ALIANSI PERTAHANAN TAIWAN-AMERIKA
SERIKAT DALAM MENGHADAPI ONE CHINA
POLICY PERIODE 2011-2014
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Alvia Syafiqa
1112113000041
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
1437 H/2016 M
i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul :
ALIANSI PERTAHANAN TAIWAN-AMERIKA SERIKAT DALAM
MENGHADAPI ONE CHINA POLICY PERIODE 2011-2014
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 14 Juni 2016
Alvia Syafiqa
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Alvia Syafiqa
NIM : 1112113000041
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
ALIANSI PERTAHANAN TAIWAN-AMERIKA SERIKAT DALAM
MENGHADAPI ONE CHINA POLICY PERIODE 2011-2014
Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 14 Juni 2016
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Badrus Sholeh, Dr., M.A.
NIP. 197202111999031002
Menyetujui,
Pembimbing,
Ahmad Syaifuddin Zuhri, S.IP., L.M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
ALIANSI PERTAHANAN TAIWAN-AMERIKA SERIKAT DALAM
MENGHADAPI ONE CHINA POLICY PERIODE 2011-2014
oleh
Alvia Syafiqa
1112113000041
telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6
Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.
Ketua Sidang,
Badrus Sholeh, Dr., M.A.
NIP 197202111999031002
Sekretaris Sidang,
Eva Mushoffa, MHSPS
Dosen Penguji I
M. Adian Firnas, M.Si
Dosen Penguji II
Inggrid Galuh, MHSPS
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 23 Juni 2016
Ketua Program Studi
FISIP UIN Jakarta
Badrus Sholeh, Dr., M.A.
NIP. 197202111999031002
iv
ABSTRAK
Skripsi ini menjelaskan tentang aliansi pertahanan yang dilakukan oleh
Taiwan dan Amerika Serikat (AS) dalam menghadapi One China Policy periode
2011-2014. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan sejauh mana aliansi
pertahanan Taiwan-AS dalam menghadapi One China Policy, serta
mengaplikasikan konsep kepentingan nasional, aliansi, dan bandwagoning.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan studi
literatur. Dalam proses penelitiannya, data yang didapatkan telah diverifikasi,
diklasifikasikan, kemudian diolah dan dikorelasikan dengan konsep kepentingan
nasional, aliansi, dan bandwagoning. Hasil dari proses penelitian dipaparkan dan
menjadi sebuah analisis.
Dari hasil analisis menggunakan ketiga konsep yang telah disebutkan,
dapat disimpulkan bahwa aliansi pertahanan Taiwan-AS sama-sama memberi
keuntungan bagi keduanya dalam menghadapi One China Policy. Selain memberi
keuntungan, aliansi ini sejauh ini dapat menghadapi One China Policy melalui
pencegahan serangan yang akan dilakukan Tiongkok ke Taiwan.
Kata kunci: Taiwan, Amerika Serikat, aliansi pertahanan, One China Policy,
kepentingan nasional, aliansi, bandwagoning.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahi rabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT atas rahmat, nikmat dan izin-Nya, penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi dengan judul “Aliansi Pertahanan Taiwan-Amerika Serikat
dalam menghadapi One China Policy Periode 2011-2014”. Penulis menyadari
bahwa dalam menyusun skripsi ini penulis juga mendapat banyak bantuan,
bimbingan, serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan kerendahan
hati, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
pihak-pihak yang telah mendukung penulisan skripsi ini, diantaranya:
1. Keluarga penulis, orangtua penulis Syafrudin dan Ike Ariva atas dukungan
dan kasih sayang yang tak henti dan tak jarang menemani penulis begadang
untuk menyelesaikan skripsi ini. Kedua adik penulis, Nabila Dinda
Mahardhika dan Esqia Zahra Kamila, kalian salah satu motivasi penulis agar
cepat menyelesaikan skripsi.
2. Pembimbing skripsi penulis Bapak Ahmad Syaifuddin Zuhri, S.IP., L.M,
terimakasih telah memberikan bimbingan, nasihat dan motivasi, dan berbagai
sharing cerita-ceritanya selama penulis menyelesaikan skripsi.
3. Ketua Program Studi Hubungan Internasional Bapak Badrus Sholeh dan
Sekretaris Program Studi Hubungan Internasional Ibu Eva Mushoffa
4. Penguji sidang skripsi penulis, Bapak Adian Firnas dan Ibu Inggrid Galuh
yang telah memperbaiki dan memberi masukan pada penulis.
5. Dosen-dosen jurusan Ilmu Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, terimakasih atas ilmu, nasihat, dan inspirasi yang diberikan selama
penulis menjalani masa studi.
6. Jajaran staf yang bekerja di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, terimakasih untuk semua bantuan yang diberikan
selama penulis menjalani masa studi.
vi
7. Teruntuk M. Yoma Putra Perdana yang selalu menemani penulis sejak awal
penulisan skripsi, sabar menghadapi mood swing penulis, serta selalu
meluangkan waktunya untuk menemani penulis dalam penyelesaian skripsi
ini
8. Geng Arab Anyar: Elma Maulidyanur, Chitra Febrina, dan Tafani Abdat.
Kalian yang selalu ada ketika penulis suntuk dan hampir gila dalam
menyelesaikan skripsi. Kalian terbaik!
9. Belahan jiwa penulis: Khairiah Fajrin. Terimakasih atas tumpangan
kamarnya, pengertiannya, bantuannya, dan semuanya sejak awal penulis
kuliah. You’re rock, Jrin!
10. Teman-teman dari KKN Garuda 2015. Selalu sakit perut kalau kumpul sama
kalian, benar-benar pemberi jeda dalam penulisan skripsi. See you on top!
11. Berbagai pihak yang telah membantu penulisan skripsi yang tidak dapat
disebutkan setu persatu, terimakasih atas kebaikan dan kesabarannya, semoga
menjadi amal baik. Aamiin.
Alvia Syafiqa
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix
DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................... x
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Pernyataan Masalah .................................................................................. 1
1.2 Pertanyaan Penelitian ............................................................................. 10
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 11
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 11
1.5 Metode Penelitian ................................................................................... 11
1.6 Tinjauan Pustaka .................................................................................... 12
1.7 Kerangka Pemikiran ............................................................................... 15
1.8 Sistematika Penulisan ............................................................................. 20
BAB II .................................................................................................................. 22
KONFLIK TAIWAN-TIONGKOK .................................................................. 22
2.1 Sekilas Sejarah Konflik Taiwan-Tiongkok ............................................ 22
2.2 Identitas Nasional Taiwan ...................................................................... 23
2.3 Proses Demokratisasi di Taiwan ............................................................ 25
2.4 Sikap Taiwan terhadap One China Policy.............................................. 29
BAB III ................................................................................................................. 32
KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT TERHADAP ONE CHINA POLICY
DARI MASA KE MASA .................................................................................... 32
3.1 Sikap AS pada Masa Pemerintahan Richard Nixon (1969-1974) .......... 33
3.2 Sikap AS pada Masa Pemerintahan Gerald Ford (1974-1977) .............. 35
3.3 Sikap AS pada Masa Pemerintahan Jimmy Carter (1977-1981) ............ 36
viii
3.4 Sikap AS pada Masa Pemerintahan Ronald Reagan (1981-1989) ......... 37
3.5 Sikap AS pada Masa Pemerintahan George H. W. Bush (Bush Senior)
(1989-1993) ....................................................................................................... 38
3.6 Sikap AS pada Masa Pemerintahan Bill Clinton (1993-2001) ............... 39
3.7 Sikap AS pada Masa Pemerintahan George W. Bush (Bush Junior)
(2001-2009) ....................................................................................................... 40
3.8 Sikap AS pada Masa Pemerintahan Barack Obama (2009-sekarang) ... 42
BAB IV ................................................................................................................. 45
ALIANSI PERTAHANAN TAIWAN-AMERIKA SERIKAT ....................... 45
4.1 Analisis melalui Konsep Kepentingan Nasional .................................... 54
4.2 Analisis melalui Konsep Aliansi ............................................................ 57
4.3 Analisis melalui Konsep Bandwagoning ............................................... 59
BAB V ................................................................................................................... 62
KESIMPULAN .................................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 64
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Tabel jumlah nilai perjanjian penjualan senjata AS ke Taiwan
Tabel 4.2 Tabel anggaran pertahanan Taiwan 1994-2014
x
DAFTAR SINGKATAN
ADB Asian Development Bank
APEC Asia-Pacific Economic Cooperation
ARATS Association for Relations Across the Taiwan Straits
AS Amerika Serikat
CNP Chinese New Party
DPP Democratic Progressive Party
ICAO Assembly of the International Civil Aviation Organization
ICC International Court of Justice
KMT Kuomintang
NICs New Industrialies Countries
NP New Party
PBB Perserikatan Bangsa-bangsa
PFP People First Party
PKT Partai Komunis Tiongkok
PM Perdana Menteri
ROC Republic of China
SACO Sino-American Cooperative Organization
SEF Straits Exchange Foundation
TAIP Taiwan Independence Party
TRA Taiwan Relations Act
TSU Taiwan Solidarity Union
WHA World Health Assembly
WTO World Trade Organization
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pernyataan Masalah
Perang Tiongkok-Taiwan merupakan perang saudara yang melibatkan dua
pihak yakni Kuomintang yang beraliran nasionalis dan Partai Komunis Tiongkok
(PKT). Perang ini dimulai pada tahun 1917 dimana pimpinan Kuomintang yaitu
Chang Kai-sek mengejar tentara PKT di Tiongkok bagian selatan dan timur.
Dalam peristiwa ini muncullah sosok pemimpin PKT baru bernama Mao Zedong.1
Setelah dua dekade berjibaku dalam perang sipil berdarah, para kaum
komunis Tiongkok yang dipimpin Mao Zedong memenangkan peperangan
tersebut dan berhasil menguasai daratan Tiongkok. Selain menguasai daratan
Tiongkok, PKT juga berhasil membuat Kuomintang yang beraliran nasionalis
angkat kaki dari daratan Tiongkok untuk pindah ke pulau Formosa (sekarang
Taiwan).2
Pada Desember 1949 melalui pernyataannya, pemimpin Tiongkok daratan
Mao Zedong menekankan pentingnya penyatuan Tiongkok dan Taiwan yang
diistilahkan dengan ‘Satu Tiongkok’, dan prinsip ini adalah dasar dari prinsip
1 John Gettings. ‘Timeline: Taiwan, Key Events in Taiwanese History from World War II to the
Present’, tersedia di: http://www.infoplease.com/spot/taiwantime1.html, diakses pada 30 Juni
2015 pkl 19.57 2Ibid,.
2
selama lima puluh tahun ke depan.3 Kebijakan yang kemudian dinamakan dengan
One China Policy ini merupakan kebijakan yang menunjukkan bahwa hanya ada
satu Tiongkok yang berdaulat, jadi Taiwan merupakan bagian dari Tiongkok dan
tidak dianggap sebagai negara. Pemerintah Tiongkok juga mengakui atas wilayah
seperti Hongkong, Macau, dan Taiwan sebagai negara yang terintegrasi dengan
Tiongkok, sehingga hubungan kerjasama dengan wilayah tersebut harus melalui
pemerintah Tiongkok. One China Policy ini juga memaksa Taiwan untuk tunduk
pada kebijakan pemerintah Tiongkok, namun Taiwan bereaksi negatif akan
kebijakan ini.4
Prinsip ‘Satu Tiongkok’ atau yang kemudian lebih dikenal sebagai One
China Policy kemudian banyak menuai pro dan kontra. Kemenangan PKC atas
Kuomintang pada 1949 mendapat dukungan dari Uni Soviet (sekarang Rusia),
sementara Kuomintang yang terusir ke pulau Formosa yang masih
mempertahankan aliran nasionalisnya mendapat dukungan dari Amerika Serikat.
Namun menurut Mao Zedong One China Policy ini justru merupakan upaya
Tiongkok daratan untuk berunifikasi dengan Taiwan.
Taiwan yang mendapat dukungan penuh dari AS tentu saja tidak setuju
dengan One China Policy karena konsep ini dianggap ambigu, kuno, dan
membingungkan. Dalam beberapa tahun belakangan, Taiwan merasa telah
mencapai masa transisi menuju pemerintahan dan rezim yang lebih demokratis.
Mayoritas penduduk Taiwan juga tidak menginginkan untuk menjadi bagian
4Wabiser, Yosias Marion Arthur,2015, ‘US-Sino Relationship: Studi Kasus Kebijakan Amerika
Serikat terhadap One China Policy’,hlm 2.
3
dalam sistem Tiongkok yang represif, diktator, dan korup. Taiwan ingin identitas,
bahasa, dan budayanya diakui sebagai entitas tersendiri dan lepas dari bayang-
bayang Tiongkok. selain itu Taiwan menginginkan kebebasan ekonomi, politik
dan diakui oleh masyarakat internasional dan juga diterima menjadi anggota
penuh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).5
Perjanjian kerjasama pertahanan Taiwan dan AS sudah dilakukan sejak
lama tepatnya sejak Perang Dunia ke 2. Namun kerjasama pertahanan yang
mereka lakukan mengalami beberapa perubahan. Pada masa Perang Dunia ke 2
tahun 1941-1942, AS memberikan bantuan militer kepada Taiwan melalui The
American Volunteer Group atau yang kemudian disebut Flying Tigers. Bantuan
ini diberikan sebagai bentuk dukungan AS pada Taiwan guna melawan Jepang
pada saat itu. AS yang pada saat itu memiliki kepentingan akan masa depan
kawasan Asia Pasifik mengirim armada ke-7 ke sebelah selatan Taiwan untuk
melindungi Taiwan dari kemungkinan serangan komunis. Harry Truman, presiden
AS saat itu sudah meyakini bahwa komunis akan menggunakan berbagai cara
untuk menaklukkan negara-negara bebas untuk mengganggu ketertiban dunia.6
Setelah Flying Tigers, AS juga mengirim bantuan militer pada Taiwan
dalam bentuk US Naval Group China (Sino-American Cooperative Organization)
yang kemudian disebut SACO. Perjanjian SACO ini ditandatangani oleh Taiwan
5‘Towards a ‘One Taiwan, One China Policy’: The Anachronistic ‘One China’ Policy is Outdated,
terdapat di: http://www.taiwandc.org/nws-9705.htm, diakses pada 30 Juni 2015 pkl 20.41
6Syaril Sadikin, ‘Ada kemungkinan RRC bersikap lebih lunak dalam menghadapi
soal Taiwan’, dalam Sinar Harapan (Jakarta, 30-11-1983) Hal.8. isi
perjanjian, The Taiwan issue hal. 251-253.
4
dan AS pada 1942. SACO merupakan operasi intelijen antara Taiwan dan AS
untuk melawan Jepang. 7
Truman menganggap Taiwan sebagai aliansi AS yang cukup penting karena
dianggap sebagai mata rantai yang penting bagi AS, AS pun membentuk Military
Advision Assistant Group to Taiwan pada 1951 yang mengalokasikan bantuan
militer Taiwan sebanyak lima puluh juta dolar AS.
Setelah Fying Tigers, Military Advision Assistant Group to Taiwan, dan
SACO, Taiwan dan AS kembali membuat perjanjian pertahanan baru yaitu Sino-
American Mutual Defense Treaty pada 1954. Tujuan dibuatnya perjanjian ini lagi-
lagi soal melindungi Taiwan dari kemungkinan invasi Tiongkok setelah Perang
Saudara di daratan Tiongkok pada waktu lalu. Perjanjian ini ditandatangani pada 2
Desember 1954 di Washington DC.8Aliansi pertahanan ini diperkuat dengan
perjanjian pertahanan yang berisi setiap serangan bersenjata ke wilayah Taiwan
juga merupakan serangan ke AS. Karena Taiwan merupakan bagian penting dari
aliansi pertahanan AS di Asia Pasifik, AS merasa wajib melindungi Taiwan.9
Namun nampaknya Tiongkok menemukan celah dalam perjanjian
pertahanan tersebut. Dalam perjanjiannya tersebut, Taiwan hanya menyebutkan
pulau Formosa, Pescadores dan Metsu yang akan dilindungi oleh AS, maka pada
3 September 1954 Tiongkok melakukan serangan ke Kinmen. Walaupun Kinmen
bukan termasuk pulau yang disebut dalam perjanjian, AS tetap membantu
7‘SACO History’, terdapat di: http://www.saconavy.com/history.htm, diakses pada 13 Desember
2015 pkl 09.42 8‘Mutual Defense Treaty between the United States of America and Republic of China’,terdapat di
http://www.taiwandocuments.org/mutual01.htm, diakses pada 13 Desember 2015 pkl 09.53 9 ‘Mutual Defense Treaty between the United States of America and Republic of China’,
http://www.taiwandocuments.org/mutual01.htm, diakses pada 13 Desember 2015 pkl 09.53
5
melindungi pulau itu karena pulau itu merupakan pulau penting bagi pertahanan
Taiwan.10
Serangan Tiongkok ke Kinmen ini lah yang mempererat aliansi Taiwan dan
AS. Jendral Eisenshower mengajukan resolusi ke Kongres AS yaitu Formosa
Resolutions yang disahkan pada 29 Januari 1955.11
Pada 1949 hingga akhir 1960, AS mengakui rezim Kuomintang di Taipei
sebagai pemerintahan dari Tiongkok. Namun pada 1970, AS dan negara-negara
Barat lainnya mengakui rezim komunis di Beijing sebagai pemerintahan
Tiongkok yang resmi. Di tahun yang sama AS juga mengeluarkan pernyataan
yang mengejutkan yakni hanya ada satu Tiongkokdan Taiwan merupakan bagian
dari Tiongkok.12 Hubungan baik Taiwan dan AS mengalami perubahan besar
pada 1972 ketika Richard Nixon, presiden AS pada masa itu melakukan
normalisasi hubungan dengan Tiongkok serta memberi pengakuan diplomatik
kepada Tiongkok yang ditandai dengan terbentuknya Komunike Shanghai pada
Februari 1972.
Namun AS tidak meninggalkan Taiwan, satu bulan setelah di
tandatanganinya Komunike Shanghai tersebut, AS justru membuat Taiwan
Relations Act (TRA) yang ditandatangani pada 19 April 1979 oleh presiden
Jimmy Carter yang hingga saat ini menjadi landasan kuat hubungan Taiwan-AS.13
10 Tierney, About Face to China, 130. 11Tierney, About to Face China, 130 12Tierney, About to Face China, 130 13‘Taiwan-US Relations’, terdapat di:
http://www.taiwanembassy.org/US/ct.asp?xItem=266456&CtNode=2297&mp=12&xp1=12,
diakses pada 9 November 2015 pkl 09.02
6
Pada dasarnya TRA tidak hanya berisi mengenai perjanjian pertahanan dan
militer. TRA merupakan kebijakan AS untuk membina hubungan yang dekat,
ekstensif melalui berbagai hubungan baik dengan Taiwan. Namun, dalam TRA
inilah terdapat kesepakatan penjualan senjata AS yang merupakan bentuk aliansi
pertahanan mereka diatur dalam TRA tersebut. TRA dijadikan sebagai tonggak
utama untuk menandai komitmen AS yang konsisten mempertahankan eksistensi
dalam menyediakan pertahanan keamanan untuk Taiwan.
Kedekatan Taiwan dan AS ini membuat Tiongkok ‘iri’. Tiongkok
menganggap bahwa TRA memiliki dampak merugikan bagi kelangsungan
hubungan baik AS dan Tiongkok. Namun Taiwan tidak peduli dengan pernyataan
Tiongkok karena sebelumnya AS sudah memberikan enam jaminan atau Six
Assurances kepada Taiwan yang berisi: 1. AS menyetujui untuk tidak
memberikan tanggal penghentian penjualan senjata kepada Republik Tiongkok
(Taiwan), 2. AS tidak akan mengadakan konsultasi lanjutan (prior consultations)
dengan Taiwan terkait penjualan senjata, 3. AS tidak akan memainkan peran
sebagai mediator antara Tiongkok dan Taiwan, 4. AS tidak akan merevisi TRA, 5.
AS tidak akan mengubah posisinya terkait kedaulatan Taiwan, dan 6. AS tidak
akan memaksa Taiwan untuk mengadakan negosiasi dengan Tiongkok. Dengan
adanya Six Assurances ini AS menjamin keamanan militer Taiwan dan penjualan
senjata, dan AS juga menjamin tidak akan menjadi mediator ataupun memberikan
tekanan pada Taiwan untuk bernegosiasi dengan Tiongkok.14 Jelas disini bahwa
14Wabiser, ‘US-Sino Relationship: Studi Kasus Kebijakan Amerika Serikat terhadap One China
Policy’, 9.
7
pernyataan AS yang tidak konsisten mendorong penulis untuk membahas ini lebih
jauh.
Sampai saat ini Taiwan masih berusaha mencari pengakuan internasional
karena status Taiwan yang masih tidak jelas pasca kalahnya Kuomintang pada
1949. Pada 1971 juga Taiwan tidak lagi menjadi anggota PBB. Pada saat ini
hanya 22 negara saja yang mengakui Taiwan sebagai entitas yang memiliki
kedaulatan, itu pun hanya negara-negara kecil di Amerika Tengah, Afrika, dan
Pasifik. Hubungan Taiwan dan Tiongkok membeku yang dalam hal ini pada 2005
Beijing mengancam akan menyerang Taiwan apabila Taiwan mendeklarasikan
kemerdekaan secara terang-terangan.15
Keadaan ini cukup ironis karena secara politik banyak negara di dunia yang
tidak mengakui Taiwan sebagai entitas negara, namun pada kenyataannya Taiwan
mampu berdiri layaknya negara yang merdeka yakni memiliki penduduk, wilayah,
dan pemerintahan yang berdaulat. Jauh sebelum perekonomian Tiongkok menjadi
raksasa seperti sekarang ini, Taiwan sudah lebih dahulu mengalami pertumbuhan
ekonomi. Pada 1990-an, Taiwan terdaftar sebagai New Industrialies Countries
(NICs) dan mampu mengubah sebuah wilayah kecil berpenduduk 23 juta jiwa
tersebut menjadi kekuatan ekonomi Asia bahkan dunia. Selain itu Taiwan juga
aktif dalam berbagai organisasi internasional seperti APEC, ADB, ICC, dan
WTO.16
15‘Taiwan dan China: Perjumpaan Resmi di APEC?’, terdapat di http://www.dw.com/id/taiwan-
dan-cina-perjumpaan-resmi-di-apec/a-17334348, diakses pada 1 Juli 2015 pkl 05.15 16‘Taiwan Tak Henti Meraih Pengakuan Dunia’, terdapat di: http://www2.kompas.com/kompas-
cetak/0706/11/ln/3588349.htm, diakses pada 1 Juli 2015 pkl 04.54
8
Sampai sejauh ini penulis berpendapat bahwa konflik saudara Tiongkok-
Taiwan ini kerap di intervensi oleh pihak asing salah satu yang terbesar adalah
AS. Dalam konflik ini AS nampak jelas memihak Taiwan karena di Taiwan ada
Kuomintang yang beraliran nasionalis, yang sangat cocok dengan ideologi AS.
Karena kesamaan pandangan dan ideologi inilah AS mendekati Taiwan. AS kerap
kali membantu Taiwan dalam berbagai bidang salah satunya bidang militer atau
pertahanan yang akan dibahas penulis. Karena mendapat dukungan ini, Taiwan
pun terus mendekatkan diri ke AS dalam upaya menghadapi One China Policy.
TRA memang menjadi dasar landasan yang sangat penting bagi kedua
negara ini. TRA adalah sebuah undang-undang yang saat ini masih berdiri yang
mencerminkan sebagaimana AS akan melindungi Taiwan. Dalam TRA juga
tercantum bahwa AS mengakui kebebasan demokrasi Taiwan, otorisasi penjualan
senjata ke Taiwan untuk meningkatkan kemampuan pertahanannya, serta terus
mendukung Taiwan untuk dapat berkontribusi di organisasi internasional
semacam Assembly of the International Civil Aviation Organization (ICAO) dan
pertemuan tahunan World Health Assembly (WHA).17
Adanya musuh bersama yakni Tiongkok, Taiwan dan AS pun membuat
aliansi pertahanan. Karena kesamaan ideologi inilah AS mau beraliansi
pertahanan dengan Taiwan. Aliansi pertahanan Taiwan dan AS sudah berlangsung
cukup lama, pada Maret 1996 ketika pemilu Taiwan akan diadakan,
Tiongkokmelakukan uji coba proyek rudalnya di Selat Taiwan yang disinyalir
sengaja untuk mengganggu proses berjalannya pemilu di Taiwan. Di sinilah
17Tierney, About to Face China, 131.
9
terlihat bagaimana aliansi Taiwan dengan AS. AS merespon uji coba rudal
tersebut dengan mengirimkan angkatan laut besar-besaran sekaligus memamerkan
kekuatan laut yang besar. Tak hanya dari laut, Presiden AS saat itu, Bill Clinton
juga mengirimkan pesawat militer AS untuk berpatroli. Hal tersebut membuahkan
hasil, pemilu Taiwan berjalan sesuai rencana dan Taiwan memiliki presiden baru
yaitu Lee Teng Hui.18
Karena ancaman serangan inilah yang membuat aliansi pertahanan Taiwan
dan AS terus berlanjut dan mengalami kemajuan. AS ingin membangun ‘Hard
ROC’ sebagai kekuatan pertahanan untuk melawan tindakan-tindakan yang
mengarah pada konflik dan untuk mencegah peperangan. Presiden Ma Ying-jeou
menekankan betapa pentingnya penjualan senjata AS ke Taiwan, sehingga pada
2008-2011 AS menyetujui program penjualan empat belas macam senjata ke
Taiwan yang bernilai sekitar delapan belas miliar dolas AS. AS terus menyuplai
kebutuhan pertahanan dan pengadaan persenjataan canggih untuk Taiwan. 19
Penulis memilih dan membatasi periode penelitian selama empat tahun
yakni 2011-2014 karena selama tahun itulah puncak perdagangan senjata yang
dilakukan Taiwan dengan AS yang menunjukkan bahwa Taiwan sangat ingin
memperkuat pertahanannya untuk melindungi dirinya karena berbagai ancaman
diluar sana terutama Tiongkok dengan One China Policy-nya.
Dan pada periode itulah kegiatan militer Tiongkok terus meningkat.
Tiongkok yang terlihat semakin meningkatkan kemampuan militernya terlihat dri
18‘Taiwan and Theater Missile Defect’, terdapat di: https://www.questia.com/library/journal/1P3-
62081802/taiwan-and-theater-missile-defense, diakses pada 15 Oktober 2015 pkl 11.34
19Tierney, About to Face China, 132
10
penambahan pasukan, frekuensi latihan militer di Selat Taiwan yang semakin
bertambah, serta
Signifikansi penelitian ini adalah sejauh apa One China Policy begitu
berpengaruh kepada Taiwan hingga Taiwan sampai harus mencari perlindungan
dengan beraliansi dengan hegemon, AS. Alasan Taiwan beraliansi pertahanan
dengan AS adalah karena Taiwan dan AS memiliki ideologi yang sama yakni
demokrasi nasionalis, hal ini juga yang membuat AS mau beraliansi dengan
Taiwan. Musuh bersama mereka yakni Tiongkok yang berideologi sosialis
komunis menambah alasan mereka untuk semakin memperkuat aliansi
pertahanannya. Namun alasan utama Taiwan adalah karena Taiwan ingin
melindungi negaranya dari Tiongkok yang terus-terusan mengancam akan
menyerang Taiwan apabila Taiwan memproklamirkan kemerdekaannya.
Kesempatan ini tentu saja dimanfaatkan oleh AS karena apapun tindakan AS, ia
akan selalu mengedepankan containment policy nya yakni untuk membendung
kekuatan komunis yang ia anggap dapat mengancam ketertiban dunia.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini kan menjawab sebuah pertanyaan yakni: apakah aliansi
pertahananTaiwan-Amerika Serikat masih efektif menghadapi One-China Policy
periode 2011-2014?
11
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan sejauh manakah aliansi pertahanan Taiwan-Amerika Serikat
dapat menghadapi One China Policy pada periode 2011-2014
2. Mengaplikasikan konsep kepentingan nasional, aliansi dan bandwagoning
dalam sebuah peristiwa internasional
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah
1. Memberikan wawasan dan pengetahuan terkait keputusan Taiwan untuk
beraliansi dengan AS dalam bidang pertahanan untuk menghadapi One
China Policy
2. Meningkatkan kemampuan penulis dalam menganalisis aliansi pertahanan
Taiwan-AS ini menggunakan konsep yang telah dipilih yakni konsep
kepentingan nasional, aliansi dan bandwagoning
3. Menambah kajian pustaka bagi bidang Ilmu Hubungan Internasional
1.5 Metode Penelitian
Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Penulis
memilih metode kualitatif karena skripsi ini lebih cocok diteliti dengan metode
tersebut. Hal ini karena metode penelitian kualitatif memiliki pengertian sebagai
12
suatu riset yang berupaya melakukan penggalian, pemahaman, dan pemaknaan
terhadap apa yang terjadi pada berbagai individu atau kelompok yang berasal dari
persoalan sosial atau kemanusiaan.20 Disamping itu penelitian kualitatif berfokus
pada bagaimana peneliti memandang suatu fenomena.
Dalam skripsi yang menggunakan metode kualitatif ini, studi literatur atau
kajian pustaka menjadi syarat penting di dalam riset. Penulis mengkaji berbagai
literatur dan menggunakannya untuk menjelaskan apa yang terjadi di dalam
penelitiannya, sekaligus menjawab berbagai hal yang ditemukannya selama
penelitian.21
Skripsi ini diselesaikan menggunakan metode kualitatif yakni dengan
menyampaikan data secara naratif perkataan atau kutipan, serta berbagai teks dan
literatur. Setelah mengumpulkan data yang relevan dengan penelitian, dalam
skripsinya penulis menjadikan teori sebagai alat analisis dan sebagai rujukan
pemaknaan subjek penelitian tersebut.22
1.6 Tinjauan Pustaka
Buku yang menjadi tinjauan pustaka pertama dalam skripsi ini adalah buku
yang berjudul When China Rules The World yang ditulis oleh Martin Jacques.
Dalam buku ini tepatnya pada bagian 9 yang berjudul ‘Halaman Belakang China’
terdapat bagian yang membahas tentang bagaimana sosok Taiwan tidak pernah
20Septiawan Santana. K, ‘Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif’, (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor, 2010), hlm 1. 21Santana. K, ‘Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif’,10. 22Santana. K, ‘Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif’,63.
13
lepas citra bahwa ia adalah bagian penting dari Tiongkok. Hingga saat ini
Tiongkok masih bersikap ‘tidak ramah’ pada Taiwan karena Tiongkok masih
menganggap Taiwan merupakan wilayahnya yang hilang. Buku ini menjadi
tinjauan pustaka karena bisa membantu skripsi ini pada bagian sejarak konflik
Taiwan-Tiongkok yang nampaknya tidak akan pernah menemukan ujung.
Tinjauan pustaka selanjutnya diambil dari tesis milik Zeng Hong,
Universitas Nanchang, Tiongkok yang berjudul The Study on Influence Factors
on Sino-US Relations in Taiwan. Tesis ini membahas faktor-faktor yang
memengaruhi hubungan Tiongkok-AS di Taiwan dimana hubungan Tiongkok-AS
dalam aspek apapun tak lepas dari bayang-bayang perihal status quo Taiwan.
Tesis ini menjelaskan bagaimana setiap keputusan dan kebijakan yang dibuat
dalam hubungan Tiongkok-AS selalu mempertimbangkan keadaan Taiwan.
Skripsi pertama yang menjadi rujukan penulis adalah skripsi milik Dian
Anjarwati, mahasiswa Universitas Jember 2012 yang berjudul ‘Faktor-faktor yang
mendorong Amerika Serikat Melakukan Penjualan Senjata ke Taiwan pada Masa
Pemerintahan George Walker Bush’. Persamaan skripsi Anjarwati dengan skripsi
ini adalah, sama-sama membahas aliansi pertahanan yang dilakukan AS dengan
Taiwan yang juga berfokus pada landasan keduanya yaitu TRA Persamaan yang
kedua adalah kami sama-sama membahas tentang penjualan senjata AS ke
Taiwan. Sedangkan perbedaannya yang pertama terletak pada pertanyaan
penelitian. Jika pertanyaan Anjarwati adalah faktor-faktor yang mendorong AS
melakukan perdagangan senjata ke Taiwan, yang mana hal ini akan lebih fokus
dari sudut pandang AS dan pada masa pemerintahan George Bush, skripsi ini
14
memiliki pertanyaan yakni sejauh mana aliansi pertahanan keduanya dapat
menghadapi One China Policypada periode 2011-2014. Perbedaan yang kedua
yakni terkait sudut pandang. Jika skripsi Anjarwati memandang permasalahan ini
dari sudut AS, skripsi ini sebaliknya yakni memandang permasalahan ini dari
sudut pandang Taiwan.
Skripsi yang kedua adalah penelitian milik Ardhy Dinata Sitepu pada 2013
yang berjudul ‘Dampak Penandatangan Economic Cooperation Framework
Agreement terhadap Economic Security Taiwan 2011-2013. Perbedaan skripsi
Sitepu dan skripsi ini adalah jelas terlihat dalam bidang yang dibahas, jika skripsi
ini membahas bidang pertahanan dalam bentuk penjualan senjata, skripsi milik
Sitepu membahas keamanan ekonomi di Taiwan. Namun kedua skripsi ini
memiliki persamaan yakni sama-sama membahas bagaimana dan sejauh apa One
China Policy memengaruhi Taiwan.
Artikel kedua yang menjadi tinjauan pustaka skripsi ini adalah karya milik
Y. Frank Chiang yang berjudul One China Policy and Taiwan, terdapat dalam
jurnal Fordham International Law 2004. Dalam artikelnya Chiang membahas
secara umum bagaimana hubungan One China Policy dan Taiwan. Persamaan
artikel milik Chiang dan skripsi ini adalah sama-sema memiliki pembahasan
bagaimana One China Policy memengaruhi Taiwan dalam berbagai bidang.
Namun, Chiang membahas pengaruh One China Policy secara umum dan
keseluruhan, sedangkan skripsi ini adalah membahas aliansi Taiwan dan AS
beraliansi dalam bidang pertahanan guna menghadapi One China Policy.
15
Artikel ketiga yang dipakai penulis sebagai rujukan ialah paper berjudul
The Sino-US Relationship: Studi Kasus Kebijakan Amerika Serikat terhadap One
China Policy karya Yosias Marion Arthur Wabiser mahasiswa Universitas
Udayana, Bali. Persamaan paper Wabiser dan skripsi ini adalah dalam paper
Wabiser, terdapat bagian yang membahas sekilas bagaimana konflik Tiongkok
dan Taiwan, kemudian bagaimana One China Policy memengaruhi pasang-surut
hubungan aliansi pertahanan Taiwan dan AS, dan ada juga bagian yang
membahas berbagai perjanjian pertahanan bersama antara Taiwan dan AS.
Sedangkan perbedaannya terletak pada beberapa hal, pertama pada pertanyaan
penelitiannya, pertanyaannya adalah bagaimana hubungan antara Tiongkok-AS
dalam penerapan kebijakan AS terhadap One China Policy. Perbedaan lainnya
terletak pada fokus penelitian, fokus penelitian Wabiser lebih kepada bagaimana
kedekatan AS-Taiwan memengaruhi hubungan AS-Tiongkok.
1.7 Kerangka Pemikiran
I Kepentingan Nasional (National Interest)
Kepentingan nasional (national interest) adalah tujuan-tujuan yang ingin
dicapai sehubungan dengan bangsa dan negara atau sehubungan dnegan hal yang
dicita-citakan. Dalam hal ini kepentingan nasional yang relatif tetap dan sama
diantara semua negara atau bangsa adalah keamanan yang mencakup
kelangsungan hidup rakyatnya dan kebutuhan wilayahnya, serta kesejahteraan.
Keamanan (security) dan kesejahteraan (prosperity) umumnya menjadi pokok
16
kepentingan nasional. Kepentingan nasional juga kerap menjadi tolok ukur bagi
para decision maker masing-masing negara sebelum memutuskan sesuatu.
Kepentingan nasional juga menmjadi landasan dasar bagi pembuatan kebijakan
luar negeri (foreign policy). Menurut Hans J. Morgentau kepentingan nasional
adalah kemampuan minimum negara untuk melindungi dan mempertahankan
identitas fisik, politik dan gangguan dari negara lain. Para pemimpin negara
menurunkan kebijakan spesifik terhadap negara lain yang sifatnya kerjasama atau
konflik.23
Menurut Donald E. Nuechterlein, ada empat kepentingan dasar yang
memotivasi suatu negara untuk menjalankan kepentingan nasionalnya, yaitu
kepentingan pertahanan, ekonomi, tatanan dunia, dan ideologi.24 Dalam kasus
skripsi ini yakni aliansi pertahanan Taiwan dan AS, Taiwan berusaha
mewujudkan kepentingan pertahanannya. Kepentingan pertahanan memiliki arti
kepentingan suatu negara untuk melindungi negaranya dari ancaman kekerasan
fisik negara lain. Karena adanya kepentingan-kepentingan tersbeut, negara
kemudian harus survive dalam tatanan politik internasional. Konsep kepentingan
nasional mengacu pada tujuan pemerintahan nasional dalam level internasional
seperti kebebasan berpolitik dan integritas wilayah.25
23T. May Rudy, ‘Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang
Dingin’, (Bandung: Refika Aditama, 2002), hlm 116.
24Rosalia Jasmina. ‘Kepentingan Nasional’, terdapat di: http://rosaliajasmine-
fisip13.web.unair.ac.id/artikel_detail-84819-
SOH101%20(Pengantar%20Ilmu%20Hubungan%20Internasional)-
Kepentingan%20Nasional.html, diakses pada 2 Januari 2016 pkl 19.56
25Oppenheim, Felix E, 1987, ‘National Interest, Rationality, and Morality’, Political
Theory, Vol. 15, No.3, hlm 369. (1987)
17
II Aliansi
Untuk membahas aliansi Taiwan dan AS dalam menghadapi One China
Policy, penulis akan menggunakan salah satu konsep dalam hubungan
internasional yaitu konsep aliansi.
Aliansi adalah suatu perjanjian atau kesepakatan antara dua negara atau
lebih untuk saling membantu dalam sebuah kondisi yang telah ditetapkan,
biasanya ketika salah satu negara anggota perjanjian tersebut mengalami serangan
oleh negara di luar anggota. Sebagian kalangan memandang aliansi memang
kecenderungan manusia untuk bersatu dalam menghadapi ancaman.26
Lain halnya pendapat yag disampaikan James D. Morrow dalam jurnalnya
yang berjudul Alliances and Assymetry: An Alternative to the Capability
Aggretion Model of Alliances. Morrow menyatakan: “symetric alliances, where
each party gains the same type of benefit, are also possible. Two major power
interest may.27Dalam tulisannya ini Morrow berpendapat bahwa kedua pihak atau
lebih mendapat keuntungan yang sama besarnya ketika memutuskan untuk
beraliansi.
Dalam hubungan internasional, aliansi antar negara memainkan hal yang
penting terutama aliansi pertahanan, seperti yang dilakukan Taiwan dan AS sejak
lama. Aliansi terbentuk antara dua negara atau lebih untuk melawan musuh
bersama mereka. Negara yang lemah merasa perlu membentuk aliansi dengan
26Michael Roskin dan Nicholas Berry, ‘IR: An Introduction to International Relations’, (New
Jersey: Prentice Hall, 1990), hlm. 87. 27Morrow, James D, 1991, ‘Aliances and Assymetry: An Alternative to the Capability
AggretionModel of Alliances’, American Journal of Political Science. Vol. 35, No. 4, terdapat
di: http://www.jstor.org/stable/2111499?seq=1#page_scan_tab_contents, diakses pada 10
Juni 2015 pkl 23.06
18
negara yang lebih kuat karena mereka membutuhkan perlindungan dan untuk
membela diri. Negara berharap partner sekutu mereka dapat membantu dalam
militer dan diplomatik selama masa konflik tersebut.28
III Bandwagoning
Terdapat strategi aliansi yakni bandwagoning dimana jika suatu negara
gagal membendung ancaman yang diterima, maka negara tersebut bergabung ke
negara terkuat untuk mendapat perlindungan tersebut. Hal ini cocok dengan yang
dilakukan Taiwan, Taiwan merapat ke AS dan mempererat aliansi pertahanan
demi menghadapi kebijakan One China Policy yang semakin mengancam
keamanannya.
Dalam tatanan hierarki politik, para aktor cenderung untuk ‘jump on the
bandwagon’ atau dengan kata lain merapat ke kekuatan terdekat agar keamanan
mereka tetap terjamin. Para bandwagon atau bandwagoners berusaha untuk
meningkatkan keuntungan mereka atau mengurangi kerugian mereka dengan
berada di sisi pihak yang lebih kuat. Kekuatan dari pihak atau negara yang besar
dapat melindungi bandwagoners seperti Taiwan ini. Negara-negara yang lemah
memiliki sedikit pilihan, menebak dan berharap bahwa mensejajarkan diri dengan
pihak yang lebih kuat akan membawa dampak yang baik. Bandwagoning
28Dwivedi, Sangit Sarita, 2012, 'Alliances in International Relations Theory', International Journal
of Social Sciences & Interdiciplinary Research. Vol. 1, Issue 8, terdapat di:
http://www.indianresearchjournals.com/pdf/IJSSIR/2012/August/20.pdf, diakses pada 10
November 2015 pkl 09.15
19
memiliki tujuan untuk menarik keuntungan absolut dengan berbagi ‘kemenangan’
dengan negara kuat tersebut. 29
Dalam sumber lain menyebutkan bahwa negara-negara kerap melakukan
bandwagoning dengan negara yang lebih kuat untuk menghadapi external power
yang baru bangkit. Dalam kasus ini dapat di analogikan bahwa bandwagoners
adalah Taiwan, Taiwan merapat ke negara yang lebih kuat yaitu AS untuk
menghadapi kekuatan eksternal yang bangkit yaitu Tiongkok dengan One China
Policy nya. 30
Konsep bandwagoning identik dengan peningkatan kekuatan militer. Hal ini
juga sesuai dengan peristiwa ketika bantuan militer AS ke Taiwan yakni SACO
adalah salah satu contoh hasil tindakan bandwagoning Taiwan kepada AS. Ada
perbedaan mencolok antara balancing dan bandwagoning, keduanya sama-sama
tentang kapabilitas negara. Bedanya adalah, balancing beraliansi dengan negara
yang lebih lemah darinya demi meningkatkan pengaruhnya di mata negara lain,
bandwagoning sebaliknya, mereka beraliansi dengan negara yang lebih kuat dan
tujuannya juga untuk meningkatkan pengaruh.31
29Scott Burchill, ‘Theory of International Relations’, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm
38. 30Amitav Acharya, ‘Constructing a Security Community in Sotheast Asia’, (New York: Taylor &
Francis e-Library, 2003), hlm 36. 31Stephen M. Waltz, ‘The Origins of Alliances’, (New York: Cornell University Press, 1987), hlm
111.
20
Pada umumnya, negara yang lebih lemah lebih memilih bandwagoning
daripada balancing. Situasi ini terjadi karena negara-negara lemah menambah
koalisi pertahanan, dan mereka harus memilih sisi yang menang.32
1.8 Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
Pada bagian bab I pendahuluan, skripsi ini akan membahas pernyataan
masalah melingkupi apa yang terjadi, mengapa memilih penelitian tersebut, serta
mengapa memilih periode 2011-104. Selanjutnya akan muncul pertanyaan
penelitian yang diteruskan ke bagian tujuan dan manfaat penelitian. Setiap
penelitian pastilah memiliki metode penelitian, seperti pada skripsi ini yang
memakai metode kualitatif. Sebuah skripsi juga memerlukan tinjauan pustaka dan
kerangka teori pada bagian pendahuluannya dan yang terakhir adalah sistematika
penulisan.
BAB II Konflik Taiwan-Tiongkok
Bab II Konflik Taiwan-Tiongkok terdiri dari dua sub bab. Bab II ini terdiri
dari empat sub bab. Sub bab yang pertama berjudul Sekilas Sejarah tentang
Konflik Taiwan-Tiongkok yang membahas sejarah konflik kedua negara tersebut.
Sub bab kedua berjudul Identitas Nasional Taiwan yang membahas identitas
Taiwan dari sejak awal terbentuk hingga identitas terbarunya saat ini. Sub bab
yang ketiga berjudul Proses Demokratisasi di Taiwan akan dijelaskan bagaimana
32Waltz, The Origins of Alliances,112
21
dari mulai asal mula prosesnya hingga menjadi demokrasi seperti saat ini. Sub bab
yang terakhir berjudul Sikap Taiwan terhadap One China Policy.
BAB III Kebijakan AS terhadap One China Policy dari Masa ke Masa
Bab III yang terdiri dari delapan sub bab. Masing-masing sub bab terdiri
atas sikap AS pada masa pemerintahan presiden Nixon hingga presiden Obama.
Ke delapan presiden AS memiliki sikap yang berbeda-beda maka dari itu skripsi
ini membahas khusus tentang sikap AS dari masa ke masa.
BAB IV Aliansi Pertahanan Taiwan-AS
Bab IV adalah bagian paling penting dalam skripsi ini, karena dalam bagian
inilah akan dibahas aliansi pertahanan Taiwan-AS dalam periode selama empat
tahun yakni 2011-2014, juga faktor-faktor yang mendorong Taiwan untuk
beraliansi pertahanan dengan AS guna melindungi dirinya.
BAB V Kesimpulan
Bab terakhir ini adalah bab yang berisi kesimpulan penelitian. Penelitian
yang membahas aliansi pertahanan Taiwan-AS selama empat bab akan
disimpulkan dalam bab lima ini.
22
BAB II
KONFLIK TAIWAN-TIONGKOK
2.1 Sekilas Sejarah Konflik Taiwan-Tiongkok
Sejarah Asia Timur seringkali mengatakan bahwa ada hubungan erat antar
sejarah nasional. Pada awal abad 20, pelaksanaan sistem dunia modern masih
sangat terbatas dan tidak terbuka seperti sekarang, negara-bangsa yang berdaulat
yang dibuat oleh masyarakat dibangun dalam sistem yang terpusat.33
Sejarah Tiongkok atau Chinese nation (Zhonghua minzu) terbentuk pada
awal abad 20. Pembentukan ini tak lepas dari konflik sipil sebelumnya antara
Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan Partai Nasionalis atau Kuomintang (KMT).
Selain konflik partai, konflik ini meluas ke berbagai aspek seperti konflik ras dan
kebudayaan. 34
Namun pada bab ini kita akan fokus pada sejarah bagaimana Taiwan dapat
terbentuk. Setelah konflik sipil berakhir pada 1949, KMT yang saat itu kalah
melanjutkan misi mereka sendiri dan membentuk sebuah pemerintah yang sah
untuk rakyatnya yang kemudian dinamakan Republic of China(ROC). pada 1970
an, kembali damainya Tiongkok daratan hanya ilusi semata. Ilusi disini berarti
sangatlah sulit atau bahkan tidak mungkin untuk menyatukan kembali Tiongkok
33Schneider, Claudia, 2008, ‘National History in Mainland Chinese and Taiwanese History
Education: Its Current Role, Existing Challenged and Alternative Frameworks’, hlm 1. 34Schneider, National History in Mainland Chinese and Taiwanese History Education: Its Current
Role, Existing Challenged and Alternative Frameworks, 1.
23
daratan dan Taiwan karena keduanya masih keras mempertahankan prinsipnya.
Selain itu jumlah kemunduran di arena internasional pada awal 1970 membuat
legitimasi politik KMT mengalami kehancuran. Anak laki-laki Chiang Kai-sek,
Chiang Ching-kuo menerapkan prinsip ‘nativisation’ atau ‘bentuhua’. Konsep
nativisation atau kerap disebut bentuhua disini adalah sebuah konsep yang
digunakan oleh Taiwan untuk menyebarkan budayanya, masyarakat, ekonomi,
serta nasionalitasnya sebagai Taiwan, bukan bagian dari Tiongkokyang berarti
pula pengakuan de facto untuk Taiwanisasi bagi KMT. Proses demokratisasi
Taiwan dimulai dari 1987, hal ini menguatkan perubahan yang berangsur-angsur
di Taiwan.35
2.2 Identitas Nasional Taiwan
Di Tiongkok daratan terdapat dua pembagian identitas yakni Chinese
identity dan Taiwanese identity. Dua pembagian tersebut adalah wujud dari latar
belakang dan pengalaman sejarah. Kini setidaknya ada empat etnis utama yang
menduduki Taiwan yaitu etnis Minnan, Hakka, Mainlanders, dan Aborigines.
Etnis Minnan, Hakka dan Mainlanders memiliki ikatan langsung dengan
Tiongkok daratan. Perbedaan diantara keempatnya adalah etnis Minnan dan
Hakka adalah etnis yang paling lama mendiami Taiwan yakni sekitar beberapa
generasi ke belakang. Para Mainlanders baru menetap di Taiwan sejak akhir 1940-
35Schneider, Loc.cit.
24
an. Sedangkan Aborigines memiliki kedekatan dengan bangsa Melayu dan
memiliki jumlah populasi yang paling sedikit di Taiwan.36
Perbedaan identitas antara Tiongkok dan Taiwan terkonstruksi oleh sejarah.
Ketika Tiongkok daratan terlibat perang terbuka dengan Jepang, Taiwan justru
menjadi wilayah kolonial bangsa Jepang selama kurang lebih setengah abad yakni
pada 1895-1945. Dari sejarah inilah terbentuklah perbedaan persepsi antara
penduduk asli Taiwan dan para pendatang atau Minnan dan Hakka dengan
Mainlanders. Minnan dan Hakka masih memiliki persepsi kuat bahwa Taiwan
memiliki identitasnya sendiri dan berbeda dengan Tiongkok. 37
Setelah Pemerintahan Nasionalis mengalami kekalahan pada perang sipil
berkepanjangan tahun 1949, penduduk Tiongkok daratan atau Mainlanders yang
memenagkan perang bermigrasi ke Taiwan dan mengisi posisi penting dalam
struktur pemerintahan dan militer. Di saat yang sama ketika Mainlanders
menguasai sektor pemerintahan dan militer, penduduk lokal Taiwan yakni Minnan
dan Hakka menguasai sektor ekonomi dimana kemampuan ekonomi menjadi
faktor yang sangat penting untuk mendukung akses penduduk lokal Taiwan ke
pemerintahan, karena seiring berjalannya waktu banyak penduduk lokal Taiwan
yang berambisi ingin menduduki panggung politik. Pada 1980-an jumlah
penduduk lokal Taiwan yang duduk di kursi pemerintahan semakin besar, mereka
36Hsieh, Fuh-Sheng, 2013, ‘Etnicity, National Identity, and Domestic Politics in Taiwan’, Journal
of Asian and African Studies, Vol 40, No 13, Sage Publication, hlm 14, terdapat di:
http://jas.sagepub.com/content/40/1-2/13.full.pdf, diakses pada 20 April 2016 pkl 09.15 37Hsieh, Etnicity, National Identity, and Domestic Politics in Taiwan, 14.
25
menduduki kursi-kursi pemerintahan yang cukup penting dan juga posisi penting
di Partai Kuomintang. 38
Kondisi Taiwan yang semakin maju inilah yang memperkuat persepsi secara
substansial bahwa Taiwan akan memerdekakan diri dari Tiongkok. Namun ada
juga kalangan yang mendukung status quo dan mengambil sikap tidak
mendukung kemerdekaan Taiwan ataupun unifikasi Taiwan dengan Tiongkok.39
2.3 Proses Demokratisasi di Taiwan
Pada awal berdirinya ROC, KMT menganut martial law sebagai dasar dari
kondisi darurat militer di Taiwan. Martial law adalah seperangkat aturan hukum
yang memuat peraturan pengelolaan negara yang dilakukan oleh pasukan militer
ketika keadaan darurat terlebih ketika masa perang atau ketika ada
pemberontakan. Taiwan menganut martial law selama 38 tahun dan sepanjang itu
juga KMT melakukan tindakan diktator untuk mengontrol ketertiban dan
keamanan di Taiwan. Tindakan diktator tersebut antara lain pembentukan partai
baru, koran baru, sistem peradilan non-independen, dan perlakuan teror-putih
kepada sejumlah pihak oposisi KMT.40
Pada 1987, presiden Taiwan saat itu Chiang Ching-kuo mengakhiri martial
law. Dengan berakhirnya martial law, terjadilah transisi dari pemerintahan
38Hsieh, Etnicity, National Identity, and Domestic Politics in Taiwan, 15.
39Hsieh, Etnicity, National Identity, and Domestic Politics in Taiwan, 15.
40‘Martial Law Rule: Victim Mentality vs Original Sin’, terdapat di
http://www.kmt.org.tw/english/page/aspx?type=article&mnum=113&anum=13639, diakses
pada 20 April 2016 pkl 09.44
26
diktator menjadi pemerintahan yang berdemokrasi. Kemudian pemerintah Taiwan
juga menghapuskan sejumlah hambatan dan mengizinkan adanya pembentukan
partai oposisi, pembebasan media, serta mengizinkan indirect travel ke
Tiongkok.41
Kemudian terbentuklah dua blok partai politik Taiwan yaitu Pan KMT (Pan
Blue) yang terdiri dari New Party (NP), People First Party (PFP). Lawan dari Pan
KMT adalah Pan-DPP (Pan Green) yang terdiri dariDemocratic Progressive
Party(DPP), Taiwan Independence Party (TAIP), dan Taiwan Solidarity Union
(TSU).42
Setelah lengsernya Chiang Ching-kuo 1988, muncullah presiden baru
Taiwan yang pertama kalinya dipilih secara langsung yakni Lee Teng-hui.
Terpilihnya Lee Teng-hui secara langsung merupakan salah satu prestasi Chiang
Ching-kuo dalam reformasi demokrasi dan mempromosikan stabilitas politik
Taiwan.43
Pada masa pemerintahan Lee-Teng-hui, keadaan politik Taiwan memasuki
era baru yakni era multi partai. Terbentuklah beberapa partai baru diantaranya
Democratic Progressive Party (DPP), Chinese New Party (CNP), People First
Party (PFP), dan Taiwan Solidarity Union (TSU). Awalnya, KMT hanya bersaing
dengan DPP dalam politik domestik Taiwan. Pembentukan DPP pada saat itu
dinaungi oleh oposisi yang kerap disebut ‘tangwai’ pada 1986. Pada 1994,
41Charles Holcombe, ‘A History of East Asia: From the Origins of Civilizations to the Twenty First
Century’, (Melbourne: Cambridge University Press, 2011), hlm 340. 42Hsieh, Etnicity, National Identity, and Domestic Politics in Taiwan, 15. 43Hunter, Jason, 2007,‘Taiwan Domestic Politics: Political Corruption, Cross Strait Relations &
National Identity’, terdapat di http://digital.library.okstate.edu/etd/umi-okstate-2271.pdf,
diakses pada 20 April 2016 pkl 09.56
27
beberapa fraksi keluar dari KMT dan mendirikan CNP, pembentukan CNP ini
dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan para politisi KMT terhadap kebijakan Teng-
hui yaitu penempatan sejumlah non-Mainlanders pada posisi penting
pemerintahan Taiwan.44
Pasca pemilihan presiden pada 2000, salah satu politisi Taiwan, James
Soong memisahkan diri dari KMT dan mendirikan PFP. Beberapa bulan
kemudian, Teng-hui juga mendirikan partai baru yaitu TSU. Keempat partai
tersebut itulah yang menjadi partai oposisi dalam struktur politik di Taiwan.45
Pada era Teng-hui, isu strategis dalam politik Taiwan sebagian besar terkait
dengan kemerdekaan Taiwan. Pada periode pertama pemerintahanya (1988-1996),
KMT menginginkan unifikasi dan penyatuan Taiwan dan Tiongkok daratan,
namun hal itu berubah sejak kegagalan konsensus pada 1992. Dan sejak saat itu
Taiwan menganut teori two-state.46
Pada tahun 2000, KMT mencalonkan Lien Chan, DPP mencalonkan Chen
Shui-bian sebagai calon presiden Taiwan. Pada pemilihan umum yang berhasil
memperoleh suara terbanyak adalah Chen Shui-bian.47 Kemenangan Shui-bian
pada pemilu tahun 2000 memperkuat posisi DPP dalam peta politik Taiwan.
Mulai tahun 2000 juga politik Taiwan di dominasi oleh dua kekuatan utama yaitu
44Tsai, Chang-Yen, 2007,‘Identity, Ethnic Identity, and Party Identity in Taiwan’, Maryland Series
in Contemporary Asian Studies, No. 1-2007, terdapat di:
http://digitalcommons.law.umaryland.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1187&context=mscas,
diakses pada 20 April 2016 pkl 10.09 45Chia-hung Tsai dan Shuang-chun Chao,‘Nonpartisans and Party System of Taiwan: Evidence
from 1996, 2000, and 2004 Presidentials Elections’, Journal of Asian and African Studies,
Sage Publications, Vol. 43, No. 6, hlm 617 46Ling, Neng Shan, 2012, ‘Lee Teng-hui Two State Theory: Perceptions and Policy Change’,
Jurnal Ilmu Politik Soochow, Vol. IV, No. 29, hlm 183, terdapat di:
http://www2.scu.edu.tw/politics/jornal/doc/j294/4.pdf, diakses pada 20 April 2016 pkl 10.29 47Tsai dan Chao, Nonpartisans and Party System of Taiwan: Evidence from 1996, 2000, and 2004
Presidentials Elections, 617.
28
Pan Blue dan Pan Green. Kedua kekuatan tersebut memiliki kepentingan yang
jauh berbeda, Pan Blue mendukung Chinese identity dan menganggap bahwa isu
Tiongkok vs Taiwan adalah isu domestik serta mendukung unifikasi, sedangkan
Pan Green mendukung Taiwanese identity dan menganggap bahwa isu cross-
strait adalah isu internasional yang melibatkan dua negara.48
Keadaan politik Taiwan berbalik pada tahun 2008, presiden terpilih Taiwan
berasal dari KMT yakni Ma Ying-jeou. Program kerja Ying-jeou berfokus pada
konsep common market dan tidak menyinggung masalah unifikasi Tiongkok-
Taiwan maupun masalah identitas nasional. Pesaing Ying-jeou dalam pemilu
2008, Frank Hsieh mengusulkan tentang revitalisasi hubungan dengan Tiongkok
daratan dengan meredakan ketegangan dengan Tiongkok.49
Namun isu identitas Taiwan membali menjadi isu prioritas selama proses
pemilihan presiden tahun 2012. KMT memfokuskan revitalisasi hubungan dengan
Tiongkok, sedangkan DPP lebih mempromosikan kerjasama yang aman bagi
posisi status quo Taiwan. Selain isu identitas negara, isu yang merebak saat itu
adalah tentang energi nuklir, pengangguran, kesenjangan sosial, serta
pemberantasan korupsi.50
48Chen, Chien-kai, 2013,‘China and Taiwan: A Future of Peace?: A Study of Interdependence,
Taiwanese Domestic Politics and Cross Strait Relations’, terdapat di:
http://www.edu/korbel/jais/journal/volume1/volume1_chen.pdf, diakses pada 20 April 2016
pkl 10.39 49Rios, Xulio, 2012,‘The Development of the Relations Between Mainland China and
Taiwan during Hu Jintao’s Terms of Office: From the Anti-secession Law to the
Enforcement of the ECFA’, hlm 31, terdapat di: http://www.politica-
china.org/imxd/noticias/doc1344111140The_Development_of_the_Relations_betw
een_Mainland_China_and_Taiwan.pdf, diakses pada 20 April 2016 pkl 50Rios, The Development of the Relations Between Mainland China and Taiwan during
Hu Jintao’s Terms of Office: From the Anti-secession Law to the Enforcement of
the ECF, 30.
29
2.4 Sikap Taiwan terhadap One China Policy
Perundingan dan upaya damai antara Tiongkok dan Taiwan telah dilakukan
sejak tahun 1992. Perundingan tersebut pertama kali dilakukan di Hongkong pada
1992 yang diberi nama Konsensus 1992. Dalam perundingan ini pihak Tiongkok
yang diwakili oleh Straits Exchange Foundation (SEF) dan pihak Taiwan yang
diwakili oleh Association for Relations Across the Taiwan Straits (ARATS),
dimana perundingan ini menghasilkan kesepakatan tentang konsep One China,
tapi baik Tiongkok maupun Taiwan memiliki penafsiran yang berbeda terhadap
konsep tersebut.51
Dalam hasil Konsensus 1992 Taiwan menganggap bahwa arti dari One-
China adalah ‘One China, Two Government’, sedangkan Tiongkok menganggap
kebalikannya bahwa Taiwan adalah wilayah yang tak terpisahkan dari Tiongkok,
dan peristiwa cross-strait terebut dianggap sebagai konfik internal dalam sebuah
wilayah bukan konflik internasional. Tiongkok juga menganggap bahwa bukti
sejarah, realitas, serta hukum Taiwan Affairs Office of the State Council PRC
2001 menegaskan bahwa konsep One-China berarti tidak ada negara lain selain
Republik Rakyat China.52
Kegagalan upaya Konsensus 1992 berdampak luas bagi kebijakan luar
negeri Tiongkok terhadap Taiwan. Tiongkok melakukan kontrak politik One-
51Lin, Cheng-yi dan Lin Wen-cheng, 2005,‘Democracy, Divided National Identity, and Taiwan’s
National Security’, Taiwan Journal Of Democracy, Vol 1, No.2, hlm 69-87, terdapat di:
http://www.tfd.org.tw/docs/dj0102/069-088.pdf, diakses pada 20 April 2016 pkl 13.40 52Moma, Rira. 2011. ‘Briefing Memo: The Direction of China-Taiwan Relations unter the Jinping
ang Ma Ying Jeou Administrations’, terdapat di:
http://www.nids.go.jp/english/publications/briefing/pdf.2013/briefing_el74.pdf, hlm 1,
diakses pada 20 April 2016 pkl 13.48
30
China kepada mitra kerjasama ekonomi dan politiknya untuk tidak menjalin
hubungan diplomatik dengan Taiwan. Kebijakan Taiwan dalam menyikapi One-
China Policy dapat dilihat dalam tiga periode kepemimpinan yakni periode Lee
Teng-hui, Chen Shui-bian, dan Ma Ying-joeu
Pada masa pemerintahan Lee Teng-hui pada 1988, Teng-hui mencoba
menghentikan sikap Tiongkok yang sengaja ingin memarjinalkan Taiwan dengan
menolak proposal unifikasi yang diajukan Tiongkok serta kembali mempertegas
posisi Taiwan secara de facto.53 Salah satu upaya Teng-hui agar Taiwan mendapat
pengakuan secara internasional adalah dengan mengunjungi Amerika Serikat (AS)
pada 1995. Sebenarnya tujuan Teng-hui ke AS adalah untuk menghadiri reuni di
almamaternya yakni Universitas Cornell, namun tak dapat ditampik jika
kunjungan Teng-hui ke AS juga sekaligus kunjungan penting untuk membangun
komunikasi ke dunia internasional bahwa Taiwan adalah sebuah negara
independen.54
Namun tentu saja kunjungan Teng-hui ke AS ini mendapat reaksi negatif
dari pemerintah Tiongkok. Tiongkok merespon kunjungan tersebut dengnan
menarik duta besar Tiongkok dari Washington, menunda pembicaraan unofficial
dengan Taipei dan melakukan latihan militer besar-besaran di selat Taiwan sejak
Juli 1995 sampai dengan Maret 1996. Persitiwa ini yang kemudian dikenal
sebagai 1995-1996 Taiwan Strait Crisis.55
53Rios, The Development of the Relations Between Mainland China and Taiwan during Hu
Jintao’s Terms of Office: From the Anti-secession Law to the Enforcement of the ECFA , 6. 54Susan L. Shirk, ‘China Fragile Superpower’, (New York: Oxford University Press, 2008), hlm
188-189. 55Jue, Stanton, 2011. ‘Taiwan’s Political Evolution Since 1979: A Personal Perspective’. Asian
Affair and American Review, hlm 191.
31
Lain halnya dengan masa pemerintahan Chen Shui-bian. Jika Teng-hui terus
mengupayakan pelepasan diri dari Tiongkok daratan, Shui-bian justru terkesan
menerapkan standar ganda. Standar ganda yang dimaksud adalah di satu sisi
Taiwan kerap menerima undangan dialog dengan Tiongkok, namun di sisi lain
Taiwan terus mengupayakan posisi Taiwan sebagai negara yang merdeka. 56
Shui-bian menerapkan beberapa cara dalam menghadapi One China Policy,
cara pertama, ia menerima ide tentang One China namun bersikap di bawah
kerangka konstitusi ROC. Selain itu Shui-bian juga mempromosikan negosiasi
ekonomi yang tidak resmi dengan Tiongkok.57
Taiwan kembali menunjukkan sikap yang berbeda pada masa pemerintahan
Ma Ying-jeou. Taiwan tak lagi memprioritaskan pengakuan terhadap status
Taiwan sebagai negara yang independen, namun Taiwan memilih membangun
kerjasama yang menguntungkan dengan Tiongkok tanpa menyinggung
permasalahan kedaulatan Tiongkok maupun Taiwan. Akan tetapi pada eranya
Ying-jeou memiliki sikap yang tegas terhadap One-China Policy, dalam suatu
kesempatan ia pernah menyatakan bahwa Taiwan tetap ingin berdiri sebagai
negara yang berdaulat, bukan bagian dari Tiongkok. Ia juga menegaskan bahwa
Taiwan hanya akan melakukan kerjasama dengan AS untuk melindungi dirinya,
bukan meminta AS untuk melindungi Taiwan. 58
56Rios, The Development of the Relations Between Mainland China and Taiwan during Hu
Jintao’s Terms of Office: From the Anti-secession Law to the Enforcement of the ECFA, 6. 57Matsuda, Yasuhiro, 2004,‘PRC-Taiwan Relations under Chen Shui-bian’s Government:
Continuity and Change between the First and Second Terms’, The National Institute for
Defense Studies, Japan Defense Agency, hlm 2. 58Cheng, Sun Shao, 2012,‘President Ma Ying Jeou’s Strategies to Promote ECFA in Taiwan’,
EOPS No 0012, hlm 1.
32
BAB III
KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT TERHADAP ONE CHINA
POLICYDARI MASA KE MASA
Sejak dahulu Amerika Serikat (AS) memiliki kebijakan yang berbeda dan
terus berubah terkait sikapnya terhadap One China Policy. AS terus mengubah
pernyataan dan kebijakan di setiap masa pemerintahan masing-masing
presidennya. Setiap kebijakan yang dibuat oleh presiden AS dari masa ke masa,
pastilah harus mencakup kepentingan AS dalam hal keamanan maupun
demokrasi.
Taiwan Relations Act (TRA) yang dicanangkan sejak 1979 menjadi
landasan bagi AS dalam hubungan diplomatik dan pembuatan perjanjian
pertahanan dengan Taiwan. TRA merupakan perjanjian antara AS dan Taiwan
yang berisikan bahwa AS akan membantu Taiwan untuk melindungi dirinya
sendiri dengan bantuan militer. Tak hanya sampai disitu, TRA juga meliputi
kerjasama lainnya selain bidang senjata.
Pada awal abad ke-20, AS mengakui Republic of China (ROC) atau Taiwan
sebagai bagian yang terpisah dari Tiongkok, tepatnya sejak 1913 sampai 1978.
Keberpalingan AS kepada Tiongkok sebenarnya sudah terlihat sejak awal 1970.
33
AS mulai membuka hubungan diplomatik dengan Tiongkok sambil terus mencari
cara untuk mempertahankan hubungan dengan Taiwan.59
Namun ada beberapa masalah yang menjadi prioritas AS dalam menyikapi
One China Policy, yang pertama adalah kedaulatan. Kedaulatan dalam hal ini
mencakup status yuridis Taiwan, masalah unifikasi ataupun kemerdekaan,
referendum, konstitusi baru, serta pastisipasi internasional. Interpretasi AS dan
Tiongkok terkait prinsip One-China memang berbeda. Dari situlah muncul
pertanyaan-pertanyaan apakah sikap AS ini adalah suatu bentuk dukungan, non-
dukungan, ataukah oposisi pada unifikasi ataupun kemerdekaan. Pada saat yang
sama, Taiwan terus mengukuhkan kedaulatan negaraya serta terus mencari
pengakuan internasional di PBB.
Meski AS dan Taiwan tidak memiliki hubungan diplomatik yang resmi, AS
terus membantu self-defense Taiwan dengan melakukan penjualan senjata ke
Taiwan. Setelah ketegangan di Selat Taiwan pada 1995-1996-an, Pentagon
dibawah kepemimpinan Bill Clinton pada saat itu diam-diam tetap memiliki
hubungan militer yang penting dengan Taiwan.
3.1 Sikap AS pada Masa Pemerintahan Richard Nixon (1969-1974)
Pada era ini tepatnya pada 9 Juli 1971 dua tahun masa pemerintahan Nixon,
Nixon mengutus Menteri Luar Negerinya saat itu, Henry Kissinger untuk
melakukan pembicaraan rahasia dengan Perdana Menteri (PM) Tiongkok, Zhou
59Jonathan Spence, The Search for Modern China (W. W. Norton & Company, 1990), telegram
presiden Woodrow Wilson’s, pada 2 Mei 1913 kepadaPresiden Taiwan, Yuan Shih-Kai
(TECRO’s display, Twin Oaks, October 8, 2014).
34
Enlai. Enlai bertanya pada Kissinger apakah AS akan mendukung deklarasi
kemerdekaan Taiwan? Kissinger menjawab sesuai apa yang dipesankan presiden
Nixon kepadanya bahwa kehadiran militer AS di Taiwan disebabkan oleh dua hal,
yang pertama adalah untuk hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan di Asia
(saat itu adalah Perang Vietnam), dan yang kedua adalah untuk membantu
pertahanan Taiwan. AS juga bersiap untuk mengurangi kekuatan di Taiwan
sebagai perkembangan dan kemajuan hubungan baiknya dengan Taiwan, jadi
hubungan AS dan Taiwan tidak akan menjadi penghalang bagi hubungan baik AS
dan Tiongkok. Namun, Kissinger menegaskan bahwa hal tersebut masih pendapat
pribadi presiden Nixon dan belum didiskusikan dengan kongres atau birokrasi
apapun. Dan Kissinger kembali menegaskan bahwa AS tidak mendukung
kemerdekaan Taiwan.60 Untuk memperkuat pernyataan bahwa AS tidak
mendukung kemerdekaan Taiwan, AS mengutus wakil di PBB yakni Sekretaris
Negara, Williams Rogers yang intinya menyatakan bahwa AS mendukung segala
upaya Tingkok untuk duduk di PBB, dan pada waktu yang sama pula AS
menyatakan akan mengeluarkan representasi Taiwan di PBB.61
Pada 22 Februari 1972 presiden Nixon melakukan pembicaraan rahasia
dengan Enlai, Nixon mengeluarkan ‘Five Principles’ untuk menjelaskan sikap
AS. Prinsip pertama adalah hanyalah ada satu Tiongkok, dan Taiwan merupakan
bagian dari Tiongkok. Prinsip kedua; AS tidak dan tidak akan mendukung
kemerdekaan Taiwan dalam bentuk apapun. Ketiga, jika AS mampu, AS akan
60Holdridge, John, Crossing the Divide: An Insider’s Account of Normalization of U.S.-China
Relations (Rowman & Littlefield Publishers, 1997), hlm. 90 61James C.H. Shen (ROC Ambassador to the United States in 1971-1978), The U.S. and Free
China: How the U.S. Sold Out Its Ally, Acropolis Books, 1983)
35
memengaruhi Jepang untuk tidak mendukung kemerdekaan Taiwan. Poin Nixon
yang keempat adalah AS akan mendukung segala resolusi damai terkait Taiwan
dan AS tidak akan lagi mendukung pemerintah Taiwan dalam bidang senjata,
dukungan itu akan AS alihkan untuk Tiongkok daratan. Terakhir, Nixon
menyatakan akan melakukan normalisasi hubungan dengan Tiongkok.62 Dua hari
setelah pembicaraan tersebut yakni pada 24 Februari 1972, Nixon menarik
pasukan militer AS dari Taiwan.
Pada 27 Februari 1972, terjadilah peristiwa Komunike Shanghai. Dalam
komunike ini, AS melakukan normalisasi hubungan dengan Tiongkok dimana AS
juga kembali menegaskan bahwa Republik Rakyat Tiongkok merupakan
pemerintah yang sah, dan Taiwan hanyalah provinsi yang harus kembali ke
asalnya. Segala bentuk liberalisasi Taiwan adalah masalah internal Tiongkok dan
tidak boleh ada yang mengintervensi, seluruh angkatan bersenjata AS akan ditarik
dari Taiwan.63
3.2 Sikap AS pada Masa Pemerintahan Gerald Ford (1974-1977)
Pada masa pemerintahan Ford, kebijakan AS tidak banyak mengalami
gejolak karena Ford hanya mengikuti sikap presiden sebelumnya dan mengikuti
Komunike Shanghai untuk menyikapi One China Policy. Pada 12 Agustus 1974
62White House, Memorandum of Conversation, February 22, 1972, 2:10pm-6:00pm 63The Chinese text used “ren shi” (“to acknowledge”). The Chinese term was changed in the 1979
communique to “recognize.”
36
Ford menegaskan bahwa pemerintahannya akan meneruskan prinsip-prinsip yang
dimuat dalam Komunike Shanghai.64
3.3 Sikap AS pada Masa Pemerintahan Jimmy Carter (1977-1981)
Sebagaimana pernyataan pada 1 Januari 1979, AS masih mengakui bahwa
Tiongkok sebagai pemerintah Tiongkok yang sah. Namun di masa depan, AS dan
Taiwan akan menjaga dan memelihara hubungan komersial, budaya, dan
hubungan lainnya tanpa melewati representasi pemerintah resmi, dan tanpa
hubungan diplomatik yang resmi. AS yakin bahwa Taiwan bisa berdamai dan
akan meraih masa depan yang sejahtera, dan AS juga berharap bahwa persoalan
Taiwan akan diselesakan secara damai secara internal.65 Pernyataan tersebut baru
ditanggapi hampir satu tahun kemudian oleh presiden Taiwan, Chiang Ching-kuo.
Ching-kuo menyatakan bahwa ROC merupakan sebuah negara yang berdaulat
dengan pemerintah yang dilegitimasi dalam Constitution of the Republic of China.
66
Dalam Komunike Normalisasi dengan Tiongkok, AS kembali menegaskan
bahwa AS mengakui Beijing sebagai pemerintah Tiongkok yang legal. Dalam
konteks ini, AS tetap akan memelihara hubungan baiknya dengan Taiwan dalam
kebudayaan, komersial, dan hubungan unofficial lainnya. Pada tahun yang sama
yakni 1979 tepatnya pada 10 April, AS meluncurkan Taiwan Relations Act (TRA)
64Public Papers of the Presidents, Gerald Ford, 1974. 65“Congress andForeign Relations: the Taiwan Relations Act,” Foreign Affairs, Fall 1981 66The Taiwan Issue in Sino-American Strategic Relations (Boulder: WestviewPress, 1984)
37
yang akan menjadi dasar segala hubungan AS dan Taiwan hingga saat ini
termasuk aliansi pertahanan. Mengenai TRA akan dibahas pada bab selanjutnya.
3.4 Sikap AS pada Masa Pemerintahan Ronald Reagan (1981-1989)
Pada 17 Agustus 1972, presiden Reagan membuat pernyataan bahwa AS
akan tetap memasok senjata ke Taiwan sesuai dengan yang tertera di TRA.
Pemasokan senjata ini bertujuan agar Taiwan tetap bisa berdamai dengan
Tiongkok.67
Pada 30 September 1981, pimpinan RRT saat itu Ye Jianying mengajukan
‘Nine-Point Proposal’ kepada Taiwan. Proposal tersebut berisi antara lain ingin
agar Tiongkok dan Taiwan melakukan reunifikasi dan Taiwan akan mendapatkan
otonomi khusus dan akan mendapatkan pasukan bersenjatanya sendiri, pemerintah
pusat juga tidak akan mencampuri urusan lokal Taiwan. Tiongkok juga
menawarkan apabila Taiwan mengalami kesulitan masalah finansial, pemerintah
pusat siap untuk mensubsidi sebanyak yang diperlukan. Tiongkok juga
menjanjikan siapapun warga Taiwan yang akan datang ke Tiongkok daratan
dijamin akan diberi perlakuan yang layak dan tidak didiskriminasi, mereka juga
dapat keluar dan masuk Tiongkok daratan secara bebas. Pada pebisnis Taiwan
juga dipersilakan untuk berinvestasi dan menjalin hubungan ekonomi di Tiongkok
67“Statement on United States Arms Sales to Taiwan,” Public Papers of the Presidents of the
United States, Ronald Reagan.
38
daratan dengan hak, kepentingan, dan keuntungan yang dijamin oleh pemerintah
pusat.68
Pada 1982 di tengah-tengah hubungan buruk AS dan Tiongkok, presiden
Reagan mengeluarkan sebuah kebijakan melalui tiga pernyataan penegasan dan
penyulingan terkait kebijakan AS ke Taiwan di era yang baru. Pernyataan pertama
merupakan sebuah pernyataan pribadi kepada Taiwan bahwa Taiwan tidak akan
‘dikorbankan’ demi hubungan AS dan Tiongkok. Pernyataan kedua AS akan
menjaga hubungan bilateralnya dengan Tiongkok dengan menuruti tekanan
Tiongkok untuk mengurangi kerjasama dengan Taiwan terutama dalam
perdagangan senjata baik kuantitatif maupun kualitatif. Pernyataan yang ketiga
merupakan klarifikasi dari Deplu AS urusan Asia yang mengatakan bahwa
pemerintahan Reagan tidak mengubah hal-hal fundamental terkait kebijakan AS
ke Taiwan, termasuk perdagangan senjata.69
3.5 Sikap AS pada Masa Pemerintahan George H. W. Bush (Bush Senior)
(1989-1993)
Pernyataan presiden Bush pada 1 Agustus 1992 bahwa ‘One China’, berarti
People Republic of China atau Tiongkok dengan Taiwan menjadi wilayah
administrasi khusus setelah unifikasi. Taiwan yang meliputi Penghu, Kinmen dan
Matsu termasuk bagian dari Tiongkok daratan.70
68Ye Jianying Explains Policy Concerning Return of Taiwan to Motherland and Peaceful
Unification,” Xinhua [NewChina News Agency], September 30, 1981 69Ibid,. 70Public Papers of the Presidents, George Bush.
39
Pada 2 September 1992, AS menjual pesawat jenis F-16A/B sebanyak 150
unit. Penjualan pesawat ke Taiwan, menurut AS, untuk memelihara perdamaian
dan menciptakan stabilitas yang menjadi konsentrasi AS, sekaligus stabilitas di
kawasan Asia-Pasifik. Dalam periode ini, AS menyediakan bantuan pertahanan
pada Taiwan agar Taiwan percaya diri untuk mengurangi tensi dalam konflik
tersebut. Hal ini juga dilakukan AS untuk mendukung evolusi dramatis yang
dialami Taiwan dalam menerapkan demokrasi.71
3.6 Sikap AS pada Masa Pemerintahan Bill Clinton (1993-2001)
Kebijakan AS pada Taiwan adalah berdasarkan TRA yang dibuat pada 1979
yakni walaupun AS mengakui bahwa Tiongkok adalah pemerintahan yang resmi,
AS tetap menjalin berbagai kerjasama komersial dengan Taiwan.
Pada 22 Mei 1995, presiden Clinton memberi izin masuk AS kepada
presiden Taiwan saat itu, Lee Teng-hui yang saat itu akan melakukan reuni di
almamaternya yakni Universitas Cornell. Kunjungan presiden Lee saat itu murni
kunjungan pribadi ke AS, bukan kunjungan resmi antar-negara.
Pada Agustus 1995, Clinton melakukan pertemuan dengan presiden
Tiongkok saat itu, Jiang Zemin. Sekretaris Negara AS, Warren Christopher
melaporkan apa sajakah yang dibicarakan Clinton kepada Zemin, pertama, AS
akan menentang kemerdekaan Taiwan, kedua AS tidak akan mendukung ‘two-
71Administration of George Bush, 1992 (Public Papers of the Presidents)
40
Chinas’ ataupun ‘one China dan one Taiwan’, dan yang ketiga AS tidak mau
mendukung pengakuan Taiwan di PBB.72
Pada masa pemerintahan Clinton, Clinton kerap melakukan beberapa
pertemuan dengan presiden Tiongkok guna menegaskan posisi AS yang
mendukung One-China Policy diantaranya Clinton-Jiang Summit dan US-China
Joint Statement pada 1997, Summit and the State Department on the ‘Three Noes’
pada 1997, Clinton-Jiang Summit 1998 di Beijing, Summit and the State
Department on the ‘Three Noes’ pada 1998, Clinton dan Jiang pada pertemuan
APEC 1999.
3.7 Sikap AS pada Masa Pemerintahan George W. Bush (Bush Junior)
(2001-2009)
Pada masa Bush junior, kebijakan AS terkait One China Policy lebih
condong ke Taiwan. Citra Tiongkok pada masa itu bukan sebagai strategic
partner AS melainkan sebagai America’s enemy.73
Condongnya AS ke pihak Taiwan dibuktikan dengan meningkatnya
penjualan senjata ke Taiwan, menegaskan komitmen untuk membantu pertahanan
Taiwan, serta mengubah arah pertahanan AS dari fokus ke Eropa, menjadi fokus
ke Asia Pasifik. Semua ini merupakan bentuk counter terhadap kekuatan
pertahanan Tiongkok. Sementara itu Tiongkok yang tidak tinggal diam juga terus
72Garver, p. 79; Mann, p. 330 73‘The Contradictions of Bush’s China Policy ‘, terdapat di:
(http://www.nytimes.com/2001/06/02/opinion/the‐contradictions‐of‐bush‐s‐chinapolicy.html)
, diakses pada 7 Juni 2016 pkl 20.34
41
meningkatkan kekuatan pertahanannya dengan membeli berbagai senjata ke
Rusia. AS menganggap ini bukan hanya ancaman bagi Taiwan, tetapi juga
ancaman bagi keamanan di Asia Pasifik.74
Sewaktu Uni Eropa berencana mencabut embargo penjualan senjata ke
Tiongkok, AS dengan tegas menyatakan keberatan, alasannya adalah karena AS
khawatir pencabutan embargo tersebut akan semakin meningkatkan persenjataan
Tiongkok, jika pertahanan Tiongkok semakin kuat, hal tersebut akan semakin
mengancam Taiwan. Untuk itu AS sebisa mungkin mencegah hal itu agar
Tiongkok tidak menyerang Taiwan.
Meskipun AS pada masa Bush jelas-jelas mem back up Taiwan, AS tetap
tidak mendukung deklarasi kemerdekaan Taiwan karena menurut AS jika Taiwan
mendeklarasikan kemerdekaannya, Tiongkok akan semakin agresif dan tersulut,
bukan tidak mungkin Tiongkok akan menyerang Taiwan secara langsung.
Pada masa Bush junior ini sepertinya AS ‘bermain aman’ dengan tetap
mendukung One China Policy dengan mengakui Tiongkok sebagai pemerintahan
sah, namun juga terus membantu pertahanan Taiwan. Namun AS tetap pada
posisinya untuk tidak menjadi mediator Tiongkok dan Taiwan, ataupun
mendukung perdamaian kedua pihak.
Pada masa pemerintahan Bush junior, AS masih memegang prinsip One
China Policy dan masih menganggap bahwa Tiongkok adalah pemerintahan yang
sah. AS juga tidak mengganti keadaan status quo pada kasus selat Taiwan. AS
kembali menyatakan pada 2004 bahwa hanya ada satu Tiongkok, dan Taiwan itu
74US Department of Defense, Annual Report on the Military Power of the People's Republic of
China, 2004
42
tidak merdeka, AS pun mengulang perrnyataanya untuk kesekian kali bahwa AS
tidak mendukung pergerakan kemerdekaan di Taiwan.
3.8 Sikap AS pada Masa Pemerintahan Barack Obama (2009-sekarang)
Pada masa kampanyenya, Obama menyatakan hal yang mengejutkan bahwa
AS tidak memiliki kewajiban untuk membela dan mendukung pertahanan Taiwan.
Obama juga menyatakan jika ia terpilih menjadi presiden, AS akan berusaha
menjadi host talk antara militer Tiongkok dan Taiwan. Hal ini tentu saja
mengejutkan, mengingat dari zaman dahulu AS tidak pernah mengubah
pernyataannya yakni tidak mau ikut campur dalam konflik Tiongkok dan Taiwan,
termasuk menjadi mediator. Selain itu juga Obama menyatakan bahwa Tiongkok
merupakan partner yang lebih penting daripada Taiwan.75
Setelah terpilih, Obama berhasil meredakan ketagangan Tiongkok dan
Taiwan. Namun dalam pemerintahannya Obama cenderung lebih condong ke
Tiongkok, dilihat dari Obama menunjuk penasihat kebijakan yang pro Tiongkok.
Salah satu penasihat keamanan nasional pada masa Obama yakni Zbigniew
Brzezinski yang menyatakan Taiwan adalah hambatan AS dalam menjalin
hubungan dengan Tiongkok.76
75‘Obama Turns Towards Taiwan’, terdapat di:
http://nationalinterest.org/commentary/obama‐turns‐toward‐taiwan‐9048, diakses pada 7 Juni
2016 pkl 21.04 76‘Obama Affirms One China Policy’, terdapat di:
http://www.washingtontimes.com/news/2009/nov/17/obama‐affirms‐one‐china‐policy/,
diakses pada 7 Juni 2016 pkl 21.12
43
Pada masa Obama ini, AS tetap pada pendiriannya yakni mengakui
Tiongkok sebagai satu-satunya pemerintah yang legal sambil terus membina
hubungan baik dengan Taiwan berdasarkan TRA. Di saat yang sama, presiden
Taiwan, Ma Ying-jeou menyatakan bahwa Taiwan akan meneruskan jual beli
senjata dengan AS, tapi Taiwan tidak akan pernah meminta AS untuk berjuang
melindungi atau mempertahankan, karena Taiwan dapat berjuang sendiri.
Pada perioden pemerintahannya yang kedua, Obama kembali menekankan
oentingnya hubungan AS dengan Taiwan. Dekatnya kembali hubungan AS
dengan Taiwan ditandai dengan penandatanganan kebijakan yang mendukung
Taiwan bergabung dalam International Civil Aviation Organization. Obama juga
fokus untuk meningkatkan meningkatkan hubungan perdagangan bebas antara
keduanya. Setelah mendukung Taiwan untuk bergabung dalam International Civil
Aviation Organization, AS juga kembali memberikan dukungan pada Taiwan
untuk bergabung menjadi anggota Trans-Pacific Partnership Agreement. Aliansi
militer AS dan Taiwan kembali naik sejak Obama menandatangani persetujuan
penjualan misil ke Taiwan. Hal ini tentu saja membuat Tiongkok bereaksi keras.77
Tindakan AS ini untuk mempertahankan pengaruhnya di Asia Pasifik
karena AS sadar kekuatan Tiongkok di Asia sudah sangat besar. AS takut jika hal
ini dibiarkan, pengaruh AS akan dikalahkan oleh pengaruh Tiongkok. Untuk tetap
mempertahankan pengaruhnya di Asia, AS merasa peerlu mencari aliansi dan
pada akhirnya AS memilih Jepang, India, Korea Selatan, ASEAN, serta Taiwan.
77‘US-China, US-Taiwan’, terdapat di:
http://www.reuters.com/article/2014/12/19/us‐china‐usa‐taiwan‐idUSKBN0JX0NK20141219
, diakses pada 7 Juni 2016 pkl 21.24
44
Menurut AS dengan adanya aliansi dengan berbagai negara, AS bisa tetap
mempertahankan pengaruhnya di Asia Pasifik melebihi Tiongkok. 78
78Wabiser,. Op.cit, hlm 3
45
BAB IV
ALIANSI PERTAHANAN TAIWAN-AMERIKA SERIKAT
Taiwan Relations Acts (TRA) merupakan suatu perjanjian yang paling
menentukan bagi hubungan AS dan Taiwan. TRA ini disusun berdasarkan hukum
domestik dan sebagai penjelasan atas kepentingan AS di Taiwan. TRA ini
termasuk melanjutkan perdagangan senjata ke Taiwan juga mewujudkan
komitmen AS untuk menjaga perdamaian kawasan Asia Pasifik, untuk itulah AS
dan Taiwan tetap mempertahankan aliansi pertahanan mereka.
Aliansi pertahanan Taiwan dan AS sudah berlangsung lama yakni sejak
masa Perang Dunia ke II. Aliansi pertahanan kedua negara ini mengalami
perubahan beberapa kali sejak awal terbentuknya. Sebelum menganalisis lebih
dalam masalah korelasi konsep yang dipilih dalam penelitian ini dan aliansi
pertahanan Taiwan-AS, penelitian ini akan terlebih dahulu membahas berbagai
perubahan bentuk perjanjian kerjasama pertahanan Taiwan-AS.
Kerjasama pertahanan yang pertama adalah ketika AS memberi bantuan
militer kepada Taiwan guna membantu melawan Jepang pada 1941-1942 melalui
The American Volunteer Group atau Flying Tigers. AS yang memang sejak
dahulu memiliki kepentingan di Asia Pasifik mengirim pasukan militer ke selatan
Taiwan dari kemungkinan berbagai serangan, salah satunya serangan komunis
pada saat itu. Presiden AS Harry Truman sudah meyakini bahwa komunia akan
46
melakukan apa saja untuk menyebarkan ideologinya dan dapat mengganggu
ketertiban dunia.79
Pada 1942 juga Flying Tigers yang dikirim oleh AS berganti nama menjadi
US Naval Group China (Sino American Cooperative Organization atau yang lebih
dikenal dengan SACO. Tidak hanya bantuan militer yang didapat Taiwan, AS
juga membantu pertahanan Taiwan dengan berbagi teknologi intelijen.80
Aliansi pertahanan Taiwan-AS melalui SACO bertahan cukup lama sempai
dengan 1951, kemudian berganti nama menjadi Military Advision Assistant Group
to Taiwan. Pada 1951 juga AS mengalokasikan dana sebesar lima puluh juta dolar
AS kepada Taiwan untuk membantu pertahanan Taiwan. Presiden Truman
mengalokasikan dana sebesar itu karena Taiwan dianggap aliansi yang penting di
kawasan Asia Pasifik.
Setelah Fying Tigers, SACO, Military Advision Assistant Group to
Taiwan,Taiwan dan AS kembali membuat perjanjian pertahanan baru yaitu Sino-
American Mutual Defense Treaty pada 1954. Tujuan dibuatnya perjanjian ini lagi-
lagi soal melindungi Taiwan dari kemungkinan invasi Tiongkok setelah Perang
Saudara di daratan Tiongkok pada waktu lalu. Perjanjian ini ditandatangani pada 2
Desember 1954 di Washington DC.81
Aliansi pertahanan ini diperkuat dengan perjanjian pertahanan yang berisi
setiap serangan bersenjata ke wilayah Taiwan juga merupakan serangan ke AS.
79Syaril Sadikin, ‘Ada kemungkinan RRC bersikap lebih lunak dalam menghadapi
soal Taiwan’, dalam Sinar Harapan (Jakarta, 30-11-1983) Hal.8. isi
perjanjian, The Taiwan issue hal. 251-253. 80‘SACO History’, terdapat di: http://www.saconavy.com/history.htm, diakses pada 13 Desember
2015 pkl 09.42 81‘Mutual Defense Treaty between the United States of America and Republic of China’,terdapat di
http://www.taiwandocuments.org/mutual01.htm, diakses pada 13 Desember 2015 pkl 09.53
47
Karena Taiwan merupakan bagian penting dari aliansi pertahanan AS di Asia
Pasifik, AS merasa wajib melindungi Taiwan.82
Tetapi ada celah dalam perjanjian ini. Dalam perjanjian ini, Taiwan
menyebutkan pulau-pulau yang dilindungi AS hanya ada tiga pulau yakni
Formosa, Pecadores, dan Metsu. Karena Kinmen tidak disebutkan, Tiongkok
memanfaatkan celah itu untuk menyerang Kinmen. Walaupun Kinmen tidak
disebut dalam perjanjian, AS tetap membantu Taiwan menahan serangan dari
Tiongkok, karena pulau Kinmen juga merupakan bagian penting dari pertahanan
Taiwan.83
Pasca serangan ke Kinmen, aliansi pertahanan Taiwan-AS semakin erat
yang ditandai dengan Jendral Eisenshower mengajukan resolusi ke Kongres AS
yang bernama Formosa Resolutions yang kemudian disahkan Kongres pada 29
Januari 1955.84
AS mengakui rezim Kuomintang di Taipei sejak 1949 sampai 1960-an.
Namun mulai awal 1970, AS dan negara-negara Barat mengakui rezim komunis
di Beijing sebagai pemerintahan Tiongkok yang sah, dan kemudian AS juga
menyatakan bahwa hanya ada satu Tiongkok, dan Taiwan merupakan bagian dari
Tiongkok, atau dengan kata lain AS mendukung One-China Policy. Normalisasi
hubungan AS-Tiongkok dibuat oleh presiden Richard Nixon salah satunya
dengan memberi pengakuan diplomatik bagi Tiongkok dan membentuk
Komunike Shanghai pada Februari 1972.
82Mutual Defense Treaty between the United States of America and Republic of China’,
http://www.taiwandocuments.org/mutual01.htm, diakses pada 13 Desember 2015 pkl 09.53 83Tierney, About to Face China, 130. 84Tierney, About to Face China, 130.
48
Namun AS nampaknya memiliki standar ganda yang dibuktikan pada 19
April 1979, AS membuat perjanjian baru dengan Taiwan yakni Taiwan Relations
Act (TRA) yang ditandatangani oleh presiden Jimmy Carter yang kemudian
menjadi landasan aliansi Taiwan-AS hingga saat ini.85
Isi dari TRA tidak hanya menyangkut kerjasama maupun aliansi pertahanan
militer dengan Taiwan saja namun juga komitmen AS untuk membina hubungan
yang lebih dekat dan intensif dengan Taiwan. Namun dalam TRA ini lah
digarisbawahi bahwa AS akan terus memasok senjata untuk kepentingan
pertahanan Taiwan hingga batas waktu yang tidak ditentukan. TRA inilah yang
hingga saat ini masih dipegang AS maupun Taiwan dalam menjalankan aliansi
pertahanannya.
Atas dibentuknya TRA, Tiongkok menjadi geram dan menganggap bahwa
TRA ini dapat mengganggu hubungan baik AS dan Tiongkok yang baru beberapa
tahun terjalin. Namun tentu saja Taiwan tidak peduli atas kegeraman Tiongkok ini
karena Taiwan merasa sudah memiliki AS sebagai back-up. Dan sebelum
terbentuk TRA juga, AS sudah memberi Six Assurances atau enam jaminan
kepada Taiwan. Jaminan yang pertama adalah AS setuju untuk tidak memberikan
tenggat waktu batas penjualan senjata AS ke Taiwan. Jaminan yang kedua AS
tidak akan memberikan konsultasi lanjutan (prior consultations) dengan Taiwan
terkait penjualan senjata. Jaminan ketiga, AS tidak akan pernah menjadi mediator
untuk konflik Taiwan-Tiongkok. Keempat AS tidak akan merevisi atau mengubah
isi TRA, kelima AS tidak akan mengubah posisinya terkait kedaulatan Taiwan,
85‘Taiwan-US Relations’, terdapat di:
http://www.taiwanembassy.org/US/ct.asp?xItem=266456&CtNode=2297&mp=12&xp1=12,
diakses pada 9 November 2015 pkl 09.02
49
dan jaminan terakhir AS tidak akan memaksa Taiwan untuk melakukan negosiasi
apapun dengan Tiongkok.86
Setelah mengetahui berbagai tahap dan bentuk aliansi pertahanan AS dan
Taiwan sejak zaman Perang Dunia II, penelitian ini akan mulai membahas aliansi
pertahanan Taiwan-AS pada masa pemerintahan Obama tepatnya periode 2011-
2014.
Baik Taiwan maupun AS tidak akan meningkatkan kekuatan militernya
maupun memperkuat aliansinya jika tidak ada hal yang memicunya. Hal yang
menjadi pemcu semakin kuatnya aliansi kedua negara adalah karena Tiongkok
yang juga semakin mengancam dengan berbagai kekuatan militernya yang
semakin dipamerkan.
Pada peride 2011-2014 Tiongkok terus meningkatkan kekuatan militer yang
diwujudkan diantaranya dengan latihan menembak selama tiga hari di Selat
Taiwan. Menurut The Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI)
yang telah merilis update tahunan dari pengeluaran militer dunia, Tiongkok
memiliki hasil yang menarik. Dalam dua puluh tahun terakhir, estimasi yang
dihabiska Tiongkok untuk anggaran militer terlihat sangat meningkat dengan
tujuh belas milyar dolar AS pada 1990, dan 114 milyar dolar AS pada 2010.
Berdasarkan pernyataan resmi dari Tiongkok, mereka akan berfokus pada tentara
bayaran, modernisasi peralatan dan senjata untuk menghadapi musuh potensial
seperti AS. Pengeluaran militer Tiongkok sebenarnya masih sedikit dari AS yakni
86Wabiser, ‘US-Sino Relationship: Studi Kasus Kebijakan Amerika Serikat terhadap One China
Policy, 9.
50
sebesar 2,2 persen dari GDP, sedangkan AS menghabiskan 4,7 persen dari GDP
nya.87
Pada 29 Januari 2010 Obama memberitahu Kongres perihal penjualan
senjata utama ke Taiwan yakni ada lima program dengan total nilai 6,4 milyar
dolar AS. Kemudian pada 21 September 2011 Obama mengajukan tiga program
penjualan senjata utama dengan total nilai 5,9 milyar termasuk mengupgrade
pesawat F-16A/B. AS meningkatkan pasokan senjatanya karena AS tahu bahwa
presiden Taiwan, Ma Ying-jeou tidak terlalu memprioritaskan sektor keamanan.
Taiwan memangkas anggaran pertahanannya pada 2001 sampai 2011, tapi
kemudian Taiwan meningkatkannya lagi pada 2012, namun anggaran pertahanan
itu kembali dipangkas pada 2013.88
Pada Kongres ke-113, seorang senator AS, John Cornyn mendesak agar
Kongres menyetujui penjualan pesawat F 16 C/D ke Taiwan. Cornyn menganggap
bahwa Taiwan membutuhkan upgrade pesawat ini untuk menghadapi modernisasi
militer Tiongkok.89
Pada 1 Agustus 2013 AS menyetujui undang-undang Taiwan Policy Acts,
undang-undang ini berisi upaya memperkuat pertahanan Taiwan dengan
peningkatan penjualan senjata, AS menyetujui permintaan Taiwan untuk
mengupgrade F 16 A/B menjadi F 16 C/D.90
87 Helmke. Belinda. ‘China’s Military Spending’. Terdapat di:
http://thediplomat.com/2011/06/chinas-military-spending/, diakses pada 27 Juni 2016 pkl 10.18 88Kan, Shirley A dan Wayne M. Morrison, 2014, ‘U.S.-Taiwan Relationship: Overview of Policy
Issues’, Congressional Research Service, hlm 26. 89 Kan dan Morrison, Overview of Policy Issues, 26. 90 Kan dan Morrison, Overview of Policy Issues, 27.
51
Serah terima penjualan senjata AS ke Taiwan telah meningkat secara
signifikan meskipun keduanya tidak terikat hubungan diplomatik yang resmi.
Taiwan menduduki peringkat tinggi dalam daftar penerima pasokan senjata dari
AS. Diantara banyak negara penerima pasokan senjata milik AS, Taiwan
menduduki peringkat keempat setelah Israel, Mesir, dan Arab Saudi pada 2004-
2007 dengan total nilau penjualan sebesar 4,3 milyar dolar AS. Sedangkan pada
2008-2011 Taiwan menduduki peringkat kelima setelah Arab Saudi, Mesir, Israel,
dan Australia. Berikut ini adalah tabel jumlah nilai perjanjian penjualan senjata
AS ke Taiwan.91
Tabel 4.1
Tabel Jumlah Nilai Perjanjian Penjualan Senjata AS ke Taiwan
Sumber: Shirley A. Kan, Taiwan: Major US Arms Sales Since 1990,
Congressional Research Service, hlm 2
Taiwan mengajukan upgrade F 16 A/B menjadi F 16 C/D sejak tahun 2009
dan pada saat itu juga Taiwan menganggarkan sebanyak 82 juta dolar AS untuk
91Kan dan Morrison, Overview of Policy Issues, 27.
52
sektor pertahanan dibawah pemerintahan presiden Ma Ying-jeou.92 Pada masa ini
Taiwan mengakui kesulitannya dalam mempertahankan biaya pemeliharaan
pesawat tempur.93
Program peremajaan pesawat tempur F 16 A/B menjadi F 16 C/D yang
Taiwan ajukan sejak 2009 bukan hanya mengganti dan membeli pesawat baru
namun juga memperbaiki pesawat-pesawat tempur yang ada dan mengganti suku
cadang. Pada konferensi industri pertahanan AS-Taiwan, wakil Menteri
Pertahanan AS, Peter Lavoy menekankan Taiwan memerlukan tindakan
pertahanan yang mumpuni.
Pada 13 Juli 2012 Taiwan menandatangani program pertahanan yang
bernilai 3,7 milyar dolar AS. Taiwan menargetkan upgrade F 16 A/B akan
rampung pada 2021.94 Pada 8 Februari 2013 Senator John Cornyn kembali
menekankan bahwa Taiwan harus menemukan keinginan politik untuk
meningkatkan anggaran pertahanannya yang sebelumnya dipotong sejak 2009
sampai 2011. Berikut ini adalah tabel anggaran pertahanan Taiwan sejak 1994-
2014.
92Kan dan Morrison, Overview of Policy Issues, 23. 93Kan dan Morrison, Overview of Policy Issues, 23. 94Kan dan Morrison, Overview of Policy Issues, 25.
53
Tabel 4.2
Tabel Anggaran Pertahanan Taiwan 1994-2004
Sumber: Shirley A. Kan, Taiwan: Major US Arms Sles Since 1990,
Congressional Research Service, hlm 34
Presiden Ma Ying-jeou pada akhirnya menambah anggaran pertahanannya
pada 2012 sebesar 317,5 milyar dolar Taiwan atau sekitar 10,6 milyar dolar AS,
meningkat delapan persen dari anggaran pertahanan 2011. Sekitar 49% digunakan
54
untuk biaya personil militer, 22% untuk pemeliharaan peralatan militer, dan
sebesar 27% untuk biaya lainnya.95
Musim panas 2012, presiden Ma mengajukan anggaran pertahanan 2013
sebesat 314,5 milyar dolar Taiwan damun yang lolos hanya sekitar 312,7 milyar
dolar Taiwan atau sekitar 10,5 milyar dolar AS. Anggaran ini termasuk biaya
untuk pembelian pesawat tempur F 16 C/D dan desain kapal selam dari AS. Pada
musim panas 2013 presiden Ma kembali mengajukan anggaran pertahanan dengan
jumlah yang sama seperti pada 2013, dan pada Januari 2014 pengajuan tersebut
dikabulkan hanya 311,1 milyar dolar Taiwan atau sekitar 10,4 milyar dolar AS. 96
Setelah melihat aliansi pertahanan Taiwan-AS dari awal yakni sejak masa
Perang Dunia ke-II, penelitian ini akan berusaha menganalisis aliansi kedua
negraa ini dengan tiga konsep yakni konsep kepentingan nasional, konsep aliansi,
dan konsep bandwagoning.
4.1 Analisis melalui Konsep Kepentingan Nasional
Menurut Hans J Morgenthau, kepentingan nasional adalah kemampuan
minimum sebuah negara untuk melindungi dan mempertahankan identitas fisik,
politik, dan gangguan dari negara lain. Kepentingan nasional (national interest)
merupakan hal dasar dan pasti dimiliki oleh setiap negara untuk mempertahankan
dan mencapai tujuan negaranya. Kepentingan nasional merupakan kumpulan
tujuan dan cita-cita suatu negara. Dalam hal ini kepentingan yang relatif sama dan
95Kan dan Morrison, Overview of Policy Issues, 39. 96Kan dan Morrison, Overview of Policy Issues, 39.
55
rata-rata pasti dimiliki oleh setiap negara adalah kepentingan keamanan.
Kepentingan keamanan dalam hal ini sudah mencakup kelangsungan hidup
rakyatnya serta wilayahnya. Setelah keamanan, umumnya negara pasti memiliki
kepentingan kesejahteraan bagi rakyatnya. Selain menjadi tolok ukur bagi para
pembuat keputusan di berbagai negara, kepentingan nasional juga menjadi tolok
ukur pembuatan kebijakan luar negeri (foreign policy making).97
Hal yang diungkapkan Morgenthau tentang konsep kepentingan nasional
sesuai dengan apa yang Taiwan lakukan untuk negaranya. Taiwan berusaha untuk
mempertahankan identitas fisik negaranya dengan berbagai cara. Dari sejak
zaman perang saudara dengan Tiongkok pun Taiwan sudah berusaha melakukan
hal itu. Taiwan mempertahankan identitas fisiknya sebagai Taiwan yang berdaulat
bukan Taiwan yang masih bergantung dan masih menjadi bagian dari Tiongkok.
Bahkan untuk mencapai kepentingan nasional dan mempertahankan idealismenya
Taiwan rela mengambil resiko untuk pindah ke pulau Formosa dan berusaha
membuat Taiwan yang berdaulat, berdiri sendiri dan merdeka.
Kemudian seperti yang dikatakan Morgenthau, Taiwan juga berusaha
mempertahankan kepentingan politiknya yang diwujudkan dengan
mempertahankan ideologi demokrasi yang sudah mereka anut dari awal.
Walaupun ancaman serangan dari Tiongkok terus datang Taiwan tidak gentar dan
tetap mempertahankan ideologi demokrasinya hingga saat ini.
Hal ketiga yang diungkap Morgenthau adalah mempertahankan negaranya
dari gangguan negara lain. Untuk kasus Taiwan, gangguan negara lain adalah
97Rudy, Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin, 116.
56
gangguan yang datang dari Tiongkok yang terus mengancam akan menyerang
Taiwan apabila Taiwan terang-terangan menyatakan diri sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat.
Untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya ini Taiwan pasti tidak dapat
mengandalkan negaranya sendiri, untuk itu Taiwan terus mencari dukungan dari
negara lain untuk mengakui negaranya sebagai negara yang merdeka dan
berdaulat serta terus melakukan berbagai pendekatan dengan negara-negara lain
bahwa Taiwan bukanlah wilayah bagian dari Tiongkok.
Usaha yang Taiwan lakukan demi mempertahankan kelangsungan hidup
negaranta yakni melalui bidang pertahanan. Mengapa? Karena selama ini hal
utama dan ancaman yang paling sering Taiwan dapatkan adalah ancaman
serangan militer ke wilayahnya, dan untuk mencapai kepentingan nasionalnya,
Taiwan beraliansi pertahanan dengan AS dengan harapan AS dapat memasok
senjata ke Taiwan untuk mempertahankan diri.
Menurut ahli lainnya yakni Donald E. Nuechterlain mengungkapkan ada
empat kepentingan dasar yang dimiliki oleh tiap negara yakni kepentingan
keamanan, ekonomi, tatanan dunia, dan ideologi.98
Bagi Taiwan, kepentingan pertahanan merupakan kepentingan utama yang
harus diwujudkan untuk melindungi negaranya dari ancaman kekerasan yang
dilancarkan oleh Tiongkok. Selain untuk mempertahankan kelangsungan
negaranya, dengan diwujudkannya kepentingan nasional, negara tersebut bisa
98Jasmine, Kepentingan Nasional’, http://rosaliajasmine-
fisip13.web.unair.ac.id/artikel_detail-84819-
SOH101%20(Pengantar%20Ilmu%20Hubungan%20Internasional)-
Kepentingan%20Nasional.html, diakses pada 2 Januari 2016 pkl 19.56
57
survive dalam tatanan politik internasional. Hal ini mengacu pada kebebasan
berpolitik dan intergritas wilayah bagi Taiwan.99
4.2 Analisis melalui Konsep Aliansi
Aliansi merupakan suatu perjanjian atau kesepakatan dua negara atau lebih
untuk saling membantu dalam suatu kondisi tertentu yang telah ditetapkan,
biasanya ketika salah satu negara anggota perjanjian mengalami serangan dari
negara diluar anggota aliansi. Sebagian kalangan juga memandang bahwa aliansi
merupakan suatu kecenderungan manusia untuk bersatu dalam menghadapi
ancaman.100
Pendapat ini diperkuat dalam sebuah artikel yang ditulis oleh James D.
Morrow yang berjudul Alliances and Assymetry: An Alternative to the Capability
Aggretion Model of Alliances yang berpendapat bahwa dalam suatu aliansi yang
melubatkan dua negara atau lebih, masing-masing pihak harus mendapatkan
keuntungan yang sama besarnya dalam aliansi tersebut.101
Aliansi juga merupakan hal yang memainkan peran utama dalam hubungan
internasional karena aliansi merupakan hal yang penting bagi suatu negara. Pada
umumnya aliansi terdiri dari dua negara atau lebih untuk melawan musuh yang
sama. Baik negara kuat maupun negara lemah sama-sama membutuhkan aliansi,
bedanya, negara lemah bergabung dengan suatu aliansi ketika mereka
99Oppenheim, National Interest, Rationality, and Morality, 369. 100Roskin dan Berry, IR: An Introduction to International Relations, 87. 101Morrow, Alliances and Assymetry: An Alternative to the Capability Aggretion Model of
Alliances, http://www.jstor/stable/2111499?seq=1#page_scan_tab_contents, diakses pada 10
Juni 2015.
58
membutuhkan perlindungan untuk melawan negara yang lebih kuat, dengan kata
lain untuk mempertahankan diri. Sedangkan negara yang kuat bergabung dalam
sebuah aliansi untuk melawan negara kuat lainnya.102
Dalam penelitian ini, Taiwan melakukan semua yang diungkapkan oleh
berbagai teori tentang konsep aliansi yang sudah dijelaskan sebelumnya. Pada
yang diungkap Roskin dan Berry dalam bukunya, Taiwan mewakili sifat dasar
manusia atau negara untuk beraliansi guna bersatu dalam menghadapi ancaman
dari luar negaranya. Dalam perjanjian aliansi pertahanan Taiwan-AS, Taiwan
dibantu bertahan dari ancaman maupun serangan dari Tiongkok melalui berbagai
pasokan senjata militer maupun non-militer. Bergitu juga saat Taiwan diserang di
wilayah Kinmen, AS juga membantu Taiwan melawan Tiongkok pada saat itu.
Lain halnya lagi dengan konsep aliansi yang diungkapkan Morrow bahwa
pihak-pihak yang beraliansi harus mendapat keuntungan yang sama besar. Hal ini
juga cocok dengan keadaan aliansi pertahanan Taiwan-AS, keduanya sama-sama
mendapat keuntungan dalam aliiansi tersebut. Keuntungan yang didapat Taiwan
berupa pasokan senjata yang tidak terbatas sampai kapanpun dari AS, kemudian
bantuan pasukan militer yang dikirimkan oleh AS apabila sewaktu-waktu Taiwan
diancam kembali, serta dukungan terhadap ideologi demokrasi di Taiwan
mengingat AS merupakan negara yang menganut demokrasi garis keras. Di sisi
lain, AS juga mendapat keuntungan dari aliansi ini yakni, dengan penjualan
senjata AS ke Taiwan, sudah jelas AS mendapat keuntungan material. Kemudian
AS juga mendapat keuntungan pamor di kawasan Asia Pasifik. AS sadar bahwa
102Dwivedi, Alliances in International Relations Theory,
http://www.indianresearchjournals.com/pdf/IJSSIR/2012/August/20.pdf, diakses pada 10
November 2015 pkl 09.15.
59
Tiongkok yang semakin bangkit dan meningkatkan kekuatan khususnya militer,
dapat mengancam pamor dan reputasi AS di Asia Pasifik. Untuk itu, AS
mempertahankan aliansi pertahanannya dengan Taiwan guna mempertahankan
pengaruhnya karena AS tidak mau kalah pamor dengan Tiongkok.
Seperti yang diungkapkan Dwivedi, aliansi terbentuk dari dua negara atau
lebih untuk melawan musuh yang sama. Taiwan-AS membentuk aliansi
pertahanan hingga kini untuk melawan dan bertahan dari musuh yang sama yaitu
Tiongkok. Perbedaannya adalah Taiwan bertahan dari berbagai ancaman serangan
yang akan dilakukan Tiongkok, kalau AS adalah untuk melawan dominasi dan
pengaruh Tiongkok di Asia Pasifik.
4.3 Analisis melalui Konsep Bandwagoning
Aliansi adalah salah satu tindakan sebuah negara dalam mencapai
kepentingan nasionalnya yakni kepentingan keamanan. Dalam praktiknya, aliansi
memiliki strategi pula, yang paling sering digunakan adalah balancing dan
bandwagoning. Dalam menganalisis peristiwa ini konsep balancing dan
bandwagoning sama-sama dapat digunakan, namun penelitian ini lebih memilih
bandwagoning sebagai alat analisis karena dirasa paling cocok dalam
menganalisis aliansi pertahanan Taiwan-AS ini.
Strategi bandwagoning digunakan dalam keadaan dimana jika suatu negara
gagal membendung ancaman yang diterima, negara tersebut bergabung ke negara
terkuat. Hal ini sama dengan yang dilakukan Taiwan sejak dahulu. Taiwan sadar
60
bahwa ia memiliki ancaman yang besar yakni Tiongkok dan Taiwan pun juga
menyadari bahwa negaranya tidak mampu menghadapi ancaman itu sendirian,
untuk itu Taiwan merapat ke kekuatan besar dan juga memiliki musuh yang sama
yaitu AS. Tekanan dan ancaman yang didapat dari Tiongkok membuat Taiwan
memiliki kewajiban untuk mencari kekuatan besar untuk melindungi
kemungkinan terburuk. Taiwan memilih AS karena AS memiliki kekuatan militer
yang besar dan mumpuni, stok senjata yang banyak dan berbagai macam, serta
kesamaan kedua negara tersebut dalam ideologi membuat aliansi berjalan mudah
dan erat hingga saat ini.
Keadaan ini didukung oleh teori yang diungkapkan oleh Scott Burchill
bahwa dalam tatanan hierarki politik, para aktor cenderung merapat ke kekuatan
terdekat agar keamanan mereka tetap terjamin (jump on the bandwagon). Para
bandwagoners atau dalam kasus ini adalah Taiwan, berusaha untuk meningkatkan
keuntungan mereka atau mengurangi kerugian mereka dengan berada di sisi pihak
yang lebih kuat. Kekuatan yang besar khususnya kekuatan militer dapat
melindungi bandwagoners seperti Taiwan dari ancaman musuhnya yakni
Tiongkok. Negara-negara lemah biasanya memiliki sedikit pilihan, maka dari itu
mereka berharap dengan mendekatkan diri dengan pihak yang lebih kuat akan
mendapat dampak yang baik bagi negaranya.103
Lain lagi dengan yang diungkapkan oleh Amitav Acharya, negara-negara
kerap melakukan bandwagoning dengan negara yang lebih kuat untuk
mengkadapi kekuatan eksternal yang baru bangkit. Dalam hal ini Taiwan
103Burchill, Theory of International Relations, 38.
61
melakukan bandwagon dengan AS untuk menghadapi kekuatan yang baru bangkit
yakni Tiongkok yang tetap mempertahankan One China Policy-nya yang hingga
saat ini masih mengancam Taiwan.104
Konsep bandwagoning juga kerap diidentikkan dengan peningkatan
kekuatan militer. Jika diperhatikan lebih dalam, terdapat perbedaan mencolok
antara balancing dan bandwagoning,balancing cenderung memilih beraliansi
yang lebih lemah atau sama kekuatan dengan negaranya demi meningkatkan
pengaruh dan eksistensi mereka di rezim internasional, sedangkan bandwagoning
beraliansi dengan negara yang lebih kuat untuk mendapatkan proteksi serta
dukungan dalam melawan pihak musuh, tapi tujuannya sama dengan balancing
yakni meningkatkan pengaruh negaranya di mata internasional.105
Namun pada umumnya negara-negara lemah seperti Taiwan lebih memilih
bandwagoning daripada balancing untuk menambah koalisi dengan sisi yang
menang, kuat, dan berpengaruh seperti AS. 106
104Amitav, Constructing a Security Community in Southeast Asia, 36. 105Waltz, The Origins of Alliances, 111. 106Waltz, The Origins of Alliances, 111.
62
BAB V
KESIMPULAN
Taiwan dan AS sudah melakukan aliansi pertahanan sejak zaman Perang
Dunia ke II dan terus berlanjut hingga saat ini. Aliansi yang mereka bangun sejak
lama bukan tanpa tujuan, mereka membangun aliansi pertahanan ini dengan satu
tujuan yakni menghadapi One China Policy. Bangkitnya Tiongkok sebagai
kekuatan baru di dunia internasional khususnya dalam bidang militer, membuat
Taiwan merasa perlu terus beraliansi pertahanan dengan AS. Pada 2011-2014
terdapat bukti bahwa Taiwan meningkatkan anggaran militernya demi
membendung ancaman dari Tiongkok yang semakin sering datang. Anggaran
militer yang dibuat Taiwan ini hampir seluruhnya memasok dari AS.
Tak hanya Taiwan, AS pun mendapat keuntungan dari aliansi pertahanan
dengan Taiwan ini. Selain keuntungan material dari pembelian senjata, AS
mendapat keuntungan karena bisa tetap mempertahankan pamor serta
pengaruhnya di Asia Pasifik sebagai negara superpower yang tidak gentar akan
kebangkitan Tiongkok.
Konsep yang dipilih sejak awal dalam penelitian ini yakni konsep
kepentingan nasional, konsep aliansi, dan konsep bandwagoning terbukti cocok
diaplikasikan dalam penelitian ini.
Baik Taiwan maupun AS sama-sama memiliki kepentingan nasional dalam
aliansi pertahanan ini. Kepentingan Taiwan adalah kepentingan pertahanan dalam
63
menghadapi One China Policy sehingga kelangsungan hidup negaranya terjaga,
sementara kepentingan AS adalah eksistensi negaranya. Mereka pun melakukan
aliansi pertahanan ini bukan tanpa kepentingan, Taiwan mendapat keuntungan
dengan negaranya mendapat perlindungan serta dukungan penuh dari AS, AS
untung karena pamornya di Asia Pasifik telah terjaga karena ia sangat terlihat
terang-terangan membantu negara lemah untuk bertahan.
Jawaban atas pertanyaan penelitian yakni ‘apakah aliansi pertahanan
Taiwan-AS masih efektif menghadapi One China Policy sudah didapatkan.
Jawabannya adalah aliansi pertahanan ini masih efektif menghadapi One China
Policy, buktinya hingga saat ini Tiongkok hanya berani mengancam dan tidak
menyerang Taiwan karena Taiwan mendapat perlindungan dan dukungan dari AS.
Untuk itu aliansi pertahanan Taiwan-AS ini sebaiknya dipertahankan demi
keberlangsungan masing-masing negara serta reputasi kedua negara ini di mata
internasional. Taiwan perlu mempertahankan aliansi ini untuk terus
mempertahankan kelangsungan Taiwan, atau bahkan meningkatkan status
negaranya menjadi negara yang merdeka, AS pun perlu mempertahankan aliansi
pertahanan ini karena Taiwan merupakan aliansi yang penting karena letaknya
yang strategis demi mewujudkan kepentingan-kepentingannya di Asia Pasifik.
64
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Acharya, Amitav. 2003. ‘Constructing a Security Community in Southeast Asia’.
New York: Taylor & Francis e-Library, hlm 36
Burchill, Scott, dkk. 2005. ‘Theory of International Relations: Third Editions’.
New York: Palgrave Macmillan, hlm 38
Jacques, Martin. 2011. ‘When China Rules The World’. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas
John Tierney Jr, About Face to China, 1971, hlm. 130
K, Septiawan Santana. 2010. ‘Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif’.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, hlm 1
National Defense Report Editing Committee Ministry of National
Defense, 2011, ‘2011 ROC National Defense Report’,
Taipei: Government Publications Bookstore.
Roskin, Michael dan Nicholas Berry. 1990. ‘IR: An Introduction to International
Relations’. New Jersey: Prentice Hall, hlm
Rudy, T. May. 2002. ‘Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional
Pasca Perang Dingin’.Bandung: Refika Aditama, hlm 116
Sinaga, Lidya Christin. 2013. ‘Hubungan Indonesia-Cina dalam
Dinamika Politik, Pertahanan-Keamanan, dan Ekonomi di
Asia Tenggara’, Jakarta: LIPI Press.
Walt, Stephen. M.. 1987. ‘The Origins of Alliances’. New York: Cornell
University Press
ARTIKEL
‘Towards “One Taiwan, One China” Discard Outdate “One
China” Policy.’ June 2006. International Committee for
Human Rights.
Chen, Chien-kai. 2006. ‘China and Taiwan: A Future of Peace?’.
Josef Korbel Journal of Advanced International Studies.
65
Chiang, Y. Frank. 2004, ‘One-China Policy and Taiwan’, Fordham International
Law Journal, Volume 28, Isu 1, 10 November 2015 pkl 10.18
Chiang, Y. Frank. 2004. ‘One-China Policy and Taiwan’.
Fordham International Law Journal. Vol. 28 Issue 1.
Dunnell, Mark B. Oktober 1898. ‘Our Policy in China’. University
of Northern Iowa. Vol. 167 No. 503.
Dwivedi, Sangit Sarita, Agustus 2012, 'Alliances in International Relations
Theory', International Journal of Social Sciences & Interdiciplinary
Research. Volume 1, Issue 8,
http://www.indianresearchjournals.com/pdf/IJSSIR/2012/August/20.pdf, 10
November 2015 pkl 09.15
Giles, Terri J. 2006. ‘The Non-Existent State of Affairs:
Reexamining the One China Policy.’ Intercollegiate
Taiwanese American Student Association 2006 West Coast
Conference.
Hsieh, Pasha L. 2009. ‘The Taiwan Question and the One-China
Policy: Legal Challenges with Renewed Momentum’.
Research Collection School of Law.
Huang, Alexander C. Y. September 2006. ‘Contested
(Post)coloniality and Taiwan Culture: A Review Article of
New York by Yip and Ching’. CLCWeb: Comparative
Literature and Culture. Vol. 8 Issue 3.
Kan, Shirley A dan Wayne M. Morrison. 2014. ‘U.S.-Taiwan
Relationship: Overview Policy Issues.’ Congressional
Research Service Report.
Kan, Shirley A. 2014. ‘Taiwan: Major U.S. Arms Sales Since
1990’.Congressional Research Service Report.
Kan, Shirley A. Oktober 2014. ‘China/Taiwan: Evolution of the
“One China” Policy-Key Statements from Washington,
Beijing, and Taipei.’ Congressional Research Service
Report.
66
Matsuda, Yasuhiro. 2004. ‘PRC-Taiwan Relations under Chen
Shui-bian’s Government: Continuity and Change between
the First and Second Terms’. The National Institute for
Defense Studies, Japan Defense Agency.
Matsumoto, Haruka I. 2007. ‘The Evolution of the “One China”
Concept in the Process of Taiwan’s Democratization’.
Academic Research Repository at the Institute of
Developing Economies. Discussion Paper No. 91.
Morrow, James D. November 1991. ‘Aliances and Assymetry: An Alternative to
the Capability AggretionModel of Alliances’. American Journal of Political
Science. Volume 35, No 4,
http://www.jstor.org/stable/2111499?seq=1#page_scan_tab_contents, 10
Juni 2015 pkl 23.06
Oppenheim, Felix E. (1987) “National Interest, Rationality, and Morality”
Political Theory, Vol. 15, No. 3; hlm. 369-389.
Philion, Stephen. 2010. ‘The Impact of Social Movements on
Taiwan’s Democracy’. Journal of Current Chinese Affairs,
Vol. 39 No. 3.
Schneider, Claudia. ‘”National History” in Mainland Chines and
Taiwanese History Education: Its Current Role, Existing
Challenges and Alternative Frameworks.
Shih, Fang-Long Shih dan John McNeil Scott. 2012. ‘Taiwan and
Ireland in Comparative Perspective’. Taiwan Research
Programme Vol. 4
Stowell, Ellery C. Juli 1914. ‘The Policy of the Unites States in the
Pacific’. The Annals of the American Academy of Political
and Social Science, Vol. 54.
Syaril Sadikin, ‘Ada kemungkinan RRC bersikap lebih lunak dalam menghadapi
soal Taiwan’, dalam Sinar Harapan (Jakarta, 30-11-1983) Hal.8. isi
perjanjian, The Taiwan issue hal. 251-253.
67
Wabiser, Yosias Marion Arthur. 2015. ‘US-Sino Relationship: Studi Kasus
Kebijakan Amerika Serikat terhadap One China Policy’, hlm 2.
Wang, Wei-cheng dan Da-chi Liao. 2003. ‘Refunctionalizing a Frayed American
China-Taiwan Policy: Incrementalism or Paradigmatic Shift’. Tamkang
Journal of International Affairs.
White, Horace. Juli 1951. ‘Selling Arms to the Allies’. University of Northern
Iowa. Vol. 202 No, 716.
Yang, Philip. April 2006. ‘Rise of China and the Cross-Strait
Relations’. Tamkang Journal of International Affairs, Vol IX
No IV.
Zhongqi, Pan. 2003. ‘US-Taiwan Policy of Strategic Ambiguity: A
Dilemma of Deterrence’. Journal of Contemporary China.
Vol. 12 No. 35.
SKRIPSI, TESIS, DISERTASI
Ardhy Dinata Sitepu. 2013. ‘Dampak Penandatanganan Economic
CooperationFramework Agreement terhadap Economic Security Taiwan
2011-2013’. Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Dian Anjarwati. 2012. ‘Faktor-faktor yang mendorong Amerika Serikat
Melakukan Penjualan Senjata ke Taiwan pada Masa Pemerintahan George
Walker Bush’. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember
Zeng Hong Biye Lunwen. 2016. The Study of Influence Factors on
Sino-US Relations in Taiwan. Universitas Nanchang,
Tiongkok.
68
MEDIA ONLINE
‘Kepentingan Nasional’, terdapat di: http://rosaliajasmine-
fisip13.web.unair.ac.id/artikel_detail-84819-
SOH101%20(Pengantar%20Ilmu%20Hubungan%20Internasional)-
Kepentingan%20Nasional.html, diakses pada 2 Januari 2016 pkl 19.56
‘Mutual Defense Traety between the United States of America and Republic of
China’,terdapat di http://www.taiwandocuments.org/mutual01.htm, diakses
pada 13 Desember 2015 pkl 09.53
‘SACO History’, terdapat di: http://www.saconavy.com/history.htm, diakses pada
13 Desember 2015 pkl 09.42
‘Taiwan and Theater Missile Defect’, terdapat di:
https://www.questia.com/library/journal/1P3-62081802/taiwan-and-theater-
missile-defense, diakses pada 15 Oktober 2015 pkl 11.34
‘Taiwan dan China: Perjumpaan Resmi di APEC?’, terdapat di
http://www.dw.com/id/taiwan-dan-cina-perjumpaan-resmi-di-apec/a-
17334348, diakses pada 1 Juli 2015 pkl 05.15
‘Taiwan Tak Henti Meraih Pengakuan Dunia’, terdapat di:
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0706/11/ln/3588349.htm, diakses
pada 1 Juli 2015 pkl 04.54
‘Taiwan-US Relations’, terdapat di:
http://www.taiwanembassy.org/US/ct.asp?xItem=266456&CtNode=2297&
mp=12&xp1=12, diakses pada 9 November 2015 pkl 09.02
‘Timeline: Taiwan, Key Events in Taiwanese History from World War II to the
Present’, tersedia di: http://www.infoplease.com/spot/taiwantime1.html,
diakses pada 30 Juni 2015 pkl 19.57
‘Towards a ‘One Taiwan, One China Policy’: The Anachronistic ‘One
China’Policy is Outdated’, terdapat di: http://www.taiwandc.org/nws-
9705.htm, diakses pada 30 Juni 2015 pkl 20.41
69
Helmke, Belinda. ‘China’s Military Spending’. Terdapat di:
http://thediplomat.com/2011/06/chinas-military-spending/, diakses pada 27
Juni 2016 pkl 10.18
Top Related