ALASAN PEMILIHAN PENOLONG PERSALINAN
DI NON-NAKES PADA IBU MELAHIRKAN
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEBAYURAN
KABUPATEN BEKASI TAHUN 2016
Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun oleh:
Annisa Ayu Safitri L
1113101000018
PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2017 M
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PROMOSI KESEHATAN
Skripsi, Oktober 2017
Annisa Ayu Safitri Laraswati, NIM: 1113101000018
Alasan Pemilihan Penolong Persalinan di Non-Nakes Pada Ibu Melahirkan
di Wilayah Kerja Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi Tahun 2016
(xv + 178 halaman, 8 tabel, 2 bagan, 3 lampiran)
ABSTRAK
Pengaruh dukun bersalin di masyarakat sangatlah kuat. Menghilangkan
peran dukun bersalin dengan cara menggantikan bidan di desa tidak mungkin
dilaksanakan secara mendadak mengingat faktor-faktor sosial budaya maupun
psikologis masyarakat yang kuat mengakar dan sulit dihilangkan. Sampai saat ini
di wilayah Indonesia masih banyak pertolongan persalinan yang dilakukan oleh
dukun bersalin. Pada beberapa daerah, dukun bersalin sebagai orang yang
dipercaya dalam menolong persalinan, sosok yang disegani dan berpengalaman,
keberadaannya masih dibutuhkan oleh masyarakat.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisa apa alasan pemilihan penolong
persalinan di non-nakes pada ibu melahirkan di wilayah kerja Puskesmas
Pebayuran Kabupaten Bekasi Tahun 2016 dengan menggunakan teori health
seeking behavior (HSB). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif
dengan desain penelitian studi kasus. Jenis data yang digunakan adalah data
primer melalui wawancara mendalam dengan jumlah informan 13 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan (dukungan suami,
dukungan ibu/ibu mertua), predisposisi (pengetahuan, sikap, tingkat pendidikan,
status ekonomi), dan pemungkin (biaya, jarak, transportasi, budaya) menjadi
alasan ibu melahirkan memilih penolong persalinan di non-nakes. Saran dari
penelitian ini yaitu perlu dilakukan pendekatan dan pengertian kepada ibu hamil
akan pentingnya bersalin di tenaga kesehatan serta pematauan terhadap ibu hamil
terutama saat memasuki bulan melahirkan agar tidak terjadi persalinan di non-
nakes.
Kata kunci : persalinan, penolong persalinan, perilaku pencarian pengobatan.
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
DEPARTEMENT OF PUBLIC HEALTH
HEALTH PROMOTION
Undergraduate Thesis, October 2017
Annisa Ayu Safitri Laraswati, NIM : 1113101000018
Reasons for Selection of Childbirth Assistance Non-Paramedic in Maternity
Mother at Working Area of Pebayuran Subdistrict Health Centers in Bekasi
Regency Year 2016
(xv + 178 pages, 8 tables, 2 charts, 3 attachments)
ABSTRACT
The influence of traditional midwives in community is strong. Sudden
replacement of the traditional midwives with the midwives is impossible because
of the socio-cultural and psychological factors has rooted and can't be removed.
Many people in Indonesia still asked the traditional midwaves for help their
maternity. Currently in some area, peoples believe that traditional midwives is the
person who trusted and experienced, so the community still needed the traditional
midwives.
The purpose of this study is to analyze the reason for selection of non-
paramedic childbirth assistance in maternity mother at working area of Pebayuran
subdistrict health centers in Bekasi Regency year 2016 with health seeking
behavior theory. This research used a qualitative descriptive methode with case
study as research design. The data used in this research is primary data collected
by in-depth interview on 13 informants.
The results showed that an environmental factor, predisposing factor
(knowledge, attitudes, education level, economic status), and enabling factor
(cost, distance, transportation, culture) are the reasons of maternity mothers
choose non-paramedic childbirth assistance. Suggestion from the research is
paramedic have to approach the pregnant women and explain about the
importance of doing maternity in paramedic, also monitoring the pregnant women
especially when the pregnancy close to the last month in order to the woman
didn’t maternity without paramedic.
Keywords : maternity, childbirth assistance, health seeking behavior.
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN
v
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
vi
LEMBAR PERNYATAAN
vii
RIWAYAT HIDUP
Data Diri
Nama : Annisa Ayu Safitri Laraswati
Tempat, Tanggal Lahir : Bekasi, 06 Maret 1996
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Telepon : 0857 2022 2304
Email : [email protected]
Alamat : Perum Karaba Indah blok JJ/29 RT04/RW09
Desa Wadas – Kec. Teluk Jambe Timur
Karawang 41361
Jawa Barat – Indonesia
Riwayat Pendidikan
2001 – 2007 SDN Karawang Kulon IV
2007 – 2010 SMPN 1 Karawang Barat
2010 – 2013 SMAN 1 Karawang
2013 – 2017 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Peminatan Promosi Kesehatan
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Atas segala rahmat dan karunia-Nya
sampai saat ini sehingga penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul “Alasan
Pemilihan Penolong Persalinan di Non-Nakes Pada Ibu Melahirkan di
Wilayah Kerja Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi Tahun 2016”.
Penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua, Tarwo, Amd dan Ipah Latifah QH, S.Pd.I serta nenek
Siti Marfu’ah tersayang yang selalu memberikan do’a, semangat dan
dukungan moral serta materi yang tiada hentinya. Adik-adik M. Fauzan
Al-Ghifary DW, Fannisa Ajeng NA dan Aura Qurrota’ayyun A yang
selalu menghibur setiap waktu.
2. Bapak Dr. M. Farid Hamzens, M.Si selaku pembimbing yang selalu
memberikan arahan serta bimbingannya kepada penulis selama proses
penyusunan skripsi ini.
3. Prof. Arif Sumatri, SKM, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D sebagai Kepala Program Studi Kesehatan
Masyarakat.
5. Ibu Fase Badriah, Ph.D, Ibu Yuli Amran, MKM, dan Bayu Firmansyah,
MKM sebagai penguji sidang skripsi.
6. Avinda Paramitha, S.Ars, Hendiasti Putri K, Dery Kurniawan, ST, Rizki
Zahrotul, Rai Syifa, Indah Mawar, Rati, Afriazi, Mira, Mega, Zidti atas
ix
dukungan, semangat dan do’a yang terus diberikan kepada penulis.
7. Teman-teman Promosi Kesehatan 2013 yang telah banyak memberikan
bantuan, do’a dan semangat kepada penulis. Semoga teman-teman
dilancarkan dalam proses penyusunan skripsinya.
8. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi dan Puskesmas Pebayuran
serta staff yang terlibat dalam penelitian ini.
9. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas seluruh
bantuan, semangat dan doa yang telah diberikan untuk penulis.
Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan agar dapat dijadikan masukan bagi penulis.
Jakarta, September 2017
Penulis
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................................... ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN .....................................................................................iv
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................................... v
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................vi
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. xiv
DAFTAR BAGAN ............................................................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................... 7
1.3. Pertanyaan Penelitian .............................................................................................. 7
1.4. Tujuan Penelitian .................................................................................................... 8
1.4.1. Tujuan Umum ..................................................................................................... 8
1.4.2. Tujuan Khusus .................................................................................................... 8
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................................ 10
1.5.1. Bagi Institusi ..................................................................................................... 10
1.5.2. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat ...................................................... 11
1.5.3. Bagi Peneliti ...................................................................................................... 11
1.5.4. Bagi Peneliti Selanjutnya .................................................................................. 11
1.6. Ruang Lingkup ...................................................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 13
2.1. Persalinan .............................................................................................................. 13
2.2. Dukun bersalin ...................................................................................................... 15
2.3. Resiko persalinan ditolong oleh dukun bayi ......................................................... 19
2.4. Perilaku Pemilihan Penolong Persalinan .............................................................. 20
2.5. Teori Perilaku ........................................................................................................ 22
xi
2.5.1. Health Seeking Behavior ................................................................................... 22
2.5.1.1. Proses perilaku penyembuhan ....................................................................... 25
2.5.1.2. Jenis perilaku pencarian pegobatan ............................................................... 27
BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI INSTILAH ...... 30
3.1. Kerangka Teori ..................................................................................................... 30
3.2. Kerangka Pikir ...................................................................................................... 31
9.3. Definisi Istilah ....................................................................................................... 33
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................ 35
4.1. Desain Penelitian .................................................................................................. 35
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................................ 35
4.3. Metode Pengumpulan Data ................................................................................... 36
4.4. Informan Penelitian ............................................................................................... 36
4. 4. 1. Karakteristik Informan ...................................................................................... 38
4. 4. 1. 1. Informan Utama ............................................................................................ 39
4. 4. 1. 2. Informan Pendukung ..................................................................................... 40
4. 4. 1. 3. Informan Kunci ............................................................................................. 41
4.5. Instrumen Penelitian ............................................................................................. 42
4.6. Analisis Data ......................................................................................................... 42
4.7. Validasi Data ......................................................................................................... 45
4.8. Penyajian Data ...................................................................................................... 46
BAB V HASIL PENELITIAN ......................................................................................... 47
4. 4. 2. Gambaran Umum Wilayah Penelitian .............................................................. 47
5. 1. 1. Demografi Wilayah ........................................................................................... 47
4. 4. 3. Hasil Penelitian ................................................................................................. 48
5. 3. 1. Faktor Lingkungan ............................................................................................ 48
5. 3. 1. 1. Dukungan Suami ........................................................................................... 49
5. 3. 1. 2. Dukungan Ibu/Ibu Mertua ............................................................................. 53
5. 3. 2. Faktor Predisposisi ............................................................................................ 55
5. 3. 2. 1. Pengetahuan .................................................................................................. 55
5. 3. 2. 2. Sikap Terhadap Kesehatan ............................................................................ 58
xii
5. 3. 2. 3. Tingkat Pendidikan ....................................................................................... 62
5. 3. 2. 4. Status Ekonomi ............................................................................................. 62
5. 3. 3. Faktor Pemungkin ............................................................................................. 64
5. 3. 3. 1. Biaya ............................................................................................................. 64
5. 3. 3. 2. Jarak .............................................................................................................. 66
5. 3. 3. 3. Transportasi ................................................................................................... 67
5. 3. 3. 4. Budaya .......................................................................................................... 68
5. 3. 4. Faktor Sistem Kesehatan ................................................................................... 70
5. 3. 4. 1. Sarana dan Prasarana .................................................................................... 70
5. 3. 4. 2. Kompetensi Petugas Kesehatan .................................................................... 71
BAB VI PEMBAHASAN PENELITIAN ........................................................................ 73
6. 1. Keterbatasan Penelitian ......................................................................................... 73
6. 2. Gambaran dukungan suami terhadap pemilihan persalinan di non-nakes pada ibu
melahirkan......................................................................................................................... 73
6. 3. Gambaran dukungan ibu/ibu mertua terhadap pemilihan persalinan di non-nakes
pada ibu melahirkan .......................................................................................................... 78
6. 4. Gambaran pengetahuan terhadap pemilihan penolong persalinan di non-nakes
pada ibu melahirkan .......................................................................................................... 81
6. 5. Gambaran sikap terhadap pemilihan penolong persalinan di non-nakes pada ibu
melahirkan......................................................................................................................... 86
6. 6. Gambaran tingkat pendidikan terhadap pemilihan penolong persalinan di non-
nakes pada ibu melahirkan ................................................................................................ 91
6. 7. Gambaran status ekonomi terhadap pemilihan penolong persalinan di non-nakes
pada ibu melahirkan .......................................................................................................... 93
6. 8. Gambaran biaya terhadap pemilihan penolong persalinan di non-nakes pada ibu
melahirkan......................................................................................................................... 96
6. 9. Gambaran jarak terhadap pemilihan penolong persalinan di non-nakes pada ibu
melahirkan......................................................................................................................... 97
6. 10. Gambaran transportasi terhadap pemilihan penolong persalinan di non-nakes
pada ibu melahirkan .......................................................................................................... 99
6. 11. Gambaran budaya terhadap pemilihan penolong persalinan di non-nakes pada
ibu melahirkan ................................................................................................................ 101
6. 12. Gambaran sarana dan prasarana Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi ... 103
6. 13. Gambaran kompetensi petugas kesehatan ....................................................... 104
xiii
6. 14. Gambaran alasan ibu melahirkan dalam pemilihan penolong persalinan ....... 106
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 109
7. 1. Simpulan ............................................................................................................. 109
7. 2. Saran ................................................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 111
LAMPIRAN .................................................................................................................... 118
INFORMED CONCERN ................................................................................................. 118
Instrumen Penelitian ....................................................................................................... 119
MATRIKS WAWANCARA .......................................................................................... 130
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pencarian pengobatan ................ 23
Tabel 2. 2. Determinan perilaku pencarian pengobatan .................................................... 23
Tabel 3. 1. Definisi Istilah ................................................................................................. 33
Tabel 5. 1. Karakteristik Informan Utama ........................................................................ 40
Tabel 5. 2. Karakteristik Informan Pendukung ................................................................. 41
Tabel 5. 3. Karakteristik Informan Pendukung ................................................................. 42
Matriks Wawancara 1 ..................................................................................................... 130
Matriks Wawancara 2 ..................................................................................................... 160
xv
DAFTAR BAGAN
Bagan 3. 1. Kerangka Teori .............................................................................................. 30
Bagan 3. 2. Kerangka berpikir .......................................................................................... 31
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kementerian Kesehatan menetapkan target bahwa 90% persalinan
ditolong oleh tenaga medis pada tahun 2015. Proporsi kelahiran yang
dibantu oleh tenaga medis profesional meningkat dari 73% dalam SDKI
2007 menjadi 83% pada SDKI 2012. Walaupun kelahiran yang ditolong
oleh dukun bayi sudah bergeser, namun dukun bayi masih berperan
penting dalam menolong persalinan, terutama di daerah perdesaan (20%),
ibu yang tidak pernah sekolah (34%), ibu dengan urutan kelahiran tinggi
(30%), dan ibu dengan batas kekayaan terendah (32%) (SDKI 2012).
Pengaruh dukun bayi di masyarakat sangatlah kuat.
Menghilangkan peran dukun bayi dengan cara menggantikan bidan di desa
tidak mungkin dilaksanakan secara mendadak mengingat faktor-faktor
sosial budaya maupun psikologis masyarakat yang kuat mengakar dan
sulit dihilangkan (Depkes, 1999). Proporsi pertolongan kelahiran yang
terjadi 5 tahun terakhir adalah 80,2% oleh tenaga kesehatan dan 19,8%
oleh tenaga non kesehatan (RISKESDAS 2010). Pada tahun 2015
gambaran kasus menurut faktor risiko penolong persalinan, 33 kasus
(62%) ditolong oleh penolong persalinan tradisional, misalnya dukun
(Profil Kesehatan Indonesia 2015).
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2010, terdapat korelasi yang
signifikan antara pertolongan persalinan dengan kematian ibu. Semakin
tinggi cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di suatu wilayah
2
diharapkan akan diikuti penurunan kematian ibu di wilayah tersebut.
Namun sampai saat ini di wilayah Indonesia masih banyak pertolongan
persalinan dilakukan oleh dukun. Pada beberapa daerah, dukun sebagai
orang yang dipercaya dalam menolong persalinan, sosok yang disegani
dan berpengalaman, keberadaannya masih dibutuhkan oleh masyarakat
(Riskesdas 2010).
Berdasarkan beberapa penelitian didapatkan hasil bahwa ada
beberapa faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemilihan penolong
persalinan. Menurut penelitian dari Nur Latifah (2010) di Puskesmas
Grabag I Grabag menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan, status
ekonomi, dan keterjangkauan sarana kesehatan berhubungan dengan
pemilihan pertolongan persalinan oleh dukun bayi. Sedangkan pada
penelitian Harto P Simanjuntak, dkk (2012) di wilayah kerja Puskesmas
Sipahutar Tapanuli Utara menunjukkan bahwa pengetahuan ibu,
pendapatan keluarga, biaya persalinan, dan dukungan keluarga
berhubungan dengan pemilihan penolong persalinan.
Adapun berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan penulis
pada 4 ibu yang pernah mengalami persalinan, 2 diantaranya melakukan
persalinan dengan dukun bayi dan 2 oleh bidan. Ibu yang melakukan
persalinan di dukun bersalin mengatakan bahwa biaya melahirkan di
dukun bersalin jauh lebih murah ketimbang melahirkan di bidan atau
dokter. Ini dikarenakan faktor ekonomi keluarga yang kurang mencukupi.
Adapun ibu yang tidak mau melakukan persalinan di bidan atau dokter di
karenakan takut akan jarum suntik dan takut dijahit. Dari 2 ibu yang
melahirkan di dukun bersalin, mereka berpendapat bahwa melahirkan di
3
dukun bayi tidaklah berisiko pada kesehatan dan keselamatan ibu maupun
bayi, sama saja dengan melahirkan di bidan. Beda halnya dengan ibu yang
melahirkan di bidan. Mereka berpendapat bahwa melahirkan di bidan jauh
lebih aman. Karena bidan memiliki alat yang lebih lengkap dan bersih
serta ada obat/suntik pasca melahirkan.
Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah
masalah besar di negara berkembang. 20-50% kematian wanita usia subur
di negara miskin disebabkan hal yang berkaitan dengan kehamilan.
Kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama terjadinya
mortalitas pada wanita muda di puncak produktifitasnya (WHO, 2013).
WHO memperkirakan lebih dari 585.000 ibu meninggal saat hamil dan
bersalin setiap tahunnya.
Saat ini AKI di Indonesia merupakan angka tertinggi di kawasan
Asia Tenggara yakni sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Analisis
tren rasio kematian maternal menunjukan penurunan dari SDKI 1994
sampai dengan SDKI 2007. Namun, gambaran ini meningkat pada SDKI
2012.
Rasio kematian maternal menurun menjadi 307 kematian per
100.000 kelahiran hidup pada SDKI 2002-2003 dan 228 kematian per
100.000 kelahiran hidup pada SDKI 2007. Angka ini meningkat pada
SDKI 2012 menjadi 359 kematian per 100.000 kelahiran hidup dan
kembali menunjukkan penurunan menjadi 305 kematian per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2015 (Profil Kesehatan Indonesia, 2015).
Angka kematian ibu terbesar berasal dari propinsi Jawa Barat yang
4
kemudian diikuti oleh Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Banten, dan
Jawa Timur (BKKBN, 2012). Sedangkan untuk angka kematian ibu (AKI)
di Indonesia mengalami penurunan dari tahun 1991-2012, tetapi
mengalami kenaikan ditahun 2015. Dimana pada tahun 2012 AKI sebesar
19 per 1.000 kelahiran hidup sedangkan pada tahun 2015 sebesar 22,23
per 1.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia 2015).
Persalinan yang dilakukan dirumah oleh bantuan dukun bersalin
mengakibatnya tingginya kematian ibu dan bayi. Namun, persalinan yang
dilakukan dirumah oleh bantuan tenaga terampil seperti bidan pun tidak
dapat mengurangi angka kematian ibu dan bayi (Badriah, 2014). Maka
dari itu sebaiknya persalinan dilakukan di pelayanan kesehatan dengan
bantuan tenaga kesehatan. Persalinan yang dilakukan dirumah dengan
bantuan tenaga kesehatan memang tidak disarankan.
Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk 46.497,175 pada
tahun 2014 merupakan salah satu Provinsi yang tinggi dalam
menyumbangkan kematian ibu dan bayi baru lahir ditingkat nasional.
Padahal sudah banyak sumber daya dan upaya yang dilakukan untuk
menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir dari kematian. Namun kematian
ibu dan bayi baru lahir masih cukup tinggi yakni kasus pada tahun 2011
kasus kematian ibu sebesar 850 dan kasus kematian bayi sebesar 5.142.
Kemudian pada tahun 2012 kasus kematian ibu sebesar 804 dan kasus
kematian bayi sebesar 4.803 sedangkan pada tahun 2013 kasus kematian
ibu sebesar 781 dan kasus kematian bayi sebesar 4.306 (Dinas Kesehatan
Jawa Barat, 2015).
5
Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya kematian ibu
maupun bayi adalah faktor pelayanan yang sangat dipengaruhi oleh
kemampuan dan keterampilan tenaga kesehatan sebagai penolong pertama
pada persalinan tersebut, dimana sesuai dengan pesan pertama kunci
Making Pregnancy Safer (MPS) yaitu setiap persalinan ditolong oleh
tenaga kesehatan terlatih. Disamping itu, masih tingginya persalinan di
rumah dan masalah yang terkait budaya, perilaku dan tanda-tanda sakit
pada neonatal yang sulit dikenali, masih merupakan penyebab kematian
utama (Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Peningkatan proporsi bayi yang dilahirkan dengan bantuan tenaga
kesehatan yang profesional adalah langkah yang sangat penting untuk
mengurangi risiko kesehatan pada ibu dan anak. Penanganan medis yang
tepat dan memadai selama melahirkan dapat menurunkan risiko
komplikasi yang menyebabkan kesakitan serius pada ibu dan bayinya.
Kematian saat bersalin dan 1 minggu pertama nifas diperkirakan
menyumbang 60% dari seluruh kematian ibu (Kementerian Kesehatan,
2012).
Kabupaten Bekasi terdiri atas 23 kecamatan dan 44 puskesmas.
Puskesmas Pebayuran merupakan salah satu dari 44 puskesmas yang telah
PONED. Jumlah kelahiran di wilayah kerja Puskesmas Pebayuran adalah
1875 kelahiran. Rata-rata kelahiran yang terjadi di wilayah kerja
Puskesmas Pebayuran ditolong oleh nakes, namun masih ada beberapa
persalinan yang ditolong oleh non-nakes. Masih ada masyarakat yang
lebih memilih melahirkan di tenaga non-kesehatan daripada di tenaga
kesehatan dikarenakan beberapa faktor.
6
Berdasarkan data dari bidang kesehatan masyarakat seksi
kesehatan keluarga dan gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, diperoleh
angka persalinan di non-nakes yakni pada tahun 2015 terdapat 1.619
kelahiran (2,3%) dan tahun 2016 terdapat 5.332 kelahiran (7,52%).
Sedangkan kasus kematian ibu ditahun 2016 yakni sebesar 33 orang (31 di
nakes dan 2 di non-nakes), kasus kematian bayi sebesar 92 orang dan
kasus kematian neonatal sebesar 83 orang (81 orang di nakes dan 2 orang
di non-nakes). Sedangkan untuk 2 tahun terakhir diperoleh hasil sebagai
berikut, tahun 2015 kasus kematian ibu 36 orang dan kasus kematian bayi
71 orang. Di tahun 2014 kasus kematian ibu 30 orang dan kasus kematian
bayi 96 orang. Dari tahun ke tahun angka kematian ibu dan bayi di
Kabupaten Bekasi cenderung fluktuatif. Tingginya angka kematian ibu
dan bayi disebabkan karena kurangnya peran tenaga kesehatan terutama
bidan di desa dan puskesmas dalam penjaringan ibu hamil dan deteksi dini
ibu hamil yang kurang aktif (Profil Kesehatan Kabupaten Bekasi 2015).
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dilihat bahwa masih ada
ibu yang lebih memilih melahirkan di non-nakes. Padahal di wilayah kerja
Puskesmas Pebayuran sudah ada bidan di setiap desa serta puskesmasnya
sendiri pun sudah PONED. Tapi masih saja ada ibu yang melahirkan di
non-nakes seperti dukun bersalin (paraji). Maka dari itu peneliti tertarik
untuk mengetahui apa alasan ibu melahirkan lebih memilih bersalin oleh
non-nakes daripada oleh nakes padahal pelayanan ibu bersalin sudah
mudah. Sehingga peneliti melakukan penelitian tentang Alasan Pemilihan
Penolong Persalinan di Non-Nakes Pada Ibu Melahirkan di Wilayah Kerja
Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi Tahun 2016.
7
1.2. Rumusan Masalah
Di wilayah kerja Puskesmas Pebayuran masih ada masyarakat yang
lebih memilih melahirkan di non tenaga kesehatan daripada di tenaga
kesehatan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai alasan pemilihan penolong persalinan di non-nakes pada ibu
melahirkan di wilayah kerja Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi
Tahun 2016.
1.3. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran dukungan suami ibu melahirkan terhadap
pemilihan penolong persalinan?
2. Bagaimana gambaran dukungan ibu/ibu mertua dari ibu melahirkan
terhadap pemilihan penolong persalinan?
3. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu melahirkan terhadap pemilihan
penolong persalinan?
4. Bagaimana gambaran sikap ibu melahirkan terhadap pemilihan
penolong persalinan?
5. Bagaimana gambaran tingkat pendidikan ibu melahirkan terhadap
pemilihan penolong persalinan?
6. Bagaimana gambaran status ekonomi ibu melahirkan terhadap
pemilihan penolong persalinan?
7. Bagaimana gambaran biaya bagi ibu melahirkan terhadap pemilihan
penolong persalinan?
8. Bagaimana gambaran jarak bagi ibu melahirkan terhadap pemilihan
penolong persalinan?
8
9. Bagaimana gambaran transportasi bagi ibu melahirkan terhadap
pemilihan penolong persalinan?
10. Bagaimana gambaran budaya bagi ibu melahirkan terhadap pemilihan
penolong persalinan?
11. Bagaimana gambaran sarana dan prasarana Puskesmas Pebayuran
terhadap pemilihan penolong persalinan pada ibu melahirkan?
12. Bagaimana gambaran kompetensi petugas kesehatan terhadap
pemilihan penolong persalinan pada ibu melahirkan?
13. Bagaimana gambaran alasan ibu melahirkan pemilihan penolong
persalinan di non-nakes?
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Menganalisa apa alasan pemilihan penolong persalinan di non-
nakes pada ibu melahirkan di wilayah kerja Puskesmas Pebayuran
Kabupaten Bekasi Tahun 2016 dengan menggunakan teori health
seeking behavior (HSB).
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran dukungan suami terhadap pemilihan
penolong persalinan di non-nakes pada ibu melahirkan di
wilayah kerja Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi Tahun
2016
2. Diketahuinya gambaran dukungan ibu/ibu mertua terhadap
pemilihan penolong persalinan di non-nakes pada ibu
9
melahirkan di wilayah kerja Puskesmas Pebayuran Kabupaten
Bekasi Tahun 2016
3. Diketahuinya gambaran pengetahuan terhadap pemilihan
penolong persalinan di non-nakes pada ibu melahirkan di
wilayah kerja Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi Tahun
2016
4. Diketahuinya gambaran sikap terhadap pemilihan penolong
persalinan di non-nakes pada ibu melahirkan di wilayah kerja
Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi Tahun 2016
5. Diketahuinya gambaran tingkat pendidikan terhadap pemilihan
penolong persalinan di non-nakes pada ibu melahirkan di
wilayah kerja Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi Tahun
2016
6. Diketahuinya gambaran status ekonomi terhadap pemilihan
penolong persalinan di non-nakes pada ibu melahirkan di
wilayah kerja Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi Tahun
2016
7. Diketahuinya gambaran biaya terhadap pemilihan penolong
persalinan di non-nakes pada ibu melahirkan di wilayah kerja
Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi Tahun 2016
8. Diketahuinya gambaran jarak terhadap pemilihan penolong
persalinan di non-nakes pada ibu melahirkan di wilayah kerja
Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi Tahun 2016
9. Diketahuinya gambaran transportasi terhadap pemilihan
penolong persalinan di non-nakes pada ibu melahirkan di
10
wilayah kerja Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi Tahun
2016
10. Diketahuinya gambaran budaya terhadap pemilihan penolong
persalinan di non-nakes pada ibu melahirkan di wilayah kerja
Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi Tahun 2016
11. Diketahuinya gambaran sarana dan prasarana Puskesmas
Pebayuran terhadap pemilihan penolong persalinan di non-nakes
pada ibu melahirkan di wilayah kerja Puskesmas Pebayuran
Kabupaten Bekasi Tahun 2016
12. Diketahuinya gambaran kompetensi petugas kesehatan terhadap
pemilihan penolong persalinan di non-nakes pada ibu
melahirkan di wilayah kerja Puskesmas Pebayuran Kabupaten
Bekasi Tahun 2016
13. Diketahuinya gambaran alasan ibu melahirkan pemilihan
penolong persalinan di non-nakes
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Bagi Institusi
a) Memberikan informasi mengenai pemilihan penolong persalinan
pada ibu melahirkan di wilayah kerja puskesmas pebayuran
berdasarkan teori health seeking behavior (HSB).
b) Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan evaluasi bagi
institusi.
11
1.5.2. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat
a) Terlaksananya salah satu tri dharma perguruan tinggi yakni
akademik, penelitian dan pengabdian masyarakat.
b) Sebagai bahan referensi penelitian yang berguna bagi masyarakat
luas terutama di bidang kesehatan masyarakat.
1.5.3. Bagi Peneliti
a) Menjadi pembelajaran dan pengalaman dalam melakukan sebuah
penelitian.
b) Sebagai ajang pengembangan kompetensi diri sesuai dengan ilmu
yang telah diperoleh selama perkuliahan dalam meneliti suatu
masalah.
1.5.4. Bagi Peneliti Selanjutnya
a) Sebagai bahan rujukan dan dimanfaatkan sebanyak-banyaknya
untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
1.6. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan oleh peneliti dari bulan Maret hingga Juli
2017 di wilayah kerja Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi. Penelitian
dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengetahui apa
alasan pemilihan penolong persalinan di non-nakes pada ibu melahirkan di
wilayah kerja Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi Tahun 2016.
Desain penelitian pada penelitian ini yakni studi kasus dan data yang
digunakan yaitu data primer dengan wawancara mendalam menggunakan
pedoman wawancara yang berisi pertanyaan terkait pemilihan penolong
12
persalinan pada ibu yang pernah mengalami persalinan berdasarkan teori
health seeking behavior (HSB).
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Persalinan
Persalinan merupakan suatu proses fisiologis yang dialami oleh wanita. Pada
proses ini terjadi serangkaian perubahan besar yang terjadi pada ibu untuk dapat
melahirkan janinnya melalui jalan lahir (Decherney dkk, 2007). Menurut
Prawirohardjo (2005) persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi
(janin dan uri) yang dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar.
Persalinan dianggap normal jika prosesnya terjadi pada usia kehamilan cukup
bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya penyulit. Persalinan normal
dimulai dengan adanya kontraksi uterus yang menyebabkan terjadinya dilatasi
progresif dari serviks, kelahiran bayi, dan kelahiran plasenta (Rohani, 2007).
Tujuan dari pengelolaan proses persalinan adalah mendorong kelahiran yang
aman bagi ibu dan bayi sehingga dibutuhkan peran dari petugas kesehatan untuk
mengantisipasi dan menangani komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu dan
bayi, sebab kematian ibu dan bayi sering terjadi terutama saat proses persalinan
(Koblinsky dkk, 2006).
Menurut Depkes RI tahun 2008 tentang pedoman kemitraan bidan dan dukun,
ada beberapa jenis tenaga yang memberikan pertolongan persalinan kepada
masyarakat. Jenis tenaga tersebut adalah :
a. Tenaga profesional, meliputi : dokter spesialis kebidanan, dokter umum,
bidan, perawat bidan.
b. Dukun bayi, dibedakan menjadi :
14
1) Dukun terlatih : ialah dukun bayi yang telah mendapatkan pelatihan
oleh tenaga kesehatan dan dinyatakan lulus.
2) Dukun tidak terlatih : ialah dukun bayi yang belum pernah dilatih oleh
tenaga kesehatan atau dukun bayi yang sedang dilatih dan belum
dinyatakan lulus.
Komplikasi dan kematian ibu serta neonatal sering terjadi pada masa
sekitar masa persalinan. Oleh sebab itu intervensi ditekankan pada kegiatan
pertolongan persalinan yang aman yaitu oleh tenaga kesehatan (Depkes RI, 2001).
Persalinan oleh tenaga kesehatan dianggap memenuhi persyaratan sterilitas, selain
itu bila mendadak terjadi resiko tinggi atau mengalami keadaan gawat darurat
maka penanganan atau pertolongan pertama serta rujukan dapat segera dilakukan.
Dalam menolong persalinan, teknik pertolongan persalinan dan prinsip sterilisasi
alat kesehatan diterapkan oleh tenaga kesehatan sehingga diharapkan persalinan
aman dapat diperoleh. Keterbatasan dari penolong persalinan ini adalah pelayanan
hanya terbatas pada pelayanan medis, tanpa terjangkau oleh faktor budaya
sehingga rasa aman secara psikologis kurang terpenuhi. Kadang-kadang
pelayanan tidak terjangkau dari segi keberadaan dan jarak. Umumnya imbalan
jasa berupa uang sehingga menyulitkan masyarakat miskin (Manuaba, 2006).
Menurut Supartini (2004) diharapkan setiap ibu hamil memanfaatkan petugas
kesehatan seperti dokter, bidan dan perawat dalam pertolongan persalinan.
Dengan memilih tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan, ibu akan
mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan prinsip bebas kuman dan prosedur
standar pelayanan. Jika ditemui adanya komplikasi dalam persalinan, ibu akan
mendapatkan pertolongan yang tepat (Supartini, 2004). Sedangkan persalinan
15
tidak aman ialah sebaliknya yakni persalinan yang tidak dilakukan difasilitas
kesehatan dan tidak ditolong oleh tenaga profesional seperti dukun bersalin.
Penyebab tingginya angka kematian ibu antara lain, terlalu muda atau terlalu
tua saat melahirkan, tidak melakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur, dan
banyaknya persalinan yang ditolong oleh tenaga non profesional (Koblinsky dkk,
2006). Faktor yang berperan penting untuk mengurangi angka kematian maternal
antara lain, persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih dan pelayanan yang
baik ketika persalinan (Reeves, 2010). Faktor lain yang dapat mengurangi angka
kematian maternal yaitu akses ke tempat pelayanan kesehatan terjangkau dan
fasilitas kesehatan yang memadai (Aboagye, 2013).
2.2. Dukun bersalin
Dukun bayi adalah seorang anggota masyarakat yang pada umumnya wanita
yang mendapat kepercayaan serta memiliki keterampilan menolong persalinan
secara tradisional. Dukun bayi merupakan sosok yang sangat dipercaya
dikalangan masyarakat, memberikan pelayanan khususnya bagi ibu hamil sampai
dengan nifas secara sabar (Meilani dkk, 2009). Menurut Syarifudin (2009), jenis
dukun terbagi menjadi dua, yaitu: 1) dukun terlatih, yaitu dukun yang telah
mendapatkan pelatihan oleh tenaga kesehatan dan telah dinyatakan lulus, 2)
dukun tidak terlatih, yaitu dukun yang belum pernah dilatih oleh tenaga kesehatan
atau dukun yang sedang dilatih dan belum dinyatakan lulus.
Menurut Kusnada Adimihardja, dukun bayi adalah seorang wanita atau pria
yang menolong persalinan. Kemampuan ini diperoleh secara turun menurun dari
ibu kepada anak atau dari keluarga dekat lainnya. Cara mendapatkan keterampilan
ini adalah melalui magang dari pengalaman sendiri atau saat membantu
melahirkan. Suparlan, mengatakan bahwa dukun mempunyai ciri-ciri, yaitu: 1)
16
pada umumnya terdiri dari orang biasa, 2) pendidikan tidak melebihi pendidikan
orang biasa, umumnya buta huruf, 3) pekerjaan sebagai dukun umumnya bukan
untuk tujuan mencari uang tetapi karena ‘panggilan’ atau melalui mimpi-mimpi,
dengan tujuan untuk menolong sesama, 4) di samping menjadi dukun, mereka
mempunyai pekerjaan lainnya yang tetap. Misalnya petani, atau buruh kecil
sehingga dapat dikatakan bahwa pekerjaan dukun hanyalah pekerjaan sambilan, 5)
ongkos yang harus dibayar tidak ditentukan, tetapi menurut kemampuan dari
masing-masing orang yang ditolong sehingga besar kecil uang yang diterima tidak
sama setiap waktunya, 6) umumnya dihormati dalam masyarakat atau umumnya
merupakan tokoh yang berpengaruh, misalnya kedudukan dukun bayi dalam
masyarakat.
Dukun bayi pada awalnya secara tradisi adalah profesi seseorang yang dalam
aktivitasnya menolong proses persalinan, merawat bayi mulai dari memandikan,
menggendong, belajar berkomunikasi dan lain-lain. Dukun bayi biasanya juga
selain dilengkapi dengan keahlian juga dibantu berbagai mantra khusus yang
dipelajarinya dari pendahulu mereka. Menurut konsep yang disusun Departemen
Kesehatan RI (1994), dukun bayi adalah orang yang dianggap terampil dan
dipercaya oleh masyarakat untuk menolong persalinan dan perawatan ibu dan
anak sesuai kebutuhan masyarakat. Dalam masyarakat yang masih tradisional,
peran seorang dukun bayi tidak dapat diabaikan keberadaan dan jasanya bagi
masyarakat dalam upaya meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Dalam pada itu
menurut Koentjaraningrat (1982) dukun bayi merupakan sistem pelayanan
kesehatan tradisional yang memberi jasa pelayanan untuk meningkatkan dan
memelihara kesehatan ibu dan anak (KIA) menurut keyakinan-keyakinan dan
17
konsepsi-konsepsi adat tradisional dan kebudayaan masyarakat yang
bersangkutan.
Sistem budaya dari pelayanan kesehatan tradisional yang dimiliki dukun bayi
mengandung seluruh ilmu pengetahuan yang untuk sebagian berupa pengetahuan
tradisional, sebagian berupa ilmu gaib dan sebagian lagi keyakinan-keyakinan
religi. Pengetahuan tradisional itu tidak hanya mengenai berbagai macam
penyakit, penyebab penyakit, cara penularan penyakit dan cara penyembuhan
serta pencegahan penyakit, tetapi juga tentang obat-obatan tradisional, tumbuh-
tumbuhan berkhasiat serta makanan dan minuman. Dalam era modernisasi
sekarang ini nampaknya dukun bayi yang merupakan sistem budaya pelayanan
kesehatan tradisional masih dibutuhkan dan masih hidup berdampingan
bersamaan dengan sistem budaya pelayanan kesehatan modern. Meskipun dukun
bayi sebagai rujukan kedua yang dipilih oleh masyarakat dalam penanganan
kesehatan, di beberapa wilayah di Indonesia terutama di daerah pedesaan,
sebagian masyarakatnya masih percaya terhadap peran dukun bayi dalam
melakukan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan. Hal ini yang
masih banyak terjadi dan menimbulkan permasalahan kesehatan ibu dan anak
(KIA) di Indonesia, sehingga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
masih tingginya angka kematian ibu dan kematian bayi di negeri ini.
Pertolongan persalinan yang masih banyak dilakukan oleh dukun bayi
mencerminkan sistem budaya masyarakat masih kuat memegang tradisi. Hampir
semua masyarakat Indonesia baik yang tinggal di perdesaan maupun perkotaan
sekalipun lebih senang ditolong oleh dukun. Hal tersebut disebabkan oleh tradisi
dan adat istiadat setempat. Baik di desa maupun di perkotaan, dukun termasuk
tipe pemimpin informal karena pada umumnya mereka memiliki kekuasaan dan
18
wewenang yang disegani oleh masyarakat sekelilingnya. Wewenang yang
dimilikinya terutama adalah wewenang harismatis. Secara teoretis, wewenang
dapat dibedakan atas wewenang tradisional, wewenang rasional dan wewenang
karismatis. Dukun dianggap sebagai orang yang memiliki kekuasaan karismatis,
yaitu kemampuan atau wibawa yang khusus terdapat dalam dirinya. Wibawa tadi
dimiliki tanpa dipelajari, tetapi ada dengan sendirinya dan merupakan anugerah
dari Tuhan.
Dari beberapa penelitian dukun bayi yang telah dilakukan, ternyata peranan
dukun bayi tidak hanya terbatas pada pertolongan persalinan saja tetapi juga
meliputi berbagai segi lainnya, seperti mencucikan baju setelah ibu melahirkan,
memandikan bayi selama tali pusar belum puput (lepas), memijit ibu setelah
melahirkan, memandikan ibu, mencuci rambut ibu setelah 40 hari melahirkan,
melakukan upacara sedekah kepada alam supra-alamiah, dan dapat memberikan
ketenangan pada pasiennya karena segala tindakan-tindakannya dihubungkan
dengan alam supra-alamiah yang menurut kepercayaan orang akan mempengaruhi
kehidupan manusia. Dukun bayi kebanyakan merupakan orang yang cukup
dikenal di desa, dianggap sebagai orang-orang tua yang dapat dipercayai dan
sangat besar pengaruhnya pada keluarga yang mereka tolong.
Ada beberapa faktor yang menjadi alasan kenapa masyarakat lebih memilih
untuk melakukan persalinan oleh dukun bayi dibandingkan dengan tenaga
kesehatan, diantaranya yaitu: a) faktor geografis, di daerah dengan kondisi
geografis dan transportasi yang sulit meski telah terdapat bidan atau fasilitas
kesehatan, namun dalam kondisi darurat maka dukun bayi tetap menjadi pilihan
dalam menolong persalinan karena lebih mudah untuk dijangkau keberadaannya,
b) masih langkahnya tenaga medis didaerah-daerah pedalaman, meski keberadaan
19
dukun dikota semakin berkurang namun masih saja terdapat persalinan yang
ditolong oleh dukun bayi, bahkan di sebagian besar kabupaten dukun bayi masih
berperan dominan dalam menolong persalinan, c) kultur budaya masyarakat kita
terutama di pedesaan masih lebih percaya kepada dukun bayi dibandingkan bidan
atau dokter sebagai penolong persalinan meskipun dengan resiko sangat tinggi, d)
faktor ekonomi, bahwa sekitar 65% dari seluruh masyarakat yang menggunakan
dukun bayi karena alasan biaya walaupun ada yang merasa nyaman terhadap
pelayanan yang diberikan oleh dukun bayi, e) dukungan keluarga, keluarga
memegang pengaruh besar dalam pengambilan keputusan untuk melahirkan
ditolong oleh dukun bayi (Nurfadillah, 2013).
2.3. Resiko persalinan ditolong oleh dukun bayi
Pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi masih menggunakan
cara-cara tradisional yang dapat merugikan dan membahayakan keselamatan ibu
dan bayi baru lahir (Depkes RI, 2008). Dukun sebagai penolong persalinan
memiliki pengetahuan tentang fisiologis dan patologis dalam kehamilan,
persalinan, serta nifas yang sangat terbatas oleh karena atau apabila timbul
komplikasi ia tidak mampu untuk mengatasinya, bahkan tidak menyadari
akibatnya, dukun tersebut menolong hanya berdasarkan pengalaman dan kurang
profesional. Selain itu alat-alat yang digunakan oleh dukun pun belum tentu steril
sehingga bisa menyebabkan infeksi pada ibu maupun bayi. Berbagai kasus sering
menimpa seorang ibu atau bayi sampai pada kematian ibu saat bersalin
(Winkjosastro, 2005).
Hasil studi yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(2006) menyatakan bahwa kemampuan tenaga non profesional/dukun bersalin
masih kurang, khususnya yang berkaitan dengan tanda-tanda bahaya, resiko
20
kehamilan dan persalinan serta rujukannya. Menurut Suprapto, dkk (2003),
kurangnya pengetahuan dukun bayi dalam mengenal komplikasi yang mungkin
timbul dalam persalinan dan penanganan komplikasi yang tidak tepat akan
meningkatkan resiko kematian pada ibu bersalin. Sedangkan dari hasil penelitian
Zalbawi (2006) dikatakan bahwa alasan ibu memilih dukun bayi dalam persalinan
karena pelayanan yang diberikan lebih sesuai dengan sistem sosial budaya yang
ada, mereka sudah dikenal lama karena berasal dari daerah sekitarnya dan
pembayaran biaya persalinan dapat diberikan dalam bentuk barang.
2.4. Perilaku Pemilihan Penolong Persalinan
Kurt Lewin (1970) berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu
keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dan
kekuatan-kekuatan penahan (restrining forces). Perilaku itu dapat berubah apabila
terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut di dalam diri seseorang.
Perilaku terbentuk di dalam diri seseorang dari dua faktor utama yakni faktor
eksternal dan internal. Faktor eksternal merupakan faktor lingkungan, baik
lingkungan fisik dan non fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, politik dna
sebagainya. Dari perannya dalam membentuk perilaku manusia adalah faktor
sosial dan budaya dimana seseorang tersebut berada. Sedangkan faktor internal
yang menentukan seseorang itu merespon stimulus dari luar adalah perhatian,
pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, sugesti, dan sebagainya.
Faktor sosial sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku antara
lain struktur sosial, pranata-pranata sosial, dan permasalahan-permasalahan sosial
yang lain. Ilmu yang mempelajari masalah-masalah ini adalah sosiologi. Faktor
budaya sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seseorang antara
lain nilai-nilai, adat istiadat, kepercayaan, kebiasaan masyarakat, tradisi dan
21
sebagainya. Ilmu yang mempelajari masalah-masalah ini adalah antropologi.
Sedangkan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya perilaku
seperti perhatian, motivasi, persepsi, intelegensi, fantasi dan sebagainya seperti
disebutkan diatas dicakup oleh psikologi (Notoatmodjo, 2010).
Menurut Skiner, perilaku kesehatan (health behavior) adalah respon
seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit,
penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti
lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Dengan perkataan lain
perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang
diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable) yang
berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan
kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah
kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila sakit
atau terkena masalah kesehatan.
Perilaku pemilihan penolong persalinan merupakan suatu keadaan ibu untuk
memutuskan siapa yang akan membantunya dalam proses persalinannya. Dimana
dalam pemilihan penolong persalinan ibu dipengaruhi oleh faktor eksternal dan
internal. Untuk faktor eksternal yang mempengaruhi ibu dalam pemilihan
penolong persalinan yakni yang pertama sosial budaya, dimana masih banyak
yang memiliki budaya bahwa persalinan ditolong oleh dukun bersalin (paraji)
sudah turun temurun dari nenek, ibu hingga anak dan cucunya. Disini dapat dilihat
bahwa budaya dalam lingkungan keluarga masih kuat. Kedua ekonomi, rata-rata
masyarakat memilih penolong persalinan sesuai dengan keadaan ekonomi masing-
masing. Bagi yang ekonominya baik mereka akan memilih melahirkan ditolong
oleh bidan atau dokter, sedangkan yang ekonominya kurang baik lebih cenderung
22
memilih dukun bersalin (paraji) untuk membantu dalam proses persalinannya.
Sedangkan untuk faktor internalnya yakni ada pada diri ibu sendiri. Dimana para
ibu memilih penolong persalinan sesuai dengan keinginannya, sugestinya,
pengamatan dan persepsinya terhadap penolong persalinan. Ada ibu yang memilih
bersalin dengan tenaga kesehatan karena menurutnya apabila persalinannya
ditolong oleh tenaga kesehatan akan jauh lebih aman dibanding harus bersalin
ditolong oleh non tenaga kesehatan. Tetapi ada pula ibu yang lebih memilih
bersalin dengan non tenaga kesehatan dikarenakan ia takut akan jarum suntik atau
takut dirobek dan dijahit jalan lahirnya.
2.5. Teori Perilaku
2.5.1. Health Seeking Behavior
Perilaku pencarian pengobatan telah didefinisikan sebagai kegiatan yag
dilakukan oleh individu yang menganggap diri mereka memiliki masalah
kesehatan atau sakit dan dimaksudkan untuk menemukan pengobatan yang
tepat (Mackian, 2003). Mackian juga menyatakan peneliti-peneliti lain sudah
lama tertarik dengan pelayanan kesehatan apa yang dicari oleh masyarakat
untuk pengobatan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat
dalam berperilaku kesehatan. Terdapat dua pendekatan untuk melihat perilaku
pencarian pengobatan yaitu :
1. Perilaku pencarian pelayanan kesehatan : Pemanfaatan sistem
Studi ini menunjukkan bahwa keputusan untuk terlibat dengan
pelayanan medis tertentu dipengaruhi oleh berbagai variabel sosio-
ekonomi, jenis kelamin, usia, sosial status perempuan, jenis
penyakit, akses ke layanan dan kualitas yang dirasakan dari layanan
kesehatan (Tipping dan Segall 1995 dalam Mackian 2003).
23
Tabel 2. 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pencarian pengobatan
Author Geographical Social Economic Cultural Organisational
Kloos
(1990) Geographical Socio-economic Cultural
Yesudian
(1988) Demographic Economic Cultural Organisational
Leslie
(1989) User factors Service factors
Anderson
(1995) Environmental Predisposing and enabling factors Health system
Pengkategorian ini dapat diuraikan lebih lanjut untuk menggambarkan
jenis tindakan apa yang sering digunakan. Ini dikelompokkan pada Tabel 2.2,
dan ditempatkan pada lingkup pengaruh utama: informal, infrastruktur dan
formal.
Tabel 2. 2. Determinan perilaku pencarian pengobatan
Category Determinant Details Sphere
Cultural Status of women Elements of patriarchy ‘Cultural
propriety’
Social Age and sex
Socioeonomic Household
resources
Education level
Maternal occupation
Marital status
Economic status
Informal
Economic Costs of care
Treatment
Travel
Time
Physical
Type and severity
of ilness
Geographical Distance and
physical access Infrastructure
Organisational Perceived quality
Standard of drugs
Standard of equipment
Competence of staff
Attitudes of staff
Interpersonal process
Technical
Staffing
Interpersonal
formal
24
2. Perilaku pencarian pengobatan : Proses respon penyakit
Berakar pada faktor psikologi yang melihat perilaku pecarian
pengobatan secara umum, menggambarkan faktor yang
memungkinkan seseorang membuat ‘pilihan yang sehat’, baik dalam
perilaku gaya hidup mereka atau menggunakan perawatan medis dan
pengobatan (Mackian, 2003). Studi perilaku pencarian pengobatan
melihat perilaku sakit yang lebih umum dan fokus, khususnya pada
faktor persepsi penyakit dan kepercayaan kesehatan yang
memotivasi. Studi yang terlihat di luar individu untuk pola sosial
atau faktor-faktor penentu pengambilan keputusan mengacu pada
konsep ‘kognisi sosial’. Ini termasuk rasa kontrol lokal atas keadaan
dan pengaruh kelompok dan masyarakat lokal terhadap pola
pengambilan keputusan (Grundy, 2010).
Notoatmojo (2010) menjelaskan perilaku pencarian
penyembuhan/pengobatan (health seeking behavior) adalah perilaku kelompok
atau orang yang berupaya untuk mencari penyembuhan atau pengobatan guna
membebaskan diri dari penyakit tersebut, serta memperoleh pemulihan
kesehatannya. Oleh sebab itu perilaku penyembuhan ini mencakup :
1. Perilaku orang sakit untuk memperoleh kesembuhan dan cepat sembuh
(perilaku kuratif)
2. Perilaku orang sakit memperoleh pemulihan kesehatannya atau cepat pulih
kesehatannya (perilaku rehabilitatif)
25
2.5.1.1. Proses perilaku penyembuhan
Notoatmodjo (2010) menyatakan perilaku pencarian
pengobatan penyembuhan (health seeking behavior) adalah sebuah
proses. Proses ini biasanya terdiri dari beberapa tahap antara lain
mencakup :
1. Mengenali gejala penyakit dengan menggunakan caranya sendiri,
misalnya pengalaman orang lain, atau pengetahuan yang dimiliki
(Notoatmodjo, 2010).
2. Melakukan penyembuhan atau pengobatan sendiri (self treatment
atau selft medication), sesuai dengan pengetahuan, keyakinan,
atau kepercayaannya. Perilaku pengobatan sendiri ini terdiri dari
berbagai bentuk, baik secara tradisional dan modern. Bentuk
perilaku penyembuhan sendiri secara tradisional ini misalnya:
kerokan, pijat, atau membuat ramuan atau minum jamu yang
dibuat sendiri atau dibeli di warung. Sedangkan pengobatan
sendiri dengan cara modern juga dilakukan berbagai cara
misalnya, minum obat yang bebas dijual bebas di warung, toko
obat atau apotek. Kadang-kadang juga minum obat paten yang
dibeli di toko obat atau apotek. Sebab banyak obat-obat paten
yang dijual bebas tanpa resep (Notoatmodjo, 2010).
3. Melakukan upaya memperoleh kesembuhan dan pemulihan dari
luar, sesuai dengan pemahaman dan persepsi terhadap
penyakitnya tersebut. Pilihan-pilihan jenis pelayanan kesehatan
tersebut berbeda-beda urutannya. Pilihan pertama pelayanan
kesehatan bagi masyarakat pada umumnya (terutama di pedesaan)
26
adalah pelayanan kesehatan tradisional yaitu dukun dan
paranormal kesehatan. Pelayanan kesehatan tradisional sebagai
pilihan pertama, sebenarnya kurang tepat. Sebab pada umumnya
pengobatan atau penyembuhan yang digunakan oleh para
pengobata tradisional tidak didasarkan pada diagnosis penyakit.
Penyembuhan dan pengobatan biasanya didasarkan pada hasil
diagnosis kebatinan atau paranormal, yang sering kurang masuk
akal (Notoatmodjo, 2010).
Akibat dari proses penyembuhan semacam ini kadang-kadang
berakibat yang lebih buruk atau lebih parah bagi pasien. Setelah gagal
ditangani oleh pengobatan tradisional, maka biasanya pasien dibawa ke
pelayanan kesehatan modern (rumah sakit, puskesmas, dan dokter).
Namun demikian karena sudah terlambat, maka pelayanan
kesehatan modern pun tidak mampu menanganinya. Oleh sebab itu
seyogyanya pelayanan kesehatan sebagai tempat pencarian
penyembuhan atau pengobatan (health seeking behavior) ini sesuai
dengan urutan di bawah ini :
a. Mencari pengobatan ke pelayanan kesehatan, bentuknya
puskesmas, dokter praktek, bidan atau mantri praktek. Apabila
pelayanan kesehatan primer ini tidak berhasil menanganinya,
maka baru mencari pelayanan kesehatan rujukan.
b. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat pertama (rumah sakit D/C).
Tetapi bagi masyarakat pedesaan, dimana bidan prakter atau
mantri praktek sebagai tempat pelayanan kesehatan primer, maka
27
dokter praktek dan puskesmas mungkin sebagai pelayanan
kesehatan tingkat rujukan pertama ini. Apabila pelayanan
kesehatan primer ini tidak berhasil menanganinya, maka baru
mencari pertolongan pelayanan kesehatan rujukan tingkat dua.
c. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat dua (rumah sakit tipe B atau
A). Adalah pelayanan kesehatan rujukan yang mempunyai sarana
dan prasarana yang lebih lengkap, serta mempunyai tenaga medis
maupun para medis yang lebih ahli. Bagi masyarakat yang tinggal
di pedesaan, dimana pelayanan kesehata primer yang digunakan
adalah bidan atau mantri praktek, maka rumah sakit (tipe C) pun
sudah merupakan pelayanan kesehatan rujukan yang paling
tinggi. Sebaliknya bagi golongan orang yang mampu utamanya
dari kota besar, maka pelayanan rujukan yang digunakan adalah
rumah sakit internasional, baik yang ada di Jakarta, maupun
diluar negeri seperti Singapura, Malaysia, Sina, dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2010).
2.5.1.2. Jenis perilaku pencarian pegobatan
Perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior)
adalah perilaku orang atau masyarakat yang sedang mengalami sakit
atau masalah kesehatan lain untuk memperoleh pengobatan hingga
teratasi masalah kesehatannya. Perilaku ini dapat dikelompokkan
menjadi dua berdasarkan bagaimana untuk mendapatkan pengobatan,
yaitu mengobati sendiri (self medication), dan mencari pengobatan
keluar/pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2010).
28
1. Perilaku penyembuhan/pengobatan sendiri (self medication)
Terjadi karena orang atau masyarakat tersebut sudah percaya
terhadap diri sendiri, dan sudah merasa bahwa berdasarkan
pengalaman yang lalu bahwa usaha pengobatan sendiri sudah
dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan
pencarian pengobatan keluar tidak diperlukan. Terdapat 3 pola
pengobatan sendiri (self medication) yang dilakukan oleh
masyarakat, yaitu :
a. Obat-obat modern, baik dibeli di warung maupun di apotek,
seperti oba-obat untuk sakit kepala, sakit perut, sakit mata,
luka, dan sebagainya.
b. Obat-obat tradisional, baik yang diramu atau dibuat sendiri
dari daun-daunan, maupun yang dibeli di warung, seperti
jamu atau jamu gendong keliling.
c. Obat-obat lainnya, yakni obat-obat lain yang tidak termasuk
dua jenis obat diatas. Obat-obat ini biasanya diberikan oleh
paranormal atau dukun, yang berupa air, atau benda-benda
lain yang diberikan mantera-mantera.
Pola perilaku penyembuhan sendiri (self medication) pada
masyarakat dapat saja dikombinasikan. Seseorang bisa saja mencari
pengobatan dengan obat modern atau tradisional dalam waktu yang
bersamaan atau hampir bersamaan (Notoatmodjo, 2010).
29
2. Perilaku pencarian penyembuhan/pengobatan keluar
Perilaku pencarian pengobatan keluar (tidak diobati sendiri) pada
waktu orang dewasa atau anak-anak sakit dibawa oleh
keluarganya, terwujud dalam fasilitas atau pelayanan kesehatan
yang digunakan oleh anggota masyarakat, dikelompokkan dalam :
a. Rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta
b. Prakter dokter
c. Puskesmas, pustu, dan balkesmas
d. Petuga kesehatan
e. Dukun atau pengobatan tradisional (batra) lainnya
Seperti halnya dengan pengobatan sendiri, maka pola
pencarian pengobatan ini kemungkinan juga terjadi kombinasi. Artinya
seseorang bisa saja dalam waktu sakit mencari penyembuhan atau
berobat ke kedua fasilitas atau pelayanan kesehatan yang berbeda dalam
waktu yang bersamaan atau hampir bersamaan. Pola pencarian
pengobatan masyarakat perkotaan sedikit berbeda dengan pola
pencarian pengobatan masyarakat pedesaan. Pada masyarakat pedesaan,
puskesmas dan pustu merupakan pilihan tertinggi tempat pencarian
pengobatan. Sedangkan pada masyarakat perkotaan, dokter praktek
merupakan pilihan yang tertinggi. Peran dukun, baik pada masyarakat
pedesaan maupun perkotaan memang masih ada, namun dalam
persentase yang rendah (Notoatmodjo, 2010).
30
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI INSTILAH
3.1. Kerangka Teori
Kasus persalinan oleh dukun bersalin di Kecamatan Pebayuran Kabupaten
Bekasi masih ada. Dengan demikian, hal tersebut merupakan salah satu masalah
dalam kesehatan ibu dan anak. Pertolongan persalinan oleh non-tenaga kesehatan
seperti dukun bersalin dapat berisiko terhadap ibu maupun bayi yang dilahirkan
sehingga dapat menyebabkan kematian ibu dan bayi. Berangkat dari hal inilah,
peneliti ingin menggali lebih dalam apa saja yang mempengaruhi pemilihan
penolong persalinan sesuai dengan fakta-fakta yang ada di lapangan. Teori yang
digunakan oleh peneliti untuk menganalisis alasan apa yang mempengaruhi
pemilihan penolong persalinan yakni Health Seeking Behavior (HSB) dengan
kerangka teori seperti bagan dibawah ini.
Determinant factor
Environmental
- Social environment
Predisposing
- Knowledge
- Attitude
- Education level
- Marital status
- Economic status
Enabling
- Cost
- Distance and physical access
- Culture
Health system
- Facilities
- Competence of staff
Health Seeking
Behavior
Health Seeking Behavior (Anderson, 1995)
Bagan 3. 1. Kerangka Teori
31
3.2. Kerangka Pikir
Dari kerangka teori yang ada, didapatkan kerangka pikir terkait alasan
pemilihan penolong persalinan di non-nakes pada ibu melahirkan di wilayah kerja
Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi tahun 2016 seperti bagan dibawah ini.
Faktor lingkungan yang dimaksud dalam kerangka pikir merupakan
lingkungan sosial. Lingkungan sosial disini yaitu orang-orang dilingkungan hidup
ibu melahirkan yang mempengaruhi ibu melahirkan dalam memilih penolong
persalinannya. Dalam hal ini lingkungan sosial dari ibu melahirkan yakni
dukungan suami dan dukungan ibu/ibu mertua, karena suami dan ibu/ibu mertua
merupakan orang terdekat yang ada dilingkungan hidup sehari-hari ibu bersalin.
Faktor predisposisi dalam kerangka pikir merupakan faktor yang
mempermudah ibu melahirkan terhadap pemilihan penolong persalinannya, dalam
Faktor Penentu
Lingkungan
- Dukungan suami
- Dukungan ibu/ibu mertua
Predisposisi
- Pengetahuan
- Sikap terhadap kesehatan
- Tingkat pendidikan
- Status ekonomi
Pemungkin
- Biaya
- Jarak
- Transportasi
- Budaya
Sistem kesehatan
- Sarana dan prasarana
- Kompetensi petugas kesehatan
Pemilihan Penolong
Persalinan
Bagan 3. 2. Kerangka pikir
32
hal ini yakni potensi yang ada di dalam diri ibu melahirkan seperti pengetahuan,
sikap, tingkat pendidikan dan status ekonomi.
Kemudian untuk faktor pemungkin dalam kerangka pikir merupakan faktor-
faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi ibu melahirkan saat pemilihan
penolong persalinannya seperti biaya, jarak, transportasi dan budaya. Pada
kerangka teori tidak terdapat faktor transportasi di dalam faktor pemungkin.
Peneliti memasukan transportasi ke dalam faktor pemungkin dikarenakan
transportasi menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi ibu melahirkan
dalam pemilihan penolong persalinannya.
Dalam faktor sistem kesehatan terdapat dua faktor di dalamnya yakni sarana
dan prasarana serta kompetensi petugas kesehatan. Sarana dan prasarana serta
kompetensi petugas kesehatan yang dimaksud yakni sarana dan prasarana serta
kompetensi petugas kesehatan yang ada di Puskesmas Pebayuran.
33
9.3. Definisi Istilah
Tabel 3. 1. Definisi Istilah
No. Variabel Definisi Istilah Metode Instrumen
1.
Alasan
pemilihan
penolong
persalinan
Alasan ibu dalam memilih
penolong persalinan dalam
proses persalinannya dengan
berbagai pertimbangan-
pertimbangan yang ada.
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
2. Dukungan
suami
Dukungan yang diberikan suami
terhadap istri, suatu bentuk
dukungan dimana suami dapat
memberikan bantuan secara
psikologis baik berupa motivasi,
perhatian dan penerimaan.
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
3. Dukungan
ibu/ibu mertua
Dukungan yang diberikan
ibu/ibu mertua terhadap anak,
suatu ibu/ibu mertua dapat
memberikan bantuan secara
psikologis baik berupa motivasi,
perhatian dan penerimaan.
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
4. Pengetahuan
Informasi yang diketahui atau
disadari oleh ibu terkait
persalinan, kehamilan, resiko
dan bahaya persalinan.
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
5. Sikap
Pernyataan evaluatif ibu
terhadap kesehatan dan terhadap
penolong persalinan.
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
6. Tingkat
pendidikan
Pendidikan terakhir yang dijalani
oleh ibu sampai saat wawancara
dilakukan.
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
7. Status ekonomi
Pendapatan perbulan, jumlah
tanggungan dan kemampuan
perekonomian keluarga dalam
memenuhi setiap kebutuhan
hidup keluarga.
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
8. Biaya
Semua pengorbanan yang perlu
dilakukan untuk suatu proses
persalinan, yang dinyatakan
dengan satuan uang menurut
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
34
No. Variabel Definisi Istilah Metode Instrumen
harga pasar yang berlaku.
9. Jarak
Angka yang menunjukkan
seberapa jauh posisi rumah
dengan tempat bersalin.
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
10. Transportasi
Kendaraan yang digunakan oleh
ibu untuk pergi ke tempat
bersalin.
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
11. Budaya
Segala sesuatu atau tata nilai
yang berlaku dalam sebuah
masyarakat yang menjadi ciri
khas dari masyarakat tersebut.
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
12. Sarana dan
prasarana
Alat dan tempat yang dimiliki
dan digunakan oleh tenaga
penolong persalinan.
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
13.
Kompetensi
petugas
kesehatan
Keahlian yang dimiliki oleh
bidan yang ada di wilayah kerja
puskesmas.
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
35
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif yang
bertujuan untuk mengetahui secara mendalam alasan ibu memilih
penolong persalinan. Menurut Joseph A. Maxwell (1996), tujuan
penelitian kualitatif cocok untuk dikembangkan dalam mengkaji sebuah
fenomena perilaku manusia, karena penelitian kualitatif berusaha
memahami makna yang dimiliki oleh partisipan dalam sebuah studi
tentang peristiwa, situasi, dan perilaku dimana mereka terlibat di
dalamnya. Maka dari itu, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif
pada penelitian ini agar dapat memahami apa alasan ibu memilih
penolong persalinan.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Pebayuran
Kabupaten Bekasi pada bulan Maret hingga Juli 2017. Pemilihan lokasi
penelitian memiliki beberapa pertimbangan, diantaranya yakni
Kecamatan Pebayuran merupakan Kecamatan dengan jumlah persalinan
terbanyak. Selain itu berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan
peneliti pada 4 ibu yang pernah mengalami persalinan, 2 diantaranya
melakukan persalinan dengan dukun bayi dan 2 oleh bidan. Ibu yang
melakukan persalinan di dukun bersalin mengatakan bahwa biaya
melahirkan di dukun bersalin jauh lebih murah ketimbang melahirkan di
bidan atau dokter. Ini dikarenakan faktor ekonomi keluarga yang kurang
36
mencukupi. Adapun ibu yang tidak mau melakukan persalinan di bidan
atau dokter di karenakan takut akan jarum suntik dan takut dijahit. Selain
itu akses juga berpengaruh terhadap pemilihan penolong persalinan pada
ibu. Dari 2 ibu yang melahirkan di dukun bersalin, mereka berpendapat
bahwa melahirkan di dukun bayi tidaklah berisiko pada kesehatan dan
keselamatan ibu maupun bayi, sama saja dengan melahirkan di bidan.
Beda halnya dengan ibu yang melahirkan di bidan. Mereka berpendapat
bahwa melahirkan di bidan jauh lebih aman karena bidan memiliki alat
yang lebih lengkap dan bersih serta ada obat/suntik pasca melahirkan.
4.3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan
melakukan pengumpulan data primer. Pengumpulan data primer
dilakukan melalui teknik wawancara mendalam. Menurut Sugiyono
(2010), wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila
peneliti ingin mengetahui hal-hal dari informan yang lebih mendalam.
Dengan demikian pada penelitian ini peneliti akan menggunakan metode
wawancara mendalam agar dapat mengetahui hal-hal yang lebih
mendalam mengenai alasan pemilihan penolong persalinan di non-nakes
pada ibu melahirkan di wilayah kerja Puskesmas Pebayuran Kabupaten
Bekasi tahun 2016.
4.4. Informan Penelitian
Informan dalam penelitian ini adalah informan utama, informan
pendukung dan informan kunci. Informan utama adalah mereka yang
mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan
37
dalam penelitian. Informan utama dalam penelitian ini adalah ibu yang
pernah melahirkan di non-tenaga kesehatan pada tahun 2016 di wilayah
kerja Puskesmas Pebayuran.
Informan pendukung adalah mereka yang terlibat langsung dalam
interaksi sosial yang diteliti. Dengan demikian, informan pendukung
pada penelitian ini adalah keluarga dari ibu bersalin (suami dan ibu/ibu
mertua). Informan ini dipilih berdasarkan pertimbangan, sebab informan
memahami tentang objek penelitian ini.
Sedangkan informan kunci adalah mereka yang ahli dalam
bidangnya serta mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang
diperlukan dalam penelitian. Dengan demikian informan kunci dalam
penelitian ini adalah tenaga non-kesehatan atau dukun bersalin (paraji)
yang menolong ibu bersalin, dan bidan Puskesmas Pebayuran.
Jumlah informan utama adalah 3 ibu yang pernah melahirkan oleh
non-tenaga kesehatan, lalu informan pendukungnya yakni suami atau
ibu/ibu mertua dari informan utama, sedangkan informan kuncinya 2
dukun bersalin (paraji) dan bidan Puskesmas Pebayuran. Pemilihan
informan pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling,
sebagaimana maksud yang disampaikan oleh Sugiyono (2012) bahwa
Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data
dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang
tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau
38
mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti
menjelajahi objek/ situasi sosial yang diteliti.
Teknik penentuan jumlah informan pada penelitian ini dilakukan
berdasarkan kriteria kecukupan dan kesesuaian. Kecukupan diartikan
data atau informasi yang diperoleh dari informan diharapkan dapat
menggambarkan fenomena yang berkaitan dengan topik penelitian, yaitu
alasan pemilihan penolong persalinan pada ibu. Sedangkan kriteria
kesesuaian berarti informan dipilih berdasarkan keterkaitan informan
dengan topik penelitian. Oleh karena itu, jumlah informan tidak menjadi
faktor penentu utama dalam penelitian ini tetapi kelengkapan data yang
lebih dibutuhkan.
4. 4. 1. Karakteristik Informan
Informan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi
menjadi tiga kelompok, yakni informan utama, informan
pendukung, dan informan kunci. Informan utama merupakan
sumber informasi utama yang terkait dengan penelitian ini, yaitu
ibu yang pernah melahirkan di non-tenaga kesehatan pada tahun
2016 di wilayah kerja Puskesmas Pebayuran.
Kemudian informan pendukung hanya bersifat sebagai
sumber informasi tambahan sekaligus sebagai metode untuk
melakukan kredibilitas data dari informan utama. Informan
pendukung dalam penelitian ini terdiri dari keluarga terdekat
informan utama yang berpengaruh dalam pemilihan penolong
persalinan pada ibu yang pernah melahirkan di non-tenaga
39
kesehatan (suami dan ibu/ibu mertua). Sedangkan informan
kunci adalah mereka yang ahli dalam bidangnya serta
mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang
diperlukan dalam penelitian. Dengan demikian informan kunci
dalam penelitian ini adalah tenaga non-kesehatan atau dukun
bersalin (paraji) yang menolong ibu bersalin, dan bidan
Puskesmas Pebayuran.
4. 4. 1. 1. Informan Utama
Informan utama dalam penelitian ini sebanyak 3
orang, mengingat bahwa proses pengumpulan
informasi sudah mencukupi.
Karakteristik informan utama yang didapatkan yaitu
umur, pendidikan, dan pendapatan keluarga. Umur
tertinggi 30 tahun, sedangkan umur terendah 20
tahun. Latar belakang pendidikan informan rata-rata
adalah SMP/MTs. Pendapatan keluarga tiap informan
berbeda-beda, pendapatan tertinggi yakni
Rp.2.000.000,- per bulan dan terendah Rp.500.000,-
per bulan. Berikut tabel mengenai karakteristik
informan utama.
40
Tabel 5. 1. Karakteristik Informan Utama
No Nama Informan Umur (tahun) Pendidikan Pendapatan (per bulan)
1 Ibu Melahirkan 1 30 MTs Rp.2.000.000,-
2 Ibu Melahirkan 2 30 SMP Rp.500.000,-
3 Ibu Melahirkan 3 20 SMP Rp.2.000.000
4. 4. 1. 2. Informan Pendukung
Informan pendukung dalam penelitian ini terdiri
dari keluarga informan utama. Pemilihan keluarga
untuk menjadi informan pendukung diambil
berdasarkan jawaban dari informan utama mengenai
dukungan dalam pemilihan penolong persalinan.
Dalam penelitian ini, sebagian besar keluarga terdekat
yang mendukung pemilihan penolong persalinan di
non-nakes adalah suami (3 informan) dan ibu/ibu
mertua (3 informan). Karakteristik yang diperoleh
yakni umur, pendidikan, dan pekerjaan. Informan
pendukung dari keluarga terdekat memiliki umur
terendah yaitu 31 tahun dan tertinggi 55 tahun.
Sedangkan untuk latar belakang pendidikan berbeda-
beda yaitu SD, SMP dan SMA. Untuk pekerjaannya
pun berbeda-beda yaitu supir, kuli, pedagang, buruh
cuci dan ibu rumah tangga. Berikut tabel mengenai
karakteristik informan pendukung.
41
Tabel 5. 2. Karakteristik Informan Pendukung
No Nama
Informan
Umur
(tahun) Pendidikan Pengalaman Pekerjaan
1 Suami 1 36 SMA - Supir Pabrik
2 Suami 2 35 SMP - Kuli
3 Suami 3 31 MTs - Pedagang
4 Orang tua 1 48 SD - Buruh cuci
5 Orang tua 2 52 SD - Ibu rumah
tangga
6 Orang tua 3 55 SMP - Ibu rumah
tangga
4. 4. 1. 3. Informan Kunci
Informan kunci dalam penelitian ini terdiri dari
tenaga non-kesehatan yakni dukun bersalin (paraji)
dan bidan Puskesmas Pebayuran. Pemilihan dukun
bersalin (paraji) diperoleh melalui jawaban mengenai
penolong persalinan informan utama. Sedangkan
untuk pemilihan bidan diperoleh dari keterangan
informan utama yang memberinya suntik sehat pasca
melahirkan dengan dukun bersalin (paraji).
Karakteristik dukun bersalin (paraji) dan bidan terdiri
dari umur, pendidikan, dan pengalaman. Dukun
bersalin (paraji) yang menjadi informan kunci dalam
penelitian ini memiliki umur 64 tahun dan 53 tahun
dengan latar belakang pendidikan SD dan SMP,
memiliki pengalaman menjadi dukun bersalin (paraji)
42
selama 12 tahun dan 33 tahun. Sedangkan bidan yang
juga menjadi informan kunci dalam penelitian ini
memiliki umur 45 tahun dengan latar belakang
pendidikan D4 Kebidanan dan memiliki pengalaman
selama 16 tahun menjadi bidan. Berikut tabel
mengenai karakteristik informan kunci.
Tabel 5. 3. Karakteristik Informan Kunci
No Nama
Informan
Umur
(tahun) Pendidikan Pengalaman Pekerjaan
1 Dukun 1 53 SMP 12 tahun Dukun bersalin
(paraji)
2 Dukun 2 64 SD 33 tahun Dukun bersalin
(paraji)
3 Bidan desa 45 D4
Kebidanan 16 tahun Bidan
4.5. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk membantu pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, perekam suara dan alat
tulis. Pedoman wawancara terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang
bertujuan untuk menggali faktor-faktor yang melandasi terbentuknya
perilaku seseorang sesuai dengan apa yang ada dalam teori health
seeking behavior.
4.6. Analisis Data
Menurut Bogdan dan Taylor, analisis data kualitatif adalah upaya
yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan
data, memilih menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,
43
mencari, dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa
yang dipelajari, memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang
lain (Lexy Moleong, 2007).
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat
pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data
dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, penulis sudah melakukan
analisis terhadap jawaban responden, setelah dianalisis dianggap belum
lengkap maka peneliti akan melanjutkan memberikan pertanyaan-
pertanyaan berikutnya sampai tahap tertentu diperoleh data yang lebih
kredibel (Lexy Moleong, 2007).
Setelah data diperoleh melalui wawancara mendalam, selanjutnya
dilakukan analisis data dengan tahapan sebagai berikut :
1. Pengumpulan Data
Dilaksanakan dengan cara pencarian data yang diperlukan
terhadap berbagai jenis data dan bentuk data yang ada di
lapangan, kemudian melaksanakan pencatatan di lapangan.
2. Reduksi Data
Apabila data sudah terkumpul langkah selanjutnya adalah
mereduksi data. Menurut Sugiyono mereduksi data berarti
merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada
hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya serta membuang
yang tidak perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi
akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan
44
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya dan mencarinya apabila diperlukan (Sugiyono,
2005)
Proses reduksi data dalam penelitian ini dapat peneliti
uraikan sebagai berikut: pertama, peneliti merangkum hasil
catatan lapangan selama proses penelitian berlangsung yang
masih bersifat kasar atau acak ke dalam bentuk yang lebih
mudah dipahami. Penulis juga mendeskripsikan terlebih dahulu
hasil dokumentasi berupa foto-foto dalam bentuk kata-kata
sesuai apa adanya di lapangan.
Kedua, peneliti menyusun satuan dalam wujud kalimat
faktual sederhana berkaitan dengan fokus dan masalah. Langkah
ini dilakukan dengan terlebih dahulu penulis membaca dan
mempelajari semua jenis data yang sudah terkumpul.
Penyusunan satuan tersebut tidak hanya dalam bentuk kalimat
faktual saja tetapi berupa paragrap penuh.
3. Penyajian Data
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah
menyajikan data. Melalui penyajian data tersebut, maka data
diorganisasikan tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan
mudah dipahami. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data
bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan
antar kategori, flawchart dan jenisnya. Selain itu, dengan adanya
penyajian data, maka akan memudahkan untuk memahami apa
45
yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa
yang telah dipahami tersebut. Penyajian data dalam penelitian
ini peneliti memaparkan dengan teks yang bersifat naratif.
4. Penarikan Kesimpulan
Setelah dilakukan penyajian data, maka langkah
selanjutnya adalah penarikan kesimpulan yang didasarkan ada
reduksi data yang merupakan jawaan atas masalah yang
diangkat dalam penelitian. Kesimpulan awal yang dikemukakan
masih bersifat sementara dan akan berubah apabila tidak
ditemukan bukti-bukti yang kuat dan mendukung pada tahap
pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang
dikemukakan, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan
konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan
data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan
kesimpulan yang kredibel.
4.7. Validasi Data
Dalam penelitian kualitatif agar validasi data tetap terjaga maka
perlu dilakukan uji validasi. Uji validasi yang dilakukan setelah data
dikumpulkan pada penelitian ini adalah dengan triangulasi sumber.
Dalam teknik pengumpulan data, triangulasi diartikan sebagai teknik
pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik
pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Bila peneliti
melakukan pengumpulan data dengan triangulasi, maka sebenarnya
46
peneliti mengumpulkan data yang sekaligus menguji kredibilitas data,
yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan
data dan berbagai sumber data (Sugiyono, 2010).
Teknik triangulasi yang akan digunakan pada penelitian ini adalah
triangulasi sumber. Triangulasi sumber dilakukan pada informan utama
yakni ibu melahirkan, informan pendukung yakni suami dan ibu/ibu
mertua, serta informan kunci yakni bidan dan dukun bersalin (paraji).
Data yang telah didapatkan dari informan utama akan diuji
kredibilitasnya dengan data yang didapatkan dari informan pendukung
dan informan kunci.
4.8. Penyajian Data
Dalam penelitian ini penyajian data primer hasil wawancara
mendalam disajikan dengan cara menjabarkan hasil penelitian dalam
bentuk narasi dan dilengkapi dengan transkip atau matriks wawancara.
47
BAB V
HASIL PENELITIAN
4. 4. 2. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Kecamatan Pebayuran adalah salah satu dari 23 kecamatan di
wilayah Kabupaten Bekasi dengan luas wilayah 8.000,729 Ha. Yang
terdiri dari :
Tanah sawah : 6.827,000 Ha
Tanah darat : 758,000 Ha
Lain-lain : 415,725 Ha
Terbagi atas 12 Desa dan 1 Kelurahan yakni Desa Bantarjaya,
Kertajaya, Karanghaur, Sumbersari, Sumbereja, Sumberurip,
Karangsegar, Karangharja, Karangreja, Karangjaya, Karangpatri,
Bantarsari, dan Keluarahan Kertasari.
Batas-batas wilayah Kecamatan Pebayuran adalah sebagai berikut :
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kedungwaringin.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sukakarya.
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Cabangbungin.
5. 1. 1. Demografi Wilayah
Berdasarkan data statistik di kantor Kecamatan Pebayuran,
jumlah penduduk di wilayah Kecamatan Pebayuran adalah
79.978 jiwa per Februari 2017. Terdiri dari 40.290 laki-laki dan
39.688 perempuan.
48
4. 4. 3. Hasil Penelitian
Hasil penelitian akan dipaparkan sesuai dengan pendekatan teori
Health Seeking Behavior (HSB), sehingga memudahkan peneliti untuk
menjawab pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian yakni diketahuinya
alasan pemilihan penolong persalinan di non-nakes pada ibu melahirkan
di wilayah kerja Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi.
5. 3. 1. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku
individu. Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari
pengaruh lingkungan, karena lingkungan senantiasa ada
disekitarnya (Sudrajat, 2008).
Faktor lingkungan dalam penelitian ini yaitu dukungan
suami dan dukungan ibu/ibu mertua. Dukungan suami yang
dimaksud dalam penelitian ini yaitu suatu bentuk dukungan
dimana suami dapat memberikan bantuan secara psikologis baik
berupa motivasi, perhatian dan penerimaan. Sedangkan
dukungan ibu/ibu mertua merupakan suatu bentuk dukungan
dimana ibu/ibu mertua dapat memberikan bantuan secara
psikologis baik berupa motivasi, perhatian dan penerimaan.
Dalam hal ini suami dan ibu/ibu mertua merupakan orang
atau keluarga terdekat dalam lingkungan kehidupan ibu
melahirkan. Ibu melahirkan tinggal serumah dengan suami.
49
Kemudian ada pula ibu melahirkan yang tinggal serumah
dengan ibu/ibu mertua (ibu/ibu mertua ikut bersama anak).
Selain itu, ada pula ibu melahirkan yang rumahnya selingkungan
dengan ibu/ibu mertua (bersampingan). Maka dari itu dukungan
dari orang terdekat itulah yang dapat menjadi alasan ibu
melahirkan untuk memilih penolong persalinannya.
5. 3. 1. 1. Dukungan Suami
Dukungan suami menjadi salah satu alasan ibu
melahirkan dalam memilih penolong persalinannya. Suami
mendukung ibu melahirkan untuk melakukan persalinan di
non-nakes karena suami ingin menyenangkan istri dengan
mengikuti kemauan sang istri untuk melahirkan dengan
bantuan dukun bersalin (paraji). Selain itu juga suami
mendukung hal tersebut karena jarak ke dukun bersalin
(paraji) lebih dekat dan mudah.
Ibu melahirkan memang sudah dari awal ingin
melahirkan dengan dibantu oleh dukun bersalin (paraji),
maka dari itu suami dari ibu melahirkan mendukung
kemauan istrinya tersebut. Suami tidak melarang keputusan
ibu melahirkan, padahal keputusan untuk melahirkan di
non-nakes bukanlah hal yang tepat, akan tetapi suami tetap
mendukung hal tersebut. Suami hanya ingin istrinya
melahirkan dengan tenang tanpa ada paksaan apapun
termasuk melarangnya untuk melahirkan di non-nakes.
50
Maka dari itu suami mendukung penuh keinginan istrinya
tersebut.
Seperti halnya ibu melahirkan 1 dimana ia memang
ingin melahirkan dengan bantuan dukun bersalin (paraji).
Suami dari ibu melahirkan 1 pun sudah tau dan
mendukungnya. Selain karena ingin menuruti keinginan
istri, jarak rumah dukun bersalin (paraji) pun dekat
sehingga mudah dan cepat untuk dipanggil kerumah. Saat
ibu melahirkan 1 sudah mulai merasakan mulas, sang suami
langsung memanggil dukun bersalin (paraji) untuk melihat
istrinya. Sebelumnya, dukun bersalin (paraji) menawarkan
ibu melahirkan 1 apakah ingin melahirkan di bidan atau
dengan dirinya (dukun bersalin/paraji). Akan tetapi ibu
melahirkan 1 memilih untuk melahirkan dengan bantuan
dukun bersalin (paraji).
Berikut pernyataan dari beberapa informan :
“suami mah ngedukung aja teh soalnya sayanya
emang pengennya lahiran sama paraji, jadi ga maksa
kudu lahiran disini lah disana lah gitu. Ya karena
suami juga ngedukung jadi yaudah saya emang
lahiran sama paraji akhirnya” (Ibu melahirkan 1).
“iya. Lagian juga udah kepepet jadi yang deket aja
panggil jadi mimih.” (Suami 1).
“iya. Soalnya emang dianya pengen lahir di paraji
katanya, ya sama mah gimana enaknya dia aja.”
(Suami 2).
“... ya gimana ya neng kadang emang orangnya pada
pengen lahiran sama ibu sih mau digimanain lagi kan
ya ibu tolong hahaha. Kadang juga suka ibu tawarin
51
mau ke bidan apa engga, engga ah wa katanya.
Ditawarin padahal sama ibu. Yaudah kalo ga mau
harus nurut apa kata saya gitu.” (Dukun 1).
Suami dari ibu melahirkan ada yang merasa khawatir
dan ada pula yang tidak merasa khawatir saat istrinya
melakukan persalinan dengan bantuan dukun bersalin
(paraji). Bagi suami yang merasa khawatir dirinya hanya
bisa pasrah kepada Allah SWT agar istri dan anaknya
selamat, karena kondisi saat itu sudah malam hari dan
kondisi istrinya sudah tidak memungkinkan untuk dibawa
ke tenaga kesehatan lalu menurutnya satu-satunya yang bisa
menolong proses persalinan istrinya hanya dukun bersalin
(paraji) yang dekat dengan rumahnya. Berbeda dengan
suami yang tidak merasa khawatir istrinya melahirkan
dengan bantuan dukun bersalin (paraji). Suami tidak
merasa khawatir karena menurutnya dukun bersalin (paraji)
sudah berpengalaman dalam menolong persalinan maka
dari itu suami mempercayai dukun bersalin (paraji) sebagai
penolong persalinan istrinya. Berikut penuturannya :
“bismillah aja sih teh saya mah. Takdir mah kan
Allah yang ngatur ya kita mah ikutin aja udah gitu
aja. Soalnya waktu itu juga mepet malem-malem,
anaknya udah nongol ya mau digimanain lagi
manggil emak yang deket..” (Suami 1)
“engga sih teh saya mah percaya sama paraji kan
udah pengalaman udah lama jadi paraji jadi ya
emang udah gaweannya dari dulu haha” (Suami 2)
52
“khawatir mah ada teh mana kan anak pertama,
cuma saya mah pasrah percaya aja sama Allah.
Alhamdulillah selamet..” (Suami 3)
Dapat dilihat bahwa sebenarnya ada rasa khawatir
yang dirasakan oleh suami saat istrinya memilih dukun
bersalin (paraji) sebagai penolong persalinannya. Tetapi
disisi lain suami ingin mengikuti kemauan sang istri untuk
melahirkan dengan bantuan dukun bersalin (paraji) dan
karena kondisi yang mendesak pula akhirnya suami
mendukung istrinya untuk melahirkan dengan bantuan
dukun bersalin (paraji).
Dalam hal ini suami mendukung istri untuk
melakukan persalinan di dukun bersalin (paraji) karena
ingin mengikuti keinginan istrinya agar istrinya senang dan
tidak merasa terpaksa saat akan melahirkan. Tetapi walau
mendukung hal tersebut masih ada suami yang tetap merasa
khawatir saat persalinan istrinya dibantu oleh dukun
bersalin (paraji). Suami khawatir akan keselamatan istri dan
anaknya saat persalinan istrinya dibantu oleh dukun bersalin
(paraji). Namun, rasa khawatir itu kalah dengan faktor-
faktor lain yang menjadikan suami tetap mendukung
istrinya untuk bersalin dengan bantuan dukun bersalin
(paraji), diantaranya jarak, transportasi dan status ekonomi.
53
5. 3. 1. 2. Dukungan Ibu/Ibu Mertua
Dukungan ibu/ibu mertua menjadi salah satu alasan
ibu melahirkan dalam memilih penolong persalinannya.
Ibu/ibu mertua mendukung ibu bersalin untuk melakukan
persalinan di non-nakes karena memang sang anak ingin
melahirkan dengan bantuan dukun bersalin (paraji).
Menurutnya, yang terpenting adalah anaknya senang ketika
melahirkan dan selamat ibu serta bayinya.
Sama halnya dengan suami, ibu juga cukup berperan
dalam pemilihan penolong persalinan pada ibu melahirkan.
Peran ibu dalam hal ini yakni mendukung keinginan
anaknya dalam pemilihan penolong persalinan. Ibu
mendukung sang anak memilih siapa yang akan
membantunya saat persalinan, di nakes maupun non-nakes.
Dalam hal ini ibu melahirkan lebih memilih persalinan
dengan bantuan tenaga non kesehatan atau dukun bersalin
(paraji). Ibu pun mendukung keputusan anaknya tersebut,
karena menurutnya yang terpenting adalah anaknya senang
ketika melahirkan dan selamat ibu dan bayinya. Bahkan
terkadang ada ibu yang memang melarang anaknya untuk
melahirkan selain dirumah (tidak boleh kemana-kemana).
Jadi ibu melahirkan dibiarkan untuk melakukan persalinan
dirumah.
54
Selain ibu, ada pula dukungan mertua yang
mempengaruhi ibu melahirkan dalam pemilihan penolong
persalinannya. Dimana ibu melahirkan tinggal
selingkungan dengan mertuanya yakni rumahnya berada
dibelakang rumah mertuanya. Mertua dari ibu melahirkan
mendukung untuk melakukan persalinan di non-nakes
karena menurutnya rumah dukun bersalin (paraji) lebih
dekat dan sang mertua pun kenal dekat dengan dukun
bersalin (paraji) karena dulu saat melahirkan anaknya pun
ditolong oleh dukun bersalin (paraji) tersebut.
Padahal memilih dukun bersalin (paraji) untuk
membantu proses persalinan bukan merupakan pilihan yang
tepat. Akan tetapi ibu/ibu mertua dari ibu melahirkan tetap
mendukung keputusan tersebut. Berikut penuturannya :
“cari yang deket weh neng da malem-malem waktu
itu kerasanya teh. Lagian ge emang udah biasa sama
paraji dari dulu jaman ibu juga” (Orang tua 1)
“engga sih neng ibu mah ngikutin anaknya weh
maunya sama siapa” (Orang tua 2)
“setuju aja saya mah yang penting selamet” (Orang
tua 3)
“... pasiennya juga kadang sama emaknya ga usah
pergi kemana-kemana ini mah udah biarin gitu”
(Bidan desa)
Apabila ibu/ibu mertua memberikan dukungan yang
tepat (menyarankan sang anak untuk bersalin di nakes)
kemungkinan besar ibu melahirkan untuk memilih nakes
55
sebagai penolong persalinannya mungkin terjadi. Tetapi hal
tersebut tidak dilakukan oleh ibu/ibu mertua, ia malah
pasrah menyerahkan semua keputusan kepada ibu
melahirkan yang penting selamat ibu dan bayinya.
5. 3. 2. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi dalam penelitian ini yaitu pengetahuan,
sikap terhadap kesehatan, tingkat pendidikan dan status
ekonomi. Dimana pengetahuan yang dimaksud adalah informasi
yang diketahui atau disadari oleh ibu melahirkan terkait
persalinan. Lalu sikap terhadap kesehatan yakni pernyataan
evaluatif ibu melahirkan terhadap kesehatan dan terhadap
penolong persalinan. Kemudian tingkat pendidikan yaitu
pendidikan terakhir yang dijalani oleh ibu melahirkan.
Sedangkan status ekonomi yakni pendapatan perbulan dan
kemampuan perekonomian keluarga ibu melahirkan dalam
memenuhi setiap kebutuhan hidup keluarga.
Keempat faktor tersebut berperan dalam pemilihan
penolong persalinan di non-nakes pada ibu melahirkan. Karena
keempat faktor tersebut merupakan faktor yang berperan dalam
pemilihan penolong persalinan pada ibu melahirkan.
5. 3. 2. 1. Pengetahuan
Pengetahuan menjadi salah satu alasan ibu melahirkan
dalam memilih penolong persalinannya. Ini dikarenakan ibu
56
melahirkan tidak tahu apa dan bagaimana persalinan yang
aman dan resiko kehamilan dan persalinan. Bahkan ada
yang berpendapat bahwa melahirkan dimana pun apabila
ditolong oleh orang yang memiliki kemampuan menolong
persalinan (dokter, bidan, dukun bersalin) akan aman.
Sedangkan pengetahuan ibu melahirkan mengenai jaminan
kesehatan sudah cukup baik. Ini dikarenakan ibu
melahirkan telah memiliki kartu jaminan kesehatan
masyarakat (jamkesmas). Walaupun ibu melahirkan telah
memiliki kartu jaminan kesehatan, masih ada yang berdalih
bahwa dirinya belum tahu kalau puskesmas sudah PONED.
Padahal dari pihak puskesmas sendiri sebenarnya telah
menginfokan terkait puskesmas yang telah PONED kepada
ibu hamil saat posyandu. Berikut penuturannya :
“ya gatau sih teh soalnya kalo ada PONED, taunya
pas udah lahiran..” (Ibu melahirkan 3)
“bohong kalo bilang dia ga tau puskesmas PONED,
soalnya semua ibu hamil kalo posyandu pasti di
wanti-wanti neng” (Bidan desa)
Pengetahuan sendiri merupakan hasil dari tahu, dan
ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap
suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan
57
umumnya datang dari pengalaman, juga bisa di dapat dari
informasi yang disampaikan oleh guru, orang tua, teman,
buku dan surat kabar (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan yang dimiliki oleh ibu melahirkan masih
kurang terkait persalinan. Dimana ibu melahirkan tidak
mengetahui informasi mengenai persalinan. Informasi
terkait kehamilan dan persalinan sangat diperlukan bagi ibu
termasuk saat hamil dan bersalin. Karena saat ditanya
terkait persalinan, persalinan aman dan tidak aman, risiko
persalinan dan bahaya persalinan ibu melahirkan tidak
mengetahuinya sama sekali. Berikut penuturannya :
”Persalinan aman? Kayak gimana ya hehehehe
kurang tau sih saya mah alhamdulillah aman-aman
aja lahirnya” (Ibu melahirkan 1).
“Persalinan aman? aman lahirnya gitu ya? ya
gimana ya ehehehe (tertawa) kurang tau sih hahaha
(tertawa)” (Ibu melahirkan 2).
“mau lahir di bidan atau di paraji ya sama-sama
aman sih teh soalnya kan sama-sama punya bakat
bantuin lahiran” (Ibu melahirkan 3)
“ya mau lahirin di puskes atau di rumah ge kalo
dibantuinnya sama yang bisa mah aman-aman aja,
kalo dibantuinnya sama yang ga bisa tuh baru berabe
hahaha. Kalo misalnya kita lahirnya di puskes tapi
yang nolongnya bukan bidan gitu misalnya ya sarua
weh jeung bohong hahaha” (Ibu melahirkan 3)
Tanggapan ibu melahirkan setelah ditanya perihal
kasus kematian ibu dan bayi akibat melahirkan di non-
nakes pun beragam. Ibu melahirkan merasa takut tetapi
58
dirinya pasrah kepada Sang Pencipta. Berikut penuturannya
:
“ngeri sih takut, cuma ya mau gimana lagi kan bidan
juga jauh teh. Ya takdir orang kan beda-beda ya teh
jadi yaudah percaya aja saya mah sama Gusti Allah”
(Ibu melahirkan 1)
“ya gimana ya bismillah aja sih kita mah pasrah aja
sama yang diatas alhamdulillah ga kenapa-kenapa”
(Ibu melahirkan 2)
Dalam hal ini pengetahuan berperan dalam pemilihan
penolong persalinan pada ibu melahirkan. Apabila ibu
melahirkan memiliki pengetahuan yang baik terkait
kehamilan dan persalinan, maka kemungkinan ibu
melahirkan memilih non-nakes sebagai penolong
persalinannya akan lebih kecil.
5. 3. 2. 2. Sikap Terhadap Kesehatan
Sikap menjadi salah satu alasan ibu melahirkan
dalam memilih penolong persalinannya. Menurut ibu
melahirkan, melahirkan di non-nakes dan di nakes sama
saja. Bahkan ibu melahirkan beranggapan bahwa persalinan
di non-nakes merupakan pilihan yang tepat.
Sikap merupakan reaksi atau respon dari seseorang
terhadap stimulus atau objek di lingkungan tertentu sebagai
suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2003).
59
Ibu melahirkan menganggap bahwa melahirkan di
non-nakes merupakan pilihan yang tepat, aman dan tidak
berisiko bagi kesehatan dan keselamatan ibu dan bayinya,
yang terpenting ibu dan bayinya lahir hidup. Ibu
melahirkan tidak memikirkan risiko saat proses persalinan
dan pasca persalinan. Bahkan di sisi lain ibu melahirkan
memiliki sikap negatif terhadap nakes. Menurut penuturan
dukun bersalin (paraji), ibu melahirkan tidak mau
melakukan persalinan di nakes (bidan) karena takut.
Mereka takut apabila melahirkan di bidan maka akan ada
tindakan episiotomi atau merobek jalan lahir. Padahal bidan
sekarang sudah jarang melakukan tindakan episiotomi,
kalau pun hal itu dilakukan bukan semata-mata karena tidak
sabar tetapi karena ada hal yang mendesak misalnya dengan
kasus bayi besar. Selain itu mereka juga takut menjadi
bahan percobaan mahasiswa yang sedang praktek/magang.
Padahal jarang sekali ada mahasiswa yang praktek di
PONED, kalaupun memang ada mereka pasti didampingi
oleh bidan di puskesmas.
Selain itu, menurut penuturan dukun bersalin
(paraji) faktor lain yang mempengaruhi sikap ibu
melahirkan terhadap bidan yakni karena terkadang bidan
tidak mau dipanggil kerumah pasien, tetapi pasien yang
harus datang ke tempat prakteknya. Setelah konfirmasi
60
dengan bidan, ternyata hal tersebut dilakukan karena bidan
memang sedang menjalankan gerakan bersalin di pelayanan
kesehatan. Ini dikarenakan apabila persalinan dilakukan
bukan di pelayanan kesehatan akan ada banyak
kemungkinan buruk yang terjadi karena terbatasnya alat
yang tersedia atau alat yang dibawa. Hal tersebut
menjadikan ibu melahirkan bersikap negatif terhadap
nakes. Ibu melahirkan malah memiliki sikap positif
terhadap tenaga non-kesehatan (dukun bersalin). Mereka
berpendapat bahwa dukun bersalin (paraji) memiliki
kesabaran dalam melakukan pertolongan persalinan.
Berikut penuturannya :
“Engga sih ga bahaya, ini sih saya ga kenapa-
kenapa. Kalo bahaya mah ga bakal pada mau atuh
teh lahiran di paraji hahaha” (Ibu melahirkan 1)
“kita sih baik-baik aja alhamdulillah ya lahirin
sama maraji. Jadi ya aman-aman bae..” (Ibu
melahirkan 2)
“ya enak sih enak, lebih nyamanan di paraji sih teh.
Ya soalnya takut kalo di bidan mah haha (tertawa).
Ya ngedenger mah ngedenger ceunah di bidan gini-
gini gitu. Ya katanya belom apa anak belom ngajak
gitu udah di gunting di gunting gitu jadinya ngeri.
Kalo mak paraji kan dia mah sabar..” (Ibu
melahirkan 3)
“kan sekarang mah udah lama sayang ibu. Udah ga
pernah epis epis ah udah dari tahun berapa mereun
udah sayang ibu. Makanya kan itu mah bahasa-
bahasa yang membela diri itu mah kalo kata ibu
mah.” (Bidan desa)
“sekarang mah udah pada males ngejait neng, udah
jarang lah pokoknya mah. Kecuali kalo bayinya
gede nih itu pasti di epis. Kalo sungsang pun kadang
61
langsung kita rujuk neng, udah ga penah epis epis
udah sesuai standar sekarang mah. Karena kan di
PONED gratis juga jadi kitanya juga males neng
buat epis terus jait laginya. Kalo dulu kan belum
PONED jadi ya kadang suka di epis kalo lama,
sekarang kan udah PONED jadi kalo apa-apa
langsung aja di rujuk sesuai standar aja. Kecuali
kalo darurat banget baru deh, ya sesuai kebutuhan
aja neng..” (Bidan desa)
“Kadang suka banyak yang gamau ke puskes
katanya “alim bu seeur nu belajar” banyak yang
praktek tea neng. Jadi pada takut ga mau, bisi jadi
bahan cobaan da seeur nu magang tea di puskes
mah. Ya coba aja bali udah keluar, udah nih diiniin
sama senior “hayu neng, kayak gini” ntar teh salah,
di contohin lagi..” (Dukun 1)
“..kalaupun ada mahasiswa magang juga kita
dampingi neng ga gitu aja disuruh-suruh” (Bidan
Koordinator)
“terus neng kadang ada bidan yang emang ga mau
dipanggil, kudu kitanya yang nyamperin gitu. Kan
berabe kasian yang mau lahirannya” (Dukun 1)
“emang gerakannya harus bersalin di tempat nakes
neng sekarang mah. Jadi emang si pasiennya yang
harus dibawa. Soalnya kan peralatannya lebih
lengkap di pelayanan kesehatan. Kalo dirumah gitu
misalnya ga ada tabung oksigen, kalo yang ekslamsi
kan sering kejadian ga ada ini lah itu lah. Belum
lagi kadang kan lampunya gelap. Kadang pas
dipanggil juga kan kitanya ga tau ibunya darah
tinggi apa engga, nanti ga bawa peralatan ini itu
tau-tau sampe sana kejang kan bahaya..” (Bidan
desa)
“bukannya ga mau kerumah, tapi emang gerakan
kita mengajak ibu buat ke nakes. Ayok sini yuk ke
nakes gitu.” (Bidan desa)
Disini dapat dilihat bahwa ibu melahirkan
menyetarakan persalinan di nakes dan non-nakes yang
menurutnya sama saja. Kemudian yang seharusnya
memiliki sikap positif terhadap nakes tetapi malah
62
sebaliknya, ibu melahirkan malah memiliki sikap positif
terhadap non-nakes.
5. 3. 2. 3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan menjadi salah satu alasan ibu
melahirkan dalam memilih penolong persalinannya.
Tingkat pendidikan ibu melahirkan masih rendah, sehingga
mempengaruhi pengetahuan dan sikap ibu melahirkan
terhadap persalinan.
Rata-rata ibu melahirkan berlatar belakang
pendidikan SMP/MTs. Hal ini cukup berpengaruh terhadap
pengetahuan ibu melahirkan terkait pemilihan penolong
persalinan sehingga ibu melahirkan mengambil keputusan
yang kurang tepat karena minimnya pengetahuan dan
informasi mengenai persalinan.
5. 3. 2. 4. Status Ekonomi
Status ekonomi menjadi salah satu alasan ibu
melahirkan dalam memilih penolong persalinannya. Karena
merasa tidak memiliki uang yang cukup untuk melakukan
persalinan di bidan, ibu melahirkan pun lebih memilih
melahirkan dengan bantuan dukun bersalin (paraji) yang
sesuai dengan keadaan ekonominya.
Status ekonomi terkadang menjadi masalah dalam
kehidupan seseorang, termasuk ibu melahirkan dalam
63
penelitian ini. Pekerjaan suami ibu melahirkan beragam,
ada yang menjadi supir pabrik hingga kuli dengan
penghasilan yang tidak menentu setiap bulannya. Rata-rata
penghasilannya yakni sebesar Rp.500.000,- sampai
Rp.2.000.000,-. Menurutnya penghasilan tersebut sangat
pas-pasan untuk kebutuhan sehari-hari dan tagihan bulanan.
Untuk makan, jajan anak, hingga membayar tagihan listrik.
Dengan keadaan dan status ekonomi tersebut, ibu
melahirkan lebih memilih dukun bersalin (paraji) sebagai
penolong persalinannya. Ini dikarenakan biaya persalinan
dengan dukun bersalin (paraji) lebih murah daripada biaya
persalinan di nakes (bidan). Dukun bersalin (paraji) tidak
menetapkan tarif untuk jasanya, hanya di bayar
seikhlasnya. Berbeda dengan bidan yang memiliki tarif
tertentu untuk biaya jasanya. Menurut ibu melahirkan,
melahirkan dengan biaya yang besar di bidan cukup
memberatkan dalam segi ekonomi.
Walaupun Puskesmas Pebayuran sudah PONED
dan gratis, ibu melahirkan lebih memilih melahirkan
dengan bantuan dukun bersalin (paraji). Karena merasa
bukan dari keluarga dengan ekonomi cukup, ibu melahirkan
dan suami takut apabila ada biaya tak terduga saat di
Puskesmas. Berikut penuturannya :
64
“Takut sih teh bisi ada bayaran apanya gitu
misalnya administrasi atau apa. Saya kan cuma kuli
teh ngeri nanti ada perintilan-perintilan bayaran
hehe (tertawa)” (Suami 2).
5. 3. 3. Faktor Pemungkin
5. 3. 3. 1. Biaya
Biaya menjadi salah satu alasan ibu melahirkan
dalam memilih penolong persalinannya. Ini dikarenakan
biaya persalinan di non-nakes atau dukun bersalin (paraji)
jauh lebih murah dari pada di nakes (bidan). Sehingga ibu
melahirkan lebih memilih melahirkan dengan bantuan
dukun bersalin (paraji).
Perbedaan biaya persalinan yang cukup jauh antara
nakes (bidan) dan non-nakes (dukun bersalin/paraji)
menjadikan ibu melahirkan lebih memilih untuk melakukan
persalinan di non-nakes (dukun bersalin/paraji) daripada di
nakes (bidan). Ini dikarenakan melahirkan dengan bantuan
dukun bersalin (paraji) tidak ada tarif tertentu. Dukun
bersalin (paraji) hanya dibayar seikhlasnya saja, dan biaya
yang telah dibayarkan sudah termasuk jasa persalinan dan
jasa pengurusan bayi hingga puput pusar. Sedangkan biaya
persalinan di nakes (bidan) mencapai Rp.1.000.000,-
bahkan lebih, terlebih apabila ada tindakan seperti jahit dan
infus bisa lebih mahal. Biaya persalinan di nakes (bidan)
saat ini tidak ada yang dibawah Rp.1.000.000,-. Maka dari
65
itu ibu melahirkan lebih memilih melahirkan dengan
bantuan dukun bersalin (paraji) dari pada bidan. Terlebih
dengan kondisi ekonomi yang kurang dan biaya persalinan
yang mahal. Berikut beberapa penuturan ibu melahirkan
terkait biaya.
“Iya murah, lebih murah lahiran di paraji
dibanding di bidan sama di rumah sakit, seikhlasnya
sih kalau paraji mah teh hahaha..” (Ibu melahirkan
1)
“murah sih terus kan paraji mah sekali bayar teh
sekalian sama ngurus anaknya juga sampe puput
puser.” (Orang tua 1)
“engga di target paraji mah sengasihnya dia. Kalo
bidan kan di target, sekarang mah bidan sejuta
lebih. Sekarang mah udah ga ada yang dibawah
sejuta, semuanya diatas sejuta. Apalagi yang
tindakan mah model diinfus, dijahit, udah mahal
lah.” (Dukun 2)
Walaupun puskesmas sudah PONED, ibu
melahirkan lebih memilih melahirkan dengan non-nakes.
Syarat agar bisa mendapatkan fasilitas melahirkan di
PONED secara gratis yakni ibu melahirkan harus
melengkapi persyaratan seperti kartu keluarga dan kartu
jaminan kesehatan. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi
maka akan dikenakan biaya. Walau gratis, ibu melahirkan
tidak memilih untuk melahirkan di PONED karena takut
akan biaya tak tertuda. Padahal pihak puskesmas tidak akan
membebani masyarakat dalam hal biaya.
66
“kadang pasien yang ga bawa syarat-syarat juga kita tetep
bantuin neng, banyak da yang ga punya syarat terus lahir
di PONED ga pernah kita kejar-kejar buat bayar, yang
penting dia lahir di yankes” (Bidan desa)
5. 3. 3. 2. Jarak
Jarak menjadi salah satu alasan ibu melahirkan
dalam memilih penolong persalinannya. Karena jarak
rumah dukun bersalin (paraji) lebih dekat daripada jarak
puskesmas dari rumah ibu melahirkan, sehingga ibu
melahirkan lebih memilih pertolongan yang terdekat yakni
dukun bersalin (paraji).
Jarak yang harus ditempuh ketempat nakes cukup
jauh. Menurut persepsi ibu melahirkan jarak dari rumahnya
ke puskesmas mencapai 10 KM. Maka dari itu
membutuhkan waktu lebih lama dari pada jarak ke rumah
dukun bersalin (paraji). Dengan keadaan yang mendesak
seperti melahirkan, ibu melahirkan cenderung mencari
pertolongan persalinan terdekat dari rumahnya. Karena
menurutnya apabila harus pergi ke nakes dengan jarak yang
jauh tersebut, ditakutkan bayi lahir saat diperjalanan.
Selain itu, kondisi fisik jalanan menuju puskesmas
masih ada yang kurang baik. Dimana ibu melahirkan harus
melewati jalan di tengah sawah dengan kondisi jalan yang
sedikit rusak dan hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda
dua (motor).
67
Berikut penuturannya :
“lumayan jauh puskesmas mah sekitar 10 kiloan lah
kira-kira, terus jalan tengah sawah itu kan jelek.
Ntar lagi mules ke oyag-oyag perutnya bahaya bisa
lahir ntar anaknya dijalan hahaha (tertawa)” (Ibu
melahirkan 2)
“...cari yang terdekat aja buat pertolongan pertama.
Kan paraji lebih dekat rumahnya” (Ibu melahirkan
3)
Maka dari itu jarak menjadi salah satu alasan
pemilihan penolong persalinan di nakes pada ibu
melahirkan.
5. 3. 3. 3. Transportasi
Transportasi menjadi salah satu alasan ibu
melahirkan dalam memilih penolong persalinannya. Karena
rata-rata ibu melahirkan tidak memiliki kendaraan yang
memadai untuk membawanya saat akan melahirkan.
Sehingga ibu melahirkan lebih memilih melahirkan
dirumah dengan memanggil bantuan dukun bersalin
(paraji).
Ibu melahirkan tidak memiliki kendaraan yang
dapat mendukung atau membawanya ke nakes untuk
melakukan persalinan. Karena ibu melahirkan hanya
memiliki sepeda motor yang dirasa tidak bisa digunakan
untuk ke tempat nakes dengan jarak yang cukup jauh
dengan kondisi perut yang sedang berkontraksi. Kalau pun
ada tetangga yang memiliki mobil, ibu melahirkan tidak
68
mau merepotkan orang lain saat akan bersalin. Berikut
penuturannya :
“iya itu juga teh, ya namanya juga orang susah
punya motor udah alhamdulillah. Tapi ya itu kalo
lagi pangseng gitu kan susah kalau naik motor mah.
Jadi yaudah dirumah aja kita mah manggil maraji
praktis terus gak ribetin orang juga. Kalau kudu
minjem mobil kan repotin orang lagi kasian..” (Ibu
melahirkan 2).
Maka dari itu ibu melahirkan lebih memilih untuk
melakukan persalinan dirumah dengan bantuan dukun
bersalin (paraji) dari pada harus ke nakes menggunakan
sepeda motor atau harus merepotkan orang lain untuk
meminjam mobil.
5. 3. 3. 4. Budaya
Budaya menjadi salah satu alasan ibu melahirkan
dalam memilih penolong persalinannya. Karena dukun
bersalin (paraji) sangat dihormati dan disegani oleh
masyarakat. Bahkan ada salah satu dukun bersalin (paraji)
yang merupakan tokoh masyarakat. Sehingga masyarakat
terutama ibu melahirkan lebih memilih melakukan
persalinan dengan bantuan dukun bersalin (paraji).
Selain budaya, ada pula tradisi yang masih ada di
lingkungan ibu melahirkan yakni tradisi turun temurun
melahirkan dengan bantuan dukun bersalin (paraji).
Menurut penuturan ibu melahirkan, dari jaman dahulu
69
warga dikampungnya tersebut melahirkan dengan bantuan
dukun bersalin (paraji). Hingga saat ini masih ada warga
dikampungnya tersebut yang melahirkan dengan bantuan
dukun bersalin (paraji). Menurutnya, tradisi tersebut sudah
turun temurun dan apabila tidak dilaksanakan dirinya
merasa tidak enak (tidak menghormati) karena sudah tradisi
turun temurun.
Berikut penuturannya :
“ada nih neng itu si ibunya teh rajin pisan ke
posyandu pas hamilnya, udah diwanti-wanti lahiran
di PONED. Eh malah lahir diparaji, katanya mah
parajinya teh sodaranya. Kecolongan lagi kitanya”
(Bidan desa).
“ya ada sih emang turun temurun gitu dari dulu
emang sama maraji. Dari belom ada bidan sama
dokter kan maraji mah udah ada dari jaman dulu
jadi ya sama maraji terus lahirannya ampe
sekarang. Kalau gak diikutin kan juga gak enak ya
namanya juga udah turun temurun gitu..” (Ibu
melahirkan 2).
Walaupun tidak semua masyarakat disana
melakukan tradisi tersebut, tetapi masih ada beberapa yang
menjalankannya termasuk ibu melahirkan dalam penelitian
ini. Sehingga faktor budaya menjadi salah satu alasan ibu
melahirkan dalam pemilihan pertolongan persalinan di non-
nakes.
70
5. 3. 4. Faktor Sistem Kesehatan
5. 3. 4. 1. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana tidak menjadi salah satu
alasan ibu melahirkan dalam memilih penolong
persalinannya. Ini dikarenakan ibu melahirkan mengetahui
bahwa sarana dan prasarana yang ada di nakes sudah
memadai, akan tetapi ibu melahirkan lebih memilih
melahirkan di non-nakes atau dukun bersalin (paraji).
Sarana dan prasarana kesehatan di puskesmas sudah
memadai. Mulai dari peralatan, tempat, hingga
pelayanannya. Akan tetapi ibu melahirkan lebih memilih
bersalin di non-nakes (dukun bersalin/paraji) yang tidak
memiliki sarana dan prasarana sebaik dan selengkap di
puskesmas. Hal ini terjadi karena masih ada faktor lain
yang jauh lebih kuat untuk mempengaruhi alasan ibu
melahirkan dalam memilih penolong persalinannya.
“kalo di puskes ya kata yang udah pernah ngerasain
di puskes katanya ya udah lengkap semua sih..” (Ibu
melahirkan 3).
“bagus sih lengkap kita pernah nganter itu tuh
tetangga onoh mau lahirin di puskes, pas masuk ke
ruangannya ada tempat tidur kayak dirumah sakit
itu loh terus ada tempat tidur bayinya, lengkap dah
pokoknya mah.” (Ibu melahirkan 2).
Dapat dilihat bahwa sarana dan prasana tidak terlalu
berperan dalam pemilihan penolong persalinan pada ibu
melahirkan.
71
5. 3. 4. 2. Kompetensi Petugas Kesehatan
Kompetensi petugas kesehatan tidak menjadi salah
satu alasan ibu melahirkan dalam memilih penolong
persalinannya. Ibu melahirkan paham bahwa nakes
memiliki kompetensi dalam menolong persalinan, tetapi ibu
melahirkan enggan bersalin dengan nakes. Ibu melahirkan
malah lebih memilih untuk bersalin di non-nakes atau
dukun bersalin (paraji).
Petugas kesehatan pada penelitian ini adalah bidan
puskesmas. Dimana bidan yang ada di puskesmas
merupakan bidan yang telah berkompeten dibidangnya
dengan latar belakang pendidikannya D4 Kebidanan.
Kemudian petugas kesehatan (bidan) ini juga sudah
memiliki pengalaman yang cukup lama dalam bidang
kehamilan dan persalinan. Beda halnya dengan dukun
bersalin (paraji) yang mendapatkan ilmu untuk menolong
persalinan melalui pelatihan selama sebulan di puskesmas,
tetapi ada pula dukun bersalin (paraji) yang menurut
penuturannya mendapat ilmu untuk menolong persalinan
tanpa pelatihan melainkan sudah ada di dalam dirinya dari
lahir. Jadi apabila ada orang tuanya yang memiliki ilmu
untuk menolong persalinan, maka secara otomatis
keturunannya akan memiliki ilmu itu juga secara turun-
temurun. Berikut penuturannya :
72
“udah 33tahun de. Tahun 1984 pendidikan sebulan,
ada ijazahnya. Pedidikan dari dokter, bidan di
puskes..” (Dukun 2)
“Keturunan neng, jadi saya mah gak usah belajar.
Kalau udah keturunan mah udah langsung bisa gitu
aja..” (Dukun 1)
Berkaitan dengan hal tersebut dapat dilihat bahwa
petugas kesehatan di Puskesmas Pebayuran sudah
berkompeten dalam hal kehamilan hingga persalinan
dibandingkan dengan dukun bersalin (paraji).
73
BAB VI
PEMBAHASAN PENELITIAN
6. 1. Keterbatasan Penelitian
1. Waktu dalam wawancara yang tidak terlalu lama, sehingga ada
kemungkinan informasi yang belum tergali.
6. 2. Gambaran dukungan suami terhadap pemilihan persalinan di non-
nakes pada ibu melahirkan
Dukungan suami yang diberikan kepada ibu melahirkan saat akan
memilih penolong persalinannya pada umumnya berupa penerimaan.
Penerimaan yang dimaksud yaitu suami mengikuti kemauan sang istri
(ibu melahirkan) untuk melakukan persalinan dengan bantuan dukun
bersalin (paraji). Semua suami dari ibu melahirkan mendukung
kemauan istrinya untuk melakukan persalinan dengan bantuan dukun
bersalin (paraji). Suami mendukung dan menuruti keinginan istrinya
yang memang dari awal sudah niat akan melahirkan dengan bantuan
dukun bersalin (paraji). Tanpa ada larangan sedikit pun agar istrinya
melakukan persalinan dengan bantuan tenaga kesehatan.
Suami tidak ingin istrinya melahirkan dengan perasaan terpaksa
apabila harus melahirkan bukan ditempat yang dia inginkan, maka dari
itu suami mengikuti istrinya ingin melahirkan dengan bantuan siapa.
Asalkan sang istri senang dan proses persalinannya berjalan dengan
lancar. Bahkan suami dari ibu melahirkan yang memanggil dukun
bersalin (paraji) kerumahnya untuk membantu istrinya melakukan
74
proses persalinan. Lalu suami dengan sabar akan menemani sang istri
selama proses persalinan berlangsung hingga bayinya lahir.
Sebenarnya ada rasa khawatir yang dirasakan oleh suami saat
istrinya memilih dukun bersalin (paraji) sebagai penolong
persalinannya. Tetapi disisi lain suami ingin mengikuti kemauan sang
istri untuk melahirkan dengan bantuan dukun bersalin (paraji) dan
karena kondisi yang mendesak pula akhirnya suami mendukung istrinya
untuk melahirkan dengan bantuan dukun bersalin (paraji). Namun
memang tidak semua suami merasa khawatir, ada pula suami yang tidak
merasa khawatir saat istrinya melakukan persalinan dengan bantuan
dukun bersalin (paraji). Bagi suami yang merasa khawatir dirinya
hanya bisa pasrah kepada Allah SWT agar istri dan anaknya selamat,
karena pada saat itu kondisinya mendesak dan menurutnya satu-satunya
yang bisa menolong proses persalinan istrinya hanya dukun bersalin
(paraji) yang dekat dengan rumahnya. Berbeda dengan suami yang
tidak merasa khawatir istrinya melahirkan dengan bantuan dukun
bersalin (paraji). Suami tidak merasa khawatir karena menurutnya
dukun bersalin (paraji) sudah berpengalaman dalam menolong
persalinan maka dari itu suami mempercayai dukun bersalin (paraji)
sebagai penolong persalinan istrinya.
Menurut Sodikin dkk (2009), perlindungan dari praktik-praktik
reproduksi yang mebahayakan wanita hamil dan melahirkan merupakan
suatu keadaan yang tidak bisa dianggap remeh dalam upaya tercapainya
kesehatan reproduksi selama dan sesudah hamil. Melindungi wanita
75
hamil dari praktik-praktik dalam proses reproduksi yang
membahayakan merupakan tanggung jawab suami. Penelitian
menunjukkan bahwa lebih tinggi hasil jawaban suami yang lebih
memilih pasrah dan satu-satunya harapan adalah berdoa kepada Tuhan
agar tidak tertimpa bahaya kematian karena hamil dan melahirkan
daripada mencari pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan.
Partisipasi suami merupakan strategi untuk mengurangi beban
masalah kesehatan reproduksi yang paling mendesak saat ini. Beberapa
upaya yang ditujukan pada pria sebelum ini masih terlalu lemah atau
terlalu singkat, sehingga pemahaman kurang lengkap menyebabkan
motivasi, interaksi pasangan dalam program kesehatan reproduksi
masih sangat minim. Keterlibatan suami pada masa kehamilan dan
persalinan istrinya masih memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Pada
program keselamatan ibu, suami menjadi sasaran program kesehatan
reproduksi. Suami seringkali menjadi satu-satunya yang memiliki peran
sangat penting terutama sebagai pengambil keputusan krusial ketika
kondisi istri cukup serius untuk mencari pertolongan, serta memutuskan
bagaimana istri hamil akan dibawa ke klinik dan dapat mengatasi
keterlambatan jika mengetahui gejala-gejala yang berhubungan dengan
komplikasi kehamilan dan persalinan, sehingga suami perlu diberi
motivasi tentang kesehatan reproduksi (Sodikin dkk, 2009).
Terdapat teori yang sejalan dengan teori yang digunakan peneliti
dalam segi lingkungan yakni teori green. Pada teori green terdapat 3
faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang yakni faktor
76
pencetus, pemungkin dan penguat. Dimana dalam faktor penguat
terdapat faktor lingkungan yang bisa mempengaruhi seseorang dalam
berperilaku. Faktor lingkungan ini biasanya adalah orang-orang
terdekat yang ada dilingkungannya yang dapat mempengaruhi
seseorang dalam berperilaku. Dalam penelitian ini suami merupakan
orang terdekat yang berada dilingkungan ibu melahirkan, dimana suami
memiliki peran penting bagi ibu melahirkan dalam berperilaku. Salah
satunya yakni saat memilih penolong persalinan. Keinginan ibu bersalin
untuk melakukan persalinan dirumah dengan bantuan dukun bersalin
(paraji) didukung oleh suami sehingga pada akhirnya keinginannya
terwujud dan saat waktu bersalin tiba ibu melahirkan pun melakukan
proses persalinannya dengan bantuan dukun bersalin (paraji).
Sama halnya dengan teori dari Albert Bandura yakni social
learning theory, dimana pada teori ini menekankan konsep hubungan
yang bersifat deterministik resiprokal antara individu (Person),
Perilakunya (Behavior), dan Lingkungan (Environment). Menurut teori
ini perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Pada faktor eksternal salah satunya terdapat lingkungan sosial individu
yang dapat mempengaruhi perilaku manusia. Dalam penelitian ini,
dukungan suami bisa masuk ke dalam lingkungan sosial ibu
melahirkan. Faktor lingkungan (environment) dapat mempengaruhi
individu dan perilakunya, sehingga dukungan suami dapat
mempengaruhi ibu melahirkan dalam pemilihan penolong
persalinannya.
77
Teori lain yang sejalan dalam segi lingkungan orang sekitar yakni
Theory of Reasoned Action (TRA). Theory of Reasoned Action (TRA)
yang dikembangkan oleh Martin Fisbein dan Icek Ajzen (1975, 1980)
berasal dari penelitian sebelumnya, yaitu teori tentang sikap yang
kemudian dikembangkan ke penelitian selanjutnya tentang sikap dan
perilaku. Komponen dari TRA ada 3 konstruksi umum, 1) Keinginan
perilaku, 2) Sikap, 3) Norma subjektif. Untuk dukungan suami masuk
kedalam komponen norma subjektif, dimana norma subjektif ini
merupakan pengaruh orang-orang dalam lingkungan sosial seseorang
terhadap keinginan perilakunya. Dalam hal ini suami mendukung ibu
melahirkan untuk melakukan persalinan dengan bantuan dukun bersalin
(paraji), sehingga keinginan ibu melahirkan untuk bersalin dirumah
dengan bantuan dukun bersalin (paraji) dapat terpenuhi sampai pada
akhirnya ibu melahirkan benar-benar melakukan persalinan dengan
bantuan dukun bersalin (paraji).
Kemudian teori lain yang membahas soal lingkungan sosial juga
yakni precede-proceed model dimana lingkungan sosial merupakan
salah satu faktor pemungkin yang dapat mempengaruhi seseorang
dalam berperilaku. Sama halnya dengan penelitian ini dimana
lingkungan sosial ibu melahirkan berpengaruh dalam pemilihan
penolong persalinannya, salah satunya yakni dengan dukungan dari
suami sebagai orang terdekat dilingkungan ibu melahirkan.
Dukungan suami menjadi salah satu alasan ibu melahirkan memilih
dukun bersalin (paraji) sebagai penolong persalinannya.
78
6. 3. Gambaran dukungan ibu/ibu mertua terhadap pemilihan
persalinan di non-nakes pada ibu melahirkan
Dukungan ibu/ibu mertua disini sama halnya dengan dukungan
suami yakni berupa penerimaan. Penerimaan yang dimaksud yaitu
mengikuti kemauan sang anak (ibu melahirkan) untuk melakukan
persalinan dengan bantuan dukun bersalin (paraji). Ini dikarenakan
ibu/ibu mertua dari ibu melahirkan tidak mau anaknya tertekan hanya
karena dipaksa untuk melakukan persalinan ditempat yang tidak sesuai
dengan apa yang diinginkan oleh anaknya, sehingga ibu/ibu mertua
mendukung sepenuhnya kemauan anaknya untuk melahirkan di non-
nakes (dukun bersalin). Menurutnya, yang terpenting anak dan cucunya
lahir dengan selamat (hidup).
Namun ada pula ibu yang memang menyuruh anaknya untuk
melakukan persalinan dirumah saja dan tidak boleh untuk pergi ke
bidan atau ke pelayanan kesehatan. Lalu hal tersebut diperkuat dengan
dukungan dari dukun bersalinnya juga agar melakukan persalinan
dirumah saja dengan bantuan dirinya yakni dukun bersalin (paraji).
Selain ibu ada pula dukungan dari ibu mertua yang didapatkan oleh ibu
melahirkan. Dimana sang mertua dari ibu melahirkan mendukungnya
untuk melakukan persalinan di non-nakes karena sang mertua kenal
dekat dengan dukun bersalin (paraji) karena dulu saat melahirkan
anaknya pun ditolong oleh dukun bersalin (paraji) tersebut. Maka dari
79
itu sang mertua pun mendukung ibu melahirkan untuk melakukan
persalinan dengan bantuan dukun bersalin (paraji).
Terdapat teori yang sejalan dengan teori yang digunakan peneliti
dalam segi lingkungan yakni teori green. Pada teori green terdapat 3
faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang yakni faktor
pencetus, pemungkin dan penguat. Dimana dalam faktor penguat
terdapat faktor lingkungan yang bisa mempengaruhi seseorang dalam
berperilaku. Faktor lingkungan ini biasanya adalah orang-orang
terdekat yang ada dilingkungannya yang dapat mempengaruhi
seseorang dalam berperilaku. Dalam penelitian ini ibu/ibu mertua
merupakan orang terdekat yang berada dilingkungan ibu melahirkan,
karena ibu/ibu mertua dan ibu melahirkan tinggal serumah dan ada pula
yang rumahnya berdekatan sehingga ibu/ibu mertua ikut berperan
dalam perilaku pemilihan penolong persalinan ibu melahirkan.
Keinginan ibu bersalin untuk melakukan persalinan dirumah dengan
bantuan dukun bersalin (paraji) didukung oleh ibu/ibu mertua. Bahkan
ada ibu/ibu mertua yang menyarankan ibu melahirkan untuk melakukan
proses persalinannya dirumah saja, sehingga memperkuat keinginan ibu
melahirkan untuk bersalin dirumah dengan bantuan dukun bersalin.
Sama halnya dengan teori dari Albert Bandura yakni social
learning theory, dimana pada teori ini menekankan konsep hubungan
yang bersifat deterministik resiprokal antara individu (Person),
Perilakunya (Behavior), dan Lingkungan (Environment). Menurut teori
ini perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
80
Pada faktor eksternal salah satunya terdapat lingkungan sosial individu
yang dapat mempengaruhi perilaku manusia. Dalam penelitian ini,
dukungan ibu/ibu mertua bisa masuk ke dalam lingkungan sosial ibu
melahirkan. Faktor lingkungan (environment) dapat mempengaruhi
individu dan perilakunya, sehingga dukungan ibu/ibu mertua dapat
mempengaruhi ibu melahirkan dalam pemilihan penolong
persalinannya.
Teori lain yang sejalan dalam segi lingkungan orang sekitar yakni
Theory of Reasoned Action (TRA). Theory of Reasoned Action (TRA)
yang dikembangkan oleh Martin Fisbein dan Icek Ajzen (1975, 1980)
yang terdiri atas beberapa komponen seperti keinginan perilaku, sikap,
dan norma subjektif. Dukungan ibu/ibu mertua termasuk kedalam
komponen norma subjektif, dimana norma subjektif ini merupakan
pengaruh orang-orang dalam lingkungan sosial seseorang terhadap
keinginan perilakunya. Dalam hal ini ibu/ibu mertua mendukung ibu
melahirkan untuk melakukan persalinan dengan bantuan dukun bersalin
(paraji), sehingga keinginan ibu melahirkan untuk bersalin dirumah
dengan bantuan dukun bersalin (paraji) dapat terpenuhi sampai pada
akhirnya ibu melahirkan benar-benar melakukan persalinan dengan
bantuan dukun bersalin (paraji).
Kemudian teori lain yang membahas soal lingkungan sosial juga
yakni precede-proceed model dimana lingkungan sosial merupakan
salah satu faktor pemungkin yang dapat mempengaruhi seseorang
dalam berperilaku. Sama halnya dengan penelitian ini dimana
81
lingkungan sosial ibu melahirkan berpengaruh dalam pemilihan
penolong persalinannya, salah satunya yakni dengan dukungan dari
ibu/ibu mertua sebagai orang terdekat dilingkungan ibu melahirkan.
Dukungan ibu/ibu mertua menjadi salah satu alasan ibu melahirkan
memilih dukun bersalin (paraji) sebagai penolong persalinannya.
6. 4. Gambaran pengetahuan terhadap pemilihan penolong persalinan
di non-nakes pada ibu melahirkan
Ibu melahirkan tidak mengetahui apa itu persalinan aman,
bagaimana persalinan yang aman dan resiko kehamilan serta persalinan.
Mereka berpendapat bahwa melahirkan dengan bantuan dukun bersalin
(paraji) tergolong persalinan aman dan merupakan pilihan yang tepat.
Selain itu, menurutnya melahirkan dengan bantuan dukun bersalin
(paraji) tidak berisiko bagi kesehatan dan keselamatan ibu dan anak
dikarenakan menurutnya dukun bersalin (paraji) memiliki keahlian
dalam menolong persalinan seperti halnya tenaga kesehatan lain (bidan
dan dokter). Bahkan ada ibu melahirkan yang berpendapat bahwa
persalinan yang dilakukan dimana pun (dirumah atau dipelayanan
kesehatan) akan aman dan berjalan baik-baik saja selama dibantu oleh
orang yang dianggap bisa menolong persalinan seperti bidan, dokter
dan dukun bersalin (paraji).
Pendapat salah satu ibu melahirkan tentang perbedaan pemeriksaan
kehamilan dan pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun
82
bersalin (paraji) dan petugas kesehatan berbeda-beda. Ibu melahirkan
tersebut mengatakan bahwa lebih baik melahirkan di dukun bersalin
(paraji) karena dukun bersalin (paraji) lebih sabar saat menolong
persalinan dari pada bidan. Bidan terkadang melakukan tindakan
episiotomi atau merobek jalan lahir dengan sengaja karena tidak sabar
menunggu bayi keluar. Padahal tindakan episiotomi yang dilakukan
bidan bukan serta merta dikarenakan tidak sabar menunggu bayi keluar,
melainkan ada alasan tertentu yang mengharuskannya melakukan
tindakan tersebut. Seperti pada kasus bayi yang besar, bayi dengan
kelainan letak sungsang, keadaan bayi yang gawat misalnya mengalami
penurunan detak jantung, salah satu upaya untuk mempercepat proses
kelahiran bayi pada ibu dengan risiko penyakit seperti tekanan darah
tinggi dan pada kasus-kasus darurat kebidanan lain yang terjadi
sewaktu-waktu.
Saat ini bidan di wilayah kerja Puskesmas Pebayuran sudah jarang
sekali melakukan tindakan episiotomi. Apabila ada kasus bayi yang
sungsang atau bayi yang sudah dari awal diketahui memiliki ukuran
yang besar maka bidan akan merujuk pasien tesebut. Bidan hanya akan
melakukan tindakan episiotomi apabila dalam kondisi yang benar-benar
mendesak. Kurangnya pengetahuan ibu melahirkan mengenai
episiotomi dapat mempengaruhi pemilihan penolong persalinan
Saat ditanya perihal kasus kematian ibu dan bayi yang lahir akibat
ditolong dukun bersalin (paraji), ibu melahirkan rata-rata memang
merasa takut akan tetapi mereka lebih pasrah dan mempercayakan
83
semuanya kepada Sang Pencipta. Mereka berpendapat bahwa semua
sudah ada takdirnya masing-masing.
Pada teori kognisi sosial yang ditemukan oleh Albert Bandura ada
hubungan antara individu atau personal dengan lingkungan serta
perilaku (Prayogo, 2016). Hubungan tersebut membentuk pandangan
bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor personal dan
lingkungannya. Faktor personal didalam teori kognisi sosial terbentuk
dari kognisi atau pengetahuan seseorang dan keterampilan seseorang
dalam menghadapi suatu isu atau masalah (Bandura, 1999). Individu
dalam hidupnya tidak menerapkan perilakunya begitu saja tanpa ada
alasan. Perilaku tersebut dapat dilakukan karena beberapa faktor salah
satunya adalah pengetahuan (Mutiah, 2016). Pengetahuan kurang, baik,
positif maupun negatif mempengaruhi orang tersebut bertindak.
Contohnya adalah pencegahan penyakit. Ketika individu telah memiliki
pengetahuan yang baik akan suatu penyakit maka individu tersebut
akan melakukan tindakan atau perilaku yang mencegah individu
terjangkit penyakit tersebut. Sebaliknya, jika individu tersebut memiliki
pengetahuan yang kurang akan suatu penyakit maka individu tersebut
tidak akan melakukan tindakan atau perilaku yang mencegah individu
terjangkit penyakit tersebut. Dalam hal ini sejalan dengan penelitian
alasan pemilihan penolong persalinan di non-nakes pada ibu melahirkan
di wilayah kerja puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi tahun 2016.
Bahwa pengetahuan mempengaruhi ibu dalam memilih penolong
persalinannya sehingga pengetahuan menjadi salah satu alasan ibu
84
dalam memilih penolong persalinannya. Dimana dengan kurangnya
pengetahuan ibu terkait persalinan aman, bagaimana persalinan aman,
resiko dan bahaya kehamilan dan persalinan, membuat ibu tidak
memikirkan pentingnya persalinan di tenaga kesehatan sehingga pada
akhirnya ibu memilih tenaga non-kesehatan (dukun bersalin) untuk
menolong proses persalinannya.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan teori Stimulus – Organisme
– Respon (SOR). Teori ini beranggapan bahwa organisme
menghasilkan perilaku jika ada kondisi stimulus-stimulus tertentu. Jadi
efek yang timbul berupa reaksi khusus terhadap stimulus, sehingga
seseorang dapat mengharapkan kesesuaian antara pesan dan reaksi
komunikan (organisme). Dalam proses sikap, sikap organisme dapat
berubah jika stimulus yang menerpanya benar-benar melebihi dari yang
dialaminya (Notoatmodjo, 2011). Sama halnya dengan pemilihan
persalinan, dimana apabila ibu melahirkan (organisme) memiliki
pengetahuan yang baik tentang persalinan aman, bagaimana persalinan
yang aman, serta resiko dan bahaya pada kehamilan dan persalinan
maka ibu melahirkan akan memilih untuk bersalin di tenaga kesehatan
karena ibu melahirkan mengetahui bahwa persalinan itu sebaiknya
ditolong oleh tenaga kesehatan. Tetapi karena kurangnya pengetahuan
ibu melahirkan mengenai persalinan aman, bagaimana persalinan yang
aman, serta resiko dan bahaya pada kehamilan dan persalinan pada
akhirnya ibu melahirkan lebih memilih untuk melakukan persalinan
dengan bantuan dukun bersalin (paraji).
85
Sama halnya dengan teori green dimana pengetahuan merupakan
faktor penguat (predisposing faktor) yang dapat mempengaruhi perilaku
seseorang terhadap pengambilan keputusan ke arah yang lebih baik.
Pengetahuan dianggap baik, jika seseorang mengambil keputusan yang
tepat terkait dengan masalah yang dihadapi, namun mereka yang
mempunyai pengetahuan rendah akan mengambil keputusan yang
sebaliknya. Dalam hal ini ibu melahirkan memiliki pengetahuan yang
kurang terkait persalinan aman beserta resiko dan bahaya bersalin di
non-nakes, sehingga ibu melahirkan mengambil keputusan yang kurang
tepat yakni memilih dukun bersalin (paraji) sebagai penolong
persalinannya.
Sejalan pula dengan teori Health Belief Model (HBM) dimana
karena kurangnya pengetahuan ibu melahirkan terkait persalinan aman,
mengakibatkan ibu melahirkan tidak merasa terancam dengan resiko
yang mungkin terjadi apabila melakukan persalinan dengan bantuan
dukun bersalin (paraji). Ibu melahirkan tidak memikirkan keseriusan
penyakit atau resiko yang mungkin saja terjadi saat bersalin dengan
bantuan dukun bersalin (paraji) karena memang pengetahuannya
tentang pentingnya bersalin di tenaga kesehatan masih kurang.
Teori lain yang membahas soal pengetahuan juga yakni precede-
proceed model dimana pengetahuan merupakan salah satu faktor
pencetus yang dapat mempengaruhi seseorang dalam berperilaku. Sama
halnya dengan penelitian ini dimana pengetahuan ibu melahirkan
berpengaruh dalam pemilihan penolong persalinannya, karena
86
kurangnya pengetahuan ibu melahirkan terkait persalinan aman beserta
bahaya dan resikonya maka dari itu ibu melahirkan tidak mengetahui
pentingnya melahirkan ditolong oleh tenaga kesehatan.
Ibu melahirkan tidak mengetahui apa itu persalinan aman hingga
gejala dan bahaya pada persalinan terutama persalinan di non-nakes.
Maka dari itu pengetahuan ibu melahirkan menjadi salah satu alasan ibu
melahirkan memilih dukun bersalin (paraji) sebagai penolong
persalinannya.
6. 5. Gambaran sikap terhadap pemilihan penolong persalinan di non-
nakes pada ibu melahirkan
Sikap ibu melahirkan terhadap dukun bersalin (paraji) positif. Ini
dikarenakan semua ibu melahirkan dalam penelitian ini merasa tidak
ada keluhan dan merasa baik-baik saja setelah melahirkan dibantu oleh
dukun bersalin (paraji). Salah satu ibu melahirkan bercerita bahwa saat
melahirkan posisi bayinya sungsang, tetapi baik-baik saja setelah
melakukan persalinan dengan bantuan dukun bersalin (paraji). Bahkan
setelah ditanya apabila ibu melahirkan hamil lagi dia akan melahirkan
dengan bantuan dukun bersalin (paraji) lagi.
Beda halnya sikap ibu melahirkan terhadap tenaga kesehatan
(bidan) yang negatif. Hal ini dikarenakan beberapa faktor diantaranya
dukun bersalin (paraji) yang berpendapat bahwa sikap bidan yang
terkadang tidak mau pergi ke rumah pasien melainkan pasien yang
87
harus pergi ke rumah bidan untuk melakukan persalinan. Padahal bidan
sendiri melakukan hal tersebut (tidak mau pergi ke rumah pasien)
karena adanya gerakan bersalin di pelayanan kesehatan. Dimana untuk
saat ini persalinan harus dilakukan di pelayanan kesehatan. Walaupun
persalinan dirumah ditolong oleh nakes tetap tidak dianjurkan karena
mengingat alat-alat yang kurang memadai apabila persalinan dilakukan
dirumah. Belum lagi kondisi lain yang belum tentu mendukung seperti
pencahayaan, ibu dengan penyakit tertentu, dan yang lainnya. Maka
dari itu bidan tidak mau untuk dipanggil kerumah pasien.
Sebenarnya hal tersebut juga cukup menghambat proses persalinan,
dimana apabila ada kasus rumah ibu yang jauh dengan pelayanan
kesehatan mereka akan cenderung lebih memilih untuk lahir dirumah
dengan bantuan dukun bersalin (paraji). Akan tetapi menurut bidan
kasus tersebut sudah sangat jarang, kalau pun ada hanya beberapa orang
saja dan sangat sedikit. Karena saat ini biasanya ibu melahirkan akan
segera pergi ke pelayanan kesehatan ketika dirinya sudah merasa mulas
(masih pembukaan awal) sehingga masih sempat untuk dibawa ke
pelayanan kesehatan dan melakukan persalinan dengan bantuan tenaga
kesehatan.
Kemudian faktor lainnya yang mempengaruhi alasan ibu
melahirkan lebih memilih dukun bersalin (paraji) dari pada bidan yakni
karena adanya mahasiswa kebidanan yang sedang magang atau praktik
belajar disana. Seolah-olah ibu melahirkan dijadikan bahan percobaan
mahasiswa-mahasiswa tersebut. Selain itu, ibu melahirkan juga takut
88
akan tindakan episiotomi (merobek jalan lahir) yang dilakukan bidan.
Padahal bidan melakukan hal tersebut bukan karena semata-mata tidak
sabar menunggu bayi lahir. Akan tetapi karena ada hal-hal mendesak
yang mengharuskannya melakukan tindakan episiotomi, misalkan pada
kasus bayi yang besar, bayi dengan posisi yang sungsang, kondisi ibu
yang memiliki penyakit tertentu dan sebagainya. Faktor-faktor seperti
itu yang menjadikan sikap ibu melahirkan menjadi negatif terhadap
tenaga kesehatan (bidan).
Padahal bidan di Puskesmas Pebayuran sudah lama sekali tidak
melakukan tindakan episiotomi. Bidan tidak akan melakukan tindakan
episiotomi karena tidak mau menyakiti ibu melahirkan. Kalau ada kasus
bayi dengan letak posisi sungsang, bidan akan langsung merujuk pasein
tersebut kerumah sakit sehingga tidak dilakukan tindakan episiotomi.
Kecuali dalam kondisi mendesak seperti bayi yang besar, itu akan
dilakukan tindakan episiotomi. Tetapi apabila dari awal bidan
mengetahui kalau bayinya besar, maka bidan akan merujuk pasien
tersebut dari awal. Jadi menurut bidan saat ini sudah jarang sekali
dilakukan tindakan episiotomi seperti dulu.
Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, sikap
belum merupakan reaksi terbuka atau aktivitas, tetapi reaksi tertutup.
Sikap ini dapat berubah dari positif atau sebaliknya karena dipengaruhi
oleh pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi. Biasanya seseorang
akan menentukan sikap terhadap sesuatu berdasarkan pengalaman,
situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu. Jadi sikap adlah penlaian
89
(bisa berupa pendapat) seseorang terhadap stimulus (objek). Sikap juga
bisa diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling
dekat (Anna Puji A, 2014).
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori lain yakni teori green.
Dimana sikap merupakan faktor pencetus yang dapat mempengaruhi
perilaku seseorang. Sikap ibu melahirkan terhadap tenaga kesehatan
negatif karena beberapa faktor seperti bidan yang terkadang tidak mau
pergi ke rumah pasien melainkan pasien yang harus pergi ke rumah
bidan, tidak mau dijadikan bahan percobaan karena ada mahasiswa
yang sedang praktek di puskesmas, hingga takut akan tindakan
episiotomi. Beda halnya sikap ibu terhadap tenaga non-kesehatan
dimana menurut ibu melahirkan dukun bersalin (paraji) sangat telaten
dan sabar dalam menunggu kelahiran serta selalu sedia dipanggil
kerumah kapan pun. Sikap tersebut yang akhirnya mempengaruhi ibu
melahirkan dalam pemilihan penolong persalinannya yakni dengan
bantuan dukun bersalin (paraji).
Sama halnya dengan teori Health Belief Model (HBM) dimana
karena sikap ibu melahirkan yang negatif terhadap tenaga kesehatan,
mengakibatkan ibu melahirkan lebih memilih bersalin dengan bantuan
dukun bersalin (paraji). Ibu melahirkan tidak merasa terancam dengan
resiko yang mungkin terjadi apabila melakukan persalinan dengan
bantuan dukun bersalin (paraji). Ibu melahirkan tidak memikirkan
keseriusan penyakit atau resiko yang mungkin saja terjadi saat bersalin
90
dengan bantuan dukun bersalin (paraji) karena memang sikapnya
terhadap dukun bersalin (paraji) positif.
Teori lain yang juga berhubungan dengan sikap yakni Theory of
Reasoned Action (TRA). Komponen dari TRA sendiri terdiri atas
keinginan perilaku, sikap, serta norma subjektif. Menurut TRA perilaku
seseorang bergantung kepada sikap seseorang tentang perilaku dan
norma subjektif, jika seseorang berkeinginan untuk melakukan perilaku
maka kemungkinan seseorang akan melakukannya. Dalam penelitian
ini ibu melahirkan bersikap positif terhadap dukun bersalin (paraji),
sehingga ibu melahirkan memiliki keinginan untuk bersalin dengan
bantuan dukun bersalin (paraji). Kemudian ibu melahirkan melakukan
keinginannya tersebut, sehingga pada akhirnya ibu melahirkan
memutuskan untuk bersalin dengan bantuan dukun bersalin (paraji).
Didukung pula dengan teori Stimulus-Organisme-Respon (SOR).
Dimana organisme menghasilkan perilaku jika ada kondisi stimulus-
stimulus tertentu. Jadi efek yang timbul berupa reaksi khusus terhadap
stimulus, sehingga seseorang dapat mengharapkan kesesuaian antara
pesan dan reaksi komunikan (organisme). Dalam proses sikap, sikap
organisme dapat berubah jika stimulus yang menerpanya benar-benar
melebihi dari yang dialaminya (Notoatmodjo, 2011). Sama halnya
dengan pemilihan persalinan, dimana apabila ibu melahirkan memiliki
pengetahuan yang baik tentang persalinan aman, bagaimana persalinan
yang aman, serta resiko dan bahaya pada kehamilan dan persalinan
maka ibu melahirkan akan memiliki sikap positif terhadap tenaga
91
kesehatan. Dimana ibu melahirkan mengetahui bahwa persalinan itu
sebaiknya ditolong oleh tenaga kesehatan.
Teori lain yang membahas soal sikap juga yakni precede-proceed
model dimana sikap merupakan salah satu faktor pencetus yang dapat
mempengaruhi seseorang dalam berperilaku. Sama halnya dengan
penelitian ini dimana sikap ibu melahirkan berpengaruh dalam
pemilihan penolong persalinannya. Sikap negatif ibu melahirkan
terhadap nakes dan sikap positif ibu melahirkan terhadap non-nakes
mempengaruhi ibu melahirkan dalam pemilihan penolong
persalinannya.
Sikap ibu melahirkan terhadap persalinan di non-nakes (dukun
bersalin/paraji) baik atau positif. Ini bertolak belakang dengan sikap
ibu melahirkan terhadap persalinan di nakes (bidan) yang cenderung
negatif. Hal ini terjadi berdasarkan pengalaman dan cerita orang lain
yang didapat oleh ibu melahirkan terkait penolong persalinan. Sehingga
sikap ibu melahirkan menjadi salah satu alasan ibu melahirkan memilih
dukun bersalin (paraji) sebagai penolong persalinannya.
6. 6. Gambaran tingkat pendidikan terhadap pemilihan penolong
persalinan di non-nakes pada ibu melahirkan
Tingkat pendidikan ibu melahirkan masih tergolong rendah yakni
SMP. Dimana tingkat pendidikan mempengaruhi pengetahuan ibu
melahirkan terhadap pemilihan penolong persalinan di non-nakes. Ibu
92
melahirkan berpendapat bahwa melakukan persalinan dengan bantuan
dukun bersalin (paraji) sudah tepat dan aman.
Menurut teori health belief models (HBM), tingkat pendidikan
seseorang akan mempengaruhi perceived threat (perasaan terancam)
seseorang dalam bertindak atau berperilaku. Rendahnya pendidikan ibu
melahirkan menyebabkan pemahamannya terhadap pentingnya
persalinan di tenaga kesehatan masih kurang, sehingga ibu lebih
memilih persalinan dengan bantuan dukun bersalin (paraji) karena ibu
melahirkan tidak merasa terancam akan resiko yang mungkin terjadi
apabila melakukan persalinan dengan bantuan dukun bersalin (paraji).
Penelitian tentang perilaku pencarian pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh Kloss (1990) ditemukan bahwa keputusan seseorang
untuk mencari pelayanan kesehatan tertentu dipengaruhi oleh berbagai
variabel salah satunya sosial-ekonomi. Di dalam variabel tersebut
terdapat faktor tingkat pendidikan yang mempengaruhi seseorang dalam
pencarian pengobatannya (Tipping dan Segall 1995 dalam Mackian
2003).
Notoadmojo (2010) mengatakan bahwa semakin tingggi tingkat
pendidikan individu maka semakin banyak bahan atau sumber
informasi yang diperoleh untuk mencapai perubahan perilaku yang
diharapkan. Pendidikan tinggi membuat individu mempunyai
pengalaman lebih lama dalam mendapatkan pengetahuan mulai dari
sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah akhir
93
sampai perguruan tinggi. Begitu banyak variasi bahan sumber informasi
yang dimiliki khususnya tentang pemilihan tenaga penolong persalinan,
karena hal ini berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Tingkat
pendidikan individu akan menentukan keputusan yang terbaik dalam
menentukan tenaga penolong persalinan yang aman untuk dirinya.
Individu dengan pendidikan tinggi akan mencari pertolongan persalinan
yang tepat. Penelitian ini adalah sesuai dengan hasil penelitian Yenita
(2011) bahwa ada hubungan tingkat pendidikan ibu bersalin dengan
pemilihan tenaga penolong persalinan.
Tingkat pendidikan ibu melahirkan yang rendah mengakibatkan
kurangnya pemahaman ibu melahirkan terhadap pentingnya
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan. Hal ini terjadi karena
individu tidak mempunyai dasar yang kuat untuk memahami
pentingnya pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang
berkompeten. Sehingga tingkat pendidikan ibu melahirkan menjadi
salah satu alasan ibu melahirkan memilih dukun bersalin (paraji)
sebagai penolong persalinannya.
6. 7. Gambaran status ekonomi terhadap pemilihan penolong persalinan
di non-nakes pada ibu melahirkan
Status ekonomi keluarga ibu melahirkan bermacam-macam. Ada
yang tergolong rendah dan ada yang tergolong pas atau cukup. Rata-
rata penghasilan suaminya yakni sebesar Rp.500.000,- sampai
Rp.2.000.000,-. Menurutnya penghasilan tersebut sangat pas-pasan
94
untuk kebutuhan sehari-hari dan tagihan bulanan. Untuk makan, jajan
anak, hingga membayar tagihan listrik. Maka dari itu semua ibu
melahirkan dalam penelitian ini memilih bersalin dengan bantuan
dukun bersalin (paraji). Dikarenakan dukun bersalin (paraji) hanya
dibayar seikhlasnya saja, sehingga memudahkan ibu melahirkan untuk
melakukan pembayaran persalinan dengan status ekonomi yang ada.
Walaupun Puskesmas Pebayuran sudah PONED dan gratis, ibu
melahirkan lebih memilih melahirkan dengan bantuan dukun bersalin
(paraji) karena ibu melahirkan takut apabila ada biaya tidak terduga
saat di Puskesmas. Padahal menurut bidan, seharusnya masyarakat
tidak perlu takut akan biaya apabila ingin melakukan persalinan di
PONED karena walaupun tidak memiliki persayaratan yang lengkap
puskesmas akan tetap menolong pasien. Syarat menjadi hal kesekian,
yang terpenting pasien melahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan di
pelayanan kesehatan.
Dalam teori health belief models (HBM), status ekonomi
mempengaruhi perasaan terancam seseorang terhadap suatu kondisi
atau penyakit sehingga seseorang tersebut melakukan suatu tindakan.
Sama halnya dengan hasil penelitian ini, dikarenakan ibu melahirkan
merasa tidak memiliki uang dan takut akan biaya yang akan
dikeluarkan apabila melahirkan di nakes akhirnya ibu melahirkan lebih
memilih melakukan persalinan dirumah dengan bantuan dukun bersalin
(paraji).
95
Sama halnya dengan teori green, dimana status ekonomi
merupakan salah satu faktor pemungkin yang memungkinkan seseorang
melakukan suatu tindakan. Sejalan dengan penelitian ini dimana ibu
melahirkan memiliki status ekonomi rendah sehingga dirinya dan juga
suaminya takut apabila ada biaya tak terduga saat melahirkan di
puskesmas walaupun sebenarnya melahirkan di puskesmas gratis.
Penelitian tentang perilaku pencarian pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh Kloss (1990) ditemukan bahwa keputusan seseorang
untuk mencari pelayanan kesehatan tertentu dipengaruhi oleh berbagai
variabel salah satunya sosial-ekonomi. Di dalam variabel tersebut
terdapat faktor status ekonomi yang mempengaruhi seseorang dalam
pencarian pengobatannya (Tipping dan Segall 1995 dalam Mackian
2003). Hal ini sejalan dengan penelitian ini, dimana karena status
ekonomi yang rendah ibu melahirkan lebih memilih bersalin di non-
nakes karena biaya yang murah.
Status ekonomi menjadi salah satu alasan ibu melahirkan dalam
pemilihan penolong persalinan di non-nakes. Mereka semua melakukan
persalinan dengan bantuan non-nakes (dukun bersalin) dengan persepsi
bahwa jika melakukan pertolongan persalinan oleh bidan atau dokter
membutuhkan biaya yang besar dibandingkan dengan pertolongan
persalinan oleh dukun bersalin (paraji).
96
6. 8. Gambaran biaya terhadap pemilihan penolong persalinan di non-
nakes pada ibu melahirkan
Semua ibu melahirkan berpendapat bahwa pesalinan di non-nakes
(dukun bersalin) tergolong murah dari pada di nakes (bidan atau
dokter). Ini dikarenakan tidak adanya tarif yang ditentukan oleh dukun
bersalin (paraji) saat menolong proses persalinan, hanya dibayar
seikhlasnya saja. Maka dari itu semua ibu melahirkan memilih untuk
melakukan persalinan di non-nakes atau dengan bantuan dukun bersalin
(paraji). Walaupun saat ini di puskesmas pebayuran sudah PONED dan
gratis, ibu melahirkan tetap lebih memilih melakukan persalinan
dirumah dengan bantuan dukun bersalin (paraji) karena biaya dukun
bersalin (paraji) sudah termasuk jasa persalinan dan urus bayi. Padahal
pihak puskesmas tidak akan membebani masyarakat dalam hal biaya.
Walaupun syarat-syaratnya tidak lengkap, pihak puskesmas akan tetap
menolong ibu melahirkan karena yang terpenting pasiennya melahirkan
di pelayanan kesehatan dengan ditolong oleh tenaga kesehatan.
Menurut teori green, biaya merupakan salah satu faktor pemungkin
yang memungkinkan seseorang melakukan suatu tindakan. Sama
halnya dengan penelitian ini dimana menurut ibu melahirkan biaya
persalinan di dukun bersalin (paraji) lebih murah karena dibayar
seikhlasnya daripada biaya di bidan, sehingga ibu melahirkan lebih
memilih melakukan persalinan di dukun bersalin (paraji).
Penelitian tentang perilaku pencarian pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh Yesudian (1988) ditemukan bahwa keputusan seseorang
97
untuk mencari pelayanan kesehatan tertentu dipengaruhi oleh berbagai
variabel salah satunya ekonomi. Di dalam variabel tersebut terdapat
faktor biaya yang mempengaruhi seseorang dalam pencarian
pengobatannya (Tipping dan Segall 1995 dalam Mackian 2003). Dalam
penelitian ini ibu melahirkan lebih memilih untuk melakukan persalinan
dengan bantuan dukun bersalin (paraji) karena biaya yang murah
ketimbang harus melahirkan di bidan dengan biaya yang mahal.
Dapat disimpulkan bahwa biaya persalinan di nakes dan non-nakes
memiliki perbedaan. Dimana biaya persalinan di nakes ada tarif sendiri
sedangkan untuk biaya persalinan di non-nakes (dukun bersalin) tidak
bertarif atau seikhlasnya. Maka dari itu ibu melahirkan lebih memilih
melakukan persalinan di non-nakes atau dengan bantuan dukun bersalin
(paraji) dari pada dengan bantuan tenaga kesehatan seperti bidan
maupun dokter. Maka dari itu biaya menjadi salah satu alasan ibu
melahirkan memilih dukun bersalin (paraji) sebagai penolong
persalinannya.
6. 9. Gambaran jarak terhadap pemilihan penolong persalinan di non-
nakes pada ibu melahirkan
Beberapa ibu melahirkan memiliki jarak yang cukup jauh ke
puskesmas, sedangkan ibu melahirkan lain memiliki jarak yang cukup
dekat dengan puskesmas. Tetapi mereka semua memilih dukun bersalin
saat melakukan persalinan. Ini dikarenakan jarak rumah ibu melahirkan
ke rumah dukun bersalin (paraji) memang lebih dekat dari pada jarak
98
ke puskesmas ataupun ke bidan. Selain itu kondisi jalan pun masih
kurang baik, dimana ibu melahirkan harus melewati jalan kecil ditengah
sawah dengan jalan yang tidak rata (berlubang).
Dalam teori green, jarak menjadi salah satu faktor pemungkin yang
memungkinkan seseorang melakukan suatu tindakan. Sama halnya
dengan penelitian ini, karena jarak puskesmas dan bidan yang jauh pada
akhirnya ibu melahirkan lebih memilih untuk memanggil dukun
bersalin (paraji) untuk membantu proses persalinannya. Menurutnya,
sangat tidak memungkinkan apabila dirinya melahirkan di puskesmas
atau bidan karena jarak dari rumahnya lebih jauh ketimbang ke dukun
bersalin.
Penelitian tentang perilaku pencarian pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh Kloss (1990) ditemukan bahwa keputusan seseorang
untuk mencari pelayanan kesehatan tertentu dipengaruhi oleh berbagai
variabel salah satunya geografis. Di dalam variabel tersebut terdapat
faktor jarak dan akses yang mempengaruhi seseorang dalam pencarian
pengobatannya (Tipping dan Segall 1995 dalam Mackian 2003).
Masih banyaknya pengguna jasa dukun disebabkan beberapa faktor
yaitu lebih mudahnya pelayanan dukun bayi, terjangkau oleh
masyarakat baik dalam jangkauan jarak, ekonomi atau lebih dekat
secara psikologi, bersedia membantu keluarga dalam berbagai
pekerjaan rumah tangga serta berperan sebagai penasehat dalam
melaksanakan berbagai upacara selamatan (Manuaba, 1998).
99
Faktor lain yang menyebabkan ibu memilih pertolongan persalinan
oleh dukun bayi adalah jarak. Jarak membatasi kemampuan dan
kemauan ibu untuk mencari pelayanan kesehatan terutama jika sarana
transportasi yang tersedia terbatas, komunikasi sulit, dan didaerah
tersebut tidak terdapat rumah sakit. Salah satu yang melatarbelakangi
ibu memilih dukun bayi sebagai penolong persalinannya karena tempat
tinggalnya berdekatan dengan dukun bayi (Depkes RI, 1994).
Jarak rumah yang lebih dekat dengan dukun bersalin (paraji)
membuat ibu melahirkan lebih memilih untuk melakukan persalinan di
non-nakes (dukun bersalin) dari pada di tenaga kesehatan. Sehingga
jarak menjadi salah satu alasan ibu melahirkan memilih dukun bersalin
(paraji) sebagai penolong persalinannya.
6. 10. Gambaran transportasi terhadap pemilihan penolong persalinan di
non-nakes pada ibu melahirkan
Dikarenakan tidak tersedianya transportasi yang memadai atau
mendukungnya saat akan bersalin, ibu melahirkan lebih memilih
melakukan persalinan di non-nakes (dukun bersalin/paraji). Dimana ibu
melahirkan hanya memiliki kendaraan roda dua sebagai alat
transportasinya menuju puskesmas ataupun praktik bidan yang tidak
memungkinkan untuk digunakan. Disisi lain ibu melahirkan dan suami
tidak mau meminta bantuan tetangganya yang memiliki mobil
dikarenakan tidak mau merepotkan orang lain, sehingga lebih memilih
100
untuk melakukan persalinan dirumah dengan bantuan dukun bersalin
(paraji).
Sejalan dengan teori green, transportasi menjadi salah satu faktor
pemungkin yang memungkinkan seseorang melakukan suatu tindakan.
Sama halnya dengan penelitian ini, dikarenakan tidak adanya
transportasi yang memungkinkan untuk membawa ibu melahirkan ke
bidan atau puskesmas akhirnya ibu melahirkan lebih memilih untuk
melahirkan dirumah dengan memanggil dukun bersalin (paraji) untuk
membantu proses persalinannya.
Penelitian tentang perilaku pencarian pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh Kloss (1990) ditemukan bahwa keputusan seseorang
untuk mencari pelayanan kesehatan tertentu dipengaruhi oleh berbagai
variabel salah satunya geografis. Di dalam variabel tersebut terdapat
faktor jarak dan akses yang mempengaruhi seseorang dalam pencarian
pengobatannya (Tipping dan Segall 1995 dalam Mackian 2003).
Ketersediaan dan kemudahan menjangkau tempat pelayanan, akses
terhadap sarana kesehatan dan transportasi merupakan salah satu
pertimbangan keluarga dalam pengambilan keputusan mencari tempat
pelayanan kesehatan (Amilda, 2010).
Transportasi menjadi salah satu alasan ibu melahirkan memilih
dukun bersalin (paraji) sebagai penolong persalinannya.
101
6. 11. Gambaran budaya terhadap pemilihan penolong persalinan di non-
nakes pada ibu melahirkan
Masih ada budaya yang melekat pada beberapa ibu melahirkan.
Budaya tersebut yakni dukun bersalin (paraji) masih sangat dihormati
dan disegani oleh masyarakat. Bahkan ada ibu melahirkan yang setiap
bulannya rajin sekali memeriksakan kehamilannya ke posyandu dan
bidan praktek tetapi saat persalinan ia memilih untuk bersalin dengan
bantuan dukun bersalin (paraji) karena dukun bersalin (paraji) tersebut
merupakan saudara atau kerabat dekatnya. Selain budaya, ada pula
tradisi yang masih ada dilingkungan tempat tinggal ibu melahirkan
yakni tradisi turun temurun melakukan persalinan di non-nakes.
Dimana dari buyut, nenek, ibu, hingga ibu melahirkan melakukan
persalinan dengan bantuan dukun bersalin (paraji). Menurut penuturan
ibu melahirkan ia akan merasa tidak enak apabila tidak melakukan
tradisi turun temurun tersebut. Selain itu di kampungnya tersebut masih
banyak persalinan yang dibantu oleh dukun bersalin (paraji). Karena
menurutnya hal tersebut sudah terjadi sejak jaman dahulu.
Dalam teori green, budaya menjadi salah faktor pencetus yang
dapat mempengaruhi perilaku atau tindakan seseorang. Dalam
penelitian ini budaya masih mempengaruhi ibu melahirkan karena
dukun bersalin (paraji) masih merupakan kerabat dekatnya, sehingga
ibu melahirkan merasa tidak enak atau takut dianggap tidak
menghormati kerabatnya apabila tidak melahirnya dengan bantuan
dukun bersalin (paraji) tersebut.
102
Penelitian tentang perilaku pencarian pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh Kloss (1990) dan Yesudian (1988) ditemukan bahwa
keputusan seseorang untuk mencari pelayanan kesehatan tertentu
dipengaruhi oleh berbagai variabel salah satunya budaya. Dimana
budaya sendiri dapat mempengaruhi seseorang dalam pencarian
pengobatannya (Tipping dan Segall 1995 dalam Mackian 2003).
Budaya, adat istiadat dan keyakinan masyarakat terhadap dukun
bayi, membuat sebagian besar masyarakat pedesaan memilih dukun
sebagai penolong persalinan (Nuraeni, 2012). Budaya berpengaruh
langsung terhadap pemilihan tenaga penolong persalinan, karena
kondisi-kondisi umum dari peristiwa kehamilan dan persalinan tersebut
diinterpretasikan berbeda menurut kebudayaan yang berbeda.
Perawatan sejak awal kehamilan terjadi hingga pasca persalinan biasa
dilakukan di rumah dengan dibantu seorang dukun bayi. Pada
kesempatan itu anggota keluarga seperti ibu, suami, serta saudara dan
kerabat memainkan peranan tertentu sebagai penyembuh (Yenita,
2011).
Salah satu determinan yang paling dominan yang mendorong ibu
memilih persalinan oleh dukun bayi adalah faktor sosial budaya
(Basariah, 2009). Dari segi sosial budaya masyarakat khususnya di
daerah pedesaan, kedudukan dukun bayi lebih terhormat, lebih tinggi
kedudukannya dibanding dengan bidan sehingga mulai dari
pemeriksaan, pertolongan persalinan sampai perawatan pasca
persalinan banyak yang meminta pertolongan dukun bayi. Masyarakat
103
tersebut juga sudah secara turun temurun melahirkan di dukun bayi dan
menurut mereka tidak ada masalah (Iskandar dalam Amilda, 2010).
Dalam penelitian ini masih ada budaya dan tradisi yang merekat
pada ibu melahirkan. Dimana dukun bersalin (paraji) masih sangat
dihormati dan disegani oleh masyarakat. Selain itu ibu melahirkan
masih menjunjung tinggi tradisi yang ada dikeluarganya untuk
melakukan persalinan dengan bantuan dukun bersalin (paraji). Apabila
ibu melahirkan tidak melakukan tradisi tersebut ia akan merasa tidak
enak. Sehingga budaya menjadi salah satu alasan ibu melahirkan
memilih dukun bersalin (paraji) sebagai penolong persalinannya.
6. 12. Gambaran sarana dan prasarana Puskesmas Pebayuran
Kabupaten Bekasi
Sarana dan prasarana yang tersedia di Puskesmas Pebayuran sudah
memadai dan baik, akan tetapi ibu melahirkan masih saja lebih memilih
melakukan persalinan dengan bantuan dukun bersalin (paraji). Jadi
bukan karena faktor sarana dan prasarana yang membuat ibu
melahirkan tidak melakukan persalinan di nakes, melainkan karena
adanya faktor-faktor lain.
Puskesmas Pebayuran sudah berbasis PONED dengan pelayanan
24 jam. Beruntung karena Puskesmas Pebayuran merupakan salah satu
puskesmas PONED diantara 44 puskesmas yang ada di Kabupaten
Bekasi. Tersedia gedung khusus untuk PONED dengan sarana dan
104
prasarana yang memadai serta tenaga kesehatan yang berlatar belakang
sesuai dengan bidangnya di kebidanan. PONED ini juga melayani
pasien secara gratis tanpa dipungut biaya cukup dengan membawa kartu
keluarga dan jamkesmas saja.
Walau Puskesmas Pebayuran sudah PONED dengan pelayanan 24
jam dan gratis, ibu melahirkan tetap saja melakukan persalinan dengan
bantuan dukun bersalin (paraji). Mereka berpendapat bahwa karena
jarak yang jauh mempengaruhinya untuk tidak melakukan persalinan di
PONED. Beda halnya dengan ibu melahirkan lain yang mengatakan
bahwa saat proses persalinan dirinya tidak mengetahui bahwa
puskesmas telah PONED dan gratis, sehingga ibu melahirkan tersebut
melakukan persalinan dirumah dengan bantuan dukun bersalin (paraji).
Padahal bidan desa sendiri selalu menginformasikan kepada ibu
melahirkan terkait puskesmas yang telah PONED dan selalu
mengarahkan ibu melahirkan untuk melakukan persalinan disana.
Dengan ini sarana dan prasarana puskesmas tidak menjadi salah
satu alasan ibu melahirkan memilih dukun bersalin (paraji) sebagai
penolong persalinannya.
6. 13. Gambaran kompetensi petugas kesehatan
Petugas kesehatan yang ada di Puskesmas Pebayuran memiliki
kompetensi sesuai dengan bidangnya masing-masing. Mulai dari dokter
105
umum, dokter gigi, perawat, tenaga kesehatan masyarakat, apoteker,
hingga bidan.
Bidan yang bertugas di Puskesmas Pebayuran rata-rata lulusan D4
Kebidanan dengan gelar S.ST (Sarjana Sains Terapan). Maka dari itu
bisa dilihat bahwa kompetensi petugas kesehatan di Puskesmas
Pebayuran sudah cukup baik. Maka seharusnya sudah tidak ada lagi
alasan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Pebayuran untuk tidak
melakukan persalinan di Puskesmas dengan tenaga kesehatan yang
memadai dan berkompeten dibidangnya.
Beda halnya dengan kompetensi dukun bersalin (paraji), dimana
dukun bersalin (paraji) hanya mendapatkan pelatihan terkait
pertolongan persalinan selama sebulan di puskesmas. Bahkan ada
dukun bersalin (paraji) yang memang tidak mendapatkan pelatihan
terkait persalinan. Dukun bersalin (paraji) tersebut berpendapat bahwa
kemampuan untuk menolong persalinan sudah ada dalam dirinya sedari
ia dilahirkan karena menurutnya itu merupakan ilmu yang diturunkan
dari orang tuanya (nenek) yang merupakan seorang dukun bersalin
(paraji).
Ibu melahirkan tahu dan paham bahwa tenaga kesehatan yang ada
sudah memiliki kompetensi dibidang ini, akan tetapi ibu melahirkan
tetap lebih memilih dukun bersalin (paraji) sebagai penolong
persalinannya. Ini dikarenakan beberapa alasan yang telah dijelaskan di
sub-bab sebelumnya seperti dukungan suami dan ibu/ibu mertua,
106
pengetahuan, sikap, tingkat pendidikan, status ekonomi, biaya, jarak,
transportasi dan budaya.
Maka dari itu kompetensi petugas kesehatan tidak menjadi salah
satu alasan ibu melahirkan memilih dukun bersalin (paraji) sebagai
penolong persalinannya.
6. 14. Gambaran alasan ibu melahirkan dalam pemilihan penolong
persalinan
Alasan pemilihan penonolong persalinan pada ibu melahirkan di
wilayah kerja Puskesmas Pebayuran dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Diantaranya yakni faktor lingkungan yang terdiri atas dukungan suami
dan dukungan ibu/ibu mertua; faktor predisposisi yang terdiri dari
pengetahuan, sikap, tingkat pendididkan dan status ekonomi; serta
faktor pemungkin yang terdiri atas biaya, jarak, transportasi dan
budaya.
Dari faktor-faktor yang mempengaruhi ibu melahirkan dalam
pemilihan penolong persalinan, faktor predisposisi yang paling
berperan pada pemilihan penolong persalinan. Hal ini terjadi karena
pengaruh dari diri ibu melahirkan sendiri yang paling berpengaruh
dalam pengambilan keputusan. Dimana pengetahuan dan sikap yang
dimiliki oleh ibu melahirkan terhadap penolong persalinan
menyebabkan ibu melahirkan akhirnya memutuskan untuk bersalin
dengan bantuan tenaga non-kesehatan yakni dukun bersalin (paraji).
107
Faktor predisposisi tersebut kemudian didukung oleh faktor lain
yakni lingkungan dan pemungkin. Faktor lingkungan dan pemungkin
ini yang kemudian memperkuat alasan ibu melahirkan dalam
memutuskan penolong persalinannya. Saat pengetahuan dan sikap
menjadi faktor utama ibu melahirkan dalam pemilihan persalinan, ada
faktor lain yang mendukungnya seperti dukungan suami, dukungan
ibu/ibu melahirkan, biaya, jarak, tranportasi serta budaya.
Sebagai tenaga ahli promosi kesehatan, harus bisa membawa
masyarakat untuk mau dan mampu memelihara kesehatan yakni mau
dan mampu mencegah penyakit, melindungi diri dari kesehatan dan
mencari pertolongan pengobatan yang profesional bila sakit. Dengan
kasus yang ada seperti pada penelitian ini seharusnya tenaga kesehatan
menggunakan strategi-strategi dan sasaran tertentu agar peran tenaga
kesehatan tidak kalah dengan peran tenaga non-kesehatan. Strategi-
strategi yang dapat dilakukan pertama dukungan sosial, agar program
atau kegiatan yang dibuat mendapat dukungan dari tokoh masyarakat
setempat karena tokoh masyarakat cukup berpengaruh dalam
lingkungan masyarakat. Nantinya tenaga kesehatan akan melakukan
pendekatan kepada tokoh masyarakat untuk membahas masalah yang
ada serta solusinya karena ada dukun bersalin (paraji) yang merupakan
tokoh masyarakat maka hal ini perlu untuk dilakukan. Kemudian tenaga
kesehatan bisa melakukan pemberdayaan masyarakat agar masyarakat
mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kesehatannya melalui
kepala keluarga atau kerabat lainnya. Pemberdayaan yang dilakukan
108
bisa dengan pemberian informasi terkait kehamilan dan persalinan serta
pendampingan terhadap ibu hamil dengan memanfaatkan kader
posyandu agar ibu hamil tahu akan pentingnya persalinan di tenaga
kesehatan dan kader pun bisa memantau ibu melahirkan saat akan
bersalin agar dibawa ke bidan terdekat maupun ke PONED.
109
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7. 1. Simpulan
1. Alasan ibu melahirkan dalam pemilihan penolong persalinan
dipengaruhi oleh beberapa faktor penentu seperti lingkungan sosial,
predisposisi dan pemungkin. Faktor-faktor tersebut yang menjadi
alasan ibu melahirkan memilih dukun bersalin (paraji) dalam
proses persalinannya.
2. Dari semua faktor-faktor yang ada, faktor predisposisi yang paling
berperan pada pemilihan penolong persalinan yang didalamnya
terdapat faktor pengetahuan, sikap, tingkat pendidikan dan status
ekonomi. Hal ini terjadi karena pengaruh dari diri ibu melahirkan
sendiri yang paling berpengaruh dalam pengambilan keputusan.
Faktor predisposisi tersebut kemudian didukung oleh faktor lain
yakni lingkungan dan pemungkin. Faktor lingkungan dan
pemungkin ini terdiri atas dukungan suami, dukungan ibu/ibu
mertua, biaya, jarak, transportasi, dan budaya. Faktor-faktor
tersebut yang kemudian memperkuat alasan ibu melahirkan dalam
memutuskan penolong persalinannya.
7. 2. Saran
1. Bagi tenaga kesehatan di puskesmas dapat manfaatkan waktu saat
posyandu untuk melakukan pendekatan dan memberi pengertian
kepada ibu hamil agar pandangan negatif mereka terkait persalinan
110
di tenaga kesehatan dapat berubah. Bahwa sebenarnya apa yang
mereka takutkan selama ini salah.
2. Pantau terus ibu hamil terutama pada saat sudah memasuki bulan
melahirkan untuk mencegah terjadinya persalinan di non-nakes.
Manfaatkan kader dari tiap posyandu untuk memantau ibu hamil
tersebut.
3. Bagi ibu melahirkan yang masih menjalankan tradisi turun temurun
melahirkan dengan bantuan dukun bersalin (paraji) bisa tetap
mengikut sertakan dukun bersalin (paraji) dalam proses
persalinannya, akan tetapi bukan sebagai penolong persalinan
melainkan sebagai pendamping. Jadi apabila sudah waktunya
bersalin ibu melahirkan tetap memanggil dukun bersalin (paraji)
untuk menemaninya ke pelayanan kesehatan sampai bayinya lahir.
Kemudian baru nanti perawatan bayinya dengan dukun bersalin
(paraji).
4. Suami sebaiknya tidak langsung mengikuti kemauan istri apabila
keputusannya kurang tepat. Utamakan keselamatan dan kesehatan
istri dan calon buah hati. Saat istri akan melahirkan segera dibawa
ke pelayanan kesehatan terdekat, apabila tidak memungkinkan
untuk dibawa bisa panggil tenaga kesehatan terdekat.
111
DAFTAR PUSTAKA
Achmat, Z. 2010. Theory of Planned Behavior, masihkah Relevan?. Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang
(http://zakarija.staff.umm.ac.id/files/2010/12/Theory-of-Planned-Behavior-
masihkah-relevan1.pdf diakses tanggal 17 Mei 2017, pukul 21.33 WIB).
Aiken, L.R. 2002. Attitude and Related Psychological Constructs. London: Sage
Publication.
Ajzen, I. 2005. Attitudes, Personality and Behavior (Second Edition). New York:
McGraw Hill.
Alhikma. 2015. Studi Fenomenologi Pengalaman Ibu Melahirkan Ditolong Oleh
Dukun Bayi Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Parung Kabupaten
Bogor. Jakart: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta.
Amilda, Nur Latifah. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemilihan
penolong persalinan oleh dukun bayi. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.
Anderson, Foster. 2005. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI-Press.
Astuti, Ana Puji dkk. 2014. Analisis Alasan Pemilihan Penolong Persalinan oleh
Ibu Bersalin di Kabupaten Semarang. Semarang: Jurnal Manajemen
Kesehatan Indonesia.
Bandura, A. 1999. Social Cognitive Theory: An agentic precpective. Asian Journal
of Social Psychology.
112
Badriah, Fase. 2014. Skilled Versus Unskilled Assistance in Home Delivery:
Maternal Complications, Stillbirth and Neonatal Death in Indonesia. J Nurs
Care 3: 198.
Basariah. 2009. Determinan Pemanfaatan Dukun Bayi Dalam Pertolongan
Persalinan Di kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.
Sumatera: Universitas Sumatera Utara.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Pedoman Kemitraan Bidan dan Dukun: Depkes
R.I.
Departemen Kesehatan RI. 1993. Pedoman Supervisi Dukun Bayi: Edisi 3.
Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 1994. Pedoman supervisi dukun bayi. Jakarta.
Departemen Kesehatan. 2001. Rencana Strategi Nasional Making Pregnancy
Safer (MPS) di Indonesia 2001-2010. Jakarta.
Dinas Kesehatan Jawa Barat. 2015. Profil Kesehatan Jawa Barat 2015. Bandung.
Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi. 2015. Profil Kesehatan Kabupaten Bekasi
2015. Bekasi.
Donsu, Amelia. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan
Penolong Persalinan Di Desa Moyongkota Baru Kecamatan Modayag
Barat. Manado: Jurnal Ilmiah Bidan.
Eagly, A.H. & Chaiken, S. 1993. The Psychology of Attitudes. New York:
Harcourt Brace Jovanovich College Publisher.
113
Febriani, Christin Angelina dkk. 2013. Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan
Pemilihan Tenaga Penolong Persalinan di Desa Sidowaluyo Kecamatan
Sidowaluyo Lampung Selatan Tahun 2013. Bandar Lampung: FKM
Universitas Malahayati.
Feldman, R.S. 1995. Social Psychology. New Jersey: Prentice Hall.
Fishbein, M & Icek Ajzen. 1975. Belief, Attitude, Intention and Behavior: an
Introduction to Theory Research. Massachusetts: Addison-Wesley
Publishing Company.
Giles, M. & Cairns, E. 1995. Blood donation and Ajzen’s Theory of Planned
Behavior: An Examination of Perceived Behavioral Control. British Journal
of Social Psychology.
Hayden, J. 2009. Introduction to Health Behavior Theory. USA: Jones and
Bartlett Publisher.
Hogg & Vaughan. 2005. Introduction to Social Psychology. Australia: Prentice
Hall.
Jannah, Nurul. 2012. Buku Ajar Auhan Kebidanan: Kehamilan. Yogyakarta: CV
Andi Offset.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010.
Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013.
Jakarta.
114
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
2012. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Kemitraan Bidan dan Dukun. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Info Datin. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta.
Kirnangsih, dkk. 2015. Karakteristik Ibu Berhubungan dengan Pemilihan Tenaga
Penolong Persalinan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kesehatan, Vol. 2, Nomor
2.
Koentjaraningrat. 1982. Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Koentjaraningrat. 1982. Ilmu-ilmu sosial dan pembangunan kesehatan. Prosiding
Seminar Ilmu- Ilmu Sosial dalam Pembangunan Kesehatan. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Madden, T.J, Ellen, P.S and Ajzen, I. 1992. A Comparison of The Theory of
Planned Behavior and Theory of Reasoned Action. Personality and Social
Psychology Bulletin.
Manuaba, Ida Bagus Gde. 2006. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan
Keluarga Berencana untuk pendidikan bidan. Surakarta: EGC.
Meilani, Niken dkk. 2009. Kebidanan Komunitas. Yogyakarta: Fitramaya.
115
Moleong, L. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Mutiah, D. 2016. Pengembangan Model Modifikasi Perilaku Untuk Meningkatkan
Keterampilan Sosial Anak. Jurnal Pendidikan Usia Dini.
Nuraeni, Siti. 2012. Perilaku Pertolongan Persalinan Oleh Dukun Bayi di
Kabupaten Karawang 2011. Purwokerto: Kesehatan Masyarakat Universitas
Jenderal Soedirman.
Nurfadillah, Siti. 2013. Pengalaman Ibu Melahirkan di Paraji/Dukun Bayi di
Desa Naglasari Kecamatan Kadungora Garut. Bandung: Universitas
Padjajaran.
Nola, Mary. 1996. Kehamilan dan Melahirkan. Jakarta: Penerbit Arcan.
Notoadmodjo, Sokidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka.
Prayogo, S. 2016. Perilaku Menyontek Dalam Kajian Teori Kognitif Sosial Albert
Bandura. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Parenden, Relik Diana. 2015. Analisis Keputusan Ibu Memilih Penolong
Persalinan Di Wilayah Puskesmas Kabila Bone. Manado: Bapelkesman
Propinsi Gorontalo
Rakhmawaty, P.M. 2010. Pengaruh Sikap, Norma Subjektif, Perceived
Behavioral Control (PBC), dan Pemberian Contoh Produk pada Konsumen
Terhadap Intensi Membeli Susu Anmum Essential. Jakarta: Fakultas
Psikologi UIN Jakarta.
116
Rohani, dkk. 2011. Asuhan Pada Masa Persalinan. Jakarta: Salemba Medika.
Royston, Erica. 1994. Pencegahan Kematian Ibu Hamil. Jakarta: Penerbit
Binarupa Aksara.
Saifuddin, Abdul Bari, dkk. 2009. Buku Acuan Nasional Pelayanan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Setiawati, Gita. 2010. Modal Sosial Dan Pemilihan Dukun Dalam Proses
Persalinan: Apakah Relevan?. Makara, Kesehatan vol 14, no.1 Juni 2010 :
11-16.
Simanjuntak, P Harto. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemilihan
penolong persalinan di wilayah kerja puskesmas sipahutar Kecamatan
Sipahutar Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012. Sumatera: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Simkin, Penny, dkk. 2007. Kehamilan, Melahirkan, & Bayi: Panduan Lengkap.
Jakarta: Arcan.
Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Supartini, 2004, Pelayanan Kesehatan Bagi Ibu hamil. Jakarta: EGC.
Suprapto, 2003, Komplikasi Persalinan dan Risiko Kematian ibu. Jakarta: EGC.
Syarifudin dkk. 2009. Kebidanan Komunitas. Jakarta: EGC.
UNICEF Indonesia. 2012. Ringkasan Kajian Kesehatan Ibu dan Anak.
117
Winknjosastro, Hanifa. 2005. Imu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Yenita, Sri. 2011. Faktor Determinan Pemilihan Tenaga Penolong Persalainan di
Wilayah Kerja Puskesmas Desa Baru Kabupaten Pasaman Barat Tahun
2011. Padang: Universitas Andalas.
Zalbawi. 2006. Pemilihan Tenaga Penolong Persalinan, diakses dari
http:/www.google.co.id tanggal 15 September 2016.
118
LAMPIRAN
INFORMED CONCERN
Alasan Pemilihan Penolong Persalinan di Non-Nakes Pada Ibu Melahirkan
di Wilayah Kerja Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi Tahun 2016
Assalamu’alaikum Wr Wb.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah Mahasiswa Program Studi
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Nama : Annisa Ayu Safitri Laraswati
NIM : 1113101000018
Sedang melakukan penelitian sebagai tugas akhir saya dengan judul
“Alasan Pemilihan Penolong Persalinan di Non-Nakes Pada Ibu Melahirkan
di Wilayah Kerja Puskesmas Pebayuran Kabupaten Bekasi Tahun 2016”.
Saya berharap ibu/bapak bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini
dengan memberikan keterangan secara luas, bebas, mendalam, benar dan jujur.
Hasil informasi dan keterangan yang ibu/bapak berikan nantinya akan dijadikan
bahan masukan dan evaluasi bagi Puskesmas Pebayuran. Peneliti juga memohon
izin untuk merekam pembicaraan selama proses wawancara berlangsung. Semua
informasi yang ibu/bapak berikan akan terjamin kerahasiaannya dan hanya akan
digunakan untuk kepentingan penelitian.
Terima kasih atas kesediaan ibu untuk ikut serta di dalam penelitian ini.
Wassalamu’alaikum Wr Wb.
Peneliti,
Annisa Ayu Safitri L
119
Instrumen Penelitian
No. Responden :
Nama :
Umur : Tahun
Pendidikan :
No. Telepon :
Alamat :
Tanggal Bersalin :
PEDOMAN WAWANCARA
Umum
1. Berapa penghasilan keluarga ibu tiap bulannya?
2. Kenapa ibu memilih dukun bersalin (paraji) dalam menolong persalinan?
Lingkungan
3. Pada saat memilih dukun bersalin (paraji) untuk menolong persalinan,
apakah suami ibu mendukung sepenuhnya?
Probing
- Jika iya, apakah ibu setuju dengan dukungan tersebut? Kenapa?
- Jika tidak, apakah ibu tetap melakukan persalinan oleh dukun bersalin
(paraji) atau tidak? Kenapa?
4. Bagaimana cara suami ibu membujuk agar ibu melahirkan dibantu oleh
dukun bersalin (paraji) sehingga ibu mau untuk menurutinya?
5. Pada saat memilih dukun bersalin (paraji) untuk menolong persalinan,
apakah orang tua ibu mendukung sepenuhnya?
Probing
- Jika iya, apakah ibu setuju dengan dukungan tersebut? Kenapa?
- Jika tidak, apakah ibu tetap melakukan persalinan oleh dukun bersalin
(paraji) atau tidak? Kenapa?
6. Bagaimana cara orang tua ibu membujuk agar ibu melahirkan dibantu oleh
dukun bersalin (paraji) sehingga ibu mau untuk menurutinya?
Predisposisi
7. Menurut ibu persalinan aman itu seperti apa?
120
8. Menurut ibu apakah melahirkan dibantu oleh dukun bersalin (paraji) itu
aman?
Probing
- Jika aman, kenapa ibu bisa mengatakan bahwa melahirkan dibantu oleh
dukun bersalin (paraji) itu aman?
- Jika tidak aman, kenapa ibu bisa mengatakan bahwa melahirkan
dibantu oleh dukun bersalin (paraji) itu tidak aman?
9. Menurut ibu apakah melahirkan dibantu oleh dukun bersalin (paraji) itu
merupakan pilihan yang tepat?
Probing
- Jika tidak, kenapa ibu tetap memilih dukun bersalin (paraji) sebagai
penolong persalinan padahal ibu tau bahwa itu merupakan pilihan yang
tidak tepat?
10. Menurut ibu apakah melahirkan dibantu oleh dukun bersalin (paraji) itu
berisiko/berbahaya bagi keselamatan ibu dan bayi? Kenapa?
Probing
- Jika iya, kenapa ibu tetap memilih dukun bersalin (paraji) sebagai
penolong persalinan padahal ibu tau bahwa melahirkan oleh dukun
bersalin (paraji) itu berisiko/berbahaya bagi keselamatan ibu dan bayi?
11. Bagaimana tanggapan ibu setelah melahirkan oleh dukun bersalin
(paraji)? Apa yang ibu rasakan?
Probing
- Jika buruk, kejadian buruk apa yang terjadi? Apabila nanti ibu hamil
dan melahirkan lagi apakah ibu akan tetap meminta bantuan dukun
bersalin (paraji) dalam proses persalinan? Kenapa?
Pemungkin
12. Apakah biaya persalinan di dukun bersalin (paraji) tergolong murah
menurut ibu?
Probing
- Jika iya, mengapa ibu lebih memilih melahirkan dibantu oleh dukun
bersalin (paraji) dengan biaya yang murah daripada melahirkan dibantu
oleh bidan di puskesmas padahal puskesmas sudah PONED dan gratis?
121
- Jika tidak, mengapa ibu tetap memilih melahirkan dibantu oleh dukun
bersalin (paraji) padahal biayanya mahal?
13. Apakah jarak antara rumah ibu dengan puskesmas jauh?
Probing
- Jika iya, mengapa ibu tidak mencoba pergi ke bidan desa atau
memanggil bidan desa untuk datang kerumah ibu dan menolong ibu
melakukan proses persalinan?
- Jika tidak, mengapa ibu lebih memilih melahirkan dirumah dengan
dibantu oleh dukun bersalin (paraji) padahal jarak dari rumah ibu ke
puskesmas tidaklah jauh?
14. Apakah jarak antara rumah ibu dengan rumah dukun bersalin dekat?
Probing
- Jika tidak, kenapa ibu memilih dukun bersalin (paraji) padahal jaraknya
jauh dari rumah ibu?
15. Apakah transportasi menjadi salah satu alasan ibu memilih melahirkan
dibantu oleh dukun bersalin (paraji)? Kenapa?
16. Apakah ada budaya tertentu bagi ibu terkait penolong persalinan?
Probing
- Jika iya, budaya apa dan seperti apa? Apakah budaya tersebut
mempengaruhi ibu dalam memilih penolong persalinan?
- Jika iya, sebesar apa pengaruhnya bagi diri ibu sehingga ibu mau
melakukan persalinan dibantu oleh dukun bersalin (paraji)? Kenapa
ibu tidak berniat untuk melahirkan di tenaga kesehatan saja?
- Jika tidak, kenapa ibu tetap memilih melahirkan dibantu oleh dukun
bersalin (paraji) padahal budaya itu tidak berpengaruh pada ibu?
17. Apakah ada pantrangan atau larangan tertentu yang ibu yakini sehingga
dapat berpengaruh dalam proses persalinan?
Probing
- Jika iya, pantrangan atau larangan seperti apa? Apakah ibu melakukan
pantrangan atau larangan tersebut? Kenapa?
Sistem kesehatan
122
18. Menurut ibu apakah alat-alat yang digunakan oleh dukun bersalin (paraji)
untuk membantu proses persalinan sudah lengkap dan steril?
Probing
- Jika tidak, kenapa ibu tetap melakukan persalinan dibantu oleh dukun
bersalin (paraji) padahal ibu tahu bahwa alat yang digunakan tidak
lengkap dan tidak steril?
19. Menurut ibu apakah alat-alat yang digunakan di puskesmas untuk
membantu proses persalinan sudah lengkap dan steril?
Probing
- Jika iya, kenapa ibu tetap melakukan persalinan dibantu oleh dukun
bersalin (paraji) padahal alat-alat persalinan di puskesmas lebih
lengkap dan steril?
20. Menurut ibu apakah sarana dan prasarana puskesmas sudah memadai dan
cukup baik?
Probing
- Jika sudah, kenapa ibu tidak memilih untuk bersalin di puskesmas
padahal sarana dan prasarananya sudah memadai dan cukup baik?
123
Nama :
Usia :
No. Telepon :
Alamat :
PEDOMAN WAWANCARA
1. Sudah berapa lama ibu menjadi dukun bersalin (paraji)?
2. Darimana ibu mendapatkan ilmu untuk menolong persalinan?
3. Apakah ibu pernah mendapatkan pelatihan dari tenaga kesehatan terkait
menolong persalinan?
Probing
- Jika iya, pelatihan seperti apa yang ibu dapatkan?
4. Apakah ibu melakukan kemitraan atau kerjasama dengan pihak
puskesmas?
Probing
- Jika iya, kerjasama seperti apa yang terjalin antara ibu dengan pihak
puskesmas?
- Jika tidak, kenapa?
5. Apakah ibu tahu informasi bahwa saat ini persalinan harus ditolong oleh
tenaga kesehatan agar mengurangi risiko bagi ibu dan bayi?
Probing
- Jika iya, apakah ibu masih menolong proses persalinan?
- Jika masih, kenapa ibu masih menolong proses persalinan?
- Jika tidak, apakah tidak ada sosialisasi dari pihak puskesmas terkait
informasi ini?
6. Berapa ibu bersalin yang melakukan persalinan dibantu oleh ibu ditahun
2016?
7. Apa alasan yang ibu (paraji) ketahui terkait pemilihan ibu bersalin yang
lebih memilih ibu (paraji) untuk membantu proses persalinannnya?
8. Apakah pengaruh dari suami dan orang tua mempengaruhi ibu bersalin?
Probing
- Jika iya, pengaruh seperti apa yang bisa menguatkan ibu bersalin untuk
memilih melahirkan dibantu oleh dukun bersalin (paraji)?
9. Apakah ibu memasang tarif tertentu untuk menolong persalinan?
124
10. Apakah jarak yang dekat mempengaruhi ibu bersalin sehingga lebih
memilih ditolong oleh ibu (paraji)?
Probing
- Jika tidak, apakah ibu tau alasan ibu bersalin lebih memilih dibantu
oleh ibu (paraji) padahal jarak antara rumahnya dengan rumah ibu
jauh?
11. Apakah ada tradisi tertentu yang berlaku disini terkait pemilihan penolong
persalinan?
Probing
- Jika iya, tradisi seperti apa?
12. Apakah ada pantrangan atau larangan tertentu yang dapat mempengaruhi
ibu bersalin dalam proses persalinan?
Probing
- Jika iya, pantrangan atau larangan seperti apa? Apakah setiap ibu
besalin harus mematuhinya?
13. Apakah alat-alat yang ibu gunakan saat membantu melakukan proses
persalinan sudah lengkap dan steril?
14. Apakah ibu tahu tanda-tanda bahaya dan risiko apa saja dalam proses
persalinan?
Probing
- Jika tahu, apakah ibu tau bagaimana cara mengatasinya?
- Jika tidak, apa yang akan ibu lakukan apabila hal tersebut terjadi?
125
Nama :
Usia :
No. Telepon :
Alamat :
Hubungan : Suami/Ibu
PEDOMAN WAWANCARA
1. Apakah bapak/ibu ikut memutuskan dalam pemilihan penolong persalinan
pada ibu bersalin?
Probing
- Jika iya, apa alasan bapak/ibu memilih dukun bersalin (paraji) untuk
membantu proses persalinan ibu bersalin?
- Jika tidak, apakah bapak/ibu mencoba untuk melarang ibu bersalin agar
tidak melakukan persalinan oleh dukun bersalin (paraji)? Jika tidak,
kenapa?
2. Menurut bapak/ibu apakah melahirkan dibantu oleh dukun bersalin
(paraji) itu aman?
Probing
- Jika aman, kenapa bapak/ibu bisa mengatakan bahwa melahirkan
dibantu oleh dukun bersalin (paraji) itu aman?
- Jika tidak aman, kenapa bapak/ibu bisa mengatakan bahwa melahirkan
dibantu oleh dukun bersalin (paraji) itu tidak aman? Lalu kenapa
bapak/ibu tetap mendukung hal tersebut?
3. Menurut bapak/ibu apakah melahirkan dibantu oleh dukun bersalin
(paraji) itu merupakan pilihan yang tepat?
Probing
- Jika tidak, kenapa bapak/ibu tetap memilih dukun bersalin (paraji)
sebagai penolong persalinan padahal bapak/ibu tau bahwa itu
merupakan pilihan yang tidak tepat?
4. Menurut bapak/ibu apakah melahirkan dibantu oleh dukun bersalin
(paraji) itu berisiko/berbahaya bagi keselamatan ibu dan bayi? Kenapa?
Probing
- Jika iya, kenapa bapak/ibu tetap memilih dukun bersalin (paraji)
sebagai penolong persalinan padahal bapak/ibu tau bahwa melahirkan
126
oleh dukun bersalin (paraji) itu berisiko/berbahaya bagi keselamatan
ibu dan bayi?
5. Apakah biaya persalinan di dukun bersalin (paraji) tergolong murah
menurut bapak/ibu?
Probing
- Jika iya, mengapa bapak/ibu lebih memilih dukun bersalin (paraji)
dengan biaya yang murah daripada melahirkan dibantu oleh bidan di
puskesmas padahal puskesmas sudah PONED dan gratis?
- Jika tidak, mengapa bapak/ibu tetap memilih dukun bersalin (paraji)
padahal biayanya mahal?
6. Apakah jarak antara rumah dengan puskesmas jauh?
Probing
- Jika iya, mengapa bapak/ibu tidak mencoba pergi ke bidan desa atau
memanggil bidan desa untuk datang kerumah dan menolong proses
persalinan?
- Jika tidak, mengapa bapak/ibu lebih memilih melahirkan dirumah
dengan dibantu oleh dukun bersalin (paraji) padahal jarak dari rumah
ke puskesmas tidaklah jauh?
7. Apakah jarak antara rumah dengan rumah dukun bersalin dekat?
Probing
- Jika tidak, kenapa bapak/ibu memilih dukun bersalin (paraji) padahal
jaraknya jauh dari rumah?
8. Apakah transportasi menjadi salah satu alasan bapak/ibu memilih dukun
bersalin (paraji)? Kenapa?
9. Apakah ada tradisi tertentu bagi ibu terkait penolong persalinan?
Probing
- Jika iya, tradisi apa dan seperti apa? Apakah tradisi tersebut
mempengaruhi bapak/ibu?
- Jika iya, sebesar apa pengaruhnya sehingga bapak/ibu setuju
memilih dukun bersalin (paraji)? Kenapa tidak memilih tenaga
kesehatan saja?
127
- Jika tidak, kenapa bapak/ibu tetap memilih dukun bersalin (paraji)
padahal tradisi itu tidak berpengaruh?
10. Apakah bapak/ibu yakin bahwa alat-alat yang digunakan oleh dukun
bersalin (paraji) untuk melakukan proses persalinan sudah lengkap dan
steril?
128
Nama :
Usia :
No. Telepon :
Alamat :
PEDOMAN WAWANCARA
1. Apa latar belakang pendidikan ibu?
Probing
- Jika bukan bidan, apakah ibu mendapatkan pendidikan lanjutan terkait
kebidanan?
2. Sudah berapa lama ibu menjadi bidan?
3. Apakah masyarakat disini semuanya melakukan persalinan di tenaga
kesehatan?
4. Apakah ibu tahu bahwa masih ada beberapa masyarakat yang melahirkan
di non tenaga kesehatan yakni dukun bersalin (paraji)?
- Jika tahu, apakah tidak ada tindakan dari pihak tenaga kesehatan melihat
kasus seperti itu?
- Jika tidak, mengapa sampai bisa tidah tahu? Apakah tidak ada survey atau
pendataan dari pihak puskesmas ke lapangan?
5. Apakah puskesmas telah melakukan kemitraan atau kerjasama dengan
para dukun bersalin (paraji)?
Probing
- Jika iya, kerjasama seperti apa yang terjalin antara puskesmas dengan
dukun bersalin (paraji)?
- Jika tidak, kenapa?
6. Apakah para dukun bersalin (paraji) sudah diberi informasi bahwa saat ini
persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan agar mengurangi risiko
bagi ibu dan bayi?
Probing
- Jika tidak, apakah tidak ada sosialisasi dari pihak puskesmas terkait
informasi ini?
7. Apa alasan yang ibu (bidan) ketahui terkait pemilihan ibu bersalin yang
lebih memilih dukun bersalin (paraji) untuk membantu proses
persalinannnya?
129
8. Apakah pengaruh dari suami dan orang tua mempengaruhi ibu bersalin?
Probing
- Jika iya, pengaruh seperti apa yang bisa menguatkan ibu bersalin untuk
memilih melahirkan dibantu oleh dukun bersalin (paraji)?
9. Apakah biaya mempengaruhi ibu dalam pemilihan penolong persalinan?
10. Apakah jarak yang dekat mempengaruhi ibu bersalin sehingga lebih
memilih ditolong oleh dukun bersalin (paraji)?
Probing
- Jika tidak, apakah ibu tau alasan ibu bersalin lebih memilih dibantu
oleh dukun bersalin (paraji) padahal jarak antara rumahnya dengan
rumah dukun bersalin (paraji) jauh?
11. Apakah ada tradisi tertentu yang berlaku disini terkait pemilihan penolong
persalinan?
Probing
- Jika iya, tradisi seperti apa?
12. Apakah ada pantrangan atau larangan tertentu yang dapat mempengaruhi
ibu bersalin dalam proses persalinan?
Probing
- Jika iya, pantrangan atau larangan seperti apa? Apakah setiap ibu
besalin harus mematuhinya?
13. Apakah sarana dan prasarana yang ada untuk membantu melakukan proses
persalinan sudah lengkap dan steril?
130
MATRIKS WAWANCARA
Matriks Wawancara 1
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
1) Dukungan suami
- Informan 1
“suami mah ngedukung
aja teh soalnya sayanya
emang pengennya lahiran
sama paraji, jadi ga
maksa kudu lahiran disini
lah disana lah gitu. Ya
karena suami juga
ngedukung jadi yaudah
saya emang lahiran sama
paraji akhirnya”
“iya. Lagian juga udah
kepepet jadi yang deket
aja panggil jadi mimih.”
“ya ada aja yang ngaruh.
Biasanya yang ga
mampu, takut kalo di
bidan bayarnya gede.
Ntar kan kalo mandiin
bayinya sehari-hari
bayar lagi buat paraji.
Kalo sama paraji kan
bayarnya sekali doang
buat lahiran sama ngurus
bayinya juga.”
Dukungan suami sangat
berperan dalam pemilihan
penolong persalinan pada
informan 1. Karena
informan utama ingin
melahirkan dengan
bantuan dukun bersalin
(paraji), sehingga suami
mengikuti kemauan
istrinya. Bahkan sang
suami yang memanggil
langsung dukun bersalin
131
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
(paraji) ke rumahnya.
- Informan 2
“...engga emang niat
saya sendiri. Orang tua
sama suami mah
ngedukung-dukung aja..”
“iya. Soalnya emang
dianya pengen lahir di
paraji katanya, ya sama
mah gimana enaknya dia
aja.”
“...kan ga semua orang
ada ya neng jadi kadang
kalo istrinya mau lahiran
sama bidan tapi
suaminya cuma dagang
cilok atau mainan gitu
kan uangnya dikit jadi
suaminya nyuruh sama
paraji gitu. Kan kalo
paraji mah dibayar
seikhlasnya neng. Adanya
berapa ya diterima aja”
Dukungan suami juga
sangat berperan dalam
pemilihan penolong
persalinan pada informan
2. Ini dikarenakan suami
mengikuti kemauan
istrinya untuk melakukan
persalinan dengan
bantuan dukun bersalin
(paraji).
- Informan 3 “ya ngedukung, abisnya
ga ada bidan ya gimana
“dukung-dukung aja dia
mah soalnya kan
“jelas pengaruh banget.
Tapi sekarang di
Dukungan suami juga
berperan dalam pemilihan
132
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
hehehe (tertawa)” bidannya susah juga
waktu itu, ada paraji
yang deket yaudah aja
sama paraji”
posyandu, di tiap desa, di
tiap kecamatan udah
dikasih tau kalo
melahirkan harus di
tenaga kesehatan.”
penolong persalinan pada
informan 3. Dimana saat
itu bidan memang sedang
susah di cari karena
sedang mudik.
2) Dukungan ibu/ibu
mertua
- Informan 1
“emak mah dukung aja
sih teh”
“cari yang deket weh
neng da malem-malem
waktu itu kerasanya teh.
Lagian ge emang udah
biasa sama paraji dari
dulu jaman ibu juga”
“Ada aja yang disuruh
sama orang tuanya ya
suaminya, tapi ibu mah
ga maksa neng kalo
emang mau di bidan hayu
dianter gitu.”
Dukungan ibu/ibu mertua
berperan dalam pemilihan
penolong persalinan pada
informan 1 karena ibu
mertuanya sudah kenal
dekat dengan dukun
bersalin (paraji) seperti
saudara sendiri. Selain itu
133
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
ibu/ibu mertua dari
informan 1 pun dahulu
melahirkan dengan
bantuan dukun bersalin
(paraji) tersebut.
- Informan 2
“...engga emang niat
saya sendiri. Orang tua
sama suami mah
ngedukung-dukung aja..”
“engga sih neng ibu mah
ngikutin anaknya weh
maunya sama siapa”
Dukungan ibu/ibu mertua
berperan dalam pemilihan
penolong persalinan pada
informan 2. Lalu ibu dari
informan 2 pun
menyetujui keputusan
informan 2 untuk
melakukan persalinan
dengan bantuan dukun
bersalin (paraji) asalkan
134
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
anak dan cucunya
selamat.
- Informan 3
“..ya orang tua juga
ngedukung aja teh..”
“setuju aja saya mah
yang penting selamet”
Dukungan ibu/ibu mertua
pun didapatkan oleh
informan 3. Ibu dari
informan 3 mengikuti dan
mendukung keinginan
anaknya untuk
melakukan persalinan
dengan bantuan dukun
bersalin (paraji).
3) Pengetahuan
- Informan 1
”Persalinan aman?
Kayak gimana ya
hehehehe kurang tau sih
“ya persalinan yang ga
kenapa-kenapa. Yang
selamat bayi sama
“persalinan aman ya
ditolong sama yang
emang ahli dibidangnya
Pengetahuan informan 1
dan suami masih kurang
terkait persalinan. Mereka
135
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
saya mah alhamdulillah
aman-aman aja
lahirnya”
ibunya” kayak dokter atau bidan,
terus yang nolongnya
punya izin, keterampilan
dan alat untuk menolong
persalinan”
tidak mengetahui apa dan
bagaimana persalinan
yang aman.
- Informan 2
“Persalinan aman? aman
lahirnya gitu ya? ya
gimana ya ehehehe
(tertawa) kurang tau sih
hahaha (tertawa)”
“gatau saya ga sekolah
tinggi sih soalnya hahaha
(tertawa).”
Pengetahuan informan 2
dan suaminya pun masih
kurang terkait persalinan.
Mereka tidak mengetahui
apa dan bagaimana
persalinan yang aman.
- Informan 3
“mau lahir di bidan atau
di paraji ya sama-sama
aman sih teh soalnya kan
sama-sama punya bakat
bantuin lahiran”
“ya mau lahirin di puskes
“persalinan aman ya
yang lahirnya aman-
aman aja kali gitu ya ga
ada kendalanya”
Pengetahuan informan 3
dan suami juga masih
kurang terkait persalinan.
Mereka hanya sebatas
mengetahui bahwa
persalinan aman adalah
136
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
atau di rumah ge kalo
dibantuinnya sama yang
bisa mah aman-aman aja,
kalo dibantuinnya sama
yang ga bisa tuh baru
berabe hahaha. Kalo
misalnya kita lahirnya di
puskes tapi yang
nolongnya bukan bidan
gitu misalnya ya sarua
weh jeung bohong
hahaha”
persalinan yang ditolong
oleh bidan.
4) Sikap terhadap
kesehatan
- Informan 1 “Mau lahiran sama siapa “ya aman ga aman. Kalo “Kadang suka banyak Sikap informan 1
137
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
aja juga sama aja teh,
mau sama bidan kek mau
paraji kek ya sama aja
kan sama-sama bisa
nolongin lahiran jadi ya
sama siapa juga tepat-
tepat aja”
“Engga sih ga bahaya,
ini sih saya ga kenapa-
kenapa. Kalo bahaya
mah ga bakal pada mau
atuh teh lahiran di paraji
hahaha”
amannya ya mungkin
mimih juga udah
pengalaman, kalo ga
amannya itu ya harus
dibarengi sama bidan
takut kenapa-kenapa.
Aman kalau dibarengi
sama bidan. Tapi pas istri
saya lahir mah cuma
mimih aja, nah pas udah
lahir baru bidannya
dateng.”
yang gamau ke puskes
katanya “alim bu seeur
nu belajar” banyak yang
praktek tea neng. Jadi
pada takut ga mau, bisi
jadi bahan cobaan da
seeur nu magang tea di
puskes mah. Ya coba aja
bali udah keluar, udah
nih diiniin sama senior
“hayu neng, kayak gini”
ntar teh salah, di
contohin lagi. Haduh
geus gregeten teh ibu
mah, bener geregetan ibu
terhadap kesehatan masih
kurang. Karena
menurutnya, melahirkan
di nakes ataupun di non-
nakes sama saja.
- Informan 2 “kita sih baik-baik aja
alhamdulillah ya lahirin
“aman-aman aja sih kan
paraji juga udah
Sikap informan 2
terhadap kesehatan masih
138
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
sama maraji. Jadi ya
aman-aman bae..”
“...kalo ga tepat mah
kaga bakal jadi lahir teh
hahaha (tertawa) kan
maraji mah emang
tukang bantuin lahiran,
kalo kita lahiran sama
yang ga ahli baru ga
tepat gitu.”
“engga sih gak bahaya,
kan emang udah
pagaweannya nolongin
orang lahiran. Lagian
maraji kan juga punya
pengalaman lama dari
dulu.”
mah neng. Puguh orang
lagi buru-buru biar cepet
selesai malah dipake buat
percobaan. Kalo pasien
yang ibu bawa kesana
mah suka ibu omelin
anak prakteknya “udah
jangan dipake praktek
udah deh lanjutin ah
buru-buru” gitu,
makanya saya mah
disebutnya paraji rewel
hahaha.”
“ya itu tadi pada takut di
kurang. Menurutnya,
melahirkan di non-nakes
merupakan pilihan yang
tepat. Karena dukun
bersalin (paraji) memiliki
kemampuan untuk
menolong persalinan.
139
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
ilmunya buat nolongin
lahiran kayak bidan
dokter gitu sama aja..”
suntik lah, terus kalo di
bidan kan suka di robek
jadi ya pada takut. Terus
juga kalau orang yang ga
punya kan ga pada mau
di bidan..”
- Informan 3
“ya enak sih enak, lebih
nyamanan di paraji sih
teh. Ya soalnya takut kalo
di bidan mah haha
(tertawa). Ya ngedenger
mah ngedenger ceunah
di bidan gini-gini gitu. Ya
katanya belom apa anak
belom ngajak gitu udah
di gunting di gunting gitu
jadinya ngeri. Kalo mak
paraji kan dia mah
“lebih aman sama bidan
sih”
“ya takutnya kalo ada
apa-apa kan paraji alat-
alatnya ga kayak bidan
segala ada gitu”
“ya berisiko sih tapi mau
gimana lagi ya dari pada
anak saya brojol duluan
ga ada yang nolong jadi
mending cari yang pasti
Sikap informan 3
terhadap kesehatan pun
masih kurang. Ia tau
bahwa melahirkan lebih
aman di bidan, akan
tetapi tetap melakukan
persalinan oleh dukun
bersalin (paraji).
140
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
sabar..”
“ya engga sih teh. Ga
bahaya.”
aja gitu deket”
5) Tingkat pendidikan
- Informan 1 MTs SMA
S1 Kebidanan
SMP
SD
Tingkat pendidikan yang
rendah mempengaruhi
pengetahuan informan
terhadap pemilihan
penolong persalinan.
- Informan 2 SMP SMP
Tingkat pendidikan yang
rendah mempengaruhi
pengetahuan informan
terhadap pemilihan
penolong persalinan.
141
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
- Informan 3 SMP SD
Tingkat pendidikan yang
rendah mempengaruhi
pengetahuan informan
terhadap pemilihan
penolong persalinan.
6) Status ekonomi
- Informan 1 Rendah Rendah “ya kalo orang ga punya
mah ke dukun neng, kan
murah dukun mah. Bidan
mah mahal bisa jutaan”
Status ekonomi yang
rendah menjadi salah satu
faktor informan memilih
dukun bersalin (paraji)
untuk membantu proses
persalinannya.
- Informan 2 Rendah Rendah
Status ekonomi yang
rendah menjadi salah satu
faktor informan memilih
142
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
dukun bersalin (paraji)
untuk membantu proses
persalinannya.
- Informan 3 Cukup Cukup
Status ekonomi informan
tidak terlalu berperan
dalam pemilihan
penolong persalinan.
7) Biaya
- Informan 1
“Iya murah, lebih murah
lahiran di paraji
dibanding di bidan sama
di rumah sakit,
seikhlasnya sih kalau
paraji mah teh hahaha.
Iya sih si puskes mah
“ya ringan sih murah.”
“poned iya gratis, tapi
bayar juga. Ya ada yang
minta biaya buat bantuin
lahirin itu kan buat
bidan-bidannya jadi tetep
“engga di target paraji
mah sengasihnya dia.
Kalo bidan kan di target,
sekarang mah bidan
sejuta lebih. Sekarang
mah udah ga ada yang
dibawah sejuta,
Biaya menjadi salah satu
alasan infoman lebih
memilih dukun bersalin
(paraji) sebagai penolong
persalinannya. Karena
dukun bersalin (paraji)
tidak memasang tarif,
143
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
gratis, tapi jauh teh ribet
mending dirumah aja da
parajinya juga deket ini
rumahnya”
bayar.” semuanya diatas sejuta.
Apalagi yang tindakan
mah model diinfus,
dijahit, udah mahal lah.”
“Ya engga atuh neng
saya mah dibayar
seikhlasnya aja, ada
berapapun saya terima
asal yang ngasihnya
ikhlas..”
“..biasanya sih
Rp.200.000,- sampai
tetapi hanya dibayar
seikhlasnya saja.
- Informan 2
“Ya murahan ama maraji
sih..”
“iya murah, dibayarnya
seadanya kita aja teh.”
“ke puskes takut sih teh
bisi ada bayaran apanya
gitu misalnya
administrasi atau apa.
Saya kan cuma kuli teh
ngeri nanti ada
perintilan-perintilan
bayaran hehe (tertawa)”
Biaya menjadi salah satu
alasan infoman lebih
memilih dukun bersalin
(paraji) sebagai penolong
persalinannya. Karena
dukun bersalin (paraji)
tidak memasang tarif,
tetapi hanya dibayar
seikhlasnya saja.
- Informan 3 “murah sih teh kalo di “murah sih terus kan Biaya menjadi salah satu
144
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
itung-itung mah” paraji mah sekali bayar
teh sekalian sama ngurus
anaknya juga sampe
puput puser.”
“deuh neng boro-boro
PONED suka ada aja
bayarnya mah, ga gratis
semuanya.”
Rp.500.000,- tergantung
keadaan orangnya,
kadang cuma dibayar
Rp.100.000,- ,
Rp.150.000,-. Kalau
emang orang ga punya
biasanya mah ngasihnya
beras neng sekarung atau
setengah karung, hayam
juga suka dikasih ibu
mah ya apa aja ibu
terima asal ikhlas weh
udah hahaha”
alasan infoman lebih
memilih dukun bersalin
(paraji) sebagai penolong
persalinannya. Karena
dukun bersalin (paraji)
tidak memasang tarif,
tetapi hanya dibayar
seikhlasnya saja.
8) Jarak
- Informan 1 ”Deket pisan teh itu “deket itu dibelakang “Ga terlalu ngaruh Jarak berperan penting
145
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
rumahnya dibelakang
rumah ini hahaha tinggal
diteriakin doang lah
istilahnya langsung
datang, cepet jadinya”
“ada sih jalan lain, tapi
jauh pisan. Jatohnya
kayak muterin desa teh
hampir ke desa
karangjaya”
rumahnya nih cuma
kehalangan rumah itu aja
(menunjuk rumah)”
teuing jarak mah neng,
tergantung orangnya
“uhuk-uhuk, aduh ini
batuk wae”. Ada yang
pengennya ke bidan yang
jauh pisan. Ada oge yang
pengen sama ibu da deket
tea neng tinggal jalan ga
nyampe setengah jam.
Gimana orangnya.”
“ga ngaruh jarak mah,
orang yang mih bantu
pada deket rumahnya ke
bidan endang sama ke
dalam pemilihan penolng
persalinan pada informan.
Karena jarak rumah
dukun bersalin (paraji)
dekat dengan rumah
informan, sedangkan
jarak dari rumah
informan ke puskesmas
cukup jauh.
- Informan 2
“lumayan jauh
puskesmas mah sekitar 10
kiloan lah kira-kira, terus
jalan tengah sawah itu
kan jelek. Ntar lagi mules
“puskes emang rada jauh
sih, kalo paraji mah kan
deket tinggal jalaln dikit
kesana”
Jarak berperan penting
dalam pemilihan penolng
persalinan pada informan.
Karena jarak rumah
dukun bersalin (paraji)
146
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
ke oyag-oyag perutnya
bahaya bisa lahir ntar
anaknya dijalan hahaha
(tertawa)”
puskesmas.” dekat dengan rumah
informan, sedangkan
jarak dari rumah
informan ke puskesmas
cukup jauh.
- Informan 3
“deket sih teh, tapi
deketan mak paraji”
“puskes ya ga jauh-jauh
amat neng tapi kan cari
yang terdekat aja buat
pertolongan pertama.
Kan paraji lebih dekat
rumahnya”
Jarak berperan penting
dalam pemilihan penolng
persalinan pada informan.
Karena jarak rumah
dukun bersalin (paraji)
jauh lebih dekat dekat
dengan rumah informan,
dari pada jarak ke
puskesmas.
9) Transportasi
147
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
- Informan 1
“..ga punya mobil kan
susah neng kalo naik
motor jadi mending
lahirnya dirumah. Mau
pake ambulan puskes
juga kelamaan
perjalanan dari puskes
kesini terus ke puskes
lagi. Yang ada nanti
keburu brojol manten
anaknya hahaha”
“iya sih soalnya kan ribet
kalo naik motor mana
mau lahirin, jadi ya ada
yang deket ngapain kan
jauh-jauh hahaha
(tertawa)”
“ya ada aja yang ngaruh,
misal ga ada mobil gitu” Transportasi menjadi
salah satu alasan
informan lebih memilih
melakukan persalinan
dengan bantuan dukun
bersalin (paraji). Karena
informan tidak memiliki
kendaraan yang memadai
untuk membawa dirinya
ke puskesmas.
- Informan 2
“iya itu juga teh, ya
namanya juga orang
susah punya motor udah
alhamdulillah. Tapi ya itu
“iya kan saya mah ga
punya mobil neng ada
juga tuh gerobak pasir
hahaha. ada parajinya
“ya ada aja yang ngaruh,
misal ga ada mobil gitu”
Transportasi menjadi
salah satu alasan
informan lebih memilih
melakukan persalinan
148
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
kalo lagi pangseng gitu
kan susah kalau naik
motor mah. Jadi yaudah
dirumah aja kita mah
manggil maraji praktis
terus gak ribetin orang
juga. Kalau kudu minjem
mobil kan repotin orang
lagi kasian..”
yang deket jadi yaudah
lah yang praktis aja ga
lama cepet”
dengan bantuan dukun
bersalin (paraji). Karena
informan tidak memiliki
kendaraan yang memadai
untuk membawa dirinya
ke puskesmas.
- Informan 3
“ga juga sih teh kalo
kendaraan mah. Bisa
make motor kan ga
terlalu jauh, kalo engga
minjem kol buntungnya
tetangga depan”
“ga masalah sih
transportasi mah. Ya
walaupun saya ga ada
mobil tapi itu pak.mujib
tetangga depan sana ada
mobil yang emang suka
“ya ada aja yang ngaruh,
misal ga ada mobil gitu”
Transportasi tidak
menjadi salah satu alasan
informan lebih memilih
melakukan persalinan
dengan bantuan dukun
bersalin (paraji). Karena
149
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
dipinjemin kalo ada yang
sakit atau apa”
ada kendaraan
tetangganya yang bisa
dipakai sewaktu-waktu.
10) Budaya
- Informan 1
“Emang dari dulu
sebelum ada bidan semua
ngelahirin sama paraji,
baru mulai ada bidan pas
tahun 80an itu juga baru
ada 3 bidan tapi jauh
banget, baru sekarang-
sekarang aja bidan
banyak pabulatak
dipinggir jalan plangnya.
Emang semua kampung
“Ga ada. Ya paling cuma
orang-orang dulu aja ada
tradisi lahir harus sama
paraji.”
“Ya paling itu aja sih
neng turun temurun tea.
Dulu neneknya nih
lahirin sama paraji, terus
ibunya juga sama paraji
pas lahiran, ya dianya
juga sama paraji lagi
lahirnya gitu. Soalnya
dulu mah kan emang
semua juga yang lahir
mah sama paraji neng
Budaya menjadi salah
satu alasan informan
memilih dukun bersalin
(paraji) sebagai penolong
persalinannya. Karena
dikampung tempatnya
tinggalnya, dari dulu
apabila melahirkan akan
dibantu oleh dukun
bersalin (paraji).
150
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
disini dari dulu mah
sama paraji”
jadi ya sampe sekarang
juga paraji mah masih
ada.”
“iya ada, masih ada.
Misalnya emaknya sama
paraji, anaknya sama
paraji juga gitu ya masih
ada.”
“masih ada. Itu masih
jadi kendalanya.
Misalkan kalo yang
lahiran ga boleh makan
- Informan 2
“ya ada sih emang turun
temurun gitu dari dulu
emang sama maraji. Dari
belom ada bidan sama
dokter kan maraji mah
udah ada dari jaman dulu
jadi ya sama maraji terus
lahirannya ampe
sekarang. Kalau gak
diikutin kan juga gak
enak ya namanya juga
udah turun temurun
gitu..”
“gatau sih kalo tradisi-
tradisi gitu mah, emak-
emak yang ribet biasanya
mah kudu ini lah itu lah.
Saya mah ga ngerti ya
ikutin aja kalo disuruh
apa gitu”
Budaya menjadi salah
satu alasan informan
memilih dukun bersalin
(paraji) sebagai penolong
persalinannya. Karena
ada tradisi turun temurun
persalinan dengan
dibantu oleh dukun
bersalin (paraji).
Sehingga dirinya merasa
tidak enak apabila
melahirkan tidak dengan
bantuan dukun bersalin
151
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
telor, buah-buahan, itu
masih ada. Katanya takut
nanti pas lahir bau,
padahal mah ga ngaruh.
Itu masih kendala orang
gizi. Tapi kita sedikit-
sedikit ngeusahain buat
ngasih tau.”
(paraji).
- Informan 3
“engga ada tradisi apa-
apa sih teh..”
“...ya ada aja teh kayak
ga boleh keluar malem-
malem gitu, ya saya mah
ngikut-ngikut aja hihihi
(tertawa). Buat
keselamatan kita-kita
juga..”
“ada aja sih neng, itu
dulu nih pas ibunya
lahiran sama paraji nah
anaknya juga sama
paraji. Udah percaya
sama parajinya tea
geuning neng. Paraji kan
lebih lama
pengalamannya dari
pada bidan gitu.”
Budaya tidak menjadi
salah satu alasan
informan memilih
penolong persalinannya.
Walaupun ada tradisi
turun temurun persalinan
dengan bantuan dukun
bersalin (paraji),
informan tidak terpaku
dengan tradisi tersebut.
11) Sarana dan prasarana
- Informan 1
“Saya ga tau sih lengkap
apa engganya, tapi
kayaknya sih lengkap.
” ya engga beda, kurang
lengkap ga kayak bidan.”
“lengkap. Alat buat
penjepit tali plasenta,
gunting, sama yang buat
Sarana dan prasarana
tidak menjadi alasan kuat
informan dalam memilih
152
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
Kalo ga lengkap mah ga
bisa nolong orang
lahiran mereun haha kalo
steril sih pasti kayaknya,
masa iya ga steril mah
teh”
“Kalo puskes mah pasti
lengkap sama streril teh
kan emang tempat
ngelahirin disana. Ya
gimana atuh teh kan
puskesnya jauh ntar
keburu brojol dijalan
bahaya hahaha lagian
kan itu yang saya bilang
“lengkap kalo di puskes
mah kayaknya”
nyedot mulut bayi gitu
ada.”
“steril. Kan di godog,
nunggu air ngagolak
terus alatnya dimasukin
sampe 25 menit.”
penolong persalinannya.
Karena walaupun ia tahu
bahwa sarana dan
prasarana di puskesmas
atau bidan sudah
memadai, ia tetap
melakukan persalinan
dengan bantuan dukun
bersalin (paraji).
153
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
tadi ga ada
kendaraannya cuma ada
motor doang”
“Udah sih udah memadai
dan baik juga, punya
gedung sendiri buat yang
lahiran terus ada
ambulannya juga. Intinya
mah gara-gara jauh teh
ke puskesmas terus udah
pangseng juga sayanya
udah mau keluar bayinya
rasanya jadi ya ga bakal
keburu kalo dibawa ke
puskes ngandelin
154
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
ambulan makanya udah
aja dirumah manggil
paraji deket”
- Informan 2
“lengkap sih kayaknya
mah sama aja kayak
bidan. Soalnya alatnya
kayak yang ada di bidan
sih keliatannya hahaha
(tertawa). Steril iya kan
sebelum dipake biasanya
maraji suka ke dapur
ngegodog alatnya dulu di
panci..”
“alat di puskes mah iya
atuh pasti lengkap sama
“lengkap sih kayaknya
mah pas saya liat ada
guntingnya, jepitnya,
macem-macem terus pas
belum dipake direbus
dulu lama teh alat-
alatnya”
“puskes sih lengkap pasti
kan emang tempatnya
hahaha (tertawa)”
“lengkap. Alat buat
penjepit tali plasenta,
gunting, sama yang buat
nyedot mulut bayi gitu
ada.”
“steril. Kan di godog,
nunggu air ngagolak
terus alatnya dimasukin
sampe 25 menit.”
Sarana dan prasarana
tidak menjadi alasan kuat
informan dalam memilih
penolong persalinannya.
Karena walaupun ia tahu
bahwa sarana dan
prasarana di puskesmas
atau bidan sudah
memadai, ia tetap
melakukan persalinan
dengan bantuan dukun
bersalin (paraji).
155
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
steril..”
“bagus sih lengkap kita
pernah nganter itu tuh
tetangga onoh mau
lahirin di puskes, pas
masuk ke ruangannya
ada tempat tidur kayak
dirumah sakit itu loh
terus ada tempat tidur
bayinya, lengkap dah
pokoknya mah.”
- Informan 3
“kalo itu sih gatau ya teh.
Saya mah ya lahiran mah
lahiran aja udah haha
(tertawa)”
“lengkap sih pas
nolongin anak saya itu
ada guntingnya gitu-gitu.
Iya steril, kan di godog
“lengkap. Alat buat
penjepit tali plasenta,
gunting, sama yang buat
nyedot mulut bayi gitu
Sarana dan prasarana
tidak menjadi alasan kuat
informan dalam memilih
penolong persalinannya.
156
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
“kalo di puskes ya kata
yang udah pernah
ngerasain di puskes
katanya ya udah lengkap
semua sih..”
dulu pas mau dipake. Pas
baru dipanggil kan anak
sayanya masih bukaan 1
nah parajinya minta saya
rebusin air buat godog
alatnya.”
“iya atuh min di puskes
mah pasti lengkap
semuanya ge”
ada.”
“steril. Kan di godog,
nunggu air ngagolak
terus alatnya dimasukin
sampe 25 menit.”
Karena walaupun ia tahu
bahwa sarana dan
prasarana di puskesmas
atau bidan sudah
memadai, ia tetap
melakukan persalinan
dengan bantuan dukun
bersalin (paraji).
12) Kompetensi petugas
kesehatan
- Informan 1
“ya kalo bidan mah udah
pasti ahli kan sekolah
dulu”
“iya berkompeten pasti,
kalo engga kan ga bakal
dia jadi bidan hahaha
(tertawa)”
“D4 Kebidanan”
“udah dari tahun 1989”
Kompetensi petugas
kesehatan tidak menjadi
alasan kuat informan
dalam memilih penolong
157
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
persalinannya. Karena
walaupun ia tahu bahwa
tenaga kesehatan yang
ada sudah berkompeten,
ia tetap melakukan
persalinan dengan
bantuan dukun bersalin
(paraji).
- Informan 2
“lah ya percaya saya
mah ama bidan, pan
emang ada ilmunya”
“pasti itu, kan dia kuliah
neng ga kayak saya kalo
disuruh nolong orang
lahir ya ga bisa. Paling
bisanya bantuin kambing
tetangga yang lahiran
hahahahaha (tertawa)”
Kompetensi petugas
kesehatan tidak menjadi
alasan kuat informan
dalam memilih penolong
persalinannya. Karena
walaupun ia tahu bahwa
tenaga kesehatan yang
158
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
ada sudah berkompeten,
ia tetap melakukan
persalinan dengan
bantuan dukun bersalin
(paraji).
- Informan 3
“pasti berkompeten sih
teh bidan mah ”
“iya atuh neng kalo ga
gitu mah ga bakal bisa
bantuin orang, pan ada
izinnya juga pasti kan”
Kompetensi petugas
kesehatan tidak menjadi
alasan kuat informan
dalam memilih penolong
persalinannya. Karena
walaupun ia tahu bahwa
tenaga kesehatan yang
ada sudah berkompeten,
ia tetap melakukan
persalinan dengan
159
Faktor Penentu
Wawancara
Kesimpulan
Utama Pendukung Kunci
bantuan dukun bersalin
(paraji).
160
MATRIKS WAWANCARA
Matriks Wawancara 2
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
Lingkungan Dukungan suami
- Pada saat memilih dukun
bersalin (paraji) untuk
menolong persalinan,
apakah suami ibu
mendukung sepenuhnya?
- Apakah bapak tidak merasa
khawatir saat istri bapak
melahirkan dengan bantuan
dukun bersalin (paraji)?
Karena ada kasus ibu
melahirkan yang meninggal
akibat pendarahan.
1. Ibu melahirkan 1
– 30 tahun
2. Ibu melahirkan 2
– 30 tahun
3. Ibu melahirkan 3
– 20 tahun
4. Suami 1 – 36
tahun
5. Suami 2 – 35
tahun
6. Suami 3 – 31
tahun
7. Dukun 1 – 53
tahun
8. Dukun 2 – 64
1. Ibu melahirkan 1 – 30 tahun
- “suami mah ngedukung aja teh soalnya sayanya
emang pengennya lahiran sama paraji, jadi ga
maksa kudu lahiran disini lah disana lah gitu. Ya
karena suami juga ngedukung jadi yaudah saya
emang lahiran sama paraji akhirnya”
2. Ibu melahirkan 2 – 30 tahun
- “...engga emang niat saya sendiri. Orang tua sama
suami mah ngedukung-dukung aja..”
3. Ibu melahirkan 3 – 20 tahun
- “ya ngedukung, abisnya ga ada bidan ya gimana
hehehe (tertawa)”
4. Suami 1 – 36 tahun
- “iya. Lagian juga udah kepepet jadi yang deket aja
panggil jadi mimih.”
161
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
tahun
9. Bidan desa – 41
tahun
- “bismillah aja sih teh saya mah. Takdir mah kan
Allah yang ngatur ya kita mah ikutin aja udah
gitu aja. Soalnya waktu itu juga mepet malem-
malem, anaknya udah nongol ya mau digimanain
lagi manggil emak yang deket..”
5. Suami 2 – 35 tahun
- “iya. Soalnya emang dianya pengen lahir di paraji
katanya, ya sama mah gimana enaknya dia aja.”
- “engga sih teh saya mah percaya sama paraji kan
udah pengalaman udah lama jadi paraji jadi ya
emang udah gaweannya dari dulu haha”
6. Suami 3 – 31 tahun
- “dukung-dukung aja soalnya kan bidannya susah
juga waktu itu, ada paraji yang deket yaudah aja
sama paraji”
- “khawatir mah ada teh mana kan anak pertama,
cuma saya mah pasrah percaya aja sama Allah.
162
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
Alhamdulillah selamet..”
7. Dukun 1 – 53 tahun
- “Ada aja yang disuruh sama orang tuanya ya
suaminya, tapi ibu mah ga maksa neng kalo
emang mau di bidan hayu dianter gitu.”
- “...kan ga semua orang ada ya neng jadi kadang
kalo istrinya mau lahiran sama bidan tapi
suaminya cuma dagang cilok atau mainan gitu
kan uangnya dikit jadi suaminya nyuruh sama
paraji gitu. Kan kalo paraji mah dibayar
seikhlasnya neng. Adanya berapa ya diterima
aja”
8. Dukun 2 – 64 tahun
- “ya ada aja yang ngaruh. Biasanya yang ga
mampu, takut kalo di bidan bayarnya gede. Ntar
kan kalo mandiin bayinya sehari-hari bayar lagi
buat paraji. Kalo sama paraji kan bayarnya
163
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
sekali doang buat lahiran sama ngurus bayinya
juga.”
9. Bidan desa – 41 tahun
- “jelas pengaruh banget. Tapi sekarang di
posyandu, di tiap desa, di tiap kecamatan udah
dikasih tau kalo melahirkan harus di tenaga
kesehatan.”
Dukungan ibu/ibu mertua
- Pada saat memilih dukun
bersalin (paraji) untuk
menolong persalinan,
apakah orang tua ibu
mendukung sepenuhnya?
1. Ibu melahirkan 1
– 30 tahun
2. Ibu melahirkan 2
– 30 tahun
3. Ibu melahirkan 3
– 20 tahun
4. Orang tua 1 – 48
tahun
5. Orang tua 2 – 52
tahun
1. Ibu melahirkan 1 – 30 tahun
- “emak mah dukung aja sih teh”
2. Ibu melahirkan 2 – 30 tahun
- “...engga emang niat saya sendiri. Orang tua sama
suami mah ngedukung-dukung aja..”
3. Ibu melahirkan 3 – 20 tahun
- “..ya orang tua juga ngedukung aja teh..”
4. Orang tua 1 – 48 tahun
- “cari yang deket weh neng da malem-malem waktu
itu kerasanya teh. Lagian ge emang udah biasa
164
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
6. Orang tua 3 – 55
tahun
7. Dukun 1 – 53
tahun
8. Bidan desa – 41
tahun
sama paraji dari dulu jaman ibu juga”
5. Orang tua 2 – 52 tahun
- “engga sih neng ibu mah ngikutin anaknya weh
maunya sama siapa”
6. Orang tua 3 – 55 tahun
- “setuju aja saya mah yang penting selamet”
7. Dukun 1 – 53 tahun
- “...ya ada aja yang kadang ibunya emang
percayanya sama saya daripada sama bidan
soalnya pas dulu ibunya ngelahirin anaknya itu
sama nenek saya, jadi sekarang pas anaknya
lahir maunya sama saya.”
8. Bidan desa – 41 tahun
- “ya kesatu parajinya bandel, masih nekat nolong
gitu udah ga boleh juga masih nekat. Yang
keduanya ya pasiennya juga kadang sama
emaknya ga usah pergi kemana-kemana ini mah
165
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
udah biarin gitu”
Predisposisi Pengetahuan
- Menurut ibu persalinan
aman itu seperti apa?
- Apakah melahirkan di
dukun bersalin (paraji)
tegolong aman?
- Apakah ibu tidak merasa
takut atau khawatir
melakukan persalinan
dirumah dengan bantuan
dukun bersalin setelah tau
bahwa ada kasus ibu
melahirkan yang meninggal
akibat melahirkan dirumah?
Sikap terhadap kesehatan
1. Ibu melahirkan 1
– 30 tahun
2. Ibu melahirkan 2
– 30 tahun
3. Ibu melahirkan 3
– 20 tahun
4. Dukun 1 – 53
tahun
5. Bidan desa – 41
tahun
1. Ibu melahirkan 1 – 30 tahun
- ”Persalinan aman? Kayak gimana ya hehehehe
kurang tau sih saya mah alhamdulillah aman-
aman aja lahirnya”
- “ngeri sih takut, cuma ya mau gimana lagi kan
bidan juga jauh teh. Ya takdir orang kan beda-
beda ya teh jadi yaudah percaya aja saya mah
sama Gusti Allah”
- ”Ya aman-aman aja sih teh. Soalnya pas lagi
lahirannya juga ga ada apa-apa alhamdulillah
lancar baik-baik aja”
- “Mau lahiran sama siapa aja juga sama aja teh,
mau sama bidan kek mau paraji kek ya sama aja
kan sama-sama bisa nolongin lahiran jadi ya
sama siapa juga tepat-tepat aja”
- “Engga sih ga bahaya, ini sih saya ga kenapa-
166
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
- Menurut ibu apakah
melahirkan dibantu oleh
dukun bersalin (paraji) itu
aman?
- Menurut ibu apakah
melahirkan dibantu oleh
dukun bersalin (paraji) itu
merupakan pilihan yang
tepat?
- Menurut ibu apakah
melahirkan dibantu oleh
dukun bersalin (paraji) itu
berisiko/berbahaya bagi
keselamatan ibu dan bayi?
Kenapa?
- Bagaimana tanggapan ibu
setelah melahirkan oleh
kenapa. Kalo bahaya mah ga bakal pada mau
atuh teh lahiran di paraji hahaha”
- ”Ya ga apa-apa lahirin di paraji kan baik-baik aja,
saya alhamdulillah ga kenapa-kenapa. Ya gatau
sih ya teh insya Allah sih bisa aja sama paraji
lagi hahaha deket soalnya rumahnya tinggal
diteriakin aja istilahnya hahaha”
- “MTs”
- “Rp.2.000.000,-
2. Ibu melahirkan 2 – 30 tahun
- “Persalinan aman? aman lahirnya gitu ya? ya
gimana ya ehehehe (tertawa) kurang tau sih
hahaha (tertawa)”
- “ya gimana ya bismillah aja sih kita mah pasrah
aja sama yang diatas alhamdulillah ga kenapa-
kenapa”
- “kita sih baik-baik aja alhamdulillah ya lahirin
167
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
dukun bersalin (paraji)?
Apa yang ibu rasakan?
Tingkat pendidikan
- Apa pendidikan terakhir
ibu?
Status ekonomi
- Berapa penghasilan
keluarga ibu tiap bulannya?
sama maraji. Jadi ya aman-aman bae..”
- “...kalo ga tepat mah kaga bakal jadi lahir teh
hahaha (tertawa) kan maraji mah emang tukang
bantuin lahiran, kalo kita lahiran sama yang ga
ahli baru ga tepat gitu.”
- “engga sih gak bahaya, kan emang udah
pagaweannya nolongin orang lahiran. Lagian
maraji kan juga punya ilmunya buat nolongin
lahiran kayak bidan dokter gitu sama aja..”
- “...ga ada sih baik-baik aja alhamdulillah. Ini pan
anak saya pas lahir pantat duluan, pas di usg itu
nyungsang. Tapi alhamdulillah dengan maraji
baik-baik aja ga ada keluhan yang lain ga ada.
Disini semua ga ada yang pantat dulu, cuma ini
aja hahaha (tertawa). Siang kerasa mules, subuh-
subuhnya lahir. Dirasa-rasa aja saya mah terus
udah lahir sama maraji cepet.”
168
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
- “SMP”
- “Rp.500.000,-
3. Ibu melahirkan 3 – 20 tahun
- “mau lahir di bidan atau di paraji ya sama-sama
aman sih teh soalnya kan sama-sama punya
bakat bantuin lahiran”
- “ya mau lahirin di puskes atau di rumah ge kalo
dibantuinnya sama yang bisa mah aman-aman
aja, kalo dibantuinnya sama yang ga bisa tuh
baru berabe hahaha. Kalo misalnya kita lahirnya
di puskes tapi yang nolongnya bukan bidan gitu
misalnya ya sarua weh jeung bohong hahaha”
- “ya takut mah ada teh, cuma kan awalnya emang
ga pendarahan saya mah. Orang udah baik-baik
aja udah ga sakit, terus pas sorenya mau suntik
sehat kan akhirnya panggil bidan. Eh sama
bidannya malah dirogoh-rogoh lagi jadi aja
169
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
pendarahan, katanya mah ada benjolan. Yaudah
tuh dirujuk ke rumah sakit, taunya kata dokter ga
ada benjolan apa-apa”
- “ya engga sih teh..”
- “ya enak sih enak, lebih nyamanan di paraji sih
teh. Ya soalnya takut kalo di bidan mah haha
(tertawa). Ya ngedenger mah ngedenger ceunah
di bidan gini-gini gitu. Ya katanya belom apa
anak belom ngajak gitu udah di gunting di
gunting gitu jadinya ngeri. Kalo mak paraji kan
dia mah sabar..”
- “SMP”
- “Rp.2.000.000,-
4. Dukun 1 – 53 tahun
- “Kadang suka banyak yang gamau ke puskes
katanya “alim bu seeur nu belajar” banyak yang
praktek tea neng. Jadi pada takut ga mau, bisi
170
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
jadi bahan cobaan da seeur nu magang tea di
puskes mah. Ya coba aja bali udah keluar, udah
nih diiniin sama senior “hayu neng, kayak gini”
ntar teh salah, di contohin lagi..”
- “terus neng kadang ada bidan yang emang ga mau
dipanggil, kudu kitanya yang nyamperin gitu.
Kan berabe kasian yang mau lahirannya”
5. Bidan desa – 41 tahun
- “kan sekarang mah udah lama sayang ibu. Udah
ga pernah epis epis ah udah dari tahun berapa
mereun udah sayang ibu. Makanya kan itu mah
bahasa-bahasa yang membela diri itu mah kalo
kata ibu mah.”
- “sekarang mah udah pada males ngejait neng,
udah jarang lah pokoknya mah. Kecuali kalo
bayinya gede nih itu pasti di epis. Kalo sungsang
pun kadang langsung kita rujuk neng, udah ga
171
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
penah epis epis udah sesuai standar sekarang
mah. Karena kan di PONED gratis juga jadi
kitanya juga males neng buat epis terus jait
laginya. Kalo dulu kan belum PONED jadi ya
kadang suka di epis kalo lama, sekarang kan
udah PONED jadi kalo apa-apa langsung aja di
rujuk sesuai standar aja. Kecuali kalo darurat
banget baru deh, ya sesuai kebutuhan aja neng..”
- “emang gerakannya harus bersalin di tempat
nakes neng sekarang mah. Jadi emang si
pasiennya yang harus dibawa. Soalnya kan
peralatannya lebih lengkap di pelayanan
kesehatan. Kalo dirumah gitu misalnya ga ada
tabung oksigen, kalo yang ekslamsi kan sering
kejadian ga ada ini lah itu lah. Belum lagi
kadang kan lampunya gelap. Kadang pas
dipanggil juga kan kitanya ga tau ibunya darah
172
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
tinggi apa engga, nanti ga bawa peralatan ini itu
tau-tau sampe sana kejang kan bahaya..”
- “bukannya ga mau kerumah, tapi emang gerakan
kita mengajak ibu buat ke nakes. Ayok sini yuk ke
nakes gitu.”
Pemungkin Biaya
- Apakah biaya persalinan di
dukun bersalin (paraji)
tergolong murah menurut
ibu?
- Mengapa ibu lebih memilih
melahirkan dibantu oleh
dukun bersalin (paraji)
dengan biaya yang murah
daripada melahirkan
dibantu oleh bidan di
puskesmas padahal
1. Ibu melahirkan 1
– 30 tahun
2. Ibu melahirkan 2
– 30 tahun
3. Ibu melahirkan 3
– 20 tahun
1. Ibu melahirkan 1 – 30 tahun
- “Iya murah, lebih murah lahiran di paraji
dibanding di bidan sama di rumah sakit,
seikhlasnya sih kalau paraji mah teh hahaha..”
- Iya sih si puskes mah gratis, tapi jauh teh ribet
mending dirumah aja da parajinya juga deket ini
rumahnya”
- ”Deket pisan teh itu rumahnya dibelakang rumah
ini hahaha tinggal diteriakin doang lah istilahnya
langsung datang, cepet jadinya”
- “..ga punya mobil kan susah neng kalo naik motor
jadi mending lahirnya dirumah. Mau pake
173
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
puskesmas sudah PONED
dan gratis?
Jarak
- Apakah jarak antara rumah
ibu dengan puskesmas
jauh?
- Jika iya, mengapa ibu tidak
mencoba pergi ke bidan
desa atau memanggil bidan
desa untuk datang kerumah
ibu dan menolong ibu
melakukan proses
persalinan?
- Jika tidak, mengapa ibu
lebih memilih melahirkan
dirumah dengan dibantu
oleh dukun bersalin (paraji)
ambulan puskes juga kelamaan perjalanan dari
puskes kesini terus ke puskes lagi. Yang ada nanti
keburu brojol manten anaknya hahaha”
- “Emang dari dulu sebelum ada bidan semua
ngelahirin sama paraji, baru mulai ada bidan
pas tahun 80an itu juga baru ada 3 bidan tapi
jauh banget, baru sekarang-sekarang aja bidan
banyak pabulatak dipinggir jalan plangnya.
Emang semua kampung disini dari dulu mah
sama paraji”
2. Ibu melahirkan 2 – 30 tahun
- “Ya murahan ama maraji sih..”
- “...lah kan kemaren waktu belom gratis kita belom
ada puskesmas gratis. Dulu belom ada poned kan
masih baru itu..”
- “lumayan jauh puskesmas mah sekitar 10 kiloan
lah kira-kira, terus jalan tengah sawah itu kan
174
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
padahal jarak dari rumah
ibu ke puskesmas tidaklah
jauh?
- Apakah jarak antara rumah
ibu dengan rumah dukun
bersalin dekat?
Transportasi
- Apakah transportasi
menjadi salah satu alasan
ibu memilih melahirkan
dibantu oleh dukun bersalin
(paraji)? Kenapa?
Budaya
- Apakah ada budaya tertentu
bagi ibu terkait penolong
persalinan?
jelek. Ntar lagi mules ke oyag-oyag perutnya
bahaya bisa lahir ntar anaknya dijalan hahaha
(tertawa)”
- “iya itu juga teh, ya namanya juga orang susah
punya motor udah alhamdulillah. Tapi ya itu kalo
lagi pangseng gitu kan susah kalau naik motor
mah. Jadi yaudah dirumah aja kita mah manggil
maraji praktis terus gak ribetin orang juga.
Kalau kudu minjem mobil kan repotin orang lagi
kasian..”
- “ya ada sih emang turun temurun gitu dari dulu
emang sama maraji. Dari belom ada bidan sama
dokter kan maraji mah udah ada dari jaman dulu
jadi ya sama maraji terus lahirannya ampe
sekarang. Kalau gak diikutin kan juga gak enak
ya namanya juga udah turun temurun gitu..”
3. Ibu melahirkan 3 – 20 tahun
175
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
- Jika iya, budaya apa dan
seperti apa? Apakah budaya
tersebut mempengaruhi ibu
dalam memilih penolong
persalinan?
- “murah sih teh kalo di itung-itung mah”
- “gatau dulu gatau kalo ada poned. Tau-tau pas
udah lahir ceunah mendingan sekarang mah
dibawa ke puskes aja kalo lahir. Ya gatau saya
mah teh..”
- “deket sih teh, tapi deketan mak paraji”
- “...cari yang terdekat aja buat pertolongan
pertama. Kan paraji lebih dekat rumahnya”
- “ga juga sih teh kalo kendaraan mah. Bisa make
motor kan ga terlalu jauh, kalo engga minjem kol
buntungnya tetangga depan”
- “...ya ada aja teh kayak ga boleh keluar malem-
malem gitu, ya saya mah ngikut-ngikut aja hihihi
(tertawa). Buat keselamatan kita-kita juga..”
Sistem
kesehatan
Sarana dan prasarana
- Menurut ibu apakah alat-
alat yang digunakan oleh
1. Ibu melahirkan 1
– 30 tahun
2. Ibu melahirkan 2
1. Ibu melahirkan 1 – 30 tahun
- “Saya ga tau sih lengkap apa engganya, tapi
kayaknya sih lengkap. Kalo ga lengkap mah ga
176
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
dukun bersalin (paraji)
untuk membantu proses
persalinan sudah lengkap
dan steril?
- Jika tidak, kenapa ibu tetap
melakukan persalinan
dibantu oleh dukun bersalin
(paraji) padahal ibu tahu
bahwa alat yang digunakan
tidak lengkap dan tidak
steril?
- Menurut ibu apakah alat-
alat yang digunakan di
puskesmas untuk membantu
proses persalinan sudah
lengkap dan steril?
- Jika iya, kenapa ibu tetap
– 30 tahun
3. Ibu melahirkan 3
– 20 tahun
4. Dukun 1 – 53
tahun
5. Bidan desa – 41
tahun
bisa nolong orang lahiran mereun haha kalo
steril sih pasti kayaknya, masa iya ga steril mah
teh”
- “Kalo puskes mah pasti lengkap sama streril teh
kan emang tempat ngelahirin disana. Ya gimana
atuh teh kan puskesnya jauh ntar keburu brojol
dijalan bahaya hahaha lagian kan itu yang saya
bilang tadi ga ada kendaraannya cuma ada
motor doang”
- “Udah sih udah memadai dan baik juga, punya
gedung sendiri buat yang lahiran terus ada
ambulannya juga. Intinya mah gara-gara jauh
teh ke puskesmas terus udah pangseng juga
sayanya udah mau keluar bayinya rasanya jadi
ya ga bakal keburu kalo dibawa ke puskes
ngandelin ambulan makanya udah aja dirumah
manggil paraji deket”
177
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
melakukan persalinan
dibantu oleh dukun bersalin
(paraji) padahal alat-alat
persalinan di puskesmas
lebih lengkap dan steril?
Kompetensi petugas kesehatan
- “ya kalo bidan mah udah pasti ahli kan sekolah
dulu”
2. Ibu melahirkan 2 – 30 tahun
- “lengkap sih kayaknya mah sama aja kayak
bidan. Soalnya alatnya kayak yang ada di bidan
sih keliatannya hahaha (tertawa). Steril iya kan
sebelum dipake biasanya maraji suka ke dapur
ngegodog alatnya dulu di panci..”
- “bagus sih lengkap kita pernah nganter itu tuh
tetangga onoh mau lahirin di puskes, pas masuk
ke ruangannya ada tempat tidur kayak dirumah
sakit itu loh terus ada tempat tidur bayinya,
lengkap dah pokoknya mah.”
- “lah ya percaya saya mah ama bidan, pan emang
ada ilmunya”
3. Ibu melahirkan 3 – 20 tahun
- “kalo itu sih gatau ya teh. Saya mah ya lahiran
178
Topik Sub Topik Informan Hasil Temuan
mah lahiran aja udah haha (tertawa)”
- “kalo di puskes ya kata yang udah pernah
ngerasain di puskes katanya ya udah lengkap
semua sih..”
- “pasti berkompeten sih teh bidan mah ”
4. Dukun 1 – 53 tahun
- “Keturunan neng, jadi saya mah gak usah belajar.
Kalau udah keturunan mah udah langsung bisa
gitu aja..”
5. Dukun 2 – 64 tahun
- “udah 33tahun de. Tahun 1984 pendidikan
sebulan, ada ijazahnya. Pedidikan dari dokter,
bidan di puskes..”
6. Bidan desa – 41 tahun
- “dulu D3 akbid neng terus kemarin lanjut lagi
nerusin, baru banget selesai ibu kemarin juga
penelitian”
Top Related