Al-Tatwir, Vol. 5 No. 1 Oktober 2018
~ 39 ~
AGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK
(Perspektif Sosiologi)
Oleh :
Zainul Fanani
Dosen Fakultas Dakwah IAIN Jember
ABSTRAK
Agama sejatinya hadir sebagai solusi paripurna dalam semua persoalan kemanusiaan. Entitas agama seharusnya diartikulasikan adalah sebagai poros yang paling dekat untuk menyelesaikan semua topik problem sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dekade ini kecenderung artikulasi fungsi dan peran agama tersebut sebagai resolusi problem keseharian, mulai dipertanyakan. Agama yang seharusnya menjadi institusi dan pion dalam menyelesaikan isue-isue seputar konflik sosial, malah dituduh sebagai “biang”, dan paling tidak dianggap memiliki tanggungjawab sebagai pemicu beberapa tindak kekerasan dalam berbagai bentuk. Disinilah peran para pemeluk agama sekaligus pelaku yang paling bertanggungjawab atas penyebab konflik atau malah sebaliknya menjadi juru damai relawan atau mediator dan pion dalam membangun harmoni sosial dan interaksi kemanusiaan.
Kata Kunci: konflik sosial, Agama, resolusi, MediatorKonflik
PENDAHULUAN
Atas nama agama berbagai bingkai dan kemasan argumentasi
apologetik dijadikan alibi para pelaku tindak kekerasan untuk
menjadikannya sebagai sesuatu hal yang dibenarkan. Fenomena ini
menimbulkan tanda tanya besar sekaligus memunculkan kecemasan
paradigmatik tentang cara pandang kita terhadap Agama. Padahal
agama satu sisi adalah nilai yang sudah given kebenarannya mutlak
dan tidak bisa diganggu gugat. Seperti Menurut Durkheim, (1961) “
Setiap agama adalah benar menurut gayanya masing-masing ;
jawaban apapun yang dia berikan juga tidak ada yang salah,
meskipun disampaikan dengan cara yang berbeda-beda untuk
Zainul Fanani
~ 40 ~
menyelesaikan berbagai permasalahan eksistensi manusia”.1 (Bryan
S.Tunner 2012 hlm.95). Lantas apa yang salah dalam pilihan-pilihan
keberpihakan serta aksi nyata para pemeluk agama. Faktanya tindak
kekerasan terus berlanjut seiring perjalanan sejarah setiap inci dalam
kehidupan manusia.
Tulisan ini ingin mengelaborasi sejauh mana agama memiliki
fungsi integrasi pada realistas masyarakat. Tentunya akan melibatkan
sejauh mana takaran aksi para pemeluk agama dalam menyelesaikan
problem konflik atas nama agama, yang gejalanya terus meningkat.
Sekali peran agama dalam hal ini pemeluknya merupakan faktor
penting bagaimana menterjemahkan artikulasi fungsi agama dalam
realitas keseharian.
Makna Agama Perspektif Sosiologi
Sejumlah kasus intoleransi kembali terjadi beberapa hari
belakangan. Sejumlah pihak mengecam keras aksi kekerasan agama
tersebut, karena dianggap menodai keberagaman dan mencederai
wajah demokrasi di Tanah Air. Setara Institute menganggap kasus
kekerasan agama ini bagai ‘tamparan’ bagi tokoh agama dan
pemerintah yang baru saja menyelenggarakan Musyawarah Besar
Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa di Jakarta pada 8 hingga
10 Februari 2018. "Setara Institute mengutuk seluruh kebiadaban
yang sarat dengan sentimen keagamaan tersebut. Berkaitan dengan
itu, kami ingin mengingatkan ulang kepada pemerintah, pemuka
agama, dan elite ormas-ormas keagamaan bahwa potret riil
kerukunan itu terletak di tingkat akar rumput," ujar Ketua Setara
Institut Hendardi, Minggu (12/2).2
Kutipan Narasi berita pada paragraf diatas terasa membuat
kita perlu melihat kembali persoalan mendasar sisi keberagamaan
kita. Termasuk begitu pentingnya membangun formulasi
keharmonisan sosial yang berbasis agama, agaknya kita perlu
mencoba untuk melihat kembali makna agama sebagai bagian dari
ikhtiar membidik artikulasi agama dalam carut marutnya konflik
1 (Bryan S.Tunner 2012 hlm.95). 2 Published On 19 February 2018 Rochmanudin Jakarta, IDN Times
Al-Tatwir, Vol. 5 No. 1 Oktober 2018
~ 41 ~
kemanusiaan dewasa ini.
Menurut Hendropuspito Definisi agama menurut sosiologi
adalah definisi yang empiris, Sosiologi tidak pernah memberikan
definisi agama yang evaluatif (menilai). Pengertian agama
didiskripsikan menurut apa yang dimengerti dan dialami oleh
pemeluknya3. Ta’rif dari makna agama sangat subyektif, hal inilah
barangkali memberikan peran pemaknaan agama sangat individual,
seperti dikisahkan dalam sejarah pembentukan syari’at Islam
Bagaimana Sahabat Abu Bakar memerankan agamanya lebih bersifat
lembut dan penyabar, sedangkan Sahabat Umar lebih sering
dikisahkan sebagai pribadi yang tegas lugas dan tanpa kompromi.
Problemnya kemudian apakah syah seseorang yang mengatasnama-
kan agama melakukan tindak kekerasan seperti apa yang difahami-
nya ?, Pertanyaan ini perlu diajukan mengingat kekerasan seringkali
muncul dari akibat perspektif pamahaman keagamaan setiap peme-
luk agama. Juga agama dianggap sebagai respon atas intelektual
kognisi individu manusia, sistem proposisi-proposisi berkaitan
dengan penjelasan bagi realitas individu dalam mengahadapi
fenomena alam dengan cara mengaitkan dengan hal-hal yang
bersifat supernatural .4 Sehingga tidak berlebihan jika Sindung
mengatakan bahwa, “ Agama merupakan fenomena yang unik dan
kompleks, karena tidak hanya menyangkut agama yang bersifat
monotheisme, tetapi juga politheisme bahkan mencakup fenomena,
seperti aliran kepercayaan, mistik, mitos, dan tabu.
Definisi tentang agama merupakan persoalan serius karena
tidak sekedar menyangkut isu akademik. Perbedaan definisi agama
berakibat pada perbedaan interpretasi isu-isu, seperti perubahan
sosial, modernitas, dan berbagai variasi agama yang ada.5 Barangkali
definisi yang beragam seperti ini seringkali menjadi persoalan serius
dalam proses perubahan sosial yang terjadi . Mengingat definisi
tersebut melibatkan prilaku-prilaku sosial yang sangat interpretatif,
3 HendroPuspito, Sosiologi Agama, (Kanisius Jakarta, 1989)hlm.34 4 Bryan S. Tunner, Relasi Agama Dan Teori Sosial Kontemporer
(Jogjakarta:Ircisod,2012) hlm.90 5 Sindung, (2015)hlm.27
Zainul Fanani
~ 42 ~
lokalistis dan variatif. Bahkan menurut M.Iqbal yang dikutip Zulfi
Mubarok, bahwa agama adalah ekspresi kemanusiaan. Sangat
maklum dan wajar jika manusia atau pemeluk agama fanatik
terhadap keyakinan agamanya. Dan menjadikan agamanya sebagai
Truth Claim atau kebenaran tunggal. Hanya didalam agamanyalah
sendiri terdapat kebenaran tunggal sedangkan agama yang lain
salah.6
Agama pada umumnya memberikan jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab dan didekati dengan ilmu
pengetahuan ilmiyah. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, misalnya
mengapa manusia berada di dunia, apa saja tujuan hidup manusia,
mengapa manusia hidup dan mati, dan apa yang terjadi ketika
manusia meninggal. Agama terdiri atas seperangkat kepercayaan,
simbol, dan ritual. Kepercayaan tersebut mengikat individu dan
menjadi pedoman hidup bersama . 7 Senada dengan pendapat
Hendropuspito yang mengutip pendapat Dunlop, Ia melihat bahwa
agama adalah sarana terakhir yang sanggup menolong manusia
bilamana instasi yang lainnya gagal tak berdaya. Maka ia
merumuskan agama sebagai suatu institusi atau bentuk kebudayaan
yang menjalankan fungsi pengabdian kepada umat manusia,
bilamana tidak tersedia suatu institusi atau lembaga lain yang
sanggup menangani. 8
Dalam pandangan Turner (2006:284), agama menunjuk pada
proses-proses dan institusi-institusi sosial yang mengikat individu
secara otoriatif kedalam tatanan sosial. Agama secara umum dapat
didefinisiskan sebagai sistem kepercayaan dan praktik-praktik
keagamaan yang berdasarkan beberapa nilai-nilai sakral dan super
natural yang mengarahkan prilaku manusia, memberikan makna
hidup, dan menyatukan pengikutnya ke dalam suatu komunitas
moral.9
6 Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama (Malang:UIN Maliki Malang, 2010) hlm.
112 7 Sindung, Op.cit, hal:27). 8 hendro,1989:35. 9 Sindung, 2015:28.
Al-Tatwir, Vol. 5 No. 1 Oktober 2018
~ 43 ~
Namun harus dibedakan antara sistem kepercayaan yang
disebut Agama, dengan kecenderungan religius. Dalam hal ini
Hendro mengutip Joachim Wach bahwa agama harus memiliki tiga
unsur yakni, Pertama unsur teoritis, yakni memiliki seperangkat
sistem kepercayaan. Kedua unsur praktis, berupa sistem kaidah yang
mengikat penganutnya. Ketiga aspek sosiologis, bahwa agama
memiliki sistem hubungan dan interaksi sosial. Sehingga jika salah
satu unsur dapat dipenuhi maka kita tidak dapat berbicara tentang
agama, tetapi itu hanya suatu kecenderungan religius. 10
Selanjutnya menurut Sindung dalam sosiologi, secara garis
besar terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai agama.
Perbedaan pandangan tersebut diantaranya dapat dikategorikan
kedalam tiga perspektif, yakni perspektif fungsional, konflik, dan
interaksionisme simbolik. Perspektif fungsional menekankan pada
fungsi integratif agama bagi keseluruhan masyarakat. Perspektif
konflik menekankan pada peran agama dalam perubahan sosial.
Perspektif interaksionisme simbolik menekankan peran agama
sebagai penyedia kelompok referensi. 11
Perspektif fungsionalis yang dipelopori Durkheim, berkeyaki-
nan bahwa agama berfungsi sebagai perekat sosial (sosial glue) yang
dapat meningkatkan kesatuan dan solidaritas sosial. Fungsi tersebut
dicapai melalui mekanisme introduksi doktrin-doktrin agama untuk
meningkatkan emosional para pengikutnya dan menyelenggarakan
ritual yang ditujukan untuk memantapkan hubungan sosial. Selain
itu agama berfungsi menetralisir kekacauan dari perubahan sosial.12
Perspektif konflik, dengan tokoh utamanya Karl Marx me-
nekankan bahwa agama mempunyai peran penting bagi terjadinya
perubahan sosial dimasyarakat. Bagi Marx, agama merupakan alat
legitimasi kelas penguasa untuk membenarkan tindakan eksploitatif
yang dilakukannya. Kaum kapitalis menggunakan fatwa-fatwa dari
kalangan agamawan (gereja) untuk melegalkan kebijakan-kebijakan
yang diterapkan kepada para buruh. Dengan demikian agama tidak
memberikan pencerahan bagi masyarakat, bahkan sebaliknya. Oleh
10 Puspito 1989:35, mengutip Joachim Wach dalam Siciology or Religion 11 Sindung Op.Cit,,hal:26) 12 Ibid, hal :26
Zainul Fanani
~ 44 ~
karena itu, Marx berpendapat bahwa agama merupakan opium
(candu) bagi masyarakat, agama menginspirasi terjadinya banyak
pemeberontakan di masyarakat kapitalis . 13
Sedangkan dalam perspektif interaksionisme simbolik ber-
pendapat bahwa agama berfungsi menyediakan kelompok referensi
untuk membantu orang menemukan dirinya sendiri. Tokoh-tokoh
agama orang-orang sholeh, dan aulia (orang yang dianggap suci)
merupakan kelompok referensi yang menjadi panutan atau teladan
karena dianggap mempunyai pengetahuan agama yang cukup, hal
itu tercermin dalam perilakunya sehari-hari.
Fungsi Agama
Menurut Thomas F, Odea 14 Fungsi agama terdiri dari :
Pertama, Agama menyediakan bagi pemeluknya suatu
dukungan, pelipur lara dan rekonsiliasi. Manusia membutuhkan
dukungan moral disaat menghadapi ketidak pastian, pelipur lara di-
saat berhadapan dengan kekecewaan, dan membutuhkan rekon-
siliasi dengan masyarakat bila diasingkan dari tujuan dan norma-
normanya. Karena gagal mengejar aspirasi, karena dihadap-kan
dengan kekecewaan serta kebimbangan, maka agama menyedia-kan
sarana emosional penting yang membantu memberi dukungan, dan
menopang nilai-nilai dan tujuan yang telah terbentuk, memperkuat
moral dan membantu mengurangi kebencian.
Kedua, Agama berfungsi sebagai pemberi rasa aman dan
identitas yang lebih kuat ditengah ketidakpastian pada arus
perubahan sejarah.
Ketiga, Agama mencucikan norma-norma dan nilai masyara-
kat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelom-
pok diatas keinginan individu dan disiplin kelompok diatas doro-
ngan hati individu.
Keempat, Fungsi Risalah dan kenabian, memberikan standard
nilai.
Kelima, Fungsi identitas.
Kesimpulannya menurut teori fungsional, agama meng-
13 Ibid hlm.27 14 Thomas F, Odea (1987)
Al-Tatwir, Vol. 5 No. 1 Oktober 2018
~ 45 ~
identifikasikan individu dengan kelompok, menolong individu da-
lam ketidakpastian, menghibur ketika dilanda kecewa, mengaitan-
nya dengan tujuan-tujuan masyarakat, memperkuat moral, dan
menyedikan unsur-unsur identitas. Agama bertindak menguatkan
kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan mendukung pengen-
dalian sosial, menopang nilai-nilai dan tujuan yang mapan, dan
menyediakan sarana untuk mengatasi kesalahan dan keterasingan.
Ia juga melakukan peran risalat dan membuktikan dirinya sebagai
sesuatu yang tidak terpecahkan.
Lain halnya menurut Hendro Puspito (1984:38 ), Fungsi
Agama terdiri dari, Pertama, Fungsi edukasi, agama dianggap
sanggup memberikan pengajaran otoritatif. Agama menyampaikan
ajarannya dengan perantaraan petugas-petugasnya baik didalam
upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan (meditasi),
pendalaman rohani, mapun diluar perayaan religius. Untuk
melaksanakan tugas itu ditunjuk sejumlah fungsionaris seperti para
Nabi, Kyiai, Pendeta, pedanda. Kebenaran ajaran mereka harus
diterima karena mereka diyakini dapat berhubungan langsung
dengan “yang ghaib” dan “yang sakral”. Masyarakat mempercaya-
kan anggota-anggotanya kepada lembaga agama dengan keyakinan
bahwa mereka sebagai manusia (dibawah bimbingan agama) akan
berhasil mencapai kedewasaan pribadinya yang penuh. Sejarah
mencatat bahwa agama memiliki pusat-pusat pendidikan yang
dikenal dengan pondok, padepokan, pesantren, biara, asrama dll.
Keunggulan dan kelebihan pendidikan keagamaan dapat dilihat dari
kenyataan yang tidak luntur, bahwa banyak keluarga yang lebih
suka yang mengirimkan anak-anaknya kepusat-pusat pendidikan
keagamaan daripada kepusat pendidikan negara. Kunci
keberhasilan kaum agamawan terletak dalam pendayagunaan nilai-
nilai rohani yang merupakan pokok kepercayaan agama.
Kedua fungsi penyelamatan, Dalam hal ini agama memberikan
jaminan akan keselamatan manusia untuk mencapai kebahagiaan
tertinggi dan yang terakhir. Karena bagaimanapun manusia secara
mutlak tidak akan mampu memenuhi hal tersebut. Kebahagiaan itu
berada diluar batas kemampuan manusia. Ada titik persamaan yang
Zainul Fanani
~ 46 ~
universal dari fungsi agama, Yakni : pertama, Agama membantu
manusia mengenal “yang sakral”, dan Yang tertinggi atau Tuhan,
dan berkomunikasi denganNya. Dan yang kedua Agama sanggup
mendamaikan kembali manusia yang salah dengan Tuhan dengan
jalan pengampunan.
Ketiga Fungsi pengawasan sosial (social control), Agama
merasa bertanggungjawab atas adanya norma-norma susila yang
baik yang diberlakukan atas masyarakat manusia pada umumnya.
Maka agama menyeleksi kaidah-kaidah susila yang ada dan
mengukuhkan yang baik sebagai kaidah yang baik, dan menolak
kaidah yang buruk untuk ditinggalkan sebagai larangan atau tabu.
Agama juga memberi sanksi-sanksi yang harus dijatuhkan kepada
orang yang melanggarnya dan mengadakan pengawasan yang ketat
atas pelaksanaannya. 15
Agama Kekerasan dan Konflik
Pengertian konflik dan kekerasan sebenarnya memiliki
perbedaan. Secara umum konflik berkecenderungan berkaitan
dengan hal perselisihan dan persengketaan antara dua kelompok
potensial atau lebih. Konflik bertendensi pada sikap salin
menjatuhkan dan melemahkan antara fihak yang bertikai.16
Sedangkan kekerasan secara umum berarti serangan atau sesuatu
tindakan seseorang baik fisik maupun non fisik untuk ditujukan
kepada orang lain berupa serangan, pengrusakan, dan
penghancuran baik sengaja maupun tidak sengaja.17 Makna yang
berbeda ini tentunya tidak berarti keduanya yakni konflik dan
kekerasan, dua hal yang sangat berjauhan. Justru dapat kita fahami
konflik dan kekerasan seringkali berjalan beriringan. Mengingat
banyaknya kekerasan terjadi dikarenakan terdapat gejala konflik
diawal. Meskipun tidak semua konflik berakhir dengan kekerasan.
Agama sangat dekat dengan kekerasan, atau barangkali
15 Puspito (1984:38 ), 16 Elly M Setiadi & Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, Jakarta;Kencana
Prenamedia Group,2011,Hlm.359 17 Ibid, Elly M Setiadi & Usman Kolip,2011,Hlm.359
Al-Tatwir, Vol. 5 No. 1 Oktober 2018
~ 47 ~
seringkali terjadi kekerasan atas nama agama. Hal ini sangat
dimaklumi sebab menurut Crapps seperti yang dikuti oleh Zulfi
2010:112, menyebutkan bahwa beragama itu sangat terkait dengan
faktor emosi religius, pemikiran, afeksi religius kehendak dan
tentang pengambilan keputusan moral.18 Nuansa inilah yang
kemudian seringkali kita temukan para penganut agama secara
psikis terlibat secara emosional pada setiap doktrin dan teks
keagamaan yang mereka anut. Kemudian digunakan sebagai sarana
untuk memaksa dan menginterfensi orang lain secara fisik dan
sosial. Potensi emosi inilah yang memiliki dua mata fungsi
kegunaan. Apakah akan dijadikan sebagai modal membangun
kerukunan atau sebaliknya menciptakan konflik dan kekerasan.
Melihat begitu pentingnya fungsi agama dalam proses
membangun peradaban manusia yang damai dan luhur. Maka
seharusnya agama menempatkan diri sebagai salah satu bagian yang
mendasar untuk membangun peradaban yang sejuk dan damai.
Namun faktanya berbicara sebaliknya. Kerusuhan dan kekerasan
sosial yang bermotifkan konflik agama justru banyak bermunculan
dan menimbulkan banyak korban jiwa.
Beberapa data yang bisa di tampilkan tentang konflik dan
kekerasan antara tahun 1996 sampai dengan tahun 2015 diantaranya
adalah :
1. Konflik Ambon Islam dan Nasrani
Konflik kerusuhan yang terjadi di Ambon, Maluku tanggal 19
Januari 1999. Konflik sosial ini dipicu permasalahan sederhana
menjadi besar setelah ada berbagai isu yang menerpa dan pada
akhirnya membakar amarah kedua belah pihak antara orang Muslim
dan Nasrani. Di laporkan konflik di Ambon tersebut telah
menyebabkan warga tewas 12 orang di tambah ratusan orang
terluka.
2. Kerusuhan Poso Islam dan Nasrani
Kerusuhan Poso pada kota Poso, Sulawesi Tengah ini juga
sebuah contoh konflik antar agama yang dimana dampak muncul
18 Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama (Malang: UIN Maliki Malang, 2010)
hlm. 112
Zainul Fanani
~ 48 ~
cukup serius. Konflik sosial di antara umat Islam dan Nasrani ini
sampai berlarut panjang dan terbagi menjadi tiga waktu. Hal
tersebut dikarenakan kurangnya penanganan konflik yang terjadi.
Kerusuhan pertama (Poso I) terjadi antar tanggal 25 sampai 29
Desember 1998, Poso II terjadi antar tanggal 17 sampai 21 April 2000,
sementara pada Poso III terjadi antar tanggal 16 Mei sampai 15 Juni
2000. Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah korban dan
kerugian yang diakibatkan oleh konflik ini. Yang pasti setelah
penandatanganan Deklarasi Malino tanggal 20 Desember 2001,
antara kedua pihak bertikai, sudah berangsur -angsur membaik
setelah Deklarasi Malino sendiri di inisiasi Bpk. Jusuf Kalla.
3. Konflik Tolikora Islam dan Nasrani
Konflik antar agama di kota Tolikora Papua, terjadi pada 17
Juli 2015. Konflik yang dimulai dengan adanya insiden ngawur
pembakaran masjid dari para jemaat Gereja Injil itu diawali saat
masyarakat muslim hendak melakukan ibadah sholat Idul Fitri.
Konflik ini menyebabkan dua orang tewas dan sekitar 96 rumah
warga muslim di bakar. Beruntung upaya rekonsiliasi tersebut bisa
segera dilaksanakan sehingga korban apapun tidak bertambah lagi
4. Konflik Antar Agama di Aceh
Konflik antar agama terjadi di Aceh kota Singkil pada tahun
2015 yang di awali dengan serangkaian demonstrasi dilakukan oleh
sebagaian umat Islam yang menuntut pemerintah daerah untuk
membongkar sejumlah gereja Kristen.
5. Konflik Antar Agama Lampung Selatan
Konflik di Lampung Selatan terjadi pada tahun 2012, antar
masyarakat desa Balinuraga yang mayoritas penduduknya bergama
Budha dan Masyarakat Desa Agom yang kebanyakan beragama
Islam. Konflik itu disebabkan hal yang sepele yakni, salah seorang
gadis dari Desa Agom diganggu oleh pemuda Desa Balinuraga.
6. Konflik Antar Agama Situbondo
Contoh konflik antar agama selanjutnya adalah di kota
Situbondo Jawa Timur, pada tanggal 10 Oktober 1996. Peristiwa ini
terjadi dan dilatarbelakangi oleh sebab tidak puasnya kasus hukum
yang menimpa salah satu orang penghina agama Islam. Karena tidak
Al-Tatwir, Vol. 5 No. 1 Oktober 2018
~ 49 ~
puas itu konflik terjadi, dimana pada saat itu dari pihak penista
agama disembunyikan dalam gereja. Sehingga masyarakat mulai
bergerak mencari cara masuk kebeberapa gereja, Sekolah Kristen,
Sekolah Katolik, juga toko milik para orang Tionghoa di Situbondo.19
Kemudian data konflik yang terbaru terjadi diseputar tahun
2018, diantaranya :
7. Pura di Lumajang dirusak orang tak dikenal
Masyarakat Lumajang digegerkan dengan perusakan sebuah
Pura di daerah Senduro. Para pelaku menghancurkan setidaknya
tiga arca. "Pelaku ini sepertinya memanfaatkan kasus yang ada
sekarang ini. Makanya harus diusut mulai sekarang. Jangan sampai
meluas," tegas Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Frans Barung
Mangera saat melakukan konferensi pers, Senin (19/2).
8. Penyerangan terhadap ulama di Lamongan
Penyerangan terhadap ulama juga menimpa seorang kiai di
Lamongan bernama Abdul Hakam Mubarok pada Ahad (19/2).
Korban yang merupakan pengasuh Pondok Karangasem Paci-
ran Lamongan tersebut diserang oleh seorang pria yang berlagak
gila.
Namun, saksi mata yang berada di lokasi mengatakan bahwa
tampilan pelaku tak seperti orang gila karena tak tampak kumal.
Bahkan, gigi dan baju yang dipakainya tampak bersih. Yang lebih
janggal, pelaku diketahui sudah mondar-mandir di lokasi sejak
beberapa hari sebelumnya.
Sempat menuai amarah massa, pria berambut cepak itu pun
diamankan di Mapolsek Paciran. Informasi terakhir, pria tersebut
dibawa ke RS Bhayangkara untuk diperiksa kejiawaannya.
9. Perusakan masjid di Tuban
Belum usai kasus perusakan gereja di Yogya dan pengusiran
Bikhsu di Tangerang, penyerangan tempat ibadah kembali terjadi.
Kali ini, masjid Baiturrahim di Tuban, Jawa Timur diserang
sekolompok orang.
Kepala Bidang Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Frans
Barung Mangera mengatakan, perusakan masjid terjadi pada Selasa
19 (https://caragigih.id/contoh-konflik-antar-agama).
Zainul Fanani
~ 50 ~
(13/2) pukul 01.00 WIB. Pada pukul 03.00 WIB, Polres Tuban
langsung mengamankan para pelaku yang berjumlah dua orang.
Satu pelaku bernama M Zaenudin (40) warga Desa Karang-
harjo RT 02 RW 01, Kecamatan Kragan, Rembang, Jawa Tengah.
Zaenudin diamankan di Polda Jatim karena indikasi gangguan jiwa,
satu lain masih dalam penangangan Polres Tuban.
Sebelum kejadian, pelaku Zaenudin pada malam hari mencari-
cari seorang Kiai Pondok Al Ishlahiyah, Gus Mad. Seorang warga,
Muhammad, sempat menanyakan tujuan pelaku mencari-cari
hingga ke belakang masjid. Namun, pelaku malah marah dan
memukul Muhammad.
Pelaku kemudian pemecahan kaca masjid, hingga masyarakat
sekitar menangkapnya. Pelaku kemudian diserahkan kepada
kepolisian setempat. Dalam proses pemeriksaan, kepolisian
menemukan buku-buku ilmu sufi dan buku makrifat. Namun
dugaan ilmu menyimpang dan lain-lain masih dikembangkan Polda
Jatim.
10. Ancaman bom di kelenteng Kwan Tee Koen Karawang
Selain penyerangan gereja, pada hari yang sama juga terjadi
ancaman ledakan bom di Kelenteng Kwan Tee Koen, Karawang,
Jawa Barat. Tersangka bernama Dadang Purnama alias Daeng alias
Dawer Bin Adang Rahmat.
Kapolres Karawang AKBP Hendy F Kurniawan mengatakan
ancaman bom bermula dari kedatangan Dawer ke kelenteng, untuk
memberikan Alquran kecil kepada pengurus kelenteng pada
Minggu 11 Februari 2018, sekitar pukul 05.15 WIB.
Setelah membuka Alquran, Handy mengatakan, pengurus
menemukan selembar kertas berisi ancaman bom dan permintaan
puluhan juta rupiah. Kertas tersebut bertuliskan, "Rp63.000.000,
Sejarah Pembodohan Uang. Sudah terungkap sekarang mending loe
TF : ke Rek gua 1091620125 (BCA) atau GUA BOM ini tempat loe'."
Setelah menyelidiki kasus ini, Senin (12/2), sekitar pukul 01.00
WIB polisi menangkap Dawer di rumah orang tuanya di Babakan
Sananga Timur, RT 001 RW 004, Kelurahan Adiarsa Timur, Kecama-
tan Karawang Timur, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Al-Tatwir, Vol. 5 No. 1 Oktober 2018
~ 51 ~
Polisi menyita sejumlah barang bukti dari penangkapan pelaku
yang kelahiran Cirebon, 1 September 1993 itu, di antaranya satu
Alquran kecil sampul warna merah yang ditemukan di kelenteng),
uang selembar pecahan Rp10 ribu, satu lembar kertas berisi
ancaman, dan satu buku berjudul Aku Cinta Islam.
11. Serangan Gereja Santa Lidwina Sleman
Kasus kekerasan agama terjadi di Yogyakarta. Seorang
pemuda bersenjata pedang menyerang jemaat di Gereja Santa
Lidwina, Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman,
Yogyakarta pada Minggu (11/2).
Peristiwa ini menyebabkan Romo Prier dan dua jemaatnya
serta seorang polisi mengalami luka berat akibat sabetan senjata
tajam. Pelajar berinisial S asal Banyuwangi, Jawa Timur itu akhirnya
dilumpuhkan polisi dengan senjata api di bagian kaki dan perut.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebutkan, S diduga
terpengaruh radikalisme hingga melakukan aksi penyerangan ke
tempat ibadah. Dia pernah tinggal di Poso dan Magelang. Dia juga
pernah membuat paspor untuk pergi ke Suriah, tapi gagal.
Kepolisian masih menyelidiki kemungkinan S bekerja sendiri
(lone wolf) atau terlibat jaringan teroris lain. Kondisi S saat ini belum
dapat dimintai keterangan karena mengalami luka tembak yang
cukup parah.
12. Persekusi terhadap Biksu di Tangerang
Kasus kekerasan agama pertama sepanjang 2018 yakni
persekusi terhadap Biksu Mulyanto Nurhalim dan pengikutnya di
Desa Caringin Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, Banten,
pada Rabu (7/2) dan baru viral di media sosial pada 9-10 Februari
lalu.
Sekelompok orang tiba-tiba menggerebek kediaman Mulyanto.
Mereka menuding sang biksu sering mengadakan kegiatan ibadah
agama Buddha di rumahnya. Yang lebih ekstrem lagi, orang-orang
itu menuding ada upaya dari Mulyanto untuk mengajak warga
sekitar berpindah agama.
Dari video yang beredar hingga viral itu, Mulyanto kemudian
diminta membuat surat pernyataan dan meninggalkan rumahnya
Zainul Fanani
~ 52 ~
pada 4 hingga 10 Februari 2018. Di bagian akhir video, ia mengaku
siap diproses secara hukum jika terbukti melanggar surat pernyataan
tersebut.
Romo Kartika yang mewakili pemuka agama Buddha mem-
bantah akan dilakukan kegiatan ibadah di Desa Babat. Ia juga
membantah akan dibangun Vihara di area tersebut.
Ia menjelaskan setiap Minggu Biksu Mulyanto mendapat
kunjungan dari warga dari luar Desa Babat, karena ingin memberi-
kan bekal makanan. Mulyanto pun membalasnya dengan mendoa-
kan orang-orang yang telah memberikan bekal makanan itu. Romo
Kartika mengakui ada kekeliruan, sehingga terdapat mispersepsi
terhadap kegiatan Biksu Mulyanto.
Sedangkan, petinggi di desa tersebut mengklaim mereka tidak
anti terhadap warga dari agama lain. Bahkan, mereka menyebut
sejak dulu selalu bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain baik
itu Nasrani, Buddha atau Khonghucu.
13. Dua serangan brutal terhadap tokoh Islam
Setara Institut menyebutkan terjadi dua serangan brutal ter-
hadap tokoh agama. Pertama penganiayaan ulama sekaligus Pim-
pinan Pusat Persatuan Islam (Persis) HR Prawoto, oleh orang tak
dikenal pada Kamis (1/2), hingga nyawanya tak dapat diselamatkan.
Kedua, penganiayaan pada ulama, tokoh NU, sekaligus
pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah Cicalengka Bandung, Jawa
Barat, KH Umar Basri pada Sabtu (27/1).20
Sebab-Sebab Konflik
1. Pelaku Para Pemeluk Agama
Peristiwa Konflik tersebut menunjukkan bahwa sekian banyak
konflik dan kerusuhan masih tetap berindikasi pada ruang lingkup
diseputar wilayah agama. Namun fakta sejarah menjelaskan bahwa
tidak semua kekerasan memiliki landasan agama, namun justru
yang terjadi adalah banyaknya kekerasan yang muncul
mengatasnamakan agama. Hal inilah yang memunculkan klaim
20 https://www.idntimes.com/news/indonesia/rochmanudin-wijaya/
linimasa-kasus-intoleransi-dan-kekerasan-beragama-sepanjang-2/full
Al-Tatwir, Vol. 5 No. 1 Oktober 2018
~ 53 ~
bahwa ajaran agama tidak memiliki unsur kekerasan namun
manusianyalah atau penganut agamalah yang seringkali
membelokkan makna agama yang sesungguhnya. Dan dalam
kenyataannya manusia seringkali menjadikan agama sebagai
kendaraan bagi tendensi kekerasan, karena diakui atau tidak akar
kekerasan secara normatif juga bisa ditemukan dalam agama.21
Anomali semacam ini selanjutnya jika ditelisik lebih dalam
mengingatkan kita akan apa yang tercantum dalam narasi kitab suci,
bahwa sejarah kehidupan manusia diantaranya adalah sejarah
tentang kekerasan. Meskipun kitab suci tidak mengajarkan
kekerasan secara moralitas, namun pemeluk agama seringkali
melakukan tindak kekerasan ketika identitas mereka terancam.
Bahkan para penganut agama tersebut merasa bahwa tindakan
kekerasan yang mereka lakukan dibenarkan oleh “Tuhan” mereka.
Sehingga naskah dan landasan agama kemudian ditarik dan
dimaknai sedemikian rupa untuk dianggap “syah” sebagai bagian
dari kebutuhan dan kepuasan dalam mempertahankan iman.22
2. Stereotype In Group dan Out Group
Sisi lain adalah munculnya prasangka kelompok yang satu
kepada kelompok yang lain. Jika dalam hal ini adalah agama sebagai
starting pointnya, maka bisa menjadi, bahwa agama saya lebih benar
dibanding dengan agama kalian. Orang kemudian membuat
kategorisasi dan karakteristik atas tampilan dan prilaku orang lain
berdasarkan berbagai kategori ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan
tampilan komunikasi verbal mapun non verbal. Alo Liliweri
menyebutnya sebagai stereotip, yang berarti pemberian sifat tertentu
terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subyektif.
Dan stereotip ini merupakan salah satu bentuk utama dari
prasangka. Kami dipandang sebagai kelompok “in group” yang
superior sedangkan “mereka” dianggap sebagai kelompok lain (out
group) yang inferior. Yang terjadi biasanya dalam proses kategori
sosial adalah In Group cenderung menempatkan kelompok sendiri
sebagai yang baik. Sedangkan kelompok yang lain atau out group
21 (zulfi Mubarok 2010:118). 22 (zulfi 2010:118).
Zainul Fanani
~ 54 ~
selalu dievaluasi berdasarkan sudut pandang dan perspektif
kelompok kami.23
3. Dissosiatif
Kecenderungan dissosiatif dan sulit bekerjasama dengan
kelompok lain inilah yang menyebabkan kelompok pemeluk agama
tertentu seringkali berbenturan dengan kelompok pemeluk agama
yang lain. Sehingga secara sosiologis bisa dianalisa bahwa fungsi
agama yang kecenderungannya mempersatukan masyarakat
(integratif). Malah berbalik menjadi agama yang memiliki fungsi
pemecah belah atau (disintegratif). Ajaran agama yang secara
normatif menghadirkan petuah dan ajaran tentang Cinta Kasih,
kedamaian, keadilan dan kejujuran beserta dengan ajaran perbuatan
baik yang lainnya. Beralih menjadi ajaran yang menurut para
pemeluknya paling benar, dan melakukan ekspansi kepada pemeluk
agama lain. 24
Dalam hal ini seharusnya agama memiliki peran yang lebih
integratif , menciptakan suasana sosial yang lebih harmonis. Bukan
sebaliknya agama justru menjadi alat untuk memecahbelah. Agama
seharusnya bisa meminimalisir konflik. Bahkan seharusnya
meredam konflik pada tingkat yang paling rendah. Jangan sampai
konflik yang terjadi justru mengakibatkan munculnya kekerasan.
Dan kalau bisa bagaimana agama berperan mengelola konflik
menjadi hal yang lebih positif dan menjadi keuntungan sosial bagi
masyarakat.25
4. Constrain
Agama bisa menjadi faktor pendorong (enabler) terhadap
perubahan sosial. Namun sebaliknya, agama menjadi faktor peng-
hambat (constrain) perubahan sosial. Diantara unsur penghambat
proses perubahan sosial adalah nilai atau atau keyakinan yang
bertendensi pada seputar respon terhadap situasi yang berubah.
Studi yang dilakukan oleh Boaz (1962:137) seperti yang dikutip oleh
Sindung mengatakan bahwa ciri khas peradaban dekade ini akan
23 (Alo liliweri,2015:2017). 24 (Zulfi 2010:119) 25 Ibid,Hlm.127
Al-Tatwir, Vol. 5 No. 1 Oktober 2018
~ 55 ~
terus diwarnai oleh konflik antar tradisi, konservatif dan
radikalisme. Goalnya adalah mengkonstruksi masa depan atas dasar
kepentingan rasional. Konflik ini akan bisa ditemukan dalam dunia,
pendidikan, hukum, ekonomi, agama dan lainnya. Misalnya bisa
berupa hal-hal yang berkaitan dengan disiplin melawan kebebasan,
dogma melawan kebebasan beriman.26
5. Eksternal
Belum lagi pengaruh eksternal agama juga mewarnai dalam
perubahan kehidupan beragama. Komunitas muslim mengalami
berbagai macam persoalan tantangan yang harus dihadapi.
Diberbagai negara Islam yang penduduknya mayoritas muslim
justru menagalami marginalisasi. Belum lagi tantangan bagi
pemeluk agama Islam terhadap islamophobia Barat atas Islam.
Perang melawan terorisme pasca kejadian september 2001 membuat
trauma sebagian orang muslim di Amerika.27
Tawaran Solusi Atas Konflik
Seperti yang dikutip Wahyu menurut para ahli yang fokus
meneliti tentang konflik bahwa penyebutan Resolusi konflik dalam
bahasa Inggris adalah conflict resolution, yang secara bahasa
menunjukkan makna yang berbeda-beda. Resolusi dalam Webster
Dictionary menurut Levine adalah (1) tindakan mengurai suatu
permasalahan, (2) pemecahan, (3) penghapusan atau penghilangan
permasalahan. 28
Selanjutnya Wahyu menyebutkan Weitzman dalam Morton
and Coleman, mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah
tindakan pemecahan masalah bersama (solve a problem
together). Definisi ini memiliki perbedaan dengan yang istilah yang
dikemukakan oleh Simon Fisher, dkk, yang menjelaskan bahwa
resolusi konflik adalah usaha menangani sebab-sebab konflik dan
berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama diantara
26 Sindung, hlm.244 27 Ibid, hlm.249 28 Wahyu Wiji Utomo , http://sosialpolitikislam.blogspot.com/2014/04/
makalah-resolusi-konflik.html
Zainul Fanani
~ 56 ~
kelompok-kelompok yang berseteru.
Dengan demikian konflik memang harus dikelola dengan jitu,
mengingat akan terus menjadi problem sosial yang setiap saat
menjadi bagian dari kehidupan alamiyah yang dihadapi oleh
manusia. Diperlukan pemahaman tentang model dan proses
penyelesaian yang baik. Jika konflik menjadi bagian dari iteraksi
antar manusia maka konflik bisa dikategorikan pada konflik yang
konstruktif dan konflik yang destruktif . Konflik yang konstruktif
menghasilkan resolusi positif bagi perubahan atau pembaharuan
relasi, misalnya kebebasan mengambil keputusan dan
memberdayakan orang lain dalam proses pengambilan keputusan.
Ketika kita menggunakan pengertian konstruktif ,maka konflik akan
membantu setiap pihak secara bebas memberikan pendapat
terhadap seluruh persoalan.29
Dari pemaparan teori menurut para ahli tersebut maka dapat
difahami bahwa yang dimaksud dengan resolusi konflik adalah
suatu cara individu untuk menyelesaikan masalah yang sedang
dihadapi dengan individu lain secara sukarela. Resolusi konflik juga
menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan
konstruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan
kesempatan kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk meme-
cahkan masalah mereka oleh mereka sendiri atau dengan melibatkan
pihak ketiga yang bijak, netral dan adil untuk membantu pihak-
pihak yang berkonflik memecahkan masalahnya.30
Secara umum menurut Fisher, 2000 untuk menyelesaikan
konflik dikenal beberapa istilah :
1. Pencegahan konflik, yang bertujuan mencegah timbulnya
kekerasan dalam konflik
2. Penyelesaian konflik, bertujuann mengakhiri kekerasan
melalui persetujuan perdamaian.
3. Pengelolaan konflik, bertujuan membatasi atau menghindari
kekerasan melalui atau mendorong perubahan pihak-pihak
yang terlibat agar berprilaku positif.
29 Ibid:290 30 Ibid:Wahyu
Al-Tatwir, Vol. 5 No. 1 Oktober 2018
~ 57 ~
4. Resolusi konflik, bertujuan menangani sebab-sebab konflik dan
berusaha membangun baru yang relatif dapat bertahan lama
diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.
5. Transformasi konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial
dan politik yang lebih luas dengan mengalihkan kekuatan
negatif dari sumber perbedaan ke kekuatan positif.31
Kemampuan Resolusi Konflik
Beberapa kiat yang bisa dijadikan model dalam penanganan
konflik adalah menyiapkan relawan dalam menyelesaikan setiap
konflik dengan memberikan seperangkat ketrampilan untuk bisa
menjadi negosiator dan mediator konflik 32, yakni:
1) Ketrampilan atau kemampuan untuk berdiskusi dan berdialog:
a) Ketrampilan berkomunikasi
b) Ketrampilan mendengar dengan secara efektif
c) Ketrampilan menggali kebutuhan yang menjadi sumber
konflik
d) Kemampuan untuk mempertemukan dua pihak
e) Kemampuan untuk menekan timbulnya masalah dua
pihak
2) Menjalankan teladan pemecahan masalah, yaitu :
a) Hadapi masalah bukan orang
b) Jelaskan apa yang dilihat, bagaimana pendapat anda, dan
bagaimana reaksi anda terhadap orang atau situasi yang
dilihat.
c) Rumuskan apa yang dilihat itu secara verbal.
d) Mengerti benar perasaan dan perilaku anda
e) Beralih dari pembenaran ke pemecahan
f) Melihat kedepan karena disana ada peluang dan harapan
daripada melihat kebelakang untuk saling
mempersalahkan
g) Analisis situasi dan tekankan pandangan dari dua sisi
h) Identifikasi butir-butir tertentu dimana anda dapat
31 Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik (Yogyakarta:LKIS,2005),288. 32 Ibid:291
Zainul Fanani
~ 58 ~
melakukan kompromi
i) Terbukalah pada setiap hasil yang positif
Begitu juga dengan Bodine and Crawford dalam Jones dan
Kmitta yang dikutip oleh Wahyu, merumuskan beberapa macam
kemampuan yang sangat penting dalam menumbuhkan inisiatif
resolusi konflik, dan harus dimiliki oleh para relawan ataupun bagi
mereka yang berkonflik diantaranya: 33
a. Kemampuan orientasi
Kemampuan orientasi dalam resolusi konflik meliputi
pemahaman individu tentang konflik dan sikap yang
menunjukkan anti kekerasan, kejujuran, keadilan, toleransi,
harga diri.
b. Kemampuan persepsi
Kemampuan persepsi adalah suatu kemampuan
seseorang untuk dapat memahami bahwa tiap individu
dengan individu yang lainnya berbeda, mampu melihat situasi
seperti orang lain melihatnya (empati), dan menunda untuk
menyalahkan atau memberi penilaian sepihak.
c. Kemampuan emosi
Kemampuan emosi dalam resolusi konflik mencakup
kemampuan untuk mengelola berbagai macam emosi,
termasuk di dalamnya rasa marah, takut, frustasi, dan emosi
negatif lainnya.
d. Kemampuan komunikasi
Kemampuan komunikasi dalam resolusi konflik meliputi
kemampuan mendengarkan orang lain: memahami lawan
bicara; berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami; dan
meresume atau menyusun ulang pernyataan yang bermuatan
emosional ke dalam pernyatan yang netral atau kurang
emosional.
e. Kemampuan berfikir kreatif
Kemampuan berfikir kreatif dalam resolusi konflik
33 Ibid ; Wahyu, http://sosialpolitikislam.blogspot.com/2014/04/
makalah-resolusi-konflik.htm
Al-Tatwir, Vol. 5 No. 1 Oktober 2018
~ 59 ~
meliputi kemampuan memahami masalah untuk memecahkan
masalah dengan berbagi macam alternatif jalan keluar.
f. Kemampuan berfikir kritis
Kemampuan berfikir kritis dalam resolusi konflik, yaitu
suatu kemampuan untuk memprediksi dan menganalisis
situasi konflik yang sedang dialami.
Tidak jauh berbeda, Scannell yang dikutip oleh Wahyu,
menyebutkan aspek-aspek yang mempengaruhi individu untuk
dapat memahami dan meresolusi sebuah konflik meliputi a)
keterampilan berkomunikasi, b) kemampuan menghargai
perbedaan, c) kepercayaan terhadap sesama, dan d) kecerdasan
emosi. 34
Dari pemaparan ahli tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa
dalam proses resolusi konflik diperlukan kemampuan-kemampuan
tertentu untuk mencari solusi konflik secara konstruktif.
Kemampuan tersebut di antaranya yaitu kemampuan orientasi,
kemampuan persepsi atau menghargai perbedaan, kemampuan
emosi atau kecerdasan emosi, kemampuan berkomunikasi,
kemampuan berfikir kreatif, dan kemampuan berfikir kritis. Yang
kedepan akan sangat berguna bagi relawan untuk melakukan
mediasi. Karena mediasi merupakan salah satu jalan yang
semestinya ada dalam melihat konflik yang terjadi. Mediasi ada
diperuntukkan untuk kedua belah pihak, bukan untuk salah satu,
oleh karenanya relawan atau mediator hanya membantu
untuk bersama melihat sisi positif yang harus dijalankan oleh kedua
belah pihak agar bisa berjalan ke depannya dengan damai. Dan
prinsip utama yang harus dipunyai mediator adalah sebagai
pemberdaya dan fasilitator yang harus bersikap netral.
Selanjutnya menurut Izak Y. M. Lattu, dalam Makalah Agama,
Konflik, dan Resolusi Konflik: Duabelas Fase Tindakan Mediator oleh Peter
Suwarno , seperti yang dikutip oleh Daniel 35, ada duabelas fase
tindakan mediator yang harus diterapkan untuk mencapai
34 Ibid Wahyu 35 http://daniel-manalu.blogspot.com/2008/03/agama-konflik-dan-
resolusi-konflik.html
Zainul Fanani
~ 60 ~
kesepakatan bersama (win-win solution):
1. membangun hubungan para pihak yang bersengketa,
2. memilih strategi-strategi sebagai proses mediasi,
3. mengumpulkan dan menganalisis latar belakang informasi,
4. mendesain rencana detail bagi mediasi,
5. membangun kepercayaan dan kerjasama,
6. memulai acara mediasi (adanya negosiasi),
7. merumuskan masalah dan menetapkan agenda,
8. mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak yang
bersengketa,
9. menentukan pilihan-pilihan untuk penyelesaian masalah,
10. menemukan pilihan-pilihan untuk menyelesaikan sengketa,
11. tawar-menawar terakhir, dan
12. mencapai penyelesaian formal.
Beberapa langkah ini mengindikasikan bahwa upaya mencapai
kesepakatan bersama dibentuk / diputuskan oleh kedua belah pihak
yang berkonflik itu sendiri. Mediator hanya membantu proses, yang
berperan penting dan yang sangat menentukan adalah kesadaran
dan keterbukaan hati dan pikiran kedua belah pihak untuk
merespon proses mediasi yang dilakukan.36
Kata kuncinya adalah adanya dialog. Dengan adanya dialog
antar umat beragama, berarti sudah menciptakan setidak-tidaknya
suasana saling menghargai walaupun kurang dari yang diharapkan
dalam mencapai perdamaian. Dialog menandakan adanya keinginan
dari dalam untuk mendengarkan dan didengarkan antara kedua
belah pihak. Dalam bahasa Galtung, dialog adalah negative peace,
sedangkan integrasi adalah positive peace.37
Dialog yang dilakukan dengan sikap terbuka, saling
menghormati dan bersedia untuk mendengarkan yang lain , sangat
diperlukan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa) antara
berbagai agama yang mempuunyai karakteristik yang unik dan
kompleks.38
36 Ibid, daniel 37 Ibied, daniel 38 Tharaba, Fahim, sosiologi agama konsep methode riset dan konflik
sosialMadani, Malang2016, Hal:85
Al-Tatwir, Vol. 5 No. 1 Oktober 2018
~ 61 ~
KESIMPULAN
Yang dimaksud dengan resolusi konflik adalah suatu cara
individu untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi
dengan individu lain secara sukarela. Dan cara yang digunakan
adalah cara yang lebih demokratis dan konstruktif. Dengan
memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk
memecahkan masalah mereka oleh mereka sendiri atau dengan
melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral dan adil.
Penyelesaian dalam mencari solusi konflik dalam masyarakat
adalah bagaimana seharusnya berbagi peran bagi setiap individu
ataupun kelompok masyarakat, untuk ikut bersama mencari solusi.
Disinilah diperlukan kerjasama, bagaimana semua pihak dan
relawan terkait memahami posisi masing-masing.
Mediator atau relawan dianjurkan memiliki beberapa
ketrampilan dan kemampuan yang mumpuni dalam melakukan aksi
partisipatif resolusi konflik. Disamping harus memiliki kepribadian
yang luhur, mampu berkomunikasi tentunya tidak kalah penting
mereka para volunter, dianjurkan memiliki kreatifitas dan
seperangkat penguasaan methode serta pengetahuan dalam
penyelesaian konflik. Bagi relawan disamping memiliki pengetahuan
tentang methode penyelesaian konflik, dibutuhkan juga kecerdasan
dalam pengendalian emosi dan karakter kepribadian dalam
menghargai perbedaan.
Zainul Fanani
~ 62 ~
DAFTAR PUSTAKA
Liliweri, Alo 2005. Prasangka dan Konflik Komunikasi Lintas Budaya
Masyarakat Multi Kultur,Yogyakarta:LKIS
Tunner, S, Bryan. 2012. Relasi Agama Dan Teori Sosial Kontemporer,
Jogjakarta:Ircisod
Haryanto, Sindung.2015, Sosiologi Agama Dari Klasik Hingga Post
Moderen, Jakarta:Ar Ruzz Media
Puspito, Hendro. 1989. Sosiologi Agama, Jakarta:Kanisius
Published On 19 February 2018 Rochmanudin Jakarta, IDN Times
Mubarak, Zulfi. 2010. Sosiologi Agama ,Malang:UIN Maliki Malang
Thomas F, Odea . 1987 , Sosiologi Agama Suatu pengenalan Awal ,
Jakarta:Rajawali Pers.
Tharaba, Fahim, 2016. sosiologi agama konsep methode riset dan konflik
sosial Madani:Malang
Elly M Setiadi & Usman Kolip. 2011, Pengantar Sosiologi,
Jakarta;Kencana Prenamedia Group
https://caragigih.id/contoh-konflik-antar-agama
https://www.idntimes.com/news/indonesia/rochmanudin-
wijaya/linimasa-kasus-intoleransi-dan-kekerasan-beragama-
sepanjang-2/full
Wahyu Wiji Utomo, http://sosialpolitikislam.blogspot.com/
2014/04/makalah-resolusi-konflik.html
http://daniel-manalu.blogspot.com/2008/03/agama-konflik-dan-
resolusi-konflik.html
Top Related