Working Paper Jamkesda
description
Transcript of Working Paper Jamkesda
Page 1 of 14
WORKING PAPER INISIATIF DAERAH DALAM MENGEMBANGKAN PROGRAM JAMINAN
KESEHATAN: POLA DAN PEMBELAJARAN Oleh : Chitra Retna S & Ermy Ardhyanti
I. Latar Belakang
Penganut system Negara kesejahteraan (welfare state) memaknai sistem jaminan sosial
sebagai kewajiban Negara dan bukti eksistensi Negara. Sistem jaminan sosial menurut Bank
Dunia dan ILO1 haruslah meliputi 3 lapis, yaitu : (1) bantuan sosial (social assistance), (2)
asuransi sosial dan (3) jaminan sosial sukarela (voluntary).
Sejarah sistem jaminan sosial di Indonesia dimulai pada Repelita 1974-1979 dengan
perluasan dan peningkatan distribusi jaminan sosial. TASPEN, dana pensiun bagi PNS secara
hukum diberlakukan tahun 1969. Tahun1971 diadakan sistem asuransi untuk buruh swasta
formal, ASTEK (Asuransi Tenaga Kerja) yang berubah menjadi JAMSOSTEK (Jaminan Social
Tenaga Kerja) pada tahun 1992. Sistem Jaminan Social kemudian berkembang ke sector
kesehatan dengan ASKES dan jaminan untuk ABRI (sekarang TNI). Fokus sistem jaminan
sosial masih pada Pegawai Negeri Sipil (PNS), buruh swasta formal dan anggota ABRI (TNI).
Sistem ini membiayai 15 juta dari 100 juta angkatan kerja, dari lebih dari 200 juta penduduk
Indonesia.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H menyatakan bahwa “ Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Dalam perspektif hak pula, Hal ini
sesuai dengan mandat yang dituangkan dalam Deklarasi PBB tentang HAM (1948), dan salah
satu turunannya berupa Kovenan Ekosob yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 2005
yaitu UU No. 11 tahun 20052 memuat hak-hak warga yaitu : (1) hak atas jaminan sosial,
termasuk asuransi sosial (Pasal 9), (2) hak atas standar kehidupan yang memadai (Pasal 11),
(3) hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat
1 Negara Tanpa Jaminan Sosial; Tiga Pilar Jaminan Sosial di Australia dan Indonesia, Michael Raper, TURC 2006
Bantuan social berfungsi sebagai jarring pengaman (safety net) untuk semua warga Negara, murni berasal dari penerimaan pajak
yang diatur oleh negara. Sedangkan asuransi social yang berasal dari kontribusi warga dikelola oleh swasta. Jaminan social
sukarela biasanya dalam bentuk tunjangan pensiun yang diadakan warga dengan insentif dari Pemerintah
2 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), Indonesia meratifikasi pada Oktober 2005
Page 2 of 14
dicapai (Pasal 12). Sebagai Negara Pihak dalam Kovenan, hak warga Negara menjadi
kewajiban bagi Negara untuk mewujudkannya.
Dalam konteks sistem jaminan sosial, Indonesia sejak kemerdekaannya tahun 1945 belum
pernah menerapkannya secara universal. Penyediaan jaminan kesehatan terdapat 3 program
asuransi :
1. Jamsostek : asuransi kesehatan untuk buruh swasta formal, melayani 1,5% penduduk
Indonesia.
2. Askes : asuransi kesehatan untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pensiunan PNS
serta anggota TNI dan keluarganya, meleyani 8% penduduk
3. JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) : dimulai tahun 2007, melayani
1,9% dari jumlah penduduk
Tanggal 28 September 2004 DPR mengesahkan UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) yang menjadi system jaminan yang lebih komprehensif, terdiri dari
dana pensiun, dana kematian, cacat akibat kecelakaan kerja dan dana kesehatan.
Desentralisasi dan Penanganan Urusan Kesehatan
Dalam UU No.22/1999 j.o UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pembagian
kewenangan untuk Pemerintah Kabupaten/Kota3 disebutkan dalam pasal 14 ayat (e)
penanganan bidang kesehatan. Dalam Permendagri No.13/2006 j.o Permendagri No.59/2007
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan bahwa kesehatan merupakan
salah satu urusan wajib dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Pula, sebagai salah satu sektor
pelayanan dasar selain sektor pendidikan. Sistem jaminan kesehatan, sebagai kebijakan yang
sangat erat terkait dengan pengentasan kemiskinan, merupakan salah satu agenda prioritas
3 Dijelaskan dalam pasal 14 UU No.32 tahun 2004 dijelaskan tentang
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang c. Penyelelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat d. Penyediaan sarana dan prasarana umum e. Penanganan bidang kesehatan
f. Penyelenggaraan pendidikan g. Penanggulangan masalah social h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah j. Pengendalian lingkungan hidup k. Pelayanan pertanahan l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil
Page 3 of 14
pemerintah.
Bagi Pemerintah Daerah, sektor kesehatan bermakna 2 hal, pertama, sebagai non profit
oriented yaitu sektor yang menjadi sektor yang bersifat pelayanan dasar dan merupakan
kewajiban Pemda dalam menyediakan pelayanan, kedua adalah sebagai revenue center atau
pusat pendapatan. Di hampir semua daerah, kontribusi PAD dari sektor retribusi kesehatan
berada dalam peringkat pertama (meliputi Retribusi Puskesmas, RSUD dll). Regulasi daerah
yang diperkenankan oleh UU No.32 tahun 2004 juga berimbas pada kewenangan
menentukan aturan yang berkaitan dengan upaya yang terkadang saling bertolak belakang.
Misalnya kebijakan kesehatan gratis di satu sisi dan mempertahankan/dan atau
meningkatkan PAD. 4
Pergulatan regulasi di tingkat Pusat pun mengakibatkan variatifnya bentuk penanganan
kesehatan (terutama untuk masyarakat miskin). Sebagai sistem yang masih sangat prematur,
sistem ini dihadapkan pula pada era dimana desentralisasi sedang mencari bentuk. Disatu sisi
terdapat begitu banyak inovasi daerah yang sangat kaya akan pelajaran. Akan tetapi disisi
lain, terdapat berbagai pertanyaan mendasar yang sangat mempengaruhi orientasi dan
proses pematangan sistem tsb, khususnya terkait peran pusat dan daerah. Sejauh mana
daerah-daerah telah mengembangkan sistem jaminan kesehatan daerah, dan apa faktor-
faktor yang mempengaruhi perbedaan perkembangan tsb? Apa permasalahan mendasar
yang dihadapi daerah saat ini?
Kertas kerja ini bertujuan memotret berbagai pola jamkesda yang saat ini dipraktekkan di 7
daerah studi, faktor-faktor yang mempengaruhi, serta mengangkat persoalan-persoalan
mendasar yang dihadapi daerah. Analisa dilakukan dengan melihat sejauh mana aspek-aspek
penting dari sistem, seperti: orientasi sistem, kepesertaan, cakupan layanan, kelembagaan,
dan pembiayaan, dilihat dari sudut pandang asuransi sosial, dan posisinya terhadap program
yang dikembangkan pemerintah pusat (Jamkesmas).
Ke-7 daerah yang merupakan wilayah studi adalah: kota Solo, kota Jogjakarta, kabupaten
Purbalingga, kota Semarang, kabupaten Kendal, kabupaten Magelang, dan kota Pekalongan.
Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif, meliputi analisis isi atas berbagai dokumen
4 Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah penyumbang PAD terbesar (31,41% dari total PAD RAPBD 2008
Kabupaten Magelang). Mengalami kenaikan signifikan (sebesar 44,67%) dari Rp. 15,2 M di tahun 2007 menjadi Rp. 21,9 M.
Page 4 of 14
terkait, wawancara mendalam, FGD (regional workshop) serta expert meeting sebagai upaya
triangulasi dan penajaman. Studi dilakukan selama 4 bulan, sejak Januari s/d April 2009.
Kotak 1: Profil Daerah
Ke-7 wilayah studi merupakan daerah sedang dengan penduduk antara 400.000 sampai
700.000 jiwa, kecuali Purbalingga & Semarang yang memiliki penduduk diatas 1 juta jiwa.
Proporsi penduduk miskin berkisar antara 17% sampai dengan 35%. Capaian IPM relatif
merata, antara 72 sampai dengan 77.
Kapasitas fiskal rata-rata sedang, dilihat dari besaran APBD tahunan yang berkisar antara 600
milyar dan 800 milyar, kecuali Semarang yang berjumlah diatas 1 trilyun.
Solo, Jogjakarta, Purbalingga dan Pekalongan memiliki kepala daerah yang sering
dikategorikan 'champion' atau inovator, dan termasuk daerah-daerah pertama yang
menyelenggarakan pilkada secara langsung.
III. Perbandingan Pola: Inovatif, Pemula dan Pra-Jamkesda
Perbandingan dan analisa sistem yang dikembangkan ke-7 daerah difokuskan pada tiga
aspek penting, yaitu: prinsip dan orientasi sistem, kelembagaan, dan pembiayaan. Prinsip dan
orientasi sistem menyangkut cakupan kepesertaan, cakupan layanan, dan mekanisme
pelayanan. Kelembagaan menyangkut dasar hukum dan institusi pengelolaan. Sedangkan
pembiayaan menyangkut besaran, sumber, dan aturan main yang berlaku.
Berdasarkan perbandingan dan analisa atas aspek-aspek diatas, ditemukan adanya 3 pola
atau kelompok daerah, yaitu: (I) Kelompok Jamkesda Inovatif (ii) Kelompok Jamkesda Pemula,
dan (iii) Kelompok Pra-Jamkesda (Komplementer Jamkesmas)
Kelompok Jamkesda Inovatif
Tiga daerah, yaitu Purbalingga, Solo dan Jogjakarta, adalah kelompok daerah yang telah
memiliki sistem Jamkesda relatif inovatif, yaitu program yang tidak hanya melengkapi
program Jamkesmas dari Pemerintah Pusat namun mengembangkan varian yang memiliki
ketercakupan lebih universal (tidak hanya masyarakat miskin) dengan kata lain menjadi
Page 5 of 14
sistem jaminan kesehatan yang lebih maju dibandingkan program Jamkesmas (pusat).
Kelompok Jamkesda Pemula
Dua daerah, yaitu Semarang dan Kendal, dikategorikan Kelompok Jamkesda Pemula karena
ke-2 daerah ini telah mulai mengembangkan program Jamkesda, walau saat ini masih
bersifat melengkapi program Jamkesmas (komplementer). Ditujukan untuk pembiayaan
kuratif bagi masyarakat miskin yang tidak tercakup dalam kuota Jamkesmas. Masing-masing
dibiayai oleh APBD dengan system “fee for service” pada pelayanan Puskesmas dan Kelas III
RSUD untuk Rawat Inap.
Kelompok Pra-Jamkesda
Dua daerah lainnya, yaitu Magelang dan Pekalongam, mirip dengan kelompok kedua, tetapi
saat ini baru sampai pada tahap inisiatif untuk mengalokasikan APBD sebagai tambahan bagi
Jamkesmas, belum sampai tahap merancang skema jaminan kesehatan daerah.
Dibawah ini disajikan perbandingan dan analisa atas beberapa aspek kritis, yang
menunjukkan adanya ketiga pola diatas. Detil informasi disajikan pada Lampiran 1.
Bentuk dan dasar hukum
Kelompok Jamkesda Inovatif, telah mendesain dan melaksanakan program jaminan
kesehatan daerah dengan nama spesifik, yaitu: Jamkesda untuk Jogjakarta, PKMS untuk
Solo, dan JPKM untuk Purbalingga. Daerah-daerah ini juga telah mengukuhkan
programnya melalui aturan hukum yang mengikat, yaitu Perda (kecuali Jogjakarta,
berupa Perwal). Aturan hukum tsb menjamin kontinuitas program walaupun kelak
terjadi pergantian kepala daerah ataupun birokrasi.
Kelompok Jamkesda Pemula, telah menggunakan tajuk jaminan kesehatan daerah
bagi programnya, yaitu: Jamkesmaskot untuk Semarang, dan Jamkesmasda untuk
Kendal. Walaupun demikian, program ini masih didesain untuk mengikuti pola
Jamkesmas, yaitu hanya untuk kelompok miskin, tetapi dengan cakupan yang lebih luas
(menambah kuota untuk maskin ataupun tambahan perawatan yang tidak tercakup
dalam Jamkesmas). Anggaran daerah yang dialokasikan relatif besar (6 – 9 milyar).
Aturan hukum yang memayungi masih berupa Perbub dan Perwal. Sebenarnya
Semarang juga telah membuat Perda, akan tetapi hanya berisi jaminan pembebasan
Page 6 of 14
biaya puskesmas dan biaya rawat inap RS kls III, bukan berupa model lengkap
Jamkesda.
Kelompok Pra-Jamkesda, belum menggunakana tajuk Jamkesda dan masih berupa
program, walaupun telah mulai mewacanakan perlunya membangun Jamkesda. Sama
seperti kelompok pemula, program ini masih didesain untuk mengikuti pola
Jamkesmas, yaitu hanya untuk kelompok miskin (non-jamkesmas), tetapi dengan
cakupan tambahan (peserta maupun layanan) yang lebih kecil dibanding kelompok
pemula. Anggaran daerah yang dialokasikan pun masih relatif kecil (< 1 milyar). Fokus
utama program adalah meng-cover kelompok miskin yang tidak termasuk dalam kuota
Jamkesmas, atau membiayai perawatan tertentu yang tidak termasuk dalam paket
Jamkesmas. Payung hukum yang dipakai masih berupa Perbub.
Orientasi, kepesertaan, dan layanan
Kelompok Jamkesda Inovatif sejak awal telah dirancang untuk tidak hanya
melengkapi Jamkesmas (Pusat), tetapi juga bergerak lebih jauh dalam rangka
menyediakan jaminan kesehatan bagi seluruh warganya (universal). Bila Jamkesmas
hanya meliputi kelompok miskin, maka kelompok daerah ini telah memperluas
cakupan kepesertaan mencakup kelompok miskin dan non-miskin. Kelompok maskin
yang dicakup adalah maskin non-Jamkesmas, yaitu kelompok miskin yang tidak
tercakup dalam kuota Jamkesmas. Perluasan kepesertaan Ini sesuai dengan cita-cita
ketiga daerah untuk memiliki jaminan kesehatan yang universal, atau mencakup semua
penduduk. Purbalingga bahkan telah memulai menyusun Perda mengenai kepesertaan
wajib (mandatory), yang saat ini masih pada tahap konsultasi (khususnya dengan
pemerintah pusat). Selain itu Purbalingga menciptakan sistem pendataan dan verifikasi
lapangan yang melibatkan kader-kader dari Bapel (Badan Pelaksana) di tiap desa,
sehingga menjamin akurasi data.
Kelompok Jamkesda Pemula dan Kelompok Pra-Jamkesda menjadikan maskin-non-
jamkesmas sebagai target peserta program, karena masih banyak kelompok miskin
yang tidak tercakup dalam kuota Jamkesmas (ditentukan oleh pusat berdasarkan
masukan kabupaten). Data yang digunakan untuk menentukan kepesertaan adalah data
pemda sendiri. Selain itu beberapa daerah menggunakan verifikasi tambahan, bahkan
hingga ke lapangan, untuk menentukan kepesertaan.
Page 7 of 14
Cakupan Layanan
Ketiga kelompok daerah ini pada dasarnya memberikan pelayanan (jenis perawatan,
obat, yang ditanggung program) yang, walau disana sini ada perbedaan, tidak berbeda
terlalu jauh dengan Jamkesmas. Inovasi menarik terdapat di Solo, dimana layanan
kesehatan peserta Gold (maskin) justru lebih banyak dibandingkan peserta Silver (non-
maskin). Ini muncul dari pemikiran bahwa kelompok maskin justru harus menjadi
prioritas dan bukannya kelompok tersisih, sehingga bahkan penamaan kartu-pun
dibuat memprioritaskan maskin.
Kelembagaan Kelompok Jamkesda Inovatif menggunakan dua pilihan institusi, yaitu UPT (berada
dibawah Dinas, Jogja dan Solo), dan Bapel (Purbalingga). UPT menjadi pilihan karena
'aman' dari sisi hukum, walaupun mulai dirasakan ruang geraknya kurang untuk
mengembangkan sistem Jamkesda selanjutnya. Purbalingga memilih Bapel, karena
lembaga ini sudah digunakan sejak pilot project JPKM (2002), dan dianggap institusi
yang tepat menjalankan fungsi Jamkesda-nya yang sudah berkembang.
Kelompok Jamkesda Pemula dan Kelompok Pra-Jamkesda belum memiliki
kelembagaan khusus untuk menjalankan programnya, karena masih berupa program
didalam Dinas Kesehatan.
Sumber Pembiayaan
Kelompok Jamkesda Inovatif menunjukkan variasi pembiayaan (dari APBD) yang
menarik. Jogja dan Solo, menunjukkan trend anggaran yang terus meningkat, bahkan
Solo memulai dengan anggaran yang sudah fantastik besarnya (16,5 milyar). Sebaliknya
Purbalingga, karena model sistemnya yang mengiur, relatif stabil, hanya sampai kisaran
2,8 M (2008). Selain itu di Purbalingga, anggaran yang berasal dari iuran (non-maskin
dan paska maskin) menjadi lebih dominan sebagai sumber pembiayaan dibanding
subsidi APBD.
Kelompok Jamkesda Pemula mengalokasikan anggaran yang relatif besar, bahkan
anggaran Semarang lebih besar dari Kelompok Inovatif (9 milyar). Semua anggaran
terserap untuk pembayaran pelayanan kelompok miskin.
Kelompok Pra-Jamkesda mengalokasikan anggaran relatif kecil, berkisar antara 720 –
750 juta (2008).
Mekanisme Ketiga kelompok daerah ini pada dasarnya tidak menunjukkan perbedaan variasi dari
Page 8 of 14
Pembayaran sisi mekanisme pembayaran, dibandingkan pola Jamkesmas, yaitu menggunakan
prinsip fee for service (dimana pembayaran didasarkan pelayanan yang diberikan)
untuk PPK II (RS) dan kapitasi untuk PPK I (Puskesmas). Belum ada satu daerahpun
yang menerapkan sistem managed care (pembayaran diberikan dan dikelola oleh
pemberi layanan, RS/Puskesmas).
Dari sisi pembayaran ke unit pelayanan, hampir semua memiliki pola yang sama
dengan Jamkesmas, yaitu pembayaran dilakukan oleh Dinas Kesehatan langsung ke PPK
I dan PPK II. Kecuali Jogja yang masih melakukan pola reimbursing, yaitu pasien
membayar dulu biaya untuk kemudian diganti (klaim) oleh Dinas. Ini membuat beban
bagi pasien.
Contoh menarik juga dilakukan Purbalingga, yang berani memakai sistem kapitasi baik
untuk PPK I (puskesmas) maupun PPK II. Premi yang dibayar peserta dibagikan
dengan pembagian: puskesmas (37.000), puskesmas ranap (5.300), RSUD (47.700)
dan Bapel (10.000).
IV. Faktor Berpengaruh, Tantangan dan Masalah
Mencermati dinamika perkembangan sistem jaminan kesehatan daerah diatas, pertanyaan
penting yang muncul adalah: faktor-faktor apa sebenarnya yang secara signifikan
mempengaruhi dinamika tersebut? Apa yang mendorong suatu daerah memilih
mengembangkan Jamkesda, bahkan jauh melebihi pusat, sementara daerah lain memilih
mengalokasikan sejumlah besar anggaran untuk membangun Rumah Sakit, misalnya,
ketimbang mengembangkan Jamkesda? Dibutuhkan satu penelitian lain yang lebih mendalam
untuk mengungkap faktor-faktor determinan tsb, tetapi hasil FGD dan analisa mendalam
dengan stakeholder terkait menunjukan beberapa bukti awal yang menarik.
Pertama, komitmen dan inovasi kepala daerah.
Empat kepala daerah dari ke-7 daerah tsb dikenal sebagai seorang 'champion', atau kepala
daerah yang inovatif dan berani, yaitu Solo, Jogjakarta, Purbalingga dan Pekalongan. Kepala
daerah hasil pemilihan langsung di empat daerah ini dikenal memiliki komitmen tinggi,
wawasan yang luas, dan berani mengambil langkah inovatif walaupun menghadapi banyak
Page 9 of 14
kendala. Walaupun demikian, kasus Pekalongan menjadi sebuah pertanyaan tersendiri,
mengingat Pekalongan memilih menganggarkan puluhan milyar selama tiga tahun terakhir
untuk membangun Rumah Sakit Daerah dibanding mengembangkan Jamkesda yang inovatif.
Pilihan terhadap pembiayaan kesehatan yang dilakukan Purbalingga dengan JPKM pun
beresiko dari sisi regulasi, yaitu substansi dari JPKM sebagai pra-asuransi yang akan
bertabrakan dengan UU Asuransi. Namun, resiko tersebut tak membuat Bupati Purbalingga
menghentikan program JPKM. Pilihan bentuk kelembagaan juga yang membuat beberapa
daerah misalnya Yogya, Solo memilih UPT, sedang yang lain seperti Magelang, Kendal, Kota
Semarang, berada dalam tubuh Dinas Kesehatan.
Kelemahan factor komitmen ini adalah persoalan sustainabilitas program. Pada saat
pergantian kepemimpinan akan berakhir pula komitmen. Akan lebih baik bila komitmen
dilanjutkan dengan regulasi yang lebih mengikat secara administratif dan hukum (misalnya di
dalam Perda).
Kedua, dukungan legislatif yang memadai.
Dukungan kuat dari legislatif atas ide Jamkesda memang terjadi di kelompok pertama, yaitu
Solo, Jogjakarta dan Purbalingga. Walaupun di Solo sempat terjadi perdebatan cukup panas
sebelum PKMS diluncurkan di Solo, tetapi isu perdebatan lebih mengenai besaran premi.
Walikota Solo menginginkan seluruh biaya disubsidi APBD, tetapi dewan berkukuh harus ada
iuran peserta, yang akhirnya diterima walau jumlahnya sangat kecil untuk disebut sebagai
premi. Di Purbalingga, dukungan meluas secara mudah dicapai karena telah adanya proyek
JPKM sejak 2002.
Dukungan legislative ini erat kaitannya dengan factor politik, yaitu relasi antara legislator
dengan konstituen maupun dengan masyarakat secara umum. Elektabilitas seorang calon
legislator juga akan ditentukan oleh isu populis yang diperjuangkan, dalam hal ini, kesehatan
gratis adalah menu yang sangat mudah dijumpai dalam janji caleg karena menyangkut
kepentingan seluruh rakyat. Jadi, mewujudkan kesehatan gratis, selain komitmen moral, juga
akan menjadi salah satu investasi politik di masa depan.
Ketiga, kuatnya tuntutan civil society.
Adanya civil society yang matang ditemui di dua daerah, yaitu Solo dan Jogjakarta. Semenjak
desentralisasi, dorongan dari kalangan masyarakat sipil di Kota Solo dan Yogyakarta untuk
Page 10 of 14
penyelenggaraan kesehatan gratis dan berkualitas sangat kuat. Faktor dinamisasi masyarakat
sipil banyak terlihat pada wilayah berbentuk Kota, dimana banyak kelompok penekan yang
tumbuh (akademisi, mahasiswa, wartawan, LSM, Ormas), sehingga control terhadap
Pemerintahan kuat dan perubahan terhadap kebijakan lebih cepat terjadi. Untuk
Purbalingga, sebagai daerah dengan inovasi paling depan, tampaknya lebih didorong oleh
pengaruh pilot project JPKM dibandingkan pengaruh tuntutan civil society.
Selain ketiga faktor diatas, terdapat beberapa masalah mendasar yang dihadapi daerah dalam
mengembangkan Jamkesda.
Pertama, ketidakjelasan lembaga pelaksana.
Daerah Kelompok Jamkesda Inovatif adalah daerah yang berani menabrak atau mengambil
langkah ditengah ketidakjelasan pemerintah pusat atas desain besar jaminan kesehatan
Indonesia, khususnya menyangkut dasar hukum institusi pelaksana. Di tengah perdebatan
besar mengenai bagaimana bentuk BPJS (Badan Pelaksana Jaminan Sosial), Purbalingga
berani tetap mempertahankan bentuk Bapel. Hal ini khususnya didorong oleh 'kemenangan'
atas Judicial Review UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang mencabut pasal mengenai
dominasi PT Askes sebagai satu-satunya institusi pelaksana. Saat ini langkah lain yang juga
menjadi tonggak bagi percobaan daerah, adalah upaya Purbalingga untuk membuat Perda
mengenai aturan wajib kepesertaan bagi seluruh penduduk (mandatory).
Kedua, masalah portabilitas.
Isu portabilitas menyangkut bagaimana pelayanan diakses oleh warga yang bukan penduduk
resmi suatu daerah. Berbeda-bedanya cakupan dan kualitas pelayanan yang diberikan oleh
Jamkesda masing-masing daerah, dan aturan yang mengharuskan pelayanan hanya diberikan
pada penduduk resmi daerah tsb, menyebabkan sejumlah pihak menganggap jaminan
kesehatan sebaiknya dilakukan secara sentralistik. Isu ini merupakan ganjalan besar bagi
inovasi yang dilakukan daerah-daerah, dan hingga kini belum terpecahkan.
Misal Kota Semarang, dalam Perwal disyaratkan bahwa yang dapat mengakses Jamkesda adalah
yang ber-KK dan berdomisili di Kota Semarang. Alasannya adalah untuk mengontrol moral
hazard penduduk non-Semarang menyeberang untuk mendapatkan pelayanan gratis.
Bagi daerah yang berbentuk Kota (Solo, Yogya, Semarang), yang memiliki kompleksitas masalah
Page 11 of 14
perkotaan karena derasnya mobilitas antar daerah dan peboro akan sangat rentan bagi
pertumbuhan kemiskinan baru non-penduduk. Seperti fenomena gunung es yang akan
menimbulkan dampak pada pertumbuhan penyakit-penyakit khas (HIV/AIDS), masalah social
lainnya serta hukum (perdagangan manusia/human trafficking). Peran dari Provinsi adalah
salah satu rekomendasi dari isu portabilitas ini. Contohnya : Provinsi DI Jogjakarta memiliki
Jamkesos. Hal ini dapat mengatasi masalah portabilitas di level antar daerah (eksternalitas
regional). Perjanjian antar daerah (biasanya diwadahi dalam Kerjasama Antar Daerah) belum
menyentuh pada portabilitas pelayanan dasar. Padahal semua Warga Negara berhak mendapat
pelayanan kesehatan.
Ketiga, keberlanjutan dari sisi finansial.
Isu penting dari keberlanjutan inovasi daerah adalah isu finansial. Solo dan Semarang, adalah
dua contoh daerah yang dianggap 'sangat berani' mengalokasikan sejumlah besar anggaran
untuk membiayai program ini, khususnya Semarang yang sebenarnya cakupan pelayanan
belum seluas Solo, Jogjakarta atau Purbalingga. Di Solo sejumlah pihak khawatir dengan
'ketahanan' APBD ke depan, khususnya karena trend alokasi program ini pastinya terus
meningkat (seperti sinyalemen yang mungkin juga dialami oleh Jembrana). Ini karena nyaris
seluruh biaya disubsidi oleh pemerintah daerah, sementara sistem pembayaran yang masih
menggunakan pola 'fee for service' akan mengurangi kontrol biaya. Sebaliknya Purbalingga
merupakan contoh yang lebih baik, karena dukungan iuran warga membuat subsidi
pemerintah terhadap program terkontrol dan justru belakangan menurun.
Keberlanjutan dari sisi financial dipengaruhi pula oleh tren menurunnya Dana Perimbangan
(DAU), pada tahun anggaran 2009 dengan kenaikan gaji PNS sebesar 15%, namun DAU hanya
naik 7%. Padahal peruntukan DAU adalah untuk belanja tidak langsung yang sifatnya fix cost
seperti gaji pegawai. Resikonya adalah belanja langsung atau belanja pembangunan yang akan
dikurangi untuk menutupnya. Di lain pihak, komitmen menggratiskan kesehatan akan
menghilangkan sebagian besar PAD dalam bentuk retribusi pada sektor kesehatan.
Bila pembiayaan kesehatan menggantungkan pada APBD semata, pada kondisi dimana
terdapat external shock seperti turunnya DAU, akan menjadikan ketidakpastian pembiayaan
pada jangka panjang, karena tergantung pada bagaimana kondisi pada saat APBD ditetapkan.
Page 12 of 14
Keempat, kapasitas fiscal
Kapasitas fiscal berkaitan erat dengan kemampuan daerah dalam APBD serta kewajiban yang
harus ditanggung. Dalam beberapa daerah dengan kapasitas fiscal besar, sebagian besar
adalah daerah berbentuk Kota (Semarang, Solo, Yogyakarta), walaupun Kabupaten Kendal
juga mengalokasikan anggaran yang besar. Di daerah seperti Kabupaten Magelang, dengan
penduduk 1,3 juta dan APBD sejumlah 800-an M. Argumentasi rendahnya belanja langsung
adalah kewajiban daerah dalam menanggung dampak peraturan, seperti di PP No.72 yang
mengamatkan pe
V. Kesimpulan
Ditengah ketidakpastian mengenai desain dan aturan sistem jaminan kesehatan yang akan
diterapkan di Indonesia, beberapa daerah telah mulai mengembangkan inovasi yang
beragam. Disatu sisi, analisa diatas menunjukkan bahwa ketersediaan anggaran bukanlah
faktor determinan yang utama. Kapasitas fiskal daerah yang relatif sama, memunculkan
variasi model yang kaya ragamnya. Akan tetapi ketersediaan anggaran tanpa desain yang
matang dan efisien juga bisa menimbulkan jebakan finansial di masa depan, yang
mengancam sustainabilitas pelayanan.
Di sisi lain, tampaknya perkembangan inovasi diatas justru lebih dipengaruhi oleh faktor-
faktor non-anggaran. Komitmen kepala daerah, dukungan politik dan keaktifan civil society,
mungkin hanya sebagian dari faktor-faktor internal yang mempengaruhi dinamika.
Sebaliknya, posisi pemrintah pusat justru tidak menjadikan inovasi daerah berkembang,
karena ketidakjelasan aturan main terkait sistem jaminan kesehatan.
Page 13 of 14
Lampiran 1: Profil Jaminan Kesehatan Masing-masing Daerah Studi
Purbalingga merupakan daerah yang tergolong paling awal menerapkan sistem ini (2002).
Bermula dari penyelenggaraan program JPSBK pada tahun 2001, yang dikelola oleh lembaga
berupa Badan Penyelenggara (Bapel). Program ini menjadi pemicu Bupati dan jajarannya untuk
mengembangkan program sejenis tetapi dengan orientasi yang lebih maju. Cakupan
kepesertaan total saat ini berkisar antara 60.000 – 70.000/tahun (5%) dengan premi sebesar
Rp 100.000/jiwa/tahun. Kepesertaan terbagi atas tiga kelompok: (i) maskin, premi disubsidi
penuh oleh pemda (ii) paska maskin, premi disubsidi pemda setengahnya, sisanya dibayar
peserta (Rp 50.000) (iii) non-maskin, mengiur premi utuh.
Jogjakarta memulai program pada tahun 2005, berpayung peraturan walikota (Perwal).
Cakupan kepesertaan saat ini sekitar 70.000 (20%). Jogjakarta berbeda dari daerah lain,
menambahkan kelompok khusus sebagai sasaran program, yaitu kelompok yang dianggap
menjadi bagian dari kepemerintahan daerah dan kelompok rentan (PKK, RT/RW, penderita
penyakit tertentu, ibu hamil, dll) yang mencerminkan karakteristik daerah urban. Untuk
Jogjakarta kepesertaan non maskin belum berjalan.
Pencakupan jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin di Jogjakarta juga dibagi dengan
Provinsi dengan program Jamkesos.
Solo termasuk baru memulai program, yaitu pada tahun 2007, dengan payung hukum berupa
Perda. Cakupan kepesertaan total saain ini sekitar 150.000 (35%). Kepesertaan Solo terdiri dari
Kelompok Gold (maskin), dengan iuran premi sebesar Rp 1.000/jiwa/tahun disubsidi
pemerintah, dan Kelompok Silver (non-maskin) yang mengiur Rp 4.000/jiwa/tahun. Dengan
pola seperti itu Solo sudah masuk pada inisiasi Universal Coverage
Page 14 of 14