48
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KUASA, PERJANJIAN, JUAL BELI HAK
ATAS TANAH, AKTA NOTARIS
2.1 Tinjauan Umum Tentang Kuasa
2.1.1 Pengertian Kuasa
Kuasa adalah daya, kekuatan, atau wewenang. Kuasa dalam bahasa Inggris
disebut dengan power dan dalam bahasa Belanda diistilahkan dengan gezag dan
macht, yang menunjukan arti kuasa itu sendiri.1 Sementara itu, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ke 3 yang dikeluarkan Balai Pustaka, menyatakan
definisi kuasa sebagai “yang berisi tentang pemberian kuasa kepada seseorang
untuk mengurus sesuatu”.
Definisi Kuasa dalam hukum diatur dalam KUHPerdata atau Burgelick
Wetboek (selanjutnya disebut BW), dari Pasal 1792 sampai 1819. Namun,
walaupun begitu tidak ada satupun Pasal yang secara jelas menyebutkan definisi
dari kuasa. Pasal 1792 KUHPerdata sebagai awal pembuka ketentuan, hanya
menyebutkan “pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang
memberikan kekuasaan kepada seseorang lain, yang menerimanya, untuk atas
namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Jadi, mengenai apa itu kuasa, tidak
dijelaskan dalam KUHPerdata.
Kuasa atau disebut Volmacht juga merupakan tindakan hukum sepihak
yang memberi wewenang kepada penerima kuasa untuk mewakili pemberi kuasa
1 Frans Satriyo Wicaksono, 2009, Membuat Surat-Surat Kuasa, TransMedia Pustaka,
Jakarta, (selanjutnya disebut Frans Satriyo Wicaksono II), h. 1.
48
49
dalam melakukan suatu tindakan hukum tertentu (HR 24 Juni 1983 NJ 199939,
337). Tindakan hukum sepihak berarti tindakan hukum yang timbul, berubah, dan
berakhirnya sebagai akibat dari perbuatan satu pihak saja.2 Misalnya, selain kuasa,
tindakan hukum sepihak lainnya seperti pengakuan anak dan pembuatan wasiat.
Beberapa ahli hukum diantaranya, Van Nierop berpendapat bahwa kuasa
adalah kekuasaan (macht) dan bukan kewenangan (bevoegdheid) untuk mewakili.
K.H Jauw mengatakan bahwa kuasa timbul karena machtiging dalam arti suatu
pernyataan dari pemberi kuasa yang member kekuasaan, kewenangan, atau hak
untuk mewakili terhadap pihak ke 3 (tiga).3 Sedangkan Eggens berpendapat
bahwa kuasa adalah kewenangan termasuk di dalamnya hak untuk mewakili
pemberi kuasa. Van Schendel mendasarkan pada kewenangan karena
pertanggungjawaban kepada pemberi kuasa hanya dapat dilakukan apabila ia
memang berwenang untuk melakukannya.4
Pada hal-hal yang bersifat pengurusan, termasuk dalam hal ini diberikan
dari seseorang atasan kepada seorang bawahan dalam hubungan kerja biasanya
bentuk kuasa pada umumnya diberikan. Kuasa merupakan bagian dari perjanjian,
dalam hal pemberian kuasa pihak pemberi dan penerima kuasa harus
menandatangani surat kuasa. Untuk kuasa pemberian barang, baik tidak bergerak
maupun bergerak, hanya diberikan dengan menyebutkan bahwa pembelian barang
tersebut ditujuankan kepada seseorang yang namanya disebutkan dalam perjanjian
2 C. Asser dan A.S. Hartcamp, 1997, Verbintenissenrecht, Denver, h. 4. 3 K.H. Jauw,1938, Lastgiving (Machtiging en Volmacht), Leiden, h. 85-86. 4 W.A.M Van Schendel, 1982, Vertegenwoordiging in Privaatrecht en Bestuursrecht,
Kluwer, Denverter, h. 25.
50
yang mengatur tentang pemberian barang tersebut. Nama orang yang dibelikan
akan tercantum di dalam surat bukti kepemilikan barang tersebut.
Praktiknya pemberian kuasa dimulai di Negara common law awalnya
merupakan perbuatan hukum sepihak. Ciri dari pemberian kuasa adalah
penyebutan nama pemberi kuasa oleh penerima kuasa pada saat melakukan
tindakan hukum. Inilah yang dinamakan perwakilan langsung. Sementara itu, jika
penerima kuasa menyebutkan dirinya bertindak untuk dan atas nama diri sendiri,
misalnya seorang makelar. Hal ini disebut sebagai perwakilan tidak langsung.
2.1.2 Bentuk, Jenis dan Sifat Pemberian Kuasa
Kuasa dibedakan menjadi 2 yaitu kuasa lisan dan kuasa tertulis. Dilihat
dari bentuknya. Pemberian kuasa secara lisan atau secara tertulis dapat diketahui
dari komparisi perikatan dalam suatu perjanjian.
a) Kuasa Lisan
Pemberian kuasa secara lisan dapet digunakan untuk perbuatan yang tidak
berkaitan dengan perbuatan-perbuatan hukum untuk mengalihkan hak, seperti
membeli sepeda motor atau membeli rumah, karena di dalam kuitansi pembayaran
atas barang-barang yang dibeli tersebut akan tertulis atas nama pemberi kuasa
lisan.5 Pasal 1793 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa kuasa dapat diberikan
dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di bawah tangan,
bahkan dalam sepucuk surat atau pun dengan lisan. Pada perkara perdata dapat
diberikan suatu kuasa lisan di pengadilan, yang nantinya akan disalin secara
5 Frans Satriyo Wicaksono II, op.cit., h. 17.
51
tertulis oleh pegawai pengadilan dimasukan ke dalam gugatan dan pada waktu
gugatan secara lisan nantinya akan disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
b) Kuasa Tertulis
Pemberian kuasa secara tertulis dilakukan untuk tindakan-tindakan tertentu
dan mengikuti peraturan perundang-undangan. Sekarang ini sudah menjadi umum
pengurusan berkas disuatu instansi selalu dibutuhkan surat kuasa tertulis bagi
yang diwakilkan. Misalnya, untuk mewakili seseorang mendaftarkan permohonan
balik nama sertifikat tanah. Sebagai contoh, dalam pembuatan kontrak yang
menyebutkan salah satu pihak bertindak berdasarkan kuasa secara tertulis.
Menurut jenisnya, pemberian kuasa dibedakan menjadi 2 yaitu kuasa di
bawah tangan dan kuasa notariil. Ciri yang membedakan surat kuasa dibawah
tangan dengan akta kuasa yang dibuat oleh Notaris dapat dilihat dari susunan dan
redaksi surat kuasa tersebut.
a. Kuasa di Bawah Tangan
Pengertian kuasa dibawah tangan (onderhandse acte) adalah akta yang
sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari pejabat
umum yang berwenang. Akta demikian dibuat semata-mata oleh para pihak yang
berkepentingan.6 Pembuatan kuasa di bawah tangan tentunya akan lebih praktis
dalam hal pembuatannya serta tentunya rendah biaya yang dikeluarkan oleh para
pihak dalam perjanjian, karena hanya memerlukan secarik kertas saja, alat tulis
serta materai sesuai ketentuan yang berlaku Dalam kehidupan masyarakat sudah
terbiasa membuat surat kuasa dibawah tangan yang tentunya disesuaikan dengan
6 Husni Thamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, Leksbang Pressindo,
Yogyakarta, h. 11.
52
keperluan sehari-hari yang menyangkut dengan perbuatan hukum yang
dilakukannya. Misalnya kuasa untuk mengambil uang di rekening orang lain di
Bank atau kuasa untuk pengambilan paket.
b. Kuasa Notariil (Akta Kuasa)
Akta kuasa notariil adalah akta kuasa yang diberi wewenang untuk itu oleh
penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa
bantuan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Akta tersebut memuat keterangan
seorang pejabat yang menerangkan tentang apa yang dilakukan atau dilihat
dihadapannya.7 Yang dibuat dalam bentuk tertulis yang lazimnya merupakan buah
pemikiran dari Pejabat Notaris tersebut yang dibuat dengan klausula-klausula
yang sesuai dengan kepentingan para pihak. Dasar Notaris dalam membuat akta
harus ada syarat legalitasnya yaitu identitas dari para pihak yaitu misalnya Kartu
Tanda Penduduk (KTP) pemberi dan penerima kuasa serta persetujuan istri, akta
pernikahan dan Kartu Keluarga (KK) yang dimana oleh ketentuan undang-undang
diharuskan dibuat dalam bentuk tertentu yaitu dalam bentuk akta otentik maka
nantinya pada perjanjian dan kuasa akan dibuat dalam bentuk akta otentik. Untuk
melepaskan suatu hak kebendaan wajib seorang suami atau istri mendapatkan
persetujuan dari pasangannya masing-masing. Nantinya Notaris akan menanyakan
syarat-syarat khusus apa yang nantinya keinginan para pihak yang nantinya akan
dicantumkan di dalam akta tersebut.
7 Ibid.
53
Berdasarkan KUHPerdata di dalam Bab XVI tentang pemberian kuasa
(Pasal 1792 KUHPedata – 1819 KUHPerdata) ada 2 jenis sifat dari pemberian
kuasa yaitu kuasa umum dan kuasa khusus.
a) Kuasa Umum
Kuasa umum adalah kuasa untuk melakukan tindakan-tindakan yang
bersifat umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa yang dirumuskan
secara umum dan hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut
pengurusan. Kuasa umum diatur dalam Pasal 1795 KUHPerdata yaitu bertujuan
memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa
mengenai pengurusan untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa. Dari segi
hukum, kuasa umum tidak dapat digunakan di depan pengadilan untuk mewakili
pemberi kuasa. Pasalnya, sesuai dengan ketentuan 123 HIR untuk dapat tampil di
depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa penerima kuasa harus mendapat
kuasa khusus.
b) Kuasa Khusus
Kuasa khusus merupakan suatu pemberian kuasa untuk melakukan
perbuatan hukum tertentu yang disebutkan secara tegas, seperti untuk
memindahtangankan atau mengalihkan barang, meletakkan hak tanggungan hak
atas barang, untuk melakukan suatu perdamaian, atau melakukan tindakan lain
yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik. Pengaturan mengenai surat
kuasa khusus diatur dalam Pasal 1975 KUHPerdata yaitu mengenai pemberian
kuasa mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Agar kuasa tersebut sah
54
sebagai kuasa khusus di depan Pengadilan, kuasa tersebut harus disempurnakan
terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 123 HIR.
2.1.3 Berakhirnya Kuasa
Berdasarkan ketentuan Pasal 1813 KUHPerdata, berakhirnya pemberian
kuasa disebabkan hal-hal sebagai berikut:
1) Penarikan kembali kuasa penerima kuasa.
2) Pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa.
3) Meninggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa maupun
penerima kuasa.
4) Kawinnya perempuan atau penerima kuasa.
Jika memenuhi salah satu ketentuan di atas, kuasa yang dipegang oleh
penerima kuasa untuk pengurusan sesuatu kepentingan dari pemberi kuasa
menjadi tidak berlaku. Menurut Pasal 1818 KUHPerdata, jika penerima kuasa
tidak mengetahui meninggalnya pemberi kuasa atau tentang suatu sebab lain yang
menyebabkan berakhirnya kuasa, perbuatan yang dilakukan dalam keadaan tidak
tahu tersebut adalah sah. Dengan demikian, segala perikatan yang dilakukan oleh
penerima kuasa dengan pihak ketiga yang beritikad baik harus tetap dipenuhi.
Sementara itu bagaimana jika penerima kuasa meninggal dunia, apa yang
lantas dilakukan oleh ahli waris penerima kuasa tersebut? Jika penerima kuasa
meninggal dunia, para ahli warisnya harus memberitahukan hal tersebut kepada
penerima kuasa, jika mereka mengetahui pemberian kuasa itu. Ahli waris dan
penerima kuasa harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk
kepentingan pemberi kuasa sebelum pemberi kuasa membereskan pengurusan dan
55
hal yang dikuasakan kepada penerima kuasa yang telah meninggal dunia tersebut.
Jika hal ini tidak dilakukan, dengan alasan yang kuat pemberi kuasa berhak atas
ganti biaya, kerugian dan bunga hal ini diatur dalam Pasal 1819 KUHPerdata.
Namun apabila menikahnya seorang perempuan atau menikahnya seorang laki-
laki tidak lagi mengakibatkan berakhirnya pemberian kuasa, hanya saja seseorang
tersebut harus mendapat izin pasangan dalam melakukan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengandung unsur keluarnya harta bersama.
2.1.4 Kewajiban Pemberi dan Penerima Kuasa
a) Kewajiban Pemberi Kuasa
Setiap perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa wajib dipenuhi oleh
pemberi kuasa, sesuai dengan hal-hal yang dikuasakan. Pemberi kuasa tidak
terikat atas hal-hal di luar kekuasaanya, kecuali pemberi kuasa telah setuju dengan
adanya perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa.
Uang muka dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa
wajib dikembalikan oleh penerima kuasa, agar dapat melaksanakan hal-hal yang
sudah dikuasakan kepadanya. Walaupun penerima kuasa tidak berhasil
melaksanakan hal-hal yang dikuasakan kepadanya, uang muka, biaya dan
pembayaran upah tetap wajib untuk dikembalikan.
Atas kerugian-kerugian yang diderita oleh penerima kuasa saat
menjalankan hal-hal yang dikuasakan kepadanya, ia juga harus diberikan ganti
rugi oleh pemberi kuasa, dengan syarat sudah melakukan prinsip kehati-hatian
dalam menjalankan pekerjaannya. Pada prinsipnya bunga atas persekot yang telah
56
dikeluarkan penerima kuasa harus diberikan oleh pemberi kuasa, terhitung sejak
hari pertama kuasa membayarkan persekot tersebut.
Apabila dalam perjanjian nantinya mengangkat beberapa penerima kuasa
untuk menyelesaikan urusan yang sewajibnya diselesaikan dengan bersama-sama,
nantinya masing-masing dari pemberi kuasa tersebut bertanggung jawab
kepadapenerima kuasa atas segala akibat hukum dari pemberian kuasa tersebut.
Pihak penerima kuasa memiliki hak untuk menahan hak-hak yang terkait dari
pemberi kuasa yang berada di tangannya sampai penerima kuasa mendapatkan
pembayaran lunas atas segala sesuatu yang dapat dituntutnya dari pemberian
kuasa tersebut.
b) Kewajiban Penerima Kuasa
Penerima kuasa tidak boleh melakukan hal-hal lain yang melampaui
kuasanya. Misalnya, jika penerima kuasa memberikan kekuasaan kepada
penerima kuasa untuk menyelesaikan suatu perkara secara damai, penerima kuasa
tidak boleh menyelesaikannya berdasarkan hukum positif di pengadilan yang
berwenang.8 Apabila kemungkinan terjadi hal tersebut, maka pihak penerima
kuasa wajib memenuhi kesepakatan yang telah dibuat antara pemberi dan
penerima kuasa jika tidak ingin digugat oleh pemberi kuasa.
Pasal 1806 KUHPerdata menyatakan bahwa “penerima kuasa yang telah
memberitahukan mengenai kuasanya tersebut kepada orang yang dengannya ia
mengadakan suatu persetujuan dalam kedudukannya sebagai penerima kuasa,
tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi diluar batas kuasa yang diberikan
8 Ibid., h. 5.
57
kepadanya, kecuali jika penerima kuasa tersebut secara pribadi mengikatkan diri
untuk itu bertanggung jawab atas apa yang belum dikuasakan kepadanya dari
pemberi kuasa.”
Anak yang belum dewasa dan perempuan dapat ditunjuk sebagai penerima
kuasa. Namun, pemberi kuasa tidak mempunyai hak untuk mengajukan tuntutan
hukum terhadap anak yang belum dewasa yang kepadanya kuasa tersebut
diberikan, selain menurut ketentuan-ketentuan umum mengenai perikatan-
perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa. Begitu pun terhadap
seseorang perempuan bersuami yang menerima kuasa tanpa bantuan suami,
pemberi kuasa tidak berwenang untuk mengadakan suatu tuntutan hukum, selain
menurut ketentuan-ketentuan bab lima dan bab tujuh buku kesatu dari
KUHPerdata.
Apabila kuasanya belum dicabut, penerima kuasa wajib melaksanakan
kuasanyanya dan bertanggung jawab atas segala biaya, kerugian dan bunga yang
timbul jika kuasa tersebut tidak dilaksanakan. Segala bentuk perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja, tetapi juga atas kelalaian-kelalaian orang yang dengan
cuma-cuma menerima kuasa merupakan tanggung jawab dari penerima kuasa.
Serta melaporkan hal-hal apa saja yang sudah dilakukannya. Juga memberikan
perhitungan terkait segala sesuatu yang diteruima berdasarkan dari kuasa tersebut,
sekalipun sesuatu tersebut yang nantinya diterima tidak harus dibayarkan kepada
pemberi kuasa.
Pemberi kuasa dapat digantikan atau dilanjutkan oleh pengganti dari
penerim kuasa, yang biasa disebut dengan kuasa subtitusi. Jika hal ini dilakukan,
58
penerima kuasa awal bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjukan sebagai
penerima kuasa pengganti ersebut dalam melaksanakan kuasanya, jika:9
1) Penerima kuasa awal tidak diberikan kekuasaan untuk menunjuk orang
lain sebagai penggantinya.
2) Penerima kuasa awal diberikan kekuasaan untuk menunjuk orang lain
sebagai penggantinya, tetapi tanpa menyebutkan orang tertentu, sedangkan
orang yang dipilih penerima kuasa awal ternyata adalah orang yang tidak
cakap atau tidak mampu.
Pemberian kuasa nantinya diterima telah memberi kuasa kepada penerima
kuasanya untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya, nantinya kuasa
tersebut untuk mengurus barang-barang yang berada di luar Wilayah Republik
Indonesia atau di luar pulau dari tempat tinggal pemberi kuasa, sehingga nantinya
secara keseluruhan, pemberi kuasa nantinya secara langsung dapat mengajukan
gugatan kepada orang yang telah ditunjuk oleh penerima kuasa sebagai
penggantinya tersebut. Jika ketentuan dalam suatu akta dijelaskan telah diangkat
beberapa penerima kuasa untuk dalam hal pengurusan, nantinya mereka tidak
dapat dituntut untuk tanggung-menanggung atas terjadinya kerugian tertentu
akibat tidak dilaksanakannya hal-hal yang dikuasakan, kecualiapabila dalam kuasa
di tentukan secara tegas. Akan menimbulkan lempar tanggung jawab antara
mereka sebagai penerima kuasa apabila adanya kerugian akibat tidak
dilaksanakannya hal-hal yang telah dikuasakan tersebut ditanggung oleh pemberi
kuasa karena tidak secara tegas menunjuk seorang kuasa, kecuali jika disebutkan
9 Frans Satriyo Wicaksono II, op.cit., h. 5.
59
bahwa penerima-penerima kuasa itu bertanggung jawab secara tanggung-
menanggung menanggung kerugian yang di derita pemberi kuasa.
Bunga atau uang pokok yang dipakainya harus ditanggung penerima kuasa
untuk keperluannya sendiri, terhitung dari saat mulai memakai uang itu, begitu
juga dengan bunga atau uang yang harus diserahkannya pada penutupan
perhitungan terhitung dari saat penerima kuasa dinyatakan lalai melakukan kuasa.
2.2 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
2.2.1 Pengertian Perjanjian
Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan
perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu pihak atau lebih pihak
dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian,
memberikan hak kepada kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan
prestasi dalam perikatan tersebut. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang
telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan dari
perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut. Dalam hal debitor tidak
melaksanakan perjanjian yang telah disepakati tersebut, maka kreditor berhak
menuntut pelaksanaan kembali perjanjian yang belum, tidak sepenuhnya atau
sama sekali dilaksanakan atau yang telah dilaksanakan secara bertentangan atau
tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, dengan atau tidak disertai dengan
pergantian berupa bunga, kerugian dan biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditor.
Definisi perjanjian ditemukan dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang
berbunyi: “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Rumusan yang
60
diberikan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut ternyata menegaskan kembali
bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terdapat orang
lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau
lebih orang kepada satu atau lebih orang lainnya, yang berhak atas prestasi
tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa suatu
perjanjian selalu ada 2 pihak, dimana salah satu pihak adalah pihak yang
berprestasi (debitor) dan pihak lain adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut
(kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang,
bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri atau
satu atau lebih badan hukum. Bertitik tolak dari pengertian dalam Pasal 1313
KUHPerdata tersebut, maka dapat ditemukan unsur-unsur suatu perjanjian yaitu:
1) Adanya suatu perbuatan.
2) Perbuatan tersebut dilakukan oleh dua orang/pihak atau lebih.
3) Adanya perikatan diantara dua orang/pihak atau lebih.
Selanjutnya, jika disimak dengan baik rumusan yang diberikan dalam
Pasal 1314 KUHPerdata, pada rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut
dikembangkan lebih jauh, dengan menyatakan atas prestasi yang wajib dilakukan
oleh debitor dalam perjanjian tersebut, debitor yang berkewajiban tersebut dapat
meminta dilakukannya kontra-prestasi dari lawan pihakya tersebut. Kedua
rumusan tersebut memberikan banyak arti bagi ilmu hukum. Dengan adanya
kedua rumusan yang saling melengkapi tersebut dapat kita katakan bahwa pada
dasarnya perjanjian dapat melahirkan perikatan yang bersifat sepihak (di mana
hanya satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan yang bertimbal balik
61
(dengan kedua belah pihak saling berprestasi). Dengan demikian dimungkinkan
suatu perjanjian melahirkan lebih dari suatu perikatan, dengan kewajiban
berprestasi yang saling timbal balik. Ini adalah karakteristik khusus dari perikatan
yang lahir dari perjanjian. Pada perikatan yang lahir dari undang-undang, hanya
ada satu pihak yang menjadi debitor dan pihak lain yang menjadi kreditor yang
berhak atas pelaksanaan prestasi debitor.
Suatu perjanjian juga merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum yang
dilakukan oleh para pihak yang membuatnya, dan dalam isi perjanjian tersebut
mengandung hak-hak keperdataan seseorang atau pihak yang harus dilindungi,
yang berarti dalam perjanjian tersebut ditentukan hak-hak yang akan diperoleh
dan para pihak terikat akan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi atau aturan-
aturan main yang disepakati oleh para pihak dalam suatu kerjasama atau transaksi.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa dengan dibuatnya
perjanjian maka dengan sendirinya akan timbul keterikatan antara pihak satu
dengan pihak lainnya. Artinya perjanjian tersebut melahirkan suatu keterikatan
antara satu pihak dengan pihak lainnya. Dengan kata lain perjanjian perikatan
tersebut melahirkan suatu perikatan dan hubungan hukum di antara kedua belah
pihak. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana daya keterikatan perjanjian
tersebut. Dalam teori hukum perjanjian dikenal adanya asas “pacta sun servanda”
yang artinya perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
Asas ini memberikan gambaran bahwa perjanjian memiliki daya keterikatan yang
sama dengan daya keterikatan undang-undang yang berlaku. Para pihak yang
62
terikat perjanjian wajib menaati atau memenuhi isi perjanjian tersebut seperti hal
layaknya warga Negara menaati undang-undang.
Perjanjian secara umum memiliki arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas
perjanjian berarti setiap setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum yang
dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak termasuk didalamnya,
perkawinan, perjanjian kawin dll. Sedangkan dalam arti sempit, perjanjian berarti
perjanjian yang ditunjukan pada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan
hukum kekayaan saja seperti dimaksud oleh buku III KUHPerdata.10 Pada
prinsipnya suatu perjanjian terdiri dari satu atau serangkaian janji yang dibuat oleh
para pihak. Namun menurut Sudikno Mertokusumo bahwa:
Perjanjian hendaknya dibedakan dengan janji. Walaupun janji itu didasarkan
pada kata sepakat, akan tetapi kata sepakat itu tidak menimbulkan akibat
hukum, yaitu lahirnya hak dan kewajiban. Oleh karena itu apabila janji
tersebut dilanggar maka tidak ada akibat hukumnya, sehingga tidak ada
sanksi yang dapat dikenakan pada pelanggaran janji tersebut.11
Terkait dengan perjanjian dalam arti sempit, Soeroso, menyatakan bahwa
yang dimaksud perjanjian dalam arti sempit menurut orang awam adalah kontrak.
Dalam kehidupan sehari-hari istilah kontrak diartikan sebagai perjanjian yang
berlaku untuk jangka waktu tertentu, misalnya kontrak rumah. Akan tetapi dalam
perspektif hukum,12 Soeroso menyamakan bahwa kontrak adalah sama
pengertiannya dengan perjanjian.
Berbagai pendapat para ahli hukum ada yang menyatakan bahwa
perjanjian adalah sama dengan kontrak, namun ada pula yang membedakan antara
10 J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Citra Aditya
Bakti, Bandung, h. 28. 11 Sudikno Mertokusumo I, op.cit., h.110. 12 Soeroso, 2011, Perjanjian di Bawah Tangan: Pedoman Praktis Pembuatan Aplikasi
Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 4.
63
kontrak dan perjanjian. Pengertian yang menyatakan makna perjanjian dan
kontrak menurut Agus Yudha Hernoko.13 Sedangkan Subekti menggunakan
istilah persetujuan untuk perjanjian. Menurut Subekti istilah kontrak mempunyai
pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian yang tertulis saja. 14
2.2.2 Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian akan mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak jika
perjanjian tersebut dibuat secara sah menurut ketentuan yang berlaku. Apabila
suatu perjanjian telah dibuat secara sah menurut ketentuan yang berlaku, maka
perjanjian tersebut berlaku mengikat seperti undang-undang bagi pihak-pihak
yang membuatnya. Pada intinya syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320
KUHPerdata mencangkup 4 unsur yaitu:
a. Adanya kesepakatan (konsensus) dari para pihak.
b. Adanya kecakapan untuk membuat perjanjian.
c. Adanya sesuatu hal yang diperjanjikan.
d. Ada suatu sebab yang halal.
Pada doktrin hukum perjanjian unsur pertama dan kedua disebut syarat
subyektif, sedangkan unsur ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Tidak
dipenuhinya syarat subyektif dan/atau syarat obyektif dalam suatu perjanjian
membawa akibat hukum yang berbeda. Apabila suatu perjanjian tidak memenuhi
syarat subyektif, maka perjanjian tersebut dapat dimohonkan pembatalan
(vernietighaarheid), sehingga perjanjian yang pernah dibuat tetap sah sampai
dengan adanya pembatalan. Jika tidak dipenuhinya syarat obyektif, maka
13 Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian: Asas Proposional dalam Kontrak
Komersial, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, h. 12.
14 R. Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h. 1.
64
perjanjian tersebut dengan sendirinya batal demi hukum dan perjanjian dianggap
tidak pernah ada sama sekali (nietigbaarheid).
Perjanjian yang tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-
undang maka tidak akan diakui oleh hukum, walaupun diakui oleh para pihak
yang membuatnya. Selagi para pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang
mereka buat, kendati perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat, maka perjanjian
tersebut tetap berlaku diantara mereka. Namun apabila suatu ketika ada pihak
yang tidak mengakui perjanjian tersebut, sehingga menimbulkan sengketa, maka
hakim berwenang untuk membatalkan atau menyatakan perjanjian tersebut batal.
a) Kesepakatan
Undang-undang tidak memberikan suatu definisi mengenai arti
kesepakatan, akan tetapi timbulnya kesepakatan dapat dikaji dengan pendekatan
teori-teori yang ada dan berkembang hingga saat ini. Kesepakatan memiliki dua
unsur yaitu unsur penawaran (offer) dan unsur penerimaan (acceptance). Saat
bertemunya penawaran dan penerimaan itulah dapat dkatakan sebagai saat
terjadinya suatu kesepakatan antara para pihak sehingga melahirkan suatu
perjanjian.
Seseorang yang melakukan penawaran kepada orang lain, berarti orang
yang melakukan penawaran tersebut menyerahkan atau memberikan hak kepada
orang lain untuk menolak atau menerima tawaran tersebut. Jika penawaran
tersebut diterima dan disetujui oleh oang atau pihak lain, berarti sudah ada
kesepakatan, akan tetapi jika penawaran tersebut ditolak, maka kesepakatan tidak
pernah ada. Maka dapat ditarik kesimpulan dari kesepakatan adalah pertemuan
65
kehendak untuk menawarkan dengan kehendak untuk menerima atau menyetujui
penawaran tersebut. Suatu penawaran kehilangan daya berlakunya, apabila
penawaran tersebut ditolak, sudah kadarluasa atau penawaran tersebut ditarik
kembali oleh orang atau pihak yang menawarkan.
b) Kecakapan membuat suatu perjanjian
Pada dasarnya semua perjanjian harus dibuat dan dilakukan oleh orang
yang cakap bertindak dalam hukum. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata terdapat
pembatasan terhadap orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian,
yaitu:
a. Orang-orang yang belum dewasa.
b. Orang atau mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditentukan undang-undang dan
umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian.
Kecakapan bertindak adalah adanya kewenangan untuk bertindak. Secara
prinsip kecakapan untuk bertindak antara lain berhubungan dengan persoalan usia
dewasa seorang untuk dapat melakukan perbuatan hukum, yaitu keadaan dan
kondisi seseorang dapa bertindak secara layak dan menyadari tentang akibat
tindakannya tersebut. Misalnya tidak dalam keadaan: berada dalam pengampuan,
tidak dalam keadaan kepailitan. Adapun “kewenangan” bertindak adalah dalam
hal kepasitas atau kedudukan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum.
Sehingga dapat terjadi seseorng yang cakap bertindak, akan tetapi ia tidak
berwenang melakukan suatu perbuatan hukum. Kecakapan membuat suatu
66
perjanjian ada kalanya tidak semata-mata dilihat dari faktor usia kedewasaan,
melainkan juga harus dilihat apakah seseorang yang telah dewasa tersebut
berwenang menurut hukum. Demikian sebaliknya seseorang berwenang akan
tetapi tidak cakap, misalnya seorang anak yang belum dewasa membeli rumah,
maka anak tersebut berwenang akan tetapi tidak cakap, sehingga untuk melakukan
tindakan hukum atas pembelian rumah tersebut yang bersangkutan harus diwakili
oleh orang yang mempunyai kewenangan, untuk itu misalnya orang yang
menjalankan kekuasaan orang tua atau wali orang yang memperoleh ijin dari
pengadilan dan oleh karenanya harus meminta penetapan pengadilan.
Seseorang yang bertindak mewakili kepentingan orang lain, tidak
memiliki kewenangan bertindak atas nama orang yang diwakilinya tersebut. Ia
dapat bertindak mewakili jika ada pemberian kuasa (surat kuasa) dari orang yang
diwakilinya. Seiring dengan perkembangan hukum, khususnya dalam ranah
hukum perdata, batasan usia 21 tahun sebagai batasan usia dewasa merupakan
penentu untuk dapat melakukan perbuatan hukum bersifat tidak mutlak. Sebab
dengan lahirnya UUJNP yang menetapkan batas usia seseorang yang berusia 18
tahun dapat menandatangani suatu akta Notaris pada Pasal 39 ayat 1 UUJNP. Hal
ini berarti bahwa batasan usia seseorang untuk dapat membuat suatu perjanjian
dan menandatangani perjanjian (kontrak) yang dituangkan dalam suatu akta
adalah 18 tahun. Maka, yang diatur dalam UUJNP bukan pernyataan secara tegas
tentang usia dewasa melainkan seseorang yang telah berusia 18 tahun, dapat
melakukan tindakan hukum dalam pembuatan akta Notariil yaitu: dalam suatu
67
perjanjian atau pendirian Badan Hukum Profit (PT) atau non profit
(yayasan/perkumpulan)
c) Adanya sesuatu hal yang diperjanjikan
Pasal 1333 KUHPerdata mensyaratkan bahwa perjanjian harus memuat
sesuatu hal tertentu yang diperjanjikan yaitu bahwa dalam suatu perjanjian harus
terdapat obyek yang diperjanjikan para pihak. Obyek perjanjian dapat berupa
sesuatu barang atau berupa prestasi (sesuatu hal pokok yang hendak dicapai). Ada
tiga bentuk prestasi, yaitu memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat
sesuatu.
Perjanjian pada umumnya, prestasi diwujudkan dalam bentuk penentuan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang telah disepakati oleh masing-masing
pihak dalam perjanjian itu sendiri. Jika tidak ada sesuatu hal yang diperjanjikan
atau tidak ada sesuatu yang menjadi obyek perjanjian, maka jelas perjanjian yang
demikian dianggap tidak pernah ada atau batal demi hukum, dan oleh karenanyaa
maka perikatan dianggap tidak pernah ada di antara para pihak.
Menurut Djaja S Meliaala, suatu hal tertentu maksudnya adalah bahwa
obyek perjanjian harus tertentu atau setidak-tidaknya dapat ditentukan mengacu
pada Pasal 1333 KUHPerdata.15 Apabila obyek tertentu tersebut dalam bentuk
barang atau benda maka dapat tertuju pada barang yang sudah ada maupun barang
(benda) yang baru yang akan ada di kemudian hari. Dengan demikian maka dapat
dijadikan obyek perjanjian sebagai syarat suatu hal tertentu adalah bias dalam
bentuk barang/benda yang sudah ada maupun yang akan ada.
15 Djaja S Meliala, 2014, Hukum Perdata dalam Prinsip BW, Nuansa Aulia, Bandung, h.
173.
68
Suatu hal tertentu yang menjadi obyek perjanjian tidak harus dalam bentuk
barang, akan tetapi dapat pula dalam bentuk jasa. Hal ini sesuai dengan
perkembangan perdagangan dan kontrak bisnis yang terjadi di masyarakat, bahwa
yang dapat diperdagangkan tidak hanya barang akan tetapi juga jasa tertentu yang
sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Perdagangan jasa di kota-kota besar bahkan
seluruh dunia sudah marak terjadi belakangan ini. Apabila pada era globalisasi
dan liberalisasi perdagangan/jasa demikian marak tidak hanya dibungkus dengan
perjanjian (kontrak) yang bersifat fisik, namun juga melalui kontrak non fisik,
yaitu melalui media sosia dan internet transaksi secara elektronik.
d. Sebab yang halal atau diperbolehkan
Salah satu unsur sahnya perjanjian adalah adanya suatu sebab yang halal.
Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah tujuan akhir yang hendak dicapai
para pihak dalam perjanjian. KUHPerdata tidak memberikan definisi apa yang
dimaksud sebab yang halal (diperbolehkan) itu, akan tetapi KUHPerdata
khususnya Pasal 1337 KUHPerdata hanya memberikan penjelasan mengenai
sebab yang terlarang, yaitu:
1. bertentangan dengan undang-undang.
2. bertentangan dengan kesusilaan.
3. bertentangan dengan ketertiban umum.
Apabila ditelaah ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata tersebut, maka dapat
ditafsirkan bahwa suatu sebab yang halal adalah suatu sebab yang tidak
bertentangan dengan hukum dan tidak melanggar norma kesusilaan, kebiasaan
serta nilai-nilai yang hidup di masyarakat setempat dan tidak melanggar ketertiban
69
umum, sehingga suatu perjanjian adalah melanggar undang-undang jika terdapat
larangan yang diatur dalam undang-undang, misalnya jual beli narkoba dan obat-
obatan terlarang, hal tersebut jelas dilarang oleh undang-undang suatu Negara,
terutama wilayah Republik Indonesia. Demikian pula dengan misalnya jual beli
senjata api merupakan suatu perjanjian yang dilanggar undang-undang.
Suatu perjanjian dikatakan bertentangan atau melanggar kesusilaan jika
bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan yang berlaku di masyarakat. Misalnya
kontrak dibidang prostitusi, hal tersebut tentu dilarang karena bertentangan
dengan norma kesusilaan yang ada di masyarakat. Sedangkan suatu perjanjian
dikualifikasikan bertentangan dengan ketertiban umum jika perjanjian tersebut
menimbulkan gangguan ketertiban umum. Misalnya perjanjian untuk melakukan
unjuk rasa atau demonstrasi untuk menimbulkan gangguan ketertiban umum,
perjanjian untuk melakukan huru-hara, Apabila terdapat perjanjian demikian,
maka tidak mendapat perlindungan hukum, karena batal demi hukum dan
dianggap tidak pernah ada. Sebuah perjanjian tidak boleh bertentangan dengan
kesusilaan dan perikemanusiaan yang disebut sebagai asas kepatutan. Agar tidak
terjadi penyalahgunaan kedudukan yang lebih kuat menekan yang lebih lemah.
2.2.3 Akibat Hukum Perjanjian yang Sah
Pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata telah disebutkan akibat
hukum dari suatu perjanjian yang tercantum dalam pasal 1338 KUHPerdata
sampai dengan pasal 1341 KUHPerdata, adalah sebagai berikut:
70
a) Berlaku sebagai Undang-undang
Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian
yang dibuat hanya berlaku di antara para pihak yang membuatnya. Ini berarti
bahwa setiap perjanjian, hanya membawa akibat berlakunya ketentuan Pasal 1131
KUHPerdata bagi para pihak yang terlibat atau yang membuat perjanjian tersebut.
Jadi apa yang menjadi kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh
debitor dalam perjanjian hanya merupakan dan menjadi kewajiban semata-mata.
Dalam hal terdapat seorang pihak ketiga kemudian melaksanakan kewajbannya
tersebut kepada kreditor, maka ini tidak berarti debitor dilepaskan atau dibebaskan
dari kewajibannya tersebut. Pihak ketiga yang melakukan pemenuhan kewajiban
debitor, demi hukum diberikan hak untuk menuntut pelaksanakan kewajiban
debitor (yang telah dipenuhi oleh pihak ketiga tersebut kepada kreditor) dari
debitor. Demikianlah Pasal 1400 KUHPerdata merumuskan “Subrograsi atau
penggantian hak-hak kreditor oleh seorang pihak ketiga yang membayar kepada
kreditor itu, terjadi, baik dengan perjanjian, maupun demi undang-undang”.
Dengan demikian jelaslah bahwa prestasi yang dibebankan oleh KUHPerdata
bersifat personal dan tidak dapat dialihkan begitu saja. Semua perjanjian yang
telah dibuat dengan sah (yaitu memenuhi keempat persyaratan yang ditetapkan
dalam Pasal 1320 KUHPerdata) akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
para pihak yang membuatnya. Jadi dengan perjanjian tersebut akan mengikat,
memaksa dan melahirkan perikatan bagi para pihak dalam perjanjian.
71
b) Tidak dapat ditarik secara sepihak
Sebagai konsekuensi dari asas personalia ini, yang hanya mengikat
diantara para pihak yang membuatnya, dan khusus kewajiban debitor yang
senantiasa melekat pada dirinya pribadi hingga ia dibebaskan. Pasal 1338 ayat (2)
KUHPerdata menentukan bahwa “Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan
yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.” Dengan ketentuan
tersebut jelas bahwa apa yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak tidak boleh
diubah oleh siapapun juga, kecuali jika hal tersebut memang dikehendaki secara
bersama-sama oleh para pihak, ataupun ditentukan demikian oleh undang-undang
berdasarkan suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum atau keadaan hukum
tertentu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu
kesepakatan perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak
ketiga.
c) Pelaksanaan dengan itikad baik
Perjanjian yang telah dibuat secara sah akan mengikat para pihak.
Perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja
sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, kecuali kesepakatan antara
keduanya. Apabila perjanjian dapat dibatalkan secara sepihak berarti perjanjian
tersebut tidak mengikat. Jika ada salah satu pihak ingin menarik kembali atau
membatalkan harus memperoleh persetujuan pihak lainnya. Secara singkatnya
72
yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka
mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu
sesuatu yang baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian
untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama dan dari
pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa membuat perjanjian
jual beli apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.
2.3 Tinjauan Umum Tentang Jual Beli Hak Atas Tanah
2.3.1 Jual Beli Tanah Menurut Hukum Perdata Barat
Pergaulan masyarakat yang senantiasa berkembang dengan berbagai
macam bentuk hubungan antar manusia guna memenuhi kebutuhan hidup manusia
yag beraneka ragam, diantaranya perbuatan jual beli, sewa menyewa, perjanian
untuk melakukan pekerjaan, hingga yang marak saat ini seperti keagenan dan
waralaba. Jual beli merupakan perbuatan hukum yang paling banyak berlangsung
di masyarakat, terjadi di pasar tradisional, jenis barang yang di jual belikan sangat
beragam seperti bahan pokok, sandang-pangan, sampai tanah dan bangunan dapat
menjadi barang yang menjadi obyek jual beli. Kenyataan tersebut menempatkan
pentingnya jual beli dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat, sehingga
dipandang perlu membuat peraturan yang mengatur tentang jual beli.
Belanda pada saat datang dan menjajah di Indonesia pada masa lalu juga
membawa perangkat Hukum Belanda untuk mengatur masyarakat Indonesia. Pada
tanggal 31 Mei 1848 mulai diberlakukannya suatu ketentuan hukum barat yang
tertulis yaitu BW yang sampai saat kini dikenal dengan KUHPerdata. Ketika
kemerdekaan Indonesia diproklamirkan dari penjajah Belanda pada tahun 1945,
73
maka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,
BW tersebut dinyatakan masih berlaku di Indonesia sampai terbentuknya undang-
undang yang baru.
BW selain memuat ketentuan-ketentuan perdata pada umumnya, selain itu
juga memuat perangkat hukum tanah barat yang dapat kita jumpai dalam:
a. Buku II, dengan judul Hak-hak atas Tanah dan Hak Jaminan atas Tanah,
b. Buku III, dengan judul Perihak Jual Beli,
c. Buku IV, dengan judul Perihal Daluarsa.
Motivasi yang mendorong orang Belanda menghadirkan Hukum Tanah
Barat tersebut antara lain banyaknya orang Belanda yang memerlukan tanah,
misalnya untuk perkebunan atau bangunan/rumah peristirahatan di luar kota,
rumah tinggal atau tempat usaha di dalam kota. Mengacu pada ketentuan dalam
KUHPerdata jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak
yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang,
sedangkan pihak yang lain (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri
dari atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.
Sebagaimana Pasal 1457 KUHPerdata berbunyi “jual beli adalah suatu
persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harganya
yang telah dijanjikan. Jadi jual beli merupakan suatu perjanjian yang melahirkan
kewajiban dan perikatan untuk memberikan sesuatu.
Selanjutnya Pasal 1458 KUHPerdata berbunyi “jual beli dianggap telah
terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang itu mencapai
74
sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum
diserahkan, maupun harganya belum dibayar.”
Berdasarkan ketentuan jual beli dianggap telah terjadi bilamana kedua
belah pihak yang pada saat mereka mencapai kata sepakat mengenai benda yang
diperjual-belikan, beserta dengan harganya, walaupun benda yang menjadi obyek
jual beli belum diserahkan jika harganya belum dibayar. Terjadinya obyek jual
beli belumlah beralih kepada pembelinya sekalipun terjadinya kata sepakat atas
jual beli hak kepemilikan atas benda, sekalipun misalnya harganya sudah dibayar
dan apabila jual beli dimaksud berkaitan dengan tanah, tanahnya sudah diserahkan
ke dalam kekuasaan yang membeli. Hak milik atas tanah tersebut menjadi obyek
jual beli baru bisa beralih kepada pembelinya sebagai pemilik baru yang sah
apabila sudah sesuai yang dilakukan apa yang dimaksud ketentuan penyerahan
yuridis (juridische levering) yang wajib diselenggarakan dengan pembuatan akta
di muka pejabat yang berwenang dan oleh di daftarkan di Kepala Kantor
Pertanahan.
Berdasarkan Pasal 1459 KUHPerdata hak milik atas barang yang dijual
belum berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan.
Penyerahan atas barang yang menjadi obyek jual beli menentukan telah terjadinya
peralihan hak milik atas barang yang menjadi obyek jual beli. Dengan demikian
jual beli dan penyerahan hak atas barang yang menjadi obyek jual beli dari
penjual kepada pembeli merupakan 2 (dua) perbuatan yang harus dilaksanakan.
Oleh karena itu dikenal tahapan penyerahan dan pengalihan, yaitu tahap obligatoir
75
yang adalah tahap perjanjian yang menimbulkan suatu perikatan seperti yang
dimaksud dalam buku III KUHPerdata. Akibat hukum yang ditimbulkannya ialah:
a. Para pihak yang baru mengikatkan diri akan mengalihkan hak eigendom
misalnya melalui perjanjian jual beli, tukar menukar dan lain-lain.
b. Hanya melahirkan hak dan kewajiban diantara para pihak yaitu penjul
berkewajiban menyerahkan barangnya dan berhak memperoleh
pembayarannya, sebaliknya pembeli berkewajiban membayar harganya
dan berhak memperoleh barangnya.Pengalihan secara juridis sangat
penting bagi pihak ketiga dalam hal terjadinya jual beli benda tidak
bergerak.16
Adanya pengalihan secara yuridis anggota masyarakat dapat mengetahui
telah terjadinya peralihan hak milik atas barang yang menjadi obyek jual beli
secara sah, anggota masyarakat mengetahui pemilik baru dari tanah yang telah
dijual. Pada saat ini dapat diketahui dari dibuatnya bukti tertulis sebagai alat
pembuktian atas terjadinya pengalihan hak atas tanah berupa akta jual beli.
2.3.2. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Tanah Nasional
Berdasarkan perkembangan hukum kebendaan yang terjadi di Indonesia
maka dapat dibedakan mengenai jual beli dan pengalihan haknya.Adapun
berkaitan dengan pengelompokan kebendaan yang dikenal yaitu benda tetap
(immovable goods) dan benda-benda bergerak (movable goods) memiliki lingkup
pengaturan yang berbeda dalam hal terjadinya peralihan hak dan mengenai jual
beli itu sendiri.
Sejak diundangkannya UUPA pada tanggal 24 September 1960 yang
menghapuskan dualism hukum tanah di Indonesia. Pengertian jual beli tanah tidak
sama dengan jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1457 KUHPerdata dan
16 Frieda Husni Hasbullah, 2002, Hukum Kebendaan Perdata Hak-hak yang Memberi
Kenikmatan, Ind-Hill.Co, Jakarta, h. 118.
76
1458 KUHPerdata. UUPA menciptakan unifikasi di bidang hukum tanah yang
didasarkan pada Hukum Adat. Oleh karena itu meskipun UUPA tidak mengatur
secara khusus mengenai jual beli dapat dipahami pengertian jual beli tanah dalam
hukum nasional adalah jual beli tanah dalam pengertian Hukum Adat meningat
Hukum Agraria yang berlaku adalah huukum adat sebagaimana hal demikian
termuat dalam Pasal 5 UUPA yang menentukan bahwa
hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini
dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Pengertian jual beli tanah menurut hukum adat yaitu perbuatan hukum
penyerahan tanah untuk selama-lamanya.17 Dengan penjualan menerima
pembayaran sejumblah uang, yaitu harga pembelian (yang sepenuhnya atau
sebagiannya dibayar tunai). Dalam masyarakat huukum adat jual beli tanah
dilakukan secara terang dan tunai. Terang berarti perbuatan hukum jual beli
tersebut benar-benar di hadapan Kepala Adat atau Kepala Desa atau kini di
hadapan PPAT yang berwenang. Tunai berarti adanya dua perbuatan yang
dilaksanakan secara bersamaan, yaitu pemindahan hak atas tanah yang menjadi
obyek jual beli dari penjual kepada pembeli dan pembayaran harga dari pembeli
kepada penjual serentak dan secara bersamaan. Sebagai bukti telah terjadinya jual
beli dan selesai pemindahan hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli yang
dimaksud dibuatlah “surat jual beli tanah” yang ditandatangani oleh pihak penjual
dan pihak pembeli dengan disaksikan oleh Kepala Desa, yang berfungsi untuk
17 Soepomo, 1982, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, Djambatan, Jakarta, h. 126.
77
menjamin kebenaran tentang status tanahnya, pemegang haknya, keabsahan
bahwa telah dlaksanakan dengan hukum yang berlaku (terang) mewakili unsur
warga desa (unsur publisitas).
Dengan demikian menurut hukum adat yang merupakan dasar dari hukum
tanah nasional yang berlaku saat ini sebagaimana termuat dalam UUPA, peralihan
hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli telah terjadi sejak ditandatanganinya
akta jual beli di hadapan PPAT yang berwenang dan dibayarkan harga oleh
pembeli kepada penjual. Pemindahan hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli
berarti pemindahan penguasaan secara yuridis dan secara fisik sekaligus. Sejak
akta jual beli ditandatangani di depan PPAT yang berwenang hak milik atas tanah
yang dijual beralih otomatis kepada pihak pembeli tanah tersebut.
2.3.3 Jual Beli Suatu Perbuatan Hukum
Ada kalanya untuk memahami suatu obyek, apa lagi yang sifatnya abstrak,
diperlukan suatu definisi atau pengertian. Dimaksudkan dengan memberikan
sebuah definisi, akan tercipta kisi-kisi pembentukan koridor pokok yang mampu
memberikan gatra dari obyek yang didefinisikan. Tentu tugas ini sebenarnya
bukan pekerjaan mudah, sebab suatu obyek yang hendak diberikan sisi-sisi, selalu
memiliki segi yang tidak tunggal, atau banyak mengandung sisi-sisi yang
beranekaragam. Jadi membuat definisi yang mampu menggambarkan hakikat
yang sesungguhnya dari obyek yang didefinisikan, memang tidak mungkin tanpa
ada keberatan yang diajukan. Umumnya sebuah definisi akan selalu dirundung
cela oleh pengamat yang lain menunjukan kekurangannya.
78
Jual beli dalam pengertian sehari-hari dapat diartikan suatu perbuatan
dimana seseorang melepaskan uang untuk mendapatkan barang yang dikhendaki
secara sukarela. Istilah jual beli dalam Hukum Perjanjian Indonesia di adopsi dari
istilah koop en verkoop dalam bahasa Belanda. Hukum Belanda juga mengikuti
konsep emptio vendito yang berarti berasal dari hukum romawi.18 Dalam hukum
romawi istilah jual beli adalah emptio vendito, Emptio bermakna membeli,
Kemudian Venditio bermakna menjual.19 Dari istilah tersebut terlihat hubungan
yang bersifat timbal balik antara dua pihak yang melakukan perbuatan hukum
yang berbeda, pihak yang satu melakukan tindakan hukum menjual, dan pihak
yang lain melakukan tindakan hukum membeli.
Jual beli dalam sistem Hukum Common Law dikenal dengan istilah sale.20
Dengan istilah ini sistem Commom Law lebih menonjolkan aspek penjualannya.
Hampir sama dengan yang dianut dalam hukum perjanjian Prancis, dalam bahasa
Prancis digunakan istilah vente yang berarti penjualan, di dalam hukum Jerman
dipakai istilah Kauf yang berarti pembelian.21 Nederland Burgerlijk Wetbook
dewasa ini tidak lagi menggunakan istilah koop en verkoop tetapi hanya koop saja.
Dari istilah jual beli di atas koop memiliki kesamaan istilah dengan sale dan vente.
Mendasarkan diri pada ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata di Indonesia
menjelaskan jual beli adalah suatu persetujuan atau perjanjian yang mengikat
penjual dan pembeli, Pembeli mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu barang
yang disetujui bersama, dan pembeli mengikatkan diri untuk membayar harga
18 Arthur S. Mariane, 1995, Contract Law In Netherlands (The Hague), Khuwer Law, h.
169.
19 K. Prent, 1969, Kamus Latin-Indonesia, Kansius, Yogyakarta, h. 283.
20 Atiyah, 1980, Sale of Goods, Pitman BOOK Limited, London, h. 1.
21 R. Subekti, op.cit., h. 8.
79
barang yang disetujui bersama. Dari perumusan pasal diatas dapat ditarik
kesimpulan, bahwa penjual dan pembeli terdapat hak dan kewajiban masing-
masing. Pihak Penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual, sedangkan
pihak pembeli berkewajiban untuk membayar harga barang yang dijual,
sedangkan pembeli berkewajiban untuk membayar harga barang yang dibeli
kepada penjual. Jual beli yang dianut dalam Hukum Perdata ini hanya bersifat
obligatoir, yang artinya bahwa perjanjian jual beli baru meletakkan hak dan
kewajiban timbal balik antara kedua belah pihak, penjual dan pembeli, yaitu
meletakkan kepada penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang
yang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak untuk menuntut
pembayaran harga yang telah disetujui, dan di sebelah lain meletakkan kewajiban
kepada si pembeli untuk membayar harga barang sebagai imbalan hak untuk
menunutut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Atau dengan
perkataan lain, bahwa jual beli yang dianut dalam Hukum Perdata, jual beli belum
memindahkan hak milik. Adapun barang baru berpindah dengan dilakukannya
penyerahan atau levering. Sedangkan pada Hukum Adat jual beli sudah terjadi
sejak diikuti dengan pencicilannya.
Tentang persetujuan jual beli Pasal 1458 KUHPerdata menyebutkan jual
beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-
orang ini mencapai kesepakatan tentang kebendaan tersebut dan harganya.
Meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar. Dan
disini dapat diartikan pula, bahwa jual beli itu dalah suatu persetujuan kehendak,
antara penjual/pembeli mengenai suatu barang dan harga. Karena tanpa barang
80
yang akan dijual tanpa harga yang dapat disetujui antara kedua belah pihak, tidak
mungkin ada jual beli, atau jual beli tidak pernah ada.
Menurut Hartono Soerjopraktikno, perjanjian jual beli secara historis dan
logis merupakan species dari genus perjanjian tukar menukar dimana salah satu
prestasinya terdiri atas sejumblah uang dalam arti pembayaran yang sah. Dari
definisi jual beli di atas dapat ditarik simpulan bahwa unsur-unsur yang
terkandung jual beli, adalah sebagai berikut:22
a. adanya para pihak pejual dan pembeli.
b. ada barang yang ditransaksikan.
c. ada harga.
d. ada pembayaran dalam bentuk uang.
Lain halnya jual beli terhadap tanah. Ini diatur di dalam UUPA yang
dalam Pasal 19 UUPA menentukan bahwa, jual beli harus dibuktikan dengan
suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT, jadi jual beli hak atas tanah
harus dilaksanakan di hadapan PPAT. Hal demikian sebagai bukti bahwa telah
terjadi jual beli sesuatu hak atas tanah, dan selanjutnya PPAT membuat akta jual
beli. Dasar hukumnya yaitu Pasal 1868 KUHPerdata yang menyebutkan suatu
akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu di
tempat mana akta dibuatnya. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dibuat oleh
Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri. Jadi yang membuat Akta Jual
Beli itu adalah pejabat umum. Kembali pada jual beli yang bersifat umum. Jual
22 Hartono Soerjopraktikno, 1982, Aneka Perjanjian Jual Beli, Seksi Noktariat Fakultas
Hukum Gajah Mada, Yogyakarta, h. 1.
81
beli yang bersifat umum adalah jual beli yang terjadi dalam lau lintas kehidupan
masyarakat sehari-hari dimana jual beli terjadi dalam lalu lintas kehidupan
masyarakat sehari-hari di mana jual beli tadi terjadi dari tangan ke tangan, yaitu
jual beli yang dilakukan tanpa camput tangan resmi, tidak perlu terjadi di hadapan
pejabat, cukup dilakukan dengan lisan. Hal ini tentunya tidak termasuk di dalam
jual beli benda-benda tertentu, terutama mengenai obyek benda-benda tidak
bergerak yang pada umumnya memerlukan suatu akta jual beli yang resmi.
Apa saja benda atau barang yang diperjual belikan ini, bahwa benda-benda
yang diperjual belikan adalah harus benda-benda yang berwujud saja. Atau
dengan kata lain adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek jual beli itu
adalah kekayaan harta benda atau harta kekayaan, atau segala sesuatu yang
bernilai kekayaan, termasuk misalnya perusahaan dagang, warisan atau segala
benda yang bernilai harta kekayaan. Hal ini yang dimaksud dalam Pasal 1332
KUHPerdata yang menyebutkan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan
saja dapat menjadi obyek persetujuan. Dengan demikian obyek suatu persetujuan
dapat dijadikan obyek jual beli, bahwa jual beli terjadi setelah hak milik itu
berpindah sesudah barang yang dibeli itu diserahkan.
Hal demikian juga berlaku di dalam Hukum Adat, yang di dalam
Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 4 Desember 1957 No. 2712/K/Sip/1956
bahwa sifat riil dari perjanjian jual beli menurut Hukum Adat hanya berarti
bahwa, dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja, belumlah terjadi
perjanjian jual beli. In Casu sudah terjadi penulisan kontrak jual beli di muka
Kepala Kampung serta penerimanya harga barangnya oleh penjual dengan mana
82
dinyatakan hak miliknya kepada pembeli. Mengenai harga dari jual beli adalah
salah satu essensial dari persetujuan jual beli tentunya jual beli tersebut dilakukan
dengan uang, sedangkan jual beli yang tidak dilakukan dengan uang berada di luar
jangkauan persetujuan jual beli. Jika terjadi misalnya barang yang dibeli itu tidak
dibayar dengan uang, akan tetapi di bayar dengan barang lain, hal demikian
bukanlah jual beli melainkan persetujuan tukar-menukar barang.
2.4 Tinjauan Umum Tentang Akta Notaris
2.4.1 Akta Notaris Sebagai Akta Otentik
Menurut R. Soegondo, “akta otentik adalah akta yang dibuat dan
diresmikan dalam bentuk menurut hukum, oleh atau dihadapan pejabat umum,
yang berwenang untuk berbuat sedemikian itu, di tempat dimana akta dibuat”.23
Selanjutnya Ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata mengemukakan bahwa ada 3
(tiga) unsur essensalia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik yaitu:
1. dibuat dalam bentuk yang ditetapkan undang-undang.
2. dibuat oleh dan di hadapan pejabat hukum.
3. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.
Akta otentik harus memenuhi apa yang dipersyaratkan dalam Pasal 1868
KUHPerdata, sifatnya kumulatif atau harus meliputi semuanya. Akta-akta yang
dibuat, walaupun ditandatangani oleh para pihak, namun tidak memenuhi
persyaratan Pasal 1868 KUHPerdata, tidak dapat diperlakukan sebagai akta
otentik, namun termasuk akta di bawah tangan. Ketentuan mengenai wewenang
23 Soegondo, 1991, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 89.
83
Notaris membuat akta otentik diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUJNP, disebutkan
bahwa Notaris merupakan pejabat umum, yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan memiliki kewenangan lainnya. Mengenai kewenangan Notaris, Pasal
15 ayat (1) UUJNP menyatakan, “bahwa Notaris, dalam jabatannya, berwenang
membuat Akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta Otentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan
atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.”
Akta Notaris atau Notariil Akta, dalam Pasal 1 angka 7 UUJNP, dimaknai
sebagai akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, menurut bentuk dan
tata cara yang ditetapkan dalam UUJNP ini. Secara gramatikal, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, akta dimaknai sebagai surat tanda bukti berisi pernyataan
(keterangan, pengakuan, keputusan, dll) tentang peristiwa hukum yang dibuat
menurut peraturan yang berlaku, disaksikan dan disahkan oleh pejabat resmi.
Sampai pada titik ini, sudah jelas kiranya mengenai posisi, fungsi, tugas dan
wewenang Notaris. Bahwa dalam jabatannya, seorang Notaris berwenang
membuat akta otentik. Akta notaris sebagai sebuah akta otentik memiliki fungsi
yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Kebutuhan akan pembuktian
tertulis, berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya
84
tuntutan akan kepastian hukum yang merupakan salah satu prinsip dari Negara
hukum.
Akta notaris merupakan alat pembuktian yang sempurna, terkuat dan
penuh sehingga selain dapat menjamin kepastian hukum, akta notaris juga dapat
menghindari terjadinya sengketa. Menuangkan suatu perbuatan, perjanjian,
ketetapan dalam bentuk akta notaris dianggap lebih baik dibandingkan dengan
menuangkannya dalam surat di bawah tangan, walaupun ditandatangani di atas
materai, yang juga diperkuat oleh tanda tangan para saksi.
Ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata suatu akta otentik ialah akta yang di
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Dibuat oleh atau di hadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuat, R
Soegondo dalam hal ini mengemukakan pendapatnya bahwa:
Untuk membuat akta otentik. Seseorang harus mempunyai kedudukan
sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang advokat, meskipun ia seorang
yang ahli dalam bidang hukum, namun tidak berwenang untuk membuat
akta otentik. Karena itu tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum.
Sebaliknya seorang pegawai catatan sipil (Ambtnaar van de Burgelijke
Stand) meskipun ia bukanlah seorang ahli hukum, ia berhak membuat akta
kelahiran, akta perkawinan, akta kematian. Demikian itu karena ia oleh
undang-undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang
untuk membuat akta-akta itu.24
Senada dengan pendapat R. Soegondo mengenai akta otentik. G.H.S
Lumban Tobing lebih lanjut terkait dengan keberadaan suatu akta mengemukakan
sebagai berikut:
Akta yang dibuat oleh Notaris dapat merupakan suatu akta yang memuat
reelas atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan
atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni
Notaris sendiri, di dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris.
24 Ibid., h. 43.
85
Disaksikan dan dialaminya itu dinamakan akta akta yang dibuat oleh
Notaris (sebagai pejabat umum). Akan tetapi akta Notaris dapat juga
berisikan suatu cerita dari apa yag terjadi karena perbuatan yang dilakukan
oleh pihak lain dihadapan Notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk
keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di hadapan Notaris, agar
keterangannya atau perbuatan itu dikonstatir oleh Notaris dalam suatu akta
otentik. Akta sedemikian dinamakan akta yang dibuat di hadapan (ten
overtaan) Notaris.25
Menurut pendapat Abdulkadir Muhammad maka dapat diketahui, bahwa
pada dasarnya terdapat 2 (dua) golongan akta Notaris yaitu:
1. Akta yang dibuat oleh (door) Notaris atau yang dinamakan akta reelas
atau akta pejabat (Ambtelijken Aden)
2. Akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) Notaris atau yang
dinamakan akta pihak (patij-acte).26
2.4.2 Keabsahan Akta Notaris Sebagai Akta Otentik
Akta notaris sebagai sebuah akta otentik memiliki fungsi yang penting
dalam kehidupan di dalam bermasyarakat. Kebutuhan seperti pembuktian tertulis,
berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya di masa kini
tuntutan akan kepastian hukum yang merupakan salah satu prinsip dari Negara
hukum. Akta notaris merupakan alat pembuktian yang sempurna, terkuat dan
penuh sehingga selain guna menjamin suatu kepastian hukum, akta notaris juga
dapat menghindari terjadinya sengketa di kemudian hari. Menuangkan suatu
perbuatan, perjanjian, ketetapan dalam bentuk akta notaris dianggap lebih baik
dibandingkan dengan menuangkannya dalam bentuk surat di bawah tangan,
walaupun ditandatangani di atas materai, yang juga diperkuat oleh tanda tangan
25 G.H.S Lumban Tobing, 1996, Peraturan Jabatan Notaris, Penerbit Erlangga, Jakarta,
h. 48.
26 Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya, Bandung, h. 129.
86
oleh para saksi. Arti kata otentik itu berarti sah, harus dibuat di hadapan pejabat
yang berwenang. Oleh karena notaris itu merupakan pejabat yang berwenang
dalam membuat akta, maka akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris
merupakan akta otentik, atau akta itu sah. Pasal 1870 KUHPerdata kemudian
menegaskan bahwa akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang
apa yang termuat di dalamnya, sepanjang berhubungan langsung dengan pokok isi
akta.
Pasal 1870 KUHPerdata yang menetapkan bahwa pada suatu akta otentik
memberikan di antara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang
mendapat hak daripada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang
dimuat di dalamnya. Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu akta
otentik itu mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak, apalagi apabila akta itu
memuat perjanjian yang mengikat kedua belah pihak yang membuat perjanjian
tersebut. Jadi, apabila antara pihak-pihak yang membuat perjanjian itu terjadi
sengketa, maka apa yang tersebut dalam suatu akta otentik itu merupakan bukti
yang sempurna, sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan alat-alat pembuktian
lain. Di sini, akta otentik memberikan fungsi penting dalam praktek hukum
sehari-hari, yaitu memudahkan pembuktian dan memberikan kepastian hukum
yang lebih kuat.
Akta otentik merupakan cerminan dari Pasal 1868 KUHPerdata yang
merupakan sumber umtuk otentisitas akta Notaris juga merupakan dasar legalitas
87
eksistensi akta Notaris, Menurut Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur
esensialia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:27
1. di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
2. dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum.
3. akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.
Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris bentuknya sudah ditentukan
dalam Pasal 38 UUJNP. Sebagai bahan perbandingan kerangka atau susunan akta
yang tersebut dalam Pasal 38 UUJNP berbeda dengan yang dipakai dalam
Peraturan Jabatan Notaris (selanjutnya disebut PJN). Dalam PJN kerangka akta
atau anatomi akta terdiri dari:28
a. Kepala (hoofd) Akta: yang memuat keterangan-keterangan dari Notaris
mengenai dirinya dan orang-orang yang datang menghadap kepadanya
atau atas permintaan siapa dibuat berita acara.
b. Badan Akta: yang memuat keterangan-keterangan yang diberikan oleh
pihak-pihak dalam akta atau keterangan-keterangan dari Notaris
mengenai hal-hal yang disaksikannya atas permintaan yang
bersangkutan.
c. Penutup Akta: yang memuat keterangan dari Notaris mengenai waktu
dan tempat akta dibuat, selanjutnya keterangan mengenai saksi-saksi, di
hadapan siapa akta dibuat dan akhirnya tentang pembacaan dan
penandatanganan dari akta itu.
27 Irawan Soerodjo, op.cit., h. 148.
28 G.H.S. Lumban Tobing, op.cit., h. 214.
88
Hukum perjanjian melahirkan akibat hukum tertentu jika syarat subjektif
dan syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka
timbul konsekuensi perjanjian tersebut dapat dibatalkan sepanjang ada permintaan
(para pihak). Syarat subjektif ini senantiasa dijadikan suatu ancaman untuk
dibatalkan oleh para pihak yang berkepentingan darii orang tua, wali atau
pengampu. Agar ancaman seperti itu tidak terjadi, maka perlu adanya penegasan
dari pihak yang berkepentingan, bahwa perjanjian tersebut akan tetap berlaku dan
mengikat para pihak. Jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka timbul konsekuensi
tersebut perjanjian demikian batal demi hukum, tanpa perlu ada permintaan atau
persetujuan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah
ada. Perjanjian yang batal demi hukum juga tentunya dapat terjadi, apabila suatu
perjanjian yang dibuat tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan
untuk perbuatan hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudah ditentukan
atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, karena perjanjian sudah
dianggap tidak ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak untuk saling
menuntut atau menggugat dengan cara dan bentuk apapun. Misalnya jika suatu
perjanjian tersebut wajib dibuat dengan akta Notaris atau Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT), tapi ternyata tidak dilakukan, maka perbuatan hukum atau
perjanjian tersebut jelas batal demi hukum.
Tentang berlakunya syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam
akta Notaris. Pada awal akta ketentuan syarat subjektif dicantumkan, dan badan
akta sebagai isi akta sebagai syarat objektif. Isi akta merupakan perwujudan dari
Pasal 1338 KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan
89
kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak mengenai perjanjian yang
dibuatnya.
Top Related