1
ElanVital Ber-PMII
Oleh: Tirmidi
Hantaran
Tanggal 22 Januari 2011 penulis ditelepon salah seorang Pengurus Cabang PMII Kota
Malang untuk membuat artikel tentang sistem kaderisasi ideal yang rencananya akan dibuat
bahan dan oleh-oleh di Kongres PMII yang akan diselenggarakan pada bulan Maret. Pada
malam harinya, selesai diskusi di sebuah kantor komisariat PMII di Kota Malang tentang
sebuah upaya untuk melakukan transformasi rumusan NDP yang sangat Qur’ani dan abstrak
menjadi sebuah rumusan yang operasional dalam perspektif pengkaderan, surat resmi untuk
permintaan artikel itu penulis terima.
Sepulang dari diskusi dimana penulis menerima surat resmi itu, penulis mencoba
berfikir tentang sistem kaderisasi ideal. Ternyata, rumusan itu tidak segampang dan
sesederhana yang kita bayangkan. Setelah membaca beberapa referensi tentang penyusunan
kurikulum dan silabus, terbentang road-map yang harus diretas sebelum sampai kepada
rumusan ideal suatu sistem kaderisasi (baca: kurikulum dan silabus pengkaderan). Road-map
yang harus diretas itu, secara berurutan, ialah elan-vital (semangat hidup) ber-PMII, state-of-
the-art (kondisi mutakhir) dunia mahasiswa dan pergerakan, pilihan paradigma (Arab: wazn)
gerakan, baru sampai kepada strategi, pola pengkaderan, plotting materi, kurikulum dan
silabus, dan terakhir nantinya penyusunan buku pegangan kaderisasi.
Menyikapi ini semua, tulisan ini penulis batasi untuk membahas tentang elan-vital
ber-PMII hari ini. Ini penulis lakukan karena selain ditemukan fakta bahwa sahabat-sahabat
yang penulis ajak diskusi sebagian besar tidak bisa menjelaskan apa elan-vital ber-PMII hari
ini, kalaupun ada yang bisa menjawab maka itu adalah jawaban kutipan dari buku-buku
referensi PMII yang disusun pada masa Orde Baru atau masa-masa negara ini mengalami
reformasi. Terkait itu, berikut ini sedikit cerita betapa elan-vital ber-PMII betul-betul telah
menjadi keresahan mendasar, secara kasuistik, di Malang.
Di suatu pagi pada sekitar bulan Juli 2010, setelah hampir 14 tahun tidak terlibat
diskusi dan interaksi intensif dengan sahabat-sahabat di PMII, penulis diajak teman kuliah
yang juga sama-sama alumni PMII untuk ngopi di kedai kopi yang bersebelahan dengan
Sekretariat PK PMII Sunan Kalijaga UM, di Malang. Sekretariat PK PMII Liga UM
(demikian biasa disebut) ini agak unik karena ia menempati lantai satu pada sebuah musholla.
Agak panjang ceritanya, namun secara singkat dapat penulis gambarkan bahwa karena ada
2
simbiosis mutualisme yang terbangun sangat lama antara kader PMII dengan masyarakat di
sebuah kawasan sekitar kampus UM, maka pada tahun 1993 para pengurus yayasan yang
menjadi nadzir musholla menyepakati ruang marbout mushalla ditempati oleh personil PK
PMII Liga UM yang dibelakang hari ini menjadi cikal bakal dijadikan musholla tersebut
sebagai Sekretariat PK PMII Liga UM.
Sebenarnya hari itu bukan kunjungan pertama penulis di Sekretariat PMII Liga UM
karena dalam beberapa kesempatan penulis sudah pernah mampir di lantai II mushalla itu
untuk melakukan ibadah shalat. Dalam beberapa kali mampir tersebut sempat juga penulis
curi dengar tentang diskusi-diskusi tentang pengkaderan, keinstrukturan, dan masalah-
masalah keorganisasian dari beberapa pengurus yang kebetulan sedang rapat di lantai II.
Dalam hati, penulis tidak bisa menaham senyum bahagia karena PMII, Sekretariat, dan
berbagai program yang dijalankan di musholla ini, seperti penyelenggaraan Taman
Pendidikan Al-Qur’an-Inggris (TPAI), yang merupakan tinggalan kami, PK PMII Liga
periode 1993-1994, masih terus hidup dan dalam beberapa hal juga berkembang dengan baik.
Pada pagi itu, seperti biasanya, kedai kopi di samping Sekretariat sedang ramai
pengunjung. Di bagian dalam, yang mengisyaratkan ke-lebih-dulu-an datangnya ke kedai,
terlihat kelompok salesmen, kelompok makelar, dan para pebisnis pemula. Di bagian teras
kedai hingga di bawah-bawah pohon rindang yang banyak tumbuh di sekitar mushalla terlihat
beberapa pemuda mengelompok, yang kelihatannya adalah mahasiswa angkatan tua. Di
bagian lainnya terlihat beberapa kelompok anak muda tanggung sedang kongkow-kongkow.
Tanpa penulis sadari, karena memang sudah tidak kenal, dua orang anak muda yang
kelihatannya 5-10 tahun di bawah penulis, yang duduk melingkar di teras kedai datang
menghampiri tempat duduk penulis di bawah rindang pohon agak jauh dari kedai. Benar,
dengan penuh keakraban mereka meperkenalkan diri sebagai kader PMII yang 10 tahun di
bawah penulis. Detik berikutnya, kedua pemuda ini memanggil semua anggota kelompok
untuk berpindah ke tempat kami berdua duduk. Jadilah pagi itu sebuah reuni dadakan atas
sembilan orang insan pergerakan, dari berbagai angkatan, dengan berdawai cangkir-cangkir
kopi dan beberapa potong nyamikan hangat Kota Malang: tempe menjes, tahu berontak, dan
tempe kacang yang semuanya masih panas.
Dalam diskusi santai yang dibalut hawa dingin Kota Malang itu kami membicarakan
peristiwa-peristiwa pola rekrutmen dan pola-pola pengkaderan pada masa lalu yang terbingkai
gelora dan penanaman semangat untuk melakukan reformasi atas banyaknya penyimpangan
pada zaman Orde Baru. Sampai saatnya, salah seorang dari kami yang kebetulan merupakan
kader yang baru saja menyelesaikan masa kepengurusannya di Komisariat Liga UM bertanya,
3
“Kalau dulu zaman Mas Tirmidzi dan mungkin kakak-kakak senior beberapa tahun di
bawahnya, semangat dan gelora pergerakan memiliki target dan parameter yang jelas. Hari
ini, apa yang bisa menggantikan itu? Terus terang, saat ini, elan vital dalam ber-PMII sedang
dalam tanda tanya besar!”
Dengan sedikit menghibur penulis katakan bahwa mulai dulu hingga sekarang elan
vital dalam ber-PMII tetap sama, yakni ingin menjadikan diri ini sebagai individu yang baik,
memiliki teman dan pergaulan yang juga baik, dan kalau ketemu jodoh di PMII maka istri kita
adalah insan yang baik. Tawa berderai anggota kelompok diskusi menggema bersahutan
dengan derai tawa dari kelompok seberang yang berada di teras dalam kedai.
Akan tetapi, kader muda PMII yang idealismenya masih sangat menggelora ini
merasa jauh dari puas. Dengan nada suara yang agak tinggi ia tumpahkan kegundahannya itu
dalam serangkaian pertanyaan yang sudah lama dia pendam dan pagi itu membuncah, ”Untuk
apa berbuat baik, Mas?, tanyanya. ”Untuk apa pula kita perlu menjadi manusia baik?; untuk
apa PMII bersusah payah dipertahankan, padahal banyak jalan untuk ’sekedar’ menjadi baik?;
bagaimana PMII bisa menjawab bahwa dengan bergabung dengan PMII kita tidak tersesat,
keliru, dan tertipu?; bisakah PMII membuktikan bahwa kalau betul kita bisa menjadi orang
baik, misalnya, disitu memang ada jasa PMII?; terus untuk...”
”Stop!” penulis bilang. ”Menarik. Pertanyaan-pertanyaan ini sangat mendasar,”
ucapku. ”Dulu kami tidak sempat mempertanyakan itu semua karena musuh, target, dan
parameter kami saat itu terlalu jelas. Pertanyaan-pertanyaan ini sangat khas sebagai
pertanyaan saat ini,” tandasku kemudian.
Diskusi harus diakhiri karena adzan Dhuhur berkumandang. Sebelum bersama-sama
mengambil air wudlu’, penulis katakan kepada seluruh peserta diskusi yang saat itu hadir
bahwa kita perlu diskusi marathon terkait pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi,
terutama penemuan elan vital ber-PMII saat ini. Dalam proses pencarian jawaban itu, berikut
ini sebagian hasil yang mungkin dapat di-sharing-kan dalam kesempatan ini.
Pernyataan Tesis
Merenungkan apa yang kita alami dalam tahapan MAPABA, PKD, dan PKL yang
dilakukan oleh PMII, penulis menemukan bahwa elan vital ber-PMII terletak pada usaha terus
menerus untuk melakukan dialektika antara rumusan NDP dan sistem perkaderan. Artinya,
bila masih terdapat sesosok atau beberapa orang yang senantiasa melakukan dialektika di dua
domain ini maka PMII tidak akan pernah kehilangan elan vitalnya di sepanjang zaman.
Sebaliknya, bila sampai terjadi krisis ketersediaan orang yang bersedia melakukan dialektika
4
kedua domain itu, maka tidak akan lama lagi PMII akan tutup dan selanjutnya hanya akan
menjadi fosil-fosil pergerakan mahasiswa yang anteng di etalase-etalase ruang museum.
Khusus saat ini, penulis mencoba melakukan dialektika itu, dan penulis temukan
bahwa proses kita ber-PMII secara komprehesif (kaffah) sebangun dengan Surat Al-Fatihah!
Penjelasan secara umumnya ialah sebagai berikut.
Refleksi Ber-Fatihah
Sudah jamak dipahami di PMII, karena ini merupakan ayat standar yang harus
dijadikan renungan dalam prosesi pembaiatan calon anggota, yakni bahwa sewaktu di alam
benih semua manusia melakukan persaksian kepada dirinya sendiri di hadapan Allah Swt.
bahwa dirinya adalah hamba, dan Allah Swt. adalah Tuhannya, meskipun, atas perjanjian ini,
sebagaimana Allah Swt. tegaskan, kelak di hari kiamat banyak manusia yang menyatakan
lupa.1 Di ayat yang lain, Allah Swt. menyindir manusia tentang penyebab kealpaan manusia
tentang janji dan sumpah mereka tersebut, yakni sifat gegabah, dan pikiran picik manusia
yang bersedia menukar janji mereka kepada Allah Swt. beserta segenap sumpah-sumpah atas
namaNya dengan sesuatu yang murah.2 Penyebab lain hingga terjadinya kealpaan itu ialah
karena kezaliman dan kebodohan manusia sendiri.3
Apa parameter (variabel penentu) bahwa manusia dikatakan amanat atau khianat
(zalim)? Tidak lain dan tidak bukan ialah tugas dan fungsi kita sebagai abdullah4, dan
khalifatullah fil ardl5. Bila kita dipandang sukses oleh Allah Swt. dalam menjalankan dua
tugas dan fungsi ini, maka tunai sudah tugas itu. Sebaliknya, bila kita dipandang khianat oleh
Allah Swt., maka jangan berharap Allah akan menyapa kita di Hari Pengadilan kelak.6
Berangkat dari kesadaran akan beratnya pelaksanaan dua tugas tersebut karena langit,
bumi, dan gunung enggan untuk menerima amanah yang kedua, yakni khalifatullah fil ardl7,
namun dengan segala i’tikad (tekad bulat) untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-
baiknya, maka, tidak ada pilihan lain, dengan segala totalitas penghambaan, kita menyatakan
1 Q.S. Al-A’raf (7):172-173
2 Q.S. Ali Imran (3): 77
3 Q.S. Al-Ahzab (33): 33; Al-A’raf (7): 179
4 Q.S. Adz-Dzariyaat (51):56
5 Q.S. Al-Baqarah (2): 30-34. Note: Terkait amanat untuk menjadi khalifatullah fil ardl ini Allah Swt. sangat
menekankan agar manusia tidak sampai alpa karena amanat itu sebenarnya sudah ditawarkan kepada langit,
bumi, dan gunung namun mereka enggan menerimanya karena khawatir akan berkhianat atas amanat yang
sangat berat ini (Q.S. Al-Ahzab (33): 33). Akan tetapi, manusia justru bersedia mengembannya. Oleh karena
itu, bila nantinya manusia berkhianat, maka tidak ada predikat lain dari Allah Swt. kepada manusia jenis ini
kecuali zalim dan bodoh. 6 Footnote nomor 2
7 Footnote nomor 5
5
bismillahi (demi, untuk, atas nama, dengan panduan, dengan pertolongan, dan dengan segala
rahasia yang dimiliki Allah) ar-Rahman (yang Maha Pengatur) ar-Rahiim (Maha Teliti) kita
laksanakan dua tugas dan fungsi yang mulia namun berat ini. Inilah ayat pertama surat Al-
Fatihah. Kita sadar bahwa tiada sedikitpun kemampuan, hak, kepahaman, apalagi
kepentingan, yang melekat pada diri kita sebagai hamba kecuali atas hal-hal yang diizinkan
oleh Tuhannya.
Berbasis totalitas penghambaan kepada Allah Swt. ini kita masuk pada wilayah
keyakinan bahwa kita akan mampu menjalankan amanat dengan baik bila kita tetap dalam
aturan, panduan (hidayah) Allah Swt. karena semua yang ada ini adalah milik Allah Swt.,
pengikat karakteristik seluruh alam (ayat 2). Oleh karena itu, apa yang menjadi aturanNya
(manual) kita yakini sebagai sesuatu yang pasti benar, sebagai panduan, sekaligus bantuan
buat kita. Dia Maha Pengatur dan Maha Teliti (ayat 3), dan akan meminta
pertanggungjawaban kita kelak di hari yang ditunda (ayat 4).
Dengan segala kesadaran atas ke-serba-Maha-an yang dimiliki Allah Swt., dan
pertanggungjawaban kelak di hari kemudian ini maka tidak pantas bila kita menyembah dan
memohon pertolongan kepada selainNya. Oleh karena itu, terikrar dengan tegas dalam
suasana individual dan langsung, hanya kepadaNya-lah kita menyembah, dan hanya
kepadaNya pula kita memohon pertolongan (ayat 5); tidak ada manfaatnya menyembah dzat
selainNya yang tidak punya kuasa apa-apa terhadap alam ini, dan kelak juga tidak akan
meminta pertanggungjawaban apa-apa kepada kita. Cukuplah kita menyembah pencipta,
pengatur, pemandu, dan Dzat yang menjadi penguasa di hari pertanggungjawaban!
Sampai di sini, seharusnya, andaikan hati manusia tidak rapuh dan mudah goyah,
maka Surah Al-Fatihah yang ada di dalam Al-Quran diputus di sini saja! Semuanya sudah
tuntas: kesadaran, keyakinan, dan ikrar sudah dilalui semuanya. Tidak ada lagi yang
dibutuhkan. Kita betul-betul sudah muslim (pribadi yang berserah diri).
Demikianlah yang terjadi pada makhluq lain di alam semesta ini selain manusia.
Mereka secara otomatis menaati semua sifat-sifatnya, yakni menghamba dan berserah diri
(muslim) kepada Allah. Di sisi lain, manusia diberi ruang untuk memilih: mau menaati
perintah Allah atau mengingkarinya. Transformasi dari eksistensi menjadi keharusan ini
merupakan keistimewaan dan resiko yang unik dari manusia. Kembali lagi, inilah arti dari
pernyataan persaksian primordial di hadapan Allah di alam benih itu.
6
Oleh karena itu, Allah Swt. tidak percaya begitu saja atas pernyataan manusia tentang
kesejatian penghambaan manusia yang telah dikatakannya berkali-kali tersebut8, karena
penghambaan manusia oleh Allah disikapi sebagai process of becoming (proses untuk
menjadi); bukan the state of being (kondisi yang sudah jadi). Oleh karena itu, terkait ini
semua, Allah Swt. akan menguji manusia dengan berbagai bentuk ujian9 yang kesemuanya
dijadikan media untuk melihat siapakah pejuang sejati (mujahid) yang berjuang dengan
penuh kesabaran10
, dan siapa yang palsu (berpura-pura). Segala bentuk ujian ini harus
dihadapi oleh manusia untuk menempa diri dalam mengikis kelemahan mendasarnya.
Dalam pandangan Al-Qur’an, kelemahan manusia yang paling mendasar dan darinya
kemudian timbul semua dosa-dosa besar adalah kepicikan (dha’f), yakni pola pikir here-and-
now (kebalikan dari retrospective dan prospective), dan kesempitan pikiran (qathr), yakni
tidak berpikir akibat jangka panjang11
. Kepicikan dan kesempitan hati ini kemudian
menimbulkan sifat negatif, yakni suka terburu nafsu, panik, dan tidak berpikir panjang tentang
dampak-dampak di masa depan12
. Sifat terburu nafsu ini kemudian mengantarkan manusia
kepada sifat sombong atau putus asa: ketika memperoleh rahmat maka dengan segera manusia
melupakan Allah, sementara bila memperoleh kesusahan ia menjadi kembali mengingat
Allah, namun ada juga kemungkinan ia terbenam dalam keputusasaan itu sendiri13
. Kondisi-
kondisi ekstrim ini, yakni kikir, mementingkan diri sendiri, terburu nafsu, sombong, dan putus
asa (kondisi perasaan benar-benar negatif dan anggapan bahwa dirinya adalah maha kuat).
Kondisi ekstrim ini adalah ”kondisi syeitan” yang di dalam efek-efek moralnya menempati
tempat sama: nihilisme moral.
Menjadi sombong sebagaimana dilakukan oleh Iblis sangat dilaknat oleh Allah14
.
Akan tetapi, berputus asa juga sangat dikutuk oleh Allah karena juga dianggap sebagai
kekufuran15
. Dengan kata lain, kesombongan dan keputusasaan sama-sama merupakan
perbuatan orang yang tidak beriman (kufr), yakni orang yang telah kehilangan energi moral.
Dalam diri seseorang yang telah kehilangan energi moral ini maka pemujaan berhala menjadi
efek berikutnya. Ini terjadi karena setelah tidak memiliki lagi tambatan transendental bagi
tingkah lakunya maka seseorang akan menyembah hasrat-hasratnya sendiri (hawa nafsu)16
.
8 Q.S. Ali Imran (4):142; At-Taubah (9):16.
9 Q.S Al-Baqarah (2):155
10 Q.S. Muhammad (47):31
11 Q.S. Al-Ma’aarij (70):19-21; An-Nisaa’ (4):128; Al-Hasyr (59):9; At-Taghaabuun (64): 16; Al-Isra (17):100.
12 Q.S. Al-Anbiyaa’ (21): 37; Al-Isra (17): 11; Al-Qiyamah (75):20-21
13 Q.S. Huud (11):9-11; Fushilat (41):49-51; Al-Isra (17):83; Yunus (10):12
14 Q.S. al-A’raf (7):13
15 Q.S. Yusuf (12):87; Al-Ankabuut (29):33; Al-Hijr (15):56; Az-Zumar (39):53.
16 Q.S Al-Furqan (25):43; Al-A’raf (7):176; Al-Kahfi (18):28; Al-Qashash (28):50
7
Dalam tahap yang lebih parah, pada saat pandangan moral menjadi sempit dan manusia tidak
lagi memiliki dimensi transendental maka tidak ada lagi perbedaannya apakah manusia akan
memandang dirinya (mis. Fir’aun), masyarakatnya (mis. kaumnya Nabi Nuh, Nabi Shalih,
Nabi Luth, dan lain-lain) atau bangsanya sebagai Tuhan. Inilah puncak kesesatan akibat
kepicikan manusia.
Dalam dimensi inilah perjuangan untuk tetap berada pada ”jalan tengah” menjadi basis
penilaian Allah terhadap manusia. Fazlur Rahman menyebut ”jalan tengah” (sirathal
mustaqim) itu ialah taqwa, yang terambil dari kata wqw yang berarti berjaga jangan sampai
terjerumus. Ia juga berarti melindungi diri dari akibat-akibat perbuatan sendiri yang buruk dan
jahat. Perlindungan itu akan diperoleh bila kita tunduk dan patuh dengan panduan yang
diberikan Allah. Dengan panduan itu kita bangun kekokohan mental dalam menghadapi tensi-
tensi moral (agar senantiasa tetap di dalam ”batas-batas yang telah ditetapkan Allah”), dan
tidak goyahnya keseimbangan pada saat tensi-tensi moral itu menyeruak dengan ”melanggar”
batas-batas tersebut. Sekali lagi, inilah medan jihad yang tidak akan pernah berkesudahan
bagi manusia sebagai mahluk individu.
Oleh karena itu, panduan dari Allah senantiasa kita minta (ayat 6), agar kita tetap pada
jalur orang-orang yang diberi nikmat (kesempatan untuk tetap beredar di muka bumi), bukan
jalan yang dimurkaiNya dan sesat (ayat 7). Untuk itu, yang perlu kita lakukan ialah senantiasa
mendengarkan kata hati (fitrah)17
, bukan justru menuruti hasrat-hasrat subyektif (hawa nafsu)
yang menyesatkan dan mendatangkan kesulitan-kesulitan18
. Inilah golongan orang-orang yang
diberi nikmat19
; bukan golongan orang-orang yang diadzab oleh Allah karena Allah sudah
murka atas mereka20
, atau orang-orang yang dhalim kepada dirinya sendiri sehingga mereka
tersesat21
.
Untuk memandu agar diri kita tetap berada pada golongan orang yang senantiasa
diberi nikmat, maka ada tiga ilmu yang penguasaannya harus menjadi prioritas untuk dikuasai
oleh manusia, karena ketiga ilmu ini senantiasa memandu manusia untuk mengingat Allah.
Ketiga jenis ilmu itu, yang pertama ialah ilmu mengenai alam yang telah dibuat Allah untuk
tunduk kepada manusia22
; kedua ialah ilmu pengetahuan sejarah (dan geografi)23
; dan yang
ketiga ialah ilmu tentang dirinya sendiri (fisis, dan psikis)24
.
17
Q.S Asy-Syams (91):7-10 18
Q.S Al-Lail (92): 5-10. 19
Q.S Maryam (19):58; An-Nisaa (4):69 20
Q.S Al-Maidah (5):57-64 21
Q.S Al-Baqarah (2):8-16 22
Q.S Al_Baqarah (2):29; Lukman (31):20; Al-Jaatsiyah (45):12; An-Nahl (16):12-14; Al-Hajj (22):65; Al-
Ankabuut (29):61; Lukman (31):29; Faathir (35):13; Az-Zumar (39):5; Az Zukhruf (43):12
8
Dari ilmu mengenai alam dan hukum alamnya kita kemudian mengetahui bahwa alam
ini sengaja ditundukkan oleh Allah kepada manusia melalui segala regularitas (keteraturan)
yang ada. Semuanya dilakukan untuk mempermudah manusia dalam mengelolanya. Alam
semesta ini ada adalah untuk dimanfaatkan manusia demi mencapai tujuan-tujuannya. Namun
demikian, tujuan akhir manusia ialah untuk mengabdi kepada Allah, bersyukur kepadaNya,
dan menyembah Dia saja. Selanjutnya, pengetahuan tentang sejarah dan geografi yang sering
digambarkan dengan kalimat ”berjalan di muka bumi” adalah untuk menyaksikan apa yang
telah terjadi kepada kebudayaan-kebudayaan di masa lampau dan mengapa kebudayaan-
kebudayaan itu dapat bangkit dan mengapa pula bisa runtuh. Terakhir, ilmu tentang diri
sendiri ialah pengetahuan-pengetahuan tentang nikmat dhahir yang diberikan dalam bentuk
organ-organ tubuh dan sistem kerjanya, dan nikmat bathin dengan segala kesempurnaan.
Namun demikian kita juga harus paham bahwa dalam segala kesempurnaan wadag kasar
bernama tubuh, dan kesempurnaan soft-ware bathin itu, terdapat ukuran, dan kelemahanya.
Kelemahan batiniah yang paling mendasar dari manusia sebagaimana diuraikan di atas,
mutlak harus dipahami dengan disertai pemahaman tentang tensi-tensi moral yang
dihadapinya, serta hati nurani (fitrah) yang harus dijaganya.
Ketiga ilmu ini masih merupakan pengetahuan ”ilmiah” karena masih berdasarkan
pengamatan ”mata dan telinga”. Pengetahuan ”ilmiah” ini harus ”sampai ke hati” dan
menghidupkan persepsi batin manusia. Tanpa persepsi batin yang hidup maka ilmu-ilmu itu
akan menjadi sangat berbahaya karena manusia akan menjadi lengah akan akibat-akibat yang
akan ditanggungnya di akhirat25
. Sebaliknya bila persepsi batin kita hidup maka kita akan
mampu menghindarkan dari perbuatan-perbuatan aniaya (dhalim), terutama sekali
menyembah tuhan-tuhan palsu. Perbuatan aniaya ini disebut dlalal (sesat), sebuah jalan yang
tidak akan mengantarkan ke mana-mana; sebuah jalan yang kita mohon kepada Allah untuk
terhindar darinya.
Benang Merah Ber-Fatihah dengan Sistem Kaderisasi PMII
Untuk sekedar sebagai executive summary (kesimpulan untuk dijadikan poin-poin
pelaksanaan atas apa yang dimaksudkan), berikut ini penulis uraikan refleksi elan-vital
kehidupan yang dapat disarikan dari Surat Al-Fatihah dan bagaimana preskripsi sistem
pengkaderan di PMII berdasarkan sari elan-vital berkehidupan tersebut. Pertama, paparan
ayat 1-4 dalam Surat Al-Fatihah adalah ungkapan totalitas penghambaan seseorang kepada
23
Q.S Al-An’am (6):11; Yunus (10):13-14; Yusuf (12):109 24
Q.S Fushilat (41):53 25
Q.S Ar-Ruum (30):7
9
Allah, dan i’tikad (tekad bulat) untuk melaksanakan tugas (amanah) itu dengan panduan dan
pertolongan Allah. Totalitas itu terbangun karena kita sadar bahwa kita tidak pernah meminta
apalagi memilih untuk diciptakan sebagai manusia yang memiliki dua tugas dan fungsi yang
sangat berat sehingga langit, bumi, dan gunung pun enggan menerimanya karena khawatir
khianat kepada Allah; kita pun sadar bahwa tidak ada pilihan lain kecuali kita berserah diri
dan menerima dua tugas mulia dan berat itu dengan niatan: demi, untuk, atas nama, dengan
panduan, pertolongan, dan dengan segala rahasia Allah (bismillahi).
Kesadaran-kesadaran yang membangun totalitas penghambaan kepada Allah harus
mampu ditranformasikan secara tuntas dalam pelaksanaan MAPABA di PMII. Tahap ini
harus digunakan dan disikapi sebagai kesempatan untuk membangun kesadaran-kesadaran
dalam diri mahasiswa tentang dua tugas dan fungsinya di muka bumi sebagai manusia, yakni
abdullah dan khalifatullah fil ardl.
Berangkat dari kesadaran atas hal yang mendasar ini kemudian segera dibangun
kesadaran tentang langkah-langkah yang harus dilakukan oleh manusia untuk melaksanakan
dua tugas dan fungsi tersebut (Al-Baqarah:31-33), yakni penguasaan ilmu-ilmu agama agar
mampu menjaga ketauhidan kita kepada Allah dan hablun min Allah, ilmu-ilmu tentang alam
(kauniyah) untuk melaksanakan hablun minannas dan hablun minal alam, dan soft skill
minimal yang harus dikuasai untuk pelaksanaan fungsi khalifah, antara lain keterampilan
dasar untuk melakukan analisa lingkungan (bio-geo-fisik dan sosial), keterampilan
administrasi, managerial, leadership, human and interpersonal relation, komunikasi, dan
menjaga kebersihan jiwa (tazkyat an-nafs). Dengan transformasi ini maka calon anggota yang
telah mampu diantarkan untuk beri’tikad (bertekad bulat dan teguh pendirian) untuk
melakukan penghambaan kepada Allah akan menemukan jawaban atas pertanyaan mengapa
harus bergabung di PMII untuk mewujudkan i’tikad tersebut!
Selanjutnya, benang merah antara ayat 5 dalam surat Al-Fatihah dengan PKD adalah
sebagai berikut. Ayat 5 Surah Al-Fatihah adalah deklarasi seorang manusia kepada Allah
untuk mengorientasikan segala penghambaannya hanya kepadaNya (tauhid), dan oleh karena
itu, permohonan pertolongan juga dialamatkan kepadaNya. Hanya saja, harus diingat bahwa
pernyataan ketauhidan itu akan diuji oleh Allah sehingga akan diketahui siapa yang sejati dan
siapa yang palsu. Terkait ujian-ujian ini maka manusia harus terus menerus berjuang (jihad)
agar kita tetap berada di ”jalan tengah” (shirathal mustaqim) dan mampu mengatasi tensi-
tensi moral yang mengajak manusia untuk melakukan nihilisme moral. Kita sadari bahwa
perjuangan ini adalah perjuangan yang tanpa kesudahan, hingga pada masanya kita
menghadap kepada Allah.
10
Elan-vital atau ruhul jihad ini harus mampu ditangkap oleh kader yang ikut dalam
PKD, yakni manusia, siapapun dia, harus berjuang karena ada serangkaian paket ujian dari
Allah. Terkait dengan perjuangan (jihad) ini, PMII kemudian harus menerjemahkan dalam
konteks PMII sebagai organisasi kader yang merupakan sub dari kerja-kerja besar pendidikan
secara umum. Sebagai bagian dari kerja besar pendidikan maka PMII harus mewujudkan
dirinya sebagai lembaga pendidikan (baca: lembaga pengkaderan) yang baik, yakni,
sebagaimana terurai dalam Q.S Ibrahim:24-26), memiliki akar menghujam, cabang
menjulang, dan senantiasa menghasilkan buah (yang dapat dimanfaatkan) pada setiap musim.
Sekali lagi, dalam bingkai inilah jihad yang dimaksudkan di PMII! Alumni PKD diharapkan
dapat mewujudkan amanat dari PMII sebagai kader mujahid dalam konteks ini.
Terakhir, benang merah antara ayat 6-7 dalam surat Al-Fatihah dengan
penyelenggaraan PKL. Sebagaimana dipaparkan di atas, Ayat 6-7 Surat Al-Fatihah berisi
permohonan untuk senantiasa dipandu Allah di jalan yang menuju kepadaNya, yakni jalan-
jalan yang dilalui golongan yang diberi nikmat; bukan golongan yang diadzab karena
dimurkai dan aniaya. Sebagai konsekuensi dari orang yang sedang memohon sesuatu maka
kita harus berada di wilayah kepantasan untuk diluluskannya permintaan itu. Terkait dengan
permintaan agar senantiasa dipandu untuk memperoleh hidayah ini maka kita perlu
mencontoh prilaku orang-orang yang telah diberi hidayah oleh Allah, yakni nabiyyin,
shiddiqin, syuhada’, dan shalihin. Ciri utama orang-orang dalam kategori ini adalah bila
disampaikan kepadanya ayat (tanda keagungan) dari Dzat yang Maha Mengatur
(ayaturrahman) maka ia segera tertunduk, tersungkur, dan bersujud, serta menangis26
.
Untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman sebagaimana orang-orang dalam
kategori ini kita perlu memiliki penguasaan atas tiga ilmu: ilmu alam, sejarah dan geografi,
dan ilmu tentang mikrokosmos. Harap diingat, pengertian menguasai ilmu ialah mampu
memahami hingga ditemukan bangunan teorinya (proposisi, teori substantif, middle-range
theory, dan grand theory). Tambahan satu lagi, ketiga ilmu ini penguasaannya harus sampai
ke hati karena ilmu itu sendiri harus disikapi sebagai cahaya (nuur) yang dapat menghidupkan
persepsi batin.
Terkait PKL, para alumninya diharapkan mampu melihat sisi-sisi lemah dari kondisi
organisasi dalam konteks kekinian (dhulumat), dan kemudian mendefinisikan kondisi masa
depan yang diharapkan dan dituju (nuur). Di sinilah letak pentingnya tujuan agar alumni PKL
memiliki persepsi batin yang hidup. Darinya ia akan mampu menemukan empirical gap dan
26
Q.S Maryam (19):58
11
theoretical gap atas suatu fenomena. Luaran sosok yang menjadi alumni PKL adalah sosok
yang memiliki expert power: change, dream, model, empower, love. Dan, sosok tersebut juga
memiliki reverent power: trustworthy, competent, forward-looking, risk-taker.
Penutup
Demikian sumbangan kecil untuk memunculkan pemikiran tentang elan vital-elan vital
yang lain dalam ber-PMII. Dapat diutarakan sebagai sebuah kesimpulan bahwa, apabila
mampu ditemukan aktualisasi dan kontekstualisasi elan-vital ber-Fatihah menjadi elan-vital
ber-PMII, maka PMII tidak akan pernah menjadi fosil atau lekang oleh zaman. Dengan
mengkader diri di PMII, penulis yakin bahwa di dalam pelaksanaan shalat kita, kita akan
mampu ber-Fatihah secara lebih baik: Fatihah kita adalah Fatihah penuh makna; bukan
fatihah yang sekedar mantra tanpa matra. Dalam PMII yang kontekstual dan transformatif
maka makna itu akan menemukan tanah tempat bersemainya. Kedua, refleksi nilai-nilai Al-
Fatihah yang kita peroleh dari proses mengikuti segala rangkaian perkaderan di PMII juga
akan mengejawantah menjadi pribadi ikhlas dalam beribadah; sabar dan teguh dalam
berjuang; jeli dan jitu dalam melakukan transformasi diri, dan juga transformasi saat bersama
umat.
Sekedar mengingatkan, paparan ini harap disikapi sebatas stimulan demi ditemukannya
elan-vital-elan-vital yang lain dalam ber-PMII saat ini, dan di negara ini. Pada saatnya, saat
elat vital yang konprhensif telah ditemukan, kita bisa mendiskusikan domain yang berikutnya
dalam rangkaian roadmap untuk penemuan konsep perkaderan ideal yang diharapkan, berupa
state-of-the-art (kondisi mutakhir) dunia mahasiswa dan pergerakan, pilihan paradigma
(Arab: wazn) gerakan, baru sampai kepada strategi, pola pengkaderan, plotting materi,
kurikulum dan silabus, dan terakhir nantinya penyusunan buku pegangan kaderisasi..
Karena hanya sebatas stimulan, sangat mungkin Sahabat-Sahabat menemukan rumusan
elan vital yang lain yang justru lebih fresh dan urgent. Satu hal yang, mungkin, dapat kita
sepakati ialah bahwa PMII masih memiliki peluang besar untuk menjaga eksistensinya di
masa mendatang, mengingat lembaga ini akan tetap dibutuhkan oleh generasi mendatang
yang disebabkan oleh tingkat kehausan spiritual yang jauh lebih tinggi daripada generasi-
generasi sebelumnya. Bukan tidak mungkin, PMII justru akan menjadi media untuk ngambah
dhalan, thariqah, atau suluk bagi para mahasiswa dalam melakukan mujahadah menuju
Tuhan.
’Ala kulli hal, Kongres PMII yang merupakan permusyawaratan tertinggi di PMII
sebagaimana di atur dalam Anggaran Dasar PMII, dan PB PMII secara umum ada baiknya
12
memikirkan secara serius tentang kerja-kerja amanah, sabar, dan cerdas, pada track road-map
yang dipaparkan di atas. That’s it, kelihatannya memang masih panjang peta lintasan yang
harus dilalui PMII untuk menemukan sistem kaderisasi idealnya. Marilah ini semua kita
sikapi sebagai medan jihad, ijtihad, dan tajdid kita. Insyaallah ada apresiasi dari Allah Swt.
Syukurlah, tugas itu hari ini telah sampai di tangan para kader PMII yang membaca
tulisan ini. Penulis telah punya banyak teman untuk menuntaskan ini. Semoga roadmap ini
betul-betul dapat dituntaskan! Wallahu a’lamu bi al-shawab.
Top Related