Xeroderma Pigmentosum

17
XERODERMA PIGMENTOSUM Oleh: Akhmad Ikhsan Prafita Putra, S.Ked. I. PENDAHULUAN Xeroderma pigmentosum (XP) disebabkan karena adanya gangguan genetik heterogen yang diturunkan secara autosomal resesif dengan manifestasi utama berupa fotosensitifitas, perubahan pigmen kulit, penuaan kulit premature, neoplasia, dan abnormalitas repair DNA. Penyakit ini tergolong langka dengan prevalensi 1-4 individu persatu juta penduduk (Pathy et al., 2005). Xeroderma pigmentosum terjadi pada semua etnik di dunia dan menyerang baik laki-laki maupun perempuan. Insidensi penyakit ini pada ras Indian dan Timur Tengah mencapai 1:10.000-30.000, Jepang 1:20.000- 100.000, dan di Eropa Barat 2.3 persatu juta kelahiran (Sethi et al., 2013). Xeroderma pigmentosum awalnya dikenalkan pada tahun 1874 oleh Hebra dan Kaposi dengan gambaran klinis yang timbul sejak lahir dan banyak terjadi pada anak- anak berupa perubahan pigmentasi kulit dan ocular seperti timbulnya bercak-bercak, fotofobia, konjungtivitis, ulkus kornea, dan keratitis kornea (Bhutto & Kirk, 2008). Tanda tersebut pada sebanyak 60% kasus hanya memunculkan adanya hiperfotosensitivitas yang dapat hilang dalam beberapa minggu dan sebanyak 40% kasus tidak memunculkan tanda hingga penderita 1

description

Xeroderma pigmentosum merupakan penyakit genetik autosomal resesif yang langka akibat adanya gangguan repair DNA yang rusak akibat radiasi sinar UV

Transcript of Xeroderma Pigmentosum

XERODERMA PIGMENTOSUMOleh: Akhmad Ikhsan Prafita Putra, S.Ked.

I. PENDAHULUAN

Xeroderma pigmentosum (XP) disebabkan karena adanya gangguan genetik heterogen yang diturunkan secara autosomal resesif dengan manifestasi utama berupa fotosensitifitas, perubahan pigmen kulit, penuaan kulit premature, neoplasia, dan abnormalitas repair DNA. Penyakit ini tergolong langka dengan prevalensi 1-4 individu persatu juta penduduk (Pathy et al., 2005). Xeroderma pigmentosum terjadi pada semua etnik di dunia dan menyerang baik laki-laki maupun perempuan. Insidensi penyakit ini pada ras Indian dan Timur Tengah mencapai 1:10.000-30.000, Jepang 1:20.000-100.000, dan di Eropa Barat 2.3 persatu juta kelahiran (Sethi et al., 2013).Xeroderma pigmentosum awalnya dikenalkan pada tahun 1874 oleh Hebra dan Kaposi dengan gambaran klinis yang timbul sejak lahir dan banyak terjadi pada anak-anak berupa perubahan pigmentasi kulit dan ocular seperti timbulnya bercak-bercak, fotofobia, konjungtivitis, ulkus kornea, dan keratitis kornea (Bhutto & Kirk, 2008). Tanda tersebut pada sebanyak 60% kasus hanya memunculkan adanya hiperfotosensitivitas yang dapat hilang dalam beberapa minggu dan sebanyak 40% kasus tidak memunculkan tanda hingga penderita berusia 2 tahun (Lehmann et al., 2011). Penyakit ini apabila tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya malignansi dan menjadi penyebab kematian utama bagi penderita (Bhutto & Kirk, 2008).Paparan sinar matahari merupakan faktor resiko utama dalam pathogenesis XP. Sinar ultraviolet A (UVA) dan B (UVB) dicuringai merupakan penyebab terjadinya gangguan DNA pada sel kulit sehingga paparannya berpotensi sebagai pemicu karsinogenesis pada kulit. Sinar UVA berperan dalam aktivasi pigmen melanin dan UVB berperan dalam sintesisnya. Sinar UVA mengganggu DNA sel dengan meningkatkan sintesis reactive oxygen species (ROS) dan peran UVB masih belum diketahui (WHO, 2014).Dampak psikososial merupakan masalah utama pada penderita XP. Penyakit ini akan berdampak jangka panjang pada aspek fisik, emosi, social, dan ekonomi sehingga merubah pola hidupnya. Kanker kulit pada usia awal akan berpengaruh pada kehidupan sekolah, aktifitas rekreasi, hubungan social, dan kemampuan mendapatkan pekerjaan. Selain itu, penerimaan akan sakit yang bersifat kronik dan adanya disabilitas menjadi perhatian utama. Penderita akan merasa cemas dan depresi akibat bermasalah dengan finansial dan rasa malu (NIH Clinical Center, 2006).

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. DefinisiXeroderma pigmentosum merupakan penyakit genetik autosomal resesif yang langka akibat adanya gangguan repair DNA yang rusak akibat radiasi sinar UV. Hal ini memunculkan manifesitasi klinik berupa malignansi mukokutaneus, bercak kulit, hiperfotosensitifitas (pada 50% kasus), dan neurodegenerasi (pada 30% kasus) (Sethi et al., 2013).Istilah xeroderma pertama kali dikenalkan oleh Moritz Kaposi sekitar 140 tahun yang lalu untuk mendeskripsikan kelainan pada kulit berupa kulit kering, keriput, dan bercak-bercak hiperpigmentasi. XP merupakan penyakit yang timbul sejak anak-anak yang tidak bisa sembuh spontan atau melalui pengobatan (Sethi et al., 2013).

B. EtiologiXeroderma pigmentosum merupakan penyakit yang bersifat autosomal resesif sebagai hasil dari mutasi 1 dari 8 gen (XP-A sampai G, dan V) yang terlibat pada proses repair eksisi nukleotida (nucleotide excision repair [NER]) untuk memperbaiki kerusakan sel akibat radiasi UV. Berikut adalah gen yang terlibat pada XP.

Gambar 2.1 Tabel Gen yang Berperan pada Patogenesis XP

C. PatofisiologiProtein XPC dan XPE berperan mengenali fotoproduk pada DNA. XPB dan XPD merupakan bagian dari kompleks TFIIH yang membuka struktur DNA sekitar fotoproduk. XPA menempatkan protein-protein tersebut benar sesuai dengan fungsinya dan selanjutnya XPG dan XPF memotong DNA pada sisi yang rusak sehingga bagian DNA yang rusak dapat diperbaiki.NER memiliki 2 macam mekanisme dalam proses repair DNA. Mekanisme cepat melalui transkripsi DNA fase aktif atau menjadi RNA dan repair genome luas melaui mekanisme lambat saat fase istirahat. XPC dan XPE hanya dibutuhkan pada mekanisme lambat dan protein yang lainnya dibutuhkan pada kedua mekanisme. Oleh karena itu, pasien yang memiliki defek genetik protein XPC atau XPE secara umum tidak mengalami luka bakar ekstrim dan abnormalitas neurologis yang parah.

Gambar 2.2 Model NER pada Perbaikan DNADefek pada XPV tidak berpengaruh pada NER. Replikasi DNA dibantu oleh DNA-polimerase. DNA-polimerase tidak mampu membantu replikasi apabila terjadi defek pada template DNA. Kerusakan sel akibat paparan UV terjadi melalui DNA-polimerasi yang dikode oleh gen PLOH yang termutasi pada pasien dengan kelainan XPV sehingga pada pasien dengan defek XPV juga tidak memunculkan kelainan luka bakar dan abnormalitas neurologis yang parah. Defek molecular pada sel XP terjadi akibat mutasi yang diinisiasi oleh paparan UV. Mutasi diwujudkan dalam bentuk hiperpigmentasi kulit dan kanker. Tumor pada XP juga berkaitan dengan mutasi p53 seperti tumor pada umumnya.

D. Gejala dan TandaXeroderma pigmentosum bersifat autosomal resesif dan penyebarannya tidak hanya pada satu ras ataupun negara. Akibat adanya hiperfotosensitifitas, area tubuh yang terpapar sinar matahari akan mengalami luka bakar yang berat atau pada pasien tanpa hipersensitifitas akan muncul bercak lentiginosa. Apabila paparan ini tidak dihentikan, maka kulit pada area yang terpapar akan peningkatan atau penurunan pigmentasi, penuaan kulit, dan kanker. Beberapa pasien akan mengalami abnormalitas neurologis progresif (Lehmann et al., 2011). Predileksi XP sesuai dengan area paparan sinar matahari. Area tersering meliputi hidung, pipi, dahi, dan di leher yang menyebar sampai dagu. Fotopobia mungkin muncul pada beberapa individu. Kulit akan mengering, keriput, dan atrofi apabila terus menerus terpapar sinar matahari. Bercak terus menerus bertambah jumlah dan warna semakin hitam. Macula hipopigmentasi merupakan ujud kelainan kulit yang muncul pertama kali dan diakhiri dengan telangiektasis. Terkadang juga muncul keratosis (Lehmann et al., 2011).Selain macula hipo- dan hiperpigmentasi, XP biasanya diikuti dengan malignansi melanosit in-situ, keratosit, dan terkadang karsinoma sel basal, karsinoma invasif sel skuamosa dan melanoma. Penderita XP memiliki factor resiko sebesar 10.000 kali untuk menderita karsinoma kulit non-melanoma dan 2.000 kali untuk menderita melanoma pada usia dibawah 20 tahun. Selain melanoma, penderita XP juga memiliki resiko 50 kali menderita neoplasma internal terutama pada saraf pusat (Lehmann et al., 2011).Abnormalitas ocular merupakan salah satu menifestasi penting pada XP. Kelainannya bisa terjadi pada palpebrae, kornea, dan konjunctiva. Injeksi konjunctiva yang terus menerus dapat memicu fotopobia. Apabila paparan UV terjadi terus menerus akan memicu terjadinya opasifikasi kornea, vaskularisasim dan neoplasma (epitelioma, karsinoma sel skuamosa, dan melanoma). Skuamous sel karsinoma juga dapat terjadi pada ujung lidah. Sebanyak 20-30% pasien menderita kelainan neurologis dan defisiensi intelektual akibat onset yang terlalu dini. Hal ini terjadi akibat adanya degenerasi progresif neuron sehingga menyebabkan tuli sensoris, ataksia, arefleksia, mikrosefali, dan gangguan gerak bola mata (Lehmann et al., 2011).Manifestasi klinis tergantung dari paparan radiasi sinar matahari dan proses natural terjadinya mutasi dengan mekanisme yang belum banyak diketahui. Oleh karena itu, XP meniliki bermacam-macam manifestasi klinis. Iklim panas, aktifitas luar, kulit terang, merokok, akses pelayanan kesehatan yang sulit, terlambat diagnosis, tidak memakai proteksi kulit berkaitan dengan perubahan pigmentasi multipel, timbulnya kanker kulit, dan mortalitas. Sementara itu pada kondisi yang berlawanan pada iklim sejuk, kehidupan indoor, kulit berwarna, diagnosis yang cepat, dan proteksi kulit yang baik berkaitan dengan kelainan kulit menengah. Namun, pada beberapa individu tidak memunculkan adanya reaksi luka bakar akut (Lehmann et al., 2011).

E. DiagnosisIndividu dengan XP pada awalnya akan memunculkan gejala berupa lentiginosis pada muka. Kondisi ini dapat dibantu dengan pemeriksaan kultur sel fibroblast kulit. Individu dengan XPV tidak memunculkan gejala hiperfotosensitifitas karena tidak ada defek pada NER. Sejauh ini, pemeriksaan untuk membedakan antara XP dan non-XP dapat menggunakan pemeriksaan yang dinamakan unscheduled DNA synthesis (UDS) menggunakan sel dari area yang rusak dan area sehat yang diambil melaui biopsy. Contoh hasil pemeriksaan UDS adalah sebagai berikut (Lehmann et al., 2011).

Gambar 2.3 UDS Assay XP dan non-XPGambaran sel fibroblast pada Gambar 2.2 di atas merupakan hasil dari UDS assay pada area normal (kiri) dan area yang rusak (kanan). Sel-sel tersebut berada pada fase proliferasi G1 dan G2. Individu dengan XP memiliki fibroblast dengan granul sitoplasma lebih sedikit dibandingkan sel fibroblast individu normal (Lehmann et al., 2011).Diagnosis antenatal dapat ditegakkan dengan analisis sel pada villi korionik atau sel amnion dari keluarga yang menderita XP. Sel kemudian dianalisis secara molecular (Lehmann et al., 2011).

F. Diferensial DiagnosisXeroderma pigmentosum pada kasus yang berat mudah ditegakkan dengan adanya gejala dan tanda yang telah diungkapkan sebelumnya. Tetapi pada kasus yang ringan, diagnosis dapat ditegakkan apabila individu mengalami perubahan pigmentasi hingga dewasa bahkan seterusnya (Lehmann et al., 2011).1. Solar Urtikaria, penyakit ini merupakan contoh hipersensitifitas terhadap paparan sinar matahari. Namun, gejala akan hilang beberapa jam setelah timbul dan ketika paparan berakhir.2. Eritropoietik Protoporfiria, merupakan erupsi kulit polimorfik akibat paparan sinar matahari. Tetapi tidak semua area yang terpapar mengalami erupsi.3. Cockayne Syndrome, berupa erithemal rash yang tidak disertai dengan perubahan pigmentasi yang khas seperti pada XP. Sindrom ini berkaitan dengan kakeksia dwarfisme dan defisiensi intelektual.4. Rothmund-Thompson Syndrome, berupa rash yang timbul akibat paparan sinar matahari tanpa disertai perubahan pigmentasi.5. Carney complex dan Leopard Syndrome, lesi hiperpigmentasi yang tidak berkaitan dengan paparan sinar matahari6. Peutz-Jeghers Syndrome, lentiginasi kulit area perioral dan akral

G. PenatalaksanaanSampai saat ini masih belum ada terapi definitif untuk penderita XP. Perubahan kulit yang terjadi akibat paparan sinar UV dan proteksi terhadap paparan UV diharapkan mampu mencegah perburukan. Hal-hal yang dapat dilakukan di antaranya (Lehmann et al., 2011):1. Semua jendela rumah, mobil, dan sekolah harus UV-resistant.2. Apabila keluar rumah menggunakan sunscreen dan pakaian tertutup.

Gambar 2.4 Proteksi Penderita XP

3. Rutin kontrol dermatologis dengan tujuan apabila terjapad lesi pre-kanker dapat segera ditangani4. Pemeriksaan neurologi rutin seperti pemeriksaan mata dan telinga.5. Suplementasi vitamin D untuk mencegah terjadinya defisiensi vitamin D6. Menghindari rokok, perokok, dan karsinogen lainnya7. Dukungan mental dari keluarga untuk menghindari depresi dan rendah diri karena penyakitnya.Terapi profilaksis berupa salep dapat diberikan untuk mencegah paparan sinar matahari yang berlebihan. Salep yang diberikan dapat berupa tinanium dioksida dan para-amino benzoate dalam alcohol. Pemberiannya dapat dilakukan sedini mungkin. Apabila sudah terjadi neoplasia kutaneus dapat dilakukan kuratase atau eksisi. Apabila eksisi tidak dapat dilakukan misalnya karena banyaknya lesi satelit dan kondisi kulit yang buruk maka dilakukan radioterapi paliatif (Pathy et al., 2005).

H. PrognosisPenderita XP memiliki prognosis baik apabila penyakitnya terdiagnosis sejak awal dan segera memperoleh tindakan. Namun, apabila sudah terjadi abnormalitas neurologis, harapan hidup pasien menjadi lebih pendek karena abnormalitas neurologis pada pasien XP bersifat progresif dan menyebabkan disabilitas (Lehmann et al., 2011).

III. KESIMPULAN

1. Xeroderma pigmentosum merupakan penyakit langka yang bersifat autosomal resesif berupa hiperfotosensitifitas terhadap paparan sinar matahari. Penderita XP mengalami kelainan repair DNA yang rusak akibat paparan sinar matahari. Repair DNA ini diperankan oleh XPA sampai XPG dan XPV.2. Sampai saat ini belum ada terapi definitive untuk XP sehingga hanya bisa dilakukan tindakan untuk mencegah perburukan.

REFERENSI

Cleaver JE. 2001. Xeroderma Pigmentosum: the First of the Cellular Caretakers. Experimental Dermatology, 16: 532-44

DiGiovanna JJ. & Kennerth HK. 2012. Shining a Light on Xeroderma Pigmentosum. Journal of Investigative Dermatology, 1-12

Feller L., Wood NH., Motswaledi MH., Khammissa RAG., Meyer M. & Lemmer J. 2010. Xeroderma Pigmentosum: a Case Report and Review of the Literature. Journal of Preventive Medicine and Hygine, 51: 87-91

Jan SN., Farid AK., & Bilal AK. 2011. Xeroderma Pigmentosum. Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan, 21(2): 93-6

Lehmann AR., David M. & Miria S. 2011. Xeroderma Pigmentosum. Orpanet Journal of Rare Diseases, 6(70): 1-6

Lin P. & Joseph CE. 2004. Topical Treatment of Xeroderma Pigmentosum. Jefferson Medical College, 29(8): 512-6

Liu Y., Youjie W., Antonio ER., Michael SS., Ji L., Steven MS. & Yue Z. 2008. Involvement of Xeroderma Pigmentosum Group A (XPA) in Progeria Arising from Defective Maturation of Prelamin A. Journal of Federation of American Society of Experimental Biology, 22: 603-11

Marwah N., Garg S., Chhabra S., Dayal S & Sen R. 2011. Malignant Melanoma in a Case of Xeroderma Pigmentosum. Egyptian Dermatology Online Journal, 7(2): 11

Miyauchi-Hashimoto H., Kazue K., Yoshihiro U., Kiyoji T. & Takeshi H. 2001. Carcinogen-induced Inflammation and Immunosuppression are Enhanced in Xeroderma Pigmentosum Group A Model Mice Associated with Hyperproduction of Prostaglandin E2. The Journal of Immunology, 166: 5782-91

National Institute of Health. 2006. Understanding Xeroderma Pigmentosum. Patient Information Publications, 1-7

Nayak RR., Gurudutt MK., Manjunath MK., Ajay RK., Susan D. & Roopashree. 2013. Ocular Surface Squamous Neoplasia in Xeroderma Pigmentosum. Online Journal of Health and Allied Sciences, 12(3): 1-2

Pathy S., Naik KK., Suman B., Sharma MC., Julka PK. & Rath GK. 2005. Squamous Cell Carcinoma of Face with Xeroderma Pigmentosa-A Case Report. Indian Journal of Medical & Paediatric Oncology, 26(1): 47-9Prandhan E., Padhye SP., Malla OK. & Karki KJD. 2003. Case of Xeroderma Pigmentosum with Well Differentiated Squamous Cell Carcinoma in the Eye. Kathmandu University Medical Journal, 1(4): 278-83

Rekaya MB., Olfa M., Amel M., Olfa R., Hela A., Rim K., Mohamed Z., Samir B., Ahlem A., Amel BO., Sonia A. & Mourad M. 2011. A Novel POLH Gene Mutation in Xeroderma Pigmentosum-V Tunisian Patient: Phenotype-genotype Correlation. Journal of Genetics, 90(3): 483-7

Saraswathy R. & Natarajan AT. 2000. Frequencies of X-ray Induced Chromosome Aberrations in Lymphocytes of Xeroderma Pigmentosum and Fanconi Anemia Patiens Estimated by Giemsa and Flourescence in situ Hybridization Staining Techniques. Genetics and Molecular Biology, 23(4): 893-9

Sethi M., Alan RL., & Hiva F. 2013. Xeroderma Pigmentosum: a Multidiciplinary Appoach. European Medical Journal of Dermatology, 1: 54-63

World Health Organization. 2014. Ultraviolet Radiation and the INTERSUN Programme. Diakses pada 27 Februari 2014 dari http://www.who.int

Zarate RN., Arias F., Bandres E., Cubedo E., Malumbres R. & Garcia-Foncillas J. 2006. Xeroderma Pigmentosum Group D751 Polymorphism as a Predictive Factor in Resected Gastric Cancer Treated with Chemo-radiotherapy. World Journal of Gastroenterology, 12(37): 6032-6

13