AKAR MASALAH TUNTUTAN RAKYAT PAPUA PENENTUAN
NASIB SENDIRI
(SELF-DETERMINATION)
OLEH
Tim Kerja
Socratez Sofyan Yoman (Direktur)
Ismael Roby Silak, SH (Wakil Direktur)
Gerad Pagabol (Sekretaris Eksekutif)
LEMBAGA REKONSILIASI HAK-HAK ASASI MASYARAKAT KOTEKA (LERHAMKOT)
PAPUA BARAT
Di sampaikan kepada Yth:
1. Presiden RI, K.H. Abdurrahman Wahid di Jakarta;
2. Wakil Presiden RI, Megawati Sukarnoputri di Jakarta;
3. Ketua MPR RI, Dr. Amien Rais di Jakarta;
4. Ketua DPR RI, Ir. Akbar Tanjung di Jakarta;
5. Menkopolsoskam, Agum Gumelar di Jakarta;
6. SEKJEN KOMNAS HAM di Jakarta;
7. KETUA DPRD TK. I Propinsi Papua di Jayapura;
8. LBH Papua di Jayapura;
9. ELS-HAM Papua Barat di Jayapura.
Alamat: Jl. Jeruk Nipis Kotaraja, PO Box 1212 Papua, Telp/Fax : 0967) 583462, 586158
E-mail: [email protected]
PAPUA BARAT 2001
Kata Pengantar
(1) Mengapa rakyat Papua Barat mengadakan perlawanan terus-menerus sebelum dan sesudah
integrasi dalam NKRI sampai sekarang ini?
(2) Mengapa perlawanan rakyat West Papua atas sejarah proses integrasi itu diberikan stigma
OPM/GPK, separatis dan makar oleh penguasa Indonesia?
Sebagai jawaban pertanyaan-pertanyaan ini dapat dibaca dalam seluruh laporan studi ini. Perlu
menyimak pula apa yang dikatakan Menkopolsoskan, Bapak Agum Gumelar dalam pertemuan
dengan Tim Otsus Papua yang mengakui bahwa “Saya ingin di Papua hal-hal yang terjadi di masa
lalu yakni hal-hal yang tidak benar dan tidak adil yang membuat rakyat sengsara, harus dihentikan
dan tidak boleh ada lagi. …”(Cenderawasih Pos, 27 Juni 2001, hal. 2).
Pernyataan Menkopolsoskam mengingatkan kita bahwa, nampaknya para penguasa dan pejabat
Indonesia telah mengakui dan menyadari bahwa ada kesalahan dalam proses sejarah kehidupan
berbangsa dan bernegara terhadap rakyat West Papua. Tetapi, ketika orang-orang Papua Barat
bangkit dan berusaha meluruskan proses distorsi historis bangsanya, selalu diberikan stigma
OPM/GPK, separatis, makar dan berbagai stigma yang lain. Pemberian stigma-stigma seperti ini
sebagai senjata ampuh pemerintah Indonesia untuk membelenggu nilai-nilai kebenaran, keadilan,
kejujuran dan demokrasi serta hak asasi manusia di Papua Barat.
Lebih lengkapnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Lembaga Rekonsiliasi Hak-Hak
Asasi Masyarakat Koteka (LERHAMKOT) Papua Barat, sebagai salah satu lembaga yang
memperjuangkan pendidikan demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan nilai kebenaran, keadilan,
kejujuran, serta kedamaian telah mengadakan studi tentang hasil-hasil PEPERA 1969 dalam
dokumen PBB Annex I A/7723 untuk menyampaikan kebenaran sejarah. Perjuangan
LERHAMKOT terlepas dari aspirasi Merdeka dan Otonomi Khusus. Karena, misi LERHAMKOT
adalah memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, kedamaian dan demokrasi serta
hak asasi manusia. Studi ini dapat dibuat sebagai bahan masukan kepada Indonesia untuk dijadikan
sebagai referensi dalam menyikapi tuntutan rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri dan
meminimalisasi kekerasan terhadap orang-orang Papua.
Semoga hasil studi ini bermanfaat bagi kita semua.
Papua Barat, 27 Juni 2001
C. RESOLUSI PBB TENTANG HASIL PEPERA 1969
Perjanjian antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda tentang New Guinea Barat (Irian
Barat).
Draf Resolusi PBB No. A./L.574 dari Belgium, Indonesia, Malaysia dan Thailand:
Sidang Umum:
Mengingat resolusi 1752 (XVII) 21 September 1962 menerima perjanjian antara Republik
Indonesia dan Belanda berhubungan New Gunea Barat (Irian Barat), peran atas Sekretaris -General
dalam perjanjian dengan menggunakan dan untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan
kepadanya,
Mengingat juga keputusan 6 Nopember 1963 menerima laporan Sekretaris-General penyelesaian
UNTEA dI irian Barat,
Mengingat lebih lanjut, bahwa persiapan-persiapan untuk pelaksanaan pemilihan bebas adalah
tanggung jawab Indonesia untuk menasihati, membantu dan partisipasi dari perwakilan khusus
Sekretaris-General, sebagai mana ditentukan dalam Perjanjian,
Menerima laporan hasil-hasil pelaksanaan pemilihan bebas yang disiapkan oleh Sekretaris-General
sesuai dengan pasal XXI, pragrap 1 menyetujui Perjanjian dan hasil-hasilnya,
Mengingat, sesui dengan pasal Perjanjian XXI paragrap 2, dua negara mengakui
hasil-hasil ini.
Menerima bahwa Pemerintah Indonesia, dalam melaksanakan rencana pembangunan nasional,
memberikan perhatian khusus untuk pengambangan Irian Barat, mengingat keadaan penduduk, dan
bahwa Pemerintah Belanda, bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia, akan melanjutkan untuk
memberikan bantuan keuangan untuk tujuan ini, khususnya melalui Bank pembangunan Asia dan
lembaga-lembaga PBB.
1. Menerima Laporan Sekretaris General menyatakan dengan penghargaan bahwa penyelesaian
oleh Sekretaris General dan perwakilannya dari tugas-tugas yang dipercayakan kepada
mereka dibawah perjanjian 1962 antara Indonesia dan Belanda;
2. menghargai beberapa bantuan yang disediakan melalui Bank Pembangunan Asia, melalui
lembaga-lembaga PBB atau melalui orang-orang lain kepada Pemerintah Indonesia dalam
usaha untuk meningkatkan ekonomi dan sosial Irian Barat; (lihat: United Nations General
Assembly: A/L.574, 12 November 1969, seventy-fourth session, Agenda item 98).
3. Dari Ghana mengamandemen draf Resolusi yang disampaikan oleh Belgium, Indonesia,
Luxemburg, Malaysia, Belanda dan Thailand: (A/L.574).
4. Menggantikan peranggap keempat pembukaan sebagai berikut: Menerima laporan pekerjaan
terakhir Sekretrais-General perwakilannya di Indonesia sesuai Perjanjian.
5. Menggantikan paragrap kelima pembukaan sebagai berikut:
6. Mengingat kepentingan dan kesejahteraan rakyat Irian Barat seperti dinyatakan dalam
pembukaan Perjanjian.
7. Memasukan paragrap baru keenam pembukaan bacanya sebagai berikut:
8. Lebih lanjut mengingat pasal XVIII Perjanjian dan sebaliknya, menyebutkan untuk
pelaksanaan pemilihan bebas sesuai dengan praktek internasional,”
9. Memasukan paragrap baru ketujuh pembukaan bacanya sebagai berikut: “Menegaskan,
melanjutkan perhatian PBB sesuai tujuan
10. Pada akhir paragrap pembukaan, menghilangkan kata-kata “Bank Pembangunan Asia
dan”
11. Menggantikan paragrap 1 yang berlaku sebagai berikut:
12. “1. Menerima laporan Sekretaris-General dan perwakilannya dalam usaha-usaha
untuk memenuhi tanggungjawab mereka di
13. Memasukan paragrap 2 yang baru berlaku sebagai berikut: Memutuskan bahwa
Rakyat Irian Barat hendaknya diberikan kesempatan lebih lanjut, akhir tahun 1975 untuk
melaksanakan pemilihan bebas sesuai dengan Perjanjian;”
14. Menempatkan kembali, paragrap 2 sebagai berikut:
“Menghargai beberapa bantuan yang disediakan melalui lembaga-lembaga PBB untuk
menambah usaha-usaha pemerintah Indonesia demi meningkatkan pembangunan
ekonomi dan sosial di Irian barat” (Lihat: United Nations General Assembly: A/L.576,
19 November 1969, Twenty-fourth session, Agenda item, 98).
Dalam kaitan dengan pengungkapan rekayasa PEPERA 1969 ini, Dr. John Saltford dalam
penelitiannya di Markas Besar PBB di New York, dengan Judul “ UNITED NATIONS
INVOLVEMENT WITH THE ACT OF SELF-DETERMINATION IN WEST IRIAN
( INDONESIAN WEST NEW GUINEA) 1968 TO 1969” mengungkapkan dokumen-dokumen
signifikan tentang pelaksanaan PEPERA 1969 yang tidak demokratis di Papua.
LERHAMKOT sebagai salah satu lembaga yang memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan hak-
hak asasi manusia di Papua merasa bertanggungjawab untuk menyampaikan secara jujur kepada
Bapak Presiden Republik Indonesia sebagai bahan pertimbangan dalam menanggapi tuntutan rakyat
West Papua untuk menentukan nasib sendiri (self-determination). LERHAMKOT tidak ada
kepentingan dengan tuntutan Papua Merdeka, melainkan bertanggungjawab dalam hal pendidikan
demokrasi dan hak-hak asasi manusia.
Oleh karena itu, Lembaga Rekonsiliasi Hak-Hak Asasi Masyarakat Koteka (LERHAMKOT)
PAPUA BARAT menyampaikan hasil penelitian Dr. John Saltford sebagai berikut:
Go up
A. PENDAHULUAN
Tulisan ini, berdasarkan sebagian besar atas klasifikasi dokumen PBB, mau melihat untuk menguji
kembali peristiwa-peristiwa sekitar pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang
diadakan di New Guinea Barat pada bulan Juli dan Agustus 1969. Secara khusus, saya ingin melihat
peranan PBB dan apakah mempertimbangkan atau tidak, dalam memenuhi tanggungjawab terhadap
orang Papua.
Pada dasarnya keterlibatan PBB di New Guinea Barat dimulai sejak Indonesia menjadi anggota
komisi PBB tahun 1949. Ini diadakan pada “Koferensi Meja Bundar” di Den Haag yang
menghasilkan Perjanjian peralihan pemerintahan dari Belanda kepada Indonesia yang dipimpin oleh
Presiden Sukarno.
Selama perundingan-perundingan, Belanda bersikap keras menguasai pemerintahan atas New
Guinea Barat, kedudukan ini dituduh oleh Indonesia sebagai kelanjutan penjajahan Belanda. [1][1]
Di Den Haag diperdebatkan bahwa orang Papua sedikit atau tidak ada hubungan dengan orang Asia
Indonesia. Mereka juga menuntut bahwa mereka hanya mengurus New Guinea Barat dari Jawa
sebab mereka tidak mempertimbangkan pemisahan administrasi atas wilayah dengan hanya sedikit
orang Belanda yang ada. Meskipun demikian, Jakarta menuntut bahwa New Guinea Barat adalah
bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia. Pembicaraan selanjutnya diadakan pada bulan
Desember 1950, tetapi tidak mencapai kesepakatan.
Pada tahun 1957, Indonesia gagal mangajukan empat resolusi atas tuntutan mereka dalam Sidang
Umum PBB. Mereka sekarang kembali pada apa yang digambarkan John Reinhardt sebagai
langkah ketiga dan terakhir pertikaian Irian Barat, suatu ketrampilan diplomasi campuran dan
tekanan kekuatan militer.[2] Pada tahun 1961, kampanye ini telah menjadi hal kepedulian pada
pemilihan presiden baru J.F. Kennedy. Walaupun, bermusuhan dengan Sukarno, dia lebih siap
daripada pendahulunya untuk mencari suatu penyelesaian tentang pertikaian. Pengambil kebijakan
Washington lebih prihatin tentang peningkatan dukungan Soviet secara besar-besaran dalam
pembelanjaan peralatan militer.
Howard Jones, Duta Besar Amerika di Jakarta, kemudian menulis: “Sukarno telah mengerti taktik
kenyataan politik. Dia seorang guru yang menggambarkan dirinya dalam seorang pendatang dan
menunggu seseorang untuk menolong dia. Dalam situasi ini, dengan bantuan negara Rusia, dia
menyatakan perang. Itu bukan suatu gertakan.”[3]
Akhirnya Washington memutuskan bahwa jalan untuk menghindari perang terbuka antara Belanda
dan Indonesia nampaknya tidak sesuai upaya persuasif dengan Belanda untuk menerima kompromi
terlibat dalam peralihan pemerintahan kepada Indonesia, dihubungkan pada beberapa bentuk
penentuan nasib sendiri.
Seorang Pejabat resmi Amerika menulis pada bulan Februari 1962: “Saya tidak menyalahkan
Belanda atas keraguan bahwa sudah mempunyai beberapa maksud membiarkan plebisit murni lima
tahun atau dari sekarang. Tetapi, hal yang penting adalah bahwa beberapa orang Indo berjanji yang
mendasar untuk menyelamatkan muka Belanda. Kami harus mendapat mereka dan membawa itu
sebagai yang terbaik yang mereka harapkan”.[4]
Akhirnya, di Den Haag dengan persuasif untuk menerima suatu penyelesaian dan pada tanggal 15
Agustus 1962, mereka menandatangani Perjanjian New York dengan Jakarta.[5]
Dalam pandangan Belanda, daerah Papua tidak diserahkan secara langsung kepada Indonesia.
Contoh, di bawah Perjanjian, administrasi sementara PBB, (UNTEA), United Nations Temporary
Executive Authority) selama 7 (tujuh) bulan. Tidak ada waktu maksimal yang terbatas, tetapi dalam
kenyataannya PBB ditarik pada tanggal 1 Mei 1963 secepatnya masa minimum. Tidak ada
kesempatan dalam perundingan-perundingan atau proses pengambilan keputusan orang Papua Barat
dilibatkan”.[6]
Di bawah syarat Perjanjian New York 1962, administrasi PBB sementara ini hanya bagian pertama
dari suatu proses yang ditetapkan untuk mendidik orang Papua untuk menentukan nasib sendiri.
Go up
B. SITUASI PADA TAHUN 1968
Pada bulan Agustus 1968, tim PBB kembali ke Papua, sekarang dinamakan Irian Barat, dipimpin
oleh diplomat Bolivia Fernando Ortiz Sanz, tanggungjawab itu berada di bawah Perjanjian New
York untuk “ membantu, menasihati, dan kerjasama” dalam pelaksanaan penentuan nasib sendiri
yang direncanakan tahun berikutnya. Pada waktu tim Ortiz Sanz tiba, di Papua beberapa tahun telah
mengalami peraturan orang Indonesia dan menghadapi masalah ekonomi dan politik.
Peter Hastings, seorang dari dua wartawan Australia yang diijinkan berkunjung sejak 1963, telah
memberikan penilaian yang memberatkan, walaupun dia mendukung atas pengawasan Indonesia.
“Fakta yang sederhana ialah sejak Belanda berangkat, pemerintah Indonesia telah melakukan
sedikit atau tidak ada apa-apa sampai tahun ini untuk membangun negeri dan memberikan orang-
orang Papua beberapa proyek pembangunan ekonomi yang mendasar atau beberapa tingkat
kerjasama nyata dalam bidang politik. Orang Papua merasa berlari cepat.”[7]
Penerangan Kedutaan Inggris dari Jakarta melaporkan bahwa mereka telah diberikan penjelasan
singkat oleh konsulat resmi Amerika Serikat, Reynders, yang juga berkunjung ke Papua pada tahun
1968. Setelah kembali ke Jakarta pada akhir Maret, Reynders melaporkan bahwa Indonesia tidak
mempunyai sumber ekonomi untuk pembangunan yang wajar di Irian Barat. Banyaknya komentar
pada permasalahan yang dia tulis, semacam hitungan yang diminta untuk pembangunan Papua
yang wajar, dan kemauan tinggal, sama sekali melebihi maksud-maksud Indonesia”.[8]
Dia juga percaya bahwa Indonesia tidak mempunyai sumber ekonomi atau militer dengan ancaman
keamanan yang disikapi oleh “Papua Merdeka” OPM (Organisasi Papua Merdeka) Free Papua
Movement). Orang Indonesia telah melakukan dengan segala macam cara dari bom mereka dengan
B-26s, dengan geranat, martir orang Papua. Kebrutalan dilakukan dari waktu ke waktu sebagai
usaha penekanan tidak berhasil.[9]
Bahkan orang Indonesia mengakui sendiri bahwa situasi di Irian Barat adalah genting. Dalam bulan
Mei 1968, utusan kementerian Indonesia dipimpin oleh Sultan Yogyakarta mengadakan kunjungan
untuk menilai situasi. Pada waktu mereka kembali ke Jakarta, utusan menjelaskan kepada mass
media atas keberhasilan mereka dalam berbagai masalah yang mereka telah identifikasi di Papua.
Dalam kenyataannya, mereka terkejut pada apa yang mereka lihat.
Seorang Kedutaan Inggris, telegram dalam bulan Juli menginformasikan ke London bahwa:
“Kunjungan adalah penting terutama dalam menyediakan anggota-anggota dengan bukti-bukti
laporan dari tangan pertama tentang luasnya permasalahan ekonomi dan demonstrasi
ketidakpopuleran karena kepemimpinan penguasa sipil dan militer di Papua.”[10]
Go up
C. KEKUATAN POSISI INDONESIA
Perjanjian New York adalah suatu kesepakatan untuk “melaksanakan penentuan nasib sendiri” dan
musyawarah dengan “dewan-dewan perwakilan” dalam prosedur-prosedur dan metode-metode
yang “memastikan untuk menyatakan kehendak bebas penduduk Papua.” Tidak ada pokok kata-kata
kritis “referendum” atau “plebisit” disebutkan.”[11]
Walaupun, Pasal XVII (17) Perjanjian New York menyatakan bahwa semua orang dewasa dari
Papua yang memenuhi syarat dapat berpartisipasi dalam penentuan nasib sendiri,” dilaksanakan
sesuai dengan praktek internasional.” Walaupun tidak ada definisi apakah maksud ini diberikan,
satu kata sentral yang penting ketika mempertimbangkan setuju atau tidak, dalam memenuhi syarat-
syarat Perjanjian.
Suharto dengan sengaja mengambil keuntungan dari ketidakjelasan istilah dalam Perjanjian New
York. Dia juga menyadari bahwa, dengan memungkinkan kekecualian China.[12] tidak ada
kekuatan utama terbaik melawan posisi mereka di Irian Barat. Sejak penandatanganan Perjanjian
New York 1962, Washington menunjukkan sedikit tertarik tentang persoalan ini. Tampaknya
menolak saran-saran oleh kedua negara Belanda dan Australia bahwa mereka hendaknya “prihatin
diri mereka daripada lebih dekat” dalam hal penentuan nasib sendiri.”[13]
Bukti-bukti lebih lanjut posisi Amerika Serikat ini disampaikan oleh Edward D. Masters, di
Departemen Negara Amerika Serikat. Dalam percakapan dengan Diplomat Inggris pada bulan Juni
1969, dia berkomentar bahwa Washington melihat sedikit manfaat dalam melibatkan “hal yang
menyenangkan dapat diketahui” kehilangan kehendak baik mereka terhadap Jakarta tidak ada
keuntungan. Dia kemudian menambahkan “Departemen Negara mereka dihadapi dengan beberapa
kritik dari senat tetapi itu tidak mungkin bertambah jumlah yang sangat besar.”[14]
Walaupun penindasan kekerasan Suharto dari Komunis orang Indonesia, Uni Soviet sebagain besar
tidak tertarik kritik Jakarta untuk urusan Papua, khususnya mereka telah menjadi sekutu Indonesia
sebagai kunci kampanye tentang Irian Barat. Ada beberapa tuduhan di Soviet dipublikasikan,
Suharto, “menipu orang-orang Papua untuk kemerdekaan sejati”.[15]
Tetapi seorang Pejabat resmi Inggris, David F.B. Le Breton, menyatakan: “… ada tanda bahwa
negara Komunis ingin memperbaiki hubungan mereka dengan Jakarta dan karena itu alasan mereka
lebih senang tidak membuat sesuatu yang memperburuk hubungan mereka dengan Indonesia pada
saat itu.”[16]
Pejabat resmi Inggris yang lain, I.J.M. Sutherland, berkomentar pada bulan April 1968: “Kekuatan
posisi Indonesia dalam kenyataan bahwa … mereka harus tahu bahwa, bahkan jika ada protes
tentang cara mereka konsultasi, tidak ada kekuatan lain berkeinginan untuk menaruh perhatian
untuk menekan. …Saya mengerti bahwa pengungsian boleh mendapat dukungan dalam media
Australia. Tetapi, saya tidak menduga pemerintah Amerika Serikat, Jepang, Belanda Australia
meletakkan resiko ekonomi mereka dan hubungan politik dengan Indonesia kalau hal keterlibatan
prinsip hubungan dengan jumlah sedikit orang-orang yang sangat primitif”.[17]
Tiga bulan kemudian pernyataan menggema di kantor Penerangan Luar Negeri Inggris: “Kenyataan
yang jelas bahwa tidak ada penyelesaian lain daripada selama Indonesia memegang Irian Barat;
tidak ada orang berpikir dalam syarat-syarat yang berbeda; dan tidak ada pemerintah yang
memungkinkan untuk menuntut secara tulus selamanya.”[18] Sangat berarti, sikap ini oleh
pemerintah Australia, hanya kekuatan Barat dengan beberapa sisa tertarik langsung dalam hal ini
(New Guinea Australia membagi perbatasan dengan Irian Barat). Dalam bulan Mei 1968, seorang
Diplomat Inggris, Donald Murray, melaporkan bahwa dari titik pandang Australia, lebih tepat
pelaksanaan penentuan nasib sendiri dilaksanakan tahun depan lebih baik”.[19]
Di bawah syarat-syarat Perjanjian New York, jumlah ahli PBB tinggal di Papua diikuti
pengambialihan orang Indonesia untuk “menasihati dan membantu penguasa dalam persiapan
umum untuk pelaksanaan penentuan nasib sendiri. Ahli-ahli ini, beberapa tahun berpengalaman di
Papua, kedatangan Ortiz Sanz aset yang tidak terhingga nilainya. Tetapi, sayang sekali, untuk dia,
bagian Perjanjian New York tidak pernah dipenuhi dan dia telah berkomentar dalam laporannya
kepada Sidang Umum PBB bulan Novemner 1969.”[20]
Alasan untuk ini Jakarta tidak memberikan jawaban kepada Sekretaris-Umum U. Thant atas
proposal awal karena tugas mereka, dan dia melaporkan “tidak bermaksud untuk membuat terlalalu
banyak.”[21]
Go up
D. KEDATANGAN ORTIZ SANZ DI PAPUA
Pada tanggal 23 Agustus 1968, Ortiz Sanz tiba di Irian Barat dan memulai perjalanannya 10 hari
3000 mil ke daerah melalui pesawat. Yang menemani dia seluruh tim 8 Pejabat resmi Indonesia
yang dipimpin oleh Sudjarwo Tjondronegoro, Perwakilan Jakarta untuk Irian Barat. Setelah
kembalinya, Ortiz Sanz menulis dalam suatu laporan untuk Sekretaris Umum, U,Thant yang dia
memuji pekerjaan Indonesia: “Pemerintah harus diberikan kredit atas kemajuan dalam pendidikan
dasar, proses pembauran melalui pemakaian bahasa umum (Indonesia), pembangunan sekolah dan
menunjukkan usaha-usaha pergaulan yang bersahabat.”[22] Dia juga menambahkan:
“Kita mengetahui bahwa prinsip “satu orang satu suara” tidak dapat dilaksanakan di semua daerah
Papua, karena kurangnya pengalaman luar dari penduduk. … Kita juga mengakui bahwa
pemerintah Indonesia dimana memperlihatkan ketidakpastian tentang hasil-hasil musyawarah, akan
mencoba, dengan semua maksud-maksud pembagian itu, mengurangi jumlah orang, perwakilan-
perwakilan, dan lembaga-lembaga musyawarah.”[23]
Untuk menjawab gerakan Indonesia ini, Ortiz Sanz berjanji bahwa dia berusaha untuk memperluas
jumlah orang-orang Papua dilibatkan untuk mengambil keputusan, dalam kata-katanya, PBB
hendak membuktikan bahwa mereka sungguh-sungguh mencoba “menyediakan demokrasi sebagai
dasar yang memungkinkan untuk memastikan kehendak nyata orang Papua.”[24]
Walaupun Ortiz Sanz menghabiskan sangat sedikit waktu di Papua selama 1968, orang-orang
Indonesia merasa tidak enak (merasa tidak aman) tentang kehadiran Ortiz Sanz di Papua. Dalam
bulan Desember, orang Indonesia menuntut atas kepemimpinannya di New York bahwa dia telah
menjadi focus perhatian orang-orang Papua dan menyebabkan “kemenangan khusus” dan
menghalangi. Itu benar bahwa, walaupun secara tetap diikuti oleh Pejabat resmi Indonesia, Ortiz
Sanz didekati oleh sedikitnya 26 orang Papua yang mengatur untuk menyampaikan pernyataan-
pernyataan dan surat-surat, hampir semuanya menuduh Indonesia dan menyebutkan untuk
referendum secara jujur di Papua.
Pentingnya, Jakarta juga menjadi tujuan PBB untuk mengutus 50 orang staf ke Irian Barat. Jumlah
ini kemudian dikurangi 25 orang, tetapi akhirnya hanya 16 orang anggota PBB ditugaskan, dan ini
termasuk staf administrasi. Itu memperlihatkan tindakan yang tidak masuk akal bahwa PBB
menyetujui untuk membatasi jumlah Pejabat PBB menjadi kecil, sebagaimana yang digambarkan.
Jikalau dibandingkan dengan Misi PBB untuk mengatur dan mengawasi referendum di Timor-
Timur Agustus 1999 berjumlah 1000 orang termasuk beberapa ratus Polisi dan ratusan pemilih
resmi. Sementara tanggungjawab tim Ortiz Sanz lebih banyak dibatasi hanya “menasihati,
membantu dan partisipasi” dalam pelaksanaan penentuan nasib sendiri, itu dilaksanakan di Papua
lebih lama ukurannya daripada Timor-Timur. Kedua wilayah melaksanakan penentuan nasib
sendiri, tetapi perbandingan demonstrasi besar sekali perbedaan antara usaha murni untuk
mengawasi referendum secara demokrasi dan yang tidak jujur.
Dalam diskusi awalnya tentang metode yang dipakai untuk pelaksanaan penentuan nasib sendiri,
Ortiz Sanz menyatakan kepada orang-orang Indonesia bahwa secara resmi dia hanya menyarankan
sistem yang diterima umum “ one man one vote,” dia menyediakan untuk disetujui suatu sistem
“campuran”. Dengan ini dia bermaksud bahwa pemilihan di daerah-daerah kota diijinkan memilih
secara langsung, sementara rakyat di daerah pedalaman diajarkan beberapa bentuk “musyawarah
bersama”. Dalam hal ini dia mengumumkan, itu menjadi syarat minimum untuk memuaskan
perhatian umum dunia”.[25]
Itu tidak mengejutkan bahwa Indonesia mengabaikan nasihatnya, sejak ada bukti orang Belanda
Senior dan Pejabat resmi PBB telah menyetujui dengan Jakarta awal 1963 tentang metode untuk
penentuan nasib sendiri, tentang tidak melibatkan pemilihan langsung oleh orang Papua. Dalam
bulan Mei 1963, Kedutaan Amerika di Australia meneruskan informasi ke Canberra yang telah
diterima dari orang-orang Amerika: “Orang-orang Belanda dan Indonesia rupanya telah
menyatakan satu sama lain tentang bentuk pelaksanaan penentuan nasib sendiri. Belanda rupanya
menyediakan untuk menyetujui pelaksanaan penentuan nasib sendiri dengan beberapa bentuk lain
daripada plebisit. .. Narasimhan, Ketua Kabinet orang India menyatakan bahwa pelaksanaan
penentuan nasib sendiri diambil dalam bentuk konsultasi dengan dewan-dewan lokal dan
perwakilan-perwakilan kampung.”[26]
Satu tahun kemudian, Jose Rolz-Bennett, seorang Guatemala dibawah Sekretaris-Umum untuk
urusan Politik luar negeri, membuat saran yang sama kepada orang-orang Indonesia selama
kunjungan ke Irian Barat dan Indonesia.”[27] Dalam hal ini kebebasan berpolitik, Indonesia secara
khusus berkewajiban dibawah Pasal XX (20) Perjanjian New York, untuk “menjamin penuh hak-
hak, termasuk hak bebas berbicara, kebebasan bergerak dan kebebasan berkumpul penduduk asli
Papua.” Mengomentari atas ini, Ortiz Sanz memperingatkan Jakarta bahwa tanpa hak-hak dan
kebebasan ini, masyarakat internasional tidak puas bahwa, “keadilan demokrasi yang benar dan
jujur telah dilakukan oleh orang-orang Papua”.[28] Pada waktu yang sama, dia meyakinkan
Sudjarwo bahwa Indonesia “mempunyai hak mutlak untuk mengambil semua langkah-langkah
pertimbangan untuk mempertahankan aturan intern.”[29]
Dalam kenyataan, dibawah Perjanjian New York, Indonesia tidak mempunyai hak mutlak untuk
melakukan pemilihan, jikalau, dengan tindakan itu, merugikan hak-hak dan kebebasan orang-orang
Papua. Dalam menjawab, Sudjarwo berterima kasih kepada Ortiz Sanz atas tidak menyatakan
tindakan-tindakan keamanan Indonesia, menambahkan bahwa hasutan-hasutan dan kesulitan-
kesulitan ekonomi dan “banyak orang Papua berpikiran sederhana dengan mudah mendapat
pengaruh dengan jenis propaganda dan hasutan-hasutan.”[30]
Apakah nasionalisme atau tidak adalah suatu syarat yang tidak benar untuk melengkapi aspirasi-
aspirasi politik tunggal masyarakat asli tradisional seperti Irian Barat, laporan-laporan oleh berbagai
pengunjung asing secara konsisten dalam kesimpulan mereka bahwa jumlah mayoritas orang-orang
Papua tidak mau diatur oleh Jakarta.
Bukti contoh pertama: “seorang wartawan Inggris, Garth Alexander, berkunjung ke Papua awal
tahun 1968 dan penjelasan singkat resmi setelah kembalinya: Mungkin hampir semua gambaran
laporannya Alexander lebih jauh mengkonfirmasikan apa yang kita katakan sebelumnya, bahwa
mayoritas orang Irian Barat … sangat jauh dari keinginan untuk menjadi bagian dengan Republik
Indonesia. Semua orang yang dia berbicara dengan mereka, dan dia bertemu diantara 300 atau 400
orang, tak satupun setuju dalam menjelaskan ini. Kesan dia adalah bahwa orang-orang Papua benci
orang-orang Indonesia, barangkali sebagai akibat dimana orang-orang Indonesia memandang
rendah dan meremehkan orang-orang Papua.”[31]
Bukti contoh kedua, bulan Juli 1969 dilaporkan oleh Jack W. Lydman, Duta Besar Amerika Serikat,
yang menyatakan kepada anggota Tim PBB Ortiz Sanz secara tertutup mengakui bahwa 95%
orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.”[32]
Pada akhir tahun 1968, Ortiz Sanz dan anggota Timnya sibuk melakukan perjalanan kedua di Irian
Barat selama 3 minggu. Waktu kembalinya ke Jakarta, dia melaporkan kepada pimpinannya bahwa
mereka diikuti kemana saja oleh pejabat resmi orang-orang Indonesia, dan sebagai akibatnya, dia
kesulitan untuk kontak atau berkomunikasi secara bebas dengan penduduk lokal (asli). Walaupun
ini, dia menyadari perasaan anti-Indonesia, tetapi laporannya menunjukkan bahwa dia ingin
mengabaikan perlawanan orang-orang Papua kepada Indonesia. Tentu saja, ketika kesempatan tiba,
itu menjadi sangat sulit, sungguh-sungguh, memperkirakan kenyataan yang penting anti-Indonesia,
seperti Anda sadari sangat baik, hanya sangat meremehkan presentase kemampuan penduduk atau
ketertarikan dalam mengajak beberapa gerakan politik atau bahkan pikiran-pikiran orang-orang
Papua.”[33]
Kesimpulan laporannya, dia menambahkan: “Perjalanan telah dikonfirmasikan kesan awalnya …
bahwa pelaksanaan ketentuan-ketentuan Perjanjian New York yang berhubungan penentuan nasib
sendiri “sesuai praktek internasional” adalah sungguh-sungguh tidak memungkinkan.”[34] Dalam
menjawab, dibawah Sekretaris Umum, Rolz-Bennett menyetujui dan menulis bahwa “kurangnya
kemajuan penduduk, semuanya menjadi jelas.”[35] Kemauan ini oleh Sekretariat PBB
memperbanyak jaminan minimum yang berisi dalam Perjanjian New York yang mengarah pada
seluruh keterlibatan Irian Barat.
Pengaruh Washington diberikan kepada PBB adalah tugas janggal atas pengawasan peralihan Irian
Barat dari satu kuasa asing ke kuasa asing yang lain. Sebagaimana Terrence Markin berkomentar:
“Orang-orang Amerika, yang mencoba berulang-ulang meyakinkan Belanda (sebelum
penyelesaian) … bahwa mereka mau “berdiri pada prinsip-prinsip” dengan menuntut pada proses
penentuan nasib sendiri bahwa “ suatu kenyataan dan bukan penghinaan” memulai segera sesudah
menandatangi Perjanjian New York untuk memperdebatkan tanggungjawab untuk meyakinkan
pelaksanaan yang sungguh-sungguh jujur dengan PBB dan Belanda. Sekitar waktu yang sama
Belanda kehilangan banyak kehendak mereka untuk menekan masalah ini …. Dan dengan tak
seorangpun Amerika Serikat maupun Belanda menekan masalah ini, PBB sedikit terdorong untuk
melakukan banyak.”[36]
Pada awal 1969 diputuskan dengan penyerahan saudara-saudara Mandatjan, pemimpin-pemimpin
pejuang dari negeri Timur jauh yang telah melawan orang-orang Indonesia selama 2 tahun. Pada
pertengahan Januari, bagaimanapun, perlawanan di daerah meletus lagi sekitar penduduk Arfak
bangkit dibawah pemimpin baru Frits Awom. Dalam menanggapi ini, kekuatan Jakarta mengirim
dua tambahan Batalion Infantri ke Arfak dari Sulawesi Selatan.[37]
Sementara itu, pada pertemuan kemudian di New York pada bulan Januari Sudjarwo melaporkan
Sekretaris-Umum bahwa Jakarta telah menolak rencana Ortiz Sanz untuk mengangkat “sistem
campuran” untuk pelaksanaan penentuan nasib sendiri.[38] Tetapi, Sekretariat PBB menunjukkan
prioritas persetujuan dengan Jakarta tahun 1963 untuk menyalurkan dengan beberapa petunjuk
pemilihan langsung yang rencananya dengan sederhana sebagai suatu langkah umum yang
mendemonstrasikan usaha-usaha PBB untuk meyakinkan keterlibataan demokrasi dalam
pelaksanaan penentuan nasib sendiri. Suatu alternatif yang memungkinkan adalah bahwa Ortiz Sanz
tidak sepenuhnya memperkenalkan partisipasi orang-orang Papua asli dapat diambil tanpa
konsultasi dengan U. Thant. Fakta-fakta ini datang dari surat kabar Indonesia bulan Juli 1969 yang
menyatakan bahwa Sudjarwo marah untuk menolak “metode campuran” adalah idenya Ortiz Sanz
dan bukan asli dalam Perjanjian New York.[39]
Skenario ini mendukung posisi yang berargumen bahwa Ortiz Sanz lebih mengorbankan gerakan-
gerakan di New York dan Jakarta, lebih baik daripada kerjasama ejekan. Sebagaimana Sir Patrick
Shaw, Duta Besar Australia untuk PBB, berkomentar pada bulan April 1968 sesudah bertemu
dengan dia, “ Ortiz Sanz adalah seorang yang berkehendak baik dan berintegritas, tetapi saya tidak
yakin bahwa dia mempunyai banyak konsep semacam lingkungan dimana dia akan menemukan
dirinya bekerja di Irian Barat.[40]
Dalam pertemuan yang diadakan antara Ortiz Sanz dan orang-orang Indonesia selama bulan
Februari, Sudjarwo mengarisbawahi suatu metode telah diputuskan pilihan mereka untuk
memperluas delapan dewan daerah, sudah ada di daerah, dan dibentuk Sidang Khusus yang
kemudian tiap-tiap dewan mencapai satu keputusan bersama apakah tinggal dengan Indonesia atau
tidak.[41]
Keberadaan dewan-dewan daerah ini telah diangkat oleh Jakarta tahun 1963, dan anggota mereka
diangkat oleh penguasa. Ortiz Sanz dapat melakukan sedikit tetapi permintaan yang diberikan
tentang semua keberadaan penasihat untuk menolong dia menentukan tingkat apakah mereka benar
mewakili penduduk. Sudjarwo menyetujui, tetapi tidak ada apa-apanya yang ditangani.[42] Segera
sesudah itu, Sudjarwo memberikan Ortiz Sanz berita lebih lanjut proses pemilihan pengangkatan
anggota-anggota sidang tambahan yang direncanakan satu kelompok dipilih oleh keberadaan
politik, sosial dan budaya yang diakui. Kelompok kedua, keberadaan pemimpin adat yang dipilih
oleh beradaan anggota-anggota dewan, dan kelompok ketiga dipilih oleh rakyat sendiri.[43]
Sebagai hasil ini, diketahui bahwa dalam pemilihan mengabaikan kelompok ketiga. Dalam
praktek, metode pemilihan anggota tambahan artinya bahwa orang-orang penguasa Indonesia dan
keberadaan orang-orang Indonesia mengangkat dewan-dewan mengawasi secara ketat seluruh
proses pemilihan sampai akhir” sidang-sidang musyawarah”. Sebagaimana Ortiz Sanz menulis
dalam laporan akhirnya, Sudjarwo telah menyampaikan kepadanya, “ Banyak orang Papua
kemungkinan … tidak setuju bersatu dengan Republik Indonesia, keberadaannya … tidak
diorganisir dalam keberadaan kelompok politik resmi atau partai-partai di Irian Barat.”[44]
PENDAHULUAN
“Gugatan dan tuntutan dari dan oleh masyarakat Papua Barat (penduduk asli) yang terus menggema
sejak awal integrasi wilayah Papua Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia. Tuntutan tersebut
mencapai klimaksnya di era reformasi pada setahun terakhir ini. …. Catatan sejarah
memperlihatkan bahwa proses integrasi Papua Barat ke wilayah Republik Indonesia ternyata tidak
mulus….” ( lihat: Tim Studi FOKER LSM Irian Jaya, Alternatif Dispute Resolution [ARD)
PAPUA MERDEKA, Jayapura, 29 Oktober 1999, hal. 1).
Tuntutan rakyat Papua Barat mempunyai sejarah yang sangat panjang dan memilukan hati. Sejarah
integrasi Papua Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia sangat berlawanan dengan martabat dan
harkat manusia. Nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia serta kebenaran, keadilan, keadilan,
kedamaian sama sekali tidak dinikmati oleh rakyat Papua Barat.
Lagi pula, Deklrasi Universal Hak Asasi Manusia artikel 1, “Semua umat manusia dilahirkan
merdeka dan kesamaan dan hak-haknya”. Perjanjian internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya, artikel 1, “semua orang mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Dengan
kerelaannya bahwa secara bebas mereka menentukan hak-hak status politik dan …”. Perjanjian
internasional tentang hak-hak sipil dan politik artikel 6, “setiap umat manusia mempunyai hak
hakiki untuk hidup. Hak ini dilindungi oleh undang-undang. Tidak ada seorangpun secara
sewenang-wenang menghilangkan hidupnya”. Seluruh covenant internasional ini tidak
dilaksanakan dalam pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (PEPERA 1969).
Untuk menyingkapkan distorsi sejarah rakyat West Papua ini, dalam semangat dan nilai Perjanjian
internasional tentang hak-hak sipil dan politik artikel 19 bagian 2, “setiap orang mempunyai hak
bebas berekspresi; ini termasuk kebebasan untuk melihat, menerima dan memberikan informasi dan
ide-ide dalam semua bentuk, tanpa memperlihatkan batas-batas, salah satunya secara lisan, dalam
tulisan atau cetak, dalam bentuk seni, atau melalui beberapa media yang lain dari pilihannya”.
Bertolak dari Perjanjian internasional tentang hak-hak sosial dan politik artikel 19 bagian 2 ini,
LERHAMKOT (Lembaga Rekonsiliasi Hak-Hak Asasi Masyarakat Koteka Papua Barat, sebagai
salah satu lembaga yang memperjuangkan nilai demokrasi dan hak-hak asasi manusia, telah
menyelidiki dinamika sejarah PEPERA 1969. LERHAMKOT menyampaikan hasil-hasil
infestigasi dalam konteks menegakkan nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, kedamaian dan nilai
demokrasi serta hak-hak asasi manusia. LERHAMKOT tidak berkepentingan dengan masalah
politik, melainkan lebih berorientasi pada nilai demokrasi dan hak-hak asasi manusia serta
kebenaran sejarah itu sendiri.
Go up
A. HASIL PEPERA 1969 DALAM DOKUMEN PBB ANNEX
I, A/7723.
Dr. Fernando Ortiz Sanz, perwakilan PBB, yang berada di Papua untuk mengawasi pelaksanaan
penentuan pendapat rakyat tahun 1969, dalam laporannya menyatakan penyesalannya karena
pemerintah Indonesia tidak melaksanakan isi Perjanjian New York Pasal XXII (22) tentang hak-
hak dan kebebasan orang-orang Papua. Laporan Ortiz Sanz dalam Sidang Umum PBB bulan
September 1969 sebagai berikut:
“Saya dengan menyesal harus menyatakan keberatan-keberatan saya tentang pelaksanaan Pasal
XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan
berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli” (Dokumen PBB, Annex I,
A/7723, paragraph 251, hal. 70).
Kutipan aslinya:
“I regret to have to express my reservation regarding the implementation of article XXII
of the New York Agreement, relating to “the rights, including the rights of free speech,
freedom of movement and assembly, of the inhabitants of the area”. In spite of my
constant efforts, this important provision was not fully implemented and the
Administration exercised at all times a tight political control over the population” (UN
doc. A/7723, annex I, paragraph 251, p.70).
Pemerintah Indonesia telah menentang PBB dengan tidak melaksanakannya Perjanjian New York
Pasal XXI (22). Penentangan itu terbukti dengan Surat Keputusan resmi Presiden Republik
Indonesia, Ir. Sukarno bernomor: 8/Mei/1963 yang menyatakan:
“Melarang/menghalangi atas bangkitnya cabang-cabang Partai Baru di Irian Barat. Di daerah Irian
Barat dilarang kegiatan politik dalam bentuk rapat umum,
pertemuan umum, demonstrasi-demonstrasi, percetakan, publikasi, pengumuman- pengumuman,
penyebaran, perdagangan atau artikel, pameran umum, gambaran-gambaran atau foto-foto tanpa ijin
pertama dari gubernur atau pejabat resmi yang ditunjuk oleh Presiden” (SK, No. 8, Mei 1963).
Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporannya kepada Sidang Umum PBB menyatakan pula tentang
kekecewaannya. Karena pemerintah Indonesia tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam
Perjanjian New York Pasal XVI (16) di Papua Barat.
“Saya harus menyatakan pada awal laporan ini bahwa, ketika saya tiba di Papua pada bulan Agustus
1968, saya diperhadapkan dengan masalah tentang tidak dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan
Pasal XVI (16) Perjanjian New York. Walaupun, ahli PBB yang harus berada di Papua pada saat
peralihan tanggungjawab administrasi sepenuhnya kepada Indonesia telah dikurangi, mereka tidak
pernah mengetahui secara baik keadaan-keadaan dalam melaksanakan tugas-tugas mereka.
Akibatnya, fungsi-fungsi dasar mereka untuk menasihati, membatu dalam persiapan untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang penentuan nasib sendiri tidak didukung selama masa
bulan Mei 1963 s/d 23 Agustus 1969 …” (paragraph 23, hal. 12).
Kutipan aslinya:
“I must state at the outset of this report that, when I arrived in the territory in August
1968, I was faced with the problem of non-compliance with the provisions of article
XVI of the Agreement. Though the United Nations experts who were to have remained
in the territory at the time of the transfer of full administrative responsibility to
Indonesia had been designated, they had never, owing to well known circumstances,
taken up their duties. Consequently, their essential functions of advising on and
assisting in preparation for carrying out the provisions for self-determinations had not
been performed during the period May 1963 to 23 August 1969 …”(paragraph 23, p.
12).
Dr. Fernando Ortiz Sanz juga sangat menyesal, karena orang-orang Indonesia tidak melaksanakan
Perjanjian New Yok Pasal XVIII (18) tentang sistem “satu orang, satu suara” sesuai dengan praktek
internasional. Tetapi, orang-orang Indonesia memakai sistem lokal Indonesia, yaitu sistem
“musyawarah”.
“… pelaksanaan pemilihan bebas telah dilaksanakan di Irian Barat sesuai dengan praktek Indonesia,
…(paragraph 253, hal. 70).
“… an act of free choice has taken place in West Irian accordance with Indonesia
practice, … (paragraph 253, p. 70).
Sang Diplomat Bolivia ini juga menyatakan dalam laporannya secara tegas dan jelas bahwa orang-
orang Papua Barat dalam pernyataan-pernyataannya menyatakan berkeinginan kuat untuk merdeka
dan tidak ingin dimasukkan ke dalam negara Indonesia.
“Pernyataan-pernyataan (petisi-petisi) tentang pencaplokan Indonesia, peristiwa-peristiwa
ketegangan di Manokwari, Enarotali, dan Waghete, perjuangan-perjuangan rakyat bagian
pedalaman yang dikuasai oleh pemerintah Australia, dan keberadaan tahanan politik, lebih daripada
300 orang yang dibebaskan atas permintaan saya, menunjukkan bahwa tanpa ragu-ragu unsur-unsur
penduduk Irian Barat memegang teguh berkeinginan merdeka. Namun demikian, jawaban yang
diberikan oleh dewan musyawarah atas pertanyaan yang disampaikan kepada mereka sepakat
tinggal dengan Indonesia”
( paragraph 250, hal. 70).
Kutipan aslinya:
“The petitions opposing annexation to Indonesia, the cases of unrest in Manokwari,
Enarotali, and Waghete, the flights of number of people to the part of the island that is
administrated by Australia, and the existence of political detainees, more than 300 of the
population of West Irian held firm conviction in favour of independence. Nevertheless,
the answer given by the consultative assemblies to the questions put to them was a
unanimous consensus in favour of remaining with Indonesia” ( paragraph 250, hal. 70).
Ortiz Sanz juga melaporkan sikap orang-orang Indonesia yang menolak nasihat-nasihatnya kepada
orang-orang Indonesia untuk melaksanakan Perjanjian New York Pasal XVI (16). Fernando
menyatakan kecewa karena pendekatannya tidak diberikan jawaban yang menyenangkan.
“… Pada beberapa kesempatan, saya mendekati pemerintah Indonesia yang berkuasa pada saat itu
untuk tujuan melaksanakan ketentuan-ketentuan pasal XVI (16), tetapi gagal mendapat jawaban
yang menyenangkan. Pada tanggal 7 Januari 1965, sebagaimana diketahui, Indonesia menarik diri
dari keanggotaan PBB, dan oleh karena itu tidak memungkinkan untuk mengutus ahli PBB ke West
New Guinea (Irian Barat)” (paragraph 7, hal. 3).
Kutipan aslinya:
“… on several occasion, I approached the Government which was in power in Indonesia
at the time for purpose of implementing the provisions of article XVI, but failed to
obtain a favourable reply. On 7 January 1965, as is well known, Indonesia withdrew its
co-operation with the United Nations and it therefore became impossible to send the
United Nations experts West New Guinea (West Irian)” (paragraph 7, p. 3).
Mr. Fenando menggambarkan situasi yang sangat berbahaya di Papua karena pemerintah Indonesia
menarik diri dari keanggotaan PBB dan karena itu tidak memungkinkan PBB mengutus tim PBB ke
Papua untuk mengatur dan mengawasi pelaksanaan penentuan nasib sendiri di Papua tahun 1969.
Fernando melihat bahwa pada saat tim PBB tidak berada di Papua, pemerintah Indonesia secara
bebas mengejar, menangkap, menyiksa, membunuh dan menghilangkan orang-orang Papua.
“Pelaksanaan bagian kedua Perjanjian New York sangat berbahaya selama ketidakpastian waktu
tidak hanya dengan penarikan diri sementara dari PBB tetapi juga dengan ketidakhadiran
sebagaimana telah disebutkan dalam paragraph 14 di atas, ahli PBB yang harus berada di Papua
sesuai dengan Pasal XVI (16 ) Perjanjian New York” ( paragraph 23, hal. 12).
Kutipan aslinya:
“The implementation of the second part of the Agreement was jeopardised during the
certain period of time not only by the temporary withdrawal of Indonesia from the
United Nations but also by the absence, as already mentioned in paragraph 14 above, of
the United Nations experts who have to have remained in the territory in accordance
with article XVI the Agreement” (paragraph 23, p. 12).
Ortiz Sanz sangat menyesal atas sikap dan tindakan pemerintah Indonesia, karena keinginan dan
kesediaannya untuk datang kepada Papua secepat-cepatnya sengaja ditunda secara resmi oleh
pemerintah Indonesia.
“Saya memegang pekerjaan saya di Markas PBB di New York ditempatkannya kantor sekretariat
dan personil. Walaupun keinginan dan kesediaan saya untuk berangkat ke Papua secepatnya
sesudah jabatan saya, keberangkatan saya ditunda sampai 7 Agustus 1978 atas permintaan resmi
dari pemerintah Indonesia” (paragraph 27, hal. 13).
Kutipan aslinya:
“I commenced my work at United Nations Headquarters in New York, were the
Secretariat placed offices and personel at my disposal. Despite my willingness and
readiness to travel to territory immediately after my appointment, my departure was
postponed until 7 August 1968 at the official request of the Indonesian Government”
( paragraph 27, p. 13).
Sebagaimana dikutip di bawah ini, Ortiz Sanz menyatakan reaksi yang tidak resmi dari pemerintah
Indonesia tentang usulannya untuk metode pelaksanaan penentuan pendapat di Papua Barat.
“Saya menerima reaksi tidak resmi atas nasihat saya berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan untuk dewan-dewan perwakilan dan metode yang memungkinkan untuk pelaksanaan
pemilihan bebas sampai suatu pertemuan diadakan menteri luar negeri tanggal 10 Februari 1969,
ketika pemerintah Indonesia menginformasikan kepada saya bahwa proposal metode diajukan untuk
dewan-dewan perwakilan dalam konsultasi-konsultasi untuk diadakan selama bulan Maret 1969”
(paragraph 83, hal. 29).
Kutipan aslinya:
“I received no official reactions to my suggestions concerning the questions to
submitted to the representative councils and possible method for the act of free choice
until a meeting held at the Ministry of Foreign Affairs on 10 February 1968, when the
Government informed me of the method it proposed to submit to the representative
councils in consultations to be held during the month of March 1969” (paragraph 83,
p.29).
Fernando juga mengatakan sikap pemerintah Indonesia yang menipu perwakilan PBB tentang
metode pelaksanaan penentuan pendapat rakyat Papua. Ortiz Sanz mengatakan, pemerintah
Indonesia pikirannya tidak tetap tentang metode PEPERA.
“Ini berarti bahwa pemerintah Indonesia masih bermaksud melengkapi metode musyawarah untuk
keputusan melalui perwakilan rakyat tetapi berlawanan dengan ide yang disampaikan pada 1
Oktober (lihat paragraph 8), itu
direncanakan untuk melaksanakan pemilihan bebas tidak melalui satu badan 200 perwakilan, tetapi
sebagai akibatnya melalui delapan wakil (perawakilan) terdiri dari 1.025 perwakilan” (paragraph
85, hal. 30).
Kupitan aslinya:
“This meant that the Government still intended to apply the consultation (musyawarah)
method of decision through representative of the people but, in contradiction to the
ideas expressed on 1 October (see paragraph 81), it planned to carry out the act of free
choice not through no body of 200 representatives but consecutively through eight
consultative assemblies, comprising some 1.025 representatives” (paragraph 85, p. 30).
Perwakilan PBB ini juga, melaporkan bahwa dia menerima keinginan dan pandangan orang Papua
disampaikan dengan berbagai bentuk kepada Ortiz Sanz sebagai perwakilan PBB.
“Pandangan dan keinginan rakyat dinyatakan melalui berbagai saluran. Pernyataan-pernyataan dan
komunikasi lain disampaikan kepada saya secara tertulis atau lisan, demostarasi-demostrasi damai,
dan beberapa terwujud pada ketidakpuasan rakyat, termasuk peristiwa-peristiwa sepanjang
perbatasan antara Irian Barat dan wilayah Papua dan New Guinea yang dikuasai oleh Australia”
(Paragraph 138, hal. 45).
Kutipan aslinya:
“The views and wishes of the people were gragually expressed through various
channels: petitions and other communications submitted to me in writing or orally,
peaceful demonstrations, and in some cases manifestation of public unrest, including
incidents along the border between West Irian and Territory of Papua and New Guinea
administrated by Australia” (paragraph 138, p. 45).
Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB bahwa selama dia berada di Papua
telah menerima 179 pernyataan dari orang Papua. Simaklah kutipan di bawah ini:
“Selama waktu misi saya berada di Papua, saya menerima sejumlah 179 pernyataan dari orang Irian
Barat, politisi, sipil, dan kelompok mahasiswa, bahkan dari orang Irian Barat yang berada di luar
negeri” (Paragrap 140, 46).
Kutipan aslinya:
“During the time my mission was in territory, I received a total of 179 petitions from
West Irianese persons and political, civil, and student groups, as well as from Irianes
residing abroad” (paragraph 140, p. 46).
Berkaitan dengan pernyataan-pernyataan orang Papua ini, “dalam arsif PBB di New York, secara
rinci 156 dari 179 pernyataan yang masih bertahan terus, sesuai dengan semua yang diterima
sampai 30 April 1969. Dari pernyataan-pernyaan ini, 95 pernyataan anti-Indonesia, 59 pernyataan
pro-Indonesia, dan 2 pernyataan adalah neutral” (Lihat Dok PBB di New York: Six lists of
summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to
April 1969 UN: Series 100, Box 1, File 5).
Ortiz Sanz dalam laporannya dengan tegas mengatakan bahwa mayoritas orang Papua berkeinginan
untuk mendukung pikiran mendirikan negara Papua Merdeka. Rakyat Papua kritik orang Indonesia
dan menuntut supaya penentuan pendapat dilaksanakan dengan praktek internasional, yaitu satu
orang satu suara (one man, one vote).
“Mayoritas menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran
mendirikan negara Papua Merdeka. Rakyat Papua sering menyatakan kritik tentang administrasi
Indonesia, mengadu kurangnya jaminan atas hak-hak dasar dan kemerdekaan, termasuk kebebasan
untuk mengatur partai politik oposisi, permintaan pembebasan tahanan politik dan partisipasi dalam
pelaksanaan pemilihan bebas seluruh orang Irian Barat, termasuk yang tinggal di luar negeri,
pengaduan resolusi-resolusi dan pernyataan-pernyataan keinginan Indonesia sebagai kegagalan dan
ditanda tangani oleh rakyat di bawa tekanan dari pemerintah resmi Indonesia; meminta untuk
persyaratan sistem “satu orang satu suara= one man one vote” dalam pelaksanaan pemilihan bebas
dan dipilih oleh dewan perwakilan rakyat, dan dinyatakan pandangan bahwa kelompok oposisi
(lawan) hendaknya diberikan perwakilan dalam dewan-dewan” ( paragrap 143, hal. 47).
Kutipan aslinya:
“… The majority indicated the desire to sever ties with Indonesia and support the idea
of the establishment of a Free Papua State. The petitioners often expressed criticism of
the Indonesian administration; complained against acts of repression by the Indonesian
armed forces; denounced the lacf of guarantees for basic rights and freedoms, including
the freedom to orginise opposition political parties; requested the release of political
prisoners and participation in the act of free choice of all Irianese, including those
residing abroad; denounced resolutions and statements in favour of Indonesia as false
and signed by people under pressure from Indonesian officials; asked for the application
of the “one man, one vote” system in the act of free choice and in the election by the
people of the representatives to the councils, and expressed the view that opposition
groups should be given representation in the councils” (paragraph 143, p. 47).
Fernando melaporkan pula dalam laporannya bahwa orang-orang Papua berkeinginan
melaksanakan penentuan pendapat rakyat dengan bebas tanpa tekanan militer Indonesia. Simaklah
kutipan di bawah ini.
“Pemimpin-pemimpin penentang meminta penarikan pasukan-pasukan Indonesia dari Paniai
dengan menjelaskan bahwa rakyat berkeinginan untuk melaksanakan hak pemilihan bebas tanpa
tekanan. Sebuah pesawat pemerintah membawa dukungan 16 tentara, dan pada tanggal 30 April
tembakan dimulai antara pasukan-pasukan Indonesia dan penentang dibantu oleh pembelot dari
anggota tentara dan polisi” (paragrap 160, hal. 51).
Kutipan aslinya:
“The leaders of the insurgents requested the withdrawal of Indonesian troops from
Paniai with the explanation that the people wanted to exercise the right of free choice
without pressure. A government plane brought reinforcements of sixteen soldiers, and
on 30 April shooting started between the Indonesian troops and the insurgents aided by
the armed police deserters” (paragraph 160, p. 51).
Fernando melaporkan pula bahwa pelarian orang-orang Papua ke Papua New Guinea adalah karena
ketidakpuasan terhadap pelaksanaan penentuan pendapat yang tidak demokratis, tidak jujur dan
penuh intimidasi dan teror oleh kekuatan militer Indonesia.
“Namun demikian, keadaan yang sulit daerah lintas batas selama misi saya di Irian Barat
menunjukkan keputusan politik pasti tidak memuaskan bagian dari beberapa orang penduduk asli”
(paragrap 172, hal. 54).
Kutipan aslinya:
“Nevertheless, the recurrence of border crossing during my mission in West Irian seems
to show a certain degree of political dissatisfaction on the part of some of the
inhabitants” (paragraph 172, p. 54).
Perwakilan PBB, Mr. Fernando mengetahui betul bahwa hasil-hasil PEPERA akan dicapai tidak
sesuai dengan keinginan mayoritas orang Papua untuk merdeka. Tetapi, dia terus melaksanakan
misinya untuk mengawasi pelaksanaan PEPERA 1969 yang tidak demokratis dan tidak jujur itu.
“Walupun secara jujur hasil negatif dicapai pada saat itu, saya melanjutkan usaha saya supaya Pasal
XXII (22) Perjanjian New York patut dilaksanakan pada pertemuan menteri luar negeri pada 24
Mei, saya berkata bahwa masalah pelaksanaan penuh Pasal XXII (22) Perjanjian New York,
berhubungan dan hak-hak kebebasan dibicarakan pada saat itu, tidak ada usaha nyata untuk
diterima. Saya menyarankan bahwa pemerintah Indonesia hendaknya mengijinkan lawan politik
berkesempatan untuk menyatakan pandangan mereka, sejak itu waktu yang tepat untuk diterima”
(paragrap 180, hal. 56).
Kutipan aslinya:
“Notwithstanding the fairly negative result achived up to that time, I continued my
effort to have article XXII properly implemented. At a meeting at the Ministry of
Foreign Affairs on 24 May, I said that the problem of the full implementation of article
XXII concerning rights and freedoms had to be dealt with because, up to that time, no
concrete measures had been adopted.I suggested that the Indonesian government should
allow the opposition the opportunity to express its views, since that was the moment to
adopt courageous and generous measures” (paragraph 180, p. 56).
===
E. PERNYATAAN-PERNYATAAN (PETISI) ORANG
PAPUA
Untuk proposal metode ini, tanggapan orang-orang Papua tentang aturan orang Indonesia, Jakarta
secara konsisten menuntut bahwa mayoritas penduduk orang Papua setuju tinggal dengan Indonesia
dan tidak mau diadakan penentuan nasib sendiri. Dalam laporan Sidang Umum mereka menulis
bahwa pandangan ini didasarkan atas ratusan dukungan pernyataan mereka telah terima dari orang-
orang Papua.[45]
Dalam pribadi Sudjarwo tidak senang tentang sejumlah pernyataan anti-Indonesia yang dikirim
kepada Ortiz Sanz dan kemudian diteruskan kepadanya. Pada satu bagian dia bahkan menuntut
kepada Sekretaris-Umum bahwa pernyataan-pernyataan ini untuk mengganggu militer orang-orang
Indonesia.[46]
Dalam laporan akhirnya kepada Sidang Umum, Ortiz Sanz menulis bahwa dia telah menerima
sebanyak 179 pernyataan selama waktu dia berada di Papua, keduanya untuk dan melawan
Indonesia, Kelompok di Irian Barat … dia berkata bahwa ini datang dari dewan-dewan daerah dan
berbagai organisasi yang diakui resmi. Mereka berada, dia berkata, ditulis oleh pemikir politik dan
orang-orang berpendidikan baik. Tidak ada bagian dalam laporan dia bertanya apakah ini
pendangan murni atau hasil tekanan orang-orang Indonesia.[47] Dalam lawannya, dia
menghilangkan pernyataan-pernyataan anti-Indonesia, menggambarkan mereka sering hampir tidak
jelas dan biasanya tanpa nama (tidak diketahui namannya). Lebih penting adalah ia menegaskan
dalam laporan resminya kepada Sidang Umum bahwa pernyataan dia terima pro-orang-orang
Indonesia.[48]
“Satu pertanyaan adalah mengapa dia menulis ini sebab tidak benar. Dalam arsif PBB di New York,
secara rinci 156 dari 179 pernyataan yang masih bertahan terus, sesuai dengan semua yang diterima
sampai 30 April 1969. Dari pernyataan-pernyaan ini, 95 pernyataan anti-Indonesia, 59 pernyataan
pro-Indonesia, dan 2 pernyataan adalah neutral.”[49]
Dalam bukti ini, Ortiz Sanz sendiri menyampaikan bahwa banyak pernyataan yang dia terima dalam
akhir minggu adalah melawan Indonesia, dengan demikian, alasan yang dapat diterima dalam
kesimpulan bahwa jumlah sedikitnya 60% pernyataan ditujukan kepada PBB adalah melawan
Indonesia dan setuju suatu referendum. Itu tidak realistis untuk menyarankan bahwa Ortiz Sanz
dengan mudah melakukan kesalahan, sejak menggambarkan jenis setiap pernyataan sangat jelas dan
daftar yang mudah untuk ditambah. Akibatnya, Ortiz Sanz sendiri memilih untuk berhati-hati dalam
Sidang Umum PBB, atau dia telah dikatakan untuk melakukan demikian oleh U.Thant.
Bagaimanapun gambaran tanggungjawab yang jelas kerjasama PBB dengan Indonesia untuk
mensahkan pencaplokan orang-orang Indonesia atas Irian Barat, dengan mengorbankan orang-orang
Papua, yang kehilangan jaminan hak-hak politik dalam Perjanjian New York.
Go up
F. TAHANAN POLITIK DAN HAK-HAK POLITIK
Bukti-bukti lebih lanjut dari kerjasama ini datang dari surat-menyurat antara Ortiz Sanz dan
Sudjarwo tentang masalah tahanan politik. Sementara Ortiz Sanz mengakui bahwa Perjanjian New
York meminta pembebasan beberapa tahanan politik, dia memberitahukan Jakarta supaya
mengetahui bahwa dia menerima hak berbeda dengan yang dia gambarkan sebagai “anti-negara”.
Dia membeberkan kesusahan rakyat dari Papua, sebelum pelaksanaan penentuan nasib sendiri.[50]
Dalam bulan Maret 1969, Belanda sendiri mendesak U.Thant untuk mempertimbangkan pengaturan
kekuatan ekspedisi untuk menjamin bahwa pemilihan dapat diadakan tanpa intimidasi militer
Indonesia.[51] Sekretaris-Umum, menentang pernyataan Den Haag bahwa penugasan diijinkan
oleh Perjanjian dan menolak anjuran itu. Ortiz Sanz berkomentar, barangkali tepat, bahwa itu hanya
taktik Belanda untuk menuntut bahwa mereka sedikit berusaha untuk melindungi orang-orang
Papua.[52]
Di samping itu, Jakarta dengan pasti menolak untuk mengijinkan penugasan itu. Namun demikian,
Ortiz Sanz selanjutnya melaksanakan sedikit tekanan pada Indonesia termasuk beberapa isi
demokrasi dalam pelaksanaan pemilihan. Pada tanggal 18 Maret, dia menyampaikan pada media
dimana dia mengumumkan bahwa Indonesia memilih metode hanya dapat diterima jika memenuhi
tiga pra-syarat: (1) Akhir musyawarah dewan harus memuaskan anggota yang lebih luas; (2) Dewan
hendak mewakili semua sektor penduduk; (3) Anggota-anggota dewan baru hendaknya dipilih oleh
rakyat secara jujur. Dia mengakhiri dengan menyatakan bahwa Jakarta memberikan dia jaminan
resmi bahwa pra-syarat ini dilaksanakan.[53]
Pengumuman ini dibuat secara luas untuk orang-orang Papua yang tidak mengetahui, tetapi jikalau
penguasa tidak aktif berkerjsama dalam menyebar-luaskan pada media massa, kemudian tidak
disenangi banyak orang-orang Papua diinformasikan pra-syarat ini.
Go up
G. PROTES ORANG PAPUA DAN INDONESIA
MELANJUTKAN PERSIAPAN
Pada tanggal 11 April, akhir pertemuan dewan daerah untuk menerima secara resmi metode pilihan
Jakarta untuk pelaksanaan penentuan nasib sendiri, walaupun mereka menegaskan kembali bahwa
seluruh pelaksanaan tidak perlu ada gangguan dan Irian Barat mau menjadi orang-orang Indonesia.
Pada hari yang sama, kelompok yang lain dari orang-orang Papua berkumpul di tempat Ortiz Sanz
berada di Jayapura untuk menyatakan referendum dilaksanakan secara jujur. Ortiz Sanz
menyebutkan bahwa beberapa ribu orang dan meminta untuk membubarkan, sementara menjamin
mereka bahwa PBB akan mencoba untuk menjamin hak-hak dan kebebasan yang mereka
sampaikan. Secepatnya Ortiz Sanz menghubungi U. Thant untuk mengatakan kepadanya bagaimana
dia telah berhasil secara persuasif militer Indonesia tidak intimidasi. Dia kemudian menambahkan:
“peristiwa ini menunjukkan untuk pertama kali di Irian Barat memungkinkan demonstrasi-
demonstrasi demokratis damai oleh penduduk dan dibuktikan baik oleh sebagian komandan militer
Indonesia.
H. SEMUANYA KEADAAN BAIK
Dua bulan kemudian, dia terpaksa meninjau kembali laporan ini dan menginformasikan kepada
Sekretaris Umum bahwa sedikitnya 43 orang yang mengikuti demonstrasi ditangkap dan ditahan
tanpa pengetahuannya.[55]
Sementara itu, usaha-usaha PBB untuk mempengaruhi Indonesia selanjutnya gagal. Dalam
pertengahan April, Ortiz Sanz menyatakan pada Rolz-Bennett bahwa Jakarta telah memutuskan
anggota baru dewan daerah oleh pengangkatan resmi panitia ad hoc, daripada dipilih oleh rakyat.
Sebagaimana janji terdahulu. Ini jelas suatu penghinaan kepada Ortiz Sanz, demikian secepatnya
sesudah pernyataan umum pentingnya pemilihan-pemilihan atas dewan-dewan.
Dalam jawaban-jawaban agak menyakitkan hati Rolz-Bennett menulis: Reaksi pertama kami adalah
Indonesia boleh melakukan begitu jauh secara khusus dengan keputusan untuk penambahan wakil-
wakil itu berarti bukti pengangkatan oleh panitia ad hoc. Teman-teman kita orang-orang Indonesia
hendaknya menyatakan sebagaimana Anda mengatakan kepada mereka begitu banyak waktu,
bahwa metode untuk melaksanakan pemilihan bebas tidak harus menimpang, begitu secara radikal
dari syarat-syarat diterima secara umum dari wakil-wakil politik. Itu tentu saja bukan diluar
kepintaran manusia untuk memikirkan suatu metode untuk penambahan wakil-wakil yang dipilih
atau diseleksi oleh masyarakat kepercayaan mereka, untuk memberikan kesempatan pada penduduk
umum untuk dilibatkan dalam pelaksanaan pemilihan bebas.[56]
I. PERLAWANAN
Kekhawatiran pada perkembangan situasi pertengahan bulan April ketika perlawanan meluas di
pusat pedalaman bagian Barat. Perusakan lapangan terbang, dan pejabat resmi orang-orang
Indonesia dan militer terbang ke daerah. Pada tanggal 23 April, 90 anggota militer dan polisi
memberontak dan bergabung dengan OPM.[57] Pada tanggal 27 April, pesawat terbang membawa
Jenderal Sarwo Edhie, Komando Militer Teritori Indonesia, menembak dengan senjata dari pesawat
terbang ke daerah. Dua penumpang termasuk inspektor polisi terluka. Dalam menanggapi peristiwa
Enarotali ini, pada tanggal 30 April, pasukan-pasukan orang Indonesia dikirim dari Jawa Barat.
Penyerangan orang-orang Indonesia menyebabkan sekitar 14.000 orang melarikan ke semak-semak
hutan sementara pertempuran dengan OPM sedang berlanjut.[58]
Di tempat lain, kelompok nasionalis Papua mengadakan demonstrasi di Arso, pasukan-pasukan
tentara Indonesia menyerang dekat Merauke dan Semenanjung Kepala Burung, perjuangan di
Arfak dipimpin oleh Fritz Awom berlanjut. Reaksi awal Ortiz Sanz kepada pejuang Papua untuk
mencoba mengabaikan mereka, dan dia memerintahkan stafnya untuk menahan diri dari
keterlibatan dalam persoalan ini. Dia juga menginformasikan pada media massa bahwa keamanan
dalam negeri adalah tanggungjawab Jakarta bukan urusannya.[59]
Tanggapan ini tidak diterima baik oleh pemimpinnya dan Rolz-Bennett secepatnya memerintahkan
dia untuk menerima informasi yang lengkap gangguan-gangguan dari Indonesia.[60] Di bawah
tekanan dari New York, Ortiz Sanz juga melakukan kunjungan singkat ke daerah konflik.
Sekembalinya ke Jakarta dia membuat pernyataan pada media massa menyatakan bahwa semuanya
aman.[61]
Dalam kenyataannya, dia melihat sedikit selama perjalanan pemeriksaannya dan kadang-kadang
tidak pernah bahkan pergi jauh dengan pesawat. Lebih jauh, dia sebenarnya menulis pernyataan
pada media massa sebelum komentar tentang perjalanannya.[62] Dirinya bagaimanapun, dia dengan
cukup prihatin tentang situasi umum bahwa dalam pertengahan Mei, dia meminta kepada U.Thant
untuk menunda pelaksanaan penentuan nasib sendiri selama 3 atau 4 bulan supaya “untuk
menyiapkan kami dengan kesempatan terakhir untuk memperbaiki keadaan yang demokratis.”[63]
Tetapi, Sekretariat tidak tertarik atas ide ini, dan Rolz-Bennett menjawab dengan bertanya” Apakah
dalam kenyataan memungkinkan untuk mengubah keadaan yang berarti di Papua selama masa
penundaan?.”[64]
Go up
J. TEKANAN PBB TERHADAP INDONESIA
Sementara Jenderal Sarwo Edhie menekan pejuang-pejuang Papua, PBB melanjutkan desakan ke
Jakarta untuk pendirian yang moderat dalam pelaksanaan penentuan nasib sendiri. Dalam laporan
PBB bulan Mei pada pertemuan antara U.Thant dan Duta Besar Indonesia mengatakan: …
Sekretaris Umum menekankan pentingnya penambahan penasihat-penasihat dengan maksud
menjamin bahwa penasihat-penasihat baru benar-benar mewakili rakyat lembaga mereka. Ini
hendaknya menjadi batu ujian keadilan, kejujuran dan validitas benar-benar dilaksanakan oleh
negara-negara anggota PBB.”[65]
Tetapi, pada waktu itu U.Thant membuat permintaan ini, Indonesia sudah memulai mengangkat
penasihat-penasihat baru tanpa menginformasikan Ortiz Sanz dan timnya, yang diharuskan
mengawasi seluruh pelaksanaan penentuan nasib sendiri. Itu lebih jauh keadaan yang memalukan
untuk perwakilan PBB, secara khusus sebagaimana yang dilaporkan oleh beberapa media asing.
Ortiz Sanz lagi memohon kepada Sudjarwo dengan mengatakan: “Saya menekankan, pentingnya
pelaksanaan pemilihan bebas yang jujur sebab saya percaya Indonesia berkeinginan mengakhiri,
dan bukan sementara, menyelesaikan masalah Irian Barat. Pemerintah Indonesia hendak mengambil
perhitungan resiko dan membiarkan kesempatan lawan politik untuk menyatakan pendapat mereka.
Ini adalah kesempatan untuk percaya Indonesia untuk menampilkan ukuran-ukuran keberanian dan
kemurahan hati.”[66]
Akhirnya, dibawah tekanan Rolz-Bonnett, Ortiz Sanz dengan tidak senang menulis kepada
Sudjarwo mendesak dia untuk mengatur kembali beberapa pemikiran, demikian bahwa PBB berada
disini yang memonitor proses. Dalam hal ini Sudjarwo menyetujui, “[67] dan antara 26 Juni dan 5
Juli pelaksanaan seleksi yang dihadiri pejabat resmi PBB, kadang-kadang media asing. Walaupun
ini, akhirnya, pejabat resmi PBB sesungguhnya hanya mengatur pemilihan saksi 195 dari 1.022
perwakilan sidang yang akhirnya mengambil bagian dalam pelaksanaan pemilihan bebas.
Walaupun demikian, itu hanya kesempatan dalam tekanan PBB pada Indonesia beberapa pengaruh
selama seluruh masa dan Ortiz Sanz membuat banyak dalam laporan akhirnya dalam sidang. Tidak
dilaporkan dalam laporan ini, bagaimanapun, beberapa gambaran pada pertemuan pemilihan
mereka sendiri, dan alasan atas penghilangan ini menjadi jelas dari bacaan data-data yang diberikan
sesudah itu oleh beberapa anggota wartawan asing yang hadir, dan oleh penduduk lokal sendiri.
Satu contoh yang dilukiskan oleh wartawan Australia, Hugh Lunn, yang meyakinkan pemilihan di
Biak yang juga di hadiri oleh Ortiz Sanz sendiri.
“Pemilihan, dia berkata, terdiri dari kelompok orang-orang …berjalan kedalam
orang-orang Papua yang diam dan memilih 6 orang laki-laki bahwa mereka sendiri memilih, Hugh
Lunn kemudian menggambarkan bagaimana tentara orang-orang Indonesia menangkap 3 orang
Papua yang menunjukan plakat-plakat menuntut Plebisit. Seorang wartawan memohon kepada Ortiz
Sanz untuk merekan, tetapi dia dengan sederhana mengatakan dia berada hanya untuk
mengamati.”[68]
Ketika satu pertimbangan penting dilampirkan oleh PBB tentang pemilihan ini, mewakili sebagai
batu ujian demokrasi dalam seluruh pelaksanaan menjadi adil,itu adalah sulit untuk menyimpulkan
bahwa usaha-usaha mereka sama sekali tidak berhasil. Bahkan dalam banyak pemilihan disaksikan
oleh pengamat-pengamat PBB, itu jelas bahwa demokrasi yang jujur tidak dapat dipakai untuk
memainkan dalam pelaksanaan penentuan nasib sendiri, Ortiz Sanz meluangkan sisa waktunya di
Papua bekerja sama dengan U. Thant dan Jakarta dan usaha-usaha mereka untuk menyimpulkan
pelaksanaan penentuan nasib sendiri sedikit berlawanan dengan keadaan yang diijinkan.
Go up
K. KERJASAMA PBB DAN ORANG INDONESIA
Pentingnya tugas ini, dan tingkat yang menjadi keprihatinan Ortiz Sanz, adalah dijabarkan secara
baik dalam surat yang dia tulis kepada Rolz-Bennett pada 14 Juni, dalam surat ini, Ortiz Sanz
mengungkapkan bahwa Sudjarno “tidak hanya prihatin, tetapi meneruskan tentang dua pokok
khusus.
Pertama adalah sikap Pemerintah Belanda terhadap metode pilihan Indonesia untuk pelaksanaan
penentuan nasib sendiri. Kedua adalah isi dari laporan akhir yang akan di sampaikan Ortiz Sanz
kepada Sidang Umum PBB. Dengan hormat, Ortiz Sanz mengumumkan : saya menyarankan dia
secara pribadi pemerintahnya mendapat jaminan bahwa Pemerintah Belanda tidak membuat
banyak keraguan, atau tantangan, ini mengatasi perdebatan dalam Sidang Umum PBB yang
berhubungan laporan hasil penentuan nasib sendiri.
Pada laporan akhirnya, Ortiz Sanz menulis: Sebagai suatu pernyataan kerja sama, saya meneruskan
untuk menunjukkan Sudjarwo, pada dasar-dasar rasional, bagian-bagian lampiran itu berlawanan
atau membahayakan dengan laporan orang-orang Indonesia.“[69] Ini adalah surat yang penting
dengan dua alasan : Pertama dari seluruhnya, mengungkapkan bahwa Indonesia prihatin pada
kemungkinan kritik internasional dari maksud mereka untuk menipu orang-orang Papua dalam
penentuan nasib sendiri. Lebih penting lagi, bagaimana surat ini menyatakan dengan jelas bukti-
bukti keterlibatan langsung Ortz Sanz dengan Jakarta yang dimaksud, mengurangi dampak
beberapa praktek internasional yang melanggar prinsip fundamental Perjanjian, sementara
perbuatan bermuka dua atau ejekan dikerjakan dari suatu negara dalam mengejar kepentingan, “itu
sama sekali tidak dapat dipertahankan tindakan perwakilan Sekretaris Umum PBB. Bagaimanapun,
Sekretaris Umum sendiri membuat saran-saran yang sama kepada orang-orang Indonesia. Pada
pertemuan tertutup yang diadakan di New York pada 20 Juni U. Thant menginformasikan Sudjarwo
bahwa: Pemerintah Indonesia hendaknya berkonsultasi dengan anggota-anggota Sidang Umum
untuk tujuan mencegah komisi bagian draf resolusi yang menyentuh pada dasar-dasar Irian
Barat.”[70]
Dalam akhir minggu sebelum pelaksanaan pemilihan bebas dimulai Ortiz Sanz berkata kepada
Rolz-Bennett bahwa keadaan hak-hak asasi manusia sesungguhnya lebih buruk, walaupun dengan
tetap dia memohon kepada Jakarta untuk menunjukan pengendalian. Dia bahkan dua kali meminta
orang Indonesia mengatur untuk dia bertemu dengan Presiden Suharto bahwa dia ingin menyatakan
keprihatinannya. Tetapi sebagaimana dia telah mengakui dalam laporan akhirnya, Suharto begitu
sibuk untuk bertemu dia. “[71]
L. PELAKSANAAN PEPERA
Pada 14 Juli, Pemiliham bebas akhirnya dimulai dengan 175 anggota dewan musyawarah untuk
Merauke. Dalam tambahan Ortiz Sanz dan Timnya, kelompok besar tentara dan politikus-politikus
…Indonesia hadir. Juga ada duta besar Amerika, Belanda, dan Thailand, ditemani oleh wartawan
Indonesia, pejabat resmi politikus, dan jumlah kecil wartawan asing.”[72]
Masalah dengan seluruh pertemuan yang lain, anggota-anggota sidang meluangkan beberapa
minggu sebelum hari pelaksanaan pemilihan bebas dibawah pengawasan oleh penguasa dan
mengisolasikan dari keberadaan masyarakat. Beberapa anggota sidang mengakui bahwa mereka
diancam dan disuap oleh Brigadir Jendral Ali Murtopo, Komandan Tentara Operasi Khusus, selama
minggu-minggu itu ketika mereka berada dibawah pengawasan. Murtopo dipilih oleh Presiden
Suharto untuk pergi ke Irian Barat dengan tim siswa tentara, dan guru-guru supaya, mempengaruhi
“pikiran dan hati” dan “membuat hasil” pelaksanaan Pemilihan Bebas. Sesuai dengan Pendeta
HokuJoku yang adalah anggota dewan untuk Jayapura, Murtopo mengingatkan mereka bahwa
Indonesia adalah tentara yang kuat dan tidak kompromi. Jika mereka ingin negara merdeka sendiri,
dia menghina bahwa mereka meminta orang Amerika sediakan tempat di bulan. HokuJoku juga
menggambarkan bagaimana orang Papua dipilih untuk berbicara pada pertemuan yang tepat seperti
yang diajarkan tentang apa yang harus dikatakan dan ada kekuatan orang-orang Indonesia melatih
pembicaraan mereka.“[73]
Di Merauke dan dimana saja, tugas anggota-anggota dewan seperti disetujui oleh Jakarta, datang
untuk memakai beberapa bentuk keputusan kolektif yang tidak jelas metode Indonesia untuk
mencapai kesepakatan yang dikenal musyawarah. Apa artinya ini dalam pratek bahwa sejumlah
anggota pejabat resmi Indonesia hadir di Merauke dan mengatakan kepada anggota-anggota dewan
dengan berbagai alasan bahwa tinggal dengan Indonesia.
Kemudian Ortiz Sanz membuat pernyataan singkat tentang pentingnya tugas anggota-anggota
dewan dan mengingatkan mereka bahwa mereka berbicara tidak hanya untuk mereka sendiri tetapi
atas nama seluruh orang-orang Papua. “Jangan ragu-ragu untuk berbicara kebenaran dan menjadi
taat pada keinginan orang-orangmu sendiri”.
Mengikuti pembicaraan ini, 20 anggota dewan berdiri dan membuat pernyataan-pernyataan yang
hampir sama atas nama semua yang hadir. Mereka menyatakan bahwa mereka mempertimbangkan
mereka sendiri sebagai bagian Indonesia sejak 1945, mereka mengakui hanya satu negara, satu
undang-undang, satu bendera dan satu Pemerintah Indonesia. Sesudah pernyataan-pernyatan ketua
atau pimpinan ini, pejabat Pemerintah, mengatakan kepada 155 anggota dewan yang lain untuk
berdiri jika mereka setuju dengan pernyataan teman-teman mereka, semua berdiri.
Menteri Dalam Negeri Indonesia, kemudian menyimpulkan dan melanjutkan dengan ucapan terima
kasih bahwa anggota-anggota dewan atas keputusan dan janji setia bahwa Indonesia akan
memenuhi tentang jawaban untuk membangun ekonomi Papua dan setiap penghargaan lain. Irian
Barat, dia berjanji, hendak memberikan organisasi otonomi, kordinasi dan melaksanakan fungsi.
“[74] Hari berikutnya, Ortiz Sanz mengadakan konferensi Pers dan dia mengatakan sistem
musyawarah Indonesia adalah “Praktis”, dia kemudian menyatakan bahwa pemilihan kemerdekaan
nasional atau untuk Irian Barat tidak memungkinkan. “[75]
Media Australia The Sidney Morning Herald menerbitkan pada edisi 14 Juli dengan dahsyat
mengkritik seluruh pelaksanaan dan tingkah laku Pemerintahnya di Camberra. Perlakukan dalam
menghianati orang-orang New Guinea Barat dimulai zaman ini. Tidak banyak kata berbelit-belit
dapat mengubah fakta buruk bahwa orang pedalaman yang bersahaja (sederhana) dengan sengaja
dan terbuka ditipu hak-haknya, dijamin dengan tercapainya perjanjian internasional dibawah
pengawasan PBB, untuk memutuskan kepastian masa depannya sendiri. Dimanakah dunia sekarang
mau menerima keputusan bahwa orang-orang primitif yang pernah menjadi bebas? “[76]
Walaupun kritik demikian, sidang berikut direncanakan di Wamena tanggal 16 Juli dengan hasil-
hasil yang sama. “[77] Sidang ketiga di adakan di Nabire pada 19 Juli. Sesuai dengan wartawan
Brian May, perlawanan telah mengosonngkan daerah orang-orang lokal bahwa orang-orang
Indonesia memindahkan orang-orang Papua dari daerah lain untuk bermain anggota-anggota
dewan. “[78] Bahkan wartawan lain, Hugh Lunn, melaporkan bahwa seorang anggota dewan
mengatur untuk kontak dia untuk meminta apakah dia dapat menjamin bahwa hendaknya tidak ada
pembalasan dendam jika 100 orang anggota berbicara melawan Indonesia pada pertemuan itu. Lunn
menjawab bahwa dia tidak dapat memberikan janji. Anggota lain kemudian memberikan satu
catatan yang menyatakan bahwa semua anggota dewan disuap. Pada waktu yang sama, ketiga
anggota berusaha untuk menyampaikan catatan kepada tim PBB, tetapi sesuai dengan Lunn, mereka
menolak menerima itu.“[79]
Walaupun semua ini, laporan resmi Ortiz Sanz tidak menyebutkan perlawanan.“[80] Pada hari
yang sama, Jakarta mengumumkan bahwa hasil-hasil menunjukan bahwa Irian Barat sudah memilih
untuk tinggal dengan Indonesia. Sisa pertemuannya tidak akan mempengaruhi lebih daripada hasil
ini.“[81] Pertemuan kedua berikutnya di Fak-fak dan Sorong juga mengikuti format yang sama,
dengan pembicaraan yang sama dan pengertian yang sama pada Jakarta disampaikan oleh orang-
orang Papua yang dipilih untuk berbicara. Di Manokwari, sementara dewan memberikan suara,
pemuda-pemuda Papua dari luar ruang pertemuan bernyanyi lagu gereja “sendiri, sendiri”. Dalam
menangani ini tentara orang-orang Indonesia melemparkan mereka dalam mobil dan membawa
mereka pergi pada satu bak mobil, Hugh Lunn, wartawan asing yang hadir, diancam dengan senjata
oleh orang Indonesia sementara dia mengambil foto demontrasi. Dia kemudian lari kedalam
mengiformasikan Ortiz Sanz, tetapi Ortiz Sanz menolak untuk intervensi.“[82] Pada tanggal 31 Juli
pertemuan di Biak diikuti dengan pola yang sama. Sementara jumlah orang-orang Papua di
pedalaman dalam tahanan, ditangkap sebelumnya sebagai tindakan pencegahan oleh penguasa
dalam hal mengamankan mereka supaya tidak membuat kacau. “ [83]
Pada tanggal 2 Agustus, dengan makan, minum dan bernyanyi ……..akhir pertemuan dewan yang
diadakan di Jayapura.“[84] Untuk memperingati berbagai pejabat resmi militer Indonesia peragakan
dibahu oleh kelompok orang-orang Papua, yang dilukiskan sebagai pertunjukan hampa.“[85] Akhir
dari pelaksanaan penentuan nasib sendiri, Jakarta mengumumkan bahwa hasil akhir resmi seluruh
orang Papua memilih untuk tinggal dengan Indonesia.
M. AKIBAT-AKIBATNYA
Pada 17 Juli 1969, Diplomat Inggris dengan misi United Kingdom untuk PBB di New York
menyimpulkan opini internasional. Dia mengakui bahwa beberapa negara Afrika tidak senang
dengan pelaksanaan penentuan nasib sendiri, tetapi disimpulkan: Kesan kita yang kuat adalah
bahwa mayoritas besar anggota PBB ingin melihat pertanyaan ini dijelaskan dengan menanggapi
pertengkaran secepat mungkin …negara-negara Arab dan Islam yang lain dengan pasti mendukung
Indonesia dengan kuat. Walaupun, ada pengakuan umum, bahkan sesuai pengakuan Belanda,
bagian dari moralitas orang-orang Skandinavia, bahwa tidak ada alternatif peranan Indonesia.
Akhirnya pengaruh sekretariat menjadi penting, menunjukan kekuatiran juga tentang
persoalan.“[86]
Tiga bulan kemudian, bulan November 1969, Ortiz Sanz menyampaikan laporan akhir kepada
Sidang Umum PBB. Dalam kesimpulan-kesimpulannya, dia menyatakan keprihatinan bahwa
jaminan kebebasan politik dalam pelaksanaan penentuan nasib sendiri tidak dipenuhi. Dia juga
mengakui bahwa “dengan pasti unsur-unsur penduduk setuju merdeka. Namun demikian dia
mengumumkan bahwa dengan adanya keterbatasan, ditentukan dengan keadaan geografis, dan
situasi umum di Papua, pelaksanaan pemilihan bebas di daerah di Irian Barat sesuai dengan praktek
Indonesia, yang mana perwakilan-perwakilan penduduk menyatakan keinginan mereka tinggal
dengan Indonesia.”[87]
Secara teknis pernyataan ini tepat, jika dengan “praktek Indonesia” dia bermaksud pelaksanaan
secara total tanpa isi demokrasi yang jujur. Tetapi, New York Agreement mengisyaratkan bahwa
penentuan nasib sendiri orang-orang Papua diadakan sesuai dengan. “praktek internasional”.Ghana,
dan beberapa negara Afrika lain pada pertemuan bulan November, menuduh pelaksanaan pasti tidak
demokratis. Mereka juga menyebutkan untuk pelaksanaan patut diadakan di Papua tahun 1975,
berdasarkan Perjanjian New York yang tidak dilaksanakan secara wajar. Walaupun amandemen ini
menjadi pokok resolusi tentang Irian Barat, dikalahkan oleh 60 suara banding 15, dengan 39 negara
tidak memberikan suara. Akhirnya, penentuan suara 84 suara dengan 30 negara tidak memberikan
suara, dengan “menerima” laporan sekretaris umum dan laporan-laporan Ortiz Sanz.“[88]
Go up
N. KESIMPULAN
Orang-orang Papua mempunyai hak untuk merdeka adalah dengan argumentasi-argumentasi dan
perlawanan. Sebagaimana Henderson menulis tahun 1973, banyak negara-negara merdeka
berpenduduk minoritas yang mengaspirasikan untuk kemerdekaan sendiri. Tetapi jikalau seperti
separatis didorong: … Pembubaran negara-negara secara etnik tidak terhitung, yang pokoknya
menuntut untuk mendapat mandat dari sekutu kolonial. Sebagai akibat-akibat ini untuk keamanan
sistim internasional tidak terhitung.“[89]
Dipihak lain, Mullerson berkomentar: “Ketika kelompok minoritas dilawan dengan tindakan
diskriminasi dan identitas mereka ditindas oleh kebijakan mayoritas kelompok minoritas tidak
bekerja bersama-sama dengan penduduk dan kelompok minoritas memilih penentuan nasip sendiri.
Berarti bahwa kelompok minoritas menyatakan hak untuk penentuan nasib sendiri bukan dalam
masyarakat seluruhnya, bersama dengan penduduk, tetapi hanya memisahkan diri. “[90].
Akhirnya dalam tanggapan penyelidikan oleh U. Thant pada aspek-aspek hukum hak penentuan
nasib sendiri orang-orang Papua, penasihat hukum PBB menjawab dalam bulan Januari 1962:
“…….sejak Presiden Wilson menyatakan prinsip penentuan nasib sendiri pada tahun 1918,
timbulnya anggapan kuat dalam menyetujui penentuan nasib sendiri dalam keadaan seperti New
Guinea Barat berdasarkan keinginan rakyat Papua, tidak menghargai kedudukan hukum
kepentingan negara lain untuk bertanya. Sementara fakta-fakta lain juga diambil, dengan
memperlihatkan suatu pengakuan pertumbuhan kesadaran praktis yang berkeinginan penduduk
lokal patut menjadi yang tertinggi.“[91]
Tujuan tulisan ini, walaupun, tidak mendiskusikan untuk …..penentuan nasib sendiri orang-orang
Papua sebab hal ini dengan jelas diakui oleh Belanda dan Indonesia ketika mereka menandatangani
Perjanjian New York 1962, sekretaris PBB mengambil tanggung jawab untuk menjamin bahwa
Perjanjian New York akan dipenuhi secara wajar contohnya, perhatiannya untuk menentukan:
pertama, apakah seluruh Perjanjian New York dilaksanakan secara wajar, dan kedua, untuk
menyampaikan peranan PBB dalam pelaksanaan Perjanjian New York.
Saya berpendapat bahwa bagian pertama ini tidak wajib mempelajari secara mendalam untuk
mencapai pada kesimpulan yang tepat. Pelaksanaan laporan resmi secara singkat bulan November
1969 semua itu dibutuhkan suatu kesimpulan bahwa Perjanjian New York tidak dilaksanakan. Di
bawah syarat-syarat ini, Belanda, Indonesia dan PBB berkewajiban untuk melindungi hak-hak
politik dan kebebasan orang-orang Papua, dan menjamin bahwa pelaksanaan penentuan nasib
sendiri, sesuai dengan praktek internasional. Pada kedua pokok ini, tiga partai gagal, mereka dengan
sengaja sejak dalam penandatanganan Perjanjian New York tidak pernah melibatkan orang-orang
Papua untuk menentukan nasib sendiri secara jujur.
PBB dalam melaksanakan Perjanjian, itu jelas bahwa seluruh prioritas Sekretaris menjamin bahwa
New Guinea Barat diakui menjadi bagian Indonesia dengan lawan dan gangguan minimum. Peran
ini diorganisir oleh orang-orang Amerika tahun 1962, dan U. Thant melihat tidak ada alasan untuk
tidak tunduk. Itu adalah politik perang dingin, dan hak-hak orang Papua dihitung tidak ada apa-
apanya. Itu benar-benar menjadi luar biasa jikalau keluar dari kebijakan lain.
Untuk memenuhi tugas ini, Sekretaris PBB membiarkan gangguan dan tekanan-tekanan orang-
orang Indonesia terhadap orang-orang Papua selama pelaksanaan administrasi sementara PBB di
Papua. Tak lama sesudah itu, kerjasama Belanda dan orang-orang Indonesia dalam menyetujui
secara rahasia untuk bebas menggunakan beberapa sistem pemilihan langsung untuk penentuan
nasib sendiri orang-orang Papua. Bertepatan dengan tahun pelaksanaan penentuan pendapat, tujuan
Sekretaris untuk mengurangi potensi kritik internasional dengan jaminan memperlihatkan tingkat
yang memuaskan partisipasi orang-orang Papua, sementara menerima hasil yang diinginkan. Untuk
mencapai ini mereka telah membuat sejumlah nasihat kepada Jakarta. “Metode campuran” yang
diusulkan Ortiz Sanz adalah salah satu contoh (seperti yang disebutkan dahulu, tidak ada kepastian
seperti rencana asli; itu boleh atau tidak asli yang direncanakan Ortiz Sanz). Yang lain mereka
berusaha untuk meyakinkan bahwa beberapa orang Papua dilibatkan dalam proses pemilihan akhir
untuk penambahan perwakilan dewan-dewan. Keduanya, U,Thant dan Ortiz Sanz, menekankan baik
secara terturtup maupun di depan umum, mereka peduli bahwa ada beberapa demensi demokrasi
untuk pemilihan ini. Laporan akhir Sekretaris Umum, banyak dibuat atas persetujuan Jakarta untuk
mencapai pemilihan-pemilihan sehat di beberapa daerah yang tidak dihadiri oleh pejabat resmi
PBB.
Dalam kenyataannya, walaupun, ini tidak ada apa-apanya lebih daripada bukti isyarat, dan dapat
menyimpulkan bahwa tidak ada kerjasama yang jujur oleh rakyat dalam proses pemilihan ini. Pada
akhir keputusan oleh 1.022 untuk tinggal dengan Indonesia sebagai suatu penghinaan usaha-usaha
PBB, walaupun menunjukkan usaha akhir oleh Rolz-Bennett, sesuai dengan Markin, secara rahasia
mendesak Jakarta untuk melaporkan beberapa pemungutan suara yang negatif, “untuk memberikan
hasil terlihat resmi.”[92] Bahwa kurangnya perhatian internasional dalam pelaksanaan mereka
gagal sebagian besar menimpang pada waktu itu.
Dengan menyatakan bahwa orang-orang Indonesia, mengabaikan rekomendasi-rekomendasi mereka
dalam hal ini, PBB memilih untuk berkerjasama dengan Jakarta dalam usaha-usaha untuk
melumpuhkan beberapa kritik internasional tentang cara referendum yang diadakan di Irian Barat.
Dalam usaha ini mereka dibantu oleh negara-negara termasuk Belanda, Australia, United Kingdom.
Negara-negara ini telah mengadakan lobby secara rahasia dengan negara-negara lain , khususnya
dalam melihat kemungkinan untuk menyalahkan atau menolak hasil. Lebih lanjut, Ortiz Sanz
menyatakan dalam laporannya kepada Sidang Umum PBB bahwa mayoritas pernyataan dia
menerima dari orang-orang Papua pro-Indonesia; dia telah membuat pernyataan tegas ini walaupun
kenyataannya bahwa dia telah mengetahui itu bohong (tidak benar).
Pada akhirnya, seseorang dapat menyatakan bahwa tugas-tugas Ortiz Sanz tidak dihargai, sejak dia
dituduh oleh media Indonesia sebagai seorang simpatisan (pengagum) orang-orang Papua, dan
dikritik oleh anggota-anggota diplomat Barat atas sifat ketidakberaniannya dalam melindungi
orang-orang Papua. Sampai hari ini bagaimanapun, dia mempertahankan bahwa dilaksanakan
dengan demokratis mungkin dan itu hasil akhir “bijaksana dan pantas.”[93]
Kesimpulan, partisipasi aktif PBB dalam system di bawah ketentuan Perjanjian New York, tetapi
tindakan-tindakan itu atas inisiatif dan didukung oleh Washington, Jakarta, dan Den Haag. Dalam
melaksanakannya, U. Thant dan Sekretariatan PBB membiarkan PBB untuk melibatkan diri dalam
proses yang tidak jujur dengan sengaja menipu hak-hak asasi dan hak-hak politik orang Papua.
Pada bulan 10 Desember 1999, Menteri Luar Negeri Belanda, Mr. Jozias Van Aartsen
mengumumkan bahwa meninjau kembali keadaan sejarah seputar pelaksanaan penentuan pendapat
rakyat Papua. Van Middelkoop, the MP yang dalam proposalnya menjawab” … akhirnya kita dapat
melihat orang-orang Papua langsung dengan mata.”[94] Itu tinggal untuk melihat apakah PBB akan
setuju untuk bergabung dengan Belanda untuk kembali lagi khusus episode masa lalu ini.
Go up
SOLUSI YANG DIUSULKAN:
Untuk menyelesaikan persoalan rakyat Papua, solusi yang paling relevan adalah win-win solution
(penyelesaian menang-menang). Win-win solution adalah penyelesaian yang sangat bermarbat,
berbobot, terhormat dan simpatik dalam menunjung tinggi semangat dan nilai demokrasi dan hak-
hak asasi sesama manusia.
1. Mengingat perkembangan era keterbukaan dewasa ini, tidak ada sesuatu yang akan
tersembunyi;
2. Yang terpenting adalah demi mengaja kredibitas dan integritas bangsa Indonesia di mata
masyarakat internasional.
Karena dokumen-dokumen tentang kesalahan sejarah PEPERA 1969 telah beredar di
seluruh belahan bumi;
3. Oleh karena itu, LERHAMKOT mengusulkan tiga langkah efektif untuk menyelamatkan
reputasi bangsa Indonesia dimata masyarakat internasional adalah sebagai berikut:
a. Dialog Nasional;
b. Dialog Internasional; dan
c. Review hasil PEPERA 1969.
Papua, 27 Juni 2001
Tim Kerja
Socratez Sofyan Yoman (Direktur)
Ismael Roby Silak, SH (Wakil Direktur)
Gerad Pagabol (Sekretaris Eksekutif)
Go up
Endnotes
[1] Lihat: Memo of a conversation in Washington between William Lacy (Assistant Chief of Staff
Southeast Asian Affairs), Jacob Beam (American Consul General designate at Batavia), and
Soedjatmoko (representative of the Indonesian Republic), September 14, 1949, in US Foreign
Relations 1949, vol. VII, Indonesia (Washington, DO Departement of State Printing Office).
[2] Lihat: John Reinhardt, Foreign Policy and National Integration: The Case of Indonesia.
Monograph Series no.17, (New Haven: Yale University South East Asian Studies, 1971), p. 67.
[3] Lihat: Howard P. Jones, Indonesia the Possible Dream (New York: Harcourt Brace Jovanovich,
1971), p. 202.
[4] Lihat: Robert Komer, National Security Council Staff to C. Kaysen, presidential assistant for
National Security Affairs, February 2, 1962, in US Foreign Relations 1961-1963, ed. Ed. Keefer,
vol. XXIII, Southeast Asia (Washington, DC: Dept. of State Printing Office, 1994), p. 512.
[5] Lihat: Terrence Markin, The West New Guinea Dispute. How the Kennedy Administration
Resolved that ‘Other’ Southeast Asian Conflict” (PhD dissertation, Johns Hopkins University,
1966).
[6] Lihat: John Saltford, “Subjects of the Secretary-General West New Guinea 1962 to 1963,”
Pacific Islands Monthly (Fiji, January 2000: 48-49.
[7] Lihat: Peter Hastings, “West Irian. A Ticking Time Bomb,” in Australian, August 5, 1968.
[8] Lihat: Report of a conversation between Reynders, US Embassy, Jakarta, and Ian Morgan,
British Embassy, Jakarta, April 9, 1968. Public Record Office (hereafter PRO) UK. FCO 15/162.
DH1/7.
[9] Lihat: ibid
[10] Lihat : J.M. Sutherland, British Embassy, Jakarta, to Donald Murray, Foreign Office Southeast
Asian Departement (SEAD), July 2, 1968. PRO: FCO 15/189 DH1/7
[11] Lihat : New York Agreement, August 15, 1962. Article XVIII.
[12] Lihat : US Jakarta consular official Reynders believed that the Free Papua Movement (OPM)
could probably get arms from Communist China if necessary. Quoted in Morgan, April 1968. PRO:
FCO 24/448 (FWD1/4).
[13] Lihat: Information given by La Porta, First Secretary US Embassy, Jakarta, to Alan Mason,
British Embassy, Jakarta. Contained in a letter from mason to David F.B. Le Breton, South West
Pacific Department (SWPD) of the British Foreign Office, June 10, 1969. PRO:FCO 24/448 (FWD
1/4).
[14] Lihat: P.R. Spendlove, British Embassy, Washington, to K. Hamylon-Jones, SEAT Foreign
Office, June 10, 1969. PRO: FCO, 24/448.
[15] Lihat: V. Kremenyuk, “Referendum in West Irian,” International Affairs (Moscow, January
1969): 93. Quoted in Van der Kroef, “Indonesia and West New Guinea,” Orbis (Quarterly Journal
of World Affairs. Foreign Policy Research Institute, University of Fennsylvania, Philadelphia, PA)
XIV, 2 Summer 1970): 386.
[16] Lihat: D.F.B. Le Breton to Richard Neilson, British High Commission, Canberra, July 17,
1969. PRO. FCO 24/448: Sir Patrick Shaw, Australian Ambassador to the UN, New York, to
Department of External Relations, Canberra, September 4, 1969. National Archives of Australia,
Canberra (hereafter NAA). Extracts of early release documents kindly given to author by Anthony
Balmain, SBS Television, Australia.
[17] Lihat: J.M. Sutherland to D. Murray, “Foreign Office Southeast Asian Departement, April 30,
1968. PRO: FCO 15/162 DH1/7.
[18] Lihat: D. Murray, Foreign Office Southeast Asian Department, July 26, 1968. PRO: FCO
N/162 DH1/7.
[19] Lihat: D.J. Wyatt, British High Commission, Canberra, to D. Murray, Foreign Office Southeast
Asian Department, May 25, 1968. PRO: FCO 15/162 DH1/7.
[20] Lihat: United Nations General Assembly Official Records. Agenda Item 98, Annexes, 24
Session: “Agreement between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands
concerning West New Guinea (West Irian)”: Report by the Secretary-General regarding the Act of
Self-Determination in West Irian. Document 7723 (November 6, 1969), Annex I, report by the
Representative of the Secretary-General in West Irian, Paragraph 11.
[21] Lihat: Memo from D. Hay, Australian Mission to the UN, to Department Extenal Affairs, June
18, 1964. NAA: A1 838/280, 3036/6/1pt.83.
[22] Lihat : Ortiz Sanz to U. Thant, September 7, 1968. UN Archives, New York (hereafter UN),
Series 100, Box 1, File 3.
[23] ibid
[24] ibid
[25] Lihat: Ortiz Sanz to Indonesian Ambassador Sudjarwo Tjondronegoro, November 21, 1968.
UN: Series 100, Box 1, File 5.
[26] Lihat: Australian Embassy, Washington, to Departemen of External Affairs, May 21, 1963.
NAA: A1838/280, 3036/6/1 pt.83.
[27] Lihat: Australian Embassy, Jakarta, to Departement of External Affairs, June12, 1964; Memo
from Australian Mission to the UN to Department of External Affairs, June 16, 1964. NAA:
A1838/280, 3036/6/1 pt. 83.
[28] Lihat: United Nations General Assembly Official Records. Agenda Item 98, Annexes, 24
Session: “Agreement Between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands
concerning West New Guinea (West Irian)”: Report by the Secretary-General regarding the Act of
Self-Determination in West Irian. Document A/7723 (November 6, 1969) Annex I report by the
Representative of the Secretary-General in West Irian, paragraph 57.
[29] Lihat: Ortiz Sanz to Indonesian Ambassador Sudjarwo Tjondronegoro, November 21, 1968.
UN: Series 100, Box 1, File 5.
[30] Lihat: Indonesian Abassador Sudjarwo Tjondronegoro to Ortiz Sanz, November 21, 1968. UN:
Series 100, Box 1, File 4.
[31] Lihat: Mason to D.F.P. Le Breton, April 3, 1969. PRO: FCO 24/447.
[32] Lihat: Summery of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969 in NAA. Extracts given to author
by Anthony Bamain.
[33] Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett, December 18, 1968. UN: Series 100, Box 1, File 3.
[34] Ibid.
[35] Lihat: Rolz-Bennett, December 18, 1968. UN: Series 100, Box 1, File 3.
[36] Lihat: Terrece Markin, The West New Guinea Dispute, pp. 479-480.
[37] Lihat: Brian May, The Indonesian Tragedy (Boston: Routledge, and London: Keegan Paul
Henry, 1978) p. 171; J. Van der Kroef, “Indonesia and West New Guinea: The New Dimentions of
Conflict, “ Orbis XIV, 2 (Summer 1970): 387.
[38] Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz Sanz, January 30, 1969. UN: Series 100, B0x 1, File 3.
[39] Lihat: Quoted in letter from I.J.M. Sutherland, British Embassy, Jakarta, to D. Aiers, SWPD
Foreign Office. PRO: FCO 24/449 (FWD 1/4).
[40] Lihat: Sir Partick Shaw to Department of External Affairs, April 8, 1968. NAA: A452 T29,
68/2581.
[41] Lihat: Decree of the Minister of Home Affairs, Chairman of the West Irian sector No. 31,
1969, on the establishment of the Consultative Assembly for the “Act of Free Choice”: Regency
Merauke. UN: Series 100, Box 1, File 4.
[42] Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett, Februari 14, 1969. UN: Series 100, Box 1, File 4; Interview
with Ortiz Sanz by Dutch Journalist Stephane Alonso Casale, December 15, 1969. Extracts kindly
given to author by Casale. See also articles by Casale in NRC Handelsblad (Ducth national
newspaper), March 4, 2000).
[43] Lihat: Sudjarwo to Ortiz Sanz, February 18, 1969. UN: Series 100, Box 1, File 5.
[44] Lihat: UNGA Official Records MM ex 1, para. 126.
[45] Lihat: Ibid. Annex 2, para. 24.
[46] Lihat: Rolz-Bennett-Note for the recordof the meeting between himself, U.Thant, Sudjarwo,
and Indonesian Ambassador Abdulgani in Ne York, January 23, 1969. UN DAG 1/223:9.
[47] Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, para.141.
[48] Ibid., paragraphs 142 and 145.
[49] Lihat: Six lists of summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz
Sanz, August 1968 to April 1969 UN: Series 100, Box 1, File 5.
[50] Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett, February 14, 1969, UN: Series 100, Box 1, File 4.
[51] Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz Sanz (cable No. UNRI SKU-22), 2 March 29, 1969. UN: Series
100, Box 1.
[52] Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett (cable No. UNRWI SKU-24), April 12, 1969. UN: DAG
2.2.3:9.
[53] Lihat: Draft of UN press release, March 18, 1969. UN: DAG 2.2.3:9.
[54] Lihat : Ortiz Sanz to Rolz-Bennett (Cable No. UNRWI SKU-24), April 12, 1969. UN: DAG
2.2.3:9.
[55] Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett, June 14, 1969. UN: Series 100, Box 1, File 4.
[56] Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz-Sanz, April 17, 1969.UN: Series 100, Box 1, File 2.
[57] Lihat: Robin Osborne, Indonesia’s Secret War (Sydney, Australia: Allen & Unwin, 1985), p.
42.
[58] Lihat: Brian May, The Indonesian Tragedy, p. 173; Carmel Budiardjo and Liem Soei Liong,
West Papua: The Obliteration of a People (London: Tapol, 1985), p 21. May specifically states that
a Captain Harsono flying a B-26 Bomber (No. B267) had strafed the town of Enarotali.
[59] Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett (cable No. UNRWI JKT-51), May 8, 1969. UN: DAG
1/2.23:9.
[60] Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz Sanz (cable No. 244), May 7, 1969. PIZ-DAG 1/ 2.2.3:9.
[61] Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, para. 157.
[62] Lihat: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett (cable NO. UNRWI JKT-55), May 12, 1969. UN: Series
100, Box 1, File 1.
[63] Lihat: ibid.
[64] Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz Sanz (cable No. 250), May 16, 1969. UN: DAG 1/ 2.2.3:9.
[65] Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz Sanz (cable No. 250), May 9, 1969. UN: DAG 1.2.2.3:9.
[66] Lihat : Ortiz Sanz to Sudjarwo, May 27, 1969. UN: Series 100, Box 1, File 5.
[67] Lihat : Sudjarwo to Ortiz Sanz, June 14, 1969. UN: Series 100, Box 1, File 5.
[68] Lihat: Hugh Lunn, Australian, August 21, 1999.
[69] Lihat: Ortiz San to Rolz-Bennett, June 14, 1969. UN: Series 100, Box 1, File 4.
[70] Lihat: Rolz-Bennett to Ortiz Sanz (cable No. 337), June 21, 1969. UN: Series 100, Box 1
[71] Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, paragraph 182.
[72] Lihat: Ibid., Annex 1, paragraphs 189-200.
[73] Lihat: Reverend Origenes Hokujoku quoted in Algemeen Dagblad (Netherlands), December
12, 1988.
[74] Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, paragraphs 189-200.
[75] Lihat: Australian Jurnal of Politics and History, vol. XVI (July to December 1969): 9.
[76] Lihat: Sydney Morning Herald, editorial, July 14, 1969.
[77] Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, paragraphs 208-213.
[78] Lihat: Brian May, The Indonesian Tragedy, p. 193.
[79] Lihat: Hugh Lunn, Australian, August 21, 1999.
[80] Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, paragraphs 208-213.
[81] Lihat: Brian May, The Indonesian Tragedy, p. 192.
[82] Lihat: Hugh Lunn, Australian, August 21, 1999.
[83] Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, paragraph 214-238.
[84] Lihat: Ibid., paragraphs 329-344.
[85] Lihat: Brian May, The Indonesian Tragedy, p. 193.
[86] Lihat: D. Parson, UK Mission to the UN, to D.F.B. Le Breton, July 17, 1969. PRO: FCO
24/449, (FWD 1/4).
[87] Lihat: UNGA Official Records, Annex 1, para. 253.
[88] Lihat: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN General Asembly,
agenda item 98. A/L.576. November 19, 1969.
[89] Lihat: William Handerson, West New Guinea, the Dispute and its Settlement (South Orange,
NJ: Seton Hall University Press, 1973), p. 252.
[90] Lihat: Rein Mullerson, International Law, Rights and Politics (London. Routledge, 1994), pp.
77-78.
[91] Lihat: C. Stavropoulos, UN Lagal Adviser, to U. Thant, June 29, 1962. Attached to back of
memo from Stavropoulos to Rolz-Bennett, July 17, 1969. UN: Series 100, Box 2, File 7.
[92] Lihat : Interview by Terrence Markin with Johan B. P. Maramis, Indonesia Mission to UN in
1969, December 3, 1990. Quoted in Markin, The West New Guinea Dispute,” p. 480.
[93] Lihat : Interview by Casale with Ortiz Sanz, December 15, 1999.
[94] Lihat : Algemeen Dagblad (Netherlands), December 10, 1999.
http://www.westpapua.net/docs/papers/paper4/part02.htm#indonesia di update tgl, 12 Juli jam 10.49
WIB by Wilyy
Top Related