Yohanes Judicial Review

download Yohanes Judicial Review

of 19

Transcript of Yohanes Judicial Review

  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    1/19

  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    2/19

    review itu dalam persidangan yang tersendiri. Dalam hal demikian, dapat dikatakan bahwapengujian materiel itu dilakukan secara institusional, dimana peraturan yang bersangkutan secarakeseluruhan dapat dinyatakan tidak berlaku lagi secara hukum. Tetapi, Pengujian juga dapatdilakukan oleh hakim secara tidak langsung dalam setiap proses acara di pengadilan. Dalammengadili sesuatu perkara apa saja, hakim dapat saja atau berwenang mengesampingkan

    berlakunya sesuatu peraturan atau tidak memberlakukan sesuatu peraturan tertentu, baik seluruhnya (totalitas) ataupun sebagiannya. Mekanisme demikian ini dapat pula disebut sebagaijudicial review yang bersifat prosessual, atau judicial review yang bersifat substansial[2].Objek yang diuji oleh hakim dapat berupa produk hukum yang ditetapkan oleh lembagalegislative (legislative acts) dan dapat pula berupa produk eksekutif (executive acts). Produk legislative (legislative acts) biasanya disebut undang-undang, wet atau law, tergantung bahasayang digunakan di masing-masing negara. Disebut produk legislatif karena memang dalamproses pembuatannya terlibat peran parlemen. Kalaupun, produk legislative tersebut tidak dilakukan sepenuhnya oleh parlemen, setidaknya produk dimaksud ditetapkan oleh pemerintahbersama-sama parlemen. Dalam tradisi common law Anglo Amerika, baik legislaltive actsmaupun executive acts tersebut dapat berupa produk hukum yang mengatur (regels, regeling )

    dan dapat pula berbentuk keputusan-keputusan administrasi negara yang tidak bersifat mengatur,melainkan hanya bersifat penetapan administrative (beschikking). Karena itu, kebijakan dankeputusan-keputusan pejabat administrasi negara yang tidak berbentuk peraturan juga dapat diujikembali dan dibatalkan atau dinyatakan tidak sah oleh pengadilan (hakim). Namun, dalam sistemcivil law yang menganggap adanya peradilan administrasi negara sebagai salah satu pilar penting Negara Hukum (Rechtsstaat), keputusan administrasi negara yang tidak bersifatmengatur itu dianggap sebagai objek pengujian oleh hakim adminitrasi Negara (tata usaha

    Negara). Karena itu, yang termasuk dalam pengertian judicial review dalam sistem civil law,hanyalah produk pengaturan saja, yaitu mulai dari Undang-Undang sampai ke peraturan-peraturan (regels) yang ada di bawahnya. Misalnya saja, Keputusan Presiden yang bersifatmengatur dapat dijadikan objek judicial review, tetapi Keputusan Presiden mengenaipengangkatan dan pemberhentian pejabat karena berisi norma yang konkrit dan bersifatindividual tidak dapat dimintakan judicial review, tetapi oleh yang dirugikan dapat diajukangugatan ke pengadilan tata usaha negara. Sedangkan judicial review dalam sistem commonlaw seperti disebutkan di atas, mencakup objek peraturan, baik legislative acts maupunexecutive acts, dan juga objek tindakan -tindakan atau kebijakan administrasi negara yangmerugikan kepentingan individu warganegara. Dengan perkataan lain, judicial review dalamsistem common law mencakup pula mekanisme tuntutan yang biasa dikenal dalam sistemperadilan tata usaha negara yang berkenaan dengan norma-norma hukum yang bersifat konkritdan individuil. Tindakan atau kebijakan pemerintahan yang merugikan atau menimbulkanketidakadilan dengan sendirinya dapat diuji oleh hakim, dan proses pengujian itu juga disebutsebagai judicial review[1].Aspek administrasi negara dalam penggunaan upaya judicialreview itu di lingkungan negara -negara yang mewarisi tradisi common law, makin lamabahkan cenderung makin meningkat dapat dianggap sebagai ciri penting negara hukum modern(constitutional democracy). Di lingkungan negara- negara dengan tradisi civil law hal inisebenarnya sudah sejak lama berkembang dengan dimasukkannya elemen pengadilanadministrasi negara menjadi salah satu pilar konsepsi Rechtsstaat (negara hukum) Eropa Barat.Karena itu, perkembangan pengertian tentang mengenai fungsi Mahkamah Konstitusi yangdianggap berwenang melakukan judicial review terhadap peraturan, baik dalam arti legislativeacts maupun executive acts, sama sekali terpisah dari perkembangan pengertian mengenai

  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    3/19

    jaminan keadilan bagi warga negara dalam konteks sistem peradilan tata usaha negara.Sedangkan dalam sistem common law, kedua hal itu tercakup dalam perkembangan judicialreview yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Karena itu, baik di Inggeris maupun diAmerika, pengertian judicial review yang biasa dipahami lebih luas cakupan maknanya, yaitutermasuk gugatan berkenaan dengan norma hukum yang konkrit dan individuil seperti yang

    dikenal dalam sistem peradilan tata usaha negara[1]. Malah, ke arah inilah pengertian judicialreview itu cenderung berkembang, seperti dikatakan oleh Lee Bridges dan kawan -kawan:Judicial review has been increasingly celebrated, not least by the judiciary itself, as a means bywhich the citizen can obtain redress against oppressive government, and as a key vehicle forenabling the judiciary to prevent and check the abuse of executive power .[2 ]Pedoman hukumyang dipakai untuk melakukan pengujian tersebut oleh hakim adalah norma hukum yang lebihtinggi, atau sekurang-kurangnya norMahkamah Agung hukum yang setingkat terutama apabilapengujian yang dilakukan bersifat formil. Norma hukum yang paling tinggi adalah konstitusi.Karena itu, pengujian terhadap materi undang-undang dinilai berdasarkan norma dasar yangterkandung dalam konstitusi. Dengan kata lain, yang diuji adalah konstitusionalitas materiundang-undang, konstitusionalitas dan legalitas prosedur penetapan undang-undang, ataupun

    legalitas kompetensi kelembagaan yang menetapkan undang-undang tersebut. Sedangkan untuk materi peraturan di bawah undang-undang, dinilai berdasarkan undang-undang dan demikianpula peraturan di bawahnya dinilai berdasarkan peraturan yang berada di atasnya. Karenahubungan hirarkis antar peraturan perundang-undangan itu seyogyanya bersifat sistemik daninter -related secara vertical, maka dapat dikembangkan pemikiran bahwa subjek hakim penguji(judicial review) seh arusnya bersifat integrated atau terpadu di satu institusi. Akan tetapi,karena dalam pengalaman di banyak negara, kemunculan ide pembentukan MahkamahKonstitusi[3] dapat dipandang sebagai inovasi baru di bidang hukum yang dalamperkembangannya baru dikaitkan dengan pengujian terhadap konstitusionalitas undang-undang,maka subjek hakim penguji itu dibedakan antara materi undang-undang dan peraturan di bawahundang-undang.Di beberapa negara, juga diterima adanya pengertian bahwa selain kewenanganuji materiel atas undang-undang, Mahkamah Konstitusi juga berwenang menyelesaikan sengketaantara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ataupun antar Pemerintah Daerah dalammenjalankan peraturan perundang-undangan ataupun dalam melaksanakan Undang-UndangDasar.

    Perkembangan Judicial Review di Indonesia .Dalam proses pembentukan UUD 1945 terjadiperdebatan tentang perlunya Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan yudikatif untuk memiliki kewenangan menilai apakah suatu peraturan perundangan sesuai dengan konstitusi.Soepomo tidak sependapat karena menurutnya kekuasaaan demikian terdapat pada negara yangmenganut sistim pemisahan kekuasaan (konsep trias politica). Sementara Rancangan UUDtidak, dan kekuasaan yudikatif tidak mengontrol kekuasaan legislatif sebagai pembentuk undang-undang. Menurut Supomo, di negara-negara lain seperti Austria, Ceko-Slowakia dan Jerman,kewenangan tersebut dilaksanakan oleh suatu pengadilan yang memang khusus menanganimasalah konstitusi. Akhirnya BPUPKI dan PPKI menolak usul tersebut dan tidak memasukkannya ke dalam UUD sebagai bagian wewenang yudikatif MA.Dalam Konstitusi RISyang diundangkan pada tahun 1949 disebutkan bahwa, kewenangan untuk menilai apakah suatuUU Negara Bagian bertentangan atau tidak dengan UU Federal dan Konstitusi RIS diberikankepada MA. Untuk merespon perkembangan, di sekitar tahun 1956 1959 IKAHI dan MAmengusulkan bahwa MA seharusnya memiliki kewenangan untuk menyatakan suatu peraturan

  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    4/19

    perundangan bertentangan dengan UUD. Kemudian dalam pembahasan konstitusi bidangperadilan, Konstituante memutuskan untuk memuat pembentukan peradilan khusus yang terdiridari Hakim Agung yang berwenang menilai peraturan perundangan. Namun, dengan Dekrit1959, Presiden membubarkan Parlemen.Tahun 1970 UU 14/1970 tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan kewenangan kepada MA

    untuk menilai kesesuaian suatu peraturan dengan peraturan yang lebih tinggi (judical review).Namun kewenangan itu, terbatas pada peraturan yang tingkatnya lebih rendah dari UU dan tidak mengatur penilaian UU terhadap UUD. UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung jugamenyebutkan hal yang kurang lebih sama.Tahun 1993 diterbitkan Perma 1/93 Tentang Hak UjiMateriil tertanggal 15 Juni 1993 sebagai reaksi terhadap permohonan judicial review yangdiajukan harian Prioritas kepada MA terhadap Peraturan Menteri Penerangan No.01/Per/Menpen/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sekitar 7 bulansebelumnya. Tahun 1999 MA mengeluarkan Surat Edaran MA No. 1/1999 tentang JudicialReview dalam rangka memperbaharui teknis pelaksanaan judicial review yang sebelumnyadiatur dalam Perma 1/1993. Perbedaan prinsipiil dengan aturan sebelumnya adalah permohonan

    judicial review dapat juga diajukan terpisah dari suatu perkara (permohonan).Pada bulan

    Nopember 1997 F-PDI mengusulkan untuk memberi MA kewenangan melakukan judicialreview terhadap UU, namun PAH II BP MPR menolak, dengan alasan MA tidak berhak untuk melakukan judicial review terhadap ketentuan hasil lembaga tinggi negara. F-KP, F-UD, F-PP,F- ABRI menyatakan bahwa yang berhak melakukan judicial review terhadap UU adalahlembaga yang menghasilkan UU tersebut, yaitu Pemerintah dan DPR.Pada bulan Juli 2000 dalamPembahasan Amandemen Kedua UUD 45 oleh PAH I BP MPR Tim ahli mengusulkan untuk segera dibentuk MK. Usul itu diterima dalam rapat pleno ke-26. Dalam pasal 25B, Bab IXtentang Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Hukum dalam Rancangan Amandemen KeduaUUD 45 yang disiapkan oleh PAH BP MPR, Mahkamah Konstitusi direncanakan untuk mempunyai 3 kewenangan: (i) menguji secara materiil atas UU dan UUD; (ii) memutus ataspertentangan antar UU; (iii) memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, antarapemerintah pusat dengan daerah, antar pemerintah daerah. Dalam kesepakatan finalisasi PAH IBP MPR, 22 Juli 2000, PAH I menyepakati MK berada dalam lingkungan MA. Pada bulanAgustus tahun 2000 dalam Sidang Tahunan I MPR Bab ini dibahas dalam ST I MPR, namuntidak dicapai kesepakatan. Oleh karena itu, MPR menerbitkan TAP TAP III/2000, yangmenegaskan kembali bahwa judicial review atas UU dan UUD 45 serta TAP MPR ada di tanganMPR, sedang MA hanya berwenang untuk menguji peraturan di bawah UU.

    PAH II BP MPR pada bulan Mei 2002 menyusun rancangan perubahan Peraturan Tata TertibMPR dimana jika disetujui dalam ST 2001, BP MPR akan memiliki kewenangan melakukan ujimateriil atas UU, TAP MPR, dan UUD. Walaupun mengakui MK yang seharusnya berwenang,sebelum terbentuk BP sesuai TAP MPR III/2000, BP MPR yang melaksanakannya. Kalaupunpandangan ini dapat dibenarkan, maka pengujian oleh lembaga MPR ini tidaklah dapatdikategorikan sebagai judicial review, karena sama sekali tidak dilakukan oleh hakim,melainkan oleh legislator. Namun demikian, ketentuan demikian ini sangatlah keliru karenamemberikan wewenang kepada lembaga yang tidak tepat. Tim ahli MPR menentangnya denganalasan kewenangan itu adalah milik lembaga peradilan dan MA dapat membentuk kompartemenbaru. Meskipun TAP MPR No.III/MPR/2000 adalah sah adanya, tetapi dalam penerapannya,ketentuan mengenai legislative review yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut tidak akan mungkin dapat dilaksanakan, karena memang isinya keliru total. Fungsi pengujian Undang-

  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    5/19

  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    6/19

    konstitusionalitas tidaknya putusan itu. Dengan perkataan lain, dalam pengertian judicial review itu terdapat pula pengertian mengenai pengujian kembali, tidak saja terhadap produk legislative dan eksekutif, tetapi juga terhadap produk putusan judicial atau hakimsendiri.Amandemen ketiga UUD 1945 telah menetapkan kewenangan untuk mereview UU adadi Mahkamah Konstitusi sedang kewenangan mereview peraturan perundang-undangan di bawah

    UU diserahkan ke MA. Hal ini potensial menimbulkan masalah. Kemungkinan munculnyapersengketaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atau lebih-lebih lagi antarPemerintah Daerah, sangat mungkin timbul karena adanya keputusan-keputusan yang bersifatmengatur ( regeling ) ataupun keputusan-keputusan penetapan administrative ( beschikking ) yangdianggap merugikan salah satu pihak. Bentuk-bentuk keputusan hukum tersebut dapat berbentuk keputusan gubernur, keputusan bupati, ataupun peraturan daerah. Padahal tingkatannya jelasberada di bawah Undang-Undang yang seharusnya menjadi objek pengujian oleh MahkamahAgung, bukan Mahkamah Konstitusi. Akibatnya sangat mungkin terjadi disharmonisasi dalamputusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi untuk hal-hal yang berkaitan namundengan yurisdiksi berbeda. Jika keduanya dibedakan, maka secara teoritis dapat saja terjadidimana untuk satu perkara yang terkait, putusan Mahkamah Agung justru saling bertentangan

    dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Misalnya, oleh Mahkamah Agung, suatu PeraturanPemerintah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang, tetapi oleh Mahkamah Konstitusi,Undang-Undang yang bersangkutan justru dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi.

    Perma No. 2 Tahun 2002

    Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 menegaskan, Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya 17 Agustus 2003, dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan MahkamahAgung (MA). Konsekuesi dari ketentuan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 adalah bahwa

    sebelum MK terbentuk, segala fungsi dan kewenangan MK dilaksanakan oleh MA. Untuk melaksanakan kewenangan MK selama masa transisi, MA telah mengeluarkan PeraturanMahkamah (Perma) Nomor 2 tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang MKdan MA.Meski sudah ada aturan di tingkat konstitusi ternyata tidak mudah merumuskan MK kedalam bentuk yang lebih operasinal. Bahkan ada beberapa ketentuan Perma No. 2 Tahun 2002yang harus mendapat perhatian mendalam, terutama dalam mewujudkan kehadiran MK dalamarti yang sesungguhnya. Dari beberapa kelemahan tersebut, beberapa hal yang berhubungandengan pelaksanaan kewenangan Judicial Review antara lain adalah sebagai berikut.Pertama,berdasar ketentuan Pasal 24 Ayat (1) dan (2) UUD MK memiliki berbagai macam wewenang,namun Perma No 2 Tahun 2002 tidak mampu memberi perbedaan untuk tiap kewenangan MKdalam merumuskan hukum acara yang seharusnya memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Misalnyahukum acara untuk memberikan putusan mengenai pendapat DPR tentang dugaan pelanggaranyang dilakukan Presiden dan atau wakil Presiden tidak dapat disamakan dengan hukum carauntuk melakukan uji materil teradap Undang-Undang.Kedua, pembatasan waktu untuk melakukan Judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam pasal 2huruf a Perma No. 2 tahun 2002 ditegaskan bahwa permohonan tentang menguji undang-undangterhadap UUD diajukan dalam tenggang waktu 90 hari sejak Undang-undang itu diundangkan.Secara khusus pembatasan ini dapat dikatakan tidak sejalan dengan ketentuan yang ada dalamPasal 24C, dan secara umum tidak sejalan dengan filosofi pemberian kewenangan kepada MK

  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    7/19

    untuk menguji UU. Semestinya MA tidak membatasai UU yang bisa dimohonkan judicialreview. Karena sesuai Perma No. 2 Tahun 2002 berarti hanya UU baru saja yang bisa diuji dandikontrol publik melalui mekanisme Judicial Review. Sejalan dengan tahun-tahun Orde Baru danreformasi yang yang telah menghasilkan berbagai produk peraturan yang seringkali tidak sesuaidengan kebutuhan masyarakat banyak dan seringkali lebih merupakan dorongan politis dan

    kepentingan tertentu saja, maka pembatasan ini terkesan lebih sebagai upaya untuk mengamankan produk-produk politis belaka. Selain itu kesadaran hukum masyarakat yangdinamis dan selalu berubah seharusnya juga perlu diberikan ruang, sehingga justru penting untuk tidak membatasi peraturan-peraturan yang dapat diajukan pada proses Judicial Review.

    Perma No. 1 Tahun 1999 :Seperti kita ketahui, bahwa selain menjalankan kewenangan pada masatransisi sebelum berdirinya MK, MA juga berwenang untuk mengadili perkara judicial reviewuntuk peraturan-peraturan di bawah Undang-Undang. UUD 1945 secara sengaja tidak memberikan kewenangan kepada MA untuk melakukan judicial review terhadap UU .[1] Namundemikian, berdasarkan TAP MPR No. III/1978, kewenangan tersebut diberikan ke MA secaraterbatas, yaitu hanya untuk me- review peraturan perundang-undangan yang tingkatnya berada di

    bawah UU (yaitu PP ke bawah) .[2] Selain itu, kewenangan yang serupa diatur pula dalam UU14/1970 (Pasal 26) dan UU 14/1985 (Pasal 31).Ketentuan dalan kedua UU tersebut masihbersifat umum. Kedua UU tersebut pada intinya hanya menyatakan bahwa MA berwenang untuk menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah UU yang bertentangan denganperaturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Putusan tersebut diambil melalui persidangantingkat kasasi dan instansi yang bersangkutan harus segera mencabut peraturan perundang-undangan yang dinyatakan bertentangan tersebut.Karena sifat pengaturan dalam TAP MPR danUU di atas yang terlalu umum dan (khususnya karena ketidakjelasan prosedur judicial review) ,pada tahun 1993 MA mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang Hak UjiMaterial ( judicial review ). Perma tersebut kemudian diubah pada tahun 1999 dengandikeluarkannya PERMA No. 1/1999. Beberapa pokok pengaturan dalam PERMA tersebutadalah:

    - MA memeriksa dan memutus judicial review berdasarkan gugatan atau permohonan(Pasal 1 ayat [1]);

    - Gugatan atau permohonan judicial review diajukan langsung ke MA (Pasal 1 ayat [3] dan[4]. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Tap III/MPR/1978, UU No. 14/1970 dan UU No.14/1985 yang menyatakan bahwa putusan hak uji material ( judicial review ) diambil berhubungandengan pemeriksaan ditingkat kasasi .[3] Pemeriksaan kasasi hanya dapat diajukan jika pemohontelah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh UU ;[4]

    - Yang dapat mengajukan gugatan adalah badan hukum dan kelompok masyarakat (Pasal 1ayat [5]), sedang yang dapat mengajukan permohonan adalah kelompok masyarakat (Pasal 1 ayat[7]);

    - Tenggang waktu permohonan atau gugatan judicial review adalah 180 hari setelahperaturan perundang-undangan tersebut berlaku (Pasal 2 ayat [4]);

    http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn1http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn1http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn1http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn2http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn2http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn2http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn3http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn3http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn3http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn4http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn4http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn4http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn4http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn3http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn2http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn1
  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    8/19

    - Dalam pemeriksaan gugatan, tergugat (pihak pembuat peraturan perundang-undangan) harusdidengar keterangannya (Pasal 9 ayat [4]) sedang dalam hal permohonan, pihak pembuatperaturan perundang-undangan tidak perlu didengar pendapatnya;

    - Bila MA mengabulkan gugatan atau perhomonan judicial review maka pihak yang

    membuat peraturan perundang-undangan harus mencabutnya (Pasal 9 ayat [2] dan 10 ayat [2])dan bila pihak yang membuat peraturan perundang-undangan tersebut tidak mencabutnya maka90 hari setelah putusan MA tersebut, peraturan perundang-undangan yang harus dicabutdianggap tidak sah dan tidak berlaku umum (Pasal 12 ayat [1] dan 13 ayat [1]).Terdapatbeberapa catatan kritis mengenai Perma tersebut yang masih memuat kelemahan-kelemahanyaitu sebagai berikut:

    Pertama, melanggar Pasal 6 Ketetapan MPR III/MPR/2000, yang berbunyi sebagai berikut: Tatacara pembuatan peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, peraturan daerah dan

    pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung serta pengaturan ruanglingkup keputusan presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Pengujian peraturanperundang-undangan oleh Mahkamah Agung tidak dapat diatur dengan Peraturan MahkamahAgung tetapi harus dengan undang-undang.Kedua, Pasal 10 Perma 1 tahun 1999 tidak mewajibkan hakim untuk mendengar pihak Termohon. Tidak adanya kewajiban mendengarpendapat pihak yang mengeluarkan peraturan atau pihak yang terkena dampak judicial reviewdalam hal judicial review diajukan dengan mekanisme permohonan dapat dikatakan melanggarAzas Audi et Alteram Partem, yang artinya keterangan pihak lawan juga harus didengar.Ketiga,dalam Perma diatur mengenai jangka waktu untuk mengajukan judicial review yaitu 180 hari.Pembatasan waktu setidaknya memiliki 2 implikasi yaitu (1) pembatasan hak memohon di satusisi (2) bila tidak ada pembatasan waktu, maka untuk sebuah UU yang telah lama berlaku telah

    memberikan dampak yang bisa jadi besar, akibatnya kepastian hukum tidak dapat dijamin.Apalagi bila dampak tersebut telah membawa kerugian sehingga akan ada implikasi keuangannegara (jika akan dikenal adanya ganti rugi dari negara bila ada kerugian pemohon dengandiundangkannya UU yang bertentangan dengan konstitusi). Namun di sisi lain, denganmenetapkan jangka waktu tertentu, akibatnya akan banyak Peraturan yang sudah berlaku lamadan ternyata menimbulkan permasalahan namun tidak dapat diajukan judicial review.Keempat,Perma juga melanggar Azas tentang Terminologi dan Sistematika (Het Beginsel van duidelijketerminologie en duidelijke systimatiek) karena dalam Perma No.1 tahun 1999 tidak dapatdibedakan antara terminologi gugatan dan permohonan.

    Mekanisme Beracara

    A. Prinsip-prinsip hukum acara:Proses judicial review dalam perumusan hukum acaranya terikatoleh asas-asas publik. Di dalam hukum acara dikenal dua jenis proses beracara yaitucontentious procesrecht atau hukum acara sengketa dan non -contentieus procesrecht atauhukum acar non sengketa. Untuk judicial review, selain digunakan hukum sengketa (berbentuk gugatan) juga digunakan hukum acara non sengketa yang bersifat volunteer (atau tidak ada duapihak bersengketa/berbentuk permohonan). Bila menelaah asas-asas hukum publim yang salah

  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    9/19

    satunya tercermin pada asas hukum acara peradilan administrasi, maka proses beracara Judicialreview seharusnya juga terikat pada asas tersebut. Asas tersebut adalah:

    a. Asas Praduga Rechtmatig :Putusan pada perkara judicial review seharsunya merupakanputusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap pada saat putusan dibacakan dan tidak berlaku surut. Pernyataan tidak berlaku surut mengandung makna bahwa sebelum putusandibacakan, obyek yang menjadi perkara misalnya peraturan yang akan diajukan judicialreview harus selalu dianggap sah atau tidak bertentangan sebelum putusan Hakim atau HakimKonstitusi menyatakan sebaliknya. Konsekuensinya, akibat putusan Hakim adalah ex nuncyaitu dianggap ada sampai saat pembatalannya. Artinya akibat ketidaksahan suatu peraturankarena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tidaklah berlaku surut namun sejak pernyataan bertentangan oleh lembaga berwenang (MA atau MK) ke depan. Namun perlu jugadipikirkan tentang dampak yang sudah terjadi, terutama untuk kasus-kasus pidana, misalnyadimungkinkan untuk mengajukan kembali perkara yang bersangkutan tersebut untuk ditinjau

    kembali.

    b. Putusan memiliki kekuatan mengikat ( erga omnes ).Kewibawaan suatu putusan yangdikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan mengikatnya. Putusan suatu perkaraJudicial review haruslah merupakan putusan yang mengikat para pihak dan harus ditaati olehsiapapun. Dengan asas ini maka tercermin bahwa putusan memiliki kekuatan hukum mengikatdan karena sifat hukumnya publik maka berlaku pada siapa saja tidak hanya para pihak yangberperkara.

    B. Pengajuan Permohonan atau Gugatan:Dalam Perma No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwapengajuan judicial review dapat dilakukan baik melalui gugatan mapun permohonan. Sedangkan

    dalam Perma No. 2 Tahun 2002 untuk berbagai kewenangan yang dimiliki oleh MK (dandijalankan oleh MA hingga terbentuknya MK) tidak disebutkan pembedaan yang jelas untuk perkara apa harus dilakukan melalui gugatan dan perkara apa yang dapat dilakukan melaluipermohonan, atau dapat dilakukan melalui dua cara tersebut.. Akibatnya dalam prakteknyaterjadi kebingungan mengingat tidak diatur pembedaan yang cukup signifikan dalam duaterminologi ini.Perma No. 1 tahun 1999 mengatur baras waktu 180 hari suatu putusan dapatdiajukan judicial Review. Sedangkan dalam perma No. 2 tahun 2002, jangka waktu untuk mengajukan judicial review hanyalah 90 hari. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pembatasanini menimbulkan permasalahan mengingat produk hukum yang potensial bermasalah adalahproduk hukum pada masa orde baru dan masa transisi. Selain itu pembatasan waktu ini jugamenafikan kesadaran hukum masyarakat yang tidak tetap dan dinamis.

    C. Alasan Mengajukan:Baik dalam Amandemen ke III UUD 1945 tentang wewenang MK danMA atas hak uji materiil, yang kemudian dituangkan lebih lanjut sebelum keberadaan MKmelalui Perma No. 2 tahun 2002, maupun dalam Perma No 1 tahun 1999 tidak disebutkan alasanyang jelas untuk dapat mengajukan permohonan/gugatan judicial review. Dalam Perma hanyadisebutkan bahwa MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang atau dalam hal pengajuan keberatan adalah alasan dugaanperaturan tersebut bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Sedangkan

  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    10/19

    Amandemen hanya menyebutkan obyek judicial review saja dan siapa yang berwenangmemutus.

    Namun pada umumnya beberapa alasan yang dapat dijadikan alasan untuk pengajuan judicialreview adalah sebagai berikut :

    Bertentangan dengan UUD atau peraturan lain yang lebih tinggi Dikeluarkan oleh institusi yang tidak bewenang untuk mengeluarkan peraturan

    perundang-undangan yang bersangkutan. Adanya kesalahan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang

    bersangkutan. Terdapat perbedaan penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan. Terdapat ambiguitas atau keragu-raguan dalam penerapan suatu dasar hukum yang perlu

    diklarifikasi.

    D. Pihak yang berhak mengajukan judicial review.Dalam Perma no 1/1999 tentang Hak UjiMateriil disebutkan bahwa Penggugat atau Pemohon adalah badan hukum, kelompok masyarakatNamun tidak dijelaskan lebih lanjut badan hukum atau kelompok masyarakat yang dimaksuddalam Perma ini seperti apa. Yang seharusnya dapat menjadi pihak (memiliki legal standing )dalam mengajukan permintaan pengujian UU adalah mereka yang memiliki kepentinganlangsung dan mereka yang memiliki kepentingan yang tidak langsung. Rasionya karenasebenarnya UU mengikat semua orang. Jadi sebenarnya semua orang harus dianggapberkepentingan atau punya potensi berkepentingan atau suatu UU. Namun bila semua orangpunya hak yang sama, ada potensi penyalahgunaan hak yang akhirnya dapat merugikanmerugikan hak orang lain. Namun karena pengajuan perkara dapat dilakukan oleh individu maka

    sangat mungkin dampaknya adalah pada menumpuknya jumlah perkara yang masuk Untuk itu di masa mendatang idealnya dalam pengajuan perkara hak uji materil maka perludiperhatikan bahwa yang berhak mengajukan permohonan/gugatan adalah kelompok masyarakatyang:

    1. Berbentuk organisasi kemasyarakatan dan berbadan hukum tertentu2. Dalam Anggaran Dasar nya menyebutkan bahwa pencapaian tujuan mereka terhalang

    oleh perundang-undangan

    3.

    Yang bersangkutan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasarnya.4. Dalam hal pribadi juga dapat memiliki legal standing, maka ia harus membuktikan bahwadirinya memiliki concern yang tinggi terhadap suatu bidang tertentu yang terhalang olehperundang-undangan yang bersangkutan.

    E. Putusan dan Eksekusi Putusan.Dalam Perma No 1/1999 disebutkan bahwa bila dalam 90 harisetelah putusan diberikan pada tergugat atau kepada Badan/Pejabat TUN, dan mereka tidak melaksanakan kewajibannya, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud batal demi

  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    11/19

    hukum. Putusan dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum, putusan yang sudah diambilmengikat.Hal ini dapat diartikan bahwa jika dinyatakan suatu UU -baik seluruh pasalnya(berhubungan dengan keseluruhan jiwanya) atau pasal-pasal tertentunya saja bertentangandengan UUD, maka putusan tersebut wajib dicabut oleh DPR dan presiden dalam waktu tertentu.Jika tidak, maka UU tersebut otomatis batal demi hukum.Kurang lebih ada dua alternatif yang

    dapat ditawarkan untuk perbaikan di kemudian hari, yaitu : Alternatif pertama, segala peraturanatau kelengkapan dari peraturan yang diputuskan tidak konstitusional kehilangan pengaruhnyasejak hari dimana putusan tersebut dibuat. Dengan catatan peraturan atau kelengkapan darinyasehubungan dengan hukum pidana kehilangan pengaruhnya secara retroaktif. Dalam haldemikian maka dimungkinkan dibuka kembali persidangan mengingat tuduhan didasarkan padaperaturan yang dianggap inkonstitusional; Alternatif kedua, dapat diberikan kewenangan bagiMA ataupun MK (nantinya) untuk memutus dampak atas masing-masing putusan apakahberdampak pada peraturan yang timbul sejak pencabutan dilakukan ( ex nunc) atau berdampak retroaktif ( ex tunc) .Dalam hal pencabutan putusan secara ex tunc , complaint individu terhadapsuatu peraturan yang bersangkutan harus memiliki dampak umum (erga omnes) , karena landasanhukum suatu putusan pengadilan atau penetapan administratif telah dinyatakan batal demi

    hukum atau dalam proses pembatalan. Dengan demikian peraturan yang berlaku individu yangdidasarkan pada landasan hukum yang serupa juga menjadi tidak berlaku.Di sini prinsip jaminanterhadap individu di satu sisi dan prinsip kepastian hukum di sisi lain harus berjalan seimbang.Setidaknya putusan dalam perkara kriminal harus dapat dibuka kembali oleh peradilan biasadengan berdasarkan adanya pembatalan dari norma hukum pidana yang menjadi dasar dariputusan tersebut.

    Praktek Judicial Review di Indonesia .Mencermati perkembangan penerimaan publik terhadapsubstansi produk hukum yang dihasilkan dalam beberapa waktu terakhir, judicial review menjadipilihan yang tidak mungkin dihindarkan untuk mengkoreksi kesalahan yang mungkin terjadidalam sebuah produk hukum. Bahkan bagi banyak kalangan, pengajuan uji materil menjadikebutuhan yang mendesak. Kecenderungan ke arah ini dapat dilihat dari keinginan beberapakelompok masyarakat untuk mengajukan permohonan dan gugatan uji materiil berbagai produk hukum yang mereka nilai mengandung kontroversial kepada Mahakamah Agung. Beberapadiantaranya adalah sebagai berikut.Pertama, rencana pengajuan hak uji materiil terhadapperaturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 Tahun 2002 tentangpemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu Nomor 2 tahun 2002 tentang pemberlakuanPerpu Nomor 1 tahun 2002 tentang Persitiwa Peledakan Bom Bali (selanjutnya ditulis PerpuAntiterorisme) oleh sejumlah tokoh organisasi nonpemerintah. Pengajuan ini dilakukan denganpertimbangan bahwa Perpu Antiterorisme dianggap tidak layak diterapkan karena banyak materinya dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan undang-undang.Kedua, rencana yangsama juga akan dilakukan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN)terhadap Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Koruspi (KPK).Langkah hukum ini dilakukan oleh KPKPN karena Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002dinilai telah menghilangkan amanat Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 dalam mewujudkanpenyelenggaraan negara yang bebas dan bersih korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).Untuk lebih mendalami bagaimana suatu perkara Judicial Review berproses, maka perlu dipaparkanbeberapa contoh kasus secara mendetail. Kasus di bawah ini dapat dijadikan contoh bagaimanaMahkamah Agung memutuskan permohonan uji materiel atas satu Peraturan Pemerintahterhadap Undang-Undang. Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2000 yang menjadi landasan

  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    12/19

  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    13/19

    materil tersebut dengan pertimbangan bahwa dalam membuat suatu peraturan, tidak cukup hanyamendasarkan diri pada asas kemanfaatan/ kebutuhan/tujuan tertentu, tetapi juga harus sesuaidengan prinsip supremasi hukum, yaitu suatu peraturan baik secara formal maupun substansialtidak melanggar asas-asas kaedah hukum atau tidak bertentangan dengan peraturan yang lebihtinggi. Tegasnya, penerapan asas kemanfaatan ( doelmatigheid ) harus didampingi dengan

    penerapan asas legalitas ( rechtsmatigheid ), termasuk dalam kaitannya dengan prinsip hirarkiperaturan perundang-undangan yang tidak boleh dilanggar. Sehubungan dengan itu, majelishakim berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah No.19/2000, baik dari segi formal maupunsubstansial materiil, mengandung materi muatan yang bertentangan dengan Undang-Undang.

    Pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh majelis hakim mengenai hal tersebut mencakupsembilan dalil sebagai berikut. Pertama, Pasal 6 ayat (2) PP menyata kan: Keanggotaan timgabungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat tetap . Pasal 7 ayat (1) menyatakan:Tim gabungan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dibantu oleh sekretariat tim

    gabungan . Pasal 13 ayat (1) menyatakan: Dalam rangka mela ksanakan tugas tim gabungan,ketua tim gabungan dapat mengusulkan pembentukan satuan tugas penyidikan dan penuntutankepada Jaksa Agung . Padahal, Pasal 27 UU No.31/1999 mengandung makna bahwa timgabungan itu bersifat tidak tetap, temporer, insidentil, fakultatif, kasuistis, dan bukanlah suatukeharusan untuk dibentuk. Kedua, Pasal 5 PP menyatakan bahwa keanggotaan tim gabunganmencakup unsur kepolisian, kejaksaan, instansi terkait dan unsur masyarakat. Keikutsertaanunsur masyarakat memang terkait dengan ketentuan Pasal 43 ayat (4) UU yang menyatakanbahwa salah satu unsur anggota komisi pemberantasan tindak pidana korupsi berasal dari unsurmasyarakat, namun hal itu harus diatur dengan undang-undang, bukan dengan peraturanpemerintah. Keikutsertaan unsur masyarakat dalam pelaksanaan fungsi penyidikan harusdituangkan dalam bentuk undang-undang, karena kewenangan penyidikan itu sendiri diatur

    dengan undang-undang. Ketiga, Pasal 11 ayat (5) PP menentukan penambahan dan pemekarankewenangan penyidik, sehingga mencakup pula berwenang untuk meminta keterangan mengenaikeuangan tersangka pada bank, meminta bank memblokir rekening tersangka,membuka/memeriksa/ menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi atau alat lain yangberhubungan dengan tindak pidana korupsi, melakukan penyadapan, mengusulkan pencekalandan merekomendasikan kepada atasan tersangka untuk pemberhentian sementara tersangka dari

    jabatannya. Padahal Peraturan Pemerintah, secara hukum, tidak dapat menambah ataupunmengurangi kewenangan-kewenangan yang seharusnya dituangkan dalam bentuk undang-undang. Setiap hal yang dapat meniadakan ataupun mengurangi hak-hak warga negara ataupunyang membebani warga negara dengan kewajiban-kewajiban keuangan ataupun kewajibanlainnya yang kebebasannya dijamin berdasarkan konstitusi, tidak boleh ditetapkan sendiri olehpemerintah tanpa mendapat persetujuan rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen. Karena itu,pengaturan seperti itu harus dituangkan dalam bentuk undang-undang, bukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Keempat, di samping hal tersebut di atas, perluasan kewenangan jugadiberikan oleh Pasal 12 ayat (4) PP yang menentukan bahwa Ketua Tim Gabungan, denganpersetujuan Jaksa Agung, dapat menetapkan Surat Penghentian Pemeriksaan Perkara (SP3).Padahal, hal ini jelas seharusnya diatur dalam undang-undang, bukan dalam peraturanpemerintah. UU telah menentukan sendiri secara eksklusif tentang pejabat yang berwenangmelakukan penyidikan tersebut.Kelima, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11 ayat (5) dan Pasal 12 ayat (4)

  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    14/19

    PP memuat ketentuan yang mencerminkan pengertian bahwa Tim Gabungan PemberantasanTindak Pidana Korupsi yang dimaksud dalam PP No.19/2000 tersebut merupakan badan yangbersifat tetap, seakan-akan sudah menjadi Komisi yang bersifat permanen, yang seharusnyadituangkan pengaturannya dalam undang-undang. Keenam, tidak ada satu pasalpun dalam UUNo.31/1999 yang mendelegasikan ( delegated legislation ) perluasan dan pemekaran kewenangan

    melalui Peraturan Pemerintah. Ketujuh, majelis hakim berpendapat bahwa UU No.31 No.1999merupakan ketentuan primer yang tidak dapat dikesampingkan baik dalam bentuk penambahan,pengurangan ataupun dengan membuat peraturan pelaksanaan yang tidak sesuai dengan perintahUU tersebut dengan ketentuan yang bersifat sekunder, yang dalam hal ini melalui PPNo.19/2000. Kedelapan, majelis hakim berpendapat bahwa Pasal 18 PP No.19/2000 telahmenyisihkan hakikat Pasal 43 ayat (1) UU No.31/1999, dan karenanya Komisi PemberantasanTindak Pidana Korupsi menjadi benda yang terasing, karena telah disubstitusikan keberadaannyaoleh PP No.19/ 2000 dengan Tim Gabungan. Kesembilan, majelis hakim menimbang agarhakikat UU No.31/1999 tidak hilang maka PP No.19/2000 harus dicabut dan materi kewenanganyang terdapat dalam PP tersebut dilembagakan menjadi kewenangan Komisi PemberantasanTindak Pidana Korupsi sebagaimana diamanatkan oleh UU No.31/1999 untuk segera dibentuk.

    Hubungan Kepentingan Yang Terlibat dan Kedudukan Hakim .Dalil-dalil yang digunakan olehmajelis hakim untuk memutuskan mengabulkan permohonan pemohon, secara teknis hukummemang dapat dinilai masuk akal, dan sesuai dengan prinsip legalitas atau memenuhi unsur-unsur rechtsmatigheid yang lazim dan diakui dalam hukum. Sudah tentu, argumentasi yangbertentangan juga dapat saja dibangun untuk melawan dalil-dalil yang dikembangkan olehmajelis hakim. Misalnya, dapat ditelaah secara kritis apakah benar TGPTPK identik ataumengidentikkan diri dengan Komisi Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimanadipahami oleh majelis hakim. Ketentuan mengenai Tim Gabungan itu sendiri diatur jelas dalamPasal 27 UU No.31/1999, sedangkan Komisi diatur dalam Pasal 43 UU yang sama. Kesimpulanmajelis hakim yang menyatakan bahwa TGPTPK berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) adalahbadan yang bersifat tetap, sepenuhnya merupakan penafsiran hakim yang sifatnya sangatrelative. Lagi pula, jika TGPTPK itu bersifat tetap sekalipun tidaklah terlalu prinsipil, sehinggaharus dianggap bertentangan dengan UU. Apalagi sifat keanggotaan TGPTPK yang tetap justrudiperlukan untuk membantu Jaksa Agung berdasarkan kebutuhan yang penilaiannya ditentukanoleh Jaksa Agung sendiri. Banyak lagi argument-argumen tandingan yang juga masuk akal yangdapat diajukan terhadap pertimbangan-pertimbangan majelis hakim tersebut.Namun demikian,argumen atau pertimbangan-pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalammemutus perkara pengujian materiel terhadap PP No.19/2000 itu harus diakui memangmempunyai dasar yang logis, terutama jika pertimbangannya melulu mendasarkan diri padapenerapan prinsip rechtsmatigheid . Akan tetapi, seperti diakui sendiri oleh majelis hakim,prinsip rechtsmatigheid itu harus diterapkan secara berimbang dengan prinsip doelmatigheid .Setiap aturan hukum mengandung di dalam dirinya tujuan yang hendak dicapai yang diidealkanmemberi manfaat (asas kemanfaatan) bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Nilai tujuanatau manfaat ini tidak boleh terganggu atau diabaikan begitu saja hanya karena soal cara danprosedur yang bersifat teknis. Namun, sebaliknya, tujuan juga tidak boleh menghalalkan segalacara ( the end may not justify the means ). Karena itu, penting sekali menemukan titik keseimbangan di antara keduanya.Majelis Hakim dalam pertimbangannya mengemukakan: suatu peraturan perundang-undangan tidak cukup hanya mendasarkan pada asaskemanfaatan/kebutuhan/ tujuan tertentu, namun juga harus sesuai dengan prinsip supremasi

  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    15/19

    hukum, , dan juga menyatakan: upaya pemberantasan korupsi harus didukungsepenuhnya dan harus diberantas secara tidak kepalang tanggung, tanpa memandang siapapunpelakunya, sesuai dengan asas kesamaan di depan hukum. Namun, asas tujuan kemanfaatanharus didampingi dengan penerapan asas legalitas . Dari kedua pernyataan tersebut jelas bahwamajelis hakim berada dalam posisi ingin memperjuangkan penerapan asas legalitas di samping

    asas tujuan dan kemanfaatan yang diasumsikan telah menjadi landasan yang kokoh bagiberdirinya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang eksistensinyaberdasarkan PP No.19/2000 digugat oleh Indra Sahnun Lubis dan kawan-kawan. Denganperkataan lain, secara psikologis, majelis hakim mempunyai posisi dan pandangan yang sejalandengan kepentingan pemohon uji materiel dalam upaya merumuskan keseimbangan antara

    prinsip doelmatigheid dan rechtsmatigheid .Sebaliknya, para pembela PP No.19/2000 dapatpula mengemukakan argument sebaliknya, yaitu prosedur dan tata cara teknis tidak seharusnyamenjadi penghalang untuk mencapai tujuan yang mulia memberantas tindak pidana korupsi.Kejahatan korupsi di Indonesia dinilai telah berurat berakar dalam keseluruhan sendi kehidupanmasyarakat Indonesia. Karena itu, bahayanya sudah melebihi dampak dan bahaya pelanggaranterhadap hak asasi manusia. Kejahatan korupsi itu bahkan dapat disetarakan dengan jenis

    pelanggaran hak asasi manusia yang berat ( gross violation of human rights ), yang biasa disebutsebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Jika, penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaranterhadap hak asasi manusia yang berat memerlukan mekanisme pengadilan yang bersifat khusus,yaitu pengadilan hak asasi manusia, maka sudah seyogyanya pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi ini dilakukan secara khusus pula dengan dibentuknya pengadilan khusus yangdilengkapi dengan institusi penyidik yang bersifat khusus pula. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dalam Undang-Undang No.31/1999 dan Tim GabunganPemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No.19Tahun 2000 tidak lain merupakan wadah khusus yang diperlukan dalam rangka penanganankasus-kasus tindak pidana korupsi dengan menggunakan cara-cara dan prosedur yang tidak biasadan tidak konvensional. Jika penanganan masalah kejahatan korupsi hanya dilakukan dengantatacara dan prosedur yang biasa, maka hasilnya dinilai tidak akan maksimal, atau malah tidak akan menghasilkan apa-apa. Apalagi, perkara yang dihadapi menyangkut hukum pidana, bukanperdata, yang dalam proses pembuktiannyapun cukup ditemukan kebenaran yang bersifat formilsaja. Dalam pembuktian perkara pidana, para hakim perlu menggali dan menemukan kebenaranmateriel di balik alat-alat bukti yang tersedia. Karena itu, majelis hakim sudah seharusnyamengutamakan lebih dulu asas kemanfaatan dan kemuliaan tujuan pemberantasan tindak pidanakorupsi itu, barulah mengimbanginya dengan jaminan penerapan asas legalitas.Kedua logikapemohon keberatan terhadap PP No.19/2000 dan logika pembela PP tersebut, pada pokoknya,sama-sama dapat dibenarkan secara hukum. Akan tetapi, para hakim haruslah benar-benarberdiri di tengah-tengah dan menyelesaikan perkara yang menyangkut pertentangan kepentingandi antara keduanya secara adil ( just ), bebas ( independent ) dan tidak memihak ( impartial ). Olehkarena itu, penting sekali artinya untuk mendudukkan lebih dulu secara proporsional mengenaiposisi hakimnya sendiri serta para pihak yang terlibat dalam persengketaan. Siapakah pemohondan siapakah para hakimnya. Apakah ada hubungan kepentingan antara keduanya, dan apakahhubungan kepentingan yang terdapat antara kasus yang terjadi dengan para pemohon.Pertama,apa sebenarnya yang menyababkan Indra Sahnun Lubis merasa sangat berkepentingan sehinggamereka mengajukan permohonan keberatan terhadap PP No.19/2000 tersebut. Atas dasarkepentingan apa sehingga mereka merasa terdorong untuk mengajukan permohonan. Apakahmurni atas dasar kepentingan hukum dalam arti norma yang bersifat umum ( general norms ) atau

  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    16/19

    atas dasar kepentingan membela dan melindungi warga negara yang terancam oleh eksistensiTim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan PP No.19/2000 tersebut. Jikapilihannya adalah yang terakhir, berarti kepentingan hukum yang terlibat di dalamnya berkaitandengan norma hukum yang nyata-nyata -- dengan meminjam istilah yang dipergunakan olehHans Kelsen dalam pandangannya mengenai stuffenbau- theorie -- bersifat konkrit dan

    individual ( concrete and individual norms ), bukan norma hukum yang bersifat umum ( generalnorms )[1]Dipandang dari latar belakang pengajuan permohonan keberatan atas PP No.19/2000tersebut, kasus ini jelas-jelas menyangkut kepentingan para pemohon yang mewakilikepentingan 2 orang hakim agung yang menjadi tersangka tindak pidana korupsi oleh TGPTPK.Sangat boleh jadi, kedua hakim agung tersebut memang tidak bersalah. Akan tetapi, ditinjau darisegi prosedur objektifnya, kepentingan hukum yang terkait dalam kasus ini menyangkut normahukum yang bersifat konkrit dan individual ( conrete and individual norm ), yaitu kepentingan 2orang hakim agung yang disangka melakukan tindak pidana korupsi, dan tidak secara langsungberkaitan dengan materi muatan PP No.19/2000 yang berisi norma yang berlaku umum ( generalnorms ). Oleh karena itu, penyelesaian perkara yang menyangkut kepentingan hukum yangbersifat konkrit dan individuil ( concrete and individual norms ) ini seharusnya tidak diselesaikan

    melalui pengujian terhadap PP yang berisi norma umum ( general norms ), melainkan dilakukanmelalui proses peradilan biasa. Dalam proses peradilan itu sudah dengan sendiri majelis hakim juga dapat mengesampingkan berlakunya suatu Peraturan Pemerintah yang dinilai oleh hakimbertentangan dengan Undang-Undang. Akan tetapi, putusan mengenai hal itu diambil oleh hakimdalam proses peradilan terhadap kedua terdakwa hakim agung tersebut.Upaya pengujian atasmateri suatu peraturan perundang-undangan malah seharusnya dibatasi, sehingga mekanismejudicial review tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang telah dinyatakan sebagaiterdakwa atau tersangka berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut. Dengan demikian,judicial review benar-benar digunakan sebagai upaya hukum yang dimaksudkan untuk penataan sistem hukum agar harmonis dan sinergis antara satu sama lain, baik secara horizontalmaupun vertical. Jika para pemohon terkait dengan kepentingan yang menyangkut norma yangkonkrit dan individual, maka seyogyanya hakim menolak permohonan yang bersangkutan, danmenganjurkannya menyelesaikan perkaranya terlebih dulu melalui proses peradilan biasa.Dengan demikian tidak timbul conflict of interests dalam upaya pembangunan dan penegakansistem hukum yang berkeadilan.Kedua, ketua majelis hakim yang mengadili perkara judicial review atas PP No.19 tahun 2000 itu adalah Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung yang sebelumnyapernah berperan sebagai penasehat hukum bagi kedua tersangka. Karena itu, mudah didugabahwa majelis hakim ini yang diketuai Paulus Effendi Lotulung akan berpihak dan tidak netral.Lebih-lebih, karena para tersangka adalah hakim agung, sudah tentu majelis hakim MahkamahAgung sendiri secara diam-diam akan berusaha keras membela kepentingan rekan sendirimelalui penyidangan permohonan uji materiel terhadap materi PP No.19/2000 tersebut, sebelumperkara kedua hakim agung itu sendiri disidangkan di pengadilan. Dengan begitu, prosesperadilan terhadap kedua hakim agung tersebut dapat dihindarkan, karena dasar hukum institusipenyidik terhadap keduanya, yaitu PP No.19/2000 telah dinyatakan tidak berlaku secarahukum.Pasal 42 ayat (1) dan (2) UU No.14/1985 jelas menentukan: seorang hakim tidak diperkenankan mengadili dimana ia berkepentingan baik langsung maupun tidak.. . Karena itu,Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung, SH sebaiknya tidak diperkenankan mengadili perkarajudicial review atas PP No.19/2000 sebelum perkara dua hakim agung itu sendiri diselesaikan.Bahkan, majelis hakim dan Mahkamah Agung sendiri seharusnya menolak permohonanpengujian materiel atas PP No.19/2000 tersebut sebelum, perkara tuduhan korupsi terhadap

    http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn1http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn1http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn1
  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    17/19

    kedua orang hakim agung yang terlibat itu diselesaikan secara hukum. Bahkan selama statusmereka berdua masih sebagai hakim agung, maka Mahkamah Agung sendiri tidak boleh dantidak mungkin bertindak sebagai hakim yang akan menjamin keadilan yang sejati. Prinsip-prinsip ini penting dijadikan pegangan karena hakim haruslah bekerja secara merdeka(independent ) dan tidak memihak (impartial ).

    Prinsip Doelmatig dan Rechtsmatig di Era Transisional Dalam rangka mencapai ataumenemukan titik keseimbangan antara prinsip doelmatigheid dan rechtsmatigheid sepertiyang dikemukakan di atas, selain factor subjek yang terlibat, yang juga penting diperhatikanadalah factor kondisi lingkungan strategik yang mempengaruhi proses penentuan keputusan yangadil dan tepat. Di dalamnya terdapat konteks ruang (space ) dan waktu ( time ) yang sangatmempengaruhi. Yang dimaksud dengan ruang disini dapat berupa ruang ke-Indonesiaan, ruangkedaerahan, ruang lokasi, ataupun ruang persidangan dimana perkara pengujian materiel itudisidangkan. Sedangkan yang dimaksud dengan konteks waktu disini dapat berupa waktu pagi,siang, sore, atau malam; dan waktu harinya, bulannya ataupun waktu dalam arti era dan zaman.Yang terakhir inilah yang saya anggap paling relevan untuk dibahas disini, berkenaan dengan

    kasus pengujian terhadap materi PP No.19/2000 terhadap UU No.31/1999.Perkara inidisidangkan dalam suasana zaman dimana pemerintahan negara kita bersifat transisional dariotoritarian menuju de mokrasi, dan dari era Rachtsstaat menuju era Rechtsstaat . Dalam prosestransisi itu, sistem demokrasi yang dipraktekkan masih harus disebut sebagai transitionaldemocracy , dan prinsip - prinsip keadilan yang ditegakkan masih bersifat transitional just ice .Rule of the game yang dipakai selama masa transisi itu juga bersifat transisional, alias belumsepenuhnya ideal. Sistem hukum dan konstitusi yang seharusnya dijadikan standard pengambilankeputusan untuk mewujudkan keadilan itu juga sedang mengalami reformasi dan penataankembali secara bertahap. Inilah yang menjadi hakikat era reformasi politik, reformasi ekonomi,dan reformasi hukum yang menjadi pesan gerakan reformasi nasional sejak tahun 1998. Memangbenar, masa transisi haruslah dibatasi secara tegas waktunya. Akan tetapi, dari segi hokum, batasera transisi itu sangatlah jelas, yaitu sampai dokumen hukum tertinggi, yaitu naskah Undang-Undang Dasar selesai diubah menjadi hukum dasar yang utuh. Sejak tahun 1999 sampai dengantahun 2001, UUD 1945 telah diubah tiga kali. Akan tetapi, perubahan itu dilakukan secaracicilan dan sepenggal-sepenggal, sehingga hasilnya belum belum bersifat utuh. Karena itu,keseluruhan naskah UUD 1945 yang asli ditambah tiga naskah Perubahan yang sudah disahkan,belum dapat difungsikan sebagai satu kesatuan konstitusi yang mengandung hukum dasar yangutuh. Sebelum konstitusi negara kita selesai dirumuskan menjadi hukum dasar yang utuh, sistemhukum Indonesia yang berdasarkan konstitusi belum dapat dikatakan utuh, dan karena itu masihbersifat transisiona l[1] .Karena konstitusinya saja belum utuh dan antara satu pasal dengan pasallainnya masih bersifat tumpang tindih dan bahkan kadang-kadang ada yang bersifat salingbertentangan satu sama lain, maka peraturan perundang-undangan di bawahnya juga masihbelum bersifat utuh. Sekarang ini, banyak Peraturan Pemerintah yang bertentangan denganUndang-Undang, baik karena kelemahan dalam perumusan PP tersebut ataupun karena UU nyasendiri dirumuskan lebih belakangan daripada PP yang bersangkutan. Kadang-kadang ada pulaPeraturan Pemerintah yang dirumuskan secara berbeda dari ketentuan suatu UU karena adanyakebutuhan yang nyata di lapangan yang materinya tidak mungkin dimasukkan ke dalam UUkarena UU sendiri baru disahkan. Dalam kasus-kasus demikian, Peraturan Pemerintah tersebutmemang dapat dinilai bertentangan dengan Undang-Undang. Akan tetapi, karena UUD sendiri

    juga sedangkan mengalami perubahan besar-besaran, dapat pula terjadi bahwa UU yang

    http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn1http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn1http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn1http://www.leip.or.id/artikel/77-ihwal-judicial-review.html#_ftn1
  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    18/19

    dijadikan dasar untuk menilai Peraturan Pemerintah tersebut di atas, juga ternyata bertentangandengan UUD yang baru saja diubah.Sebagai contoh, cukup banyak Peraturan Pemerintah yangditetapkan yang bertentangan dengan UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah. Misalnya PPNo.109/2000 dan PP No.110/2000. Akan tetapi, dengan adanya perubahan terhadap ketentuanPasal 18 UUD 1945 yang telah disahkan berdasarkan Perubahan Kedua UUD 1945, maka dapat

    dikatakan bahwa UU No.22/1999 itupun sudah bertentangan dengan UUD. Peraturan Pemerintahmemang dapat diuji oleh Mahkamah Agung. Tetapi, pengujian terhadap materi UU, berdasarkanketentuan Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945, merupakan kewenangan MahkamahKonstitusi. Akan tetapi, dalam waktu dekat, Mahkamah Konstitusi itu sendiri belum terbentuk,karena masih menunggu dibentuknya Undang-Undang yang khusus berkenaan dengan itu. Jikaberbagai PP yang dianggap bertentangan dengan UU dinyatakan tidak berlaku oleh MahkamahAgung, sedangkan UU belum dapat diuji materiel dalam waktu dekat ini, maka dapat saja terjadibahwa banyak PP yang dianggap bertentangan dengan ketentuan UU yang memang seharusnyasudah diubah berdasarkan ketentuan UUD yang baru, dapat dengan mudah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Agung. Padahal mungkin saja Peraturan Pemerintah tersebut justrusesuai dengan semangat UUD yang baru. Jika hal ini terjadi, maka dapat timbul kekacauan

    dalam sistem hukum Indonesia yang sangat membahayakan masa depan Negara Hukumkita.Contoh lain berkenaan dengan kondisi kekacauan dan tidak harmonis peraturan perundang-undangan negara kita di masa transisi ini yang berkaitan erat dengan kasus yang dibahas disiniadalah pertentangan antara ketentuan UU No.14 tahun 1985 dengan Peraturan Mahkamah AgungNo.1 tahun 1999 tentang tata cara pelaksanaan hak uji materiel. Menurut ketentuan Pasal 31 ayat(3) UU No.14/1985, hak uji materiel ( judicial review ) dilakukan melalui pemeriksaan kasasi.Dengan demikian, pengujian materiel dilakukan bertahap mulai dari pengadilan negeri,

    pengadilan tinggi, barulah sampai ke Mahkamah Agung. Tetapi, Pasal 2 ayat (1) huruf a danPasal 5 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa judicial review dapat dilakukan melaluipermohonan langsung ke Mahkamah Agung. Padahal menurut ketentuan Ketetapan MPR No.III/MPR/2000, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) jelas tidak boleh bertentangan denganUndang-Undang. Selain itu, banyak pula hal-hal yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung(PERMA) ini yang seharusnya menjadi materi muatan Undang-Undang ataupun yangbertentangan dengan ketentuan Undang-Undang. Misalnya, PERMA ini menentukan pembatasanwaktu pengajuan hak uji, yang berkaitan dengan hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangioleh suatu peraturan yang ditentukan sendiri oleh Mahkamah Agung. Semua ketentuan yangbertentangan ataupun yang seharusnya dituangkan dalam UU tetapi ditentukan sendiri olehMahkamah Agung dalam bentuk PERMA, semata-mata didasarkan atas pertimbangan asastujuan dan manfaat, dengan mengabaikan asas legalitas.Oleh karena itu, dalam masa transisikonstitusional dewasa ini, para hakim seyogyanya mempertimbangkan aspek-aspek yangmenyangkut prinsip-prinsip keadilan transisional ( transitional justice ), termasuk dalam mengujimateri Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Keseimbangan dalam penerapan prinsip doelmatigheid dan penerapan prinsiprechtsmatigheid dapat ditemukan, jika majelis hakim dapat mengembangkan penafsiran yangbersifat kontekstual. Sudah sangat jelas bahwa dimasa transisi ini, sistem hukum Indonesiasedang mengalami penataan kembali, maka sudah dengan sendirinya banyak sekali terdapatkekurangan disana-sini, sehingga prinsip rechtsmatigheid tidak dapat sepenuhnya diandalkanatau dijadikan andalan dalam mewujudkan keadilan. Karena itu, majelis hakim sudah seharusnyamengutamakan prinsip doelmatigheid dulu sebagai prioritas pertama, sambil tetap berusahamenerapkan prinsip rechtsmatigheid berdasarkan asas legalitas. Dengan demikian, hakim tidak

  • 7/31/2019 Yohanes Judicial Review

    19/19

    hanya menjadi mulut undang-undang dalam arti formal, tetapi lebih jauh lagi merupakan mulut,tangan, mata dan telinga serta sekaligus pencium rasa keadilan dalam arti yang lebih sejat