zat padat 2
description
Transcript of zat padat 2
BAB I
LANDASAN TEORI
1.1 Pendahuluan
Sejak ditemukan adanya superkonduktor sejak tahun 1911, para ilmuwan dan para
teknisi berusaha mencari aplikasi yang dapat dimanfaatkan dari sifat-sifat unik
superkonduktor. Pada saat kondisi superkonduktor, bahan-bahan ini mempunyai kemampuan
untuk menghantarkan arus DC yang besar tanpa adanya hambatan. Untuk dapat berlaku
seperti ini, sebuah superkonduktor harus berada di bawah tiga parameter kritis, suhu kritis
(Tc), medan kritis (Hc), dan kerapatan arus kritis (Jc). Maka bisa dibayangkan jika
superkonduktor dapat digunakan untuk membuat peralatan listrik yang lebih kecil, lebih
ringan dan hemat energi.
Sebelum pertengahan tahun 80an, superkonduktor adalah sejenis logam, dan
dioperasikan pada temperatur rendah, mendekati titik didih He (4.2 K ). Karena besarnya
biaya yang dikeluarkan untuk membuat kondisi temperatur rendah, maka penggunaannya
terbatas pada penelitian di laboratorium ( particle accelerators, high field magnet, SQUIDs )
dan industri medis (MRI). Penggunaannya berhasil karena tidak ada bahan alternatif yang
dapat menandingi superkonduktor. Walaupun energi dan tempat dapat dihemat dengan
adanya superkonduktor, hal ini tidak mengurangi biaya untuk mendinginkan bahan tersebut
atau biaya awal dan resiko untuk mengenalkan teknologi baru ini.
Prospek untuk perkembangan aplikasi energi meningkat seiring dengan ditemukannya
bahan Superkonduktor Suhu Tinggi / High Temperatur Superconductor (HTS) pada
pertengahan tahun 80-an. Dengan suhu kritis di atas titik didih N2 (77 K). Para peneliti
berharap perlu lebih sedikit cryogen untuk pendinginan. Tetapi sayangnya, seperti semua
superkonduktor, kerapatan arus pada HTS menurun secara drastis dengan adanya kenaikan
temperatur. Sebagai tambahan, untuk mencapai rapat arus yang tinggi pada bahan HTS perlu
proses yang kompleks (YBCO) atau material pelapis yang mahal (BSCCO).
Penelitian ini bertujuan untuk menyiapkan gelas BSCCO dengan cara reaksi benda
padat secara konvensional, PIT dan teknik melt quenching untuk aplikasi yang berbeda.
1.2 Superkonduktor
Superkonduktor adalah material yang dapat menghilangkan semua resistansi
(hambatan) pada aliran arus listrik yang didinginkan di bawah suhu tertentu, yang disebut
temperatur kritis atau temperatur transisi. Di atas temperatur ini biasanya ada sedikit atau
tidak ada indikasi bahwa material itu adalah superkonduktor. Di bawah temperatur kritis,
kondisi superkonduktor tidak hanya mencapai hambatan nol, juga mengalami gangguan sifat
magnet dan sifat listrik.
Dua sifat penting yang mendasar dari superkonduktor adalah
- Transisi dari resistivitas berhingga ρn pada kondisi normal di atas suhu transisi
superkonduksi Tc menjadiρ=0 . Contoh : Konduktivitas DC, σ=∞, pada saat di bawah Tc.
- Perubahan susceptibilitas magnetik χ dari nilai paramagnetik kecil di atas Tc ke χ=−1.
Contoh diamagnetis sempurna di bawah Tc.
Aspek ini akan diilustrasikan pada Gambar 1.1
Gambar 1.1 Karakteristik sebuah superkonduktor
(a) Gambar menunjukkan penurunan resistivitas menuju ρnol pada suhu Tc dibandingkan
dengan bahan yang bukan superkonduktor.
(b) Gambar menunjukkan penurunan susceptibilitas ke nilai diamagnetik ideal yaitu χ=−1
pada suhu di bawah Tc. Permulaan respon diamagnetik berkaitan dengan titik dimana ρ
mendekati nol pada temperatur axis. Gambar ini juga mengindikasikan bahwa χ adalah
bernilai postif dan ada sedikit di tas Tc.
1.3 Jenis-jenis Superkonduktor
Pada tahun 1933 sifat lain dari superkonduktor ditemukan secara eksperimen oleh W.
Meissner dan R. Ochsenfeld, mereka menemukan bahwa superkonduktor memiliki
kecenderungan untuk menghilangkan medan magnet. Bahan superkonduktor mempunyai
kemampuan untuk berada pada kondisi normal ataupun kondisi superkonduktor, tergantung
pada medan magnet eksternal yang dikenakan padanya. Jika kita menambah medan magnet
melebihi suatu nilai kritis tertentu Hc atau Hcl, yang berbeda-beda untuk material tiap
material, maka efek Meissner akan turun, ( fluks akan memasuki material). Maka
berdasarkan fenomena ini, superkonduktor dibedakan menjadi dua kategori.
1.3.1 Superkonduktor Tipe I
Superkonduktor jenis ini dapat berubah secara tiba-tiba dari kondisi Meissner ke full
penetration of magnetic flux, pada kondisi normal, pada medan kritis tertentu Hc. Contoh
bahan ini adalah Hg, Al, Sn. Pada Gambar 1.2a ditunjukkan bagaimana perilaku
superkonduktor jenis ini.
1.3.2 Superkonduktor Tipe II
Superkonduktor jenis ini dapat berubaha dari kondisi Meissner ke kondisi partial
penetration of magnetic flux, kondisi campurannya, pada medan kritis Hcl. Maka seterusnya
bahan ini akan mengalami full flux penetration, kondisi normal pada medan magnet sebesar
Hc2. Contohnya adalah Nb3Sn, NbTi dan semua Tc cuprates tinggi. Dijelaskan pada gambar
1.2b
Gambar 1. 2 Tipe Superkonduktor
1.4 Bahan Superkonduksi
Setelah penemuan awal tentang superkonduktivitas Hg. Empat puluh tahun berlalu
sebelum penemuan superkonduktor organik pada tahun 1970-an. Dan dekade berikutnya
sepurconducting cupartes ditemukan pada tahun 1986. Ada perkembangan dari sangat
sederhana menjadi cukup kompleks. Selama periode tahun 1973, banyak bahan logam
ditemukan dan mempunyai temperatur transisi superkonduksi lebih dari 23.2 K. Saat ini,
bahan-bahan ini disebut Low-Temperature Superconductors (LTSs). Pada tahun 1986,
bahan-bahan oksida diperkenalkan oleh J.G. Benorz dan K.A. Muller menjadi bahan
superkonduktor dengan suhu Tc mencapai 35 K. Lalu dengan cepat diikuti pada tahun 1987
dengan material yang memiliki Tc sekitar 90 K. Lalu nitrogen cair yang lebih murah dan
tersedia dengan mudah dapat dijadikan pendingin, karena mendidih pada suhu 77 K pada
permukaan laut. Bahan dengan Tc di atas 23 K disebut dengan bahan High Temperature
Superconductors (HTSs).
1.4.1 Bahan Superkonduktor Low-Tc Superconductors
Setelah ditemukannya superkonduktivitas pada Hg, diikuti oleh Sn dan Pb. Bahan-
bahan ini mengalami perubahan Tc dari 4 K menjadi 7 K. Dengan ditemukannya efek
Meissner, beberapa bahan ditambahkan pada table periodic. Meissner, seperti yang lain,
mempelajari tentang transisi bahan dengan titik leleh yang tinggi yang disebut “hard” metal.
Penemuan superkonduktor diumumkan pada tahun 1928, tantalum dengan Tc = 4.4 K,
thorium pada tahun 1929 dengan Tc = 1.4 K dan niobium pada tahun 1930 dengan Tc = 9.2
K. Setelah itu ditemukan bahan-bahan dengan Tc yang lebih tinggi. Tabel menunjukkan
bahan dengan Tc superkonduksi yang sudah diketahui. Superkonduktor tidak ditemukan pada
senyawa magnetic maupun pada logam mulia atau tembaga.
Hal ini menunjukkan bahwa superkonduktivitas tidak ada pada kemagnetan dan
logam dengan konduktivitas elektrik tertinggi. Kedua aturan ini akan lebih dimengerti pada
teori BCS, kemagnetan memecah pasangan tembaga dan menyebabkan dampak yang
merusak dan konduktivitas listrik yang baik ada karena mekanisme electron-phonon yang
lemah ( interaksi phonon, sifat yang dapat mengurangi efek elektron ).
Pada keadaan murni, bahan-bahan pada table periodic dapat digunakan untuk
penelitian tentang superkonduktivitas. Namun, tidak satupun bahan murni ini dapat
berkontribusi untuk penggunaan superkonduktivitas pada skala besar, seperti kawat, kabel
untuk magnet. Namun, untuk skala kecil Pb dan Nb sudah digunakan untuk pengembangan
teknologi Josephson. Untuk SQUIDs ( Superconducting quantum interference devices )
niobium adalah bahan yang paling baik dan lebih banyak digunakan untuk aplikasi Tc yang
rendah.
Gambar 1.3 Tabel periodic bahan superkonduksi
Pengembangan tentang superkonduktor terus dilakukan terutama pada peningkatan
nilai Tc. Sejarah perkembangan Tc ditunjukkan pada Gambar 1.4
Gambar 1.4 Sejarah perkembangan penemuan temperature kritis ( Tc )
1.4.2 Superkonduktor Suhu Tinggi
Meluasnya penelitian tentang superkonduktor suhu tinggi dimulai saat ditemukannya
bahan LaBaCuO dengan Tc 36 K oleh Bednorz dan Muller. Superkonduktor ini memiliki
sifat yang membedakannya dengan superkonduktor dengan Tc yang rendah.
i. Bahan ini berlapis. Biasanya bertipe tetragonal atau orthorhombic ( mendekati
tetragonal) dan berisikan bidang Cu-O dengan rumus CuO2 pada arah c. Bidang ini
berisikan muatan pembawa yang menjadi tempat superkonduktivitas. Muatan
pembawa biasanya terlokalisasi pada bidang dan membuat kontak yang relative
lemah antar bidang. Karena alasan ini, biasanya bahan ini mempunyai sifat
anisotropic yang sangat tinggi, baik pada konduksi normal ataupun pada keadaan
superkonduksi, dengan konduksi yang kecil pada arah c.
ii. Densitas pembawanya relative kecil jika dibandingkan dengan bahan semi logam
seperti Bismuth. Ini artinya bahwa pembawa kurang terlindungi dibandingkan
dengan logam pada umumnya dan menyebabkan repulse Coulomb diantara mereka
menjadi semakin besar. Juga menyebabkan peningkatan penetration depth ‘λ’
iii. Semuanya memiliki panjang koherensi ( coherence lengths) yang sangat kecil,
biasanya 2 nm pada bidang CuO2 dan sebesar 0.3 nm pada arah c. Hal ini
menyebabkan beberapa konsekuensi. Menyebabkan kecacatan seperti
ketidakmurnian konsentrasi, grain boundaries dan surface rearrangements.
iv. Semua bahan sangat sensitif untuk pembawa doping dan hanya menjadi
superkonduksi untuk kisaran doping level tertentu, biasanya memerlukan komposisi
non-stoichiometric.
v. Semua bahan superkonduktor Tc tinggi mempunyai nilai RH positif, koefisien Hall
menunjukkan ketergantungan anomaly suhu pada sebagian besar bahan Tc tinggi
dengan suhu di atas Tc. Kenaikan nilai RH menyebabkan penurunan kerapatan
pembawa dengan adanya kenaikan suhu.
1.5 Kronologis Perkembangan Superkonduktor
Fenomena resistansi nol pada suhu cryogenic rendah ditemukan pada tahun
1911 oleh Prof. H.K. Onnes di Belanda pada penelitian tentang sifat suhu rendah logam dan
hal ini berlanjut menjadi penemuan dan aplikasi teknologi yang menarik. Penelitian di
laboratorium Laiden dilakukan oleh asisten dan siwa Onnes dengan tahapan yang sangat
systematic. Emas ditemukan mempunyai resistansi yang kecil dan tidak terukur pada kisaran
cairan Helium, tetapi mercury adalah bahan yang pertama kali ditemukan dengan suhu
superkonduksi mendekati 4 K. Sifat khusunya adalah penurunan tiba-tiba resistansi
berdasarkan magnitudo pada temperatur rendah seperti yang terlihat dibawah ini.
Gambar 1.5 Deksripsi pertama tentang superkonduktivitas. Onnes masih tidak yakin bahwa resistansinya
sebesar nol maka dia mengisinya angka 10-5 Ohm
Selanjutnya Timah dimasukkan dalam daftar. Onnes melupakan ide awal bahwa electron
akan membeku menjadi atom dan malah menduga bahwa electron bebas akan menjadi bebas
kembali sedangkan “ vibrators “ (atom) tidak akan bergerak.
Grup Leiden mengaharapkan adanya teknologi superkonduksi yang berkaitan dengan
kemagnetan, yang nilainya mencapai 10T. Tetapi mereka menemui kendala yang tak terduga,
yaitu batas tertinggi arus yang dapat mengalir pada resistansi nol pada kawat timah, yang saat
ini disebut dengan istilah critical current (arus kritis Ic). Masalah ini tidak dapat dihindari
hingga bertahun-tahun setelahnya, sampai akhirnya diperlukan superkonduktor jenis lain.
Tipe baru ini diberi nama Tipe-II lawan dari Tipe I untuk timah, timah dan konduktor yang
sama yang sudah dipelajari di Leiden. Setelah ditemukan, dipahami dan dikembangkan bahan
Tipe-II, maka kerapatan arus kritis ( critical current density ) dapat meningkat ke nilai yang
lebih tinggi. Sejak 1960an pada saat pengembangan superkonduktor dimulai, sampai saat ini
pada saat magnet superkonduktor biasanya digunakan di laboratorium maupun rumah sakit di
seluruh dunia. Dan teknologi SQUID yang luar biasa dikembangkan untuk mengukur medan
magnet yang kecil, sudah digunakan dalam banyak aplikasi dan menjanjikan adanya
penemuan yang baru dengan menggunakan superkonduktor baru maupun superkonduktor
lama.
Sifat magnetic superkonduktor menarik banyak perhatian peneliti pada tahu 1920an
dna 1930an. Pada tahun 1933 saat Meissner dan Oschenfeld menunjukkan bahwa untuk
medan magnet di bawah batas tertentu, fluks pada superkonduktor dihilangkan dan
menghasilkan keadaan termodinamik yang baru dan bukan konsekuensi dari konduktivitas
yang tak terbatas.
Gambar 1.6 Efek Meissner, sebuah magnet permanen yang kecil melayang di atas sebuah superkonduktor.
Fenomena ini dikenal dengan efek Meissner dan hal ini mengawali dilakukannya
penelitian tentang perlakukan termodinamik pada superkonduktivitas.
Pada tahun 1934, Fritz London mengusulkan adanya energy gap. Pada atom-atom
diamagnetic stabil ada gap yang lebar antara keadaan mula-mula (ground state) dan eksitasi
pertama ( the first ecxited state).
Pada tahun 1940, Heinz London memamerkan sebuah superconductor pada
gelombang micro dan mengamati absorpsi yang sedikit di bawah Tc. Hal ini
mengimplikasikan bahwa tidak ada keadaan eksitasi yang sesuai dengan energy gelombang
micro. Jadi ada gap antara electron superkonduksi dengan keadaan eksitasi pertama.
Pada tahun 1940-1950, Maxwell dan Reynolds mengamati efek isotop pada mercury.
Perubahan berat atom menyebabkan perubahan Tc. Hal ini memberi petunjuk awal tentang
perubahan masa yang mengubah frekuensi vibrasi kisi (phonons).
Pada tahun 1953, Brian Pippard menyatakan bahwa elektron-elektron menjadi
“Rigid” pada jarak sekitar 1000 Angstrom. Keadaan koheren ini disebut panjang koherensi (
coherence length ).
Pada tahun 1956, Leon Cooper menyatakan tentang pasangan electron superkonduksi.
Abrikosov melaporkan teorinya tentang sifat magnetic superkonduktor pada
pertemuan di Moskow tahu 1957. Pada tahun yang sama percobaan Schubnikow dari tahun
1930an juga dipublikasikan di Uni Soviet. Hasil ini menjadi bukti penting sifat magnetic
superkonduktor Type-II selama 2 dekade belakangan dan dapat membuktikan bahwa
superkonduktor dapat membawa kerapatan muatan yang besar dibandingkan bahan-bahan
sebelumnya yang dipelajari Onnes, Meissner dan lain-lain.
Tahun 1957 juga merupakan tahun dimana teori kuantum yang disebut teori BCS
dipublikasikan oleh Bardeen, Cooper dan Schrieffer, akhirnya menunjukkan sifat menarik
superkonduktor dari prinsip pertama. Perlu waktu 46 tahun dari waktu penemuannya.
Beberapa tahun kemudian, prediksi ajaib Josephson yang memperhitungkan sifat fisik dari
superkonduktor inhomogen diumumkan, lalu diikuti dengan verifikasi secara eksperimental
dan diaplikasikan secara beragam dalam perkembangannya.
Dalam 25 tahun superkonduktivitas berubah dari fenomena menarik di laboratorium,
yang diketahui hanya oleh fisikawan menjadi diketahui hampir seluruh dunia. Perkembangan
ini disebabkan oleh penemuan superkonduktor jenis baru yaitu superkonduktor Tc tinggi oleh
Bednorz dan Muller di laboratorium IBM di Ruschlikon dekat Zurich pada tahun 1986.
Penemuan ini masih diterapkan sampai saat ini, dengan prospek ekonomi yang sangat besar.
1.6 Teori Superkonduktor
Teori Superkonduksi Suhu Rendah / Low Temperatur Superconducting (LTS)
1.6.1 Efek Meissner
Pada saat superkonduktor diletakkan pada medan magnet H, medan hanya mempengaruhi
superkonduktor pada jarak pendek sebesar λ, yang disebut London penetration depth, setelah
medan ini mencapai nol. Maka disebut efek Meissner dan merupakan karakteristik
superkonduktivitas. Untuk sebagian besar superkonduktor, London penetration depth-nya
sekitar 100 nm. Efek Meissner kadangkala membingungkan jika dikaitkan dengan
diamagnetic pada konduktor listrik yang baik. Berdasarkan hukum Lenz, pada saat terjadi
perubahan medan magnet pada konduktor, akan memicu adanya arus listrik pada konduktor
yang menghasilkan medan magnet yang berlawanan. Pada konduktor yang baik, arus besar
yang berubah-ubah dapat terjadi dan medan magnet yang dihasilkan tentu dapat
menghilangkan medan yang bekerja padanya.
Efek Meissner dijelaskan oleh Fritz dan Heinz London, yang menunjukkan bahwa
energy bebas elektromagnetik pada sebuah superkonduktor ditunjukkan oleh persamaan
berikut “
∆2 H =λ−2 H
Dimana H adalah adalah medan magnet dan λ adalah London penetration depth. Rumus ini,
dikenal sebagai rumus London, dapat memperkirakan medan magnet pada sebuah
superkonduktor berkurang secara eksponensial dari suatu nilai.
Efek Meissner tidak terjadi pada saat medan magnet yang dikenakan terlalu besar.
Superkonduktor dapat dibagi menjadi dua kelas berdasarkan bagaimana terjadinya
breakdown. Pada superkonduktor Type I, superconduktivitas tiba-tiba hilang pada saat
kekuatan medan yang dikenakan naik di atas titik kritis Hc. Pada superkonduktor Type-II,
kenaikan medan yang dikenakan melewati Hc1 menyebabkan keadaan campuran yang mana
peningkatan jumlah fluks magnetic yang mengenai bahan, tetapi tidak ada resistansi pada
arus litrik asal arusnya tidak terlalu besar. Pada medan kritis kedua H c2, superkonduktivitas
akan hilang. Kondisi campuran disebabkan oleh vortice pada electronic superfluid, kadang
disebut fluxons karena fluks yang dibawa oleh vortice ini terkuantisasi. Sebagian besar
elemen superkonduktor murni (kecuali niobium, technetium, vanadium dan carbon
nanotubes) adalah Type I, sedangkan semua superkonduktor tidak murni dan campuran
adalah Type II.
1.6.2 Teori London
Efek Meissner membuktikan bahwa superkonduktivitas sebagai fase termodinamika
ekuilibrium yang berbeda-beda. London bersaudara berpendapat bahwa pada fase ini, jika
medan magnet eksternal dikenakan, system electron akan merespon secara karakteristik,
menghasilkan kerapatan arust listrik tertentu. Respon yang mereka hipotesakan membuktikan
teori Meissner dan konduktivitas tak terbatas.
1.6.3 Teori Ginzburg Landau
Teori Ginzber Landau adalah sebuah alternative dari teori London. Untuk tingkat tertentu
teori ini tidak sama dengan teori London, yang masih klasik, teori ini menggunakan
mekanika kuantum untuk memprediksi efek dari medan magnet. Asumsi pertama dari teori
Ginzberg Landau adalah sifat electron superkonduksi dapat dijelaskan dengan fungsi
gelombang efektif “effective wave function” ψ yang memili signifikansi sebesar |ψ|2 yang
sama dengan kerapatan electron superkonduksi.
Interpretasi m adalah massa efektif dan q adalah charge of particle dasar superkonduksi,
maka penetration depth dapat diungkapkan sebagai berikut,
λ (T )=√ m c2
4 π q2|ψ0|2
Dimana |ψ0|2 adalah nilai |ψ|2 di dalam superkonduktor ( nilai ekuilibrium ). Coherence
length berdasrkan teori Ginzberg Landau adalah,
ξ (T )=√ ℏ2
2 m|α(T )|
Dimana α (T ) adalah koefisien yang bergantung pada suhu pada deret ekspansi energy bebas.
Dekat dengan suhu transisi Tc, baik λ¿) maupun ξ (T ) bernilai sebesar (1− TT c )
12, sehingga
dikenalkan parameter Ginzberg Landau κ, dimana κ=λ(T )ξ (T )
. Ginzberg Landau mencirikan
superkonduktor Type-I yang memiliki κ< 1
√2 dan superkonduktor tipe II mempunyai κ> 1
√2.
1.6.4 Teori BCS
Pemahaman tentang superkonduktivitas diteliti lebih jauh pada tahun 1957 oleh tiga
fisikawan Amerika, John Bardeen, Leon Cooper dan John Schrieffer, melalui teori mereka
yang disebut teori BCS. Teori BCS menjelaskan superkonduktivitas pada suhu mendekati nol
mutlak. Cooper membuktikan bahwa kisi vibrasi atom secara langsung mempengaruhi arus.
Mereka memaksa electron untuk berpasangan dan dapat melewati semua penghambat yang
menimbulkan resistansi (hambatan) pada konduktor. Gabungan electron ini dikenal dengan
pasangan Cooper (Cooper pairs). Cooper dan teman-temannya tahu bahwa electron yang
normalnya saling tolak menolak, akan mengalami tarik menarik pada superkonduktor.
Jawaban dari masalah ini ditemukan pada phonon, paket gelombang bunyi yang ada pada kisi
yang bervibrasi. Walaupun vibrasi kisi ini tidak dapat didengar, perannya sebagai moderator
sangat diperlukan.
Berdasarkan teori ini, sebagai muatan negative, electron dilewati oleh muatan positif
ion pada superkonduktor, kisi akan membelok. Pada gilirannya menyebabakan Phonon
diemisikan yang membentuk muatan positif di sekitar electron. Gambar 1.7 dapat
menjelaskan gelombang pembelokan kisi karena tarik menarik elektron.
Gambar 1.7 Teori BCS
Sebelum electron dilewati dan sebelum kisi kembali ke posisi normal, electron kedua
ditarik ke trough (lembah). Proses ini melewati dua electron, yang seharusnya saling tolak
menolak satu sama lain, menjadi berkaitan.