PUTUSANlama.elsam.or.id/downloads/1273303297_Putusan_MK... · Web viewBerdasarkan uraian...
Transcript of PUTUSANlama.elsam.or.id/downloads/1273303297_Putusan_MK... · Web viewBerdasarkan uraian...
PUTUSANNomor 020/PUU-IV/2006
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitusi pada tingkat
pertama dan terakhir, telah menjatuhkan Putusan dalam perkara permohonan
pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
1. Drs. Arukat Djaswadi, Jabatan Ketua Yayasan Pusat Kajian Komunitas
Indonesia (CSIC) beralamat di Manukan Krajan
IV/23 Mojokerto, Jawa Timur;
Selanjutnya disebut sebagai --------------- Pemohon I;
2. K.H. Ibrahim, Jabatan Pengurus Yayasan Kanigoro Kediri,
beralamat di Jalan Banjaran I/102 Kediri, Jawa
Timur;
Selanjutnya disebut sebagai-------------- Pemohon II;
3. K.H.M. Yusuf Hasyim, Jabatan Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng,
beralamat di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang,
Jawa Timur;
Selanjutnya disebut sebagai--------------- Pemohon III;
4. H. Murwanto S, Jabatan Pengurus DPP Gerakan Patriot Indonesia,
beralamat di Jalan Zeni AD VII No.9 Kompleks Zeni
Kalibata, Jakarta Selatan;
Selanjutnya disebut sebagai-------------- Pemohon IV;
5. Abdul Mun’im, S.H, Jabatan Guru, beralamat di Kerajan Wetan Rt 05 Rw
05 Temuguruh, Kecamatan Sempu, Banyuwangi,
Jawa Timur;
Selanjutnya disebut sebagai--------------- Pemohon V;
6. Drs. Moh. Said, Jabatan Ketua Paguyuban Korban Kekejaman PKI
Madiun, beralamat di Desa Takeran, Kecamatan
Takeran, Magetan, Jawa Timur.
Selanjutnya disebut sebagai-------------- Pemohon VI;
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus, bertanggal 17 Agustus 2006
memberikan kuasanya kepada :
Sumali, S.H., MH;
Deddy Prihambudi, S.H;
Dr. Eggy Sudjana, S.H;
Aris Budi Cahyono, S.H;
Kesemuanya adalah Advokat dan Asisten pada Badan Konsultasi dan
Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Muhammadiyah Malang memilih domisili
hukum di Kantor Jalan Raya Tlogomas No. 246 (Masjid AR Fahrudin Lt. 1), Telp.
0341-464318 Pswt 193 Malang- 65144 Jawa Timur. Baik bersama-sama maupun
sendiri-sendiri;
Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------- PARA PEMOHON;
Telah membaca surat permohonan Pemohon;
Telah mendengar keterangan dari Pemohon;
Telah membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia;
Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah;
Telah mendengar keterangan saksi dan ahli yang diajukan oleh Pemohon;
Telah memeriksa bukti-bukti;
DUDUK PERKARA
Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan
Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU KKR)
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945) yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah
2
Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada
hari Senin tanggal 06 September 2006 dan telah diregistrasi pada hari Senin
tanggal 11 September 2006 dengan Nomor 020/PUU-IV/2006, yang telah
diperbaiki dan disampaikan melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada pada
hari Rabu tanggal 4 Oktober 2006;
Menimbang, bahwa Pemohon didalam permohonannya mengemukakan
hal-hal sebagai berikut:
A. DASAR HUKUM PERMOHONAN
1. Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum”;
2. Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya;
3. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
4. Pasal 28G Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormartan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya; serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”;
5. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi: “Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”;
6. Tap MPRS No. XXV/MPRS/Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai
Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh
Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan
3
Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan
Paham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme, Pasal 2 berbunyi:
“Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan
paham atau ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme dalam segala bentuk
dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media
bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut,
dilarang”;
7. Pasal 107b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan
Terhadap Keamanan Negara, yang berbunyi: “ Barang siapa yang secara
melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui
media apa pun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti
Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam
masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda
dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun”;
8. Pasal 107d Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan
Terhadap Keamanan Negara, yang berbunyi: “Barang siapa yang secara
melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui
media apa pun,menyevbarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau
mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun”;
9. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: “Pancasila merupakan
sumber dari segala hukum”;
10. Pasal 43 Aayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang berbunyi: “Pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang
ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc”;
11. Bahwa ketentuan yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sungguh-sungguh telah
bertentangan secara konstitusional dengan ketentuan Pasal 28C Ayat (2);
4
Pasal 28D Ayat (1); Pasal 28G Ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945;
B. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON1. Bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia sebagai
pelaku sejarah peristiwa pengkhianatan Gerakan 30 September 1965 (G 30
S) PKI dan sekaligus pegiat dan pengurus organisasi yang berkhidmat di
dalam menangkal bangkitnya kembali organisasi terlarang Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan ideologi Komunisme/Marxisme/Leninisme yang
mempunyai kepentingan hukum dalam permohonan ini;
2. Bahwa Pemohon berkeyakinan bahwa kehadiran Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2004 bukannya akan menyelesaikan dan menyembuhkan luka-
luka lama yang pernah ditimbulkan oleh aksi sepihak PKI pada peristiwa
Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) PKI, akan tetapi justru akan
membangkitkan kembali sentimen ideologi dan dendam antar anak bangsa
yang selama ini sudah berusaha dihapuskan dari memori kolektif bangsa;
3. Bahwa Pemohon mengalami peristiwa traumatik akibat tragedi berdarah
pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 dan pengkhianatan G 30 S
PKI tahun 1965, saat ini sungguh-sungguh merasakan ketidak amanan dan
muncul rasa ketakutan yang sangat beralasan yakni bangkitnya kembali
ideologi Komunisme/Marxisme/Leninisme di tanah air akibat
diberlakukannya Undang-Undang a quo;
4. Bahwa Pemohon menganggap dengan berlakunya Undang-undang Nomor
27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), maka
hak konstitusional Pemohon sebagaimana tercantum di dalam Pasal 28 D
Ayat (1); Pasal 28 G Ayat (1), Pasal 28 C Ayat (2) dan Pasal 29 Ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 sungguh-sungguh dirugikan oleh berlakunya
UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR;
C. Alasan Diajukannya Permohonan Bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi ini secara objektif materi muatannya nyata-nyata
membawa cacad hukum yang mendasar atau prinsipiil. Bahwa Undang-Undang
a quo tidak saja potensial menciptakan ketidak pastian hukum dan sulit
5
mewujudkan rasa keadilan, namun lebih banyak mendatangkan mudharat
ketimbang kemaslahatan bagi banyak orang di republik ini. Sehingga jika
Undang-Undang a quo diimplementasikan dalam kehidupan bernegara,
berbangsa dan bermasyarakat justru akan mengalami set back, oleh karena
Undang-Undang a quo sangat potensial menimbulkan konflik di antara sesama
anak bangsa yang pada akhirnya akan menjerumuskan bangsa ini ke jurang
perpecahan dan kerusakan yang parah;
Bahwa bukti cacad hukum yang dikandung oleh Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2004 dapat dijumpai pada bagian konsiderans baik pada bagian
Menimbang dan Mengingat ternyata hanya mencantumkan landasan sosiologis
dan yuridis. Sedangkan landasan filosofis yaitu Pancasila ternyata tidak
tercantum baik secara tegas (explisit verbis) maupun secara tersirat. Padahal
kita semua mafhum bahwa Pancasila di republik ini tidak saja memiliki makna
strategis dan fundamelntal sebagai common denominator, sebagai way of life
atau weltanschaung kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.
Bahkan lebih dari pada itu, dalam konteks juridis Pancasila merupakan azas
atau prinsip hukum yang merupakan sumber nilai dan sumber norma bagi
pembentukan hukum derivatnya atau turunannya seperti undang-undang dasar,
undang-undang, Perpu, Peraturan Pemerintah; Perda, dan seterusnya. Hal
demikian ini dapat kita simak dari rumusan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
menegaskan: “Pancasila merupakan sumber dari segala hukum”. Oleh karena
itu patut dipertanyakan terhadap UU a quo, yakni: Nilai-nilai atau norma-norma
hukum apakah yang dipakai sebagai basis atau pijakan pembentukan Undang-
Undang KKR? Mengapa Pancasila baik sebagai sumber nilai atau norma yang
paling tinggi dan sekaligus sebagai sumber dari segala sumber hukum tidak
dijadikan referensi filosofis oleh Undang-Undang KKR a quo? Atas ketiadaan
jawaban tersebut dalam undang-undang a quo adalah rasional jika Pemohon berkeyakinan bahwa Undang-Undang KKR ini tidak saja bertentangan Undang-
Undang Dasar 1945, bahkan bertentangan dengan sumber norma hukum
Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri yakni Pancasila;
Bahwa sejarah perjalanan kehidupan kenegaraan dan kebangsaan
Republik Indonesia yang kini telah berusia 61 tahun pernah dan kerap diwarnai
konflik sosial politik baik dalam aras horizontal maupun vertikal, dengan latar
6
belakang yang cukup beragam seperti SARA dan juga faham idiologi atau
bahkan ingin mengganti idiologi Pancasila sebagaimana dijumpai pada
peristiwa pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 dan peristiwa G 30 S
PKI tahun 1965;
Bahwa sebagaimana ditegaskan dalam konsiderans Tap MPRS No.
XXV/MPRS/1966 ditegaskan: “(a) Bahwa paham atau ajaran Komunisme/
Marxisme, Leninisme pada inti hakekatnya bertentangan dengan Pancasila;
(b) Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang menganut
paham atau ajaran Komunisme/Marxisme, Leninisme khususnya Partai
Komunis Indonesia, dalam sejarah kemerdekaan RI telah nyata-nyata terbukti
beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan pemerintah RI yang sah
dengan jalan kekerasan; (c) Bahwa berhubung dengan itu perlu mengambil
tindakan tegas terhadap PKI dan terhadap kegiatan-kegiatan yang
menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme,
Leninisme;
Bahwa Undang-Undang KKR yang dimaksudkan sebagai instrumen extra
judicial untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat masa lalu,
termasuk di dalamnya peristiwa pemberontakan PKI yang terjadi pada tahun
1948 dan 1965, justru tidak mencantumkan Pancasila sebagai acuan utama
mekanisme pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi;
Bahwa sebagaimana kita pahami, Pancasila sebagai staats fundamental
norm bersendikan lima sila di mana sila pertamanya adalah Ketuhanan Maha
yang Esa yang kemudian ditegaskan di dalam Pasal 29 Ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945. Hal demikian ini sesungguhnya menegaskan bahwa
sejatinya negara, masyarakat dan peradaban bangsa Indonesia dibangun dan
disandarkan atas pijakan nilai-nilai relijius keimanan dan ketaqwaan kepada
Allah Swt. Oleh karenanya adalah sesuatu yang niscaya dan sesuai dengan
common sense apabila di bumi nusantara ini tidak dikehendaki dan ada
penolakan keras terhadap segala bentuk kegiatan yang tidak merefleksikan
nilai-nilai relijius sebagaimana yang tertuang di dalam Pancasila. Pasalnya
setiap aktivitas baik individu maupun kelompok, organisasi yang tidak
menghadirkan nilai-nilai spiritual Ketuhanan cenderung menghalalkan segala
cara untuk mencapai tujuannya (the ends justified means) bahkan dengan cara
yang biadab dan bertentangan dengan agama sekalipun (Lihat Taufik Ismail,
7
Katastrofi Mendunia Marxisma Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba,
Yayasan Titik Infinitum, 2004, h.25, 300 );
Bahwasanya Pemohon juga mengetahui secara pasti tentang ideologi
Komunisme/Marxisme/Leninisme yang pernah dipraktekkan oleh organisasi
illegal Partai Komunis Indonesia (PKI) maupun oleh organisasi onderbouwnya di
Indonesia adalah jelas-jelas bertentangan dengan Ideologi Pancasila. Tidak
saja bertentangan dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi juga dengan
Sila-sila lainnya seperti Kemanusiaan yang Beradab; Persatuan Indonesia;
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kerakyatan/Keadialan; dan Keadilan
Sosial.
Bahwa Pemohon sebagai pegiat gerakan anti komunis di Indonesia dan
sekaligus sebagai saksi sejarah terhadap kekejaman dan keganasan organisasi
PKI di tahun 1965, dan memiliki hak-hak konstitusional berupa jaminan,
pengakuan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum; serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan
hak azasi; demikian pula berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa dan negaranya; sebagaimana tercantum di dalam Pasal 28C Ayat (2);
Pasal 28D Ayat (1); Pasal 28G Ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945. Jelas dirugikan secara konstitusional akibat kekhawatiran dan
perasaan traumatik yang cukup beralasan terhadap isi materi Undang-Undang
KKR yang dimaksudkan sebagai instrumen di dalam menyelesaikan
pelanggaran HAM berat masa lampau tersebut yang justru akan mengampuni
dan melegitimasi ideologi dan organisasi yang berseberangan dengan
Pancasila;
Selanjutnya bukti bahwa Undang-Undang KKR ini jika diimplementasikan
justru akan mendatangkan lebih banyak mudaharat (keburukan) nya ketimbang
maslahat (manfaat) nya, dapat kita simak dari pendapat berbagai pegiat HAM
dan sejarawan sebagaimana berikut ini:
Priscillia B Hayner: “....kendati demikian, harus dikatakan bahwa adanya KKR
tidak lantas secara otomatis berarti telah berlangsung pemulihan pada semua
tingkatan. Menurut saya hal itu harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh
kesadaran. Saya tidak berani berpikir tentang manfaat KKR tatkala kita
8
membicarakan resiko dalam usaha ini. Kita tidak bisa bersikap naif dengan mengatakan bahwa menggali masa lampau senantiasa membawa pemulihan, karena yang lebih sering terjadi dalam usaha ini adalah timbulnya rasa “sakit ”. Karenanya saya lebih setuju dalam jangka panjang
akan lebih baik kalau kita mendorong keterlibatan masyarakat luas guna
menghadapi langsung isu-isu tersebut. Upaya ini harus dilakukan secara hati-hati karena dapat memunculkan konflik baru dalam bentuk lain, baik pada aras komunitas ataupun individu tatkala kita telah membeberkan data. Korban bisa mengalami trauma kedua kali jika setelah menceritakan pengalamannya malah tidak mendapat semestinya” (lihat Ifdhal Kasim;
Eddie Riyadi T., Kebenaran vs Keadilan, Pertanggungjawaban Pelanggaran
HAM di Masa Lalu, Elsam, 2003, h.21);
Asvi Warman Adam: “... Akan tetapi yang menjadi masalah bagi kalangan
sejarawan adalah penggunaan sumber merupakan keniscayaan. Sumber itu
bisa dari arsip, bisa juga dari sumber lisan. Tampaknya dalam banyak kasus
persoalan arsip telah menjadi masalah yang mendasar. Bahkan saya
mendengar arsip mengenai Tanjung Priok saja sudah sangat susah
ditemukan..... Memang sistem kearsipan yang kita miliki sangat lemah. Secara
otomatis persoalan ini akan mengganggu proses kerja KKR nantinya....
Sehingga yang harus diwaspadai jangan sampai KKR menjadi arena balas dendam. Karena saya mendengar ada suara perempuan yang menunggu kesempatan membalas sakit hatinya selama bertahun-tahun ” (lihat Ifdhal
Kasim; Eddie Riyadi T., Kebenaran vs Keadilan, Pertanggungjawaban
Pelanggaran HAM di Masa Lalu, Elsam, 2003, h. 149-150);
Rachland Nasidik: “Dalam menghadapi past human rights abuses, saya
sangat keberatan kalau pilihan terbaik yang diambil adalah KKR... Kalau
memang pilihan kita adalah rekonsiliasi, maka pertanyaannya adalah
rekonsiliasi antara siapa? Itu saya kira satu masalah besar....Kalau
dibandingkan dengan situasi Afrika Selatan, kita mempunyai kebutuhan yang
berbeda dengan konteks sosial politik di negara tersebut. KKR di sana dibentuk
pertama-tama untuk menjawab kebutuhan meredakan tindak kekerasan yang
terjadi. Dan harus diingat, proses rekonsiliasi di sana sepenuhnya adalah hasil
dari politik negoisasi antara Nelson Mandela dengan rezim politik apartheid.
Persetujuan yang dicapai adalah semua dilupakan dan pelakunya diberikan
9
pengampunan. Memang betul terdapat proses pencarian kebenaran, utamanya
adalah court convention, guna pemberian amnesti. Sementara proses
pemulihan korban dijalankan melalui testimoni.... Tetapi menurut saya di Indonesia kebutuhannya sama sekali berbeda, tidak ada kebutuhan untuk melakukan rekonsiliasi seperti di Afrika Selatan...Tapi yang terjadi di
Indonesia menurut saya, sepenuhnya tidak hanya state violence, di sini terjadi
problem rasialisme yang berhimpitan dengan kekuasaan.....Past human rights
abuses di Indonesia betul-betul state violence, sehingga tidak ada kebutuhan
guna meniru Afrika Selatan. Di sisi lain, kebutuhan kita bukanlah menghentikan kekerasan, tapi justru guna mencegah kejadian di masa lampau agar tidak terulang, sehingga yang dibutuhkan adalah justice ketimbang rekonsiliasi” (lihat Ifdhal Kasim; Eddie Riyadi T., Kebenaran vs
Keadilan, Pertanggungjawaban Pelanggaran HAM di Masa Lalu, Elsam, 2003,
h. 52-55);
Bahwa Pemohon dalam hal ini sangat sependapat dengan pendapat
para pakar yang dikutip di atas, yakni bahwa Undang-Undang KKR ini
menyimpan resiko amat dahsyat untuk menimbulkan konflik sosial politik baru di
antara sesama anak bangsa, yakni Undang-Undang KKR ini dipakai sebagai
ajang pelampiasan balas dendam oleh para korban pelanggaran HAM berat
masa lalu, tentu saja dalam hal ini termasuk mereka-mereka para aktivis
gerakan dan keturunan anggota eks organisasi terlarang PKI yang
memposisikan dirinya sebagai korban;
Bahwa menurut Pemohon keberadaan Undang-Undang KKR a quo
sejatinya adalah tidak wajib, bahkan kelahirannya lebih didasarkan oleh sikap
apriori dan sikap ketidak percayaan (distrust) terhadap lembaga Pengadilan
HAM Ad Hoc. Padahal secara a posteriori belum ada tuntutan atau vonnis dari
khalayak masyarakat bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc sudah harus masuk
kotak. Oleh karena itu adalah rasional jika kemudian dipertanyakan untuk apa
menambah-nambah institusi yang baru jika keberadaannya justru menambah
masalah dan bukannya menyelesaikan masalah;
Bahwa Pasal 47 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, berbunyi: “Pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya
dilakukan oleh Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi”. Berdasarkan pasal
10
tersebut, Pemohon menilai bahwa keberadaan Undang-Undang KKR ini
tidaklah urgen dan tidak obyektif, oleh karena tidak satupun produk hukum yang
mewajibkan untuk lahirnya Undang-Undang KKR. Artinya keberadaan Undang-
Undang KKR a quo boleh ada dan boleh juga tidak ada;
Bahwa Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Peradilan HAM, menandaskan: “Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi
sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM ad hoc”. Oleh karena itu adalah tidak beralasan sama sekali
jika ada sebagian orang mengkhawatirkan jika Undang-Undang KKR di
makzulkan oleh Mahkamah Konstitusi maka tidak ada lagi instrumen hukum
yang tersedia untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam
hal ini jawabnya adalah jelas Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM lah yang digunakan;
Bahwa berdasarkan keyakinan dan rasionalitas objektif terhadap
Undang-Undang KKR ini lebih banyak mudeharatnya daripada maslahatnya,
dan kehadirannya bukanlah bersifat wajib dan mendesak. Pemohon merasa
bahwa sekali lagi hak-hak konstitusional Pemohon sebagaimana ditubuhkan
dalam Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1) Pasal 28G Ayat (1) dan Pasal 29
Ayat (1) UUD 1945 secara potensial akan sulit diwujudkan secara optimal;
Selanjutnya Pemohon akan membuktikan bahwa Undang-undang a quo
tidak akan mampu menjamin terwujudnya dimensi kepastian hukum dan rasa
keadilan kepada seluruh pihak yang pernah terlibat peristiwa konflik sosial
politik yang diwarnai aksi pelanggaran HAM berat di masa lalu, baik sebagai
pelaku maupun sebagai korban, yaitu dapt dijumpai pada konsep atau definisi
yang merupakan kata kunci di dalam Undang-Undang KKR, yakni: Kebenaran,
Rekonsiliasi, dan Korban;
Bahwa apa yang dimaksud dengan Kebenaran dalam Pasal 1 Ayat (1)
Undang-Undang KKR adalah “kebenaran atas suatu peristiwa yang dapat
diungkapkan berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat
baik mengenai korban, tempat, maupun waktu”. Namun sayangnya di dalam
Undang-undang a quo tidak dijumpai pasal-pasal yang menjelaskan tentang
ukuran atau norma kebenaran suatu peristiwa tersebut, apakah peristiwa
pelanggaran HAM tersebut secara valid dan obyektif benar-benar terjadi atau
sekedar rekayasa semata. Jelasnya Undang-undang a quo tidak menjelaskan
11
prosedural pembuktian dan alat-alat bukti apakah yang wajib digunakan oleh
KKR dan para korban pelanggaran HAM berat di masa lalu, untuk
membenarkan legal standing dan claim nya bahwa telah terjadi pelanggaran
HAM berat terhadap dirinya (korban). Oleh karena itu Validitas dan efektifitas
konsep dan pembuktian Kebenaran menurut Undang-Undang KKR ini menjadi
subjektif dan tidak terukur. Tegasnya Undang-Undang KKR ini sangat susah
untuk diwujudkan aspek kepastian hukum (certainty);
Bahwa Pemohon yang merupakan pengurus Gerakan Patriot yakni salah
satu komponen masyarakat yang turut serta dalam Rapat Umum Dengar
Pendapat (RUDP) dan berdialog dengan Pansus RUU KKR, pernah
menyampaikan usulan tentang konsep kebenaran, yang intinya adalah bahwa
pengungkapan kebenaran harus tunduk pada pertimbangan-pertimbangan: (1)
Tunduk pada hukum sebab-akibat atau kelayakan, artinya suatu peristiwa
jangan hanya diungkap dalam suatu momen saja tetapi dalam suatu proses
dinamika; (2) Tunduk pada logika Psikologi massa artinya peristiwa perorangan
tidak terlepas dari peristiwa antar kelompok yang lebih besar dimana masing-
masing termasuk di dalamnya; (3) Sangat dipengaruhi anggapan atau opini
masyarakat dalam memberikan penilaian/bobot kesalahan atau pelanggaran;
(4) Sangat banyak sedikit kasus dan kelengkapan serta kemudahan atau
kesulitan mendapat alat bukti; (5) faktor-faktor lain yang dapat mengakibatkan
terjadinya distorsi di dalam mengungkapkan kebenaran. Namun sayangnya
usulan Pemohon tersebut diabaikan oleh DPR;
Bahwa penggunaan diksi atau kosa kata “Rekonsiliasi” sebagai titel
Undang-Undang KKR bukan saja menimbulkan persoalan sosial-politis namun
juga tak pelak menimbulkan problem yuridis. Sebagaimana dijumpai pada Pasal
1 Ayat (2) rekonsiliasi adalah “hasil dari suatu proses pengungkapan
kebenaran, pengakuan, dan pengampunan melalui Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi dalam rangka rangka menyelesaikan pelanggaran HAM berat untuk
terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa”. Menurut Pemohon konsep
atau batasan pengertian rekonsiliasi yang digunakan oleh Undang-undang a
quo sungguh absurd dan a historis. Pasalnya Undang-undang a quo secara
sengaja telah mengonstruksi sejarah dan peristiwa pelanggaran HAM di masa
lampau dengan sedemikian rupa sehingga seolah-olah seluruh peristiwa
pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lampau dan seluruh korban
12
pelanggaran HAM adalah orang-orang yang tidak bersalah (innocence) ataupun
kalau itu berupa organisasi maka organisasi tersebut adalah legal. Padahal
secara objektif terdapat peristiwa kelam di dalam sejarah peradaban Indonesia
yang justru dilakukan oleh orang-orang dan atau mereka yang tergabung dalam
organisasi yang dinyatakan haram untuk hidup di bumi Indonesia, yakni
organisasi PKI, hal mana jelas ditegaskan oleh ketentuan Pasal 2 Tap MPRS
No.XXV/MPRS/1966 jo Pasal 107 (b) dan (d) Undang-undang Nomor 27 Tahun
1999 tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Oleh karena itu ada0lah
masuk akal jika kemudian dipertanyakan: apakah mereka-mereka yang jelas-
jelas menjadi anggota PKI dan antek-anteknya dan kebetulan menjadi korban
pelanggaran HAM berat pada masa lalu, termasuk juga dalam katagori mereka
yang berhak melakukan rekonsiliasi dan bahkan berhak memperoleh restitusi
dan kompensasi? Kalau jawabannya adalah boleh, maka inilah metode efektif
untuk memutarbalikkan fakta sejarah. Oleh karena bisa jadi yang dulu dianggap
penjahat setelah rekonsiliasi tiba-tiba menjadi pahlawan dan begitu pula
sebaliknya. Sementara itu ekses lain dari rekonsiliasi yang difasilitasi oleh UU
KKR ini dan justru mencemaskan dan menakutkan Pemohon adalah bakal
bangkitnya kembali gerakan komunis di Indonesia. Inilah lonceng kebangkitan
dan era come back nya ideologi Komunisme/Marxisme/Leninisme di Indonesia.
Kalau itu yang diharapkan yaitu upaya pengaburan sejarah dan upaya legalitas
ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme di Indonesia, maka Pemohon adalah
warga negara yang paling depan untuk pasang badan untuk menolak
rekonsiliasi;
Bahwa menurut Pemohon, secara teori hukum seharusnya konsep
tentang Rekonsiliasi maupun pasal-pasal Undang-Undang KKR yang
menyangkut ketentuan rekonsialiasi, mencantumkan klausula pengecualian
atau exit clausula atau exceptional law. Oleh karena secara sosiologis peristiwa
maupun pelaku pelanggaran HAM berat pada masa lalu, ternyata tidak
semuanya dapat diputihkan. Faktanya hingga saat ini realitas obyektif
menunjukkan bahwa bangsa ini telah bersiteguh dan bersikokoh untuk tidak
menghapus dari memori kolektifnya terhadap dosa yang pernah dilakukan oleh
organisasi PKI, bahkan secara konsensus nasional pun mind set rakyat
Indonesia tersebut dipositifkan di dalam produk Tap MPRS No.
XXV/MPRS/1966 jo Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan
13
Terhadap Keamanan Negara Oleh karena itu menurut hemat Pemohon Undang-Undang KKR yang tidak mencantumkan produk Tap MPRS No.
XXV/MPRS/1966 jo. Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 sebagai indikator
yang valid dan objektif di dalam mekanisme pengungkapan kebenaran dan
rekonsiliasi adalah Undang-undang yang improper, unwisdom dan invalid;
Bahwa Pemohon sangat menyangsikan mekanisme rekonsiliasi di dalam
Undang-Undang KKR ini bisa memenuhi aspek keadilan semua pihak serta
dapat berlaku efektif. Pasalnya dalam konteks penyelenggaraan rekonsiliasi
yang berkaitan dengan pelanggaran/pengkhianatan terhadap pancasila, tidak
diketemukan ketentuan di dalam Undang-undang a quo yang mempersyaratkan
kewajiban untuk menyatakan penyesalan atau pertobatan dan permintaan maaf
atas pengkhianatan institusi/partai/golongannya yang telah terbukti melakukan
tindakan pengkhianatan ataupun tindak subversi lainnya;
Bahwa menurut Pemohon Undang-Undang KKR a quo secara objektif
tidak relevan dan tidak signifikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat
Indonesia terutama berkenaan dengan upaya penyelesaian pelanggaran HAM
berat yang terjadi pada masa lampau. Bahwa kebutuhan utama Pemohon saat
ini adalah keadilan bukannya rekonsiliasi. Oleh karena itu institusi Pengadilan
HAM Ad Hoc dirasakan sudah cukup untuk menyelesaikan pelanggaran HAM
berat dimasa lalu, sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 43 Ayat (1) UU
Pengadilan HAM Ad Hoc: “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM Ad Hoc”;
Bahwa tiadanya dimensi kepastian dan keadilan di dalam implementasi
Undang-Undang KKR nantinya, terutama berkenaan dengan konsep kebenaran
dan rekonsiliasi tersebut, maka Pemohon in casu merasa dirugikan hak-hak
konstitusionalnya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28C Ayat (2); Pasal
28D Ayat (1); Pasal 28G Ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 secara
potensial akan sulit untuk diwujudkan secara optimal;
Selanjutnya mengenai rumusan tentang korban yang menurut Pemohon sangat tidak relevan oleh karena bersifat ekstentif yaitu memasukkan ahli waris dalam katagori korban. Hal demikian dapat kita simak dari rumusan korban di
dalam Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang KKR yakni: “korban adalah
perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik,
14
mental, maupun emosional, kerugian korban atau mengalami pengabaian,
pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat; termasuk korban adalah ahli warisnya ”. Menurut hemat Pemohon perluasan subyek hukum korban yang
demikian ini sangat potensial untuk terjadinya distorsi dan manipulasi terhadap
proses KKR itu sendiri. Setidaknya ada dua problem mendasar yang muncul
sebagai konsekuensi logis diperluasnya klasifikasi korban, yaitu: Pertama,
Pembuktian jati diri atau identitas ahli waris, apakah seseorang itu betul-betul
valid sebagai ahli waris korban ataukah hanya sekedar mengaku-ngaku saja
dan bagaimana pembuktiannya apakah cukup dengan dokumen kartu keluarga
misalnya; dan bagaimana jika tidak memiliki dokumen haruskah menghadirkan
saksi-saksi; bagaimana kriteria saksi dan kekuatan kebenaran keterangan saksi
tersebut. Kedua, masalah pembuktian tentang kebenaran telah terjadinya
pelanggaran HAM berat atas orang tuanya. Jelasnya mana mungkin seorang
ahli waris yang tidak mengalami sendiri (testimonium de auditu) dapat menjadi
pihak yang mengadukan bahwa hak-hak orang tuanya telah dilanggar dan untuk
selanjutnya memperoleh restitusi dan atau kompensasi. Kalau sebatas hak-hak
ekonomi keperdataan hal demikian mudah dibuktikan melalui surat-surat, akan
tetapi kalau pelanggaran HAM berupa kekerasan fisik sedangkan orang tuanya
sudah meninggal dunia, lantas bagaimana membuktikan kebenaran pengaduan
tersebut. Apalagi biasanya kekerasan fisik akibat pelanggaran HAM berat tidak
mungkin dilengkapi dengan medical record atau pun visum et repertum. Jadi
adalah mustahil apabila ahli waris dikatagorikan sebagai korban, kalau sebatas
menerima restitusi dan atau kompensasi itu memang benar, akan tetapi kalau
menjadi pihak atau subyek yang mengajukan pengaduan kepada KKR sungguh
sesuatu yang musykil.
Bahwa terhadap ekstentifnya batasan korban di dalam UU KKR ini, maka
Pemohon in casu merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 28C Ayat (2); Pasal 28D Ayat (1); Pasal 28G Ayat (1)
dan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 secara potensial akan sulit
untuk diwujudkan secara optimal;
Bahwa sebagai penutup, Pemohon ingin menegaskan bahwa pada
prinsipnya Pemohon tidak menolak rekonsiliasi yang dilakukan dengan jujur,
adil dan bermaslahat serta dikemas dengan mekanisme yang elegant dan fair.
15
Sebagaimana diajarkan oleh agama dan keyakinan kami bahwa Tuhan saja
mengampuni hambanya yang pendosa dengan syarat melakukan taubat yang
nasuha (murni). Dan sementara itu agama Pemohon juga menganjurkan agar
menjadi manusia pemaaf dan memperkuat tali silaturrahim dengan sesama.
Dalam konteks ini Pemohon sebagai manusia biasa yang dlaif dan khilaf
tentunya tidak berpretensi menjadi yang paling benar dan bersikap melebihi
Tuhan. Oleh karena itu dalam kesempatan ini Pemohon ingin menghadirkan
satu bait puisi yang ditulis Rendra yang tercantum dalam kumpulan puisinya
yang berjudul Sajak Potret Pembangunan :
Aku mendengar jerit hewan terluka;
Ada orang memanah rembulan;
Ada anak burung jatuh dari sarangnya;
Kesaksian harus diberikan;
Agar kehidupan tetap terjaga;
Demikian uraian dalil-dalil yang Pemohon ajukan sebagai dasar
Pengajuan Pemohonan Pengujian Bagian Konsiderans; Pasal 1 Ayat (1); Pasal
1 Ayat (2); dan Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terhadap Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945.
Selanjutnya berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon mohon agar
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berdasarkan kewenangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, berkenan memeriksa permohonan Pemohon dan memutuskan
sebagai berikut :
- Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya;
- Menyatakan Bagian Konsiderans; Pasal 1 Ayat (1); Pasal 1 Ayat (2); dan
Pasal 1 Ayat (5) UndangUundang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945.
- Menyatakan materi muatan pada Bagian Konsiderans; Pasal 1 Ayat (1);
Pasal 1 Ayat (2); dan Pasal 1 Ayat (5) Undang-undang Nomor 27 Tahun
2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat.
16
- Mohon keadilan yang seadil-adilnya.
Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon telah
mengajukan bukti-bukti surat/tertulis yang di lampirkan dalam permohonan dan
bukti tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13
November 2006. Bukti-bukti tersebut oleh Pemohon telah dibubuhi materai
dengan cukup, dan berupa tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P- 12 yaitu:
1. Bukti P- 1. Fotokopy Surat Kuasa Pemohon;
2. Bukti P- 2 Fotokopy Kartu Identitas Pemohon ;
3. Bukti P- 3 Fotokopy Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945
4. Bukti P- 4 Fotokopy Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966;
5. Bukti P- 5 Fotokopy Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang
KKR;
6. Bukti P- 6 Fotokopy Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Kejahatan terhadap Keamanan Negara;
7. Bukti P- 7 Fotokopy Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
8. Bukti P- 8 Fotokopy Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia;
9. Bukti P-9a Fotokopy kesaksian dan pesan;
Bukti P-9b Fotokopy Kesaksian Penyerobotan Tanah (lahan) milik PG
Ngadirejo oleh BTI/PKI di Jengkol Kec. Plosoklaten, Kab
Kediri atas nama H. MOH. IBRAHIM.
Bukti P-9c Kesaksian H. Masduqi Moeslim;
Bukti P-9d Kesaksian mengenai Penyerobotan Tanah (Lahan) Milik PG.
Ngadirejo oleh BTI/PKI di Jengkol Kecamatan Plosoklaten
Kabupaten Kediri yang diajukan oleh Setiarsa, SH;
Bukti P-9e Kesaksian mengenai Penyerobotan Tanah (Lahan) Milik PG.
Ngadirejo oleh BTI/PKI di Jengkol Kecamatan Plosoklaten
Kabupaten Kediri yang diajukan oleh Basori;
Bukti P-9f Nama-nama Korban Umat Islam dan Para Tokoh Umat
Islam Yang di Bunuh Oleh Kebiadaban Gerombolan PKI di
Blitar Selatan Tahun 1965-1968;
17
Bukti P-9g Keterangan korban mengenai Dampak Psikologis
Penyiksaan dan Pembantaian Umat Islam dan Para Tokoh
Umat Islam Oleh Gerombolan PKI di Blitar Selatan 1967-
1968 sebelum operasi Trisula;
Bukti P-9h Giat Radikal Kiri;
10. Bukti P-10 Poster Aku Bangga Jadi Anak PKI
Bukti P-10b Fotokopy MEMORADUM Forum Koordinasi Korban
Peristiwa ‘65 dalam acara Dengar pendapat dengan
PANSUS RUU tentang KKR. Jakarta 19 Nopember 2003.
11. Bukti P-11 Copy elektronik (VCD) tentang kesaksian keluarga koban
dan masyarakat atas kekejaman PKI di beberapa daerah di
Jawa Timur;
12. Bukti P-12 Kliping koran dari Media cetak Kompas terbitan sabtu 4
November 2006 Mengenai KKR sudah kehilangan
Momentum;
Menimbang bahwa selain memberikan keterangan lisan di persidangan,
pihak pemerintah juga memberikan keterangan tertulis, bertanggal 13
November 2006 pada persidangan hari Senin tanggal 13 November 2006, di
terima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Senin tanggal 13
November 2006, pada pokoknya menerangkan sebagai berikut;
I. UMUM
Hak asasi manusia (human rights) merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, yang bersifat universal dan kekal abadi. Karena itu
hak asasi manusia harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, ditegakan dan
tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun baik orang per-
orang sebagai individu maupun oleh Pemerintah.
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights)
yang meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida (crimes again
humanity, genocide), yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia harus
ditelusuri kembali untuk mengungkapkan kebenaran serta menegakkan
keadilan dan membentuk budaya menghargai hak asasi manusia sehingga
dapat diwujudkan rekonsiliasi guna mencapai persatuan dan kesatuan
18
nasional. Pengungkapan kebenaran juga bertujuan untuk kepentingan para
korban dan/atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya untuk
mendapatkan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi.
Selain amanat tersebut diatas, pembentukan Undang-Undang tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi ini juga didasarkan pada Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan
dan Kesatuan Nasional yang menugaskan untuk membentuk Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra yudisial yang
jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dalam undang-undang.
Untuk menelusuri dan mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia yang
berat, perlu dilakukan langkah-langkah konkret dengan membentuk Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi sesuai dengan yang diamanatkan oleh Pasal 47
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, yang menyatakan : Ayat (1) ”Pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang ini tidak menutup
kemungkinan penyelesaian dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi”; Ayat (2) ”Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana
dimaksud dalam Ayat (1) dibentuk dengan Undang-Undang”.
Selain bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia, Komisi ini juga melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif
kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah-langkah yang ditempuh adalah
pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf,
perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang
bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tetap
memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.
Pembentukan undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
antara lain didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:
1. Adanya pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of
human rights) yang meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida
(crimes againt humanity, genocide) yang terjadi pada masa sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
19
Asasi Manusia, yang sampai saat ini belum dipertanggungjawabkan secara
tuntas, sehingga korban atau keluarga korban yang merupakan ahli
warisnya masih belum mendapatkan kepastian mengenai latar belakang
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat terhadap korban.
Selain belum mendapatkan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi atas
penderitaan yang mereka alami, pengabaian atas tanggung jawab ini telah
menimbulkan ketidakpuasan, sinisme, apatisme, dan ketidakpercayaan
yang besar terhadap institusi hukum karena negara dianggap memberikan
pembebasan dari hukuman kepada para pelaku.
2. Penyelesaian secara menyeluruh terhadap pelanggaran hak asasi
manusia yang berat (gross violations of human rights) yang terjadi pada
masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, sangat urgen dan mendesak untuk segera
dilakukan karena masih adanya sikap sebagian masyarakat yang
cenderung sinis, apatis dan tidak puas terhadap cara penanganan
Pemerintah pada pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Disamping itu,
faktor ketegangan politik yang terjadi di negara kesatuan Republik
Indonesia juga tidak boleh diabaikan dan dibiarkan terus berlarut-larut tanpa
adanya kepastian penyelesaiannya.
3. Dengan diungkapkannya kebenaran tentang pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-
undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
maka melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The truth and
reconsiliation commission) diharapkan dapat diwujudkan rekonsiliasi guna
menegakkan persatuan dan kesatuan nasional.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi secara substansial berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang ini tidak mengatur tentang proses penuntutan hukum (due
process of law), tetapi lebih terfokus mengenai pencarian dan pengungkapan
kebenaran, pertimbangan amnesti, pemberian konpensasi, restitusi dan/atau
rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli
20
warisnya, sehingga diharapkan akan membuka jalan bagi proses rekonsiliasi
dan persatuan nasional.
Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan oleh Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (The truth and reconsiliation commission), pihak yang harus
bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asai Manusia harus diidentifikasi. Apabila pelaku
mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan
penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban
atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, maka pelaku pelanggaran
hak asasi manusia yang berat dapat mengajukan permohonan amnesti kepada
Presiden.
Apabila permohonan amnesti tersebut beralasan dan cukup memadai untuk
dikabulkan, Presiden dapat menerima permohonan tersebut, dan kepada
korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, harus diberikan
kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi. Apabila permohonan amnesti ditolak
oleh Presiden maka kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi tidak diberikan
oleh negara, dan pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut
ditindaklanjuti untuk diproses/diselesaikan berdasarkan ketentuan Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Apabila terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diperiksa
dan diputus oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka Pengadilan Hak
Asasi Manusia Ad Hoc (Pengadilan HAM Ad Hoc) tidak lagi berwenang untuk
memeriksa, mengadili dan memutus pelanggaran hak asasi manusia yang
berat tersebut , kecuali apabila permohonan amnesti ditolak oleh Presiden.
Demikian pula sebaliknya, terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang sudah diperiksa, diadili dan diputus oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia
Ad Hoc (Pengadilan HAM Ad Hoc) maka Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
tidak berwenang untuk menangani penyelesaian masalah pelanggaran hak
asasi manusia yang berat tersebut. Dengan demikian, putusan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi atau putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad
Hoc bersifat final dan mengikat (final and binding).
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The truth and reconsiliation commission),
dibentuk berdasarkan asas-asas kemandirian, bebas dan tidak memihak;
21
kemaslahatan; keadilan; kejujuran; keterbukaan; perdamaian; dan persatuan
bangsa. Kedepan diharapkan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia
yang berat (gross violations of human rights) yang meliputi kejahatan terhadap
kemanusiaan dan genosida (crimes againt humanity, genocide) yang terjadi
pada masa lalu dapat diselesaikan diluar pengadilan, guna mewujudkan
perdamaian (rekonsiliasi) sesama anak bangsa dalam rangka menegakkan
persatuan dan kesatuan nasional dengan semangat saling pengertian dan
saling memaafkan.
II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON
Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa para Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang, yaitu :
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan
“hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lebih lanjut berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi RI, pengertian
dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya
suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat
yaitu :
a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para
Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
22
c. bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat
spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Menurut para Pemohon dalam permohonannya bahwa dengan berlakunya
ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 2 dan angka 5, Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan, dan bertentangan dengan ketentuan
Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 29 Ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Karena itu, perlu dipertanyakan kepentingan Para Pemohon apakah sudah
tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Juga apakah kerugian
konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causaal
verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
untuk diuji.
Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon yang menyatakan dirinya
sebagai perseorangan dalam permohonannya tidak secara tegas menguraikan
dan menjelaskan hak dan/kewenangan konstitusional mana yang dirugikan
atas keberlakuan beberapa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam
undang-undang yang dimohonkan untuk diuji, karena para Pemohon hanya
menguraikan tentang pengalaman pribadi yang mengerikan dan menimbulkan
peristiwa traumatik akibat tragedi berdarah pemberontakan dan penghianatan
G. 30 S PKI, selain itu para Pemohon juga sangat mengkhawatirkan
bangkitnya kembali oganisasi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ideologi
Komunisme, Marxisme, Leninisme yang pada gilirannya dapat menimbulkan
perpecahan diantara anak bangsa di Republik Indonesia.
23
Kemudian jika para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan
dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka hal ini perlu dipertanyakan hak
konstitusional para Pemohon mana yang dirugikan?, apakah para Pemohon
sebagai perseorangan itu sendiri, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
komunitas pondok pesantren, ataupun persatuan guru pada umumnya, karena
Para Pemohon juga tidak secara tegas dan rinci menjelaskan siapa yang
sebenarnya dirugikan atas keberlakuan undang-undang a quo.
Pemerintah berpendapat para Pemohon baik yang berprofesi sebagai ketua
sebuah yayasan dan/atau paguyuban, pengasuh pondok pesantren maupun
guru nyata-nyata tidak terganggu, tanpa terkurangi sedikitpun dan
melaksanakan aktifitas yang berjalan sebagaimana mestinya atas berlakunya
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi, sehingga tidak terdapat hubungan spesifik (khusus) maupun
hubungan sebab akibat (causal verband), juga tidak terdapat kerugian hak
dan/atau kewenangan yang bersifat faktual maupun potensial antara Pemohon
dengan konstitusionalitas keberlakuan undang-undang a quo.
Karena itu Pemerintah meminta kepada para Pemohon melalui Ketua/Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membuktikan secara sah terlebih dahulu
apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah beranggapan bahwa tidak terdapat
dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan
konstitusional para Pemohon atas keberlakuan Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, karena itu kedudukan
hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum pada Pasal 51 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan
Pemohon ditolak (void) atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet
ontvankelijke verklaard). Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan penjelasan
Pemerintah atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun
24
2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN
REKONSILIASI.
Sehubungan dengan anggapan para Pemohon dalam permohonannya bahwa
Pasal 1 angka 1, angka 2 dan angka 5 Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang menyatakan:
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Kebenaran adalah kebenaran atas suatu peristiwa yang dapat
diungkapkan berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang
berat, baik mengenai korban, pelaku, tempat, maupun waktu.
2. Rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran,
pengakuan, dan pengampunan, melalui Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan
bangsa.
3. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang selanjutnya disebut Komisi,
adalah lembaga independent yang dibentuk untuk mengungkapkan
kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan
melaksanakan rekonsiliasi.
4. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah pelanggaran hak
asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
5. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang
mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian
ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan
hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.
Ketentuan tersebut diatas dianggap bertentangan dengan Pasal 28C Ayat
(2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 29 Ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi
sebagai berikut :
25
Pasal 28C Ayat (2) : “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa, dan negaranya “.
Pasal 28D Ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum“.
Pasal 28G Ayat (1): “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang meupakan hak
asasi “.
Pasal 29 Ayat (1): “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa “
Berkaitan dengan keberatan/anggapan tersebut diatas, Pemerintah dapat
menyampaikan penjelasan sebagai berikut :
A. Penjelasan sosiologis dan filosofis terbentuknya Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Bahwa pembentukan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut :
1. Bahwa adanya pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross
violations of human rights) yang meliputi kejahatan terhadap
kemanusiaan dan genosida (crimes againt humanity, genocide) yang
terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang sampai
saat ini belum dipertanggungjawabkan secara tuntas, sehingga
korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya masih
belum mendapatkan kepastian mengenai latar belakang terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia yang berat terhadap korban. Selain
belum mendapatkan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi atas
penderitaan yang mereka alami, pengabaian atas tanggung jawab ini
telah menimbulkan ketidakpuasan, sinisme, apatisme, dan
ketidakpercayaan yang besar terhadap institusi hukum karena negara
dianggap memberikan pembebasan dari hukuman kepada para
pelaku.
26
2. Bahwa Penyelesaian secara menyeluruh terhadap pelanggaran
hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) yang
terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, sangat urgen
dan mendesak untuk segera dilakukan karena masih adanya sikap
sebagian masyarakat yang cenderung sinis, apatis dan tidak puas
terhadap cara penanganan Pemerintah pada pelanggaran hak asasi
manusia tersebut. Selain itu, faktor ketegangan politik yang terjadi di
negara kesatuan Republik Indonesia juga tidak boleh diabaikan dan
dibiarkan terus berlarut-larut tanpa adanya kepastian
penyelesaiannya.
3. Bahwa dengan diungkapkannya kebenaran tentang pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, maka melalui Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (The truth and reconsiliation commission) diharapkan
dapat diwujudkan rekonsiliasi guna menegakkan persatuan dan
kesatuan nasional.
4. Bahwa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The
truth and reconsiliation commission) merupakan sebuah ikhtiar
kolektif yang mengedepankan ”nilai-nilai islah” dan ”saling
memaafkan” dari bangsa Indonesia dalam rangka perlindungan dan
penegakkan hak asasi manusia, yang pada masa lalu (sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia) peristiwa-peristiwa pelanggaran hak
asasi manusia berat (gross violations of human rights) seringkali
dinisbikan bahkan dianggap tidak ada, bahkan tanpa
dipermasalahkan dan diselidiki siapa pelaku, siapa korbannya dan
berapa jumlah korbannya.
5. Bahwa dengan dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,
pelanggaran hak asasi manusia yang berat kedepan diharapkan tidak
terulang dan terjadi lagi, seperti pepatah Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (The truth and reconsiliation commission) Argentina yang
menyebutnya sebagai “Nunca Ma’as” (jangan terulang lagi), di Afrika
27
Selatan menggunakan istilah “to forgive but not to forget”, atau
dengan sindiran yang menggelitik “Tu paux marcher sur I’Afrique,
mais n’est marche pas sur I’Africain” (anda boleh berjalan diatas
tanah Afrika, tetapi jangan sekali-kali berjalan diatas orang Afrika).
Sehingga dengan dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,
dengan mengedepankan semangat “nilai-nilai islah” dan “saling
memaafkan” atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang terjadi pada masa lalu, kedepan diharapkan segera dapat terwujud
rekonsiliasi nasional dalam rangka memantapkan persatuan dan
kesatuan nasional.
B. Penjelasan atas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi yang dimohonkan untuk diuji, yaitu sebagai berikut:
1. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 2 dan angka 5 Undang-
Undang a quo terdapat pada Ketentuan Umum (Bab I) yang memuat
tentang batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim
yang digunakan dalam peraturan dan hal-hal lain yang bersifat umum
yang berlaku bagi pasal-pasal berikutnya antara lain ketentuan yang
mencerminkan asas, maksud dan tujuan (Lampiran C.1.74. Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan).
2. Bahwa karena Ketentuan Umum memuat batasan pengertian atau
definisi, singkatan, atau akronim yang berfungsi untuk menjelaskan
makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi,
singkatan, atau akronim tidak perlu diberikan penjelasan, karena itu
harus dirumuskan sedemikian rupa, secara utuh dan bulat sehingga
tidak menimbulkan pengertian ganda (multy interpretation), yang
pada gilirannya dapat menciptakan kepastian hukum
(rechtszekerheid).
3. Bahwa Ketentuan Umum juga digunakan sebagai sarana
memperkenalkan istilah-istilah yang belum dikenal oleh masyarakat,
selain itu ketentuan umum juga dapat dikatakan sebagai
28
roh/jantungnya suatu undang-undang, karena digunakan untuk
merumuskan pengertian dalam pasal-pasal berikutnya.
Dari uraian diatas, maka jikalaupun anggapan para Pemohon itu benar
adanya, dimana materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi yang dimohonkan untuk diuji dianggap tidak sesuai dengan
implementasi dilapangan, karena dianggap potensial dapat menimbulkan
konflik sosial politik diantara sesama anak bangsa yang pada akhirnya
akan menjerumuskan bangsa ini kejurang perpecahan dan kerusakan
yang parah, maka hal tersebut tidak berkaitan dengan konstitusionalitas
keberlakuan suatu undang-undang, tetapi berkaitan dengan penerapan
norma undang-undang itu sendiri.
Selain itu, Pemerintah juga tidak sependapat dengan anggapan para
Pemohon yang menganggap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi, telah menimbulkan ketidakpastian hukum
(onrechtszekerheid), dan lebih banyak mendatangkan mudharat
ketimbang kemaslahatan bagi orang banyak. Justru sebaliknya dengan
diberlakukannya undang-undang ini dapat menciptakan kepastian hukum
(rechtszekerheid), antara lain :
a. Terdapatnya kepastian model atau pilihan penyelesaian apakah
melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau Pengadilan HAM Ad
Hoc atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada
masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
b. Terdapatnya kepastian diketahuinya pelaku dan korban atas kejahatan
pelangaran hak asas manusia yang berat yang terjadi pada masa lalu.
c. Terdapatnya kepastian untuk memperoleh amnesti bagi pelaku
kejahatan pelangaran hak asasi manusia yang berat, disisi lain
terdapatnya kepastian korban dan/atau ahli warisnya untuk
memperoleh kompensasi dan restitusi.
29
Dari uraian tersebut diatas, Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 1 angka
1, angka 2 dan angka 5 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tidak merugikan hak dan/atau
kewenangan konstitusional para Pemohon, dan tidak bertentangan dengan
Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 29
Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut diatas, Pemerintah
memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut :
1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum
(legal standing);
2. Menolak permohonan pengujian Para Pemohon (void) seluruhnya atau
setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak
dapat diterima (niet onvankelijke verklaard);
3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan: Pasal 1 angka 1, angka 2 dan angka 5 Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak
bertentangan dengan Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G
Ayat (1), dan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
5. Menyatakan Pasal 1 angka 1, angka 2 dan angka 5 Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tetap
mempunyai kekuatan hukum dan berlaku mengikat diseluruh Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
menyampaikan keterangan tertulis, bertanggal kosong November 2006 yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa tanggal 28
November 2006 pukul 13.20 WIB, menerangkan sebagai berikut;
30
A. Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran Dan Rekonsiliasi yang Dimohonkan Uji Materiil :
1. Bagian Konsideran, bahwa bagian konsideran menimbang dan
mengingat hanya mencantumkan landasan sosiologis dan yuridis.
Sedangkan landasan filosofis yaitu Pancasila tenyata tidak tercantum baik
secara tegas maupun secara tersirat.
2. Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa Kebenaran adalah kebenaran atas
suatu peristiwa yang dapat diungkapkan berkenaan dengan pelanggaran
hak asasi manusia yang berat, baik mengenai korban, pelaku, tempat,
maupun waktu.
3. Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa Rekonsiliasi adalah hasil dari suatu
proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, melalui
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk terciptanya perdamaian
dan persatuan bangsa.
4. Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa Korban adalah orang perseorangan
atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental,
maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian,
pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung
dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat; termasuk korban adalah
juga ahli warisnya.
Ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 2, dan angka 5 Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 adalah:
1. Pasal 28C Ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya;
2. Pasal 28D Ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum;
31
3. Pasal 28G Ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.
4. Pasal 29 Ayat (1) menyatakan Negara berdasarkan atas Ketuhanan
Yang Maha Esa.
B. Hak-hak Konstitusional Pemohon yang Dilanggar :
1. Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa Kebenaran adalah kebenaran atas
suatu peristiwa yang dapat diungkapkan berkenaan dengan pelanggaran
hak asasi manusia yang berat, baik mengenai korban, pelaku, tempat,
maupun waktu. Dalam undang-undang a quo tidak ditemui pasal-pasal yang
menjelaskan tentang ukuran atau norma kebenaran suatu peristiwa
tersebut. Undang-undang a quo tidak menjelaskan prosedural pembuktian
dan alat-alat bukti apakah yang wajib digunakan oleh Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi dan para korban HAM berat di masa lalu untuk
membenarkan legal standing dan tuntutannya. Validitas dan efektivitas
konsep dan pembuktian kebenaran menurut undang-undang a quo menjadi
subjektif dan tidak terukur.
2. Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa Rekonsiliasi adalah hasil dari suatu
proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, melalui
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk terciptanya perdamaian
dan persatuan bangsa.
Menurut Pemohon pengertian Rekonsiliasi dianggap absurd dan a historis.
Hal ini karena undang-undang a quo secara sengaja telah mengkonstruksi
sejarah dan peristiwa pelanggaran HAM di masa lampau sedemikian rupa
sehingga seolah-olah seluruh peristiwa pelanggaran HAM berat di masa
lampau dan seluruh korban adalah orang yang tidak bersalah. Konsep
Rekonsiliasi dalam Undang-Undang a quo seharusnya mencantumkan
klausula pengecualian karena ternyata tidak semuanya dapat diputihkan.
Selain itu konsep rekonsiliasi secara obyektif tidak relevan dengan
32
kebutuhan saat ini yaitu keadilan bukan rekonsiliasi, sehingga Pengadilan
HAM Ad Hoc danggap sudah cukup.
3. Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa Korban adalah orang perseorangan
atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental,
maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian,
pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung
dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat; termasuk korban adalah
juga ahli warisnya.
Oleh Pemohon pengertian korban dianggap tidak relevan karena bersifat
ekstensif dengan memasukkan ahli waris termasuk dalam kategori korban
khususnya berkenaan dengan masalah pembuktian jati diri ahli waris dan
pembuktian kebenaran telah terjadinya pelanggaran HAM berat atas
keluarga korban mengingat ahli waris tidak mengalami sendiri (testimonium
de auditu) sehingga tidak mungkin menjadi pihak yang mengadukan
kejadian yang telah melanggar hak-hak keluarganya.
4. Berdasarkan uraian pasal-pasal yang diajukan judicial review tersebut
Pemohon merasa telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat
(1), dan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, karena tidak adanya dimensi kepastian dan keadilan
dalam implementasi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi.
C. Keterangan DPR RI Terhadap Permohonan Pemohon :
1. bahwa dalam konsiderans Menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (selanjutnya
disebut UU KKR) sudah memuat nilai-nilai filosofis yang terkandung di
dalam Pancasila sebagai sumber nilai atau norma yang paling tinggi
(grundnorm) dan sekaligus menjadi sumber dari segala sumber hukum.
Secara tegas di dalam konsideran huruf a tersebut dinyatakan keharusan
untuk pengungkapan pelanggaran hak asasi manusia yang berat pada
masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang bertujuan mengungkapkan kebenaran,
33
menegakkan keadilan, dan membentuk budaya menghargai hak asasi
manusia sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional.
Dalam hal ini, menegakkan keadilan, budaya menghargai hak asasi
manusia, dan persatuan nasional merupakan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Dengan demikian, konsiderans UU KKR mengandung
pokok-pokok pikiran yang memuat unsur filosofis yang menjadi latar
belakang pembuatannya, sebagaimana diatur di dalam lampiran angka 18
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
2. bahwa dalam konsiderans Mengingat tidak ada keharusan mencantumkan
Pancasila sebagai dasar hukum pembentukan peraturan perundang-
undangan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menentukan bahwa dasar hukum itu
adalah yang memuat dasar kewenangan pembuatan peraturan perundang-
undangan dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan
pembuatan Peraturan Peraturan Perundang-undangan tersebut (lampiran
angka 26). Pancasila yang juga sebagai staatsfundamentalnorm maka
secara otomatis menjadi sumber rujukan pengaturan negara dan dalam
bentuk apapun peraturan yang dilahirkan tidak boleh bertentangan dengan
Pancasila. Oleh karenanya, ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
sangatlah jelas menyebutkan Pancasila merupakan sumber dari segala
sumber hukum negara.
3. bahwa mengenai definisi Kebenaran dalam Pasal 1 angka 1 yang menurut
Pemohon dalam Undang-Undang a quo tidak ditemui pasal-pasal yang
menjelaskan tentang ukuran atau norma kebenaran suatu peristiwa dan
tidak menjelaskan prosedural pembuktian dan alat-alat bukti yang wajib
digunakan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan para korban
pelanggaran HAM berat di masa lalu untuk membenarkan legal standing
dan tuntutannya. Validitas dan efektivitas konsep dan pembuktian
kebenaran menurut Undang-Undang a quo menjadi subjektif dan tidak
terukur.
34
Terhadap dalil yang diuraikan Pemohon tersebut dapat dijelaskan bahwa
pada awalnya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(selanjutnya disebut KKR) dimaksudkan sebagai usaha bersama seluruh
komponen bangsa untuk mengedepankan nilai-nilai ’islah’ bagi bangsa
Indonesia dalam rangka perlindungan dan penegakan HAM yang pada
masa lalu (sebelum berlakunya Undang-Undang tentang Pengadilan HAM)
banyak terjadi pelanggaran HAM berat (gross violations of human rights)
dan seringkali tidak dipermasalahkan bahkan tidak diselidiki siapa yang
menjadi pelaku dan korban sebenarnya. Dengan dibentuknya KKR, kita
secara bersama-sama mencoba mengurai peristiwa-peristiwa pahit berupa
pelanggaran HAM berat di masa lalu sehingga jelas duduk perkara yang
sebenarnya dan jelas pula siapa pelaku dan korbannya yang kemudian
diharapkan adanya upaya ke arah penyelesaian yang baik yang dapat
diterima semua pihak.
Adapun pernyataan Pemohon yang menganggap tidak adanya ukuran
kebenaran suatu peristiwa dan prosedur pembuktian yang jelas dan alat-
alat bukti yang digunakan, tidak sepenuhnya benar. Di dalam UU KKR
khususnya dalam Pasal 7 Ayat (1) dijelaskan bahwa dalam melaksanakan
tugasnya komisi mempunyai wewenang antara lain melaksanakan
penyelidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
meminta keterangan kepada korban, ahli waris korban, pelaku dan atau
pihak lain, meminta dan mendapatkan dokumen resmi serta memanggil
orang-orang terkait guna memberikan keterangan. Kewenangan–
kewenangan yang dimiliki KKR tersebut tentunya dilaksanakan dalam
rangka mengungkap kebenaran suatu peristiwa pelanggaran HAM. Sebagai
lembaga ekstra yudisial, KKR tentunya tidak dapat disamakan dengan
lembaga peradilan biasa menyangkut prosedur pembuktian dan alat-alat
bukti yang digunakan. Hal ini sebagaimana juga dijelaskan dalam
penjelasan Pasal 6 huruf b yaitu bahwa yang dimaksud penyelidikan adalah
adalah tindakan mencari, mengumpulkan dokumen/bukti lain yang
diperlukan, dan mengecek kebenaran fakta yang diungkapkan oleh pelaku,
tetapi tidak perlu sampai pemeriksaan sebagaimana yang dilakukan oleh
35
penyelidik pro yustisia sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang
tentang Hukum Acara Pidana.
Mengenai ukuran kebenaran yang digunakan tentunya adalah kebenaran
yang terungkap sebagai hasil dari suatu proses penyelidikan yang dilakukan
oleh KKR yang sudah sesuai mengikuti cara-cara dan prosedur yang
ditetapkan dalam UU KKR dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7 Ayat (1)
huruf a.
4. bahwa Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa Rekonsiliasi adalah hasil dari
suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan,
melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk terciptanya perdamaian
dan persatuan bangsa.
Menurut Pemohon pengertian Rekonsiliasi dianggap absurd dan a historis.
Hal ini karena Undang-Undang a quo secara sengaja telah mengkonstruksi
sejarah dan peristiwa pelanggaran HAM di masa lampau sedemikian rupa
sehingga seolah-olah seluruh peristiwa pelanggaran HAM berat di masa
lampau dan seluruh korban adalah orang yang tidak bersalah. Konsep
Rekonsiliasi dalam Undang-Undang a quo seharusnya mencantumkan
klausul pengecualian karena ternyata tidak semuanya dapat diputihkan.
Selain itu konsep rekonsiliasi secara objektif tidak relevan dengan
kebutuhan saat ini yaitu keadilan bukan rekonsiliasi, sehingga Pengadilan
HAM Ad Hoc dianggap sudah cukup.
Terhadap dalil yang diuraikan Pemohon tersebut dapat dijelaskan bahwa
pemberlakukan UU KKR dimaksudkan sebagai fokus pada penyelesaian
berbagai persoalan di masa lalu yang masih menjadi beban politik dalam
kehidupan bernegara. Gagasan ”rekonsiliasi” diharapkan untuk
menyelesaikan persoalan balas dendam politik atas sejumlah kesalahan
politik (pelanggaran HAM berat) di masa lalu yang belum terselesaikan.
Penuntasan pelanggaran HAM haruslah didasari dalam bingkai rekonsiliasi
nasional dan bukan atas dasar politik balas dendam, dalam pengertian
36
bahwa pelaksanaan rekonsiliasi itu dalam perspektif kepentingan bersama
sebagai bangsa.
Adapun anggapan Pemohon bahwa Pengadilan HAM sudah cukup
sehingga keberadaan KKR tidak diperlukan, dapat diterangkan bahwa KKR
dibentuk tidak berfungsi sebagai pengganti (substitusi) tetapi
pelengkap (komplementer) terhadap Pengadilan HAM (sesuai ketentuan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM), yang
tidak mengatur proses penuntutan hukum tetapi hanya mengatur proses
pengungkapan kebenaran, pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau
rehabilitasi kepada korban dan pemberian amnesti kepada pelaku. Selain
itu kedudukan KKR sebagai lembaga yang bersifat Ad Hoc yang
mendukung adanya kepastian hukum bagi pelanggaran HAM berat yang
terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, bersifat sementara dan keberadaannya dibatasi waktu,
sehingga pada saat batasan waktu yang tersedia telah habis maka terhadap
pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu dapat ditempuh
penegakan hukum melalui Pengadilan HAM Ad Hoc.
5. bahwa Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa Korban adalah orang
perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik,
mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami
pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai
akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat; termasuk
korban adalah juga ahli warisnya.
Oleh Pemohon pengertian korban dianggap tidak relevan karena bersifat
ekstensif dengan memasukkan ahli waris termasuk dalam kategori korban
khususnya berkenaan dengan masalah pembuktian jati diri ahli waris dan
pembuktian kebenaran telah terjadinya pelanggaran HAM berat atas
keluarga korban mengingat ahli waris tidak mengalami sendiri (testimonium
de auditu) sehingga tidak mungkin menjadi pihak yang mengadukan
kejadian yang telah melanggar hak-hak keluarganya.
Terhadap dalil Pemohon di atas dapat diterangkan bahwa dimasukkannya
ahli waris sebagai korban adalah sudah tepat mengingat kedudukannya
37
sangat penting sebagai mata rantai lanjutan dalam proses pengungkapan
kebenaran melalui pemberian keterangan apabila korban telah meninggal
dunia, karena ahli waris dimungkinkan mengetahui keadaan si korban
karena kedekatan atau mengalami secara tidak langsung dampak dari
pelanggaran HAM berat yang dialami korban yang telah meninggal dunia.
Selain itu kedudukan ahli waris dari si korban juga sebagai pihak yang
paling berhak terhadap kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi apabila
terungkap di kemudian hari telah terjadi pelanggaran HAM berat yang
menimpa keluarganya.
6. Secara aktual di dalam proses pembahasan RUU KKR, gagasan mengenai
kebenaran dan rekonsiliasi memang gagasan yang paling banyak menuai
perdebatan. Perdebatan menyangkut apa yang dimaksud dengan
kebenaran dan rekonsiliasi, bagaimana gagasan kebenaran dijabarkan
serta tindak lanjut dari pengungkapan kebenaran. Memang diakui,
pemaknaan terhadap kebenaran dan rekonsiliasi meskipun telah jelas
dirumuskan dalam undang-undang, kerap menciptakan pandangan-
pandangan yang berbeda tentang kebenaran dan rekonsiliasi tersebut
akibat kuatnya dimensi politik dan hukum yang mengikat pemaknaan
banyak orang tentang kebenaran dan rekonsiliasi. Namun pada akhirnya
sesungguhnya memang tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak dan pada
akhirnya rumusan ’kebenaran’ yang ada dalam UU KKR merupakan
rumusan yang maksimal dihasilkan oleh pembuat undang-undang, dan
rekonsiliasi adalah jalan tengah terbaik yang ditempuh oleh bangsa guna
menghilangkan beban politik dalam kehidupan bernegara agar tercipta
perdamaian dan persatuan bangsa.
Menimbang bahwa pada persidangan pada hari Senin, tanggal 13
November 2006, telah didengar keterangan tiga orang ahli dan tiga orang saksi
dibawah sumpah yang diajukan Pemohon yang pada pokoknya sebagai berikut:
AHLI PROF. MUHAMMAD NOOR SYAM. Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 ini ada beberapa hal yang
patut dianggap sebagai suatu hal yang menyebabkan cacat hukum. Sehingga
validitasnya ahli ragukan. Pertama, di dalam menimbang, tidak disebut sama
38
sekali dasar dan sumber hukum dari UU KKR. Seharusnya dasarnya adalah
dasar Negara Republik Indonesia Pancasila, demikian pula bersumber dari
segala sumber hukum Pancasila kita. Kedua UUD negara yang berlaku, yaitu
UUD Proklamasi seutuhnya, terutama berkaitan dengan menimbang dan
mengingat tujuan dari KKR ini.
Tujuan rekonsiliasi. Kalau rekonsiliasi tentu harus dilandasi oleh suatu
kebenaran dulu, siapa yang benar, siapa yang salah, kemudian ibaratnya
bermaafan. Kebenaran kami anggap valid dan terpercaya di dalam negara
Republik Indonesia ini, minimal ada tiga kebenaran yang fundamental.
Pertama, kebenaran dasar negara Pancasila seutuhnya dalam identitas dan
integritas martabatnya sebagai bagian dari sistem filsafat timur yang
berasaskan atheisme religius, bahkan monoteisme religius. Ini keunggulan
sistem filsafat Pancasila yang syukur menjadi pandangan hidup bangsa dan
dasar negara Republik Indonesia tercinta.
Kedua, kebenaran UUD Proklamasi seutuhnya dengan menegakkan sistem
kedaulatan rakyat dan asas negara hukum dan ini adalah sesuatu yang
melandasi ketatanegaraan kita. Dulu, sekarang, dan masa depan, seutuhnya.
Tidak satu pasal pun dapat direduksi, apalagi disimpangi. Misalnya Pasal 29,
yang dapat saja ditafsirkan sekularisme kah, apalagi atheisme, tetapi
validitasnya harus diuji dengan kebenaran pertama tadi.
Ketiga, kebenaran cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagai tersurat dan
tersirat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 seutuhnya juga,
yang telah diakui dan dimufakati oleh MPR Republik Indonesia amandemen,
tidak melakukan amandemen. Berarti itu utuh sejak Proklamasi sampai
sekarang.
Kenaran-kebenaran yang berlaku sebagai jabaran dari tiga kebenaran yang
fundamenta, termasuk TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang larangan
dikembangkannya, disebarkannya paham marxisme, komunisme, atheisme.
Oleh karena itu, dengan memperhatikan kebenaran-kebenaran yang dimaksud,
tetapi kita tidak menemukan dalam UU KKR, maka ahli digukan validitas dari
UU KKR, apalagi kalau mengingat tujuannya adalah untuk rekonsiliasi,
merukunkan kembali hal-hal yang telah terjadi di masa lampau. Kerukunan itu
dapat mungkin terjadi kalau tujuan dari UU KKR juga tegas.
39
Ahli juga menyaksikan dalam sejarah sosial politik ketatanegaraan kita,
khususnya dengan ideologi nasional Pancasila. Kewajiban warga negara itu
sebagai warga negara dari negara Pancasila ialah mutlak imperatif, setia
membela Pancasila. Kalau mereka itu tidak setia, mereka bukan warga negara
yang baik. Berbeda dengan warga negara yang setia, membela, mengamalkan,
membudayakan. Hal demikian ini menjadi ukuran dari kesetiaan warga negara,
karena logika civic hukum, pusat kesetiaan dan kebanggaan nasional setiap
warga negara ialah kesetiaan dan kebanggaannya kepada dua hal, dasarnya
negaranya atau ideologi negaranya dan UUD negaranya, ini berlaku universal.
Misalnya saya beri contoh, di negara Uni Sovyet dulu, setiap warga negaranya,
sadar atau tidak sadar, sukarela atau dipaksa, setia kepada ideologi
komunisme. Kalau mereka tidak setia, mereka bisa mengambil jalan, minta
suaka politik ke luar negeri dengan tuduhan mereka itu membelot, menghianati
negaranya dan mereka umumnya ditampung di negara liberal.
Kalau di Indonesia, memang sejak pemberontakan-pemberontakan yang
mereka lakukan, alhamdulillah, MPRS atas nama kedaulatan rakyat dan
penjelmaan seluruh rakyat menetapkan bahwa mereka dilarang, sesungguhnya
bukan hanya karena adanya pemberontakan dan kudeta, secara fundamentally
intrinsically, mereka sesungguhnya tidak dapat sesuai dengan Pancasila,
karena paham yang mereka anut, doktrin politik ideologi komunisme adalah
marxisme, atheisme yang mempunyai elemen-elemen kolektivisme
internasionalisme, etatisme, atheisme, bahkan totalitarianisme. Hal ini sama
sekali secara kultural, apalagi secara konstitusional diametral, dengan tatanan
budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Amanat itu bukan saja amanat konstitusional dan ideologis, tetapi ahli anggap
amanat moral bangsa Indonesia, sesungguhnya secara kenegaraan dulu
pernah diajarkan dalam buku PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Sehingga
moral dan budaya politik Indonesia sesungguhnya adalah moral dan budaya
politik Pancasila, karena itu juga ada predikat Demokrasi Pancasila, Ekonomi
Pancasila.
Ahli berpendapat Undang-Undang KKR maksimal harus dibatalkan demi
hukum dan demi filsafat negara Pancasila seutuhnya. Kalau misalnya direvisi,
menambahkan kata Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum UUD
40
1945, ahli menganggap kalau begitu hanya pajangan, tidak fundamentally
intrinsically, sebab hakikat dari pada tujuan KKR itu juga harus jelas.
Pertama, yang akan rekonsiliasi itu siapa? Kalau borongan, total, ada
kasus ini, kasus itu, dia tidak bisa, harus di-clearkan dulu. Sebab ada di antara
golongan-golongan itu yang apriori secara ideologis tidak dapat direkonsiliasi
sebelum mereka bersumpah, menyatakan kesetiaan tunggal kepada dasar
negara dan ideologi negara Indonesia. Selama itu tidak terjadi, salaman itu
hanya formalitas dan ini berbahaya ke depan. Bahaya ke depan itu patut
diantisipasi bahwa mereka akan mengulangi, bahwa mereka memang
melakukan perjuangan untuk merebut supremasi, ideologi mereka. Dengan
kata lain juga, supremasi politik di Indonesia dan ini menjadi bencana di masa
depan. Wajarlah umat beragama was-was, apalagi memperhatikan sejarah
dunia, sejarah mereka, bagaimana di berbagai belahan bumi ini melakukan
coup, mengambil alih kekuasaan negara demi ideologi mereka. Dan kalau
mereka berkuasa, mereka menindas, karena tadi etatisme dan totalitarianisme,
atheisme. Mereka tidak saja merampas kekuasaan politik, tapi merampas
keimanan kita, ketuhanan kita, na’udzubillah. Ini sangat berbahaya, wajarlah
masyarakat yang membela Pancasila, khususnya umat beragama risau, was-
was. Karena itu saya juga bersyukur ada kelompok yang memperjuangkan
sebagai kelompok Pemohon ini.
Ahli secara pribadi bertanggung jawab, social cultural scientific kepada
masyarakat, tetapi lebih-lebih kepada Allah Yang Maha Kuasa sebagaimana
alinea Pembukaan yang ketiga yang menyatakan, “Atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa”, ini negara kalau kita sebagai penanggung jawab, elemen-
elemen kelembagaan ini tidak menyelamatkan amanat itu, maka bukan saja di
dunia ini kita tidak bertanggung jawab, barangkali di hadapan Allah kita juga
dimintai tanggung jawab.
Oleh karena Ahli memohon, totally-absolutely undang-undang ini
dibatalkan demi kebenaran, kebenaran Pancasila, kebenaran UUD Proklamasi,
yang di dalamnya kita hidup dan untuk masa depan kita merasa aman
sejahtera. Di luar itu negara yang begini plural, kita akan konflik. Amandemen
saja sudah menimbulkan berbagai konflik, karena tafsir yang masih
kontroversial.
41
Ahli beranggapan UUD 1945 dengan berbagai pasal, khususnya Pasal
28, yang diamandemen itu cukup lengkap untuk menjamin rekonsiliasi antar
warga negara yang loyal pada Pancasila dan UUD 1945. Di luar itu tetap TAP
MPRS Nomor XXV berlaku dan menurut paham saya TAP MPRS Nomor XXV
tidak akan pernah dapat dicabut, karena MPR sekarang bukan MPR lembaga
tertinggi, MPR sekarang hanya lembaga tinggi. Ibarat ini dia tidak menjangkau.
Jadi TAP MPRS itu tetap sebagai MPR lembaga tertinggi. MPR yang sekarang
dengan hormat ahli nyatakan menurut hukum tata negara amandemen, mereka
hanya lembaga tinggi, sehingga kewenangan untuk mencabut itu tidak pernah
ada lagi, kecuali kita kembali pra amandemen.
AHLI TAUFIK ISMAIL (Ahli dalam bidang Budayawan). Kenapa orang-orang eks PKI dipercaya dapat memimpin revolusi. Di
dalam revolusi 1945 mereka tidak mempunyai peran yang signifikan dan
kemudian tiga kali mereka berontak, yang mereka sebut sebagai revolusi itu
gagal semua sejak tahun 1926 sampai dengan tahun 1948, sampai dengan
tahun 1965. Untuk itu kemudian ahli merasa berkewajiban untuk memberikan
sebuah sorotan tentang sejarah komunisme yang secara internasional
Mereka itu telah digariskan dalam sebuah strategi yang di dalam tiga
dokumen, yaitu:
Pertama, manifesto komunis yang ditulis oleh Marx dan Engels yang
menyatakan di sana, ultimate goal itu adalah ”merebut kekuasaan dengan
kekerasan”.
Kedua adalah Zagladin, Zagladin dengan dua belas orang ideolog-
ideolog di Moskow itu menulis sebuah buku yang judulnya, “Strategic and
Tactics of Communist Movement” ini yang menjadi buku pegangan bagi
mereka.
Zagladin di sana menyatakan mengenai butir-butir, ada enam butir di
sana. Itu petunjuk-petunjuk eksplisit dengan kata-kata yang jelas, yaitu the
ultimate goal itu adalah perebutan kekuasaan dengan kekerasan apabila di
suatu tempat partai komunis itu sedang mendapat musibah, sedang tengkurap
masuk bawah tanah itu tetap menjadi objektif yang mereka harus capai pada
suatu waktu, karena selalu ditanamkan kepada kader-kader mereka bahwa
42
kekalahan itu adalah kemenangan yang tertunda. Dan ini diktum diturunkan
kepada anak-anak usia 17 tahun sampai 20, hingga 30 tahun.
Ketiga, jadi ada dua dokumen yang secara tertulis ada dan itu belum
pernah dibatalkan oleh mereka walaupun partai-partai komunis di seluruh dunia
kecuali di Kuba, Vietnam, RRC, dan Korea. Di tempat-tempat ini mereka, malah
sebenarnya sudah tidak dapat disebut sebagai partai komunis, karena istilah
tahun 50-an 60-an itu telah khianat. Mereka itu sudah tidak memegang
marxisme dan leninisme dengan sebenarnya.
Di Indonesia, PKI gagal tahun 1926 karena revolusi mereka tetapkan
pada tahun 1926 itu diputuskan di Konferensi Prambanan kemudian dikirim
meminta persetujuan Tan Malaka yang ada pada waktu itu di Manila. Itu petani-
petani tidak ada sangkut pautnya dengan marxisme-leninisme mereka itu
petani-petani Islam.
Kedua, ketika tahun 1926 gagal, Muso melarikan diri ke Moskow dua
puluh tahun dia di sana kemudian dikirim lagi oleh Stalin untuk melakukan
pemberontakan Madiun tahun 1948, sudah lebih siap beberapa hari sebelum
tanggal 18 September itu sudah disediakan lubang yang besar untuk kemudian
pada hari itu dirazia orang-orang di sekolah-sekolah pesantren itu dibawa
langsung, disembelih pada waktu itu. Muso ketika datang, menyelundup masuk
melalui Bukittinggi sebagai sekretaris dari perwakilan kita di salah satu negara
timur pada waktu itu dan langsung bertemu dengan kawannya indekost di AMS
Surabaya yang menjadi Presiden. Muso dengan Bung Karno satu indekost di
rumah HOS Cokroaminoto pada waktu itu. Kemudian kata Soekarno, “aarghh,
bantu dong revolusi kita!”.
Ketiga tentu saja PKI tidak mau lagi mengalami kegagalan seperti ini,
mereka membuat skenario. Skenario itu seperti ketoprak yang sekarang ini
sebenarnya tidak berlaku lagi. Itu menyebutkan bahwasanya ini masalah
internal angkatan darat, betul skenario itu dibuat sedemikian rupa sehingga
mereka cuci tangan. Dewan revolusi yang akan disambung dengan dewan
revolusi tetapi itupun juga gagal. Ini akan dapat kita baca kalau kita melihat
sejarah yang mereka lakukan. Kemudian masuklah sekarang ini setelah gagal
total itu cuci tangan, mereka cuci tangan dan kemudian sekarang masuk
kepada rekonsiliasi ini.
43
Kemudian bermaaf-maafan tapi di belakang itu ada buntutnya, buntutnya
Konpensasi kalau dengan cara seperti ini dengan kegigihan mereka itu Insya
Allah sepuluh meter dari yaumil kiamah tidak akan selesai yang akan
menyelesaikan adalah perdamaian total, dari perundingan perdamaian di
Malaysia itu yang dua kali alot sekali, luar biasa alotnya tetapi akhirnya terjadi
perdamaian total.
Kemudian diadakan dua kali perundingan dengan jarak enam tahun
yang sangat alot, tetapi pada perundingan yang kedua tercapai perdamaian
total. Ahli ketika membaca proceeding itu ada tiga hukum:
1. Pengakuan Cheng Peng, My Side of History
2. Proceeding yang yang ditulis oleh Ratana Jaya seorang Kolonel angkatan
darat itu.
3. Ada sebuah seminar di Australia dan kemudian Cheng Peng membuka
jalannya perundingan dan saya merasa terharu.
Petunjuk yang sangat jelas di dalam sehari-hari partai ini bergerak itu The end
justify the means. Tujuan menghalalkan cara. Apa itu tujuan menghalalkan
segala cara kalau menurut dokumen yang paling baru yaitu sembilan petunjuk
mengenai partai komunis di RRC. Nah itu disebutkan di sana bahwasanya
sembilan itu yaitu cara kejahatan menipu, menghasut, penjahat masyarakat,
memata-matai, merampok, berkelahi, memusnahkan, dan mengontrol. Ini
ditulis oleh para pelarian dari daratan Tiongkok, kalau di dalam partai komunis
yang sejak tahun 1917 sampai belakangan ini, itu butir-butirnya adalah pertama
berdusta, memutar balik fakta, memalsukan dokumen, memfitnah, memeras,
menipu, menghasut, menyuap, intimidasi, bersikap keras, berkata kasar,
mencaci maki, menyiksa, memperkosa, merusak, membunuh dan membantai.
Di dalam hal ini maka yang masuk di dalam sejarah yang tidak dapat yaitu
pembantaian 120 juta manusia di dalam waktu 74 tahun di seluruh dunia.
AHLI PROF. AMINUDDIN KASDI (Ahli dalam bidang Sejarah) Berdasarkan pengalaman sejarah nampaknya bagi kebangkitan komunis
itu akan memiliki pola yang tidak terlalu jauh berbeda jadi apabila tahun 1948
mereka gagal, kemudian mereka juga berusaha menghilangkan jejak dengan
membawa satu fitnah, yaitu bahwa peristiwa Madiun itu disebabkan oleh
44
karena provokasi Hatta dan sudah barang tentu ini sangat tidak benar, bahkan
Hatta pun sampai-sampai hati karena melaksanakan persetujuan Renville yang
ditandatangani oleh Amir Syarifudin pada waktu menjabat perdana menteri,
kemudian Hatta itu juga dicap atau dikatakan sebagai anjing Amerika penjual
bangsa dan negara. Ini PKI padahal setelah peristiwa Madiun dapat ditumpas
pada akhir bulan Oktober, kemudian tidak lebih dari tiga bulan pecah perang
agresi yang kedua. Semua tahanan PKI yang belum sempat diadili dibebaskan
dan lainnya juga kemudian melarikan diri dan setelah pengakuan kedaulatan
mereka mengajukan permohonan kepada Hatta, yaitu PKI rehabilitasi di bawah
pimpinan Yusuf dan Hatta meskipun pada waktu beliau menjabat perdana
menteri tahun 1948 pernah diberontak tetapi tidak sakit hati dan berdasarkan
putusan pemerintah pada tahun 1950 Hatta sebagai Perdana Menteri RIS
merehabilitasi PKI. Tapi pada tahun 1953 Hatta sudah disumpah serapai oleh
CC PKI dalam hal ini adalah D.N. Aidit bahwasanya peristiwa Madiun
diprovokasi oleh Hatta dan inipun kemudian juga dipakai lagi untuk
menghilangkan jejak pada tahun 1965.
Partai Komunis Indonesia mulai dari peristiwa aksi sepihak di Jengkol
yaitu di perkebunan baru di daerah Pare kemudian juga aksi-aksi penyiksaan
kepada Hamka terhadap tenggelamnya kapal Van Der Wijk yang menurut saya
waktu itu adalah satu character assassination yang tidak pada tempatnya
dilakukan oleh tokoh-tokoh intelektual, baik itu Lekra maupun PKI pada
sastrawan Hamka. Kemudian juga setelah itu kami sekolah di Malang dan
bertepatan dengan kami di Malang itu juga terjadi sejumlah peristiwa yang kami
harus berpikir kritis, jadi misalnya peristiwa HMI. Jadi tuntutan membubarkan
HMI di Jember tahun 1963 yang dikumandangkan oleh CGMI dan Utrek
kemudian juga peristiwa Kanigoro 13 Januari 1965 bertepatan pada waktu itu
adalah bulan puasa dan juga peristiwa aksi-aksi sepihak yang merajalela tahun
1963 sampai tahun 1965. Padi itu adalah menurut orang Jawa adalah Dewi Sri
yang memberi makan orang Jawa. Kalau Dewi Sri itu dianiaya, dicabuti maka
orang-orang itu nanti nyawanya itu dicabuti seperti itu dan tidak kurang dari
satwal kemudian terjadi peristiwa G 30 S/PKI.
Yang namanya JIL (Jaringan Islam Liberal) bahwasanya dengan dalih
hak asasi manusia dan demokratisasi maka PKI punya hak hidup yang sama
dengan yang lain, untuk membuat bibit-bibit perpecahan, yaitu dengan
45
mengajarkan pada siswa, pada kurikulum 2004 yaitu adanya versi baru tentang
G 30 S/PKI. Hal yang sekarang ini bertepatan dengan diberlakukannya
kurikulum berbasis kompetensi dan contextual teaching and learning dimana
pembelajaran itu seyogianya diambil dari sumber-sumber yang original, yang
otentik. Karena siapapun tahu bahwa tahun 1948 itu PKI melakukan satu
kudeta dan pelaku sejarahnya masih ada kemudian juga situs tempat
bersejarah juga masih banyak dan betapa biadabnya mereka itu di Desa Soco
itu ditanam di dalam satu sumur tidak kurang dari 134 jenazah dan kereta api
yang dipakai untuk bawa korban itu juga masih ada termasuk ayahanda Kharis
Suhud itu ada di sana, belum lagi yang ada di Guranggareng dan belum lagi
hilangnya tujuh kiai di Tagelan Madiun pada tanggal 17 September.
Pada waktu uji publik ada kelompok-kelompok tertentu yang memang
menafikan atau meragukan keterlibatan PKI dan bahwasanya G 30 S/PKI tidak
lebih dari rekayasa Soeharto. dalam masalah ini saya dalam satu hal memang
harus membela Soeharto tapi dalam hal ini berbeda, karena pada bulan
November tahun 1965 di rumah tahanan Salemba itu akan diadakan upacara
pelepasan bagi orang-orang yang ditangkap di pasar burung Jatinegara dua
minggu sebelum itu, karena diduga mereka terlibat dalam G 30 S. Dari tokoh
yang akan dilepaskan dihadiri atau diperiksa oleh petugas oditurat militer, yaitu
Ali Said dengan Dormawel Ahmad pada waktu Nyono itu menuliskan nama
aslinya kemudian diserahkan kepada petugas, mak gedebeg. Jadi apa
dipegang ini yang dicari dan kemudian disampaikan pada Ali Said dan
kemudian ditangkap dan diinterogasi. Tetapi waktu itu pimpinan pemerintah
belum yakin karena itu masih keterangan pribadi. Untuk itulah kemudian pada
bulan Desember tahun 1965 itu mendesak pada Presiden Soekarno untuk
mengeluarkan Penpres, yaitu tentang pembentukan Mahmilub. Dengan
Penpres Nomor 370 diminta Mahmilub untuk mengadili mereka-mereka yang
terlibat di dalam G 30 S itu. Baru pada akhir Januari, Mahkamah Militer itu
bersidang dan ternyata dari keterangan Untung, Yono dan sebagainya, maka
yang dibelakang itu adalah PKI dan oleh karena itu sejak itu kemudian di
belakangnya ada embel-embelnya, G 30 S/PKI.
Oleh karena itu sangat tidak benar bagaimana cara mereka untuk
memprovokasi dan menjatuhkan, menjadikan kambing hitam. Jadi misalnya
46
orde baru itu adanya sejak mulai tahun 1965 dan ini berarti memojokkan
Soeharto.
Para kelompok yang terlibat persengketaan dengan pemerintah, itu tidak
ada yang menuntut kompensasi. Apakah itu PRRI, apakah itu DI/TII, kalah
mereka ya kalah, ngakoni salah dan kemudian dalam bahasanya “bertobat”.
Tapi ternyata setelah jaman reformasi, mantan eks Tapol dan Napol dan
keturunannya melalui lebih kurang empat belas LSM, itu menuntut adanya
rehabilitasi dan kompensasi. Hal ini nampak, yang pertama pada tahun yang
lalu mereka melakukan suatu class action di pengadilan Jakarta Pusat.
Kemudian juga setelah itu menuntut kepada lima orang Presiden.
Kalau mereka itu direhabilitasi dan diberi kompensasi, maka logikanya
mereka adalah benar, yang menumpas adalah salah. Kalau mereka benar,
mereka berhak mendapatkan kompensasi dan mereka mendapatkan
rehabilitasi, maka TAP MPRS itu juga salah dan keputusan Mahmilub itu juga
salah, itu harus dicabut dan Bapak nanti harus mengadili mereka yang
menumpas PKI tahun 1965, apa Bapak siap begitu?”. Itu satu hal yang tidak
mereka duga. Ahli berpendapat, ada beberapa hal yang perlu ditegaskan, yaitu
misalnya pada Pasal 1 ayat (1) tentang Kebenaran, kebenaran itu dinyatakan
sebagai berikut: “Kebenaran adalah kebenaran atas suatu peristiwa yang dapat
diungkapkan berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
baik mengenai korban, pelaku, tempat, maupun waktu”. Persoalannya adalah
yang dimaksud dengan kebenaran ini kebenaran yang menyebabkan mereka
itu menjadi korban atau menderita? Atau kebenaran cara mereka
mengungkapkan? Itu harus ditegaskan. Sebab kalau kebenarannya peristiwa G
30 S itu adalah masalah keilmuwan dan itu dapat diperdebatkan. Tetapi kalau
kebenaran mengenai masalah mereka ditumpas, itu adalah sangat subjektif,
dari mana mereka melihatnya? Oleh karena itu kalau ini tidak ada ketegasan, ini maka ibaratnya adalah
pendulum yang bisa bergerak ke kanan dan ke kiri, yang bisa memukul siapa
saja. Kalau ini kebenaran sejarah, ada prinsip-prinsip kebenaran sejarah. Kalau
mereka mengakui bahwa tahun 1965 itu mereka benar, maka kebenaran itu
juga tidak hanya berasal dari pihak mereka sendiri, tetapi juga harus dari pihak
mereka yang pernah berseberangan. Misalnya Nasution, Harry Tjan Silalahi,
47
Marsilam Simanjuntak dll, tetapi karya-karya mereka tidak pernah memakai
referensi ini, jadi hanya sepihak dan ini di dalam sejarah disebut dengan
personal bias, berat sebelah, pribadi, ini tidak adil.
Kemudian yang kedua mengenai masalah korban, siapa yang jadi
korban? Kita harus tahu kontekstual, peristiwa itu terjadi, mengapa? Kalau kita
ingat tahun 1965, waktu itu adalah situasi revolusioner, bahkan untuk
merevolusi diangkat pemimpin besar revolusi, siapa yang tidak tahu, semuanya
tahu. Dan ini juga digembar-gemborkan oleh mereka.
Oleh karena itu kalau itu dikatakan sebagai korban, nanti dulu, karena
apa? Karena ada dua pihak yang berselisih, apalagi PKI menggunakan jargon
kawan dan lawan. Kawan Aidit, kawan Nyoto, Natsir musuh bebuyutan, Ahmad
Dahlan lawan, Chairul Saleh juga lawan. Jadi ada pertentangan yang diametra.
Oleh karena itu permohonan kami jadi atas dasar apa yang ahli katakan
tadi, maka hendaklah ditinjau kembali UU KKR. Jadi, kalau masalah politik
diubah menjadi masalah hukum, kemudian dari masalah politik diubah manjadi
masalah individual, dan kemudian yang bersangkutan dituduh melakukan
pelanggaran HAM berat, kalau ini terjadi, akan tidak mustahil akan terjadi suatu
konflik horisontal dan itu akan, mengurai luka lama, rekonsiliasi sudah pernah
berjalan dan masyarakat tidak mengotak–atik
SAKSI MASRUL SIHAB: Jawa Tengah adalah kota dimana jumlah anggota PKI-nya banyak,
insya Allah itu benar. Saksi mendapatkan informasi dari Kesbanglimas untuk
wilayah Wonosobo eks Tapol/Napol Pulau Buru sekitar 5400 sekian. Dari lima
ribu yang aktif saya pantau sekitar tiga puluh orang dan itu super aktif.
Kemudian Boyolali 19.000, kemudian Solo dan Klaten sekitar 20.000.
Undang-Undang KKR itu ada korelasinya dengan kemungkinan
bangkitnya neo komunis atau tidak? Kalau saya yakin ada, karena pada
tanggal 16 November 2000 di Wonosobo terjadi penggalian makam yang dikira
itu adalah makam korban PKI. Pada awalnya masyarakat Wonosobo tidak
tahu, dua hari setelah itu berjalan masyarakat Wonosobo tahu dan lebih
tercengang lagi bupati memainkan izin sepihak tanpa koordinasi dengan
Muspida dan tokoh-tokoh setempat.
48
Di Wonosobo ketika penggalian itu terjadi salah satu tokoh pemuda
rakyat pada waktu itu mengatakan bahwa penggalian harus terjadi, karena ini
adalah tiket serta rekonsiliasi yang nanti akan digembar gemborkan Gus Dur itu
adalah alat, waktu itu saya mendengar. Selanjutnya lebih terkejut lagi satu
tahun kemudian kita bisa mendapatkan penggalian mayat-mayat yang dikira itu
adalah PKI, ternyata sekarang gencar digunakan oleh Karmel Budiharjo
sebagai alat politik komp intern.
Yang ke dua, masyarakat di daerah sangat resah terutama masyarakat
pesantren kyai-kyai yang sekarang alhamdulillah semakin sadar dan lima ratus
yang ada di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur sampai mengajukan
kepada Mabes Polri tentang tingkah lakunya Gus Dur yang sampai sekarang
tidak berkomunikasi aktif sebagaimana masa yang lalu, karena diresahkan satu
statement Gus Dur dengan salah satu orang tokoh putra proklamator yang
waktu itu dipanggil oleh PKI.
Yang nomor tiga, beredarnya kaos-kaos yang bergambar palu arit
celana yang dijual oleh Chaidir, anak SMP Jakarta kemudian beberapa poster
bendera dan lain sebagainya.
SAKSI DARI PEMOHON : ZAINI Saksi adalah sebagai korban keganasan PKI, tanggal 17 Oktober 1965.
Pukul 23.00 malam dibacok oleh PKI. bukti kalau saya merem, ini yang satu
merem yang satu tidak, karena itu saya pakai kacamata terus. Hal yang kedua
bisa dilihat kuping saya yang kiri dengan yang kanan ini tidak sama karena
akibat kebiadaban daripada mereka, di sini dibacok, maaf di sini kuping dulu
begini Pak, sehingga akhirnya kenapa ditutup lagi akhirnya dijahit. jadi akibat
kebiadaban itu saya merasakan cacat seumur hidup.
Dengan adanya Undang-Undang KKR ini nanti kalau itu terjadi saya
hanya khawatir kalau peristiwa tiga puluh empat tahun yang lalu terulang
kembali, alangkah sengsaranya bagi anak-anak cucu kita nantinya.
Peristiwa awalnya ada pertemuan di desa, yang dihadiri oleh tokoh-
tokoh partai PKI. Di dalam isi pertemuan itu, isinya mendamaikan di antara satu
sama lain yang tidak terpengaruh oleh kejadiaan yang ada di Jakarta dalam arti
desa Kembiritan dan Pandan itu dijaga bersama sama. Tapi setelah itu
malamnya /minggu pukul 11.00 malam dengan keadaan yang mendadak
49
terjadilah penyerbuan di kampung kami, terdengarlah suara orang berteriak
siap, siap, siap sehingga dengan mendadak kami kaget, setelah kaget tiba-tiba
dari utara arah utara itu ada sente/baterei itu banyak. Pak haji dan saya
bingung siapa? Setelah ditanya siapa? “Kawan sendiri dari Genteng” tapi dia
bicara semacam itu tapi samurai yang sudah main ini semua. Sehingga
terjadilah Pak Haji Muslih (alm) ini, separuh tangannya putus. Sehingga pukul
11.00 Pak Haji lari itu menuju desa Kembiritan itu pukul 11.00 berangkat
sampai Kembiritan itu pukul 05.00 pagi karena apa? Karena banyaknya keluar
darah sehingga lima meter berhenti, lima meter berhenti, lima meter berhenti
sehingga sampai di kimiritan itu pukul 05.00 pagi, sehingga akhirnya ada
kontak hubungan dengan aparat kepolisian pada saat itu, cerita keganasan
kelompok PKI.
Inilah kejadian-kejadian yang saya alami pada saat itu, sehingga sampai
sekarang ini pun penderitaan ituyang saya alami luwih nelangsa, iku luwih
nemen, dan luwih prihatin. Kalaupun toh itu nanti bangkit kembali saya khawatir
nanti kalau kejadian-kejadian itu terulang kembali. Oleh sebab itu apa yang
saya sampaikan kejadian ini dengan keadaan yang sama betulnya dan tidak
ada ikatan.
SAKSI H. FIROZ FAUZAN Bagi golongan wajib lapor yang jumlahnya hampir satu juta itu sudah
keluar, C 1,2,3 juga sudah keluar sekitar 500 ribu itu semua sudah keluar
sebelum tahun 1972, kemudiaan yang golongan B 1,B2 itu sekitar 33, 34
ribuan. Di Pulau Buru sekitar 10 ribu itu juga sudah keluar, berikutnya yang
golongan semua yang sudah keluar, sampai yang dihukum mati keluar.
Mendagri setelah menerima dari Kopkamtib dengan R 75, kemudian ada
instruksi dari Mendagri tahun 1981 Nomor 32, bagaimana pembinaan dan
pengawasan terhadap yang sudah keluar semua. golongan A, golongan B,
golongan C yang sudah kembali ke tempat asalnya dapat gangguan dari
masyarakat sekitarnya. Jadi ini suatu bukti bahwa rekonsiliasi secara kultural
sudah berjalan dengan baik.
Yang jadi masalah adalah di dalam pengawasan, juknis Mendagri ini ada
Lemhanas, Juknisnya Nomor 750 di sini persoalannya adalah hasil psikotes
50
dari yang golongan B1, B2 yang jumlahnya 34 ribuan itu. Delapan puluh persen
itu hardcore hanya 10-20 persen yang softcore, yang lunak.
Bukan sekedar dicabut omongan Mendiknas minta kepada kejaksaan
untuk mengusut dan sekarang sedang diproses yang mengubah-ubah sejarah.
Sehingga apa yang dikatakan Putmuinah tidak ada kaitannya dengan Pasal 60
huruf G yang boleh pilih-pilih, tapi dia ngomong soal sejarah yang sebetulnya
ini aparat di daerah harus tahu semua. Bahwa mengobrak-abrik itu sudah tidak
relevan lagi.
Yang terjadi terhadap pemutar balikan sejarah. Kemudian dibilang
mereka yang katanya yang mungkin tidak terlibat akhirnya merasa selama
beberapa presiden ini dia merasa dimarginalkan, didiskreditkan, dan macam-
macam. Serta menuntut kepada keempat presiden mantan, dan satu presiden
di Pengadilan Jakarta pusat.
Bu Putmuinah ini ketua Gerwani Blitar, dia sampaikan kepada para
mahasiswa dengan versi dia dimana dia tidak bersalah, kemudian banyak
kegiatan sosialnya mulai dari Taman Kanak-Kanak Melati, dan sebagainya. Dia
ungkap semua dan sebagian omongan Putmuinah di depan anak-anak, betul
Bu Putmuinah memang dia tidak terlibat G 30 S PKI, yang terlibat G 30 S PKI
itu hanya kaitannya dengan Cakrabirawa dan yang datang ke Jakarta
jumlahnya tidak sampai dua, tiga, atau empat ribu. Ini yang sudah diproses
melalui tim hakim sebagai narapidana, tapi selama ini kita terkontaminasi
dengan narapidana G 30 S/PKI yang cuma dua, tiga ribu diproses tim hakim
Mahmilub, Mahkamah Militer Subversi, dan pengadilan lainnya. Tapi yang
melalui tim khusus macam Undang-Undang KKR sekarang ini yang berlaku
seperti KKR dulu namanya tim khusus itu melakukan tindakan administrasi,
tindakan politik, dan tindakan disiplin.
Bu Putmuinah tidak terlibat di dalam G 30 S/PKI, tapi dia terlibat di
dalam substansi peristiwa 1965, bukan pengambilalihan pimpinan angkatan
darat atau menculik Jendral. Tapi dekrit yang dibacakan nomor satu
pembentukan dewan revolusi itu substansinya. Pengambilalihan kekuasaan
pemerintah negara itu substansinya. Dia sudah mempersiapkan dewan revolusi
sejak awal September, melalui baik Aidit sendiri. Kaitannya dengan
kebangkitan-kebangkitan PKI sudah cukup jelas ancaman mendasar dan
ancaman total, tapi karena kita dialihkan konsentrasi kepada ancaman
51
internasional terorisme dan ancaman nasional separatisme. Sehingga
kekhawatiran yang seharusnya muncul terhadap ancaman mendasar, kalau
dulu Pancasila diperas-peras jadi eka sila tapi baru-baru ini sidang MPR pun
diminta untuk bersidang tiap tahun ternyata amandemen satu, dua, tiga, empat
jelas TAP MPR XXV mau dicabut.
Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan kesimpulannya yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada hari Selasa tanggal 21 November 2006;
Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka segala
sesuatu yang tertera dalam Berita Acara Persidangan dianggap telah termasuk
dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan adalah sebagaimana
telah diuraikan tersebut di atas.
Menimbang bahwa terdapat tiga hal yang harus dipertimbangkan oleh
Mahkamah dalam perkara ini, yaitu:
1. Kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili dan memutus
permohonan yang diajukan oleh para Pemohon;
2. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan
permohonan a quo;
3. Pokok permohonan yang menyangkut konstitusionalitas undang-undang
yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon.
Terhadap ketiga hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat sebagai
berikut:
1. KEWENANGAN MAHKAMAH Menimbang Berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut UUD 1945, “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
52
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus tentang
hasil pemilihan umum.” Ketentuan tersebut dimuat kembali dalam Pasal 10 Ayat
(1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut
UU MK);
Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah mengenai
Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4429,
selanjutnya disebut UU KKR) terhadap UUD 1945, sehingga oleh karenanya
Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan para
Pemohon tersebut.
2. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 Ayat (1) UU MK, Pemohon dalam
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-
undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Menimbang bahwa selain itu, sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan
putusan-putusan berikutnya, Mahkamah telah menentukan lima syarat mengenai
53
kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Ayat (1) UU
MK, sebagai berikut:
a. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan
oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik
dan aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan
pengujian; dan
e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi.
Menimbang bahwa dalam menjawab persoalan apakah para Pemohon
memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian ini, maka harus
diperiksa (i) dalam kualifikasi apakah para Pemohon akan dikategorikan, dan (ii)
hak konstitusional apa yang dimiliki dan dirugikan dengan berlakunya UU KKR;
para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia sebagai
pelaku sejarah melawan pengkhianatan Gerakan 30 September 1965 (G 30
S) PKI dan sekaligus pegiat dan pengurus organisasi yang berkhidmat di
dalam menangkal bangkitnya kembali organisasi terlarang Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme yang
mempunyai kepentingan hukum dalam permohonan ini;
para Pemohon berkeyakinan bahwa kehadiran UU KKR bukannya akan
menyelesaikan dan menyembuhkan luka-luka lama yang pernah ditimbulkan
oleh aksi sepihak PKI pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S)
PKI, akan tetapi justru akan membangkitkan kembali sentimen ideologi dan
dendam antar anak bangsa yang selama ini sudah berusaha dihapuskan dari
memori kolektif bangsa;
54
para Pemohon mengalami peristiwa traumatik akibat tragedi berdarah
pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 dan pengkhianatan
G30S/PKI tahun 1965, saat ini sungguh-sungguh merasakan ketidakamanan
dan muncul rasa ketakutan yang sangat beralasan yakni bangkitnya kembali
ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme di tanah air akibat
diberlakukannya UU a quo;
para Pemohon menganggap hak konstitusional Pemohon sebagaimana
tercantum di dalam Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28C Ayat
(2), dan Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya UU KKR;
Menimbang bahwa dengan diundangkannya UU KKR berarti diakui
bahwa sebelum diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (selanjutnya disebut UU Pengadilan
HAM) tanggal 23 November 2000, telah terjadi pelanggaran HAM berat di
Indonesia yang belum jelas kapan dan di mana terjadinya pelanggaran HAM
berat tersebut, sehingga belum jelas pula siapa-siapa pelaku dan siapa-siapa
yang menjadi korbannya. Oleh karenanya tidak menutup kemungkinan para
Pemohon adalah korban atau malah justru dapat pula disangka sebagai
pelakunya. Dengan demikian para Pemohon secara potensial menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan mengalami kerugian hak
konstitusional dengan berlakunya UU KKR. Atas dasar pertimbangan di atas
Mahkamah berpendapat, kalau sekiranya nanti ternyata peristiwa G30S/PKI
seperti yang didalilkan oleh para Pemohon ditetapkan sebagai pelanggaran
HAM berat, para Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) untuk
mengajukan pengujian terhadap undang-undang a quo;
3. POKOK PERMOHONANMenimbang bahwa para Pemohon mendalilkan dalam permohonannya hal-
hal yang pada pokoknya sebagai berikut:
1) UU KKR secara objektif materi muatannya nyata-nyata mengandung cacat
hukum yang mendasar atau prinsipiil. Undang-undang a quo tidak saja
potensial menciptakan ketidakpastian hukum dan sulit mewujudkan rasa
keadilan, namun lebih banyak mendatangkan mudharat ketimbang
kemaslahatan bagi banyak orang. Karena, sangat potensial menimbulkan
55
konflik di antara sesama anak bangsa yang pada akhirnya akan
menjerumuskan bangsa ini ke jurang perpecahan dan kerusakan yang
parah. Cacat hukum yang dikandung oleh UU KKR dapat dijumpai pada
bagian konsiderans baik pada bagian Menimbang dan Mengingat yang
ternyata hanya mencantumkan landasan sosiologis dan yuridis. Sedangkan
landasan filosofis yaitu Pancasila ternyata tidak tercantum baik secara tegas
maupun secara tersirat. Padahal Pancasila di Republik ini tidak saja memiliki
makna strategis dan fundamental sebagai common denominator, sebagai
way of life atau weltanschaung kehidupan bernegara, berbangsa, dan
bermasyarakat bahkan lebih dari pada itu Pancasila sebagai asas hukum
yang merupakan sumber nilai dan sumber hukum bagi pembentukan hukum.
Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan, “Pancasila
merupakan sumber dari segala hukum negara” Oleh karena itu, patut
dipertanyakan nilai-nilai atau norma-norma hukum apa yang dipakai sebagai
basis atau pijakan pembentukan UU KKR.
UU KKR yang dimaksudkan sebagai instrumen extra judicial untuk
menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat masa lalu, yang menurut
para Pemohon termasuk di dalamnya peristiwa pemberontakan PKI yang
terjadi pada tahun 1948 dan 1965, justru tidak mencantumkan Pancasila
sebagai acuan utama mekanisme pengungkapan kebenaran dan
rekonsiliasi;
2) Pasal 1 Angka 1 UU KKR menyebutkan, “kebenaran atas suatu peristiwa
yang dapat diungkapkan berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat baik mengenai korban, tempat, maupun waktu”. Namun di dalam
UU KKR tidak dijumpai pasal-pasal yang menjelaskan tetang ukuran atau
norma kebenaran suatu peristiwa tersebut, apakah peristiwa pelanggaran
HAM tersebut secara valid dan objektif benar-benar terjadi atau sekedar
rekayasa semata. Jelasnya UU KKR tidak menjelaskan prosedural
pembuktian dan alat-alat bukti apakah yang wajib digunakan oleh KKR dan
para korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Oleh karena itu validitas
dan efektifitas konsep dan pembuktian kebenaran menurut UU KKR ini
56
menjadi subjektif dan tidak terukur, sehingga UU KKR ini tidak mewujudkan
kepastian hukum (legal certainty);
3) Pasal 1 Angka 2 UU KKR berbunyi, “hasil dari suatu proses pengungkapan
kebenaran, pengakuan, dan pengampunan melalui Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM berat untuk
terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa”. Menurut Pemohon konsep
atau batasan pengertian rekonsiliasi yang digunakan oleh UU KKR sungguh
absurd dan ahistoris. Pasal UU KKR secara sengaja telah mengonstruksi
sejarah dan peristiwa pelanggaran HAM di masa lampau dengan sedemikian
rupa sehingga seolah-olah seluruh peristiwa pelanggaran HAM berat yang
terjadi pada masa lampau dan seluruh korban pelanggaran HAM adalah
orang-orang yang tidak bersalah (innocence). Pemohon sangat
menyangsikan mekanisme rekonsiliasi di dalam UU KKR ini bisa memenuhi
aspek keadilan semua pihak serta dapat berlaku efektif;
4) Rumusan korban dalam Pasal 1 Angka 5 UU KKR yang berbunyi, “Korban
adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan
baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami
pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat
langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat; termasuk korban
adalah juga ahli warisnya”. Menurut Pemohon perluasan subjek hukum
korban yang demikian ini sangat potensial untuk terjadinya distorsi dan
manipulasi terhadap proses KKR itu sendiri. Pemohon merasa dirugikan
hak-hak konstitusionalnya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28C Ayat
(2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 29 Ayat (1) UUD
1945.
Para Pemohon ingin menegaskan bahwa pada prinsipnya Pemohon tidak
menolak rekonsiliasi yang dilakukan dengan jujur, adil, dan bermaslahat
serta dikemas dengan mekanisme yang elegant dan fair.
Menimbang bahwa untuk memperkuat dalilnya, Pemohon telah
mengajukan tiga orang saksi dan tiga orang ahli yang keterangan selengkapnya
telah termuat dalam Duduk Perkara. Dalam keterangan ketiga orang Ahli
tersebut, antara lain dinyatakan bahwa UU KKR bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945. Di samping itu, UU KKR dipandang tidak
57
menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan luka baru karena pengaturan
yang terdapat di dalamnya justru berorientasi pada “audit dendam”. Padahal
yang dibutuhkan adalah perdamaian total tanpa syarat;
Menimbang bahwa dalam memutus permohonan ini perlu melihat dan
memperhatikan putusan perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 mengenai
permohonan pengujian undang-undang yang sama terhadap UUD 1945;
Menimbang bahwa Mahkamah dalam pertimbangan hukum pada putusan
perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 yang telah diputus sebelum ini, menyatakan
dalam pertimbangannya, antara lain, “bahwa semua fakta dan keadaan ini
menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, baik dalam rumusan normanya
maupun kemungkinan pelaksanaan normanya di lapangan untuk mencapai tujuan
rekonsiliasi yang diharapkan. Dengan memperhatikan pertimbangan yang telah
diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR,
sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang a quo, tidak
mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum
(rechtsonzekerheid). Oleh karena itu, Mahkamah menilai undang-undang a quo
secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dinyatakannya UU KKR tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti
Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu
melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain
dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-
undang) yang lebih serasi dengan UUD dan instrumen HAM yang berlaku secara
universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam
rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.”
Menimbang bahwa amar putusan Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006
tersebut berbunyi, “Mengabulkan Permohonan Para Pemohon; Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi
58
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya”.
Menimbang bahwa oleh karena undang-undang yang dimohonkan untuk
diuji yaitu UU KKR telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
putusan mana memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam
sidang Pleno terbuka untuk umum (vide Pasal 47 UU MK), maka permohonan para
Pemohon kehilangan objeknya (objectum litis), sehingga permohonan para
Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)
karena undang-undang yang dianggap merugikan hak konstitusionalnya sudah
tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Mengingat Pasal 47 dan Pasal 51 Ayat (1), serta Pasal 56 Ayat (1) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
MENGADILI
- Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri
oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Senin, 4 Desember 2006, dan
diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk
umum pada hari ini, Kamis, 7 Desember 2006, oleh kami Jimly Asshiddiqie
selaku Ketua merangkap Anggota, H.A.S. Natabaya, Soedarsono, Harjono,
H.M. Laica Marzuki, I Dewa Gede Palguna, Abdul Mukthie Fadjar, serta H.
Achmad Roestandi, Maruarar Siahaan, masing-masing sebagai Anggota, dengan
dibantu oleh Alfius Ngatrin sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh
Pemohon/Kuasa Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan
Pemerintah atau yang mewakili.
KETUA
59
TTD.
Jimly Asshiddiqie.ANGGOTA-ANGGOTA
TTD. TTD.
H.A.S Natabaya. Harjono.
TTD. TTD.
Soedarsono. H. M Laica Marzuki.
TTD. TTD.
Abdul Mukthie Fadjar. I Dewa Gede Palguna.
TTD. TTD.
H. Achmad Roestandi. Maruarar Siahaan.
PANITERA PENGGANTI
TTD.
Alfius Ngatrin.
60