Warta tenure edisi 9
-
Upload
sungging-septivianto -
Category
Documents
-
view
365 -
download
4
Transcript of Warta tenure edisi 9
DINAMIKA WG TENURE
4 Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
Dukungan WG-Tenure untuk DKN dalam Fasilitasi Penyelesaian Konflik Pengelolaan Hutan di Indonesia
Emila Widawati
Menyongsong diimplementasikannya REDD secara penuh 2012, semestinya masalah land tenure men‐jadi salah satu prioritas untuk dibenahi. Kejelasan dan keamanan land tenure bagi semua pihak sampai saat ini belum terealisasikan dengan baik. Tumpang tindih lahan dan kepentingan menjadikan akar terjadi‐nya konflik sosial yang nampaknya masih mewarnai pengelolaan hutan di Indonesia. Terjadinya konflik tentunya menggangu praktek pengelolaan hutan yang akan memperkecil peluang terwujudnya pengelolaan hutan lestari. Di lain sisi keberadaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan tidak terelakkan, baik masyarakat adat, masyarakat lokal, dan banyak di‐jumpai pula masyarakat pendatang. Dengan fokus kegiatan yang selama ini digeluti WG‐Tenure antara lain melakukan study, share learning disamping fokus lainnya, WG‐Tenure berharap bisa berperan mendukung DKN dalam hal ini desk resolusi konflik untuk penyelesaian konflik‐konflik yang sedang difasilitasi yaitu dengan melakukan land tenure assessment. Kegiatan ini didukung pen‐danaanya oleh ICCO (InterChurch Organization for Development). Land Tenure assessment dilakukan dengan menggunakan metode RATA (Rapid Land Tenure Assessment), sebuah metode yang dikembangkan oleh ICRAF dan para mitranya dengan tujuan untuk mem‐perkuat basic klaim dari masing‐masing pihak yang sedang berkonflik. Sementara itu bentuk‐bentuk dan kronologis konflik yang terjadi didokumentasikan dalam database konflik yang berbasis window yang dikembangkan oleh Perkumpulan HuMa dengan label Huma‐win. Sementara itu gaya para pihak dalam menghadapi sengketa akan dianalisis dengan meng‐gunakan perangkat AGATA (Analisis Gaya Pihak Bersengketa) yang dikembangkan oleh Samdhana Institute. Hasil dari kegiatan ini diharapkan dapat
memberikan gambaran yang lebih lengkap sehingga dapat mendukung DKN dalam menfasilitasi penyele‐saian konflik tersebut. Land Tenure assessment dilakukan pada kasus Agroforestry Kemenyan dan sengketa lahan pertanian masyarakat di lokasi HTI PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL), Sumatera Utara. Assessment dilakukan antara lain untuk (a) Identifikasi penguasaan lahan/land tenure (tata kuasa), yaitu gambaran atas penguasaan tanah baik oleh masyara‐kat, pemerintah, pemerintah daerah, maupun pihak‐pihak lainnya dalam suatu wilayah; (b) Identifikasi alokasi lahan (tata kelola), analisa ini untuk mema‐hami alokasi menurut tataruang wilayah dan juga menurut masyarakat setempat akan alokasi atau ren‐cana pengelolaan wilayah tersebut; (c) Identifikasi ijin‐ ijin (tata ijin), yaitu ijin yang dikeluarkan di wilayah tersebut, baik oleh pemerintah pusat, daerah dan bahkan oleh masyarakat setempat.
Pertemuan Anggota WGTenure
Working Group on Forest Land Tenure terbentuk pada pelaksanaan Workshop “Masalah Penguasaan Lahan di Kawasan Hutan” tanggal 27‐28 November 2001, hampir menginjak berusia 10 tahun. Untuk lebih menguatkan kelembagaan dan mempertajam peran‐peran WG‐Tenure sesuai dengan visi dan misinya WG‐Tenure akan mengadakan Pertemuan Anggota yang rencananya akan diselenggarakan pada BULAN SEPTEMBER 2011. Saat tulisan ini diturunkan WG‐Tenure sedang melakukan evaluasi kelembagaan sebagai persiapan penyelenggaraan pertemuan anggota tersebut. Evaluasi dilakukan oleh evaluator dengan melakukan wawancara baik lang‐sung maupun tidak langsung terhadap perwakilan anggota dan beberapa mitra strategis WGTenure. ***
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
KAJIAN DAN OPINI
5
Posisi Masyarakat terhadap REDD: “Perundingan REDD Harus Perkuat Kemampuan Adaptasi dan Mitigasi Masyarakat”
Oleh: Asep Yunan Firdaus
Masyarakat khususnya yang hidup di dalam dan seki‐tar hutan seharusnya menjadi aktor kunci dalam upaya memitigasi dan mengadapatasi dampak‐dampak perubahan iklim. Namun demikian, faktanya pelibatan masyarakat dalam pembentukan kebijakan Pemerintah yang merespon perubahan iklim masih minim. Keresahan atas situasi tersebut direspon oleh Kamar Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional (DKN) dengan mengkonsolidasikan perwakilan‐perwakilan masyara‐kat dari berbagai wilayah di Indonesia dalam rang‐kaian workshop di daerah dan berpuncak di Jakarta pada 1‐2 Desember 2010 untuk merumuskan posisi bersama masyarakat terhadap isu Perubahan Iklim khususnya skema REDD. Kamar Masyarakat DKN menyatakan bahwa kertas posisi ini disusun guna merespon berbagai perdebatan politik dan produksi kebijakan yang merespon isu perubahan iklim yang dinilai berpotensi merugikan dan mempersulit kehidupan masyarakat. Dalam putaran workshop yang diorganisir oleh Kamar Masyarakat DKN di Ngata Toro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (23‐24 September), Putussibau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (28‐30 September), Waingapu, Sumba (21‐22 Oktober), Muluy, Paser, Kalimantan Timur (24 November) menemukan fakta bahwa perubahan iklim sudah mengakibatkan penurunan hasil panen hampir 100%. Di beberapa komunitas di Kabupaten Kapuas Hulu, hasil panen dalam sepuluh tahun terakhir berkurang drastis dari 1000 gantang berkurang hanya menjadi 200 – 300 gantang1. Di Sumba, Nusa Tenggara Timur hasil panen jagung mengalami penurunan akibat pola hujan tidak jelas. Hingga November 2010, hasil padi ladang orang
Muluy di Kabupaten Paser Kalimantan Timur makin menurun dibanding tahun‐tahun sebelumnya. Dari sembilan belas kelompok (kelompok terdiri dari gabungan kepala keluarga dari satu keluarga inti. Total KK‐nya 35 KK) yang buka ladang, hanya ada 5 kelompok yang memperoleh hasil 50 kg, itupun dengan jumlah benih lebih dari sekaleng. Pada 1999, mereka hanya mengeluarkan benih 1 kaleng. Dua kelompok, sama sekali tidak mendapat hasil. Ada 8 kelompok hanya memperoleh hasil kurang dari 10 kaleng. Hasil itu tidak akan mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari‐hari dimana pemanenan hanya dilakukan sekali dalam setahun. Kamar Masyarakat DKN juga merujuk kepada berbagai laporan internasional yang menunjukkan betapa rentannya masyarakat terhadap dampak‐dampak perubahan iklim. Laporan Pembangunan Manusia 2007/2008 Badan Pembangunan PBB (UNDP), menegaskan, kaum buruh tani, masyarakat adat sekitar hutan, dan penduduk di pesisir pantai adalah golongan yang paling rentan atas dampak perubahan iklim. Temuan dan analisis serupa juga muncul dalam laporan UNFCCC (2007) mengenai Dampak, Kerentanan dan Adaptasi di Negara‐negara Berkembang. Seorang pakar perubahan iklim, Maarten K. van Aalst (2006) dari Lembaga Palang Merah Belanda untuk Perubahan Iklim dan Kesiapsiagaan Bencana memprediksi skenario‐skenario buruk penurunan hasil pangan yang sangat signifikan akibat perubahan iklim. Sebuah laporan yang lain mengenai Asesmen Dampak dan Adaptasi terhadap Perubahan Iklim (2006)2, mencatat penurunan produksi hingga 100 % (gagal panen) di beberapa komunitas di Filipina.
_____________________________________ 1 gantang = 10 kaleng susu = 2,5 kg 2 Rodel D. Lasco dari University of the Philippines Los Baños College, Laguna, Philippines dan Rizaldi Boer dari IPB, Bogor, (2006)
KAJIAN DAN OPINI
6 Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
Semua fakta di atas menggambarkan komunitas‐komunitas yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan. Mereka merupakan bagian dari puluhan juta masyarakat yang telah hidup secara turun temurun di dalam dan sekitar kawasan hutan. Sebagian besar di antara mereka telah membuktikan dirinya mampu menjaga hutan secara lestari. Bahkan, komunitas sungai utik di Kapuas Hulu mendapat sertifikat pengelolaan hutan lestari dari Menteri Kehutanan. Namun, fakta‐fakta menunjukan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, hutan‐hutan tersebut semakin rentan karena perubahan iklim. Di sisi lain, pemerintah mendorong kebijakan dan proyek REDD menjadi euforia nasional dan menjadi salah satu agenda pokok pemerintah saat ini. Namun kebijakan ini sama sekali tidak memiliki hubungan dengan upaya masyarakat untuk bertahan dan mampu beradaptasi termasuk mengelola hutannya sendiri secara lestari. Kebijakan‐kebijakan ini lebih mengutamakan promosi peningkatan stok karbon yang akan masuk skema pasar pasca 2012. Meskipun skema REDD belum begitu jelas, namun berbagai kebijakan instan Kementerian Kehutanan dalam merespon REDD menunjukan bahwa hak atas karbon hutan akan mengacu pada hak negara atas kawasan hutan. Hak masyarakat atas hutan belum diakui. Di sisi lain, secara saintifik, REDD merupakan skema yang menjaga hutan sedemikian rupa untuk menghindari kebocoran karbon. Artinya, di lokasi proyek REDD, banyak pembatasan akses ke dalam kawasan hutan akan diberlakukan. Saat ini, sebagian pilot proyek REDD beroperasi di kabupaten atau provinsi tempat hidup komunitas‐komunitas yang disebut di atas. Bagaimana mungkin komunitas di sekitar dan dalam kawasan hutan yang sudah rentan karena perubahan iklim justru harus dibatasi demi kepentingan stok karbon yang akan dijual ke negara‐negara utara. Pertanyaannya, REDD untuk siapa? Untuk masyarakat atau para pemburu sertifikat karbon dari perusahaan‐
perusahaan eksploitatif yang telah menghancurkan sumber daya alam? Dalam pernyataannya, Kamar Masyarakat DKN secara tegas memosisikan dirinya mengkritik pendekatan pemerintah dalam merespon isi Perubahan Iklim dan meminta kepada pemerintah untuk lebih menjamin dan melindungi hak‐hak masyarakat baik atas kepemilikan/akses terhadap hutan maupun dalam proses pembentukan kebijakan. Untuk meluruskan kembali pendekatan Pemerintah dalam merespon isu perubahan iklim, Kamar Masyarakat DKN mendesakkan beberapa usulan antara lain (1) Pemerintah harus mengamandemen seluruh kebijakan perubahan iklim yang mengancam eksistensi masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam dan sekitar kawasan hutan; (2) Pemerintah harus memberikan perlindungan terhadap inisiatif‐inisiatif adaptasi dan mitigasi yang dilakukan oleh masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam dan sekitar kawasan hutan, termasuk juga memberikan dukungan yang memadai yang meliputi bantuan teknis dan pendampingan‐pendampingan yang reguler; (3) Mendesak semua pihak yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan dan proyek‐proyek penanggulangan perubahan iklim, terutama REDD untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak‐hak dan kebebasan dasar masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan, termasuk mengadopsi prinsip dan norma hak asasi manusia nasional dalam kebijakan‐kebijakan baru di bidang penanggulangan perubahan iklim; (4) Sesegera mungkin meratifikasi Konvensi ILO No.169. ***
(sumber: Sendirian Menghadapi Iklim yang Berubah, kertas posisi Masyarakat DKN terhadap kebijakan Miti
gasi dan Adaptasi Perubahan Iklim).
7
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
Moratorium Oslo adalah istilah populer untuk menyebut Letter of Intent (LoI) Kerjasama
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi & Degradasi Hutan (REDD) antara pemerintah Indonesia dan Norwegia yang ditandatangani di Oslo pada 26 Mei 2010. Implementasi LoI ini dibagi dalam tiga tahap yakni persiapan, transformasi dan kontribusi. Saat ini Moratorium Oslo telah memasuki babak baru yakni fase transformasi, mulai Januari 2011 sampai dengan Desember 2013.
Miskonsepsi Moratorium Oslo
Dalam LoI istilah moratorium merujuk pada kegiatan penundaan izin konversi hutan alam dan lahan gambut dalam jangka waktu dua tahun. Batasan hutan alam sendiri menimbulkan ambiguitas karena hutan alam adalah istilah teknis terkait asal usul pembentukan hutan yang definisinya tidak diatur dalam peraturan perundang‐undangan. Jika memperhatikan LoI butir VII.c.ii, dimana aktivitas pembangunan ekonomi diarahkan di areal hutan yang telah terdegradasi maka dapat ditafsirkan bahwa hutan alam yang dimaksud dalam LoI tersebut adalah hutan primer (primary forest). Masalahnya, moratorium yang diarahkan pada hutan primer dalam rangka mereduksi emisi karbon sebenarnya secara konseptual tidak tepat. Mengapa? Karbondioksida diserap oleh tumbuhan dalam proses fotosintesis. Proses fotosintesis ini lebih efektif dilakukan oleh pohon‐pohon muda yang masih ber‐tumbuh. Sementara, hutan primer yang tidak pernah ditebang umumnya banyak ditumbuhi pohon‐pohon tua dan mengarah pada ekosistem klimaks yang jumlah penyerapan dan pengeluaran karbonnya relatif seimbang (net balance). Dengan demikian jelas bahwa dalam hal penyerapan karbon, hutan primer sebenarnya bukan “carbon
sinker” yang baik. Namun, bukan berarti hutan primer boleh dikonversi seenaknya karena terlepas dari keterbatasannya menyerap karbon, hutan primer diyakini memiliki manfaat ekologi yang sangat besar, baik yang terkait dengan fungsi tata air, keaneka‐ragaman hayati, penyedia hasil hutan non‐kayu, keindahan alam maupun fungsi lingkungan lainnya. Demikian pula dengan moratorium konversi lahan gambut. Diakui bahwa lahan gambut merupakan penyimpan karbon yang sangat efektif. Namun, ma‐salah kerusakan dan perusakan lahan gambut tentu tidak bisa diselesaikan hanya dengan memberlakukan moratorium konversi. Manajemen pengelolaan gambut yang lestari tidak cukup hanya memperhati‐kan aspek teknis tetapi juga memerlukan lingkungan sosial dan ekonomi yang kondusif. Oleh karena itu, LoI tidak dapat mengatur moratorium konversi lahan gambut secara parsial karena masalah pengelolaan lahan gambut tidak dapat dipisahkan dari ketentuan‐ketentuan yang telah ada, misalnya Undang Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, Undang Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009, dan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990. Dalam peraturan tersebut di‐antaranya telah diatur tentang masalah penetapan dan pengelolaan hutan lindung dan kawasan lindung, ter‐masuk lahan gambut. Dengan demikian, dalam ke‐rangka peraturan perundang‐undangan moratorium hutan alam dan lahan gambut harus dikonstruksikan sebagai bagian dari pengelolaan hutan lindung (di dalam kawasan hutan) dan/atau kawasan lindung (di luar kawasan hutan). Moratorium konversi tidak dapat hanya bersandar pada ketentuan LoI, tetapi harus memiliki payung hukum yang kuat dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Perlu digarisbawahi bahwa kebijakan moratorium yang tidak terarah
BABAK BARU MORATORIUM OSLO Oleh: Dodik Ridho Nurrochmat*
*) Penulis adalah Lektor Kepala Kebijakan Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB dan alternate International Council IUFRO (International Union of Forest Research Organizations) periode 20102014.
8
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
justru akan membahayakan lingkungan karena akan memicu kelangkaan pasokan kayu yang bermuara pada maraknya pasar kayu gelap dan illegal logging.
Dekonstruksi Etika Perdagangan Karbon
Pola pikir yang mereduksi fungsi lingkungan hutan sekedar sebagai penyerap karbon tidak hanya me‐lenceng secara ilmiah, tetapi juga sangat berba‐haya bagi lingkungan itu sendiri. Skema pengu‐rangan emisi dari de‐forestasi dan degradasi hutan (REDD) yang pada mulanya (diharapkan) berpijak pada upaya per‐baikan lingkungan, ter‐nyata dalam perkem‐bangannya (lebih) sarat muatan politik. Negara‐negara industri menyodorkan skema ban‐tuan dana kepada negara‐negara berkembang untuk menurunkan emisi dengan mengerem laju deforestasi. Tentu saja tidak ada skema pen‐danaan yang gratis, skema tersebut (dapat) di‐klaim negara‐negara pemberi dana sebagai capaian yang meri‐ngankan kewajibannya menurunkan emisi kar‐bon dari industri mereka. Skema semacam ini dike‐nal sebagai “carbon offset”. Alur pikir skema ini mirip “jual beli surat penebus dosa”. Artinya, walaupun mereka berbuat banyak dosa (menggelontorkan emisi) tidak masalah, asalkan mereka beramal kepada si‐miskin (mengurangi emisi di negara berkembang pemilik hutan).
Di sisi lain, sangat penting untuk diperhatikan bahwa harga karbon tidak boleh hanya diperbandingkan dengan variabel harga semata‐mata dari komoditas kayu, hasil pertanian atau hasil perkebunan. Konse‐kuensi logis dari moratorium konversi adalah pengu‐rangan penebangan kayu dan/atau pembatasan pem‐bangunan pertanian termasuk perkebunan. Diban‐
dingkan dengan 34 sek‐tor perekonomian yang lain, keterkaitan ke de‐pan (forward linkage) sektor pertanian, perkebunan dan kehu‐tanan adalah yang tertinggi. Demikian pula efek pengganda (multiplier effect) baik output multiplier, income multiplier, dan employment multiplier dari ketiga sektor tersebut juga sangat besar. Artinya, jika tidak dilakukan secara cermat dan ter‐ukur, skema perda‐gangan karbon dapat mematikan tidak hanya sektor hulu tetapi juga akan memberikan efek domino yang memukul keberlangsungan hidup sektor hilir, mencipta‐kan lebih banyak pe‐ngangguran, dan me‐merosotkan kese‐jahteraan masyarakat.
Skema perdagangan karbon hanya akan bermanfaat dan bermartabat jika memperhatikan tidak hanya “leakages” tetapi juga “linkages” terhadap kepentingan yang lebih luas. Oleh karena itu, praktik perdagangan karbon yang hanya berlandaskan pada politik ke‐pentingan tidak akan pernah dapat menyelesaikan ma‐salah sehingga mekanisme seperti ini harus diper‐
Pemerintah Indonesia tidak boleh terjebak pada urusan moratorium saja, tetapi secara paralel harus dapat memanfaatkan momentum fase transformasi LoI ini untuk
mengalokasikan areal terdegradasi bagi kepentingan pembangunan, membenahi
peraturan dan penegakan hukum kehutanan, serta mempercepat penyelesaian rencana tata ruang wilayah. Hal terpenting yang perlu digarisbawahi adalah LoI harus ditempatkan sebagai bagian dari
strategi pembangunan nasional berkelanjutan dan bukan
sebaliknya.
9
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
juangkan untuk didekonstruksi menjadi (lebih) adil dan bermartabat.
Beberapa Catatan untuk Fase Transformasi LoI Memasuki babak baru LoI ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, perlu adanya kejelasan lokasi dan luas areal moratorium. Total dana 1 milyar USD yang dijanjikan, sesungguhnya nilainya sangat kecil jika konsekuensinya mencakup keseluruhan 132 juta hektar hutan Indonesia. Peme‐rintah Indonesia sendiri terlihat gagap dalam menin‐daklanjuti kesepakatan ini. Dalam LoI disebutkan bahwa seluruh perangkat organisasi dan payung hukum bagi pelaksanaan kesepakatan ini sudah harus tuntas akhir tahun 2010. Faktanya, tarik menarik kepentingan sangat kuat sehingga sampai dengan bulan ketiga tahun 2011 payung hukum yang ditunggu tak kunjung keluar. Pemerintah terjerat keraguan dan kegamangan untuk melangkah. Demikian pula dengan penetapan lokasi pilot REDD. Walaupun dalam kerangka pelaksanaan LoI pemerin‐tah telah menetapkan provinsi Kalimantan Tengah sebagai lokasi pilot REDD, namun sederet potensi hambatan telah menunggu. Barangkali secara fisik provinsi Kalimantan Tengah memang sangat sesuai sebagai lokasi pilot REDD karena di wilayah tersebut terdapat hutan alam dan lahan gambut yang cukup luas. Namun, dari sisi efektifitas pemilihan provinsi Kalimantan Tengah yang sarat dengan konflik tenurial patut dipertanyakan. Di provinsi ini, tercatat lebih dari tiga juta hektar kawasan hutan tumpang tindih peng‐gunaannya dengan sektor lain, baik perkebunan, per‐tanian, pemukiman, bahkan desa dan kota. Padahal, moratorium konversi hutan hanya akan efektif di‐terapkan jika telah ada tata ruang yang definitif dengan tingkat konflik minimal. Dari aspek hukum, implementasi LoI juga memuncul‐kan beragam interpretasi yang memicu ketidak‐pastian. Moratorium yang sebenarnya hanya dituju‐kan bagi izin‐izin baru, ternyata diusulkan oleh semen‐tara kalangan untuk juga mengevaluasi seluruh ijin
termasuk yang sudah berjalan. Tentu saja hal se‐macam ini akan menimbulkan masalah ketidak‐pastian hukum dan mengganggu iklim berusaha. Selain itu, diperlukan pula kejelasan batasan hutan alam dan lahan gambut yang dimoratorium. Selain berpotensi mendongkrak pasar kayu gelap, moratorium tanpa batasan wilayah yang jelas juga akan bermuara pada situasi “open access” kawasan hutan. Pada situasi demikian, hutan cenderung men‐jadi barang publik yang bebas dijarah dan dirambah siapa saja, sehingga dapat dipastikan eskalasi ke‐rusakan hutan akan terjadi jauh lebih cepat dan semakin luas dari sebelumnya. Thesa Garret Hardin “the tragedy of the commons” yang meramalkan kehan‐curan sumberdaya alam sebagai barang publik yang open akses akan menemukan pembenaran empiris di negeri ini. Akhirnya, harus dapat dipastikan bahwa dana yang dijanjikan terealisasi sesuai dengan skema. Hal ini sangat penting diangkat karena pencairan dana hanya dapat dilakukan atas persetujuan parlemen Norwegia dan pengelolaannya hanya dapat dilakukan oleh lembaga keuangan internasional, sehingga perlu ada kejelasan bagaimana mekanisme distribusi dan peng‐gunaannya agar dana tersebut dapat bermanfaat untuk menyejahterakan masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan. Pemerintah Indonesia tidak boleh terjebak pada urusan moratorium saja, tetapi secara paralel harus dapat memanfaatkan momentum fase transformasi LoI ini untuk mengalokasikan areal terdegradasi bagi kepentingan pembangunan, membenahi peraturan dan penegakan hukum kehutanan, serta mempercepat penyelesaian rencana tata ruang wilayah. Hal ter‐penting yang perlu digarisbawahi adalah LoI harus ditempatkan sebagai bagian dari strategi pemban‐gunan nasional berkelanjutan dan bukan sebaliknya.***
ALAMAT KONTAK: DR. IR. DODIK RIDHO NURROCHMAT, M.ScF
Laboratorium Politik Ekonomi & Sosial Kehutanan Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB
Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 Tel/Fax: 0251 8623805, 8623327
Hp: 081314845101 Email: [email protected]
10
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
Apa kata mereka tentang “Persepsi Masyarakat Sipil Merespon dan Memaknai REDD” Tahun 2012 disepakati sebagai tahun tinggal landas bagi pelaksanaan penuh (full implementation) dari REDD. Pembicaraan perubahan iklim dan REDD di forum global UNFCCC masih terus berlanjut, sementara focus dan energi seluruh pihak saat ini tercurah pada upaya persiapan pelaksanaannya. Di lain pihak masyarakat khususnya yang tinggal di dalam dan sekitar hutan yang akan menerima dampak ataupun terlibat dalam implementasi REDD saat ini tetap dalam kehidupan mereka yang nam‐paknya masih menemui kendala dan masalah dalam kaitannya dengan praktik pengelolaan hutan itu sendiri. Sejauh mana masyarakat sipil memahami REDD dan bagaimana merespon serta memaknainya? Kami memberikan ruang kepada masyarakat sipil khususnya untuk memberikan opininya tentang Bagaimana Masyarakat Merespon dan Memaknai REDD. Opini ini merupakan pendapat yang dikemukakan secara independen, dan bersifat individu. Simak opini mereka!!
Jago Bukit BPSE Yasanto
Merauke, Papua Di Papua pada umumnya, khususnya Papua Selatan, masyarakat sipil apakah itu masyarakat adat atau masyarakat umum atau pekerja‐pekerja sipil tidak banyak tahu ten‐tang REDD. Mereka jarang sekali mendengar REDD, mereka juga tidak tahu apa itu hubungan antara masyarakat adat, perubahan iklim dan skema REDD. Di level pemerintahan juga terjadi hal yang sama, sebagian besar dari mereka tidak tahu apa itu REDD ? Skema REDD hanya diresponi oleh segelintir aktifis lingkungan saja, namun aktifis LSM juga memiliki keterbatasan dalam memasyarakatkan skema REDD kepada masyara‐kat umum. Masyarakat adat Papua sebagai pemilik hak ulayat atas tanah dan hutan belum tahu tentang skema REDD. Jika skema REDD benar2 diimplementasikan se‐cara konsisten dan bertanggung jawab ditambah lagi pemahaman masyarakat adat tentang skema REDD cu‐kup memadai, maka diyakini bahwa masyarakat adat akan memilih skema Redd ketimbang menyerahkan tanah dan hutan kepada investor. Tantangan bagi kita pemerhati skema REDD. Proyek Mifee Merauke yang akan membuka jutaan hektar hutan di kabupaten Merauke sama sekali tidak memperhitungkan dampak‐dampak pembukaan lahan
secara besar‐besaran terhadap kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Ketika kami dari LSM menyampai‐kan masukan‐masukan tentang kerusakan lingkungan dan perubahan iklim pada moment pertemuan tentang Mifee, pihak Pemka Merauke sama sekali tidak menggu‐brisnya dan mereka lebih mengutamakan perolehan PAD Merauke dan kepentingan lainnya. Kelihatannya satu dua LSM saja di Merauke yang berkoar‐koar ten‐tang dampak pembukaan hutan terhadap perubahan iklim dan skema REDD. Stakeholder yang lain tam‐paknya masa bodoh dengan perubahan iklim. Yasanto bekerjasama dengan Samdhana untuk tahun 2011 akan melakukan sejumlah kegiatan yang terkait dengan masyarakat adat dan perubahan iklim, termasuk kegiatan mensosialisasikan perubahan iklim dan skema REDD kepada masyarakat umum. Mudah2an melalui kerjasama 1 tahun ini, semakin banyak masyarakat sipil di Selatan Papua tahu tentang perubahan iklim dan skema REDD. Kemudian yang juga menjadi tanda tanya adalah semakin hari semakin berkurang orang bicara tentang skema REDD (mungkin pendapat ini salah) dan semakin sedikit stakeholder yang concern terhadap perubahan iklim. Perubahan iklim dan skema REDD yang cukup gencar digaungkan oleh banyak lembaga atau organisasi beberapa tahun lalu, belakangan ini cenderung menurun menurut kacamata kami – mungkin salah. Mudah2an penilaian ini salah. Selamat berjuang menjadi pahlawan REDD. *
11
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
Dr. Ir. Tjipta Purwita, MBA Plantation Director of PT MHP REDD merupakan isu terbaru dalam mitigasi perubahan iklim yang akan diterapkan secara penuh pada tahun 2012. Ini berarti merupakan peluang sekaligus tantangan bagi kita, untuk
mampu memanfaatkannya. Hutan Indonesia adalah penghasil “greenproducts” yang sangat besar. Karena itu pengurangan emisi dengan mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, serta upaya lain dalam penerapan pengelolaan hutan lestari, menjadi keharusan untuk diimplementasikan. Bila hal ini dapat dilakukan secara sinergis, maka sudah selayaknya kita mendapatkan insentif yang cukup memadai untuk terus melanjutkan pengelolaan hutan secara lestari serta mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas. Bagaimana peranan masyarakat yang hidup di pinggir‐pinggir hutan? Jawabannya, mereka adalah stakeholders terdekat yang harus dilibatkan sejak dini dalam proses implementasi skema REDD. Mereka berperan sebagai penjaga hutan dari kemungkinan terjadinya kerusakan
(deforestasi dan degradasi hutan). Karena itu mereka berhak mendapatkan informasi yang transparan mengenai regulasi, kelembagaan, serta mekanisme implementasi REDD yang terang, agar keterlibatannya betul‐betul didasari oleh kesadaran yang tinggi untuk mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan. Mereka berhak mendapatkan porsi kompensasi yang layak agar mereka memiliki capital yang mencukupi untuk hidup secara lebih sejahtera dan terbebas dari persoalan kemiskinan. Masyarakat sipil (civilsociety), perlu mengawal agar proses implementasi REDD dapat berlangsung dalam tatakelola (governance) yang benar. Masyarakat tempatan (indegenuouspeople) sebagai komponen masyarakat sipil yang “terlemah”, sekali lagi harus diprakondisikan untuk siap melaksanakan implementasi REDD melalui pengelolaan hutan yang bersifat kolaboratif dan multipihak. Bahkan kini masyarakat lokal bersama dunia usaha kehutanan lain perlu membulatkan tekad untuk membangun kerjasama kemitraan yang mutualistis dalam wadah Hutan Rakyat (HR), Hutan Plasma, maupun Hutan Tanaman Rakyat (HTR) pada lahan yang terdegradasi, kurang produktif, serta memiliki legalitas tenurial yang pasti. *
Narasumber : ROSA GAZPER (koordinator VOWE*) Pewawancara : Andi Saragih (Mnukwar Papua) Menurut anda, apakah REDD itu telah terkomunikasikan dengan baik di tingkat masyarakat di Papua Barat?. Fakta yang harus diakui saat ini adalah, hampir sebagian besar masyarakat tidak pernah mendengar apa yang disebut dengan REDD, saya pikir orang‐orang berpen‐didikan yang tinggal di kotapun pasti masih banyak yang belum pernah mendengarnya. Saya beruntung karena mendapatkan informasi ini dari kawan‐kawan di LSM yang setahun lalu seringkali membicarakan masalah ini. Apakah REDD ini bisa menjadi sebuah peluang yang bisa bermanfaat bagi masyarakat kita kedepan?. Seba‐gai masyarakat, yang pertama dan terpenting bagi kami adalah dampak apa yang kami dapat dari keadaan ini. REDD adalah sebuah hal yang masih awam bagi masyara‐kat di papua. Dari langkah awal saat ini di lakukan oleh pemerintah daerah saja sudah ada masalah, sebagai con‐toh seperti yang saya sebutkan diatas, bahwa masyarakat belum pernah mendengar atau sengaja di beritahukan ten‐tang program ini, justru kami mendapatkannya dari teman‐teman di luar pemerintah, artinya apa?! Dari masalah sosialisasipun pemerintah tidak mampu menjalankannya, apalagi dalam tahap pelaksanaannya nanti? Pasti kami le‐bih tidak tahu lagi.
Menurut anda, bagaimana sebaiknya langkah yang perlu dilakukan? Menurut saya, jika keadaannya demikian lebih baik kita tidak usah menerima program ini, karena saya kawatir kita tidak akan mendapatkan manfaat‐nya nanti. Untuk kepentingan mengurangi kecepatan pe‐rubahan iklim saya pikir kita perkuat dan pertegas saja kearifan lokal yang memang sudah ada selama ini di masing‐masing masyarakat, karena dalam sejarahnyapun aturan ini sudah dipahami dan dijalankan oleh masyarakat, tanpa ada maksud untuk kepentingan sendiri. Kita dipapua memiliki banyak kearifan lokal yang bisa dikembangkan untuk pelestarian lingkungan. Tidak harus menggunakan konsep REDD. Namun jika aturan mainnya jelas, dalam arti masyarakat dapat memperoleh manfaatnya baik secara langsung maupun tidak maka REDD adalah sebuah konsep yang saya pikir memiliki fungsi ganda, yakni fungsi eko‐nomi kalau kompensasi itu diperoleh masyarakat pemilik hak ulayat dan fungsi lingkungan. *VOYE adalah sebuah kelompok yang baru lahir tahun 2010, kehadiran pemudapemudi yang bersemangat ini, tidak terlepas dengan pola pendekatan, pembinaan dari beberapa
temanteman NGO lokal di manokwari.
Ormelling (1955) memberi catatan sejarah bahwa pada pertengahan abad 18 (tahun 1769 M) Gubernur Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia memerintahkan penduduk Pulau Timor menanam tanaman jagung (Zea mays) sebagai tanaman budidaya sebagai cara untuk mengatasi masalah kegagalan panen dan kelaparan yang kerap melanda daerah ini. Masyarakat menerimanya dan sejak saat itu tanaman jagung berkembang menjadi tanaman pokok bagi penduduk di Timor dan bahkan lalu menyebar ke berbagai pulau lain di NTT. Pada awal abad 20, Pemerintah kolonial Belanda mengintrodusir ternak sapi Bali (Bos Javanicus syn. Bos sundaicus) sebagai cara untuk meningkatkan pendapatan rakyat di Timor. Masyarakat juga menerimanya dan bahkan menjadi salah satu komoditas pertanian andalan dari Timor, bahkan Nusa Tenggara Timur. Jadi, menurut sejarahnya, kedua komoditas pokok di NTT tersebut adalah hasil introduksi dari luar sistem kemasyarakatan di Timor dan atau Nusa Tenggara Timur. Perlu pula dicatat bahwa sama sekali tidak ada catatan bahwa upaya introdusir tersebut didahului dengan adanya proses sosialisasi yang makan waktu lama. Mengapa masyarakat dapat menerima jenis‐jenis introdusiran tersebut dan lalu mengusahakannya? Selain karena kemungkinana ada sifat memaksa dari pemerintah kolonial alasan lain yang dapat diduga adalah bahwa karena dua komoditas tersebut memang menjawab kebutuhan masyarakat. Masyarakat mengalami kelaparan dan berpendapatan sangat rendah lalu ada solusi yang terang benderang. Maka jadilah apa yang dimaui.
Isu tentang pemanasan global telah cukup lama digaungkan di Nusa Tenggara Timur tetapi bahkan sampai dengan tahun 2010, yaitu ketika Forum DAS NTT melakukan sosialisasi tentang REDD, masih cukup banyak masyarakat yang memahami bahwa efek rumah kaca disebabkan oleh banyaknya rumah yang menggunakan bahan banguna yang terbuat dari kaca. Alih‐alih, banyak pula stakeholder dari kalangan yang memiliki tingkat pendidikan yang jauh lebih baik dari masayarakat desa memahami bahwa REDD sesuatu yang bertalian dengan warna merah. Jika memahami REDD saja masih merupakan suatu kesulitan besar maka mudah diduga apa yang terjadi ketika kepada berbagai stekholder yang ada di NTT disodori konsep adaptasi dan mitigasi yang terkait perubaan iklim global. Tidak semua stakeholder memberi respons seperti yang dikemukakan tadi. Beberapa di antara mereka memiliki paham tentang REDD akan tetapi mereka dibingungankan dengan persamaan dan perbedaan di antara beberapa varian terminologi REDD, REDD‐I dan REDD+. Akan tetapi dengan beberapa penjelasan tentang hal‐hal yang
membingungkan tersebut maka timbul beberapa pertanyaan baru, antara lain, kapan REDD mulai bisa dilakukan karena menanam bukan hal asing bagi masyarakat, siapa yang akan mengelola REDD, apa hak dan kewajiban masyarakat sebagai pelaku REDD dan segudang pertanyaan lainnya yang terkait dengan cara bagaimana REDD akan diimplementasikan. Pada pokok pertanyaan ikutan ini maka beberapa kegamangan mulai terjadi dan lalu respons terhadap REDD umumnya bernada skeptik.
Bagaimana memahami dua kontras situasi yang diungkapkan di atas. Di masa lalu, introduksi jagung dan sapi diberi respons sangat positif oleh masyarakat di NTT tanpa perlu waktu yang lama. Pertama adalah adanya kebutuhan yang mendasar. Lalu kebutuhan tersebut direspsons secara tepat dan efektif oleh penguasa, siapapun mereka, ketika itu. Poerwanto (2004) menyatakan bahwa perubahan sosial selalu berasal dari 2 arah. Masyarakat akan berubah ketika mereka sadar akan keperluan untuk berubah (imanen) dan atau masyarakat akan berubah jika pihak luar mampu meyakinkan bahwa mereka perlu berubah dan lalu menjamin cara melakukan perubahan dimaksud (kontak). Itulah yang terjadi dalam sejarah keberhasilan introduksi jagung dan sapi ke Timor, NTT. Bagaimana dengan introduksi gagasan tentang REDD sekarang ini. Di masa milenum baru. Bahwa ancaman pemanasan global adalah suatu perkara yang perlu diresponi secara postif tak perlu lagi diragukan. Masyarakat memahami itu dan bahkan beberapa filosofi yang terkandung dalam gagasan REDD inheren dalam budaya tradisi mereka. Akan tetapi ketika terhadap beberapa pertanyaan tentang apa, siapa, kapan, dan bagaimana gagasan tersebut akan diimplementasikan belum memiliki jawaban yang jelas maka tak pelak lagi idea bahwa tahun 2012 adalah tahun tinggal landas bagi pelaksanaan penuh (full implementation) dari REDD sungguh suatu utopia. Masalahnya ada di mana? Menurut hemat penulis, akar masalahnya ada pada tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang belum berjalan efektif dan efisien. Selalu ada tiga pihak, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat tetapi adalah pemerintah yang diberi mandat untuk memerintah. Lalu, bagaimana perintahmu wahai pemerintah? *
12
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
Perspektif Masyarakat Sipil Merespon dan Memaknai REDD
(Catatan Dari Nusa Tenggara Timur)
Oleh: Michel Riwu
13
EVENT
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
Indonesia dalam hal ini Kementerian Kehutanan menjadi tuan rumah dalam Konferensi Internasional sebagai tindak lanjut dari konferensi sebelumnya yang diadakan di Acre, Brasil pada Bulan Juli 2007 dan di Yaoundè Kamerun pada Bulan Mei 2009. Kementerian Kehutanan bersama ITTO dan RRI mengusung tema “The International Conference on Forest Land Tenure, Governance and Enterprise: Experiences and Opportunities for Asia in a Changing Context”. Konferensi diadakan di Villa Santosa Hotel & Resort, Senggigi Lombok pada tanggal 11‐15 Juli 2011. Konferensi ini didukung dan bekerjasama dengan sejumlah elemen masyarakat sipil, dan WG‐Tenure menjadi bagian dari kepanitiaan tersebut.
Konferensi dibuka oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof. Boediono dan dihadiri oleh sekitar 300 peserta yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) merupakan salah satu pembicara kunci pada acara ini. Ketua UKP4, Dr. Kuntoro Mangkusubroto mempresen‐tasikan film pendek dan keynote speech dengan judul
“Importance of Land and Forest Tenure Reforms in Implementing a Climate Change Sensitive Development Agenda” (“Pentingnya Reformasi Penguasaan Hutan Dan Lahan Dalam Mengimplementasikan Agenda Pemban‐gunan Yang Peka Terhadap Perubahan Iklim”) yang dise‐but sebagai buah pemikiran bersama dengan beberapa pihak. Keynote speech yang disampaikan oleh UKP4 sangat menarik dan merupakan arahan baru penyelesain konflik tanah dikawasan hutan yang diharapkan bisa men‐jadi tonggak sejarah bagi terbangunnya safeguard bagi hak hak masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan hutan selama ini.
Dr. Kuntoro Mangkusubroto menyampaikan sebagai unit kerja Presiden dituntut untuk dapat memandang berbagai isu melalui perspektif lintas sektor, melampaui dinding‐dinding birokrasi baik secara literal dan harfiah, untuk me‐mastikan bahwa berbagai kegiatan berjalan di lapangan. Juga untuk memastikan bahwa pemerintah mengerjakan layanan publik sesuai dengan komitmen Presiden.
Konferensi Internasional
“Forest Tenure, Governance, and Enterprise” Oleh: Emila & Martua
14
EVENT
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
Disampaikan oleh UKP4 bahwa salah satu komitmen Presiden adalah menurunkan emisi sebesar 26% apabila tidak ada campur tangan internasional dan sebesar 41% apabila ada dukungan dari komunitas internasional pada tahun 2020. Sekarang lebih dari 60% emisi di Indonesia berasal dari penggunaan lahan dan sector kehutanan, di‐mana diprediksi akan terus terus bertambah sampai dengan tahun 2020 mendatang. Untuk itu maka penge‐lolaan sumberdaya alam dan penggunaan lahan me‐mainkan peran yang sangat vital untuk mewujudkan komitmen Presiden tersebut.
Selaras dengan komitmen ini, Indonesia juga menetapkan target lainnya yaitu 7% pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapainya Pemerintah Indonesia sudah melansir master plan ekonomi untuk menciptakan 6 (enam) koridor ekonomi. Untuk mewujudkan keseimbangan antara komit‐men penurunan emisi dan pencapaian target pertumbuhan ekonomi tersebut Pemerintah bertekad untuk mewujud‐kan pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan penge‐lolaan sumberdaya alam sebagai asset bangsa.
Pada tahun 2010 sektor Kehutanan berkontribusi pada GDP sebesar 0.1%. Meskipun bukan sebagai penyumbang devisa yang besar, tetapi berjuta masyarakat bergantung hidupnya pada hutan dan hasil hutan, termasuk di dalam‐nya masyarakat adat dengan adat istiadatnya. Isu land ten‐ure merupakan keniscayaan dalam pengelolaan sumber‐daya alam secara nasional sebagai respon dari tantangan perubahan iklim dan manfaat bagi masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Per‐baikan tata kelola kehutanan dan land tenure sejalan dengan usaha pemerintah dalam upaya mengurangi kemiskinan, di mana terdapat sedikitnya 10 juta orang yang menggantung‐kan hidup dari hutan berada di bawah garis kemiskinan.
Pengelolaan sumberdaya alam yang lestari tidak bisa diwujud‐kan jika tidak bicara secara tepat masalah land tenure yang sangat kompleks. Bagaimana akses dijamin dalam hal hak menggunakan, mengontrol, serta hak mengalihkan tanah; seperti dijelaskan sebagai kesatuan kewajiban dan ken‐dala‐kendala. Ditegaskan bahwa
pengaturan land tenure yang tepat adalah syarat utama dalam mewujudkan pembangunan dan kehidupan berke‐lanjutan.
Sejarah panjang penguasaan hutan dan tanah telah mem‐bawa negara ini pada suatu titik dengan dua tantangan yang mendesak. Yang pertama, dualisme pendefinisian hutan sebagai kategori biofisik dan administratif. Indone‐sia memiliki hutan yang luas, bahkan termasuk hutan primer, yang mencapai 15 juta hektar di luar wilayah yang diklasifikasikan sebagai Kawasan Hutan. Pada saat yang sama, terdapat 26 juta hektar lahan tidak berhutan di dalam Kawasan Hutan. Situasi ini menyebabkan adanya hutan‐hutan yang berisiko terhadap pemanfaatan yang tidak berkelanjutan dan terbatasnya akses untuk mengel‐ola lahan untuk penggunaan yang optimal dan terbaik. Yang kedua, hak‐hak pribadi yang belum diakui, termasuk tanah adat, dalam Kawasan Hutan. Terdapat 33.000 desa (sesuai dengan pernyataan Menteri Kehutanan pada pidato pembukaan Konferensi) yang sekarang berlokasi di dalam atau sekitar Kawasan Hutan. Karenanya terdapat argumen bahwa desa‐desa tersebut ilegal karena mereka tinggal di wilayah Negara, namun masyarakat desa ini tentunya akan mengklaim bahwa mereka telah mendiami selama be‐berapa generasi. Oleh karena itulah konflik penguasaan tanah terjadi dan bisa menciptakan ketidakpastian kegiatan pembangunan.
15
EVENT
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
Selain itu disampaikan bahwa Presiden Yudhoyono baru‐baru ini telah menerbitkan instruksi “moratorium” yaitu untuk menunda penerbitan izin baru di hutan dan lahan gambut selama dua tahun. Seperti yang dimandatkan oleh Instruksi Presiden ini, berbagai tindakan harus diambil dalam kerangka penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut. Dua tindakan harus segera dilakukan, yaitu (1) adalah menciptakan One Map (Peta Tunggal). Peta ini akan menjadi satu‐satunya peta yang digunakan oleh selu‐ruh kementerian dan lembaga pemerintah sebagai dasar pengambilan keputusan. Peta yang terintegrasi ini harus memiliki definisi yang kokoh dan menerapkan metode serta teknik terkini untuk mengidentifikasi posisi dan ukuran hutan, dari ujung ke ujung, di seluruh wilayah Indonesia. Para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat, akan didorong untuk memberikan masukan melalui suatu proses yang transparan dan partisi‐patif. (2) Harus mempercepat proses pengukuhan Kawasan Hutan, termasuk melalui pemetaan partisipatif berbasis masyarakat. Sebagian besar Kawasan Hutan masih dalam fase penunjukan, dan hanya 14,2 juta hektar atau 12% telah dikukuhkan sampai sekarang. Pengukuhan Kawasan Hutan akan mengidentifikasi hak‐hak privat yang ada sehingga hal itu harus dilakukan secara bersamaan dengan pendaftaran tanah adat. Penggunaan wilayah hutan hanya bisa dilakukan setelah pengukuhan untuk menjamin bahwa hak‐hak adat telah diakui.
Satu hal lagi yang disinggung UKP4 adalah komitmen Indo‐nesia terhadap reformasi hutan dan penguasaan lahan dalam jangka panjang. TAP MPR No. 9/2001 mengenai Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam – yang merupakan hukum tertinggi – telah memandatkan peninjauan dan revisi pada semua peraturan sumber daya alam dan keagrarian untuk sinkronisasi multi‐sektor. Ini bisa mencakup Undang‐Undang Kehutanan 1999 dan per‐aturan operasional Undang‐Undang Pokok Agraria 1960. Melalui TAP MPR ini juga diinstruksikan pelaksanaan land reform dengan pertimbangan pada resolusi konflik dan mengatasi ketidaksetaraan lahan untuk masyarakat kecil yang tidak memiliki lahan; untuk mengembangkan inven‐tarisasi dan pendaftaran penguasaan lahan secara kompre‐hensif dan sistematis; untuk mengatasi dan mengantisipasi konflik‐konflik penguasaan lahan dan manajemen sumber daya alam; dan seluruhnya harus diimplementasikan ber‐dasarkan prinsip mengakui, menghormati dan melindungi hak adat.
Pameran
Dalam forum ini juga diselenggarakan exhibition/pameran yang diikuti oleh berbagai lembaga dan instansi dengan menampilkan publikasi‐publikasi serta kegiatan‐kegiatan terutama yang berhubungan dengan isu land tenure dalam pengelolaan hutan di Indonesia. WG‐Tenure bekerjasama dengan HuMA, Lifemosaic, ICRAF, dan Epistema mengikuti
pameran ini dengan mengangkat topic “Making Forest Tenure Reform Works for People”. Publikasi berupa buku, leaflet, poster, serta pemutaran be‐berapa film coba ditampilkan dalam pameran ini. Dengan me‐ngadakan pameran ini diharap‐kan dapat memperkuat pema‐haman para pihak terhadap isu land tenure dalam pengelolaan hutan di Indonesia juga kaitannya dengan REDD. ***
Sumber: Keynote Speech Dr. Kuntoro Mangkusubroto pada International Land Tenure Conference, Lombok
2011 dan Terjemahannya
16
PROSES PEMBELAJARAN
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
POTENSI KARBON SEBAGAI ALAT NEGOSIASI MEMPEROLEH HAK AKSES Membangun Model REDD berbasis masyarakat, Di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Provinsi Lampung, Wilayah Kelola Kelompok SHK Lestari 2010 – 2011 Oleh: Kurniadi
Di Provinsi Lampung, Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rachman seluas 22.249,31 Ha adalah salah satu kawasan vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial, dan ekologis, khususnya Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Bentang kawasan ini dikelilingi oleh sebanyak 36 desa sehingga kinerja pengelolaan ekosistem di dalam kawasan turut dipengaruhi oleh aktifitas penduduk desa‐desa tersebut atau sekitar 5.000 KK berketergantungan dengan kawasan hutan tersebut. Pada saat ini kondisi pengelolaan sumberdaya alam Tahura Wan Abdul Rachman syarat dengan berbagai persoalan yang terutama konflik tenurial (sengketa kepemilikan lahan, pengelolaan dan sengketa tapal batas), degradasi dan deforestasi. Hasil taksiran tutupan lahan peta quickbird Dinas Kehutanan Provinsi Lampung ‐ ICRAF, hingga tahun 2008 sebesar ± 61 % kawasan Tahura ini mengalami deforestasi menjadi lahan pertanian dan perkebunan rakyat. Salah satu kelompok masyarakat yang memiliki konflik tenurial di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman yakni kelompok Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) Lestari. Kelompok ini mengklaim diri mengelola wilayah seluas 962,95 ha dengan jumlah anggota sebanyak 384 kk. Kelompok SHK Lestari berusaha memperjuangkan prinsip‐prinsip kelestarian alam dan keadilan bagi masyarakat sekitar untuk mendapatkan manfaat secara langsung, dengan sistem kebun campuran atau agroforest. Tata guna lahan yang dibangun SHK Lestari di wilayah kelolanya menyebutkan bahwa hutan alam seluas ± 150 Ha sebagai habitat hidup flora dan satwa liar yang mesti dijaga. Saat ini, kebun campuran yang dikelola masyarakat sebagian telah mampu menjadi koridor (penghubung) bagi satwa liar dari satu habitat ke habitat yang lain. Program Membangun Model Pelaksanaan REDD Berbasis Masyarakat di Wilayah Kelola Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman dilakukan kelompok SHK Lestari ditujukan untuk meyakinkan pemerintah setempat soal kemampuan masyarakat mengelola kawasan konservasi, juga dalam upaya memperoleh pengakuan bahwa kegiatan yang dilakukan kelompok merupakan contoh praktik bagaimana REDD dilakukan oleh masyarakat dan terkait dengan isu‐
isu yang b e r k a i t a n dengan hak kepemil ikan k a r b o n b e r b a s i s masyarakat . K e g i a t a n
pengembangan model yang dilaksanakan oleh SHK Lestari mendapat bantuan dana hibah NORAD. Bagaimanakah anggota SHK Lestari dapat memperoleh
pemahaman yang memadai terkait dengan skema REDD?
Pertama, pemahaman anggota kelompok SHK Lestari tentang cadangan karbon dan perannya dalam mengurangi gas rumah kaca serta merta mengikuti dibenaknya begitu mengikuti dengan tekun aktifitas riset tentang carbon stock. Kegiatan riset partisipatoris tentang cadangan karbon di wilayah kelola SHK Lestari melibatkan anggotanya dalam jumlah besar dari perwakilan subkelompok untuk penentuan sampel dan mengambil data dari 60 plot penelitian yang telah ditentukan dibantu oleh pakar dari Forest Watch Indonesia (FWI) Bogor untuk penghitungan cadangan karbon.
“Saya baru tahu walaupun bentuknya pohon kecil ternyata punya peran dalam menyimpan cadangan karbon” (demikian penuturan Sdr. Pardi dari subkelompok Talang Pelita.)
Setelah memperoleh hasil perbandingan cadangan karbon dan biomassa dari berbagai tipe tutupan lahan juga diperoleh pemahaman yang baik bahwa tipe tutupan lahan agroforest yang selalu diremajakan, kopi atau kakao yang dipakas atau tanam baru, kurang mampu menghasilkan cadangan karbon yang besar dibandingkan belukar sekalipun. Proses diskusi yang terjadi selama proses penentuan plot, pengambilan data dan sampel, input data secara manual dan digital, serta pembahasan hasil perhitungan cadangan karbon memungkinkan terjadi proses pertukaran pengetahuan dan pengalaman seputar pemanasan global akibat efek gas rumah kaca dan peranan
konservasi melalui pengelolaan hutan lestari untuk meningkatkan cadangan karbon. Pengalaman riset ini menambah perbendaharaan riset baru dengan pengetahuan dan metodologi baru dimana sebelumnya kelompok SHK Lestari telah pula mengenal dan melakukan riset tentang keanekaragaman hayati seperti: melakukan inventarisasi tumbuhan liar, pengamatan satwa liar jenis mamalia, reptil dan burung. Pengetahuan dan pengalaman baru ini kemudian disebarluaskan kepada anggota SHK Lestari lainnya lewat diskusi komunitas setiap bulannya dan disiarkan melalui radio komunitas Gema Lestari 107,7 FM. Kedua, kegiatan pemetaan partisipatif untuk mendapatkan luas wilayah atau hamparan yang dikelola oleh kelompok SHK lestari. Kegiatan ini melibatkan anggota kelompok sebagai team pemetaan didukung oleh mitra kerja dari Perkumpulan KAWAN TANI dan satu orang tenaga ahli pemetaan digital. Hasil pemetaan diperoleh data terbaru soal luasan wilayah kelola SHK Lestari yakni seluas 962,95 Ha, dengan tataguna lahan sekitar 172,88 Ha untuk konservasi (areal perlindungan), berupa kebun agroforest seluas 767,45 Ha, berupa sungai‐sungai, jalan setapak dan bekas pemukiman yang belum ditanami seluas 23 Ha. Data lama menyebutkan bahwa luasan wilayah kelola SHK Lestari hanya sekitar 637,25 Ha (pemetaan partisipatif tahun 2002) karena adanya penambahan anggota 2 subkelompok yaitu Way Tabu dan Penibungan. Kegiatan pemetaan kedua kali ini tetap memberikan manfaat yang berharga bagi penguasaan bentang alam dan potensi wilayah kelola kelompok terutama bagi pemuda atau anggota yang baru terlibat sebagai team kerja komunitas.
Ketiga, Kegitan riset/ kajian nilai tambah ekologi, ekonomi dan komunitas (sosial) di wilayah kelola SHK Lestari yang juga melibatkan sekitar 8 orang team kajian komunitas dan 2 orang team riset dari Perkumpulan KAWAN TANI sebagai fasilitator dan penulis. Pada kajian ini, team riset komunitas banyak m e n d a p a t k a n pengetahuan seputar manfaat ekonomi yang selama ini diperoleh
dari mengelola kawasan Tahura Wan Abdul Rachman, memahami mata rantai perdagangan beserta nilai lebih yang masih dinikmati oleh pihak pedagang diluar anggota kelompok SHK Lestari, dan memahami peluang income lain seperti: penangkaran satwa liar, penanaman empon‐emponan atau tanaman herbal di bawah tegakan tanaman kopi, kakao atau melinjo untuk mengurangi pengunaan herbisida pada saat penyiangan rumput/ alang‐alang dan lain‐lain. Berdasarkan hasil kajian diperoleh data bahwa jika hanya mengandalkan produksi kebun campuran (agroforest) maka tingkat kesejahteraan petani di kelompok SHK Lestari sebanyak 61,54% tergolong berpenghasilan rendah atau miskin, 34,62% tergolong berpenghasilan cukup/hidup sederhana dan sisanya 3,85% berpenghasilan lebih atau mampu. Untuk menutupi kekurangan bagi penghidupan di kawasan hutan, mereka setidaknya memiliki 14 macam model penghasilan ekonomi dari mulai upahan tenaga kasar, guru, tukang kayu, warung, ojeg motor dan lain‐lain. Sementara itu, tanaman kopi dan kakao masih memonopoli sumber penghasilan keluarga di kelompok SHK Lestari ( > 250 juta/tahun), sementara dibawah jauh baru menyusul produk melinjo, durian, cengkeh dan jahe ( < 30 juta/tahun). Dari data terlihat bahwa anggota kelompok belum mampu menemukan komposisi tanaman bernilai ekonomi tinggi yang tepat di kebun campuran menuju masa depan agroforest tua, sebagaimana keberhasilan masyarakat adat pesisir Krui dengan repong damarnya. Pilihannya adalah terus menerus melakukan peremajaan tanaman kopi, kakao dan melinjo dan melakukan penjarangan kanopi atau batang tanaman pelindung (tajuk tinggi). Ini juga diperkuat dengan data mengenai persepsi anggota kelompok SHK Lestari terhadap kondisi kebun campuran 10 tahun mendatang yakni 58,97% masih menginginkan tetap kebun campuran muda. Sedangkan yang optimis bahwa masa depan kebun berasal dari repong atau kebun tua dengan penghasilan utama dari tajuk tinggi buah‐buahan dan getah sebanyak 35,90%. Sisanya, ragu‐ragu dan tidak tahu terhadap masa depan kebun campuran yakni masing‐masing sebesar 2,56% saja. Alasan utama keengganan petani untuk menyiapkan lahannya menuju agroforest tua (repong) karena belum ada kejelasan legal status tentang hak kelola masyarakat di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman. Kepastian tenurial ini juga selaras dengan strategi komunitas lokal (SHK Lestari) untuk mendapatkan kemungkinan mendapatkan imbal jasa lingkungan atau model skema REDD yang sedang dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia.
17
PROSES PEMBELAJARAN
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
18
PROSES PEMBELAJARAN
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
Bagaimanakah meyakinkan pemerintah setempat bahwa pengelolaan hamparan tersebut sesuai dengan substansi Skema REDD yang merupakan bagian dari agenda adaptasi dan mitigasi pengurangan dampak
perubahan iklim ? Upaya menyebarluaskan wacara skema REDD (Reduction of Emission from Deforestation and Degradation) sebagai in‐strumen insentif bagi pengurangan dampak perubahan iklim kepada stakeholder pemerhati kehutanan dan pe‐merintah Provinsi Lampung dilakukan dengan cara diskusi, seminar dan workshop. Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) yang dikolaborasikan dengan manfaat‐manfaat tambahan seperti konservasi keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan stok karbon melalui aforestasi (REDD+), menawarkan pendanaan potensial yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk konservasi hutan dan keanekaragaman hayati terkait. Dalam kegiatan Publikasi Hasil Kajian Ekologi, Ekonomi dan Komunitas serta Cadangan Karbon di Tahura Wan Abdul Rachman wilayah kelola SHK Lestari Juni 2011, yang dihadiri UPTD Tahura dan stakeholder kehutanan didiskusikan tentang masa depan sumber pembiayaan petani, selain hasil agroforest tua berupa buah‐buahan dan getah, yakni jasa lingkungan, perlindungan Daerah Aliran Sungai, berjalannya mekanisme penyerapan karbon (carbon sequestration) untuk mitigasi dampak perubahan iklim, terjaminnya carbon stock, fungsi rekreasi alam dan keanekaragaman hayati dari hutan. Skema jasa lingkungan, CDM atau REDD hanya akan menguntungkan komunitas di dalam dan sekitar kawasan hutan jika persoalan tenure diintegrasikan dalam proposal dan ditindaklanjuti dalam bentuk pengukuhan kawasan milik masyarakat. Terkait hal tersebut, pihak Dinas Kehutanan Provinsi Lampung merespon pendataan penggarap di kawasan Tahura dalam rangka mempersiapkan kemungkinan perubahan kebijakan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Kegiatan reli‐reli diskusi dengan pengambil kebijakan dan stakeholder terkait Tahura Wan Abdul Rachman dilakukan berkaitan erat dengan upaya mengaktifkan kembali advokasi kolaborasi managemen/ pengelolaan kawasan Tahura Wan Abdul Rachman dengan pelibatan kelompok masyarakat penggarap dan pemerhati masalah lingkungan dan hutan di Lampung. Advokasi ini sudah berjalan dari tahun 2004 dan mengalami stagnan hingga tahun 2007 karena asumsi menunggu kebijakan peraturan pemerintah tentang Hkm di kawasan konservasi, mandat dari PP No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Padahal hingga saat ini (tahun 2011) peraturan pemerintah yang
dimaksud belum juga dikeluarkan oleh pemerintah. Dari beberapa pertemuan stakeholder yang bergiat dan pemerhati di Tahura Wan Abdul Rachman, diperoleh ga‐gasan untuk mendorong pembuatan raperda “Kolaborasi Pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman” sebagai solusi kebijakan bagi pemerintah Provinsi Lampung sebelum PP dimaksud dikeluarkan resmi oleh pemerintah pusat. Naskah akademik dan rancangan perda dipersiapkan oleh tim yang berjumlah 11 orang terdiri dari unsur ornop, or‐ganisasi rakyat (kelompok tani), Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, dan akademisi Universitas Lampung. Raperda yang diusung menjadi perda inisiatif DPRD Lampung untuk memudahkan dalam pembahasan dan meringankan biaya pembuatan raperda tersebut, dan telah masuk dalam pro‐gram legislasi daerah (prolegda) Provinsi Lampung tahun 2011.
Langkahlangkah apa saja yang dilakukan oleh SHK Lestari untuk meyakinkan pemerintah setempat bahwa kelompok dan kegiatannya merupakan contoh praktik
bagaimana REDD dilakukan oleh masyarakat ? Agenda pertama yang dilakukan yaitu melanjutkan kebijakan SHK Lestari soal penurunan pemukiman secara bertahap di wilayah kelola Tahura Wan Abdul Rachman Desa Hurun Kec. Padangcermin. Perencanaan tersebut dimulai sejak tahun 2002 tercatat berjumlah 226 gubuk, tahun 2004 berangsur berkurang menjadi 149 gubuk, tahun 2006 berkurang menjadi 95 gubuk, tahun 2008 menjadi 90 gubuk, dan tahun 2010 berkurang menjadi 53 gubuk yang tersebar di dekat kebun agroforest tetapi bukan lagi berupa talang atau pemukiman. Saat ini, para anggota SHK Lestari yang bermukim di kampung luar kawasan sebagian besar sudah memiliki rumah beserta tanahnya dari hasil panen kebun agroforest, sebagian kecil lagi masih menumpang tinggal di tanah atau rumah milik orang lain.
19
PROSES PEMBELAJARAN
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
Agenda kedua yang dilakukan SHK Lestari yaitu penana‐man tajuk tinggi yang massif di wilayah kelola SHK Lestari. Program kerja SHK Lestari yang satu ini sempat melambat laju penanamannya, tidak massif gerakannya dan kurang perhatian menanam tajuk tinggi yang bernilai ekonomi karena kekurangan biaya untuk mengolah lahan, membeli bibit dan merawat menanam. Oleh karena itu, pengurus SHK Lestari berinisiatif menggunakan momentum pelak‐sanaan proyek Rehabilitasi Lahan Hutan (RHL) milik pro‐gram Dinas Kehutanan Provinsi Lampung untuk memper‐cepat laju penanaman tajuk tinggi di wilayah kelola SHK Lestari. Hal ini juga merupakan bentuk kompromi dan akomodatif di lapangan dengan otorita setempat yakni UPTD Tahura Wan Abdul Rachman meskipun ada sikap pro dan kontra dari anggota terhadap kebijakan pengurus SHK Lestari. Ini dapat dimaklumi karena sejak awal berdiri kelompok SHK Lestari dibangun dengan prinsip kemandi‐rian dan kerap kritis terhadap program Dinas Kehutanan. Kedekatan hubungan dengan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung terjalin juga karena menyadari rekam jejak kepala dinas yang baru yakni Ir. Warsito seorang tokoh re‐formis kehutanan sewaktu di kabupaten Lampung Barat. Pada bulan September 2010, Kelompok SHK Lestari mengelar acara Talkshow Radio Komunitas “Gema Lestari” membincang Peran Kelompok SHK Lestari Dalam Upaya Mengurangi Laju Degradasi Dan Deforestasi Taman Hutan Raya Wan Abdurrachman yang dikemas dalam bentuk sare‐sehan mengajak Ir. Warsito Kadishut Provinsi Lampung sebagai narasumber, bersama Samdhana Fellow Bp. Gamal Pasya dan Agus Guntoro dari SHK Lestari. Dalam berbagai kesempatan diskusi, Kadishut memberikan tantangan un‐tuk menjadikan Tahura Wan Abdul Rachman sebagai model percontohan untuk dasar argumentasi penyusunan pera‐turan pemerintah akses di kawasan konservasi, sebagai‐mana Lampung Barat menjadi pembelajaran penerapan Hkm di Indonesia. Agenda lain terkait dengan kesiapan skema REDD yang dikerjakan kelompok SHK Lestari adalah merealiasasi per‐baikan bangunan sekretariat menjadi bangunan kantor SHK Lestari dan bangunan sekolah komunitas. Dalam pe‐rencanaan, tahun ajaran 2011/2012 akan dimulai dengan
kursus kewirausahaan bagi remaja putus sekolah dan ta‐hun ajaran 2012/2013 akan resmi menjadi sekolah keju‐ruan tingkat SLTA. Tujuan pendirian sekolah alternatif ini adalah untuk memberikan pembekalan pengetahuan dan keterampilan pemuda dari keluarga SHK Lestari agar di kemudian hari berkurang tekanan terhadap akses peng‐gunaan lahan di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman. Para siswa kursus dan sekolah kejuruan yang dibayangkan akan mendapatkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler khusus seputar pengetahuan dan keterampilan melakukan kajian sosial dan ekonomi, inventarisasi tumbuhan liar, pengamatan satwa liar, mengelola radio komunitas dan lain‐lain sebagaimana layaknya kaderisasi yang dilakukan di kelompok SHK Lestari selama ini. Dengan begitu, pengurus SHK Lestari tidak perlu mengalami kendala regenerasi penggiat dan kepemimpinan di kelompok.
Rekomendasi Untuk memberikan gambaran kemajuan cadangan karbon yang dihasilkan di wilayah kelola kelompok SHK Lestari, perlu dilakukan kembali pengambilan data berdasarkan plot penelitian karbon permanen. Tidak ada salahnya untuk meniru kebiasaan baik lembaga riset mapan yang mempertahankan plot penelitian di kawasan hutan untuk diupdate secara berkala data cadangan karbon dan biomassanya atau tutupan lahan hutannya. Peningkatan grafik cadangan karbon di wilayah kelola dapat dijadikan argumentasi tutupan hutan semakin baik dan berguna bagi pengurangan dampak perubahan iklim. Demikian pula dengan sampel kajian sosial dan ekonomi, menarik jika dilakukan survey lagi pada orang yang sama dan secara berkala untuk dilihat kemajuan dan pembela‐jarannya. Kajian ini berguna sekali untuk memotret ke‐siapan masyarakat terhadap skema REDD atau imbal jasa lingkungan lainnya. Selain percepatan tutupan lahan hutan yang mengalami deforestasi akibat pembukaan lahan untuk perkebunan rakyat dan pertanian, hal yang juga perlu diperhatikan adalah pemulihan jalur satwa liar dengan membangun koridor antara habitat yang satu dengan yang lainnya. Na‐mun, hal itu membutuhkan kerjasama yang apik (kolaborasi) antara pemerintah dalam hal ini Dinas Kehu‐tanan Provinsi Lampung dengan petani penggarap kawa‐san Tahura Wan Abdul Rachman dalam hal menetapkan batas‐batas koridor bagi satwa liar, melakukan penanaman dan memelihara secara bersama. ***
20
SERI DISKUSI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) adalah topik pembicaraan terhangat dalam be‐berapa tahun terakhir ini khususnya setelah COP 13 di Bali tahun 2007 yang lalu. Tidak terkecuali di Indonesia fokus dan energi banyak tersalurkan terkait konteks REDD. Dalam strategic approach yang disusun pemerintah, tahun 2009 sampai dengan tahun 2012 adalah readiness phase, dimana Pemerintah menyusun strategi yang dimaksudkan untuk memberikan guidance tentang intervensi kebijakan yang diperlukan dalam upaya menangani penyebab mendasar deforestasi dan degradasi hutan, serta infrastruktur yang perlu disiapkan dalam implementasi REDD/REDD plus. Strategi readiness ini mencakup baik aspek metodologi maupun aspek kebijakan, serta kegiatan pendukung yaitu peningkatan kapasitas dan komunikasi para pihak. WG‐Tenure menempatkan isu atau topik REDD dalam kaitannya dengan kepastian land tenure, khususnya masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Seperti diketahui bersama bahwa kepastian land tenure dalam pengelolaan hutan di Indonesia masih menjadi masalah, sementara tampaknya hal tersebut menjadi prasyarat dalam implementasi REDD. Bagaimana dengan masyara‐kat yang nantinya akan terlibat dalam skema REDD, benefit apa saja yang akan diperoleh, atau bahkan dimungkinkan akan terkena dampak (dirugikan) sebagai konsekuensi implementasi skema REDD?
Mitra Samdhana Institute di 5 (lima) regio telah melaku‐kan berbagai kegiatan dalam rangka melihat kesiapan dan kewaspadaan masyarakat dalam merespon skema REDD. Berbagai temuan dan pembelajaran lapangan dirasakan penting untuk dirajut di tingkat nasional agar dapat memberikan kontribusi terhadap upaya penyu‐sunan kerangka kebijakan dan pelaksanaan yang sung‐guh‐sungguh memberikan manfaat bagi masyarakat dan keberlanjutan fungsi‐fungsi hutan dari skema REDD dan mitigasi perubahan iklim nasional. Seminar Nasional ini diadakan untuk merajut benang‐benang pembelajaran di tingkat lapangan dan menggali rekomendasi. Seminar yang didukung pendanaannya oleh Samdhana Institute ini diselenggarakan pada 5 Agustus 2010 bertempat di Grand Jaya Raya Hotel, Jl. Raya Puncak KM 17, Cipayung Bogor. Seminar dibuka dengan sambutan pengarahan dari Dirjen BPK yang dalam diwakili oleh Direktur Bina Rencana Pemanfaatan Hutan Produksi (BRPHP) Dr. Iman Santoso, MSc. yang juga menjabat se‐bagai Koordinator Pengurus WG‐Tenure. Saat ini Dr. Iman Santoso, MSc. Menjabat sebagai Dirjen BUK. Dalam sambutannya Dirjen BPK menyampaikan komit‐men politik Presiden RI untuk menurunkan emisi 26% bahkan sampai 40% dengan bantuan pihak lain harus ditangani dengan serius dan menyeluruh. Termasuk ba‐gaimana mengatasi masalah sosial dan hal‐hal yang berk‐
21
SERI DISKUSI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
enaan dengan hak‐hak masyarakat. Juga mengenai hal‐hal yang sebenarnya terjadi, respon, serta dampak yang akan diterima oleh masyarakat, karena sebenarnya masyarakat sudah terinformasikan mengenai REDD. Beberapa kegiatan sudah ada di lapangan tetapi belum bisa menyatukan dalam satu gerakan yang sama, se‐hingga diperlukan koordinasi yang intensif. Hal ini ter‐masuk inisiatif apa saja yang sudah dilakukan dalam merespon REDD+, termasuk legal konteks di masyarakat, sehingga terlihat apa saja yang perlu diperbaiki. Harapan‐nya seminar ini bisa menjadi forum yang menghasilkan rekomendasi terutama berdasarkan pengamatan dan pengalaman di lapangan. Seminar dipandu oleh moderator Iwan Nurdin (Konsorsium Pembaruan Agraria) dan menghadirkan 4 (empat) orang narasumber masing‐masing Ibu Niken Sakuntaladewi (Puslit Sosek Kebijakan Kementerian Ke‐hutanan), Bapak Farid (Anggota Taskforce LULUCF, DNPI), Bapak Adi Achmad Pribadi (The Nature Conservancy/TNC), Bapak Michael Riwu (Forum DAS NTT) yang mewakili mitra Samdhana. Beberapa rekomendasi Seminar adalah sebagai berikut: 1. Diperlukan sosialisasi dan penyampaian informasi
yang tepat dan mudah dimengerti oleh masyarakat terkait dengan REDD.
2. Insentif yang akan didapat dari implementasi REDD seyogyanya digunakan antara lain untuk menyelesai‐
kan tunggakan‐tunggakan masalah dalam pengelola‐an hutan antara lain masalah land tenure.
3. Masyarakat menuntut kepastian hak atas tanah dan sumberdaya alam. Masyarakat telah melakukan banyak kegiatan yang mencegah degradasi dan deforestasi bukan karena REDD dan skema pem‐biayaan lainnya namun karena hutan adalah ruang hidup, sumber penghidupan, dan ruang budaya bagi mereka.
4. Usulan‐usalan (yang disampaikan mitra Samdhana dari hasil‐hasil kerja dengan masyarakat) adalah sebagai berikut: ‐. Kepastian tata ruang ‐. Kepastian Hak Masyarakat ‐. Menjamin agar pengetahuan, pengalaman, siasat
masyarakat (kearifan local) dalam mengurus tanah dan kekayaan alam yang masih efektif tidak dinegasikan dalam implementasi REDD
‐. Pembenahan governansi (tata pemerintahan) di berbagai aspek dan tingkatan terkait dengan implementasi REDD
‐. Safeguarding masyarakat dan lingkungan ==> kewaspadaan dini ==> rincian pilihan pendeka‐tan dan syarat (FPIC, Pemetaan & Perencanaan Partisipatif, pembinaan dan pemberdayaan dll)
5. Komitmen pemerintah dalam upaya Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim yang salah satunya me‐lalui LOI harus bisa menjawab kebutuhan masyara‐kat akan kepastian hak atas tanah dan Kekayaan Alam.
***
22
SEPUTAR KASUS TENURE
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
Agroforestry Kemenyan dalam Hutan Tanaman Industri: Masyarakat Pandumaan-Sipituhutan dan PT TPL
Ditulis oleh: Martua Sirait, Emila (WG-Tenure) , Syaifullah ZA (Kawan Tani) dengan kontribusi Didin Suryadin (HuMA), Harizajudin (JKPP), Andiko (HuMA-Desk Konflik DKN), dan Asep Yunan F (HuMA)*
Tumpang tindih alokasi lahan dalam pengelolaan hutan di Indonesia sudah menjadi issue dan topik pembicaraan yang seolah tidak berujung. Praktik pengusahaan hutan oleh perusahaan (IUPHHK‐HA/HTI) yang terganggu aktivi‐tas masyarakat di dalamnya atau sebaliknya keberadaan suatu ijin pengusahaan hutan pada wilayah kelola masyarakat mewarnai hampir seluruh praktik pengusa‐haan hutan skala besar di Indonesia. Perusahaan ber‐pegang pada ijin konsesi yang dikantonginya sementara masyarakat berbekal pada fakta kesejarahan mereka atas wilayah tersebut.
Diawali oleh aktivitas perusahaan PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL) melakukan penebangan di areal RKT 2009 yang diyakini masyarakat masuk dalam wilayah kelola mereka dan masih pada kesaksian masyarakat pula termasuk me‐nebang pohon kemenyan. Gambar 1. Memperlihatkan po‐hon‐pohon hasil tebangan yang dilakukan oleh Perusa‐haan. Situasi ini telah berkembang pada konflik terbuka antara masyarakat dan pihak perusahaan. Kasus ini pada saat tulisan ini disiapkan, sedang difasilitasi penyele‐saiannya oleh Desk Resolusi Conflict Dewan Kehutanan Nasional (DKN). WG‐Tenure dengan dukungan dana dari Interchurch Organization for Development Cooperation (ICCO) melakukan land tenure assessment untuk mendu‐kung Desk Resolusi Konflik DKN mengurai akar masalah
konflik yang terjadi, se‐hingga dapat dipergunakan untuk menyusun rekomen‐dasi penyelesaian konflik tersebut.
Bagaimana konflik ini dapat dimediasi untuk memberi‐kan win‐win solusion bagi para pihak? Bagaimana kon‐flik ini dilihat dari kaca mata mitigasi perubahan iklim? Bagaimana agar hal‐hal seperti ini tidak lagi terjadi di masa depan? Tulisan ini mencoba memaparkan jawa‐ban‐jawaban atas perta‐
nyaan‐pertanyaan tersebut sehingga proses pembela‐jarannya dapat menjadi pegangan bagi kasus kasus serupa di tempat lain.
PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL) adalah perusahaan IUPHHK‐HT yang mengantongi ijin SK MENHUT No: SK.493/Kpts‐II/1992 dengan periode ijin mulai tanggal 1 Juni 1992 hingga 31 Mei 2035 (43 tahun). Luas areal pen‐gusahaan 269.060 ha, di mana areal kerjanya tesebar di 11 Kabupaten, yaitu (i) Simalungun, (ii) Asahan, (iii) Toba Samosir, (iv) Samosir, (v) Dairi, (vi) Tapanuli Utara, (vii) Tapanuli Selatan, (viii) Tapanuli Tengah, (ix) Pakpak Bharat, (x) Padang Lawas Utara, dan (xi) Humbang Hasun‐dutan. SK ini kemudian di‐addendum dengan SK.351/Menhut‐II/2004 sehubungan adanya perubahan nama pada tanggal 28 September 2004. Seperti praktik pengusahaan hutan pada umumnya, areal kerja PT. TPL pun berbenturan dengan wilayah kelola masyarakat, ter‐masuk di dalamnya “tombak haminjon” (hutan kemenyan).
“Tombak Haminjon” di desa Sipituhuta dan Pandumaan, dua desa yang wilayah kelolanya masuk dalam areal kerja PT. TPL. Gambar 2. menunjukkan tegakan kemenyan dalam areal kerja PT. TPL. Mulai dari nenek moyang masyarakat Pandumaan dan Sipituhuta selain berladang dan bersawah, mereka juga mencari hasil hutan, salah satu di antaranya adalah haminjon (kemenyan). Leluhur mereka memberikan nama tombak (wanatani) tersebut, antara lain: 1. Tombak Haminjon Dolog Ginjang (kebun wanatani
kemenyan yang berada di areal Dolok Ginjang). Disebut Dolok Ginjang karena merupakan puncak tertinggi dari semua tombak yang ada di sana.
2. Tombak Haminjon Lombang Na Bagas. Disebut Lombang Na Bagas, karena dikelilingi lembah/ jurang yang dalam.
3. Tombak Haminjon Sipitu Rura. Disebut Sipitu Rura karena kalau menuju tombak ini dari desa Pandumaan, harus melalui tujuh rura (sungai).
Ketiga areal tombak di atas seluas sekitar 4100 ha dikelola secara adat oleh masyarakat adat desa Pandumaan dan Sipituhuta sejak masa leluhur mereka hingga sekarang. Gambar 1. Pohon hasil tebangan
23
SEPUTAR KASUS TENURE
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
Wilayah tombak m a s y a r a k a t d e s a Pandumaan dan S i p i t u h u t a sebelah barat b e r b a t a s a n dengan tombak m i l i k m a s y a r a k a t d e s a S im a t a n i a r i ; sebelah timur b e r b a t a s a n
dengan desa Pandumaan; sebelah selatan berbatasan dengan tombak milik masyarakat adat Aek Nauli; serta sebelah utara berbatasan dengan tombak milik masyarakat desa Pancur Batu.
Penguasaan wilayah kelola masyarakat tidak ditemukan benturan secara horisontal antar masyarakat. Batas‐batas wilayah kelola dipahami oleh masing‐masing desa. Penentuan batas‐batas kepemilikan tombak disepakati berdasarkan tumbuhnya jenis tanaman tertentu. Sebagai contoh batas tombak desa pandumaan sipituhutan dengan tombak desa Simataniari, sejak dahulu sudah disepakati: Hatubuan hotang lamosik ma tombak ni Toba (Pandumaan dan Sipituhuta, kecamatan Pollung), artinya hutan yang ditumbuhi sejenis rotan lamosik sebagai pertanda bahwa hutan tersebut milik Pandumaan dan Sipituhuta.
Sedangkan Hatubuan hotang pulogos tombak ni Simataniari, kecamatan Parlilitan, artinya hutan yang ditumbuhi sejenis rotan pulogos tandanya hutan tersebut milik desa Simataniari, kecamatan Parlilitan. Kesepakatan tersebut masih berlaku sampai dengan saat ini.
Pola wana tani kemenyan atau dikenal dengan Tombak Haminjon sudah dikenal sejak abad ke XVI yang ditanami di pekarangan dan ladang, serta terus berkembang di tanam petani di wilayah kampunya (Foresta dkk 2000). Pola ini mencoba membudidayakan Kemenyan (Sytrax sp.) dikenal dengan nama perdagangan Benzoin ditanam dengan jenis jenis pohon lainnya, tidak berbeda jauh dengan pola wanatani Repong Damar (Shorea sp.) atau dikenal dengan nama perdagangan damar mata kucing yang mendominasi dominasi repong damar di Lampung Barat, tumbuh berkelompok hingga mencapai kurang lebih 50.000 hektar didalam dan diluar kawasan hutan.
Pola wanatani ini tentunya merupakan suatu sumbangan rakyat atas agenda mitigasi perubahan iklim yang telah dilakukan jauh sebelum agenda REDD dipikiran oleh UNFCC, tetapi juga sebagai suatu usaha ekonomi rumah tangga yang sudah dijalankan secara turun temurun hingga sekarang. Sungguh mengherankan pola‐pola ini tidak banyak didalami oleh para ahli kehutanan Indonesa, justru banyak menjadi inspirasi bagi peneliti luar negeri. Pola pola ini terancam keberadaannya dengan perubahan penggunaan bagi usaha kehutanan dan perkebunan serta pertambangan skala besar.
Gambar 2. Agroforestry Kemenyan di areal PT. TPL
Gambar 3. (Kiri) Photo udara yang menunjukkan canopy kemenyan Gambar 4. (Kanan) Peta Tumpang tindih wilayah kelola masyarakat (peta partisipatif), Peta Penunjukan Kawasan Hutan SK 44 Tahun 2005, Peta
BATB tahun 1940, Peta Areal HPHTI PT. TPL (belum ditata batas), peta tata ruang HPHTI (kemenyan insitu), dan Peta Blok RKT PT. TPL tahun 2011. Sumber: hasil overlay dari yang berhasil diolah Desk Konflik yang bersumber dari para pihak
24
SEPUTAR KASUS TENURE
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
Assessment dilakukan untuk memperjelas dasar‐dasar klaim dari masing‐masing pihak. Masing‐masing asesor mewakili kamar/pihak yaitu kamar Pemerintah (Ditjen BUK), Kamar Bisnis (Anggota WG‐Tenure dari APHI), dan kamar Masyarakat dan Ornop (diwakili oleh Sdr. Syaifullah ZA) melakukan assesment pada wilayah “kamar”nya masing masing. Metode RATA (Rapid Land Tenure Assessment) dipakai sebagai pendekatan assessment. Berbagai peta dari berbagi sumber dicoba untuk dioverlay untuk melihat tumpang tindih penguasaan lahan pada kasus tersebut. Dengan kerjasama masyarakat Desa Pandumaan Sipituhuta, Ornop pendamping (KSPPM, Pengda GKPI dll) , PT TPL, Kementrian Kehutanan, Pemda Kabupaten Hum‐bang Hasundutan serta assessor dari berbagai pihak serta Desk Penanganan Konflik DKN serta lembaga pendu‐kungnya yang turut mengolah data (HuMa, JKPP, Dirjen Planologi Kehutanan), dapatlah di tunjukkan dengan jelas objek yang dipersengketakan serta luasannya, demikian pula dari sana dapat diperdalam siapa subjek yang bersengketa.
Dari Gambar 4 di atas terlihat irisan seluas sekitar 986,399 hektar wilayah tombak haminjon yang masuk dalam RKT HPHTI PT. TPL tahun 2011. Sementara itu Gambaran citra satelit di atas (Gambar 3) menunjukkan kerapatan tajuk kebun kemenyan yang perlu dipertahankan ke‐beradaannnya bagi jaminan ekonomi rakyat dan juga guna mendukung agenda mitigasi perubahan iklim.
Sebagian dari pada itu rupanya telah ditatabas pada jaman pendudukan Belanda di tahun 1940 (garis warna merah dalam Gambar 4) dikenal sebagai register 41 Hoetagaleong akan tetapi pada tahun 1980an dengan adanya TGHK ter‐jadi perluasan penunjukkan kawasan hutan melalui SK 44/2005 (ditunjukkan dalam Gambar 4. Warna Kuning untuk Hutan Produksi dan warna hijau untuk hutan lindung) serta pemberian ijin PT TPL diluar wilayah yang telah ditata batas. Dari sana didapatkanlah beberapa irisan irisan yang membuka opsi opsi penyelesaian konflik yang berbeda di sana. Sebagaimana kita ketahui win win solu‐tion tidaklah mungkin memberikan kepuasan kepada se‐mua pihak yang bersengketa, tetapi memberikan ke‐sepatan kepada para pihak untuk saling berbagi dan men‐cari pola pola penyelesaian yang memungkinkan dengan data data yang lebih kuat dan dikumpulkan para pihak.
Dari hasil assessment dan pengolahan peta‐peta, SC Desk Konflik DKN melakukan pertemuan pertemuannya diskusi yang difasilitasi oleh Kementerian Kehutanan. Dengan mempertimbangkan data‐data yang ada, pada area konflik yang sudah ditata batas alternative solusi konflik yang di‐coba untuk ditawarkan oleh SC Desk Konflik DKN kepada
para pihak adalah, kemitraan plus pemberian ijin usaha HKm atau Hutan Desa yang sudah tersedia aturan pelak‐sanaannya; mempertahankan hak‐hak adat sesuai dengan hak hak konstitusionalnya, yang saat ini belum ada aturan pelaksanaannya serta mengusahakan kebijakan transisi dengan menggunakan kebijakan yang ada terlebih dahulu seperti HKM dan Hutan Desa, sambil terus memperjuang‐kan Hak Hak Adat secara Konstitusional yang belum diatur dalam kebijakan pelaksanaannya. Beberapa proses mendiskusikannya dengan para pihak sebagai proses mediasi sedang berlangsung dan diharapkan akan didapat‐kan opsi ospi yang dapat diterima para pihak.
Sedangkan untuk wilayah yang belum ditatabatas masih terbuka peluang opsi‐opsi lain, dan juga diperlukan ketegasan pada RKT yang masuk rencana tahun 2011 ini untuk tidak dijalankan di wilayah konflik ini, karena kon‐flik baru berkaitan dengan RKT tahun 2011 dapat menye‐babkan konflik merebak kembali dan menghancurkan proses yang telah dijalankan selama ini.
Nampak jelas dari perjalanan fasilitasi proses penyele‐saian konflik merupakan jalan panjang terutama terhadap konflik konflik terbuka yang menyebabkan perasaan tidak percaya yang dalam dari para pihak yang berakibat pan‐jang. Pengembangan opsi opsi penyelesaianpun tidak da‐pat dilakukan langsung, diperlukan assesment para pihak untuk menyampaikan data data dan argumentasinya masing masing. Pilihan Opsi opsi ini kembali harus didiskuaiksn dengan para pihak dengan menjelaskan segala konsekwensi hukumnya dan diharapkan didapkan opsi opsi yang dapat diterima para pihak. Sementara proses untuk memicu terjadinya konflik sangatlah mudah terjadi, dengan terbitnya ijin ijin baru, RKT baru, sikap‐sikap represif dll. Untuk fasilitasi proses penyelesaian kon‐flik yang tuntas nampaknya diperlukan langkah‐langkah yang berani dan konsisten. Penerbitan ijin RKT pada lokasi yang sedang berkonflik perlu mendapatkan perhatian serius oleh Pemerintah maupuan oleh Perusahan yang diperbolehkan menerbitkan RKTnya sendiri (Self approval RKT). Proses tata batas juga harus menjadi agenda penting yang harus segera diselesaikan sehingga dapat memperje‐las status kawasan hutan yang dapat meminimalkan kon‐flik‐konflik. Demikian pula perlunya kebijakan khusus un‐tuk mengakomodir pola pola wanatani asli oleh masyara‐kat yang merupakan model model pengelolaan hutan asli Indonesia yang terbukti berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat serta berkontribusi menjaga Carbon Stock dan menyerap emisi sebagai salah satu langkah mitigasi perubahan Iklim. ***
25
RESENSI BUKU
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dalam REDD+: Prinsip dan Pendekatan untuk Kebijakan dan Proyek Pembangunan
Oleh: Tim Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Pada 1 Maret 2011 Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) dan Center for People and Forests (RECOFTC) meluncurkan Panduan tentang "Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dalam REDD+: Prinsip dan Pendekatan untuk Kebijakan dan Proyek Pembangunan" pada konferensi regional GIZ di Bang‐kok.
Publikasi tersebut disusun bersama oleh GIZ Sektor Jaringan Sumber Daya Alam dan Pembangunan Pede‐saan ‐ Asia dan RECOFTC Program Pengembangan Kapasitas Akar Rumput untuk Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) di Wilayah Asia‐Pasifik dengan keterlibatan konsorsium LSM dan kelompok masyarakat madani yang menangani proyek REDD+ atau hak masyarakat adat di wilayah tersebut.
Sederhananya, "Free, Prior and Informed Consent" (FPIC) adalah hak masyarakat adat untuk mengatakan "ya, dan bagaimana" atau "tidak" untuk pembangunan yang mempengaruhi sumber daya dan wilayah mereka. Hal ini berbasis pada hukum internasional dan hukum na‐sional di beberapa negara.
Status hukumnya telah diperkuat melalui adopsi dari Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) pada tahun 2008. Konsep FPIC berasal dari hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri, kemudian semakin diperluas ke semua masyarakat lokal dengan hubungan historis atau adat atas tanah dan sumber daya yang mereka gunakan.
Di Indonesia, konsep ini sebenarnya bukan merupakan konsep yang baru karena berbagai regulasi sudah mengadopsi konsep penghormatan terhadap hak‐hak masyarakat (adat dan lokal). Dalam buku ini, FPIC dibahas sebagai salah satu dari beberapa perlindungan untuk REDD+. Meski demikian FPIC ini sebenarnya bisa diterapkan untuk perlindungan terhadap masyarakat dalam pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak seperti pembangunan di sektor perkebunan, pertambangan, infrastruktur dan lain‐lain.
Buku panduan ini menjelaskan apa yang diperlukan untuk menghormati h a k a t a s persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (Free, Prior and Informed Consent‐FPIC) dalam proyek dan program REDD+ . Karena pengalaman penerapan FPIC dalam REDD+ di Asia Pasifik masih terbatas, beberapa contoh penerapan FPIC diambilkan dari kasus penerapan FPIC dalam pembangunan di sektor lain.
Bersamaan dengan acara peluncuran buku, praktisi GIZ, staf anggota RECOFTC dan perwakilan program UN‐REDD global di Bangkok mendiskusikan tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan suatu pendekatan ber‐basis hak dengan pertanyaan berpusat di sekitar pada tingkat apa proses untuk menghormati hak untuk FPIC layak dan bagaimana mereka berhubungan dengan ker‐angka hukum nasional.
Pada saat ini banyak penolakan dari kalangan LSM dan masyarakat adat terhadap REDD+, karena adanya kekuatiran yang sangat besar bahwa kepentingan masyarakat adat akan terpinggirkan oleh adanya implementasi program REDD+. Di sisi lain, isu REDD+ terus bergulir di level nasional dan internasional. Konsep FPIC ini diharapkan nantinya bisa menjadi salah satu pendekatan win‐win solution dimana program REDD+ sebagai upaya perbaikan kondisi lingkungan dapat diimplementasikan dengan baik, dan di sisi lain masyarakat adat (dan lokal) dan pemerintah juga dapat memperoleh manfaat sosial, ekonomis dan ekologis dari program tersebut. ***
26
RESENSI BUKU
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
Pengalaman Berharga REDD Preparedness dari Wilayah Bukan Target REDD 1
Oleh Martua T. Sirait 2
Biasanya pengalaman best practices lahir dari wilayah di‐mana investasi proyek skala besar dan dukungan kegiatan lapangan banyak dilakukan. Akan tetapi kebijakan dan pengalaman dalam bidang kehutanan berbeda. Proses pen‐galaman dan kebijakan perhutanan sosial justru lahir di‐mana kondisi hutan sudah tidak terlalu prima, pengor‐ganisasian masyarakat sudah cukup kaya dengan penga‐laman jatuh‐bangun, dan pengambil kebijakan lokal men‐dukung proses pemulihan Lingkungan dan tidak lagi ter‐goda untuk memprioritaskan usaha usaha skala besar. Pengalaman serupa secara global terjadi di India3 dan Filipina4, dan bersamaan terjadi juga di Indonesia, salah satunya di Propinsi Lampung khususnya Kabupaten Lam‐pung Barat, dimana pengelolaan sudah dijalankan oleh masyarakat di dalam dan diluar kawasan hutan sejak turun temurun, maupun dikelola masyarakat dengan inisiatif baru. Saat ini sudah hampir 30.000 hektar kawasan hutan dikelola dalam bentuk perhutanan sosial, oleh berbagai kelompok tani, proses ini akan terus berkembang sejalan dengan pencadangan 85.000 hektar kawasan hutan di Pro‐pinsi Lampung untuk Hutan Kemasyarakatan. Buku ini bercerita tentang pendampingan Watala ditahun 2009‐2010 terhadap masyarakat Pekon Bakhu‐Bedudu‐Sukarami, kecamatan Belalu dan Pekon Sukaraja, kecama‐tan Batu Brak, yang telah mengelola hutan adat yang berada diluar kawasan hutan (yang dikenal dengan sebut‐an hutan/tanah marga) sejak tahun 1928. Melalui proses diskusi secara mendalam ditataran masyarakat pekon serta pengurus adat serta dilanjutkan dengan diskusi dengan pemerintah daerah Kabupaten Lampung Barat, dipelajarilah akan peluang dan ancaman REDD. Hasil kerja pendampingan dan diskusi ini ditulis menjadi buku dengan judul Ketika Adat Mengelola Hutan; REDD menjadi Suatu Pilihan. Buku ini menjadi suatu pengalaman ber‐harga dalam melihat kesiapan (prepardness) masyarakat dan pemerintah daerah akan peluang dan ancaman REDD5. Pengalaman ini disajikan dalam tulisan bersama Dr. Christine Wulandari6 staff pengajar Fakultas Pertanian, Jurusan Kehutanan pada Universitas Lampung bersama Ir. Nurka Cahyaningsih, M.A7 anggota Watala yang sudah malang‐melintang mendampingi dan menganalisa ke‐beradaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hu‐tannya. Tulisan yang dalam dan luas, ini juga didukung oleh beberapa kontribusi pemikiran dan tulisan yang sangat berharga dari staff Watala lainnya antara lain; Eko Sulistiantoro, Ismaison, Galih dan Dedi Effsetiawan. Dari pengalaman mendiskusikan secara mendalam pe‐luang dan ancaman REDD, timbul pertanyaan pembaca, dapatkah kebijakan nasional REDD menjadi dasar pengembangan REDD di Hutan/Tanah Marga di
Lampung maupun di tempat lain? Nampaknya hal ini dijawab secara gamblang oleh penulis (halaman 32‐48), dengan mengedepankan perlunya mendudukan REDD dengan segala insentifnya, sebagai nilai tambah bagi masyarakat, dan bukan sebagai penghalang atas akses dan kontrol masyarakat atas sum‐ber daya alamnya. Pesan ini sangat jelas disampaikan oleh masyarakat dari beberapa Pekon, akan tetapi pengakuan subjek (masyarakat adatnya) dan objek (tanah marganya) demikian juga proses Free, Prior and Informed Consent un‐tuk dapat lolos dari kriteria dan standar pengelolaan REDD (misal CCBA) belum terlihat. Kebijakan lokal belum menga‐komodir 3 hal penting ini dalam kebijakan daerah; • belum adanya pengakuan masyarakat adat dalam ben‐
tuk Peraturan Daerah, akan tetapi masih dalam bentuk Surat Keputusan Gubernur,
• pengakuan hutan/tanah masih terkendala, dimana Kantor Pertanahan Kabupaten masih mencari cari pa‐yung hukum yang tepat untuk memberikan kepastian penguasaan atas tanah (diluar kawasan hutan) untuk tanah yang berbentuk hutan/wanatani yang dikuasai secara bersama oleh anggota masyarakatnya,
• proses FPIC masih belum diterjemahkan dalam kebi‐jakan pusat maupun daerah, dan masih sangat terba‐tas pada proses sosialisasi.
Nampaknya secercah harapan pembenahan kelembagaan dan kebijakan ada di sana, tetapi diperlukan kesabaran dan kejelian yang luar biasa dalam mengikuti perkembangan lokal, nasional maupun global atas REDD ini. Demikian pula harus dilakukan pendampingan terhadap masyarakat supaya tetap melihat REDD sebagai suatu model pemba‐ngunan berbasis lingkungan yang berakar pada apa yang telah dilakukan selama ini (endodevelopment), bukan se‐suatu yang datang dari luar (exodevelopment). Semoga model model pengelolaan sumber daya hutan ini dapat menjadi jembatan bagi terbentuknya pembangunan yang rendah emisi karbon di propinsi Lampung.
Buku ini patut dibaca oleh mereka yang aktif mendampingi masyarakat dilapangan dalam berhadapan dengan para pihak yang menawarkan program REDD, juga dibaca para
Bersambung ke halaman 21
21
SERI DISKUSI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 9 - Juli 2011
pihak yang terlibat dalam reformulasi kebijakan bidang kehutanan maupun pertanahan ditingkat lokal maupun nasional, juga para pihak yang peduli dengan pemban‐gunan pedesaan dan lingkungan.
Buku ini tersedia dalam bentuk cetakan, dapat diperoleh di sekretariat Watala, Jln Teuku Umar no 54/64 Bandar Lam‐pung Tel. 0721‐705068, Fax. 0721‐771538 atau email ke [email protected] atau diunduh langsung melalui website Watala www.watala.org ***
Footnote 1 Dicuplik dari Buku Wulandari & Cahyaningsih 2010. Ketika Adat Mengelola Hutan; REDD menjadi Suatu Pilihan. Watala‐Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat‐The Samdhana Institute, Bandar Lampung
2 Peneliti ICRAF‐SEA, Samdhana Institute Fellow, Staf Pengajar FISIPOL‐UKI Jakarta, email [email protected]
3 Hobley Mary, 2007. Where in the world is there pro‐poor forest policy and tenure reform? Right Resource Initiatives, Washington DC.
4 Moniaga &Sirait, 2001 Community Forestry Pengalaman dari Filipina. Laporan FF, Jakarta
5 Secara khusus yang dimaksud dengan REDD disini adalah REDD ++ yang mencakup semua jenis bentang alam, termasuk hutan, yang dapat men‐yerap dan menyimpan Carbon.
6 Dr Christine Wulandari dikenal dengan panggilan Ibu Christine aktif dalam berbagai lembaga yang bergerak dibidang pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat seperti FKKM dll
7 Ir. Nurka Cahyaningsih, M.A yang dikenal juga dengan panggilan Mba Yaya, sejak tahun 2000 hingga tahun 2009 bergabung sebagai peneliti ICRAF‐SEA yang mendampingi berbagai kelompok tani dan gabungan kelompok tani di Kabupaten Lampung Barat, untuk berkerjasama den‐gan petani dan bernegosiasi dengan pemerintah daerah memfasilitasi kelompok tani mendapatkan ijin HKm.
Sambungan dari halaman 27