onlysenja.files.wordpress.com€¦ · Web viewAnalisis Budaya Partriarki Pada Film “BETH”...
Transcript of onlysenja.files.wordpress.com€¦ · Web viewAnalisis Budaya Partriarki Pada Film “BETH”...
Analisis Budaya Partriarki Pada Film “BETH” Karya Ar
ia Kusumadewa
Reza Hafizh
081226854343
Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universit
as Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta
ABSTRAK
Sebuah Film berjudul Beth karya Aria Kusumadewa merupakan film Indo
nesia dengan durasi kurang lebih 80 menit. Film ini bercerita tentang sepasang ke
kasih bernama Beth dan Pesta yang harus dipisahkan secara paksa oleh keluarga B
eth karena adanya ketidak setujuan dari ayah Beth yang mana ia adalah seorang je
ndral Kusumadewa. Akibat perpisahan terebut membuat Beth harus mengalami ga
ngguan jiwa. Penelitian ini mencoba mencari unsur – unsur patriarki yang digamb
arkan melalui Jendral Kusumadewa yang berperilaku keras keras dan mendominas
i terhadap perempuan. Dalam film ini digambarkan bahwa laki – laki adalah makh
luk yang kuat dan sebaliknya perempuan menjadi makhluk yang lemah dan tanpa
daya.
ABSTRACT
A movie called Beth by Aria Kusumadewa is indonesian films with the du
ration of more or less 80 minutes.The story is about a pair of lover named Beth an
d Pesta to be separated by force by beth family because of the disagreement of Bet
h Dad’s about which he is a general Kusumadewa. What a broken they make beth
had a mental disorder.This research trying to find patriarchy elements depicted thr
ough general Kusumadewa who behaves out loud and dominate against women. I
n the film is described that a male is of powerful creatures and vice versa women i
nto creatures that weak and without power.
PENDAHULUAN
Film merupakan media yang tidak hanya merefleksikan suatu realitas. Di s
isi lain, film mampu menjadi media yang mengkonstruksi suatu realitas baru. Ber
bagai unsur dalam film seperti visual, teknik pengambilan, ideologi, serta kode-ko
de yang dihadirkan mampu menghadirkan realitas baru melalui cara-cara tertentu.
Jika menilik hal di atas, tentunya pandangan masyarakat saat ini tidak terle
pas dari peran dan sejarah kehadiran film di Indonesia. Sejarah film yang dimulai
sejak tahun 1926 sesungguhnya mengalami perkembangan yang cukup berarti. Na
mun, latar belakang ideologi dan dominasi laki-laki pada dunia perfilman Indones
ia membuat budaya patriarki menjadi tertanam kuat.
Ideologi yang tertanam membuat simbol-simbol akan sifat lelaki menjadi l
ebih dominan dan membuat perempuan seakan hanya menjadi obyek tontonan. Ha
l ini berbanding lurus dengan fakta yang menunjukkan bahwa media massa dimili
ki oleh elit laki-laki maka tidak heran apabila representasi perempuan mengalami
distorsi (Yatim, 1998:8)
Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Krisna Mulawarman (Anali
sis Isi Tentang Sosok Perempuan dalam Film Gadis Metropolis; Skripsi; 1999),
menunjukkan bahwa perempuan digambarkan sebagai sosok yang berada dibawah
dominasi laki-laki. Hal ini membuat masyarakat menciptakan pandangan-pandang
an yang menjadi budaya patriarki dalam kehidupan mereka sendiri.
Berbagai hal tersebut membuat perempuan memiliki ruang gerak yang se
mpit dan terbatas. Peraturan serta norma tersebut dibentuk lewat realitas yang dik
onstruksi secara tidak langsung oleh film. Label perempuan dan segala hal yang b
erada di dalamnya mampu menjadi hal yang menarik untuk dijual, salah satunya d
i bidang industri entertainment seperti film ini.
Budaya patriarki yang dikonstruksi melalui film lewat realitas ini menjadi
suatu kenyataan dalam tatanan hidup masyarakat. Masyarakat menjadi sulit sekali
untuk lepas dari budaya yang terus menerus dipaparkan realitas patriarki ini, yang
mana salah satunya lewat media film. Untuk melihat lebih jauh bagaimana budaya
patriarki tumbuh dalam masyarakat, menarik untuk melihatnya lewat salah satu fil
m berjudul BETH karya Aria Kusumadewa.
Sebuah film dengan durasi kurang lebih 80 menit yang berjudul BETH ini
menceritakan tentang sosok perempuan bernama Beth yang terlahir dari keluarga
berada yang terpelajar dan terpandang, membuat Beth harus selalu menjaga marta
bat keluarganya. Film yang menunjukkan suasana keluarga jaman sekarang yang
pastinya lebih maju atau modern ini ternyata tidak mampu menghilangkan budaya
patriarki itu sendiri yang walaupun diceritakan bahwa beth dan keluarganya beras
al dari kalangan berada yang pastinya jelas mempunyai latar belakang pendidikan
yang cukup layak, tapi agaknya hal ini tetap tidak dapat menyembunyikan ketimp
angan gender yang ada.
Atas dasar kajian-kajian tersebut penelitian ini bermaksud untuk mengetah
ui bagaimana film BETH ini menggambarkan sosok perempuan dari kacamata pat
riarki yang sudah tertanam di masyarakat. Dengan bekal dari berbagai literature d
an mencermati berbagai fenomena – fenomena yang ada membuat menarik untuk
diteliti.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode analisis isi untuk melihat bagaimana
penggambaran citra perempuan didalam budaya patriarki pada film BETH. Penelit
ian analisis isi berarti menggunakan penelitian yang bersifat obyektif, sistematik d
an kuantitatif. Metode ini juga seringkali terbukti mampu menguraikan aspek-aspe
k yang tidak nampak. Dan juga memberi indentifikasi secara sistematis dan obyek
tif tentang karakteristik-karakteristik khusus pada sampel.
Dalam praktiknya penelitian ini mencoba menggunakan pendekatan analisi
s tradisional. Analisis ini bersifat obyektif dan cuman melihat fenomena - fenome
na yang tampak dipermukaannya saja. Pendekatan ini tidak untuk melihat isi pesa
n lewat hal hal yang berkaitan dengan makna dari tanda-tanda yang terbentuk dari
pengalaman budaya manusia. Sehingga penelitian analisis tradisional ini menitik b
eratkan pada angka angka yang dihasilkan dalam proses pengkodingan.
Peneliti disini menggunakan narasi atau script sebagai landasan penelitian
yang terdapat di film untuk dipakai sebagai alat dan dasar dalam menganalisis. Na
rasi menjadi materi utama yang digunakan untuk melihat bagaimana budaya partia
rki yang dilukis secara tersirat di dalam film BETH karya Aria Kusumadewa yang
diproduksi pada tahun 2002 ini.
Untuk menguji sejauh mana konsistensi alat pengukur yang digunakan dal
am penelitian ini perlu dilakukan dengan uji reliabilitas alat pengukur. Suatu alat
ukur disebut mempunyai reliabilitas tinggi atau dapat dipercaya bila alat ukur itu
mantap. Dalam pengertian yaitu alat ukur tersebut stabil, dapat diandalkan (depen
dability) dan dapat diramalkan (predictability) (Moh. Nazir, 1998: 161).
Jadi alat ukur yang baik adalah bila alat ukur tersebut dapat mengukur seca
ra cermat, stabil dan tepat sehingga hasilnya dapat dipercaya. Untuk mengkaji apa
kah data-data yang dipakai dalam analisis ini memenuhi harapan.
kepercayaan akan keabsahan data-data hasil penelitian ini, maka peneliti m
emakai rumusan yang sudah biasa dipakai yakni Intercorder Coeficient Reliability
dari Holsti (1969).
BETH adalah sebuah film nasional independen yang bercerita tentang dua
anak manusia bernama Beth (Ine Febriyanti) dan Pesta (Bucek Depp). Beth yang
bernama lengkap Elizabeth adalah anak seorang Jenderal (El Manik) ternama yan
g juga taat beragama.
Secara tidak sengaja Beth berjumpa dengan seorang berandalan bernama P
esta yang sedang sakaw di pinggir jalan. Beth yang polos berusaha menolong laki-
laki malang tersebut, tetapi apa daya si patuh Beth yang selalu berada dalam sang
kar emasnya jatuh cinta kepada berandalan yang sudah pasti ditolak oleh Ayah Be
th. Keadaan ini membuat keduanya nekat sehingga akhirnya Beth hamil. Jenderal
Kusumadewa tentu saja sangat marah dan meminta Beth untuk menggugurkan ka
ndungannya. Dengan segenap kekuatan ia memisahkan keduanya dan dengan pak
sa pula membawa Beth ke rumah sakit untuk menggugurkan kandungannya. Beth
yang sangat terguncang dengan kedaan ini menjadi terganggu mentalnya dan tak a
yal lagi harus mendapat perawatan intensif di rumah sakit jiwa.
Di tempat lain, Pesta si berandalan yang sudah menemukan Beth sebagai c
ahaya baru dalam hidupnya menjadi sangat kehilangan dan kembali terjerumus ke
dunia hitamnya lagi. Obat-obatan, alkohol dan tekanan batin yang dipikul Pesta m
enyebabkan gangguan jiwa dan akhirnya harus dimasukkan juga ke rumah sakit ji
wa.
”Kalau jodoh tak akan lari kemana” hal ini pula yang terjadi pada Beth dan
Pesta. Setelah sekian waktu tidak lagi diperbolehkan bertemu dan berhubungan, m
ereka akhirnya bertemu lagi di rumah sakit jiwa yang sama. Tekanan batin yang s
ama-sama mereka pikul menyebabkan baik Beth maupun Pesta seperti mengalami
sepotong memori yang hilang pada masa lalu mereka. Hal ini menjadikan mereka
tak lagi saling kenal pada saat berjumpa lagi untuk pertama kalinya. Walaupun sec
ara ilmu kedokteran mereka dinyatakan gila dan kurang dapat mengingat jelas ma
sa lalu mereka akibat trauma yang dialami, namun rasa cinta yang masih menyisa
kan satu penggal kenangan rasa hangat dan nyaman saat mereka bersama. Lewat p
enggalan kenangan yang tersisa inilah mereka mencoba untuk berkomunikasi dan
berinteraksi kembali.
Layaknya pasien yang tidak waras, baik Beth maupun Pesta berinteraksi d
engan ’kegilaan’ mereka pula. Adegan demi adegan akan menghantar kita pada su
atu pemahaman bahwa sebenarnya mereka masih saling mencintai dan membutuh
kan. Pada adegan Beth dan Pesta yang hanya duduk berdua tanpa mengucapkan se
patah kata pun dalam kurun waktu sekian menit menunjukkan bahwa sebenarnya t
erjadi suatu pengertian yang dalam antara keduanya.
Penyebab mengapa hal tragis ini dapat terjadi pada dua manusia yang dilan
da cinta ini tak lain karena Ayah Beth yaitu Jenderal Kusumadewa merasa bahwa
dirinya seorang Jenderal yang ternama membuat dirinya memandang orang lain d
engan sebelah mata. Menjaga nama baik dan martabat keluarga supaya tak kalah p
amor dan jabatannya dianggap ’bersih’ adalah hal utama bagi Jenderal Kusumade
wa. Hal ini menyebabkan ia tidak dapat menerima anak semata wayangnya berhu
bungan dengan seorang berandalan yang sekaligus pemadat. Seorang bangsa Aria
harus mendapatkan pasangan bangsa Aria pula, adalah pemikiran Jenderal Kusum
adewa. Ketika Beth akhirnya hamil, sang Jenderal tetap tidak mau menerima hal t
ersebut dan bahkan menyuruh Beth untuk menggugurkan kandungannya. Tekanan
emosi dan rasa penolakan Beth atas keputusan ayahnya inilah yang menyebabkan
Beth akhirnya menjadi gila.
Kisah ini berakhir menyedihkan karena di akhir cerita Jenderal Kusumade
wa mengetahui bahwa Pesta dirawat di rumah sakit yang sama dengan Beth, akhir
nya Beth dibawa pergi dan Sr. Reihan menjadi gila karena tekanan batin selama m
erawat Beth, namun film ini sebenarnya sangat bagus untuk dikonsumsi masyarak
at kita karena memberikan suatu pandangan berbeda pada film Indonesia umumny
a. Namun walaupun unik tetap saja film ini tidak bisa ditayangkan dalam bioskop
kala itu dikarenakan pada jaman itu industri film yang bergerak secara independen
tidak dapat panggung untuk dapat tayang di bioskop 21.
Dalam penelitian ini si penulis ingin melihat bagaimana sebenarnya citra p
erempuan dalam budaya patriarki yang tergambarkan melalui film Beth karya Ari
a Kusumadewa. Film Beth yang berdurasi 80 menit ini pada dasarnya sarat akan
makna. Setiap orang dapat memiliki persepsi yang berbeda beda, tergantung dari s
isi mana kita menginginkannya. Dari banyaknya scence yang ada dalam film, pen
elitian kali ini penulis hanya mengambil 10 scence yang menurut penulis telah me
wakili budaya patriarki. Sisanya lebih banyak menonjolkan protes sosial kepada
masyarakat dan lembaga pemerintah.
Sebelum menganalisa film Beth ada baiknya kita melihat terlebih dahulu g
ambaran umum laki-laki dan perempuan yang ada atau yang melekat pada masyar
akat. Seperti yang diketahui bahwan dalam masyarakat kita, laki-laki adalah makh
luk yang nomor satu dan mampu untuk tampil di wilayah publik sedangkan perem
puan adalah sebaliknya. Laki laki dipandang lebih dari segi fisik seperti kuat dan l
aki laki merupakan manusia yang sangan dihargai, berbeda dengan perempuan ya
ng merupakan manusia nomor dua yang tersingkir. Perempuan selalu dianggap se
bagai obyek atau alat pelengkap dan yang paling tragis hanya dilihat sebagai pem
uas kebutuhan laki-laki. Keadaan ini akhirnya menyebabkan perempuan terkurung
dalam norma, peraturan atau etiket yang sadar atau tidak, mau tidak mau harus me
reka patuhi entah itu kepentingan pribadinya dalam mencari pasangan hidup ataup
un demi nama baik keluarga yang selalu berpedoman pada bibit, bebet dan bobot,
karena itu perempuan kemudian diukur apakah ia sudah menjadi perempuan yang
ideal atau istri yang didambakan.
Untuk mencari bagaimana budaya patriarki tergambar dalam film BETH i
ni si penulis memilih 10 scene yang akan diteliti untuk dilakukan pengkodingan
Gambar IV. 1
Jenderal Kusumadewa berteriak “anjing”!.
M.C.U
Jenderal Kusumadewa berteriak “anjing”!.
Jenderal kusumadewa tampak tidak sabar menunggu istri dan suster prbadi Beth (Sr, Reihan) membersihkan kamar. Jenderal Kusumadewa berjalan mondar-mandir di depan kamar Beth sambil sesekali mendelik ke arah Dokter Kepala.
V.O
Ibu Beth:
Jangan lupa semua dibersihkan, Sr. Reihan tahu sendiri kan debu di Jakarta seperti apa?!!
Sr. Reihan:
Baik, Bu.
Jenderal Kusumadewa:
Hey anjing… ayo pulang!!!
(Selesai berkata demikian, Ibu Beth dan Sr. Reihan menoleh terkejut. Dengan wajah sedíh Ibu Beth berdiri menarik rantai Eliza-si anjing, dan melangkah p
ergi mengikuti suaminya)
Dominasi sangat terlihat dalam scene ini. Terlihat bagaimana para kaum p
erempuan tak berdaya di depan hadapan Jendral Kusumadewa. Adegan ini pula m
ewakilkan penggambaran karakter perempuan yang dinilai lemah dan tabah. Taba
h berarti tetap dan kuat hati dalam menghadapi segala bahaya dan cobaan. Pengga
mbaran tentang patuhnya dan tak berdayanya perempuan memunculkan tafsiran di
sisi lain yang menilai ternyata karakter perempuan yaitu tabah.
Gambar IV. 2
Jenderal Kusumadewa tiba d RSJ Manusia
Karakter Beth disini Merupakan perwujudan korbah dari dominasi laki-lak
u atau patriarki. Ia menjadi gila karena tidak berkuasa untuk menentang paksaan a
yahnya yang tak lain adalah Jendral Kusuma dewa ketika diminta untuk menggug
urkan kandungannya. Ibu Beth dan Suster Reihan juga tergambarkan sebagai soso
k perempuan yang pasif tanpa bisa melawan keinginan laki-laki dan hanya dapat
menerima.
Gambar IV.3
Jenderal Kusumadewa tiba d RSJ Manusia
M.S.
Jenderal Kusumadewa tiba d RSJ Manusia
Beth diapit suster, Ayahnya berjalan seorang diri di muka diikuti istrinya yang selangkah di belakangnya. Di samping (agak kebelakang) sambil membungkuk-bungkuk penuh hormat, dokter kepala RSJ berjalan agak teresa-gesa mengiringi langkah Jenderal Kusumadewa.
V.O
Jenderal Kusumadewa:
Saya mau anak saya bebas dari gangguan orang-orang di sini (seraya melirik jijik ke arah pasien-pasien yang lain yang berseliweran di sepanjang koridor) Saya juga mau tempat ini diisolir, jangan sampai ada yang tahu anak saya di rawat di s
ini. Paham??!!!
V.O
Dokter Kepala RSJ:
Baik Tuan…. (sambil membungkuk hormat, nada suaranya menyimpan rasa gelisah.
Berbeda dengan penggambaran karakteristik laki-laki. Film ini memperlih
atkan laki laki memiliki sifat berpengaruh, artinya andil dalam membentuk watak,
kepercayaan, bahkan perbuatan seseorang. Kuat artinya tidak mudah goyah serta l
aki laki digambarkan sebagai yang berkuasa. Karena memiliki kuasa dan wewena
ng maka diasumsikan mereka dapat memerintah yang tidak berkuasa. Hal ini men
unjukan pembuktian bahwa baik dalam masyarakat maupun penggambaran dalam
film karakteristik laki-laki adalah sama, berpengaruh, kuat dan berkuasa. Gambara
n itu dapat dilihat melalui scence
Gambar IV. 4
Jenderal Kusumadewa tiba di RSJ Manusia
M.S.
Jenderal Kusumadewa tiba di RSJ Manusia
Jendral kusumadewa memberikan instruksi instruksi kepada doktor kepala RSJ agar perawatan anaknya dirahasiakan.
V.O
Jenderal Kusumadewa:
Saya mau anak saya bebas dari gangguan orang-orang di sini (seraya melirik jijik ke arah pasien-pasien yang lain yang berseliweran di sepanjang koridor) Saya juga mau tempat ini diisolir, jangan sampai ada yang tahu anak saya di rawat di s
ini. Paham??!!!
V.O
Dokter Kepala RSJ:
Baik Tuan…. (sambil membungkuk hormat, nada suaranya menyimpan rasa gelisah).
Pada scene diatas kita dapat meilhat sosok laki laki sejati yang digambarka
n lewat Jendral Kusumadewa. Ia digambarkan sebagai laki laki yang berpengaruh,
kuat dan berkuasa. Terlihat pada scene ini dan juga lewat dialog-dialognya, diman
a ssemua laki-laki yang cukup punya kuasa yaitu Dokter Kepala RSJ pun tunduk
kepada pengaruh yang dimiliki Jendral Kusumadewa.
Sepanjang film ini sosok atau karakter Jenderal Kusumadewa digambarka
n dengan sama rata, yaitu berpengaruh, kuat dan berkuasa. Dia cukup berpengaruh
dengan status yang disandangnnya yaitu Jenderal sehingga mampu memerintah or
ang lain. Selain itu juga tergambarkan bagaimana Kusumadewa tegas ketika mem
berikan instruksi-instruksi kepada dokter kepala RSJ.
Gambar IV. 5
Dokter Kepala Mencumbu Beth
M.C.U.
Dokter Kepala Mencumbu Beth
Pada waktu pemeriksaan, dokter Kepala berusaha untuk menggauli Beth, sementara Beth yang terganggu jiwanya hanya memandang lupus ke depan dengan tatapan kosong.
V.O
Dokter Kepala:
Sakit??.....sakit ya??
(Pada saat bersamaan Pesta masuk ke dalam ruang pemeriksaan, dokter Kepala tampak Sangat terkejut dan gusar lalu pergi keluar ruangan dengan mara
h.
Gambar IV. 6
Dr. Karim sedang ‘memeriksa’ pasien perempuannya
M.S
Dr. Karim sedang ‘memeriksa’ pasien perempuannya
Salah satu colega dokter Kepala yang juga sama cabulnya sedang berada dalam kamar pemeriksaan yang ditutup gorden putih. Dia menunduk di atas pasiennya. Pada saat itu dokter Kepala menerobos masuk dan menghentikan ‘pemeriksaan’.
V.O
Cukup…cukup!! Sudah selesai pemeriksaannya.
(Pasien perempuan itu turun dari tempat tidur dan berjalan keluar dan terlihat dokter Kepala bersama dokter Karim bicara secara bisik-bisik sambil menggerak-
gerakkan tangan)
Scene diatas menunjukan bahwa laki-laki mendominasi dalam hal berpera
n. Laki-laki berperan sebagai doktor yang berkuasa pada lingkup yang lebih besar
dan dapat melakukan apa saja termasuk untuk mengambil keputusan. Sedangkan p
erempuan hanya berperan sebagai pasien yang lemah karena terganggu mentalnya.
Gambar IV. 7
Jenderal Kusumadewa menembak mati Eliza
M.S
Jenderal Kusumadewa menembak mati Eliza
Sementara di dalam kamar Sr. Reihandan Ibu Beth saling tangis menangisi, Jenderal Kusumadewa yang berada diluar kamar dan ikut mendengarkan pembicaraan mereka menjadi gusardan frustasi. Dengan berjalan mondar-mandir dan bertampang sangat murka, tiba-tiba dia mengambil senjata di pinggangnya dan menembak mati Eliza yang sedang makan berdua dengan Beth. (Catatan: Eliza adalah anjing Beth yang dianggap sebagai anaknya yang sudah meninggal karena digugurkan dengan paksa oleh Ayahnya).
V.O
Jenderal Kusumadewa:
”Hey, Anjing.... (suara pistol meletus!)
Scene diatas menggambarkan bagaimana seorang ayan dan laki-laki bertin
dak sewenang-wenang kepada perempuan. Beth yang terganggu mentalnya karena
ia dipaksa oleh ayahnya sendiri untuk menggugurkan kandungannya, dengan alasa
n menjatuhkan reputasi Jenderalnya. Dalam hal menggugurkan kandungannya, Je
nderal Kusumadewa telah bertindak sewenang-wenang dua kali, pertama kepada
Beth anaknya, dan kepada bayi yang ada didalam kandungan Beth.
Gambar IV. 8
Sr. Reihan dan Ibu Beth menangis meratapi nasib
M.C.U
Sr. Reihan dan Ibu Beth menangis meratapi nasib
Pada kunjungan selanjutnya, tampaknya Sr. Reihan sudah tidak betah lagi merawat Beth, sambil menangis tersedu dia menceritakkan apa saja yang terjadi pada Beth selama ini. Ibu Beth yang mendengar cerita Sr. Reihan menjadi semakin sedih dan terluka karena putrinya kini sudah benar-benar gila.
V.O
Sr. Reihan:
”Huuu...saya tidak betah disini Bu, kemarin saya disuruh mengejar-ngeja
r kecoa. Lama-lama saya bisa gila disini Bu!” (sementara Ibu Beth hanya menan
gis semakin kerasmendengar cerita Sr. Reihan).
Scene diatas menggambarkan bagaimana lemahnya para perempuan.
Selain itu juga bagaimana konflik psikis yang dialami oleh perempuan, dalam hal
ini Ibu Beth dan Suster Reihan yang sebenarnya sudah tidak sanggup lagi
menghadapi semua ini. Mereka tidak bisa melawan kekuasaan Jenderal
Kusumadewa, yang bisa mereka lakukan hanya menyimpan masalah di dalam hati
dan menangis.
Gambar IV. 9
Beth dibawa pergi dari RSJ Manusia
L.S Beth dibawa pergi dari RSJ Manusia
Sebelum terjadi penembakan atasEliza, sebenarnya Jenderal Kusumadewa sedang marah besar karena Pesta, laki-laki berandalan yang menghamili Beth dirawat di RSJ yang sama. Itulah sebabnya ia memaksa Beth untuk pindah dari RSJ itu. Tampak Beth berjalan didampingi Ibunya, didepan seperti seperti biasa berjalan Jenderal Kusumadewa dengan gagah dan dibelakangnya berjalan para ajudan membawa tas milik Beth. Tidak tampak lagi Sr. Reihan dalam iringan tersebut, ternyata Sr. Reihan yang menjadi stress selama merawat Beth dinyatakan terganggu mentalnya dan diharuskan untuk dirawat di RSJ Manusia.
V.O
Suara langkah kaki rombongan Jenderal Kusumadewa dan suara teriakan serta ocehan para pasien RSJ Manusia
Scene ketika “dokter Kepala mencoba mencumbu Beth, dan ketika Dr.
Karim memeriksa pasiennya” menunjukkan konflik fisik yang dialami Beth dan
pasien perempuan akibat perbuatan cabul yang dilakukan oleh dua dokter tersebut.
Untuk kategori psikis, psikis adalah yang berhubungan dengan batin atau
kejiwaan, dan tidak kelihatan, tidak tampak di permukaan. Pada film ini konflik
yang bersifat psikis sebenarnya lebih banyak, ditunjang dengan hasil penelitian
sebanyak 57,2%. Konflik fisik juga sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari
dimana sepertinya menjadi kasus yang tak pernah ada hentinya.
Berikut scene yang menunjukkan konflik psikis:
Gambar IV. 10Sr. Reihan dan Ibu Beth menangis meratapi nasib
M.C.USr. Reihan dan Ibu Beth menangis meratapi nasibPada kunjungan selanjutnya, tampaknya Sr. Reihan sudah tidak betah lagi merawat Beth, sambil menangis tersedu dia menceritakkan apa saja yang terjadi pada Beth selama ini. Ibu Beth yang mendengar cerita Sr. Reihan menjadi semakin sedih dan terluka karena putrinya kini sudah benar-benar gila.V.OSr. Reihan:
”Huuu...saya tidak betah disini Bu, kemarin saya disuruh mengejar- ngejar kecoa. Lama-lama saya bisa gila disini Bu!” (sementara Ibu Beth hanya menangis semakin keras mendengar cerita Sr. Reihan). Kedua scene di atas menggambarkan bagaimana konflik psikis yang diala
mi oleh perempuan, dalam hal ini Ibu Beth dan suster Reihan yang sebenarnya su
dah tidak sanggup lagi menghadapi semua ini. Mereka ridak bisa melawan kekuas
aan Jenderal Kusumadewa, yang bisa mereka lakukan adalah menyimpan masalah
di dalam hati dan menangis.
Jika dikaitkan dengan budaya patriarki yang sangat erat melekat pada sem
ua lapisan kehidupan masyarakat kita, dan teori dari T. Hall tentang “Komunikasi
adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi”, penulis menarik kesimp
ulan bahwa patriarki yang dianggap sebagai suatu kebudayaan akan sangat memp
engaruhi (menjadi semacam noise) suatu pola komunikasi karena kebudayaan adal
ah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan. Hal ini dibuktikan pada repres
entasi citra perempuan. Pada masyarakat citra yang terbentuk tentang sosok perem
puan sudala miring sebelah dan sulit untuk diluruskan. Citra pada perempuan ini k
emudian menjadi patokan untuk menilai karakter perempuan, dimana hal ini juga
diadopsi dalam semua media termasuk media film. Gambaran sosok perempuan d
alam film BETH ini jelas dipengaruhi oleh citra yang melekat pada masyarakat kit
a, mengingat film juga merupakan cerminan dari keadaan masyarakat. Dari sini pe
nulis menarik kesimpulan bahwa film BETH merupakan dampak dari interaksi ata
u komunikasi pada masyarakat yang tidak sempurna, dimana kemudian menjadi c
erminan dari masyarakat itu sendiri.
Film karya Aria Kusumadewa bertajuk BETH inilah yang penulis coba bu
ka selubung patriarkinya dalam penelitian kali ini. Setting film ini adalah masa se
karang, maka tampilan patriarkinya pun berbeda dengan film- film setting jaman d
ulu, yang (mungkin) gambaran patriarkinya terlihat lebih jelas. Film yang menunj
ukkan suasana keluarga jaman sekarang yang pastinya lebih maju dan modern ini
ternyata tidak mampu menghilangkan kepatriarkiannya, walaupun diceritakan bah
wa Beth dan keluarganya berasal dari kalangan berada yang pastinya jelas mengen
yam pendidikan yang layak, tapi agaknya hal ini tetap tidak dapat menyembunyik
an ketimpangan gender yang ada.
Hal ini membuat penulis semakin yakin bahwa benar adanya bahwa setiap
film memiliki pesan tersendiri yang coba dibagikan oleh sutradara kepada penonto
nnya. Selain itu tema yang melulu sama adalah cerminan dari masyarakatnya, jika
masyarakat belum mampu merubah perilaku mereka, maka film pun tidak dapat b
erbuat apa-apa. Hal ini disebabkan juga mental masyarakat Indonesia yang masih
sulit menerima film atau apa saja yang agak melenceng dari yang seharusnya.
KESIMPULAN
Film yang berdurasi 84 menit ini bercerita tentang dominasi laki-laki terha
dap perempuan yang dari tujuh scene hampir seluruhnya mendukung bahwa pere
mpuan pada film ini memang sangat dimarginalkan oleh dominasi tadi. Dominasi
adalah masalah kekuasaan, siapa lebih berkuasa maka otomatis akan mendominasi
lainnya. Hal inilah yang dialami para perempuan, karena dianggap powerless dari
pada laki-laki, maka mereka sering kali didominasi oleh laki-laki.
dapat disimpulkan bahwa selain sebagai media yang selama ini dinilai lebi
h banyak menyampaikan ideologi atau pesan tertentu, ternyata film juga merupaka
n cerminan dari suatu masyarakat tertentu. Masyarakat yang memiliki kecenderun
gan untuk menilai gender dengan tidak adil akan banyak mempengaruhi filmnya.
Sementara masyarakat yang negaranya adikuasa seperti Amerika Serikat, film- fil
mnya pun banyak menceritakan betapa berkuasanya mereka, dan juga tentang pers
eteruannya dengan Rusia banyak menghiasi perfilman mereka, sehingga tidak jara
ng negara saingannya ini digambarkan sebagai yang jahat. Di Rusia pun sebalikny
a, film-filmnya menggambarkan Amerika sebagai musuh utama mereka. Sekali la
gi penulis tekankan bahwa tema perfilman banyak dipengaruhi oleh masyarakat y
ang merupakan imbas dari keadaan negara saat itu, jika keadaan negara membaik
dan masyarakat juga berubah, maka barulah film Indonesia menjadi lebih kaya te
ma.
DAFTAR PUSTAKA
Boggs, J. M. (1992). Cara Menilai sebuah Film. Jakarta: Yayasan Citra.
Humm, M. (2002). Ensiklopedi Feminisme. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Moekijat. (1993). Teori Komunikasi. Bandung: Mandar Maju.
Yatim, D. H. (1998). Media dan Perempuan, Siapa Bercermin Siapa. Jurnal Perempuan, edisi 6 Feb-April.
Mulawarman, K. (1999). Analisis Isi Tentang Sosok Perempuan dalam Film Gadis Metropolis. Yogyakarta: Skripsi Universitas Atma Jaya.