1
ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KAPASITAS
PINJAMAN DAERAH SEBELUM OTONOMI DAERAH DAN PADA
MASA OTONOMI DAERAH DI KOTA DEPOK TAHUN ANGGARAN
1997/1998-2008
SKRIPSI
oleh:
M. ILHAM RAMADHANI
NIM F 0104074
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2009
2
ABSTRAK
ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KAPASITAS
PINJAMAN DAERAH SEBELUM OTONOMI DAERAH DAN
PADA MASA OTONOMI DAERAH DI KOTA DEPOK
TAHUN ANGGARAN 1997/1998 – 2008
Muhammad Ilham Ramadhani
F 0104074
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : Pertama, mengethui kemampuan keuangan daerah Kota Depok sebelum otonomi daerah maupun pada saat otonomi daerah. Kedua, mengetahui kemandirian keuangan daerah Kota Depok dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan rasio kemandirian dan pola hubungannya. Ketiga, mengetahui kemampuan Kota Depok dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahan dilihat dari sisa pokok pinjaman daerah dan Debt Service Coverage Ratio (DSCR).
Data yang digunakan adalah data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) selama 12 (duabelas) tahun anggaran, yaitu dari tahun anggaran 1997/1998 sampai tahun anggaran 2008. Tahun anggaran 1997/1998 dikategorikan sebagai periode sebelum otonomi daerah dan tahun anggaran 2001 – 2008 dikategorikan sebagai periode pada masa otonomi daerah. Tehnik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah derajat desentralisasi fiskal, kebutuhan fiskal, kapasitas fiskal, celah fiskal, upaya fiskal, rasio aktivitas, analisis efektifitas PAD, rasio kemandirian keuangan daerah, jumlah sisa pokok pinjaman daerah, dan Debt Service Coverrage Ratio (DSCR).
Hasil dari analisis deskriptif menunjukkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Kota Depok terus meningkat dari tahun ke tahun. Hasil analisis kuantitatif menunjukan bahwa pada masa otonomi daerah Kota Depok mengalami peningkatan kinerja keuangan bila dibandingkan dengan sebelum otonomi daerah bila dilihat dari derajat desentralisasi fiskal, kebutuhan fiskal, celah fiskal, upaya fiskal. Kota Depok dapat dikatakan mulai mandiri secara keuangan dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahan jika diukur dari rasio kemandirian dan pola hubungannya. Hasil penelitian menunjukkan proporsi PAD terhadap TPD tergolong rendah baik sebelum otonomi daerah maupun pada masa otonomi daerah.rasio PAD sebelum otonomi daerah sebesar 4,25% dan pada masa otonomi daerah rata-rata sebesar 11,33%. Tingkat kemandirian Kota Depok 55,27% pada masa otonomi daerah dengan pola hubungan partisipatif. Hasil pengujian test mean menunjukkan bahwa jumlah sisa pokok pinjaman dan Debt
3
Service Coverage Ratio (DSCR) Kota Depok pada masa otonomi daerah lebih baik dibandingkan sebelum otonomi daerah.
Mengacu pada penelitian, maka diajukan beberapa saran yaitu pertama, peningkatan PAD baik secara intensifikasi maupun ekstenfikasi. Kedua, mengoptimalkan penerimaan daerah dari pos pinjaman daerah dan menggunakannya untuk meningkatkan penerimaan daerah dari Pendapatan Asli Daerah. Ketiga, berhati-hati dalam pengeloaan pinjaman sehingga tidak menjadi beban baru dalam anggaran berikutnya. Keempat, diperlukan ahli untuk mengelola dan mengkaji pinjaman daerah agar tidak terjadi deficit pada anggaran.
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak ditetapkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No.3 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, banyak terjadi perubahan kebijakan daerah di
Indonesia. Kedua Undang-undang ini merupakan landasan utama bagi
desentralisasi pemerintahan dengan memberikan kewenangan pada daerah
untuk mengelola berbagai urusan pemerintahan, kecuali urusan pertahanan,
keamanan, kehakiman, internasional, dan moneter. Pelaksanaan otonomi
daerah (OTDA) yang ditandai dengan desentralisasi kewenangan (power
sharing) dan desentralisasi keuangan (fiscal decentralization) mulai
dilaksanakan secara penuh sejak tanggal 1 Januari 2001. Konsekuensinya,
daerah menyelenggarakan urusan yang sangat luas terutama dalam
pengelolaan sumber daya alam, sumber daya keuangan dan penyediaan
pelayanan publik.
Secara teoritis, desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan dua
manfaat nyata, yaitu : pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa,
dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan
hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan
sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua,
memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran
5
pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang paling rendah
yang memiliki informasi yang lengkap (Mardiasmo, 2002 ; 6).
Diberlakukannya otonomi daerah, diharapkan mampu membawa
nuansa dan semangat baru bagi tercapainya Pemerintah Daeah yang mandiri.
Paradigma Pemerintah Daerah di era otonomi daerah seharusnya mengacu
pada tujuan awal ditetapkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah yaitu bahwa daerah diberi kewenangan untuk
merencanakan pembangunan daerahnya sendiri sesuai dengan aspirasi,
potensi, permasalahan, peluang dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu,
esensi otonomi daerah harus diterjemahkan sebagai upaya untuk
mengoptimalkan proses pemberdayaan ekonomi masyarakat dan
pendayagunaan potensi daerah dengan meningkatkan partisipasi, prakarsa dan
kreativitas dalam upaya mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat
dari tahun ke tahun di daerahnya masing-masing. Pembangunan di segala
bidang yang telah dan sedang dilaksanakan oleh pemerintah selama ini terus
diupayakan dapat meningkat baik dari aspek kualitas maupun kuantitas.
Demikian juga pembangunan di bidang ekonomi. Dengan adanya
pembangunan di bidang ekonomi maka diharapkan taraf penghidupan
masyarakat menjadi lebih baik, tingkat kemakmuran semakin tinggi,
ketimpangan pendapatan yang terus berkurang, kesempatan kerja semakin
luas dan juga kualitas sumber daya manusia kian membaik.
Implementasi pelaksanaan Otonomi Daerah akan dapat berhasil jika
memperhatikan 5 (lima) kondisi strategis berikut : (i) Self Regulatoring
6
Power, dalam arti kemampuan mengatur dan melaksanakan Otonomi Daerah
demi kepentingan masyarakat di daerahnya; (ii) Self Modifying Power, berupa
kemampuan menyesuaikan terhadap peraturan yang telah ditetapkan secara
nasional sesuai dengan kondisi daerah, termasuk terobosan inovatif ke arah
kemajuan dalam menyikapi potensi daerah; (iii) Creating Local Political
Support, dalam arti penyelenggaraan pemerintah daerah yang mempunyai
legitimasi kuat dari masyarakatnya, baik pada kepala daerah sebagai eksekutif
maupun DPRD sebagai pemegang kekuasaan legislatif; (iv) Managing
Financial Resource, dalam arti mampu mengembangkan kompetensi dalam
mengelola secara optimal sumber penghasilan dan keuangan guna
pembiayaan aktivitas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan
masyarakat, serta (v) Developing Brain Power, dalam arti membangun
Sumber Daya Manusia yang handal dan selalu bertumpu pada kapabilitas
penyelsaian masalah (Rasyid dan Paragoan dalam Eko W. Suwardono, 2002:
8-9).
Keberhasilan Otonomi Daerah menurut Yosef Riwukaho (1998:
129) ditentukan oleh 4 (empat) faktor berikut : (i) faktor sumber daya
manusia sebagai subjek penggerak; (ii) faktor keuangan yang merupakan
indikasi “derajat kemandirian suatu pemerintah daerah” untuk mengatur, dan
membiayai rumah tangganya sendiri; (iii) faktor peralatan yang merupakan
sarana pendukung; serta (iv) faktor organisasi dan manajemen.
Desentralisasi di Indonesia memiliki arti yang luas dan
menimbulkan masalah yang baru dalam pembangunan daerah, sebab selain
keadaan keuangan pemerintah pusat yang sedang hancur juga kondisi di
7
banyak daerah yang secara ekonomi maupun institusional belum siap. Hal ini
diketahui dari rata-rata kemampuan daerah yang tercermin dalam rasio antara
PAD terhadap APBD yang relatif masih rendah yaitu dibawah 20%
(Mardiasmo, 2002 : 155). Maka sekali lagi implikasi baik daerah yang sudah
maju ataupun yang masih terbelakang harus lebih mandiri dalam mengelola
pembangunan di daerahnya masing-masing termasuk dari aspek
pembiayaannya. Tentu saja semakin kcil ketergantungan daerah terhadap
kucuran dana dari pemerintahan pusat maka tingkat kemandiriannya akan
semakin tinggi.
Untuk mewujudkan semua hal itu yang sebenarnya adalah
pengaplikasian dari pelaksanaan desentralisasi fiskal, maka sesuai pasal 4
Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan
Pertanggunjawaban Keuangan Daerah menegaskan bahwa pengelolaan
keuangan daerah seharusnya dilaksanakan secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan
bertanggungjawab dengan tetap memperhatikan asas keadilan dan kepatutan.
Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan akan dituangkan
dalam APBD yang secara langsung ataupun tidak langsung akan
mencerminkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat.
Dalam masalah keuangan daerah, perimbangan pembiayaan
pemerintah pusat dan daerah dengan pendapatan yang secara leluasa digali
sendiri untuk mencukupi kebutuhan sendiri masih mempunyai kelemahan
sehingga keterbatasan dalam potensi penerimaan daerah tersebut bisa
8
menjadikan ketergantungan terhadap transfer pusat. Pemerintah Daerah
selama ini memiliki keterbatasan pembiayaan dari potensi sendiri (PAD).
Selama ini komponen pembiayaan terbesar berasal dari dana transfer pusat
yaitu Dana Alokasi Umum dan hanya sebagian kecil dari PAD, potensi
pembiayaan lain yang belum dikelola yaitu dari pinjaman daerah (Rokhedi P.
Santosa, 2003: 148).
Pinjaman daerah sebagai alternatif pembiayaan pembangunan
memiliki keuntungan, antara lain dapat mengatasi keterbatasan kemampuan
riil atau nyata pada saat ini dari suatu daerah yang sebenarnya potensial dan
memiliki kapasitas fiscal yang memadai. Dengan pinjaman dapat mendorong
percepatan proses pelayanan masyarakat dan pembangunan daerah-daerah
yang dimaksud. Jenis pinjaman ini merupakan pinjaman jangka panjang.
Pinjaman jangka menengah dipergunakan untuk membiayai layanan
masyarakat yang tidak menghasilkan penerimaan. Sedang pinjaman jangka
pendek digunakan untuk membiayai belanja administrasi umum serta belanja
operasional dan pemeliharaan. Untuk mengurangi ketergantungan daerah
kepada pusat pinjaman jangka panjang dianggap lebih efektif daripada
pinjaman jangka pendek (Rokhedi P. Santosa, 2003: 148).
Kota Depok merupakan salah satu kota yang berada di Propinsi Jawa
Barat, dimana dalam pembangunannya merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pembangunan di daerahnya. Kota Depok memilki kondisi
geografis yang cukup strategis untuk menjelaskan pembangunan ekonomi
serta untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
9
B. Perumusan Masalah
Pemerintah daerah yang diserahi tugas dalam melaksanakan roda
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat wajib melaporkan
laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah
pemerintah daerah dalam menjalankan pemerintahan berhasil dengan baik
atau tidak. Untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola
keuangan daerahnya menggunakan beberapa analisa seperti analisa rasio
keuangan terhadap APBD yang selanjutnya analisa ini akan digunakan
sebagia tolak ukur dalam :
1. Bagaimana pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Depok jika dikaitkan
dengan Derajat Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal,
Celah Fiskal, Upaya atau Posisi Fiskal, Rasio Aktivitas, dan Efektifitas PAD
sebelum dan pada masa Otonomi Daerah?
2. Bagaimana kemandirian keuangan daerah Kota Depok dalam membiayai
penyelenggaraan pemerintahan sebelum dan pada masa otonomi daerah yang
diukur dengan Rasio Kemandirian dan Pola Hubungannya?
3. Bagaimana Kapasitas Pinjaman Daerah Kota Depok yang dihitung dengan
jumlah Sisa Pokok Pinjaman dan Debt Service Coverage Ratio (DSCR)?
C. Tujuan Penelitian
Dari penelititan yang dilakukan terhadap Pemerintah Daerah Kota
Depok tersebut penulis mempunyai tujuan antara lain :
10
1. Mengetahui sejauh mana kemampuan keuangan daerah Kota Depok dalam
mengahadapi otonomi daerah dan evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi
yang diukur dengan Derajat Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal,
Kapasitas Fiskal, Celah Fiskal, Upaya atau Posisi Fiskal, Rasio Aktivitas, dan
Efektifitas PAD.
2. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan
otonomi daerah yang diukur dengan Rasio Kemandirian dan Pola
Hubungannya.
3. Mengetahui kemampuan Kota Depok dalam membiayai penyelenggaraan
otonomi daerah melalui pinjaman daerah yang diukur dengan Model Sisa
Pokok Pinjaman Daerah dan Model Debt Service Coverage Ratio (DSCR).
D. Manfaat Penelititan
Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Dapat digunakan untuk memperluas pemikiran mengenai ekonomi
perencanaan regional.
2. Dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi perumus kebijakan
(Pemerintah Daerah kabupaten/kota) supaya dapat tercipta pemerintahan yang
Good Governance.
3. Dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam mengembangkan penelitian
lebih lanjut yang berhubungan dengan keuangan daerah.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Otonomi daerah
Menurut pasal 1 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonomi
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengertian daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hokum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasar aspirasi masyarakat dalam system Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah memberikan wewenang yang lebih
nyata dan luas serta bertanggungjawab kepada pemerintah daerah. Dengan
adanya perluasan wewenang pemerintah daerah ini dapat menciptakan local
accountability yaitu meningkatnya kemampuan pemerintah daerah dalam
memperhatikan hak-hak masyarakat terutama pada penyediaan barang public
(Smith dalam Abdul Halim, 201:176).
Beberapa alasan mendasar yang menyebabkan otonomi daerah
mendesak untuk dilaksanakan, antara lain :
a. Pembangunan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat masih
didominasi di daerah tertentu (khususnya di Pulau Jawa) dan di daerah-
12
daerah sekitar Jakarta, sementara pembangunan di beberapa kawasan lain
masih terbelakang. Dengan kata lain pembangunan yang selama ini terjadi,
terlalu banyak menimbulkan “mis-allocation” sumberdaya pembangunan
dan menimbulkan banyak peluang terjadinya berbagai penyimpangan di
tingkat pemerintah pusat. Model pembangunan yang salah pada masa Orde
Baru telah menimbulkan beban yang berat bagi masyarakat dengan wujud
antara lain berupa utang luar negeri yang sangat besar untuk ukuran
Negara Sedang Berkembang.
b. Daerah-daerah yang kaya SDA (Sumber Daya Alam), seperti Riau,
Kalimantan Timur, Papua, Nangroe Aceh Darusalam, Sumatera Selatan,
Kalimantan Tengah, dan sebagainya tidak mendapatkan bagi hasil
pendapatan secara memadai untuk pembangunan di daerahnya. Banyak
pendapat yang mengatakan bahwa hasil kekayaan SDA dari daerah-daerah
tersebut hanya dirasakan oleh beberapa golongan tertentu yang semasa
pemerintahan Orde Baru dekat dengan pemerintah pusat.
c. Berbagai bentuk ketimpangan muncul, baik berupa ketimpangan ekonomi,
yang ditunjukan besaran PDRB, aliran modal/investasi (baik penanaman
modal asing maupun penanaman modal dalam negeri), alokasi kredit
perbankan, dan lainnya, maupun dalam arti social, yang ditunjukan ole
kualitas penduduk (disebabkan oleh perbedaan dalam tingkat pendidikan
maupun kesehatan), kemajuan peradaban, mobilitas informasi, dan
sebagainya (Simanjuntak dalam Mulyanto, 2002:30-31)
Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk
meningkatkan pelayanan public (public service) dan memajukan
13
perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi fiscal, yaitu (Mardiasmo, 2002:59) :
a. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan
masyarakat.
b. Menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah.
c. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Penyelenggaraan otonomi daerah dengan menitikberatkan pada daerah
kabupaten/kota tentu merupakan suatu kebijakan yang harus didukung,
karena ini berarti daerah kabupaten/kota akan menjadi basis penyelenggaraan
otonomi daerah. Beberapa pertimbangan yang melandasi penetapan Daerah
Kabupaten/Kota sebagai titik berat dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah
(Mudrajat Kuncoro, 1995:4):
a. Dari dimensi politik, daerah kabupaten dan daerah kota kurang
mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme
dan peluang berkembangnya aspirasi masyarakat federalism secara relative
bias minim.
b. Dari dimensi adminstratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
kepada masyarakat relative lebih efektif.
c. Daerah kabupaten/kota merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan
pembangunan sehingga daerah kabupaten/kota yang lebih mengetahui
potensi rakyat di daerahnya.
Pemberian otonomi pada daerah didasarkan pada factor-faktor,
perhitungan, tindakan dan kebijaksanaan supaya daerah bersangkutan dapat
14
mengurus rumah tangganya sendiri. Pemberian otonomi diupayakan untuk
memperlancar pembangunan di pelosok daerah. Pencapaian tujuan tersebut
tentunya tergantung dari kesiapan masing-masing daerah yang menyangkut
ketersediaan sumber daya atau potensi daerah, terutama adalah sumber daya
manusia yang tentunya akan berperan dan berfungsi sebagai motor penggerak
jalannya pemerintahan daerah.
2. Keuangan Daerah
a. Dimensi Umum Keuangan Daerah
Diberlakukannya otonomi daerah, diharapkan mampu membawa
nuansa dan semangat baru bagi tercapainya Pemerintahan Daerah yang
mandiri. Paradigma Pemerintahan Daerah di era otonomi daerah
seharusnya mengacu pada tujuan awal ditetapkannya UU No.32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yaitu bahwa
daerah diberi kewenangan untuk merencanakan pembangunan daerahnya
sendiri sesuai dengan aspirasi, potensi, permasalahan, peluang dan
kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, esensi otonomi daerah harus
diterjemahkan sebagai upaya untuk mengoptimalkan proses pemberdayaan
ekonomi masyarakat dan pendayagunaan potensi daerah dengan
meningkatkan partisipasi, prakarsa dan kreativitas dalam upaya
mewujudkan peningkatan kesahteraan masyarakat dari tahun ke tahun di
daerahnya masing-masing.
Pembangunan di segala bidang yang telah dan sedang dilaksanakan
oleh pemerintah selama ini terus diupayakan dapat meningkat baik dari
15
aspek kualitas maupun kuantitas. Dengan otonomi, daerah dituntut untuk
mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi
harapan masih adanya bantuan dan bagian dari pemerintah pusat. Dengan
kondisi seperti ini, setiap daerah diharapkan dapat menggali dan
mengoptimalkan sumber-sumber keuangan guna membiayai keperluan
pembangunan di daerah. Pembenahan terhadap permasalahan keuangan
daerah, didasari pada beberapa kelemahan yang selama ini ada, yaitu
(Mulyanto, 2002:17):
1) Transparansi dan akuntabilitas anggaran daerah belum dilakukan
dengan optimal.
2) Terbatasnya peran DPRD dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian maupun pada saat evaluasi anggaran.
3) Masih berorientasi pada input (penggunaan anggaran yang tersedia),
disbanding kepada output dan outcome (pelayanan barang dan jasa
kepada masyarakat).
4) Sistem akuntansi yang digunakan pada umumnya masih bertumpu
pada cash basic system dan single entry system daripada accrual basic
system dan double entry system.
5) Pengendalian dan pengawasan lebih tertuju kepada aspek keuangan
(financial aspect) disbanding kepada masalah manajemen dampak
atau kinerjanya (performa aspect).
b. Manajemen Keuangan Daerah
Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam
rangka penyelenggaraan Pemerintaha Daerah yang dinilai dengan uang
16
termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan
hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (Pasal 1 Ayat (1) PP No. 105 tahun 2000 tentang
pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah).
Ciri utama yang menunjukan suatu daerah otonom mampu
melaksanakan otonomi terletak pada kemampuan keuangan daerahnya (E.
Koswara dalam Abdul Halim, 2001: 167-168):
1) Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan
dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan
menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahaannya.
2) Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, agar
Pendapatan Asli Daerah (PAD), harus menjadi bagian dari sumber
keuangan, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan
daerah, sehinga peranan Pemerintah Daerah menjadi lebih besar.
Reformasi keuangan daerah sebagai konsekuensi logis dari
otonomi daerah memberikan peluang untuk menunjukkan kemampuan
dalam mengelola anggaran daerah tanpa banyak campur tangan
Pemerintah Pusat atau Propinsi (Pasal 40 PP No. 105 tahun 2000 tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah). Untuk itu
diperlukan penganggaran yang baik untuk dapat mengatasi kesulitan
misalnya dalam penentuan pajak. Tujuan anggaran menurut M. Arief
Jamaludin dalam Indra Bastian, 2001:8 adalah :
17
1) Untuk merasionalkan penggunaan dana yang tersedia agar dapat
mencapai hasil yang sebaik-baiknya.
2) Untuk menyempurnakan rencana yang telah disusun oleh pemerintah
sebelumnya.
3) Untuk memperinci penggunaan sumber-sumber menurut obyek
pembelanjaannya sehingga dapat memudahkan pengawasan terhadap
penggunaan penerimaan pemerintah misalnya digunakan untuk
belanja pegawai, perjalanan dinas, belanja barang, pemeliharaan, dan
lain-lain.
4) Untuk digunakan sebagai landasan formal yuridis penggunaan
sumber-sumber penerimaan serta sebagai alat untuk mengadakan
pembatasan-pembatasan penggunaannya yang mungkin melebihi
ketentuaan anggaran.
5) Untuk menampung dan menganalisis serta memutuskan beberapa
alokasi pembiayaan terhadap pelaksanaan dari seluruh program dan
proyek-proyek pemerintah yang diusulkan oleh aparat pelaksana.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam era otonomi
daerah disusun dengan pendekatan kinerja. Hal ini dipertegas dengan
ditetapkannya Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 2000 tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Dalam Pasal 8
dinyatakan: “APBD disusun dengan pendekatan kinerja”. Hal ini
mengandung maksud bahwa di dalam penyusunan APBD, menggunakan
system anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja
(output) atas dasar perencanaan alokasi biaya (input) yang telah
18
ditetapkan. Di samping itu, setiap penganggaran dalam pos pengeluaran
dalam APBD harus didukung oleh adanya kepastian tersedianya
penerimaan dalam jumlah yang cukup.
Dalam penyusunan APBD atas dasar kinerja paling tidak harus
memuat adanya 3 (tiga) hal, yaitu (Mulyanto, 2002:4):
1) Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja.
2) Standar pelayanan yang diharapkan dan diperkiraan biaya satuan
komponen kegiatan yang bersangkutan.
3) Bagian APBD yang membiayai Belanja Administrasi Umum, Belanja
Operasi dan Pemeliharaan, serta Belanja Modal/Pembangunan.
c. Prinsip-Prinsip Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur
keuangan daerah itu sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagai
berikut (Devas dalam Dasril Munir, 2004:7-8):
1) Tanggung jawab (accountability)
Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan keuangannya
kepada lembaga atau orang yang berkepentingan sah, lembaga atau
orang itu adalah Pemerintah Pusat, DPRP, Kepala Daerah, dan
masyarakat Umum.
2) Mampu memenuhi kewajiban keuangan
Keuangan daerah harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga
mampu melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka
pendek, jangka menengah maupun pinjaman jangka panjang pada
waktu yang telah ditentukan.
19
3) Kejujuran
Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada
prinsipnya harus diserahkan kepada pegawai yang benar-benar jujur
dan dapat dipercaya.
4) Hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency)
Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian
rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya
yang serendah-rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya.
5) Pengendalian
Aparat pengelola keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawasan
harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut tercapai.
Anggaran daerah merupakan salah alat yang memegang peranan
penting dalam rangka meningkatkan pelayanan public dan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan otonomi daerah yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab. APBD harus benar-benar mencerminkan kebutuhan
masyarakat dengan memperhatikan potensi daerah, maka dari itu APBD
harus memperhatikan prinsip-prinsip anggaran sebagai berikut (Abdul
Halim, 2001: 78-80):
1) Keadilan Anggaran. Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui
mekanisme pajak dan retribusi yang dipilih oleh segenap lapisan
masyarakat daerah. Untuk itu pemerintah daerah wajib
mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati oleh
20
seluruh kelompok masyarakat tanpa ada diskriminasi dalam
pemberiaan pelayanan.
2) Disiplin Anggaran. APBD disusun dengan berorientasi pada
kebutuhan masyarakat tanpa harus meninggalkan keseimbangan
antara pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat.
3) Transparansi dan Akuntabilitas. Anggaran daerah harus mampu
memberikan informasi secara lengkap, akurat, dan tepat waktu dan
dilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggunjawabkan secara
teknis dan ekonomi kepada pihak terkait, masyarakat, pemerintah
pusat, maupun pihak-pihak independen yang memerlukan.
4) Efisiensi dan Efektifitas Anggaran. Dana yang tersedia harus
dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan
pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan
masyarakat.
5) Format Anggaran. Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format
angaran deficit (deficit budget format). Selisih antara pendapatan dan
belanja mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran.
Tolak ukur dalam anggaran belanja daerah adalah value for money
yang meliputi penilaian efisiensi, efektifitas, dan ekonomis. Efisiensi dan
efektifitas anggaran belanja daerah merupakan salah satu prinsip dalam
penyelenggaraan anggaran belanja daerah untuk dapat memberikan
pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal.
Indikator kinerja yang menggunakan value for money seharusnya
menggambarkan pencapaian tingkat pelayanan pada biaya ekonomi yang
21
terbaik (economical cost). Dalam arti, unit biaya yang terendah tidak
selalu menggambarkan value for money yang terbaik, bahkan dengan
biaya termurah tidak selalu merupakan hal yang terbaik. Untuk lebih
jelasnya mengenai efisiensi, efektifitas, dan ekonomis akan diuraikan
sebagai berikut (Indra Bastian, 2001 : 335-336):
1) Efisiensi, adalah hubungan antara input dan output dimana
penggunaan barang dan jasa yang dibeli oleh pemerintah daerah untuk
mencapai output tertentu.
2) Efektifitas, adalah hubungan antara output dan tujuan, dimana
efektifitas diukur berdasarkan seberapa jauh tingkat output atau
keluaran, kebijakan dan prosedur dari pemerintah daerah untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3) Ekonomis, adalah hubungan antara pasar dan input dimana pembelian
barang dan jasa pada kualitas yang diinginkan dan pada harga yang
terbaik yang dimungkinkan.
d. Sumber Pendapatan Daerah
Sesuai dengan Pasal 157 UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa sumber pendapatan daerah
terdiri atas :
1) Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang
diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang
22
dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang terdiri dari:
a) Hasil Pajak Daerah
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan
langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan
Daerah (Pasal 1 UU No. 34 tahun 2000). Penentuan tariff dan tata cara
pemungutan pajak daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah (perda)
sesuai perundang-undangan yang berlaku.
b) Hasil Retribusi Daerah
Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan
Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu
yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah
untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Sebagaimana pajak
daerah, penentuan tariff dan tata cara pemungutan retribusi daerah
juga ditetapkan berdasarkan perda yang sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku.
c) Hasil Perusahaan Milik Daerah.
d) Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan.
e) Sumber-Sumber Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah.
Lain-lain PAD yang sah antara lain bersumber dari hasil penjualan
asset tetap daerah dan jasa giro.
23
2) Dana Perimbangan
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari
penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang
dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. Sumber-sumber dana yang berasal
dari pos Dana Perimbangan, antara lain:
a) Bagian Hasil Daerah
Bagian hasil daerah dapat berasal dari penerimaan pajak bumi dan
bangunan (PBB). Bea Peroleh Hak atas Tanah (BPHT) dan
penerimaan dari sumber daya alam.
b) Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN,
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah
untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.
c) Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang dialokasikan kepada
daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus tertentu.
Kebutuhan Khusus yang dimaksud menggunaka criteria: (i) kebutuhan
yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus Dana
Alokasi Umum; dan/atau (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen
atau prioritas nasional.
24
3) Lain-lain Pendapatan yang Sah
Lain-lain penerimaan daerah yang sah, antara lain bersumber
dari: hibah, dana darurat dan penerimaan lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Indikator Kinerja Keuangan Daerah
terdapat dau hal yang dapat dijadikan indikator kinerja, yaitu
kinerja anggaran dan anggaran kinerja. kinerja anggaran merupakan alat
atau instrumen yang dipakai oleh DPRD untuk mengevaluasi kinerja
kepala daerah sedangkan anggaran kinerja merupakan alat atau instrumen
yang dipakai oleh kepala daerah untuk mengevaluasi unit-unit kerja yang
ada dibawah kendali daerah selaku manajer eksekutif. keuangan daerah
dapat dikatakan berhasil bila mampu meningkatkan penerimaan daerah
secara berkesinambungan seiring dengan perkembangan perekonomian
tanpa memperburuk alokasi faktor-faktor produksi dan keadilan serta
dengan sejumlah biaya administrasi tertentu.
Berdasarkan konsep Musgrave dalam buku ekonomi publik oleh
Sukanto Reksohadiprojo (2000) indikator kinerja keuangan daerah adalah
sebagai berikut:
a. Derajat Desentralisasi Fiskal
Derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan
daerah pada umumnya ditunjukkan oleh variabel-variabel Pendapatan
Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), Rasio
Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak untuk daerah (BHPBP) terhadap
25
Total Penerimaan Daerah (TPD) dan Rasio Sumbangan Bantuan
Daerah (SBD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD).
Tim penelitit FISIPOL UGM bekerja sama dengan Litbang
Depdagri (1991; 19) menentukan tolak ukur kemampuan daerah
dilihat dari rasio PAD terhadap total APBD sebagai berikut (Dasril
Munir, 2004:106).
tabel 2.1 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah
00 – 10.00 Sangat Kurang
10.01 – 20.00 Kurang 20.01 – 30.00 Cukup 30.01 – 40.00 Sedang 40.01 – 50.00 Baik
>50.00 Sangat Baik
Sumber : Kebijakan dan Manajemen Keuangan Daerah (Dasril Munir, 2004: 106).
b. Kebutuhan Fiskal (Fiscal Need)
Kebutuhan fiskal dapat diartikan pula sebagai biaya
pemeliharaan prasarana sosial ekonomi seperti angkutan dan
komunikasi, lembaga pendidikan dan kesehatan (M. Suparmoko,
1992:302)
Variabel-variabel kebututhan daerah (fiscal need) dibagi atas
variabel kependudukan dan variabel kewilayahan. kewilayahan
meliputi jumlah penduduk dan indeks kemiskinan relatif (proksi
poverty gap). Sedangakan untuk variabel kewilayahan meliputi luas
wilayah dan indeks harga bangunan (Kadjatmiko dalam Mardiasmo,
2002:160).
26
c. Kapasitas Fiskal (Fiscal Capasity)
Kapasitas fiskal adalah sejumlah pajak yang seharusnya mampu
dikumpulkan dari dasar pajak (tax base), yang biasanya berupa
pendapatan per kapita (M. Suparmoko, 1992:230). Upaya peningkatan
kapasitas fiskal daerah sebenarnya tidak hanya menyangkut
penigkatan PAD. Peningkatan kapasitas fiskal daerah pada dasarnya
adalah optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah. Variabel-
variabel potensi daerah terdiri dari potensi PAD dan potensi
penerimaan bagi hasil.
d. Celah Fiskal (Fiscal Gap)
Celah fiskal merupakan kebutuhan daerah yang dikurangi
dengan kapasitas fiskal daerah, dimana kebutuhan daerah dihitung
berdasarkan variabel-variabel yang ditetapkan undang-undang
sedangkan perhitungan kapasitas fiskal didasarkan atas Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi hasil yang diterima daerah.
e. Upaya Fiskal (Tax effort)
Usaha pajak adalah jumlah pajak yang sungguh-sungguh
dikumpulkan oleh kantor pajak dan dilawankan dengan potensi pajak
(M. Suparmoko, 1992:320). Usaha pajak dapat diartikan sebagai rasio
antara penerimaan pajak dengan kapasitas atau kemampuan membayar
pajak di suatu daerah. Salah satu indikator yang dapat digunakan
mengetahui kemampuan membayar pajak masyarakat adalah Produk
27
Domestik Regional Bruto (PDRB). Jika PDRB meningkat, maka
kemampuan daerah dalam membayar pajak juga meningkat.
4. Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan
masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai
tambah (added value) yang terjadi di wilayah tersebut (Tarigan, 2004:44).
Teori-teori yang mendukung pertumbuhan dan pembangunan daerah
diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Teori Ekonomi Klasik
Teori ini dikemukakan oleh Adam Smith yang menyatakn
bahwa sistem ekonomi pasar bebas akan menciptakan efisiensi,
membawa ekonomi kepada kondisi full employment. Pemerintah tidak
perlu terlalu dalam mencampuri urusan perekonomian. Akibat depresi
ekonomi dunia, pandangan Smith kemudian dikoreksi oleh John
Maynard Keynes dengan mengatakan bahwa untuk menjamin
pertumbuhan yang stabil pemerintah perlu menerapkan kebijakan
fiskal, kebijakan moneter, dan pengawasan langsung.
Terlepas dari kekurangan yang terdapat dalam teori Smith,
pandangannya masih banyak yang relevan untuk diterapkan dalam
perencanaan pertumbuhan ekonomi wilayah. Untuk itu, hal yang perlu
dilakukan oleh pemerintah daerah adalah memberi kebebbasan kepada
setiap orang yang berusaha, tidak mengeluarkan peraturan yang
menghambat pergerakan orang dan barang, menjaga keamanan dan
28
ketertiban sehingga relatif aman untuk berusaha, tidak membuat
prosedur penanaman modal yang rumit, berusaha menciptakan iklim
yang kondusif sehingga investor tertarik menanamkan modalnya di
wilayah tersebut (Tarigan, 2004:46-47).
b. Teori Harrod-Domar dalam Sistem Regional
Teori ini menyatakan agar suatu daerah tumbuh cepat,
dikehendaki tingkat tabungan tinggi, impor tinggi, ekspor kecil, serta
Capital Output Ratio (COR) kecil. Pertumbuhanyang mantap
tergantung pada apakah arus modal dan tenaga kerja interregional
bersifat menyeimbang atau tidak. Dalam praktiknya, daerah yang
pertumbuhannya rendah. Teori Harrod-Domar sangat perlu
diperhatikan bagi wilayah yang masih terbelakang atau hubungan
keluarnya sangat sulit. Hasil produksi kurang layak untuk diekspor
karena biaya angkut tinggi, maka peningkatan produksi
mengakibatkan produk tidak terserap oleh pasar lokal sehingga
merugikan konsumen. Oleh karena itu, lebih baik mengatur
pertumbuhan berbagai sektor secara seimbang. dengan demikian
pertambahan produksi di satu sektor dapat diserap oleh sektor lain
yang tumbuh secara seimbang (Tarigan, 2004:49-50)
c. Teori Pertumbuhan Neo klasik
Teori ini memberikan dua konsep pokok dalam pembangunan
ekonomi daerah yaitu keseimbangan dan mobilitas faktor produksi.
Artinya sistem perekonomian akan mencapai keseimbangan
alamiahnya jika modal mengalir tanpa restriksi (pembatasan). Oleh
29
karena itu, modal akan mengalir dari daerah yang berupah tinggi
menuju kedaerah yang berupah rendah (Arsyad, 1999:116).
d. Desentralisasi Otonomi
Pilihan terhadap desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi
yang kuat baik secara teoritik maupun secara empirik. Otonomi daerah
atau desentralisasi akan membawa sejumlah manfaat bagi masyarakat
ataupun pemerintahannasional. Paling tidak ada 14 (empat belas)
alasan yang merupakan rasionalitas dari desentralisasi (Shabir
Cheema dan Rondinelli dalam Syaukani, 2002:32-35) yaitu :
1) Desentralisasi dapat merupakan cara yang ditempuh untuk mengatasi
keterbatasan karena perencanaan yang bersifat sentralistik dengan
mendelegasikan sejumlah kewenangan, terutama dalam perencanaan
pembangunan kepada pejabat di daerah yang bekerja di lapangan dan
tahu betul maslah yang dihadapi mayarakat.
2) Desentralisasi dapat memotong jalur birokrasi yang rumit serta
prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat.
3) Dengan desentralisasi fungsi dan penugasan kepada pejabat di daerah,
maka tingkat pemahaman serta sensitivitas terhadap kebutuhan
masyarakat daerah akan meningkat.
4) Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya “penetrasi” yang lebih
baik dari pemerintah pusat bagi daerah-daerah yang terpencil atau
sangat jauh dari pusat, dimana seringkali rencana pemerintah tidak
difahami oleh masyarakat setempat atau duhambat oleh elite lokal,
dan dimana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas.
30
5) Desentralisasi memungkinkan representasi yang lebih luas dari
berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan, di dalam perencanaan
pembangunan yang kemudian dapat memperluas kesamaan dalam
mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah.
6) Desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di pusat
dengan tidak lagi pejabat puncak di pusat menjalankan tugas rutin
karena hal itu dapat diserahkan kepada pejabat daerah. Dengan
demikian pejabat di pusat dapat menggunakan waktu dan energi
mereka untuk melakukan pengawasan dan supervisi terhadap
implementasi kebijaksanaan.
7) Desentralisasi dapat meningkatkan kapasitas pemerintahan serta
lembaga private di daerah, yang kemudian dapat meningkatkan
kemampuan mereka untuk mengambil alih fungsi yang selama ini
dijalankan oleh departemen yang ada di pusat.
8) Desentralisasi juga dapat menyediakan struktur dimana berbagai
departemen di pusat dapat dikoordinasi secara efektif bersama dengan
pejabat daerah dan sejumlah petugas di berbagai daerah.
9) Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan diperlukan guna
melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan
implementasi program.
10) Dengan menyidiakan model alternatif cara pembuatan kebijaksanaan,
desentralisasi dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan atas
berbagai aktivitas yang dilakukan oleh elite lokal, yang seringkali
31
tidak simpatik terhadap program pembangunan nasional dan tidak
sensitif terhadap kebutuhan kalangan miskin di pedesaan.
11) Desentralisasi dapat menghantarkan kepada administrasi
pemerintahan yang mudah disesuaikan, inovatif, dan kreatif.
12) Desentralisasi perencanaan dan fungsi manajemen dapat
memungkinkan pemimpin di daerah menetapkan pelayanan dan
fasilitas secara efektif di tengah-tengah masyarakat, mengintegrasikan
daerah-daerah yang terisolasi, memonitor, dan melakukan evaluasi
implementasi proyek pembangunan dengan lebih baik daripada yang
dilakukan oleh pejabat di pusat.
13) Desentralisasi dapat memantapkan stabilitas poltik dan kesatuan
nasional dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok
masyarakat di daerah untuk berpartisipasi secara langsung dalam
pembuatan kebijaksanaan, sehingga akan meningkatkan kepentingan
mereka dalam memelihara sistem politik.
14) Desentralisasi dapat meningkatkan penyediaan barang dan jasa
ditingkan lokal dengan biaya yang lebih rendah, karena hal itu tidak
lagi menjadi beban pemerintah pusat karena sudah diserahkan kepada
daerah.
5. Pinjaman Daerah
Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan
daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang
sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali,
tidak termasuk kredt jangka pendek yang lazim dalam perdagangan.
32
Menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah yang telah direvisi melalui Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
menetapkan bahwa pinjaman daerah adalah sebagai salah satu sumber
penerimaan daerah dalam rangka desentralisasi yang dicatat dan dikelola
dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dana pinjaman daerah ini
merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah yang ada
dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana daerah atau harta
tetap yang lain berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan
penerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman serta
memberiikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Selain itu daerah
dimungkinkan pula melakukan pinjaman dengan tujuan lain, seperti
mengatasi masalah jangka pendek yang berkaitan dengan arus kas daerah.
a. Prinsip Dasar Pinjaman Daerah
1) Pinjaman Daerah adalah salah satu alternatif sumber pembiayaan
Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, termasuk untuk menutup
kekurangan arus kas;
2) Pinjaman Daerah digunakan untuk membiayai kegiatan yang
merupakan inisiatif dan kewenangan Daerah berdasarkan peraturan
perundang-undangan;
3) Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar
negeri;
4) Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah
yang dananya berasal dari luar negeri (On-Lending);
33
5) Tidak melebihi Batas Defisit APBD dan Batas Kumulatif Pinjaman
Daerah yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b. Jenis Dan Jangka Waktu Pinjaman Daerah
Pinjaman daerah dibagi menjadi tiga yaitu :
1) Pinjaman Jangka Panjang adalah pinjaman daerah dengan jangka waktu
lebih dari satu tahun dengan persyaratan bahwa pembayaran kembali
pinjaman berupa pokok pinjamanan,bunga dan biaya lain sebagian atau
keseluruhan harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
2) Pinjaman Jangka Menengah adalah pinjaman daerah dengan jangka
waktu lebih dari sat tahun dengan persyaratan bahwa pembayaran
kembali pinjaman berupa pokok pinjaman, bunga dan biaya lain harus
dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan
kepala daerah yang bersangkutan.
3) Pinjaman Jangka Pendek adalaha pinjaman daerah dengan jangka
waktu kurang atau sama dengan satu tahun dengan persyaratan bahwa
pembayaran kembali pinjaman berupa pokok pinjamna, bunga dan
biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran
bersangkutan.
c. Sumber Pinjaman Daerah
1) Pemerintah : Pendapatan Dalam Negeri ( Rekening Pembangunan
Daerah)
2) Pinjaman Luar Negeri (Subsidiary Loan Agreement [SLA]/ on
lending)
34
3) Pemerintah daerah lain
4) Lembaga keuangan bank
5) Lembaga keuangan bukan bank; dan
6) Masyarakat
Pinjaman daerah yang bersumber dari pemerintah diberikan
melalui menteri keuangan, sedangkan pinjaman daerah yang bersumber
dari masyarakat berupa Obligasi Daerah diterbitkan melalui pasar modal.
d. Persyaratan Pinjaman Daerah
1) Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan
ditarik tidal melebihi 75% dari jumlah penerimaan APBD tahun
sebelumnya;
2) Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman
(DSCR) paling sedikit 2,5;
3) Tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang
berasal dari pemerintah;
4) Pinjaman Jangka Menengah dan Jangka Panjang dilakukan dengan
perstujuan DPRD.
e. Prosedur Pinjaman Daerah
Prosedur pinjaman daerah dapat dibedakan berdasarkan
sumbernya, yaitu ;
1) Pinjaman Daerah dari pemerintah yang dananya bersumber dari
Pinjaman Luar Negeri.
2) Pinjaman daerah dari Pemerintah yang dananya bersumber selain dari
Pinjama Luar Negeri
35
3) Pinjaman Daerah dari sumber Selain Pemerintah baik pinjaman jangka
pendek maupun pinjaman jangka panjang. Pinjaman ini dapat
dilakukan sepanjang tidak melampaui batas kumulatif Pinjaman
pemerintah dan Pemda.
f. Larangan Penjaminan
1) Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman hak lain;
2) Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh dijadikan
jaminan;
3) Proyek yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik
daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan
Obligasi Daerah.
g. Pembayaran Kembali Pinjaman
1) Seluruh kewajiban pinjaman daerah yang jatuh tempo wajib
dianggarkan dalam APBD tahun anggaran yang bersangkutan.
2) Dalam hal daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pinjamannya
kepada pemerintah, kewajiban membayar pinjaman tersebut
diperhitungkan dengan DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari
penerimaan Negara yang menjadi hak daerah tersebut.
B. Hasil Penelitian Sebelumnya
1. Penelitian Harmanto Yuandhi Wibowo (2006)
Mengadakan penelitian dengan judul “Analisis Kinerja Keuangan
Daerah Sebelum Dan Pada Masa Otonomi Daerah (Studi Kasus di
Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 1996/1997-2005). Hasil dari analisis
deskriptif menunnjukan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja
36
Daerah Kabupaten Sragen relatif mengalami peningkatkan dari tahun ke
tahun. Hasil analisis kuantitatif menunjukan bahwa Kabupaten Sragen
belum mampu secara keuangan dalam dalam penyelenggaraan
pemerintahan bila dilihat dari derajat desentralisasi fiscal, kebutuhan
fiscal, kapastas fiscal. Hasil penelitian tersebut menunjukkan proporsi
PAD terhadap TPD tergolong rendah baik sebelum maupun pada masa
otonomi daerah. Rasio PAD sbelum otonomi daerah rata-rata sebesar
15,21% dan pada masa otonomi daerah rata-rata sebesar 9,45%. Tingkat
kemandirian Kabupaten Sragen hanya sebesar 10,68% pada masa
otonomi daerah dengan pola hubungan Instruktif.
2. Penelitian Yuliati (dalam Abdul Halim, 2004)
Mengadakan penelitian yang berjudul ”Analisis Kemampuan
Keuangan Daerah Dalam Menghadapi Keuangan Daerah Dalam
Menghadapi Otonomi Daerah (studi kasus Kabupaten Malang)”.
Kesimpulan dari peneliian tersebut adalah bahwa derajat desentralisasi
fiskal yang dihitung dari proporsi PAD terhadap APBD rata-rata selama
kurun waktu lima tahun (1995/1996-2000) sebesar 15%. Jika dilihat dari
kemampuan PAD dalam mendanai belanja rutin daerah maka rata-rata
selama lima tahun sebesar 32% dan jika ditambah dengan hasil dari bagi
hasil pajak/bukan pajak mencapai 62%. Dilihat dari posisi fiskal yang
dihitung dengan rata-rata perubahan PAD terhadap rata-rata perubahan
PDRB selama kurun lima tahun menunjukkan hasil yang berbeda, jika
digunakan PDRB atas dasar harga konstan, maka struktur PAD cukup
baik dengan hasil 4,24 (elastis), tetapi jika digunakan PDRB atas dasar
37
harga berlaku menunjukkan hasil kurang baik yaitu sebesar 0,63
(inelastis).
3. Penelitian Hudi Hariyanto (2004)
Mengadakan penelitian yang berjudul ” Analisis Realisasi
Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Dan Kapasitas Pinjaman Daerah
(studi kasus di Kkabupaten dan Kota di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta). Hasil penelitian untuk perhitungan Kapasitas Pinjaman
Daerah menunjukkan bahwa besarnya Rasio Pinjaman Daerah dengan
PDRB, Jumlah Sisa Pokok Pinjaman, dan Debt Service Corrage Ratio
(DSCR) kabupaten dan kota di propinsi daerah istimewa yogyakarta telah
memenuhi syarat untuk melakukan pinjaman daerah.
C. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran
38
Pada era otonomi daerah sekarang ini, pemerintah daerah dituntut
untuk dapat lebih mandiri dalam menjalankan pemerintahan.
Ketergantungan pemerintah daerah pada pemerintah pusat harus mulai
dikurangi, untuk itu pemerintah daerah harus mampu mengoptimalkan
setiap sumber daya yang dimiliki.
Pemerintah daerah sebagai pihak yang diberi wewenang untuk
menjalankan pemerintahan dan pelayanan pada masyarakat wajib
menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya. Salah
satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah yaitu dengan
melakukan analisis terhadap APBD. Waktu penelitian dibagi dalam dua
periode, yaitu periode sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi
daerah. Analisis dilakukan terhadap pos-pos yang terdapat dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pos-pos tersebut meliputi pos
pendapatan dan belanja daerah. Berdasarkan data dari pos APBD tersebut
dihitung derajat desentralisasi fiskal, kebutuhan fiskal, kapasitas fiskal,
upaya fiskal, matrik potensi PAD, rasio aktivitas, efektifitas PAD,
Kapasitas pinjaman daerah, serta kemandirian keuangan daerah untuk
dapat mengetahui kinerja keuangan daerah selama ini.
D. Hipotesis Peneltian
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian
dan manfaat penelitian, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
39
1. Kondisi keuangan daerah Kota Depok pada masa otonomi dan
sebelum otonomi daerah diduga terdapat perbedaan, berdasarkan
Derajat Desenralisasi, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Celah
Fikasl, Upaya Fiskal, Rasio Aktivitas, dan Efektifitas PAD.
2. Kemandirian Keuangan daerah Kota Depok pada masa otonomi
daerah diduga lebih mandiri daripada sebelum otonomi daerah yang
diukur melalui Rasio Kemandirian dan Pola Hubungannya.
3. Kemampuan Kota Depok untuk melakukan pinjaman daerah pada
masa otonomi daerah diduga lebih baik daripada sebelum otonomi
daerah, berdasarkan Jumlah Sisa Pokok Pinjaman dan Debt Service
Coverage Ratio (DSCR).
40
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1. Ruang Lingkup Penelitian
Jenis penelitian adalah Deskriptif Kuantitatif yang bertjuan untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh desentralisasi fiskal, kebutuhan fiskal,
kapasitas fiskal, celah fiskal, pinjaman daerah terhadap produk domestik
regional bruto (PDRB), jumlah pokok pinjaman dan Debt Service Coverage
Ratio (DSCR).
2. Jenis dan sumber data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang
diperoleh dari beberapa sumber. Adapun data yang digunakan meliputi :
a. Data penjabaran Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah Kota Depok
(Badan Pengelola Keuangan Daerah).
b. Data gambaran umum Kota Depok yang diperoleh dari Depok dalam
angka (Badan Pusat Statistik).
c. Data Produk Domestik Regional Bruto Kota Depok (Badan Pusat
Statistik)
d. Data Produk Domestik Regional Bruto Jawa Barat dan pengeluaran
Jawa Barat (Jawa Barat Dalam Angka, BPS).
e. Data Pinjaman Daerah terhadap Produk Domestik Regional Bruto
(Badan Pusat Statistik).
41
3. Definisi Operasional Variabel
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana
keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan
Daerah.
2. Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-
sumber dalam wilayah sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan
daerah.
3. Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau
lembaga yang dapat dipasarkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan pembangunan daerah.
4. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembiayaa atas jasa
atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan
oleh Pemerintah Daerah.
5. Kemandirian Keuangan Daerah (Otonomi Fiskal) menunjukkan
kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang
telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang
diperlukan daerah. (Abdul Halilm, 2004;150)
6. Rasio Efektifitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah
dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan,
dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil
daerah. (Abdul Halim, 2004;152)
42
7. Rasio aktifitas menggambarkan bagaimana pemerintah daerah
memprioritaskan alokasi dananya pada biaya rutin dan belanja
pembangunan secara optimal. (Abdul Halim, 2004;153)
8. Kapasitas Fiskal adalah sejumlah pajak yang seharusnya mampu
dikumpulkan dari dasar pajak (tax base), yang biasanya berupa
pendapatan per kapita. (Suparmoko, 1987;320)
9. Derajat Desentralisai Fiskal merupakan perhitungan konttribusi PAD
terhadap total APBD serta kontribusi sumbangan dan bantuan terhadap
total APBD.
10. Pinjaman Daerah semua transaksi yag mengakibatkan daerah menerima
dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga
daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak
termasuk kredit jangka pendek yang lazim dalam perdagangan.
4. Teknik Analisis Data
Setelah terkumpul data yang diperlukan akan dilakukan analisis yang
dibagi dalam dua tahap yaitu tahap analisis deskriptif dan tahap analisis
kuantitatif.
1. Analisis Deskriptif
Merupakan tehnik analisis data yang tidak berwujud angka,
analisis ini berdasarkan pendapat atau pikiran yang penyajinyaa
dalam bentuk keterangan-keterangan, penjelasan dan pembahsan
secara tertulis. Analisis deskriptif dimaksudkan untuk memberikan
43
gambaran tentang perkembangan komponen APBD Kota Depok dari
waktu ke waktu.
2. Analisis Kuantitaif
Yaitu analisis yang berdasarkan perhitungan yang menjadi
obyek secara ilmiah yang berwjud dalam angka.
a. Hipotesis I
Untuk menguji hipotesis I digunakan rumus :
Untuk menguji apakah kondisi keuangan daerah Kota Depok
pada masa otonomi daerah lebih baik daripada sebelum otonomi
daerah digunakan rumus sebagai berikut (Djarwanto PS, 1996 : 207-
209) :
i) Hipotesis H0 : µ1 = µ2
Jika tidak terdapat perbedaan kondisi keuangan Kota Depok
sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah.
Hipotesis H1 : µ1 ≠ µ2
Jika terdapat perbedaan kondisi keuangan Kota Depok sebelum
otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah.
ii) Level of Significance (α) = 0,05 dan t = (α /2; n-1)
iii) Kriteria Pengujian
Gambar 3.1 Kurva Uji Beda 2 Mean
Daerah Tolak Daerah Terima Daerah Tolak
-t (α /2 ; n-1) t (α /2 ; n-1)
44
tabel ≤ t hitung ≤ t tabel, H0 diterima dan H1 ditolak.
Kesimpulannya µ1 sama dengan nol (µ1 tidak signifikan pada
tingkat α). Dapat dikatakan bahwa X1 secara statistik tidak penting
(tidak berpengaruh terhadap Y pada tingkat α).
t hitung ≤ - t tabel atau t hitung ≥ t tabel, Ho ditolak dan H1
diterima. Kesimpulannya µ1 berbeda dengan nol (µ1 tidak
signifikan pada tingkat α). Dapat dikatakan bahwa X1 secara
statistik penting (berpengaruh terhadap Y pada tingkat α).
Cara lain yang dapat digunakan untuk menguji signifikan
tidaknya koefisien regresi adalah dengan melihat p-value dari hasil
print-out software pengolahan data.
Jika p-value > 0,05, maka Ho diterima ; tidak signifikan.
Jika p-value < 0,05, maka Ho ditolak ; signifikan.
1) Derajat Desentralisasi Fiskal antara Pemerintah Pusat dan
Daerah dapat menggunakan ukuran berikut ini (Sukanto
Reksohadiprojo, 2001;155)
PendapatanAsliDaerah x100% Total Penerimaan Daerah
TPD = PAD + BHPBP + SD
2) Kebutuhan Fiskal (fiscall need) dengan menghitung indek
Pelayanan Publik per Kapita (IPPP) dengan formula sebagai
berikut (Sukanto Reksohadiprojo, 2001;155) :
SKbFP Jabar = Jumlah Pengeluaran Jawa barat
Jumlah Penduduk Jawa barat
45
SKbFK Depok = PPP
SbKFPjabar
Keterangan :
SKbFP jabar: Rata-rata kebutuhan fiskal standart se-jawa barat
SKbFP depok: Kebutuhan fiskal Kota Depok
PPP : Jumlah pengeluaran rutin dan pembangunan per kapita
masing-masing daerah atau pengeluaran aktual per kapita untk
jasa publik.
Jika hasilnya tinggi maka kebutuhan akan fiskalnya rendah.
3) Kapasitas Fiskal (Fiscal Capacity)
Kapasitas fiskal dapat dihitung dengan cara :
SkaFPjabar = PDRBJabar/JumlahPendudukJabar
JumlahKabupaten/Kota
KaFkKdepok = PDRBDepok/JumlahPenduduk
SKaFPJabar
Keterangan:
SKaFPJabar : Rata-rata kapasitas fiskal se-jawa barat
KaFkKDepok : Kapasitas fiskal Kota Depok
Jika hasilnya tinggi, maka kapasitas fiskalnya tinggi.
4) Celah Fiskal (Fiscal Gap)
Celah Fiskal dapat dihitung dengan cara :
Celah Fiskal Jabar : SKbFP Jabar – SKaFPJabar
Celah Fiskal Depok : SKbFP depok – KaFkKDepok
Keterangan :
46
SKbFP jabar: Rata-rata kebutuhan fiskal standart se-jawa barat
SKaFPJabar: Rata-rata kapasitas fiskal se-jawa barat
SKbFP depok: Kebutuhan fiskal Kota Depok
KaFkKDepok: Kapasitas fiskal Kota Depok
5) Upaya atau posisi Fiskal (tax effort) dihitung dengan mencari
koefisien elastisitas PAD terhadap PDRB, semakin elastis
PAD suatu daerah, maka struktur PAD di daerah tersebut makin
baik dengan formula sebagai berikut (Abdul Halim, 2001;105)
Elastisitas PAD = Pendapatan Asli Daerah x100%
PDRB
6) Rasio Aktivitas merupakan keserasian antara Belanja Rutin dan
belanja Pembangunan, dapat diformulasikan sebagai berkut
(Abdul Halim, 2004;153):
Rasio Belanja Rutin = Total BelanjaRutin x 100%
Total APBD
Rasio Belanja Pemb. = Total Pembangunan x 100%
TotalAPBD
7) Analisis Efektifitas PAD menggambarkan kemampuan
Pemerintah Daerah dalam meralisasikan Pendapatan Asli
Daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang
ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. (Abdul Halim,
2004;152)
Efektifitas PAD = RealisasiPAD x 100%
TargetPAD
47
b. Hipotesis II
Untuk menguji hipotesis II dengan menghitung Rasio
Kemandiran dengan rumus sebagai berikut (Abdul Halim,
2004;284) :
Rs Kemandirian = Pendapatan Asli Daerah X 100%
Bantuan + Sumbangan + Pinjaman
Tabel 3.1 Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah
Kemampuan Keuangan
Kemandirian (%) Pola Hubungan
Rendah sekali Rendah Sedang Tinggi
0% - 25% 25% - 50% 50% - 75% 75% - 100%
Instruktif Konsultatif Partisipatif Delegatif
Sumber : Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah (Abdul Halim, 2004;189) c. Hipotesis III
Untuk menguji hipotesis III digunakan Model Sisa Pokok
Pinjaman Daerah dan Model Debt Service Coverage Ratio
(DSCR).
Debt Service Coverage Ratio (DSCR) adalah perbandingan
antara penjumlahan Pendapatan Asli Daerah, Bagian Daerah dari
Pajak Bumi dan Bangunan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan dan penerimaan sumber daya alam, dan bagian daerah
lainnya seperti Pajak Penghasilan perorangan, serta Dana Alokasi
Umum, setelah dikurangi Belanja Wajib, dengan penjumlahan
angsuran pokok, bunga dan biaya pinjaman lainnya yang jatuh
tempo.
48
Bila dirumuskan secara matematis, maka DSCR dapat
ditunjukan sebagai berikut :
DSCR = (PAD +BD + DAU ) ≥ 2,5
P + B + BL
DSCR : Debt Service Coverage Ratio
PAD : Pendapatan Asli Daerah
BD : Bagian Daerah dari PBB, Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan bangunan, dan penerimaan sumber daya
alam serta bagian daerah lainnya seperti dari Pajak
Penghasilan perseorangan.
DAU : Dana Alokasi Umum
BW : Belanja Wajib, yaitu belanja yang harus dipenuhi/
tidak bisa dihindarkan dalam tahun anggaran yang
bersangkutan oleh Pemerintah Daerah seperti
belanja pegawai.
P : Angsuran pokok pinjaman yang jatuh tempo pada
tahun anggaran yang bersangkutan
B : Bunga pinjaman yang jatuh tempo pada tahun
anggaran yang bersangkutan
BL : Biaya lainnya (biaya komitmen, biaya bank, dan
lain-lain) yang telah jatuh tempo.
Secara umum DSCR merupakan jumlah penerimaan yang
tersedia untuk membayar pinjaman dibandingkan dengan jumlah
pembayaran pinjaman yang diwajibkan untuk suatu pinjaman.
49
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.107
tahun 2000 Tentang Pinjaman Daerah mengenai Persyaratan
Pinjaman Daerah, nilai DSCR paling sedikit 2,5 (dua setengah),
jadi bila nilai DSCR suatu daerah lebih besar atau sama dengan 2,5
(dua setengah) maka daerah boleh melakukan pinjaman daerah
jangka panjang, sebaliknya jika nilai DSCR suatu daerah lebih
kecil dari 2,5 (2,5 ≥ 2,5 ≤) maka daerah tidak boleh melakukan
pinjaman daerah jangka panjang.
50
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Kota Depok
1. Aspek Geografis
Kota Depok merupakan salah satu kota yang berada di Propinsi Jawa
Barat, yang berbatasan langsung dengan Propinsi DKI Jakarta. Kota Depok
terletak pada garis lintang 6°19’00’’ - 6°28’00’’ Lintang Selatan dan 106°43’00’’ -
106°55’30’’ Bujur Timur. Kota Depok mempunyai luas wilayah sekitar 200,29
Km² yang meliputi 6 kecamatan.
Secara geografis, Kota Depok berbatasan dengan :
Sebelah Utara : Kabupaten Tangerang dan DKI Jakarta
Sebelah Timur : Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor
Sebelah Selatan : Kabupaten Bogor
Sebelah Barat : Kabupaten Bogor
2. Aspek Demografi
Jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2007 mencapai 1.470.002
jiwa, yang terdiri dari laki-laki 761.382 jiwa dan perempuan 708.620 jiwa. Laju
pertumbuhan penduduk Kota Depok tahun 2007 3,43 persen. Kecamatan
Cimanggis paling besar jumlah penduduknya dibandingkan dengan kecamatan
51
lain di Kota Depok yaitu sebesar 403.037 jiwa, sedangkan kecamatan dengan
jumlah penduduk terkecil adalah kecamatan Beji yaitu 139.888 jiwa.
Di tahun 2007, kepadatan penduduk Kota Depok mencapai 7.339,37 jiwa/km².
Kecamatan Sukmajaya merupakan kecamatan terpadat di Kota Depok dengan
tingkat kepadatan 10.033,61 jiwa/km², kemudian kecamatan Beji dengan tingkat
kepadatan 9.782,38 jiwa/km². Sedangkan kecamatan dengan kepadatan
penduduk terendah adalah kecamatan Sawangan yaitu sebesar 3.634,84
jiwa/km².
Tabel 4.1 Penduduk, Luas Wilayah, dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di
Kota Depok Tahun 2007
Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Kepadatan
Penduduk (jiwa/ Km²)
Sawangan 86.640 79.436 166.076 3.634,84
Pancoran Mas 139.814 129.330 296.144 9.022,59
Sukmajaya 175.033 167.414 342.447 10.033,61
Cimanggis 209.019 194.018 403.037 7.527,27
Beji 73.457 66.431 139.888 9.782,38
Limo 77.419 71.991 149.410 6.553,07
Kota Depok 761.382 708.620 1.470.002 7.339,37
Sumber: Kota Depok Dalam Angka 2007
3. Aspek Ekonomi
a. Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Kota Depok terus meningkat sebelum maupun selama
otonomi daerah dilaksanakan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi tiap
tahunnya sebesar 4,69 persen atas dasar harga konstan. Laju pertumbuhan
52
Kota Depok pada tahun 2006 sebesar 6,65% mengalami penurunan
dibandingkan dengan tahun 2005 yaitu sebesar 6,96%. Laju pertumbuhan
Kota Depok dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini.
Tabel 4.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Depok Atas Dasar Harga Konstan 2000
Tahun 1999-2007 Sektor 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Rata2
1 2,00 3,04 3,58 2,23 4,24 4,69 -4,27 0,73 2,03
2 - - - - - - - - -
3 5,66 7,04 8,57 7,21 7,27 9,00 7,14 4,49 7,04
4 3,92 4,20 3,87 5,62 5,66 7,85 3,03 3,48 4,70
5 2,40 6,64 3,84 5,54 5,58 2,00 3,49 10,29 4,97
6 3,81 5,59 2,67 5,87 5,91 6,06 9,38 12,01 6,41
7 3,29 3,73 15,38 6,95 6,83 7,94 2,22 2,70 6,13
8 9,30 5,04 6,69 10,09 10,32 6,64 2,80 9,14 7,50
9 2,59 4,77 5,21 4,78 4,83 3,93 8,04 3,87 4,75
PDRB 4,41 5,89 6,10 6,37 6,50 6,96 6,65 6,95 6,22
Sumber: Kota Depok Dalam Angka 2008, data diolah
*) Keterangan: Sektor 1 = Pertanian, 2 = Pertambangan dan galian, 3 = Industri pengolahan, 4 = Listrik, gas dan air bersih, 5 = Bangunan, 6 = Perdagangan, hotel dan restoran, 7 = Pengangkutan dan komunikasi, 8 = Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9 = Jasa-jasa.
b. Struktur Ekonomi
53
Sebelum maupun selama pelaksanaan otonomi daerah,
perekonomian Kota Depok tidak terjadi perubahan yang signifikan, dua
sektor ekonomi yaitu sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan,
hotel, dan restoran tetap menjadi sektor yang dominan dalam kontribusi
PDRB Kota Depok dengan rata-rata konstribusi pembentukan PDRB sebelum
maupun selama otonomi daerah diatas 30%. Berdasarkan tabel 4.3 sektor
ekonomi yang memberikan konstribusi terkecil terhadap pembentukan
PDRB tahun 2006 adalah sektor pertanian dengan kontribusi sebesar 2,65%
Tabel 4.3 Persentase Distribusi Sektor Ekonomi Kota Depok Atas Dasar Harga
Berlaku 2000 Tanpa Migas Tahun 1999-2007 (dalam persen)
Sektor 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
1 3,5 4,0 3,8 3,9 3,5 3,2 2,9 2,6 2.47
2 - - - - - - - - -
3 37,5 38,4 38,2 38,3 38,3 38,5 38,4 37,5 37,03
4 3,2 3,4 3,3 3,9 4,3 4,0 4,8 4,7 4,73
5 7,0 6,6 6,3 5,8 5,8 5,9 5,2 4,8 4,92,
6 30,8 30,4 30,6 30,5 30,4 30,6 30,0 32,3 33,67
7 5,0 5,0 5,4 5,7 5,6 5,6 6,8 6,4 6,02
8 3,8 3,8 3,8 3,6 3,8 3,9 3,8 3,5 3,55
9 8,4 8,1 8,3 8,0 7,9 8,0 7,7 7,9 7,61
jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber: Kota Depok Dalam Angka 2008
54
*) Keterangan: Sektor 1 = Pertanian, 2 = Pertambangan dan galian, 3 = Industri pengolahan, 4 = Listrik, gas dan air bersih, 5 = Bangunan, 6 = Perdagangan, hotel dan restoran, 7 = Pengangkutan dan komunikasi, 8 = Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, 9 = Jasa-jasa.
c. PDRB Perkapita
Selama kurun waktu 1999-2007 PDRB per kapita Kota Depok
menunjukkan perkembangan yang positif tiap tahunya berdasarkan PDRB
atas harga konstan maupun atas dasar harga berlaku. Rata-rata
perkembangan PDRB per kapita atas dasar konstan per tahunnya sebesar
2,78% sedangkan menurut harga berlaku sebesar 12,79%. Perkembangan
terbesar PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000 terdapat
pada tahun 2005 yaitu sebesar 3,61% sedangkan atas dasar harga berlaku
pertumbuhan terbesar terdapat pada tahun 2005 sebesar 15,38%.
Tabel 4.4 PDRB Per Kapita Penduduk Kota Depok Tahun 1999-2007
Tahun Atas harga
berlaku Persen
AHK 2000 Persen
1999 2.762.532,99 6,63% 2.987.765,43 9,99%
2000 3.051.691,68 7,33% 3.051.691,68 10,21%
2001 3.470.917,29 8,33% 3.113.484,58 10,41%
2002 3.957.922,09 9,5% 3.190.869,66 10,67%
2003 4.382.013,52 10,52% 3.283.308,19 10,98%
2004 4.827.071,63 11,59% 3.385.720,44 11,33%
2005 5.569.813,08 13,37% 3.508.084,49 11,73%
55
2006 6.408.948,6 15,39% 3.620.579,94 12,11%
2007 7.198.757,56 17,29% 3.741.064,24 12,51%
Rata-rata Pertumbuhan (%)
12,79%
2,78%
Sumber: PDRB Kota Depok 2008
4. Aspek Keuangan Daerah
Gambaran mengenai Keuangan Daerah dapat dilihat dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Di dalam APBD tersebut tercantum
pos-pos penerimaan yang merupakan sumber pendapatan keuangan daerah dan
pos-pos pengeluaran daerah.
Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan, pemerintah daerah harus
bisa memanfaatkan segala potensi dan sumber daya yang tersedia di daerahnya
untuk dapat membiayai kegiatan pembangunan didaerahnya. Terlebih dengan
berlakunya otonomi daerah, maka pemerintah kabupaten/kota dituntut untuk
dapat lebih mandiri serta jangan terlalu mengharapkan bantuan dari pemerintah
pusat untuk melaksanakan kegiatan pembangunan.
Kondisi keuangan Kota Depok masih menunjukkan ketergantungan yang
besar terhadap pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.5 yang
menunjukkan bahwa pos pendapatan yang berasal dari dana perimbangan
memiliki kontribusi yang lebih besar dibandingkan penerimaan dari pos-pos
lainnya. Pada tahun 2008 pendapatan dari dana perimbangan yang
direalisasikan Kota Depok sebesar Rp 593.140.240.794
Tabel 4.5
56
APBD Kota Depok Tahun Anggaran 2008 (Anggaran dan Realisasi)
No. Jenis Penerimaan Target (Rp) Realisasi (Rp) Persen
I Pendapatan Asli Daerah 97.139.989.565,57 112.772.271.171,30 116,09%
a. Pajak Daerah 43.538.335.236,92 48.456.451.986 111,30%
b. Retribusi Daerah 26.267.935.664 32.979.350.563 125,55%
c. Bagian Laba BUMD 3.756.353.155 2.656.353.155 70,72%
d. Lain-lain PAD 23.577.365.509,65 28.680.115.467,30 121,64%
Dana Perimbangan 574.268.400.146,29 593.140.240.794 103,29%
Bagian Daerah dari Pajak 139.482.013.146,29 158.353.853.794 113,53%
Dana Alokasi Umum 427.136.387.000 427.136.387.000 100%
Dana Alokasi Khusus 7.650.000.000 7.650.000.000 100%
Lain-lain Pendapatan yang Sah 172.366.473.898 178.824.878.898 103,75%
Total Pendapatan 843.774.863.609,86 884.737.390.863,30 104,85%
II Belanja Daerah 1.030.958.079.440,5
3
1.030.958.079.440,5
3
100%
a.Belanja Tidak Langsung 504.267.579.607,10 504.267.579.607,10 100%
b.Belanja Langsung 526.690.499.833,29 526.690.499.833,29 100%
Surpulus/ (Defisit) 187.183.215.830,53 146.220.688.577,23 78,11%
III Pembiayaan Daerah 187.183.215.830,53 146.220.688.577,23 78,11%
a.Jumlah Penerimaan Pembiayaan 200.511.864.030,53 132.343.499.748,44 66,01%
b.Jumlah Pengeluaran Pembiayaan 13.328.648.200,00 13.877.188.828,79 104.12%
Sumber : Nota Perhitungan APBD Kota Depok Tahun Anggaran 2008.
B. Hasil Analisis Data dan Pembahasan
1. Analisis Deskriptif
a. Pertumbuhan APBD
57
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Depok setiap
tahunnya selalu mengalami kenaikan. Total penerimaan APBD pada tahun
anggaran 1999 sebesar Rp 36.799.882.000,00 dan meningkat 154,4% pada
tahun anggaran 2000 menjadi Rp 93.620.290.252,00. Peningkatan
persentase kenaikan yang sangat signifikan tersebut
terjadi karena pada tahun 1999 Kota Depok masih berada dalam wilayah
Pemerintahan Kabupaten Bogor, dan pada tahun 2000 sehubungan dengan
akan dimulainya Otonomi Daerah maka Kota Depok berubah statusnya
menjadi Kota Administratif I yang status sebelumnya Kota Adminstratif II.
Sampai tahun anggaran 2008 APBD Kota Depok mencapai Rp
1.044.286.727.640,00. pertumbuhan APBD dari tahun 1997/1998 – 2008
mengalami peningkatan rata-rata 42,47%. Sedangkan rata-rata
pertumbuhan sebelum otonomi daerah sebesar 46,49% dan rata-rata pada
masa otonomi daerah sebesar 40,46%. Gambaran tentang pertumbuhan
APBD Kota Depok dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut :
Tabel 4.6
Pertumbuhan APBD Kota Depok Tahun Anggaran 1997/1998 Sampai Tahun 2008
Total Penerimaan Pertumbuhan
No Tahun APBD (Rp) (%)
1 1997/1998 29.540.223.000,00 8,35
2 1998/1999 33.091.205.000,00 12,02
3 1999 36.799.882.000,00 11,20
4 2000 93.620.290.252,00 154,4
5 2001 242.700.721.964,00 159,23
58
6 2002 338.496.540.000,00 39,47
7 2003 393.162.362.119,02 16,14
8 2004 462.589.805.400,00 17,65
9 2005 534.250.694.945,27 15,49
10 2006 689.819.605.865,97 29,11
11 2007 905.315.660.949,24 31,23
12 2008 1.044.286.727.640,39 15,35
Total 4.803.673.719.135,89 509,71
Rata-rata 400.306.143.261,32 42,47
Rata-rata sebelum Otda 48.262.900.063 46,49
Rata-rata pada masa Otda 576.327.764.860,49 40,46
Sumber : BPKD Kota Depok. Beberapa Tahun.
b. Kontribusi PAD Terhadap APBD
Berdasarkan tabel 4.7 dapat dilihat bahwa selama tahun anggaran
1997/1998 – 2008, kontribusi PAD terhadap APBD Kota Depok rata-rata
sebesar 14,38%. Rata-rata kontribusi PAD terhadap APBD sebelum otonomi
daerah sebesar 21,72% sedangkan pada masa otonomi daerah rata-ratanya
sebesar 10,71%. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa otonomi daerah,
ketergantungan Kota Depok terhadap pemerintah pusat cenderung lebih
rendah. Kontribusi PAD terhadap APBD Kota Depok selengkapnya dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.7
Kontribusi PAD terhadap APBD Kota Depok Tahun
Anggaran 1997/1998 – 2008
59
Pendapatan Asli Kontribusi PAD
Daerah (PAD) Terhadap APBD No Tahun Total APBD
(Rp) (%)
1 1997/1998 29.540.223.000,00 5.465.645.600,00 18,5
2 1998/1999 33.091.205.000,00 7.566.866.368,00 22,86
3 1999 36.799.882.000,00 11.463.019.000,00 31,14
4 2000 93.620.290.252,00 13.453.000.000,00 14,36
5 2001 242.700.721.964,00 41.174.809.473,00 16,96
6 2002 338.496.540.000,00 31.101.240.410,18 9,18
7 2003 393.162.362.119,02 41.165.629.524,00 10,47
8 2004 462.589.805.400,00 43.702.436.417,00 9,44
9 2005 534.250.694.945,27 64.060.869.668,97 11,99
10 2006 689.819.605.865,97 68.631.174.736,00 9,94
11 2007 905.315.660.949,24 75.457.361.773,64 8,33
12 2008 1.044.286.727.640,39 97.139.989.565,57 9,3
Rata-rata 14,38
Rata-rata Sebelum Otda 21,72
Rata-rata pada masa Otda 10,71
Sumber : BPKD Kota Depok.
2. Analisis Kuantitatif
a. Uji Hipotesis 1
1) Derajat Desentralisasi Fiskal
60
Pengukuran derajat desentralisasi fiskal dapat menggunakan
beberapa indikator rasio. Pada pertumbuhan ini indikator atau rasio
yang digunakan adalah Rasio PAD terhadap Total Pendapatan Daerah.
Derajat desentralisasi fiskal, khususnya komponen PAD
dibandingkan dengan TPD, menurut hasil penemuan Tim Fisipol UGM
menggunakan skala interval sebagai mana yang terlihat dalam tabel
4.8 berikut (Dasril Munir, 2004: 106) :
Tabel 4.8
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal
PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah
00 - 10.00 Sangat Kurang
10.01 - 20.00 Kurang
20.01 - 30.00 Cukup
30.01 - 40.00 Sedang
40.01 - 50.00 Baik
> 50.00 Sangat Baik
Sumber : Kebijakan dan Manajemen Keuangan Daerah
Berdasarkan perhitungan tentang Derajat Desentralisasi Fiskal,
dapat kita bandingkan Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Depok
sebelum otonomi daerah (tahun anggaran 1997/1998-2000) dan pada
masa otonomi daerah (tahun anggaran 2001-2008). Tabel 4.9
menunjukkan bahwa selama dua belas tahun persentase rata-rata
rasio PAD terhadap TPD Kota Depok sebesar 8,97%, sehingga masuk
kategori ”sangat kurang” kemampuan keuangan daerahnya. Jika
61
dibandingkan antara era sebelum otonomi daerah dan pada masa
otonomi daerah, maka terlihat bahwa era sebelum otonomi daerah,
persentase rata-rata rasio PAD terhadap TPD sebesar 4,25% lebih
rendah dibandingkan pada masa otonomi daerah yaitu sebesar
11,33%. Hal ini dapat dikatakan bahwa Kota Depok pada masa otonomi
daerah mengalami peningkatan kemampuan keuangan daerah, yang
sebelum otonomi masuk dalam kategori ”sangat kurang” dan pada
masa otonomi kemampuan keuangan daerahnya dikategorikan
”kurang”. Perbandingan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.9
Tabel 4.9
Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Depok
Tahun 1997 - 2008
Tahun Anggaran PAD TPD Persen PAD/TPD
1997 5.465.645.600,00 189.160.107.250,00 2,88
1998 7.566.866.368,00 193.652.547.665,00 3,91
1999 11.463.019.000,00 200.893.059.000,00 5,70
2000 13.453.000.000,00 297.597.240.000,00 4,52
2001 41.174.809.473,00 317.561.680.000,00 12,96
2002 31.101.240.410,00 338.496.540.000,00 9,18
2003 41.165.629.524,00 369.678.000.000,00 11,13
2004 43.702.436.417,00 389.067.579.464,95 11,23
2005 64.060.869.669,00 492.823.537.556,97 12,99
2006 68.631.174.736,00 591.934.503.781,00 11,59
2007 75.457.361.774,00 749.346.265.979,95 10,06
62
2008 97.139.989.566,00 843.774.863.609,86 11,51
Rata-Rata 8,97
Rerata Sebelum Otda 4,25
Rerata Pada Masa Otda 11,33
Sumber : data diolah.
Berdasarkan Hasil uji t-test, ditemukan hasil t hitung sebesar -
9,838. Karena hasilnya < 0,05 maka H○ ditolak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan derajat desntralisasi fiskal di
Kota Depok sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah.
d\artinya derajat desentralisasi fiskal Kota Depok pada masa otonomi
daerah lebih baik dibandingkan sebelum otonomi daerah.
2) Kebutuhan Fiskal (Fiscal need)
Kebutuhan fiskal dapat diartikan pula sebagai biaya
pemeliharaan prasarana sosial ekonomi seperti angkutan dan
komunikasi, lembaga pendidikan dan kesehatan (M. Suparmoko,
1992:302)
Variabel-variabel kebututhan daerah (fiscal need) dibagi atas
variabel kependudukan dan variabel kewilayahan. kewilayahan
meliputi jumlah penduduk dan indeks kemiskinan relatif (proksi
poverty gap). Sedangakan untuk variabel kewilayahan meliputi luas
wilayah dan indeks harga bangunan (Kadjatmiko dalam Mardiasmo,
2002:160).
Kebutuhan Fiskal (fiscall need) di hitung dengan formula
sebagai berikut (Sukanto Reksohadiprojo, 2001;155).
63
SKbFP Jabar = Jumlah Pengeluaran Jawa barat
Jumlah Penduduk Jawa barat
SKbFK Depok = PPP
SbKFPjabar
Keterangan :
SKbFP jabar: Rata-rata kebutuhan fiskal standart se-jawa barat
SKbFP depok: Kebutuhan fiskal Kota Depok
PPP : Jumlah pengeluaran rutin dan pembangunan per kapita
masing-masing daerah atau pengeluaran aktual per kapita untk
jasa publik.
Dari tabel 4.10 terlihat bahwa selama kurun waktu 1998-2008,
rata-rata kebutuhan fiskal standar se-Jawa Barat sebesar Rp 3.484,49
sedangkan kebutuhan fiskal Kota Depok sebesar 2.634,78.
Sebelum otonomi daerah, rata-rata kebutuhan fiskal se-Jawa
Barat sebesar Rp 2.115,71 sedangkan pada masa otonomi daerah rata-
rata kebutuhan fiskal se-Jawa Barat mengalami peningkatan yang besar
hingga mencapai Rp 4.168,88
Tabel 4.10
Kebutuhan Fiskal Standar Se-Jawa Barat
Dan Kebutuhan Fiskal Kota Depok
Tahun 1998 -2008
Kebutuhan Fiskal Kebutuhan Fiskal
Standar Se-Jabar Kota Depok Persentase Tahun Anggaran
(SKbFP Jabar) (SKbFK Depok)
64
1998 2006,82 216,86 10,80
1999 2293,21 244,89 10,67
2000 2605,07 449,24 17,24
2001 2796,97 1134,40 40,55
2002 3882,17 1454,97 37,47
2003 3644,32 2956,20 81,11
2004 3899,27 3431,01 87,99
2005 4253,55 3836,72 90,20
2006 5029,97 4751,22 94,45
2007 4887,07 6069,59 124,19
2008 4957,76 6856,24 138,29
Rata-rata 3484,49 2634,78 75,61
Rerata sebelum otda 2115,71 281,74 13,31
Rerata pada masa otda 4168,88 3811,29 91,42
Sumber: Data diolah
Berdasarkan Hasil uji t-test, ditemukan hasil t hitung sebesar -
2,892. Karena hasilnya < 0,05 maka H○ ditolak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kebutuhan fiskal di Kota Depok
sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah. Kebutuhan
fiskal Kota Depok setelah otonomi daerah dapat dikatakan lebih baik
daripada sebelum otonomi daerah.
3) Kapasitas Fiskal (Fiscal Capacity)
65
Kapasitas fiskal menunjukkan berapa besar usaha dari
daerah yang diwujudkan dalam PDRB untuk memenuhi semua
kebutuhannya dalam hal ini adalah total pengeluaran rutin dan
total pengeluaran pembangunan. Hasil dari indeks kapasitas fiskal
menunjukkan seberapa besar hasil yang didapatkan oleh setiap
penduduk dalam setiap daerah. Jika hasilnya tinggi, maka
kapasitas fiskalnya tinggi. Kapasitas fiskal dapat dihitung dengan
cara :
SkaFPjabar = PDRBJabar/JumlahPendudukJabar
JumlahKabupaten/Kota
KaFkKdepok = PDRBDepok/JumlahPenduduk
SKaFPJabar
Keterangan:
SKaFPJabar : Rata-rata kapasitas fiskal se-jawa barat
KaFkKDepok : Kapasitas fiskal Kota Depok
Berdasarkan hasil perhitungan kapasitas fiskal se-Jawa Barat dan
Kota Depok, maka kondisi kapasitas fiskal se-Jawa Barat dan Kota
Depok dapat dilihat pada tabel 4.11.
Dari tabel 4.11 dapat dilihat, dari tahun 1998 sampai 2008 rata-
rata kapasitas fiskal standar Jawa Barat adalah Rp 22.200,28 sedangkan
kapasitas fiskal Kota Depok 346,96.
Apabila dilihat dari rata-rata, kapasitas fiskal sebelum otonomi
daerah dan pada masa otonomi daerah terlihat mengalami penurunan,
yaitu dari 361,96 pada era sebelum otonomi daerah menjadi 341,33
pada era otonomi daerah. Bila dilihat dari rata-rata kapasitas fiskal
66
Kota Depok, dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang terlalu
jauh antara rata-rata sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi
daerah.
Namun demikian, pada masa otonomi daerah ini pun kapasitas
fiskal di Kota Depok masih lebih kecil daripada kebutuhan fiskal Kota
Depok. Selisih kurang tersebut diharapkan dapat ditutup melalui
mekanisme transfer dari pemerintah pusat. Dengan demikian Kota
Depok masih tergantung kepada bantuan dari pusat
Berdasarkan Hasil uji t-test, ditemukan hasil t hitung sebesar
1,297. Karena hasilnya > 0,05 maka H○ diterima, sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kapasitas fiskal di Kota
Depok baik sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah.
Tabel 4.11
Kapasitas Fiskal Se-Jawa Barat
dan Kapasitas Fiskal Kota Depok
Tahun 1998 - 2008
Kapasitas Fiskal Kapasitas Fiskal
Se-Jawa Barat Kota Depok Persentase Tahun Anggaran
(SKaFP Jabar) (KaFK Depok)
1998 16436,21 364,60 2,21
1999 17546,69 362,69 2,06
2000 18910,43 358,60 1,89
2001 19584,21 306,69 1,56
2002 24049,83 314,31 1,31
67
2003 24632,33 323,41 1,31
2004 23726,62 333,51 1,40
2005 23103,53 345,57 1,49
2006 24449,29 356,64 1,45
2007 25403,38 368,58 1,45
2008 26360,67 381,88 1,44
Rata-rata 22200,28 346,96 1,56
Rerata sebelum otda 17631,11 361,96 2,05
Rerata pada masa otda 23913,73 341,33
1,43
Sumber: Data diolah
4) Celah Fiskal (Fiscal Gap)
Celah fiskal merupakan kebutuhan daerah yang dikurangi
dengan kapasitas fiskal daerah, dimana kebutuhan daerah dihitung
berdasarkan variabel-variabel yang ditetapkan undang-undang
sedangkan perhitungan kapasitas fiskal didasarkan atas Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi hasil yang diterima daerah.
Celah Fiskal dapat dihitung dengan cara :
Celah Fiskal Jabar : SKbFP Jabar – SKaFPJabar
Celah Fiskal Depok : SKbFP depok – KaFkKDepok
Keterangan :
SKbFP jabar: Rata-rata kebutuhan fiskal standart se-jawa barat
SKaFPJabar: Rata-rata kapasitas fiskal se-jawa barat
SKbFP depok: Kebutuhan fiskal Kota Depok
68
KaFkKDepok: Kapasitas fiskal Kota Depok
Perhitungan celah fiskal dapat dilihat pada tabel 4.12. Dari tabel
4.12 dapat dilihat bahwa rata-rata celah fiskal Jawa Barat adalah -
18.540,63. Sedangkan rata-rata celah fiskal Jawa Barat pada masa
otonomi daerah yaitu -19.744,84 dan rata-rata celah fiskal Jawa Barat
sebelum otonomi daerah sebesar -15.329,40.
Tabel 4.12
Celah Fiskal Se-Jawa Barat
dan Celah Fiskal Kota Depok
Tahun Anggaran 1998 – 2008
Tahun Anggaran Celah Fiskal
Jawa Barat
Celah Fiskal
Kota Depok
Persentase
1998 -14429,39 -147,73 1,02
1999 -15253,47 -117,79 0,77
2000 -16305,35 90,63 -0,55
2001 -16787,23 827,71 -4,93
2002 -20167,66 1140,65 -5,65
2003 -20988,01 2632,78 -12,54
2004 -19827,35 3097,50 -15,62
2005 -18849,98 3491,15 -18,52
2006 -19419,31 4394,57 -22,62
2007 -20516,31 5701,01 -27,78
2008 -21402,90 6474,35 -30,24
Rata-rata -18540,63 2507,72 -12,43
Rerata Sebelum Otda -15329,40 -58,30 0,41
69
Rerata Pada Masa Otda -19744,84 3469,97 -17,24
Sumber : Data Diolah
Rata-rata celah fiskal di Kota Depok sebesar 2.507,72 sedangkan
rata-rata celah fiskal Kota Depok sebelum otonomi daerah adalah -
58,30 dan rata-rata celah fiskal Kota Depok pada masa otonomi daerah
adalah 3.469,97.
Berdasarkan Hasil uji t-test, ditemukan hasil t hitung sebesar -
2,947. Karena hasilnya < 0,05 maka H○ ditolak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan celah fiskal di Kota Depok
sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah. Artinya
celah fiskal Kota Depok setelah otonomi daerah dapat dikatakan lebih
baik daripada sebelum otonomi daerah.
5) Upaya Fiskal (Fiscal Effort)
Upaya fiskal dihitung dengan mencari koefisien elastisitas
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Produk Domestik Bruto (PDRB)
dengan rata-rata pertumbuhan selama kurun waktu tertentu.
Tabel 4.13
Upaya Fiskal Kota Depok
Tahun Anggaran 1998 – 2008
(berdasarkan harga berlaku)
Tahun PAD PDRB
(harga berlaku)
persentase
70
1998 7.566.866.368,00 28.433.490.000,90 26,61
1999 11.463.019.000,00 30.881.800.000,37 37,11
2000 13.453.000.000,00 34.893.130.000,42 38,55
2001 41.174.809.473,00 41.188.820.000,01 99,96
2002 31.101.240.410,00 48.626.160.000,01 63,95
2003 41.165.629.524,00 55.650.950.000,82 73,97
2004 43.702.436.417,00 63.314.230.000,67 69,02
2005 64.060.869.669,00 75.416.660.000,15 84,94
2006 68.631.174.736,00 89.677.790.000,01 76,53
2007 75.457.361.774,00 92.568.230.000,53 81,51
2008 97.139.989.566,00 97.826.450.000,48 99,29
Rata-rata 64,44
Rerata Sebelum Otda 31,04
Rerata Pada Masa Otda 81,15
Sumber : Data Diolah
Dari tabel 4.13 dapat dilihat upaya fiskal Kota Depok dengan
harga berlaku memiliki rata-rata 64,44%. Sedangkan rata-rata upaya
fiskal Kota Depok sebelum otonomi daerah adalah sebesar 31,04% dan
pada masa otonomi daerah upaya fiskal Kota Depok sebesar 81,15%.
Berdasarkan Hasil uji t-test, ditemukan hasil t hitung sebesar -
5,790. Karena hasilnya < 0,05 maka H○ ditolak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan upaya fiskal dengan harga
berlaku di Kota Depok sebelum otonomi daerah dan pada masa
71
otonomi daerah. Artinya upaya fiskal dengan harga berlaku di Kota
Depok setelah otonomi daerah lebih baik dibandingkan sebelum
otonomi daerah.
Tabel 4.14
Upaya Fiskal Kota Depok
Tahun Anggaran 1998 – 2008
(berdasarkan harga konstan)
Tahun PAD PDRB
(Harga Konstan)
Persentase
1998 7.566.866.368,00 32.889.310.000,45 23,01
1999 11.463.019.000,00 33.420.820.000,42 34,29
2000 13.453.000.000,00 34.893.130.000,42 38,55
2001 41.174.809.473,00 36.947.220.000,33 111,44
2002 31.101.240.410,00 39.202.320.000,26 79,33
2003 41.165.629.524,00 41.697.550.000,44 98,72
2004 43.702.436.417,00 44.408.760.000,83 98,41
2005 64.060.869.669,00 47.500.340.000,10 134,86
2006 68.631.174.736,00 50.661.290.000,06 135,47
2007 75.457.361.774,00 54.182.460.000,94 139,26
2008 97.139.989.566,00 57.423.900.000,27 169,16
Rata-rata 90,04
Rerata Sebelum Otda 28,48
Rerata Pada Masa Otda 120,83
Sumber : Data Diolah
72
Dari tabel 4.14 dapat dilihat bahwa rata-rata upaya fiskal Kota
Depok dengan harga konstan adalah 90,04%. Sedangkan sebelum
otonomi daerah rata-rata upaya fiskal Kota Depok adalah 28,48% atau
lebih kecil dari rata-rata upaya fiskal Kota Depok pada masa otonomi
daerah yang sebesar 120,83% berdasarkan harga konstan.
Berdasarkan Hasil uji t-test, ditemukan hasil t hitung sebesar -
5,077. Karena hasilnya < 0,05 maka H○ ditolak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan upaya fiskal berdasarkan harga
konstan di Kota Depok sebelum otonomi daerah dan pada masa
otonomi daerah.
6) Rasio Aktivitas (keserasian)
Rasio aktivitas (keserasian) dapat dilihat dengan melakukan
perhitungan rasio belanja rutin terhadap total pengeluaran dan rasio
belanja pembangunan terhadap total pengeluaran. Hasil perhitungan
terhadap rasio aktivitas dapat kita lihat dalam tabel 4.15.
Berdasarkan tabel 4.15 terlihat bahwa rata-rata rasio belanja
rutin terhadap total pengeluaran daerah selama kurun waktu tahun
1998-2002 sebesar 55,48%. Dengan rasio sebesar itu menyebabkan
rasio belanja pembangunan terhadap total pengeluaran daerah
menjadi kecil, yaitu sebesar 43,64%. Angka tersebut menunjukkan
bahwa sebagian besar total pengeluaran daerah Kota Depok sebagian
besar terserap untuk belnja rutin yang digunakan untuk membiayai
73
keperluan daerah. Sedangkan belanja pembangunan yang digunakan
untuk proyek pembangunan yang dapat digunakan oleh masyarakat
secara langsung hanya mendapat porsi yang lebih kecil.
Tabel 4.15
Rasio Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan
Terhadap Total Pengeluaran Daerah di Kota Depok
Tahun Anggaran 1998 sampai Tahun Anggaran 2002
(dalam persen)
Rasio Belanja Rutin Rasio Belanja Pemb.
thd Total Pengeluaran thd Total Pengeluaran Tahun Anggaran
Daerah Daerah
1998 59,48 39,15
1999 61,32 38,68
2000 46,69 50,30
2001 56,31 43,69
2002 53,61 46,39
Rata-Rata 55,48 43,64
Rerata Sebelum Otda 55,83 42,71
Rerata Pada Masa Otda 54,96 45,04
Sumber: data diolah
Apabila dibandingkan perubahan rata-rata rasio belanja rutin
pada era sebelum otonomi daerah (1998-2000) dengan pada masa
otonomi daerah (2001-2002), terlihat bahwa di Kota Depok mengalami
kenaikan. Rata-rata rasio belanja rutin terhadap total pengeluaran
74
daerah Kota Depok sebelum otonomi daerah yaitu 55,83% dan rata-
rata rasio belanja pembangunan terhadap total pengeluaran daerah
sebesar 42,71%. Sedangkan pada masa otonomi daerah, Kota Depok
memiliki rata-rata rasio belanja rutin terhadap total pengeluaran
daerah sebesar 54,96% dan rata-rata rasio belanja pembangunan
terhadap total pengeluaran daerah sebesar 45,04%.
Berdasarkan Hasil uji t-test, ditemukan hasil t hitung sebesar
0,144 untuk rasio aktivitas belanja rutin dan -0,466 untuk rasio aktivitas
belanja aparatur pemerintah. Karena hasilnya > 0,05 maka H○ diterima,
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara
rasio aktivitas di Kota Depok sebelum otonomi daerah dan pada masa
otonomi daerah, baik rasio belanja publik maupun rasio belanja
aparatur pemerintah.
Tabel 4.16
Rasio Belanja Publik dan Belanja Aparatur Pemerintah
Terhadap Total Pengeluaran Daerah di Kota Depok
Tahun Anggaran 2003 sampai Tahun Anggaran 2005
(dalam persen)
Tahun Rasio Belanja Publik Rasio Belanja
Aparatur Pemerintah
2003 67,67 29,26
2004 66,83 31,92
2005 68,32 30,38
75
Rata-rata 67,61 30,52
Sumber : Data Diolah
Dalam anggaran berbasis kinerja (performance budgetting)
sebagaimana yang diterapkan antara tahun 2003 – 2005 dikenal dua
jenis belanja (pengeluaran). Pertama, belanja aparatur pemerintah
yang kemanfaatannya dirasakan secara langsung oleh aparatur daerah,
tetapi tidak secara langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Kedua,
belanja publik yang kemanfaatannya memang dirasakan langsung oleh
masyarakat luas.
Berdasarkan tabel 4.16 dapat dilihat rata-rata rasio belanja
publik terhadap total pengeluaran daerah selama kurun waktu tahun
2003 – 2005 adalah 67,61%. Sedangkan rasio belanja aparatur
pemerintah terhadap total pengeluaran daerah adalah sebesar 30,52%.
Sedangkan pada tahun 2006 sampai tahun 2008 struktur belanja
Kota Depok mengalami perubahan, dari belanja publik dan belanja
aparatur pemerintah menjadi belanja langsung dan belanja tidak
langsung.
Tabel 4.17
Rasio Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung
Terhadap Total Pengeluaran Daerah di Kota Depok
Tahun Anggaran 2006 sampai Tahun Anggaran 2008
(dalam persen)
76
Tahun Rasio Belanja Langsung Rasio Belanja Tidak Langsung
2006 51,82 46,01
2007 52,57 45,98
2008 50,43 48,28
Rata-rata 51,61 46,76
Sumber : Data Diolah
Hasil perhitungan rasio belanja langsung dan belanja tidak
langsung terhadap total pengeluaran daerah di kota depok dapat
dilihat ditabel 4.17.
Dari tabel 4.17 dapat dilihat bahwa rata-rata rasio belanja
langsung terhadap total pengeluaran daerah adalah 51,61% atau lebih
besar dari rasio belanja tidak langsung terhadap total pengeluaran
daerah sebesar 46,76%.
7) Efektifitas PAD (Analisis Target dan Realisasi PAD)
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah
daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang
direncanakan dibandingkan dengan target yang ditentukan
berdasarkan potensi daerah. Kemampuan daerah dalam menjalankan
tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal sebesar
1 (satu) atau 100% ( seratus persen). Semakin tinggi rasio efektivitas,
menggambarkan kemampuan keuangan daerah yang semakin baik.
77
Tabel 4.18 menunjukkan bahwa untuk pos pajak daerah di Kota
Depok sebelum otnomi daerah mempunyai rata-rata efektivitas PAD
sebesar 107,96% sedangkan rata-rata efektivitas pada masa otonomi
daerah sebesar 107,85%. Pos pajak daerah sudah memenuhi target
yang ditetapkan sehingga mempunyai rasio efektivitas di atas 100%,
dan rata-rata rasio aktivitas pada masa daerah mengalami peningkatan
bila dibandingkan dengan era sebelum otonomi daerah.
Tabel 4.18
Rata-rata Efektivitas PAD Kota Depok
Sebelum Otonomi Daerah dan Selama Otonomi Daerah
(dalam persen)
SumberS
Sumber : Data diolah
Pos retribusi daerah di Kota Depok sebelum otonomi daerah
mempunyai rata-rata efektivitas PAD sebesar 107,49%, lebih rendah
bila dibandingkan dengan rata-rata efektifitas PAD pada masa otonomi
daerah yaitu sebesar 106,76%. Pos retribusi daerah juga sudah
Rata-rata Efektivitas PAD Bagian PAD
Sebelum Otda Selama Otda
Pajak Daerah 107,96 107,85
Retribusi Daerah 107,49 106,76
Bagian Laba BUMD 103,49 98,98
Lain-lain Pendapatan 104,83 98,21
78
memenuhi target yang ditetapkan sehingga mempunyai rasio
efektivitas diatas 100%.
Untuk pos laba Badan Usaha Milik Daerah di Kota Depok
sebelum otonomi daerah mempunyai rata-rata efektivitas PAD sebesar
103,49% sehingga belum dapat memenuhi target yang telah
ditetapkan. Pada masa otonomi daerah, pos laba Badan Usaha Milik
Daerah sudah dapat memnuhi target yang ditetapkan dan mengalami
peningkatan rata-rata efektifitas PAD menjadi 98,98%.
Untuk pos lain-lain pendapatan di Kota Depok sebelum otonomi
daerah mempunyai rata-rata efektivitas PAD sebesar 104,83% dan
pada masa otonomi daerah mempunyai rata-rata efektivitas PAD
sebesar 98,21%. Pos lain-lain pendapatan baik di era sebelum maupun
pada masa otonomi daerah sudah dapat memenuhi target yang
ditetapkan serta mengalami peningkatan rata-rata efektivitas PAD
setelah ada otonomi daerah.
Berdasarkan Hasil uji t-test, ditemukan hasil t hitung sebesar
1,090. Karena hasilnya > 0,05 maka H○ diterima, sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan efektifitas PAD di Kota
Depok baik sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah.
b. Uji Hipotesis 2
Kemandirian Keuangan Daerah dan Pola Hubungan
79
Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan
pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah
membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang
diperlukan daerah. Pola hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan
keuangan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan
pembangunan. Ada empat macam pola hubungan (Paul Hersey dan
Kenneth Blanchard dalam Abdul Halim, 2004 : 188) yang
memperkenalkan ”hubungan situasional” yang dapat digunakan dalam
pelaksanaan otonomi daerah, antara lain :
1) Pola Hubungan Instruktif, peranan pemerintah pusat lebih
dominan daripada kemandirian pemerintah daerah. (Daerah yang
tidak mampu melaksanakan otonomi daerah)
2) Pola Hubungan Konsultatif, campur tangan pemerintah pusat
sudah mulai berkurang, karena daerah telah dianggap sedikit lebih
mampu melaksanakan otonomi daerah.
3) Pola Hubungan Partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin
berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat
kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan
otonomi daerah.
4) Pola Hubungan Delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah
tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri
dalam melaksanankan urusan otonomi daerah.
80
Bertolak dari teori diatas, karena adanya potensi sumber daya
alam dan sumber daya manusia yang berbeda, akan terjadi pula
perbedaan pola hubungan dan tingkat kemandirian antar daerah.
Untuk menguji hipotesis II dengan menghitung Rasio Kemandiran
dengan rumus sebagai berikut (Abdul Halim, 2004;284) :
Rasio Kemandirian = Pendapatan Asli Daerah x 100%
Bantuan + Sumbangan + Pinjaman
Tabel 4.19
Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah
Kemampuan Keuangan Kemandirian (%) Pola Hubungan
Rendah Sekali 0% - 25% Instruktif
Rendah 25% - 50% Konsultatif
Sedang 50% - 75% Partisipatif
Tinggi 75% - 100% Delegatif
Sumber : Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Edisi Revisi. (Abdul Halim, 2004 : 189)
Hasil perhitungan tentang tingkat kemandirian daerah sebelum
otonomi daerah (tahun 1998 – 2000) dan sesudah otonomi daerah
(tahun 2001 – 2008) dapat dilihat pada tabel 4.20 berikut :
Tabel 4.20
81
Pola Hubungan dan Tingkat Kemandirian Kota Depok Selama Kurun Waktu 1998 – 2008
(dalam persen)
Rasio Kemampuan Pola Tahun
Kemandirian Keuangan Hubungan
1998 45,62 Rendah konsultatif
1999 39,46 Rendah Konsultatif
2000 34,68 Rendah Konsultatif
2001 52,32 Sedang Partisipatif
2002 53,66 Sedang Partisipatif
2003 55,66 Sedang Partisipatif
2004 50,58 Sedang Partisipatif
2005 52,98 Sedang Partisipatif
2006 58,31 Sedang Partisipatif
2007 59,34 Sedang Partisipatif
2008 59,30 Sedang Partisipatif
rata-rata 51,08
rata-rata sblm otda 39,92
rata-rata pada masa otda 55,27
Sumber : data diolah.
Berdasarkan tabel 4.20 dapat dilihat bahwa Kota Depok
mempunyai rata-rata tingkat kemandirian yang dikategorikan sedang.
Rata-rata tingkat kemandirian sebelum otonomi daerah di Kota Depok
sebesar 39,92%, lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata
tingkat kemandirian sesudah otonomi daerah yaitu 55,27%. Dari hasil
rasio kemandirian dapat dikatakan bahwa Kota Depok memiliki pola
82
hubungan partisipatif (peranan Pemerintah Pusat semakin berkurang,
mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya
mendekati mampu melaksanakan urusan Otonomi Daerah).
Berdasarkan Hasil uji t-test, ditemukan hasil t hitung sebesar -
5,730. Karena hasilnya < 0,05 maka H○ ditolak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rasio kemandirian di Kota
Depok sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah.
Artinya rasio kemandirian di Kota Depok setelah otonomi daerah dapat
dikatakan lebih baik daripada sebelum otonomi daerah.
c. Uji Hipotesis 3
1) Jumlah Sisa Pokok Pinjaman Daerah
Persyaratan pinjaman daerah telah diatur dalam pasal 54 UU
No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan
Daerah. Dalam pasal ini telah disebutkan bahwa jumlah Sisa Pokok
Pinjaman ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi
75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD
tahun sebelumnya. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal 54 huruf (a) UU
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan
Daerah diuraikan bahwa arti penerimaan umum APBD tahun
sebelujmnya adalah seluruh penerimaan APBD tidak termasuk Dana
Alokasi Khusus, Dana Darurat, Dana Pinjaman Lama, dan Penerimaan
Lain yang kegunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran
83
tertentu. Hasil perhitungan Sisa Pokok Pinjaman di Kota Depok
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.21.
Pada tabel 4.21 dapat diketahui pada era sebelum otonomi
daerah rata-rata jumlah Sisa Pokok Pinjaman Kota Depok sebesar
0,45%. Sedangkan rata-rata jumlah Sisa Pokok Pinjaman sesudah
otonomi daerah di Kota Depok adalah sebesar 0,18.
Tabel 4.21
Hasil Perhitungan Jumlah Sisa Pokok Pinjaman
Kota Depok Tahun Anggaran 1997/1998 – 2008 (persen)
Tahun Jumlah Sisa Pokok Pinjaman
1998 -
1999 0,83
2000 0,51
2001 0,31
2002 0,11
2003 0,36
2004 0,02
2005 0,17
2006 0,19
2007 0,11
2008 0,15
Rata-Rata 0,25
Rerata Sebelum Otda 0,45
Rerata Pada Masa Otda 0,18
Sumber : Data diolah
84
Besarnya jumlah sisa pokok pinjaman sebelum dan sesudah
otonomi daerah yaitu 0,25%. Presantase ini masih relatif kecil
dibandingkan dengan batasan 75% sebagaimana yang telah diatur
dalam pasal 54 UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pusat dan Daerah. Dari tabel 4.21 dilihat bahwa jumlah sisa
pokok pinjaman cenderung menurun.
Berdasarkan Hasil uji t-test, ditemukan hasil t hitung sebesar
4,761. Karena hasilnya < 0,05 maka H○ ditolak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan jumlah sisa pokok pinjaman di
Kota Depok sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah.
Artinya jumlah sisa pokok pinjaman di Kota Depok setelah otonomi
daerah dapat dikatakan lebih baik daripada sebelum otonomi daerah.
2) Debt Service Coverage Ratio (DSCR)
Kemampuan daerah untuk mendapatkan pinjaman daerah
jangka panjang menurut penjelasan pasal 54 huruf (b) UU No.33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah dapat
diukur dengan cara menghitung Debt Service Coverage Ratio (DSCR).
Dalam PP No. 107 tahun 2000 disebutkan bahwa batasan DSCR adalah
minimal 2,5 (dua setengah). DSCR menunjukan kemampuan Keuangan
Daerah untuk membayar pokok pinjaman dan bunganya. Pada tabel
4.22 dapat diketahui bahwa pada era sebelum otonomi daerah rata-
rata Debt Service Coverage Ratio (DSCR) adalah sebesar 110,59.
85
Sedangkan pada masa setelah otonomi daerah rata-rata Debt Service
Coverage Ratio (DSCR) adalah sebesar 40,97.
Besarnya Debt Service Coverage Ratio (DSCR) sebelum dan
sesudah otonomi daerah tersebut juga lebih besar dibandingkan
dengan ketentuan dalam UU No.34 Tahun 2004 dengan batas minimal
yang disyaratkan yaitu lebih besar atau sama dengan dua setengah (
≥2,5 ). Dari tabel 4.22 dapat dilihat bahwa Kota Depok belum
memanfaatkan sumber penerimaan yang berasal dari pinjaman daerah.
Padahal pinjaman daerah, terutama pinjaman jangka panjang
merupakan salah satu alternatif bagi daerah untuk mengurangi
ketergantungan terhadap transfer dari pusat, yaitu dengan
mengoptimalkan pinjaman daerah yang didapat untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.
Tabel 4.22
Hasil Perhitungan Debt Service Coverage Ratio (DSCR) Kota Depok Tahun 1997/1998 – 2008
Tahun Debt Service Coverage Ratio
(DSCR)
1998 106,5
1999 106,8
2000 118,95
2001 41,16
2002 44,54
2003 -
86
2004 -
2005 114,76
2006 -
2007 57,38
2008 69,97
Rata-Rata 59,96
Rerata Sebelum Otda 110,59
Rerata Pada Masa Otda 40,97
Sumber : Data diolah
Keterangan: tanda (–) berarti daerah tidak mempunyai Pinjaman, Bunga dan Biaya lain yang jatuh tempo sehingga tidak memiliki DSCR.
Berdasarkan Hasil uji t-test, ditemukan hasil t hitung sebesar
2,858. Karena hasilnya < 0,05 maka H○ ditolak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan Debt Service Coverage Ratio
(DSCR) di Kota Depok sebelum otonomi daerah dan pada masa
otonomi daerah. Artinya jumlah Debt Service Coverage Ratio (DSCR) di
Kota Depok setelah otonomi daerah dapat dikatakan lebih baik
daripada sebelum otonomi daerah.
Beberapa penyebab kenapa daerah belum bisa
mengoptimalkan pinjaman daerah antara lain karena lemahnya
kinerja BUMD dalam menjalankan usahanya sehingga sering merugi
sehingga menunggak mengembalikan pinjaman, juga karena sumber
87
dana dari penerbitan obligasi daerah belum dapat dimanfaatkan
karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap perusahaan dan
pemerintah daerah. Penyebab lain adalah belum terbentuknya
lembaga pasar modal yang mampu menyediakan dana secara
murah dan mudah diperoleh oleh pemerintah daerah, sehingga
daerah tergantung pada pemerintah pusat dalam memperoleh dana
pinjaman daerah.
88
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan sebelumnya, maka
penelitian ini dapat dibuat kesimpulan-kesimpulan dan saran-saran
sebagai berikut :
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab sebelumnya,
penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. a) Hasil perhitungan derajat desentralisasi fiskal dengan
menggunakan rasio PAD (Pendapatan Asli Daerah)
terhadap TPD (Total Pendapatan Daerah) menunjukan
bahwa pada era sebelum otonomi daerah selama kurun
waktu 1998-2000, Kota Depok mempunyai kemampuan
keuangan daerah yang dikategorikan cukup. Sedangkan
pada era otonomi daerah selama kurun waktu 2001-
2008, Kota Depok mempunyai kemampuan keuangan
daerah yang dikategorikan kurang. Berdasarkan hasil uji
t-test menunjukkan t hitung sebesar -9,838. Karena
hasilnya < 0,05 maka H○ ditolak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kondisi keuangan
daerah di Kota Depok sebelum otonomi daerah dan pada
masa otonomi daerah. Artinya desentralisasi fiskal di
89
Kota Depok pada masa otonomi daerah lebih baik
dibandingkan sebelum otonomi daerah.
b) Berdasarkan perhitungan kebutuhan fiskal, diketahui
bahwa pada era sebelum otonomi daerah, rata-rata
kebutuhan fiskal se-Jawa Barat sebesar Rp 2.115,71
sedangkan kebutuhan fiskal Kota Depok sebesar 281,74.
Sedangkan Pada masa otonomi daerah rata-rata
kebutuhan fiskal se-Jawa Barat sebesar Rp 4.168,88 dan
kebutuhan fiskal Kota Depok pada masa otonomi daerah
sebesar 3811,29. Berdasarkan Hasil uji t-test, ditemukan
hasil t hitung sebesar -2,892. Karena hasilnya < 0,05
maka H○ ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan kebutuhan fiskal di Kota Depok
sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah.
Kebutuhan fiskal Kota Depok setelah otonomi daerah
dapat dikatakan lebih baik daripada sebelum otonomi
daerah.
c) Kapasitas Fiskal Kota Depok sebelum otonomi daerah
dan pada masa otonomi daerah terlihat mengalami
penurunan, yaitu dari 361,96 pada era sebelum otonomi
daerah menjadi 341,33 pada saat era otonomi daerah.
Namun demikian, di era otonomi daerah inipun kapasitas
fiskal di Kota Depok masih lebih kecil daripada
kebutuhan fiskal Kota Depok. Selisih tersebut
90
diharapkan dapat ditutup melalui mekanisme transfer
dari pemerintah pusat. Dengan demikian Kota Depok
masih tergantung kepada bantuan dana dari pusat.
Berdasarkan Hasil uji t-test, ditemukan hasil t hitung
sebesar 1,297. Karena hasilnya > 0,05 maka H○
diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat perbedaan kapasitas fiskal di Kota Depok baik
sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah.
d) Celah Fiskal Kota Depok memilik rata-rata sebesar
65,04 sedangkan celah fiskal Se-Jawa Barat memiliki
rata-rata -18.540,63. pada masa sebelum otonomi daerah
celah fiskal Kota Depok adalah sebesar 10,85 sedangkan
pada masa otonomi daerah adalah sebesar 85,35.
Provinsi Jawa Barat sebelum otonomi daerah memiliki
rata-rata celah fiskal sebesar -15.329,40. Dan pada masa
otonomi daerah sebesar -19.744,84. Berdasarkan Hasil
uji t-test, ditemukan hasil t hitung sebesar -2,947. Karena
hasilnya < 0,05 maka H○ ditolak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan celah fiskal di
Kota Depok sebelum otonomi daerah dan pada masa
otonomi daerah. Artinya celah fiskal Kota Depok setelah
otonomi daerah dapat dikatakan lebih baik daripada
sebelum otonomi daerah.
91
e) Berdasarkan perhitungan upaya fiskal Kota Depok
dengan harga berlaku, Kota Depok memiliki rata-rata
sebesar 31,04 sebelum otonomi daerah dan meningkat
menjadi 81,15 pada masa otonomi daerah. Berdasarkan
Hasil uji t-test, ditemukan hasil t hitung sebesar -5,790.
Karena hasilnya < 0,05 maka H○ ditolak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan upaya fiskal
dengan harga berlaku di Kota Depok sebelum otonomi
daerah dan pada masa otonomi daerah. Artinya upaya
fiskal dengan harga berlaku di Kota Depok setelah
otonomi daerah lebih baik dibandingkan sebelum
otonomi daerah. Sedangkan upaya fiskal berdasarkan
harga konstan, Kota Depok memiliki rata-rata sebesar
28,48 sebelum otonomi daerah dan meningkat menjadi
120,83 pada masa otonomi daerah. Berdasarkan Hasil uji
t-test, ditemukan hasil t hitung sebesar -5,077. Karena
hasilnya < 0,05 maka H○ ditolak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan upaya fiskal
berdasarkan harga konstan di Kota Depok sebelum
otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah.
f) Berdasarkan perhitungan rasio aktivitas (keserasian),
dibedakan menjadi tiga jebis yang pertama adalah
berdasarkan rasio belanja rutin dan belanja
pembangunan dari tahun 1998 – 2002. Rasio belanja
92
rutin memiliki rata-rata sebesar 55,83% sebelum
otonomi daerah dan 54,96% pada masa otonomi daerah.
Sedangkan belanja pembangunan memiliki rata-rata
sebesar 42,71% sebelum otonomi daerah dan pada masa
otnomi daerah memiliki rata-rata sebesar 45,04%.
Berdasarkan Hasil uji t-test, ditemukan hasil t hitung
sebesar 0,144 untuk rasio aktivitas belanja rutin dan -
0,466 untuk rasio aktivitas belanja aparatur pemerintah.
Karena hasilnya > 0,05 maka H○ diterima, sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan
antara rasio aktivitas di Kota Depok sebelum otonomi
daerah dan pada masa otonomi daerah, baik rasio belanja
publik maupun rasio belanja aparatur pemerintah.
Sedangkan pada tahun 2003 – 2005 anggarannya
berubah nama menjadi belanjapublik dan belanja
aparatur pemerintah. Rata-rata belanja publik sebesar
67,61% dan belanja aparatur pemerintah sebesar
30,52%. Pada tahun 2006 – 2008 berubah menjadi
belanja langsung dan belanja tidak langsung. Rata-rata
belanja langsung sebesar 51,61% dan belanja tidak
langsung sebesar 46,76%.
g) Berdasarkan hasil perhitungan efektifitas PAD, sebelum
otonomi daerah Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan
Bagian Laba BUMD telah memenuhi target dengan rasio
93
efektifitas diatas 100%. Sedangkan pada era otonomi
daerah bagian laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
dan Lain-Lain Pendapatan belum mampu memenuhi
target 100%. Berdasarkan Hasil uji t-test, ditemukan
hasil t hitung sebesar 1,090. Karena hasilnya > 0,05
maka H○ diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat perbedaan efektifitas PAD di Kota Depok
baik sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi
daerah.
2. Rata-rata tingkat kemandirian sebelum otonomi daerah di
Kota Depok sebesar 39,92% lebih rendah jika
dibandingkan dengan rata-rata tingkat kemandirian saat
otonomi daerah yaitu sebesar 55,27%. Dari hasil rasio
kemandirian dapat dikatakan bahwa Kota Depok
memiliki pola hubungan partisipatif. Berdasrakan
perhitungan uji t-test terhadap jumlah sisa pokok
pinjaman, ditemukan hasil t hitung sebesar 4,761.
Karena hasilnya < 0,05 maka H0 ditolak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan jumlah sisa
pokok pinjaman di Kota Depok pada masa otonomi
daerah dan sebelum otonomi daerah.
3. Berdasarkan hasil perhitungan kemampuan daerah dalam
melakukan pinjaman daerah jangka panjang,
menunjukkan bahwa Kota Depok masih memiliki
94
peluang untuk mengembangkan sumber-sumber
pembiayaan daerah untuk mengurangi ketergantungan
terhadap pemerintah pusat melalui pinjaman daerah
jangka panjang. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah Sisa
Pokok Pinjaman Daerah yang lebih kecil dibandingkan
dengan ketentuan UU No.33 Tahun 2004 yaitu sebesar
75% dan Debt Service Coverage Ratio (DSCR) yang
lebih besar dibandingkan dengan ketentuan UU No.33
Tahun 2004 yaitu ≥ 2,5. Berdasrakan perhitungan uji t-
test terhadap Debt Service Coverage Ratio (DSCR),
ditemukan hasil t hitung sebesar 2,858. Karena hasilnya
< 0,05 maka H0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan Debt Service Coverage Ratio
(DSCR) di Kota Depok pada masa otonomi daerah dan
sebelum otonomi daerah. Artinya Debt Service Coverage
Ratio (DSCR) di Kota Depok pada masa otonomi daerah
lebih baik di bandingkan sebelum otnomi daerah.
B. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, dalam rangka meningkatkan
penyelenggaraan otonomi daerah di Kota Depok anatara lain
disarankan sebagai berikut :
1. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah baik secara
intensifikasi maupun secara ekstensifikasi. Kebijakan
95
intensifikasi pajak dan retribusi daerah dilakukan dengan
cara memperbaiki kinerja pengelolaan dan pemungutan
pajak dan retribusi daerah. Sedangkan kebijakan
ekstensifikasi pajak dan retribusi daerah dilakukan dengan
mengidentifikasi potensi daerah sehingga peluang-peluang
baru untuk sumber penerimaan daerah dapat dicari.
2. Dengan mengoptimalkan penerimaan daerah dari pos
pinjaman daerah dan menggunakannnya untuk
meningkatkan penerimaan daerah dari Pendapatan Asli
Daerah, maka tingkat ketergantungan daerah terhadap
pemerintah pusat akan semakin kecil, misal dengan
mengembangkan potensi yang dimiliki oleh Kota Depok
sehingga bias mendatangkan retribusi daerah yang cukup
besar, atau digunakan sebagai investasi Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD).
3. Meskipun memiliki kapasitas pinjaman daerah yang cukup
besar namun sebaiknya Kota Depok bertindak hati-hati
dalam pengelolaan pinjaman tersebut supaya pinjaman
tersebut tidak menjadi beban baru dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun-tahun
berikutnya.
4. Diperlukan ahli yang mempunyai kemampuan untuk
mengkaji dan mengelola pinjaman daerah, ini diperlukan
96
untuk menghindari defisit Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah pada masa yang akan datang, hingga
akhirnya pinjaman daerah secara maksimal diperoleh tanpa
mengganggu neraca keuangan.
97
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim. 2001. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta :AMP YKPN.
__________.2004. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Edisi Revisi. Yogyakarta : AMP YKPN.
BPS Jawa Barat. (Beberapa Terbitan). Jawa Barat Dalam Angka. Bandung :
BPS Jawa Barat
BPS Kota Depok. (Beberapa Terbitan). Depok Dalam Angka. Depok : BPS Kota
Depok
BPS Kota Depok. (Beberapa Terbitan). Produk Domestik Regional Bruto Kota Depok. Depok : BPS Kota Depok
Bratakusumah dan Solihin. 2002. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Dasril Munir, dkk. 2004. Kebijakan dan Manajemen Keuangan Daerah.
Yogyakarta : YPAI.
Indra Bastian. 2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Yogyakarta : BPFE
UGM.
Josef Riwu Kaho. 1997. Prospek Otonomi Daerah di Negara Indonesia (Identifikasi Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya). Jakarta : Rajawali Press
98
Lincoln Arsyad. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta : BPFE UGM.
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta :
Andy Offset.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta : Andy Offset.
Mudrajad Kuncoro. 1995. “Desentralisasi Fiskal di Indonesia”. Jurnal Prisma. No
4. Jakarta
Mudrajad Kuncoro. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Jakarta :
Erlangga.
M. Suparmoko. 1992. Keuangan Daerah dalam Teori dan Praktek. Edisi Keempat, Cetakan Ketiga. Yogyakarta : BPFE UGM.
Piter Abdullah; Armida S. Alisjahbana; dkk. 2002. Daya Saing Daerah: Konsep dan Pengukurannya di Indonesia. Yogyakarta : BPFE UGM.
RA Musgrave dan PB Musgrave. 1993. Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek. Jakarta : Erlangga.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 202, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4022).
Republik Indonesia. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437).
99
Rpublik Indonesia. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438).
Robinso Tarigan. 2004. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi
Aksara.
Santoso, Rokhedi P. 2003. “Analisis Pinjaman Sebagai Potensi Pembiayaan Pembangunan Daerah: Studi Kasus Daerah Istimewa Yogyakarta”. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Volume VIII,No.2, 147-158.
Syaukani; Afan Gafar; dkk. 2003. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
ii
UJI INDEPENDT T-TEST DERAJAT DESENTRALISASI FISKAL
Group Statistics
TAHUN_AN N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Sebelum OTDA
4 4.2525 1.1787 .5893 PERSEN
Sesudah OTDA
8 11.4563 1.2030 .4253
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
Equal variances assumed
.011 .917 -9.838 10 .000 -7.2038 .7322PERSEN
Equal variances not assumed
-9.912 6.216 .000 -7.2038 .7268
UJI INDEPENDENT T-TEST KEBUTUHAN FISKAL
Group Statistics
TAHUN N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Sebelum OTDA
3 303.6633 126.84969 73.23670 DEPOK
Pada Masa OTDA
8 3811.2938 2030.11366 717.75357
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
iii
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
Equal variances assumed
4.610 .060 -2.892 9 .018 -3507.6304 1212.77695DEPOK
Equal variances not assumed
-4.862 7.144 .002 -3507.6304 721.48028
UJI INDEPENDENT T-TEST KAPSITAS FISKAL
Group Statistics
TAHUN N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Sebelum OTDA
3 361.9633 3.06529 1.76975 DEPOK
Pada Masa OTDA
8 341.3238 26.59626 9.40320
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
Equal variances assumed
6.630 .030 1.297 9 .227 20.6396 15.90969DEPOK
Equal variances not assumed
2.157 7.472 .065 20.6396 9.56829
UJI INDEPENDENT T-TEST CELAH FISKAL
iv
Group Statistics
TAHUN N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Sebelum OTDA
3 -58.2967 129.84015 74.96325 DEPOK
Pada Masa OTDA
8 3469.9650 2003.78438 708.44476
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
Equal variances assumed
4.559 .062 -2.947 9 .016 -3528.2617 1197.09830DEPOK
Equal variances not assumed
-4.953 7.154 .002 -3528.2617 712.39980
UJI INDEPENDENT T-TEST UPAYA FISKAL (HARGA BERLAKU)
Group Statistics
TAHUN N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Sebelum OTDA
3 33.9567 6.74734 3.89558 PERSEN
Pada Masa OTDA
8 81.1463 13.16512 4.65457
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
v
Equal variances assumed
1.355 .274 -5.790 9 .000 -47.1896 8.15000PERSEN
Equal variances not assumed
-7.775 7.449 .000 -47.1896 6.06964
UJI INDEPENDENT T-TEST UPAYA FISKAL (HARGA KONSTAN)
Group Statistics
TAHUN N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Sebelum OTDA
3 31.9500 8.02992 4.63608 PERSEN
Pada Masa OTDA
8 120.8313 29.00383 10.25440
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
Equal variances assumed
4.631 .060 -5.077 9 .001 -88.8813 17.50564PERSEN
Equal variances not assumed
-7.898 8.859 .000 -88.8813 11.25371
UJI INDEPENDENT T-TEST RASIO AKTIVITAS (BELANJA RUTIN)
Group Statistics
vi
TAHUN N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Sebelum OTDA
3 55.8300 7.96876 4.60076 PERSEN
Pada Masa OTDA
2 54.9600 1.90919 1.35000
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
Equal variances assumed
5.187 .107 .144 3 .894 .8700 6.02419PERSEN
Equal variances not assumed
.181 2.325 .871 .8700 4.79474
UJI INDEPENDENT T-TEST RASIO AKTIVITAS (BELANJA PEMBANGUNAN)
Group Statistics
TAHUN N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Sebelum OTDA
3 42.7100 6.57733 3.79742 PERSEN
Pada Masa OTDA
2 45.0400 1.90919 1.35000
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
Equal variances assumed
5.102 .109 -.466 3 .673 -2.3300 5.00465PERSEN
Equal variances not assumed
-.578 2.459 .612 -2.3300 4.03025
vii
UJI INDEPENDENT T-TEST EFEKTIVITAS PAD
Group Statistics
TAHUN N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Sebelum OTDA
4 105.9425 2.13834 1.06917 PERSEN
Pada Masa OTDA
4 102.9500 5.05815 2.52907
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
Equal variances assumed
41.824 .001 1.090 6 .318 2.9925 2.74579PERSEN
Equal variances not assumed
1.090 4.039 .336 2.9925 2.74579
UJI INDEPENDENT T-TEST RASIO KEMANDIRIAN
Group Statistics
TAHUN N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Sebelum OTDA
3 39.9200 5.48449 3.16647 PERSEN
Pada Masa OTDA
8 55.2688 3.39610 1.20070
viii
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
Equal variances assumed
.531 .485 -5.730 9 .000 -15.3488 2.67864PERSEN
Equal variances not assumed
-4.532 2.601 .027 -15.3488 3.38648
UJI INDEPENDENT T-TEST JUMLAH SISA POKOK PINJAMAN
Group Statistics
TAHUN N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Sebelum OTDA
2 .6700 .22627 .16000 PERSEN
Pada Masa OTDA
8 .1775 .11068 .03913
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
Equal variances assumed
2.432 .157 4.761 8 .001 .4925 .10344PERSEN
Equal variances not assumed
2.990 1.123 .183 .4925 .16472
ix
UJI INDEPENDENT T-TEST Debt Service Coverage Ratio (DSRC)
Group Statistics
TAHUN N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Sebelum OTDA 3 110.7500 7.10299 4.10091
DSCR
Pada Masa OTDA
8 40.9762 40.71443 14.39473
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
Equal variances assumed
3.088 .113 2.858 9 .019 69.7738 24.41445DSCR
Equal variances not assumed
4.662 7.998 .002 69.7738 14.96749
Efektifitas PAD Kota Depok Tahun Anggaran 1998 - 2008
PAJAK DAERAH RETRIBUSI DAERAH TAHUN
Target Realisasi Persentase Target Realisasi Persentase 1998 7785650000.00 8659805326.00 111.23 7684230000.00 8365206905.00 108.86 1999 9326780000.00 10327569803.00 110.73 8563201300.00 8875302164.21 103.64 2000 11680900000.00 11906546820.00 101.93 10690365000.00 11756432013.23 109.97 2001 14890850000.00 16359402805.00 109.86 11653230500.00 12038965241.56 103.31 2002 16955500000.00 18989797301.00 112.00 12617683750.00 13211537914.93 104.71 2003 22267500000.00 23588459511.39 105.93 15931916700.00 16544809595.62 103.85 2004 25894000000.00 27113855357.29 104.71 20395407280.00 23472219704.22 115.09 2005 28437148000.00 30589542164.00 107.57 27159878300.00 28683569216.38 105.61 2006 36171092061.00 38385172874.00 106.12 23861401400.00 19260036473.00 80.72
x
2007 40254327102.59 42395759461.00 105.32 22598079695.40 26051519089.00 115.28 2008 43538335236.92 48456451986.00 111.30 26267935664.00 32979350138.00 125.55
Rata-Rata 107.88 Rata-Rata 106.96 Rata-rata Sebelum Otonomi Daerah 107.96 Rata-rata Sebelum Otonomi Daerah 107.49 Rata-rata Selama Otonomi Daerah 107.85 Rata-rata Selama Otonomi Daerah 106.76
Efektifitas PAD Kota Depok Tahun Anggaran 1998 - 2008
LABA BUMD LAIN-LAIN PENDAPATAN TAHUN Target Realisasi Persentase Target Realisasi Persentase
1998 301650750.00 301965855.00 100.10 24610352210.00 23164985321.03 94.13 1999 279850635.00 300651258.62 107.43 22165903254.00 25632046921.30 115.64 2000 380056000.00 391203685.60 102.93 29630546800.00 31032685945.71 104.73 2001 365070000.00 415692031.65 113.87 35075065900.00 36089620312.56 102.89 2002 252600000.00 252610363.50 100.00 59005899904.00 53021168083.44 89.86 2003 761511617.00 816551606.07 107.23 13408374000.00 13408374000.00 100.00 2004 1040719067.75 1040719067.00 100.00 10411099000.00 10532549000.00 101.17 2005 1279902233.00 1279902233.00 100.00 13533200000.00 13533200000.00 100.00 2006 1661389352.00 1661389352.00 100.00 3000000000.00 3000000000.00 100.00 2007 26051519089.00 26051519089.00 100.00 169836404377.31 165673133768.00 97.55 2008 3756353155.00 2656353155.00 70.72 172366473898.00 162457932298.00 94.25
Rata-Rata 100.21 Rata-Rata 100.02 Rata-rata Sebelum Otonomi Daerah 103.49 Rata-rata Sebelum Otonomi Daerah 104.83 Rata-rata Selama Otonomi Daerah 98.98 Rata-rata Selama Otonomi Daerah 98.21
Pola Hubungan dan Tingkat Kemandirian Kota Depok Tahun 1998 - 2008
xi
TAHUN SUMBANGAN BANTUAN PINJAMAN TOTAL PAD Rasio
Kemandirian1998 9858320000.00 1775000000.00 4952230000.00 16585550000.00 7566866368.00 45.621999 9496617000.00 13053000000.00 6500000000.00 29049617000.00 11463019000.00 39.462000 4695230000.00 32461456000.00 1640351000.00 38797037000.00 13453000000.00 34.682001 3750000000.00 65200000000.00 9750000000.00 78700000000.00 41174809473.00 52.322002 960750000.00 50000000000.00 7000000000.00 57960750000.00 31101240410.00 53.662003 800000000.00 7954000000.00 65200000000.00 73954000000.00 41165629524.00 55.662004 855000000.00 84650200000.00 895000000.00 86400200000.00 43702436417.00 50.582005 8030000000.00 60580200000.00 52306500000.00 120916700000.00 64060869669.00 52.982006 1980000000.00 45872500000.00 69850000000.00 117702500000.00 68631174736.00 58.312007 4850000000.00 76506096437.31 45814800000.00 127170896437.31 75457361774.00 59.342008 2357650000.00 76562891218.00 84895372000.00 163815913218.00 97139989566.00 59.30
Rata-rata 51.08 Rata-rata Sebelum Otonomi Daerah 39.92 Rata-rata Pada Masa Otonomi Daerah 55.27
Rasio Aktivitas Kota Depok Tahun 1998 - 2002 (Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan)
TAHUN Belanja Rutin Belanja
Pembangunan APBD Rasio Belanja
Rutin Rasio Belanja
Pemb. 1998 19682549760.00 12953645000.00 33091205000.00 59.48 39.15 1999 22566274500.00 14233607500.00 36799882000.00 61.32 38.68 2000 43712700500.00 47095275000.00 93620290252.00 46.69 50.30 2001 136660860475.00 106039861489.00 242700721964.00 56.31 43.69 2002 181468788000.00 157027752000.00 338496540000.00 53.61 46.39
Rata-rata 55.48 43.64 Rata-rata Sebelum Otonomi Daerah 55.83 42.71
Rata-rata Pada Masa Otonomi Daerah 54.96 45.04 Rasio Aktivitas Kota Depok Tahun 2003 - 2005 (Belanja Publik dan Belanja Aparatur Pemerintah)
xii
TAHUN belanja publik aparatur pemerintah APBD Rasio Belanja
Publik Rs. Belanja Aparatur
2003 266073418825.00 115068719984.02 393162362119.02 67.67 29.262004 309157258770.00 147702546630.00 462589805400.00 66.83 31.922005 365036611078.12 162330083867.15 534250694945.27 68.32 30.38
Rata-rata 67.61 30.52 Rasio Aktivitas Kota Depok Tahun 2006 - 2008 (Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung)
TAHUN belanja langsung belanja tidak
langsung APBD Rasio Belanja
Langsung Rasio Belanja Tidak
Langsung
2006 357479305643.00 317423131022.97 689819605865.97 51.82 46.01 2007 475935413945.35 416296639203.89 905315660949.24 52.57 45.98 2008 526690499833.29 504267579607.10 1044286727640.39 50.43 48.28
Rata-rata 51.61 46.76
Kapasitas Fiskal Kota Depok Tahun Anggaran 1998 - 2008
Tahun PDRB Jabar PDRB Depok
Penduduk Jabar
Penduduk Depok
SKaFP Jateng
KaFK Depok
1998 16090290100000.00 32889310000 37652064.00 902062.00 16436.21 364.60
xiii
1999 16674171600000.90 33420820000 36549024.00 921464.00 17546.69 362.69 2000 17564507700000.70 34893130000 35724093.00 973036.00 18910.43 358.60 2001 18430414800000.80 36947220000 36195602.00 1204687.00 19584.21 306.70 2002 19193574200000.80 39202320000 30695203.00 1247233.00 24049.83 314.31 2003 21174782200000.30 41697550000 33062841.00 1289297.00 24632.33 323.41 2004 22334989100000.60 44408760001 36205663.00 1331559.00 23726.62 333.51 2005 23406224500000.40 47500340000 38965440.00 1374522.00 23103.53 345.58 2006 24881092200000.80 50661290000 39140812.00 1420480.00 24449.29 356.65 2007 27399500000000.10 54182460001 41483729.00 1470002.00 25403.38 368.59 2008 29652305200000.10 57423900000 43264206.00 1503677.00 26360.67 381.89
Rata-rata 22200.29 346.96 Rata-rata Sebelum Otonomi Daerah 17631.11 361.96
Rata-rata Pada Masa Otonomi Daerah 23913.73 341.33
Kebutuhan Fiskal Kota Depok Tahun Anggaran 1997 - 2008
Tahun penduduk Depok penduduk
JaBar Pengeluaran Jabar Pengeluaran Depok SKbFP JABAR
SKbFK DEPOK
1997 834556.00 39206787.00 1587923557800.00 18023521064.00 1557.74 215.961998 902062.00 37652064.00 1964587302000.00 19562859632.00 2006.82 216.861999 921464.00 36549024.00 2179184606543.00 22566274500.00 2293.22 244.892000 973036.00 35724093.00 2419664065812.00 43712700500.00 2605.08 449.242001 1204687.00 36195602.00 2632194865404.00 136660860475.00 2796.98 1134.402002 1247233.00 30695203.00 3098265148633.00 181468788000.00 3882.17 1454.972003 1289297.00 33062841.00 3132781224902.00 381142138819.02 3644.32 2956.202004 1331559.00 36205663.00 3670567300180.00 456859805400.00 3899.27 3431.012005 1374522.00 38965440.00 4309282267306.84 527366694945.27 4253.55 3836.722006 1420480.00 39140812.00 5118814954732.31 674902436665.97 5029.98 4751.222007 1470002.00 41483729.00 5271083679606.84 892232053149.24 4887.07 6069.592008 1503677.00 43264206.00 5576843216089.57 1030958079440.39 4957.77 6856.25
Rata-rata 3484.50 2634.78Rata-rata Sebelum Otonomi Daerah 2115.71 281.74
Rata-rata Pada Masa Otonomi Daerah 4168.89 3811.30
Top Related