuatan minoritas di legislatif dan dikuasainya
eksekutif dan legislatif oleh dua kelompok yang berbeda, seperti dugaan yang
dipaparkan para teoritisi sebelumnya yang mengatakan bahwa sistem
presidensialisme-multipartai berpotensi melahirkan pemerintahan terbelah
(divided government),18
dengan indikator pengukuran melalui persentase partai
koalisi pemerintahan (the ruling coalition parties) yang tak mencapai single
majority (50%+1). Dibawah ini adalah tabel penjelasan mengenai komposisi
koalisi pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Tabel I.A.5
Komposisi Koalisi Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla
Periode Joko Widodo – Jusuf Kalla
Pemilu 2014
Presidensialisme Perimbangan tiga cabang kekuasaan
(eksekutif-legislatif-yudikatif)
Sistem Multipartai Pluralisme
% Partai Penguasa 18,95%
18
Divided Government adalah suatu kondisi dimana eksekutif gagal mendapatkan kekuatan
mayoritas di legislatif, sehingga antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang
berbeda. Lihat, Robert Elgie, ed., Divided Government in Comparative Perspective (New York:
Oxford University Press Inc, 2001), v.
11
% Partai Presiden & Wapres 18,95%
% Partai Koalisi Pemerintahan 46,48%
Jumlah Partai Koalisi 5 Partai
Komposisi Partai Koalisi PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, PPP*
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
*terjadi dualisme kepengurusan didalam PPP, namun penulis mengklasifikasikan
PPP sebagai bagian dari Koalisi Pemerintahan. Hal tersebut berdasarkan
mekanisme hukum yang termaktub dalam SK Menkumham yang menyatakan
bahwa kepengurusan PPP yang sah adalah PPP versi Romahurmuzy. Yang
sebelumnya menyatakan bergabung ke dalam Koalisi Indonesia Hebat pada saat
proses pemilihan piminan MPR-RI. Selain itu, keberadaan kader PPP dalam
kabinet pemerintahan Joko Widodo juga memperkuat posisi PPP yang masuk ke
dalam koalisi pemerintahan.
Dalam penelitian ini, penulis tidak mengacu pada preferensi seorang
presiden terhadap partainya sendiri (the ruling party) untuk mengukur terjadinya
divided government, tetapi berdasarkan partai koalisi pemerintah (the ruling
coalition parties) untuk selanjutnya dihadapkan dengan kekuatan partai non-
pemerintah (the opposition coalition parties) di legislatif. Sehingga, divided
government terjadi apabila jumlah kursi the ruling coalition parties lebih rendah
dari the opposition coalition parties di DPR. Oleh karenanya, berdasarkan
kacamata tersebut, maka ini merupakan kali pertama Indonesia di era reformasi
mengalami divided government.
Melalui tabel I.A.5 diatas, total partai koalisi pemerintahan (the ruling
coalition parties) Joko Widodo – Jusuf Kalla hanya mencapai 46,48% atau tidak
mencapai angka single majority (50%+1) yang berarti ini menandakan kekuasaan
mayoritas legislatif dikuasai oleh pihak oposisi pemerintah, yakni Koalisi Merah
Putih, atau pihak yang menjadi rival Joko Widodo – Jusuf Kalla pada saat
pemilihan presiden 2014, mengingat Pilpres 2014 hanya diikuti dua pasang
12
kandidat dan melahirkan polarisasi kuat dua kubu di legislatif yakni Koalisi
Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih, yang juga sempat terjadi adanya
dualisme pimpinan DPR yang berbasis pada pola koalisi tersebut.19
Polarisasi
tersebut juga terjadi pada antar lembaga eksekutif dan legislatif yang dikuasai
oleh dua kelompok yang berbeda atau dinamakan sebagai divided government.
Penulis membatasi periode divided government ini dimulai sejak Presiden dan
DPR hasil pemilu 2014 dilantik sampai sesaat setelah pernyataan Ketua Umum
Golkar versi Agung Laksono keluar dari Koalisi Merah Putih.20
Pembatasan
periode tersebut didasarkan pada konsepsi divided government itu sendiri.
Mengingat, sebagai pemenang kedua pada Pemilihan Legislatif 2014 yang
mencapai suara 14,75% atau memiliki jumlah 91 kursi di DPR, membuat arah
koalisi Golkar memiliki dampak yang signifikan bagi muncul atau berakhirnya
19
Sebelumnya pernah terjadi juga perpecahan dalam tubuh DPR pada tahun 2004, kala itu
koalisi di DPR terpecah menjadi dua kubu, yakni koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan.
Koalisi kebangsaan beranggotakan lima fraksi, yakni Partai Golkar, PDI-Perjuangan, PKB, Partai
Bintang Reformasi, dan Partai Damai Sejahtera. Sedangkan koalisi kerakyatan beranggotakan
Partai Demokrat, PKS, Partai Bintang Pelopor Demokrasi, PPP dan PAN. Dalam merebut kursi
pimpinan DPR, terjadi persaingan sengit diantara keduanya, setelah PPP yang sebelumnya
bergabung ke koalisi kebangsaan akhirnya memutuskan untuk merapat ke koalisi kerakyatan, dan
mencalonkan kadernya Endin AJ Soefihara sebagai calon ketua DPR, bersama EE Mangindaan
(Partai Demokrat), Ahmad Farhan Hamid (PAN) dan Ali Maskour Musa (PKB). Sedangkan
koalisi kebangsaan mengusung Agung Laksono (Golkar) sebagai ketua DPR, bersama Soetarjo
Soerjogoeritno (PDI- Perjuangan), Muhaimin Iskandar (PKB) dan Zaenal Ma‟arif (PBR).
Akhirnya setelah melalui voting, koalisi kebangsaan mengungguli koalisi kerakyatan dengan
perolehan 280 suara dan 250 suara untuk koalisi kerakyatan. Sehingga Agung Laksono (Golkar)
dinobatkan sebagai ketua DPR 2004-2009. Namun pada tahun 2004, polarisasi tersebut tidak
sampai pada munculnya dualisme pimpinan DPR sebagaimana yang terjadi pada tahun 2014 yang
mana muncul deklarasi pimpinan DPR tandingan versi KIH. Sehingga menurut penulis, meskipun
perpecahan di DPR bukanlah hal baru, tetapi kasus dualisme kepemimpinan DPR yang terjadi
pasca pilpres 2014 bisa dibaca sebagai kasus yang baru dan pertama dalam sejarah Indonesia era
reformasi. 20
Ketua Umum DPP Partai Golkar Hasil Musyawarah Nasional IX Ancol, Agung Laksono
memastikan akan mengubah arah politik Golkar dengan keluar dari Koalisi Merah Putih dan
mendukung pemerintahan Joko Widodo. Lihat, “Agung Laksono Pastikan Golkar Keluar dari
KMP dan Dukung Pemerintahan Jokowi,” Kompas, 10 Maret 2015,
http://nasional.kompas.com/read/2015/03/10/15452001/Agung.Laksono.Pastikan.Golkar.Keluar.d
ari.KMP.dan.Dukung.Pemerintahan.Jokowi Diunduh pada 3 April 2015.
13
periode divided government. Karena dengan dukungan Golkar ke Pemerintahan,
maka kekuatan partai koalisi pemerintahan (the ruling coalition parties) sudah
mencapai single majority (50%+1). Dengan kondisi tersebut maka komposisi
eksekutif-legislatif sudah tidak lagi mengalami divided government.
Namun, sengketa dualisme kepengurusan Golkar versi Munas Ancol dan
Munas Bali yang terjadi menjadi kompleksitas tersendiri dalam penelitian ini.
Sebagaimana diketahui, Golkar versi Munas Bali diketuai oleh Aburizal Bakrie
dan Golkar versi Munas Ancol diketuai oleh Agung Laksono, yang mana
keduanya memiliki preferensi yang berbeda mengenai arah koalisi. Namun untuk
memecahkan persoalan dualisme tersebut, karena ini berkaitan juga dengan arah
koalisi Partai Golkar, maka penulis mengacu pada mekanisme hukum yang
berdasarkan pasal 3 dan 4 dalam UU No 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik bahwa partai politik yang sah adalah
partai yang mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM, dan
pengesahan itu yang diperoleh Agung Laksono, terlepas dari latar belakang politik
munculnya SK Menkumham tersebut. Sebagaimana diketahui, Kementerian
Hukum dan HAM telah mengesahkan kepengurusan Agung Laksono melalui
surat No: M. HH-01.AH.11.01 tanggal 23 Maret 2015,21
yang kemudian disusul
pernyataan Agung Laksono yang mendukung pemerintahan Joko Widodo – Jusuf
Kalla.22
Mengingat, SK Menkumham tersebut berlaku sejak tanggal diputuskan,
yakni 23 Maret 2015. Meskipun seiring waktu berjalan, SK tersebut digugat oleh
21
“Menkumham Sahkan Kepengurusan Golkar Adung Laksono,” Kompas, 23 Maret 2015,
http://nasional.kompas.com/read/2015/03/23/13034331/Menkumham.Sahkan.Kepengurusan.Golk
ar.Agung.Laksono. Diunduh pada 4 April 2015. 22
“Agung Laksono Pastikan Golkar Keluar KMP,” Kompas, 10 Maret 2015.
14
Aburizal Bakrie ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan berakhir dengan
diterimanya gugatan tersebut pada tanggal 18 Mei 2015.23
Tetapi yang harus
digarisbawahi adalah keputusan PTUN tersebut tidak bersifat Inkracht.24
Sehingga dengan sendirinya, sejak SK Menkumham itu diterbitkan pada tanggal
23 Maret 2015 sampai putusan PTUN pada tanggal 18 Mei 2015 maka secara
hukum yang tertera dalam UU No 2 tahun 2008 adalah Agung Laksono sebagai
ketua umum Golkar. Mengingat SK Menkumhan tersebut bersifat final and
binding dan berlaku sejak tanggal diputuskan. Namun, terkait dengan proses
pengadilan yang terjadi setelah SK Menkumham dikeluarkan, itu adalah
fenomena yang terjadi setelahnya dan tidak menjadi objek kajian dalam penelitian
ini.
Oleh karenanya, terlepas dari konflik dualisme dan dinamika hukum yang
sedang berjalan pasca putusan PTUN yang menyangkut partai Golkar, dan terikat
dengan SK Menkumham pada tanggal 23 Maret 2015 itu telah membuat batasan
periode divided government dalam penelitian ini, karena dengan fenomena
tersebut, per tanggal 23 Maret 2015, struktur kekuatan eksekutif dan legislatif
sudah tidak lagi menunjukan kondisi divided government, karena kekuatan oposisi
pemerintah di DPR berkurang dan sudah tidak lagi mencapai angka single
majority (50% + 1).
23
“PTUN Kabulkan Gugatan Aburizal Bakrie,” Kompas, 18 Mei 2015,
http://nasional.kompas.com/read/2015/05/18/15072551/PTUN.Kabulkan.Gugatan.Aburizal.Bakrie
Diunduh pada 20 Mei 2015. 24
Inkracht adalah suatu perkara yang telah berkekuatan hukum tetap karena telah diputus
oleh hakim dan tidak ada lagi upaya hukum lain yang lebih tinggi.
15
Seperti yang dipaparkan oleh Jose Antonio Cheibub bahwa konseptualisasi
hubungan antara eksekutif dan legislatif akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian
dalam studi perbandingan politik.25
Sehingga dengan sendirinya, penelitian ini
akan berusaha mengekplorasi relasi eksekutif-legislatif sejak Presiden dan DPR
dilantik sampai pada keluarnya SK Menkumham No: M. HH-01.AH.11.01 yang
kemudian diikuti dukungan Agung Laksono terhadap pemerintah, telah melalui
proses masa persidangan I dan II dalam tahun sidang 2014-2015 atau yang penulis
sebut sebagai periode divided government.
Permasalahan ini menjadi penting untuk dikaji, mengingat terjadinya
divided government telah memunculkan banyak asumsi akan sulitnya Joko
Widodo dalam membangun kesepakatan dengan DPR, seperti yang dipaparkan
dalam rilis survey Indikator Politik Indonesia pada 19 Oktober 2014.26
Tidak
hanya itu, dalam literatur tentang divided government juga banyak pihak yang
khawatir akan terjadinya kebuntuan dalam relasi eksekutif-legislatif, seperti yang
akan dijelaskan pada bab II nanti. Oleh karenanya, penulis akan menguji asumsi
teoritik tersebut melalui analisa terhadap faktor yang memicu terjadinya divided
government melalui pendekatan koalisi presidensial serta mengekplorasi relasi
legislatif dan eksekutif pada periode divided government tersebut yang nantinya
akan dijadikan pusaran analisis untuk menilai apakah terjadi kebuntuan dalam
relasi eksekutif-legislatif dalam fenomena divided government di Indonesia. Oleh
25
Jose Antonio Cheibub, Zachary Elkins dan Tom Ginsburg, “Beyond Presidentialism and
Parliamentaris,” British Journal of Political Science, DOI:10.1017/S000712341300032. (14
November 2013): 1. 26
Indikator Politik Indonesia, Rilis Survey Indikator Politik Indonesia, Divided Goverment:
Pemberantasan Korupsi dan Tantangan Pemerintahan Jokowi-JK (Jakarta: Gedung Joeang 45, 19
Oktober 2014).
16
karenanya penelitian ini berjudul: Analisis Sistem Presidensialisme-Multipartai
di Indonesia; Studi atas Divided Government dalam Relasi Eksekutif –
Legislatif Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
B. Pertanyaan Penelitian
Fokus penelitian ini adalah menganalisis munculnya divided government
pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla serta mengeksplorasi proses
interaksi eksekutif dan legislatif dalam konteks tersebut, adapun dengan
pertanyaan penelitiannya adalah:
1. Apa faktor yang memicu terjadinya divided government pada
pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam konteks sistem
presidensialisme-multipartai?
2. Dalam periode divided government, bagaimana relasi antara legislatif dan
eksekutif pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam proses
perumusan kebijakan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Munculnya divided government pada pemerintahan Joko Widodo - Jusuf
Kalla adalah fenomena yang masih tergolong baru dan pertama kali terjadi di era
reformasi dalam pelaksanaan sistem presidensialisme-multipartai. Oleh karenanya
penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengisi kekosongan tentang studi
tersebut. Namun secara khusus penelitian ini memiliki beberapa tujuan
diantaranya.
17
1. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor yang memicu terjadinya
divided government pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam
konteks sistem presidensialisme multipartai.
2. Untuk mengetahui bagaimana relasi antara legislatif dan eksekutif pada
pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam proses perumusan
kebijakan dalam periode divided government.
Selain itu, ada dua manfaat utama dalam penelitian ini, diantaranya manfaat
teoritis dan manfaat praktis.
1. Manfaat teoritis. Dalam penelitian ini, penulis berusaha menguji sejauh
mana potensi deadlock terjadi dalam relasi eksekutif dan legislatif pada
pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla yang mengalami divided
government. Sehingga penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya
perdebatan tersebut dalam kasus di Indonesia. Mengingat, ini adalah
pertama kalinya di era reformasi, Indonesia mengalami divided
government pasca penguatan sistem presidensialisme-multipartai sejak
tahun 2004 yang ditandainya dengan adanya pemilihan presiden langsung.
Selain itu studi tentang divided government lebih banyak merujuk pada
fenomena di Amerika Latin. Sehingga penelitian ini bermanfaat untuk
mengisi kekosongan studi tentang divided government di Indonesia.
2. Manfaat praktis. Dengan penelitian ini penulis berharap bisa menjadi
rujukan bagi siapapun yang tertarik dengan studi sistem presidensialisme
pada umumnya dan studi tentang divided governmennt pada khususnya.
18
D. Tinjauan Pustaka
Usaha teoritis untuk menganalisis munculnya divided goverment dalam
kerangka sistem presidensialisme-multipartai pada pemerintahan Joko Widodo –
Jusuf Kalla belum pernah dilakukan, hal tersebut terjadi karena kasus tersebut
adalah baru dan pertama kali terjadi di era reformasi. Namun, secara umum studi
mengenai sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia pernah dilakukan oleh
Hanta Yuda dalam bukunya “Presidensialisme Setengah Hati: dari Dilema ke
Kompromi”. Dalam buku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada
tahun 2008 tersebut, Hanta melakukan tracking terhadap formasi presidensialisme
yang dianut oleh Indonesia sejak tahun 1998. Melalui penelitiannya ditemukan
bahwa pemerintah Indonesia melakukan purifikasi sistem presidensial, yang
diantaranya dengan mengurangi kuasa yang cenderung „koruptif‟ pada lembaga
kepresidenan, serta memberi porsi yang lebih banyak pada legislatif untuk
melakukan fungsi kontrol terhadap kekuasaan presiden. Namun, hal tersebut
menimbulkan masalah karena kekuasaan presiden menjadi dilematis karena
sistem politik yang „legislative heavy‟ menimbulkan keharusan bagi Presiden
untuk melakukan kompromi politik dengan legislatif.27
Dalam penelitian Hanta Yuda, periode pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono – Jusuf Kalla adalah objek penelitiannya. Ditemukan bahwa telah
terjadi tarik-menarik kepentingan antara eksekutif dan legislatif dalam berbagai
hal. Tarik-menarik kepentingan tersebut dipetakan menjadi dua basis: kompromi
27
Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati; dari Dilema ke Kompromi (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2010).
19
internal dan eksternal. Posisi presiden yang akomodatif dan posisi partai politik di
legislatif yang intervensif menjadikan kompromi tersebut mereduksi kewenangan-
kewenangan yang seyogianya dimiliki oleh presiden dalam sistem presidensial.
Implikasi negatifnya, terjadi kerapuhan struktur politik dan beragam ancaman dari
legislatif kepada presiden dalam berbagai kebijakan atau disebutnya sebagai
sistem presidensialisme setengah hati. 28
Penelitian lainnya mengenai sistem presidensialisme multipartai pernah
dilakukan oleh Syamsuddin Harris (2010), peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), dalam disertasinya yang berjudul “Format Baru Relasi Presiden-
DPR dalam Demokrasi Presidensial di Indonesia Pasca Amandemen Konstitusi
(2004-2008)”. Dalam disertasi doktoralnya di FISIP UI, Syamsuddin berfokus
pada realitas empiris sulitnya membangun hubungan antara eksekutif dengan
legislatif terlebih apabila mekanisme kerjasama dan konsultasi antara kedua
lembaga tidak lakukan secara intens. Secara khusus Syamsuddin menilai sikap
presiden kedepan harus lebih akomodatif jika tidak ingin ada deadlock antara
eksekutif dan legislatif, jika sikap presiden kaku dalam membangun jaringan
komunikasi dengan partai politik lainnya maka potensi konflik yang berujung
deadlock akan semakin besar pula.29
Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Barry Ames dalam bukunya
“Deadlock of Democracy in Brazil” terbitan Univeristy of Michigan Press tahun
2001 yang berusaha menelaah masalah presidensialisme di Brazil pasca tahun
28
Yuda, Presidensialisme Setengah Hati. 29
Syamsuddin Harris, Format Baru Relasi Presiden-DPR dalam Demokrasi Presidensial di
Indonesia pasca Amandemen Konstitusi (Disertasi Doktoral FISIP Universitas Indonesia, 2008).
20
1985. Penelitiannya berfokus pada tantangan yang dihadapi oleh setiap presiden
di Brazil yakni bagaimana seorang presiden bisa mempertahankan konsistensi
dukungannya terhadap kongres. Ames menggunakan analisanya dalam menjawab
sulitnya membangun otoritas kuat presiden di Brazil. Hal tersebut ditenggarai
karena tidak adanya hubungan dekat antara warga negara dengan partai politk.30
Selain itu, sistem presidensialisme yang meniscayakan adanya tugas-tugas
politik bagi presiden nampak jauh dari prinsip meritrokasi, pekerjaan politik yang
harusnya dilakukan oleh kabinet justru diserap oleh partai politik dan beberapa
kelompok kepentingan. Sebagai contoh pada kabinet presiden José Sarney (1985-
1990), Fernando Collor (1990-1992), Itamar Franco (1992-1995) dan Fernando
Henrique Cardoso (1995-2003) yang seharusnya presiden memiliki nilai strategis
kepada seluruh kekuatan administrasi dan konstruksi kabinetnya, namun hal
tersebut tak begitu nampak. Bisa dilihat dari percampuran bidang keahlian di
kabinetnya yang terdiri dari teknokrat dan politisi justru terlihat tanpa ada kuasa.
Hal itu dijadikan analisa kuat Ames dalam menilai begitu rapuhnnya sistem
presidensial di Brazil karena berpotensi deadlock. Kasus di Brazil juga seringkali
dijadikan rujukan utama dalam melihat resiko buruk dalam sistem
presidensialisme.31
Penelitian lainnya yang terkait, juga dilakukan oleh Djayadi Hanan dalam
disertasi doktoralnya di Ohio State University yang berjudul “Making
Presidentialism Work; Legislative and Executive Interacton in Indonesian
30
Barry Ames, The Deadlock of Democracy in Brazil (Michigan: University of Michigan
Press, 2001), 273. 31
Ames, The Deadlock of Democracy, 274.
21
Democracy” yang sudah diterjemahkan oleh Mizan dengan judul “Menakar
Presidensialisme Multipartai; Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan
Dunamis dalam Konteks Indonesia” yang terbit tahun 2014. Djayadi berusaha
membantah teori-teori umum tentang hubungan eksekutif dan legislatif dalam
sistem presidensialisme multipartai. Menurut teori-teori umum, kombinasi
presidensialisme dengan multipartai akan cenderung gagal. Penyebab utamanya
adalah suasana konflik yang cenderung terjadi antara eksekutif dan legislatif yang
membuat keduanya sulit kerjasama dalam landasan dasar Tria Politica.
Banyaknya partai yang ada dalam legislatif juga membuat presiden sulit untuk
mengamankan agenda-agenda pemerintahannya dari gangguan legislatif. Maka,
sistem presidensialisme multipartai cenderung berakhir dengan konflik antar
keduanya. Berbeda dari prediksi para teoritisi terdahulu, Djayadi melihat sistem
presidensialisme-multipartai di Indonesia relatif berjalan stabil dan normal.
Hubungan tegang antara eksekutif dan legislatif memang terjadi, namun tidak
mencapai jalan buntu. Dukungan legislatif terhadap agenda-agenda pemerintah
relative masih terbangun.32
Djayadi menilai hal tersebut bisa terbangun karena keberadaan dua faktor
yang saling mendukung. Mekanisme kelembagaan formal anara eksekutif dan
legislatif seperti mekanisme persetujuan bersama membuat keduanya harus
menyelesaikan perbedaan satu sama lain dengan mengutamakan kerjasama.
Mekanisme kelembagaan informal yakni koalisi menjadi jalan keluar dari
32
Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia; Upaya Mencari
Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan,
2014), 17.
22
kebuntuan. Selain itu juga terdapat mekanisme non-kelembagaan seperti presiden
yang cenderung akomodasionis, para elit politik yang pragmatis dan budaya
konsensus turut mengurangi potensi kebuntuan antara eksekutif dan legislatif.33
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang memfokuskan diri
pada sistem presidensialisme-multipartai sebelum pemilu 2014, maka penelitian
ini berfokus pada telaah atas divided government melalui pendekatan koalisi
presidensial dan mengeksplorasi proses relasi antara eksekutif dan legislatif pada
periode divided government dalam pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui analisa serta
pemahaman mendalam (deep-understanding). Penelitian dengan metode ini
menghasilkan data deskriptif berupa deskripsi dari unit analisis yang diteliti.
Metode kualitatif ini telah banyak digunakan dalam studi Ilmu Politik, karena para
partisipan dalam dunia politik ada kecenderungan bersedia berbicara tentang
keterlibatan dan peran mereka dalam jabatan kekuasaan formal.34
Dari hasil
pembicaraan para partisipan tersebut diharapkan penulis memperoleh pemahaman
yang mendalam (deep-understanding) terkait relasi eksekutif-legislatif pada
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla terutama pada periode divided
govenment. Dalam hal teknik analisis data, penulis menggunakan teknik
deskriptif-analitis. Hal tersebut digunakan untuk menggambarkan realitas yang
33
Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai, 121. 34
David Marsh dan Gerry Stoker, Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik (Bandung:
Nusamedia, 2002), 242.
23
kompleks melalui penyederhanaan konsep, sehingga asumsi yang bersifat umum
diperlukan dalam upaya merumuskan hubungan antar variabel penelitian.
Dalam hal pengumpulan data, penulis menggunakan teknik wawancara,
studi kepustakaan dan tela‟ah dokumen. Wawancara adalah salah satu bagian dari
proses pengumpulan data melalui pertemuan antara peneliti dengan responden
atau informan. Melalui wawancara ini peneliti bisa memperoleh informasi yang
tidak tercatat dalam berbagai dokumen yang tersedia.35
Dalam proses wawancara,
penulis menggunakan pertanyaan terbuka dan tidak terstruktur.36
Mengenai jenis
informan, penulis membaginya kedalam enam kelompok berdasarkan profesi
yang berkaitan dalam penelitian ini, hal ini sebagai wujud selektifitas agar
mendapatkan data yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Pertama, Pihak
yang menjadi bagian dari Koalisi Indonesia Hebat, yakni Eva Kusuma Sundari
(Politisi PDI-Perjuangan dan Anggota DPR-RI periode 2009-2014) dan Adian
Napitupulu (Politisi PDI-Perjuangan dan Anggota Komisi III DPR-RI periode
2014-2019). Kedua pihak yang menjadi bagian dari Koalisi Merah Putih yakni
Viva Yoga Mauladi (Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI Periode 2014-2019 / Fraksi
Partai Amanat Nasional). Ketiga, pihak yang menjadi bagian dalam Tim Transisi
Jokowi-JK, yakni Wandy N. Tuturoong (Pokja Lembaga Kepresidenan Tim
Transisi Jokowi-JK), mengingat tim ini memiliki peran dalam membantu Presiden
menyusun kabinet pemerintahan. Empat, pihak yang menjadi bagian dari
35
Harrison, Metode Penelitian, 104. 36
Wawancara tidak terstruktur adalah bentuk wawancara yang mengalir bebas dan
memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar. Namun dalam prosesnya, penulis mengalami
pengalihan bentuk wawancara dari yang sebelumnya adalah wawancara terstruktur. Sehingga
penulis menggunakan aide-memoire atau daftar ringkas topik yang akan ditanyakan, meski tidak
dalam urutan tertentu. Sehingga ini memastikan penulis agar tetap fokus tanpa mengurangi
kelancaran alur dalam wawancara yang tidak terstruktur. Lihat, Harrison, Metode Penelitian, 106.
24
eksekutif, yakni Indra J Piliang (Ketua Tim Ahli Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara - Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB) dan juga sebagai
Ketua DPP Golkar bidang Penelitian dan Pengembangan periode 2009-2014).
Kelima, yakni pihak yang kerap kali mengaku tidak memposisikan dirinnya
sebagai Koalisi Indonesia Hebat ataupun Koalisi Merah Putih, yakni Ulil Abshar
Abdalla (Ketua DPP Partai Demokrat bid Kajian Strategis dan Kebijakan). Dan
yang keenam adalah ilmuan-ilmuan politik yang berasal dari dalam dan luar
negeri untuk memperkuat kesimpulan yang didapat dari penelitian ini, diantaranya
William R. Liddle (Ohio State University, USA), Thomas Pepinsky (Cornell
University, USA), Robert Elgie (Dublin City University, Ireland), Sebastien
Lazardeaux (St. John Fisher College, USA), dan Hamdi Muluk (Universitas
Indonesia). Selain itu, dalam hal kepustakaan, penulis melakukan selektifitas
terhadap beberapa terbitan buku yang dipandang sudah memiliki kredibilitas
dalam dunia akademik, untuk penggunaan jurnal penulis merujuk pada Journal of
Democracy, Comparative Politics, American Political Science Review, World
Politics, British Journal of Political Science, Democratization dan lain-lain.
Selain itu, penulis juga melakukan tela‟ah dokumen untuk mendapatkan data
terkait percakapan yang terjadi dalam proses relasi eksekutif-legislatif. Dokumen
tersebut diperoleh dari Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Sekretariat Jenderal DPR-RI, yang diantaranya adalah Risalah Sidang Paripurna,
Laporan Badan Anggaran (Banggar), Laporan Sidang Komisi DPR-RI, Laporan
Rapat Pleno Badan Legislasi (Baleg) dan laporan pembicaraan lainnya. Untuk
pedoman penulisan, penulis menggunakan buku terbitan Fakultas Ilmu Sosial dan
25
Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Panduan Penyusunan
Proposal dan Penulisan Skripsi yang diterbitkan pada tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan dibagi kedalam lima bab. Berikut adalah sistematika
penulisan dalam penelitian ini:
Bab I, penulis akan memaparkan mengenai latar belakang, pertanyaan
penelitian, manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini.
Bab II, penulis akan mengekplorasi kerangka teori yang akan digunakan
sebagai rancang bangun konseptual guna menjawab pertanyaan penelitian ini.
Bab III, penulis akan memfokuskan diri pada gambaran umum konfigurasi
politik terbentuknya pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam sistem
presidensialisme-multipartai.
Bab IV, penulis akan melakukan analisa untuk menemukan faktor yang
menyebabkan terjadinya divided government pada pemerintahan Joko Widodo –
Jusuf Kalla serta mengekplorasi relasi antara eksekutif dan legislatif dalam proses
perumusan kebijakan pada periode divided government tersebut.
Bab V, penulis akan dijabarkan kembali temuan-temuan yang diperoleh
dalam bab IV untuk dijadikan kesimpulan dari penelitian ini serta akan
dipaparkan tentang beberapa rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.
26
BAB II
KERANGKA TEORI
Pada bab ini, penulis akan mengulas beberapa teori sebagai pijakan dalam
rancang bangun konseptual guna menjawab pertanyaan penelitian dalam studi ini.
A. Sistem Presidensialisme
Sistem presidensialisme merupakan salah satu varian dari sistem
pemerintahan yang dipahami sebagai suatu sistem hubungan tata kerja antara
lembaga negara dan juga kelanjutan dari konsep pemisahan kekuasaan.1 Sebagai
suatu sistem, maka tidak lepas dari ciri-ciri yang melekat pada dirinya. Scott
Mainwaring dan Mathew Shugart memberikan beberapa ciri sistem presidensial
yakni: (1) adanya pemilihan presiden secara langsung (direct popular vote) dan
terpisah dengan legislatif (fusion of ceremonial and political power), (2) adanya
masa jabatan presiden yang tetap (fixed term of office).2 Prinsip lain dalam sistem
presidensialisme bahwa eksekutif dikepalai oleh presiden yang sering disebut
sebagai sole executive yang tidak terbagi kekuasaannya ke dalam jabatan kepala
negara (head of state) dan jabatan kepala pemerintahan (head of government)
1 Sistem pemerintahan secara umum terbagi menjadi 2 yakni: sistem presidensialisme dan
sistem parlementer. Berbeda dengan sistem presidensialisme, sistem parlementer bercirikan
dengan adanya pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan, pemilihan Perdana
Menteri oleh Parlemen serta kekuasaan yang berpusat pada parlemen. Lihat, Jack H Nagel, “The
Descriptive Analysis of Power”, dalam Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-
Undang Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Penerbit Konstitusi Press, 2012), 30. Lihat juga,
Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011), 15. 2 Scott Mainwaring dan Mathew Shugart, ed., Presidentialism and Democracy in Latin
America (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 14.
27
yang tak bisa dijatuhkan oleh legislatif.3 Selain itu, Juan Linz melalui artikelnya
mengenai sistem presidensialisme mengatakan:
“Presidential systems are based on the opposite principle. An executive with
considerable powers in the constitution, generally in full control of the
composition of his cabinet and the administration, is directly elected by the
people for a fixed period of time and is not dependent on the formal vote of
confidence by the democratically elected representatives in parliament. He
is not only the holder of executive power but the symbolic head of state and
cannot be dismissed except in the exceptional cases of impeachment
between election.” (Diterjemahkan penulis: Sistem presidensial didasarkan
pada prinsip yang berlawanan. Eksekutif memiliki kekuatan yang cukup
besar yang tertuang dalam konstitusi, umumnya memiliki kontrol penuh atas
komposisi dan administratuf di kabinetnya, hal tersebut dikarenakan
Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk jangka waktu yang tetap dan
tidak tergantung pada suara-suara yang datang dari wakil rakyat yang juga
dipilih secara demokratis di parlemen. Presiden tidak hanya sebagai kepala
pemerintahan, tetapi juga sebagai kepala simbolis negara dan tidak dapat
diberhentikan kecuali jika terjadi pelanggaran yang luar biasa untuk
selanjutnya diatur melalui mekanisme impeachment ditengah periode
pemilu.) 4
Ciri-ciri tersebut yang menurut beberapa ilmuan politik seperti Juan Linz menilai
sistem presidensial sebagai sistem yang paradoks karena menciptakan dualisme
legitimasi antara eksekutif dan legislatif, karena kedua lembaga tersebut sama-
sama dipilih oleh rakyat dan tak bisa saling menjatuhkan.5 Mengenai kritiknya
terhadap sistem presidensialisme, Juan Linz mengatakan:
“Presidential constitutions paradoxically incorporate contradictory
principles and assumptions. On the one hand, such systems set out to create
a strong stable executive with enough plebiscitarian legitimation to stand
fast against the array of particular interests represented in the legislature.
3 Arend Lijphart, Pattern of Democracy: Government Form and Performance in Thirty Six
Countries (New Haven and London: Yale University Press, 1999), 117. 4 Juan Linz, “Presidential or Parlementary Democracy: Does it Make a Difference?,” The
paper prepared for the Project „The Role of Political Parties in the Return to Democracy in the
Southern Cone, Sponsored by the Latin America Program of The Wodrow Wilson International
Center for Sholar, and the World Peace Foundation, 1985, 3. 5 Juan Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy, Vol 1, No 1, (1990):
62.
28
On the other hand, presidential constitutions also reflect profound suspicion
of the personalization of power: memories and fears of kings and caudillos
do not dissipate easily. Other provisions like legislative advice-and-consent
powers over presidential appointments, impeachment mechanisms, judicial
independence, and institutions such as the Contraloria of Chile also reflect
this suspicion.” (Diterjemahkan penulis: Sistem presidensialisme yang
memasukkan prinsip dan asumsi yang bertentangan dipandang paradoks. Di
satu sisi, sistem tersebut berangkat untuk membuat lembaga eksekutif yang
kuat dan stabil dengan cukup legitimasi plebiscitarian untuk berdiri kokoh
saat berhadapan dengan berbagai kepentingan yang terwakili dalam
lembaga legislatif. Di sisi lain, presiden juga dihadapkan ketakutan
mendalam terkait kekuasaan personal yang dimilikinya: seperti kenangan
dan ketakutan yang tidak bisa menghilang dengan mudah. Ketentuan lain
seperti kekuasaan legislatif dan persetujuan atas usulan presiden,
mekanisme impeachment, independensi peradilan, dan lembaga-lembaga
seperti Contraloria di Chile juga menunjukan adanya kekhawatiran bagi
keberadaan Presiden.) 6
Berbeda dengan Juan Linz yang menentang sistem presidensial secara
kelembagaan, Scott Mainwaring dan Mathew Shugart justru lebih halus dalam
menjawab tudingan buruk tersebut, baginya jika sistem presidensial dirancang
dengan baik dan hati-hati, memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
parlementer, namun Mainwaring dan Shugart juga tak menafikan akan bahaya
sistem presidensialisme apabila dikombinasikan dengan sistem multipartai.7
Bahaya dalam sistem presidensialisme juga diafirmasi oleh Noah Feldman dan
Duncan Pickard yang mengatakan adanya potensi ketegangan antara legitimasi
eksekutif dan legislatif.8 Temuan lain dalam sistem presidensialisme dilakukan
oleh Jose Antonio Cheibub yang mengatakan bahwa dalam konteks
presidensialisme di kawasan Amerika Serikat ada upaya untuk menyetujui
6 Linz, “The Perils of Presidentialism,” 54.
7 Scott Mainwaring dan Matthew Shugart, “Juan Linz, Presidentialism and Democracy: A
Critical Appraisal,” The Hellen Kellogg Institute for International Studies, University of Notre
Dame, Working Paper No 200, Juli 1993, 26. 8 Noah Feldman dan Duncan Pickard, “The Risks of Semi-Presidentialism in Emerging
Democracies,” Democracy Reporting International, Right to Nonviolence‟s Tunisia Constitutional
e-Forum, 2 October 2012, 1.
29
kekuasaan presiden yang memiliki peran yang kuat dalam legislasi serta membuat
aturan darurat yang lebih luas.9
Selain itu, menurut Syamsuddin Harris, pemisahan kekuasaan dalam sistem
presidensialisme dipandang sebagai hal yang positif karena memperkuat prinsip
check and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif, namun disisi lain juga
membuka peluang terjadinya divided government yang berpotensi pada
kegaduhan pemerintahan dan deadlock dalam pengambilan keputusan karena
eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda.10
Dibalik
polemik yang diasumsikan oleh para ilmuan politik terdahulu, sistem
presidensialisme tampaknya masih tetap dianut di banyak negara. Gambar
dibawah ini menunjukan bahwa sistem presidensialisme banyak dianut di negara-
negara kawasan Amerika Latin, meskipun juga ada bagian wilayah lain seperti
Afrika, sebagian wilayah Asia Barat dan Indonesia adalah salah satu negara yang
menganut sistem tersebut. Namun studi-studi penting yang kerap menjadi rujukan
tentang presidensialisme banyak mengacu pada fenomena yang terjadi di Amerika
Latin.11
9 Jose Antonio Cheibub, Zachary Elkins dan Tom Ginsburg, “Latin American
Presidentialism in Comparative and Historical Perspective,” University of Chicago Public Law
and Legal Theory, Working Paper No. 361, 2011, 24. 10
Syamsuddin Harris, Praktik Parlementer Demokrasi Presidensial di Indonesia
(Yogyakarta: Andi Offset, 2014), 32. 11
Studi tentang presidensialisme banyak mengulas fenomena di negara Amerika Latin.
Beberapa yang familiar diantaranya Barry Ames, The Deadlock of Democracy in Brazil
(Michigan: University of Michigan Press, 2001). Jennifer S. Holmes, Bullets and Ballots in
Columbia (Dallas: University of Texas), Morgernstern dan Nacif, Legislative Politics in Latin
America (Cambridge: Cambridge University Press). Jose Antonio Cheibub, “Minority Presidents,
Deadlock and The Survival of Presidential Democracy”, Yale University. Adam Przeworski, Jose
Antonio Cheibub, Sebastian Saiegh, “Government Coalitions and Legislative Success Under
Presidentialism and Parliamentarism”, B.J.Pol.S.34 DOI: 10.1017/S0007123403000195 United
Kingdom: Cambridge University Press. Mahakarya Juan Linz, “The Perils of Presidentialism”
30
Gambar II.A.1
Sistem Pemerintahan Negara di Dunia
Sumber: https://www.boundless.com
B. Sistem Multipartai
Sistem Multipartai adalah salah satu varian dari beberapa sistem kepartaian
yang berkembang di dunia modern saat ini. Secara umum, Maurice Duverger
mengklasifikasikan sistem kepartaian berdasarkan kuantitas atau jumlah.
Menurutnya sistem kepartaian menjadi tiga jenis yakni: (1) sistem partai tunggal,
(2) sistem dwi-partai dan (3) sistem multipartai.12
Secara definisi, sistem
multipartai adalah sistem kepartaian yang meniscayakan adanya partai yang lebih
secara umum juga mengacu pada fenomena-fenomena di Amerika Latin. Meskipun juga ada
beberapa studi mengenai fenomena presidensilisme di Indonesia tetapi jumlahnya tidak signifikan
jika dibanding dengan studi-studi di Amerika Latin. 12
Maurice Duverger, Partai Politik dan Kelompok Penekan (Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta, 1994), 13.
31
dari dua partai dominan. Dalam konteks Indonesia, sistem multipartai dianggap
sangat mendukung kebebasan berkumpul yang terlegitimasi dalam pasal 28 UUD
1945. Banyak faktor yang mempengaruhi sistem kepartaian di suatu Negara.
Untuk konteks politik Indonesia, ada tiga faktor penyebab sistem multipartai sulit
dihindari. Pertama, yakni faktor pembentuk atau tingginya tingkat pluralitas
masyarakat. Faktor ini yang menyebabkan keharusan bagi penerapan sistem
multipartai. Sementara kemajemukan masyarakat merupakan suatu yang harus
diterima dalam struktur masyarakat indonesia. Kedua, yakni faktor pendorong
atau dukungan sejarah sosio-kultural masyarakat. Ketiga, yakni faktor penopang
atau desain sistem pemilihan proporsional dalam beberapa sejarah pemilihan
umum.13
Dalam kasus Indonesia, sistem multipartai adalah keniscayaan adanya
aneka ragam suku, ragam, ras, dan golongan yang ada dalam suatu negara. Selain
Indonesia, negara yang menganut sistem ini adalah Malaysia, Belanda, Perancis,
Swedia, dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, klasifikasi mengenai sistem multipartai seperti
yang dipaparkan Maurice Duverger tampak sebagai kategori tunggal sehingga
gagal menjelaskan mengenai rincian mendetail sistem multipartai, seperti
pertimbangan tentang perilaku partai serta jarak ideologis. Melihat kekurangan
tersebut, kajian mengenai sistem multipartai telah banyak disempurnakan oleh
Giovani Sartori, sehingga tipologi mengenai sistem multipartai memiliki beberapa
13
Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati; dari Dilema ke Kompromi (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2010), 102.
32
varian.14
berikut adalah penjelasan umum Sartori sebagaimana yang dikutip oleh
Kuskridho Ambardi tentang sistem kepartaian:
Tabel II.B.1
Sistem Kepartaian Giovani Sartori
Jumlah Partai Tingkat Ideologi Rendah Tingkat Ideologis Tinggi
1 Satu - Partai Tidak ada
2 Dua - Partai Dua Partai Terpolarisasi
3-5 Pluralisme Moderat Pluralisme Terbatas, Terpolarisasi
5 Pluralisme Ekstrem Pluralisme Terpolarisasi
Sumber: Sartori
Klasifikasi Sartori pada umumnya mengacu konsep jarak ideologis untuk
menggambarkan interaksi antarpartai yang memperihatkan tingkat keajekan
tertentu, dimana partai politik bertindak dan saling merespons secara terpola di
arena politik yang berbeda.15
Dalam hal jumlah partai, Sartori menawarkan dua
konsep penyaring, yakni potensi koalisi dan potensi mengintimidasi secara politik.
Suatu partai memiliki potensi untuk berkoalisi manakala ia berada dalam posisi
yang menentukan bagi terbentuknya koalisi dan di saat yang sama memiliki posisi
yang menentukan bagi terbentuknya koalisi mayoritas di pemerintahan.
Sedangkan suatu partai berpotensi melakukan intimidasi manakala ia memiliki
kekuatan memaksa sehingga keberadaannya mempengaruhi taktik persaingan
antar partai terutama ketika ia mampu mengubah arena persaingan.16
14
Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, Studi Tentang Sistem Kepartaian di
Indonesia Era Reformasi (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia – Lembaga Survei Indonesia,
2009), 8. 15
Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 8. 16
Giovanni Sartori, “Parties and Party System: A Framework of Analysis,” dalam
Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 11.
33
Berdasarkan fenomena tersebut, kedua kriteria diatas menurut Sartori harus
dimasukan dalam klasifikasi sistem kepartaian. Tipologi Sartori tersebut
mengasumsikan hanya ada satu persaingan politik. Dengan demikian ia
mengabaikan kemungkingan pemisahan antara persaingan di arena pemilu dengan
persaingan di arena legislatif. Dengan begitu logika yang dibawa Sartori adalah
hasil-hasil Pemilu akan menentukan tindakan partai secara konsisten di arena
legislatif dan arena pemerintahan.17
Argumentasi Sartori pada dasarnya juga
mendapatkan dukungan dari David Mayhew yang disederhanakan oleh Shaun
Bowler yang mengatakan:
“Berbagai keuntungan di arena Pemilu akan membentuk perilaku partai di
arena legislatif. Partai-partai di parlemen dilihat sebagai konsekuensi dari
kebutuhan untuk bertarung memenangi pemilu, partai-partai di legislatif
sebagian besar muncul sebagai akibat dari nilai fungsional partai pada
waktu Pemilu.” 18
Meskipun konsistensi tindakan partai antara arena pemilu dan arena
pemerintahan tersebut perlahan dibantah oleh Robert Dahl dalam “Pattern of
Opposition” yang mengidentifikasi ragam arena persaingan politik yang
diantaranya yakni arena pemilu, parlemen, birokrasi, pemerintah daerah dll.19
Dalam fenomena yang terjadi di Indonesia, ragam arena persaingan politik
dijelaskan lebih intens oleh Kuskridho Ambardi, menurutnya sejak era reformasi
partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yang terkartelisasi.
Beberapa bukti yang ditunjukan yakni hilangnya peran ideologis sebagai aktor
17
Giovanni Sartori, “Parties and Party System: A Framework of Analysis,” dalam
Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 12. 18
David Mayhew dalam Shaun Bowler “Parties in Legislature: Two Competiting in
Explanations,” dalam Russell Dalton dan Martin Wattenberg, ed., “Parties Without Partisans,“
dalam Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 12. 19
Robert Dahl,“Pattern of Opposition,” dalam Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 13.
34
penentu perilaku koalisi partai, sikap permisif dalam pembentukan koalisi,
tiadanya oposisi, hasil-hasil pemilu hampir tidak berpengaruh dalam menentukan
perilaku partai politik dan kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara
kolektif sebagai satu kelompok.20
Hal itu yang menurut Ambardi sebagai
gambaran muram mengenai sistem multipartai di Indonesia. Namun, dalam
penelitian ini penulis tidak menggunakan tesis kartel sebagai konseptualisasi
dalam basis analisis. Sebagaimana diketahui, dalam tesis kartel, persaingan antar
partai yang sehat bisa menciptakan check and balances dan berdampak baiknya
kualitas demokrasi, namun dalam kasus Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan
oleh Ambardi, ada kecenderungan partai-partai memiliki pola yang serupa dengan
kartel yang berperilaku seperti layaknya satu kelompok dan menghilangkan
persaingan serta berakhir pada jauhnya dari prinsip check and balances.21
Sehingga menurut tesis ini demokrasi di Indonesia jauh dari prinsip ideal. Tetapi,
menurut penulis tesis tersebut tidak bisa menjelaskan dalam perspektif sistem
presidensialisme-multipartai yang dalam pendekatan koalisi presidensial, seperti
yang akan dijelaskan pada sub-bab berikutnya, mengharuskan adanya koalisi guna
melancarkan pemerintahan agar bisa berjalan. Keberadaan koalisi itu secara tidak
langsung mengharuskan adanya kerelaan dari partai politik untuk meninggalkan
basis ideologi dan platform masing-masing partai guna mencapai kesepahaman
bersama dengan partai-partai lain yang tergabung dalam koalisi. Sehingga posisi
teoritik yang digunakan dalam penelitian ini bersebrangan dengan tesis kartel
pada umumnya. Penulis menyadari bahwa ketegasan posisi teoritik dalam suatu
20
Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 3. 21
Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 366.
35
penelitian adanya hal yang tidak bisa diabaikan, karenanya ini menjadi suatu
identitas yang melekat dalam sebuah penelitian.
C. Koalisi Presidensial (Coalitional Presidentialism)
Studi mengenai sistem presidensialisme pada dasarnya selalu mengalami
perkembangan dari satu periode ke periode berikutnya. Dalam perkembangan
studi tersebut, Robert Elgie menjabarkannya kedalam tiga periode studi
presidensialisme,22
yakni: periode pertama ditandai dengan serangkaian artikel
yang ditulis oleh Juan Linz.23
Analisis yang dibawa oleh Linz mengacu pada
resiko dalam sistem presidensial yang memicu destabilisasi politik karena rentan
terjadi dualisme legitimasi antara legislatif dan eksekutif karena keduanya sama-
sama dipilih oleh rakyat. Periode pertama ini lebih menitikberatkan pada stabilitas
sistem parlementer ketimbang sistem presidensial. Dalam periode ini, pendekatan
sistem multipartai belum muncul dalam penguatan argumentasi yang dibangun.
Selanjutnya periode kedua, ditandai dengan munculnya tulisan yang dibuat oleh
Scott Manwaring beserta rekan-rekannya.24
Kesimpulan yang dibangun dalam
22
Robert Elgie, “From Linz to Tsebelis: Three Waves of Presidential/Parliamentary
Studies?,” Working Papers in Centre for International Studies, Dublin City University, 2004, 2 -
25. 23
Beberapa tulisan Juan Linz yang dikategorikan dalam periode pertama studi
presidensialisme oleh Robert Elgie diantaranya “The Perils of Presidentialism”, Journal of
Democracy, Vol 1, No 1, (1990). “Democracy: Presidential or Parliamentary Does It Make
Difference”, Latin American Program of the Woodrow Wilson International Center for Scholar
and the World Peace Foundation, (1985). Kesimpulan umum yang dijadikan pijakan dalam
periode ini adalah sistem presidensialisme cenderung berpotensi melahirkan dual democratic
legitimacy yang berujung pada konflik kelembagaan antara eksekutif dan legislatif dan
mengabaikan aspek-aspek non intitutional seperti adanya komunikasi politik, jaringan koalisi, dan
pendekatan sistem kepartaian belum menjadi topik yang disandingkan dengan sistem presidensial. 24
Klasifikasi Robert Elgie mengenai periode kedua studi presidensialisme merujuk pada
karya-karya Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult
Equation”, Comparative Political Studies, Vol 26. Matheuw Shugart and John Carey, Presidents
and Assemblies: Constitutional Design and Electoral Dynamic (Cambridge, Cambridge University
Press, 1992) . Perbedaan mendasar dari periode sebelumnya yakni, studi-studi ini mulai mencakup
36
periode kedua adalah sistem presidensialisme pada dasarnya tidak complicated,
menjadi complicated bila dikombinasikan dengan sistem multipartai. Karena
kombinasi tersebut membuat sulitnya presiden untuk mendapatkan dukungan
mayoritas di legislatif dan berujung pada kendala dalam membangun relasi antara
eksekutif dengan legislatif.
Periode ketiga studi presidensialisme melahirkan proses analisis yang
mendalam yang berbeda dengan dua periode sebelumnya. Periode ini ditandai
dengan munculnya tokoh-tokoh seperti George Tsabelis, Paul Chaisty, Nic
Cheeseman, Timothy Power.25
Berbeda dengan periode sebelumnya, periode
ketiga ditandai dengan munculnya istilah koalisi presidensial dan pendekatan
veto. Pendekatan veto digunakan guna memperkuat peran eksekutif ketika
berhadapan dengan legislatif, Geroge Tsabelis mendefiniskan veto sebagai
“individual or collective actors whose agreement is necessary for a change of the
status quo” (Diterjemahkan penulis: Individu atau aktor kolektif yang berwenang
pembahasan pada sistem multipartai. Yang kemudian dijadikan problem sulitnya presiden sebagai
pimpinan eksekutif untuk mendapatkan dukungan maksimal di legislatif karena adanya banyak
partai dan kesulitan mencapai dukungan mayoritas. 25
Beberapa karya yang menjadi pijakan Robert Elgie dalam mengklasifikasi gelombang
ketiga studi presidensial yakni: George Tsabelis, “Veto Players; How Political Institutions Work”,
UCLA, Princeton and Sage Foundation. Paul Chaisty, Cheeseman & Timothy Power, “Rethinking
The Presidentialism Debate; Conceptualizing Coalitional Politics in Cross Regional Perspective”,
Democratization, Routledge, UK, (2012). Ciri khas dari periode ini adalah munculnya pendekatan
veto dan koalisi presidensial untuk mengurangi dampak destabilisasi seperti yang dikhawatirkan
oleh para pendahulu. Unsur-unsur tersebut yang nantinya akan menentukan seberapa efektif
kombinasi sistem presidensialisme dengan sistem multipartai. Dengan mempertahankan tesis
koalisi presidensial berarti presiden memiliki akses dan banyak cara untuk membentuk koalisi dan
mengamankan dukungan legislatif, atau Chaisty memperkenalkannya dengan istilah presidential
toolbox. Sehingga tugas presiden tidak hanya membentuk kabinet dan menjalankan kebijakan
tetapi juga memiliki tugas untuk membangun kekuasaan untuk memerintah di lembaga legislatif.
Sehingga antara eksekutif dan legislatif dalam proses komunikasi tidak mengalami jalan terjal
seperti yang dikhawatirkan oleh ilmuan-ilmuan di periode sebelumnya, seperti Mathew Shugart,
John Carey dan Scott Manwaring.
37
menyetujui kebutuhan untuk perubahan status quo).26
Hal yang sama juga
diutarakan oleh Mitchel A. Sollenberger bahwa otoritas veto yang dimiliki
Presiden adalah salah satu alat yang paling signifikan dalam proses legislasi
ketika berhadapan dengan legislatif, hal ini tidak hanya efektif dalam mencegah
bagian undang-undang yang tidak diinginkan Presiden, tetapi juga menghindari
Presiden dari ancaman yang seringkali memaksa legislatif untuk memodifikasi
undang-undang sebelum disajikan kepada Presiden.27
Pendekatan veto umumnya
banyak merujuk pada fenomena presidensialisme di Amerika Serikat.
Selain itu, pendekatan koalisi presidensial juga menjadi rujukan dalam
klasifikasi periode ketiga studi presidensialisme. Istilah „koalisi‟ pada dasarnya
berasal dari bahasa latin yakni „coalescere‟ yang secara harfiah berarti saling
menempelkan atau saling mengikat. Koalisi pada umumnya merupakan aliansi
atau kerjasama untuk periode waktu terbatas dalam rangka demi mencapai tujuan
tertentu seperti ambil alih kekuasaan dan memegang pemerintahan.28
Sedangkan,
yang dimaksud dengan koalisi presidensial adalah suatu pendekatan dimana
sistem presidensial bisa bekerja layaknya parlementer yang artinya presiden
memiliki kerja memerintah dengan mampu membangun koalisi multipartai di
legislatif.29
Sebagaimana yang ditulis Paul Chaisty dalam artikelnya:
26
George Tsabelis, Veto Players: How Political Institutions Work (California: UP and
Russell Sage Foundation, 2001), 36. 27
Mitchel A. Sollenberger, “Congressional Overrides of Presidential Vetoes,” CRS Report
for Congress, 7 April 2014, 1. 28
Rainer Adam, Masa Depan Ada di Tengah; Toolbox Manajemen Koalisi (Jakarta:
Friedrich Naumann Stiftung Foundation, 2010), 11. 29
Paul Chaisty, Cheeseman dan Timothy Power, “Rethinking The Presidentialism Debate;
Conceptualizing Coalitional Politics in Cross Regional Perspective,” Democratization, Routledge,
UK, (2012): 1.
38
“Coalitional presidentialism is a strategic response to the institutional
dilemmas posed by the coexistence of a presidential executive with a
fragmented multiparty legislature. In order to win support for the legislative
agenda of the executive, presidents must behave much like prime ministers
in the multiparty democracies of Western Europe: they must first assemble
and then cultivate interparty coalitions on the floor of the assembly. The
objective of the president is to foster the emergence of a legislative cartel
which will reliably defend the preferences of the executive branch.”
(Diterjemahkan penulis: Koalisi Presidensial merupakan respon strategis
terhadap dilema kelembagaan yang ditimbulkan terkait kompleksitas
eksekutif atau presiden dengan legislatif yang terfragmentasi dengan
multipartai. Dalam rangka untuk memenangkan dukungan terhadap agenda
legislasi yang bawa oleh eksekutif, presiden dalam sistem presidensial harus
berperilaku seperti perdana menteri dalam seperti yang terjadi di Eropa
Barat dalam sistem multipartai: mereka (eksekutif dan legislatif) harus
terlebih dahulu duduk bersama dan kemudian menumbuhkan koalisi antar
partai dalam proses perumusan. Tujuan dari presiden adalah untuk
mendorong munculnya kartel di legislatif yang nantinya akan membela
preferensi kebijakan yang dibawa oleh eksekutif.) 30
Menurut Djayadi Hanan, disinilah pentingnya koalisi dalam sistem
presidensialisme-multipartai manakala presiden tetap memerlukan dukungan
legislatif dalam menjalankan pemerintahannya. Jika tidak, presiden mengalami
kendala oleh lembaga legislatif melalui kekuasaan anggaran, legislasi dan fungsi
pengawasan yang diberikan undang-undang.31
Untuk mendapatkan dukungan
legislatif, tentu Presiden tidak bisa melakukan tanpa feedback yang harus
diserahkan kepada masing-masing partai politik. Oleh karenanya disini, power
sharing menjadi konsekuensi dalam kombinasi sistem presidensialisme-
multipartai untuk menghindari terjadinya deadlock dan tingginya oposisi. Secara
30
Chaisty, Cheeseman dan Power, “Rethinking The Presidentialism Debate,” 38. 31
Hanan, Menakar Presidensialisme, 68.
39
komprehensif, Jose Antonio Cheibub menjabarkannya potensi peluang deadlock
dan dominasi oposisi dalam sistem presidensialisme pada gambar berikut:32
Gambar II.C.1
Peluang deadlock dan Dominasi Oposisi dalam Sistem Presidensial
Sumber: Cheibub, Minority Presidents, Deadlock Situations, 21.
Melalui gambar diatas, dapat dipahami bahwa power sharing terutama pada
jajaran kabinet menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan untuk menghindari
terjadinya deadlock antara eksekutif dan legislatif. Sehingga apabila presiden
sedikit melakukan power sharing, maka akan sedikit pula mendapatkan dukungan
di legislatif atau opposition dominates. Oleh karenanya, disinilah pentingnya
koalisi presidensial guna eksekutif bisa mengamankan agenda serta program
kerjanya dihadapan legislatif sebagaimana yang dipaparkan oleh Paul Chaisty
sebelumnya.
Seperti yang kutip Hanan, buku yang ditulis oleh T. J Power dan M. Taylor
mengatakan koalisi presidensial adalah pilihan untuk mengimbangi dampak
pemecah belah institutional antara eksekutif dan legislatif dengan mendukung
32
José Antonio Cheibub, “Minority Presidents, Deadlock Situations, and the Survival of
Presidential Democracies,” Yale University, 3.
40
adanya kemampuan presiden untuk melakukan sikap akomodatif terhadap
legislatif, yang nantinya akan menentukan berhasil atau tidaknya sistem
presidensialisme multipartai ini akan berjalan.33
Menjadi complicated jika
eksekutif gagal membangun koalisi presidensial atau tidak mencapai dukungan
single majority (50% +1) di legislatif sehingga berujung pada kondisi divided
government dan memiliki potensi deadlock seperti yang ilmuan politik
khawatirkan secara umum.
Selain itu, dalam pendekatan koalisi presidensial, dikenal konsep
„presidential toolbox‟ yang dimaksudkan pada kondisi bahwa kekuasaan presiden
tidak terbatas pada kewenangan formal terkait sumber daya kelembagaan seperti
menyusun program kerja, menyusun kabinet tetapi juga memiliki kewenangan
informal seperti membangun konsolidasi dalam sistem bagi-bagi rezeki (spoils
system) guna mencapai feedback koalisi dan memperoleh dukungan di lembaga
legislatif seperti yang terjadi di kawasan Amerika Latin.34
Dalam pendekatan ini,
maka sikap Presiden yang kompromistis menjadi penting untuk melancarkan
relasi eksekutif dan legislatif, setidaknya mencapai batas single majority (50%+1)
dukungan pemerintah di legislatif. Oleh karenanya koalisi menjadi hal yang
penting dalam sistem presidensialisme-multipartai. Dibawah ini adalah bagan
yang penulis rancang guna mempermudah pemahaman mengenai periodesasi
sistem presidensialisme seperti yang dirumuskan oleh Robert Elgie.
33
T. J Power dan M. Taylor, “Accountability Institutions and Political Corruption in
Brazil,” dalam Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya
Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia (Bandung:
Penerbit Mizan, 2014), 69. 34
Chaisty, Cheeseman dan Power, “Rethinking The Presidentialism Debate,” 7-8.
41
Gambar II.C.2
Tiga Gelombang Studi Presidensialisme
Sumber: Elgie, From Linz to Tsabelis.
42
Selain itu, mengenai keabsahan adanya koalisi dalam sistem presidensial,
penulis merujuk pada studi Djayadi Hanan yang menunjukan bahwa koalisi dalam
sistem presidensial adalah fenomena yang sama seringnya dalam sistem
parlementer. Seperti penelitian Jose Antonio Cheibub, ketika menganalisis semua
negara demokratis pada 1970-2004 ditemukan bahwa koalisi pemerintahan terjadi
sekitar 39% dalam sistem parlementer dan 36,3% dalam sistem presidensial.35
Selain itu menurut Cheibub, Przeworski & Saiegh bahwa hampir sebanyak 50%
pemerintahan akan melakukan koalisi dengan partai lain apabila partai presiden
tidak memiliki kekuatan mayoritas di legislatif. seperti yang dikutip dari
artikelnya.
“It turns out that government coalitions occur in more than one half of the
situations in which the president‟s party does not have a majority.”
(Diterjemahkan penulis: Pada gilirannya, koalisi pemerintahan itu akan
terjadi lebih dari setengah (50%) dari situasi dimana partai presiden tidak
memiliki kekuatan mayoritas.)36
Hal tersebut yang menurut Hanan, keberadaan koalisi bukanlah faktor pembeda
antara sistem presidensialisme dan parlementer, melainkan koalisi adalah watak
dari sistem multipartai.37
Sehingga mekanisme koalisi adalah sarana bagi
terbentuknya hubungan antara eksekutif dan legislatif untuk membangun tindakan
kerjasama dan mengurangi tingkat kegaduhan seperti yang diasumsikan oleh
banyak teoritisi sebelumnya yang pesimis dengan kombinasi sistem
35
Jose Antonio Cheibub, “Presidentialism, Parlementarism and Democracy,” dalam Hanan,
Menakar Presidensialisme Multipartai, 229. 36
Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworski dan Sebastian M. Saiegh, “Government
Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parlementarism,” British Journal of
Political Science, Vol 34, No 04, (Oktober 2004): 565. 37
Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai, 230.
43
presidensialisme multipartai.38 Meskipun begitu, Cheibub tetap berpandangan
bahwa koalisi dalam sistem presidensial seringkali tidak solid daripada sistem
parlementer.39
Namun, penulis juga menyadari bahwa koalisi dalam sistem presidensial
bisa berprospek pada kerjasama politik dan juga adanya peluang untuk
meninggalkan postur koalisi. kemungkinan tersebut dilandasi oleh beberapa faktor
yang menjadi pertimbangan untuk menentukan solid atau tidak tidaknya suatu
koalisi, David Altman merumuskannya sebagai berikut: (1) afinitas ideologis
antara presiden atau kepala koalisi dengan kelompok partai politik lainnya, (2)
Penilaian rakyat terhadap kepala koalisi atau presiden (3) afiliasi psikologis atau
kedekatan partai politik terhadap partai pimpinan koalisi (4) pertimbangan
terhadap pemilihan umum di masa mendatang (5) keadilan insentif dalam
perjanjian koalisi.40
Sehingga, penulis sepakat dengan Cheibub bahwa koalisi
dalam sistem presidensial seringkali tidak stabil dibanding sistem parlementer dan
memungkinkan partai berpindah koalisi di tengah periode pemerintahan
berlangsung.
38
Banyak teoritisi yang menilai kombinasi antara sistem presidensialisme dan sistem
multipartai akan melahirkan kegaduhan tingkat tinggi dan berpotensi deadlock. Beberapa publikasi
diantaranya adalah Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multiparty System and Democracy: The
Dificult Equation,” The Hellen Kellogg Institute for Insternational Studies Published, (1990), Juan
Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy, Vol 1, No 1, (1990), Alfred Stephan
dan Cindy Skach, “Presidentialism and Parliamentarism in Comparative Prespective,” World
Politics, Vol 46, No 1, (1993), Mathew Shugart dan John Carey, President and Assemblies :
Constitutional Design and Electoral Dynamic (Cambridge: Cambridge University Press, 1992). 39
Jose Antonio Cheibub dan Fernando Limongi, “Democratic Institutions and Regime
Survival: Parliamentary and Presidential Democracies Reconsidered,” Forthcoming in Annual
Review of Political Science, 2002, 4. 40
David Altman, “The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty
Presidential Democraties,” The International Journal for the Study of Political Parties and
Political Organizations, Vol 6. No 3, Sage Publications, (2000): 259.
44
Meskipun pendekatan ini eksis dalam studi presidensialisme di kawasan
Amerika Latin,41
penulis akan mencoba menggunakan pendekatan koalisi
presidensial ini untuk menganalisis faktor terjadinya divided government serta
relasi eksekutif - legislatif pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla sebagai
hasil dalam Pemilihan Umum 2014.
D. Divided Government (Pemerintahan Terbelah)
Divided Government atau pemerintahan terbelah adalah suatu kondisi saat
lembaga eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda.
Menurut Robert Elgie, kajian mengenai divided government nampak lebih banyak
merujuk pada fenomena-fenomena di Amerika Serikat,42
meskipun hal tersebut
seringkali dibantah, salah satunya oleh Kurt Von Mettenheim yang menegaskan
bahwa perdebatan tentang divided government dalam konteks perpolitikan di
Amerika Serikat belum mendapatkan pengaruh luas di kalangan analis
perbandingan politik.43
Selain itu, menurut catatan Matthew Soberg Shugart
bahwa tidak ada literatur secara spesifik dan mendetail yang ditujukan untuk
menjelaskan fenomena divided government dalam sistem presidensial.44
Baginya,
studi Juan Linz (1990) dan Scott Manwaring (1993) hanyalah menjelaskan
problem pelembagaan antara eksekutif dan legislatif.
41
Chaisty, Cheeseman dan Power, “Rethinking The Presidentialism Debate,” 4. 42
Robert Elgie, ed., Divided Government in Comparative Perspective (New York: Oxford
University Press Inc, 2001), 1. 43
Kurt Von Mettenheim, ed., “Presidential Institutions and Democratic Politics,” dalam
Elgie, ed., Divided Government, 2. 44
Matthew Soberg Shugart, “The Electoral Cycleand Institutional Sources of Divided
Presidential Government,” American Political Science Review, Vol 89, No 2, (Juni 1995): 327.
45
Berbeda dengan pesimisme Mathew Shugart terhadap perkembangan studi
mengenai divided government, Robert Elgie memberikan terobosan studi
mengenai klasifikasi divided government dalam berbagai sistem pemerintahan
seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini, meskipun disadari bahwa peluang
munculnya divided government lebih besar terjadi dalam sistem presidensial
ketimbang parlementer.45
Tabel II.D.1
Divided government dalam Berbagai Jenis Sistem Pemerintahan
Sistem Bentuk divided government
Presidensial Partai oposisi pemerintah memiliki kekuatan
mayoritas di legislatif.
Parlementer Pemerintah (Perdana Menteri) gagal melakukan
instuksi untuk memerintah mayoritas kursi di
legislatif.
Sumber: Elgie, Divided Goverment, 12.
Dalam sistem presidensialisme, divided government selalu dicirikan dengan
adanya presiden minoritas, Cheibub mendefinisikan presiden minoritas sebagai
kondisi ketika partai presiden tidak dapat mengontrol lebih dari 50% kursi di
legislatif,46
dan seringkali ini dijadikan satu indikator analisis sering terjadinya
deadlock, seperti yang dipaparkan Cheibub dalam tulisannya.
“In the comparative literature, it is often assumed that whenever the
presidency and congress are controlled by different parties deadlock will
occur. Several analyses of presidentialism use divided government as an
indicator of deadlock.” (Diterjemahkan penulis: Dalam literatur
perbandingan, sering diasumsikan bahwa setiap kali presiden dan kongres
(legislatif) dikendalikan oleh pihak yang berbeda maka deadlock akan
45
Elgie, ed., Divided Goverment, 12. 46
Cheibub, “Minority Presidents,” 18.
46
terjadi. Beberapa analisis menggunakan divided government sebagai
indikator terjadinya deadlock dalam sistem presidensial.) 47
Hal tersebut seperti layaknya kecemasan yang diutarakan oleh Scott Mainwaring
ketika berbicara mengenai kekhawatiran potensi deadlock dalam kombinasi
sistem presidensialisme-multipartai.
Kekhawatiran deadlock dalam sistem presidensial secara lebih luas
sebetulnya sudah diprediksi oleh Scott Mainwating dan Juan Linz yang dipandang
dari sudut kelembagaan. Namun Cheibub memiliki pendapat bahwa potensi
deadlock tidak sesederhana yang dikatakan Linz dan Mainwaring, menurutnya hal
itu harus memperhitungkan penjelasan lain dari sistem politik dari sekedar
karakter presiden dan jumlah partai. Mengingat, deadlock dalam sistem
presidensialisme sering dihubungkan dengan jabatan presiden untuk waktu yang
tetap dan kewenangan veto yang melekat dalam Presiden.48
Dalam studi
presidensialisme, deadlock sering didefinisikan sebagai situasi yang berkaitan
dengan produksi hukum di legislatif. Dalam situasi kebuntuan, presiden mungkin
akan mencoba untuk memveto semua hukum atau legislatif memutuskan untuk
tidak meloloskan hukum yang dibawa eksekutif serta berdampak pada penurunan
produksi hukum.49
Mengenai veto dalam konteks Indonesia, bisa dilihat dari
proses yang terjadi dalam perumusan Undang-Undang, khususnya dalam pasal 22
(2) UUD 1945 yang mengharuskan Presiden dan DPR untuk duduk bersama.
Sehingga veto yang terjadi dimungkikan saat Presiden menolak untuk mengikuti
47
Jose Antonio Cheibub, “Divided Government, Deadlock and the Survival of Presidents
and Presidential Regimes,” The Paper for presented at Conference Constitutional Design 2000,
Center for Continuing Education, University of Notre Dame, 11 December 1999, 4. 48
Leiv Marsteintredet, Political institutions and Their Effect on Democracy in the
Dominican Republic (Tesis Master di University of Bergen, 2004), 24. 49
Levi, Political Institutions, 54.
47
pembahasan tersebut, karena dengan penolakan tersebut membuat sebuah
Rancangan Undang-Undang gagal untuk dibahas. Meskipun veto tersebut berbeda
dengan yang terjadi di banyak negara.50
Sehingga jika asumsi keadaan deadlock
itu didasarkan oleh adanya veto, maka dalam konteks Indonesia deadlock bisa
diartikan dari penolakan eksekutif untuk duduk bersama legislatif dalam
membahas Rancangan Undang-Undang (RUU). Karena dengan begitu, proses
perencanaan kebijakan menjadi terhambat karena tidak sesuai dengan mekanisme
yang tertuang dalam pasal 22 (2) UUD 1945.
Menurut Cheibub, jika deadlock menjadi hal yang tidak diharapkan maka
partai presiden harus memiliki representasi dukungan lebih dari 50% di kedua
kamar (bikameral), atau ketika oposisi mempunyai lebih dari mayoritas dua
pertiga di kedua kamar (bikameral). Meskipun dalam konteks Indonesia sistem
bikameral tidak menunjukan adanya peran yang seimbang, mengingat Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) tidak memiliki peran yang signifikan dalam proses
perumusan Undang-Undang. Namun klasifikasi Cheibub dibawah ini menurut
penulis masih bisa digunakan untuk menjelaskan relasi eksekutif dan legislatif di
Indonesia dengan mengabaikan adanya klasifikasi upper house dan lower house.
50
Dalam konteks presidensialisme di Amerika Serikat, Presiden memiliki kekuasaan veto,
yakni kekuasaan untuk menganulir sebuah UU. Beberapa kekuasaan veto tersebut diantarannya:
(1) Partial Veto yakni bentuk peyampaian memorandum keberatan presiden terhadap beberapa
ketentuan RUU, (2) Package Veto yakni berupa penolakan presiden untuk memberlakukan suatu
RUU secara keseluruhan dan (3) Pocket Veto yakni bentuk penolakan presiden untuk
menandatangani suatu RUUU yang sudah disetujui oleh legislatif. Namun dalam konteks
presidensialisme di Indonesia, Presiden tidak memiliki ketiga hak veto tersebut. Tetapi mekanisme
kelembagaan antara eksekutif dan legislatif mengharuskan adanya pembahasan bersama dari awal
sampai akhir dalam sebuah proses Rancangan Undang-Undang. Mekanisme pembahasan bersama
antara eksekutif dan legislatif yang tidak dimiliki dalam desain konstitusional di Amerika Serikat.
Lihat, Burhanuddin Muhtadi, Perang Bintang 2014; Konstelasi dan Prediksi Pemilu (Jakarta:
Noura Book, 2013), 188.
48
Tabel II.D.2
Veto dalam Sistem Presidensial
Sumber: Cheibub, Minority Presidents, 23.
Menurut tabel diatas, untuk mencapai president rules dan menghindari
terjadinya veto, maka dimungkinkan presiden memiliki koalisi yang berdampak
pada bagi-bagi kursi yang dilakukan oleh partai presdien diatas 50%, angka
tersebut menjadi indikator penting, mengingat dalam lembaga legislatif berlaku
mekanisme collective collegial yang membuat proses kesepakatan mengharuskan
adanya dukungan diatas 50% suara, terlebih apabila keputusan tersebut diambil
melalui mekanisme voting. Sehingga dengan sendirinya kebijakan presiden
dimungkinkan akan menghadapi tantangan di legislatif apabila tidak memiliki
dukungan yang mencapai 50% suara, begitupun juga sebaliknya dalam proses
Rancangan Undang-Undang yang diajukan legislatif juga harus melalui proses
duduk bersama dengan eksekutif, sehingga keduanya berada dalam posisi saling
membutuhkan. Oleh karenanya, veto dalam konteks Indonesia bisa dilakukan oleh
eksekutif maupun legislatif dengan cara untuk tidak bersedia hadir dalam proses
pembahasan bersama.
49
Menurut Robert Elgie, divided government bisa terjadi karena dua
pendekatan yang mempengaruhinya, yakni (1) pendekatan perilaku pemilih (2)
pendekatan institusional.51
Perbedaan diantara keduanya berkisar pada mekanisme
yang terjadi bagi munculnya divided government, bagi pendekatan perilaku,
munculnya divided government terjadi karena perilaku pemilih dalam sebuah
negara dalam pemilu memilih dua partai yang berbeda pada saat pemilu legislatif
dan pemilu presiden, Amerika Serikat adalah contoh yang tepat guna menjelaskan
dalam konteks ini. Berbeda hal dengan pendekatan institusional yang menjelaskan
bahwa divided government lebih karena persoalan sistem yang menyebabkan hal
tersebut terjadi, seperti sistem pemilu, mekanisme pemilihan pimpinan kongres,
dan koalisi.52 Bagi Elgie, kasus divided government seringkali dikaitkan dengan
situasi krisis serta ketegangan dan tensi politik yang tinggi sehingga menimbulkan
momentum untuk melakukan reformasi di bidang politik.53
Menurut Jeffrey Fine, pasca Perang Dunia II fenomena divided government
sudah menjadi hal umum, namun tingkat perselisihan antara eksekutif dan
legislatif terjadi dengan beberapa bervariasi.54
Salah satu variasi adalah
perselisihan yang mungkin terjadi karena adanya perbedaan pandangan secara
ekstrim antara dua kelompok berbeda yang menguasai eksekutif dan legislatif
yang bisa berujung pada kemacetan dalam proses pengambilan keputusan.
Namun, Jeffrey Fine yang turut andil dalam perdebatan mengenai topik ini
51
Elgie, ed., Divided Goverment, 214. 52
Elgie, ed., Divided Goverment, 214-219. 53
Elgie, ed., Divided Goverment, 221-222. 54
Jeffrey A. Fine, “The Problem of Divided Government in an Era of Polarized Parties,”
Clemson, South Carolina: Balance of Power Between Congress and the President, 31.
50
memiliki kesimpulan berbeda dengan teoritisi yang disebutkan diatas.
Menurutnya divided government yang selalu dianggap mengakibatkan hubungan
politik yang buruk antara presiden dan legislatif belum teruji secara empiris,
meskipun dirinya tetap meyakini bahwa potensi ketegangan dalam divided
government itu selalu ada.55
Sebagaimana yang paparkan oleh Mayhew dalam
perhatiannya selama periode 1946-2002, bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara jumlah undang-undang yang disahkan di negara yang mengalami
kondisi divided government. Sehingga, berbeda dengan asumsi pada umumnya,
Mayhew berpandangan bahwa divided government tidak selalu menyajikan
lingkungan politik yang merugikan antara presiden dan legislatif.56
Hal yang
sama juga dipaparkan oleh Scott Morgenstern dan Pilar Domingo yang
mengatakan bahwa eksekutif dan legislatif dalam aktivitasnya akan selalu
menghindari kemacetan untuk melindungi kepentingannya masing-masing.57
Oleh karenanya, bisa dilihat bahwa pandangan di kalangan ilmuan politik
mengenai apakah divided government selalu menghasilkan dampak buruk
keberlangsungan pemerintahan pada dasarnya juga tidak ada ketidaksamaan
pendapat. Oleh karenanya dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk masuk
dalam perdebatan tersebut guna membuktian terhambat atau tidaknya relasi
eksekutif dengan legislatif pada periode divided government dalam pemerintahan
Joko Widodo – Jusuf Kalla.
55
Fine, “The Problem of Divided Government,” 33. 56
David R. Mayhew, “Divided We Govern: Party Control, Lawmaking and Investigations,
1946-2002,” dalam Fine, “The Problem of Divided Government,” 33. 57
Scott Morgenstern dan Pilar Domingo, “The Success of Presidentialism? Breaking
Gridlock in Presidential Regime,” Working Paper, Mexico: CIDE, 1997, 97.
51
BAB III
KONFIGURASI TERBENTUKNYA PEMERINTAHAN JOKO WIDODO –
JUSUF KALLA DALAM SISTEM PRESIDENSIALISME-MULTIPARTAI
A. Perkembangan Sistem Presidensialisme di Indonesia
Salah satu amanat reformasi yang tak bisa diabaikan adalah dengan adanya
penguatan sistem presidensial di Indonesia,1 meskipun unsur presidensialisme
sudah ada dalam UUD 1945 sebelum diamandemen namun prinsip check and
balances tidak berlaku karena adanya dominasi presiden yang terlalu besar dalam
relasi eksekutif dan legislatif, karena saat itu sebagian anggota DPR dan MPR
pada saat era Orde Baru diangkat oleh Presiden sehingga tidak ada peluang bagi
adanya kontrol legislatif terhadap eksekutif (executive heavy).2 Sebagai bentuk
evaluasi terhadap sistem presidensial maka proses pemilihan eksekutif dan
legislatif dilakukan secara langsung dan terpisah adalah keniscayaan. Selain itu
dalam konteks Indonesia, produk amandemen UUD 1945 yang membatasi masa
jabatan presiden dan pengalihan kekuasaan legislasi dari Presiden ke DPR sebagai
warisan semangat reformasi dimaksudkan sebagai upaya penguatan sistem
presidensial murni seperti yang sudah dijelaskan dalam bab II. Ketika UUD 1945
belum diamandemen, corak pemerintahan Indonesia terlihat semu dan dalam
prakteknya lebih mendekati sistem parementer.3 Hal tersebut terlihat dengan
mekanisme pemberhentian presiden yang lebih disebabkan atas dasar
1 Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, (Bandung:
Mizan, 2007), 337. 2 Syamsuddin Harris, Praktek Parlementer Demokrasi Presidensial di Indonesia,
(Yogyakarta: Penerbit Andi, 2014), 102. 3 Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati; dari Dilema ke Kompromi, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2010), 2.
52
pertimbangan politis. Seperti kasus pemberhentian Presiden Soekarno yang
diawali dengan permintaan Pimpinan DPR kepada Presiden agar mengundurkan
diri. Pemberhentian Presiden Soekarno juga berawal dari permintaan DPR kepada
MPR untuk melaksakan Sidang Istimewa agar meminta pertanggungawaban
Presiden. MPR akhirnya mencabut mandat Presiden Soekarno sesuai resolusi
DPR. Sama halnya dengan pemakzulan Presiden Abdurahman Wahid melalui
Sidang Istimewa MPR yang dipandang hanya formalitas prosedur sekadar
mengesahkan pandangan di DPR. Tak bisa dipungiri semua presiden yang
berkuasa saat sebelum amandemen UUD 1945 diberhentikan karena alasan politik
yang diinisiasi oleh DPR.4 Sistem pemerintahan Indonesia sebelum amandemen
UUD 1945 juga mengharuskan Presiden bertanggngjawab kepada MPR serta
melaksanakan tugas sesuai dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
yang ditetapkan MPR, melalui kontruksi tersebut seringkali Presiden disebut
sebagai mandataris MPR, saat itu juga tak mengenal istilah oposisi.5 Namun pada
saat Orde Baru, komposisi legislatif adalah hal yang by design, karena sebagian
anggota DPR dan MPR pada saat itu diangkat oleh Presiden.
Berbeda dengan hal tersebut, konstitusi hasil amandemen memutarbalikan
itu semua dengan memperkuat sistem presidensialisme dan reformasi sistem
kelembagaan di Indonesia guna memperkuat prinsip check and balances untuk
menghindari kewenangan yang tumbang tindih seperti yang terjadi saat Orde Baru
antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sebagaimana yang digambarkan
oleh Kawamura bahwa antara ekesektiif, legislatif dan yudikatif berada dalam
4 Yuda, Presidensialisme Setengah Hati, 3.
5 Yuda, Presidensialisme Setengah Hati, 3.
53
posisi yang sejajar dan tidak bisa saling menjatuhkan.6 Dibawah ini adalah sistem
politik di Indonesia setelah amandemen UUD 1945 yang digambarkan oleh
Kawamura:
Gambar III.A.1
Sistem Politik Indonesia Setelah Amandemen UUD 1945
Sumber: Kawamura, Is Indonesian President strong or weak?, 9.
Selain itu, amandemen UUD 1945 tidak hanya mengubah sistem politik di
Indonesia, namun juga ada perubahan mengenai regulasi pembatasan waktu
kekuasaan presiden yang hanya 5 tahun untuk batas maksimal 2 periode
kepemimpinan, serta memperluas otoritas DPR dalam proses legislasi, terutama
dalam relasi dengan eksekutif. DPR juga memiliki otoritas kontrol terhadap
Presiden melalui pelembagaan hak yakni hak interpelasi, hak angket dan hak
6 Koichi Kawamura, “Is the Indonesian President Strong or Weak?,” Institute of Developing
Economies Discussion, No 235, Japan, Mei 2010, 9-10.
54
menyatakan pendapat (Pasal 20A ayat 2). Tabel dibawah ini adalah perbandingan
UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen.
Tabel III.A.1
Perbandingan UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen
No Unsur Sebelum Amandemen Sesudah Amandemen
1 Locus
Kedaulatan
Berada di tangan rakyat,
dilakukan oleh MPR
Berada di tangan rakyat,
dilakukan menurut UUD
2 Masa Jabatan
Presiden
bersifat tetap
Lima tahun dan dapat
dipilih kembali (tanpa
kejelasan berapa kali)
Lima tahun dan dapat dipilih
kembali untuk satu kali masa
jabatan
3 Pemilihan
Presiden dan
Wapres
Dilakukan oleh MPR Dipilih secara langsung oleh
rakyat
4 Kedudukan
menteri
Pembantu Preisiden,
diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden
Tetap
5 Kekuasaan
membentuk
UU
Berada di tangan Presiden
atas persetujuan DPR
Berada di tangan DPR atas
persetujuan Presiden
6 Kekuasaan
Kehakiman
Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh MA menurut
UU
Kekuasaan kehakiman
bersifat merdeka, dilakukan
oleh MA dan MK
7 Kekuasaan
MPR
Memilih Presiden dan
wapres, menetapkan GBHN,
menetapkan UUD
Kecuali menetapkan UUD,
kekuasaan MPR yang lain
dihapus
8 Hubungan
Presiden-
DPR
Presidenn tidak dapat
membubarkan DPR dan
sebaliknya
Tetap
9 Fungsi
pengawasan
DPR
Tidak ada DPR memiliki hak
interpelasi, angket dan
menyatakan pendapat
10 Pemakzulan DPR bisa mengusulkan
pemakzulan Presiden
kepada MPR atas dasar
pertimbangan politik
DPR bisa mengusulkan
pemakzulann Presiden
kepada MPR tetapi hanya
atas dasar pertimbangann
hukum dari MK
11 Pembatasan
kekuasaan
Presiden
1. Pengangkatan duta dan
penerimaan duta negara
lain tanpa konfirmasi
DPR
2. Otoritas Presiden dalam
1. Pengangkatan duta dan
penerimaan duta negara
lain melalui pertimbangan
DPR
2. Pemberian amnesti dan
55
pemberian amnesti dan
abolisi tanpa konfirmasi
DPR
3. Otoritas Presiden dalam
pemeberiann grasi dan
rehabilitasi tanpa
konfirmasi MA
4. Pengaturan BPK
ditetapkan UU
abolisi melalui
pertimbangan DPR
3. Pemberian grasi dan
rehabilitasi melalui
pertimbangan MA
4. Pemilihan anggota BPK
melalui pertimbangan
DPD
Sumber: Harris, Praktik Parlementer, 99.
Atas dasar amandemen UUD 1945 maka pelaksanaan Pemilu Presiden dan
Pemilu Legislatif secara langsung di era reformasi menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam memperkuat sistem presidensial meskipun penguatan tersebut
masih dalam perdebatan, karena masih adanya anggapan bahwa presidensialisme
yang dianut di Indonesia cenderung setengah hati karena adanya kewenangan
eksekutif (dalam aturan main sistem presidensial murni) yang dipangkas oleh
legislatif seperti perluasan otoritas DPR dalam memilih anggota lembaga negara
seperti BPK, Gubernur Bank Indonesia, KPK, KPU, Komnas HAM dan lain-lain
yang dalam praktinya justru melebihi desain konstitutional sistem presidensial
murni seperti yang sudah dijelaskan dalam bab II.7
Tak hanya itu, kewenangan DPR juga tampak dalam keterlibatannya dalam
proses perumusan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), keterlibatan
DPR dalam APBN menjadi urgent karena DPR yang menjadi penentu akhir
7 Dalam kerangka sistem presidesialisme murni, seharusnya wewenang dalam menentukan
pejabat lembaga negara seperti Gubernur Bank Indonesia, KPK, KPU, Kapolri, Komnas HAM dll
diserahkan sepenuhnya atau hak prerogatif presiden. Dalam konteks Indonesia, pengangkatan
pejaban-pejabat tersebut harus melalui restu DPR yang dalam hal ini justru mereduksi kewenangan
Presiden itu sendiri sebagai pelaksana tugas Negara, terlebih hal tersebut menjadi tambah
problematik karena DPR dihuni oleh banyak partai (sistem multipartai) yang menyebabkan
kegaduhan-kegaduhan karena ada banyak beragam kepentingan yang terhimpun di lembaga
legislatif. Lihat, Yuda, Presidensialisme Setengah Hati, 5.
56
struktur anggaran negara yang diajukan pemerintah. Sehingga pemerintah
seringkali tidak berkutik saat ada perubahan rencana alokasi APBN yang datang
dari DPR.8 Menurut Syamsuddin Harris, format baru relasi Presiden-DPR pasca
amandemen UUD 1945 yang sarat dengan DPR-heavy menjadi problematik
karena menyimpan potensi konflik antara eksekutif dan legislatif dan berdampak
pada tidak efektifnya sistem pemerintahan.9 Hanta Yuda menyebutnya sebagai
sistem presidensial yang tepurifikasi atau „presidensialisme setengah hati‟.10
Kondisi DPR-heavy tersebut menjadi tambah problematik karena Indonesia
menganut sistem multipartai, menurut Hamdi Muluk, sistem multipartai
mengindikasikan ada banyak kepentingan yang terhimpun di DPR, kepentingan
tersebut yang harus ditampung oleh Presiden guna mendapatkan restu DPR dalam
menjalankan program kerjanya, sehingga membuat sistem presidensial di
Indonesia menjadi problematik.11
Terlepas dari perdebatan relasi kelembagaan tersebut, kita perlu bersyukur
bahwa Indonesia dalam upaya penguatan sistem presidensial, telah melewati
beberapa proses pemilihan Presiden secara langsung pada tahun 2004, 2009, dan
2014, hal yang sebelumnya sangat sulit dilakukan sebelum adanya amandemen
UUD 1945. Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab II bahwa proses
pemilihan Presiden secara langsung adalah salah satu ciri yang tak bisa dipisahkan
dalam sistem presidensial, berbeda hal dengan sistem parlementer yang mana
8 Harris, Praktik Parlementer, 106.
9 Harris, Praktik Parlementer, 107.
10 Yuda, Presidensialisme Setengah Hati, 1.
11 Wawancara dengan Hamdi Muluk, Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia
dan Ketua Perhimpunan Survey Opini Publik Indonesia (PERSEPI), tanggal 3 Maret 2015.
57
kepala pemerintahan atau perdana menteri dipilih oleh parlemen, perbedaan
tersebut yang seringkali meresahkan bagi ilmuan politik seperti Juan Linz, yang
menilai sistem presidensial sebagai ‘dual democratic legitimacy’ atau legitimasi
demokrasi ganda karena eksekutif dan legislatif sama-sama dipilih oleh rakyat.12
Selain itu, perkembangan sistem presidensialisme di Indonesia era reformasi
juga sering memunculkan presiden dengan dukungan minoritas jika dilihat dari
preferensi seorang presiden terhadap jumlah kursi partainya di legislatif (the
rulling party). Misalnya di pemilu 2004 saat Susilo Bambang Yudhoyono
memenangkan Pilpres namun partainya hanya memiliki 55 kursi di DPR,
sedangkan tiga partai yang mengusungnya yakni PKS, PBB dan PKPI masing-
masing hanya memiliki 45 kurrsi, 11 kursi dan 1 kursi. Jika ditotal maka jumlah
basis dukungan hanya 113 dari 550 kursi atau 20,5 %.13
Dengan kondisi tersebut
maka SBY membuka peluang koalisi bagi partai-partai lain untuk bergabung ke
dalam kabinet, hal tersebut disadari guna mengamankan kebijakan-kebijakannya.
Keterbukaan dan sikap kompromi SBY menghasilkan tergabungnya Golkar (128
kursi), PPP (58), PAN (53), dan PKB (52) yang secara total jumlah pendukung
pemerintah (the rulling coalition parties) mencapai 403 kursi atau 73,4%.
Sehingga SBY yang awalnya merupakan Presiden dengan kekuatan minoritas di
legislatif berubah secara total menjadi Presiden dengan kekuatan mayoritas. Hal
tersebut terjadi berkat sikap kompromi SBY untuk mengajak partai politik untuk
bergabung ke dalam koalisi pemerintahan. Dengan begitu maka, feedback yang
12
Juan Linz, “Presidential or Parliamentary Democracy: Does it Make a Difference,” dalam
Juan Jose Linz dan Arturo Valenzuela, ed., The Failure of Presidential Democracy: Comparative
perspective (Baltimore, Maryland: John Hopkins University, 1994), 6. 13
Harris, Praktek Parlementer, 150.
58
diperoleh SBY yakni tingginya dukungan legislatif terhadap kebijakannya, 14
terlepas dari ketidakstabilan partai koalisi pada pemerintahan SBY.
Sama halnya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu
2009 yang mana Partai Demokrat (the ruling party) hanya mendapatkan 150 kursi
atau 26,4%. Namun lagi-lagi SBY berusaha membangun kekuatan koalisi
presidensial dengan mengajak banyak partai untuk bergabung di pemerintahan
guna memperoleh dukungan kebijakan di lembaga legislatif. Dari yang semula
menperoleh kekuatan minoritas di parlemen, SBY memperoleh kekuatan
tambahan dengan merangkul banyak partai seperti Golkar (107 Kursi), PPP (37),
PAN (43), PKS (57) dan PKB (27) sehingga kekuatannya mencapai 421 kursi
atau 75,1% dukungan di legislatif (the ruling coalition parties). Namun dalam
melihat kasus presiden minoritas dalam penelitian ini, penulis tidak mengacu pada
preferensi seorang presiden terhadap partainya sendiri (the ruling party), tetapi
berdasarkan kacamata koalisi presidensial atau perpaduan antara partainya
presiden dengan partai pendukungnya (the ruling coalition parties). Berbeda
dengan realitas yang terjadi sebelumnya, pemerintahan Joko Widodo justru
menghasilkan partai koalisi pemerintahan (the ruling coalition parties) dibawah
single majority atau terjadi divided government.
Atas dasar tersebut, selanjutnya penulis akan menjelaskan konfigurasi
politik terbentuknya pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla sebagai hasil dalam
pemilu 2014 yang dilakukan melalui dua tahap yakni, pertama adalah pemilu
legislatif yang dilakukan pada 9 April 2014 dan kedua adalah pemilu presiden
14
Harris, Praktek Parlementer, 150.
59
pada 9 Juli 2014. Penjelasan tersebut dimaksudkan untuk memahami proses
mengapa sampai pada akhirnya fenomena divided government terjadi pada
pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla, sebagaimana yang diutarakan oleh
Robert Elgie bahwa peluang terjadinya divided government lebih besar terjadi
dalam sistem presidensial.15
Sehingga Indonesia sebagai negara yang menganut
sistem presidensial besar kemungkinan terjadi divided government terlebih
dikombinasikan dengan sistem multipartai, pemerintahan Joko Widodo – Jusuf
Kalla adalah contoh terbaik dalam penjelasan tersebut.
B. Konfigurasi Politik Pemilihan Legislatif 2014
Setelah Pemilu 2004 dan 2009, kombinasi sistem presidensial - multipartai
kembali mengalami pengujiannya di pemilu 2014.16
Sama dengan proses pemilu
sebelumnya, proses pemilihan legislatif 2014 di Indonesia berlangsung secara
terpisah dengan pemilihan Presiden, hal tersebut berdasarkan pada UU No.22
Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.17
Namun sebelum
terselenggaranya Pileg 2014, Yusril Ihza Mahendra mengajukan Judicial Review
kepada Mahkamah Konstitusi terhadap UU No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden terkait upaya pembatalan aturan Presidential
Threshold yang sebelumnya juga pernah diajukan oleh Effendy Ghazali dan
15
Robert Elgie, ed., Divided Government in Comparative Perspective (New York: Oxford
University Press Inc, 2001), 12. 16
Untuk mengetahui hasil penelitian sistem presidensialisme di Indonesia sebelum pemilu
2014. Lihat, Hanta Yuda, Presidensialisme Setengah Hati; dari Dilema ke Kompromi, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2010) , Syamsuddin Harris, Format Baru Relasi Presiden-DPR dalam
Demokrasi Presidensial di Indonesia pasca Amandemen Konstitusi (2004-2008), Disertasi
Doktoral di FISIP Universitas Indonesia. Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai
di Indonesia; Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks
Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 2014). 17
Lihat Pasal 1 Ayat 2 dan 3 dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 22 Tahun
2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
60
permohonan tersebut dikabulkan oleh Hakim Konstitusi, namun permohonan
tersebut berlaku mulai pada pemilu 2019.18
Sehingga secara tak langsung pemilu
2019 akan berlangsung secara serentak antara pemilihan legislatif dan pemilihan
presiden, namun pemilu 2014 tetap berpedoman pada regulasi yang tersedia
dalam UU No 22 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum.19
Seiring adanya pemilihan yang terpisah antara Presiden dan Legislatif
sebagaimana yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pemilu
2014, Pemilihan Legislatif berlangsung secara bersamaan antara pemilihan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
karena sebagaimana yang diketahui, Indonesia menganut sistem pelembagaan
legislatif dua kamar atau bikameral. Sistem bikameral pada dasarnya juga dianut
oleh beberapa negara seperti Amerika Serikat yang terdiri dari House of
Representative dan Senator, demikian juga yang terjadi pada parlemen di Inggris
yang terbagi menjadi dua kamar yakni House of Lords (Majelis Tinggi) dan
House of Commons (Majelis Rendah).20
Keberadaan sistem dua kamar dalam konteks Indonesia merupakan produk
amandemen UUD 1945 yang menghasilkan lembaga baru yang dinamakan
Dewan Pimpinan Daerah (DPD). Pada dasarnya DPD dibentuk untuk memperkuat
peran daerah dalam proses penyelenggaraan negara dan dalam proses pemilihan
18
“Gugatan UU Pilpres Dikabulkan, Pemilu Serentak 2019,” Kompas, 23 Januari 2014
http://nasional.kompas.com/read/2014/01/23/1504396/Gugatan.UU.Pilpres.Dikabulkan.Pemilu.Ser
entak.2019 Diunduh pada 5 April 2015. 19
“Ini Alasan MK Putuskan Pemilu Serentak 2019,” Kompas, 23 Januari 2014
http://nasional.kompas.com/read/2014/01/23/1536382/Ini.Alasan.MK.Putuskan.Pemilu.Serentak.2
019 Diunduh pada 5 April 2015. 20
Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen
UUD 1945 (Jakarta: Penerbit Konpress, 2012), 147.
61
anggotanya dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu dan tiap provinsi memiliki
jumlah yang sama dengan ketentuan jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari
sepertiga jumlah anggota DPR.21
Namun kewenangan DPD seringkali dipandang
terbatas dan tidak seimbang bila dibanding kewenangan DPR.22
Dengan demikian
pasca amandemen UUD 1945, posisi MPR hanyalah bertindak sebagai just
session antara DPR dan DPD dan bukanlah lembaga yang mandiri.23
Kontestasi pemilihan legislatif dimulai saat Komisi Pemilihan Umum pada
tanggal 8 Januari 2013 menetapkan jumlah partai politik peserta pemilu 2014
hanya ada 10 partai, namun keputusan tersebut tidaklah final.24
Proses
penyeleksian tersebut dimulai sejak tanggal 7 September 2012 saat Komisi
Pemilihan Umum mengumumkan partai politik yang mendaftar pemilu sebanyak
46 partai politik. Dari 46 parpol tersebut, sebanyak 12 parpol dinyatakan tidak
memenuhi persyaratan. Dengan demikian, terdapat 34 parpol yang dinyatakan
terdaftar dan dapat melengkapi dokumen persyaratan.25
21
Siahaan, Politik Hukum, 323. 22
Kewenangan DPD dalam penyelenggaraan pemerintahan diantaranya melakukan
pengawasan seara khusus atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabubangan daerah, hubungan pusat dan daerah. Dan hasil pengawasan
tersebut disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Lihat, Pasal
22D ayat 3 UUD Republik Indonesia, dalam Siahaan, Politik Hukum, 323. 23
Siahaan, Politik Hukum, 321. 24
Sesuai Pasal 259 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 269 Undang-Undang Nomor 8 tahun
2012 tentang Pemilu, keputusan KPU itu dapat berubah, apabila ada keputusan dari lembaga
sengketa penyelenggaraan pemilu seperti Bawaslu, atau Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PTTUN), atau Putusan Mahkamah Agung (MA) Lihat, “KPU Tetapkan 10 Parpol Peserta
Pemilu 2014,” Suara KPU, edisi Januari 2013, 4. 25
“Keberanian KPU Menegakkan Peraturan dalam Penetapan Peserta Pemilu,” Suara KPU,
Edisi September 2012, 4.
62
Selanjutnya pada tanggal 28 Oktober 2012, KPU mengumumkan 16 partai
yang lolos verifikasi administrasi dan akan menjalani verifikasi faktual.26
Pada
perkembangannya, sesuai dengan keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilihan Umum, verifikasi faktual juga dilakukan terhadap 18 partai yang tidak
lolos verifikasi administrasi. Hasil dari verifikasi faktual ini ditetapkan pada
tanggal 8 Januari 2013, KPU menetapkan 10 partai sebagai peserta Pemilu 2014.27
Dalam perkembangan berikutnya, keputusan KPU tersebut digugat ke Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN). Namun hanya ada dua partai yang dikabulkan
gugatannya oleh PTUN yaitu Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia. KPU mengabulkan putusan PTUN tersebut dan menetapkan
kedua partai tersebut menjadi peserta Pemilu Legislatif 2014.28
Sehingga
pemilihan legislatif 2014 dilakukan sebanyak 12 partai politik yakni PDI-
Perjuangan, Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, PAN, PKS, Nasdem, PPP,
Hanura, PKPI dan PBB.
Pemilu legislatif yang dilakukan pada 9 April 2014 menunjukan bahwa
PDI Perjuangan berhasil meraih suara terbesar dengan 18.95% suara, diikuti oleh
Partai Golkar dengan suara 14 % di posisi kedua, lalu Gerindra dengan 11% di
posisi ketiga, selanjutnya Partai Demokrat di posisi keempat dengan 10%, di
26
“Hasil Verifikasi Adminstrasi Kelengkapan Syarat Partai Politik Sebagai Calon Peserta
Pemilu DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota Tahun 2014,” Komisi Pemilihan Umum
Repubik Indonesia, www.kpu.go.id/dmdocuments/Parpol_Lolos.pdf, Diunduh pada 4 Maret 2015. 27
“Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Nomor: 5/kpts/KPU/Tahun
2013, Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014,” Komisi Pemilihan
Umum Repubik Indonesia, www.kpu.go.id/dmdocuments/(9.1.2013)%2005%20S K%20Ketua.pdf,
Diunduh pada 4 Maret 2015. 28
“Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Nomor: 166/kpts/KPU/Tahun
2013, Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014,” Komisi Pemilihan
Umum Republik Indonesia, www.kpu.go.id/dmdocuments/Kpts%20166-2013.pdf, Diunduh pada 4
Maret 2015.
63
posisi kelima ada PKB dengan 9%, di posisi keenam ada PAN dengan 7,6%,
kemudian ada PKS, Nasdem, PPP dan Hanura dengan 6,8 %, 6,7%, 6,5% dan
5,3%.29
Dengan menyisihkan PBB dan PKPI sebagai partai yang tidak memenuhi
ambang batas parlemen 3,5% (Parliamentary Treshold), sehingga tidak bisa
menaruh wakil-wakilnya di Parlemen.30
Berikut adalah grafik hasil pemilihan
legislatif 2014.
Gambar III.B.1
Hasil Pemilihan Legislatif 2014
Sumber: kpu.go.id
Setelah melalui proses penghitungan akhirnya ditetapkan bahwa PDI-P berhasil
memperoleh kursi dewan yang terbanyak. Diikuti oleh Golkar, Gerindra dan
29
“Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 412/Kpts/KPU/ Tahun 2014
Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014 yang Memenuhi dan
Tidak Memenuhi Ambang Batas Perolehan Suara Sah Partai Politik Peserta Pemilu Secara
Nasional Dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 2014,”. Komisi
Pemilihan Umum Republik Indonesia, http://www.kpu.go.id/koleksigambar/952014_SK_K
PU_412.pdf. diunduh pada 1 Desember 2014. 30
“Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 412/Kpts/KPU/ Tahun 2014
Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014 yang Memenuhi dan
Tidak Memenuhi Ambang Batas Perolehan Suara Sah Partai Politik Peserta Pemilu Secara
Nasional Dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 2014,” Komisi
Pemilihan Umum Republik Indonesia, http://www.kpu.go.id/koleksigambar/952014_SK_
KPU_412.pdf. diunduh pada 1 Desember 2014.
64
Partai Demokrat di posisi dua, tiga dan empat.31
Tabel dibawah ini adalah
komposisi jumlah kursi anggota dewan masing-masing partai politik yang lolos
parliamentary threshold.
Tabel III.B.1
Jumlah Kursi Partai Politik Hasil Pemilihan Legislatif 2014
Partai Politik Jumlah Kursi
PDI-Perjuangan 109 Kursi
Golkar 91 kursi
Gerindra 73 Kursi
Demokrat 61 Kursi
PKB 47 Kursi
PAN 49 Kursi
PKS 40 Kursi
Nasdem 35 Kursi
PPP 39 Kursi
Hanura 16 Kursi
Jumlah 560 Kursi
Sumber: diolah dari kpu.go.id
Setelah pemilihan dan pengumuman pemilihan legislatif diputuskan Komisi
Pemilihan Umum, partai politik sibuk beramai-ramai untuk menentukan kekuatan
menjelang pemilihan presiden. Polarisasi koalisi yang terjadi terbentuk
berdasarkan dua kelompok yakni Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah
Putih. Koalisi tersebut didasarkan pada preferensi dukungan calon presiden dan
wakil presiden yang mana Koalisi Indonesia Hebat mengusung pasangan Joko
31
“Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor: 416/kpts/KPU/Tahun 2014 Tentang
Penetapan Perolehan Kursi Partai Politik daan Penetapan Calon Terpilih Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Pemilihan Umum 2014,” Komisi Pemilihan Umum Republik
Indonesia, www.kpu.go.id/.../SK_KPU_416_Penetapan_Kursi_Calon_Terpilih_ 1452014.pdf
Diunduh pada 2 Januari 2015.
65
Widodo – Jusuf Kalla dan Koalisi Merah Putih mengusung pasangan Prabowo
Subianto – Hatta Rajasa.32
Polarisasi koalisi tersebut tak hanya terjadi pada saat pemilihan presiden
namun juga berdampak pada pembelahan yang terjadi di DPR dan berujung pada
kegaduhan politik dalam rangkaian sidang paripurna sebelum dan sesudah
pemilihan presiden. Tabel dibawah ini adalah komposisi koalisi di DPR pasca
pemilu 2014.
Tabel III.B.2
Polarisasi Dua Koalisi di DPR setelah Pileg 2014 dan Sebelum Pilpres 2014
Koalisi Indonesia Hebat Koalisi Merah Putih
PDI-P: 109 Kursi Golkar: 91 Kursi
PKB: 47 Kursi Gerindra: 73 Kursi
Nasdem: 35 Kursi PAN: 49 Kursi
Hanura: 16 Kursi PKS: 40 Kursi
Demokrat: 61 Kursi*
PPP: 39 Kursi*
Total: 207 Total: 353
Sumber: Diolah dari kpu.go.id
*PPP: Seiring berjalannya waktu, PPP memutuskan untuk pindah ke Koalisi
Indonesia Hebat saat proses pemilihan pimpinan MPR pada tanggal 6 Oktober
2014 sehingga total Koalisi Indonesia Hebat memiliki 246 kursi di DPR atau
sekitar 43,9%
*Demokrat: terjadi perdebatan mengenai posisi Partai Demokrat dalam arah
koalisi saat Pilpres. Namun demi kepastian klasifikasi, penulis memasukan Partai
Demokrat ke dalam Koalisi Merah Putih. Karena sebagian besar pengurus dan
anggota Partai Demokrat juga banyak yang memberikan arahan dukungannya
kepada KMP, meskipun SBY secara pribadi tidak mendeklarasikan diri untuk
mengarahkan dukungan partainya ke KMP. Hal ini sebagai dampak dari
penolakannya Megawati terhadap pendekatan yang dilakukan oleh SBY.
32
“Koalisi Merah Putih vs Koalisi Indonesia Hebat,” Jawa Post , 6 Oktober 2014
http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/7798/Koalisi-Merah-Putih-vs-Indonesia-Hebat Diunduh
pada 5 April 2015.
66
Sehingga penulis mengklasifikasikan Partai Demokrat sebagai bagian dari KMP
atau diluar pemerintahan. Lihat wawancara Ulil Abshar Abdalla.
Polarisasi dua koalisi tersebut tidak saja terjadi pada anggota legislatif
terpilih periode 2014-2019 namun juga terjadi pada anggota legislatif periode
2009-2014 di masa-masa akhir setelah pemilihan legislatif 2014 dan sebelum
pelantikan anggota DPR terpilih periode 2014-2019 tanggal 20 Oktober 2014.33
Tak pelak hal tersebut memicu kekhawatiran, salah satu kekhawatiran
disampaikan oleh Abdul Kadir Karding, Politisi Partai Kebangkitan Bangsa yang
dalam sidang paripurna revisi UU MD3 tanggal 8 Juli 2014 mengatakan:
“Pada kesempatan yang baik ini saya ingin menyampaikan beberapa hal
yang menjadi kerisauan pribadi saya terhadap keadaan-keadaan terutama
menjelang Pilpres. Tentu kita ingin Pilpres kita ke depan adalah Pilpres
yang damai, Pilpres yang tenteram, yang tidak mencederai dan melukai
kualitas demokrasi kita. Saya agak kaget ketika ada pernyataan dari Kepala
Staf Angkatan Darat, yang di salah satu media mengatakan bahwa kalau
Pilpres ini perbedaannya dibawah 5% maka bisa kita tafsirkan akan terjadi
sesuatu yang kita tidak inginkan. Saya kira ini sesuatu yang tidak patut
dan tidak pantas untuk disampaikan oleh institusi manapun. Apalagi mohon
maaf, kita melihat bahwa menurut Undang-Undang Dasar kita, Undang-
undang TNI kita, Undang-undang Kepolisian kita bahkan Undang-undang
Pemilihan Umum dan Pilpres kita bahwa sesungguhnya yang punya
kewenangan besar terhadap persoalan-persoalan keamanan adalah Polri.” 34
Polarisasi koalisi yang terbentuk berdasarkan dukungan pilpres merambah
pada pembahasan Revisi UU Pilkada, Revisi UU MD3 dan Revisi Tatib DPR
yang terjadi pada saat setelah pemilihan legislatif dan sebelum pemilihan presiden
2014. Koalisi Merah Mutih yang memiliki kekuatan lebih dari 50% di DPR
33
Terjadi tiga kali sidang paripurna DPR RI setelah pelaksanaan pemilihan legislatif dan
sebelum pemilihan presiden. Sidang tersebut diantaranya membahas revisi UU MD3, revisi UU
Pilkada dan revisi UU tatib DPR. Peserta dalam sidang paripurna tersebut adalah anggota legislatif
periode 2009-2014 namun terpolarisasi kuat berdasarkan arah dukungan pilpres. 34
Risalah Sidang Paripurna DPR-RI, Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan
terhadap Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun
2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 8 Juli 2014), 9.
67
membuat Koalisi Indonesia Hebat selalu kalah dalam rangkaian sidang paripurna
yang saat itu masih diisi oleh keanggotaan legislatif periode 2009-2014.35
Sehingga itu yang membuat potensi divided goverment semakin besar pada
pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
1. Pemilihan Pimpinan Dewan Pimpinan Rakyat Periode 2014-2019
Tak lama setelah anggota DPR periode 2014-2019 dilantik, kegaduhan
DPR-RI dimulai saat sidang paripurna pemilihan pimpinan DPR digelar di hari
pertama. Upaya terselenggaranya sidang paripurna di hari pertama digagas oleh
Koalisi Merah Putih, sedangkan Koalisi Indonesia Hebat berusaha untuk tidak
menyelenggarakan sidang paripurna di hari pertama setelah dilantik dengan alasan
terlalu tergesa-gesa.36
Dengan segala pro-kontranya akhirnya sidang paripurna
pemilihan pimpinan DPR RI diselenggarakan di hari pertama. Dengan berbagai
dinamika yang ada, Koalisi Indonesia Hebat memutuskan untuk walk-out.37
Meski
demikian, pengesahan pimpinan DPR tetap dilakukan. Tabel berikut adalah hasil
sidang paripurna pemilihan pimpinan DPR-RI tanggal 1-2 Oktober 2014
Tabel III.B.1.1
Hasil Sidang Paripurna Pemilihan Pimpinan DPR-RI 2014-2019
Jabatan Nama Pimpinan
Ketua Setya Novanto (Golkar)
Wakil Ketua 1 Agus Hermanto (Demokrat)
35
“Koalisi Merah Putih vs Koalisi Indonesia Hebat,” Jawa Post, 6 Oktober 2014. 36
“Kronologi Pemilihan Pimpinan DPR yang Tergesa-gesa,” Tempo, 02 Oktober 2014 .
http://www.tempo.co/read/news/2014/10/02/078611381/Kronologi-Pemilihan-Pimpinan-DPR-
yang-Tergesa-gesa. Diunduh pada 2 Desember 2014. 37
“Nasdem, PDI P, Hanura, PKB "Walk Out,” Kompas, 02 Oktober 2014,
http://nasional.kompas.com/read/2014/10/02/02595871/Nasdem.PDI.P.Hanura.PKB.Walkout
Diunduh pada 16 Februari 2014.
68
Wakil Ketua II Taufik Kurniawan (PAN)
Wakil Ketua III Fadli Zon (Gerindra)
Wakil Ketua IV Fahri Hamzah (PKS)
Sumber: www.dpr.go.id
Berdasarkan hasil sidang paripurna DPR RI tanggal 2 Oktober 2014, maka
komposisi pimpinan DPR-RI dikuasai oleh Koalisi Merah Putih. Namun,
berhubung tingginya tensi politik saat itu dan ada perasaan tidak menerima
kekalahan dalam proses pimpinan DPR, Koalisi Indonesia Hebat dalam
keterangan persnya pada tanggal 29 Oktober 2014 mengatakan akan membentuk
pimpinan DPR tandingan. Alasan dibentuknya DPR Tandingan, menurut Arif
Wibowo, Politisi PDI-Perjuangan, merupakan mosi tak percaya terhadap
kepemimpinan DPR RI yang saat ini dikuasai oleh politikus dari KMP.38
Koalisi Indonesa Hebat akhirnya membentuk pimpinan DPR tandingan pada
31 Oktober 2014. Pemilihan dilakukan oleh lima fraksi, yakni PDIP, Hanura,
PKB, Nasdem, dan PPP. PPP yang awalnya masuk dalam Koalisi Merah Putih,
saat pemilihan paket pimpinan MPR mengubah haluannya dengan bergabung
dengan Koalisi Indonesia Hebat pada tanggal 7 Oktober 2014.39
. Hal tersebut
dikarenakan terjadi kegaduhan di internal partai dengan adanya pengurus PPP
yang tak setuju partainya bergabung dengan Koalisi Merah Putih.40
38
“KIH Putuskan Bentuk DPR - RI Tandingan,” Jawa Post, 29 Oktober 2014.
http://www.jpnn.com/read/2014/10/29/266679/KIH-Putuskan-Bentuk-DPR-RI-Tandingan-.
Diunduh pada 30 November 2014. 39
“Alasan PPP Gabung Koalisi Indonesia Hebat,” Liputan 6, 11 Oktober 2014.
http://news.liputan6.com/read/2117687/alasan-ppp-gabung-koalisi-indonesia-hebat Diunduh pada
5 April 2015. 40
Salah satu yang tak setuju PPP bergabung dengan Koalisi Merah Putih yakni Sekjen
Romahurmuziy, yang jengkel lantaran kadernya tidak disertakan dalam paket pimpinan MPR versi
Koalisi Merah Putih (KMP). Namun Suryadharma Ali selaku Ketua Umum PPP tetap mendukung
69
Komposisi pimpinan DPR versi KIH yakni Ketua DPR diisi oleh Ida
Fauziah (Fraksi PKB), Sebagai wakil Ketua DPR RI diantaranya Effendi
Simbolon (Fraksi PDI-Perjuangan), Syaifullah Tamliha (Fraksi PPP), Patrice Rio
Capella (Fraksi Nasdem) dan Dossy Iskandar (Fraksi Hanura).41
Sehari setelah
pimpinan DPR versi KIH dibentuk, pada tanggal 3 November 2014 mereka
langsung menggelar rapat konsultasi dengan agenda menentukan komposisi
pimpinan untuk alat kelengkapan dewan (AKD) DPR. Rapat ini dihadiri 5 fraksi
yang tergabung di dalam KIH, yakni Fraksi PDIP, Fraksi Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), Fraksi Partai Nasdem, Partai Hanura plus Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) kubu Romahurmuziy.42
Meskipun keberadaan pimpinan
DPR versi KIH dalam pelaksanaan sidangnya tidak fasilitasi secara penuh dari
Sekretariat Jendral DPR-RI.43
Terkait dengan munculnya polarisasi kekuatan tersebut dan berdampak pada
terbelahnya DPR dianggap sebagai akibat panjang dari sistem presidensialisme
multipartai, seperti yang diungkapkan oleh Khatibul Umam Wiranu, Wakil Ketua
Komisi II DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrat periode 2009-2014 memberikan
komentarnya:
Koalisi Merah Putih. Lihat, “Alasan PPP Gabung Koalisi Indonesia Hebat,” Liputan 6, 11 Oktober
2014. 41
“KIH Putuskan Bentuk DPR – RI Tandingan,” Jawa Post, 29 Oktober 2014. 42
“Ini Komposisi Pimpinan AKD DPR Tandingan versi KIH,” Liputan 6, 3 November
2014. http://news.liputan6.com/read/2128524/ini-komposisi-pimpinan-akd-versi-dpr-tandingan-
kih. Diunduh pada 1 Desember 2014. 43
“Tak Dilayani, KIH Juga Akan Sampaikan Mosi Tidak Percaya Kepada Sekretariat
Jendral DPR RI,” Kompas, 31 Oktober 2014 http://nasional.kompas.com/read/2014/11/
04/16592821/Tak.Dilayani.KIH.Juga.Akan.Sampaikan.Mosi.Tidak.Percaya.kepada.Setjen.DPR
Diunduh pada 12 Januari 2015.
70
“Polarisasi dua kekuatan di Parlemen yang tercermin dalam pemilihan
Pimpinan DPR/MPR merupakan konsekuensi dari sistem presidensial
multipartai. Koalisi Indonesia Hebat menjadi korban sistem tersebut.” 44
Polarisasi tersebut memiliki dampak yang sangat buruk bagi berjalan atau
tidaknya fungsi DPR. Karena dengan adanya dualisme kepemimpinan DPR, maka
rapat-rapat di DPR tidak bisa berjalan dalam proses pengambilan keputusan.45
Karena berdasarkan Tata Tertib DPR, dalam Pasal 281 maupun Pasal 284
Ayat 1 tertera bahwa pengambilan keputusan DPR melalui musyawarah mufakat
ataupun dengan suara terbanyak menjadi sah, jika didapat melalui forum rapat
yang sesuai dengan syarat kuorum. Syarat itu diatur di Pasal 251, bahwa
pertemuan harus dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas
lebih dari separuh unsur fraksi yang ada.46
Jika dilihat melalui mekanisme kuorum maka DPR dapat mengambil
keputusan sah jika dihadiri anggota dari minimal enam fraksi. Aturan tersebut
tidak bisa dipenuhi dikarenakan PPP yang semula bergabung ke Koalisi Merah
Mutih berpindah ke Koalisi Indonesia Hebat, sehingga polarisasi di DPR semakin
sengit dengan kedua kubu sama-sama memiliki lima fraksi. Melalui aturan yang
tertera dalam tata tertib DPR pasal 254 dan 251, membuat keberadaan dualisme
kepemimpinan DPR berakibat pada ketidakmampuan DPR dalam menjalankan
44
“KMP Dominan di Parlemen Harus Direspon Dewasa,” Inilah.com, 9 Oktober 2014.
http://nasional.inilah.com/read/detail/2143151/kmp-dominan-di-parlemen-harus-direspon-dewasa.
Diunduh pada 1 Desember 2014. 45
“DPR Lumpuh, Pemerintahan Tersandera,” Jawa Post, 31 Oktober 2014
http://www.jawapos.com/baca/artikel/8669/DPR-Lumpuh-Pemerintahan-Tersandera Diunduh
pada 1 Desember 2014. 46
“Peraturan Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Repubik Indonesia,”
Sekretariat Jenderal DPR-RI, http://www.dpr.go.id/uu/appbills/RUU_PERATURAN_DPR_R
I_TTG_TATA_TERTIB.pdf Diunduh pada 28 Desember 2014.
71
tugas dan fungsinya.47
Sebelum akhirnya kedua kelompok sepakat untuk berdamai
pada tanggal 15 November 2014 dalam pertemuan yang diwakili kedua pihak
yakni Pramono Anong mewakili Koalisi Indonesia Hebat dan Hatta Rajasa
mewakili Koalisi Merah Putih. 48
Perdamaian kedua kelompok menghasilkan
kesepakatan mengenai kursi Alat Kelengkapan Dewan (AKD) yang sebanyak 21
kursi diserahkan kepada Koalisi Indonesia Hebat.49
Meskipun begitu, kursi
pimpinan DPR tetap dipegang oleh Koalisi Merah Putih dengan kekuatan
mayoritasnya. Dengan begitu maka tidak berubah posisi Joko Widodo – Jusuf
Kalla sebagai Presiden dengan dukungan minoritas di legislatif.
2. Pemilihan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat 2014-2019
Tak berbeda dengan proses pemilihan pimpinan DPR, saat pemilihan
pimpinan MPR juga mengalami polarisasi antara Koalisi Indonesia Hebat dan
Koalisi Merah Putih. Namun sedikit berbeda saat PPP memutuskan untuk
bergabung ke Koalisi Indonesia Hebat dikarenakan partainya tidak disertakan
dalam paket pencalonan pimpinan MPR oleh Koalisi Merah Putih.50
47
“DPR Lumpuh, Pemerintahan Tersandera,” Jawa Post, 31 Oktober 2014
http://www.jawapos.com/baca/artikel/8669/DPR-Lumpuh-Pemerintahan-Tersandera Diunduh
pada 1 Desember 2014. 48
“Siang Ini, KMP dan KIH Teken 5 Poin Kesepakatan Damai,” Kompas, 11 November
2015.http://nasional.kompas.com/read/2014/11/17/07225241/Siang.Ini.KMP.dan.KIH.Teken.5.Poi
n.Kesepakatan.Damai. Diunduh pada 15 April 2015. 49
Koalisi Indonesia Hebat mendapatkan 21 kursi AKD yang kemudian dibagi berdasarkan
perbandingan kursi partai-partai KIH di DPR. PDIP sebagai pemilik kursi terbanyak mendapatkan
10 kursi, PKB mendapat 5 kursi, adapun Hanura dan Nasdem mendapat 3 kursi. Lihat, “Setelah
Islah, KIH dapat 21 Kursi AKD di DPR,” Kompas, 9 Januari 2015.
http://nasional.kompas.com/read/2015/01/19/15013011/Setelah.Islah.KIH.dapat.21.Kursi.AKD.di.
DPR diunduh pada 15 April 2015. 50
“Pemilihan Ketua MPR,” BBC News, 14 Oktober 2014
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/10/141007_mpr_ketua. Diunduh pada 30
November 2014.
72
MPR sebagai lembaga just session antara DPR dan DPD dalam proses
pemilihan pimpinannya juga melibatkan kedua lembaga tersebut yakni DPR dan
DPD. Dalam proses pencalonan paket pimpinannya pun juga diharuskan
melibatkan perwakilan dari DPD, sebagaimana yang tertera dalam Tatib MPR
pasal 21 ayat (1) yang berbunyi: “Bakal calon Pimpinan MPR berasal dari
Fraksi dan Kelompok DPD disampaikan di dalam Sidang Paripurna MPR”.
Berdasarkan aturan tersebut, maka komposisi Pimpinan MPR adalah kombinasi
antara DPR dengan DPD sebagaimana yang tertuang dalam tabel dibawah
mengenai paket calon pimpinan MPR-RI periode 2014-2019 baik dari Koalisi
Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih yang berhasil dimenangkan oleh Koalisi
Merah Putih dengan perolehan 347 dari total 677 Suara.51
Tabel III.B.2.1
Komposisi Paket Calon Pimpinan MPR-RI 2014-2019
Jabatan Paket A
Koalisi Indonesia Hebat
Paket B
Koalisi Merah Putih
Ketua Oesman Sapta Odang Zulkifli Hasan (PAN)
Wakil Ketua 1 Ahmad Basarah (PDI-P), Mahyudin (Golkar)
Wakil Ketua II Imam Nachrawi (PKB) EE Mangindaan (Demokrat),
Wakil Ketua III Patrice Rio Capella
(Nasdem)
Hidayat Nur Wahid (PKS),
Wakil Ketua IV Hasrul Azwar (PPP) Oesman Sapta Odang (DPD).
Hasil Voting 330 suara 347 suara
Sumber: www.mpr.go.id
Kekalahan Koalisi Indonesia Hebat dalam sidang paripurna pemilihan
pimpinan MPR-RI melengkapi seluruh rangkaian kekalahan yang sebelumnya
51
“KMP Dapat Bonus 41 Suara dalam Pemilihan Pimpinan MPR,” Kompas, 9 Oktober
2014”http://nasional.kompas.com/read/2014/10/08/16394541/Fahri.Klaim.KMP.Dapat.Bonus.41.S
uara.dalam.Pemilihan.Pimpinan.MPR. Diakses pada 5 April 2015.
73
Koalisi Indonesia Hebat juga kalah dalam pembahasan revisi UU MD3, revisi
Tatib DPR, revisi UU Pilkada dan pemilihan pimpinan DPR-RI sebelum akhirnya
keduanya sepakat berdamai pada tanggal 17 November 2014.52
Fenomena
tersebut semakin memperkokoh posisi Joko Widodo – Jusuf Kalla dengan
kekuatan minoritas di legislatif. Pasalnya Koalisi Indonesia Hebat sebagai
penguasa eksekutif gagal mendapatkan pengaruh besar di lembaga legislatif yang
faktanya justru dikuasai oleh pihak oposisi pemerintah dan terjadi divided
government. Menurut Thomas Pepinsky, pada umumnya munculnya divided
government lebih karena persoalan keberagaman ideologi dan kepentingan
masyarakat, namun dalam konteks Indonesia, divided government terjadi karena
strategi dari kelompok elite yang berusaha untuk melemahkan pemerintahan.53
Seperti yang dilakukan oleh DPR ketika melakukan revisi UU MD3 yang
membuat pimpinan DPR dan MPR tidak secara otomatis dikuasai oleh partai
pemenang pemilu.
C. Konfigurasi Politik Pemilihan Presiden 2014
Persaingan tidak hanya di pemilihan legislatif, pada 9 Juli 2014 dilakukan
pemilihan Presiden-Wakil Presiden. Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam
bab II, pemilihan presiden adalah ciri khas dalam sistem presidensial yang
berupaya diperkuat dalam proses kelembagaan di Indonesia di era reformasi.
Presiden dalam sistem presidensial bertugas sebagai kepada negara dan kepala
52
Shanti Dwi Kartika, “Kesepakatan KMP-KIH dan Revisi UU MD3,” Info singkat Hukum
Vol. VI, No. 22/II/P3DI (November 2014): 1. 53
Wawancara dengan Thomas Pepinsky, Asisten Professor studi Asia Tenggara dan
Direktur Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, AS, tanggal 12 Februari 2015.
74
pemerintahan, berbeda dengan sistem parlementer yang mana keduanya
diposisikan secara terpisah.54
Begitu besarnya wewenang Presiden dalam sistem
presidensial maka tidak menutup kemungkinan proses pemilihan Presiden
menyedot perhatian banyak pihak.
Dalam konteks Indonesia, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur
dalam UU No 42 Tahun 2008. Di dalam pasal 9 disebutkan bahwa pemilihan
presiden berlaku aturan ambang batas presiden (presidential threshold) bagi setiap
pihak yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden, sebagaimana yang tertuang
dalam Pasal 9 UU No 42 Tahun 2008. Berikut adalah bunyi pasal yang dimaksud:
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit
20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua
puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR,
sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.” 55
Karena hasil pemilihan legislatif 2014 tidak ada satu partai yang mencapai syarat
ambang batas presiden, sehingga tidak ada partai politik yang bisa mencalonkan
Presiden dan Wakil Presiden secara tersendiri, maka instrument koalisi menjadi
penting guna memenuhi syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.56
Dalam konteks sistem presidensialisme di Indonesia, keberadaan koalisi
tidak bisa diabaikan, mengingat Indonesia juga menganut sistem multipartai yang
memungkinkan partai politik untuk menyatukan kekuatan guna memenuhi syarat
54
Arend Lijphart, Pattern of Democracy: Government Form and Performance in Thirty Six
Countries, (New Haven and London: Yale University Press, 1999), 117. 55
Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Presiden
dan Wakil Presiden. https://www.mahkamahagung.go.id/images/pdp/uu_42_2008.pdf Diunduh
pada 3 Maret 2015. 56
Koalisi diperuntukan untuk memenuhi syarat presidential threshold paling sedikit 20%
dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR
yang tertera dalam UU No 42 Tahun 2008 Tentang Presiden dan Wakil Presiden.
75
presidential threshold dalam proses pemenangan calon presiden, di lain sisi
berdasarkan hasil pemilihan legislatif 2014 tak ada satupun partai politik yang
mendapatkan suara nasional diatas 20%. Oleh karena itu mekanisme koalisi
menjadi keharusan guna memenuhi syarat administratif proses pencalonan
Presiden. Mengenai kritik terhadap keberadaan koalisi karena identik dengan
sistem parlementer, penulis sudah menjabarkan hal tersebut dalam bab II.
Koalisi yang dibangun saat pilpres melahirkan polarisasi dua kubu pasangan
calon, yakni Koalisi Indonesia Hebat yang mengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla
dan Koalisi Merah Putih yang mengusung Prabowo Subianto – Hatta Rajasa.
Berikut adalah komposisi kekuatan kedua koalisi tersebut berdasarkan hasil
pemilihan legislatif 2014:
Tabel III.C.1
Komposisi Koalisi Indonesia Hebat & Koalisi Merah Putih Saat Pemilihan
Presiden 2014
Koalisi Indonesia Hebat
(Joko Widodo - Jusuf Kalla)
Koalisi Merah Putih
(Prabowo – Hatta)
PDI-P: 23.681.471 (18,95%) Golkar: 18.432.312 (14,75%)
PKB: 11.298.957 (9,04%) Gerindra: 14.760.371 (11,81%)
Nasdem: 8.402.812 (6,7%) PAN: 9.481.621 (7,59%)
Hanura: 6.579.498 (5,26%) PKS: 8.480.204 (6,7%)
PKPI: 1.143.094 (0,91%) PPP: 8.157.488 (6,53%)
Demokrat: 12.728.913 (10,19%)
PBB: 1.825.750 (1,46%)
Total: 40,86 Total: 59,03 %
Sumber: diolah dari kpu.go.id
Berdasarkan tabel di atas, Koalisi Merah Putih memiliki kekuatan mayoritas
di legislatif dengan 59,03%. Proses penentuan sikap partai politik dalam
menentukan arah koalisi cenderung alot, misalnya Partai Demokrat yang awalnya
76
mengaku akan menjadi penyimbang dan tidak memihak pada kedua pihak
akhirnya melakukan deklarasi dukungannya terhadap pasangan Prabowo-Hatta.57
Dukungan dari Partai Demokrat membuat pasangan Prabowo-Hatta kala itu
semakin berada di atas angin dengan tingginya dukungan di legislatif. Melalui
pembelahan dukungan tersebut, maka sejak awal proses pemilihan presiden,
pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla adalah pasangan calon dan wakil presiden
yang tidak memiliki dukungan mayoritas ( single majority 50% + 1) di legislatif.
Namun, karena Indonesia menganut sistem presidensialisme yang memiliki
ciri bahwa pemilihan presiden dilakuan secara langsung oleh rakyat sehingga
besarnya dukungan di legislatif tidak akan mempengaruhi proses pemilihan
presiden.58
Dengan dukungan legislatif yang tak mencapai single majority
(50%+1), pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla berhasil memenangkan Pilpres
2014.59
Berikut adalah tabel perolehan persentase suara pemilihan presiden 2014:
Tabel III.C.2
Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014
Norut Pasangan Total Suara Persentase
1 Prabowo Subianto – Hatta Rajasa 62.576.444 46,85%
2 Joko Widodo – Jusuf Kalla 70.997.833 53,15%
Sumber: kpu.go.id
57
“Partai Demokrat Resmi Dukung Prabowo-Hatta,” Kompas, 30 Juni 2014,
http://nasional.kompas.com/read/2014/06/30/1659074/partai.demokrat.resmi.dukung.prabowo-
hatta. Diunduh pada 30 November 2014. 58
C.F Strong, “Modern Political Constitutions,” dalam Sulardi, “Presidensiil Dengan
Sistem Multi Partai,” Jurnal Konstitusi, Pusat Studi Konstitusi Universitas Muhamamdiyah
Malang, Vol lll, No 2. (November 2010): 16. 59
“Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 535/Kpts/KPU/Tahun 2014
tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden 2014,” Komisi Permilihan Umum Republik Indonesia,
http://www.kpu.go.id/koleksigambar/SK_KPU_535_227201 4.pdf. Diunduh pada 1 Desember
2014.
77
Meskipun tidak memperoleh dukungan mayoritas dari partai politik,
pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla berhasil memenangkan presiden adalah
bukti bahwa sistem presidensial berhasil dikuatkan dalam amanat reformasi,
karena pasangan presiden terpilih adalah mereka yang memperoleh dukungan
sepenuhnya dari rakyat secara langsung. Selanjutnya ini adalah pengalaman
pertama di Indonesia bahwa partai pemenang pengusung pasangan calon
Presiden-Wakil Presiden tidak saling menentukan arah koalisi baru dalam
pembentukan pemerintahan selanjutnya setelah pemilu berakhir.60
Yang terjadi
setelah Pemilu 2014 berakhir sampai proses pembentukan kabinet pemerintahan,
justru kedua koalisi saling menunjukan kesolidannya.
Kesolidan masing-masing partai politik dalam menentukan arah koalisi
kerap kali dipandang sebagai hal temporal, mengingat di dalam tubuh partai
politik itu sendiri juga terdapat banyak faksi yang menyuarakan pendapat yang
berbeda dengan petinggi partai politik. Misalnya yang terjadi dalam Partai Golkar
yang beberapa kadernya justru mendeklarasikan dukungannya terhadap Joko
Widodo – Jusuf Kalla, padahal secara kelembagaan dukungan Golkar mengarah
pada pasangan Prabowo – Hatta. Seperti yang dilakukan oleh politisi Golkar,
Indra J Piliang yang mengatakan:
60
Tahun 2014 ini adalah kali pertama terbangunnya koalisi saat proses pemenangan pilpres
dan koalisi pemerintahan tak ada ubahnya. Berbeda dengan proses pembentukan koalisi
pemerintahan pasca pemilu 2004 dan pemilu 2009. Misalnya pada tahun 2004, koalisi
pemenangan pilpres yang dibangun oleh Susilo Bambang Yudhoyono hanyalah berjumlah 33,3 %
dari suara pileg, namun pada saat membangun koalisi pemerintahan, SBY berhasil mengakomodir
partai-partai hingga mencapai angka koalisi sebesar 63,8% begitu juga pada pemilu tahun 2009,
SBY yang hanya mengantongi dukungan koalisi sebesar 26,8 % saat pilpres berhasil membangun
koalisi dengan banyak artai hingga mencapai 75,5 % kekuatan di legislatif.
78
“Saya mendukung Jokowi-JK karena ada beberapa alasan. alasan pertama
saya adalah seharusnya yang capres diusung oleh partai adalah kader
Golkar. Dan ini adalah hasil dari penafsiran saya kepada hasil rapimnas
Golkar. Karena kan hasil rampimnas golkar diantaranya: (1) Mengajukan
ARB sebagai capres atau cawapres (2) memberikan mandat kepada ARB
untuk melakukan komunikasi politik guna mencapai acuan diatas (3) apabila
keduanya atak terpenuhi maka hasil rapimnas batal. Nah tafsiran saya
adalah mandat penuh yang diemban oleh ARB adalah menjadi caprres atau
cawapres. Nah ketika ARB tak menjadi capres atau cawapres maka saya tak
perlu lagi mematuhi hasil rapimnas. Oleh karenanya saya memiliki Jokowi-
JK yang mana Pak JK adalah kader Partai Golkar.” 61
Adanya sebagian pengurus partai yang mengarahkan dukungannya secara
berbeda dengan sikap partai membuat kesolidan koalisi dalam sistem presidensial
di Indonesia menjadi hal yang dipertanyakan, hal ini sebagaimana yang paparkan
oleh Jose Antonio Cheibub bahwa koalisi dalam sistem presidensial dipandang
tidak stabil bila dibanding dalam sistem parlementer,62
sebagaimana yang sudah
dijelaskan dalam bab II.
Selain itu, Presiden dalam sistem presidensialisme memiliki hak prerogatif
dalam menyusun kabinetnya tanpa adanya campur tangan DPR. Sebagaimana
yang sudah dilakukan, Joko Widodo – Jusuf Kalla sudah menentukan postur
kabinetnya yang terdiri atas 34 Menteri. Proses pemilihan Menteri melibatkan
Tim Transisi JKW-JK guna melakukan selektifitas dan masukan mengenai
kriteria-kriteria ideal terhadap para calon Menteri namun dalam menentukan
komposisi perseorangan kembali diserahkan kepada Presiden.63
Susunan kabinet
61
Wawancara dengan Indra J. Piliang, Ketua DPP Golkar bid. Penelitian dan
Pengembangan/Ketua Tim Ahli Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, tanggal 27 Maret
2015. 62
Jose Antonio Cheibub dan Fernando Limongi, “Democratic Institutions and Regime
Survival: Parliamentary and Presidential Democracies Reconsidered,” Forthcoming in Annual
Review of Political Science, 2002, 4. 63
Wawancara dengan Wandy N Tuturoong, Pokja Lembaga Kepresidenan Tim Transisi
Jokowi-JK, tanggal 31 Maret 2015.
79
pemerintah merupakan kombinasi antara profesional dan partai politik yang
menempatkan 15 menteri di isi oleh kalangan partai politik guna melengkapi
feedback koalisi dan 19 menteri diisi oleh kalangan non partai. Selain itu, Joko
Widodo juga menghapus posisi Wakil Menteri kecuali pada Kementerian Luar
Negeri dan Kementerian Keuangan.64
Berikut adalah susunan kabinet
pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Tabel III.C.3
Komposisi Kabinet Kerja Jokowi - JK
No Nama Jabatan Asal
1 Tedjo Edhy Purdijatno Menkopolhukam Nasdem
2 Sofyan Djalil Menko Perekonomian Non-Partai
3 Indroyono Susilo Menko Kemaritiman Non-Partai
4 Puan Maharani Menko Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan
PDI-P
5 Pratikno Mensesneg Non-Partai
6 Tjahjo Kumolo Mendagri PDI-P
7 Retno Lestari Menlu Non-Partai
8 Ryamizard Ryacudu Menteri Pertahanan Non-Partai
9 Yasonna Laoly Menkumham PDI-P
10 Bambang Brodjonegoro Menteri Keuangan Non-Partai
11 Sudirman Said Menteri ESDM Non-Partai
12 Saleh Husin Menteri Perindustrian Hanura
13 Rachmat Gobel Menteri Perdagangan Non-Partai
14 Amran Sulaiman Menteri Pertanian Non-Partai
15 Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup Nasdem
16 Ignasius Jonan Menteri Perhubungan Non-Partai
17 Susi Pudjiastuti Menteri Kelautan dan
Perikanan
Non-Partai
18 Hanif Dhakiri Menteri Ketenagakerjaan PKB
19 Marwan Jaf‟ar Menteri Desa, PDT PKB
20 Basuki Hadiuljono Menteri Pekerjaan Umum
& Perumahaan Rakyat
Non-Partai
64
Untuk Wakil Menteri Luar Negeri diisi oleh AM Fachir dan Wakil Menteri Keuangan
diisi oleh Mardiasmo. Lihat, “Selain Menteri, Jokowi Juga Lantik 2 Wakil Menteri,” Metro TV, 27
Oktober 2014 http://news.metrotvnews.com/read/2014/10/27/310721/selain-menteri-jokowi-juga-
lantik-2-wakil-menteri. Diunduh pada 23 April 2015.
80
21 Nila Djuwita F. Moeloek Menteri Kesehatan Non-Partai
22 Anis Baswedan Menteri Pendidikan &
Kebudayaan
Non-Partai
23 Muhammad Nasir Menteri Riset, Teknologi &
Pendidikan Tinggi
Non-Partai
24 Khofifah Indar Parawansa Menteri Sosial PKB
25 Lukman H. Saifuddin Menteri Agama PPP
26 Arief Yahya Menteri Pariwisata Non-Partai
27 Rudiantara Menkominfo Non-Partai
28 Agung Gede Ngurah
Puspayoga
Menteri Koperasi & UKM PDI-P
29 Yohana Yambise Menteri Pemberdayaan
Perempuan & Perlindungan
Anak
Non-Partai
30 Yuddy Chrisnandi Menteri PAN & RB Hanura
31 Andrinof Chaniago Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional
Non-Partai
32 Ferry Mursyidan Baldan Menteri Agraria & Tata
Ruang
Nasdem
33 Rini Soemarno Menteri BUMN PDI-P
34 Imam Nahrawi Menpora PKB
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
81
BAB IV
ANALISIS DIVIDED GOVERNMENT DALAM RELASI EKSEKUTIF-
LEGISLATIF PEMERINTAHAN JOKO WIDODO - JUSUF KALLA
Pada bab ini, penulis akan menganalisis faktor yang memicu terjadinya
divided government melalui pendekatan koalisi presidensial dan menganalisis
proses relasi eksekutif-legislatif yang terjadi dalam pemerintahan Joko Widodo –
Jusuf Kalla, terhitung mulai sejak Presiden dilantik pada tanggal 20 Okrober 2014
sampai keluarnya Golkar dari Koalisi Merah Putih pada Maret 2015, atau yang
penulis sebut sebagai periode divided government.1 Analisis yang dibangun oleh
penulis menekankan kontinuitas dan konvergensi dari waktu ke waktu, mengingat
unit analisis dalam penelitian ini tergolong relatif sedang berjalan.
A. Divided Government dalam Pendekatan Koalisi Presidensial
Seperti yang sudah dijelaskan dalam bab II, mengenai tiga periodesasi studi
presidensialisme yang dipaparkan oleh Robert Elgie bahwa pemetaan studi
presidensialisme telah mengalami perkembangan yang cukup mendalam jika
1 Pembatasan periode tersebut diambil berdasarkan konsepsi divided government itu sendiri,
sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab II bahwa melalui pendekatan koalisi presidensial,
divided government terjadi ketika eksekutif tidak mendapatkan dukungan lebih dari 50% kursi di
Legislatif. Sedangkan dalam kasus konflik internal Partai Golkar yang membuat Agung Laksono
mengambil alih otoritas dalam Golkar dari yang sebelumnya dipimpin oleh Aburizal Bakrie
berdasarkan SK Menkumham Nomor: M. HH-01.AH.11.01 tanggal 23 Maret 2015 dan keputusan
ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Kemenangan kubu Agung Laksono tersebut membuat Golkar
menyatakan keluar dari Koalisi Merah Putih. Terlepas dari dualisme kepengurusan yang terjadi di
internal Golkar, penulis mengacu pada mekanisme hukum yang tertera dalam UU No 2 Tahun
2011 tentang Perubahan atas UU No 2 tahun 2008 tentang Partai Politik dalam pasal 3 dan 4
bahwa partai politik yang sah adalah partai yang mendapatkan pengesahan dari Kementerian
Hukum dan HAM, terlepas dari pertimbangan politik yang melatarbelakangi keputusan
Menkumhan tersebut. Berdasarkan fenomena tersebut maka relasi eksekutif dan legislatif sudah
tidak lagi menunjukan konsep divided government. Meskipun, terlepas dalam perkembangannya,
SK Menkumham tersebut ditunda seiring diterimanya gugatan Aburizal Bakrie di PTUN pada
tanggal 18 Mei 2015, meskipun putusan PTUN tersebut bukan keputusan yang bersifat Inkracht.
82
dibandingkan dengan studi-studi di tahun 1990-an. Jika perdebatan di sekitar
tahun 1990-an lebih karena persoalan bahaya sistem presidensial secara
kelembagaan, seperti tesis Juan Linz yang mengatakan bahwa sistem presidensial
adalah sistem yang berbahaya karena menciptakan konflik kelembagaan antara
eksekutif dan legislatif yang sama-sama dipilih oleh rakyat.2 Atau penjelasan
Manwaring yang lebih mendetail terkait sistem multipartai yang menjadi
penyebab complicated dalam sistem presidensial.3 Meskipun penjelasan
Manwaring lebih mendalam karena berhasil menarik sistem kepartaian dalam
studi presidensialisme, kesimpulan yang dibawa oleh kedua tokoh tersebut kurang
lebih sama, yakni sistem presidensialisme merupakan sistem yang kurang
kondusif dalam menciptakan efektivitas pemerintahan, meskipun Mainwaring
menggarisbawahi sistem multipartai sebagai faktor utama penyebab sulitnya
sistem presidensialisme, hal berbeda apabila sistem presidensialisme
dikombinasikan dengan sistem dwiparty atau triparty.4
Berbeda dengan kesimpulan dua tokoh tersebut, pendekatan terbaru dalam
studi presidensialisme saat ini lebih difokuskan melalui perilaku aktor dalam
membangun koalisi presidensial sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab II
bahwa pendekatan koalisi presidensial inilah yang nantinya akan menentukan
muncul atau tidaknya suatu divided government. Menurut pendukung tesis koalisi
2 Juan Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy, Vol 1, No 1, (1990):
62. 3 Scott Mainwaring dan Matthew Shugart, “Juan Linz, Presidentialism and Democracy: A
Critical Appraisal,” The Hellen Kellogg Institute for International Studies, University of Notre
Dame, Working Paper No 200, Juli 1993, 26. 4 Mainwaring dan Shugart, “Juan Linz, Presidentialism,” 26. Lihat juga wawancara dengan
Hamdi Muluk, Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia dan Ketua Perhimpunan Survey
Opini Publik Indonesia (PERSEPI), tanggal 3 Maret 2015.
83
presidensial, adanya bangunan partai koalisi pemerintah (the ruling coalition
parties) yang mencapai single majority menjadi hal penting guna mengamankan
agenda-agenda eksekutif dan menghindari deadlock jika berhadapan dengan
legislatif.
Sebagaimana yang dipaparkan oleh Jose Antonio Cheibub yang sudah
dijelaskan dalam bab II, bahwa potensi deadlock itu terjadi apabila presiden tidak
bisa mencapai batas single majority (50% +1) dukungan di legislatif. Untuk
mencapai angka tersebut, tentu koalisi tidak akan tercapai tanpa adanya power
sharing yang dihadapkan kepada banyak partai.5 Hal itu menjadi konsekuensi
sebagai feedback dalam ikatan koalisi. Sebagaimana yang dijelaskan dalam
gambar di bawah ini:
Gambar IV.A.1
Peluang deadlock dan Dominasi Oposisi dalam Sistem Presidensial
Sumber: Cheibub, Minority President, Deadlock Situations, 21.
Dalam gambar diatas dapat dipahami bahwa untuk menghindari kondisi
opposition dominates dan deadlock situation, maka Presiden harus melakukan
akomodasi politik terhadap banyak partai di legislatif terutama untuk penguatan
5 José Antonio Cheibub, “Minority Presidents, Deadlock Situations, and the Survival of
Presidential Democracies,” Yale University, 3.
84
struktur di kabinet pemerintahan atau spoils system (sistem bagi-bagi kursi). Hal
itu dilakukan, guna memenuhi batas minimal dukungan eksekutif di legislatif
yakni single majority (50%+1) dan mampu menghindari kebuntuan dan
problematika hubungan antara eksekutif dan legislatif sebagaimana yang
dituduhkan oleh Juan Linz dan Scott Mainwaring sebelumnya. Karena dalam
sistem multipartai, sulit bagi partainya presiden untuk mencapai lebih dari 50%
kursi di legislatif secara mandiri. Itulah sebabnya mengapa pemerintahan SBY
dalam dua periode kepemimpinan selalu mengajak partai-partai politik untuk
bergabung ke dalam koalisi di pemerintahannya.
Berbeda dengan dua periode pemerintahan SBY, pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla justru melahirkan kekuatan partai koalisi pemerintah (the
ruling coalition parties) dibawah 50% yang membuat oposisi pemerintah berhasil
mendapatkan kekuatan mayoritas dan menguasai pimpinan DPR dan MPR.
Sehingga terjadi apa yang dalam literatur ilmu politik sebagai divided government
(pemerintahan terbelah). Hal tersebut senada dengan Robert Elgie yang
mengatakan bahwa peluang terjadinya divided government lebih besar terjadi
dalam sistem presidensial.6 Hal yang sama juga dipaparkan oleh Hamdi Muluk
yang mengatakan bahwa divided government lebih kental dalam resiko sistem
presidensial, dan jika berharap kecil kemungkinan menghasilkan divided
government, maka sistem presidensial dikombinasikan dengan sistem dwipartai.7
Dibawah ini, penulis akan menjelaskan faktor yang memicu terjadinya divided
6 Robert Elgie, ed., Divided Government in Comparative Perspective (New York: Oxford
University Press Inc, 2001), 12. 7 Wawancara dengan Hamdi Muluk.
85
government dalam pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla melalui pendekatan
koalisi presidensial.
Kegagalan Membangun Koalisi Presidensial
Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab II, pendekatan koalisi
presidensial mengharuskan adanya sikap presiden yang akomodatif dan
kemampuan komunikasi politik yang baik guna mengajak partai-partai lain untuk
bergabung ke dalam struktur pemerintahan. Hal itu tentu mendapatkan feedback
yakni dukungan pemerintah di legislatif, setidaknya untuk mencapai angka single
majority (50% + 1). Menurut pendekatan koalisi presidensial, hal ini menjadi
persoalan penting untuk menjaga relasi eksekutif dan legislatif nantinya akan
berjalan baik.
Namun, mekanisme ini yang tidak terlihat dalam proses penyusunan
arsitektur kabinet pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Terlihat dari tidak
adanya perubahan drastis dalam postur koalisi antara koalisi pemenangan presiden
dan koalisi pemerintahan, kecuali hanya masuknya PPP dari yang sebelumnya
berasal dari Koalisi Merah Putih, namun berpindahnya PPP tersebut bukan karena
kecakapan eksekutif dalam mengajak koalisi, namun lebih dikarenakan
ketidakpuasan PPP terhadap internal Koalisi Merah Putih karena tidak dilibatkan
dalam proses pencalonan pimpinan MPR.8 Terlebih pada saat itu juga terjadi
konflik di internal PPP antara kubu Romahurmuzy dengan kubu Suryadharma Ali
yang membuat PPP dengan mudah meninggalkan warisan saat dipimpin oleh
8 “Alasan PPP Gabung Koalisi Indonesia Hebat,” Liputan 6, 11 Oktober 2014.
http://news.liputan6.com/read/2117687/alasan-ppp-gabung-koalisi-indonesia-hebat Diunduh pada
5 April 2015.
86
Suryadharma Ali yang bergabung dengan Koalisi Merah Putih karena
Suryadharma Ali diberhentikan dari jabatan ketua umum karena tersangkut
dugaan korupsi di Kementerian Agama.9 Meskipun ditambah dengan masuknya
PPP di koalisi pemerintah, tetap tidak mencapai dukungan legislatif terhadap
eksekutif di atas single majority (50% + 1). Sehinggga oposisi pemerintah bisa
dengan mudah memenangkan proses pemilihan pimpinan DPR dan MPR seperti
yang sudah dijelaskan pada bab III.
Upaya untuk memperkuat bangunan koalisi presidensial tidak terlihat dalam
proses lobby-lobby yang dilakukan eksekutif, dalam hal ini PDI-P sebagai partai
pemenang pemilu legislatif dan pemilu presiden. Hal itu disebabkan karena faktor
elit yang berkuasa, yakni Megawati yang tidak melakukan pembukaan diri
terhadap pendekatan-pendekatan yang datang dari luar, salah satunya yakni Partai
Demokrat. Ini yang menjadi penyebab kekecewaan sebagian besar petinggi Partai
Demokrat terhadap PDI-P karena seringkali pendekatan yang dilakukan oleh
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua umum Partai Demokrat diabaikan oleh
Megawati sebagai pemegang otoritas di PDI-P.10
Sebagimana dalam pengakuan
yang disampaikan, Ulil Abshar Abdalla mengatakan:
“SBY itu kan pada awalnya memang setuju dengan Jokowi dan ingin sekali
koalisi dengan PDIP. Hal itu tidak terwujud karena ada faktor Megawati.
SBY sangat ingin untuk damai dengan Megawati dan mengakhiri
9 Terjadi konflik di internal PPP yang diantaranya yakni terjadi aksi saling pecat antara
pimpinan partai. Setelah SDA diberhentikan dari PPP dikarenakan statusnya sebagai tersangka
dalam kasus korupsi di Kementerian Agama. Karena itu, SDA memecat balik 3 kader yang telah
memberhentikannya. Mereka adalah Wakil Ketua PPP Emron Pangkapi dan Suharso Monoarfa,
serta Sekjen PPP Romahurmuziy. Ketiganya dikeluarkan dari kepengurusan di DPP PPP sekaligus
keanggotaan. Lihat, “Suryadharma Ali Pecat Balik Para Petinggi PPP,” Liputan 6, 26 Oktober
2014 http://news.liputan6.com/read/2104613/suryadharma-ali-pecat-balik-para-petinggi-ppp,
Diunduh pada 21 April 2015. 10
Wawancara`dengan Ulil Abshar Abdalla, Ketua DPP Partai Demokrat bidang Kajian dan
Strategis Kebijakan, tanggal 5 April 2015.
87
perseteruan implisit diantara kedua tokoh ini. Lagipula SBY juga realistis,
kalau misalnya ada tokoh yang tak mungkin untuk dikalahkan. Maka ya
sebaiknya kita bergabung disitu. Kan menurut survey publik saat itu Jokowi
yang paling unggul. Selain itu juga ada masalah faktor pribadi SBY yang
tak suka dengan Prabowo. Tapi pendekatan yang dilakukan oleh SBY
diabaikan oleh Megawati. Dan itu yang membuat beberapa kader Partai
Demokrat dibuat jengkel.” 11
Ini yang menjadi kritik oleh pengamat politik seperti Philips J Vermonte
terhadap sikap tertutup yang dilakukan PDI-Perjuangan dibawah komando
Megawati yang seharusnya PDI-P sebagai partai pemenang pemilu bisa bersikap
lebih progresive ketimbang defensive terhadap partai-partai lain,12
karena tidak
dipungkuri dalam sistem presidensial-multipartai, dukungan yang datang dari
partai lain menjadi penting guna melancarkan pemerintah dalam menjalankan
program kerjanya, sebagaimana yang diargumentasikan oleh William R. Liddle.
“Bagi saya, dalam sistem presidensial yang juga multi-partai seperti
Indonesia, seorang presiden memerlukan dukungan mayoritas di DPR untuk
memerintah secara efektif. Jadi masalahnya bukan polarisasi antara KIH
dan KMP, melainkan bahwa KIH bukan merupakan mayoritas di DPR.” 13
Meskipun, disadari bahwa ketertutupan Jokowi dan PDIP dalam
membangun kekuatan koalisi presidensial, juga dipengaruhi oleh partai-partai
yang mendukungnya sejak awal. Meskipun, partai yang bergabung di Koalisi
Merah Putih secara masing-masing berupaya melakukan pendekatan terhadap
Jokowi. Seperti yang yang diutarakan oleh salah satu Pokja Tim Transisi Jokowi-
JK, Wandy N. Tuturoong.
11
Wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla. 12
“Laporan: Membahas Arsitektur Kabinet Jokowi,” Freedom Institute, 4 Oktober 2014
http://www.freedom-institute.org/index.php?option=com_content&view=article&i d=293:laporan-
diskusi-publik-membahas-arsitektur-kabinet-jokowi&catid=52:laporan-diskusi. Diunduh pada 23
Maret 2015. 13
Wawancara dengan William R. Liddle, Professor bidang Ilmu Politik, Ohio State
University, USA, tanggal 5 Februari 2015.
88
“Mengapa koalisi Jokowi tak mencapai single majority, itu kan proses yang
tidak sepenuhnya Jokowi yang menentukan. Itu proses ditentukan oleh
partainya dan partai yang mendukungnya sejak awal. Dan juga ada reaksi
dari KMP kan. KMP ini kan agak susah membaca arah politiknya saat
dipermukaan dan yang tidak dipermukaan. Kalau di permukaan kan mereka
kumpul terus seperti menunjukan loyalitas. Walaupun sebenarnya saya tahu
dibalik itu bahwa orang-orang KMP itu secara masing-masing juga ikut
menghubungi Jokowi.” 14
Ketidakcakapan komunikasi politik PDI-P sebagai komando dari Koalisi
Indonesia Hebat untuk mencapai dukungan single majority (50%+1) membuat
posisi eksekutif berada dalam posisi rawan deadlock dalam pengambilan
keputusan bersama legislatif seperti yang digambarkan oleh Jose Antomio
Cheibub dalam gambar IV.A.1 diatas. Hal tersebut terjadi karena angka koalisi
pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla hanya mencapai angka 43,6 % kursi di
legislatif, kurang memenuhi syarat untuk mencapai single majority (50%+1)
sebagaimana yang tergambar dalam tabel IV.A.2 dibawah ini.
Tabel IV.A.1
Komposisi Kursi Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih di DPR
dalam periode divided government.
Koalisi Indonesia Hebat
(Pemerintah)
Koalisi Merah Putih
(Luar Pemerintah)
PDI-P: 109 Kursi Golkar: 91 Kursi*
PKB: 47 Kursi Gerindra: 73 Kursi
Nasdem: 35 Kursi PAN: 49 Kursi
Hanura: 16 Kursi PKS: 40 Kursi
PPP: 39 Kursi* Demokrat: 61 Kursi*
Total: 246 Kursi (43,9%) Total: 314 (56,1%)
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
*PPP: Terjadi dualisme kepemimpinan PPP, yakni PPP versi Romahurmuzy dan
PPP versi Djan Faridz. Untuk menyelesaikan problematika tersebut, penulis
merujuk regulasi yang tertera dalam pasal 3 dan 4 UU No 2 Tahun 2008 tentang
14
Wawancara dengan Wandy N Tuturoong, Pokja Lembaga Kepresidenan Tim Transisi
Jokowi-JK, tanggal 31 Maret 2015.
89
Partai Politik bahwa partai yang sah adalah yang mendapatkan legitimasi dari
Kementerian Hukum dan HAM. Mengingat, pada tanggal 29 Oktober 2014
Kementerian Hukum dan HAM telah mengesahkan PPP versi Romuharmuzy
sebagai pihak yang sah melaui SK No M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2014,
mengingat SK Menkumham tersebut berlaku sejak tanggal diputuskan, terlepas
dari dinamika politik dan hukum yang berkembang selanjutnya. Sehingga penulis
bisa mengklasifikasikan PPP sebagai bagian dari Koalisi Indonesia Hebat dengan
landasan keputusan hukum mengikat tersebut. Mengingat, sebelumnya
Romahurmuzy juga mendeklarasikan partainya sebagai bagian dari KIH. Selain
itu indikator lain yang memperkuat PPP sebagai bagian dari KIH adalah saat
proses pemilihan pimpinan MPR-RI periode 2014-2019 yang bergabung pada
paket pimpinan yang diusung KIH dan keberadaan kader PPP di kabinet
pemerintahan juga mengindikasikan keberadaan PPP sebagai bagian dari
pemerintah. Meskipun disadari ada sebagian anggota partai yang mengaku masih
menjadi bagian dari Koalisi Merah Putih, seperti mantan ketua umum PPP,
Suryadharma Ali. Namun, sebetulnya bila dilihat secara matematis dari jumlah
kursi PPP di DPR yang tidak signifikan atau hanya 39 kursi sehingga keberadaan
PPP tidak menjadi aktor yang menentukan bagi muncul dan berakhirnya periode
divided government, karena dengan bergabungnya PPP di KIH tetap tidak
membuat partai koalisi pemerintahan (the ruling coalition parties) mencapai
single majority (50%+1) sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk mencegah
terjadinya divided government.
*Partai Demokrat: Terjadi perdebatan di anggota Partai Demokrat terkait arah
koalisi yang ingin dilakukan. Berkali-kali SBY melakukan pendekatan ke PDI-P
namun berkali-kali pula diabaikan oleh Megawati. Meskipun, Partai Demokrat
seringkali mengaku sebagai pihak ketiga, tetapi penulis tetap mengklasifikasikan
Partai Demokrat sebagai bagian diluar pemerintahan, hal itu dibuktikan dari tidak
adanya anggota Partai Demokrat yang duduk dijajaran kabinet dan untuk
mempermudah pengklasifikasian dalam penelitian ini, penulis memasukan Partai
Demokrat sebagai bagian dari KMP, terlepas dari ketidaksetujuan penggunaan
nomenklatur KMP oleh sebagian anggota Partai Demokrat.
*Partai Golkar: Terjadi dualisme kepemimpinan Golkar pasca Munas. Yakni
Golkar versi ARB dan Golkar versi Agung Laksono. Untuk menyelesaikan
problematika pengklasifikasian ini, penulis mengacu pada mekanisme hukum
yang tertera dalam UU No 2 tahun 2008 tentang Partai Politik dalam pasal 3 dan 4
bahwa partai politik yang sah adalah partai yang mendapatkan pengesahan dari
Kementerian Hukum dan HAM. Sehingga, Golkar dengan sendirinya berada
diposisi KMP saat kepengurusan ARB sebelum SK Menkumham No: M. HH-
01.AH.11.01 diterbitkan dan SK tersebut berlaku sejak tanggal diputuskan.
Mengingat, Agung Laksono yang dimenangkan dalam SK Menkumham tersebut
mendeklarasikan dukungannya terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Meskipun pada
tanggal 18 Mei 2015, PTUN menunda SK Menkumham tersebut dan putusan
PTUN tidak bersifat inkrahct. Terlepas dari proses pengadilan yang terjadi
setelahnya, maka per tanggal 23 Maret 2015 relasi eksekutif-legislatif sudah
menunjukan berakhirnya periode divided government. Terkait dengan proses
90
pengadilan yang terjadi setelah SK Menkumham dikeluarkan, itu adalah
fenomena yang terjadi setelahnya dan tidak menjadi objek kajian dalam penelitian
ini.
Berubahnya arah koalisi dalam sistem presidensialisme-multipartai
memungkinkan periode divided government tidak terjadi dalam waktu yang lama.
Hal ini yang sebagaimana dikatakan oleh David Altman bahwa ada beberapa
faktor yang menentukan solid atau tidaknya koalisi dalam sistem presidensial,15
diantaranya: (1) afinitas ideologis antara presiden atau kepala koalisi dengan
kelompok partai politik lainnya, (2) Penilaian rakyat terhadap kepala koalisi atau
presiden (3) afiliasi psikologis atau kedekatan pimpinan partai politik terhadap
pimpinan partai koalisi (4) pertimbangan terhadap pemilihan umum di masa
mendatang (5) keadilan insentif dalam perjanjian koalisi. Namun, penulis tidak
sampai sejauh menjelaskan secara detail pertimbangan dan dinamika yang terjadi
dari masing-masing anggota partai dalam proses perubahan arah koalisi.
Sebagaimana yang diutarakan oleh Jose Antonio Cheibub, penulis hanya ingin
menegaskan bahwa koalisi dalam sistem presidensial tidak cukup memiliki
kesolidan yang kuat jika dibanding sistem parlementer.16
Hal itu juga tercermin
pada fenomena berpindahnya beberapa partai politik dari yang sebelumnya berada
di Koalisi Merah Putih ke Koalisi Indonesia Hebat, yang didalamnya juga
dipengaruhi oleh preferensi ketua partai.17
15
David Altman, “The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty
Presidential Democraties,” The International Journal for the Study of Political Parties and
Political Organizations, Vol 6. No 3, Sage Publications, (2000): 259. 16
Jose Antonio Cheibub dan Fernando Limongi, “Democratic Institutions and Regime
Survival: Parliamentary and Presidential Democracies Reconsidered,” Forthcoming in Annual
Review of Political Science, 2002, 4. 17
Terjadi tarik menarik arah koalisi di Internal partai politik, misalnya Golkar dibawah
ketua Agung Laksono yang memiliki preferensi terhadap Koalisi Indonesia Hebat dan Golkar versi
91
Terlepas dari ketidaksolidan koalisi dalam sistem presidensial, kembali
kepada gambar IV.A.1 bahwa eksekutif berada dalam kendalinya sendiri saat
berhubungan dengan legislatif apabila berhasil mengakomodir partai-partai
setidaknya melewati batas M atau 50% dari skala 0-100 jumlah kursi yang akan
dibagikan kepada partai-partai sebagai feedback koalisi. Sedangkan dalam periode
divided government, Joko Widodo – Jusuf Kalla hanya mampu mencapai angka
koalisi sekitar 46,48% berdasarkan perolehan suara saat pemilihan legislatif atau
43,9% dukungan berdasarkan perolehan kursi partai pendukung di DPR. Jika
dilihat melalui teoritisi Cheibub, maka pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla
diprediksi akan mengalami jalan sulit atau dalam potensi deadlock dalam
membangun relasi dengan legislatif yang dikuasai oleh pihak oposisi.
Selain itu, meskipun sebelumnya Partai Demokrat seringkali mengaku
berada dipihak ketiga, atau tidak berada dalam Koalisi Indoneia Hebat dan Koalisi
Merah Putih, penulis tetap mengklasifikasikan Partai Demokrat sebagai pihak di
luar koalisi pemerintahan, hal ini dikarenakan dalam pendekatan koalisi
presidensial fokusnya adalah peran Presiden yang memiliki kewenangan untuk
memerintah terhadap keberadaan banyak partai di legislatif, sedangkan Partai
Demokrat tidak memiliki ikatan koalisi tersebut yang membuat Presiden tidak
memiliki wewenang terhadap arah kebijakan Partai Demokrat karena bukan
Aburizal Bakrie yang memiliki preferensi terhadap Koalisi Merah Putih. Begitu juga halnya
dengan PPP versi Romahurmuzy yang memiliki preferensi terhadap Koalisi Indonesia Hebat dan
PPP versi Djan Faridz yang memiliki preferensi terhadap Koalisi Merah Putih. Namun untuk
menyelesaikan problematika dualisme yang menyulitkan penulis dalam proses klasifikasi, penulis
merujuk pada legitimasi yang tertuang dalam SK Menkumham. Mengingat berdasarkan UU No 2
Tahun 2008 dijelaskan bahwa partai yang sah adalah partai yang mendapatkan legitimasi dari
Kemenkumham, Mengingat SK tesebut bersifat final and binding serta berlaku sejak tanggal
diputuskan. Terkait perkara yang terjadi setelah SK Menkumham tersebut diterbitkan, itu adalah
fenomena yang terjadi selanjutnya dan tidak menjadi objek kajian dalam penelitian ini.
92
bagian dari partai pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat.
Begitu pula yang disampaikan oleh Ulil Abshar Abdhalla bahwa sikap Partai
Demokrat terhadap suatu pembahasan bergantung pada persoalan yang dibahas,
apabila ide dan gagasan pemerintah baik dan sesuai dengan ekspektasi Partai
Demokrat akan didukung, begitu pula sebaliknya.18
Sehingga penulis tetap
mengklasifikasikan Partai Demokrat sebagai bagian dari Koalisi Merah Putih atau
lebih tepatnya di luar pemerintah pemerintahan.
Kegagalan eksekutif dalam membangun koalisi presidensial menjadi faktor
yang membuat oposisi menguasai pimpinan legislatif dan memiliki kekuatan
mayoritas sehingga terjadilah divided government yang dalam studi-studi
presidensialisme berpotensi akan terjadinya tarik menarik kepentingan dan
berujung kondisi deadlock karena sulitnya eksekutif dalam membangun
kesepakatan dengan legislatif. Hal tersebut senada dengan William R Liddle yang
mengatakan:
“Divided government yang dialami sekarang adalah konsekuensi dari
kegagalan Presiden Terpilih Jokowi membuat koalisi mayoritas di DPR.
Tentu saya khawatir bahwa tanpa mayoritas Jokowi sulit sekali memerintah
secara efektif. Sekali lagi, SBY tidak menghadapi divided government,
meski parlemennya multi-partai sebab dia memang mengerti dari awal
bahwa dia memerlukan koalisi mayoritas.” 19
Oleh karenanya dalam penelitian ini, pendekatan koalisi presidensial menjadi
kunci dalam melihat apakah suatu pemerintahan terjadi divided atau tidak,
sebagaimana yang digambarkan oleh Robert Elgie mengenai tiga gelombang studi
presidensialisme pada bab II penelitian ini.
18
Wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla. 19
Wawancara dengan William R. Liddle.
93
Selain itu, ada juga yang menganggap bahwa divided government adalah
wujud dari prinsip check and balances yang sebagaimana dibangun dalam
landasan filosofis trias politica agar tidak terjadi kekuasaan yang sewenang-
wenang. Menurut penulis anggapan tersebut tidak seutuhnya tepat. Dalam konteks
sistem presidensial, tujuan yang ingin dicapai memang untuk memperkuat prinsip
check and balances. Beberapa aspek terkait pemisahan kekuasaan seperti tugas
eksekusi yang dijalankan oleh pemerintah dan tugas kontrol dilakukan oleh
legislatif. Sehingga prinsip check and balances termaktub dalam peran yang
terpisah antara eksekutif dan legislatif, hal itu yang tertuang dalam sistem
presidensialisme murni sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab II. Namun
yang menjadi persoalan adalah identitas partai atau kelompok yang membuat
fenomena divided government dipandang memiliki potensi kebuntuan. Meskipun
partai yang duduk di legislatif secara filosofos adalah mewakili rakyat, tetapi
kelompok tersebut memiliki ciri khas seperti kepentingan, identitas, platform dan
ciri programnya masing-masing dan sebagai entitas kelompok tentu akan selalu
memperjuangkan apa yang diyakini. Sehingga tetap terjadi dikotomi antara
eksekutif dan legislatif saat terjadi divided government, terkebih jika dikotomi
tersebut dihubungkan dalam proses relasi eksekutif-legislatif yang didalamnya
menyangkut mekanisme persetujuan bersama. Ini yang kemudian banyak analis
yang mengatakan untuk menghindari kebuntuan, maka antara eksekutif dan
legislatif dianjurkan untuk dikuasai oleh kelompok dengan identitas yang sama,
tanpa mengurangi prinsip check and balances. Hal yang sama juga diakui oleh
94
Hamdi Muluk jika dalam pendekatan psikologis, pihak yang berbeda identitas
cenderung mudah bersitegang, seperti yang dikutip dalam wawancara berikut:
“Kalau dalam psikologis diakui kalau seseorang atau kelompok berbeda
identitas menang gampang musuhan, walaupun tidak dalam sudut pandang
objektif. Tetapi kan itu melalui sudut pandang subjektif. Ibarat: “dia kan
bukan orang kita, lalu kenapa kita harus dukung dia? kira-kira begitu.” 20
Sehingga, terminologi check and balances dengan divided government memiliki
pendefinisian yang berbeda. Apabila check and balances lebih kepada persoalan
rule (aturan) yang harus ditempuh antara eksekutif dan legislatif dalam
pengambilan kebijakan, sedangkan divided government lebih kepada persoalan
wacana relasi eksekutif-legislatif yang berbasis pada identitas atau kepentingan
yang saling kooperatif atau konfrontatif. Pada bagian selanjutnya, penulis akan
mengeksplorasi relasi eksekutif dan legislatif dalam periode divided government
yang terhitung pada masa persidangan I dan II dalam tahun sidang 2014-2015
DPR-RI, untuk selanjutnya dilihat apakah terjadi suatu kebuntuan seperti yang
diasumsikan oleh teoritisi sebelumnya mengenai relasi eksekutif-legislatif dalam
konteks divided governnment.
B. Divided Government dalam Relasi Eksekutif-Legislatif Pemerintahan
Joko Widodo – Jusuf Kalla
Seperti yang tertuang dalam pasal 20 (2) UUD 1945 bahwa proses
perundang-undangan mengharuskan adanya persetujuan bersama antara eksekutif
dengan legislatif, sehingga relasi keduanya tidak saling menjauhi antar
kewenangan. Eksekutif memiliki kekuasaan legislasi dalam proses perundang-
20
Wawancara dengan Hamdi Muluk.
95
undangan, seperti kekuasaan menyusun anggaran, mengajukan RUU,
mengeluarkan dekrit. Selain itu legislatif juga memiliki kekuasaan untuk
menyetujui usulan-usulan ekekutif seperti pengangkatan panglima TNI, Kapolri,
dan Gubernur Bank Indonesia dan lain-lain.21
Selain itu eksekutif pun juga tak
memiliki kewenangan untuk membubarkan legislatif, kedua lembaga tersebut
bekerja secara berkaitan.
Keterkaitan tersebut menjadi sesuatu yang diharuskan dalam sistem politik
di Indonesia, misalnya dalam hal pengesahan RUU menjadi UU. Baik eksekutif
maupun legislatif pada dasarnya memiliki hak untuk mengajukan RUU. Jika RUU
tersebut diajukan oleh presiden maka harus mencapai persetujuan DPR untuk
kemudian dilanjutkan ke pembahasan dengan komisi terkait atas persetujuan
pimpinan DPR. Begitu pula dengan RUU yang diajukan oleh DPR maka harus
mencapai persetujuan oleh Presiden untuk kemudian dilanjutkan ke pembahasan
dengan menteri terkait atas persetujuan presiden. Baik eksekutif maupun legislatif
terlibat dalam setiap proses pembahasan hingga tahap akhir saat sidang paripurna
DPR dan kemudian dikirim kembali ke presiden untuk di sahkan sebagai Undang-
Undang, sehingga terjadi interaksi dua arah.22
Dalam konteks Indonesia, relasi
proaktif antara eksekutif dan legislatif dalam sistem presidensialisme multipartai
adalah sesuatu yang diharuskan, keharusan tersebut diiringi dengan potensi bagi
munculnya divided government bila eksekutif gagal membangun jaringan koalisi
presidensial seperti yang sudah dijelaskan dalam bab III sehingga antara eksekutif
dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda.
21
Hanan, Menakar Presidensialisme, 122. 22
Hanan, Menakar Presidensialisme, 123.
96
Sebagai suatu resiko yang harus dijalankan dalam sistem prsidensialisme
multipartai di Indonesia, maka dalam kondisi divided government, baik eksekutif
dan legislatif tetap harus duduk bersama untuk saling menyepakati antar usulan
kebijakan melalui pembicaraan tingkat II atau Sidang Paripurna DPR-RI. Tabel di
bawah ini adalah beberapa relasi eksekutif-legislatif dalam pembicaraan tingkat II
paripurna DPR RI yang terhitung sejak periode divided government itu terjadi
Tabel IV.B.1
Relasi Eksekutif - Legislatif dalam Periode Divided Government
No Materi Tanggal Konsensus
1 RUU Perubahan atas UU no 17
Rahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD, DPRD
5 Desember 2014 Disetujui
2 RUU tentang Perubahan Atas
Undang-undang No 27 Tahun
2014 tentang APBN-P 2015
13 Februari 2015 Disetujui
3 RUU tentang Penetapan Perppu
Nomor 1 Tahun 2014 tentang
perubahan atas UU No 22 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati dan Walikota
20 Januari 2015 Disetujui
4 RUU tentang Penetapan Perppu
No 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas UU No 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan
Daerah
20 Januari 2015 Disetujui
5 RUU tentang Perubahan terhadap
UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun
2014 tentang perubahan atas UU
Nomor 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota
17 Februari 2015 Disetujui
6 RUU tentang Perubahan terhadap
UU No 2 Tahun 2015 tentang
Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun
2014 tentang Perubahan atas UU
No 23 Tahun 2014 tentang
17 Februari 2015 Disetujui
97
Pemerintah Daerah
7 Pembicaraan Tingkat II Pengajuan
Nama Kapolri
15 Januari 2015 Disetujui
Sumber: Diolah dari Sekretariat Jenderal DPR-RI
Dibawah ini adalah penjelasan dari beberapa interaksi eksekutif-legislatif
yang terjadi selama pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla berlangsung saat
periode divided government yang dibagi menjadi dua kategori berdasarkan fungsi
DPR yakni politik anggaran dan fungsi legislasi Rancangan Undang-Undang
(RUU). Fungsi pengawasan tidak dimasukan dalam penelitian ini karena fungsi
pengawasan seperti penggunaan hak angket, hak interpelasi dan hak menyatakan
pendapat tidak digunakan selama periode divided government dalam penelitian
ini. Pemilihan beberapa interaksi ini penulis lakukan atas beberapa pertimbangan
seperti (1) kasus relasi eksekutif - legislatif yang dibahas mendapatkan perhatian
publik (2) memiliki pengaruh yang signifikan bagi implementasi kebijakan
pembangunan pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla, (3) berkaitan
dengan proses polarisasi kuat yang sebelumnya tampak pada beberapa revisi UU
yang dilakukan sebelum pelantikan presiden tanggal 20 Oktober 2014. Pemilihan
atas dasar pertimbangan tersebut penting guna melihat tingkat viabilitas guna
mendapatkan kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan.
1. Fungsi Budgeting dalam Politik Anggaran APBN-P 2015
Pembicaraan tentang politik anggaran dalam sistem presidensial adalah
salah satu yang krusial untuk dibahas dan cukup menyita perhatian publik karena
ini menyangkut tentang proses pendanaan dalam pelaksanaan program
98
pemerintah, terlebih pembicaraan tentang politik anggaran dirumuskan bersama
antara eksekutif dan legislatif, yang dalam teori sistem presidensial dinilai akan
berpotensi pada kebuntuan apabila dirumuskan dalam kondisi divided
government. Dalam prosesnya mengenai politik anggaran, sudah dijelaskan dalam
UUD 1945 pasal 23 ayat 2 dan 3 bahwa APBN diusulkan oleh presiden untuk
dibahas bersama dengan DPR, apabila DPR tidak menyetujui rancangan yang
diusulkan oleh Presiden, maka pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu.
Oleh karenanya pembahasan APBN tetap melalui jalur konsesus antara eksekutif
dan legislatif, meskipun pengajuan RAPBN adalah hak istimewa presiden guna
menjalankan program-programnya.
Perumusan APBN pada dasarnya terbagi menjadi beberapa tahap, dimulai
saat membangun level sumber daya yang tersedia untuk tahun anggaran
berikutnya, hal tersebut diaktori oleh Menteri Keuangan yang mengambil asumsi-
asumsi makro ekonomi dan perkiraan pembiayaan dalam anggaran, meskipun
begitu DPR tetap dapat menggunakan kewenangannya untuk mengubah asumsi
makro ekonomi tersebut. Setelah RAPBN diserahkan kepada pimpinan DPR maka
RAPBN tersebut dibahas oleh Badan Banggaran (Banggar) dan masing-masing
komisi terkait dengan mitra kerja pemerintah. Saat pembahasan di komisi DPR,
para legislator dapat mengajukan beberapa pertanyaan kepada pemerintah terkait
pendanaan yang diajukan, bila mereka tidak sepakat maka para legislator dapat
memberikan tanda bintang sebagai tanda bahwa rencana anggaran tersebut belum
disetujui. Jika komisi sudah menyelesaikan kesepakatan dengan mitra kerja
pemerintah maka RAPBN diserahkan kembali ke Banggar dan kemudian diproses
99
menuju sidang paripurna untuk memperoleh persetujuan.23
. Hal tersebut
menunjukan bahwa sikap proakif antara legislatif dan eksekutif tampak terlihat
dalam proses perumusan APBN.
Pembicaraan tentang APBN-P 2015 menjadi unik dan menyita perhatian
publik mengingat perubahan anggaran ini terjadi setelah proses transisi dari
kepemimpinan sebelumnya. Karena sebelumnya pemerintahan Joko Widodo –
Jusuf Kalla menggunakan postur anggaran yang sudah ditetapkan dalam APBN
2015 yang disahkan pada pemerintahan SBY – Boediono saat rapat paripurna
tanggal 29 September 2014. Karena sejak awal, postur APBN 2015 sudah
didesain berbeda dengan APBN tahun sebelumnya, hal tersebut disusun sebagai
baseline budget dengan memberikan ruang gerak fiskal kepada pemerintahan baru
untuk melakukan penyesuaian pada masa transisi pemerintahan Joko Widodo –
Jusuf Kalla.24
Seperti yang disampaikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam
Pidato RAPBN dan Nota Keuangan tanggal 15 Agustus 2014 di Gedung
DPR/MPR/DPD.
"Perlu saya kemukakan bahwa berbeda dengan Nota Keuangan dan RAPBN
tahun-tahun sebelumnya, Nota Keuangan dan RAPBN tahun 2015 disusun
oleh pemerintahan yang mengemban amanah saat ini, untuk dilaksanakan
oleh pemerintah baru hasil Pemilu tahun 2014. Oleh karena itu, penyusunan
anggaran belanja Kemen-terian Negara dan Lembaga dalam RAPBN 2015
masih bersifat baseline, yang substansi utamanya hanya memperhitungkan
kebutuhan pokok penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat. Saya berharap, langkah ini dapat memberikan ruang gerak yang
luas bagi pemerintah baru, untuk melaksanakan program-program kerja
yang direncanakan. Setelah tanggal 20 Oktober mendatang, saya yakin
bahwa pemerintah baru akan memiliki ruang dan waktu yang cukup untuk
23
Hanan, Menakar Presidensialisme, 123. 24
Muhammad Chatib Basri, “Budget in Brief APBN 2015,” Direktorat Penyusunan
APBN, Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, 15 Oktober 2014.
100
memperbaiki anggaran dan memasukkan berbagai program yang akan
dilaksanakan 5 tahun mendatang." 25
Dalam kondisi tersebut, maka menjadi penting bagi pemerintahan Joko Widodo –
Jusuf Kalla untuk mengajukan RAPBN-P 2015 guna menyesuaikan postur
anggaran dengan rencana programnya yang sudah ditetapkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan RKP 2015,
proses pengajuan RAPBN-P juga dimungkinkan oleh UU No 27 Tahun 2014
tentang Perubahan atas UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3.26
Dalam prosesnya, RAPBN-P 2015 ajukan oleh pemerintah tanggal 13
Januari 2015 melalui surat Nomor: R-05/Pres/01/2015 tentang APBN Tahun
Anggaran 2015 untuk dibahas bersama DPR dan menunjuk Bambang
Brodjonegoro, Andrinof A. Chanago dan Yassona Laoly sebagai wakil
pemerintah. Seiring dengan mekanisme yang ada, lalu RAPBN-P 2015 diserahkan
kepada Badan Anggaran untuk kemudian dibahas bersama dengan komisi-komisi
terkait. Melalui pembahasan ditingkat komisi terjadi silang pendapat antara
pemerintah sebagai pihak yang mengajukan RAPBN-P dengan legislator.
Meskipun antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang
berbeda, pembahasan mengenai APBN-P nampak berjalan dengan interaktif dan
tidak terjadi suatu deadlock yang dikhawatirkan oleh para teoritisi sebelumnya
25
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Pidato Kenegaraan Presiden RI dalam rangka
Penyampaian Keterangan Pemerintah Atas Rancangan Undang-undang Tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2015 beserta Nota Keuangannya (Jakarta:
Sekretariat Jenderal DPR-RI, 15 Agustus 2014), 22. 26
Laporan Badan Anggaran DPR-RI, Hasil Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan RUU
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Anggaran Pendapatan
Belanja Negara Tahun 2015 Beserta Nota Perubahan (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 13
Februari 2015), 2.
101
yang pesimis dengan adanya kombinasi sistem prsidensialisme-multipartai. Baik
pembahasan yang terjadi di Banggar maupun dalam Sidang Paripurna, relasi
eksekutif dan legislatif terbangun cukup dinamis dan proaktif untuk saling
mengkritisi dan berjalan tanpa adanya deadlock. Meskipun dalam Sidang
Paripurna yang dipimpin oleh Taufik Kurniawan tersebut sempat terjadi jeda
beberapa jam.27
Namun kesepakatan dalam APBN-P 2015 tetap terjadi dengan
diiringi adanya lobi-lobi guna mencapai kesepakatan. Seperti yang dikatakan oleh
Taufik Kurniawan, yang juga sebagai pimpinan Sidang Paripurna pembahasan
APBN-P 2015.
“Setelah melalui serangkaian rapat yang intensif dan forum lobi yang telah
kita lalui tadi, sehingga, asumsi makro yang telah dibahas sebelumnya dapat
disahkan.” 28
Fenomena tersebut menunjukan bahwa kondisi divided government tak
menyulitkan antara eksekutif dan legislatif untuk saling berinteraksi dan
berkompromi dalam proses pembahasan APBN-P 2015. Tabel di bawah ini
menunjukan adanya pola interaktif yang dibangun oleh eksekutif dan legislatif
dalam pembahasan APBN-P 2015 yang didalamnya juga memuat adanya
kesepakatan-kesepakatan yang dibangun antara dua belah pihak. Tabel di bawah
ini menjelaskan mengenai proses silang pendapat dalam pembahasan APBN-P
2015 yang terjadi di rapat komisi serta kesepakatan yang terjadi dalam
pembicaraan tingkat II atau rapat paripurna DPR-RI.
27
“Banyak Penolakan, Rapat Pengesahan APBN-P Diskors 3 Jam,” Liputan 6, 13 Februari
2015. http://bisnis.liputan6.com/read/2175383/banyak-penolakan-rapat-pengesahan-apbn-p-
diskors-3-jam diunduh pada 2 Mei 2015. 28
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II RUU tentang
Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 (Jakarta:
Sekretariat Jenderal DPR-RI, 13 Februari 2015), 51.
102
Tabel IV.B.1.1
Proses Silang Pendapat Eksekutif-Legislatif dalam Asumsi Dasar Ekonomi
Makro APBN-P 2015
Indikator APBN 2015 RAPBN-P
2015
Komisi
VII
Komisi XI Sidang
Paripurna
Pertumbuhan
Ekonomi
5,8 % 5,8 & - 5,7% 5,7 %
Inflasi 4,4% 5 % - 5% 5.0%
Suku Bunga
/SBN
6.0% .6.2% - 6,2% 6,2%
Nilai Tukar
(IRD / USD 1)
Rp
11.900,-
Rp 12.200 - Rp 12.500 Rp 12.500
Harga Minyak
(USD/Barel)
105 70 60 - 60
Lifting Minyak
(ribu barel/hari)
900 849 825 - 825
Lifting Gas
(ribu barel /
hari)
1248 1177 1221 - 1.221
Sumber: Diolah dari Sekretariat Jenderal DPR-RI
Tak bisa dipungkiri, dalam prosesnya terdapat beberapa perubahan dari
RAPBN-P 2015 yang diajukan oleh pemerintah sebelumnya, namun menurut
penulis segala proses perubahan postur anggaran itu adalah hal wajar dalam
konteks check and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif. Yang perlu
menjadi titik tekan disini adalah adanya proses silang pendapat dan kesepakatan
bersama yang membuat relasi eksekutif – legislatif bisa berjalan tanpa diiringi
adanya kekhawtiran deadlock. Sehingga, tuduhan-tuduhan akan adanya potensi
deadlock oleh para ilmuan-ilman politik yang sudah dijelaskan pada bab II
cenderung tidak terbukti pada periode divided government yang terjadi pada
Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla, bahkan eksekutif dan legislatif bisa
melakukan silang pendapat yang menyangkut substansi rancangan dan
103
kemungkinan-kemungkinan perubahan postur anggaran. Seperti yang
disampaikan oleh ketua Banggar DPR-RI, Ahmadi Noor Supit dalam laporannya
saat Sidang Paripurna tanggal 13 Oktober 2015:
“Dari hasil pembahasan, terdapat perubahan baik dari sisi pendapatan
maupun sisi belanja. Dari sisi pendapatan menurun sebesar Rp 7,3 triliun,
dan penghematan belanja negara sebesar Rp 29,6 triliun dan pembiayaan Rp
7,2 triliun. Sehingga didapatkan tambahan alokasi anggaran sebesar Rp 20,9
triliun, yang dialokasikan untuk tambahan belanja negara sebesar Rp 20,9
triliun, mengurangi penerbitan SBN sebesar Rp 9 triliun dan pembayaran
bunga utang sebesar Rp 440 miliar.” 29
Dengan asumsi dasar tersebut, disepakati pendapatan negara dan hibah dalam
APBN-P 2015 sebesar Rp 1.761 triliun, yang terdiri dari penerimaan dalam negeri
sebesar Rp 1.758 triliun, dan penerimaan hibah sebesar Rp 3,3 triliun. Penerimaan
dalam negeri berasal dari Penerimaan Perpajakan sebesar Rp 1.489 triliun dan
Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp 269 miliar.30
Seperti yang tertera
dalam tabel dibawah ini:
Tabel IV.B.1.2
Pendapatan Negara dalam APBN-P 2015
Postur Kesepakatan Banggar
(Miliar Rupiah)
Penerimaan Perpajakan 1.489.255,5
Pph Non Migas 629.835,3
a. PPh Migas 49.534,8
b. PPn 576.469
c. PBB 26.689,9
d. Pajak Lainnya 11.729,5
Bea dan Cukai
29
Laporan Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI, Hasil Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan
RUU Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Anggaran
Pendapatan Belanja Negara Tahun 2015 Beserta Nota Perubahan (Jakarta: Sekretariat Jenderal
DPR-RI, 13 Februari 2015) 30
Risalah Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II RUU tentang Perubahan
Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015, 42.
104
a. Cukai 145.739,9
b. Bea Masuk 37.203,9
c. Bea Keluar 12.053
Penerimaan Negara Bukan Pajak 269.075,4
a. SDA Migas 81.364,9
b. SDA Non Migas 37.554,3
c. Bagian Laba BUMN 36.956,5
d. PNBP Lainnya 90.109,6
e. Pendapatan BLU 23.090,2
Penerimaan Hibah 3.311,9
Pendapatan Negara 1.761.642,8
Sumber: Sekretariat Jenderal DPR-RI
Sementara, belanja negara disepakati sebesar Rp 1.984 triliun, yang terdiri
dari Rp 1.319,5 triliun untuk belanja pemerintah pusat, transfer ke daerah
disepakati sebesar Rp 643,8 miliar dan dana desa Rp 20,7 miliar.31
Seperti yang
tertera dalam tabel di bawah ini:
Tabel IV.B.1.3
Kesepakatan Belanja Negara dalam APBN-P 2015
Postur Kesepakatan Banggar
(Miliar Rupiah)
Belanja Pusat 1.319.549
Belanja K/L 795.480,4
Belanja Non K/L 524.068,6
Belanja Daerah
Transfer ke Daerah 643.834,5
Dana Desa 20.766,2
Dana Perimbangan 521.760,5
a. DAK 58.820,7
b. DAU 352.887,8
c. DBM 110.052
Dana Otsus dan Penyesuaian 17.115,5
31
Risalah Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II RUU tentang Perubahan
Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015, 43.
105
Dana Keistimewaan DIY 547,5
Dana Transfer Lainnya 104.441,1
Total Belanja Negara 1984.149,7
Sumber: Diolah dari Sekretariat Jenderal DPR – RI
Proses interaksi antar dua lembaga pun bisa berjalan dengan baik, usulan demi
usulan dilakukan oleh masing-masing fraksi, seperti usulan Fraksi Demokrat yang
mengatakan:
“Fraksi Partai Demokrat meminta kepada Pemerintah untuk menerapkan
berbagai kebijakan untuk mendorong optimalisasi penerimaan negara,
maupun untuk meningkatkan kualitas belanja negara dalam rangka
memelihara pertumbuhan ekonomi dan menjaga kesinambungan fiskal.” 32
Sehingga tampak, kondisi divided government yang muncul dalam ranah
struktural eksekutif – legislatif tidak menunjukan adanya persaingan dalam proses
pengambilan keputusan. Pemerintah yang di asosiasikan dengan Koalisi Indonesia
Hebat bisa memperoleh keputusan bersama dengan legislatif yang mayoritas diisi
oleh Koalisi Merah Putih. Hal tersebut kontras dengan teori-teori umum yang
mengatakan adanya potensi deadlock dalam sistem presidensialisme multipartai
yang mengalami divided government, namun dalam proses politik anggaran
APBN-P 2015 baik eksekutif dan legislatif bisa saling berinteraksi dan
menunjukan adanya kepuasan bersama (win-win solition). Kepuasan bersama
tersebut juga nampak dalam argumentasi Menteri Keuangan, Bambang
Brojonegoro yang mengatakan:
"Kita bisa menggolkan APBN-P yang dengan postur jauh lebih baik, ini
akan punya sinyal sendiri ke market, dengan postur APBN-P 2015, maka
32
Risalah Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II RUU tentang Perubahan
Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015, 40.
106
pemerintah akan lebih leluasa dalam mengembangkan berbagai proyek
infrastruktur yang memang saat ini sedang digenjot oleh pemerintah. Sebab,
dana infrastruktur akan lebih banyak karena dana subsidi energi telah
dikurangi.” 33
Sebagai sebuah proses perundang-undangan, APBN-P diajukan oleh pemerintah
dan dibahas bersama dengan DPR membuat kedua lembaga lebih mengutamakan
prinsip musyawarah meskipun antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua
kelompok yang berbeda. Berbeda hal dengan pemerintahan Susilo Bambang
Yushoyono yang memiliki kekuatan koalisi presidensial diatas 50% + 1 (single
majority) di legislatif sehingga tidak mengalami jalan sulit dalam proses politik
anggaran, namun pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla yang tidak memiliki
kekuatan koalisi presidensial diatas 50% + 1 (single majority) juga tetap bisa
melakukan kesepakatan dengan legislatif. Kekhawatiran sebelumnya mengenai
kesulitan membangun relasi eksekutif-legislatif dalam konteks divided
government cenderung tidak terbukti pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf
Kalla, terlebih dalam pembahasan APBN-P 2015 yang merupakan produk
legislasi yang cukup penting bagi keberlangsungan program pemerintah. Bahkan
divided government bisa menghasilkan kepuasan bersama (win-win solution)
seperti yang diutarakan oleh Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro.
2. Fungsi Legislasi dalam Pembahasan RUU
Seperti diketahui, sistem presidensialisme di Indonesia tidak seperti
layaknya di Amerika Serikat yang proses perumusan undang-undang tidak
33
“Menkeu: APBN-P Disetujui, Rupiah Bakal Menguat,” Kompas, 14 Desember 2015
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/12/14/162100126/Menkeu.APBN-P.Disetujui.R
upiah.Bakal.Menguat Diunduh pada 5 April 2015.
107
menjembatani langsung antara eksekutif dan legislatif.34
Dalam konteks Indonesia
perumusan undang-undang justru melibatkan interaksi eksekutif dan legislatif dari
awal perumusan hingga persetuuan akhir. Dalam prosesnya terdapat dua tahap
pembahasan RUU, tahap pertama yakni pembicaraan tingkat I yang dilakukan
oleh komisi DPR terkait, di Badan Legislatif (Baleg), Rapat Panitia Khusus
(Rapat Pansus) atau Badan Anggaran (banggar) bersama dengan Menteri atau
utusan Presiden. Selanjutnya pembahasan tingkat II yakni di Sidang Paripurna
DPR yang secara resmi menyetujui atau menolak RUU tersebut.35
Melalui
mekanisme tersebut, maka relasi eksekutif dan legislatif yang menurut Djayadi
Hanan dibangun berdasarkan mekanisme institutional yang mengharuskan kedua
lembaga untuk duduk bersama.
Dalam periode divided government, pemerintahan Jokowi sudah melakukan
beberapa persidangan dengan DPR guna mencapai keputusan bersama. Beberapa
RUU yang dibahas disini berkaitan dengan eksistensi partai politik sehingga
mampu menarik perhatian bagi partai politik untuk mendalami proses
pembahasannya. Maka penting bagi penulis untuk menjadikannya kasus untuk
untuk memperkuat argumentasi dalam penelitian ini yang diantaranya yakni
34
Dalam konteks presidensialisme di Amerika Serikat, Presiden memiliki kekuasaan veto,
yakni kekuasaan untuk menganulir sebuah UU. Beberapa kekuasaan veto tersebut diantarannya:
(1) Partial Veto yakni bentuk peyampaian memorandum keberatan presiden terhadap beberapa
ketentuan RUU, (2) Package Veto yakni berupa penolakan presiden untuk memberlakukan suatu
RUU secara keseluruhan dan (3) Pocket Veto yakni bentuk penolakan presiden untuk
menandatangani suatu RUUU yang sudah disetujui oleh legislatif. Namun dalam konteks
presidensialisme di Indonesia, Presiden tidak memiliki ketiga hak veto tersebut. Tetapi mekanisme
kelembagaan antara eksekutif dan legislatif mengharuskan adanya pembahasan bersama dari awal
sampai akhir dalam sebuah proses Rancangan Undang-Undang. Mekanisme pembahasan bersama
antara eksekutif dan legislatif yang tidak dimiliki dalam desain konstitusional di Amerika Serikat.
Lihat, Burhanuddin Muhtadi, Perang Bintang 2014; Konstelasi dan Prediksi Pemilu (Jakarta:
Noura Book, 2013), 188. 35
Hanan, Menakar Presidensialisme, 135.
108
Revisi UU Pilkada, Revisi UU Pemerintahan Daerah, Revisi UU MPR, DPR,DPD
dan DPRD dan Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri).
a) Revisi UU Pilkada dan UU Pemerintah Daerah
Pembahasan mengenai revisi UU Pilkada dan UU Pemda adalah salah satu
yang menyita perhatian masyarakat. Karena ini adalah serangkaian yang berkaitan
dengan kontestasi DPR-RI periode 2009-2014 di akhir masa jabatannya sebelum
pelantikan presiden terpilih hasil pemilu 2014 yang sangat kental dengan
polarisasi Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih. Sebelumnya pada
tanggal 25 September 2014, DPR menggelar rapat paripurna pengesahan RUU
Pilkada yang berakhir dengan disahkannya RUU Pilkada dengan opsi pemilihan
melalui DPRD berdasarkan suara 226 anggota.36
Setelah disahkan opsi pemilihan kepala daerah oleh DPRD, pada 2 Oktober
2014 Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan dua Perppu kepada DPR yakni
Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubenur/Bupati/Walikota yang
sekaligus mencabut UU No 22 tahun 2014 yang mengatakan pemilihan
Gubernur/Bupati/Walikota yang mengacu pada pemilihan kepala daerah tidak
langsung oleh DPRD dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah yang sekaligus mencabut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintah
daerah untuk menghapus tugas dan wewenang DPRD memilih kepala daerah.37
36
Pokok-Pokok Pembicaraan Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II terhadap
RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 25 September
2014), 4. 37
“SBY Akan Keluarkan Perppu Pilkada Langsung,” Kompas, 30 September 2014
http://nasional.kompas.com/read/2014/09/30/18175701/SBY.Akan.Keluarkan.Perppu.Pilkada.Lan
gsung. Diunduh pada 2 Januari 2015.
109
Sebagaimana yang diatur oleh konstitusi, dalam pasal 22 UUD 1945, dalam
keadaan memaksa, presiden memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Perppu
yang kemudian harus diajukan ke DPR dalam bentuk RUU tentang penetapan
Perpu untuk disahkan menjadi UU dalam Sidang Paripurna DPR.
Sebagai sebuah proses panjang dan rumit, Susilo Bambang Yudhono pada
tanggal 1 Oktober 2014 sampai harus melobi sejumlah pimpinan partai di Koalisi
Merah Putih untuk menjamin Perppu agar bisa lolos di DPR. Karena sempat ada
upaya dalam Munas Partai Golkar versi Ketua Umum Aburizal Bakrie yang
dikabarkan sempat berencana menolak Perppu Pilkada langsung.38
Namun niat
tersebut urung dilaksanakan saat SBY menemui Presiden Joko Widodo pada 8
Desember 2014 lalu. Partai Golkar kemudian kembali mendukung Perppu Pilkada
langsung.39
Selanjutnya, Sidang Paripurna dilakukan pada tanggal 20 Januari 2015
menyetujui kedua Perppu tersebut untuk dapat disahkan menjadi Undang-
Undang.40
Sebelum dibawa ke paripurna, Komisi II DPR telah membahas kedua
Perppu tersebut dalam rapat kerja bersama pemerintah. Berdasarkan pandangan
yang disampaikan, semua fraksi sepakat untuk menetapkan kedua perppu itu
38
“SBY Sebut Revisi UU Pilkada dimugknkan dengan satu syarat,” Detik.com, 21 Januari
2015 http://news.detik.com/read/2015/01/21/104131/2809317/10/sby-sebut-revisi-uu-pilkada-
langsung-dimungkinkan-dengan-satu-syarat Diunduh pada 3 Mei 2015. 39
“Mengapa ARB Akhirnya Dukung Pilkada Langsung?,” Kompas, 10 Desember 2014.
http://nasional.kompas.com/read/2014/12/10/19000021/Mengapa.ARB.Akhirnya.Dukung.Pilkada.
Langsung. Diunduh pada 3 Mei 2015. 40
Pokok-Pokok Pembicaraan Rapat Paripurna DPR-RI, Pembicaraan Tingkat
II/Pengambilan Keputusan tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas
UU No 22 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-
Undang dan Penetapan Perppu No 2 Tahun 2014 tentang prubahan atas UU No 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah menjadi Undang-Undang (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 13
Februari 2015), 2.
110
menjadi undang-undang. Seperti dalam laporan yang dilakukan oleh Ketua
Komisi II DPR-RI, Rambe Kamarul Zaman dalam Rapat Paripurna tanggal 20
Januari 2015.
“Secara umum apa yang dihasilkan di dalam Rapat Kerja Komisi II dengan
Pemerintah yang diwakili oleh Mendagri, Menkumham, dan DPD-RI dalam
dua hari kemarin sudah mencapai kesepakatan bahwa secara prinsip fraksi-
fraksi menerima Perpu No 1 dan 2 Tahun 2014 untuk disahkan menjadi
Undang-Undang dalam Rapat Paripurna Masa sidang II Tahun Sidang 2014-
2015 ini.” 41
Dengan adanya proses dan lobby yang cukup berlarut akhirnya seluruh fraksi
menyepakatinya Perppu ini dan secara otomatis menganulir UU Pilkada melalui
DPRD yang disahkan DPR pada 25 September 2014 lalu. Setelah disahkan,
sejumlah fraksi di DPR mengusulkan revisi atas Undang-Undang tentang Pilkada
langsung tersebut. Usulan untuk melakukan revisi juga ditanggapi dingin oleh
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pihak yang menerbitkan Perpu tersebut asal
revisi tersebut tidak mengubah substansi dari Pilkada langsung.42
Begitu juga
yang dipaparkan oleh Mendagri, Tjahjo Kumolo dalam pandangan yang
dibacakan usai pengesahan Perppu tersebut mengatakan bahwa pemerintah
membuka diri untuk membahas perubahan-perubahan yang diperlukan bersama
DPR.43
41
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II tentang Pengambilan
Keputusan tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No 22 tahun
2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang dan Penetapan
Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah menjadi Undang-Undang (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 13 Februari 2015), 31. 42
“SBY Sebut Revisi UU Pilkada,” Detik, 21 Januari 2015. 43
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II tentang Pengambilan
Keputusan tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No 22 tahun
2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang dan Penetapan
Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah menjadi Undang-Undang, 45.
111
Setelah ditetapkan Pilkada secara langsung, sejumlah perubahan
diberlakukan mulai dari penghapusan uji publik hingga penetapan paket kepala
daerah dan wakilnya.44
Proses saling interaksi ditunjukan untuk mendapatkan
kesepahaman bersama dalam dinamika RUU Pilkada. Sampai pada pembahasan
di Badan Legislatif (Baleg), seluruh fraksi di DPR menyetujui RUU tentang
Revisi UU Pilkada hasil pembahasan Panitia Kerja (Panja) Baleg. Hal tersebut
diputuskan dalam Rapat Pleno Baleg yang dipimpin oleh Sareh Wiyono pada
tanggal 9 Februari 2015 untuk dibawa ke proses selanjutnya melalui Rapat
Paripurna dan terjadi kesepakatan.45
Interaksi antara eksekutif dan legislatif juga
berlangsung secara harmoni tak ada potensi deadlock. Interaksi harmoni tersebut
juga ditujukan oleh anggota Fraksi Golkar, Mujib Rahmat, saat Sidang Paripurna
tanggal 17 Februari 2015.
“Setelah mengikuti seluruh proses pembahasan tahapan-tahapannya dengan
serius, dan memperhatikan kesepakatan di tingkat 1 di Komisi serta laporan
dari ketua komisi II, dengan mengucapkan bismillahi rohmanirahoim,
Fraksi Partai Golkar menerima dan menyetujui 2 RUU inisiatif DPR
tersebut menjadi Undang-Undang.” 46
44
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II Pengambilan
Keputusan tentang RUU Perubahan atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No 1
Tahun 2014 Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU dan RUU Perubahan atas UU
No 2 Tahun 2015 Tentang Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah menjadi UU (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 17 Februari
2015), 27-28. 45
Laporan Singkat Rapat Pleno Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI, Pengambilan Keputusan
Harmonisasi RUU Tentang Perubahan atas UU No 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu No
1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang Serta
RUU Tentang Perubahan Kedua Atas UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Usulan Komisi II (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 9 Februari 2015), 5. 46
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang RUU Perubahan atas UU No 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014 Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
menjadi Undang-Undang dan RUU Perubahan atas UU No 2 Tahun 2015 Tentang Perppu No 2
Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjadi
Undang-Undang (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 17 Februari 2015), 33.
112
Selain itu, pembahasan mengenai RUU perubahan atas UU No.2 Tahun 2015
tentang Penetapan Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah
sebagai dampak dari hasil pembahasan RUU tentang perubahan Atas UU No.1
Tahun 2015 tentang Pilkada. Sehingga UU Pemda ini adalah penyesuaian dari UU
Pilkada. Seperti yang dilaporkan oleh Ketua Komisi II DPR-RI, Rambe Kamarul
Zaman.
“Penyesuaian pertama diawali dengan perubahan judul yang diubah menjadi
RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemda,
alasannya karena materi yang diubah dalam Perppu No.2 Tahun 2014 yang
ditetapkan menjadi UU No.2 Tahun 2015 hanya terkait dengan satu pasal
tentang kewenangan DPRD dalam memilih kepala daerah yang dihapus.” 47
Beberapa materi yang harus disesuaikan dengan hasil pembahasan RUU tentang
Perubahan Atas UU No.1 Tahun 2015 adalah terkait dengan peran wakil kepala
daerah akibat diputuskannya bahwa pilkada diikuti oleh pasangan calon yang
terdiri atas kepala daerah dan wakil kepala daerah. Selain itu, RUU Pemda ini
mencoba merumuskan agar hubungan antara kepala daerah dan wakilnya berjalan
harmonis hingga akhir masa jabatan, sehingga diatur adanya kewajiban bagi wakil
kepala daerah menandatangani fakta integritas serta melakukan tugasnya bersama
kepala daerah hingga akhir masa jabatan. Pembahsan dalam revisi UU ini juga
tidak memakan banyak waktu dan berakhir pada kepuasan bersama (win-win
solution) antara eksekutif dan legislatif.
47
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang RUU Perubahan atas UU No 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014 Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
menjadi Undang-Undang dan RUU Perubahan atas UU No 2 Tahun 2015 Tentang Perppu No 2
Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjadi
Undang-Undang, 29-30.
113
b) Revisi UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD
Undang-Undang ini merupakan salah satu yang menjadi titik islah antara
Koalisi Indonesia Hebat dengan Koalisi Merah Putih yang sebelumnya sempat
berseteru dengan adanya dualisme pimpinan DPR. Sebelumnya, DPR periode
2009-2014 telah melakukan revisi terhadap UU No 27 Tahun 2009 Tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD (MD3). Yang didalam revisi tersebut memuat perubahan
dalam pasal 84 bahwa pimpinan DPR tidak secara otomatis dikuasai oleh partai
pemenang pemilu tetapi dipilih melalui mekanisme demokratis. Proses perubahan
dari UU No 27 Tahun 2009 menjadi UU No 17 Tahun 2014 kental dengan nuansa
kepentingan politik. Bahkan, pembelahan antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi
Indonesia Hebat adalah buah dari desain yang tertuang dalam perubahan Undang-
Undang tersebut.
Revisi dari UU No 27 Tahun 2009 berjalan alot dan diwarnai perdebatan
dari masing-masing fraksi yang terpolarisasi sebagai dampak dukungan Pilpres
2014. Salah satu perdebatan yang terjadi saat itu adalah terkait waktu pelaksanaan
Rapat Paripurna yang dilakukan sehari sebelum Pemilihan Presiden 2014. Salah
satu peserta Rapat Paripurna Erik Satrya Wardhana dari Fraksi Hanura
menyampaikan:
“Tadi saya bicara dengan Pak Wakil Ketua, Pak Imam. Jadi sistem
presidensial multipartai dimanapun selalu deadlock. Yang bisa berjalan
relatif efektif sampai dengan saat ini cuma Indonesia. Pertanyaannya
kenapa? Karena di Indonesia ada kompromi-kompromi yang terlembaga dan
tak terlembaga. Nah ruang kompromi ini yang harusnya kita ciptakan. Kalau
pengambilan keputusan kita paksakan sekarang tidak ada ruang kompromi.
Saya khawatir deadlock. Kalau pun tidak deadlock, itu tadi. Ada proses
pelembagaan, suasana, nilai yang tidak baik. Oleh karena itu saya usulkan
114
agar proses pengambilan keputusan ini ditunda sampai selesai Pilpres dan
karena Pilpres itu nanti di masa reses, maka setelah reses pada masa sidang
berikutnya.” 48
Rapat Paripurna berjalan dengan perdebatan diantara masing-masing kelompok,
seperti yang dilontarkan oleh Eva Kusuma Sundari dari Fraksi PDI-P dalam Rapat
Paripurna yang mengatakan:
“Saya sangat menyesalkan bahwa bukannya kita makin dewasa tapi
kemudian hanya kepentingan sesaat pilpres itu yang membuat suasana kita
terbelah dan kemudian tidak meninggalkan nilai-nilai yang harusnya justru
kita matangkan dan kita kembangkan. Jadi saya protes terhadap draft
Undang-Undang ini karena tidak membawa kebaikan tapi justru mudaratnya
banyak terutama apa yang kita inginkan sebagai praktek parlemen yang
makin akutabel, makin berkeinginan dan makin menunjukan kepribadian itu
hilang semua.” 49
Setelah terjadi perdebatan yang alot, akhirnya Rapat Paripurna diiirngi keputusan
walkout dari fraksi PDI-P, Hanura dan PKB.50
Meskipun terjadi walkout, Rapat
Paripurna revisi UU no 27 Tahun 2009 menjadi UU No 17 Tahun 2014 tetap
disahkan. Sehingga berdasarkan aturan baru ini membuat Koalisi Merah Putih
tidak mengalami kesulitan dalam merebut kursi pimpinan DPR-RI seperti yang
sudah dijelaskan dalam bab III. Namun, menurut Saldi Isra, pilihan untuk
menguasai pimpinan DPR tak dapat sepenuhnya dikatakan sebagai strategi
membangun check and balance dengan pemerintah, tetapi juga seperti hendak
48
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan
Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27
Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 8 Juli
2014), 58. 49
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan
Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27
Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 8 Juli
2014), 53. 50
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan
Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27
Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, 102.
115
melembagakan pembelahan pola hubungan kedua lembaga.51
Selain itu langkah
politik Koalisi Merah Putih untuk menguasai pimpinan DPR pada satu kelompok
telah menghadirkan pembelahan di internal DPR, dengan pengelompokan yang
tercipta setelah pilpres, terjadi kebuntuan secara permanen yang ditandai dengan
munculnya pimpinan DPR versi Koalisi Indonesia Hebat. Disfungsi DPR hampir
dua bulan lebih sejak dilantik adalah dampak dari revisi UU No 27 Tahun 2019
menjadi UU No 17 Tahun 2014.
Setelah melalui proses panjang, akhirnya UU No 17 Tahun 2014 tentang
MD3 di revisi kembali seiring dengan membaiknya hubungan diantara Koalisi
Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih.52
Dalam pembahasan di Pansus UU
MD3 yang diketuai oleh Saan Mustofa tersebut, pasal-pasal yang sempat menjadi
perdebatan adalah pasal 74 ayat 3 - 6 dan pasal 98 ayat 7 - 9 yang memuat hak
DPR dan sanksi administratif yang diberikan kepada pejabat negara. Namun,
semua fraksi akhirnya sepakat pasal tersebut dihapus.53
Setelah melalui rapat di
Pansus, akhirnya Revisi UU No 17 Tahun 2014 berhasil disahkan dalam Rapat
Paripurna DPR dengan hasil akhir win-win solution seperti yang dikatakan oleh
51
Saldi Isra, “Revisi UU MD3,” Kompas, 26 November 2014. 52
Membaiknya hubungan antara Koalisi Merah Putih dengan Koalisi Indonesia Hebat
terjadi pada tanggal 17 November 2014. Dalam pertemuan informal yang dilakukan oleh Hatta
Rajasa yang mewakli Koalisi Merah Putih dan Pramono Anung mewakili Koalisi Indonesa Hebat,
kedua kubu sepakat untuk islah dengan syarat dilakukan revisi terhadap UU MD3 dan juga
ketersediannya posisi untuk Koalisi Indonesia Hebat untuk Alat Kelengkapan Dewan (AKD)
DPR-RI. Lihat, “Islah DPR Diteken dengan 5 Butir Kesepakatan,” Tempo, 17 November 2014
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/17/078622484/Islah-DPR-Diteken-dengan-5-Butir-
Kesepakatan. Diakses pada 20 April 2015. 53
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan
Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17
Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 5
Desember 2014), 24-25.
116
Menteri Hukum dan HAM, Yassona Laoly yang mewakili Presiden dalam Rapat
Paripurna tanggal 5 Desember 2014.
“Kami sampaikan kepada Pimpinan serta Anggota Dewan yang terhormat.
Kami ucapkan terima kasih dan memberikan apresiasi yang setinggi-
tingginya atas segala niat baik, perhatian, dan kontribusi selama
berlangsungnya pembahasan RUU ini.” 54
Meskipun dalam prosesnya Revisi UU MD3 ini terjadi kegaduhan-kegaduhan,
namun dalam akhir pembahasannya, kedua kubu sepakat untuk mengambil jalan
islah dan kompromi yang membuat relasi antara eksekutif-legislatif bisa berjalan.
Kompromi tersebut yang menurut William R Liddle sebagai salah satu kelebihan
dari sistem presidenlisme di Indonesia bila dibandingkan dengan negara lain.55
Meskipun kompromi itu terjadi dalam struktur kelembagaan yang mengalami
divided government.
c) Pengangkatan Kapolri
Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 11 ayat (1) UU No 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian RI, bahwa dalam pengangkatan calon Kapolri, Presiden harus
mendapatkan persetujuan dari DPR. Meskipun kerapkali, aturan ini dinilai
berpolemik karena tidak sesuai dengan mekanisme sistem presidensialisme murni
dan cenderung mengkooptasi hak prerogatif Presiden yang seharusnya ditentukan
secara sendiri tanpa adanya campur tangan DPR dalam proses pengangkatan
Kapolri. Dalam penelitian ini, penulis sengaja memasukan kasus pengangkatan
Kapolri sebagai bagian dari interaksi eksekutif dan legislatif dalam klasifikasi
54
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang Pembicaraan Tiingkat II/Pengambilan
Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17
Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, 28. 55
Wawancara dengan William R Liddle.
117
fungsi legislasi karena ini menyangkut persoalan implementasi Undang-Undang
yang wajib dilaksanakan oleh Presiden dalam menjalankan tugasnya.
Relasi eksekutif-legislatif dalam proses pengangkatan Kapolri menjadi
perhatian publik karena calon Kapolri yang diusulkan oleh Presiden dalam surat
nomor: R/01/Pres/01/2015 pada tanggal 9 Januari 2015 yakni Budi Gunawan
berstatus sebagai tersangka oleh KPK.56
Dalam rapat yang dilakukan di Komisi III
DPR dibentuk Tim Kecil yang bertugas untuk mempersiapkan tahapan uji
kelayakan dan kepatutan terhadap Budi Gunawan yang terdiri dari wakil-wakil
fraksi yakni Aziz Syamsyuddin (Ketua Fraksi Golkar), Desmond Junaidi Mahesa
(Fraksi Gerindra/unsur Pimpinan), Benny Karman (Fraksi Demokrat/unsur
Pimpinan), Mulfahcri Harahap (Fraksi PAN/unsur Pimpinan), Junimart Girsang
(Fraksi PDI-P), John Kenedy Azis (Fraksi Golkar), Sufmi Dasco Ahmad (Fraksi
Gerindra), Ruhut Sitompul (Fraksi Demokrat), Muslim Ayub (Fraksi PAN),
Irmawan (Fraksi PKB), Aboe Bakar Alhabsyi (Fraksi PKS), Asrul Sani (Fraksi
PPP), Patrice Rio Capella (Fraksi Nasdem) dan Sarifuddin Sudding (Fraksi
Hanura).57
Dalam rapat tersebut, terjadi perdebatan apakah dilanjutkan atau tidak
pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri yang berstatus tersangka
oleh KPK. Dalam rapat tersebut, selurih fraksi menyetujui untuk diproses lebih
56
“Akhirnya KPK Jadikan Budi Gunawan Tersangka,” Tempo, 13 Januari 2015
http://www.tempo.co/read/news/2015/01/13/063634558/Akhirnya-KPK-Jadikan-Budi-Gunawan-
Tersangka Diunduh pada 4 Mei 2015. 57
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Tentang Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan
Keputusan terhadap Hasil Pembahasan Calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI)
(Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 15 Januari 2015), 35.
118
lanjut kecuali Fraksi Partai Demokrat.58
Bedasarkan rapat tersebut, Komisi III
menyetujui usulan Presiden untuk mengangkat Komjen Budi Gunawan sebagai
Kapolri dan memberhentikan Jendral Sutarman sebagai Kapolri. Kasus tersebut
membuktikan bahwa relasi antara eksekutif dan legislatif berjalan dengan baik
tanpa diiringi dengan deadlock, meskipun publik sempat dikejutkan dengan
pemberian status tersangka kepada Komjen Budi Gunawan oleh KPK namun hal
itu tidak mengganggu DPR untuk menyetujui usulan Presiden.
Meskipun Budi Gunawan sudah disahkan oleh DPR sebagai Kapolri,
Presiden melakukan tinjauan ulang tentang pengangkatan tersebut, mengingat
publik banyak yang bersikap antipati terhadap usulan Presiden tersebut. Seriring
berjalannya waktu, Presiden memutuskan untuk membatalkan pelantikan Komjen
Budi Gunawan dan mengangkat calon Kapolri baru yakni Komjen Badrodin Haiti,
sebagaimana yang dimaksud dalam surat Presiden No R-16/Pres/02/2015
tertanggal 18 Februari yang diajukan kepada DPR.59
Pembatalan pelantikan
Komjen Budi Gunawan ini yang membuat anggota DPR, Bambang Soesatyo
mempertanyakan dan menujukan sikap protes terhadap keputusan Presiden
tersebut, mengingat usulan presiden tersebut sudah disetujui dalam Rapat
Paripurna DPR.60
Meskipun Presiden membatalkan Komjen Budi Gunawan yang
58
Laporan Komisi III DPR-RI, Hasil Pembahasan dan Persetujuan Mengenai
Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri pada Rapat Paripurna DPR-RI (Jakarta: Sekretariat
Jenderal DPR-RI, 15 Januari 2015), 2. 59
Laporan Komisi III DPR-RI, Hasil Pembahasan dan Persetujuan Mengenai
Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri pada Rapat Paripurna DPR-RI (Jakarta: Sekretariat
Jenderal DPR-RI, Kamis, 16 April 2015), 1. 60
“F-Golkar: Jika Jokowi Tak Lantik Budi Gunawan, Tamparan Keras bagi DPR,”
Kompas, 6 Februari 2015 http://nasional.kompas.com/read/2015/02/06/11314831/F-
Golkar.Jika.Jokowi.Tak.Lantik.Budi.Gunawan.Tamparan.Keras.bagi.DPR Diunduh pada 4 Mei
2015.
119
telah melalui persetujuan dalam Rapat Paripurna DPR, usulan Presiden terkait
calon Kapolri baru yakni Komjen Pol. Badrodin Haiti tetap disetujui dalam Rapat
Paripurna DPR tanggal 16 April 2015, yang sebelumnya sudah dibahas melalui
pembicaraan tingkat 1 di Komisi III pada tanggal 8 April 2015.61
Meskipun terjadi
tarik-menarik antara Presiden dan DPR dalam proses pengangkatan Kapolri,
kedua lembaga tersebut tetap bisa membuat kesepakatan bersama. Sehingga
berbeda dengan asumsi teoritik yang sebagaimana dijelaskan pada bab II, dalam
konteks Indonesia, divided government yang terjadi tidak menyulitkan eksekutif
dan legislatif untuk mencapai kesepakatan bersama. Pada bagian selanjutnya,
penulis akan menjelaskan pendekatan yang bisa menjelaskan mengapa divided
government di Indonesia tidak berakhir dengan kebuntuan. Penjelasan ini
berdasarkan proses-proses yang terjadi dalam perumusan kebijakan.
C. Model Pendekatan dalam Divided Government
Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam paparan diatas, setidaknya
dalam konteks divided government di Indonesia, relasi antara eksekutif dan
legislatif bisa berjalan tanpa adanya deadlock dan saling menunjukan hasil win-
win solution. Hal ini berbeda dengan asumsi teoritik sebelumnya yang memiliki
pandangan pesimis dalam sistem presidensialisme-multipartai yang mengalami
divided government. Berdasarkan paparan yang sudah dijelaskan diatas, penulis
mengklasifikasikan beberapa pendekatan yang bisa menjelaskan mengapa hal
tersebut terjadi, yakni pendekatan melalui prosedur konstitusi dan pendekatan
61
Laporan Komisi III DPR-RI, Hasil Pembahasan dan Persetujuan Mengenai
Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri pada Rapat Paripurna DPR-RI (Jakarta: Sekretariat
Jenderal DPR-RI, 16 April 2015, 2.
120
diluar prosedur konstitusi. Kedua pendekatan tersebut berhasil mengurangi
ketegangan eksekutif-legislatif yang biasanya terjadi dalam konteks divided
government.
1. Pendekatan melalui Prosedur Konstitusi
Pendekatan ini berkaitan dengan mekanisme yang tercantum dalam
konstitusi yang mengharuskan eksekutif dan legislatif duduk bersama dalam
pengambilan keputusan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 20 (2) Undang-
Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap rancangan undang-undang dibahas
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama.” Aturan tersebut mendorong eksekutif dan legislatif bisa saling
meninggalkan ego dan kepentingannya masing-masing, hal tersebut terjadi
dikarenakan konstitusi ini mengarahkan eksekutif dan legislatif untuk
bernegosiasi, meskipun terjadi dalam konteks divided government.
Sepintas, mungkin penjelasan ini agak mirip dengan tesis Djayadi Hanan
ketika berbicara mengenai kelancaran sistem presidensialisme di Indonesia selama
era SBY, namun penjelasan tersebut tidak mencakup periode divided government
sebagai bahan pertimbangan untuk menjelaskan relasi eksekutif-legislatif. Padahal
secara umum, terjadinya deadlock dalam sistem presidensialisme itu terlebih
dahulu diawali dengan adanya proses divided govenment dalam stuktur
penguasaan di lembaga eksekutif dan legislatif, karena tidak mungkin eksekutif
dan legislatif terjadi dikotomi jika tidak ada pembelahan pemerintahan antara
eksekutif dan legislatif yang dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda. Dan
121
mekanisme yang tertuang dalam pasal 20 (2) UUD 1945 telah membantu
mengurangi terjadinya deadlock yang sebagaimana dikhawatirkan oleh teoritisi
sebelumnya yang berbicara mengenai divided government. Mekanisme ini
berbeda bila dibanding dengan sistem presidensialisme di Amerika Serikat yang
mana antara eksekutif dan legislatif tidak dijembatani secara bersama dalam
proses perumusan Undang-Undang.
Keberhasilan pendekatan melalui prosedur konstitusi dalam mekanisme
perumusan Undang-Undang yang mampu mengurangi kekhawatiran deadlock
dalam konteks divided government adalah prestasi bagi berlangsunganya sistem
presidensialisme-multipartai di Indonesia. Mengingat, banyak asumsi teoritik
sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab II mengenai hubungan yang dekat
antara terjadinya deadlock dengan divided government. Keberhasilan ini berbeda
halnya dengan kepemimpinan SBY yang juga tidak mengalami deadlock,
sebagaimana yang ditulis Djayadi Hanan dengan menunjukan tesis adanya koalisi
dengan jumlah besar atau diatas single majority (50%+1) sebagai faktor yang ikut
berperan dalam menghindari terjadi deadlock, pendekatan koalisi ini juga yang
menurut William R. Liddle, fenomena divided government tidak terjadi dalam era
SBY,62
dan komposisi eksekutif dan mayoritas legislatif saat era SBY pada
dasarnya dikuasai oleh kelompok yang sama yang dikoordinasikan dalam
Sekretariat Gabungan (Setgab) sehingga pendekatan melalui prosedur konstitusi
yang berlangsung pada era SBY adalah relasi yang dibangun oleh satu kelompok
koalisi yang terpisah secara kelembagaan antara eksekutif dan legislatif sehingga
62
Wawancara dengan William R Liddle.
122
sulit untuk terjadi kegaduhan diantara kedua lembaga tersebut, karena eksekutif
dan partai-partai mayoritas di DPR sudah diikat melalui pendekatan koalisi,
meskipun koalisi tersebut seringkali tidak permanen atau dalam berbagai isu
cenderung mengeluarkan sikap yang berbeda dengan pemerintah.
Pada pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla yang mengalami divided
government, pendekatan melalui prosedur konstitusi berhasil membantu relasi
antara eksekutif-legislatif berjalan dengan interaktif dan tanpa terjadi deadlock.
Sebagai contoh kasus dalam pembahasan APBN-P 2015 misalnya, hal tersebut
nampak pada penolakan dan perubahan beberapa usulan RAPBN-P 2015 oleh
DPR dari yang sebelumnya diusulkan oleh Presiden seperti yang tergambar pada
Tabel IV.B.1.1 mengenai proses silang pendapat antara pemerintah saat rapat-
rapat di Komisi DPR mengenai Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBN-P 2015.
Sehingga menurut Adian Napitupulu tercipta negosiasi dalam proses politik,63
dan
berakhir pada win-win solution antara eksekutif dan legislatif. Kasus lain yang
bisa dijadikan contoh adalah mengenai seluruh rangkaian pembahasan revisi UU
MD3. Seperti yang sudah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, bahwa UU MD3
berkali-kali dilakukan revisi saat sebelum dan sesudah presiden dan DPR periode
2014-2019 dilantik. Misalnya saat DPR periode 2009-2014 masih menjabat telah
dilakukan revisi terhadap UU No 27 Tahun 2009 menjadi UU No 17 Tahun 2014
yang didalamnya memuat perubahan dalam pasal 84 bahwa pimpinan DPR tidak
secara otomatis dikuasai oleh partai pemenang pemilu tetapi dipilih melalui
mekanisme demokratis. Proses perubahan tersebut kental dengan nuansa
63
Wawancara dengan Adian Napitupulu, Politisi PDI-Perjuangan dan Anggota Komisi III
DPR-RI periode 2014-2019, tanggal 18 Mei 2015.
123
kepentingan politik. Bahkan, pembelahan antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi
Indonesia Hebat adalah buah dari desain yang tertuang dalam perubahan Undang-
Undang tersebut. Sebagai pemenang dalam proses revisi tersebut, membuat
Koalisi Merah Putih berhasil memenangkan perebutan kursi pimpinan DPR, dan
tak ada satu pun kursi pimpinan diberikan kepada Koalisi Indonesia Hebat. Bisa
dikatakan hal tersebut merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan dari proses
divided government yang terjadi di intra-legislatif. Hal itu pula yang menjadikan
Koalisi Indonesia Hebat sebagai representasi eksekutif di legislatif sangat
menolak revisi tersebut dan memiliki walk out saat rapat paripurna. Praktis hal itu
membuat PDI-P merugi karena sebagai partai pemenang pemilu tidak berhasil
merebut kursi pimpinan DPR, bahkan MPR sekalipun. Proses penolakan tersebut
nampak pada terbentuknya pimpinan DPR tandingan versi Koalisi Indonesia
Hebat sehingga membuat fungsi dan tugas DPR dalam beberapa waktu
mengalami tersendat.64
Namun, tersendatnya fungsi dan tugas DPR tersebut
perlahan bisa diselesaikan melalui mekanisme konstitusi dengan diadakannya
revisi UU MD3 kembali di rapat paripurna DPR pada tanggal 5 Desember 2015,
meskipun sebelumnya juga diselingi oleh pertemuan-pertemuan informal, yang
nantinya akan disinggung pada sub-bab berikutnya mengenai pendekatan diluar
64
Berdasarkan Tata Tertib DPR, dalam Pasal 281 maupun Pasal 284 Ayat 1 tertera bahwa
pengambilan keputusan DPR melalui musyawarah mufakat ataupun dengan suara terbanyak
menjadi sah, jika didapat melalui forum rapat yang sesuai dengan syarat kuorum. Syarat itu diatur
di Pasal 251, bahwa pertemuan harus dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri
atas lebih dari separuh unsur fraksi yang ada. Jika dilihat melalui mekanisme kuorum maka DPR
dapat mengambil keputusan sah jika dihadiri anggota dari minimal enam fraksi. Aturan tersebut
tidak bisa dipenuhi dikarenakan PPP yang semula bergabung ke Koalisi Merah Mutih berpindah
ke Koalisi Indonesia Hebat, sehingga polarisasi di DPR semakin sengit dengan kedua kubu sama-
sama memiliki lima fraksi. Melalui aturan yang tertera dalam tata tertib DPR pasal 254 dan 251,
membuat keberadaan dualisme kepemimpinan DPR berakibat pada ketidakmampuan DPR dalam
menjalankan tugas dan fungsinya.
124
prosedur konstitusi. Adanya revisi UU MD3 tersebut membuat pendekatan
melalui prosedur konstitusi ini berhasil membuat Koalisi Indonesia Hebat dan
Koalisi Merah Putih menurunkan ketegangan yang diakibatkan dampak pilpres.
Meskipun sebelumnya terjadi ketegangan antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi
Indonesia Hebat di DPR, keduanya berhasil menunjukan sikap islah dengan
adanya revisi UU MD3 sebagai persyaratan. Sehingga mekanisme yang tercantum
dalam konstitusi berhasil mendorong konsensus antara kedua kubu di DPR.
Selain itu, bagi penulis, pendekatan melalui prosedur konstitusi ini tidak
bisa dipahami secara langsung dan tersendiri, tetapi juga dikombinasikan dengan
model pendekatan diluar prosedur konstitusi guna melancarkan relasi eksekutif
dan legislatif. Sehingga, jelas bahwa pendekatan ini merupakan cara formal guna
memberikan suatu dorongan untuk kedua kubu di DPR agar bisa saling bertemu
untuk mendapatkan persetujuan bersama. Sekalipun, persetujuan bersama tersebut
harus ditempuh bagi kedua kubu yang sebelumnya mengalami ketegangan pasca
Pilpres 2014. Oleh karenanya, pendekatan melalui prosedur konstitusi ini bisa
dilakukan dengan baik jika sebelumnya didahului dengan pendekatan diluar
prosedur konstitusi seperti adanya pertemuan antara pemerintah dengan oposisi
guna memastikan bahwa agenda-agenda yang akan dibahas dalam paripurna bisa
berjalan dengan tanpa hambatan.
Secara formal, pendekatan melalui prosedur konstitusi ini menjadi penting
guna menjaga agar deadlock tidak terjadi dalam konteks divided government.
Pendekatan ini mengarahkan kedua kubu yang berseteru untuk lebih menunjukan
sikap kompromistis dalam mencapai kesepakatan dan dengan sendirinya
125
memerlukan sikap kerelaan bagi kedua kubu untuk menerima hal yang tidak ideal
dari apa yang sebelumnya diharapkan, sesaat sebelum terjadinya pertemuan dalam
rangka pembahasan bersama tersebut. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Viva
Yoga Mauladi, dalam pembahasan APBN-P 2015 misalnya, dikemukakan bahwa
mekanisme ini membuat antar kelompok saling berorientasi pada national interest
dan tidak berporos pada Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat.65
Hal
yang sama juga dikatakan oleh Indra J Piliang bahwa sampai pada akhirnya,
konflik antara Koalisi Indonesia Hebat dengan Koalisi Merah Putih akan
menemukan titik kompromi dalam membangun relasi eksekutif dengan
legislatif.66
Tak hanya itu, Indra J Piliang bahkan mengutarakan
ketidaksepahamannya dengan pendekatan koalisi dalam sistem presidensial
sebagai respon strategis untuk menghindari kegaduhan eksekutif dan legislatif
sebagaimana yang diutarakan oleh para pendukung tesis koalisi presidensial
seperti Paul Chaisty, Nic Cheseeman, T.J Power. Menurutnya, koalisi dalam
konteks Indonesia yang menganut sistem desentralisasi dipandang tidak sesuai
dengan dinamika yang terjadi di tingkat daerah dan pusat. Seperti yang dikutip
dalam petikan wawancara berikut.
“Oleh karenanya pendekatan koalisi menjadi tak mungkin dalam konteks
indonesia. karena kita kan ada 500 lebih gubernur dan walikota. Di masing-
masing daerah itupartai penguasanya beda-beda. Tau gak pemenang pemilu
di kota Solonto siapa? Dari PKPI coba. Kalah golkar. Di kota pariaman,
hampir saja PBB menjadi pemenang pemilu. Hampir kalah golkar, dinamika
di daerah lalu mau dikoalisikan di pusat? Ya gak bisa.” 67
65
Wawancara dengan Viva Yoga Mauladi, Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI 2014-2019 /
Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), tanggal 10 Mei 2015. 66
Wawancara dengan Indra J. Piliang, Ketua Tim Ahli Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara- Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB), tanggal 27 Maret 2015. 67
Wawancara dengan Indra J. Piliang.
126
Pandangan Indra J Piliang tersebut dipandang kontras bila dibandingkan dengan
pendekatan koalisi presidensial yang pada umumnya mendorong adanya koalisi
guna menjaga relasi eksekutif dan legislatif bisa berjalan baik. Namun, ketika
penulis menyodorkan tesis koalisi presidensial tersebut, Indra J Piliang bisa
dengan yakin mengatakan bahwa sampai pada akhirnya kompromi-kompromi
dalam hal perumusan kebijakan akan tetap terjadi,68
meskipun tidak dijembatani
melalui pendekatan koalisi. Hal tersebut bisa ditenggarai sebagai dampak positif
dari prosedur konstitusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 (2) Undang-
Undang Dasar 1945 yang membuat eksekutif dan legislatif bisa saling
mendiskusikan rencana kebijakan secara bersama-sama, sehingga bisa
meminimalisir terjadi konflik kelembagaan diantara keduanya dan mencegah
terjadinya deadlock, karena hal tersebut ditutupi oleh mekanisme konsensus yang
mampu meredam ketegangan yang biasanya terjadi dalam kondisi divided
government.
2. Pendekatan diluar Prosedur Konstitusi
Pendekatan ini berkaitan dengan adanya mekanisme kesepakatan yang
tidak diatur dalam konstitusi antara pemerintah dengan oposisi yang
terfragmentasi dalam lembaga eksekutif dan legislatif guna memuluskan
kebijakan pemerintah. Atau yang sering disebut oleh Djayadi Hanan sebagai
lobby informal, namun penulis sengaja menyebutnya sebagai pendekatan diluar
konstitusi karena pendekatan ini seringkali menimbulkan kritik dan memiliki
prasangka negatif dalam proses relasi eksekutif dan legislatif yang berakhir
68
Wawancara dengan Indra J. Piliang.
127
dengan kesepakatan bersama, sehingga penyebutan mekanisme informal
sebagaimana disebutkan Djayadi Hanan dinilai kurang tepat dalam menempatkan
sebuah nilai dalam praktek demokrasi. Meskipun, tidak semua yang dilakukan
dalam mekanisme diluar konstitusi ini mengabaikan prinsip etika dan moralitas
dalam politik. Beberapa pendekatan yang dimaksud yakni adanya lobby-lobby,
kompromi dan tidak jarang menimbulkan transaksi politik. Hal itu yang kerap
dilakukan oleh Jokowi dengan oposisi pemerintah guna memuluskan kebijakan di
DPR. Padahal logikanya, hubungan antara pemerintah dengan oposisi selalu
berada dipihak yang bersebrangan dalam proses pengambilan kebijakan, atau jika
ada kebijakan pemerintah yang dianggap keliru dimata publik maka oposisi akan
menolaknya. Namun logika tersebut tidak tampak dalam periode divided
government pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Padahal sebelumnya, hubungan antara eksekutif yang direpresentasikan
sebagai Koalisi Indonesia Hebat dan legislatif yang direpresentasikan sebagai
Koalisi Merah Putih mengalami perseteruan sengit sebagai dampak Pilpres 2014.
Namun sebagaimana yang dikatakan oleh Robert Elgie bahwa kompetisi dan
konflik dalam politik adalah hal yang wajar, tinggal bagaimana sikap dari
pemimpin untuk menghadapi hal tersebut, termasuk sikap Presiden dalam
menghadapi fenomena divided government.69
Sebagai perwujudan dari sikap
Presiden, pendekatan diluar prosedur konstitusi ini memungkinkan adanya
interaksi antara Presiden dengan petinggi dari kelompok oposisi pemerintah.
Interaksi ini bisa dilakukan kapan saja diluar jadwal masa persidangan DPR.
69
Wawancara dengan Robert Elgie, Professor bidang Pemerintahan dan Studi
Internasional, Dublin City University, Ireland, tanggal 18 Februari 2015.
128
Pendekatan diluar prosedur konstitusi ini juga kerap ditunjukan dalam interaksi
yang dilakukan oleh Joko Widodo dengan Prabowo Subianto pada tanggal 29
Januari 2015 di Istana Bogor melalui pertemuan tertutup yang kemudian
dilanjutkan dengan pidato Prabowo Subianto yang menyatakan akan siap
mendukung pemerintahan Joko Widodo. Ini menjadi unik, padahal Prabowo
Subianto adalah petinggi dari Koalisi Merah Putih yang merupakan oposisi
pemerintah tetapi dalam pidatonya menunjukan dukungannya terhadap kebijakan
pemerintah saat berhadapan dengan DPR. Sehingga mekanisme diluar konstitusi
ini menjadi solusi untuk mengurangi ketegangan antara eksekutif dan legislatif
yang mengalami divided government.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa pendekatan diluar prosedur
konstitusi ini kerap menjadi sasaran kritik karena seringkali interaksi ini
berlangsung secara tertutup sehingga menimbulkan prasangka negatif terkait
pembicaraan-pembicaraan yang terjadi di belakang, Sebagaimana yang terjadi
dalam pertemuan antara Joko Widodo dengan Prabowo Subianto pada tanggal 29
Januari 2015, salah satu narasumber yang tidak bersedia disebutkan namanya
mengatakan:
“Kedatangan Prabowo yang utama bukan untuk membahas isu Kapolri atau
Pencak Silat yang sebagaimana beredar. Ini informasi yang tidak tersebar di
media. Jadi begini, Prabowo itu kan punya perusahaan, namanya PT Kiani
Kertas. Perusahaannya itu saat ini memiliki hutang sekitar 2 Triliun. Nah
dalam pembicaraan yang tertutup itu, Prabowo meminta kepada Jokowi
untuk supaya pemerintah menanggung hutang diperusahaannya itu. Saya tak
tahu, feedback apa yang diterima oleh Jokowi bila menuruti permintaannya
129
Prabowo. Dan Jokowi saat itu tidak menjawab apa-apa. Tetapi hanya
melontarkan senyum kepada Prabowo.” 70
Dengan begitu, pendekatan ini memiliki problematika tersendiri ketika pemerintah
dan oposisi sudah menempuh jalur kesepakatan, Walaupun, relasi antara
eksekutif-legislatif berjalan tanpa hambatan tetapi menimbulkan transaksi-
transaksi politik yang terjadi demi kepentingan elit dan mengabaikan kepentingan
publik secara umum, artinya ada sesuatu yang dikorbankan daripada sekadar
terjadinya suatu deadlock dalam relasi eksekutif dan legislatif.
Selain itu, kasus lain yang bisa dijadikan contoh sebagai pendekatan diluar
prosedur konstitusi adalah saat pembahasan UU MD3, yang sebelumnya terjadi
beberapa kali revisi, namun proses itu juga diawali dengan adanya pertemuan
informal yang dilakukan oleh Pramono Anung sebagai perwakilan dari Koalisi
Indonesia Hebat dan Hatta Rajasa sebagai perwakilan dari Koalisi Merah Putih.
Setelah diadakan pertemuan tertutup yang dilakukan pada tanggal 12 November
2015 di kediaman Hatta Rajasa tersebut, keduanya menyatakan sikap islah dengan
adanya kompensasi politik sebesar 21 kursi Alat Kelengkapan Dewan (AKD)
DPR untuk Koalisi Indonesia Hebat. Sehingga, pendekatan ini kental dengan
nuansa transaksi politik guna menghindari terjadinya deadlock. Ini juga yang
menjadi kekurangan secara mendasar mengenai pendekatan diluar prosedur
konstitusi untuk menghindari deadlock dalam konteks divided government.
Dengan diberikannya kursi Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPR untuk Koalisi
Indonesia Hebat, kedua kubu yang berseteru bisa berdamai seiring dibubarkannya
70
Untuk menjaga keamanan informasi dan mencegah hal yang tidak diinginkan. Tanpa
mengurangi validitas informasi, narasumber tidak bersedia disebutkan identitasnya.
130
pimpinan DPR tandingan versi Koalisi Indonesia Hebat yang praktis telah
membuat fungsi dan tugas DPR menjadi terhambat dalam beberapa waktu setelah
dilantik.
Sebetulnya, ada kasus lain yang bisa dijadikan contoh untuk menela’ah
pendekatan diluar prosedur konstitusi secara lebih lanjut, dalam hubungan antara
Joko Widodo dengan Aburizal Bakrie misalnya. Pada tanggal 18 Desember 2014,
Jokowi menyatakan akan membeli PT Minarak Lapindo dan melunasi ganti rugi
kepada korban sebesar 781 Miliar.71
Penulis tidak menemukan data terkait
pengakuan adanya deal-deal politik di balik upaya Joko Widodo untuk melunasi
ganti rugi tersebut, namun hal itu bisa terindikasi demikian, mengingat, hal itu
tampak dari beberapa sikap Golkar saat masih dipimpin oleh Aburzal Bakrie
terhadap penerimaan seluruh proses legislasi pada saat periode divided
government yang dibatasi dalam penelitian ini. Hal tersebut begitu kontras apabila
dibandingkan dengan sikap Aburizal Bakrie yang sejak sebelum Pilpres berada di
pihak yang bersebrangan dengan Joko Widodo, namun dalam kasus penyelesaian
PT Minarak Lapindo, keduanya bisa saling bersinergi. Sehingga dalam hal ini
divided government tidak menyulitkan kedua kubu untuk saling berinteraksi,
mengingat hubungan diantara keduanya berada pada posisi saling membutuhkan.
Presiden membutuhkan dukungan oposisi supaya usulan kebijakannya bisa
diterima, begitupun juga dengan oposisi yang juga memiliki kepentingan guna
memperoleh sumber daya yang ada dalam negara, mengingat, para petinggi
71
“Kasus Lumpur Lapindo, Desmond: Jokowi Sandera Ical,” Tempo, 19 Desember 2014
http://nasional.tempo.co/read/news/2014/12/19/078629754/Kasus-Lumpur-Lapindo-Desmond-
Jokowi-Sandera-Ical Diunduh pada 28 Juni 2015.
131
oposisi juga lebih banyak diisi oleh kalangan pengusaha sehingga apa yang
menjadi daya tawar sumber daya tidak lepas dari hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan bisnis. Prabowo misalnya yang dihubungkan dengan PT Kiani
Kertas, begitu juga dengan Aburizal Bakrie yang dihubungkan dengan PT
Minarak Lapindo. Karena petinggi oposisi tersebut juga memiliki kekuatan sentral
di masing-masing partai sehingga untuk melakukan mekanisme diluar konstitusi
ini, Presiden hanya cukup untuk melakukan komunikasi kepada satu atau dua
orang saja untuk memastikan dukungan seluruh kursi partai politik yang
bersangkutan di DPR.
Selain itu, yang perlu menjadi catatan dalam pendekatan ini adalah
perilaku aktor menjadi kunci penting yang membuat pendekatan diluar prosedur
konstitusi ini dapat berjalan. Pendekatan ini hanya bisa terjadi apabila perilaku
aktor atau Presiden mampu berkompromi dan luwes dalam membangun
komunikasi dengan pihak oposisi pemerintah. Jika perilaku aktor tidak memenuhi
syarat tersebut, maka pendekatan ini akan sulit bisa terealisasikan. Selain itu,
kelemahan yang terjadi akibat pendekatan ini yakni memicu adanya transaksi
politik antara pemerintah dengan oposisi atau jika boleh dikatakan sebagai mahar
politik atas dukungan kebijakan pemerintah di legislatif. Hal ini tidak saja
mengabaikan komitmen ideologis dan perjuangan platform, tetapi juga
mengabaikan substansi dari demokrasi yang seharusnya lebih mengutamakan
kepentingan publik. Kenapa ini menjadi bermasalah? Dalam berbagai kasus, tidak
bisa dipungkiri bahwa pendekatan diluar prosedur konstitusi ini berada di posisi
menguntungkan bagi elit-elit di partai politik, meskipun secara umum partai
132
politik adalah institusi yang bersifat collective collegial dan menyangkut beragam
kepentingan para kader yang ada di dalam tubuh partai politik, namun keberadaan
elit partai yang paling berpengaruh membuat seringkali kebijakan partai
ditentukan oleh perseorangan dan seringkali mengabaikan prinsip collective
collegial, meskipun hal itu tak seluruhnya diakui oleh sebagian pengurus partai.
Contohnya saat Joko Widodo melalukan pertemuan dengan Prabowo Subianto
tanggal 29 Januari 2015 di Istana Bogor yang kemudian disusul oleh sikap Koalisi
Merah Putih yang akan mendukung kebijakan pemerintah. Sehingga proses
negosiasi cukup dilakukan oleh perseorangan untuk memastikan dukungan yang
besar di DPR. Ini yang membuat pendekatan diluar prosedur konstitusi bisa
dilakukan dengan mudah dan bisa dilakukan kapan saja, diluar masa persidangan
DPR. Begitu juga berkaitan dengan kompensasi politik yang dihasilkan dalam
proses negosiasi juga lebih menguntungkan kepentingan para elit-elit partai politik
saja dengan distribusi yang tidak merata kepada seluruh kader partai politik. Ini
merupakan dampak buruk dari pendekatan diluar prosedur konstitusi yang juga
tidak bisa diabaikan dan bahkan bisa dikatakan tidak kalah bahayanya jika
dibandingkan dengan kondisi deadlock. Tetapi meskipun begitu, mekanisme ini
bisa berakhir dengan win-win solution antara dua kubu yang terdikotomi antara
eksekutif dan legislatif. Berdasarkan informasi melalui wawancara, Eva Kusuma
Sundari juga mengafirmasi bahwa sikap kompromi perlu dilakukan agar eksekutif
dan legislatif bisa berakhir dengan win-win solution.72
Begitu juga menurut
politisi Partai Demokrat, Ulil Abshar Abdalla yang menyatakan bahwa kultur
72
Wawancara dengan Eva Kusuma Sundari, Politisi PDI-Perjuangan dan mantan Komisi
III DPR-RI 2009-2014, tanggal 1 Mei 2015.
133
politik di Indonesia pada dasarnya kompromistis.73
Sehingga sikap tersebut yang
membuat divided government di Indonesia tidak berakhir pada kesulitan eksekutif
dalam membangun kesepakatan dengan legislatif.
Sikap perilaku aktor yang luwes dalam membangun komunikasi dengan
oposisi pemerintah membuat titik kopromi adalah keniscayaan. Selain itu,
ketidaksolidan koalisi di dalam sistem presidensialisme-multipartai juga berhasil
membuat fenomena divided government tidak berlangsung dalam waktu yang
lama. Hal tersebut senada dengan paparan David Altman di dalam bab II bahwa
dalam sistem presidensialisme-multipartai, keberadaan partai di dalam koalisi bisa
berpindah di satu periode kepemimpinan presiden. Seperti yang terjadi pada
fenomena berpindahnya PPP dari yang sebelumnya berada di Koalisi Merah Putih
lalu bergabung ke Koalisi Indonesia Hebat saat proses pemilihan pimpinan MPR
periode 2014-2019. Selain itu juga ketidakstabilan koalisi di dalam Partai Golkar
yang mengalami dualisme kepemimpinan juga mempengaruhi arah koalisi Partai
Golkar. Mengingat, kepengurusan Agung Laksono yang mendapatkan pengesahan
SK Menkumham telah mendeklarasikan diri mendukung pemerintahan. Meskipun
disadari juga terdapat beberapa kader Partai Golkar yang masih memposisikan
dirinnya sebagai oposisi pemerintah, seperti kepengurusan Golkar versi Aburizal
Bakrie. Sehingga fenomena tidak solidnya partai politik terhadap arah koalisi serta
kemungkinan berpindahnya partai politik dari satu koalisi ke koalisi yang lain
berdampak pada tidak kuatnya bangunan divided government yang terjadi di
Indonesia yang mana fenomena tersebut tidak terjadi dalam waktu yang lama dan
73
Wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla.
134
bisa berujung pada hubungan saling kerjasama antara eksekutif dan legislatif
dalam membangun kesepakatan bersama. Hal tersebut sebagaimana yang
dipaparkan oleh William R. Liddle bahwa demokrasi sehat harus ada
keseimbangan antara budaya konflik dan kompromi. Dalam politik, konflik akan
selalu terjadi, sebab kelompok kepentingan akan selalu berusaha untuk
memengaruhi proses pengambilan keputusan, tetapi pada akhirnya kelompok
tersebut harus bersedia menerima sesuatu yang kurang dari ideal dari apa yang
sebelumnya diharapkan. Penerimaan terhadap hal yang tidak idealnya itu adalah
wujud perjuangan demi keberlanjutan sistem demokrasi itu sendiri atau Robert
Dahl menyebutnya sebagai Polyarchy.74
Bahkan dengan nada yang lebih optimis,
Sebastien Lazardeaux berasumsi bahwa fenomena divided government bisa
memberikan kesempatan lobby antara eksekutif dan legislatif untuk
mempengaruhi kebijakan yang lebih baik.75
Meskipun diakui bahwa hal tersebut
belum teruji secara empirik. Berbeda dengan optimisme yang dibawa Sebastien
mengenai lobby dalam sistem presidensial, Hamdi Muluk justru menunjukan nada
sinis mengenai lobby dan kompromi yang dimungkinkan terjadi dalam sistem
presidensial yang mengacu pada pemerintahan SBY. Sebagaimana yang
dipaparkan oleh Hamdi Muluk dalam kutipan wawancara yang mengatakan:
“Sebenernya kita bisa menerima kompromi kalau kepentingan publik ini
bisa diakomodasi secara maksimal yang diambil secara keputusan bersama
dan dieksekusi. Itu artinya kinerja pencapaian publik saat era SBY tidak big
impression. Meskipun secara hubungan eksekutif dan legislatif ya stabil,
tetapi kalau kita memaknai prestasi SBY selama 2 periode ini apa? Ya
meskipun kerusuhan politik pun minim seperti yang dibilang Djayadi. Antar
74
Wawancara dengan William R. Liddle. 75
Wawancara dengan Sebastien G. Lazardeux, Asisten Professor Ilmu Politik, St. John
Fisher College, tanggal 9 Februari 2015.
135
aktor juga tak banyak berkelahi, itu juga benar. Dan orang pada tahu
akhirnya, ada permainan anggaran di belakang.” 76
Sinisme yang ditunjukan oleh Hamdi Muluk tentunya juga menjadi kekhawatiran
penulis mengenai dampak buruk dari pendekatan diluar prosedur konstitusi ini,
namun hal itu sekiranya bisa ditutupi oleh keterbukaan peran masyarakat untuk
bisa lebih mengontrol dan mengawasi berbagai macam implementasi dari
pendekatan ini, termasuk lebih diutamakan adanya peran Non-Government
Organization (NGO) pro reformasi yang lebih bisa mengawal dampak buruk
tersebut. Hal ini penting dalam upaya menyelesaikan masalah dengan tidak
menghasilkan masalah baru. Oleh karenanya peran publik sangat dibutuhkan
untuk mengontrol proses tersebut agar tidak terjadi penyelewengan yang mungkin
bisa saja merugikan negara sebagai akibat buruk dari pendekatan diluar prosedur
konstitusi ini.
Terakhir, proses ini tidak saja dilakukan saat pemerintahan Jokowi, saat
pemerintahan SBY pun juga demikian, namun apabila dibandingkan, keduanya
memiliki corak kompromistis yang berbeda, apabila di pemerintahan SBY,
kompromistis dibangun berdasarkan intra-koalisi, atau kompromi yang sudah
diikat melalui pendekatan koalisi, sehingga ini berbeda dengan jenis kompromi
pada pemerintahan Jokowi yang dilakukan melalui antar-koalisi dan dalam
konteks divided government. Selain itu penulis juga tidak mendapatkan data
terkait sejauh mana perbandingan kerugian yang dihasilkan dari pendekatan diluar
prosedur konstitusi yang terjadi antara pemerintahan Jokowi yang mengalami
divided government dengan pemerintahan SBY yang mengalami unified
76
Wawancara dengan Hamdi Muluk.
136
government, apakah dampak buruk dari pendekatan diluar prosedur konstitusi
dalam konteks divided government jauh lebih besar atau lebih sedikit bila
dibanding dengan konteks unified government seperti era SBY, itu harus
dilakukan penelitian lebih lanjut. Namun, terlepas dari segala kekurangannya,
pendekatan diluar prosedur ini berhasil mencairkan suasana ketegangan antara
eksekutif dengan legislatif dalam konteks divided government. Sehingga ini
berhasil membuat relasi eksekutif-legislatif bisa berjalan tanpa adanya deadlock.
137
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan koalisi presidensial
untuk menganalisis faktor terjadinya divided government pada pemerintahan Joko
Widodo – Jusuf Kalla sekaligus melihat seberapa kuat pendekatan koalisi
presidensial untuk dijadikan respon strategis terhadap dilema kelembagaan yang
ditimbulkan terkait kompleksitas eksekutif atau presiden dengan legislatif yang
terfragmentasi dengan sistem multipartai sebagaimana yang dikatakan oleh Paul
Chaisty dkk, pada bab II penelitian ini, atau sebagaimana yang diklasifikasikan
oleh Jose Antonio Cheibub mengenai pentingnya eksekutif untuk memperoleh
koalisi diatas single majority (50%+1) untuk melancarkan agenda-agenda
pemerintah dalam sistem presidensialisme-multipartai.
Penelitian ini menemukan bahwa kegagalan eksekutif dalam membangun
koalisi presidensial menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya divided
government pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Hal ini ditenggarai oleh
ketidakcapakan PDI-P sebagai partai pemenang pemilu untuk bersikap lebih
terbuka dengan partai-partai lain, yang menurut beberapa narasumber dalam
penelitian ini, partai-partai diluar PDI-P atau Koalisi Indonesia Hebat sudah
berusaha untuk membuka komunikasi namun hal itu diabaikan oleh Megawati
sebagai pemegang otoritas dalam PDI-P sehingga menyebabkan koalisi partai
pemerintahan tidak mencapai single majority (50%+1) atau terjadi divided
138
government yakni kondisi dimana eksekutif tidak memiliki kekuatan koalisi partai
pemerintahan (the ruling coalition parties) secara mayoritas di legislatif dan
berujung pada dikuasainya kedua lembaga tersebut oleh dua kelompok yang
berbeda.
Namun, sebagaimana yang sudah dianaisis pada bab sebelumnya bahwa
berbeda dengan asumsi teoritik mengenai divided government dalam sistem
presidensialisme-multipartai yang dianggap berpotensi deadlock (Cheibub, 1999;
Elgie, 2001), maka pada periode divided government yang penulis ambil dalam
penelitian ini asumsi teoritik tersebut cenderung tidak terbukti. Pendekatan koalisi
presidensial yang mensyarakatkan kemampuan eksekutif harus mendapatkan
dukungan koalisi kemenangan minimal atau single majority (50%+1) di legislatif
untuk melancarkan agenda dan usulan yang dibawa oleh eksekutif tidak lagi
menjadi tolak ukur atau dengan sendirinya gugur untuk menjelaskan relasi
ekskutif-legislatif yang kooperatif dalam konteks Indonesia. Mengingat, kasus
yang penulis kaji dalam penelitian ini berbeda hal dengan yang terjadi pada
periode Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki koalisi diatas single majority
(50%+1) atau koalisi dengan angka maksimal (maximum winning coalition)
sehingga keberhasilan membangun koalisi presidensial bisa dikatakan menjadi
salah satu faktor yang mampu menghindari deadlock dalam sistem presidensial di
era SBY sebagaimana disimpulkan oleh Djayadi Hanan. Berbeda dengan realitas
tersebut, maka dalam penelitian yang mengkaji periode divided government pada
pemerintahan Joko Widodo ditemukan bahwa sekalipun eksekutif tidak berhasil
membangun kekuatan koalisi presidensial diatas single majority (50%+1) , relasi
139
antara eksekutif dan legislatif bisa berjalan dengan baik dan tanpa ada potensi
deadlock yang sebagaimana diasumsikan oleh para teoritisi sebelumnya. Sehingga
ini menjadi satu fenomena yang tergolong baru untuk dalam sejarah Indonesia era
reformasi.
Implikasi teoritis dalam penelitian ini adalah dengan sendirinya teori yang
dijabarkan oleh Jose Antonio Cheibub mengenai peluang deadlock dalam sistem
presidensial yang sebagaimana digambarkan pada bab IV gagal untuk
menjelaskan fenomena yang terjadi di Indonesia. Begitu juga halnya dengan
penjelasan yang dilakukan oleh Paul Chaisty, Nic Cheseeman, T.J Power
mengenai tesisnya tentang koalisi presidensial juga dipandang kurang mampu
menjelaskan fenomena yang terjadi di Indonesia, karena pandangan mereka
ketiganya selalu bermuara pada pendekatan koalisi yang diinisiasi oleh presiden
sebagai jalan alternatif untuk menghindari deadlock dalam sistem presidensial.
Meskipun dalam studi ini pendekatan koalisi juga dilakukan oleh pemerintahan
Joko Widodo – Jusuf Kalla tetapi koalisi yang dibangun tersebut tidak mencapai
batas minimal single majority sebagai satu syarat bagi berlangsungnya sistem
presidensial sebagaimana yang dipaparkan oleh para pendukung tesis koalisi
presidensial. Bertolak belakang dari hal tersebut, dalam penelitian ini relasi
ekskutif-legislatif bisa berjalan dengan baik tanpa adanya deadlock meskipun
eksekutif tidak memiliki angka koalisi presidensial yang mencapai single majority
atau terjadi divided government. Dengan kata lain, divided government dalam
sistem presidensialisme multipartai di Indonesia, terutama pada pemerintahan
Joko Widodo – Jusuf Kalla hanya terjadi dalam ranah struktural dan sebagai
140
sesuatu hal yang tidak mumcul dipermukaan dalam proses pengambilan kebijakan
yang berpotensi menimbulkan kegaduhan dan kesulitan dalam membangun
kesepakatan bersama yang sebagaimana diasumsikan oleh para teoritisi
sebelumnya.
Mengapa hal tersebut terjadi? Dalam penelitian ini penulis memiliki analisis
bahwa pendekatan melalui prosedur konstitusi dan pendekatan diluar prosedur
konstitusi dalam sistem presidensial di Indonesia menjadi faktor penting mengapa
divided government di Indonesia tidak berakhir dengan deadlock. Pendekatan
melalui prosedur konstitusi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
mekanisme pembahasan bersama antara Presiden dengan DPR dalam proses
perumusan kebijakan yang sebagaimana tercantum dalam pasal 20 (2) UUD 1945
menjadi salah satu faktor penting mengapa deadlock tidak terjadi dalam konteks
divided government dalam relasi eksekutif-legislatif di Indonesia. Mekanisme
yang diatur dalam konstitusi ini menggiring eksekutif dan legislatif ke arah
negosiasi dan kompromi guna meninggalkan ego serta kepentingannya masing-
masing. Sebagaimana yang dikutip dari William Liddle pada bab empat, bahwa
demokrasi sehat harus ada keseimbangan antara budaya konflik dan kompromi.
Dalam politik, konflik akan selalu ada, sebab kelompok kepentingan akan selalu
berusaha untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan, tetapi pada akhirnya
kelompok-kelompok tersebut harus bersedia menerima sesuatu yang kurang dari
ideal dari apa yang sebelumnya diharapkan. Penerimaan terhadap hal yang tidak
idealnya itu adalah wujud perjuangan demi keberlanjutan sistem demokrasi itu
sendiri, atau dalam istilah yang dipopulerkan oleh Robert Dahl sebagai Polyarchy.
141
Mekanisme yang tertera dalam pasal 20 (2) UUD 1945 dianggap mampu
mendorong apa yang disebut oleh Robert Dahl tersebut.
Lalu, pendekatan diluar prosedur konstitusi yakni adanya mekanisme yang
tidak diatur dalam konstitusi berupa pola interaksi tertutup antara pemerintah dan
oposisi yang terfragmentasi antara eksekutif dan legislatif yang dilakukan secara
informal turut membantu dalam meminimalisir terjadinya deadlock, sekalipun
interaksi ini dilakukan oleh pemerintah dan oposisi. Namun pendekatan ini sangat
berkaitan dengan perilaku aktor, seperti pertemuan antara Jokowi dengan
Prabowo di Istana Bogor pada tanggal 29 Januari 2015 yang kemudian
dilanjutkan dengan pidato Prabowo Subianto yang menyatakan dukungannya
terhadap kebijakan pemerintahan Jokowi. Hal ini juga turut membantu
menghindari deadlock antara eksekutif dengan legislatif dalam konteks divided
government. Namun, sebagaimana dijelaskan pada bab IV, pendekatan diluar
prosedur konstitusi ini kerap menjadi sasaran kritik karena memiliki muatan
transaksional untuk menghindari deadlock antara pemerintah dengan oposisi dan
hal tersebut bagi sebagian pihak dianggap tidak kalah bahayanya jika dibanding
dengan resiko deadlock. Mengingat, transaksi politik tersebut kerap kali hanya
menguntungkan sebagian kecil elit-elit politik guna mencapai kepentingan
pribadinya, sehingga, dampak buruk tersebut tidak bisa diabaikan dan perlu
menjadi catatan dalam mengkritisi ketidakadanya deadlock dalam sistem
presidensial yang mengalami divided government. Untuk meminimalisir transaksi
politik sebagai dampak dari pendekatan diluar prosedur konstitusi ini maka sangat
diperlukan kontrol publik serta peran Non-Government Organization (NGO) pro
142
reformasi dan penegakan hukum guna menjaga agar kepentingan publik bisa
diakomodasi secara maksimal, karena ketika deadlock tersebut bisa dihindari
namun mengorbankan kepentingan publik sebagai dampak dari transaksi politik
tersebut maka tetap saja hal itu tidak kalah bahayanya bagi keberlangsungan
demokrasi. Selain itu, ketidaksolidan koalisi di dalam sistem presidensialisme-
multipartai juga memungkinkan berpindahnya partai politik dari satu koalisi ke
koalisi yang lain berhasil membuat fenomena divided government tidak
berlangsung dalam waktu yang lama dan berdampak pada tidak kuatnya bangunan
divided government yang terjadi di Indonesia serta bisa berujung pada hubungan
saling kerjasama antara eksekutif dan legislatif atau jika boleh dikatakan
hubungan kerjasama antara pemerintah dengan oposisi dalam merumuskan
kebijakan.
Melalui dua pendekatan tersebut yang menurut hemat penulis membuat
divided government yang merupakan fenomena yang paling dikhawatirkan bagi
teoritisi sebelumnya tidak menimbulkan suatu deadlock dalam kombinasi sistem
presidensialisme dan sistem multipartai di Indonesia. Hal ini dengan sendirinya
senada dengan tesis Djayadi Hanan, namun dalam penelitian ini penulis berusaha
meyakinkan bahwa sekalipun mengalami divided government, relasi eksekutif-
legislatif di Indonesia tidak mengalami kebuntuan.
B. Rekomendasi untuk Penelitian Selanjutnya
Sebagai hasil temuan yang menggunakan pendekatan koalisi presidensial,
tentu penelitian ini memiliki tantangan kritik yang datang dari kritikus periode
143
kedua studi presidensialisme yang sebagaimana sudah dijelaskan pada bab II.
Namun bagi penulis, dalam dunia akademik, proses untuk saling mencari kritik
adalah hal yang lumrah sehingga ini menjadi tantangan tersendiri bagi penulis
untuk mempertanggungjawabkan argumentasi yang disimpulkan dalam penelitian
ini. Selain itu, penulis juga menyadari bahwa hasil penelitian ini menjadi
tantangan kritik yang datang dari para pendukung tesis kartel yang menurut logika
penulis memiliki posisi teoritik yang berbeda dengan kerangka teori yang
digunakan dalam penelitian ini yakni pendekatan koalisi presidensial. Disadari
oleh penulis bahwa, kelemahan analisis dalam penelitian ini adalah tidak
mempertimbangkan tesis kartel tersebut, sebagaimana yang sudah disinggung
pada bab II. Tetapi hal tersebut dipandang sebagai sebuah pilihan teoritik, karena
tidak mungkin sebuah penelitian dilakukan dengan kerangka teori yang memiliki
posisi bersebrangan. Sebagai sebuah identitas yang dipakai dalam sebuah
penelitian maka, ketegasan posisi teoritik adalah sebagai keniscayaan.
Selain itu, kesulitan dalam penelitian ini adalah mengenai klasifikasi partai
politik dalam gerbong koalisi, mengingat beberapa partai yakni Golkar dan PPP
terjadi dualisme kepengurusan yang kemudian berdampak pada perbedaan arah
koalisi di masing-masing pimpinan partai, namun penulis menggunakan kerangka
hukum untuk membantu mengklasifikasikan kedua partai tersebut ke dalam peta
arah koalisi. Selain itu kelemahan dalam studi ini adalah terletak pada kajian
perbandingan politik, argumen yang ditemukan dalam penelitian ini tidak bisa
dijadikan rujukan untuk menggeneralisir keberlangsungan sistem presidensialisme
di berbagai negara, mengingat tidak semua negara mengambil jalan konstitusi
144
mengenai mekanisme pembahasan bersama antara eksekutif dan legislatif
sebagaimana dijelaskan pada pasal 20 (2) UUD 1945. Selain itu, kelemahan
dalam penelitian ini adalah mengenai perilaku aktor yang membuat fenomena
divided government ini tidak menimbulkan deadlock. Penulis memiliki asumsi
bahwa mungkin jika perilaku aktornya tidak memiliki sikap kompromistis dalam
membangun komunikasi dengan pihak oposisi, kesimpulannya akan berbeda.
Sehingga temuan ini hanya berlaku jika perilaku aktor memiliki kriteria
kompromistis dan mudah bernegosiasi dengan oposisi, sehingga divided
government tidak menimbulkan kebuntuan. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya
bisa dilakukan untuk mengurangi kelemahan-kelemahan tersebut, seperti
perbandingan hasil studi sistem presidensial melalui kerangka tesis kartel dan juga
tesis koalisi presidensial untuk bisa meyakinkan kesimpulan secara metode
perbandingan teoritik. Atau penelitian selanjutnya juga bisa membahas relasi
eksekutif-legislatif dalam konteks unified government untuk membuktikan sejauh
mana produk legislasi yang dihasilkan bila dibandingkan dengan konteks divided
government. Hal tersebut penting, mengingat topik ini masih diwarnai
ketidaksamaan pendapat di kalangan ilmuan politik.
145
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Disertasi
Adam, Rainer. Masa Depan Ada di Tengah; Toolbox Manajemen Koalisi. Jakarta:
Friedrich Naumann Stiftung Foundation, 2010.
Ambardi, Kuskridho. Mengungkap Politik Kartel, Studi Tentang Sistem
Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia – Lembaga Survei Indonesia, 2009.
Ames, Barry. The Deadlock of Democracy in Brazil. Michigan: University of
Michigan Press, 2001.
AR, Hanta Yuda. Presidensialisme Setengah Hati; dari Dilema ke Kompromi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Bowler, Shaun. “Parties in Legislature; Two Competiting in Explanations,” dalam
Russell Dalton dan Martin Wattenberg, ed. “Parties Without Partisans,“
dalam Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel; Studi Tentang
Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia – Lembaga Survei Indonesia, 2009.
Carey, John. “Presidential versus Parliamentary Government,” dalam C Menard
dan M.M Shirley, ed. Handbook of New Institutional Economic.
Netherlands: Springer, 2005.
Cheibub, Jose Antonio, Adam Przeworski & Sebastian M. Saiegh. “Government
Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and
Parlementarism,” dalam Djayadi Hanan. Menakar Presidensialisme
Multipartai di Indonesia; Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil
dan Dinamis dalam Konteks Indonesia. Bandung: Penerbit Mizan, 2014.
Cheibub, Jose Antonio. “Presidentialism, Parlementarism and Democracy”, dalam
Djayadi Hanan. Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia; Upaya
Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks
Indonesia. Bandung: Penerbit Mizan, 2014.
Dahl, Robert. “Pattern of Opposition,” dalam Kuskridho Ambardi, Mengungkap
Politik Kartel; Studi Tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era
Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia – Lembaga Survei
Indonesia, 2009.
146
Duverger, Maurice. Partai Politik dan Kelompok Penekan. Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta, 1994.
Elgie, Robert, ed. Divided Government in Comparative Perspective. New York:
Oxford University Press Inc, 2001.
Hanafie, Haniah dan Suryani. Politik Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Hanan, Djayadi. Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia; Upaya
Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks
Indonesia. Bandung: Penerbit Mizan, 2014.
Haris, Syamsuddin. Format Baru Relasi Presiden-DPR dalam Demokrasi
Presidensial di Indonesia pasca Amandemen Konstitusi (2004-2008).
Disertasi Doktoral di FISIP Universitas Indonesia.
Harris, Syamsuddin. Praktek Parlementer Demokrasi Presidensial di Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Andi, 2014.
Harrison, Lisa. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Penerbit Kencana, 2009.
Indrayana, Denny. Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran.
Bandung: Penerbit Mizan, 2007.
Lijphart, Arend. Pattern of Democracy: Government Form and Performance in
Thirty Six Countries. New Haven and London: Yale University Press, 1999.
Linz, Juan. “Presidential or Parliamentary Democracy: Does it Make a
Difference,” dalam Juan Linz dan Arturo Valenzuela, ed. The Failure of
Presidential Democracy: Comparative perspective. Baltimore, Maryland:
John Hopkins University, 1994.
Mainwaring, Scott dan Mathew Shugart. Presidentialism and Democracy in Latin
America: Rethinking the Term of The Debate. Cambridge: Cambridge
University Press, 1997.
Marsh, David dan Gerry Stoker. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung:
Nusamedia, 2002.
Marsteintredet, Leiv. Political Institutions and Their Effect on Democracy in the
Dominican Republic. Tesis Master di University of Bergen, 2004.
Muhtadi, Burhanuddin. Perang Bintang 2014; Konstelasi dan Prediksi Pemilu.
Jakarta: Noura Book, 2013.
147
Nagel, Jack H Nagel. “The Descriptive Analysis of Power,” dalam Pataniari
Siahaan. Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen
UUD 1945. Jakarta: Penerbit Konstitusi Press, 2012.
Neumann, Lawrence. Social Research Methods; Qualitative and Quantitative
Approaches, 3rd edition. New York: Allyn and Bacon, 1997.
Power, T J, dan Taylor. “Accountability Institutions and Political Corruption in
Brazil,” dalam Djayadi Hanan. Menakar Presidensialisme Multipartai di
Indonesia; Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis
dalam Konteks Indonesia. Bandung: Penerbit Mizan, 2014.
Sartori. Giovanni. “Parties and Party System: A Framework of Analysis,” dalam
Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel; Studi Tentang Sistem
Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia – Lembaga Survei Indonesia, 2009.
Siahaan, Pataniari. Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca
Amandemen UUD 1945. Jakarta: Penerbit Konpress, 2012.
Subekti, Valina Singka. “Menyusun Konstitusi Transisi; Pergulatan Kepentingan
dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945,” dalam A.M Fatwa.
Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta: Penerbit Kompas,
2011.
Tsabelis, George. Veto Players: How Political Institutions Work. California: UP
and Russell Sage Foundation. 2001.
Von Mettenheim, Kurt, ed. “Presidential Institutions and Democratic Politics,”
dalam Robert Elgie, ed. Divided Government in Comparative Perspective.
New York: Oxford University Press Inc, 2001.
Jurnal Ilmiah
Altman, David. “The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty
Presidential Democraties.” The International Journal for the Study of
Political Parties and Political Organizations, Vol 6, No 3, Sage
Publications. (2000): 259-283.
Chaisty, Paul, Nic Cheeseman dan Timothy Power. “Rethinking The
Presidentialism Debate; Conceptualizing Coalitional Politics in Cross
Regional Perspective.” Democratization, Routledge, UK, (2012): 1-23.
Cheibub, Jose Antonio, Zachary Elkins dan Tom Ginsburg. “Beyond
Presidentialism and Parliamentaris.” British Journal of Political Science.
148
FirstView Article, DOI: 10.1017/S000712341300032X, (14 November
2013): 1-30.
Cheibub, Jose Antonio, Adam Przeworski dan Sebastian M. Saiegh. “Government
Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and
Parlementarism.” British Journal of Political Science, Vol 34, No 04.
(October 2004): 565-587.
Linz, Juan, “The Perils of Presidentialism.” Journal of Democracy, Vol 1, No 1,
(1990): 51-69.
Soberg Shugart, Mathew. “The Electoral Cycleand Institutional Sources of
Divided Presidential Government.” American Political Science Review, Vol
89, No 2. (Juni 1995): 327-343.
Stephan, Alfred dan Cindy Skatch. “Constitutional Framework And Democratic
Consolidation; Parliamentarism Versus Presidentialism.” World Politics
Journal, Vol 46, No 1, (Okt 1993): 1-22.
Strong, C.F. “Modern Political Constitutions,” dalam Sulardi. “Presidensiil
Dengan Sistem Multi Partai.” Jurnal Konstitusi, Pusat Studi Konstitusi
Universitas Muhamamdiyah Malang, Vol lll, No 2. (November 2010): 9-24.
Laporan, Paper dan Presentasi
Basri, Muhammad Chatib. “Budget in Brief APBN 2015.” Direktorat Penyusunan
APBN, Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. 15 Oktober
2014.
Cheibub, Jose Antonio dan Fernando Limongi. “Democratic Institutions and
Regime Survival; Parliamentary and Presidential Democracies
Reconsidered.” Working Paper Forthcoming in Annual Review of Political
Science. 2002.
Cheibub, Jose Antonio, “Minority Presidents, Deadlock Situations, and the
Survival of Presidential Democracies.” Yale University.
Cheibub, Jose Antonio, Zachary Elkins dan Tom Ginsburg. “Latin American
Presidentialism in Comparative and Historical Perspective.” University of
Chicago Public Law and Legal Theory, Working Paper No. 361. 2011.
Cheibub, Jose Antonio. “Divided Government, Deadlock and the Survival of
Presidents and Presidential Regimes.” The Paper for Presented at
Conference ‘Constitutional Design 2000’, Center for Continuing Education,
University of Notre Dame. December 1999.
149
Elgie, Robert. “From Linz to Tsebelis: Three Waves of Presidential/Parliamentary
Studies?.” Working Papers in International Studies Centre for International
Studies. Dublin City University, 2004.
Feldman, Noah dan Duncan Pickard. “The Risks of Semi-Presidentialism in
Emerging Democracies.” Democracy Reporting International, Right to
Nonviolence’s Tunisia Constitutional e-Forum, 2 October 2012.
Fine, Jeffrey A. “The Problem of Divided Government in an Era of Polarized
Parties.” Clemson, South Carolina: Balance of Power Between Congress
and the President.
Isra, Saldi. “Revisi UU MD3.” Kompas, 26 November 2014.
Kartika, Shanti Dwi. “Kesepakatan KMP-KIH dan Revisi UU MD3.” Info singkat
Hukum, Vol VI, No 22/II/P3DI. November 2014.
Kawamura, Koichi. “Is Indonesian President strong or weak?.” Institute of
Developing Economic (IDE) Disscusion Paper No 235. Japan, Mei 2010.
Linz, Juan. “Presidential or Parlementary Democracy: Does it Make a
Difference?.” The paper prepared for the Project ‘The Role of Political
Parties in the Return to Democracy in the Southern Cone, Sponsored by the
Latin America Program of The Wodrow Wilson International Center for
Sholar, and the World Peace Foundation, 1985.
Mainwaring, Scott dan Matthew Shugart. “Juan Linz, Presidentialism and
Democracy: A Critical Appraisal.” The Hellen Kellogg Institute for
International Studies, University of Notre Dame, Working Paper No 200.
Juli, 1993.
Mainwaring, Scott, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult
Equation.” Working Paper 144, September 1990.
Mayhew, David R. “Divided We Govern: Party Control, Lawmaking and
Investigations, 1946-2002.” dalam Jeffrey A. Fine. “The Problem of
Divided Government in an Era of Polarized Parties.” Clemson, South
Carolina: Balance of Power Between Congress and the President.
Morgenstern, Scott dan Pilar Domingo. “The Success of Presidentialism?
Breaking Gridlock in Presidential Regime.” Working Paper, Mexico: CIDE,
1997.
Sollenberger, Mitchel A. “Congressional Overrides of Presidential Vetoes.” CRS
Report for Congress, April 2014.
150
Dokumen
Laporan Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI. Hasil Pembicaraan Tingkat
I/Pembahasan RUU Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2024 Tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun 2015
Beserta Nota Perubahan. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 13 Februari
2015.
Laporan Komisi III DPR-RI. Hasil Pembahasan dan Persetujuan Mengenai
Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri pada Rapat Paripurna DPR-RI.
Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, Kamis, 15 Januari 2015.
Laporan Komisi III DPR-RI. Hasil Pembahasan dan Persetujuan Mengenai
Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri pada Rapat Paripurna DPR-RI.
Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, Kamis, 16 April 2015.
Laporan Singkat Rapat Pleno Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI. Pengambilan
Keputusan Harmonisasi RUU Tentang Perubahan atas UU No 1 Tahun
2015 Tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang Serta RUU
Tentang Perubahan Kedua Atas UU No 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah Usulan Komisi II. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-
RI, 9 Februari 2015.
Pokok-Pokok Pembicaraan Rapat Paripurna DPR-RI. Pembahasan Tingkat II
terhadap RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah. Jakarta: Sekretariat
Jenderal DPR-RI, Kamis 25 September 2014.
Pokok-Pokok Pembicaraan Rapat Paripurna DPR-RI. Pembicaraan Tingkat
II/Pengambilan Keputusan tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014
Tentang Perubahan atas UU No 22 tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang dan Penetapan
Perppu No 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah menjadi Undang-Undang. Jakarta: Sekretariat
Jenderal DPR-RI, 13 Februari 2015.
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI. Pidato Kenegaraan Presiden RI dalam
rangka Penyampaian Keterangan Pemerintah Atas Rancangan Undang-
undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN)
tahun 2015 beserta Nota Keuangannya. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-
RI, 15 Agustus 2014.
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI. Pembahasan Tingkat II RUU tentang
Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P)
2015. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 13 Februari 2015.
151
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI. Tentang RUU Perubahan atas UU No 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014 Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang dan RUU
Perubahan atas UU No 2 Tahun 2015 Tentang Perppu No 2 Tahun 2014
tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
menjadi Undang-Undang. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 17 Februari
2015.
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI. Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan
Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas
Undang-Undang No 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 8 Juli 2014.
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI. Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan
Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas
Undang-Undang No 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 5 Desember 2014.
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI. Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan
Keputusan terhadap Hasil Pembahasan Calon Kepala Kepolisian Republik
Indonesia (KAPOLRI). Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 15 Januari
2015.
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI. Pembahasan Tingkat II RUU tentang
Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P)
2015. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 13 Februari 2015.
Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI. Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan
Keputusan terhadap Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 8 Juli 2014.
Indikator Politik Indonesia. Rilis Survey Indikator Politik Indonesia, Divided
Goverment: Pemberantasan Korupsi dan Tantangan Pemerintahan Jokowi-
JK. Jakarta: Gedung Joeang 45, 19 Oktober 2014.
Website dan Media Cetak
“Agung Laksono Pastikan Golkar Keluar dari KMP dan Dukung Pemerintahan
Jokowi.” Kompas, 10 Maret 2015,
http://nasional.kompas.com/read/2015/03/10/15452001/Agung.Laksono.Pas
tikan.Golkar.Keluar.dari.KMP.dan.Dukung.Pemerintahan.Jokowi Diunduh
pada 3 April 2015.
152
“Akhirnya KPK Jadikan Budi Gunawan Tersangka.” Tempo, 13 Januari 2015
http://www.tempo.co/read/news/2015/01/13/063634558/Akhirnya-KPK-
Jadikan-Budi-Gunawan-Tersangka Diunduh pada 4 Mei 2015.
“Alasan PPP Gabung Koalisi Indonesia Hebat.” Liputan 6, 11 Oktober 2014.
http://news.liputan6.com/read/2117687/alasan-ppp-gabung-koalisi-
indonesia-hebat Diunduh pada 5 April 2015.
“Alasan PPP Gabung Koalisi Indonesia Hebat.” Liputan 6, 11 Oktober 2014.
http://news.liputan6.com/read/2117687/alasan-ppp-gabung-koalisi-
indonesia-hebat Diunduh pada 5 April 2015.
“Banyak Penolakan, Rapat Pengesahan APBN-P Diskors 3 Jam.” Liputan 6, 13
Februari 2015. http://bisnis.liputan6.com/read/2175383/banyak-penolakan-
rapat-pengesahan-apbn-p-diskors-3-jam Diunduh pada 2 Mei 2015.
“DPR Lumpuh, Pemerintahan Tersandera.” Jawa Post, 31 Oktober 2014
http://www.jawapos.com/baca/artikel/8669/DPR-Lumpuh-Pemerintahan-
Tersandera Diunduh pada 1 Desember 2014.
“F-Golkar: Jika Jokowi Tak Lantik Budi Gunawan, Tamparan Keras bagi DPR.”
Kompas, 6 Februari 2015 http://nasional.kompas.com/read/2015/02/06
/11314831/F-Golkar.Jika.Jokowi.Tak.Lantik.Budi.Gunawan.Tamparan.Kera
s.bagi.DPR Diunduh pada 4 Mei 2015.
“Gugatan UU Pilpres Dikabulkan, Pemilu Serentak 2019.” Kompas, 23 Januari
2014 http://nasional.kompas.com/read/2014/01/23/1504396/Gugatan.UU.Pi
lpres.Dikabulkan.Pemilu.Serentak.2019 Diunduh pada 5 April 2015.
“Hasil Verifikasi Adminstrasi Kelengkapan Syarat Partai Politik Sebagai Calon
Peserta Pemilu DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota Tahun
2014.” Komisi Pemilihan Umum Repubik Indonesia,
www.kpu.go.id/dmdocuments/Parpol_Lolos.pdf, Diunduh pada 4 Maret
2015.
“Ini Alasan MK Putuskan Pemilu Serentak 2019.” Kompas, 23 Januari 2014
http://nasional.kompas.com/read/2014/01/23/1536382/Ini.Alasan.MK.Putus
kan.Pemilu.Serentak.2019 Diunduh pada 5 April 2015.
“Ini Komposisi Pimpinan AKD DPR Tandingan versi KIH.” Liputan 6, 3
November 2014. http://news.liputan6.com/read/2128524/ini-komposisi-
pimpinan-akd-versi-dpr-tandingan-kih. Diunduh pada 1 Desember 2014.
“Islah DPR Diteken dengan 5 Butir Kesepakatan.” Tempo, 17 November 2014
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/17/078622484/Islah-DPR-
Diteken-dengan-5-Butir-Kesepakatan. Diunduh pada 20 April 2015.
153
“Kasus Lumpur Lapindo, Desmond: Jokowi Sandera Ical.” Tempo, 19 Desember
2014. http://nasional.tempo.co/read/news/2014/12/19/078629754/Kasus-
Lumpur-Lapindo-Desmond-Jokowi-Sandera-Ical Diunduh pada 28 Juni
2015.
“Keberanian KPU Menegakkan Peraturan dalam Penetapan Peserta Pemilu.”
Suara KPU. edisi September 2012.
“Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 412/Kpts/KPU/ Tahun 2014
Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014
yang Memenuhi dan Tidak Memenuhi Ambang Batas Perolehan Suara Sah
Partai Politik Peserta Pemilu Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 2014.” Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia, http://www.kpu.go.id/koleksigambar/952014_SK_K
PU_412.pdf. Diunduh pada 1 Desember 2014.
“Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 412/Kpts/KPU/ Tahun 2014
Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014
yang Memenuhi dan Tidak Memenuhi Ambang Batas Perolehan Suara Sah
Partai Politik Peserta Pemilu Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 2014.” Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia, http://www.kpu.go.id/koleksigambar/952014_SK_
KPU_412.pdf. Diunduh pada 1 Desember 2014.
“Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor: 535/Kpts/KPU/Tahun 2014
tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan
Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014.” Komisi
Permilihan Umum Republik Indonesia,
http://www.kpu.go.id/koleksigambar/SK_KPU_535_227201 4.pdf. Diunduh
pada 1 Desember 2014.
“Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor: 416/kpts/KPU/Tahun 2014
Tentang Penetapan Perolehan Kursi Partai Politik daan Penetapan Calon
Terpilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Pemilihan
Umum 2014.” Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia,
www.kpu.go.id/.../SK_KPU_416_Penetapan_Kursi_Calon_Terpilih_
1452014.pdf Diunduh pada 2 Januari 2015.
“Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Nomor:
166/kpts/KPU/Tahun 2013, Tentang Penetapan Partai Politik Peserta
Pemilihan Umum Tahun 2014.” Komisi Pemilihan Umum Republik
Indonesia, www.kpu.go.id/dmdocuments/Kpts%20166-2013.pdf, Diunduh
pada 4 Maret 2015.
“Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Nomor:
5/kpts/KPU/Tahun 2013, Tentang Penetapan Partai Politik Peserta
154
Pemilihan Umum Tahun 2014.” Komisi Pemilihan Umum Repubik
Indonesia, www.kpu.go.id/dmdocuments/(9.1.2013)%2005%20S
K%20Ketua.pdf, Diunduh pada 4 Maret 2015.
“KIH Putuskan Bentuk DPR - RI Tandingan.” Jawa Post, 29 Oktober 2014.
http://www.jpnn.com/read/2014/10/29/266679/KIH-Putuskan-Bentuk-DPR-
RI-Tandingan-. Diunduh pada 30 November 2014.
“KMP Dapat Bonus 41 Suara dalam Pemilihan Pimpinan MPR.” Kompas, 9
Oktober 2014. http://nasional.kompas.com/read/2014/10/08/16394541/Fahr
i.Klaim.KMP.Dapat.Bonus.41.Suara.dalam.Pemilihan.Pimpinan.MPR.
Diunduh pada 5 April 2015.
“KMP Dominan di Parlemen Harus Direspon Dewasa.” Inilah.com, 9 Oktober
2014. http://nasional.inilah.com/read/detail/2143151/kmp-dominan-di-
parlemen-harus-direspon-dewasa. Diunduh pada 1 Desember 2014.
“Koalisi Merah Putih vs Koalisi Indonesia Hebat.” Jawa Post , 6 Oktober 2014
http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/7798/Koalisi-Merah-Putih-vs-
Indonesia-Hebat Diunduh pada 5 April 2015.
“KPU Tetapkan 10 Parpol Peserta Pemilu 2014.” Suara KPU. edisi Januari 2013.
“KPU Tetapkan 10 Parpol Peserta Pemilu 2014.” Suara KPU. edisi Januari 2013.
“Kronologi Pemilihan Pimpinan DPR yang Tergesa-gesa.” Tempo, 02 Oktober
2014. http://www.tempo.co/read/news/2014/10/02/078611381/Kronologi-
Pemilihan-Pimpinan-DPR- yang-Tergesa-gesa. Diunduh pada 2 Desember
2014.
“Laporan: Membahas Arsitektur Kabinet Jokowi.” Freedom Institute, 4 Oktober
2014.http://www.freedominstitute.org/index.php?option=com_content&vie
w=article&id=293:laporan-diskusi-publik-membahas-arsitektur-kabinet-
jokowi&catid=52:laporan-diskusi, Diunduh pada 4 Februari 2015.
“Mengapa ARB Akhirnya Dukung Pilkada Langsung?.” Kompas, 10 Desember
2014.
http://nasional.kompas.com/read/2014/12/10/19000021/Mengapa.ARB.Akh
irnya.Dukung.Pilkada.Langsung. Diunduh pada 3 Mei 2015.
“Menkeu: APBN-P Disetujui, Rupiah Bakal Menguat.” Kompas, 14 Desember
2015.http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/12/14/162100126/Menk
eu.APBN-P.Disetujui.Rupiah.Bakal.Menguat Diunduh pada 5 April 2015.
155
“Nasdem, PDI P, Hanura, PKB "Walk Out.” Kompas, 02 Oktober 2014,
http://nasional.kompas.com/read/2014/10/02/02595871/Nasdem.PDI.P.Han
ura.PKB.Walkout Diunduh pada 16 Februari 2014.
“Partai Demokrat Resmi Dukung Prabowo-Hatta.” Kompas, 30 Juni 2014,
http://nasional.kompas.com/read/2014/06/30/1659074/partai.demokrat.resm
i.dukung.prabowo- hatta. Diunduh pada 30 November 2014.
“Pemilihan Ketua MPR.” BBC News, 14 Oktober 2014
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/10/141007_mpr_ket
ua. Diunduh pada 30 November 2014.
“Peraturan Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Repubik
Indonesia.” Sekretariat Jenderal DPR-RI,
http://www.dpr.go.id/uu/appbills/RUU_PERATURAN_DPR_R
I_TTG_TATA_TERTIB.pdf Diunduh pada 28 Desember 2014.
“PPP Resmi Gabung Koalisi Jokowi-JK.” Okezone, 18 Oktober 2014
http://news.okezone.com/read/2014/10/18/337/1054000/ppp-resmi-gabung-
koalisi-jokowi-jk Diunduh pada 15 April 2015.
“SBY Akan Keluarkan Perppu Pilkada Langsung.” Kompas, 30 September 2014.
http://nasional.kompas.com/read/2014/09/30/18175701/SBY.Akan.Keluark
an.Perppu.Pilkada.Langsung. Diunduh pada 2 Januari 2015.
“SBY Sebut Revisi UU Pilkada dimugknkan dengan satu syarat.” Detik.com, 21
Januari 2015. http://news.detik.com/read/2015/01/21/104131/2809317/
10/sby-sebut-revisi-uu-pilkada-langsung-dimungkinkan-dengan-satu-syarat.
Diunduh pada 3 Mei 2015.
“Selain Menteri, Jokowi Juga Lantik 2 Wakil Menteri.” Metro TV, 27 Oktober
2014 http://news.metrotvnews.com/read/2014/10/27/310721/selain-
menteri-jokowi-juga-lantik-2-wakil-menteri. Diunduh pada 23 April 2015.
“Setelah Islah, KIH dapat 21 Kursi AKD di DPR.” Kompas, 9 Januari 2015.
http://nasional.kompas.com/read/2015/01/19/15013011/Setelah.Islah.KIH.d
apat.21.Kursi.AKD.di.DPR Diunduh pada 15 April 2015.
“Siang Ini, KMP dan KIH Teken 5 Poin Kesepakatan Damai.” Kompas, 11
November 2015. http://nasional.kompas.com/read/2014/11/17/07225241/Si
ang.Ini.KMP.dan.KIH.Teken.5.Poin.Kesepakatan.Damai. Diunduh pada 15
April 2015.
“Suryadharma Ali Pecat Balik Para Petinggi PPP.” Liputan 6, 26 Oktober 2014
http://news.liputan6.com/read/2104613/suryadharma-ali-pecat-balik-para-
petinggi-ppp, Diunduh pada 21 April 2015.
156
“Tak Dilayani, KIH Juga Akan Sampaikan Mosi Tidak Percaya Kepada
Sekretariat Jenderal DPR RI.” Kompas, 31 Oktober 2014
http://nasional.kompas.com/read/2014/11/ 04/16592821/Tak.Dilayani.K
IH.Juga.Akan.Sampaikan.Mosi.Tidak.Percaya.kepada.Setjen.DPR Diunduh
pada 12 Januari 2015.
Wawancara
Wawancara dengan Eva Kusuma Sundari (Politisi PDI-Perjuangan dan mantan
Komisi III DPR-RI 2009-2014), Tanggal 1 Mei 2015.
Wawancara dengan Hamdi Muluk (Guru Besar Psikologi Politik Universitas
Indonesia dan Ketua Perhimpunan Survey Opini Publik Indonesia), Tanggal
3 Maret 2015.
Wawancara dengan Indra J. Piliang (Ketua DPP Golkar bid. Penelitian dan
Pengembangan dan Ketua Tim Ahli Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara), Tanggal 27 Maret 2015.
Wawancara dengan Robert Elgie (Professor bidang Ilmu Pemerintahan dan Studi
Internasional, School of Law and Government, Dublin City University,
Ireland). Tanggal 18 Februari 2015.
Wawancara dengan Sébastien G. Lazardeux (Asisten Professor Ilmu Politik St.
John Fisher College, USA). Tanggal 9 Februari 2015.
Wawancara dengan Thomas Pepinsky (Asisten Professor studi Asia Tenggara dan
Direktur Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, USA),
Tanggal 12 Februari 2015.
Wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla (Ketua DPP Partai Demokrat bidang
Kajian dan Strategis Kebijakan), Tanggal 5 April 2015.
Wawancara dengan Viva Yoga Mauladi (Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI 2014-
2019 / Fraksi Partai Amanat Nasional) Tanggal 10 Mei 2015.
Wawancara dengan Wandy N Tuturoong (Pokja Lembaga Kepresidenan Tim
Transisi JKW-JK), Tanggal 31 Maret 2015.
Wawancara dengan William R Liddle (Professor bidang Ilmu Politik, Ohio State
University, USA), Tanggal 5 Februari 2015.
Wawancara dengan Adian Napitupulu (Politisi PDI-Perjuangan dan Anggota
Komisi III DPR-RI periode 2014-2019), Tanggal 18 Mei 2015.
157
Lampiran I
Transkip Wawancara
Narasumber : Eva Kusuma Sundari
Status : Politisi PDI-Perjuangan / Komisi III DPR-RI 2009-2014
Hari/Tanggal : Jumat, 1 Mei 2015
Tempat : Melalui WhatsApp Messenger
Hendra: Terimakasih Bu Eva atas kesediannya. Berikut adalah pertanyaan yang ingin
saya ajukan. Menurut tanggapan Ibu, seberapa penting titik kompromi dalam
relasi ekssekutif-legislatif pada pemerintahan JKW-JK? Mengingat secara
matematis, komposisi KMP di DPR sedikit lebih banyak ketimbang KIH,
sebelum adanya konflik di Internal Golkar?
Eva: Tugas DPR adalah mengawasiagar pemerintahan berjalan sesuai prinsip legal
atau tidak melaggar hukum dan legitimate (akuntabilitas, efetif, efisiensi dan
ekonomis) yang dipakai patokan bersama adalah nawacita serta perangkat
teknokratis seperti RPJM, RKP dan APBN dst. Jadi tidak dalam pengertian ada
2 opsi (versi DPR vs versi Pemerintah) sehingga diperlukan kompromi dan jalan
tengah. DPR harus menggunakan nawacita sebagai basis pengawasan dan bukan
platforrm yang dipakai oleh Prabowo misalnya.
Hendra: Betul, tapi dalam tataran ideal harusnya seperti itu. Tetapi kan dalam realitas
yang terjadi antara koalisi pemerintahan dengan oposisi seringkali beda
pendapat. Nah untuk menemukan titik kesepahaman antara keduanya maka
pendekatan komproi ntuk menemukan jalan tengah seringkali dipandang
sebagai keniscayaan. Dalam pembahasan APBN-P 2015 misalnya.
Eva: Ini soal apa? Yang spesifik? Economic Growth? Apa Program? Draft APBN-P
hanya ada satu, yakni dari pemerintah. Perbedaan hanya teknis, tidak substantif.
Misalnya pajak diturunkan atau dinaikan? Debay hanya target 16 atau 14% dan
masing-msing punya argumen dan tenyata angka yang dipakai punya
pemerintah. Ada juyga misalnya economic growth, DPR minta angka tinggi,
tapi pemerintah minta rendah lalu dicapai kesepakatan case by case.
Hendra: Yup, saya kira juga begitu. Salah stau dalam pembahasan Asumsi Dasar
Ekonimi Makro antara RAPBN-P 2015 yang diusul pemrntah mengalami
perubahan setelah pembahasan di komisi-komisi DPR, Misalnya lifting minyak
dalam RAPBN-P 2015 berada pada angka 849 ribu barel namun setelah
pembahasan di komisi VII berubah menjadi 825rb barel dan lain-lain. Dan
dalam rapat paripurna DPR pembahasan APBN-P yang disahkan adalah hasil
pembahasan bersama antara pemerintah dan komisi-komisi di DPR. Disitu yang
saya maksud kompromi sebagai mekanisme pembahasan bersama. Meskipun
pembahasan bersama itu terjadi dalam konteks divided government.
Eva. Ya betul. Kompromi itu soal teknis biasa dan bukan soal fundamental
158
Hendra: Itu yang saya maksud, berarati kompromi itu sebagai solusi dalam relasi
ekskutif-legislatif? apa bisa dibilang begitu? Terlebih DPR sedikit lebih banyak
diisi oleh orang-orang KMP yang merupakan oposisi pemerintah? Terlepas dari
sah atau tidaknya adanya perspektif koalisid alam sistem presidensial?
Eva: yang kamu maksud itu musyawarah untuk mufakat. Kalau mau oposisi terhadap
nawacita ya itu makar namanya.
Hendra: Oke deh bu. Berarti ibu mengafirmasi bahwa kompromi adalah relatif
diperlukan dalam konteks divided government relasi eksekutif-legislatif?
Eva: Iyaa. Saya kira juga begitu.
Hendra: Okedeh bu, saya kira cukup terimakasih atas waktunya, semoga sehat selalu.
159
Lampiran II
Transkip Wawancara
Narasumber : William R Liddle
Status : Professor bidang Ilmu Politik, Ohio State University, USA
Hari/Tanggal : Kamis, 5 Februari 2015
Tempat : Melalui Email ([email protected])
Hendra: Dear Professor R William Liddle My name is Hendra Sunandar, and I am a
student of Political Science from State Islamic University Jakarta in Indonesia.
Now I am writing about my bachelor thesis on "Analysis Presidentialism -
Multipartiism System in Indonesia After General Election 2014". I'd like to
invite you to be interviewed because I knew you were the part a list individuals
important and knowledgeable of the rich perspective on presidentialism theory.
I sincerely hope that you will consider participating in this important effort. If
you agree, I will send you just 3 until 5 short questions by email to hear your
opinion. But if you busy because of your activities, I wish you can answer my 1
primary question then I will submit into my analysis. Please feel free to contact
me as specified below with any questions. Thanks before
Liddle: Hendra yang baik, Saya bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan anda. Bagi
saya, lebih baik dalam bahasa Indonesia saja. Tetapi kalau ada alasan untuk
menjawab dalam bahasa Inggris, tentu saya bersedia juga. Salam.
Hendra: Baiklah, lebih baik menggunakan Bahasa Indonesia saja. Sebelumnya, saya
sangat berterimakasih atas kesediaan Bapak Bill untuk membantu penelitian
saya, saya sangat senang sekali. Ini adalah sesuatu kebangaan buat saya karena
saya bisa melakukan wawancara dengan seseorang yang saya kagumi dalam
tulisan-tulisannya yang tersebar di Indonesia. Terimakasih Pak Bill, salam
hangat dari Ciputat, Indonesia. Judul penelitian saya adalah: "Analisis Sistem
Presidensialisme-Multipartai di Indonesia (Studi Atas Munculnya 'Divided
Government' dan Interaksi Eksekutif-Legislatif pada Pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla)", Pengambilan topik tersebut didasarkan pada fakta bahwa
Indonesia pasca pemilu 2014, komposisi legislatif dan eksekutif dikuasai oleh
dua kelompok yang berbeda. Lembaga eksekutif dikuasai oleh Koalisi Indonesia
Hebat (koalisi pendukung Jokowi-JK) dan lembaga legislatif dikuasai oleh
Koalisi Merah Putih (koalisi pendukung Prabowo-Hatta). Mengingat pemilu
2014 hanya diikuti oleh dua kandidat, dan polarisasi dua kandidat tersebut juga
berdampak pada terbelahnya eksekutif dan legislatif karena dikuasai oleh dua
kubu yang berbeda, atau dalam bahasanya yang lebih populer terjadi divided
government, yakni suatu kondisi dimana antara lembaga eksekutif dan legislatif
dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda (Elgie, 2001) Munculnya divided
government pada dasarnya bisa terjadi dalam sistem presidensialime maupun
parlementer, namun peluang lebih besar bagi munculnya divided government
terjadi dalam sistem presidensial (Elgie, 2001). Studi-studi terdahulu juga
banyak yang mengatakan sistem presidensial adalah sistem yang menyulitkan
160
bagi efektivitas pemerintahan dan rentan deadlock, (Linz, 1985; Mainwaring,
1993; Stephan & Skach, 1993) Oleh karena itu saya ingin bertanya beberapa hal
kepada Pak Bill diantaranya sebagai berikut: Bagaimana tanggapan Pak Bill,
tentang polarisasi kuat pasca Pilpres 2014 di Indonesia dengan munculnya
Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih? Mengingat polarisasi kuat
tersebut sempat berdampak pada kegaduhan-kegaduhan di parlemen saat proses
pemilihan pimpinan DPR yang sempat juga muncul Pimpinan DPR Tandingan
versi Koalisi Indonesia Hebat? Apa pendapat Pak Bill tentang itu?
Liddle: Pertama, saya ingin jelaskan bahwa jawaban-jawaban saya tidak berdasarkan
literatur ilmu politik yang anda sebutkan, atau setidaknya tidak langsung. Saya
sudah lama tidak membaca dan merenungkan literatur itu. Jadi, dalam hal itu,
anda sebaiknya berpegang kepada apa yang dikatakan oleh Jay Hanan, yang
setahu saya masih bergumul dengan berbagai analisis itu. Bagi saya, dalam
sistem presidensial yang juga multi-partai seperti Indonesia, seorang presiden
memerlukan mayoritas di DPR untuk memerintah secara efektif. Jadi
masalahnya bukan polarisasi antara KIH dan KMP, melainkan bahwa KIH tidak
merupakan mayoritas. Kenyataan itu yang menyebabkan kegaduhan-kegaduhan
yang anda sayangkan. Anda ingat, sepuluh tahun lalu, berkat jasa JK, yang
sempat menguasai Golkar, masa awal pemerintahan SBY/JK lebih mulus.
Hendra: Bagaimana tanggapan Pak Bill tentang adanya koalisi dalam sistem presidensial
di Indonesia? mengingat dalam literatur klasik disebutkan bahwa koalisi adalah
ciri khas dari sistem parlementer?
Liddle: Seingat saya, dan di sini mungkin anda sebaiknya berkonsultasi dengan Jay,
sebetulnya koalisi bisa juga terjadi dalam sistem presidensial, bukan cuma
parlementer.
Hendra: Menurut Bapak, apakah divided government sebagai konsekuensi dari sistem
presidensial-multipartai? Kira-kira menurut Pak Bill apa faktor yang mendasari
munculnya divided government dalam sistem presidensialisme multipartai di
Indonesia?
Liddle: Tidak. Divided government yang dialami sekarang adalah konsekuensi dari
kegagalan Presiden Terpilih Jokowi membuat koalisi mayoritas di DPR. Sekali
lagi, SBY tidak menghadapi divided government, meski parlemennya multi-
partai sebab dia memang mengerti dari awal bahwa dia memerlukan koalisi
mayoritas.
Hendra: Terlepas dari studi terbaru yang mengatakan kombinasi sistem presidensalisme
multipartai di Indonesia dapat berjalan efektif (Djayadi Hanan, 2014), apakah
bapak sepakat dengan itu? Bagaimana bapak memandang kombinasi sistem
presidensialisme multipartai saat era Susilo Bambang Yudhoyono 2009-2014
yang kental dengan nuansa koalisi gendut / koalisi besar?
Liddle: Nampaknya, saya sepakat dengan Jay, mungkin terpengaruh oleh analisis
disertasinya, yang memang meyakinkan! Ttg koalisi gendut era SBY, pada
waktu itu saya tidak mengerti kenapa beliau merasa perlu membuat koalisi yang
sebesar itu. Apalagi, mengingat bahwa berbagai kebijakannya, atau
161
kegagalannya untuk bertindak, nampaknya disebabkan oleh keterikatannya kpd
partai-partai Islamis. Ada beberapa hipotesa yang mencoba menjelaskannya,
termasuk keinginan pribadinya untuk didukung oleh semua golongan, atau
keputusan taktis berdasarkan kekhawatiran tentang sejumlah partai yang berada
di dalam koalisinya tetapi dukungannya rapuh. Terus terang, saya masih
bingung tentang pilihan itu.
Hendra: Berbeda dengan Djayadi Hanan yang mengkaji sistem presidensialisme-
multipartai di era Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki koalisi besar
diatas single majority (50% + 1), pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla
justru tak memiliki koalisi dengan angka mayoritas di legislatif, dengan kata
lain Joko Widodo adalah salah satu contoh presiden minoritas, menurut anda,
apakah anda memiliki rasa kekhawatiran bagi keberlangsungan pemerintahan
Joko Widodo dalam proses interaksi dengan legislatif?
Liddle: Tentu saya khawatir bahwa tanpa mayoritas Jokowi sulit sekali memerintah
secara efektif. Namun ternyata ada tantangan yang lebih besar atau mendasar
dari itu, setidaknya lebih mendesak, yaitu bahwa Presiden Jokowi sekarang
tidak memiliki dukungan dari partainya sendiri (PDIP) atau dari beberapa partai
lain dalam koalisinya. Hampir mustahil membayangkan sebuah pemerintahan
tanpa dukungan sama sekali di DPR. Pada waktu yang sama, saya tidak tahu
bagaimana dia bisa memulihkan kembali dukungan itu tanpa mengorbankan
cita-citanya sebagai politisi dan calon presiden. Dari segi moralitas politik, dia
harus menarik kembali pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri, sebab
Budi dijadikan tersangka oleh KPK. Tetapi dengan tindakan itu, dia
memutuskan hubungannya dengan PDIP, dan sekarang berada di sebuah impas
yang amat sulit dipecahkan.
Hendra: Baiklah. Untuk sementara itu dulu yang ingin saya tanyakan, Salam hormat
untuk anda yang bersedia berinteraksi dan berdiskusi dengan saya.Terimakasih
banyak saya sampaikan. Saya mohon maaf bila saya menggangu waktu anda.
Liddle: Hendra yg baik, Di AS juga ada perdebatan ttg manfaat/mudaratnya sistem
presidensial. Di bawah saya taruh kolom di Washington Post hari ini oleh
seorang ilmuwan politik yang cukup terkenal. Mirip pendapat Drezner, bagi
saya, salah satu keberuntungan sistem presidensial di Indonesia adalah
stabilitasnya. Anda tentu tahu bahwa pada tahun 1950an, di bawah sistem
parlementer, setiap beberapa bulan ada perdana menteri dan kabinet baru.
Bandingkan dengan keadaan sejak 2004. Bagi saya, hal itu—bertahannya
seorang presiden selama 10 tahun—merupakan suatu prestasi sendiri. Terlepas
dari apakah kita setuju dengan semua kebijakannya. Selain itu, saya juga ingat
baru saja ada artikel di Kompas yang mengutip seorang dosen Inggris, Geoffrey
Till, mengklaim bahwa Tiongkok lebih mungkin berhasil menciptakan Jalur
Sutra Maritimnya ketimbang Indonesia sebab kekuasaan lebih terkonsolidasi,
pemerintah didukung oleh tentara, dan modernisasi sudah berjalan. Sementara
di Indonesia Jokowi menghadapi berbagai rintangan, seperti ―lemahnya
dukungan parlemen, banyak kelompok kepentingan yang menekan, lemahnya
koordinasi antar-kementerian, dan otonomi daerah yang sebagian
mengakibatkan kebijakan pusat kerap ditentang daerah.‖ Jawaban Drezner ttg
Amerika adalah bahwa rintangan seperti itu nampaknya tidak terlalu
162
mengganggu pertumbuhan ekonomi Amerika selama puluhan tahun, atau
kemampuan kami untuk ke luar dari resesi ekonomi baru-baru ini. AS jelas
lebih berhasil dari EU dan Jepang. Jawaban saya ttg Indonesia adalah bahwa di
bawah berbagai pemerintahan demokratis setelah 1999, ekonomi Indonesia
ternyata maju terus. Laju pertumbuhan yang belakangan ini termasuk yang
paling baik di dunia. Meskipun semua pemerintahan tsb menghadapi hampir
semua rintangan yang kini dihadapi Jokowi. Kenyataan itu tentu tidak berarti
bahwa pertumbuhan ekonomi tidak bisa lebih baik, lebih merata misalnya.
Hanya saya kira tidak ada alasan untuk mengharapkan pergantian sistem
pemerintahan, baik parlementer maupun otoriter. Salam.
American democracy, R.I.P.?
Is America's constitutional democracy going to collapse? By: Daniel W.
Drezner
Earlier this week, Matthew Yglesias, continuing his longstanding intellectual
crush on political scientist Juan Linz and longstanding skepticism about the
merits of the American Revolution, wrote a Vox essay modestly titled
―American democracy is doomed.‖ Why? Yglesias argues that presidential
systems are more crisis-prone than parliamentary systems:
Linz offered several reasons why presidential systems are so prone to crisis.
One particularly important one is the nature of the checks and balances system.
Since both the president and the Congress are directly elected by the people,
they can both claim to speak for the people. When they have a serious
disagreement, according to Linz, ―there is no democratic principle on the basis
of which it can be resolved.‖ The constitution offers no help in these cases, he
wrote: ―the mechanisms the constitution might provide are likely to prove too
complicated and aridly legalistic to be of much force in the eyes of the
electorate.‖
In a parliamentary system, deadlocks get resolved. A prime minister who lacks
the backing of a parliamentary majority is replaced by a new one who has it. If
no such majority can be found, a new election is held and the new parliament
picks a leader. It can get a little messy for a period of weeks, but there’s simply
no possibility of a years-long spell in which the legislative and executive
branches glare at each other unproductively.
But within a presidential system, gridlock leads to a constitutional trainwreck
with no resolution. The United States’s recent government shutdowns and
executive action on immigration are small examples of the kind of dynamic
that’s led to coups and putsches abroad….
If we seem to be unsustainably lurching from crisis to crisis, it’s because we are
unsustainably lurching from crisis to crisis. The breakdown may not be next
year or even in the next five years, but over the next 20 or 30 years, will we
really be able to resolve every one of these high-stakes showdowns without
making any major mistakes? Do you really trust Congress that much?
163
The best we can hope for is that when the crisis does come, Americans will have
the wisdom to do for ourselves what we did in the past for Germany and Japan
and put a better system in place.
While the United States has somehow staggered through this political handicap
for two centuries, Yglesias posits that rising levels of political polarization are
likely to increase constitutional crises and deadlocks akin to the debt-ceiling
showdowns and executive actions of recent years.
This essay has prompted some interesting responses from Dylan Matthews,Ross
Douthat, Jonathan Chait and Ed Kilgore, all of which are also worth reading.
Certainly, Yglesias is onto something. His argument resonates with public
opinion polling that shows an erosion of trust in every public institution except
the military. It also resonates with a theme I’ve been harping on here at Spoiler
Alerts: Obama’s use of executive action on foreign policy to bypass a truculent
Congress, and the congressional response to those executive actions. The
erosion of informal American political norms — which helped to ensure that
basic government functions happened — is certainly another data point for
Yglesias.
That said, the more I think about his argument, however, the sillier it sounds to
me. Yglesias embeds three assumptions into his argument that need to be
seriously unpacked.
First, Yglesias assumes that continued political polarization is a permanent fact
of political life. Now he might be right about that, but I see no reason to take
that as a given. The United States has experienced waves of creedal passion, but
those waves have also receded. And while polarization has undeniably
increased, I still buy Louis Hartz’s observationthat there’s a lot more political
consensus within the American political spectrum than there is in other
advanced industrialized democracies.
Second, Yglesias assumes that there will be continued divided government ad
infinitum. For these constitutional crises to happen, different political parties
have to control different branches of government. And this has certainly been
happening more often than not, recently. But even as political polarization has
increased over the past generation of American politics, there have been periods
of single-party control of both the legislative and executive branches.
This matters from a constitutional perspective because it permits parties to
implement their agendas through legislative as well as executive actions.
Indeed, in this way, the rising ideological cohesion of political parties increases
the likelihood that such periods of unified government will lead to bursts of
active governance. This doesn’t even take into account the ways in which crises
like 9/11 or the 2008 financial crisis tend to generate greater political action.
Finally, Yglesias assumes that parliamentary systems inherently produce better
governance outcomes. Fun exercise: Consider the post-2008 political and
economic performance of the advanced industrialized economies. It turns out
that, comparatively, if one looks at unemployment, economic growth and
deleveraging, the United States has done pretty darned well. Part of that is
164
obviously due to the large American market and structural strengths of the U.S.
economy. But part of that is due to the political stability that comes with a
presidential system.
Japan, Great Britain and most of the eurozone economies have had weak, short-
lived governments that have implemented some truly horrendous economic
policies. They’ve also seen the rise of extremist parties that are either running
actual governments or are poised to do so. This is not a strong advertisement for
the parliamentary mode of governance. One can attribute part of this to the
peculiarities of the eurozone, but not all of it.
Yglesias wanted to provoke a conversation about the future of American
democracy in a polarized country, and I applaud him for it. The problem is that
one has to consider the alternatives, and in a world of low growth and multiple
parties, the parliamentary system of government can actually be more unstable
than the presidential system. So, to paraphrase Winston Churchill, while
Yglesias is correct to point out the many flaws of the U.S. system of
constitutional government, I’m unconvinced that the alternatives are any better.
Hendra: Baik Pak Bill terimakasih atas jawaban dan masukannya. Saya sangat
berterimakasih bisa ditunjukan artikel yang menarik. Disadari atau tidak
memang kita harus akui bahwa Sistem Presidensial-Multipartai di Indonesia
relatif stabil. Kestabilan tersebut terjadi karena adanya kompromi-kompromi
antara eksekutif-legislatif (Djayadi Hanan, 2014). Lalu pertanyaan selanjutnya,
apakah kompromi tersebut adalah sesuatu hal yang baik? Mengingat hanya
melalui kompromilah kemungkinan terjadi deal-deal politik yang berpotensi
munculnya peluang korupsi. Ini penting untuk dikritisi bahwa meskipun Sistem
Presidensial-Multipartai jika dilihat dari luar cenderung stabil namun jika dilihat
dari dalam memiliki peluang munculnya korupsi kelembagaan. Karena kondisi
parlemen yang multipartai juga mengindikasikan adanya banyak kepentingan
disana yang harus ditampung oleh Presiden untuk melancarkan program
kerjanya. Mengingat dalam banyak hal, Presiden memerlukan persetujuan DPR
dalam menjalankan kebijakannya. Sehingga untuk mendapatkan persetujuan
DPR, seringkali Presiden tersandera oleh beragam kepentingan di DPR.
Bagaimana tanggapan Pak Bill? Salam
Liddle: Sama-sama. Tentang kompromi, Robert Dahl pernah menulis, mungkin antara
lain di Polyarchy, bahwa di dalam demokrasi sehat harus ada keseimbangan
antara budaya konflik dan kompromi. Konflik selalu ada, sebab kelompok
kepentingan selalu berusaha untuk memengaruhi proses pengambilan
keputusan, tetapi pada akhirnya kelompok-kelompok tsb harus bersedia
menerima kurang dari semua yang mereka perjuangkan demi kelanjutan
demokrasi sendiri. Dalam kasus Indonesia masa kini, tentu idealnya adalah
kemenangan telak pada kubu Jokowi/Pratikno/KPK, sebab kubu lawannya
hanya ingin mempertahankan suatu status quo yang memungkinkan korupsi
mereka. Hal itu jelas sekali. Namun, pada akhirnya, mungkin Jokowi harus
menerima sesuatu yang kurang dari yang ideal. Saya tidak tahu persis bentuk
kompromi mana yang dapat diterima, tetapi mungkin yang pokok adalah agar ke
depan KPK tidak menjadi lebih lemah. Hal itu yang kiranya sedang
diperjuangkan oleh Jimly cs, seperti saya baca di Koran Tempo hari ini. Poin
anda bahwa ke depan nasib program-program Jokowi akan bergantung pada
165
persetujuan sejumlah partai yang merupakan mayoritas di DPR benar saja.
Kalau dia bersitegas melawan korupsi (harapan saya dan saya kira anda) tanpa
partai-partai atau tokoh di DPR yang sepaham, memang payah. Jadi mudah-
mudahan temannya di DPR bertambah sebentar lagi. Salah satu dorongan
penting tentu dari masyarakat, dalam bentuk NGO-NGO pro-reformasi. Salam,
166
Lampiran III
Transkip Wawancara
Narasumber : Thomas Pepinsky
Status : Associate Professor Government Studies dan Direktur Cornell Modern
Indonesia Project, Cornell University, USA
Hari/Tanggal : Kamis, 12 Februari 2015
Tempat : Melalui Email ([email protected])
Hendra: Dear Dr. Thomas Pepinsky. My name is Hendra Sunandar, and I am a student of
Political Science from State Islamic University Jakarta in Indonesia. Now I am
writing about my bachelor thesis on "Analysis Presidentialism - Multipartiism
System in Indonesia After General Election 2014". I'd like to invite you to be
interviewed because I knew you were the part a list individuals important and
knowledgeable of the rich perspective on political science. I sincerely hope that
you will consider participating in this important effort. If you agree, I will send
you just 3 until 5 short questions by email to hear your opinion. But if you busy
because of your activities, I wish you can answer my 1 primary question then I
will submit into my analysis. Please feel free to contact me as specified below
with any questions. Thanks before
Pepinsky: Mas Hendra-- Saya pasti siap membantu anda dengan penelitian tentang
presidentialisme. Silakan kirimkan pertanyaan2
Hendra: Sebelumnya, saya sangat berterimakasih atas kesediaan Bapak untuk membantu
penelitian saya, saya sangat senang sekali. Judul penelitian saya adalah:
"Analisis Sistem Presidensialisme-Multipartai di Indonesia (Studi Atas
Munculnya 'Divided Government' dan Interaksi Eksekutif-Legislatif pada
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla)", Pengambilan topik tersebut
didasarkan pada fakta bahwa Indonesia pasca pemilu 2014, komposisi legislatif
dan eksekutif dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda. Lembaga eksekutif
dikuasai oleh Koalisi Indonesia Hebat (koalisi pendukung Jokowi-JK) dan
lembaga legislatif dikuasai oleh Koalisi Merah Putih (koalisi pendukung
Prabowo-Hatta). Mengingat pemilu 2014 hanya diikuti oleh dua kandidat, dan
polarisasi dua kandidat tersebut juga berdampak pada terbelahnya eksekutif dan
legislatif karena dikuasai oleh dua kubu yang berbeda, atau dalam bahasanya
yang lebih populer terjadi divided government, yakni suatu kondisi dimana
antara lembaga eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang
berbeda (Elgie, 2001) Munculnya divided government pada dasarnya bisa
terjadi dalam sistem presidensialime maupun parlementer, namun peluang lebih
besar bagi munculnya divided government terjadi dalam sistem presidensial
(Elgie, 2001). Studi-studi terdahulu juga banyak yang mengatakan sistem
presidensial adalah sistem yang menyulitkan bagi efektivitas pemerintahan dan
rentan deadlock, (Linz, 1985; Mainwaring, 1993; Stephan & Skach, 1993) Oleh
karena itu saya ingin bertanya beberapa hal kepada Bpk Pepinsky diantaranya
sebagai berikut: Menurut Bapak, apakah kombinasi sistem presidensialisme
167
dengan multipartai di Indonesia adalah salah satu kombinasi yang menyulitkan
bagi terbentuknya pemerintahan yang efektif?
Pepinsky: Menurut pendapat saya, kombinasi ini tidak menyebabkan kesulitan
terbentuknya pemerintahan yang efektif. Kalau partai-partai lebih kuat, dan
lebih punya program yang tepat dan sulit digantikan, ya. Tapi saat ini program
dan ideologi sangat lemah, kurang meng-constrain aksi party elites. Hal ini
sangat ironis: persis lemahnya partai-partai di Indonesia yang memungkinkan
terbentuknya pemerintahan yang cukup efektif.
Hendra: Menurut Bapak, apa salah satu faktor yang mendasari munculnya divided
government, terutama dalam konteks sistem presidensialisme multipartai seperti
layaknya di Indonesia?
Pepinsky: Saat ini, faktor yang mendasari divided government di Indonesia adalah strategi
sekelompok partai untuk melemahkan Jokowi. Padahal, pada umumnya, faktor
yang mendasari divided government adalah keberagaman ideologi dan
kepentingan di masyarakat dalam sistem presidential.
Hendra: Menurut Bapak, apakah dalam kondisi divided government, relasi eksekutif dan
legislatif di Indonesia akan menemui jalan sulit untuk mendapatkan kesepakatan
bersama?
Pepinsky: Ya, pasti begitu. Lihatlah kondisi di Amerika Serikat saat ini. Tidak selalu
begitu, tapi biasanya, ya.
Hendra: Terlepas dari studi terbaru yang mengatakan kombinasi sistem presidensalisme
multipartai di Indonesia dapat berjalan efektif (Djayadi Hanan, 2014), apakah
bapak sepakat dengan itu? Bagaimana bapak memandang kombinasi sistem
presidensialisme multipartai saat era Susilo Bambang Yudhoyono 2009-2014
yang kental dengan nuansa koalisi gendut / koalisi besar?
Pepinsky: Sebetulnya saya belum baca "dengan baik dan benar" studi terbaru Pak Djayadi
Hanan. Maaf sekali.
Hendra: Berbeda dengan Djayadi Hanan yang mengkaji sistem presidensialisme-
multipartai di era Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki koalisi besar
diatas single majority (50% + 1), pemerintahan Joko WIdodo - Jusuf Kalla
justru tak memiliki koalisi dengan angka mayoritas di legislatif, dengan kata
lain Joko Widodo adalah salah satu contoh presiden minoritas, menurut anda,
apakah anda memiliki rasa kekhawatiran bagi keberlangsungan pemerintahan
Joko Widodo dalam proses interaksi dengan legislatif?
Pepinsky: Sedikit lah. Saya kuatir bisa terjadi semacam krisis yang bisa menjatuhkan
pemerintahan Joko Widodo. Tapi kalau krisis itu terjadi, pasti ada banyak
penyebab bersama keminoritasan pemerintahan Jokowi: faktionalisme dalam
PDIP, kelemahan Koalisi Indonesia Hebat, dan seterusnya.
Hendra: Untuk sementara itu dulu yang ingin saya tanyakan, Salam hormat bagi saya
untuk anda yang bersedia berinteraksi dan berdiskusi dengan saya.Terimakasih
168
banyak saya sampaikan. Saya mohon maaf bila saya menggangu waktu anda.
Terimakasih Pak Pepinsky atas bantuannya. Saya sangat senang. Semoga anda
sehat selalu dan salam hangat untuk keluarga anda. Thanks a lot :)
169
Lampiran IV
Transkip Wawancara
Narasumber : Robert Elgie
Status : Professor bidang Ilmu Pemerintahan dan Studi Internasional, School of
Law and Government, Dublin City University, Ireland
Hari/Tanggal : Rabu, 18 Februari 2015
Tempat : Melalui Email ([email protected])
Hendra: Dear Professor Robert Elgie. My name is Hendra Sunandar, and I am a student
of Political Science from State Islamic University Jakarta in Indonesia. Now I
am writing about my bachelor thesis on "Analysis Presidentialism -
Multipartiism System in Indonesia After General Election 2014". I'd like to
invite you to be interviewed because I knew you were the part a list individuals
important and knowledgeable of the rich perspective on presidentialism theory.
I sincerely hope that you will consider participating in this important effort. If
you agree, I will send you just 3 until 5 short questions by email to hear your
opinion. But if you busy because of your activities, I wish you can answer my 1
primary question then I will submit into my analysis. Please feel free to contact
me as specified below with any questions. Thanks before
Elgie: Dear Hendra Sunandar, Apologies, but I am very busy and don't really have
time to respond to a set of queries. Send me your one question, but the reply
may be short. Best,
Hendra: Thank you Professor Robert Elgie. Having a direct conversation with you is one
of my best experience during this research. I'd like give one question for you,
but before that, I want to explanation about situation in Indonesian after general
election 2014. Which the legislative and executive the powered by two group in
differences, the other word, the occured of 'divided goverment, because
executive controlled by Koalisi Indonesia Hebat (Coalition Indonesian-Terrific)
and legislative controlled by Koalisi Merah Putih (Coalition Red-White). I
submitted my short resume of my thesis, if you need the complete one actually I
wrote in Indonesia language (Bahasa Indonesia). Here are my questions:
According to your thought, What causes a country experiencing 'divided
government.as happened in Indonesia?
Elgie: Thanks for your question. Briefly, my answer is that divided government has the
potential to occur when there is an institutional structure that allows it.
However, divided government only occurs in practice when people vote in a
way that brings it about. This usually requires party competition to be structured
around two opposing parties or coalitions. So, it occurs because of a
combination of an institutional structure that can lead to a particular outcome
and the action of people who bring about that outcome. Obviously, there are
ways of shaping institutions so that the potential for it to occur is less great e.g.
170
concurrent presidential and legislative elections, an electoral system that does
not create the potential for two block competition.
Hendra: And whether there is a concern of yourself in a state of 'divided government'
about the relationship between the executive and the legislature will be deadlock
in the policy-making process?
Elgie: The effect of divided government depends on the attitudes of political leaders.
Competition and conflict is normal in politics. Divided government does not
cause that. Deadlock is not necessarily problematic so long as political leaders
compete within the rules of the democratic game. Good luck with your work.
All the best,
Hendra: Finally thank you so much for such favourable reply. Good luck for your special
endeavour and have a sweet day with your family. Warmest regards from me.
171
Lampiran V
Transkip Wawancara
Narasumber : Sébastien G. Lazardeux
Status : Asisten Professor Ilmu Politik St. John Fisher College, USA.
Hari/Tanggal : Senin, 9 Februari 2015
Tempat : Melalui Email ([email protected])
Hendra: Dear Professor Sebastien G. Lazardeux. My name is Hendra Sunandar, and I
am a student of Political Science from State Islamic University Jakarta in
Indonesia. Now I am writing about my bachelor thesis on "Analysis
Presidentialism - Multipartiism System in Indonesia After General Election
2014" I'd like to invite you to be interviewed because I knew you were the part a
list individuals important and knowledgeable of the rich perspective on
presidentialism theory. I sincerely hope that you will consider participating in
this important effort. If you agree, I will send you just 3 until 5 short questions
by email to hear your opinion. But if you busy because of your activities, I wish
you can answer my 1 primary question then I will submit into my analysis.
Please feel free to contact me as specified below with any questions. Thanks
before.
Sebastien: Dear Hendra, It would be my pleasure to help you with your research. Feel free
to send me your questions at this email address. I do not know if my answers
will prove useful, but I hope they can help you. Sincerely.
Hendra: Thank you Dr. Sebastien Lazardeux. Having a direct conversation with you is
one of my best experience during this research. I'd like give one question for
you, but before that, I want to explanation about situation in Indonesian after
general election 2014. Which the legislative and executive the powered by two
group in differences, the other word, the occured of 'divided goverment, because
executive controlled by Koalisi Indonesia Hebat (Coalition Indonesian-Terrific)
and legislative controlled by Koalisi Merah Putih (Coalition Red-White). I
submitted my short resume of my thesis, if you need the complete one actually I
wrote in Indonesia language (Bahasa Indonesia). Here are my questions:
According to your thought, What causes a country experiencing 'divided
government.as happened in Indonesia? And whether there is a concern of
yourself in a state of 'divided government' about the relationship between the
executive and the legislature will be deadlock in the policy-making process?
Sebastien: On the first part of your question, there are two main reasons that lead to
divided government. First, voters are not as faithful to a political party as they
used to be. It used to be very rare for a voter to vote for one party for president
and another for parliamentary seats. Now they do so. This is called split-ticket
voting and it has become more and more prevalent, at least in the United States
and some European countries. I am guessing this could be true for Indonesia as
well. Second, when the elections for president and parliament take place at
172
different times, elections can be used by voters to express dissatisfaction with
one or the other. For example, if the president has been elected let’s say in 2010
and citizens are dissatisfied with her/his performance, they can use let’s say
parliamentary elections in 2014 to express this dissatisfaction by voting for the
opposition in parliamentary elections. Overall, the time disconnect between
presidential and parliamentary elections makes divided government more likely.
Finally, another reason for divided government might be the type of people
elected for the presidency. Voters might be tempted to vote for a presidential
candidate for his personal appeal (regardless of his political opinions), but much
less likely to do so for parliamentary elections (voters tend to pay more attention
to local and ideological characteristics in these elections). Therefore, one
president might be from one party and the parliament from another party simply
because people vote based on different priorities. Morris Fiorina, Divided
government (1996) discusses this question at length in the case of the United
States. Concerning deadlock in the policymaking process, an extreme majority
of studies show that divided government does create gridlock. Normal
legislation is still enacted, but important reforms are blocked. Colleagues of
mine and I have written on this in the magazine Governance (article published
in 2014) about France and the USA. Others (Coleman, Binder, both in 1999)
have said the same thing about the United States.
Hendra: According to your thought, Whether 'divided government' is a bad risk
combination multiparty presidential system?
Sebastien: I made the opposite point in my book Cohabitation and Conflict in French
Policymaking (Palgrave 2014). The idea is that when you have a cohesive one
party majority, the prime minister has no incentive to enact reforms as he will
be criticized by the president and lose chances to win the next presidential
contest. His party will let him do what he wants because they want him to be the
next president. But if the prime minister has a multi-party majority, members of
his majority who are not from his party will want him to enact important
reforms as soon as possible, even if it damages the reputation of the prime
minister as they do not care if the prime minister becomes the next president. I
know it sounds counter-intuitive and complex, so ask me questions if you are
unsure about what I mean.
Hendra: According to your thought, How the influence of the lobby in the negotiation
process in a country that happens divided government to agree on public policy?
Sebastien: This is a very good question which, to my knowledge, has not been addressed.
One could assume that divided government gives lobbies better chances to
influence the policy process. But I have no empirical evidence about this. And
as I said, I do not think anyone has looked at this question
Hendra: Finally thank you so much for such favourable reply. Good luck for your special
endeavour and have a sweet day with your family. Warmest regards from me.
Cordially.
173
Lampiran VI
Transkip Wawancara
Narasumber : Indra J. Piliang
Status : Ketua DPP Golkar Bidang Penelitian dan Pengembangan dan Ketua
Tim Ahli Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara-Reformasi
Birokrasi
Hari/Tanggal : Jumat, 27 Maret 2015
Tempat : Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (KEMENPAN-RB)
Hendra: Pada saat pemilu 2014 lalu kan, anda mendukung pasangan JKW-JK dan itu
berlawanan dengan arah partai. Apa yang ada di benak bapak saat itu? Mengapa
anda bersebrangan?
Indra: sebetulnya alasan pertama saya adalah seharusnya yang diusung oleh partai
adalah kader Golkar. Dan ini adalah hasil dari penafsiran saya kepada hasil
rampimnas Golkar. Karena kan hasil rampimnas golkar diantaranya: (1)
Mengajukan ARB sebagai capres atau cawapres (2) memberikan mandat kepada
ARB untuk melakukan komunikasi politik guna mencapai acuan diatas (3)
apabila keduanya atak terpenuhi maka hasil rapimnas batal. Nah tafsiran saya
adalah mandat penuh yang diemban oleh ARB adalah menjadi caprres atau
cawapres. Nah ketika ARB tak menjadi capres atau cawapres maka saya tak
perlu lagi mematuhi hasil rapimnas.
Hendra: Berarti itu menjadi hak politik anda secara pribadi untuk bersikap seperti itu?
Indra: yaaa karena saya menafsirkan keputiusan itu ditambah JKW maju bersama JK
yang merupakan kader partai golkar.
Hendra; yaya meskipun tidak berasal dari Golkar?
Indra: iyaaa. Tapi kalau dari secara personal saya tetap berhubungan baik dengan
ARB. Menurut saya ini adalah pertarungan antara ayah dengan bapak. Kalau
ayah dan bapak saya sama sama maju, maka saya akan mundur. Saya gak ikut
jadi juru bicara dan saya hanya urus dapil saja. Nah tapi karena bapak saya maju
dan ayah saya tidak maju, maka saya akan dukung bapak saya. Dan syaa bilang
begini, kalau nanti tahun 2019, ARB mau dan yang lain tak maju. Maka saya
akan dukung ARB. Ini hanya persoalan cara berfikir. Dan memang saya
dipanggil ARB dan diskusi panajng lebar selama 2 jam dan okeee itu memang
tak mengubah apa-apa. Tak mengubah cara pandang saya. Dan terus terang
keputusan itu membuat saya 3 hari 3 malam tak bisa tidur. Karena memang
hubungan syaa dengan ATB sudah cukup dekat.
Hendra Nah, kan tentu ada dampaknya. Mungkin orang diluar akan bertanya-tanya, kok
Partai Golkar ini seperti tidak kompak. Apa anda tidak melihat sisi itu?
174
Indra: yaa, itu biasaa. Waktu JK-Wiranto kan beberapa kader juga ada yang
mendukung SBY-Boediono. Tapi memang itu menjadi konflik yang besar
seperti sekarang, tapi menurut saya itu pilihan rasional. Ya kan ada kader partai
golkar yang dicalonkan meskipun tak melalui partai golkar itu senidri. Ya
terlepas dari kegagalan negosiasi di dalam proses yang terjadi secara cepat itu.
Yaa saya tahu bahwa ada janji-janji kursi, menteri. Tapi buat saya bukan disitu
poinnya. Poin saya adalah saya ingin memberikan spirit terhadap partai daripada
rebut-rebutan kekuasaan. Toh dahulu juga kan ada beberapa pandangan yang
memperkirakan pasangan JKW-JK bukanlah calon yang menang. Itu kan kejar-
kejaran.
Hendra: Saat ini kan golkar ada di tubuh KMP yang membuat minimnya dukungan
eksekutif di legislatif. nah itu menurut bapak gimana mengenai divided
government ini? Apa ini sebagai konsekuensi dari sistem presidensialisme
multipartai? Menurut bapak? apa ini sebagaui bentuk negosiasi?
Indra: nah ini yang keliru dalam menafsirkan. Justru dalam negosiasi yang terjadi di
Golkar, kental dengan nuansa parlementer. Dalam pembicaraan saya dengan
Bang Ical selama 2 jam. *off the record* dalam penjelasan yang amat panjang
itu, bang Ical sampe bilang begini, “Prabowo sudah menjikan, salah satu
yang dijanjikan jika Prabowo menang adalah salah satu yang menjadi
kepala pemerintahan itu adalah saya, sebagai menteri utama. Prabowo
hanya sebagai kepala negara. Dan Hatta hanya mengawasi.” jujur
dipertemuan 2 jam itu kaget saya. Karena itu kan pemikiran parlementer.
Karena menjelasakn itu justru yang membuat saya semakin tak mau mendukung
Bang Ical.
Hendra: Tapi kalau soal tawaran menteri utama kepada Bang Ical itu benar?
Indra: yaa benar. Sampai bilang sara dan segala macem.
Hendra: berarti sikap Bapak lebih pada wilayah kontruk dan ada proses yang membuat
bapak seperti itu? Atau bukan dari awal antara anda dengan Bang Ical sudah
tidak saling senang?
Indra: ya enggak. Justru saya sayang dengan Bang Ical. Dia sangat rasional, dia adalah
guru saya. Tapi dalam berbagai kesempatan yang sangat padat itu, Bang Ical
terlihat tidak rasional. Saat pertemuan saya dengan Bang Ical sela 2 jam itu,
saya menyimpulkan begini, ―Bang Ical yang saya kenal itu hanya 20% dari yang
saya kenal sebelumnya, 80% yang terjadi saat itu seperti bukan Bang Ical‖.
Waktu saya maju sebagai walikota kan bukan karena saya ingin menjadi
walikota Pariaman. Alasan pertama saat itu adalah, golkar sebagai partai
pemenang pemilu dan bisa mencalonkan kader sendiri justru kok mengajukan
calon dari PKS. Lalu kader golkar jadi wakil wakikota. Padahal Golkar punya 2
kursi sedangkan PKS punya 1 kursi. Menurut saya kalau gini untuk apa kita
berpartai? Oleh karena itu makanya saya maju secara independen. Menurut saya
ini sudah merupakan pelanggaran terhadap PO. Di dalam Peraturan Organisasi
disebutkan bahwa untuk mengajukan calon, baik itu kepala daerah tau yang lain,
yang pertama kali harus diprioritaskan adalah kader. Dan itu yang dilanggar.
Kalau ada kader partai lain yang masuk itu harus dalam aturan main koalisi. Jadi
175
menurut saya ini konstruksi berfikir saja, makanya saya tegas saat itu bahwa
saya akan maju. Byeee. Tapi kalau golkar macem-macem sama saya, saya juga
akan macem-macem sama golkar. Itu saya bilang waktu di pariaman. Kan
hampir tuh saya diberikan surat pemecatan dari Idrus Marham yang menurutnya
saya melawan partai. Loh menurut saya, partai apa yang saya lawan? Yang saya
lawan adalah kebijakan elit partai, AD/ART tidak saya lawan. PO tidak saya
lawan. Termasuk parlemen sekarang ini. Saya lebih melihat AD/ART.
Hendra: dan ittu berdampak pada berpihaknya anda ke kubu Agung Laksono ?
Indra: iya. Itu sebagai konsekuensi dan alasan. Menurut saya partai juga tak berhak
memecat kader hanya karena perbedaan pandangan politik. Itu sudah
merupakan pelanggaran hak kader.
Hendra: selanjutnya, jika kita bicara duel antara Agung Laksono dan Ical, seringkali kita
mengkaitkan konflik ini sebagai perseteruan lanjutan antara KMP dan KIH.
Menurut anda? Mau dibawa kemana Golkar ini? Apakah tujuan memenagkan
Agung Laksono dari munas untuk memindahkan arah koalisi partai?
Indra: enggak. Menurut saya itu KMP-KIH itu hanya ciptaan elit politik. Bisa kita lihat
waktu pemilu 2009, Golkar dukung siapa? JK-Wirantio kan? Mengapa saat
tahun 2009 golkar justru ada di pemerintahan? Begitu juga sebelumnya waktu
SBY –JK . Golkar dukung siapa? Dukung Wiranto-Gus Sholah kan? Kalah
golkar. Waktu pilpres putaran kedua juga kan golkar dukung pasangan Mega-
Hasyim. Dan ujungnya kalah lagi. Meskipun ada 16 orang golkar yang saat itu
mendukung SBY-JK . dan diakui memang saat itu golkar berada di koalisi
kebangsaan kan. tapi setelah golkar diambil alih oleh JK, dan akhirnya golkar
mendukung pemerintahan dari yang sebelumnya sebagai oposisi. Menurut saya
ini hanya sekadar games saja. Jadi konflik golkar saat ini tujuannya bukan
keesana. Tujuan kita adalah menyelamatkan partai. Dengan bergabungnya
golkar di KMP, membuat golkar tak lagi mandiri. Golkar saat ini keluar dari
KMP tetapi tidak bergabung ke KIH. Kalau golkar bergabung ke KIH, mungkin
saya adalah yang pertama kali menolak dan saya akan mundur dari
kepengurusan.
Hendra: Kalau Golkar gabung ke KIH, Bapak akan keluar dari kepengurusan?
Indra: Iyaa. Karena gak ada caranya itu golkar gabung ke KIH. Apa kita mau balik lagi
ke pemilu 2014? KIH Itu kan mereka yang mengusung pasangan JKW-JK dan
KMP yang mendukung Prabowo-Hatta.
Hendra: Nah tapi kan kalau kita bicara sistem, dalam sistem presidensial multipartai kan
dukungan legislatif terhadap eksekutif kan menjadi penting? Setidaknya untuk
mencapai dukungan 50%+1 untuk emmuluskan program pemerintah?
Indra: Menurut saya itu kan hanya teori aja itu. Tidak ada itu hanya gara-gara eksekutif
tidak didukung legislatif kemudian pemerintahan hancur. Enggak ada. Lihat aja
dulu waktu SBY-JK tahun 2004 hanya didukung 7% gabungan partai. Ini yang
maksud saya sebagai kemandirian partai. Partai harus mandiri. Kalau
pemerintahan mmengeluarkan kebijakan yang buruk, ya hantam. Kalau
176
kebijakan pemerintah baik, ya tidak usah di hantam. Tapi dengan peforma
dengan KMP dan KIH ini membuat situasi panas. Panas dalam artian seluruh
kebijakan pemerintah harus di hantam. Lihat aja itu omomgannya Fahri, Fadli.
Mereka yang selalu mengkritik pemerintah, tidak pada policy, tapi yang dikritik
hanya omongan-omongan yang belum menjadi policy.itu yang menurut orang-
orang sebagai fungsi oposisi? Itu salah. Oposisi itu adalah saat menghantam
kebijakan pemerintah dengan konsep. Misalnya pemerintah berniat membangun
jembatan jawa-sumatera. Lalu dikritik oleh parlemen. Menurut parlemen itu
tidak benar. Lebih baik dibangun pelabuhan-pelabuhan kecil dsb. Dan maju
dengan konsep. Nah itu yang dimaksud dengan oposisi yang benar. Oposisi
yang melalui konsep. Nah kalau sekarangg ini, oposisinya keliru. Misalnya
pandangan oposisi yang menginginkan pemerintah harus jatuh di tengah jalan.
Nah itu keliru. Karena pengalaman menjatuhkan Soeharto dan Gus Dur itu
masih menimbulkan luka-luka politik. Harusnya kontestasi pemerintah dengan
oposisi itu harus melalui adu gagasan.seperti yang terjadi dalam konteks AS,
ada Republik dan Demokrat. Jadi pandangan oposisi tak musti apakah dia ada
diluar apa di dalam. Jadi kalau oposisi di pandang bila pemerintah A, maka kita
B dst. Itu keliru.
Hendra: Nah problemnya kan masih ada orang yang memiliki pola pikir oposisi tidak
seperti yang anda bilang?
Indra. Iya masih, tapi kan itu yang berusaha sedang saya benerin. Saya berbeda dengan
mereka yang menjadi politisi berasal dari jalanan atau politisi karir. Awalnya
saya kan memang scientist.
Hendra: lalu menurut anda apa masih ada orang-orang di dewan yang memiliki cara
pandang oposisi seperti yang anda bilang keliru itu?
Indra: Oh iyaa masih. PDIP kan dahulu juga seperti itu.
Hendra: nah itu kan bahaya bagi sistem kita?
Indra: Enggak bahaya, makanya kan yang wkatu itu saya kritik kepada PDIP soal
sikap oposisi dirinya. Saya bilang: ―tidak benar anda menyebut diri sebagi partai
oposisi.‖ Buktinya lihat saya sekarang PDIP menjadi gubernur di kalimantan
tengah. Jadi koalisi apa? Ganjar Pranowo jadi gubernur, waktu Jokowi jadi
gubernur. Jadi PDIP itu oposisi apa? Itu kan PDIP menjadi pemerintah. Jadi gak
ada itu konsep oposisi di indonesia. karena kita mengenal kesatuan
pemerintahan atau unilitatian. Pemerintahan di indonesia ya Cuma ada satu,
mulai dari presiden sampai ke tingkat paling bawah. Kayakk PDIP misalnya
yang ada kadernya menadi gubernur atau walikota yang menjadi pemerintah,
dan berkaitan dengan pemerintah pusat. Pandangan oposisi ini yang menurut
saya keliru konteksnya. Sistem kita kan presidensial. Oposisi itu dikenal dalam
parlementer yang mengenal istilah veto dan mosi tidak percaya. Kalau indonesia
menganut fixed term office yang waktu jabatannya jelas, dari 20 oktober sampai
20 oktober. Ini yang menjadi jabatan presiden adalah tetap dan tak bisa
diganggu gugat. Jadi gak ada yang namanya pemerintahan transisi, orang-orang
itu baca buku dimana? tak ada pemerintahan demisioner. Makanya ketika pak
Jokowi bikin Tim Transisi maka saya juga itu yang kritik kan. Kalau mau bikin
177
tim ya silahkan tapi tidak menyebutnya dengan tim transisi dan menegosiasi
dengan SBY.
Hendra: Seolah tu memisahkan?
Indra: ya. Itu seolah-olah pemerintahan sebelumnya itu demisioner. Kalau ada transisi
maka ada demisoner. Oleh karenanya gak ada sistem itu di indonesia.
Hendra: oke oke. Oh iya sebelumnya anda kan juga bilang oposisi sebagai ciri dari
sistem parlementer. Cuma kan dalam konteks indonesia, partai kan gak mungkin
untuk tidak koalisi?
Indra: Mungkin saja.
Hendra: bagaimana mungkin? Sedangkan eksekutif dan legislatif memutuhkan
kesepakatan bersama.
Indra: ya tetap bisa melalui negosiasi antar partai.
Hendra: Nah, negosiasi kalau tidak diikat dengan koalisi kan kadang sulit. Untuk
membangun disiplin partai saja kadang sulit.
Indra. Oh enggak-enggak. Gak mungkin koalisi itu gimana? Koalisi itu kan permanen
dalam banyak hal. Bagaimana mungkin antarpartai bisa satu pandangan dalam
setiap isu? Kan gak mungkin sama. Dalam isi ISIS misalnya. Kalau gaka da
KMP, pasti berantem itu politisi golkar dengan PKS. Lilhat saja isu-isu
mengenai densus 88. PKS pasti sangat alergi dengan itu. Tapi golkar ya tetap
merah putih. Jadi ide itu tak bisa dikoalisi kan. Dan ideologi partai itu harus
jalan. Dengan adanya koalisi ideologi partai menjadii tak keliatan. Atau ini
hanya proses bagi bagi kekuasaan. Gak ada itu. Coba anda lihat, bagaimana bisa
PPP koalisi dengan PDIP waktu saya kalah kan? Itu ideologi beda. Oleh
karenanya pendekatan koalisi menjadi tak mungkin dalam konteks indonesia.
karena kita kan ada 500 lebih gubernur dan walikota. Di masing-masing daerah
itu kan beda. Tau gak pemenang pemilu di kota Solonto siapa? Dari PKPI coba.
Kalah golkar. Di kota pariaman, hampir saja PBB menjadi pemenang pemilu.
Hampir kalah golkar, dinamika di daerah lalu mau dikoalisikan di pusat? Ya gak
bisa. Jadi bingung saya. Waktu 5 tahun yang lalu jadi pengamat politik syaa kira
gak seperti ni realitas politik kita yang amat hancur. Dalam politik itu kan
idealnya harus ada skema, ideologi, platform. Nah sekarang? Justru yan paling
menarik diamati adalah perilaku. Seperti populisme, kedikenalan, popularitas.
Yang menurut saya itu bukan hal yang penting. Jadi 5 tahun terakhir itu cara
bangsa ini berfikir mengenai sistem politik itu sudah mengadopsi cara cara
ilmuan politik di AS, kalau sebelumnya itu lebih menganut cara berfikir di
eropa. Kalau sekarang ini menurut saya acak-acakan. Sistem presidensial seolah
diadu dengan sistem parlementer. Parlementer kan khas eropa sedangkan
presidensisliem itu kan khas Amerika. Mungkin karena ilmuan politiknya tidak
ada yang dominan juga. Atau tak menjadi rujukan utama. Memang harus ada
ilmuan politik di Indonesia yang menjadi rujukan utama.
178
Hendra: oke. Lanjut pak. Ini soal APBN-P 2015. Nah dalam kondisi divided government
seperti yang terjadi dalam pemerintahan JKW-JK diprediksi akan mengalami
kedsulitan dalam membangun kesepakatan. Karena legislatif dikuasai oleh
KMP, tapi kenapa kok APBN-P bisa diterima?
Indra: nah itulah, karena sampai pada akhirnya terjadi kompromi. Di AS kan juga
terjadi divided itu.
Hendra: kalau kita bandingkan dengan yang terjadi sebelumnya misalnya, kan KMP dan
KIH terjadi perseteruan yang cukup panas tapi makin kesini kok antara
eksekutif yang dikuasai oleh KIH dan KMP yang menguasai legislatif keduanya
bisa saling menyepakati?
Indra: nah itu lah kan akhirnya juga terjadi kompromi-kompromi. Beda hal yang
terjadi di AS, ketika terjadi divided government maka terjadilah pula
government shut down. Cuma kan dalam konteks AS, divided government itu
diantisipasi dengan adanya pemilu sela. Saya juga pernah itu mengusulkan
adanya pemilu sela di Indoenesia untuk mengatasi konflik politik yang terjadi.
Saya usul diadakan pemilu selama 2,5 tahun untuk mengganti 50% anggota
DPR supaya pemerintahan stabil, untuk bisa menyesuaikan dengan komposisi
yang ada di eksekutif.
Hendra: Oke pak saya kira cukup.
NB: Underline: (Rahasia/off the record)
179
Lampiran VII
Transkip Wawancara
Narasumber : Hamdi Muluk
Status : Profesor Psikologi Politik Universitas Indonesia
Ketua Perhimpunan Survei dan Opini Publik Indonesia (PERSEPI)
Hari/Tanggal : Selasa, 3 Maret 2015
Tempat : Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Hendra: Seperti yang diketahui bahwa eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kubu
yang berbeda. Eksekutif dikuasai oleh Koalisi Indonesia Hebat dan Legislatif
dikuasai oleh Koalisi Merah Putih. Nah kalau dalam literatur ilmu politik, hal
ini disebut dengan divided government. Sedangkan banyak beberapa karya yang
mengulas topik divided government seperti Robert Elgie, dalam bukunya
―Divided Government and Comparative Perspective‖....
Hamdi: Nah terakhir itu ya bukunya Djayadi dalam kasus di Indonesia. selain itu juga
Hanta Yuda.
Hendra: Yaa, tapi kan keduanya membahas periode SBY, sedangkan yang saya amati
adalah periode awal Jokowi.
Hamdi: Okee, tapi apa kesimpulan kamu dari kedua buku itu. Saya ingin kamu
mengkritik kedua buku itu dulu.
Hendra: oke, kalau Hanta itu hanya melihat persoalan eksekutif dan legislatif secara
kelembagaan. Dengan artian lebih banyak berfokus pada kritik sistem
presidensial yang legislative heavy. Seperti layaknya proses pemilihan kapolri,
panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia itu harus melalui restu DPR,
sedangkan dalam literatur klasik studi presidensialisme seharusnya itu menjadi
kewenangan presiden secara penuh. Nah disitulah terjadi tarik menarik
kepentingan antara kedua lembaga tersebut.
Hamdi: okee, nah kalau kamu kerangka teorinya pake punya siapa?
Hendra: Karena fokus yang diambil diriset saya adalah terkait divided government jadi
teori yang digunakan itu yakni koalisi presidensial (Paul Chaisty) dan divided
government (Robert Elgie)
Hamdi: Oke okee, tapi kalau saya mikirnya begini, desain presidensialisme kalau anda
berharap itu kecil kemungkinan terjadi divided ya hanya ideal dalam konsep
biparty atau triparty. Ya kan kalau satu party yaa gak mungkin itu kan komunis.
Seenggaknya kan kalau negara demokratis ya multiparty atau paling enggak
dua. Kenapa biparty? Ini ada penjelasan psikologis sebenarnya, ini mungkin
menjadi alasan kenapa biparty itu menjadi lebih stabil. jadi misalnya begini ya
dalam sistem biparty itu seringkali memiliki spektrum ideologi yang terpecah
180
menjadi dua. Katakanlah ideologi A dan B. Nah kalau orang menilai ideologi A
tidak sukses dalam memerintah kan bisa berpindah piliham ke ideologi B. Nah
biasanya voters ini akan memilih partai yang sama, baik dalam fungsi eksekusi
ataupun controling. Nah dalam konteks ini kan tidak divided namanya.
Misalnya begini dalam konteks presidensialisme di Amerika Serikat, Demokrat
menguasai 60% parlemen, kemungkinan dia akan memilih presiden ya dari
demokrat juga. Ya kan. Divided ini kan artinya begini presiden dari denokrat
misalnya, lalu republik menguasai 70% parlemen. Nah ini yan dimaksud
divided government itu. Jadi kalau dianggap memerintah itu adalah kerja
kolaborasi antara eksekutif dan legislatif maka ini yang menjadi persoalan,
karena besar kemungkinan policy di eksekutif akan mendapatkan halangan di
parlemen. Nah selain itu kalau konsepnya parlemen, maka kita tidak relevan
secara filosofis jika bicara divided ini. Karena presiden atau perdana menteri
kan dapet mandat sepenuhnya dari parlemen, kecuali mosinya dicabut.
Pembicaraan divided ini kan hanya relevan dalam konteks sisitem presidensial.
Nah masalahnya secara empiris kemungkinan divided makin besar kalau
desainnya multiparty.Ini yang menjadi complicated. Nah kalau dalam biparty itu
kan tidak sering itu terjadi divided. Yaa karena tadi, ketika orang mulai bosan
dengan partai A dan orang itu akan pindah ke partai B. Seperti yang terjadi di
AS, Inggris dan Australia. Nah kalau di Indonesia, pekerjaan presiden itu
menjadi lebih complicated kalau dia ingin melakukan eksekusi secara lebih
mulus. Karena ada beragam kepentingan yang dia harus tampung. Nah ini yang
menjadi tesis Mainwaring mengenai complicatednya sistem multiparty. Cuma
kan ya Djayadi Hanan punya tesis kebalikan. Yaa namanya juga tesis kan, orang
akan berusaha untuk membalikan. Ya namanya tesis pasti juga akan muncul
anti-tesis. Jadi menurut saya, penjelasan dari era SBY sampai Jokowi itu ya tak
akan berubah, karena kenapa? Desain konstitusinya kan sama. Nah, disini kita
lebih tepay bicara perilaku aktor yang mungkin berubah. Nah, jangan-jangan
tesisnya Djayadi itu hanya relevan apabila perilaku aktornya itu seperti SBY
yang menurut Djayadi itu pintar membuat kompromi-kompromi sehingga bisa
jalan.
Hendra: nah lanjut. Gini Prof, disatu sisi kan sistem presidensialisem bisa dibaca untuk
memperkuat prinsip check and balances?
Hamdi: sebenernya iya, tapi secara filosofis, pembuat sistem presidensialisme memang
untuk memperkuat prinsip check and balances, nah kalau tidak mau ada check
and balances ya sistemnya parlementer. Kalau secara filosofi untuk
memciptakan sistem yang stabil ya sistemnya parlementer, kareena kan yang
berkuasa disini hanya ada satu dan pemerintah sulit untuk mendapatkan mosi
tidak percaya. Tapi yang menjadi masalah dalam sisitem parlemnter apakah,
eksekutif berhasil mensurving partainya sendiri. Seperti yang terjadi di Jepang
misalnya, kalau ada perdana menteri yang di copot maka yang menjadi
penggantinya adalah orang yang berada di dalam partai mayoritas di parlemen
atau partai yang mengangkat perdana menteri sebelumnya yang di copot itu.
Sehingga penggantinya ya orangnya itu-itu juga. Ibaratnya ya seperti resuffle
aja gitu, bukan betul-betul layaknya pergantian rezim. Kalau dalam sistem
presidensial memang betul apa yang anda bilang bahwa tujuannya untuk
memperkuat prinsip check and balances supaya mandat antara eksekutor dan
yang mengontrol itu berasal dari konstituen. Nah kalau dalam sisitem
181
parlementer kan mandat pemerintahan bukan berasal dari konstituen langsung
tapi berasal dari dukungan di parlemen itu sendiri. Nah kalau perdana menteri
ingin berkomunikasi dengan parlemen jadi kan tidak ada kesuitan, karena kan
ya parlemen itu kan orang-orangnya dia juga, nah kalau konsep ini kan berbeda
dengan sistem presidensial yang memungkinkan terjadinya divided
governement. Jadi tergantung anda yang memaknai divided government itu
seperti apa konsepnya. Kalau dalam konsep check and balances yaa pure seperti
yang terjadi dalam divided government itu ya tidak masalah. Misalnya jika
Obama menguasai eksekutif dan demmokrat tak mencapai kekuatan mayoritas
di legislatif kalau dipandang dalam konsep check and balances ya tidak
masalah. Karena fungsi legislatif itu kan ya untuk controling guna memperkuat
check and balances. Cuma yang menjadi persoalan kan begini, yang menjadi we
and ask dalam perspektif psikologi atau masalah identity, `meskipun partai yang
duduk di parlemen mewakili atau representative rakyat tetaplah partai memiliki
identitiy dan kepentingan serta platform, ciri dan program dan akhirnya tetaplah
terjadi dikotomi antar eksekutif dan legislatif saat terjadi divided government.
Ini yang kemudian banyak analis yang mengatakan bahwa jika presidennya
berasal dari partai A, maka parlemen harusnya dikuasai juga oleh partai A supay
ananti identitynya sama dan tidka terjadi kegaduhan, kalau dalam psikologis
diakui memang kalau seseorang berbeda identitiy menang gampang musuhan,
walaupun tidak dalam sudut pandang objektif. Tetapi kan itu melalui sudut
pandang subjektif. Ibarat: ―dia kan bukan orang kita, lalu kenapa kita harus
dukung dia?‖
Hendra: Oke Prof. Tapi kok kalau soal APBN-P itu kok bisa di terima Prof?
Hamdi: Nah itu dijawab lewat tesisnya Djayadi Hanan itu, tesisnya Djayadi Hanan kalau
kita pandang melalui sudut negatif kan artinya ―kongkalikong‖
Hendra: Tapi kan kembali ke soal identity lagi gitu, antara eksekutif dan legislatif itu kan
dikuasai oleh beda kubu yang beda identity? Nah mengapa kok diantara
keduanya bisa saling berinteraksi dan kompromi gitu? Bagaimana pendekatan
psikologis menjawab itu?
Hamdi: Nah kalau dalam konteks ini kita bisa pahami bahwa aktor politik itu posisinya
terlalu jauh dengan interst of public. Jadi identity tidak menjadi suatu persoalan.
Biasanya perdebatan identity menjadi sengit kalau debat itu on the stage public
policy yang menjadi perdebatan keras di masyarakat. Nah negara yang modern,
jarak atara public issue dan aktor itu tidak begitu jauh, nah kalau di Indonesia,
jarak antara public issue dengan aktor itu sangat jauh. Jadi masyarakat itu tidak
tahu apa debat debat yang terjadi di parlemen. Sehingga ketidaktahuan
masyarakat terhadap isu yang diperdebatkan di parlemen menjadi peluang bagi
aktor partai politik untuk menyelesaikan proses kongkalikong itu sendiri. Nah
disinilah lalu menjadi kepentingan aktor. Sedangkan aktor itu berkaitan dengan
pengusaha, nah kalau aktor-aktor ini berhasil membangun kongkalikong maka
seperti yang disimpulkan oleh Djayadi bahwa stabil kok presidensialisme
mutipartai. Jadi disini bergantung pada kelincahan presiden dalam membangun
lobby lobby itu. Dan itu yang terjadi dalam era SBY yang membuat sistem
presidensial multipartai itu lancar. Meskipun si Hnata juga mengatakan bahwa
―ini sih bukan sistem presidensial murni, tapi semi parlementer‖, karena
parlemen banyak mengganggu. Nah tesisnya Djayadi mengatakan karena
182
kondisinya suddah begitu atau parlemen yang banyak mengganggu eksekutif
maka SBY tahu caranya, intinya ya kongkalikong sebenarnya. Seperti lobby dsb
yang menurut Djayadi hal itu tak perlu di lihat dari struktur formal, tapi melalui
pendekatan yang informal yang banyak menentukan.
Hendra: oke lanjut, misalnya kalau saya berada di pihak Djayadi gitu. Kalau misalnya
gak ada kompromi lalau bagaimana kebijakan itu bisa diambil?
Hamdi: Masalahnya kan begini, yang lepasa dri diskursus kita selama era SBY ini
adalah tidak ada jaminan bahwa kepentingan publik ini akan maksimal.
Sebenernya kita bisa menerima kompromi alau kepentingan publik ini bisa
diakomodasi secara maksimal yang diambil secara keputusan bersama dan
dieksekusi. Itu artinya kinerja pencapaian publik saat era SBY tidak big
impression. Meskipun secara hubungan eksekutif dan legislatif ya stabil, tetapi
kalau kita memaknai prestasi SBY selama 2 periode ini apa? Ya meskipun
kerusuhan politik pun minim seperti yang dibilangg Djayadi. Antar aktor juga
tak banyak berkelahi, itu juga benar. Dan orang pada tahu akhirnya, ada
permainan anggaran di belakang. Tadi saya dapat SMS daei Mas Rhenald
Kasali, perahkah kita melihat dan mengamati di tingkat mikro manajemen,
seperti kasus Ahok dengan DPRD itu hanyalah fenomena gunung es yang
nampak di permukaan, kasus penggelapan anggaran sebetulnya itu sudah sangat
lama. Jadi pelayanan publik itu ya just less. Jadi ini yang akhirnya penggunaan
anggaran menjadi tidak bertangung jawab. Kita akui bahwa dalam negara ini
harus ada urusan publik yang harus ditangani, misalnya bangun jembatan
distruktur anggaran mencapai 20M, namun dalam pelaksanaannya itu tak
mencapai 20 M. Jadi ujung-ujungnya jembatan yang haruusnya bisa bertahan 5
tahun menjadi ambruk dalam waktu 2 tahun. Ini artinya apa? Ya jadinya
pembangunan tidak berjalan. Ini fenomena hampir semua, jadi kasus Ahok
dengan DPRD ini adalah fenomena gunung es yang terjadi hampir di semua
relasi ekskeutif-legislatif. ini kemudian menjadi peluang corruption, nah
persoalan selanjutnya lalu, karena ini dilakuan berjamaah, kita butuh berapa ribu
KPK? Dan belum nanti tender itu ada yang nakut-nakutin itu. Nah ini sudah
kongkalikong antara eksekutor dengan legislatif yang nanti dimasukin di
struktur anggaran. Nah ini yang disebut dengan kebocoran anggaran. Nah
masalahnya ini kan anggaran ini disepakati oleh 2 belah pihak kan? Nah jadi
kalau Ahok ini gak mau ribut-ribut ya gampang lebih baik kompromi aja. Nah
ini yang kemudian publik tidak tahu dengan apa yang terjadi di belakang. Jadi
pembahasan APBN/APBD itu tidak mencerminkan kebutuhan publik, tapi lebih
kepada kebutuhan dan kepentingan para pengusaha yang ada di belakang para
legislator. Karena memang aparat yang standar juga sudah tak berjalan.
Hendra: Berarti secara garis besar yang menyebabkan semua itu terjadi karena sistem
multipartai?
Hamdi: Ya betul, tapi kan kadang ketakutan ilmuan politik itu begini, kalau misalnya
eksekutif tidak mau melayani legislatif , leguslatif itu kan punya kuasa untuk
instrumen menjatuhkan. Paling tidak kalau dalam konteks parlemen masih ada
mosi tidak percaya. Nah dalam konteks presidensial ada instrumen untuk
legislatif bisa menjatuhkan ekskeutif meskipun lebih sulit desain konstitusinya
ketimbang parlementer. Diakui memang dalam konteks presidensialisme,
183
eksekutif lebih punya kekuatan untuk menolak usulan legislatif. karena apa?
Mekanisme pemakzulan itu kan dipersulit dalam konteks penggantian presiden
dan jajarannya. Kalau dalam sistem parlementer digunakan istilah pemakzulan
itu sebenernya keliru kan, jadi kalau dalam sistem parlementer itu ya kayak
ressufle aja sebenernya. Kalau dalam sistem parlementer, penggantian rezim itu
sebenernya ya tetep nunggu pemilu. Dalam konteks presidensial, eksekutif ini
kan dirancang kuat sebenarnya, Cuma kan analis politik kebanyakan pada
ketakutan jika legislatif ini tidak di surving dan tak dilayani, eksekutif bisa
diganggu melalui mekanisme pemakzulan. Seperti yang terjadi pada kasus Ahok
ini. Nah kalau nanti parlemen banyak yang mengatakan eksekutif bersalah nanti
bisa dijadikan dasar untuk diajukan ke MK. Walaupun tetap pemakzulan
ekskutif tetap harus melalui mekanisme pengadilan. Seperti yang terjadi pada
kasus Aceng.
Hendra: Nah kalau pendapat Prof soal Gus Dur?
Hamdi: Nah itu beda sistem. Sistem kita sebelum reformasi itu sistem paling sesat. Tapi
kesesatan terbesar itu ada pada jaman soeharto. Bisa dilihat komposisi anggota
MPR itu separuhnya anggota DPR dan separihnya diangkat. Nah kalau yang
diangkat oleh presdien itu kan sama aja bohong. Nah separoh dari yang dipilih
melalui pemilu itu ada Golkar yang dibawah kendali presiden pula. Lalu apa
kontrolnya? Nah ini yang kemudian dijadikan dasar pojakan bahwa presiden
saat orde baru adalah mandataris MPR. Padahal yang duduk di MPR itu orang-
orangnya Soeharto juga. Nah setelah orde baru orang mulai mendirikan bahyak
parpol, sampai berjumlah 43 partai yang ikut pemilu. Karena pada saat era
Soekarno dan Soeharto, Presiden adalah mandataris MPR, shingga MPR bisa
menaikan dan menurunkan. Itu yang terjadi pada saat Gus Dur. Yang kita tahun
bahwa Amin Rais yang menaikan dan menurunkan. Setelah itu baru deh kita
insyaf bahwa presiden bukan lagi mandatais MPR. Selanjutnya yang menjadi
problem adalah wewenang presiden tidak dipagari secara kuat. Legislatif itu
wewenangnya masih besar, masih ada gejala legislative heavy. Dan presiden
juga tak punya hak veto untuk sebuah UU, nah kalau di AS kan presiden punya
hak veto. Meskipun parlemen tidak setuju ya eksekutif bisa jalan terus. Jadi
kuatnya bangunan sistem presidensial itu yang kini menadai perdebatan, nah
dikita apakah kita masih mau memperkuat bangunan sistem presidensilnya atau
tidak? Kalau dalam era Soeharto sebenernya bukan presidensial sebenernya tapi
agak ke parlemen. Nah sekarang kan kita sudah insyaf soal itu, MPR sudah
tidak lagi yang menjadi pemegang mandataris tetapi MPR lebih pada proses
bikameral yang menaungi DPR dan DPD, meskipun DPD itu cuma basa-basi
karena kewenangannya sedikit. Nah kalau di AS kan senator namanya, kalau
DPR namanya kongres, tapi di AS keduanya memiliki wewenang yang sama,
cuma cara memilihnya yang berbeda. Nah saat ini di Indonesia justru DPR ni
yang memiliki kegarangan bila berhadapan dengan eksekutif. Selanjutnya yang
menjadi complicated adalah DPR ini multiparty dan terlalu banyak pihak dan
kepentingan yang harus dilayani eksekutif.
Hendra: Jadi menurut Prof, ini yang menjadi problem dan harus di re-design?
Hamdi: Iya beetul, memang harus di re-design. Harus ada pengerucutan partai memang
menurut saya. Selain itu juga sistem pemilu kita ini terlalu kompleks. Belum
184
pernah ada masyarakat di dunia ini orang disuruh memilih 1 dari 100 matriks.
Dan dalam teori voting hal ini tidak akademis. Saya ini marah-marah sama ahli
politik itu. ―kalian ahli politik ini seolah-olah tidak pernah bertanya kepada
masyarakat, secara psikologis orang itu sanggupnya memilih berapa?‖ dalam
psikologi ada beberapa alternatif yakni (1) voting behaviour itu adalah prefer
alternative. Atau memberikan pilihan kepada seseorang itu sudah sama-sama
baiknya. Tinggal masyarakat yang memilih satu sesuai preferencenya. (2)
mekanisme HRD (Human Resources Development) selection seperti memilih 3
terbaik dari 100 yang mendaftar. Nah nanti dari 3 terbaik yang harusnya
disodorkan ke publik. Nah kalau pemilu di indonesia ini kebangetan, kita
disuruh memilih 2 dari 100 calon. Ini yang kemudian menjadi kritik saya
kepada Perludem yang selalu membuat jargon ―telitilah sebelum memilih dsb‖.
Laah memangnya masyarakat siapa yang mau meneliti seluruh calon? Kalau
mau bertanggungjawab harusnya melalui mekanisme seleksi untuk
mendapatkan calon terbaik, nah kalau pemilu di Indonesia itu kan tak ada
mekanisme selection. Semua calon yang lolos di partai itu langsung disodorkan
ke publik. Harusnya menganut prinsip ―Who is the best prefer choice?‖.
Problem di Indonesia kan lebih merujuk pada hak orang untuk dicalonkan, kita
tak pernah peduli dengan hak pemilih. Pemilih justru disiksa dengan banyaknya
calon untuk memilih. Kita memang harus punya mekanisme selection. Kalau
gak ada mekanisme itu ujung-ujungya orang akan memlih asal-asalan. Atau
memilih berdasarkan politik uang. Dan akhirnya kita tak mendapat quality. Dan
penyebab awalnya ini adalah multiparty. Saya debat itu sama Djayadi soal ini,
saya bilang aja tetep aja multipaty itu tidak relevan.
Hendra : bagus itu prof kalau dibuat penelitian tandingan gitu.
Hamdi: Yaa nanti saya akan bantahan itu bahwa sebetulnya multiparty itu penyakit
Hendra: Oke Prof. Sudah cukup saya kira.
185
Lampiran VIII
Transkip Wawancara
Narasumber : Wandy N. Tuturoong
Status : Pokja Lembaga Kepresidenan Tim Transisi Jokowi-JK
Hari/Tanggal : Selasa, 31 Maret 2015
Tempat : Gedung Energy, SCBD Jakarta.
Hendra: Oke. Bapak kan waktu itu berada di dalam Tim Transisi JKW-K ya pak? Di
bagian Pokja? Apa pak yang Bapak lakukan disana? Bisa diceritakan?
Wandy: kalau di awal kan saya terlibat disana karena 2 hal. Pertama, saya kan memang
tim perumus visi/misi JKW di bidang ekonomi bersama Sri Adiningsih yang
sekarang ini menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden. Kedua, saya juga
membuat kelompok relawan, Ali Almisbath. Nah setelah JKW terpilih, saya
kebetulan juga dapat di Pokja Lembaga Kepresidenan tim transisi JKW. Nah
pokja Lembaga Kepresidenan itu tugasnya memang untuk membantu Presiden
untuk mendesihn perangkat yang mendukung presiden dalam menjelankan
tugasnya yang menurut kami ini kurang efektif dilakuakn di pemerintahan
sebelumnya. Karena presiden kurang memegang kendali terhadap kementerian
yanga da. Jadi ada menteri yang jalan sendiri tak tak berkoordinasi. Padahal
koordinasi itu penting, sedangkan suatu pemerintahan kan tak mungkin jalan
tanpa adanya koordinasi. Contoh misalnya, kalau kita ingin membangun
pelabuhan, itu kan bisa dikelola oleh kementerian PU, BUMN, lalu kemudian
kita mengusulkan harus ada kontrol dari presiden dan ini harus dirumuskan
melalui lembaga kepresidenan. Jadi ada fungsi pengendalian dan kontrol gitu.
Supaya memungkinkan kalau ada yang macet itu bisa diatasi. Begitu juga
halnya dalam UU, karena sebelumnya seringkali presiden ini hanya sebagai
orang yang menandatangani UU. Atau kalau dari inisiatif pemerintah datangnya
justru dari kementerian. Padahal idealnya hal itu berasal dari presiden, yang
mana ide dan gagasannya dari presiden, lalu untuk segala teknis diserahkan
kepada kementerian. Nah itu yang kita susun supaya presiden memiliki kontrol
dan pengendalian terhadap kementerian.
Hendra: nah kalau sebelumnya kan ada UKP4 ya? Lalu menurut bapak apa bedanya?
Wandy: UKP4 saya baca memang ada juga fungsi pengendalian. UKP4 lebih banyak
memonitor menteri tapi tidak punya kontrol. Jadi hanya bikin raport menteri tapi
kalau raport menterinya merah itu tak bisa diatasi. Dan ketika dibuat juga hanya
dibuat saja. Saya tak tahu apakah dia mengikuti rapat tiap saat. Tapi itu bisa
tanya ke orang UKP4. Tapi idealnya kan menteri ini di bawah konrol presiden.
Menterilah yang menjaga visi misi presiden. Supaya dijalankan. Nah itu yang
kita maksudkan dalam ide lembaga kepresidenan yang dinamakan kantor staff
presiden.
186
Hendra: oke. Diluar konteks lembaga kepresidenan. Kalau kit abicara arsitektur kabinet
JKW-JK, posisi tim transisi itu sebetulnya ada dimana terkait keputusan
terhadap posisi-posisi menteri?
Wandy: kalau di Tim Transisi, kita tak berbicara orang. Kita bicara sistem. Kalau terkait
perseorang kita Cuma mendiskusikan beberapa kriteria-kriteria orang yang tepat
untuk di posisi menteri dan merekomendasikan itu kepada presiden.
Hendra: merekomendasikan?
Wandy: iyaa, merekomendasikan sistem. Bukan merekomendasikan orang. Kalau untuk
orang per orang itu ya hak prerogatif presiden.
Hendra: ya, yaa presiden bersama partai ya? Hehee
Wandy: yaaa, secara politk dimana proses terpilihnya orang-orang itu tentu melibatkan
partai pendukung.
Hendra: Okee, berarti hanya bicara perangkat sistem ya. Nah trus, fungsi legislasi pak,
menurut bapak gimana? Yang melekat dalam lembaga kepresidenan. Karena
kan saat ini terjadi divided government. Dari perspektif bapak apa ada
kekhawatiran eksekutif dalam membangun interaksi dengan legislatif dalam
perumusan UU?
Wandy: adaaa. Ya kan udah terjadi.
Hendra: Tapi dalam konteks relasi eksekutif-legislatif yang terdivided, itu kan banyak
literatur yang mengatakan akan sulitnya dan potensi deadlock antara eksekutif
dan legislatif. tapi nyatanya dalam kasus APBN-P keduanya bisa saling
menyepakati. Tanggapan bapak?
Wandy: okee, kamu diajarin sama burhan? Ya saya sepakat dengan burhan ya. Kalau
menurut saya sih belum ada keberhasilan sistem presidensial yang
dikombinasikan dengan multipartai eksektrem. Multipartai ini yang secara
otomatis mengurangi kewenangan dia. Karena presiden tak akan bisa menang
besar secara sendiri. Otomatis kan partai presiden harus melakukan bargaining
guna dapat dukungan. Menurut saya itu yang membuat potensi divided itu selalu
ada, jadi ada 2 hal mengenai jalan keluarnya. Satu presiden harus punya tim
yang kuat untuk legislasi.
Hendra: Maksudnya kuat itu seperti apa?
Wandy: yang dimaksud kuat itu yakni, saat ini kan tidak koheren antara visi misi dengan
substansi yang mau disampaikan lewat legislasi. Karena dalam era SBY, ide-ide
itu datang dari menteri kan. Bukan visi presiden, dan presiden harus punya itu.
Ketika presiden harus menghadapi public discource dan harus berdebat dengan
parlemen, maka idealnya presidennya kuat karena memiliki tim yang kuat juga.
Kedua, presiden juga harus punya komunikasi politik yang baik terhadap
banyak partai. Jadi presiden harus melakukan lobby lobby politik supaya
187
pembahasannya itu bisa berjalan dan tidak bberlarut larut. Itu bagian dari
komunikasi politik.
Hendra: Nah kalau begitu kan ujung-ujungnya harus koalisi.
Wandy: itu karena sistemnya kan.
Hendra; nah kalau koalisi itu kan seringkali memangkas wewenang presiden?
Wandy: iya betul, makanya kan tadi saya bilang saya setuju dengan burhan bahwa
sistem ini tidak ideal. Tapi bagi saya yang penting adalah dalam kondisi yang
tidak ideal ini apa yang seharusnya bisa kita maksimalkan? Kalau menurut saya
ya melalui 2 itu.
Hendra: meskipun saat ini belum maksimal ya?
Wandy: ya betul memang belum maksimal. Karena kan seperti yang kamu bilang itu
Hendra: nah saat ini kita bicara koalisi. Kalau koalisi era SBY kan angkanya di atas 50%
dukungan partai dilegislatif atau koalisi gendut katakanlah ya. Nah ini yang
membuat orang-orang yang ada di DPR kan itu menjadi bagian dari orang-
orangnya presiden juga. Jadi dalam proses legislasi terlihat tak ada masalah.
Kalau kita lihat angka RUU yang disahkan cukup banyak.
Wandy: masa sih?
Hendra: ya kalau kita lihat dari usulan-usulan yang diajukan oleh kedua lembaga baik
ekssekutif dan legislatif persentase diiterimanya lebih besar ketimbang yang
tidak. Kecuali RUU Rahasia Negara. Nah disitu kan gak ada deadlocknya.
Wandy: ya tidak deadlock tapi kan produktivitas dari segi kuantitasnya rendah kan.
Hendra: Yaa tapi kan jarang deadlock?
Wandy: Ya gimana. Sama aja. Kalau isu-isu substansial tidak banyak diproduksii?
Hendra: okelah. Maksud saya kita tidak usah terlalu jauh membahas isu substansi dulu.
Karena kan menurut saya indonesia ini masih dalam proses mencari bentuk. Era
reformasi kan juga masih belum tergolong lama. Kalau kita lihat pengalaman di
Brazil tentang sistem presidensialisme di sana ya sangat gaduh sekali. Indonesia
saat ini, sistem presidensialisme syukur-syukur tidak deadlock. Kita tidak usah
terlalu jauh membahas isu substansi. Karena menurut saya ketiadaan deadlock
ini merupakan suatu prestasi dan mengenai kegaduhan-kegaduhan yang menurut
asumsi pada teoritik sebelumnya seperti Mainwaring soal bahaya sistem
presidesialisme multipartai tidak banyak terjadi di Indonesia. memang ada
konflik, Cuma kan deadlock tidak terjadi. Nah era Jokowi ini kan jumlah
koalisinya dibawah 50% atau presiden minoritas lah ya. Nah sebetulnya kenapa
sampai pada akhirnya, JKW dan orang-orang di PDIP tidak berupaya mencari
dukungan koalisi yang maksimal? Mungkin bapak tau atau sempat mendengar
curhatan orang-orang disana gitu? Atau pilihan untuk membangun meritokrasi
188
kabinet? ya itu okelah tapi kan konsekuensinya akan emendapatkan dukungan di
parlemen yang sedikit?
Wandy: itu kan proses yang tidak sepenuhnya JKW yang menentukan. Itu proses
dientukan oleh partainya dan partai yang mendukungnya sejak awal. Dan
juga ada reaksi dari KMP kan. KMP ini kan agak susah membaca arah
politiknya saat dipermukaan dan yang tidak dipermukaan.. kalau di
permukaan kan mereka kumpul terus seperti menunjukan loyalitas.
Walaupun sebelumnya saya tahu dibalik itu bahwa orang-orang KMP itu
secara masing-masing juga ikut menghubungi Jokowi.
Hendra: Itu asumsi bapak?
Wandy: Enggak, itu fakta!
Hendra: Siapa yang dimaksud itu pak?
Wandy: Ya enggak. Kan seperti yang saya bilang diawal. Ada sikap yang dipermukaan
dan sikap yang dibalik permukaan.
Hendra: Nah yang dibalik permukaan itu siapa pak?
Wandy: Waduh, saya tidak bisa kasih tau namanya. Tapi saya tahu. Ada itu.
Hendra: hehehe apa itu sebagai bentuk komunikasi untuk supaya KIH bisa menampung
orang-orang KMP dalam pemerintahan?
Wandy: ya panggung kekuasaan itu kan banyak. Coba kamu lihat aja itu komposisi
BUMN. Siapa aja sih itu yang duduk disana? Nah itu kan bisa dilihat orang-
orang yang duduk disana itu dulunya timnya siapa. Itu kan analisis aktor. Kamu
bisa lakukan sendiri. Atau kan politik ini kan gak Cuma di eksekutif legislatif
atau jabatan formal. Tapi uga ada wilayah kekuasaan lain yang tersebar yang
mengeola resource.
Hendra: berarti kalau gitu idealisme oposisi dari KMP itu tidak ada? Atau hanya muncul
di pidato-pidato?
Wandy: Ya kalau politik itu kan susah untuk menguji idealisme antar keduanya.
Menurut saya politik itu adalah pilihan untuk menentukan mana yang jahatnya
paling sedikit.
Hendra: hahahaha
Wandy: ya iya kan? Maksud saya ukuran moral apa yang mau mereka pakai? Penelitian
kamu masuk ke dalam analisis aktor ya?
Hendra: ya salah satunya.
Wandy: oh. Yaa salah satunya kan politik itu tak bisa dari resourcesnya kan. Nah itu kan
tidak berjalan sendiri tapi kan terkait. Kamu apa temanya?
189
Hendra: tentang divided government dalam sistem presidensialisme multipartai era JKW
Oke deh.. next, kemarin kan dalam relasi eksekutif legislatif sempat dalam
pembahasa APBN-P 2015? Tanggapan Bapak kok KMP dan KIH yang awalnya
ribut-ribut tapi kok makin kesini kedua kubu masih bisa bersatu dan
berkompromo dalam pembahasan APBN-P? Karena kan APBN-P ini kan
penting dan perkaitan dengan rencana program kerja pemerintah. Bapak tau gak
sih bagaimana lobby-lobby yang dilakukan oleh KIH atau pemerintah dalam
pembahasan ini?
Wandy: Ya ini kan masih ada komuniaksi-komunikasi. Tapi kalau siapa-siapanya yang
melakukan komunikasi itu saya idak tahu. Tadi kan saya sudah bilang itu yang
off the record bahwa diantara petingginya pemerintah dengan KMP saja masih
ada komunikasi. Apalagi yang terjadi di jajaran bawahnya pasti ada
komuniaksi-komuniaksi. Tapi untuk siapa aktornya saja tidak tahu. Tapi yang
pasti ya ada lobby-lobby politik. Karena kan saya yakin bahwa tidak smeua
usulan pemerintah itu pasti di tolak, dinegara mana sih yang ada bahwa setiap
usulan pemerintah selalu ditolak? Pasti akan ada yang diterima kan? Cuma yang
perlu kita lihat itu frekuensinya lebih banyak mana usulan yang diterima dengan
yang ditolak? Kan gak mungkin semua usulan pemrintah pasti ditolak. Pasti ada
lobby lobby.
Hendra: heheh meskipun lobby-lobby itu dilakukan oleh orang yang dulunya musuhan?
Wandy: yaa dalam teori negosiasi itu kan pasti ada dinamika dan endingnya.
Hendra: Okee deh saya kira cukup.
190
Lampiran IX
Transkip Wawancara
Narasumber : Ulil Abshar Abdalla
Status : Ketua Dewan Pimpinan Partai (DPP) Demokrat bid. Kajian Strategis
dan Kebijakan
Hari/Tanggal : Kamis, 9 April 2015
Tempat : Freedom Institute, Wisma Proklamasi, Jakarta
Hendra: Baik, mas terimakasih atas waktunya. Mungkin pertanyaan yang saya ajukan
disini adalah pertanyaan yang mungkin sudah dijawab oleh sebagian besar
media, tetapi karena untuk keperluan peelitian, maka saya akan
memeprtanyakan lagi supaya bisa mendapatkan data yang bisa
dipertanggungjawabkan. Pertanyaan pertama sebagai pengantar. Sebenrnya,
posisi Partai Demokrat ini ada di mana sih mas? KMP atau KIH?
Ulil: Tidak dikedua-duanya. Meskipun disadari bahwa banyak masyarakat yang tidak
percaya bahwa Demokrat itu betul betul menempuh jalan ketiga. Karena
sebagian besar masyarakat berfikir bahwa Partai Demokarat ada di sebrang KIH
maka otomatis berada di KMP. Nah itu logika yang saya lihat banyak orang,
sehingga banyak yang tak percaya. Nah sebetulnya Demokrat bener-bener
berada di jalan ketiga atau tengah. Kenapa Demokrat mengambil jalan ketiga?
Mungkin ini adalah penjelasan yang sifatnya formal ataupun yang tidak formal.
Penjelasan formalnya adalah PD tidak mau menjadi bagian dari oposisi yang
selalu mengatakan tidak pada semua kebijakan JKW. Karena memang SBY
sudah menenggarai bahwa nada-nadanya KMP akan selalu bilang tidak kepada
kebijakan JKW. Tapi dari awal SBY sudah melihat perseteruan antara JKW dan
Prabowo yang sangat keras. Nah SBY menenggarai KMP akan terus
mengganjal kebijakan JKW. Dan itu tidak sehat. Ya kalau JKW menghadapi
koalisi yang seperti itu kan tidak bagus untuk JKW dan untuk Indonesia juga.
Karena pemerintah tidak jalan. Kalau pemerintah tidak jalan kan dampaknya
kesemua orang juga. Kita gak mau pemerintahan tidak berjalan hanya gara-gara
koalisi yang mix seens atau tidak waras dan tidak memakai pertimbangan
rasional. Oleh karena itu SBY menggagas itu karena harus ada kekuatan yang
seimbang. Kalau JKW salah ya dikritik, kalau benar ya didukung. Itu adalah
sikap formal yang sering diucapkan oleh pak Syarif Hasan dan pak SBY sendiri
di rapat-rapat internal. Nah tapi ada juga penjelasan-penjelasan lain yang saya
kira juga bisa memberikan penjelasan lebih mendalam. Begini, SBY itu kan
pada awalnya memang setuju dengan JKW dan ingin sekali koalisi dengan
PDIP.
Hendra: Bener itu mas?
Ulil: iyaa, SBY itu pengen banget jalan bareng dengan PDIP dan mendukung
pemerintahan JKW. Dan SBY itu sebenernya tidak suka dengan Prabowo.
191
Hendra: Tapi dukungan Demokrat waktu pilpres kemarin kok ke Prabowo? Itu gimana
penjelasannya?
Ulil: Demokrat kan tidak pernah dukung Prabowo. Kamu ingat waktu Prabowo
mengumpulkan partai-partai koalisinya waktu di tugu proklamasi?
Demokratnya itu diajak ikut, tapi yang datangkan Nahrawi Ramli, ketua DPD
DKI. Bukan pak Syarif Hasannya. Karena memang sejak awal SBY sudah tidak
bersemangat untuk mendukung Prabowo. SBY tau kalau Prabowo itu
bermasalah. Kalau ditanya jujur, SBY itu memang tak suka dengan Prabowo.
SBY menghormati Prabowo. Saat Prabowo datang saja diterima. Tapi kalau
ditanya, SBY itu tak terlalu suka dengan Prabowo. Itu SBY secara pribadi loh
ya. Tapi teman-teman Pengurus Demokrat itu sebagian banyak yang
mendukung Prabowo, secara personal. Tapi karena SBY tak mau menunjukan
dukungan terhadap Prabowo secara formal, maka teman-teman juga tak mau
menunjukan itu secara keliatan banget. Nah jadi begitu duduk perkaranya. SBY
itu sebenernya sangat ingin bergandengan dengan JKW dan PDIP.
Hendra: Lalu kenapa itu gak terwujud?
Ulil: Tidak terwujud karena ada faktor Megawati. SBY sangat ingin untuk damai
dengan Megawati dan mengakhiri perseteruan implisit diantara kedua tokoh ini.
Lagipula SBY juga realistis. SBY punya watak yang realitis, begini, kalau
misalnya ada tokoh yang tak mungkin untuk dikalahkan. Maka ya sebaiknya
kau bergabung disitu. Kan menurut survey publik JKW yang paling unggul.
Karena memang selain masalah faktor pribadi SBY yang tak suka dengan
Prabowo. Dan melihat fakta survey JKW yang unggul. Kalau bermain politik
kan ya harus membaca peluang-peluang itu. Tapi pengurus Demokrat pada
umumnya tercermin dalam Rapimnas menjelang Pilpres di Hotel Sultan bahwa
mereka sangat ingin mendukung Prabowo. Alasannya bukan karena
Prabowonya, tapi PDIP umumnya melihat Demokrat dengan kacamata yang
mencibirkan, melecehkan atau kata-kata politiknya yang tidak bersahabat, sikap
megawati juga begitu dan mereka jengkel dan yasudah mereka dukung Prabowo
saja. Dan ketika Rapimnas itu disodori satu kertas yang berisi pilihan ―Apakah
Demokrat ;ebih baik mendukung Prabowo atau JKW atau netral‖? semuanya
tanpa kecuali memilih netral. Saya ikut dalam Rapimnas itu dan memilih netral.
Hendra: Apa itu murni pendapat para anggota Partai?
Ulil: Gini, murni atau tidak ....
Hendra: Apa itu ada pengaruh dari sikap SBY?
Ulil: Oh iya tentu, dalam sikap-sikap politik itu tentu ada pengaruh dari sikap aktor-
aktor yang juga ketua umumnya. Saya menduga, penjelasannya begini. Itu
semua yang datang di Rapimnas. Temen-temen itu jengkel dengan PDIP karena
sikap yang tak bersahabat tapi juga melihat sikap SBY yang jengkel kepada
Prabowo. Jadi kalau ditanya satu-satu ya mereka akan jawab netral. Tetapi saya
tahu bahwa pengurus Demokrat yang bekerja untuk Prabowo ya banyak sekali.
Yang paling gigih mendukung Prabowo itu ya salah satunya Pakde Karwo.
192
Hendra: Pakde Karwo?
Ulil: Oh iyaa, pakde Karwo itu di Jatim menggerakan seluruh DPC untuk mendukung
Prabowo. Makanya kan, suara Prabowo dan Jokowi di Jatim itu beda sedikit
suaranya, JKW sedikit diatas. Ketat sekali suaranya, tapi saya tahu bahwa Pakde
Karwo itu kerja habis-habisan. Jadi itu penjelasan informalnya yang hanya
diketahui oleh orang dalam. Jadi ya begitu, SBY sebetulnya sangat tak suka
dengan Prabowo.
Hendra; Nah terus ada gak pembicaraan dibalik layar antara SBY dengan JKW atau
PDIP? Pembicaraan dalam upaya membangun komunikasi dan rekonsiliasi?
Ulil: oh itu berkali-kali. Terutama dengan pak Pramono Edhi. Pak Pramono itu kan
dekat dengan Mega.
Hendra: Tapi sama Mega didiamkan saja?
Ulil: ya diabaikan. Karena itu menimbulkan kejengkelan.dari temen-temen
Demokrat. Sebetulnya kalau sikap itu tidak ada, ya temen-temen Demokrat itu
suka dengan PDIP. JKW itu kan populer dan arus yang tak terbentung. Nah jadi
begitu sebenarnya. Cuma ya itu tadi PDIP mengabaikan tawaran kita.
Hendra: Oke berarti itu ada peran SBY yang besar ya?
Ulil; Oh iya tentu. Pasti itu peran SBY sangat besar. Kalau kamu ingin lihat temen-
temen Demokrat. Gini, kayak saya misalnya, saya juga tak suka dengan
Prabowo, tapi saja juga gak terlalu tertarik dengan JKW. Seperti teman saya,
Rahlan As Siddiq misalnya, dia golput. Kalau saya ya tetap memberikan pilihan
tapi personal. Tapi ya saya juga tak begitu tertarik dengan keduanya, karena kan
sejak awal saya memang mendukung Gita Wirjawan. Saya menganggap Gita
Wirjawan jauh lebih layak dari keduanya.
Hendra: Berarti Demokrat dipihak ketiga ya?
Ulil: Yaa, dan itu bukan sikap yang dibuat-buat tapi naluriah.
Hendra: Nah kalau begitu kan dalam relasi ekskeutif-legislatif dikenal konsep koalisi-
oposisi dalam proses perumusan UU. Nah itu penjelasannya gimana terkait
poisisi Demokrat?
Ulil: Nah saya itu sebelum dan setelah Pilpres itu sebetulnya saya sendiri agak
skeptis apakah pilihan ketiga ini menguntungkan atau tidak. Kalau tidak ke KIH
dan KMP ya gak dapet apa-apa. Saya khawatir nanti Demokrat dicibir kanan
kiri. Temen temen yang lain juga begitu pikirannya, waktu rapat di internal. Nah
ternyata menurut saya sikap itu adalah benar dan tepat.
Hendra: Maksudnya tepat itu seperti apa?
193
Ulil: Ya tepat karena kan , pertama, Demokrat ternyata tidak kehilangan daya tawar
tapi tak kehilangan keuntungan politik saat pemilihan pimpinan DPR.
Hendra: Lah kan waktu itu Demokrat merapat ke KMP?
Ulil: Nah jadi gini, dari awal karena mereka sadar akan memilih jalan ketiga. Di
parlemen Demokrat akan mengkritik jika kebijakan pemerintah salah dan akan
mendukung jika pemerintah benar. Tapi politik internal DPR sendiri, Demokrat
harus mementingkan keuntungan politik bagi dirinya sendiri. Kalau
kepentingannya adalah untuk mendapatkan post pimpinan DPR dan bisa
dijamin kepentingannya bersama KMP ya, Demokrat ikut. Tapi tidak semua
kasus akan bersama KMP. Waktu pemilihan pimpinan DPR, Demokrat bersama
KMP kan dan itu mendapatkan jatah yang sangat baik, meskipun kita tidak
secara formal mendukung KMP sesungguhnya. Menurut yang saya dengar,
sebetulnya jatah Demokrat saat itu adalah wakil ketua DPR dan ketua MPR
kalau Demokrat mau mendukung secara sungguh-sungguh di KMP. Sebetulnya
menurut saya Demokrat ini diuntungkan karena perbedaan angka antara KMP
dan KIH hanya sedikit. Begitu Demokrat kabur dari KMP maka KMP juga akan
oleng dan tidak mendapat jatah apa-apa. Jadi Demokrat saat ini sangat
dibutuhkan dikedua sisi. Karena margin diantara keduanya sangat tipis, dan
kalau ada satu yang membelot maka koalisi itu akan kalah. Dan Demokrat
dengan cerdik menggunakan kesempatan ini pada saat rapat pemilihan pimpinan
DPR kita bersama KMP. Komisi kita juga dapet lumayan. Dan waktu pemilihan
kapolri, Demokrat tidak setuju dengan KMP. Waktu pembahasan di Komisi III
Demokrat sudah menolak. Meskipun sikap secara keseluruhan fraksi saat itu
menerima Budi Gunawan. Secara otomatis ya Demokrat kalah. Tapi sikap kita
ya seperi itu.
Hendra: Kembali ke awal, pada saat pimpinan DPR dikuasai KMP banyak analis yang
khawatir soal relasi eksekutif-legislatif. dan banyak yang pesimis soal itu.
Ketika dalam posisi divided, kesulitan dalam proses pengambilan kebijakan
adalah kenisyaan. Dalam revisi UU no 22 tahun 2009 menjadi UU no 17 Tahun
2014 misalnya, itu kan terjadi perdebatan keras antara KMP dan KIH. Tetapi
makin kesini dan kesini, relasi antara eksekutif dan legislatif atau KMP dan KIH
bisa berjalan dengan kesepakatan. Revisi UU No 1 Tahun 2015 misalnya. Atau
pembahasan APBN-P 2015 misalnya. Antara KMP dan KIH bisa sama sama
saling menunjukan ksepakatan. Kira-kira sejauh mana lobby-lobby yang
dilakukan?
Ulil: Saya kira begini, kenapa pada akhirnya, orang-orang banyak yang khawatir soal
ketegangan antara eksekutif dan legislatif seperti yang terjadi sejak awal, kenapa
saat ini persaingan itu tidak begitu nyata di DPR. Menurut saya KMP sendiri,
masalah JKW itu bukan berada di lawan koalisinya tetapi masalahnya ada di
internal PDIP sendiri. Pendapat teman-teman KMP sendiri sebetulnya punya
pikiran bahwa tanpa kami ganggu pun, JKW juga sudah goncang dan
bermasalah. Bahkan saat ini, meskipun divided government, KMP juga tak
menganggu usulan JKW kan? Dalam usulan Kapolri misalnya. KMP kan
mendukung itu. Jadi sebetulnya KMP tidak ingin mengganggu pemerintahan
JKW karena ya pemerintah JKW sudah memiliki masalah di internal. Yang
kedua menurut saya adalah, ya pada akhirnya politisi akan bertindak rasional.
Karena belum ada kebijakan JKW yang melakukan pelanggaran secara luar
194
biasa, beda dengan hal GusDur dahulu yang mana ada keingingan dari istana
untuk membubarkan DPR, itu kan ancaman. Dan kalau sekarang juga tidak.
DPR kan pada umumnya memandang JKW sebagai orang yang gampang diajak
jalan dan kompromi, Setya Novanto juga datang ke istana. Nah salah satu
faktornya saya kira juga ketua DPR kita stylenya sangat kompromi dan tidak
keras kepala seperti Fahri Hamzah atau Fadli Zon. Karena kalau ketua DPR nya
diantara dua orang itu mungkin hasilnya akan lain. Karena gaya personal yang
menduduki posisi puncak dalam sebuah lembaga itu menentukan hasil juga.
JKW juga orangnya kompromistis, diundang ke DPR dateng. Tapi menurut saya
kalau pembicarannya sudah sampai seperti ini, Ndra. Penjelasan utamanya
bukan berada pada level kelembagaan, tapi juga pada kultur politik. Kultur
politik di Indonesia kan umumnya kompromistis.
Hendra: Tapi kan dalam teori-teori umum, ketika terjadi divided government seringkali
berpotensi deadlock. Tapi dalam divided government di Indonesia hal tersebut
tidak terjadi?
Ulil: gak terjadi. Saya kira contoh perbandingan yang bagus adalah Ahok dengan
DPRD DKI Jakarta. Karena kan sebenarnya dukungan parlemen terhadap Ahok
kan tidak banyak. Tapi kenapa ada deadlock? Setelah Orde Baru belum pernah
ada APBN ditolak oleh DPR. Baru sekarang ini ada kasus DPRD menolak
APBD yang diajukan pemda. Ini menurut saya aneh. Menurut saya APBD kalau
tidak macem macem pasti diterima. Karena apa? Ini menurut saya berkaitan
dengan aktor yang bertindak. Ahok menurut saya memiliki sikap yang keras
dan kurang kompromi dan sikap DPRD yang juga mengimbangu sikap Ahok.
Hendra: Jadi lebih pada pengaruh personalitynya ya?
Ulil: Iya betul. Menurut saya kalau begini ya bukan faktor kelembagaan saya rasa
tetapi ya faktor personality atau aktor politik yang berhasil menyiasati
framework kelembagaan yang ada.
Hendra: Lalu, masalah lobby. Mas dapet info tidak sih terkait model lobby-lobby dalam
relasi eksekutif-legislatif? kalau dalam pandangan Hamdi Muluk kan kompromi
dan lobby-lobby dipandang secara kacamata negatif dan kental dengan nuansa
transaksi gelap. Menurut Mas?
Ulil: Gini, kalau soal APBN-P tidak ada persoalan yang cukup serius. Dan tak ada isu
yang cukup serius dalam APBN-P. Lobby pasti ada dalam APBN-P. Entah itu
lobby dalam artian positif atau lobby dalam artian negatif. Nah lobby dalam
artian negatif itu ya pasti ada juga. Seperti yang terjadi di Banggar, itu kan pasti
ada kepentingan. Tetapi lobby pasti ada.
Hendra: dan dibalik lobby-lobby itu ada gak semacam transaksi yang dalam artian
negatif?
Ulil: Ya memang, lobby-lobby itu pasti ada. Ya sama Pak Ical kan juga melakukan
lobby-lobby kepada JKW. Dia datang juga kan ke istana. Cuma lobby yang
terjadi sekarang ini sebetulnya lobby yang tidak diharuskan karena ada masalah
besar yang harus diselesaikan bersama. Pak Ical juga dateng ke JKW untuk
masalah pribadi dia. Menurut saya lobby-lobby yang terjadi saat ini tidak ada
195
kaitanya mengenai isu substantif antara eksekutif dan legislatif dalam usulan
kebijakan supaya tidak ada deadlock. Kalau misalnya lobby yang dilakukan
terkait masalah eksekutif-legislatif dalam hal isu substantif agar kebijakan
eksekutif tidak diganjal oleh DPR ya menurut saya itu lobby positif. Itu lobby
postif agar kedua belah pihak tidak saling mengganjal. Itu menurut saya penting
yang membuat sistem presidensialisme kita bisa berjalan. Tapi kan yang terjadi
saat ini bukan begitu.
Hendra: Dengan lobby ya?
Ulil: Iya menurut saya, selain lobby juga memang kultur politik kita cukup toleran.
Meskipun berseteru saat pilpres tapi ya setelah pilpres the end ya enak enak aja.
Hendra: Mungkin beda hal kalau ideologi partai di Indonesia kuat ya. Hehehe
Ulil: Nah disini yang menurut saya, saya tidak sepakat dengan beberapa
Indonesianist seperti Hefner, Aspinall. Kan mereka punya asumsi bahwa
demokrasi akan berjalan sehat dan membawa maslahat bagi publik kalau tidak
terjadi politik kartel. Kalau terjadi politik kartel maka tidak ada mekanisme
penghukuman bagi partai yang salah karena semua orang dijanjikan akan dapet
jatah dan semua senang. Nah sistem yang semacam itu tidak ada reward and
punishment dan tak ada periode untuk mengkoreksi diri. Mungkin sebagian
besar benar teori itu tapi tidak seluruhnya tepat juga. Karena kalau , andaian
teroi politik kartel adalah bahwa kekuasaan itu jangan dibagi secara merata
untuk menyenangkan semua pihak. Ketika kekuasaan didapat oleh satu
kelompok maka kekuasaan itu berhak dilakukan sepenuhnya dengan
mengeluarkan dan mengeliminasi kelompok yang kalah, kalau mereka di
eliminasi dari pemerintahan maka akan menjadi oposisi. Kalau menjadi oposisi
maka akan mengkontro. Dan kontrol itu akan mendukung check and balances
dan memuaskan publik, itu asumsinya. Menurut saya ini sangat barat banget.
Dan teori kartel ini datang dari kultur politik yang ditenggarai oleh kompetisi
yang keras. Kalau menang ya the winner takes all. Karena memang teori kartel
ini kan datangnya dari eropa. Itu kan sebetulnya bias sistem parlementer. Kalau
menang ya the winen takes all. Kalau kalah ya jadi oposisi. Tapi kan sistem
presidensial kita tidak begitu. Di Indonesia karena partainya banyak tapi
presidensial. Kalau menang ya belum tentu menang dengan margin yang tinggi
sehingga membutuhkan dukungan partai yang kalah. Kalau dalam konteks
begini kan presidensialisme multipartai memerlukan dukungan dan reward
terhadap partai yang kalah.
Hendra; Itu kan kritiknya Hanta Yuda juga. (KRITIK KARTEL)
Ulil: Oh begitu ya?
Hendra: Iya menurutnya presidensialisme setengah hati.
Ulil: eh tapi saya tidak mengkritik itu. Menurut saya itu wajar. Buat saya ini adalah
konsekuensi aja bahwa kita ini menganut presidensialisme multipartai.
Hendra: Dan itu seringkali memangkas kewenangan presiden?
196
Ulil: Maksud saya begini, kalau Dodi dkk, menurut mereka memandang bahwa
periode SBY ada contoh periode politik kartel di Indoensia. Partai Demokrat
hanya menang 7% dan itu sedikit karena sistem kita multipartai. Ketika disebut
kartel konotasinya negatif. Lalu anda mau gimana? Wong partai kita suaranya
sedikit. Dan itu tak mungkin anda tak mengajak partai lain untuk bergabung
dalam pemerintahan. Nah kalau ngajak partai lain kan otomatis harus dibagi
kekuasaannya. Memang SBY menang secara pribadi 60% tapi partainya di
parlemen hanya 7%. Ya mau gimana? Dukungan dari parlemen kan tetap
penting juga.
Hendra: Jadi menurut Mas, bagi-bagi kekuasaan adalah hal wajar?
Ulil: Wajar karena sistem presidensialisme kita ya multipartai. Selalu ada
kemungkinan partai kecil yang memiliki tokoh populer untuk menang. Ketika
partai kecil itu menang maka butuh koalisi untuk mendapatkan dukungan di
parlemen. Nah ketika koalisi maka kan otomatis kekuasan itu akan dibagi.
Cuma seringkali ilmuan-ilmuan memandang konotasi kartel dengan sudut
negatif. Buat saya ini gak negatif. Karena kalau tidak mengajak koalisi, ini
berimplikasi pada relasi eksekutif-legislatif yang mana eksekutif hanya
mendapatkan dukungan sedikit di legislatif dan itu berdampak pada berjalan
atau tidaknya sistem presidensial. Karena memang logika yang dipakai dalam
tesis kartel dengan tesis presidensial itu berbeda. Dan keduanya membawa
asumsi politik dan implikasi yang berbeda. Dan teori ini tidak bisa jalan
bersama. Saya juga pada dasarnya kurang terlalu suka dengan analisis yang
dibawa oleh Dodi. Kelemahan tesis Dodi adalah dia tak memperhitungkan hal
yang given mengapa ada tesis kartel di Indonesia yang menjadi titik kritik? ya
karena sistem nya adalah presidensialisme multipartai.
Hendra: Oke deh terakhir. Menurut Mas, apakah sistem presidensialisme-multipartai di
Indonesia efektif atau complicated?
Ulil: Menurut saya, sistem ini memang cenderung comlicated tapi ini adalah jalan
tengah yang bisa memuaskan banyak pihak. Karena kalau kita memakai sistem
distrik ya waduh itu potensi destabilisasinya lebih besar.
Hendra: Oke deh saya kira cukup.
197
Lampiran X
Transkip Wawancara
Narasumber : Viva Yoga Mauladi
Status : Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI 2014-2019 / Fraksi Partai Amanat
Nasional (PAN)
Hari/Tanggal : Kamis, 10 Mei 2015
Tempat : Melalui Email ([email protected])
Hendra: Terimakasih atas kesediannya. Sebelumnya saya minta maaf karena saya
mendapatkan kontak Bapak dari Mbak Imelda (DPP PAN). Berikut adalah
pertanyaan yang ingin saya ajukan. Apa yang menyebabkan PAN masih tetap
kokoh di Koalisi Merah Putih dan bertindak sebagai oposisi pemerintah?
Viva Yoga: Istilah oposisi dalam ketatanegaraan kita tidak ada karena Indonesia menganut
sistem pemerintahan presidensial, bukan sistem parlemen. Di samping itu,
pembagian kewenangan lembaga legislatif dan eksekutif tidak menganut Faham
Trias Politica murni, karena fungsi legislasi dan budgeting ada di DPR dan
Pemerintah. Istilah yang tepat adalah berada di luar pemerintahan. PAN sesuai
dengan platformnya menyatakan, "Berada di dalam pemerintahan atau di luar
pemerintahan adalah sama-sama mulianya, untuk kemajuan bangsa dan negara".
Hendra: Keputusan PAN untuk menjadi bagian dari KMP bagian dari keputusan
collective collegial atau keputusan dari salah satu petinggi PAN?
Viva Yoga: Keputusan kolektif kolegial yang ditetapkan di rapat DPP PAN.
Hendra: Menurut pendapat pribadi anda, apa tanggapan anda tentang polarisasi DPR
yang terjadi pasca pemilu 2014? Terutama mengenai rivalitas antara KMP dan
KIH dalam beberapa sidang paripurna seperti revisi UU MD3, revisi Tatib DPR,
Pemilihan Pimpinan DPR/MPR dll? Apakah itu sebagai sesuatu yang wajar
dalam kombinasi sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia?
Viva Yoga: Awalnya, itu dampak dari pengelompokan parpol di Pilpres. Ada KMP dan
KIH, sedang posisi PD berada di luar kelompok itu, meski dari sisi personal
SBY lebih dekat ke KMP. Saat ini, yang saya rasakan di DPR, konflik KMP -
KIH sudah turun tensinya. Sebab para setiap anggota DPR harus menjalankan 3
fungsi komstitusionalnya di komisi, yaitu legislasi, budgetting, dan pengawan.
Bahkan seringkali anggota DPR yang parpolnya di pemerintahan bersuara keras
mengkritik kebijakan pemerintah. itu menandakan bahwa hubungan di parlemen
relatif cair. Di samping itu, konfigurasi politik daerah berbeda dengan
konfigurasi politik nasional. Di daerah mozaik politiknya beragam. Ada dari
KMP hang menguasai eksekutifnya, sedang KIH di kuar eksekutif. Juga
sebaliknya.
198
Hendra: Apa tanggapan anda tentang proses perumusan APBN-P 2015? Meskipun
sebelumnya, KMP-KIH mengalami rivalitas yang cukup kuat, namun dalam
pembahasan APBN-P 2015 keduanya bisa saling duduk bersama untuk
menyepakati? Apa yang faktor yang menyebabkan KMP dan KIH bisa saling
menyepakati APBN-P 2015? Sejauh apa lobby-lobby berhasil di lakukan?
Viva Yoga: Itu sebagai tanda bahwa ketika menjalankan fungsi budgetting, tidak lagi
berporos pada kepentingan KMP vs KIH, namun berorientasi pada national
interest. APBN harus ditetapkan dalam UU. Setelah ditetapkan dalam UU,
maka pemerintah harus menjalankan UU APBNP, dan DPR melakukan fungsi
pengawasan, baik di KMP atau di KIH. Secara personal, hubungan anggota
DPR dari KMP dan KIH relatif cair. Perbedaan di DPR sekarang tergantung
topik yang tematik. Misalnya soal BBM, subsidi nelayan dan petani, dan
sejumlah kebijakan kementrian masing-masing.
Hendra: Baik pak. Terimakasih, saya kira cukup. Terimakasih atas responnya.
199
Lampiran XI
Transkip Wawancara
Narasumber : Adian Napitupulu
Status : Anggota Komisi III DPR-RI periode 2014-2019 / Fraksi PDI-Perjuangan
Hari/Tanggal : Senin 18 Mei 2015
Tempat : Melalui Blackberry Messenger (BBM)
Hendra: Bang besok ada waktu kosong gak? Mau nanya 1-2 pertanyaan bang buat data
skripsi. Apa bisa?
Adian: kalo via BBM aja bagaimana?
Hendra: Okeh deh. Lewat BBM aja tidak apa-apa. Sekarang bisa?
Adian: Besok aja bagaimana?
Hendra: Oke deh siap, besok pagi ya bang.
Adian: Iyeeee
Hendra: Bang. Soal semalem, bisa saya tanya sekarang gak?
Adian: Apa?
Hendra: Menurut Bang Adian, seberap penting kompromi dalam relasi ekskeutif-
legislatif pemerintahan JKW-JK? Mengingat secara matematis, kursi KMP
sedikit lebih banyak dari KIH, sebelum ada konflik internal Golkar?
Adian: Yaa. Penting, karena politik itu kan negosiasi.
Hendra: Termasuk bisa bernegosiasi antara KIH dengan KMP?
Adian: Yap. Simpelnya kan begini, Perang itu adalah politik dengan darah, sedangkan
politik itu perang tanpa berdarah.
Hendra: Oke, berarti ada kompromi ya. Tapi bukankah kompromi itu beda dengan
negosiasi bang?
Adian: Apa bedanya? Menurut saya sama. Negosiasi itu prosesnya sedangkan komprmi
itu adalah hasilnya.
Hendra; Oh oke deh bang. Saya kira cukup, saya sudah menangkap. Maaf mengganggu
waktunya.