Working Paper

56
Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB EVALUASI PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU SEBAGAI INFRASTRUKTUR HIJAU DI KOTA BANDUNG DAN CIREBON oleh Theodorus Brahmantyo dan Iwan Kustiwan Abstrak Ruang terbuka hijau (RTH) dalam konteks ekosistem yang lebih luas (ekoregion) sangat penting bagi kehidupan kota. Penyediaan RTH kota saat ini masih menjadi masalah bagi beberapa kota di Indonesia khususnya kota-kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi karena berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap kota harus menyediakan RTH minimal 30% dari luas kota. Selain itu, penyediaan RTH ternyata juga terkendala pada posisi suatu kota dalam daerah aliran sungai (DAS). Kota pada bagian hulu sungai memiliki potensi penyediaan RTH yang lebih besar daripada kota pada bagian hilir sungai. Kota pada bagian hulu sungai diyakini dapat memiliki potensi penyediaan RTH yang lebih besar karena memiliki kondisi alam yang lebih baik. Oleh karena itu, tujuan utama dari penelitian ini adalah mengevaluasi perbedaan luas ruang terbuka hijau (RTH) aktual dan potensial di Kota Bogor dan Cirebon. Kota Bogor dipilih karena terletak pada hulu sungai dan Kota Cirebon sebagai kota yang terletak pada hilir sungai. Analisis dan perhitungan RTH aktual dalam penelitian ini didasarkan pada dua peraturan tentang pedoman penyediaan RTH di Indoensia saat ini, yakni Permendagri Nomor 01 Tahun 2007 dan Permen PU Nomor 05 Tahun 2008. Analisis penyediaan RTH potensial didasarkan pada hasil dari content analysis yang telah menghasilkan pembagian jenis RTH baru. Dari hasil penelitian ini, didapatkan hasil bahwa Kota Bogor dan Cirebon saat ini telah memiliki ruang terbuka hijau lebih dari 30% luas kota, yakni Kota Bogor seluas 54,67% dan Kota Cirebon seluas 34,36%. Selain itu, hasil perhitungan juga menyatakan bahwa Kota Bogor mampu menyediakan RTH potensial yang lebih luas daripada Kota Cirebon, yakni 3.550,79 Ha dengan proporsi sebesar 29,96% dari luas kota sedangkan Kota Cirebon hanya memiliki potensi seluas 993,67 Ha dengan proporsi sebesar 26,60% dari luas kota. Hal ini menunjukan bahwa potensi penyediaan RTH di kota pada bagian hulu sungai lebih besar daripada potensi penyediaan RTH di kota pada bagian hilir sungai.. Kata-kunci : ruang terbuka hijau, 30%, aktual, potensi, DAS, hulu, hilir | 1

description

a working paper

Transcript of Working Paper

Page 1: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

EVALUASI PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU SEBAGAI INFRASTRUKTUR HIJAU DI KOTA BANDUNG DAN CIREBON

oleh Theodorus Brahmantyo dan Iwan Kustiwan

Abstrak

Ruang terbuka hijau (RTH) dalam konteks ekosistem yang lebih luas (ekoregion) sangat penting bagi kehidupan kota. Penyediaan RTH kota saat ini masih menjadi masalah bagi beberapa kota di Indonesia khususnya kota-kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi karena berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap kota harus menyediakan RTH minimal 30% dari luas kota. Selain itu, penyediaan RTH ternyata juga terkendala pada posisi suatu kota dalam daerah aliran sungai (DAS). Kota pada bagian hulu sungai memiliki potensi penyediaan RTH yang lebih besar daripada kota pada bagian hilir sungai. Kota pada bagian hulu sungai diyakini dapat memiliki potensi penyediaan RTH yang lebih besar karena memiliki kondisi alam yang lebih baik. Oleh karena itu, tujuan utama dari penelitian ini adalah mengevaluasi perbedaan luas ruang terbuka hijau (RTH) aktual dan potensial di Kota Bogor dan Cirebon. Kota Bogor dipilih karena terletak pada hulu sungai dan Kota Cirebon sebagai kota yang terletak pada hilir sungai. Analisis dan perhitungan RTH aktual dalam penelitian ini didasarkan pada dua peraturan tentang pedoman penyediaan RTH di Indoensia saat ini, yakni Permendagri Nomor 01 Tahun 2007 dan Permen PU Nomor 05 Tahun 2008. Analisis penyediaan RTH potensial didasarkan pada hasil dari content analysis yang telah menghasilkan pembagian jenis RTH baru. Dari hasil penelitian ini, didapatkan hasil bahwa Kota Bogor dan Cirebon saat ini telah memiliki ruang terbuka hijau lebih dari 30% luas kota, yakni Kota Bogor seluas 54,67% dan Kota Cirebon seluas 34,36%. Selain itu, hasil perhitungan juga menyatakan bahwa Kota Bogor mampu menyediakan RTH potensial yang lebih luas daripada Kota Cirebon, yakni 3.550,79 Ha dengan proporsi sebesar 29,96% dari luas kota sedangkan Kota Cirebon hanya memiliki potensi seluas 993,67 Ha dengan proporsi sebesar 26,60% dari luas kota. Hal ini menunjukan bahwa potensi penyediaan RTH di kota pada bagian hulu sungai lebih besar daripada potensi penyediaan RTH di kota pada bagian hilir sungai..

Kata-kunci : ruang terbuka hijau, 30%, aktual, potensi, DAS, hulu, hilir

PENDAHULUAN

Kurangnya ruang terbuka publik saat ini telah menjadi salah satu permasalahan tersendiri di beberapa kota besar di Indonesia. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa ruang terbuka publik dianggap tidak memiliki nilai ekonomi yang mampu menunjang perekonomian sebuah kota sehingga pengadaan terhadap ruang terbuka publik ini terus menerus tertunda. Ruang terbuka publik banyak ditempatkan di lahan-lahan sisa yang dianggap pemerintah kurang atau bahkan tidak memiliki nilai ekonomi.

| 1

Page 2: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

Salah satu contoh bentuk dari ruang terbuka publik adalah ruang terbuka hijau atau yang sering disingkat sebagai RTH. Saat ini banyak kota besar yang kekurangan RTH. Padahal, RTH ini memiliki beberapa manfaat penting bagi sebuah kota. RTH merupakan salah satu elemen perkotaan yang sangat penting untuk menunjang kehidupan dan aktivitas penduduk, karena pada dasarnya RTH merupakan unsur alamiah yang sangat berperan dalam mewujudkan kota yang berwawasan lingkungan (Branch, 1995).

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa saat ini pemerintah mengalami ketidakmampuan dalam melakukan penyediaan RTH di kawasan perkotaan. Oleh karena itu, pengadaan RTH saat ini distrategikan sebagai salah satu pembangunan infrastruktur perkotaan atau yang lebih dikenal dengan nama infrastruktur hijau. Pernyataan mengenai pengadaan RTH dalam suatu wilayah juga telah dibahas secara internasional, yakni dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi II di Johannesburg, Afrika Selatan, pada tahun 2002. Konferensi ini menetapkan bahwa kota-kota harus menyediakan RTH minimal 30% dari luas kota. Hasil konferensi tersebut saat ini telah dijadikan salah satu ketetapan dalam undang-undang penataan ruang di Indonesia, yakni Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pada pasal 29 ayat 2 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. Sedangkan pada ayat berikutnya, yakni pasal 29 ayat 3 lebih ditekankan bahwa proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota.

Pembahasan di atas merupakan tinjauan tentang kebutuhan RTH berdasarkan ukuran kota. Selain ukuran kota, ketersediaan RTH juga ditentukan dari posisi suatu kota terhadap daerah aliran sungai (DAS). Seperti yang telah kita ketahui bahwa DAS terbagi dalam tiga posisi utama, yakni hulu, tengah dan hilir. Dari faktor alam, perbedaan iklim dan suhu berpengaruh pada perbedaan tingkat kesuburan lahan di hulu dan hilir sungai. Selain itu, perkembangan kota juga mempengaruhi perbedaan potensi penyediaan RTH di kedua posisi tersebut. Berdasarkan data yang didapatkan, perkembangan penduduk dan guna lahan di hilir lebih cepat daripada di hulu sehingga akan berpengaruh pada ketersediaan ruang terbuka hijau di kota tersebut. Penyediaan RTH minimal 30% dari luas kota sebagaimana seperti aturan yang telah ditetapkan juga mengikat kawasan perkotaan dalam kontelasi yang lebih luas lagi, yakni dalam konteks Daerah Aliran Sungai (DAS). Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan dinyatakan bahwa dalam rangka pelestarian lingkungan dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS). Saat ini, pemerintah kota dianggap belum mampu memenuhi persyaratan minimal penyediaan RTH seluas 30% dari luas kota. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menghitung jumlah potensi RTH secara ekologis berdasarkan posisi kota dalam ekoregion (DAS). Selain itu, valuasi RTH sebagai infrastruktur hijau dan potensi peningkatan luasan RTH privat bagi kota yang tidak mampu memenuhi ketentuan RTH publik juga merupakan bagian dari penelitian ini. Berdasarkan uraian tersebut, maka ada beberapa pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dalam studi in yakni sebagai berikut.

| 2

Page 3: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

1. Apakah luas ruang terbuka hijau Kota Bogor dan Kota Cirebon sudah dapat memenuhi ketentuan RTH minimal 30% berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang?

2. Berapa besar selisih perbedaan antara luas ruang terbuka hijau (RTH) aktual di Kota Bogor dan Cirebon?

3. Berapa besar selisih perbedaan antara luas ruang terbuka hijau (RTH) potensial di Kota Bogor dan Cirebon?

Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengevaluasi perbedaan luas ruang terbuka hijau (RTH) aktual dan potensial di Kota Bogor dan Cirebon. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ditentukan beberapa sasaran, yakni sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi ruang terbuka hijau saat ini/aktual;2. Membandingkan luas ruang terbuka hijau aktual berdasarkan

Permendagri Nomor 5 Tahun 2007 dengan Permen PU Nomor 1 Tahun 2008;

3. Melakukan deliniasi ruang terbuka hijau potensial berdasarkan jenis dan karekateristik ruang terbuka hijau; serta

4. Membandingkan luas ruang terbuka hijau potensial di Kota Bogor dan Cirebon.

METODE PENELITIAN

Analisis dilakukan dengan menggunakan metode analisis deskriptif-kuantitatif untuk memperkirakan kebutuhan RTH. Dengan metode ini, informasi yang dibutuhkan merupakan data kuantitatif yang terperinci untuk kemudian dianalisis secara deskriptif. Menurut Zulnaidi (2007: 11-12), ada dua ciri dari analisis deksriptif, yakni sebagai berikut.

1. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada saat penelitian dilakukan, atau masalah-masalah yang bersifat aktual.

2. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, diiringi dengan interpretasi yang rasional.

Selain itu, penelitian ini juga akan akan memanfaatkan aplikasi sistem informasi geografis, yakni ArcGIS, untuk menginterpretasikan peta dan melakukan simulasi model. Penelitian ini secara umum menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif, yang menggunakan data numerik serta diolah dengan suatu formula tertentu dalam melakukan analisis dan setiap hasilnya akan diinterpretasikan secara deskriptif dan komparatif. Setiap sasaran dianalisis dengan menggunakan metoda yang berbeda-beda seperti di bawah ini.

1. Content Analysis (Analisis Isi)

Dalam bidang penelitian, content analysis memiliki beberapa definisi. Secara umum content analysis dapat didefinisikan sebagai suatu alat atau teknik penelitian atau yang membantu untuk menganalisis konten yang sebenarnya dan itu adalah fitur dari apapun, apakah itu sebuah kata, gambar, tema, teks, dan mencoba untuk menyajikan konten dalam cara yang obyektif dan kuantitatif (Obaid E, 2013). Dalam bidang penelitian sendiri, Dr. Essam Obaid mendefinisikan content analysis sebagai alat

| 3

Page 4: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

penelitian yang difokuskan pada konten sebenarnya dan fitur internal media. Hal ini digunakan untuk menentukan adanya kata-kata tertentu, konsep, tema, frase, karakter, atau kalimat dengan teks atau kelompok teks dan untuk mengukur keberadaan ini secara obyektif. Definisi ini kemudian dipersingkat dan diperjelas oleh Hsieh dan Shannon bahwa content analysis adalah metode penelitian untuk interpretasi subyektif dari isi data teks melalui proses klasifikasi sistematis coding dan pengidentifikasian tema atau pola (Hsieh & Shannon, 2005, p.1278).

Penelitian ini juga mengunakan content analaysis sebagai metode dalam menganalisis data. Interpretasi dan proses klasifikasi sistematis dilakukan dengan didasarkan pada dua perudang-undangan nasional yang mengatur penyelenggaraan ruang terbuka hijau (RTH) di Indonesia, yakni Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan dan Permen PU Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan. Ada lima hal yang menjadi dasar analisis dan perbandingan kedua peraturan tersebut, yakni definisi, tujuan, fungsi, manfaat dan karakteristik dari ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan. Setelah dianalisis dan dibandingkan, kelima hal dari dua undang-undang tersebut akan dijadikan dasar dalam membuat definisi, tujuan, fungsi, manfaat dan karakterisik ruang terbuka hijau kawasan yang baru.

2. Analisis Ruang Terbuka Hijau Aktual Berdasarkan Permendagri dan Permen PU

Analisis RTH aktual merupakan unit analisis yang didasarkan oleh data tentang jumlah RTH dan guna lahan yang terdapat pada masing-masing kota saat ini. Analisis dilakukan dengan memanfaatkan data jumlah ruang terbuka hijau yang dimiliki oleh kedua kota tersebut dan dihitung berdasarkan kedua peraturan terbaru mengenai penyediaan ruang terbuka hijau tersebut, yakni Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 dan Permen PU Nomor 5 Tahun 2008. Dari analisis ini, kita dapat melihat apakah kota tersebut mengacu kepada salah satu peraturan tentang penyediaan RTH atau tidak. Selain itu, hasil analisis RTH aktual ini juga dapat menjadi dasar dalam membandingkan penyediaan ruang terbuka hijau yang saat ini tersedia dikedua kota tersebut berdasarkan kedua peraturan tersebut.

3. Analisis Perbandingan Luas Ruang Terbuka Hijau Aktual Berdasarkan Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 dan Permen PU Nomor 5 Tahun 2008

Pada tahap ini, peneliti akan membandingkan jumlah luas RTH yang didapatkan melalui data dari masing-masing kota atau yang disebut dengan RTH aktual dengan berbagai analisis lainnya. Berikut ini adalah berbagai unit analisis yang menjadi pembanding RTH aktual pada masing-masing kota.

| 4

Page 5: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

Analisis RTH berdasarkan permendagri merupakan unit analisis luasan RTH kota dengan didasarkan pada kriteria RTH yang ditetapkan oleh Permendagri Nomor 1 Tahun 2007.

Analisis RTH berdasarkan Permen PU merupakan unit analisis luasan RTH kota dengan didasarkan pada kriteria RTH yang ditetapkan oleh Permen PU Nomor 5 Tahun 2008.

Dikarenakan kedua peraturan tersebut memiliki karakteristik ruang terbuka hijau yang berbeda, maka hasil perhitungan ruang terbuka hijau aktual yang didapatkan berdasarkan hasil analisis pada kedua kota tersebut pun tentunya akan berbeda. Oleh karena itu, kita dapat melihat peraturan manakah yang mampu menyediakan ruang terbuka hijau perkotaan paling besar untuk kedua kota tersebut pada saat ini.

4. Analisis Perbandingan Luas RTH Potensial Kota Bogor dan Kota Cirebon

Analisis perbandingan luas RTH potensial Kota Bogor dan Kota Cirebon merupakan analisis terakhir yang dilakukan pada penelitian ini. Analisis RTH potensial merupakan unit analisis yang didasarkan oleh berbagai karakteristik yang disusun oleh peneliti sebagai hasil dari melakukan analisis isi pada kedua peraturan sebelumnya. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat seberapa besar selisih potensi penyediaan RTH pada kota yang terletak di hulu dan hilir DAS. Analisis ini menggunakan seluruh data dari sasaran 1 dan 4 dengan menggunakan metode analisis deskriptif komparatif dan kuantitatif.

KONDISI RUANG TERBUKA HIJAU AKTUAL KOTA BOGOR

Kota Bogor merupakan salah satu kota yang berada pada hulu sungai besar di Jawa Barat, yakni Sungai Ciliwung. Oleh karena itu, Kota Bogor diharapkan memiliki ruang terbuka hijau (RTH) yang lebih besar daripada kota maupun daerah-daerah yang berada pada bagian tengah dan hilir sungai tersebut. Kota Bogor sendiri saat ini memiliki luas administratif sebesar 11.850 Ha. Dan menurut UU Nomor 26 Tahun 2007, setiap kota harus menyediakan RTH minimal 30% dari luas kota untuk keseimbangan ekologis, yang artinya Kota Bogor harus menyediakan RTH minimal seluas 3.555 Ha.

Sampai saat ini, seluruh pengadaan ruang terbuka hijau di Kota Bogor masih mengacu pada Permendagri Nomor 01 Tahun 2007 dam belum beralih pada peraturan baru yakni Permen PU Nomor 05 Tahun 2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan. Seperti yang telah dibahas pada bab I, kedua peraturan ini memiliki perbedaan yang cukup banyak terutama pada penggolongan karakteristik dan jenis ruang terbuka hijau perkotaan. Untuk lebih jelasnya, berikut ini merupakan tabel hasil analisis dan perhitungan luas ruang terbuka hijau berdasarkan jenisnya menurut permendagri nomor 01 tahun 2007.

| 5

Page 6: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

No.

Jenis RTHLuas (Ha)

Proporsi (%)

1 Taman kota 3,19 0,03

2 Taman wisata alam; 81,58 0,69

3 Taman rekreasi; 40,08 0,34

4Taman lingkungan perumahan dan permukiman;

90,49 0,76

5Taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial;

289,88 2,45

6 Taman hutan raya; - 0,00

7 Taman hutan kota; 57,62 0,49

8 Hutan lindung; - 0,00

9Bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah;

131,30 1,11

10 Cagar alam; - 0,00

11 Kebun raya; 73,29 0,62

12 Kebun binatang; - 0,00

13 Permakaman umum; 134,64 1,14

14 Lapangan olahraga; 151,51 1,28

15 Lapangan upacara; 0,75 0,01

16 Parkir terbuka; 8,60 0,07

17 Lahan pertanian perkotaan; 3.117,27 26,31

18Jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET);

14,36 0,12

19Sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa;

181,79 1,53

20Jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian;

- 0,00

21 Kawasan dan jalur hijau; 2.101,94 17,74

22Daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara

- 0,00

23 Taman atap (roof garden) - 0,00

TOTAL LUAS RTH 6.478,29 54,67Sumber: Hasil analisis, 2013

Selanjutnya, keberadaan RTH Kota Bogor yang masih mengacu pada Permendagri Nomor 01 Tahun 2007 ini juga perlu kita tinjau dan bandingkan dengan peraturan yang lebih baru, yakni Permen PU Nomor 05 Tahun 2008. Mengingat akan adanya perbedaan yang cukup banyak, terutama pada pengelompokan karakterisik dan jenis RTH, maka kita perlu melakukan perhitungan ulang jumlah dan besaran RTH aktual menurut Permen PU ini. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, menurut Permen PU Nomor 05 Tahun 2008 Kota

| 6

Page 7: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

Bogor hanya memiliki ruang terbuka hijau seluas 2873,91 Ha. Berikut ini adalah tabel yang menunjukan luas masing-masing RTH berdasarkan jenisnya menurut Permen PU Nomor 05 Tahun 2008.

No.

Jenis RTHLuas (Ha)

Proporsi (%)

1 RTH Pekarangan

a. Pekarangan rumah tinggal 90,49 0,76

b. Halaman perkantoran, pertokoan dan tempat usaha

289,88 2,45

c. Taman atap bangunan - 0

2 RTH Taman dan Hutan Kota

a. Taman RT Terhitung pada RTH Pekarangan Rumah Tinggal

(Perumahan dan Permukiman)

b. Taman RW

c. Taman Kelurahan

d. Taman Kecamatan

e Taman kota 3,19 0,03

f. Hutan Kota 57,62 0,49

g. Sabuk Hijau 2.101,94 17,74

3 RTH Jalur Hijau Jalan

a. Pulau jalan dan median jalan - 0,00

b. Jalur pejalan kaki - 0,00

c. Ruang dibawah jalan layang - 0,00

4 RTH Fungsi Tertentua. Jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi

14,36 0,12

b. RTH sempadan sungai181,79

1,53

c. RTH sempadan pantai 0,00d. RTH pengaman sumber air baku/mata air - 0,00e. RTH sempadan rel kereta api

f. Pemakaman 134,64 1,14

TOTAL LUAS RTH 2.873,91 24,25 Sumber: Hasil analisis, 2013

| 7

Page 8: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

KONDISI RUANG TERBUKA HIJAU AKTUAL KOTA CIREBON

Kota Cirebon merupakan salah satu kota yang berada pada hilir sungai besar di Jawa Barat, yakni Sungai Cisanggarung dan Cimanuk. Letak Kota Cirebon yang berada pada daerah hilir ini menjadikan perkembangan Kota Cirebon lebih cepat daripada kota-kota yang berada di daerah hulu sungai karena letaknya yang strategis sebagai kota pantai. Oleh karena itu, Kota Cirebon dalam perkembangannya diperkirakan memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dalam penyediaan ruang terbuka hijau karena memiliki perkembangan penduduk dan guna lahan yang lebih cepat daripada kota-kota di hulu sungai. Kota Cirebon sendiri saat ini memiliki luas administratif sebesar 3735,8 Ha. Berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2007, setiap kota harus menyediakan RTH minimal 30% dari luas kota untuk keseimbangan ekologis, yang artinya Kota Cirebon harus menyediakan RTH minimal seluas 1.120,35 Ha.

Sama halnya dengan Kota Bogor bahwa sampai saat ini, seluruh pengadaan ruang terbuka hijau di Kota Cirebon masih mengacu pada Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 dan belum beralih pada peraturan baru yakni Permen PU Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Seperti yang telah dibahas pada bab I, kedua peraturan ini memiliki perbedaan yang cukup banyak terutama pada penggolongan karakteristik dan jenis ruang terbuka hijau perkotaan. Untuk lebih jelasnya, berikut ini merupakan tabel hasil analisis dan perhitungan luas ruang terbuka hijau berdasarkan jenisnya menurut Permendagri Nomor 1 tahun 2007.

| 8

Page 9: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

No. Jenis RTHLuas (Ha)

Proporsi (%)

1 Taman kota 8,62 0,23

2 Taman wisata alam; 16,08 0,43

3 Taman rekreasi; - 0,00

4Taman lingkungan perumahan dan permukiman;

- 0,00

5Taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial;

20,84 0,56

6 Taman hutan raya; - 0,00

7 Taman hutan kota; 17,85 0,48

8 Hutan lindung; - 0,00

9Bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah;

- 0,00

10 Cagar alam; - 0,00

11 Kebun raya; - 0,00

12 Kebun binatang; - 0,00

13 Pemakaman umum; 66,92 1,79

14 Lapangan olahraga; 31,23 0,84

15 Lapangan upacara; - 0,00

16 Parkir terbuka; - 0,00

17 Lahan pertanian perkotaan; 838,15 22,44

18Jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET);

- 0,00

19Sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa;

36,04 0,96

20Jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian;

39,35 1,05

21 Kawasan dan jalur hijau; 208,71 5,59

22Daerah penyannga (buffer zone) lapangan udara

- 0,00

23 Taman atap (roof garden) - 0,00

TOTAL LUAS RTH 1.283,79 34,36Sumber: Hasil analisis, 2013

Selanjutnya, keberadaan RTH Kota Cirebon yang masih mengacu pada Permendagri Nomor 01 Tahun 2007 ini juga perlu kita tinjau dan bandingkan dengan peraturan yang lebih baru, yakni Permen PU Nomor 05 Tahun 2008. Mengingat akan adanya perbedaan yang cukup banyak, terutama pada pengelompokan karakterisik dan jenis RTH, maka kita perlu melakukan perhitungan ulang jumlah dan besaran RTH aktual menurut Permen PU ini. Berdasarkan hasil

| 9

Page 10: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

perhitungan dan analisis yang telah dilakukan dengan mengacu pada Permen PU Nomor 05 Tahun 2008, Kota Cirebon hanya memiliki ruang terbuka hijau seluas 398,33 Ha. Berikut ini adalah tabel yang menunjukan luas masing-masing RTH berdasarkan jenisnya menurut Permen PU Nomor 5 Tahun 2008.

No. Jenis RTHLuas (Ha)

Proporsi (%)

1 RTH Pekarangan

a. Pekarangan rumah tinggal - 0

b. Halaman perkantoran, pertokoan dan tempat usaha

20,84 0,56

c. Taman atap bangunan - 0

2 RTH Taman dan Hutan Kota

a. Taman RT

-

0

b. Taman RW 0

c. Taman Kelurahan 0

d. Taman Kecamatan 0

e Taman kota 8,62 0,23

f. Hutan Kota 17,85 0,48

g. Sabuk Hijau 208,71 5,59

3 RTH Jalur Hijau Jalan

a. Pulau jalan dan median jalan - 0,00

b. Jalur pejalan kaki - 0,00

c. Ruang dibawah jalan layang - 0,00

4 RTH Fungsi Tertentua. Jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi

- 0,00

b. RTH sempadan sungai36,04

0,96

c. RTH sempadan pantai 0,00d. RTH pengaman sumber air baku/mata air 39,35 0,56e. RTH sempadan rel kereta api

f. Pemakaman 66,92 1,79

TOTAL LUAS RTH 398,33 10,17Sumber: Hasil analisis, 2013

| 10

Page 11: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

PERBANDINGAN RUANG TERBUKA HIJAU AKTUAL KOTA BOGOR DAN CIREBON

POTENSI PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA BOGOR

POTENSI PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA CIREBON

PERBANDINGAN POTENSI PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA BOGOR DAN CIREBON

KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa persepsi masyarakat sekitar objek wisata di Kota Bandung adalah positif pada sektor ekonomi dan sosial-budaya, sedangkan persepsi negatif pada sektor lingkungan. Persepsi positif pada sektor ekonomi dan sosial-budaya ini dapat dilihat dengan tersedianya lapangan pekerjaan dan peluang usaha bagi masyarakat sekitar pada sektor ekonomi, serta kualitas hidup yang tetap, tingkat kriminalitas yang rendah, dan tidak mempengaruhi budaya hidup sehari-hari pada sektor sosial-budaya. Sedangkan persepsi negatif terhadap sektor lingkungan dengan tingginya tingkat kemacetan lalu-lintas dan kurang optimalnya penyediaan infrastruktur.

Selain persepsi yang disampaikan berdasarkan dampak yang diterima masyarakat, sikap yang ditunjukkan terhadap dampak tersebut juga dapat dikatakan sikap yang positif. Hal ini dapat dilihat dengan bentuk keterlibatan masyarakat dalam bentuk partisipasi dalam pengelolaan serta pengawasan dan monitoring keberjalanan kepariwisataan di Kota Bandung. Selain bentuk keterlibatan yang ada, dukungan dari masyarakat akan keberlanjutan kepariwistaan di Kota Bandung juga yang menunjukkan sikap positif dari masyarakat yang tinggal di sekitar objek wisata di Kota Bandung.

REKOMENDASI

Pada bagian ini akan dibahas mengenai rekomendasi yang bisa diberikan berdasarkan hasil kesimpulan penelitian ini. Rekomendasi yang dapat diberikan akan dipaparkan sebagai berikut:

1. Perlu dilakukannya pengendalian arahan pengembangan kepariwisataan secara bersama antara pemerintah, swasta (pengelola objek wisata), dan masyarakat sekitar, terutama dalam tahap perencanaan dan pengelolaan objek wisata yang ada.

2. Perlu adanya monitoring yang ketat oleh Pemerintah Kota Bandung dalam keberjalanan pengelolaan objek wisata yang dilakukan oleh pihak pengelola objek wisata tersebut, terutama dalam pelibatan masyarakat sekitar dalam keberjalanan pengelolaan objek wisatanya.

3. Perlu adanya perhatian lebih dari pengelola objek wisata terhadap dampak yang dirasakan oleh masyarakat sekitarnya, terutama terhadap dampak

| 11

Page 12: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

lingkungan yang berupa penyediaan infrastruktur bagi masyarakat sekitar akibat kegiatan pariwisata tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. 2011. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Belajar.Braun, Michael, 2000. The Economic Impact of Theme Parks on Regions.Cohen, E. 1984. The Sociology of Tourism: Approaches, Issues, and Findings. Annual Review of

Sociology, 10, 373-392.Diedrich, A., & Garcia-Buades, E. 2009. Local Perceptions of Tourism as Indicators

of Destination Decline. Tourism Management, 512-521.Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Kebudayaan Dan

Pariwisata, 2011. Penelitian Persepsi dan Dukungan Masyarakat Terhadap Pengembangan Kepariwisataan Toraja, Jakarta: Kementerian Kebudayaan Dan Pariwisata.

Ismayanti, 2010. Pengantar Pariwisata. Jakarta: PT Grasindo.Marpaung, H. & Bahar, H., 2002. Pengantar Pariwisata. Bandung: Alfabeta.Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Kota Bandung 2007-

2016.Robbins, S. P., & Judge, T. A. 2008. Perilaku Organisasi Buku 1 (Edisi 12). Jakarta:

Salemba Empat.Ryan, C. 1991. Recreational Tourism: A Social Science Perspective. London:

Routledge.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang

Kepariwisataan.Walgito, B. 2003. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Penerbit ANDI.Yoeti, O. A. 2008. Perencanaan & Pengembangan Pariwisata. Jakarta: PT Pradnya

Pramita.

| 12

Page 13: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

| 13

Page 14: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

PERAN KOMUNITAS KREATIF DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA BUDAYA DI SITUS MEGALITIKUM GUNUNG PADANG

oleh Oktaniza Nafila dan Rina Priyani

Abstrak

Gunung Padang adalah salah satu cagar budaya yang berada di Kabupaten Cianjur. Situs ini masih dalam tahap perencanaan destinasi wisata. Namun jumlah kedatangan pengunjung meningkat tajam dari tahun 2010. Pengunjung yang mendatangi situs ini mempunyai tujuan yang berbeda-beda, mulai dari melakukan ritual kepercayaannya sampai pengunjung yang hanya ingin tahu bentuk situs ini. Salah satu stakeholder yang membawa pengunjung datang ke Gunung Padang adalah komunitas kreatif. Komunitas kreatif ini mengembangkan produk wisata yang berbeda sesuai dengan target peserta tur tersebut. Komunitas kreatif ini mengadakan tur ke situs Gunung Padang namun situs tersebut masih dalam tahap perencanaan. Belum matangnya perencanaan pariwisata di wilayah ini, kemungkinan kerusakan pusaka budaya yang menjadi daya tarik pariwisata budaya itu sendiri. Komunitas kreatif memiliki peran dalam pengembangan pariwisata budaya namun belum teridentifikasi. Peran ini perlu diidentifikasi karena dapat menjadi potensi dalma pengembangan pariwisata budaya Situs Gunung Padang itu sendiri.

Kata-kunci : pengembangan pariwisata, pariwisata budaya, komunitas kreatif, stakeholder, Gunung Padang

PENDAHULUAN

Gunung Padang adalah salah satu cagar budaya yang berada di Kabupaten Cianjur. Situs ini masih dalam tahap perencanaan destinasi wisata. Situs Gunung Padang adalah peninggalan megalitik terbesar di Asia Tenggara dengan luas bangunan purbakalanya sekitar 900 m² dan areal situsnya sekitar 3 Ha. Menurut mantan Ketua Himpunan Arsitek Jawa Barat, Dr Pon Purajatnika, bangunan tersebut bisa jadi lebih tua dari piramid Machu Picchu di Peru yang dibangun sekitar tahun 1450 SM. Namun jumlah kedatangan pengunjung meningkat tajam dari tahun 2010. Pengunjung yang mendatangi situs ini mempunyai tujuan yang berbeda-beda, mulai dari melakukan ritual kepercayaan sampai pengunjung yang hanya ingin tahu bentuk situs ini. Beberapa komunitas kreatif dari Bandung telah melakukan tur ke Gunung Padang.

International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) menyatakan pariwisata budaya meliputi semua pengalaman yang didapat oleh pengunjung dari sebuah tempat yang berbeda dari lingkungan tempat tinggalnya. Dalam pariwisata budaya pengunjung diajak untuk mengenali budaya dan komunitas lokal, pemandangan, nilai dan gaya hidup lokal, museum dan tempat bersejarah, seni pertunjukan, tradisi dan kuliner dari populasi lokal atau komunitas asli (sumber website resmi ICOMOS : http://www.icomos-ictc.org). Oleh karena itu pengembangan pariwisata

| 14

Page 15: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

budaya tidak lepas dari pengelolaan aset budaya yang menjadi daya tarik. Hal tersebut merupakan salah satu hal yang dipertimbangkan dalam pengembangan destinasi wisata budaya.

Komunitas kreatif ini adalah salah satu stakeholder yang membawa pengunjung masuk ke dalam situs ini. Komunitas kreatif ini mengembangkan produk wisata yang berbeda sesuai dengan target peserta tur tersebut. Komunitas kreatif ini mengadakan tur ke situs Gunung Padang namun situs tersebut masih dalam tahap perencanaan. Fasilitas-fasilitas yang diberikan dalam situs tersebut masih belum memadai untuk memuaskan pengunjung. Selain itu, dengan belum matangnya perencanaan pariwisata di wilayah ini, kemungkinan kerusakan pusaka budaya yang menjadi daya tarik pariwisata budaya itu sendiri.

Komunitas kreatif merupakan salah satu potensi bagi pemerintah dalam mengembangkan destinasi wisata budaya di daerah ini baik dari sisi tangible maupun intangible. Namun di sisi lain, komunitas-komunitas ini membawa pengunjung tanpa adanya pengelolaan yang memadai di cagar budaya tersebut. Sampai saat ini, kebijakan yang ada belum menjelaskan tentang kewajiban dan hak tiap stakeholder yang ada di dalam pengembangan destinasi pariwisata budaya di Situs Megalitikum Gunung Padang, termasuk salah satu di antaranya komunitas kreatif. Peran tersebut perlu diketahui untuk mempermudah kerjasama antar stakeholder dalam pengembangan pariwisata budaya. Agar potensi yang dimiliki oleh komunitas kreatif ini bisa dimanfaatkan, maka perlu diketahui sejauh mana peran komunitas kreatif dalam mengembangkan pariwisata budaya di Situs Megalitikum Gunung Padang. Untuk mengidentifikasi peran komunitas kreatif dalam pengembangan pariwisata budaya di Situs Megalitikum Gunung Padang, sasaran yang perlu dicapai adalah:

1. Teridentifikasi karakteristik destinasi wisata budaya Situs Megalitukum Gunung Padang.

2. Teridentifikasi karakteristik komunitas kreatif yang mengembangkan produk wisata ke Situs Megalit Gunung Padang.

3. Teridentifikasi produk wisata yang direncanakan dan dikembangkan oleh komunitas kreatif.

4. Teridentifikasi peran komunitas kreatif dalam pengembangan pariwisata Situs Megalitikum Gunung Padang

METODOLOGI

Secara umum, metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Pendekatan studi yang dipakai adalah multiple case study, yaitu studi yang dilakukan untuk mencapai suatu kesimpulan dengan membandingkan satu kasus dengan kasus lainnya. Kasus yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah komunitas kreatif yang melakukan perjalanan ke Gunung Padang. Komunitas kreatif yang teridentifikasi telah melakukan perjalanan ke Gunung Padang adalah Komunitas Aleut!, Geotrek Indonesia dan Mahanagari. Identifikasi komunitas kreatif tersebut dilakukan dengan melakukan internet research terlebih dahulu.

Metode pengumpulan data sekunder yang dipakai adalah internet research, dan studi literatur sedangkan metode pengumpulan data primer adalah in-depth interview,

| 15

Page 16: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

observasi lapangan dan participant observation. Pemilihan responden in-depth interview dilakukan dengan menggunakan purposive sampling dengan kriteria sebagai berikut:

1. Penggiat komunitas kreatif yang sudah 1-2 tahun mengikuti kegiatan komunitas atau yang ikut mendirikan komunitas kreatif tersebut dengan asumsi mereka mengikuti perkembangan komunitas kreatif tersebut dari awal pendirian

2. Mengikuti tur ke Gunung Padang.

Data-data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan analisis isi. Metode analisis isi (content analysis) pada dasarnya merupakan suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan, atau suatu alat untuk mengobservasi dan menganalisis isi perilaku komunikasi yang terbuka dari komunikator terpilih (Budd, 1967:2 dalam Suyanto dan Sutinah, 2005). Untuk menggunakan analisis ini, peneliti terlebh dahulu menentukan kriteria-kriteria pengembangan pariwisata budaya yang sesuai diterapkan untuk studi kasus yang dipakai. Kriteria-kriteria tersebut didapatkan dari hasil sintesis dari guidelines dari organisasi internasional mapun regional yakni ICOMOS, EAHTR dan WTO serta dari prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh para ahli yaitu McKercher dan du Cros (2003) dan Gunn (1988 dalam Warpani, 2006)

DESTINASI WISATA BUDAYA GUNUNG PADANG

Menurut Undang-undang No. 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. Situs Megalitikum Gunung Padang merupakan tempat yang mempunyai daya tarik wisata budaya. Daya tarik wisatanya bukan hanya terletak pada situs arkeologi Gunung Padang tapi juga memiliki daya tarik-daya tarik pendukung lainnya termasuk budaya masyarakat lokal dan masyarakat yang masih menjadikan situs ini sebagai tempat ritual pemujaan kepercayaan Sunda Kuna.

Kebijakan tentang pengembangan pariwisata sebuah kabupaten diatur dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwsata Daerah (RIPPDA). Sampai saat ini RIPPDA yang berlaku di Cianjur adalah RIPPDA periode 2004-2009. Situs Megalitikum Gunung Padang berada di Kecamatan Campaka yang di dalam RIPPDA 2004-2009 Kabupaten Cianjur termasuk ke dalam Sub-SKKP II.1. Pengelompokkan Sub SKKP digolongkan berdasarkan kantong pengembangan kawasan sesuai dengan posisi daya saing, kemampuan dan produk wisata. Sub-SKKP II-1 merupakan kantong Kawasan Wisata Agro yang meliputi Perkebunan Teh Penyairan, Perkebunan Teh Nusamba, Perkebunan Teh PT. Linggasari Ciaharum, Perkebunan Teh Pasir Nangka dan Situs Gunung Padang

Selain daya tarik inti Gunung Padang, di sekitar situs ini terdapat Stasiun dan Terowongan Lampegan yang merupakan stasiun pertama dan jalur kereta api pertama yang menghubungkan Bandung dengan Jakarta sebelum jalur kereta api Padalarang dibangun. Kereta api ini berfungsi pada tahun 1879-1882.

| 16

Page 17: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

Gambar 1 Situs Megalit Gunung Padang

Gambar 2 Stasiun Lampegan (kiri) dan Pusat Informasi dan Loket Penerima Tamu (kanan)

Daya tarik alami yang ikut melengkapi kawasan ini adalah Perkebunan Teh Rosa yaitu perkebunan teh yang sudah ada dari jaman penjajahan Belanda. Rangkaian daya tarik tersebut biasanya menjadi jalur wisata yang dikunjungi oleh wisatawan ketika datang ke situs Gunung Padang. Situs ini memang sedang direncanakan menjadi destinasi wisata tetapi saat ini tahap perencanaan belum selesai, jumlah pengunjung meningkat drastis. Sementara itu, infrastruktur, seperti jalan, rumah makan, fasilitas pendukung lainnya belum lengkap. Sampai sekarang sudah ada pembangunan fasilitas seperti pembangunan pusat informasi, loket tiket dan menara pandang. Rumah makan hanya ada ketika akhir pekan. Infrastruktur seperti pos polisi ataupun pos kesehatan juga belum terbangun di kawasan ini. Infrastruktur yang adapun masih belum memadai dan dalam keadaan tidak layak.

KARAKTERISTIK KOMUNITAS KREATIF YANG MENGEMBANGKAN PRODUK WISATA

Menurut Florida, dasar dari kelompok kreatif yang disebut creative class adalah ekonomi. Komunitas kreatif terdiri dari orang-orang yang membuat nilai ekonomi dari kreativitas mereka. Mereka terdiri dari pekerja berpengetahuan, analis simbolis dan profesional serta pekerja teknis namun menegaskan peran mereka sebenar-benarnya di perekonomian.Komunitas-komunitas kreatif yang merencanakan produk wisata ke Gunung Padang merupakan komunitas yang sangat dinamis dan mempunyai karakter unik tersendiri. Mereka umumnya terdiri dari orang-orang kreatif dan mempunyai cara unik dalam bekerja atau berkegiatan.

Komunitas Aleut! adalah komunitas yang sangat dinamis dan bersifat kekeluargaan. Di dalamnya, penggiat mendapatkan banyak pengetahuan yang berbeda dari pengetahuan yang diterima dari kegiatan hariannya. Komunitas ini sangat peduli

| 17

Page 18: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

dengan isu-isu kota dan dengan ide kreatif yang mereka miliki, komunitas ini memberikan pengetahuan yang mereka miliki kepada publik melalui dunia maya. Komunitas ini berdiri dengan tujuan mengenal lebih jauh tentang kota Bandung dengan menjelajahinya bersama dan mendiskusikan sejarahnya. Dalam perkembangannya komunitas ini menjadi komunitas belajar. Mereka menamai mereka komunitas apresiasi sejarah dan wisata.

Gambar 3 Blog sebagai salah satu media interaksi komunitas kreatif (kiri) dan Contoh Bundel Materi Geotrek Indonesia (kanan)

Berbeda dengan komunitas Aleut!, Komunitas Geotrek Indonesia merupakan komunitas yang berasal dari peserta kegiatan-kegiatan Geotrek yang telah dilaksanakan. Komunitas ini terdiri dari berbagai kalangan yang ingin belajar banyak dan tertarik dengan wisata edukatif yang ditawarkan oleh komunitas ini. Hal ini terlihat dari materi yang disampaikan ketika melakukan wisata. Mereka menyiapkan pakar yang menjadi ahli dalam bidangnya dan menyiapkan bundel materi. Interaksi antar anggota komunitas terjadi di dalam facebook cukup intensif terjadi terutama ketika ada publikasi kegiatan yang dilakukan. Interaksi inilah membangun komunitas ini dan membuat informasi bergerak dinamis dalam komunitas ini.

Komunitas Mahanagari merupakan komunitas yang terdiri dari konsumen-konsumen dan penggemar setia Mahanagari. Selain konsumen, kontributor-kontributor desain juga merupakan anggota komunitas ini. Dari hasil internet research yang dilakukan, komunitas ini sangat aktif dalam mengkampanyekan sejarah dan budaya Bandung. Mahanagari sering mengeluarkan foto-foto Bandung pada jaman kolonial Belanda dan memperlihatkan bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Bandung kala itu lalu dibandingkan dengan kondisinya sekarang. Dari situ, komunitas ini membangun rasa bangga masyarakat yang lebih luas terhadap Bandung.

PRODUK WISATA KOMUNITAS KREATIF DI SITUS GUNUNG PADANG

Menurut Yoeti (2007) Produk wisata merupakan rangkaian jasa yang tidak hanya memiliki segi ekonomis tapi juga mempunyai segi sosial, psikologis dan alam. Produk wisata juga merupakan gabungan dari tiga komponen yaitu (1)atraksi suatu daerah tujuan wisata, (2)fasilitas yang tersedia, dan (3) aksesibilitas ke dan dari

| 18

Page 19: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

daerah tujuan wisata. Dalam pembahasan ini, dijelaskan juga tentang bagaimana produk wisata tersebut direncanakan dan dikembangkan oleh komunitas kreatif.

Produk wisata yang dikembangkan tiap komunitas memiliki ciri khas tersendiri dalam memberikan pengalaman kepada peserta tur. Karakteristik komunitas kreatif mempengaruhi bentuk produk wisata dari bagaimana cara komunitas kreatif tersebut merencanakan hingga apa saja fasilitas yang diberikan kepada peserta tur. Tur yang dilaksanakan mengunjungi daya tarik yang sama namun dari penyampaian interpretasi dan fasilitas yang diberikan berbeda satu sama lain. Hal ini disebabkan adanya perbedaan target pasar. Tabel 1 menjelaskan perbedaan antara Komunitas Aleut!, Geotrek Indonesia dan Mahanagari.

Komunitas Aleut! melaksanakan kegiatannya dengan prinsip dari komunitas, oleh komunitas dan untuk komunitas. Dari awal perencanaan hingga setelah melakukan perjalanan semua dilakukan bersama-sama dengan penggiat-penggiat aktif lainnya. Hal tersebut akan menambah pengalaman yang diberikan ke penggiat aktif yang ikut perjalanan termasuk perjalanan ke Gunung Padang. Saling berbagi informasi dan berdiskusi akan membuat penggiat aktif mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam. Penulisan cerita perjalanan di dalam facebook adalah salah satu cara berbagi di dalam Aleut! sendiri.

Namun dengan adanya penulisan cerita perjalanan tersebut di media sosial dan internet, maka itu secara tidak langsung membuka informasi tentang Gunung Padang ke masyarakat yang lebih luas, tidak hanya ke dalam komunitas. Geotrek Indonesia mengembangkan perjalanan yang lebih nyaman dan aman dibandingkan oleh Komunitas Aleut!. Hal tersebut dapat dilihat dari fasilitas-fasilitas yang ditawarkan. Pengetahuan yang diberikan juga terdiri dari berbagai pandangan sehingga memperkaya pengetahuan bagi peserta. Peserta mendapatkan pengetahuan dari pakar-pakar yang ikut hadir dalam tur tersebut. Penyampaian interpretasi tidak hanya secara lisan melainkan melalui leaftlet dan buku materi yang telah diberikan di awal perjalanan. Namun komunitas ini tidak melupakan sisi menyenangkan dari wisata budaya.

Gambar 3 Contoh Leaflet Mahanagari

Mahanagari sebagai sebuah perusahaan mengutamakan konsumen sebagai raja, dimana konsumen diberikan fasilitas-fasilitas yang memuaskan. Dari ketiga komunitas yang menjadi responden, Mahanagari adalah komunitas yang mempersiapkan rencana perjalanan dengan sangat rinci dan memberikan fasilitas yang paling lengkap. Dari segi materi, Mahanagari belum terlalu matang

| 19

Page 20: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

dibandingkan dengan Geotrek Indonesia. Namun untuk sebuah wisata edukatif, Mahanagari telah memberikan materi yang cukup untuk target pasar yang sesuai.

Tabel 1 Perbandingan Produk Wisata Komunitas Aleut!, Geotrek Indonesia dan Mahanagari

No

Aspek Aleut! Geotrek Mahanagari

Proses Perencanaan1 Ide Berasal dari

ide penggiatBerasal dari Ridwan Hutagalung

Berasal dari pencarian pusaka budaya

2 Bahan Interpretasi Hasil internet research

Dari Pakar-pakar yang diundang, yang telah melakukan riset

Hasil riset

3 Publikasi Melalui Jarkom dan Media Sosial

Melalui Media Sosial (facebook)

Melalui brosur, media sosial (facebook)

4 Persiapan perjalanan Disiapkan oleh penggiat-penggiatnya

Disiapkan oleh Ridwan Hutagalung dan Ummy Latifah

Disiapkan dan disurvei terlebih dulu oleh pekerja-pekerja di Mahanagari

Pelaksanaan Tur6 Rute yang dijalankan Bandung -

Stasiun Lampegan - Gunung Padang - Bandung

Bandung - Stasiun Padalarang- Stasiun Cianjur - Stasiun Lampegan - Gunung Padang - Bandung

Bandung - Stasiun Lampegan - Gunung Padang - Curug Cikondang - Bandung

7 Fasilitas Transportasi (2 bus sedang), interpreter

Transportasi (minibus dan sebagian memakai kendaraan pribadi), interpreter, makan 1x

Transportasi (elf), interpreter dan guide, makan 1x

8 Interpreter Ridwan Hutagalung, Juru Pelihara, Penggiat aktif

Pakar : Budi Brahmantyo, Lucky Hendrawan, Lutfi Yondri, Awang HS dan Juru Pelihara

Guide terlatih, Juru pelihara

9 Kegiatan yang dilakukan Berdiskusi Berdiskusi dengan Pakar

Menikmati perjalanan sambil belajar

| 20

Page 21: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

No

Aspek Aleut! Geotrek Mahanagari

10 Peserta (Pasar) Penggiat aktif dan tidak aktif

Pendaftar Pendaftar

Pasca Pelaksanaan11 Kegiatan Pasca

PelaksanaanPenulisan di blog

 -  -

PERAN KOMUNITAS KREATIF DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA BUDAYA

Dari beberapa prinsip yang dikeluarkan ICOMOS, EAHTR, WTO, dan definisi-definisi dari McKercher dan du Cros (2002), pengembangan pariwisata budaya terdiri dari empat (4) elemen yaitu pariwisata, penggunaan asset pusaka budaya, konsumsi pengalaman dan produk wisata serta wisatawan. Elemen-elemen tersebut dijelaskan sebagai berikut. Pariwisata

Pariwisata budaya menarik pengunjung dari luar wilayah ke aset budaya dengan tujuan utama bersenang-senang dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu pariwisata budaya ini harus memperhatikan hubungan antar stakeholder di dalam pengelolaan pariwisata tersebut sehingga pengunjung mendapatkan kesenangan yang cukup. Pariwisata juga harus memberikan manfaat terhadap pengelolaan pusaka budaya itu sendiri dengan adanya alokasi pendapatan untuk pengelolaan tersebut.

Penggunaan Aset Pusaka BudayaAset pusaka budaya merupakan suatu hal yang tidak hanya dipakai untuk generasi yang ada sekarang namun juga diturunkan ke generasi selanjutnya baik yang bersifat tangible maupun intangible. Dalam kenyataannya, sudah banyak pengelolaan terhadap tangible heritage namun tidak banyak yang melakukan konservasi nilai intriksik di dalamnya. Oleh karena itu interpretasi aset budaya sangat penting dilakukan. Dalam kaitannya dalam pariwisata itu sendiri, harus bisa mengelola dan mengubah pusaka budaya untuk ke dalam produk wisata untuk memfasilitasi penggunaan aset budaya oleh wisatawan.

Konsumsi pengalaman dan produk wisata budaya Wisatawan mengkonsumsi pengalaman dan produk wisata berbeda-beda sesuai dengan motif awal kunjungan wisatawan ke sebuah aset pusaka budaya. Hal tersebut harus difasilitasi dengan membentuk produk wisata yang menyajikan aset budaya tersebut sedemikian rupa sehingga dapat memuaskan wisatawan yang berkunjung ke aset budaya.

WisatawanJenis wisatawan yang datang berbeda-beda dari mulai wisatawan yang melakukan kunjungan untuk mengejar ilmu hingga wisatawan yang hanya menjadikan aset pusaka budaya sebagai tempat singgah dan dengan keingintahuan yang sangat sedikit. Oleh karena itu, harus difasilitasi dengan penyajian informasi yang sesuai dengan karakteristik wisatawan dan penyediaan fasilitas yang cukup.

| 21

Page 22: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

Dari elemen pariwisata, komunitas-komunitas kreatif telah berperan dalam memberikan manfaat kepada masyarakat setempat melalui pemberian kesempatan kerja sebagai local guides atau interpreter dan menyediakan alokasi pendapatan untuk penjagaan, konservasi dan penyajian objek wisata. Hal tersebut digambarkan dari blog-blog yang menceritakan perjalanannya dengan komunitas-komunitas ini. Di dalam blog Komunitas Aleut!, ada dua tulisan tentang Gunung Padang. Di antaranya adalah menjelaskan tentang perasaannya yang menyenangkan dalam perjalanan dan pengetahuannya tentang Gunung Padang itu sendiri.

Dalam pengelolaan dan penggunaan aset pusaka budaya komunitas kreatif berperan dalam memberikan interpretasi yang meningkatkan apresiasi dan pengetahuan tentang pusaka budaya, menyajikan pentingnya pusaka budaya dengan cara yang mudah dimengerti, mengkonservasi nilai intrinsik. memberikan interpretasi yang mendorong kepedulian dan dukungan publik terhadap pusaka budaya, dan mengubah pusaka budaya menjadi produk wisata budaya umtuk memfasilitasi konsumsi pengalaman. Hal tersebut terlihat dalam cara komunitas menginterpretasikan dan meyajikan informasi bagi wisatawan. Dalam pengembangan pariwisata budaya nilai intrinsik harus dijaga dengan baik karena hal tersebut merupakan warisan dari generasi sebelumnya dan harus diteruskan ke generasi selanjutnya. Komunitas-komunitas ini menurunkan nilai intrinsik tersebut melalui interpretasi yang diberikan juru pelihara. Komunitas-komunitas ini juga secara tidak langsung telah mendorong kepedulian dan dukungan publik terhadap pusaka budaya dengan memberikan informasi dan interpretasi di dalam blog, website ataupun facebook.

Dalam elemen konsumsi pengalaman dan produk wisata, komunitas kreatif berperan dalam memberikan kesempatan bagi pengunjung dan komunitas setempat untuk mengalami dan mengerti budaya dan pusaka komunitas secara langsung, mendorong pengunjung mengetahui lebih banyak dan merasakan pusaka budaya di suatu wilayah, dan memastikan pengalaman pengunjung bermanfaat, memuaskan dan menyenangkan. Komunitas-komunitas kreatif ini memberikan kesempatan bagi peserta tur yang mereka adakan untuk melihat langsung situs Gunung Padang dan mengerti nilai-nilai yang ada di dalamnya. Komunitas ini juga memastikan pengalaman peserta tur bermanfaat dengan memastikan kegiatan tur yang dilakukan terencana dengan baik dan menyiapkan bahan materi interpretasi yang sesuai dengan peserta tur.

Dalam elemen wisatawan, komunitas-komunitas kreatif yang melakukan tur ke Gunung Padang telah berperan dalam menyajikan informasi yang berkualitas untuk mengoptimalkan pengertian dan pengetahuan terhadap pusaka budaya, dan menyediakan fasilitas yang cukup untuk kenyamanan, keamanan, dan kesejahteraan pengunjung. Komunitas-komunitas kreatif yang mengembangkan tur ke Gunung Padang memberikan wisatawan fasilitas dan informasi yang cukup dan sesuai dengan peserta tur yang diadakan masing-masing komunitas.

KESIMPULAN

Komunitas kreatif yang merencanakan perjalanan Gunung Padang, mempunyai karakteristik yang beragam. Komunitas tersebut mempunyai tujuan masing-masing.

| 22

Page 23: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

Namun ketiganya memiliki persamaan. Ketiga komunitas ini adalah komunitas yang menjadikan wisata sebagai alat untuk belajar. Hal tersebut dapat dilihat dalam perencanaan perjalanan tiap-tiap komunitas. Dalam tahap perencanaan perjalanan, komunitas ini menekankan kepada persiapan materi untuk interpretasi bagi diri mereka sendiri ataupun bagi konsumen yang menjadi peserta tur. Hal tersebut sangat mendukung pengembangan pariwisata budaya yang berkelanjutan. Komunitas-komunitas ini juga sangat aktif dalam media sosial seperti facebook dan blog. Dengan adanya aktivitas yang dinamis dalam media sosial dan blog tersebut, informasi tentang tempat yang didatangi akan cepat menyebar. Komunitas-komunitas kreatif yang mengembangkan prosuk wisata ke Gunung Padang berbeda dalam sisi keanggotaan dan latar belakang keanggotaan komunitas.

Berdasarkan hasil analisis, komunitas kreatif telah berperan dalam pengembangan pariwisata budaya dalam keempat elemen yang ada dengan penjabaran sebagai berikut.

1. Memberikan manfaat kepada masyarakat setempat melalui pemberian kesempatan kerja sebagai local guides atau interpreter.

2. Menyediakan alokasi pendapatan untuk penjagaan, konservasi dan penyajian objek wisata.

3. Memberikan interpretasi yang meningkatkan apresiasi dan pengetahuan tentang pusaka budaya.

4. Menyajikan pentingnya pusaka budaya dengan cara yang mudah dimengerti. 5. Mengkonservasi nilai intrinsik. 6. Memberikan interpretasi yang mendorong kepedulian dan dukungan publik

terhadap pusaka budaya. 7. Mengubah pusaka budaya menjadi produk wisata budaya un tuk

memfasilitasi konsumsi pengalaman.8. Memberikan kesempatan bagi pengunjung dan komunitas setempat untuk

mengalami dan mengerti budaya dan pusaka komunitas secara langsung. 9. Mendorong pengunjung mengetahui lebih banyak merasakan pusaka budaya

di suatu wilayah. 10. Memastikan pengunjung puas, senang dan mendapatkan pengalaman.11. Menyajikan informasi yang berkualitas untuk mengoptimalkan pengertian

dan pengetahuan terhadap pusaka budaya. 12. Menyediakan fasilitas yang cukup untuk kenyamanan, keamanan, dan

kesejahteraan pengunjung.

REKOMENDASI

Studi ini dapat menjadi rekomendasi terhadap pengembangan pariwisata budaya di wilayah lain. Komunitas kreatif yang mengadakan tur wisata bisa menjadi salah satu potensi yang dikembangkan oleh pemerintah dalam mengembangkan produk-produk wisata ke daya tarik wisata budaya lainnya. Jika melihat hasil studi, berikut adalah rekomendasi untuk komunitas kreatif dan pemerintah dalam hal pengembangan pariwisata budaya.a. Komunitas kreatif perlu meningkatkan hubungan dengan masyarakat setempat

dalam pengembangan pariwisata budaya ini. Masyarakat setempat mempunyai hak terhadap wilayahnya dan seharusnya mendapatkan manfaat ketika

| 23

Page 24: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

wisatawan datang ke wilayah mereka. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberdayakan komunitas setempat dalam pengadaan fasilitas.

b. Komunitas kreatif hendaknya bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam mengadakan fasilitas yang memadai bagi pengunjung situs.

c. Dalam pengembangan wisata budaya, konservasi nilai-nilai yang ada di masyarakat harus dilakukan, oleh karena itu, komunitas kreatif seharusnya bisa mempelajari nilai-nilai tersebut dan menurunkannya kepada wisatawan atau peserta tur.

d. Komunitas ini dapat menjadi fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat sekitar Gunung Padang baik dalam menjaga nilai intrinsik ataupun memajukan pariwisata budaya yang terjalin di dalam Situs Gunung Padang.

DAFTAR PUSTAKA

Florida, R. (2002). The Rise of Creative Class. Cambrigde: Basic Books.McKercher, B., & du Cros, H. 2002. Cultural Tourism : The Partnership Between

Tourism and Cultural Heritage Management. New York: The Haworth Hospitality Press.

Nafila, Oktaniza. 2012. Karakteristik dan Peran Komunitas Kreatif dalam Pengembangan Pariwisata Budaya di Situs Megalitikum Gunung Padang. Tugas Akhir Perencanaan Wilayah dan Kota ITB

Undang- Undang No. 10 tahun 2009 tentang KepariwisataanWebsite Resmi ICOMOS. http://www.icomos-ictc.org/ (diakses Februari, 2012)Yoeti, O. A. 2007. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta: PT. Pradnya

Paramitha.

| 24

Page 25: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

| 25

Page 26: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGEMBANGAN SITUS MEGALIT GUNUNG PADANG SEBAGAI DAYA TARIK PARIWISATA BUDAYA BERKELANJUTAN DI KABUPATEN CIANJUR

oleh Yescha Nuradisa Ekarachmi D. dan Rina Priyani

Abstrak

Situs Megalit Gunung Padang yang terletak di Kabupaten Cianjur merupakan benda cagar budaya berupa bangunan punden berundak yang diperkirakan sebagai situs megalit terbesar di Asia Tenggara. Tiga tahun belakangan ini Situs Megalit Gunung Padang mulai menjadi sorotan dan diketahui oleh banyak orang. Hal ini menyebabkan mulai banyak wisatawan yang berdatangan ke situs ini. Menyadari adanya potensi pariwisata yang dimiliki oleh Situs Megalit Gunung Padang, pemerintah Kabupaten Cianjur dan Provinsi Jawa Barat sedang mengembangkan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang. Pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang tentunya akan melibatkan banyak pihak di dalamnya dengan kepentingan yang berbeda – beda. Sehubungan dengan keberadaan situs ini sebagai benda cagar budaya, dan agar situs ini dapat menjadi tempat penelitian arkeologi sekaligus sebagai tempat wisata budaya dan pendidikan yang berkelanjutan, diperlukan analisis stakeholder yang terlibat dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang untuk mengidentifikasi kondisi pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang sebagai obyek pariwisata budaya berkelanjutan berdasarkan peran stakeholder yang terlibat.

Kata-kunci: pariwisata budaya, stakeholder, peran, kepentingan dan pengaruh, pengembangan pariwisata, Situs Megalit Gunung Padang.

PENDAHULUAN

Pariwisata budaya dapat diartikan sebagai suatu kegiatan wisata yang berkaitan dengan ritual budaya yang sudah menjadi tradisi. Pariwisata budaya memiliki dua jenis cakupan dari kebudayaan yang ingin disajikan, yaitu tangible heritage dan intangible heritage. Tangible heritage merupakan aset yang memiliki perwujudan fisik dan nilai – nilai budaya, seperti situs arkeologi atau benda – benda seni. Sementara itu, intangible heritage merupakan budaya tradisional, tradisi lisan, atau budaya populer yang dipertunjukkan dan memiliki keterkaitan erat dengan tempat atau suatu wilayah tertentu, seperti bahasa daerah, tarian tradisional, serta makanan tradisional.

Situs Megalit Gunung Padang merupakan salah satu potensi pariwisata budaya yang ada di Kabupaten Cianjur. Situs Megalit Gunung Padang terletak di Kampung Gunung Padang dan Kampung Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Situs ini berjarak kurang lebih 35 km dari pusat Kabupaten

| 26

Page 27: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

Cianjur. Situs Megalit Gunung Padang pertama kali dilaporkan keberadaannya oleh peneliti kepurbakalaan zaman Belanda, N. J. Krom, pada tahun 1914. Situs Megalit Gunung Padang merupakan bangunan punden berundak peninggalan zaman prasejarah, yang diperkirakan sebagai situs megalit terbesar di Asia Tenggara. Sejak dilaporkan kembali keberadaannya pada tahun 1979 hingga saat ini, Situs Megalit Gunung Padang masih menjadi obyek penelitian para ahli untuk mengungkap bentuk utuh dan nilai sejarah yang dimiliki oleh situs ini.

Situs Megalit Gunung Padang bentuknya agak berbeda dengan bangunan punden berundak lain yang umumnya memiliki bentuk tersusun ke atas. Selain tersusun ke atas, Situs Megalit Gunung Padang juga memanjang ke belakang. Kawasan zona inti Situs Megalit Gunung Padang terdiri dari 5 teras yang terletak di puncak bukit, yang dikelilingi oleh sisa – sisa teras di bagian lereng yang mengelilingi zona inti. Hasil penelitian arkeologi menyatakan bahwa struktur batuan yang ada di Situs Megalit Gunung Padang merupakan buatan tangan manusia yang diperkirakan dibuat sekitar 4.800 tahun sebelum masehi. Situs ini juga diperkirakan dibangun untuk keperluan penyembahan.

Gambar 1. Teras I Zona Inti Situs Megalit Gunung Padang

Selain kawasan zona inti, terdapat pula potensi pariwisata di kawasan sekitar zona inti Situs Megalit Gunung Padang. Potensi tersebut diantaranya adalah :

1. Sumur KahuripanSumur kahuripan terletak di depan tangga utama Situs Megalit Gunung Padang. Air yang bersumber dari sumur ini dianggap bisa menyucikan.

2. Perkebunan TehPerkebunan teh terhampar luas di sepanjang jalan menuju Situs Megalit Gunung Padang, yang kurang lebih berjarak 8 km sebelum kawasan zona inti.

3. Terowongan LampeganTerowongan Lampegan berada di dekat Stasiun Lampegan, yang berjarak 6 km dari zona inti Situs Megalit Gunung Padang. Saat ini terowongan tersebut tidak dapat dilalui oleh kereta api karena kondisinya yang kurang baik dan sedang dalam proses perbaikan. Terdapat rencana pengembangan jalur kereta wisata Bandung – Cianjur – Lampegan, yang akan melewati terowongan ini dan akan berakhir di Stasiun Lampegan

Menyadari potensi pariwisata yang dimiliki oleh Situs Megalit Gunung Padang, Kabupaten Cianjur ingin menjadikan situs ini sebagai tujuan pariwisata sekaligus tujuan pendidikan unggulan di Kabupaten Cianjur. Dalam melakukan pengembangan potensi pariwisata yang dimiliki oleh Situs Megalit Gunung Padang

| 27

Page 28: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

tentunya perlu dipertimbangkan pelestarian keberadaan situs ini sebagai suatu benda cagar budaya.

Gambar 2. Terowongan Stasiun Kereta Api Lampegan

Pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang tentunya akan melibatkan banyak pihak yang berkepentingan dengan kepentingan yang beragam. Hal yang akan menjadi persoalan adalah ketika pihak – pihak yang berkepentingan tersebut belum menjalankan perannya dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang, terkait dengan kepentingan yang dimiliki oleh masing – masing pihak.

Penelitian ini dilakukan karena “Situs Megalit Gunung Padang merupakan benda cagar budaya yang dikembangkan menjadi obyek pariwisata, sehingga perlu dilakukan analisis stakeholder yang terlibat dalam pengembangan kegiatan pariwisata yang dilakukan”. Dengan melakukan analisis stakeholder, diharapkan dapat mengidentifikasi kondisi pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang agar pengembangan kegiatan pariwisata yang dilakukan dapat berkelanjutan ditinjau dari keberadaan stakeholder yang terlibat. Penelitian ini dilakukan untuk melakukan analisis stakeholder yang terlibat dalam pengembangan Situs Megalit Gunung Padang sebagai obyek pariwisata budaya berkelanjutan.

Tujuan penelitian tersebut akan dicapai dengan sasaran penelitian sebagai berikut :1. Teridentifikasi stakeholder yang terlibat dalam pengembangan kegiatan

pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang;2. Teridentifikasi peran stakeholder;3. Teridentifikasi kepentingan dan pengaruh stakeholder; dan4. Teridentifikasi kondisi pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit

Gunung Padang sebagai obyek pariwisata budaya berkelanjutan berdasarkan peran stakeholder yang terlibat.

METODE PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian ini data dan informasi yang digunakan berasal dari hasil wawancara responden yang dipilih menjadi narasumber, yang merupakan pihak – pihak yang terlibat dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang. Responden dipilih dengan menggunakan metode purposive yang mana responden dipilih berdasarkan tujuan tertentu. Kriteria pemilihan responden yang digunakan diadaptasi dari kriteria pemilihan responden yang dikemukakan oleh Schmeer (1999), yang disesuaikan dengan pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang. Responden dipilih dengan kriteria sebagai berikut :

| 28

Page 29: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

1. Memiliki tanggung jawab dalam pelaksanaan pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang;

2. Memahami kebijakan yang terkait dengan pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang;

3. Memiliki kepentingan terkait dengan pegembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang;

4. Memiliki kemungkinan untuk berhubungan atau dipengaruhi oleh kebijakan terkait dengan pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang;

5. Memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi implementasi dari kebijakan yang terkait dengan pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang; dan

6. Memiliki hubungan dengan stakeholder lain.

Responden pertama kemudian dipilih berdasarkan kriteria pemilihan responden tersebut, dan responden tersebut merupakan pihak yang memiliki kewenangan dalam hal kegiatan pariwisata di Jawa Barat dan Kabupaten Cianjur serta responden merupakan penggagas pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang. Berdasarkan kriteria tersebut, Bidang Kepariwisataan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat dan Bidang Kepariwisataan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur dipilih menjadi responden awal. Responden selanjutnya dipilih menggunakan metode snowball, yang mana aktor yang akan menjadi responden selanjutnya merupakan responden yang disebutkan atau direkomendasikan oleh responden yang telah diwawancara, dengan pertimbangan responden selanjutnya akan memberikan informasi yang dibutuhkan dengan memadai dan memenuhi kriteria pemilihan responden. Stakeholder yang didapatkan dengan metode snowball dan memenuhi kriteria pemilihan responden adalah :

1. Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisional Provinsi Jawa Barat;

2. Bidang Kebudayaan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat;

3. Bidang Kesenian dan Budaya, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur;

4. Juru Pelihara Situs Megalit Gunung Padang Cianjur; dan5. Wakil Ketua Forum Masyarakat Peduli Situs Megalit Gunung Padang

(FMPSMGP).

Informasi untuk penelitian ini juga didapatkan dengan melakukan observasi lapangan. Observasi lapangan dilakukan dengan menjadi wisatawan di Situs Megalit Gunung Padang dan mengamati kegiatan yang dikerjakan oleh juru pelihara dan FMPSMGP dalam hal pengelolaan, pemeliharaan, dan penjagaan keamanan di Situs Megalit Gunung Padang, serta mengamati ketika juru pelihara bertindak sebagai pemandu wisata.

Selain melakukan survei primer untuk mengumpulkan data dan informasi, dalam penelitian kali ini juga dilakukan survei data sekunder berupa internet research dan survei instansi untuk memperoleh data dan informasi penunjang. Selain itu, dilakukan pula studi literatur untuk memperoleh pemahaman teoretis serta pendalaman konsep yang terkait dengan penelitian ini, yang bersumber dari buku,

| 29

Page 30: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

dokumen tugas akhir, thesis, dan jurnal penelitian. Studi literatur yang dilakukan kemudian dijadikan sebagai landasan dalam melakukan penelitian ini.

Gambar 3. Kerangka Berpikir Penelitian

Tabel 1. Identifikasi Stakeholder yang Terlibat dalam Pengembangan Kegiatan Pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang

Kelompok Stakeholder Berdasarkan

Teori

Stakeholder yang Terlibat di Situs Megalit Gunung Padang

Pemerintah

Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan Indonesia

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang (BP3 Serang)Pusat Penelitian Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas)Balai Arkeologi Bandung

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

Provinsi Jawa Barat

Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisional Provinsi Jawa BaratBidang KebudayaanBidang Kepariwisataan

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Kabupaten Cianjur

Bidang Kesenian dan Budaya Kebudayaan

Bidang Kepariwisataan

Juru Perlihara Situs Megalit Gunung PadangPenyelenggara

Usaha Pariwisata

Informal SectorMasyarakat lokal yang membuka usaha dagang seperti pedagang

makanan, cinderamata, dan penarik ojeg.Masyarakat

LokalForum Masyarakat Peduli Situs Megalit Gunung Padang

(FMPSMGP)

| 30

Peran stakeholder yang terlibat berdasarkan hasil analisis stakeholder dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang sebagai objek

pariwisata budaya berkelanjutan

SITUS MEGALIT GUNUNG PADANG

Benda cagar budaya peninggalan zaman prasejarah

yang masih menjadi objek penelitian para arkeolog

Dianggap sebagai potensi pariwisata yang akan

dikembangkan menjadi wisata unggulan Kabupaten Cianjur

Akan melibatkan banyak pihak yang berkepentingan dalam melakukan pengembangan kegatan pariwisata

Situs Megalit Gunung Padang merupakan benda cagar budaya yang dikembangkan menjadi objek pariwisata, sehingga perlu dilakukan analisis stakeholder yang terlibat

dalam pengembangan kegiatan pariwisata yang dilakukan

Melakukan analisis stakeholder yang terlibat dalam pengembangan Situs Megalit Gunung Padang sebagai objek pariwisata budaya berkelanjutan

Teridentifikasi kondisi pengembangan

pariwisata berdasarkan peran stakeholder

Teridentifikasi kepentingan

dan pengaruh stakeholder

Teridentifkiasi peran

stakeholder yang terlibat

Teridentifikasi stakeholder yang terlibat

Page 31: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

Data dan informasi yang didapatkan untuk penelitian ini kemudian dianalisis dengan metode utama berupa metode deskriptif kualitatif. Metode analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk menganalisis data berupa dokumen literatur dan atau hasil wawancara. Teknik analisis yang digunakan dalam metode analisis deskriptif kualitatif pada penelitian kali ini adalah :

1. Stakeholder Analysis Stakeholder analysis yang digunakan pada penelitian kali ini digunakan

untuk mengidentifikasi stakeholder kunci dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang. Tahapan yang digunakan untuk mengidentifikasi stakeholder kunci tersebut berdasarkan pedoman yang dituliskan oleh Schmeer (1999) adalah :- Menggabungkan dan menelaah ulang informasi yang ada;- Mengembangkan daftar seluruh stakeholder yang mungkin terlibat;- Mengembangkan stakeholder yang diprioritaskan; dan- Mendefinisikan karakteristik stakeholder.2. Content Analysis

Weber (dalam Zulfahmi, 2010) menjelaskan bahwa analisis isi merupakan metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen. Metode analisis ini digunakan dengan mempertimbangkan jenis data dan informasi yang dioleh berupa dokumen resmi atau transkrip wawancara. Analisis ini dilakukan untuk membantu dalam mengolah data dan informasi yang didapatkan menjadi temuan studi yang mengarahkan pada penyimpulan hasil analisis stakeholder dalam pengembangan Situs Megalit Gunung Padang sebagai obyek pariwisata budaya berkelanjutan.

STAKEHOLDER YANG TERLIBAT DALAM PENGEMBANGAN KEGIATAN PARIWISATA DI SITUS MEGALIT GUNUNG PADANG

Menurut Schmeer (1999), stakeholder dalam suatu proses adalah aktor (perseorangan ataupun kelompok) yang memiliki kepentingan dalam suatu kebijakan atau program yang akan atau sedang dijalankan. Suwantoro (1997) membagi stakeholder yang terlibat dalam kegiatan pariwisata menjadi 4 kelompok, yaitu komponen pemerintah, komponen penyelenggara pariwisata, komponen masyarakat penerima pariwisata, serta komponen wisatawan. UNESCO (2003) membagi stakeholder yang terlibat dalam pengembangan aset budaya menjadi objek pariwisata menjadi 4, yaitu public sector, commercial sector, heritage group, dan community. Sementara itu, Pitana dan Gayatri (2005) menyebutkan bahwa sektor pariwisata ditopang oleh tiga pilar utama, yaitu regulator/fasilitator, pendukung/pemilik modal pariwisata, serta pelaku langsung pelayanan wisata. Kemudian dilakukan analisis yang menghasilkan suatu kesimpulan kelompok stakeholder yang mungkin terlibat dalam penyelenggaraan kegiatan pariwisata, yaitu kelompok pemerintah, penyelenggara usaha pariwisata, dan masyarakat lokal. Stakeholder yang terlibat dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang Berdasarkan kelompok tersebut tersaji pada Tabel 1.

| 31

Page 32: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

PERAN STAKEHOLDER DALAM PENGEMBANGAN KEGIATAN PARIWISATA DI SITUS MEGALIT GUNUNG PADANG

Peran yang dijalankan stakeholder dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang dapat dibagi menjadi peran dalam ranah budaya, ranah pariwisata, dan dalam ranah budaya dan pariwisata. Peran dalam ranah budaya dijalankan oleh stakeholder dalam hal pelestarian, penetapan, dan penelitian di Situs Megalit Gunung Padang, yang menempatkan Situs Megalit Gunung Padang sebagai benda cagar budaya. Kegiatan pelestarian yang dilakukan adalah dengan melakukan perlindungan, pemeliharaan, pemugaran, pemasangan rambu – rambu, serta sosialisasi undang – undang. Stakeholder yang berperan dalam hal pelestarian adalah BP3 Serang, Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisional Provinsi Jawa Barat, dan Bidang Kesenia dan Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur. Stakeholder yang memiliki peran dalam hal penetapan adalah stakeholder yang memiliki wewenang untuk menetapkan Situs Megalit Gunung Padang agar diakui keberadaannya sebagai benda cagar budaya. Stakeholder yang berperan dalam hal penetapan adalah Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Stakeholder yang berperan dalam hal penelitian adalah pihak yang melakukan penelitian arkeologi di Situs Megalit Gunung Padang untuk mengungkap bentuk utuh dan nilai sejarah yang dimiliki oleh Situs Megalit Gunung Padang. Stakeholder yang berperan dalam melakukan penelitian di Situs Megalit Gunung Padang adalah Puslitbang Arkenas dan Balai Arkeologi Bandung.

| 32

Pariwisata

Pelaksana Teknis Pengembangan

Pelestarian Penelitian

Kebijakan Pengembangan

Budaya

Men

em

patka

n

Bidang KepariwisataanDinas Pariwisata dan Kebudayaan

Provinsi Jawa Barat

Bidang KepariwisataanDinas Kebudayaan dan Pariwisata

Kabupaten CianjurKoordinasi

Bidang Kesenian dan BudayaDinas Kebudayaan dan

Pariwisata Kabupaten Cianjur(kabupaten)

Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah dan

Nilai TradisionalProvinsi Jawa Barat

(provinsi)

BP3 Serang(nasional)

Balai Arkeologi Bandung(provinsi)

Puslitbang Arkenas(nasional)

Penetapan

FMPSMGPJuru PeliharaSitus Megalit Gunung

Padang

Bidang KebudayaanDinas Pariwisata dan

KebudayaanProvinsi Jawa Barat

PenelitianPenelitianPenelitianPenelitianPenelitianPenelitianPelestarianPelestarianPelestarianPelestarianPelestarianPelestarian

Kebijakan PengembanganKebijakan PengembanganKebijakan PengembanganKebijakan PengembanganKebijakan PengembanganKebijakan Pengembangan Pelaksana Teknis PengembanganPelaksana Teknis PengembanganPelaksana Teknis PengembanganPelaksana Teknis PengembanganPelaksana Teknis PengembanganPelaksana Teknis Pengembangan

Page 33: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

Gambar 4. Pemetaan Peran Stakeholder

Dalam hal peran stakeholder pada ranah pariwisata, Bidang Kepariwisataan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat bertindak sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan pengembangan, sementara Bidang Kepariwisataan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur berperan sebagai pelaksana teknis pengembangan. Peran yang dijalankan tersebut terkait dengan rencana pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang. Stakeholder yang berperan dalam ranah budaya dan pariwisata adalah stakeholder yang berada langsung di Situs Megalit Gunung Padang dan terlibat dalam kegiatan pelestarian dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata, stakeholder tersebut adalah juru pelihara dan FMPSMGP. Pada mulanya, juru pelihara dan FMPSMGP berperan untuk menjaga kelestarian Situs Megalit Gunung Padang sebagai benda cagar budaya. Namun, adanya kegiatan pariwisata yang terjadi membuat pihak – pihak tersebut juga berinteraksi langsung dengan kegiatan pariwisata.

KEPENTINGAN DAN PENGARUH STAKHOLDER DALAM PENGEMBANGAN KEGIATAN PARIWISATA DI SITUS MEGALIT GUNUNG PADANG

Dilakukan pemetaan kepentingan dan pengaruh untuk mengetahui stakeholder utama yang menjadi penggerak dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang. Penilaian akan tinggi atau rendahnya kepentingan dan pengaruh yang dimiliki oleh stakeholder diadaptasi dari tahapan stakeholder analysis yang dikemukakan oleh Schmeer (1999). Kepentingan tinggi ditentukan dengan adanya kepentingan yang dimiliki oleh stakeholder yang menyebabkan stakeholder tersebut terlibat dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang. Stakeholder yang tingkat kepentingannya rendah merupakan stakeholder yang tidak teridentifikasi memiliki kepentingan dalam hal pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang.

Sementara itu, penilaian akan pengaruh stakeholder didasarkan pada sumber daya yang dimiliki oleh stakeholder, serta kemampuan stakeholder untuk mengerahkan sumberdaya tersebut. Stakeholder dengan pengaruh tinggi ditentukan dengan kemampuan stakeholder tersebut yang dapat membuat keputusan terkait dengan penggunaan sumber daya yang dimiliki dalam hal pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang. Sedangkan stakeholder tersebut dinilai memiliki pengaruh yang rendah apabila stakeholder tersebut tidak bisa membuat keputusan terkait dengan penggunaan sumber daya dalam hal pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang. Stakeholder dengan Kepentingan Tinggi – Pengaruh Tinggi

Stakeholder yang berada pada kelompok ini adalah Bidang Kebudayaan dan Bidang Kepariwisataan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan provinsi Jawa Barat, serta Bidang Kesenian dan Budaya dan Bidang Kepariwisataan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur. Stakeholder pada kelompok ini merupakan penggerak utama dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang.

Stakeholder dengan Kepentingan Rendah – Pengaruh Tinggi

| 33

Page 34: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

Stakeholder yang berada pada kelompok ini adalah BP3 Serang, serta Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisional Provinsi Jawa Barat. Stakeholder tersebut memiliki kepentingan yang rendah dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang karena stakeholder tersebut lebih berhubungan dengan pelestarian Situs Megalit Gunung Padang. Stakeholder yang berada pada kelompok ini dapat diajak dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang, untuk bekerjasama dan bersinergis terutama dalam hal menjaga kelestariannya.

Stakeholder dengan Pengaruh Rendah – Kepentingan TinggiStakeholder yang berada pada kelompok ini adalah juru pelihara dan FMPSMGP. Stakeholder yang berada pada kelompok ini dapat diberdayakan dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang. Dalam hal ini, FMPSMGP dapat dioptimalkan perannya untuk terlibat dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang sebagai pihak yang juga mengelola kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang.

Stakeholder dengan Pengaruh Rendah – Kepentingan RendahStakeholder yang berada pada kelompok ini adalah Puslitbang Arkenas dan Balai Arkeologi Bandung. Hal ini karena stakeholder tersebut hanya berhubungan dalam hal penelitian yang terjadi di Situs Megalit Gunung Padang, dan tidak terlibat dalam kegiatan pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang. Stakeholder yang berada pada kelompok ini dapat diabaikan, namun dalam pengambangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang ini, stakeholder tersebut ada baiknya untuk tidak diabaikan begitu saja, karena hasil penelitian yang dilakukan oleh stakeholder tersebut dapat menjadi masukan dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang.

FASE PENGEMBANGAN KEGIATAN PARIWISATA DI SITUS MEGALIT GUNUNG PADANG

Butler (1980, dalam Pitana dan Gayatri, 2005) mengembangkan model pengembangan pariwisata yang dikenal dengan istilah destination area lifecycle. Terdapat 7 fase pada model tersebut, yaitu : (1) exploration (eksplorasi) (2) involvement (keterlibatan), (3) development (pembangunan), (4) consolidation (konsolidasi), (5) stagnation (stagnasi), (6) decline (penurunan) dan (7) rejunevation (peremajaan). Berdasarkan data dan informasi yang didapatkan, pengembangan pariwisata yang terjadi di Situs Megalit Gunung Padang berada pada fase development (pembangunan).

Gambar 5. Quadran Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder berdasarkan Peran Stakeholder

| 34

Kepentingan

Kepentingan Tinggi – Pengaruh Tinggi(Pengembangan)

Kepentingan Rendah – Pengaruh Tinggi(Pelestarian)

Kepentingan Tinggi – Pengaruh Rendah(Pengelolaan)

Kepentingan Rendah – Pengaruh Rendah(Penelitian)

Pengaruh

Page 35: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, pengembangan pariwisata yang terjadi di Situs Megalit Gunung Padang bukan merupakan fase yang terjadi secara berurutan, melainkan pengembangan pariwisata dengan fase yang terjadi secara paralel atau bersamaan. Hal ini ditinjau dari jenis kegiatan pariwisata yang sedang terjadi di Situs Megalit Gunung Padang, yang mana pada waktu yang bersamaan masih dilakukan eksplorasi berupa penelitian dan kajian arkeologi di Situs Megalit Gunung Padang karena Situs ini baru saja diteliti kembali. Selain itu, masyarakat lokal mulai menyediakan berbagai fasilitas untuk wisatawan seiring dengan peningkatan jumlah wisatawan, serta pasar pariwisata mulai muncul secara sistematis dan stakeholder lokal (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur) mulai melakukan pembangunan di Situs Megalit Gunung Padang sebagai obyek pariwisata.

PERAN STAKEHOLDER DALAM FASE PENGEMBANGAN KEGIATAN PARIWISATA DI SITUS MEGALIT GUNUNG PADANG

Pada fase eksplorasi yang terjadi di Situs Megalit Gunung Padang bukan hanya merupakan fase penemuan obyek pariwisata baru, tapi juga merupakan fase penelitian dan kajian arkeologi yang ada pada Situs Megalit Gunung Padang. Berkaitan dengan hal tersebut, stakeholder yang terlibat pada fase ini ini adalah pihak – pihak yang memiliki kepentingan untuk melestarikan dan melakukan penelitian di Situs Megalit Gunung Padang.

Pada fase keterlibatan seperti yang dsebutkan oleh Butler bahwa masyarakat lokal mulai menyediakan berbagasi fasilitas yang memang diperuntukkan bagi wisatawan. Dalam hal ini, sector informal mulai tumbuh dengan munculnya kios – kios pedagang makanan dan cinderamata. Selain itu, pada fase ini mulai muncul FMPSMGP di Situs Megalit Gunung Padang. Keberadaan forum ini untuk menjaga Situs Megalit Gunung Padang saat jumlah wisatawan meningkat, juga menjaga keamanan saat kegiatan pariwisata berlangsung. Pada fase ini, juru pelihara pun masih terlibat sebagai penjaga nilai budaya dan arkeologi dari Situs Megalit Gunung Padang yang menjadi daya tarik wisatanya.

Gambar 6. Implementasi Fase Pengembangan Pariwisata Menurut Butler (1980) di Situs Megalit Gunung Padang.

Pada fase pembangunan, Bidang Kepariwisataan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat bertindak sebagai pihak yang mengatur kebijakan pengembangan di Situs Megalit Gunung Padang. Sementara itu, Bidang Kepariwisataan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur merupakan

| 35

Pembangunan

KeterlibatanEksplorasi

Situs Megalit Gunung Padang

Butler (1980)

Pembangunan

Keterlibatan

Eksplorasi

Page 36: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

pelaksanan teknis kebijakan pengembangan di Situs Megalit Gunung Padang. Juru pelihara dan FMPSMGP merupakan pihak yang berinteraksi langsung dengan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang, yang tentunya juga terlibat dalam fase pembangunan.

Tabel 2. Keterlibatan Tiap Stakeholder dalam Tiap Fase Pengembangan Pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang.

Fase Stakeholder

Eksplorasi

BP3 SerangPuslitbang ArkenasBalai Arkeologi BandungBalai Pengelolaan dan Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisional Provinsi Jawa BaratBidang KebudayaanDinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa BaratBidang Kesenian dan BudayaDinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten CianjurJuru Pelihara

Keterlibatan

Masyarakat Lokal (informal sector)Forum Masyarakat Peduli Situs Megalit Gunung Padang (FMPSMGP)Juru Pelihara

Pembangunan

Bidang KepariwisataanDinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa BaratBidang KepariwisataanDinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten CianjurBidang KebudayaanDinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten CianjurJuru PeliharaForum Masyarakat Peduli Situs Megalit Gunung Padang (FMPSMGP)

KESIMPULAN

Dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang, stakeholder yang terlibat dapat dikelompokkan menjadi kelompok pemerintah, kelompok penyelenggara usaha pariwisata, dan masyarakat lokal. Yang memiliki peran paling dominan dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang adalah kelompok pemerintah.

Situs Megalit Gunung Padang merupakan benda cagar budaya yang dikembangkan menjadi obyek pariwisata. Stakeholder yang terlibat dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang terbagi menjadi stakeholder yang berperan dalam ranah budaya, dalam ranah pariwisata, dan dalam ranah budaya dan pariwisata. Stakeholder yang berperan pada ranah budaya lebih mengedepankan untuk kepentingan pelestarian dan penelitian di Situs Megalit Gunung Padang. Stakeholder yang terlibat dalam ranah pariwisata memiliki kepentingan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal. Sementara itu, stakholder yang berperan dalam ranah budaya dan pariwisata merupakan stakeholder yang berperan untuk memelihara dan mengelola Situs Megalit Gunung Padang secara langsung

| 36

Page 37: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

Pengembangan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang saat ini berada pada fase development, dan mengalami fase pengembangan yang terjadi secara bersamaan antara fase exploration, involvement, dan development. Dengan demikian, stakeholder yang terlibat menjalankan perannya pada tiap fase yang berjalan secara bersamaan.

REKOMENDASI

Berdasarkan hasil penelitian yang menghasilkan temuan studi, terdapat beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang, yaitu :

1. Berhubungan dengan kepentingan stakeholder yang terlibat, ada baiknya untuk mendahulukan penelitian atau kajian nilai budaya dan arkeologi yang dimiliki oleh Situs Megalit Gunung Padang dalam melakukan pengembangan kegiatan pariwisata, agar dapat diketahui secara utuh bentuk dan potensi yang dimiliki oleh Situs Megalit Gunung Padang sebelum dikembangkan menjadi obyek pariwisata, sehingga tidak akan rusak atau hilang seiring dengan kegiatan pariwisata yang terjadi;

2. Tiap stakeholder yang terlibat perlu menyamakan pandangan terlebih dahulu sebelum melakukan kajian pengembangan agar tidak terjadi konflik atau kesalahpahaman dalam mencapai kepentingan dalam pengembangan yang dilakukan;

3. Mengoptimalkan peran FMPSMGP sebagai forum masyarakat dalam hal pengelolaan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang dengan melibatkan FMPSMGP dalam proses perencanaan dan pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang; dan

4. Stakeholder yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang rendah dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang ada baiknya diajak juga untuk terlibat dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang, dalam hal ini Puslitbang Arkenas dan Balai Arkeologi Bandung, karena hasil penelitian yang dihasilkan dapat menjadi masukan dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Situs Megalit Gunung Padang.

DAFTAR PUSTAKA

Adhisakti, Laretna T. 2004. “Peran Lembaga – lembaga yang Menangai Obyek Budaya sebagai Aset Pariwisata”. Forum Diskusi Pariwisata Budaya.

Danandjojo, Yescha Nuradisa Ekarachmi. 2012. Analisis Stakeholder dalam Pengembangan Situs Megalit Gunung Padang sebagai Obyek Pariwisata Budaya Berkelanjutan. Tugas Akhir Perencanaan Wilayah dan Kota ITB.

LPPM - ITB. 2005. Laporan Akhir. Penyusunan Studi Kawasan Tapak Situs Megalit Gunung Padang.

LPPM – ITB. 2011. Laporan Akhir. Kajian Potensi Pariwisata : Studi Pasar Wisata Kereta Api Bandung – Cianjur.

Pitana, I Gde dan Putu G. Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta : Penerbit Andi.

Schmeer, Kammi. 1999. “Stakeholder Analysis Duidelines”. Policy Toolkit for Strengthening Health Sector Reform

| 37

Page 38: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

Situs Rresmi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur. http://cianjurkab.go.id (diakses pada Mei 2012)

Situs Resmi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. http://disparbud.jabarprov.go.id (diakses pada Maret 2012)

Suranti, Ratna. 2005. "Pariwisata dan Peran Serta Masyarakat." Pariwisata Indonesia Vol. 4 : Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata.

Suwantoro, Gamal. 1997. Dasar – Dasar Pariwisata. Yogyakarta : Penerbit Andi.Warpani, Suwardjoko P. dan Indira P. Warpani. 2006. Pariwisata dalam Tata Ruang

Wilayah. Penerbit ITB : Bandung.Zulfahmi, Fikri. 2010. Pelajaran dari Efektivitas Kerja Sama Antar-Pemerintah

Daerah di Yogyakarta, Sleman, dan Bantul (Kartamantul). Tugas Akhir Perencanaan Wilayah dan Kota ITB.

| 38

Page 39: Working Paper

Working Paper Urban Planning and Design Research Group – SAPPK ITB

| 39