Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010 ABSTRAK KEMITRAAN DUKUN BAYI … · kemitraan dukun bayi dengan bidan...
Transcript of Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010 ABSTRAK KEMITRAAN DUKUN BAYI … · kemitraan dukun bayi dengan bidan...
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
ABSTRAK
KEMITRAAN DUKUN BAYI DENGAN BIDAN DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KALIPARE KECAMATAN KALIPARE KABUPATEN MALANG
Penelitian Diskriptif Di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare
Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang
(1)Sisilia Ira Novita, (2)Eli Inayanti
(1)Mahasiswa STIKES Insan Unggul Surabaya (2)Dosen STIKES Insan Se Agung Bangkalan
Kemitraan dukun dengan bidan adalah bentuk kerjasama yang saling menguntungkan antara bidan dengan dukun bayi dalam pertolongan persalinan dengan tetap melibatkan dukun bayi pada peran yang terbatas. Masalah
dalam penelitian ini adalah masih tingginya profesi sebagai dukun bayi sehingga tingkat pertolongan persalinan dukun
masih tinggi dan tingkat kematian bayi baru lahir dan kesakitan ibu nifas masih ada. Hal ini didukung dengan
rendahnya tingkat pendidikan dukun bayi, adanya keinginan mencari pekerjaan tambahan, tingkat pendapatan yang
rendah, sehingga jarak yang dekat dengan rumah bidan tidak berpengaruh tetapi jarak yang jauh dengan rumah ibu bersalin tidak membuat dukun bayi patah semangat untuk melakukan pertolongan persalinan, oleh sebab itu peneliti
ingin mengetahui bagaimana kemitraan dukun bayi dengan bidan di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan
Kalipare Kabupaten Malang.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kemitraan dukun bayi dengan bidan di Wilayah kerja
Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif dengan pendekatan cross sectional. Populasinya adalah semua dukun bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan
Kalipare Kabupaten Malang. Sampel diambil secara total sample. Variabel penelitian meliputi : pendidikan, pekerjaan,
pendapatan, jarak rumah dukun bayi dengan bidan dan ibu bersalin. Responden yang digunakan sebanyak 15 orang.
Hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas (100%) responden mempunyai pendidikan rendah, sebagian besar (73,3%) bekerja sebagai tani, mayoritas (100%) berpendapatan rendah, jarak rumah dukun bayi dengan bidan sebagian
besar (66,7%) bejarak cukup dekat, jarak rumah dukun bayi dengan ibu bersalin setengahnya (46,7%) berjarak jauh dan
kemitraan dukun bayi dengan bidan hampir seluruhnya (80%) tidak bermitra.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan jarak rumah dukun bayi
dapat mempengaruhi dukun bayi dalam bermitra dengan bidan. Saran peneliti adalah pemberian pelatihan atau penyuluhan tentang bahaya dan resiko persalinan pada dukun bayi, dan pendekatan bidan dengan dukun bayi yang
lebih kooperatif dengan kerjasama yang saling menguntungkan tanpa merugikan pihak dukun bayi di Wilayah Kerja
Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang masih perlu dan ditingkatkan lagi.
Kata kunci :Kemitraan, Dukun bayi, dan Bidan.
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
PENDAHULUAN
Salah satu prioritas utama dalam pembangunan
sektor kesehatan di Indonesia adalah menurunkan
angka kesakitan dan kematian ibu. Safe Motherhood di
Indonesia menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya kematian ibu antara lain
kualitas pelayanan antenatal masih rendah dan dukun
bayi belum sepenuhnya mampu melaksanakan deteksi
resiko tinggi pada ibu(2). Menurut Manuaba(6), bahwa
Departemen Kesehatan Republik Indonesia memperkirakan bahwa pertolongan persalinan oleh
dukun masih dominan sekitar 80%. Demikian juga
diseluruh dunia pertolongan persalinan oleh dukun
masih tinggi sekitar 70% sampai 80%.
Upaya meminimalisasi dan menurunkan tingkat kesakitan dan kematian ibu hamil, bayi dan balita, maka
semua persalinan yang ditangani oleh dukun bayi, harus
ditangani oleh tenaga kesehatan yang terlatih, tidak
termasuk hal-hal yang berhubungan dengan adat dan
kebiasaan masyarakat setempat, dengan menjalin hubungan kemitraan antara dukun dengan bidan(4).
Salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah
yaitu membangun kemitraan yang efektif melalui
kerjasama lintas program, lintas sektor dan mitra
lainnya(8). Dari keseluruhan persalinan di Jawa Timur
diketahui hanya 117.865 (30,16%) yang ditolong oleh
tenaga kesehatan dan 253.128 (64,78%) ditolong oleh
dukun terlatih dan selebihnya oleh dukun yang tidak
terlatih(9). Dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di dapatkan ± 15 dukun bayi di 2 Kelurahan
Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan
Kalipare Kabupaten Malang. Dari ± 15 dukun bayi
yang ada hanya 1 dukun bayi yang sudah bermitra
secara penuh dan tidak melakukan pertolongan persalinan, sedangkan yang lainnya masih tetap
melakukan pertolongan persalinan meskipun sebagian
dari dukun bayi tersebut ± 3 dukun bayi sudah
mendapatkan pembinaan.
Satu dari dua kelurahan di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten
Malang dalam 3 bulan terakhir didapatkan masalah
akibat pertolongan persalinan dukun bayi yang sering
ditemukan sewaktu kontrol ke petugas kesehatan yaitu
adanya luka robekan perinium yang tidak mendapatkan panjahitan, keadaan umum ibu yang lemas, pusing
karena perdarahan dan didapatkan 1 kematian bayi baru
lahir karena kesalahan dalam pemotongan talipusat.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka kemitraan dukun
dengan petugas kesehatan terutama bidan sangat diperlukan.
Untuk mendukung program Pemerintah dalam
menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi
tersebut maka dukun bayi dapat bersama-sama dengan
tenaga kesehatan melaksanakan upaya keselamatan ibu dengan melakukan kerjasama yaitu bermitra dalam
setiap persalinan dengan melakukan rujukan kepetugas
kesehatan terutama bidan(8). Kemitraan dukun dengan
bidan adalah bentuk kerjasama yang saling
menguntungkan dengan berlandaskan rasa saling memahami struktur masing-masing, saling memahami
kapasitas masing-masing, saling menghubungi, saling mendekati, saling terbuka dan membantu, saling
mendorong dan mendukung, dan saling menghargai(8).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kemitraan dukun bayi dengan bidan di Wilayah Kerja
Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang.
TINJAUAN PUSTAKA (3)Dukun bayi adalah suatu profesi yang umumnya
merupakan sebuah ilmu turun – temurun berdasarkan penetahuan dan pengalaman seseorang saja tanpa didasari
ilmu praktik yang jelas.
Berdasarkan kenyataan dewasa ini bahwa dukun
bayi masih sangat berperan dalam pertolongan persalinan
di masyarakat(5), karena : 1. Dukun tinggal dekat dan membaur dengan warga
setempat dan mudah dihubungi,
2. Dalam melakukan pekerjaannya tampil dan bersikap
tidak formal, dan memiliki hubungan dekat dengan
warga, 3. Secara psikologis sentuhan-sentuhan tangannya
kepada para pasienya dianggap mampu
meminimalkan gangguan fisik atau sakit mereka
pada saat bersalin,
4. Mampu tampil menurut peran dan fungsinya yang memberi keuntungan kepada warga masyarakat, serta
tetap diyakini keberhasilan,
5. Kedekatan antara masyarakat atau dalam hal ini ibu
hamil dengan para dukun bayi karena mereka tidak hanya membantu proses persalinan, tetapi juga
biasanya merawat ibu maupun bayi pasca
melahirkan, seperti mencucikan baju sang ibu setelah
melahirkan, memijat ibu dan bayi, dan sebagainya,
6. Menetapkan tarif biaya secara tidak lugas dan biasanya hanya menerima pembayaran berdasarkan
kemauan dan kemampuan ekonomi para keluarga
yang di layaninya, atau bisa juga dengan bahan
pokok.
(1)Pelatihan dukun ini merupakan pedoman dalam rangka melatih dan membina dukun bayi. Beberapa hal yang
mampu dilaksanakan dukun, yaitu : perawatan kehamilan,
perawatan persalinan normal, perawatan bayi, perawatan
nifas dan ibu menyusui, penyuluhan kesehatan
masyarakat, pencatatan dan pelaporan serta rujukan. (3)Pembinaan dukun bayi adalah upaya pemeliharaan
dukun bayi dalam upaya peningkatan keterampilan, peran
dan tugas dukun bayi dalam pertolongan persalinan. Hasil
yang diharapkan dari pembinaan adalah :
a Dukun dapat megidentifikasi risti sedini mungkin dan merujuk pada waktu yang tepat,
b Dapat melaksanakan pertolongan persalinan dengan
aman dan benar jika perlu harus meminta bantuan
bidan atau puskesmas pada waktu yang tepat,
c Agar tidak dapat mengulangi tidakan yang dapat merugikan masyarakat terutama ibu dan bayi,
d Dapat memberi penyuluhan kesehatan tentang gizi,
ASI eksklusif, tablet Fe, imunisasi, personal
higiene,
e Dapat meningkatkan motivasi pada ibu agar melakukan kunjungan ke puskesmas.
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
f Program kemitraan dukun dengan bidan sudah ada pembagian kinerja sendiri, seperti dukun
tidak boleh melaksanakan proses persalinan
melainkan bidan yang melaksanakan, sehingga
tugas dukun adalah mengantar ibu hamil yang
datang padanya kepada bidan, dan juga melaksanakan tugas –tugas pasca persalinan.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini menggunakan metode diskriptif dengan pendekatan bersifat cross-sectional.
Populasi dari penelitian ini adalah semua dukun bayi
yang masih aktif, yaitu masih melakukan aktifitas
pertolongan persalinan maupun perawatan ibu nifas dan
bayi baru lahir, baik yang sudah bermitra dengan bidan maupun yang belum bermitra dengan bidan di Wilayah
Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare
Kabupaten Malang yang berjumlah 15 orang. Sampel
yang akan diteliti sejumlah 15 orang (sampel total).
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April 2009. Variable penelitian terdiri dari : kemitraan
dukun bayi dengan bidan dilihat berdasarkan faktor
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan jarak rumah
dukun bayi dengan bidan dan ibu bersalin. Informasi
diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner yang dibagikan kepada semua Dukun bayi yang ada di
Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan
Kalipare Kabupaten Malang, pembagian kuisioner ini
dilakukan oleh peneliti sendiri.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Distribusi frekuensi Usia Dukun Bayi di
Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare
Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang Bulan April 2009
No Usia (tahun)
Jumlah Persentase (%)
1
2
3
< 50
50-60
> 60
0
2
13
0,0
13,3
86,7
Jumlah 15 100,0
Sumber : Data primer
Tabel 2. Distribusi frekuensi Pendidikan Dukun Bayi
di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare
Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang
Bulan April 2009
No Pendidikan
dukun bayi
Total
n %
1.
2.
Rendah
Sedang
15
0
100
0,0
Total 15 100
Sumber : Data primer
Tabel 3. Distribusi Pekerjaan Dukun Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare
Kabupaten Malang Bulan April 2009
No Pekerjaan
dukun bayi
Total
n %
1.
2.
3. 4.
Ibu Rumah
Tangga
Buruh Tani
Wiraswasta
1
3
11 0
6,7
20
73,3 0,0
Total 15 100
Sumber : Data primer
Tabel 4. Distribusi Pendapatan Dukun Bayi di Wilayah
Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare
Kabupaten Malang Bulan April 2009
No Pendapatan dukun bayi Total
n %
1. 2.
3.
4.
Rendah Sedang
Tinggi
15 0
0
100 0,0
0,0
Total 15 100
Sumber : Data primer
Tabel 5. Distribusi frekuensi Jarak Rumah Dukun Bayi dengan Rumah Bidan di Wilayah Kerja
Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare
Kabupaten Malang Bulan April 2009
No Jarak (A)
rumah
dukun bayi
dengan bidan
Total
n %
1.
2.
3. 4.
Dekat
Cukup Dekat
Jauh Sangat Jauh
3
10
2 0
20
66,7
13,3 0
Total 15 100
Sumber : Data primer
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Tabel 6. Distribusi frekuensi Jarak Rumah Dukun Bayi dengan Rumah Ibu Bersalin di Wilayah
Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan
Kalipare Kabupaten Malang Bulan April
2009
No Jarak (B)
rumah
dukun bayi dengan ibu
bersalin
Total
n %
1.
2. 3.
4.
Dekat
Cukup Dekat Jauh
Sangat Jauh
2
6 7
0
13,3
40 46,7
0
Total 15 100
Sumber : Data primer
Tabel 7. Distribusi frekuensi Kemitraan dukun bayi
dan bidan di Wilayah Kerja Puskesmas
Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten
Malang Bulan April 2009
No Kemitraan dukun bayi
dengan bidan
Total
n %
1.
2.
Bermitra
Tidak Bermitra
3
12
20
80
15 100
Sumber : Data primer
PEMBAHASAN
Berdasarkan tabel 2 diperoleh data baku seluruh dukun bayi yang ada di di Wilayah Kerja Puskesmas
Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang
(100%) memiliki tingkat pendidikan rendah, sehingga
tingkat pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya
arti kesehatan masih kurang optimal dan masih melakukan Dari tabel 3 disebutkan bahwa dari 15
responden lebih dari setengahnya yaitu 11 responden
(73,3%) bekerja sebagai petani, dan sisanya bekerja
sebagai buruh dan ibu rumah tangga. Karena itu
sebagian besar waktu dukun bayi dihabiskan di lahan pertaniannya dan kurang mendapat informasi tentang
kesehatan persalinan dan didukung dengan tingkat
pemenuhan kebutuhan. Sehingga menyebabkan masih
banyaknya dukun bayi yang tetap menolong persalinan
untuk pekerjaan tambahan karena adanya tuntutan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga dan waktu untuk
hubungan dengan tenaga kesehatan kurang. Pendapatan
keluarga dukun bayi masih tergolong rendah dari Upah
Minimum Rata-rata (UMR), ini membuat dukun bayi
mencari pengahasilan tambahan untuk menambah
pendapatan keluarga dengan memanfaatkan keahliannya dalam menolong persalinan. Faktor rendahnya tingkat
pendapatan inilah yang membuat dukun bayi sampai
sekarang masih melakukan pertolongan persalinan untuk
memperoleh pendapatan yang lebih. Jadi pendapatan
dapat mempengahui kemitraan dukun bayi dengan bidan. (7)Seseorang yang menghabiskan waktunya untuk bekerja
maka informasi yang diperoleh akan semakin sedikit
terutama informasi tentang kesehatan dalam hal ini adalah
dukun bayi yang sebagian besar bekerja sebagai petani.
Dari tabel 6 didapatkan bahwa 10 responden (66,7%) memiliki jarak rumah dengan rumah bidan cukup
dekat, sedangkan yang lainnya jarak rumahnya dekat dan
jauh dari rumah bidan, serta didapatkan bahwa dari 15
responden setengahnya yaitu 7 responden (46,7%)
memiliki jarak rumah jauh dari rumah ibu bersalin sedangkan yang lainnya memiliki jarak rumah cukup
dekat dan dekat dengan rumah ibu bersalin. (8)Jarak yang
jauh (3-4 km atau lebih) akan menyebabkan rasa enggan
dan malas untuk pergi dan merujuk persalinan
Berdasarkan data yang diperoleh didapatkan sebagian besar rumah dukun bayi cukup dekat dengan
rumah bidan tapi rujukan persalinan hampir tidak pernah
dilakukan, hal ini tidak sesuai dengan anggapan bahwa
jarak antara rumah bidan dengan tempat tinggal dukun
bayi dapat mempengaruhi rutinitas untuk kunjungan atau pelaporan serta melakukan rujukan. Karena meskipun
rumah dukun bayi tersebut tergolong cukup dekat tapi
tingkat rujukan, kunjungan dan pelaporan belum optimal,
oleh karena itu bidan harus proaktif untuk melakukan
kunjungan rutin dan pendekatan dengan dukun bayi agar pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan bisa
optimal. Dalam hal ini jarak yang cukup dekat dengan
rumah bidan tidak dapat mempengaruhi dukun bayi untuk
merubah kebiasaanya melakukan pertolongan persalinan.
Jauhnya jarak antara rumah dukun bayi dengan ibu bersalin tidak menyurutkan semangat dukun bayi
untuk mendatangi dan menolong persalinannya meskipun
dukun bayi menggunakan alat transportasi untuk sampai
di rumah ibu bersalin. Hal ini yang menyebabkan tingkat
cakupan bidan sangat sulit karena dukun bayi cenderung melakukan pertolongan persalinan diluar wilayah kerja
bidan dan cenderung mendekati masyarakat di wilayah
pelosok.
Dalam hal ini jarak yang jauh tidak mengahalangi
seorang dukun bayi untuk melakukan pertolongan persalinan, karena dukun bayi menganggap masyarakat
pelosok lebih percaya pada dukun bayi dan sudah menjadi
suatu kebiasaan (langganan).
Kemitraan dukun bayi dan bidan penerapannya
masih kurang karena belum sesuai dengan tujuan, batasan, prinsip-prinsip dan landasan kemitraan bidan dan dukun
bayi yang seperti yang diungkapkan oleh DINKES
Surabaya(3) yaitu meningkatkan persalinan oleh tenaga
kesehatan dengan mengalihkan peran dukun bayi,
menurunkan persalinan oleh dukun bayi, meningkatkan peran dukun bayi sebagai kader kesehatan, dan lain-lain.
Dalam kenyataannya masih banyak dukun bayi yang
masih melakukan pertolongan persalinan sendiri,
menangani tingkat kesulitan persalinan sendiri, jarang
melakukan rujukan dan kurang baiknya hubungan antara dukun bayi dengan bidan yang menyebabkan hubungan
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
kerjasama antara dukun bayi dan bidan sulit dilakukan. Hal ini yang membuat penerapan kemitraan dukun bayi
di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan
Kalipare Kabupaten Malang masih kurang dan masih
jauh dari berhasil, dikarenakan dukun bayi takut akan
kehilangan penghasilannya apabila setiap persalinan dirujuk ke petugas kesehatan. Oleh karena itu maka
bidan harus mengupayakan suatu kerjasama yang saling
menguntungkan antara kedua belah pihak agar dukun
bayi tidak beranggapan dirugikan apabila merujuk
persalinan ke petugas kesehatan. Apabila semua ketentuan dan persyaratan dalam bermitra di jalankan
maka tingkat persalinan tenaga kesehatan yang terlatih
akan semakin meningkat dan persalinan dukun bayi
akan semakin menghilang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI. (1994a). Kurikulum Pelatihan Dukun.
Jakarta.
2. Depkes RI. (1999). Upaya Akselerasi Penurunan
Angka Kematian Ibu. Jakarta.
3. Dinkes Surabaya. (2008). Kemitraan Bidan dan
Dukun Bayi. Surabaya.
4. Dinkes Sulawesi Tengah. (2007). Kemitraan Bidan
dengan Dukun Bayi Dalam Rangka Alih Peran
Pertolongan Persalinan Di Sulawesi Tengah.
Bersumber dari http://dinkesprovsulteng.wordpress.com. (Diakses
10 Maret 2009).
5. Dinkes Sidoarjo. (1997). Partisipasi Dukun Bayi
Terhadap Penurunan Angka Kematian Bayi Karena Tetanus Neonatorum. Surabaya.
6. Manuaba, I.B.G. (1999). Ilmu Kebidanan,
Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana
Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
7. Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG KMS
DENGAN STATUS GIZI BALITA DI PO SYANDU KENCAT KELURAHAN BANCARAN BANGKALAN
THE CO LERATIO N BETWEEN THE MO NSTER THE MO THER BACKGRO UND O F
KNO WLADGE IN HEALTH SO CIETY AND NO URISHING CHILDREN UNDER FIVE YEARS O LD IN PO SYANDU BANCARAN VILLAGE BANGKALAN
(1)lLatifah Indriayani,
(2)Erda Restya Agustin
(1)Mahasiswa STIKES Insan Se Agung Bangkalan (2)
Dosen STIKES Insan Se Agung Bangkalan
Indikasi pertumbuhan fisik anak dapat diamati dari status gizi dan dapat pula di identifikasi dari berat badan anak (< 5 tahun). Pertumbuhan dan perkembangan tersebut dapat dilihat dari grafik pada KMS. Hal itu sangat isensial untuk mencapai sumber daya
manusia yang berkualitas di masa depan dengan mengembangkan tingkat pengetahuan ibu balita. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas sumber daya manusia adalah kesehatan, sedangkan tingkat kesehatan seseorang pada hakikatnya dipengaruhi oleh keadaan gizi, khususnya pada awal dan kehidupan, yang dikenal sebagai mas bayi.
Desain penelitian ini menggunakan penelitian analitik dengan menggunakan pedekatan cross sectional. Populasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagian ibu di posyandu Kencat Kelurahan Bancaran Bangkalan, dengan jumlah populasi 36 orang dan pengambilan sampel dilakukan dengan cara random sampling. Variabel independent yang digunakan adalah pengetahuan ibu tentang KMS dan variabel dependentnya adalah status gizi balita.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan pengetahuan ibu tentang KMS dengan status gizi balita posyandu Kencat
Kelurahan Bancaran Bangkalan dengan nilai p=0,005 dan nilai r = 0,461 Dengan demikian maka sebaliknya tenaga kesehatan memberikan penyuluhan kesehatan memberikan penyuluhan kesehatan
kepada masyarakat khususnya tentang KMS karena masih adanya balita yang berstatus gizi buruk kurang/buruk diperlukan agar
petugas kesehatan beserta kader-kadernya memberikan contoh nyata makanan yang dapat menambah status gizi pada balita dan juga memberikan motivasi supaya ilmu yang diperoleh dapat diterapkan (diaplikasikan) pada kondisi yang nyata.
Kata Kunci : Pengetahuan, Status Gizi, KMS.
ABSTRACT
THE CO LERATIO N BETWEEN THE MO THER BACKGRO UND O F KNO WLEGDE IN HEALTH IN SO CIETY AND NO URISHING CHILDREN UNDER FIVE YEARS
O LDIN PO SYANDU BANCARAN VILLAGE VILLAGE BANGKALAN
LATIFAH INDRIANI
The growth of the weight children under five years old indicates that very have enough nourishing. It can be showed a graph they come to the posyandu. We know tahat the quality of Indonesian men power in the future depend on the nourishing children under
five yaers old. So, it very important to increase the mother background of knowledge in health especially in nourishing children. Because the nourishing baby can influence the health of human being when they are adult. The researcher want to reseachthe correlation between the background of knowledge in health society and nourishing children under five yers old.
The researcher uses analytical reseach in this case by using cross sectional. We observed the mother who came to the posyandu Kencat bancaran village as population sampling. The amount of population 36 mother. We took the population sampling in random. We used a variable independent for knowledge of mother in health society and nourishing status.
The result of research showed that correlation between the mother background of knowledge in health society and nourishing
status in posyandu Bancaran Bangkalan Village, p = 0,005 and r = 0,461. The researcher suggest that medicals give some campaigns, suggestion and motivation to the mother who visit Posyandu
abouth health society
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
LATAR BELAKANG
Pertumbuhan berkaitan dengan masalah
perubahan dalam besar, jumlah atau dimensi, tingkat
sel, organ maupun individu yang bisa di ukur berat,
panjang ukuran tulang dan keseimbangan metabolisme(1). Proses pertumbuhan pada anak dapat
dipantau dengan alat yaitu dengan KMS (Kartu Menuju
Sehat). KMS sebagai sumber informasi dalam
pertumbuhan anak belum banyak diketahui orang tua
khususnya ibu. Situasi ini sangat meprihatinkan mengingat di dalam KMS tidak hanya memantau
pertumbuhan anak juga berisi tentang kesehatan ibu (
ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, keluarga berencana),
imunisasi, penganggulangan diare, pemberian kapsul
vitamin A, kondisi kesehatan anak (perawatan bayi lahir, perawatan sehari balita, perawatan anak sakit,
cara memberi makan anak, cara merangsang
perkembangan anak, cara membuat makanan
pendamping air susu ibu), pemberian ASI eksklusif dan
rujukan ke puskesmas atau rumah sakit. Keterlambatan pertumbuhan anak dapat terjadi dimana ibu tidak
mengetahui tahap pertumbuhan anaknya yang dapat di
pantau dengan melihat KMS yang telah diberikan oleh
petugas kesehatan(2).
Secara umum masalah gizi di Indonesia terutama kekurangan energi protein (KEP) masih tinggi
dibanding negara ASEAN lainnya. Pada tahun 1997
berdasarkan pemantauan status gizi yang dilakukan
oleh Direktorat Jendral Bina Gizi Masyarakat
prevalensi turun menjadi 23,1 % dan pada tahun 1998 meningkat kembali menjadi 39,8 % (3).
Berdasarkan data di Kabuapaten Bangkalan
pada bulan Mei 2010 jumlah balita di timbang 1840
balita, Balita perempuan dengan 51 balita berstatus gizi
buruk, 187 balita berstatus gizi kurang, 634 balita berstatus gizi baik dan 42 balita berstatus gizi lebih.
Sedanglan balita laki laki 72 balita berstatus gizi buruk,
195 balita berstatus gizi kurang, 627 balita berstatus
gizi baik dan 32 balita berstatus gizi lebih. Pada studi
pendahuluan data di posyandu Kencat dengan jumlah kunjungan bulan Februari 2010 sebanyak 55 balita
dengan 13 balita berstatus gizi kurang, 3 balita berstatus
gizi buruk, 2 balita berstatus gizi lebih dan 37 balita
berstatus gizi baik. Status gizi pada balita dapat
diketahui dengan cara mencocokkan umur anak (dalam bulan) dengan berat badan standar tabel WHO-NCHS,
bila berat badannya kurang, maka status gizinya
kurang. Di Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), telah
disediakan KMS yang juga bisa digunakan untuk
memprediksi status gizi anak berdasarkan kurva KMS. Perhatikan dulu umur anak, kemudian plot berat
badannya dalam kurva KMS.
Berdasarkan survei, di lapangan telah
diberikan penyuluhan kepada masing-masing orang tua
tetapi hasilnya masih tetap sama, masih ada balita yang kurang gizi. Untuk mengatasi kasus kurang gizi
memerlukan peranan dari keluarga, praktisi kesehatan,
maupun pemerintah. Pemerintah harus meningkatkan
kualitas posyandu, jangan hanya sekedar untuk
penimbangan vaksinasi, tapi harus diperbaiki dalam hal penyuluhan gizi dan kualitas pemberian makanan
tambahan, pemerintah haus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat agar akses pangan tidak terganggu (4).
Berdasarkan fenomena di atas mendorong
keinginan penulis untuk mengkaji lebih lanjut dan
menyusun pengkajian tersebut dalam bentuk karya tulis
tentang hubungan pengetahuan ibu tentang KMS dengan status gizi balita di Posyandu Kencat Kelurahan Bancaran
Bangkalan.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Dasar Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil dan tahu dan ini
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap
suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi mulai panca
indera manusia, yakni indera pengeliatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (5).
TUJUAN KMS
Tujuan KMS 1) Sebagai alat pengontrol pertumbuhan berat badan anak, 2) Sebagai alat untuk
mengetahui keadaan kesehatan anak, 3) Sebagai alat untuk
keadaan gizi anak.
Tujuan diciptakan menurut Aritonang adalah
untuk mengenalkan dan memperluas pemahaman prinsip -prinsip tenatang :
a. Anak – anak membutuhkan pelayanan
kesehatan menyeluruh secara terus menerus
KMS adalah alat yang memungkinkan
dilakuakan pengamatan yang berarah, sederhana terhadap suatu masalah kesehatan anak-anak
dari segala segi
b. Tujuan utama peleyanan kesehatan adalah
tercapainya kenaikan pertumbuhan yang
memadai. Bukan hanya mencegah salah gizi
Manfaat KMS
1. Manfaat bagi anak
KMS memberikan gambaran tentang
pertumbuhan, keadaan kesehatan melalui status gizi dan penyakit yang diderita oleh anak.
2. Manfaat bagi keluarga
Manfaat bagi ibu adalah sebagai alat
penyuluhan untuk memberikan makanan pada
anak dan perbaikan kesehatan 3. Manfaat bagi petugas kesehatan
Grafik pertumbuhan merupakan pedoman untuk
menentukan normal tidaknya anak yang
memiliki resiko, anak yang membutuhkan
perawatan rutin atau perawatan khusus. 4. Manfaat bagi masyarakat.
Grafik pertumbuhan dapat sebagai alat untuk
menentukan keadaan kesehatan yang dapat
dimerti dengan mudah, sehingga dapat
ditentukan intervensi yang tepat.
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian analitik
yang dilakukan secara Cross Sectional yaitu jenis
penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran
atau observasi dari variabel independen dan dependen
hanya satu kali, pada satu saat (6). Pada penelitian ini populasinya adalah smua
ibu yang memiliki balita yang datang ke Posyandu
Kencat kelurahan Bancaran Bangkalan, jumlah
populasinya adalah 40 ibu wanita yang ada di posyandu
Kencat kelurahan Bancaran. Sampel yang di ambil dalam penelitian ini
adalah sebagian ibu yang datang ke Posyandu Kencat
Kelurahan bancaran Bangkalan.
Untuk menentukan besar sampel dari jumlah
populasi menggunakan :
n =
Keterangan : n = Perkiraan jumlah dan sampel
N = Jumlah populasi
d = Tingkat kepercayaan / ketepatan yang
di inginkan 5 % (d = 0,05) p = Perkiraan proposal populasi = 0,5
q = 1 – p = 1 – 0,5 = 0,5
(Notoatmodjo,2003)
n =
n = = 35,8
Dibulatkan menjadi 36 responden.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Data Umum
Peneletian ini karakteristik responden terdiri
atas usia, tingkat pendidikan, pekerjaan.
1. Usia
Tabel 5.1 Distribusi usia orang tua (ibu) di
Posyandu Kencat Kelurahan Bancaran
Bangkalan Bulan Juni 2010
No Usia
(tahun)
Frekkuensi Prosentasi
(%)
1. 14 – 21 2 5,6
2. 22 - 40 29 80,6
3. >40 5 13,9
Jumlah 36 100
Berdasarkan tabel 5.1 bahwa responden yang terbanyak
adalah yang berusia 22 – 40 tahun.
4. Tingkat Pendidikan
Tabel 5.2 Distribusi responden menurut tingkat
pendidikan di Posyandu Kencat
Kelurahan Bancaran Bangkalan
No Tingkat pendidikan Frekuansi Prosentasi
(%)
1. SD 13 36,1
2. SMP 18 50,0
3. SMA 4 11,1
4. Perguruan Tinggi 1 2,8
Jumlah 36 100
Berdasarkan tabel 5.2 bahwa responden terbanyak adalah
18 orang (50,0%) dengan tingkat pendidikan SMP
Tabel 5.3 Distribusi responden menurut tingkat pekerjaan di Posyandu Kencat
Kelurahan Bancaran Bangkalan
No Tingkat pendidikan
Frekuansi Prosentasi (%)
1. Ibu rumah tangga 33 91,7
2. Swasta 2 2,8
3. Guru 2 5,6
Jumlah 36 100
Berdasarkan tabel 5.3 responden yang terbanyak
berprofesi sebagai ibu rumah tangga dengan 33 orang
(91,7%)
Tabel 5.4 Tabulasi siang hubungan pengetahuan ibu
tentang KMS
Pengetahuan
Status gizi Total
baik kurang buruk
N % N % N % N %
Sangat paham 1 50,0 1 50,0 0 0,0 2 100
Paham 6 50,0 6 50,0 0 0,0 12 100
Tidak paham 2 9,1 19 86,4 1 4,5 22 100
Total 9 25,0 26 72,2 1 2,8 36 100
Berdasarkan tabel 5.6 diperoleh, maka dapat dilihat bahwa
ibu yang sangat paham tentang KMS dan status gizinya
baik sebanyak 1 orang (50,0%). Ibu yang sangat paham
tentang KMS dan status gizinya buruk sebanyak 0 orang
(0,0%). Ibu yang paham tentang KMS dan status gizinya baik sebanyak 6 orang (50,0%), Ibu yang paham tentang
KMS dan status gizinya kurang 6 orang (50,0%), ibu yang
paham dan status gizinya buruk sebanyak 0 orang (0,0 %),
ibu yang tidak paham dan status gizinya baik sebanyak 2
orang (9,1%), ibu yang tidak paham dan status gizinya kurang sebanyak 19 orang (86,4%), ibu yang tidak paham
dan status gizinya buruk sebanyak 1 orang (4,5%).
N x zα2 x p x q
α2 (N-1) + zα2 x p x q
40 x 1,962 x 0,5 x 0,5
0,052 x (40-1) + 1,962 x 0,05 x 0,05
38,4
1,06
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Berdasarkan tabel 5.1 bahwa responden yang terbanyak yang berusia 22 – 40 tahun yaitu sebanyak 29
orang (80,6%). Dengan teori dari (5). Umur adalah usia
individu yang dihitung saat dilahirkan sampai akhir
hanyat. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan
kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat,
seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari
pada orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya.
Jadi dapat di simpulkan bahwa teori tidak selalu sama
dengan kenyataannya. Berdasarkan tabel 5.2 bahwa responden yang
terbanyak 18 orang (50,0%) dengan tingkat pendidikan
SMP, sesuai dengan teori bahwa pengetahuan
seseorang sangat tergantung dari pendidikan, semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang makaakan semakin luas pengetahuananya (7). Jadi dapat dikatakan
pendidikan ibu yang kurang di sebabkan karena tidak
dapat menyerap informasi dengan mudah sehingga
tingkat pengetahuan ibu dikatakan kurang.
Berdasarkan tabel 5.3 bahwa responden yang terbanyak berprofesi sebagai ibu rumah tangga dengan
33 orang (91,7%). Dengan teori tingkat sosial ekonomi
seseorang berhubungan erat dengan berbagai masalah
kesehatan(5). Jadi orang dengan tingkat ekonomi yang
rendah akan lebih berkonsentrasi terhadap pemenuhan kebutuhan dasar yang menunjang kehidupan dan
kehidupan keluarganya orang dengan tingkat ekonomi
yang rendah akan lebih berkonsentrasi terhadap
pemenuhan kebutuhan dasar yang menunjang
kehidupan dan kehidupan keluarganya, sebaliknya prang dengan tingkat ekonomi sosial tinggi akan
mempunyai kesempatan yang lebih besar dalam
mengeyam pendidikan, dimana orang dengan mudah
menerima informasi sehingga makin banyak pula
pengetahuan yang dimiliki. Hubungan pengetahuan ibu tentang KMS dengan
status gizi balita. Berdasarkan tabel 5.4 bahwa tabulasi
silang antara pengetahuan ibu tentang KMS dengan
status gizi balita dan setelah dialkakukan uji statistik
spearman rank (P) 0,005 dan (α) 0,05 sehingga P < α (0,005 < 0,05). Hal ini berarti H0 ditolak H1 diterima,
maka ada hubungan pengetahuan ibu tentang KMS
dengan status gizi balita dan nilai r (koefisien korelasi
yaitu 0,461 sedangkan rentan dari r yaitu bila
mendekati 0 berarti hubungannya lemah dan bila mendekati 1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ada hubungan pengetahuan ibu tentang KMS
dengan status balita di posayandu Kencat Kelurahan
bancaran Bangkalan.
Saran
Bagi Peneliti
Diharapkan dapat mengadakan penelitian
lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar, sehingga hasil yang dicapai nlebih sempurna.
Bagi Institusi Kesehatan
Bagi tenaga kesehatan, dalam upaya
meningkatkan tingkat pengetahuan ibu maka perlu strategi
lain dalam memberikan penyuluhan kesehatan msyarakat
khususnya tentang KMS. Karena masih adanya balita yang berstatus gizi
kurang/buruk diperlukan agar tugas kesehatan beserta
kader-kadernya memberikan contoh nyata makanan yang
dapat menembah status gizi pada balita dan juga
memberikan motivasi supaya ilmu yang diperoleh dapat diterapkan (diaplikasikan) pada kondisi yang nyata.
Bagi Masyarakat
Diharapkan msyarakat berpartisipasi untuk
datang ke posyandu setiap bulannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjininngsih. (1998). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknis Analisis data : Jakarta.
2. Efendi, (2009) Pengetahuan Tentang Status Gizi.
http://www.infoibu.com [diakses 10 mei 2010].
3. Nyoman, (2001). Penilaian Status Gizi. EGC.
Jakarta. 4. Akhmadi, (2009) Faktor-faktor Penyebab Kurang
Gizi. <http://www.blog-spot.co.id[diakses 10 maret
2010].
5. Notoatmodjo Soekidjo. (2002). Pengantar
Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Andi Offset : Jakarta.
6. Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodoio
Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika:
Jakarta.
7. Koizer, B. (1989). Fundamental of Nursing. California Addison Wesky Publishing Company.
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
PERBEDAAN KENAIKAN BERAT BADAN PADA BAYI USIA 1-6 BULAN YANG DIBERI ASI EKSKLUSIF
DENGAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP-ASI) DINI DI POSYANDU KELURAHAN DEMANGAN KECAMATAN BANGKALAN
THE DIFFERENCES OF BODY WEIGHT GAIN IN 1-6 MONTH BABIES WITH EXCLUSIVE
BREASTFEEDING AND SUPPLEMENTARY FOOD (MP-ASI) IN POSYANDU DEMANGAN VILLAGE
(KELURAHAN DEMANGAN) BANGKALAN SUB-DISTRICT (KECAMATAN BANGKALAN)
Ratih Tri Oktaviana(1) Rodiyatun(2)
(1)Mahasiswa Prodi Keperawatan, STIKES Insan Se Agung Bangkalan (2)Dosen Poltekkes DEPKES Surabaya, Prodi Kebidanan Bangkalan
ABSTRAK
Pemberian ASI merupakan cara pemenuhan gizi terbaik karena mengandung zat gizi yang sesuai dengan
kebutuhan bayi. Berdasarkan bukti ilmiah, pemberian ASI Eksklusif sampai 6 bulan menyebabkan pertumbuhan bayi
yang lebih baik. Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 1989-1999 di Tanjungsari, Sumedang, Jawa Barat menunjukkan bahwa bayi dengan berat badan normal dapat mengalami gangguan pertumbuhan. Hasil penelitian Anies
Irawati 2004 di Sukaraja, Bogor, membuktikan bahwa MP-ASI yang diberikan terlalu dini menyebabkan gangguan
pertambahan berat bayi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kenaikan berat badan bayi usia 1-6
bulan yang diberi ASI eksklusif dengan yang diberi MP-ASI dini di Posyandu Kelurahan Demangan Kecamatan
Bangkalan. Jenis penelitian ini adalah observasi analitik. Populasinya adalah ibu dan bayinya yang berusia 1-6 bulan sebanyak
46 orang, dan sampel sebanyak 41 orang menggunakan teknik area proportional random sampling. Pengumpulan data
dilakukan dengan observasi langsung dan wawancara. Data yang diperoleh diolah secara st atistik menggunakan rumus t
2 sampel bebas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 15 bayi (75%) yang diberi ASI eksklusif lebih banyak mengalami kenaikan berat badan normal dibanding bayi yang diberi MP-ASI dini yaitu hanya 11 bayi (52%) saja yang mengalami kenaikan
berat badan normal. Hasil analisa statistik dengan uji t 2 sampel bebas diperoleh p = 0,017 < α = 0,05. Berarti ada
perbedaan kenaikan berat badan bayi usia 1-6 bulan antara yang diberi ASI eksklusif dengan yang diberi MP-ASI dini.
Oleh karena itu pemberian ASI Eksklusif perlu ditingkatkan untuk pertumbuhan berat badan bayi yang lebih baik.
Kata Kunci : ASI Eksklusif, Berat Badan.
ABSTRACT
Breastfeeding is the best way of human diet because it contains nutrients in accordance with the
needs of the baby. Based on scientific evidence, 6 - month exclusive breastfeeding influences the better growth of
infants. The National Socioeconomic Survey (SUSENAS) 1989-1999 in Tanjungsari, Sumedang, West Java shows that babies of normal weight can suffer from stunted growth. The research of Anies Irawati 2004 in Sukaraja, Bogor,
proved that the breastfeeding and early giving of supplementary food caused the trouble of baby weight gain. The
purpose of this research is to know the difference of weight gain of babies aged 1-6 months who were exclus iv ely
breas tfed and those who were breas tfed and ear ly giv en the supplementary food in the Posyandu of
Demangan Village Bangkalan District. The study was analytic observation. The population is 46 mothers and their babies aged 1-6 months. The
sample consists of 41 people. It uses area proportional random sampling technique. Data collection methods are
direct observ ation and interviews. Data analysis method uses statistic formula t2 free sample.
The research result showed that 15 infants (75%) who were exclusively breastfed has gained more body
weight than babies who were breastfed and early given the supplementary food, that is only 11 infants (52%) who had normal weight gain. The result of statistical analysis with two independent samples t test is p = 0.017<α = 0.05. It
means that there are differences in weight gain among infants aged 1 -6 months who are exclusively breastfed
and those who are breastfed and early given the supplementary food. Therefore exclusive breastfeeding must be
increased for better growth of the baby's weight.
Keywords: Exclusive Breastfeeding, Weight Gain.
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
PENDAHULUAN
ASI (Air Susu Ibu) merupakan satu-satunya
makanan dan minuman pertama dan terbaik yang
dibutuhkan serta diberikan sedini mungkin kepada bayi
setelah persalinan hingga ia berusia enam bulan. ASI memiliki kandungan yang dapat membantu menyerap
nutrisi dengan baik. Sejak bayi dilahirkan nutrisi
memainkan peranan terpenting bagi pertumbuhan dan
perkembangan bayi. Riset medis mengatakan bahwa
ASI eksklusif membuat bayi berkembang dengan baik pada 6 bulan pertama bahkan pada usia lebih dari 6
bulan.
Evaluasi pada bukti-bukti yang telah ada
menunjukkan bahwa pada tingkat populasi dasar,
pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan adalah cara yang paling optimal dalam pemberian makanan kepada
bayi. Dengan cara menyusui yang benar, produk ASI
dinyatakan cukup sebagai makanan tunggal untuk
pertumbuhan bayi yang normal sampai 6 bulan. Dalam
jangka panjang pemberian ASI mencegah anak kelak menderita berbagai penyakit seperti kegemukan dan
Diabetes Mellitus. Setelah pemberian ASI eksklusif
selama enam bulan tersebut bukan berarti pemberian
ASI dihentikan, tetapi bayi memerlukan asupan
makanan tambahan yang dapat menunjang tumbuh kembangnya yang biasa disebut MP-ASI . Makanan
pendamping ASI harus memperhatikan angka kecukupan
gizi (AKG) yang dianjurkan berdasarkan kelompok usia
dan tekstur makanan sesuai perkembangan usia bayi(3).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Departemen Kesehatan sudah lama mencanangkan
anjuran bagi para ibu untuk memberikan ASI secara
eksklusif kepada bayinya, tapi pelaksanaan anjuran
tersebut masih jauh dari harapan. Masih banyak ibu
yang memberikan ASI kepada bayinya secara tidak benar. Lebih dari 50% bayi di Indonesia sudah
mendapat MP-ASI pada umur kurang dari satu bulan.
Bahkan, pada umur 2-3 bulan, bayi ada yang sudah
mendapat makanan padat (4). Di propinsi Jawa Timur
terdapat 279.503 atau 40,77 % bayi yang diberi ASI eksklusif dari 685.642 bayi di 38 kabupaten/kota yang
ada di Jawa Timur (DINKES JATIM, 2007).
Sedangkan di Kabupaten Bangkalan sendiri, ibu
yang memberikan ASI secara eksklusif berjumlah 14,55%
di 22 kecamatan yang ada (DINKES Kabupaten Bangkalan, SKDN 2009). Merujuk pada wilayah yang
lebih kecil lagi yaitu Kelurahan, sebagai contoh yaitu
Kelurahan Demangan dimana wilayah ini terletak di jalan
utama kota dengan penduduknya yang kebanyakan
berpendidikan SMA dan perguruan tinggi dan komposisi penduduk yang seimbang yaitu antara jumlah penduduk
asli dan pendatang hampir sama. Berdasarkan data yang
diperoleh, cakupan ASI Eksklusif di wilayah ini
berjumlah 47,82% dari 46 bayi untuk usia 1-6 bulan,
sedangkan ibu-ibu yang memberikan MP-ASI dini pada bayi-bayinya berjumlah 52,17%. Data diatas
menunjukkan masih tingginya angka pemberian MP-ASI
pada bayi usia kurang dari 6 bulan, sedangkan diketahui
bahwa rata-rata penduduk di wilayah tersebut memiliki
pengetahuan cukup sehingga secara otomatis mereka
sedikit banyak tahu akan pemberian dan manfaat nutrisi yang baik dan sesuai dengan usia anak mereka.
Faktor tingkat pendidikan ibu yang rendah,
wawasan dan pengetahuan yang terbatas, ASI belum
keluar pada hari pertama, dan adanya anggapan ibu bahwa
anaknya lapar dan akan tidur nyenyak jika diberi makan, merupakan beberapa faktor yang mendukung timbulnya
anggapan bahwa ASI saja tidak cukup sebagai makanan
bayi. Akibatnya, para ibu memberikan aneka bentuk
cairan sebagai makanan pendamping ASI sebelum
bayinya mencapai umur 4 bulan. Seringkali bayi yang mendapatkan ASI tidak segemuk dengan teman
seumurnya yang mengkonsumsi susu botol. Ini sebagian
disebabkan karena pada menyusu ASI, nafsu makan
bayilah yang mengatur jumlah susu yang diminum.
Sedangkan pada pemberian susu botol, bayi terkadang dipaksa untuk minum sampai botolnya kosong. Di
samping itu kalori ASI selalu terkendali. Susu yang
terakhir dihisap dalam satu kali menyusui, mengandung
lebih tinggi kalori daripada susu yang dihisap pada saat
awal, dan cenderung membuat bayi merasa kenyang(3). Memberikan makanan pendamping terlalu awal
(sebelum usia 6 bulan) berdampak kurang baik terhadap
kesehatan si kecil, makanan tidak akan dapat dicerna dengan
baik karena pada usia sebelum enam bulan sistem pencernaan
anak belum siap menerima makanan selain ASI yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan, diare, kolik, dan lain
sebagainya(3). Hasil penelitian pada Pusat Penelitian dan
Pengembangan Gizi dan Makanan, Departemen
Kesehatan oleh Anies Irawati tahun 2004 lalu,
menyingkap tentang pengaruh makanan pendamping ASI yang diberikan terlalu dini terhadap tumbuh-kembang
bayi. Penelitian melibatkan 270 orang ibu hamil di
kawasan Sukaraja, Bogor, yang dipantau sampai bayinya
lahir dan berusia 4 bulan, dan membuktikan bahwa
makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang diberikan terlalu dini menyebabkan gangguan pertambahan
berat dan panjang badan pada bayi. Sementara itu,
persentasi bayi ASI parsial yang mendapat ASI pada hari
pertama lebih banyak daripada persentasi bayi ASI
predominan. Keadaan ini tentu saja memerlukan penanganan
yang khusus, yaitu dengan pendekatan yang lebih
komunikatif sesuai dengan pendidikan dan kemampuan
masyarakat(5). Salah satu cara untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat terutama para ibu dan calon ibu tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif dan saat
yang tepat dalam pemberian MP-ASI pada bayi berupa
penyuluhan-penyuluhan. Dan untuk mencapai tumbuh
kembang optimal, di dalam Global Strategy for Infant and
Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu: pertama
memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu
30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya air
susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif
sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI)
sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan keempat
meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan
atau lebih. Dapat pula dilakukan perubahan perilaku
dengan cara mewujudkan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi). Melalui penerapan perilaku Keluarga Sadar Gizi, keluarga
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
didorong untuk memberikan ASI eksklusif pada bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan dan memberikan
MP-ASI yang cukup dan bermutu kepada bayi dan anak
usia 6-24 bulan.
Secara keseluruhan, penelitian ini memiliki
tujuan umum yaitu diketahuinya perbedaan kenaikan berat badan antara bayi yang diberi ASI eksklusif
dengan yang diberi MP-ASI dini pada bayi usia 1-6
bulan di posyandu wilayah kerja Kelurahan Demangan
Kecamatan Bangkalan.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Dasar ASI Eksklusif
Makanan yang paling baik untuk bayi segera lahir adalah ASI. Secara alamiah, seorang ibu mampu
menghasilkan Air Susu Ibu (ASI) segera setelah
melahirkan. ASI adalah cairan biologis kompleks yang
dihasilkan oleh kelenjar payudara wanita melalui proses
laktasi yang mengandung sel-sel darah putih, immunoglobulin, enzim, dan hormon, serta protein
spesifik untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi.
ASI merupakan makanan yang mutlak untuk bayi yaitu
pada usia 4-6 bulan pertama kehidupannya(6).
Oleh karena itu ASI harus diberikan pada bayi, sekalipun produksi ASI pada hari-hari pertama baru
sedikit, namun mencukupi kebutuhan bayi. Pemberian
air gula, air teh, air tajin dan makanan prelaktal
(sebelum ASI lancar produksi) lain, harus dihindari untuk mendapatkan manfaat maksimal dari ASI, maka
sebaiknya menyusui dilakukan setelah bayi lahir (dalam
waktu 30 menit setelah bayi lahir) karena daya hisap
pada saat itu paling kuat untuk merangsang pengeluaran
ASI selanjutnya(7). 1) Produksi ASI
Banyaknya ASI yang dihasilkan ibu
tergantung dari status gizi ibu, makanan tambahan
sewaktu hamil/menyusui, stres mental dan sebagainya.
Ketika bayi menghisap, beberapa hormon yang berbeda bekerja sama untuk menghasilkan air susu dan
melepaskannya untuk diisap bayi. Sekresi ASI diatur
oleh hormon prolaktin dan oksitosin.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi
ASI : (1)Frekuensi Penyusuan, Pada bayi cukup bulan menunjukkan bahwa frekuensi penyusuan 10 - 13 kali
perhari selama 2 minggu pertama setelah melahirkan
berhubungan dengan produksi ASI yang cukup.
Berdasarkan hal ini direkomendasikan penyusuan
paling sedikit 8 kali perhari pada periode awal setelah melahirkan. (2)Berat Lahir, Bayi berat lahir rendah
(BBLR) mempunyai kemampuan mengisap ASI yang
lebih rendah dibanding bayi yang berat lahir normal (>
2500 gr). (3)Umur Kehamilan saat Melahirkan, Hal ini
disebabkan bayi yang lahir premature sangat lemah dan tidak mampu mengisap secara efektif sehingga produksi
ASI lebih rendah daripada bayi yang lahir tidak
prematur. berat badan yang rendah dan belum
sempurnanya fungsi organ. (4)Stress dan Penyakit
Akut, Ibu yang cemas dan stres dapat mengganggu laktasi sehingga mempengaruhi produksi ASI karena
menghambat pengeluaran ASI. (5)Konsumsi Rokok,
Merokok dapat mengurangi volume ASI karena akan
mengganggu hormone prolaktin dan oksitosin untuk
produksi ASI. M erokok akan menstimulasi pelepasan adrenalin dimana adrenalin akan menghambat pelepasan
oksitosin. (6)Konsumsi Alkohol, Meskipun minuman
alkohol dosis rendah disatu sisi dapat membuat ibu merasa
lebih rileks sehingga membantu proses pengeluaran ASI
namun disisi lain etanol dapat menghambat produksi oksitosin (Matheson, 1989). (7)Pil Kontrasepsi,
Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi estrogen dan
progestin berkaitan dengan penurunan volume dan durasi
ASI.
2) Komposisi ASI : (1)Kolostrum : ASI yang dihasilkan
pada hari pertama sampai hari ketiga setelah bayi lahir.
(2)ASI transisi : ASI yang dihasilkan mulai hari keempat sampai hari ke sepuluh. (3) ASI mature : ASI yang
dihasilkan mulai hari kesepuluh sampai dengan
seterusnya(7).
3) Manajemen Laktasi
Manajemen laktasi merupakan segala daya upaya yang dilakukan untuk membantu ibu mencapai
keberhasilan dalam menyusui bayinya. Usaha ini
dilakukan terhadap ibu dalam 3 tahap, yakni pada masa
kehamilan (antenatal), sewaktu ibu dalam persalinan
sampai keluar rumah sakit (perinatal), dan pada masa menyusui selanjutnya sampai anak berumur 2 tahun
(postnatal)(8).
4) Pantauan Kecukupan ASI Untuk mengetahui kecukupan ASI dapat dilihat
dari : (1)Berat badan waktu lahir telah tercapai sekurang-
kurangnya akhir 2 minggu setelah lahir dan selama itu
tidak terjadi penurunan berat badan lebih 10 %. (2)Kurve
pertumbuhan berat badan memuaskan. (3)Bayi lebih banyak ngompol, sampai 6 kali atau lebih dalam sehari.
(4)Setiap kali menyusui, bayi menyusu dengan rakus,
kemudian melemah dan tertidur. (5)Payudara ibu terasa
lunak setelah menyusui(9).
5) Manfaat Pemberian ASI : Nutrien (zat gizi) yang sesuai
untuk bayi, Mengandung zat protektif, Mempunyai efek
psikologis yang menguntungkan, Menyebabkan
pertumbuhan yang baik, Mengurangi kejadian karies
dentis, Mengurangi kejadian maloklusi, ASI mengubah komposisinya selama setiap penyusuan dan selama
berminggu-minggu untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan bayi yang selalu berubah, Aman dan bersih,
Suhu ASI cocok untuk bayi, Mudah dicernadan tidak
pernah basi, ASI tidak membutuhkan sterilisasi alat atau persiapan.
6) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI :
(1)Perubahan sosial budaya: Ibu-ibu bekerja atau
kesibukan sosial lainnya, Meniru teman, tetangga atau orang terkemuka yang memberikan susu botol. (2)Faktor
psikologis :Takut kehilangan daya tarik sebagai seorang
wanita, tekanan batin, rasa percaya diri ibu untuk mampu
menyusui ataupun memproduksi ASI. (3)Faktor fisik ibu
:Ibu sakit, seperti mastitis biasanya enggan menyusui bayinya karena payudaranya terasa nyeri bila digunakan
untuk menyusui bayinya, putting susu ibu kecil dan masuk
(inverted). (4)Faktor pengetahuan ibu tentang menyusui.
(5)Faktor dukungan keluarga. (6)Faktor ekonomi
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
keluarga. (7)Faktor kurangnya promosi ASI dari petugas kesehatan, sehingga masyarakat kurang
mendapat penerangan atau dorongan tentang manfaat
pemberian ASI. (8)Meningkatnya promosi susu kaleng
sebagai pengganti ASI. (9)Penerangan yang salah justru
datangnya dari petugas kesehatan sendiri yang menganjurkan penggantian ASI dengan susu kaleng(10).
(10)Proses laktasi yang benar
7) Pemberian ASI Eksklusif
Eksklusif artinya terpisah dari yang lain
(Depdikbud, 1990), sedangkan ASI Eksklusif adalah
pemberian ASI saja tanpa tambahan cairan lain baik
susu formula, air putih, air jeruk, ataupun makanan
tambahan lain (World Health Organization); memberikan hanya ASI tanpa memberikan makanan
dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai
berusia 6 bulan, kecuali obat dan vitamin(4).
Rekomendasi pemberian ASI eksklusif sampai
6 bulan didasarkan pada bukti ilmiah tercukupinya kebutuhan bayi dan lebih baiknya pertumbuhan bayi
yang mendapat ASI eksklusif serta menurunnya
morbiditas bayi, dimana sebelum mencapai usia 6 bulan
system pencernaan bayi belum mampu berfungsi
dengan sempurna, sehingga ia belum mampu mencerna makanan selain ASI.
2. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Makanan pendamping ASI adalah makanan
atau minuman tambahan yang mengandung gizi diberikan pada bayi/anak untuk memenuhi kebutuhan
gizinya(3). Makanan pendamping ASI diberikan mulai
umur 6 bulan sampai 24 bulan. Semakin meningkat
umur bayi/anak, kebutuhan zat gizi semakin bertambah
untuk tumbuh kembang anak, sedangkan ASI yang dihasilkan kurang memenuhi kebutuhan gizi(4).
1) Jenis Makanan Pendamping ASI: Buah-buahan yang
dihaluskan/dalam bentuk sari buah. Misalnya pisang
Ambon, papaya, jeruk, tomat. Makanan lunak dan
lembek. Missal bubur susu, nasi tim. Makanan bayi yang dikemas dalam kaleng/karton/sachet.
2) Tujuan Pemberian Makanan Pendamping ASI:
Melengkapi zat gizi ASI yang sudah berkurang,
Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima
bermacam-macam makanan dengan berbagai rasa dan bentuk, Mengembangkan kemampuan bayi untuk
mengunyah dan menelan, Mencoba adaptasi terhadap
makanan yang mengandung kadar energy tinggi.
3) Faktor yang Mempengaruhi Pola Pemberian
Makanan Pendamping ASI:Pendapatan, Besar Keluarga, Pendidikan, Pengetahuan gizi
4) Penyebab Penggantian ASI dengan MP-ASI: (1)
Banyaknya ibu yang bekerja sehingga tidak dapat
menyusui bayi secara sempurna. (2)Semakin maraknya
promosi tentang MP-ASI. (3)Adanya persepsi yang menyatakan bahwa menyusui akan mengurangi
kecantikan dan mempercepat penuaan. (4)Pemberian
MP-ASI khususnya susu formula dikatakan lebih
modern. (5)Rasa percaya diri ibu untuk menyusui
kurang sehingga produksi ASI berkurang yang pada akhirnya ibu memberikan MP-ASI. (6)Keadaan sosial
budaya yang negatif yaitu memberikan makanan pada bayi sedini mungkin dengan harapan bayi kenyang dan
tidak rewel.
5) Kerugian Pemberian Makanan Pendamping ASI Dini:
(1) Kemungkinan terjadinya pencemaran sehingga bayi
mudah infeksi misalnya diare dan ISPA. (2)Bayi tidak memperoleh zat gizi sesuai kebutuhan bayi untuk
pertumbuhan secara optimal. (3)Bayi tidak memperoleh
kekebalan tubuh. (4)Kemungkinan terjadi kekeliruan
pembuatan MP-ASI sehingga beresiko terhadap bayi. (5)
Perlu biaya mahal untuk pembuatan MP-ASI. 3. Konsep Pertumbuhan Berat Badan (BB) Bayi
1) Berat Badan Bayi
Berat badan (BB) adalah ukuran antropometri
yang menggambarkan indeks massa tubuh. BB bayi baru
lahir normalnya harus mencapai 2500 gram, dan biasanya mereka akan kehilangan berat badan rata-rata 5-8%
selama minggu pertama setelah lahir dimana persentase
kehilangan ini lebih besar pada anak yang diberi ASI yaitu
7,4% dibanding yang tidak yaitu 4,9%.
2) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Berat
Badan
Ada 2 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan berat
badan anak, yaitu :(1) Faktor Genetik, (2) Faktor
Lingkungan, yaitu faktor Prenatal (gizi ibu saat hamil, mekanis, toksin/zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi,
imunitas, anoksia embrio, stres), faktor Postnatal (nutrisi,
penyakit kronis/ kelainan congenital, lingkungan fisik dan
kimia, psikologis, endokrin, sosio-ekonomi, lingkungan
pengasuhan, stimulasi, obat-obatan(10). 3) Pertumbuhan & Standar Peningkatan Berat Badan Bayi
Pada masa pertumbuhan berat badan bayi dibagi
menjadi dua, yaitu usia 0-6 bulan, dan usia 6-12 bulan.
Untuk usia 0-6 bulan pertumbuhan berat badan akan
mengalami penambahan setiap minggu sekitar 140-200 gram dan berat badannya akan menjadi dua kali berat
badan lahir pada akhir bulan ke-6. Sedangkan pada usia 6-
12 bulan terjadi penambahan setiap minggu sekiktar 25-40
gram dan pada akhir bulan ke-12 akan terjadi penambahan
tiga kali lipat berat badan lahir(11).
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah observasi analitik
dengan desain penelitian studi komparatif . Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki bayi berusia
1-6 bulan di kelurahan Demangan Kecamatan Bangkalan
Kabupaten Bangkalan sebanyak 46 bayi per periode April
tahun 2010 dengan kriteria tidak menderita penyakit
kronis atau cacat bawaan. Besar sampelnya adalah 41 responden menggunakan tehnik area proportional random
sampling(12).
Analisis yang digunakan adalah Univariat
Bivariat dengan uji statistik t 2 sampel bebas dimana tingkat
signifikasi α = 0,05 yang apabila nilai probability (P) < α maka Ho ditolak yang berarti ada perbedaan kenaikan berat
badan pada bayi yang diberi ASI Eksklusif dan yang diberi
MP-ASI dini. Variabel yang digunakan dalam penelitian
ini adalah, variabel indepen yaitu ASI Eksklusif dan MP-
ASI dini dan variabel dependen yaitu kenaikan berat badan bayi usia 1-6 bulan.
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
HASIL PENELITIAN 1. Data Umum Subyek Penelitian
Tabel 1. Karakteristik bayi dan ibu
Variabel n (%)
Umur Bayi (Bulan)
1 Bulan
2 Bulan
3 Bulan 4 Bulan
5 Bulan
6 Bulan
Jenis Kelamin Bayi
Laki-laki Perempuan
Usia Ibu
<17
17-20
21-25 26-30
31-35
>35
Pendidikan Ibu
SD SMP
SMA
SARJANA
Pekerjaan Ibu Tidak bekerja
Buruh
Wiraswasta
PNS
Penghasilan Keluarga
250.000-500.000
600.000-750.000
>750.000
7
6
3 9
14
2
24 17
-
5
21 13
2
-
5 10
19
7
5
12
15
9
18
14
9
(17)
(14,6)
(7,3) (22)
(34,1)
(5)
(58,5) (41,5)
-
(12,2)
(51,2) (31,7)
(4,9)
-
(12,2) (24,4)
(46,3)
(17,1)
(12,2)
(29,3)
(36,6)
(21,9)
(44)
(34,1)
(21,9)
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa
sebagaian besar bayi yang diteliti berumur 5 bulan yaitu
sebanyak 14 bayi (34,1%), dan sebagian kecil yaitu
pada umur 6 bulan sebanyak 2 bayi (5%). Variabel jenis
kelamin menunjukkan sebagian besar berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 24 bayi (58,5%) dan sisanya
adalah 17 bayi (41,5 %) berjenis kelamin perempuan.
Bila dilihat dari karakteristik ibu, tabel 1
menunjukkan bahwa sebagian besar ibu berusia antara
21-25 tahun pada saat dilakukan penelitian yaitu sebanyak 21 orang (51,2%) dan sebagian kecil berusia
31-35 tahun sebanyak 2 orang (4,9%). Pada variabel
pendidikan diketahui bahwa sebagian besar pendidikan
terakhir ibu adalah SMA (Sekolah Menengah Atas)
sebanyak 19 orang (46,3%) dan sebagian kecil pendidikan terakhir ibu adalah SD (Sekolah Dasar)
yaitu sebanyak 5 orang (12,2%). Sedangkan pada
variabel pekerjaan menunjukkan sebagian besar ibu
bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 15 orang (36,6%)
dan sebagian kecil ibu tidak bekerja yaitu sebanyak 5 orang (12,2%). Dan pada variabel pendapatan
didapatkan bahwa sebagian besar ibu penghasilan
keluarganya antara Rp. 250.000,- - 500.000,- sebanyak
18 keluarga (44%) dan sebagian kecil lebih dari Rp. 750.000,- sebanyak 9 keluarga (21,9%).
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur
Pemberian MP-ASI, Jenis MP-ASI, dan Frekuensi
Pemberian MP-ASI
Variabel Frekuensi Persentase
(%)
Umur Pemberian
0-29 hari
1 bulan
2 bulan
3 bulan 4 bulan
5 bulan
6 bulan
Jenis
Bubur Pisang
Susu
formula
Air Tajin
Frekuensi Pemberian Per
hari
1x
2x 3x
>3x
5
1
3
2
10 -
-
3
10 7
1
- 11
4
6
(23,8)
(4,8)
(14,3)
(9,6)
(47,6) -
-
(14,3)
(47,6) (33,3)
(4,8)
- (52,4)
(19)
(28,6)
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar
bayi diberikan atau diperkenalkan dengan MP-ASI pada saat berumur 4 bulan sebanyak 10 bayi (47,6%) dan
sebagian kecil pada saat berumur 1 bulan sebanyak 1
orang (4,8%). Sedangkan jenis MP-ASI yang diberikan
dapat diketahui bahwa sebagian besar bayi diberi MP-ASI
berupa pisang sebanyak 10 orang (47,6%) dan sebagian kecil diberi air tajin sebanyak 1 orang (4,8%). Dan pada
variabel frekuensi pemberian menunjukkan bahwa
sebagian besar bayi diberikan MP-ASI sebanyak 2x/hari
yaitu sebanyak 11 orang (52,4%) dan sebagian kecil yaitu
4 orang (19%) sebanyak 3x/hari.
2. Data Khusus Hasil Penelitian
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Bayi Berdasarkan
Pemberian ASI
Pemberian
ASI
Frekuensi Persentase
(%)
ASI Eksklusif 20 49
MP-ASI Dini 21 51
Total 41 100
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa
masih banyak ibu yang memberi bayinya MP-ASI Dini daripada ASI Eksklusif. Bayi Yang diberi MP-ASI Dini
sebanyak 21 bayi (51%), sedangkan yang diberi ASI
Eksklusif sebanyak 20 bayi (49%) .
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Bayi Berdasarkan Kenaikan Berat Badan Anak
Kenaikan
BB
Frekuensi
ASI Eksklusif
%
Frekuensi
MP-ASI Dini
%
Kurang
dari
normal
3 15 4 19
Normal 15 75 11 52
Lebih dari
normal
2 10 6 29
Total 20 100 21 100
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa
sebagian besar ibu yang memberikan ASI Eksklusif
memiliki bayi dengan kenaikan berat badan yang
normal sesuai dengan standar kenaikan berat badan anak yaitu sejumlah 15 bayi (75%) dan 2 bayi (10%)
berada pada kenaikan berat badan lebih dari normal.
Sedangkan bayi yang diberi MP-ASI Dini hanya
terdapat 11 bayi yang memiliki kenaikan berat badan
normal dan 4 bayi (19%) mengalami kenaikan berat badan yang kurang dari normal.
Tabel 5 Tabulasi S ilang Kenaikan Berat Badan Bayi
dengan Pemberian ASI
Pemberian ASI
Kenaikan Berat Badan Total
Normal Kuran
g Dari Norma
l
Lebih
Dari Norma
l Σ %
Σ % Σ % Σ %
ASI
Eksklusif
15
7
5
3
15
2
10
20
100
MP-ASI
Dini 11
5
2 4 19 6 29 21 100
Total 26 7 8 41
Uji Statistik t 2 sampel bebas p = 0,017 < α = 0,05
Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa
bayi yang diberi ASI Eksklusif 75% (15 bayi)
mengalami kenaikan berat badan normal dan 10% (2
bayi) mengalami kenaikan berat badan lebih dari
normal. Sedangkan bayi yang diberi MP-ASI Dini hanya terdapat 52% (11 bayi) yang mengalami
kenaikan berat badan normal, dan 19% (4 bayi)
mengalami kenaikan berat badan kurang dari normal.
Penjelasan tabel diatas menunjukkan bahwa
bayi yang diberi ASI Eksklusif cenderung lebih banyak mengalami kenaikan berat badan normal daripada bayi-
bayi yang diberi MP-ASI Dini.
Hasil analisa statistik dengan Uji t 2 sampel
bebas pada penelitian ini diperoleh nilai p = 0,017 < (α
= 0,05) yang berarti H0 ditolak menunjukkan bahwa ada perbedaan kenaikan berat badan pada bayi usia 1-6
bulan antara yang diberi ASI Eksklusif dan yang diberi
MP-ASI Dini.
PEMBAHASAN
1. Kenaikan Berat Badan Bayi yang Diberi ASI
Eksklusif
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5
diperoleh hasil bahwa 75% bayi yang diberi ASI Eksklusif
mengalami kenaikan berat badan yang normal sesuai
dengan standar kenaikan berat badan anak. Bayi yang
mengalami kenaikan berat badan kurang dari normal sebanyak 15% dan bayi dengan kenaikan berat badan
lebih dari normal sebanyak 10%.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa
bayi-bayi yang mengalami kenaikan berat badan normal
dikarenakan pada pemberian ASI eksklusif sudah mencukupi kebutuhan bayi terhadap asupan makanannya,
dimana dalam ASI mengandung lebih dari 200 unsur
pokok, anatara lain : zat putih telur, lemak, karbohidrat,
vitamin, mineral, faktor pertumbuhan, hormon, enzim, zat
kekebalan tubuh dan sel darah putih yang kesemuanya ini terdapat secara proporsional dan seimbang satu sama
lainnya, sehingga kebutuhan gizi bayi terpenuhi dengan
baik.
Kenaikan berat badan anak dibentuk dan
tergantung pada gizi yang diberikan. Salah satu makanan terbaik yang mengandung semua zat gizi yang sesuai
kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi
ialah ASI. ASI adalah cairan biologis kompleks yang
dihasilkan oleh kelenjar payudara wanita melalui proses
laktasi yang mengandung sel-sel darah putih, immunoglobulin, enzim, dan hormon, serta protein
spesifik untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. ASI
merupakan makanan yang mutlak untuk bayi yaitu pada
usia 4-6 bulan pertama kehidupannya(6).
ASI Eksklusif adalah memberikan hanya ASI tanpa memberikan makanan dan minuman lain kepada
bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan, kecuali obat dan
vitamin(4). Hal ini mengartikan bahwa bayi tidak perlu
diberi cairan dan makanan tambahan lain selama 6 bulan
pertama, karena ASI terdiri atas 88% air, sehingga setiap kali ibu menyusui bayinya, bayi sudah memperoleh air
melalui ASI, dan tidak dibenarkan untuk memberikan
cairan lain yang merupakan jalan masuknya kuman,
jamur, atau kontaminan lain yang dapat membahayakan
bayi. Keistimewaan komposisi ASI ialah dapat berubah
dari hari ke hari menyesuaikan dengan kebutuhan gizi
bayi yang mengalami proses pertumbuhan khususnya
pertumbuhan berat badan. Berat badan merupakan ukuran
antropometri yang menggambarkan indeks massa tubuh dan merupakan ukuran antropometri terpenting yang
digunakan pada pertumbuhan bayi. Pertumbuhan bayi
dipengaruhi oleh beberapa faktor dan selalu berkaitan
dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran
atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat, panjang, umur tulang
dan keseimbangan metabolik(10).
2. Kenaikan Berat Badan Bayi yang Diberi MP-ASI
Dini
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Dari hasil analisa data penelitian pada tabel 5 dapat digambarkan bahwa hanya 52% bayi yang diberi
MP-ASI Dini mengalami kenaikan berat badan normal
dan 29% mengalami kenaikan berat badan lebih dari
normal serta 19% dinyatakan kenaikan berat badannya
kurang dari normal. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari
hasil penelitian, bayi yang diberi MP-ASI Dini
mengalami kenaikan berat badan yang hanya 52%
normal, hal ini dikarenakan bayi tidak mendapatkan
ASI eksklusif serta pemberian makanan tambahan yang tidak sama kandungan gizinya dengan ASI, bayi terlalu
cepat untuk mendapatkan makanan tambahan, dimana
sistem pencernaannya belum siap untuk menerimanya,
sehingga bayi mengalami gangguan pencernaan dan
alergi yang diduga menyebabkan anak menderita kekurangan zat gizi (malnutrisi) yang dampaknya
terlihat pada gangguan pertambahan berat dan bayi
mengalami rentan sakit. Disamping itu juga
dikarenakan zat gizi yang didapatkan oleh anak tidak
seimbang sehingga pada pemberian MP-ASI dini bisa terjadi kurang atau kelebihan zat gizi yang
menyebabkan berat badan anak menjadi kurang atau
lebih dari normal, maka dari itu hal tersebutlah yang
menyebabkan angka prosentase kenaikan berat badan
normal pada bayi yang diberi MP-ASI dini lebih sedikit disbanding angka prosentase kenaikan berat badan
normal pada bayi yang diberi ASI eksklusif.
Status gizi yang berpengaruh terhadap
pembentukan berat badan anak yang kurus atau
kegemukan biasanya juga terjadi akibat zat gizi yang diperoleh dari makanan pendamping kekurangan atau
kelebihan pada saat penyajiannya. Makanan
pendamping ASI adalah makanan atau minuman
tambahan yang mengandung gizi diberikan pada
bayi/anak untuk memenuhi kebutuhan gizinya(3). Sedangkan MP-ASI Dini merupakan pemberian
makanan tambahan sebelum usia 6 bulan. Pemberian
cairan dan makanan dapat menjadi sarana masuknya
bakteri patogen yang nantinya berdampak terhadap
status kesehatan dan gizi bayi. Pada usia sebelum enam bulan ini, sistem pencernaan bayi belum siap untuk
menerima makanan selain ASI yang belum memiliki
protein pencernaan yang lengkap yang berhubungan
secara langsung dengan turunnya berat badan bayi.
Banyaknya pemberian MP-ASI Dini oleh para ibu dikarenakan adanya anggapan bahwa ibu t idak
bisa memproduksi ASI dengan maksimal, anak sudah
tidak mau minum ASI lagi, serta adanya anggapan
bahwa bayi sering menangis dikarenakan bayi masih
merasa lapar walaupun sudah diberi ASI(13). Alasan lainnya yaitu sebagian besar ibu-ibu bekerja sehingga
cenderung memberikan makanan/minuman formula
bayi yang praktis dan mudah disajikan(14). Menurut
James Akri (2004) pemberian makanan pendamping
ASI berupa makanan orang dewasa seperti makanan campuran yaitu makanan pokok, lauk pauk dan lainnya
tidak cocok bagi bayi baik ditinjau dari segi gizinya
maupun sifat fisik makanan tersebut dan hal ini akan
merugikan bagi status gizi dan kesehatan si bayi.
3. Perbedaan Kenaikan Berat Badan Bayi dengan Pemberian ASI
Setelah dilakukan analisis uji statistik
menggunakan Uji t 2 sampel bebas, diperoleh nilai p =
0,017 < α = 0,05 yang artinya ada perbedaan kenaikan
berat badan bayi usia 1-6 bulan antara yang diberi ASI Eksklusif dan yang diberi MP-ASI Dini.
Hasil diatas menunjukkan masih ada kelemahan
dan kekurangan dari pemberian MP-ASI Dini
dibandingkan dengan ASI Eksklusif, karena ASI
merupakan makanan dan minuman pertama dan terbaik yang mutlak untuk bayi yaitu pada usia 4-6 bulan pertama
kehidupannya(6). ASI memiliki kandungan yang dapat
membantu menyerap nutrisi dengan baik. Sejak bayi
dilahirkan, nutrisi memainkan peranan terpenting bagi
pertumbuhan dan perkembangan bayi. Adapun komponen-komponen nutrisi yang terkandung dalam ASI
adalah sebagai berikut : (1) Protein, (2) Karbohidrat, (3)
Lemak, (4) Elektrolit, (5)Vitamin, (6) Zat protektif dalam
ASI, Pertahanan tubuh spesifik seperti sel T dan
immunoglobulin serta pertahanan tubuh yang tidak spesifik seperti sel fagosit, complemen C2 dan C4,
lysosom, lactoperoxidase, laktoferin, transferin, semuanya
terdapat dalam ASI(7).
Dengan cara menyusui yang benar, produk ASI
dinyatakan cukup sebagai makanan tunggal untuk pertumbuhan bayi yang normal sampai 6 bulan.
Rekomendasi pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan
didasarkan pada bukti ilmiah tercukupinya kebutuhan bayi
dan lebih baiknya pertumbuhan bayi yang mendapat ASI
eksklusif serta menurunnya morbiditas bayi, dimana sebelum mencapai usia 6 bulan system pencernaan bayi
belum mampu berfungsi dengan sempurna, sehingga ia
belum mampu mencerna makanan selain ASI(15).
Pemberian MP-ASI harus memenuhi beberapa
kriteria antara lain : 1. Memiliki nilai energi dan kandungan protein
yang tinggi.
2. Memeiliki nilai suplementasi yang baik serta
mengandung vitamin dan mineral yang
cocok. 3. Dapat diterima oleh alat pencernaan bayi
dengan baik.
4. Harganya relatif murah.
5. Sebaiknya dapat diproduksi dari bahan-bahan
yang tersedia secara lokal. 6. Bersifat padat gizi
7. Kandungan serat kasar atau bahan lainnya yang
sulit dicerna dalam jumlah sedikit.
Pemberian MP-ASI sebelum waktunya sama saja
dengan membuka pintu gerbang masuknya berbagai jenis kuman. Menurut Soetjiningsih (2004), pemberian
makanan pendamping ASI terlalu dini akan menyebabkan
bayi tidak dapat menghisap semua ASI sehingga
kebutuhan bayi akan ASI tidak optimal ditambah lagi
dengan rendahnya tingkat sanitasi dan higine dalam pemberian makanan pendamping ASI akan meningkatkan
resiko infeksi saluran pencernaan. Saat bayi berusia di
bawah 6 bulan, sel-sel disekitar usus belum siap untuk
menerima kandungan dari makanan, sehingga makanan
yang masuk dapat menyebabkan reaksi imun dan terjadinya alergi.
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Cara yang paling utama untuk mencegah alergi terhadap makanan adalah dengan menunda pemberian
makanan yang potensial menimbulkan alergi karena
bayi baru lahir lebih mudah tersensitasi terhadap
makanan dari pada bayi yang lebih tua(13). Selain itu
dengan pemberian ASI Eksklusif sampai bayi berusia enam bulan baru dilanjutkan dengan pemberian
makanan padat, karena pada usia ini bayi umumnya
tidak lagi mendapat cukup energi dan zat gizi dari ASI
sedangkan bayi terus membutuhkan banyak energi dan
zat gizi tambahan dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya (16).
Semua permasalahan MP-ASI secara teoritis
sangatlah mempengaruhi pertumbuhan dan status gizi
anak(14). Hal ini menyatakan bahwa tidak dapat
disangkal pemberian ASI Eksklusif jauh lebih baik dibandingkan dengan pemberian MP-ASI pada bayi
usia 1-6 bulan sehingga cenderung lebih banyak bayi
yang mengalami kenaikan berat badan normal. Untuk
itu perlu adanya promosi yang lebih maksimal
mengenai pentingnya ASI Eksklusif kepada semua lapisan masyarakat terutama ibu yang memiliki bayi
agar memberikan ASInya secara eksklusif untuk
membantu meningkatkan pertumbuhan bayi secara
optimal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Indiarti, M.T. (2008). Asi, Susu Formula, &
Makanan Bayi. Jakarta : Elmatera Publishing. 2. Depkes RI. (1995). Pedoman Deteksi Dini Tumbuh
Kembang Balita. Jakarta : Depkes RI.
3. Roesli, Utami. (2000). Mengenal ASI Eksklusif
Seri I. Jakarta : Trinibus Agriwidya.
4. Soetjiningsih. (1998). Tumbuh Kembang Anak.
Jakarta : EGC.
5. Hidayat, Aziz Alimul. (2008). Pengantar Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta : Salemba
6. Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
7. Baso, M. (2007). Studi Longitudinal Pertumbuhan Bayi yang Diberi MP-ASI Pabrik (Blended Food)
dan Non Pabrik (Local Food) di Kabupaten Gowa.
8. Akre, James. (2004). Pemberian Makanan untuk
Bayi, Dasar-Dasar Fisiologis. Jakarta : Perinesia.
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
HUBUNGAN ANTARA INISIASI MENYUSU DINI DENGAN KONTRAKSI
UTERUS DAN INVOLUSI UTERI PADA IBU POST PARTUM DI BPS AN-NUR PAMEKASAN
RELATIONSHIP BETWEEN EARLY WITH CONTRACTIONS BREASTFEEDING
INITIATIONUTERUS AND UTERINE INVOLUTION POST PARTUM ON
BPS IN AN-NUR PAMEKASAN
(1)Dewi Caprina Andriyani, (2)Bambang Heriyanto (1)Mahasiswa STIKES Insan Unggul Surabaya
(2)Dosen Poltekkes DEPKES Surabaya
ABSTRAK
Proses pemulihan kesehatan pada masa nifas merupakan hal yang penting bagi ibu setelah melahirkan.
Sebab pada masa kehamilan dan persalinan telah terjadi perubahan fisik. Dengan perubahan fisik tersebut yang salah satunya penyusutan rahim atau involusi uteri, diharapkan bisa berlangsung normal. Involusi uteri akan lebih cepat dan
rahim segera kembali seperti semula dengan melakukan inisiasi menyusu dini, karena dengan inisiasi menyusu dini
akan merangsang kontraksi uterus. Tetapi masih banyaknya ibu post partum yang mengalami perdarahan baik
perdarahan primer maupun sekunder. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara inisiasi menyusu dini
dengan kontraksi uterus dan involusi uteri pada ibu post partum. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian analitik observasional dengan jumlah sampel sebanyak 37 ibu
post partum, teknik sampling yang digunakan adalah sistematik random sampling sedangkan instrumen mengumpulkan
data dengan metode observasi.
Hasil Uji Statistik dengan Uji Fisher’s Exact Test diperoleh hasil p = 0,023 α = 0,05 dan p < α, dengan
demikian H0 ditolak berarti ada hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kontraksi uterus pada ibu post partum di BPS An-Nur Pamekasan. Sedangkan hasil kedua pada kontraksi uterus dengan involusi uteri dengan Uji Fisher’s Exact
Test diperoleh hasil p = 0,054, α = 0,05 dan p > α, jadi H0 diterima artinya tidak ada hubungan antara kontraksi uterus
dengan involusi uteri pada ibu post partum di BPS An-Nur Pamekasan.
Kesimpulan yang didapatkan bahwa semakin cepat melakukan inisiasi menyusu dini maka kontraksi uterus
semakin keras, dan semakin keras kontraksi uterus involusi uteri akan semakin cepat kembali, namun semakin lembek kontraksi uterus maka tidak menunjukkan semakin lambatnya involusi uteri. Sehingga disarankan bagi ibu bersalin
meminta pada bidan saat proses persalinan menerapkan inisiasi menyusu dini.
Kata kunci : Inisiasi Menyusu Dini – Kontraksi Uterus – Involusi Uteri – Ibu Post Partum
ABSTRACT
Health recovery proccess of nifas is an important thing which is neccesary for mother after bearing. Cause
of at pregnancy time had make physically change. That change is the one thing from involusi uteri and expected can
take in normally time. Involusi uteri wiil be more faster and gracious will immediately return by doing milk initiation early, because with the milk initiation early will stimulate the uterus contraction. But still so many post partum mother
which bleeding like primary or secondary. The purpose of this analyse is to know the relationship among milk initiation
early with uterus contraction and involusi uteri to post partum mother.
This analyse was use observasional analitic. Total of sample is 37 post partum mother. Sampling technic
was use random sampling system and for collecting was use observation methode. The result of the statistic test with Fisher’s Exact Test has obtained p = 0,023 α = 0,05 and p < α with mean
H0 is rejected and so that means there was any relationship among milk initiation early with uterus contraction to post
partum mother. While second result of milk initiation early with involusi uteri the statistic test with Fisher’s Exact Test
has obtained p = 0,036 α = 0,05 and p < α with mean H0 is rejected and so that means there was any relationship among
milk initiation early with involusi uteri to post partum mother. Conclusion is the milk initiation early that faster uterus contractoin hence getting louder and involusi uteri
will be more quickly return like from the beginning. This matter because moment of mother ANC given important
counselling about milk initiation early so that more motivated to mother apply the milk initiation early. And suggested
for mother give of midwife to moment process copy to apply the milk initiation early.
Keyword : milk intiation early – uterus contraction – involusi uteri – post partum mother
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Proses pemulihan kesehatan pada masa nifas
merupakan hal yang sangat penting bagi ibu setelah
melahirkan. Sebab selama masa kehamilan dan persalinan telah terjadi perubahan fisik. (Inayati, 2008).
Salah satu perubahan yang terjadi di dalam tubuh ibu
yaitu involusi atau penyusutan uterus yang secara
perlahan-lahan bertambah besarnya hingga 1 kilogram
selama masa kehamilan, dan setelah persalinan akan kembali ke keadaan sebelum hamil (Pusdiknakes,
2001). Proses involusi uterus terjadi karena adanya
autolysis, kontraksi dan atrofi. Aktifitas otot-otot yaitu
adanya kontraksi dan retraksi dari otot-otot setelah anak
lahir yang diperlukan untuk menjepit pembuluh darah yang pecah karena adanya pelepasan plasenta. Dan
involusi uterus akan lebih cepat dan rahim segera
kembali seperti semula dengan melakukan inisiasi
menyusu dini, karena dengan inisiasi menyusu dini juga
akan dapat merangsang kontraksi uterus. Dan juga terhindar dari bahaya nifas yang nantinya bisa
menyebabkan kematian (Cesillia, 2007). Hal ini
bermanfaat bukan hanya bagi ibu tapi juga bagi bayi
baru lahir. Hal utama dalam inisiasi menyusu dini
adalah memberikan kesempatan pada bayi dan ibunya segera berinteraksi setelah proses kelahiran (Kompas,
2007). Dan mulai menyusu 1 jam pertama setelah lahir
dapat menyelamatkan 1 juta bayi setiap tahunnya yaitu
dimulai dengan satu tindakan memberi dukungan
selama 1 jam (Roesli, 2008). Berbagai faktor penyebab mengapa involusi uteri
masih mengalami keterlambatan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan bidan Titik Yulianingsih Amd, Keb
yang menyatakan bahwa kasus yang paling banyak di
BPS An-Nur Pamekasan yaitu keterlambatan involusi uteri setelah melahirkan disebabkan oleh ibu-ibu yang
tidak mau melakukan inisiasi menyusu dini dan masih
banyaknya perdarahan pasca persalinan yang
diakibatkan oleh sering meregangnya uterus karena ibu
yang terlalu sering hamil dengan jarak persalinan yang dekat yaitu kurang dari 2 tahun serta kehamilan pada
wanita dengan usia kurang dari 20 tahun. Padahal
sebenarnya kalau ibu melakukan pemberian ASI sejak
dini dengan cara inisiasi menyusu dini dengan benar,
kejadian perdarahan pasca persalinan akibat kontraksi yang tidak bagus bisa dikurangi dan involusi uteri cepat
kembali pada keadaan sebelum hamil.
Risiko ibu pasca persalinan dapat ditekan dengan
melakukan inisiasi menyusu dini karena tingkat
menyusui di Indonesia masih rendah dan informasi yang benar masih belum tersampaikan. Untuk itu Sentra
Laktasi Indonesia (Serasi) mengampanyekan inisiasi
menyusu dini yang belum tersampaikan secara benar
tersebut (Roesli, 2008).
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kontraksi uterus
dan involusi uteri pada ibu post partum di BPS An-Nur
Pamekasan.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Dasar Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
ASI Dini adalah pemberian ASI dalam waktu 1 jam
setelah lahir (Depkes, 2002). Inisiasi Menyusu Dini
adalah membiarkan bayi untuk menyusui pada ibunya sesaat setelah dilahirkan (Cesillia, 2007). Inisiasi
Menyusu Dini (early initation) atau permulaan menyusui
dini adalah bayi mulai menyusu sendiri segera setelah
lahir (Ambarwati, 2008).
Inisiasi yang benar adalah begitu lahir, setelah dipotong tali pusatnya, segera letakkan di dada ibunya.
Biarkan sampai ia bergerak dan mencari puting susu
ibunya hingga dapat. Kemudian biarkan minimal 30-40
menit, maksimal 1 jam (Rudhy, 2008).
Cara bayi melakukan inisiasi menyusu dini dinamakan the best crawl atau merangkak mencari
payudara (ambarwati, 2008). Hasil pengamatan
membenarkan bahwa segera menyusukan bayi setelah
bayi lahir memungkinkan bayi tidak akan kekurangan ASI
dan ibu tidak harus mengalami demam karena payudara bengkak (Purwanti, 2004).
Setelah lahir, ia menangis, dengan menangis
membuat sistem pernafasan, peredaran darah, perkemihan,
pencernaan dan syaraf mulai berfungsi secara normal
sehingga mampu beradaptasi dengan kehidupan di luar rahim. Bayi akan beradaptasi dengan lingkungan selama
setengah jam sampai satu jam kemudian bayi akan tidur
selama dua jam (Purwanti, 2004).
Faktor Yang Mempengaruhi Inisiasi Menyusu Dini : 1. Faktor internal : 1) Ibu ; Sentuhan kulit dengan kulit
antara ibu dan janin mampu menghadirkan efek
psikologis yang dalam di antara ibu dan bayi,
2) Biomedik ; Faktor biomedik terdiri dari jumlah
kelahiran, kesehatan bayi dan kesehatan ibu ( selama hamil, melahirkan dan setelah melahirkan) dan status
merokok, 3) Obat Kimiawi ; Obat kimiawi yang
bertujuan menghilangkan rasa sakit persalinan seperti
metode Intrathecal Labor Analgesia (ILA), tidak bisa
disejalankan dengan IMD, karena ketika ibu dibius bayi yang dilahirkan ikut terbius sehingga tak bisa
berjuang menggapai puting ibu (Parameter, 2008)
2. Faktor eksternal : 1) Tenaga medis ; Begitu lahir,
bayi yang ditaruh di perut ibunya dalam 50 menit
akan bergerak ke arah payudara lalu mengisap puting susu dengan benar. Sebaliknya, dari kelompok bayi
yang segera dimandikan setelah dilahirkan, baru
kemudian dikembalikan kepada ibunya ternyata
50%-nya tidak bisa mengisap dengan benar
walaupun sudah didekatkan ke payudara. Namun, sosialisasi tentang inisiasi menyusui dini masih
kurang oleh tenaga medis dan belum dipraktekkan
serta kesalahan yang terjadi selama ini atas
pemisahan bayi yang baru lahir dengan ibunya
merupakan tindakan keliru (Mirna, 2008), 2) Dukungan tenaga Kesehatan ; Dukungan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan dapat
membangkitkan rasa percaya diri ibu untuk membuat
keputusan menyusui bayinya (Kevyn’s, 2009),
3) Dukungan Saat ibu cemas dan kelelahan, ayah atau keluarga dapat berperan mengulurkan dukungan
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
dengan memberikan pujian dan dorongan. Percayalah, pujian seperti ini amat dibutuhkan
ketika si ibu merasa lelah dan patah semangat
(Senior, 2008). 4) Persalinan Dengan Tindakan, 5)
Sosial Budaya, 6 ) Sosial Ekonomi Konsep Dasar Kontraksi Uterus dan Involusi Uterus
1. Kontraksi Uterus
Uterus adalah organ yang sangat luar biasa dan
menjadi rumah janin selama dalam kandungan. Setelah melahirkan,,beratnya masih sekitar 0.7 kg (1 1/2 Ib).
Jika anda menekan bagian tengah perut, uterus terasa
sebesar buah grapefruit (sejenis jeruk) yang keras.
(Listyani, 2008)
Uterus adalah organ muskuler yang berbentuk seperti buah pir dan terletak diantara vesika urinaria dan
rectum. Uterus biasanya tertekuk ke ventral (antefleksi)
diatas vesica urinaria (Hariyanto, 2002)
kontraksi adalah serangkaian kontraksi rahim
yang teratur, yang secara bertahap akan mendorong janin melalui serviks (rahim bagian bawah) dan vagina
(jalan lahir), sehingga janin keluar dari rahim ibu
(Administrator, 2008).
Rahim atau uterus merupakan jaringan otot yang
kuat terletak di pelvis minor diantara kandung kemih dan rectum. Dinding belakang dan dinding depan rahim
dan bagian atas rahim tertutup peritonium. Sedangkan
bagian bawahnya berhubungan dengan kandung kemih.
Untuk mempertahankan posisinya rahim disangga oleh
beberapa ligamentum, jaringan ikat dan parametrium. (Admojo, 2008).
2. Involusi Uteri
Involusi adalah perubahan yang merupakan proses terjadinya alat kandungan atau uterus dari jalan
kelahiran seperti sebelum hamil. (Ibrahim, 1996 : 54).
Involusi uterus adalah secara berangsur-angsur uterus
menjadi kecil sehingga akhirnya kembali seperti
sebelum hamil (Rustam, 1998). Involusi atau pengerutan uterus merupakan suatu
proses dimana uterus kembali ke kondisi sebelum hamil
dengan berat sekitar 60 gram. Proses ini dimulai segera
setelah plesenta lahir akibat kontraksi otot – otot polos
uterus (Ambarwati, 2008). Pada akhir kala III persalinan, uterus berada di
garis tengah, kira-kira 2 cm di bawah umbilicus dengan
bagian fundus bersandar pada promontorium sakralis.
Pada saat ini besar uterus kira – kira sama dengan besar
uterus sewaktu usia kehamilan 16 minggu dengan berat 1000 gram.
Peningkatan kadar estrogen dan progesteron
bertanggung jawab untuk pertumbuhan masif uterus
selama masa hamil. Pertumbuhan uterus pada masa
prenatal tergantung pada hyperplasia, peningkatan jumlah sel-sel otot dan hipertropi, yaitu pembesaran sel
– sel yang sudah ada. Pada masa postpartum penurunan
kadar hormon – hormon ini menyebabkan adanya
autolisis.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Involusi :
1. Paritas (Jumlah Anak)
Paritas mempengaruhi involusi uterus. Otot-otot yang terlalu sering terenggang maka elastisitas akan berkurang.
Dengan demikian untuk mengembalikan keadaan semula
setelah terenggang memerlukan waktu yang lama (Reeder,
1997).
2. Usia
Ibu yang usianya lebih tua banyak dipengaruhi oleh proses penuaan. Pada proses penuaan terjadi perubahan
metabolisme yaitu terjadi peningkatan jumlah lemak,
penurunan otot dan penurunan penyerapan lemak, protein,
dan karbohidrat.
Dengan adanya penurunan regangan otot akan mempengaruhi pengecilan otot rahim setelah melahirkan,
serta membutuhkan waktu yang lama dibanding dengan
ibu yang mempunyai kekuatan dan regangan otot yang
lebih baik. Involusi uterus terjadi karena proses autolisis,
dimana zat protein dinding rahim pecah, diserap dan kemudian dibuang bersama air kencing. Bila proses ini
dihubungkan dengan penurunan penyerapan protein pada
proses penuaan maka hal ini akan menghambat involusi
uterus. Selain itu juga adanya penurunan regangan otot
dan peran jumlah lemak akan menjadi semakin lambat proses involusi uterus (Sweet, 1998).
3. Laktasi/Menyusui
Setelah ada persalinan pengaruh dari esterogen dan progesteron terhadap hipofisis hilang. Timbul pengaruh
hormon hipofise kembali, antara lain prolaktin. Payudara
yang telah dipersiapkan pada masa kehamilan
terpengaruhi dengan akibat kelenjarnya berisi air susu.
(Prawirohardjo, 2007) Faktor Yang Mempengaruhi Inisiasi Meyusu Dini,
Kontraksi Uterus dan Involusi Uteri :
Wanita yang mengalami persalinan dan yang
melakukan inisiasi menyusu dini akan meningkatkan
produksi prolaktin dan oksitosin sebagai respon terhadap stimulasi hisapan mulut bayi (sucking). Dengan
meningkatnya prolaktin, terjadi produksi air susu,
sementara oksitosin menyebabkan kontraksi mammae
yang membantu pengeluaran air susu. Oksitosin juga
berfungsi meningkatkan kontraksi uterus sehingga membantu involusi. Setelah tercapai tingkat kontraksi
tertentu, kadar prolaktin dan oksitosin kembali (feedback
negatif), sehingga produksi dan pengeluaran berhenti.
Produksi Asi dirangsang melalui “let down reflex”
yaitu rangsang putting – hipofisis – prolaktin – kelenjar susu. Demikian juga oksitosin akan keluar sebagai
hormon yang memompa mioepitel duktus mamaria. Pada
saat menyusui mungkin ibu merasakan ngilu atau
kontraksi di daerah uterus karena pengaruh oksitosin yang
meningkat juga terhadap uterus. Untuk itu proses menyusui membantu rahim anda untuk kembali ke ukuran
awal sebelum melahirkan.
Faktor yang mempengaruhi inisiasi menyusu dini
sendiri adalah faktor internal dan eksternal, faktor internal
terdiri dari ibu, obat kimiawi dan biomedik. Sedangkan
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
6
16.2%
31
83.8%
IMD Lambat
IMD Cepat
faktor eksternal yaitu pelayanan medis, dukungan tenaga kesehatan, dukungan suami, dan keluarga,
persalinan dengan tindakan, sosial budaya dan social
ekonomi. Sedangkan faktor yang mempengaruhi
kontraksi uterus yaitu hormon estrogen, hormon
oksitosin, hormon prostaglandin, hormon relaksin. Sedangkan faktor yang mempengaruhi involusi uteri
yaitu usia, paritas dan laktasi/menyusui.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis
penelitian analitik observasional adalah pengukuran
penelitian yang dilaksanakan dengan cara pengamatan
terhadap suatu objek yang dipantau dengan lembar
observasi. Populasinya adalah semua ibu post partum di
BPS An-Nur yang memenuhi kriteria yaitu ibu nifas
fisiologis, primi/multipara, dengan persalinan
pervaginam, bersedia untuk diteliti sebanyak 40 ibu
post partum dengan melakukan survey awal pada tanggal 12 Januari 2009, sampel memenuhi kriteria
penelitian yaitu sebanyak 37 ibu post partum.
Adapun besar sampel dalam penelitian ini
ditetapkan berdasarkan rumus sebagai berikut :
qPZaNd
qP
..1.
.. ZaN. n
22
2
Keterangan :
n = Jumlah Sampel
P = Estimator proporsi populasi (0,5)
Q= 1 – P (0,5)
Za= Harga kurva normal yang tergantung dari alpha (a) (1,96)
N = Besar Populasi
d = Presisi / tingkat kepercayaan 5% (0,05)
dari rumus ini didapatkan jumlah sampel :
jadi, sampel dalam penelitian ini sebanyak 37 responden
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penyajian data yang ditampilkan meliputi data
umum dan data khusus. Data umum menampilkan umur,
paritas, dan laktasi. Sedangkan data khusus akan
menggambarkan data hasil observasi tentang inisiasi menyusu dini, kontraksi uterus dan involusi uteri ibu post
partum, dan hubungan antara inisiasi menyusu dini
dengan kontraksi uterus, serta hubungan antara kontraksi
uterus dengan involusi uteri pada ibu post partum. Untuk
mengetahui tingkat signifikan frekuensi antar variabel dan mengukur hubungan yang bermakna, akan di uji dengan
uji Chi Square.
Data ibu post partum tentang inisiasi menyusu dini
dengan kontraksi uterus
Data Khusus
Data ini menampilkan tentang inisiasi menyusu dini,
kontraksi uterus, dan involusi uteri pada ibu post partum,
hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kontraksi
uterus, serta hubungan antara kontraksi uterus dengan involusi uteri pada ibu post partum.
1. Data Ibu Post Partum tentang Inisiasi Menyusu Dini
Diagram 1. Distribusi frekuensi ibu post partum
berdasarkan inisiasi menyusu dini di BPS An-Nur Pamekasan tanggal 15 Juni
sampai 25 Agustus 2009.
Dari diagram dapat diketahui bahwa antara ibu post
partum dengan inisiasi menyusu dini cepat sebanyak 31 orang (83,8%) dan yang melakukan inisiasi menyusu dini
lambat sebanyak 6 orang (16,2%)
5,0.5,0)96,1()140.(0,05
5,0.5,0.1,9640. n
22
2
qPZaNd
qP
..1.
..N.Za n
22
2
53,8416.0,20,0025.39
0,2540.3,8416. n
0,96040,0975
38,416 n
37 n
36,3 n
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
IMD
Kontraksi Uterus Total
Lembek Keras
∑ % ∑ % ∑ %
IMD Lambat 2 33,3 4 66,7 6 100
IMD Cepat 0 0 31 100 31 100
Total 2 5,4 35 94,6 37 100
Kontraksi Uterus
Involusi Uteri Total
Lambat Cepat
∑ % ∑ % ∑ %
Lembek 1 50 1 50 2 100
Keras 0 0 35 100 35 100
Total 1 2,7 36 97,3 37 100
2
5.4%
35
94.6%
Kontraksi uterus lembek
Kontraksi uterus keras
1
2.7%
36
97.3%
Involusi uteri lambat
Involusi uteri cepat
2. Data Ibu Post Partum tentang Kontraksi Uterus
Diagram 2. Distribusi frekuensi ibu post partum
berdasarkan kontraksi uterus di BPS
An-Nur Pamekasan tanggal 15 Juni
sampai 25 Agustus 2009.
Dari diagram dapat diketahui bahwa antara ibu post
partum dengan kontraksi uterus keras sebanyak 35
orang (94,6%) dan ibu post partum dengan kontraksi uterus lembek sebanyak 2 orang (5,4%).
3. Data Ibu Post Partum tentang Involusi Uteri
Diagram 3. Distribusi frekuensi ibu post partum berdasarkan involusi uteri di BPS
An-Nur Pamekasan tanggal 15 Juni
sampai 25 Agustus 2009.
Dari diagram didapatkan bahwa sebanyak 36 orang (97,3%) dengan involusi uteri cepat sedangkan yang
mengalami involusi uteri lambat sebanyak 1 orang
(2,7%).
Tabel.1 Distribusi inisiasi menyusu dini dengan
kontraksi uterus pada ibu post partum
di BPS An-Nur Pamekasan pada tanggal
15 Juni sampai 25 Agustus 2009
Dari tabel di dapatkan bahwa ibu post partum yang melakukan inisiasi menyusu dini cepat dengan kontraksi
uterus keras sebanyak 100% Sedangkan dari ibu post
partum yang melakukan inisiasi menyusu dini lambat
dengan kontraksi uterus keras sebanyak 66,7% dan yang
kontraksi uterusnya lembek sebanyak 33,3%. Data ibu post partum tentang kontraksi uterus
dengan involusi uteri
Tabel.2 Distribusi kontraksi uterus dengan involusi
uteri pada ibu post partum di BPS An-Nur Pamekasan pada tanggal 15 Juni sampai 25
Agustus 2009
Dari tabel di dapatkan bahwa ibu post partum yang
kontraksi uterusnya keras sebanyak 100% dengan involusi uteri cepat. Sedangkan ibu post partum yang kontraksi
uterusnya lembek sebesar 50% dengan involusi uteri cepat
dan yang involusi uterinya lambat sebanyak 50%.
Hubungan Antara Inisiasi Menyusu Dini Dengan
Kontraksi Uterus
Oleh karena syarat uji Chi Square belum terpenuhi
yaitu ada harga expected < 5, maka uji statistik yang dipilih adalah Fisher’s Exact Test. Dengan α = 0,05
didapatkan nilai p = 0,023 dan p < α, dengan demikian H0
ditolak yang berarti semakin cepat melakukan inisiasi
menyusu dini maka semakin keras kontraksi uterus.
Hubungan Antara Kontraksi Uterus Dengan Involusi
Uteri
Oleh karena syarat uji Chi Square belum terpenuhi
yaitu ada harga expected < 5, maka uji statistik yang dipilih adalah Fisher’s Exact Test. Dengan α = 0,05
didapatkan nilai p = 0,054 dan p > α, dengan demikian H0
diterima yang berarti bahwa kontraksi uterus tersebut
bukan satu-satunya penyebab terjadinya percepatan
involusi uteri. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor-faktor lain.
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Inisiasi Menyusu Dini
Berdasarkan diagram 1 dari 37 ibu post partum,
sebanyak 31 ibu post partum (83,8%) dengan inisiasi
menyusu dini cepat dan yang melakukan inisiasi
menyusu dini lebih lambat sebanyak 6 ibu post partum (16,2%). Data tersebut menunjukkan bahwa ibu post
partum yang inisiasi menyusu dini cepat dengan waktu
antara 2 menit sampai 1 jam lebih banyak dari pada ibu
post partum yang inisiasi menyusu dini lebih lambat
yaitu dengan waktu lebih dari 1 jam. Menurut Purwanti (2004) Menyusui segera setelah bayi lahir merupakan
penentu untuk keberhasilan penerapan ASI eksklusif.
Sebelum setengah jam pertama, bayi harus disusukan
kepada ibunya. Aktivitas ini untuk merangsang hipofise
agar tetap mempertahankan hormon prolaktin sebelum hormon ini turun kadarnya dalam peredaran darah.
Segera setelah lahir, ia menangis, dengan menangis
membuat sistem pernafasan, peredaran darah,
perkemihan, pencernaan dan saraf mulai berfungsi
secara normal sehingga mampu beradaptasi dengan kehidupan di luar rahim. Bayi akan beradaptasi dengan
lingkungan selama setengah jam sampai satu jam
kemudian bayi akan tidur selama dua jam. Bayi akan
terbangun lagi kira-kira lima belas menit sampai
setengah jam dan bayi akan tidur lagi. Oleh karena itu penting untuk segera menyusukan bayi kepada ibu
sebelum setengah jam setelah persalinan untuk
menghindari bayi masuk jam tidur. Jika demikian bayi
akan malas bahkan tidak mau menghisap puting susu
ibu selama jam tidurnya. Bila ini terjadi, upaya merangsang pengeluaran ASI akan sangat terlambat dan
membuat produksi ASI tertekan.
Responden lebih dominan berhasil menerapkan
inisiasi menyusu dini lebih cepat dikarenakan setiap ibu
yang melakukan ANC mendapat penyuluhan yang diperlukan sesuai trimester. Pada trimester III ibu
diberikan penyuluhan tentang pentingnya menerapkan
inisiasi menyusu dini. Dengan adanya penyuluhan, ibu
akan termotivasi untuk menerapkan inisiasi menyusu
dini pada saat persalinan. Menurut Notoatmodjo yang dikutip dari Rodgers 1974 bahwa subyek mulai
berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran
dan sikapnya terhadap stimulus.
Selain itu, perilaku seseorang juga dipengaruhi
oleh umur. Menurut Nursalam (2001) mengutip pendapat Hunlock bahwa semakin cukup umur, tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang
dalam berfikir. Hal ini sesuai dengan umur ibu post
partum yang banyak berumur 20-35 tahun bahwa
dengan usia dewasa lebih mudah menerima informasi dan lebih matang dalam menerapkan inisiasi menyusu
dini.
Kontraksi Uterus
Berdasarkan diagran 2 dapat diketahui bahwa
sebanyak 35 ibu post partum (94,6%) kontraksi
uterusnya keras dan yang mengalami kontraksi
uterusnya lembek sebanyak 2 ibu post partum (5,4%).
Dari data tersebut didapatkan lebih banyak ibu post
partum yang kontraksi uterusnya keras dari pada responden yang kontraksi uterusnya lembek.
Menurut Mochtar 1998, setelah bayi lahir uterus
yang selama persalinan mengalami kontraksi dan retraksi
akan menjadi keras, sehingga dapat menutup pembuluh
darah besar yang bermuara pada bekas implantasi plasenta. Otot rahim terdiri dari tiga lapis otot yang
membentuk anyaman sehingga pembuluh darah dapat
tertutup sempurna. Sedangkan menurut Syaifuddin 2001,
pada kala empat normal fundus uteri berkontraksi teraba
keras sehingga mudah dilakukan perabaan dan berada dibawah pusat. Masase fundus juga perlu untuk
menumbuhkan kontraksi.
Responden lebih dominan dengan kontraksi
uterusnya keras dikarenakan setiap ibu yang bersalin
diajari cara melakukan masase fundus agar kontraksi uterus tetap keras. Selain itu, kontraksi uterus yang keras
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya yaitu
faktor hormonal seperti esterogen yang konsistensinya
akan meningkat pada saat persalinan. Disamping itu juga
dipengaruhi oleh hormon oksitosin, oksitosin dihasilkan oleh hipofisis ibu dan janin, suntikan oksitosin juga
diberikan pada ibu setelah pemotongan tali pusat sehingga
kontraksi uterus menjadi semakin keras, yang ditandai
dengan perasaan mulas pada ibu dan kadang perasaan
mulas tersebut juga mengganggu yang biasanya berlangsung 2 – 3 hari post partum. Hal ini banyak
dialami pada ibu post partum dengan multipara
dibandingkan pada ibu post partum dengan primipara.
Involusi Uteri
Berdasarkan diagram 3 dapat diketahui bahwa
sebanyak 36 ibu post partum (97,3%) dengan involusi
uterinya cepat dan yang mengalami involusi uterinya
lambat sebanyak 1 ibu post partum (2,7%). Dari data tersebut didapatkan lebih banyak ibu post partum yang
involusi uterinya cepat dari pada ibu post partum yang
involusi uterinya lambat.
Menurut Rustam (1998) Involusio uterus adalah
secara berangsur-angsur uterus menjadi kecil sehingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil. Sehingga proses
involusio uteri sangat penting untuk mempercepat
pengecilan rahim dan tidak terjadi tanda-tanda bahaya
post partum.
Ibu post partum lebih dominan dengan involusi uterusnya cepat dikarenakan ibu sangat kooperatif pada
saat persalinan sehingga tanda-tanda bahaya nifas tidak
terjadi. Selain itu faktor yang berpengaruh terhadap
percepatan involusi uteri yaitu dipengaruhi oleh faktor
usia ibu post partum. Ibu post partum sebagian besar dengan usia antara 20 – 35 tahun. Pada usia tersebut ibu
yang mengalami involusi uteri cepat lebih banyak karena
usia tersebut merupakan usia yang baik untuk
bereproduksi. Disamping faktor usia, involusi uteri yang
cepat juga dipengaruhi oleh paritas atau jumlah anak, meskipun jumlah anak ibu lebih banyak yang lebih dari 1,
tetapi jarak kehamilan dan persalinan bukan termasuk
golongan resiko tinggi. Sehingga ibu post partum tetap
mengalami involusi uteri yang lebih cepat. Dan involusi
uteri juga dipengaruhi oleh tenaga kesehatan yang membantu ibu tersebut saat bersalin dengan asuhan
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
sayang ibu. Ibu yang normal saat persalinan tanpa adanya sisa plasenta yang menyebabkan perdarahan
post partum merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi involusi uteri cepat.
Hubungan Inisiasi Menyusu Dini dengan Kontraksi Uterus
Berdasarkan tabel 1 ibu post partum dengan
inisiasi menyusu dini cepat dan kontraksi uterusnya
keras terdapat 31 ibu post partum (100%). Hal ini dikarenakan pengetahuan ibu akan pentingnya
menerapkan inisiasi menyusu dini yang disampaikan
oleh bidan saat memberikan penyuluhan selama hamil,
serta adanya dukungan dari keluarga terutama suami
sehingga ibu mau menerapkan inisiasi menyusu dini. Menurut Roesli (2000) ayah merupakan bagian yang
vital dalam keberhasilan atau kegagalan menyusui.
Ayah mempunyai peran yang sangat menentukan dalam
keberhasilan menyusui karena ayah akan turut
menentukan kelancaran reflek pengeluaran ASI yang sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi atau perasaan
ibu. Selain itu menurut Purwanti (2004) dengan
memberikan ASI dalam waktu kurang dari setengah
jam pasca persalinan bayi mendapat terapi psikologis
berupa ketenangan dan kepuasan. Pelukan ibu membuat bayi mendapatkan rasa aman dan nyaman seperti di
dalam rahim ibu. Dengan isapan bayi yang benar,
oksitosin akan keluar lebih banyak sehingga rahim akan
terus berkontraksi. Dengan demikian perdarahan post
partum dapat dicegah yang dapat mengurangi angka anemi pada ibu post partum. Sedangkan ibu post
partum dengan inisiasi menyusu dini lambat tetapi
kontraksi uterusnya keras terdapat 4 ibu post partum
(66,7%). Meskipun ibu dalam menerapkan inisiasi
menyusu dini lebih dari 1 jam tetapi ibu tetap bersabar sampai akhirnya bayi bisa menemukan puting ibu
sendiri, karena ibu ingin menerapkan ASI eksklusif
pada bayinya. Menurut Roesli (2008) inisiasi menyusu
dini dapat melatih dan membiasakan bayi menghisap
payudara ibu yang nantinya berperan penting dalam mewujudkan keberhasilan pemberian ASI eksklusif
selama 6 bulan pertama dan berlanjut dengan
pemberian ASI sampai anak berusia 2 tahun. Inisiasi
menyusu dini juga membantu bayi mendapatkan
kolostrum, sesuatu yang dibutuhkan dalam menyongsong kehidupan dunia. ibu post partum dengan
inisiasi menyusu dini lambat dan kontraksi uterusnya
lembek terdapat 2 ibu post partum (33,3%). Hal ini
karena bayi memerlukan waktu untuk menyesuaikan
dengan lingkungan luar dalam mencari dan merambat untuk menemukan puting susu ibunya, serta proses
persalinan yang berat yaitu persalinan lama. Meskipun
pada proses persalinan lama ibu tetap mencoba
menerapkan inisiasi menyusui dini, meskipun pada
kenyataannya kontraksi yang dialami ibu masih lembek.
Berdasarkan analisis tabulasi silang bahwa
semakin cepat melakukan inisiasi menyusu dini maka
kontraksi uterus semakin keras. Sedangkan berdasarkan
hasil Uji Fisher’s Exact Test diperoleh hasil p = 0,023 α = 0,05 dan p < α, dengan demikian H0 ditolak yang
berarti ada hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kontraksi uterus pada ibu post partum. Hal ini sesuai teori
yang dikemukakan pada manajemen laktasi (Depkes,
2001) bahwa dengan menyusui merangsang reflek let-
down atau reflek oxitosin yang memperlancar otot rahim.
Dengan menerapkan inisiasi menyusu dini maka isapan bayi pada puting susu ibu terjadi secara dini pula.
Dengan adanya isapan bayi, puting akan terangsang dan
rangsangan ini oleh saraf diteruskan ke otak, selanjutnya
otak memerintahkan kelenjar hypofise bagian belakang
untuk mengeluarkan oksitosin. Hormon ini akan mempengaruhi otot-otot pada buah dada dan uterus
sehingga uterus berkontraksi lebih baik (Ibrahim, 1996).
Penyebab dari adanya hubungan antara inisiasi
menyusu dini dengan kontraksi uterus pada ibu post
partum di BPS An-Nur Pamekasan dikarenakan beberapa faktor yaitu faktor dari ibu sendiri. Kebanyak ibu sangat
ingin menyusui bayinya sesaat setelah melahirkan dengan
menerapkan inisiasi menyusu dini, ibu yang berhasil
menerapkan inisiasi menyusu dini lebih cepat akan segera
terjalin sentuhan kulit dengan kulit antara ibu dan janin. Sehingga mampu menghadirkan efek psikologis yang
dalam di antara ibu dan bayi, sehingga atas isapan bayi
pada puting ibu tersebut tanpa disadari ibu akan
merasakan nyeri atau kontraksi di daerah uterus. Karena
pengaruh oksitosin yang meningkat terhadap uterus.
Hubungan Kontraksi Uterus dengan Involusi Uteri
Berdasarkan tabel 2 ibu post partum dengan
kontraksi uterus keras dan involusi uterinya cepat terdapat 35 ibu post partum (100%). Hal ini dipengaruhi oleh usia
ibu yang kebanyakan berusia antara 20-35 tahun, karena
pada usia tersebut merupakan usia reproduksi.
Menurut Prawirohardjo 2007 bahwa Setelah ada
persalinan pengaruh dari esterogen dan progesteron terhadap hipofisis hilang. Timbul pengaruh hormon
hipofise kembali, antara lain prolaktin. Payudara yang
telah dipersiapkan pada masa kehamilan terpengaruhi
dengan akibat kelenjarnya berisi air susu. Dan Menurut
Ibrahim 1996, dengan isapan bayi, puting susu terangsang, rangsangan ini oleh syaraf diteruskan ke otak kemudian
otak memerintahkan kelenjar hipofise bagian belakang
mengeluarkan hormon oksitosin yang dibawa ke otot-otot
polos sehingga berkontraksi lebih baik lagi. Dengan
demikian involusi uterus lebih cepat dan pengeluaran lochea lebih lancar.
Sedangkan ibu post partum yang mengalami
kontraksi uterus lembek dengan involusi uteri cepat
sebanyak 1 ibu post partum (50%) dan ibu post partum
yang mengalami kontraksi uterus lembek dengan involusi uteri lambat sebanyak 1 ibu post partum (50%). Hal ini
dipengaruhi oleh usia yang lebih dari 35 tahun dan paritas
yang lebih dari 1 dengan jarak anak yang kurang dari 2
tahun. Menurut Sweet 1999, ibu yang usianya lebih tua
banyak dipengaruhi oleh proses penuaan. Pada proses penuaan terjadi perubahan metabolisme yaitu terjadi
peningkatan jumlah lemak, penurunan otot dan penurunan
penyerapan lemak, protein, dan karbohidrat.
Dengan adanya penurunan regangan otot akan
mempengaruhi pengecilan otot rahim setelah melahirkan, serta membutuhkan waktu yang lama dibanding dengan
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
ibu yang mempunyai kekuatan dan regangan otot yang lebih baik. Involusi uterus terjadi karena proses
autolisis, dimana zat protein dinding rahim pecah,
diserap dan kemudian dibuang bersama air kencing.
Bila proses ini dihubungkan dengan penurunan
penyerapan protein pada proses penuaan maka hal ini akan menghambat involusi uterus. Selain itu juga
adanya penurunan regangan otot dan peran jumlah
lemak akan menjadi semakin lambat proses involusi
uterus.
Sedangkan menurut Reeder 1997, paritas mempengaruhi involusi uterus. Otot-otot yang terlalu
sering terenggang maka elastisitas akan berkurang.
Dengan demikian untuk mengembalikan keadaan
semula setelah terenggang memerlukan waktu yang
lama. Sedangkan menurut Sweet 1998, Involusi uterus bervariasi pada ibu pasca salin, dan biasanya ibu yang
paritasnya tinggi proses involusinya menjadi lebih
lambat. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan uterusnya,
karena makin sering hamil uterus yang sering
mengalami regangan. Berdasarkan analisis tabulasi silang bahwa
semakin keras kontraksi uterus maka semakin cepat
involusi uteri, namun semakin lembek kontraksi uterus
maka involusi uteri tidak menunjukkan semakin
lambatnya involusi uteri. Hal ini ditunjang dengan hasil Uji Fisher’s Exact Test dengan α = 0,05 didapatkan
nilai p = 0,054 dan p > α, maka H0 diterima yang berarti
bahwa tidak ada hubungan antara kontraksi uterus
dengan involusi uteri pada ibu post partum. Hal ini
bahwa kontraksi itu bukan satu – satunya penyebab terjadinya percepatan involusi uteri.
Penyebab dari tidak adanya hubungan antara
kontraksi uterus dengan involusi uteri bisa disebabkan
oleh faktor – faktor lain. Faktor tersebut antara lain
faktor usia, ada beberapa ibu yang usianya lebih dari 35 tahun. Ibu yang usianya lebih tua banyak dipengaruhi
oleh penuaan. Pada proses penuaan tersebut terjadi
perubahan metabolisme yang salah satunya terjadinya
penurunan otot. Hal tersebut akan mempengaruhi
pengecilan otot rahim setelah melahirkan, serta membutuhkan waktu yang lama dibanding dengan ibu
yang mempunyai kekuatan dan regangan otot yang
lebih baik. Faktor lain yang berpengaruh yaitu paritas
atau jumlah anak. Ada beberapa orang dengan paritas
lebih dari 1. Hal ini mempengaruhi otot – otot yang terlalu sering teregang maka elastisitas akan berkurang.
Dengan demikian untuk mengembalikan keadaan
semula membutuhkan waktu yang lama. Hal ini
dipengaruhi oleh keadaan uterus ibu, karena semakin
sering meregang (hamil) uterus juga akan mengalami regangan.
Kesimpulan dan Saran Simpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan pada 37 ibu post partum dapat
disimpulkan sebagai berikut :
i. Ibu post partum sebagian besar melakukan inisiasi
menyusu dini cepat sebanyak 31 orang
(83,8%).
ii. ibu post partum sebagian besar mengalami kontraksi uterus keras sebanyak 35 orang (94,6%).
iii. ibu post partum sebagian besar mengalami
involusi uteri cepat sebanyak 36 orang (97,3%).
iv. Berdasarkan analisis tabulasi silang sebanyak 31
ibu post partum (100%) melakukan inisiasi menyusu dini cepat dengan kontraksi uterus keras
yang berarti bahwa semakin cepat melakukan
inisiasi menyusu dini maka kontraksi uterus
semakin keras. Sedangkan berdasarkan hasil uji
Fisher’s Exact Test bahwa ada hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kontraksi uteri pada
ibu post partum.
v. Berdasarkan analisis tabulasi silang sebanyak 35
ibu post partum (100%) yang mengalami kontraksi
uterus keras dengan involusi uteri cepat yang berarti bahwa semakin keras kontraksi uterus
involusi uteri akan semakin cepat kembali, namun
semakin lembek kontraksi uterus maka involusi
uteri tidak menunjukkan semakin lambatnya
involusi uteri. Hal ini ditunjang dengan hasil uji Fisher’s Exact Test bahwa tidak ada hubungan
antara kontraksi uterus deangan involusi uteri pada
ibu post partum.
Saran Bagi Profesi Bidan
1. Bidan diharapkan dapat memberikan penyuluhan
mengenai pentingnya inisiasi menyusui dini pada
saat ibu hamil melakukan ANC, sehingga ibu
mengerti dan memahami tentang manfaat inisiasi menyusu dini.
2. Bidan diharapkan dapat menerapkan inisiasi
menyusu dini pada saat persalinan.
Bagi Masyarakat
1. Ibu hamil pada saat ANC diharapkan meminta penjelasan pada bidan mengenai bagaimana
memberikan ASI sedini mungkin dan cara penerapan
ASI eksklusif.
2. Khususnya bagi ibu bersalin meminta pada bidan
saat proses persalinan menerapkan inisiasi menyusu dini
DAFTAR PUSTAKA
1. Listyani, Ningsih. 2008. Mengenal Organ Reproduksi Wanita, www.google.com
2. Hariyanto, 2002. Susunan Organ Reproduksi
Kewanitaan, www.google.com
3. Administrator, 2008. Syarat Mendapatkan Manfaat,
www.google.com 4. Admojo, 2008. Bagian-bagian Dalam Pada Wanita,
www.google.com
5. Ambarwati, dkk, 2008. Asuhan Kebidanan Nifas,
Jogjakarta : Mitra Cendikia Press
6. Reeder, Js. 1997. Maternity Nursing, Eighteenth Edition, New York : Lippincoth Philadelphia
7. Prawirohardjo, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan,
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
PENDAHULUAN
ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
GANGGUAN AKIBAT KEKURANGAN YODIUM ( GAKY ) ( Studi di Desa Sejati Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang )
ANALYSIS OF FACTORS RELATED TO THE INCIDENT
DISRUPTION DUE TO LACK IODIZED
(GAKY) (Studies in the Village District True Camplong Sampang District)
(1)Moch.Choirin
(1)Dosen STIKES Insan Se Agung
ABSTRAK
Salah satu dari empat masalah gizi di Indonesia adalah Defisiensi Yodium. Kekurangan Yodium adalah
sekelompok symptons yang terjadi karena kekurangan unsur yodium secara terus menerus dan dalam waktu yang lama.
Iodine juga dibutuhkan oleh semua orang, terutama pada pertumbuhan janin, bayi dan teanager. Kekurangan Yodium akan menyebabkan pertumbuhan fisik terganggu dan kecerdasan yang rendah sehingga kualitas sumber daya manusia
menjadi lebih buruk. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor whici berhubungan dengan Kekurangan
Yodium di Desa Sejat Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang (Desa Sejati, Kecamatan Camplong Kabupaten
Sampang).
Ini adalah kasus kontrol penelitian survei analitik dengan pendekatan retrospektif. Populasi adalah ibu-ibu yang anak-anaknya menderita Defisiensi Yodium (70 kasus) dan orang-orang yang anaknya tidak menderita Defisiensi
Yodium sebagai kelompok kontrol (70). Mereka akan diambil secara stratified random sampling proporsional.
pengumpulan data dalam bentuk questinaire, wawancara, observasi dan pengujian garam. Analisis data dilakukan uji
statistik regresi logistik.
Berdasarkan hasil penelitian 0,05, dapat conluded bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan, sikap, tindakan dan makanan goitrogonic dikonsumsi oleh keluarga kelompok kasus dan kelompok kontrol. 94,3% keluarga tidak
memiliki pengetahuan tentang garam beryodium yang terkait dengan Yodium Kekurangan, sikap setuju 52,85%, dan
87,85 tindakan keluarga adalah kesalahan dalam menyimpan dan menggunakan garam yodium dan 53,6 keluarga
jarang mengkonsumsi zat goitronic. 68,2 orang-orang penting tidak memiliki pengetahuan tentang garam beryodium
yang terkait dengan Kekurangan Yodium. Sikap 90,9% orang Penting setuju, penjual garam 70% tidak memiliki pengetahuan tentang garam yodium 70% setuju untuk yodium garam. 51,42% keluarga di Desa Sejati mengkonsumsi
garam yodium sehari-hari. garam yodium 77,77% yang di Desa Sejati cukup baik dalam kualitas.
Saran: kesehatan Continuous advokasi dan penyuluhan tentang garam beryodium perlu ditingkatkan sehingga dapat
menurunkan prevalance Kekurangan Yodium di Desa Sejati Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang (Desa Sejati,
KecamatanCamplongKabupatenSampang).
Kata Kunci: Faktor, Defisiensi Yodium kejadian. ABSTRACT
One of the four nutritional problems in Indonesia is Iodine Deficiency. Iodine Deficiency is a group of
symptons which occur because of lack of Iodine elements continuously and in a long period. Iodine is needed by
everyone, especially during the growth of fetus, baby and teanager. Iodine Deficiency will cause the physical growth
disturbed and intelligence low so human resource qualities become worse. This research is aimed at analyzing the
factors whici are related to Iodine Deficiency in Desa Sejat Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang (Sejati Village, Camplong Sub District Sampang Regency).
This is a survey analytic case control research with retrospective approach. The population are the mothers
whose children suffer from Iodine Deficiency (70 cases) and the ones whose children do not suffer from Iodine
Deficiency as a control group (70). They are taken in propositional stratified random sampling. Data collection is in
the forms of questinaire, interviews, observations and salt testing. Data analysis is done in the test of logistic regression statistics.
Based on the result of research 0.05, it can be conluded that there is no correlation between knowledge,
attitudes, acts and goitrogonic food consumed by the family of case group and that of control group. 94.3 % of the
families do not have knowledge on Iodine salts related to Iodine Deficiency, attitudes 52.85 % agrees, and acts 87.85
of families are mistakes in storing and using Iodine salts and 53.6 of families seldom consume goitronic zat. 68.2 important people do not have knowledge on Iodine salts related to Iodine Deficiency . Attitudes 90.9 % Important
people agree, 70% salt sellers do not have knowledge on Iodine salts 70% agree to Iodine salts. 51.42 % families in
Desa Sejati consume Iodine salts everyday. 77.77% Iodine salts which are in Desa Sejati are good enough in quality.
Suggestion: Continuous health advocating and conselling on Iodine salts need to be increased so that it can
decrease Iodine Deficiency prevalance in Desa Sejati Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang (Sejati Village, Camplong Sub District Sampang Regency).
Key Words: Factors, Iodine Deficiency occurances.
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Latar Belakang
Tujuan Pembangunan kesehatan adalah
meningkatkan kemampuan hidup sehat bagi setiap
penduduk dalam mencapai derajat kesehatan yang
optimal serta berupaya untuk menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Oleh sebab itu
sebagai sasaran pembangunan masyarakat berhak
memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Salah satu masalah kesehatan yang sampai
saat ini diprioritaskan oleh pemerintah adalah masalah pangan dan gizi, mengingat masalah pangan dan gizi
merupakan hal yang bersifat kompleks dan menyentuh
kebutuhan dasar serta menyangkut hak asasi manusia
sehingga memerlukan perhatian yang serius
penanganannya. Di Indonesia dan negara berkembang lainnya masalah gizi utama didominasi oleh masalah
Kurang Energi Protein (KEP), Anemi Gizi Besi (AGB),
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), dan
Kurang Vitamin A (KVA). Status gizi masyarakat dapat
diamati dari prevalensi keempat masalah penting tersebut (Supariasa, 2001). GAKY merupakan masalah
yang serius mengingat dampak secara langsung maupun
tidak langsung sangat mempengaruhi kelangsungan
hidup dan kualitas sumber daya manusia yang
mencakup, aspek perkembangan kecerdasan, aspek perkembangan sosial, dan aspek perkembangan
ekonomi. Perkembangan selanjutnya istilah defisiensi
yodium yang dahulu diidentikkan dengan Gondok
Endemik dan Kretin diganti dengan istilah GAKY
(Djokomoeljanto, 1996).Dampak GAKY akan menghambat tujuan pembangunan nasional karena
berkaitan dengan penurunan kualitas sumber daya
manusia. Berdasarkan data UNDP tahun 2007 Human
Development Index (HDI) Indonesia berada pada urutan
108 dari 177 negara, termasuk pada negara dengan level medium Human Development Index. Dampak negatif
dari GAKY terhadap kelangsungan hidup manusia
dapat terjadi mulai dari dalam kandungan hingga pada
orang dewasa, jika dampak ini terjadi sejak masih
dalam kandungan maka akan berisiko antara lain terjadinya keguguran (abortus), lahir mati, cacat
bawaan,. Untuk mencegah hal itu terjadi maka upaya
pendidikan kesehatan mengenai masalah GAKY serta
pemberian keterampilan tentang cara untuk menguji
kualitas garam beryodium yang benar dapat dilakukan sedini mungkin antara lain pada kelompok Wanita Usia
Subur (WUS). Wanita Usia Subur (WUS) adalah salah
satu kelompok yang menjadi sasaran dalam upaya
penanggulangan masalah GAKY. WUS mempunyai
peranan penting dalam mempersiapkan calon generasi penerus yang berkualitas baik, oleh karena itu upaya
penanggulangan GAKY sebaiknya dilakukan pada
tahap ini sebelum WUS tersebut merencanakan
kehamilan atau memasuki tahap rumah tangga baru.
Upaya pencegahan GAKY pada kelompok WUS bertujuan untuk mencegah terjadinya defisiensi yodium
yang akan mengakibatkan masalah pada tumbuh
kembang WUS tersebut, juga untuk mencegah
timbulnya akibat yang merugikan khususnya kelahiran
bayi kretin.
Hasil pemetaan GAKY nasional pada tahun 1998 prevalensi gondok di Jawa Timur cukup tinggi, dari
37 kabupaten / kota yang ada semuanya termasuk daerah
endemik gondok, meskipun termasuk endemik ringan dan
sedang. Demikian juga hasil survei GAKY tahun 1999 di
Kabupaten Sampang menunjukkan bahwa dari 12 kecamatan yang ada di Kabupaten Sampang prevalensi
TGR bervariasi dari yang terendah 1,6 % di Kecamatan
Sreseh sampai yang tertinggi 25,5 % di Kecamatan
Robatal. Namun setelah berselang 5 tahun terjadi suatu
perubahan yang cukup memprihatinkan, hal ini dapat dilihat hasil tahun 2004 menunjukkan bahwa rata – rata
prevalensi TGR kabupaten Sampang termasuk endemik
berat (32,1 % )
Oleh karena itu perlu dilakukan upaya
penanganan terhadap masalah ini agar dampak yang akan ditimbulkan tidak menjadi lebih parah lagi. Secara
geografis Kabupaten Sampang khususnya wilayah selatan
dan utara termasuk daerah pantai yang banyak
menghasilkan aneka ragam hasil laut yang seharusnya
kaya dengan kandungan yodium, Bahkan di wilayah selatan yakni di desa Sejati Kecamatan Camplong, selain
penduduknya banyak yang menjadi nelayan di desa
tersebut juga terdapat gudang dan pabrik garam, namun
data yang ada menunjukkan bahwa desa Sejati termasuk
daerah endemik berat dengan prevalensi TGR 36,7 %. Berdasarkan fenomena tersebut peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian di Desa Sejati Kecamatan
Camplong Kabupaten Sampang.
Dari hasil Skrining yang dilakukan terhadap siswa kelas 2
sampai kelas 6 SDN dan Madrasah Ibtidaiyah Desa Sejati tanggal 3 sampai 10 Nopember 2007 terhadap 438 siswa
yang diperiksa terdapat 102 anak mengalami pembesaran
kelenjar tiroid ( TGR 23,28 % ).
Batasan Masalah
Masalah penelitian dibatasi pada ” Analisis faktor - faktor yang berhubungan dengan kejadian GAKY di Desa Sejati
Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang “
Tujuan umum :
Tujuan umum dari penelitian ini adalah
menganalisis faktor yang berhubungan dengan kejadian GAKY di kecamatan Camplong Kab.Sampang.
Tujuan khusus :
1. Menganalisis hubungan pengetahuan keluarga
tentang garam yodium dengan kejadian gaky
2. Menganalisis hubungan sikap keluarga tentang garam yodium dengan kejadian gaky
3. Menganalisis hubungan pola konsumsi garam
dalam keluarga dengan kejadian gaky
4. Menganalisis hubungan bahan makanan mengandung
zat goitrogenik yang sering dikonsumsi keluarga dengan kejadian gaky
5. Mendiskripsikan pengetahuan dan sikap penjual
garam tentang garam yodium dan gaky
6. Mendiskripsikan pengetahuan dan sikap tokoh
masyarakat tentang garam yodium dan gaky 7. Mendiskripsikan alur peredaran garam beryodium
sampai ke masyarakat
8. Mendiskripsikan kualitas garam yodium yang
beredar
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Termasuk penelitian dengan metode survei
analitik, Berdasarkan jenis pendekatannya termasuk
survey case Kontrol (retrospective). 2. Populasi penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah 1) ibu yang
anaknya menderita gaky yang berjumlah 102 anak. 2)
ibu yang anaknya tidak menderita gaky (sebagai
Kontrol) yang ada di Desa Sejati 3. Sampel dan besar sampel
Besar sampel ditentukan dengan menggunakan rumus :
2*
2
*
1
2*
2
*
2
*
1
*
11
*
2
*
22/1 )1()1()1(2
PP
PPPPZPPZn
2
2
)5,02328,0(
)5,0)(5,0()7672,0)(2328,0(28,13859,1n
2
2
2672,0
8379,03859,1
22672,0
93555,4
= 69,265
= 70
4. Teknik sampling Cara pengambilan sampel menggunakan probability /
acak dalam bentuk proporsional stratified random
sampling .
5. Variabel penelitian
a. Variabel bebas terdiri : 1) Pengetahuan keluarga / ibu
2) Sikap keluarga
3) Pola konsumsi garam
4) Konsumsi Zat goitrogenik
5) Pengetahuan tokoh masyarakat 6) Sikap tokoh masyarakat
7) Pengetahuan penjual garam
8) sikap penjual garam
9) Alur peredaran garam
10) Kualitas garam b. Variabel tergantung : Kejadian gaky
6. Prosedur pengambilan dan pengumpulan data
1) Untuk memperoleh gambaran pengetahuan , sikap
dan tidakan keluarga dalam penggunaan garam
beryodium serta makanan yang mengandung zat goitrogenik , dilakukan observasi, wawancara dan
penyebaran kuesioner terhadap ibu ibu rumah tangga
2) Untuk memperoleh gambaran pengetahuan dan
sikap tokoh masyarakat berkaitan dengan garam
beryodium dan kejadian gaky,dilakukan wawancara
dan pengisian kuesioner terhadap 10 tokoh informal dan 10 tokoh formal
3) Untuk memperoleh gambaran distribusi garam yodium
di tingkat penjual / warung di desa, dilakukan wawancara
terhadap seluruh warung / penjual garam yang ada di desa
Sejati. 4) Untuk mengetahui mutu garam yang ada dilakukan test
garam yang dikonsumsi keluarga di rumah
7. Analisis Data
Dengan menggunakan tabel distribusi silang dilanjutkan
dengan uji statistik Regresi logistik menggunakan program komputer SPSS 11.5 for Windows, dengan
ketentuan H1 diterima jika p hitung lebih kecil dari 0,05
%
8. Lokasi dan waktu penelitian .
a. Lokasi penelitian : penelitian dilaksanakan di Desa Sejati wilayah kerja Puskesmas camplong
kecamatan Camplong, Kab.Sampang
b. Waktu penelitian : penelitian dilaksanakan selama
1 bulan yaitu mulai bulan Pebruari 2008 sampai Maret
2008
Hasil Penelitian
1.Data pengetahuan responden
Tabel 3 Tabulasi silang antara pengetahuan responden
kelompok Kasus dan kelompok kontrol
tentang garam yodium di desa Sejati
Pebruari 2008
Kelompok Tingkat pengetahuan Total
kurang % cukup % Baik % n %
Kasus 67 95,7 2 2,85 1 1,43 70 100
Kontrol 65 92,8 3 4,30 2 2,85 70 100
Total 132 94,3 5 3,6 3 2,1 140 100
Uji statistic Regresi Logistik α = 0,05 p = 0,725 > α =
0,05
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
2.Data sikap responden
Tabel 4 Tabulasi silang antara sikap responden
kelompok kasus dan kelompok Kontrol
tentang garam yodium di desa Sejati
Pebruari 2008
Kelomp
ok
Sikap total
Setuj
u
% Tida
k
setuj
u
% n %
Kasus 39 55,7
2
31 44,2
8
70 10
0
Kontrol 35 50 35 50 70 10
0
Total 74 52,9 66 47,1 14
0
10
0
Uji statistic Regresi
Logistik
α = 0,05 p =
0,255 > α = 0,05
3. Data pola konsumsi garam yodium responden
Tabel 5 Tabulasi silang antara pola konsumsi
garam yodium kelompok kasus dan
kelompok Kontrol di desa Sejati bulan
Pebruari 2008
Kelomp
ok
Pola konsumsi garam
yodium
total
Bena
r
% Sala
h
% n %
Kasus 7 10 63 90 70 10
0
Kontrol 10 14,2
8
60 85,7
2
70 10
0
Total 17 12,1 123 87,9 14
0
10
0
Uji statistic Regresi
Logistik
α = 0,05 p =
0,519 > α = 0,05
4. Data Makanan zat Goitrogenik yang sering
dikonsumsi keluarga .
Tabel 6.Tabulasi silang antara makanan mengandung
zat goitrogenik antara kelompok kasus dan
kelompok Kontrol di desa Sejati bulan Pebruari 2008
Kelomp
ok
Makanan mengandung zat
goitrogenik
total
Serin
g
% Jaran
g
% n %
Kasus 29 41,4
3
41 58,5
7
70 10
0
Kontrol 36 51,4
3
34 48,5
7
70 10
0
Total 65 46,4 75 53,6 14
0
10
0
Uji statistic Regresi
Logistik
α = 0,05 p =
0,207 > α = 0,05
5. Data pengetahuan penjual garam
Tabel 7 Distribusi frekuensi berdasarkan tingkat
pengetahuan responden penjual garam di
Desa Sejati bulan Pebruari 2008.
No Tingkat
pengetahuan
Jumlah %
1 Baik 3 30
2 Kurang 7 70
Total 10 100
6. Data sikap penjual garam tentang garam yodium
kaitannya dengan gaky
Tabel 8. Distribusi frekuensi berdasarkan sikap
penjual garam tentang garam yodium di Desa Sejati bulan Pebruari 2008
No Sikap penjual
garam
Jumlah %
1 Setuju 7 70
2 Tidak setuju 3 30
total 10 100
7. Data pengetahuan tokoh masyarakat tentang
garam yodium kaitannya dengan gaky
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Tabel 9. Distribusi frekuensi pengetahuan tokoh masyarakat tentang garam yodium
kaitannya dengan gaky di Desa Sejati
Pebruari 2008.
No Tingkat
pengetahuan
Jumlah %
1 Baik 7 31,8
2 Kurang 15 68,2
Total 22 100
8. Data sikap tokoh masyarakat tentang garam
yodium kaitannya dengan gaky
Tabel 10. Distribusi frekuensi berdasarkan sikap
tokoh masyarakat tentang garam yodium
kaitannya dengan gaky di Desa Sejati
Pebruari 2008.
No Sikap tomas Jumlah %
1 Setuju 20 90.9
2 Tidak setuju 2 9,1
Total 22 100
9. Alur peredaran garam di Desa Sejati
Gambar : 1 Alur peredaran garam dari produsen
sampai ke konsumen Di Desa Sejati tahun 2008.
10. Kualitas garam yodium yang beredar
dimasyarakat
Tabel 11. Distribusi frekuensi kadar yodium pada
garam yodium yang beredar di Desa Sejati
Pebruari 2008
No Kandungan
yodium
Jumlah %
1 Cukup 46 63,9
2 Kurang 26 36,1
3 Tidak ada 0 0
Total 72 100
PEMBAHASAN
1. Kejadian gaky
Ada dugaan bahwa pada masa sekarang , konsumsi makanan pada generasi muda mulai bergeser
kepada protein bersumber daratan, misalnya telur ayam,
daging ayam , daging sapi dimana kadar yodium hewan
tersebut jauh lebih rendah bila dibandaningkan dengan
bahan makanan yang bersumber dari hasil laut (marine based), Hal ini sesuai dengan pendeapat Hetzel (1987)
bahwa ikan laut / cumi - cumi kadar yodiumnya sangat
tinggi bila dibandingkan dengan makanan bersumber dari
daratan. Selain itu garam beryodium yang dikonsumsi
baru 51,42 % suatu jumlah yang masih jauh dari target yang diharapkan pada tahun 2010 , yakni konsumsi garam
yodium > 30 ppm mencapai 90 % (Dep Kes RI 2001).
Sedangkan 25 – 30 tahun yang lampau ketika generasi
orang tua mereka pada usia yang sebaya dengan mereka ,
tingkat konsumsi proteinnya lebih kaya yodium , karena bersumber kelautan yaitu ikan laut meskipun saat itu
garam yang digunakan belum mengandung yodium.
Sedangkan penurunan dari kategori endemik berat ke
kategori endemik sedang dugaan peneliti adalah
disebabkan karena 1) meningkatnya mobilitas penduduk akibat perbaikan sarana dan prasarana transportasi
sehingga banyak penjaja makanan yang keluar masuk
desa / kampung , seperti penjual bakso, roti, pentol dan
lain lain dimana mereka telah menggunakan bahan
penyedap / garam beryodium. 2) meningkatnya konsumsi makanan instant khususnya mie instan yang juga
menggunakan garam yodium. 3) serta adanya program
garam beryodium pemerintah, walaupun belum seluruh
masyarakat memngetahui / melaksanakannya.
2 Hubungan antar variabel kasus dan variabel Kontrol
Berdasarkan hasil uji statistik Regresi Logistik
dari ke 4 ( empat ) variabel yang diteliti yaitu variabel
pengetahuan , variabel sikap, variabel pola konsumsi
garam yodium serta variabel makanan mengandung zat goitrogenik didapatkan hasil bahwa P hitung dari ke 4
variabel tersebut semuanya lebih besar dari 0,05 .
sehingga H 1 ditolak, dengan demikian berarti tidak ada
hubungan antara ke 4 variabel pada kelompok kasus
dengan kelompok Kontrol tersebut dengan kejadian gaky di Desa sejati kecamatan Camplong. Hal ini disebabkan
karena :
1) Selain variabel tersebut masih ada variabel
lain yang dapat menyebabkan terjadinya gaky , dimana
variabel tersebut tidak termasuk variabel dalam penelitian ini, misalnya keturunan, sesuai dengan pendapat Noor
PRODUSEN GARAM
DISTRIBUTOR GARAM
PASAR TOKO /SUB AGEN
TAMBAK GARAM PEDAGANG KELILING (MOBIL)
KONSUME
N
WARUNG 15 %
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Nasri Noor (1997) bahwa ada hubungan garis keturunan dan antar keluarga yang jelas pada penyakit
gondok, Diabetes dan asma serta dipengaruhi juga oleh
cara hidup atau sosial.
2) Populasinya hanya satu desa, dimana
antara variabel kasus dan Kontrol sangat homogen baik dalam hal perilaku , keadaan geografis , social budaya
dan lain sebagainya.oleh karena itu kemungkinan faktor
lain seperti kerentanan / kekebalan individu sangat
mempunyai peranan yang cukup dominan dalam
menimbulkan gaky di Desa Sejati . 3 Hubungan pengetahuan dengan kejadian gaky
Tingkat pengatahuan ibu yang rendah dapat
menyebabkan pemilihan bahan pangan yang salah
misalnya sering mengkonsumsi bahan pangan yang
mengandung zat goitrogenik atau pemilihan serta penggunaan garam yang salah sehingga dapat
mempertinggi resiko terjadinya gaky. Pengetahuan ibu
rumah tangga yang kurang akan dapat menimbulkan
beberapa macam permasalahan seperti pemilihan jenis
makanan yang kurang beragam, cara memperlakukan bahan dalam pengolahan yang tidak benar sehingga
banyak zat gizi yang hilang (Khumaidi, 1994)
4 Hubungan sikap dengan kejadian gaky
Alasan yang setuju dengan penggunaan
garam yodium pada umumnya setelah mereka tahu akibat bila kekurangan yodium, sedangkan yang tidak
setuju umumnya karena garam grosok lebih mudah
didapat , mudah digunakan, harganya murah,
sedangkan alasan kualitas garam yang baik belum
menjadi pertimbangan utama. Pendapat Azwar S, (2000) bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pembentukan sikap adalah (1) Pengalaman pribadi, apa
yang telah/sedang dialami mempengaruhi atau sebagai
dasar terbentuknya sikap. (2) Pengaruh orang lain;
orang sekitar kita merupakan komponen sosial yang mempengaruhi sikap. (3) Pengaruh kebudayaan ;
budaya dimana ia tinggal berpengaruh terhadap
pembentukan sikap. (4) Media massa ; media massa
mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan
kepercayaan orang yang berpengaruh pula terhadap pembentukan sikap. (5) Lembaga pendidikan; Lembaga
pendidikan termasuk lembaga agama mempunyai
pengaruh terhadap pembentukan sikap karena keduanya
meletakkan konsep moral dalam diri individu. (6)
Pengaruh emosional; 5 Hubungan tindakan /pola konsumsi garam
yodium dengan kejadian gaky
Kebiasaan ini terbentuk secara turun temurun
dari generasi ke generasi. suatu pola konsumsi pangan
diperoleh karena terjadi berulang-ulang (food consumptive behavior). Kebiasaan makan juga
menunjukkan tindakan manusia. (What people do and
practice) terhadap makan dan makanan diperuhi oleh
pengetahuan (what people think) dan perasaan (what
people feel) serta persepsi (what people perceive) tentang hal itu.
Garam beryodium merupakan salah satu
intervensi yang diharapkan secara jangka panjang dapat
mengurangi prevalensi GAKY. Dengan kata lain bahwa
masyarakat dituntut untuk merubah kebiasaan yang telah bertahun tahun mereka kerjakan, sedangkan
mereka merasa tidak ada masalah dengan tindakannya, sehingga sebagian masyarakat ada yang tidak setuju
dengan cara yang baru / ada yang mengerjakan dengan
terpaksa, hal ini mengingat keuntungan yang didapatkan
dari perubahan tersebut / mengkonsumsi garam yodium
tidak dirasakan secara langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Sebagian keluarga memasak garam
dengan cara memasukkan garam pada makanan yang
belum matang atau diulek bersama dengan bumbu.
Menurut Arhya (1996) penggunaan bumbu-bumbu untuk
memasak seperti cabai, merica, ketumbar, asam atau cuka akan menurunkan kandungan kadar yodium.
6 Hubungan makanan mengandung zat goitrogenik
dengan kejadian gaky
Meskipun masyarakat desa Sejati jarang
mengkonsumsi zat goitrogenik, namun masyarakat Desa Sejati juga jarang mengkonsumsi sumber makanan yang
berasal dari hasil laut yang kaya akan kandungan yodium,
meskipun sebagian masyarakatnya bekerja sebagai
nelayan, Hal ini disebabkan karena pengaruh sistem
perekonomian / tata niaga yang ada, serta demi pemenuhan kebutuhan pokok yang lain sehingga sebagian
besar hasil tangkapan ikan langsung dijual dipasar, bahkan
ada yang sudah dijual pada tengkulak di tengah laut,
akibatnya mereka jarang mengkonsumsi ikan laut,
kalaupun ada tapi yang kualitasnya kurang baik atau sisa, sedangkan yang kualitasnya lebih baik dijual ke pengepul
untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lain,dan
masyarakat sendiri malah banyak yang membeli tahu,
tempe serta telur ayam buras yang banyak dijual dipasar
setempat. Di daerah endemik gondok kebanyakan masyarakatnya lebih banyak mengkonsumsi makanan
nabati dengan kuantitas dan frekuensi cukup besar
dibandingkan dengan makanan hewani, hal ini
berpengaruh pada asupan yodium yang sedikit dalam
tubuh. 7 Pengetahuan penjual garam
Selama ini peraturan Daerah tentang larangan
pengedaran garam yang tidak beryodium oleh pemerintah
daerah Kabupaten sampang belum di sosialisasikan
kepada masyarakat khususnya para pedagang garam, sehingga pedagang garam di wilayah ini memasok garam
hanya berdasarkan penyediaan komoditi dan kebutuhan
konsumen.
8. S ikap penjual garam
Berdasarkan tabel 5.21 diketahui bahwa 70 % penjual garam di desa Sejati bersikap setuju / mendukung
tentang penggunaan garam yodium dan 30 % yang
menolak, sikap 70 % penjual garam yang mendukung ini
adalah para penjual garam di warung / toko yang garam
dagangannya kulaan dari mobil keliling atau sub agen garam, sedangkan yang menolak adalah para penjual
garam yang berjualan garam di pasar yang mendapatkan
garamnya dari petani garam yang ada di daerahnya.jadi
sikap mendukung / menolak disini terkait dengan mata
pencaharian hidup sehari hari, mengingat berjualan garam dipasar merupakan sumber pendapatan keluarga sehari
hari maka anjuran menjual garam yodium dianggap
sebagai ancaman , sehingga pada waktu peneliti
menanyakan tentang garam yang dijual ( dipasar) agak
mengalami kesulitan.
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
9. Pengetahuan tokoh masyarakat . Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan
promosi kesehatan tentang gaky belum dilaksanakan
sampai ke desa desa, berdasarkan keterangan dari tokoh
masyarakat setempat kira – kira 6 bulan yang lalu
pernah diadakan sosialisasi tentang anjuran menggunakan garam yodium oleh bidan desa setempat
setelah Desa ini menjadi desa Siaga, namun hanya
sekedar anjuran menggunakan garam yodium yang
gunanya untuk mencegah penyakit gondok tetapi tidak
dijelaskan secara detail tentang dampak yang lain akibat kekurangan yodium seperti dapat menyebabkan
keguguran, cacat bawaan, serta dampak terhadap
kecerdasan anak. Bila ditinjau dari teori Inovation
Decision Proces, keadaan tokoh masyarakat didesa
Sejati saat ini berada pada tahap pengertian (Knowledge) dimana individu baru mengenal sesuatu
yang baru (inovasi) dari orang lain dan telah
memperoleh pengertian tentang inovasi tersebut.
Keadaan ini bisa berlanjut pada tahap persuasi, tahap
pengambilan keputusan, sampai tahap pemantapan bila rangsangan / stimuli yang berupa informasi terus
menerus diberikan .
10. Sikap tokoh masyarakat
Pada umumnya masyarakat desa Sejati
mendukung terhadap program pemerintah tentang anjuran menggunakan garam yodium, Perubahan sikap
akan terjadi akaibat dari proses yang dinamakan
internalisme yaitu perubahan yang diintegrasikan
dengan dirinya, ada kelompok lain yang dipercayai
yaitu kelompok para ahli yang memberikan pengetahuan tentang hal yang berkaitan dengan
penggunaan garam yodium, namun tidak semua orang
dapat mengaplikasikan sikapnya dengan baik terutama
jika reference group kurang representatif untuk diikuti.
11. Alur peredaran garam di masyarakat Dari hasil wawancara dan observasi diketahui
bahwa masyarakat yang membeli garam ditoko /
warung pada umumnya menggunakan garam yodium
untuk keperluan memasak, mengingat semua warung
yang menjual garam hanya menjual garam yodium. Sedangkan yang membeli dipasar sebagian besar
menggunakan garam grosok, mengingat dari 4 orang
penjual garam yang ada di pasar hanya 1 orang yang
menjual garam beryodium , sedang yang 3 orang
berjual garam grosok. 12. Kualitas garam yang beredar di masyarakat
dari 72 keluarga yang menggunakan garam
yodium kandungan yodium dalam garam yang
digunakan 63,9 % baik dan 36,1 % kurang. Hal ini
disebabkan karena cara penyimpanan garam yang salah, yaitu disimpan pada wadah yang terbuka, sehingga
garam menjadi lembab, sehingga dapat mengurangi
kadar yodium karena yodiumnya terjadi penguapan .
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Tidak ada hubungan antara .pengetahuan ibu
tentang garam yodium dengan kejadian gaky
di desa Sejati
2. Tidak ada hubungan antara sikap ibu tentang garam yodium dengan kejadian gaky di desa
Sejati Kecamatan Camplong Sampang..
3. Tidak ada hubungan antara sikap ibu tentang
garam yodium dengan kejadian gaky di desa
Sejati Kecamatan Camplong Sampang. 4. Tidak ada hubungan antara pola konsumsi ibu
tentang garam yodium dengan kejadian gaky di
desa Sejati Kecamatan Camplong Sampang.
5. Tidak ada hubungan antara makanan zat
goitrogenik yang dimakan keluarga dengan kejadian gaky di desa Sejati Kecamatan
Camplong Sampang.
6. Pengetahuan penjual garam tentang garam
yodium kaitannya dengan gaky sebagian besar (
70 % ) kurang. 7. Sikap penjual garam tentang garam yodium
kaitannya dengan gaky sebagian besar ( 70 %
)setuju atau mendukung penggunaan garam
yosium.
8. pengetahuan tokoh masyarakat tentang garam yodium kaitannya dengan gaky sebagian besar (
68,2 ) kurang.
9. Sikap tokoh masyarakat tentang garam yodium
kaitannya dengan gaky sebagian besar (90,9 %)
setuju dengan penggunaan garam yodium 10. Garam yang dikonsumsi keluarga 50 %
membeli di warung / toko, 35 % membeli di
pasar dan 15 % memperoleh langsung dari
petani tambak / gudang garam yang ada di Desa
Sejati. 11. Kualitas garam yodium yang beredar
dimasyarakat sebagian besar (63,9 % ) cukup
baik.
Saran
1. Dinas Kesehatan hendaknya mengadakan Advokasi kepada pemerintah daerah Kabupaten Sampang agar
:
1) Menjalin kemitraan dengan pemimpin sektor swasta
atau pengusaha dan LSM, misalnya dalam bentuk
subsidi garam yodium sehingga penanggulangan gaky menjadi tanggung jawab bersama.
2) Dinas pendapatan dan pengelolaan pasar kabupaten
sampang dapat berperan secara aktif dalam
melakukan pengawasan terhadap garam yang beredar
dipasar, dengan mengadakan pembinaan kepada setiap pedagang yang mengedarkan garam tidak
beryodium untuk konsumsi manusia, dan
menyediakan alat “mini” yodisasi dipasar agar garam
grosok yang ditemukan dapat diyodisasi ditempat.
3) Menyebarluaskan Peraturan Daerah yang mengatur tentang larangan dan memberi sangsi yang tegas bagi
pihak yang mengedarkan maupun menggunakan
garam konsumsi yang tidak beryodium.
4) Meningkatkan pengetahuan, tentang garam
beryodium pada ibu rumah tangga, anak sekolah dasar, guru, penjual garam, dan tokoh masyarakat,
sebaiknya promosi kesehatan dilakukan dengan
menggunakan komunikasi interpersonal secara terus
menerus, sehingga penerimaan masyarakat terhadap
garam yodium lebih cepat.
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
5) Pembangunan yang dijalankan terutama dibidang pertanian hendaknya berwawasan kesehatan /
Healthy Public Policy.
2. Mengingat posisi penjual garam sangat strategis
dalam peredaran garam beryodium, hendaknya
kegiatan sosialisasi tentang GAKY dan garam beryodium pada kelompok ini perlu dilakukan
lebih instensif .
DAFTAR PUSTAKA
1. Adriani,M,Bambang W. (1999). Identifikasi
permasalahan Gangguan Akibat kekurangan
akibat yodium di Daerah Perkotaan. Surabaya :
Lembaga Peneletian Universitas Airlangga
2. Arhya, (1996), Kendala – kendala Penggunaan
Garam Beryodium di Indonesia, Makalah
dipresentasikan pada pertemuan Nasional Gaky,
Semarang
3. Azwar,S.(2000). Sikap manusia ,
teori dan pengukurannya, pustaka pelajar,
Jokyakarta.
4. Anonim ,(1993). Universal Salt Lodation As the Main Strategy To Elliminate Lodine Deficiency
Disordes (kumpulan Simposium GAKY)
Semarang, Badan penerbit Undip.
5. Benny S, (2004). Laporan Akhir Penelitian Penyebaran Gaky Kabupaten Sampang.
6. Benny S. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
(Gaky). Akademi Gizi Surabaya.
7. Berg A ,(1986). Peranan Gizi Dalam
Pengembangan Nasional. Jakarta : CV Rajawali
8. Depkes. (1999). Indonesia Sehat
2010 : visi baru, Visi Kebijakan Dan Strategis Pengembangan Kesehatan, Jakarta
9. (1995). Petunjuk Pelaksanadan
Pemberian Kapsul MInyak Beryoduim. Jakarta :
Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
10. Gaitan E,(1980), Goitrogensln
Ethiology Of Indemic Goitre. In Stambury and
Hetzel (Eds), Endemik Goitre And Endemik
Cretinism. Iodine Nutrition In Health and Disease.Jhon Willey and Son ,Toronto
11. Gunanti, I.R, (1999), Pola Konsumsi
Pangan Kaitannya Dengan kejadian Gondok Pada
Anak Sekolah Dasar Di Daerah Pantai , Thesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
12. Djokomoeljanto, R.,(1996) Masalah
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium :
Pengamatan Seperempat Abad Terbukanya
Kemungkinan Penelitian. Semarang : Penerbit Undip
13. Hartono, I.R. (2003) Diagnostic Bentuk
Ringan dari Kretin Endemik, Jurnal GAKY
Indonesia Volume 4. Nomor 2. April 2003
14. Hetzel, B.S (1987) , An Overview of the
Prevention and Control of Iodine Deficiency
Disorders, Elsevier Amsterdam –New York- Oxford.
15. Mantra.IB, (1994) , Perencanaan Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, Dep Kes RI
16. Muhilal dan R Iriani. (1985) Cara Sederhana
Deteksi Kandungan Yodium Dalam Garam. Jurnal
Gizi Indonesia. Volume X. Nomor 2.1985
17. M.Khumaidi, (1994), Gizi Masyarakat, PT BPK
Gunung Mulia
18. Noor .NN, (1997), Dasar Epidemiologi, Jakarta, PT Renika Cipta .
19. Notoatmodjo S (2003). Pendidikan dan Perilaku
Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta
20. (2005). Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta
21. picauly, I, 2002. Iodium dan Gangguan akibat
Kekurangan Iodium (GAKI). 22. http://rudyct.topcities.com//pps702/int
je picauly.htm
23. Rogers, Everett.M. (1987), Diffution of Innovations
Thind Edition , New York, the free press Adiv of Macmilan Publising, Co.Inc.
24. Supariasa I. D. N, dkk.(2001). Penelitian Status Gizi
Jakarta: Penerbit ECG.
25. Tim Penanggulangan (TP) GAKY Pusat. 2003.
Rencana Aksi Nasional Kesinambungan Program
Penanggulangan GAKY.
http://www.gizi.net.gaky/exit%20gaky.pdf.
26. UNDP. 2007 Monitoring Human Development
Reports: 2007.
27. http://www.hdr.undp.org/reports/global/2007/pdf.
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
FAKTO R- FAKTO R YANG MEMPENGARUHI PERNIKAHAN DINI
PADA REMAJA DI DESA BATANG-BATANG DAYA
KABUPATEN SUMENEP
(1) Eva Widhiana, (2) A’im Matun Nadhiroh (1)Mahasiswa STIKES Insan Unggul Surabaya
(2) Dosen STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRAK
Indonesia masih banyak yang berpandangan bahwa lebih baik menikah muda, kemudian menjadi janda dari pada terlambat menikah, apabila seorang wanita terlambat menikah, hal itu merupakan suatu keadaan yang belum
diterima secara baik oleh anggota Masyarakat. Angka pernikahan usia dini di Pulau Garam (Madura) tergolong tinggi.
Berdasarkan data yang di dapat dari berbagai Kabupaten di Jawa Timur pernikahan usia dini terbanyak di Madura
sebanyak 23,2 % bahkan hampir merata di empat Kabupaten seperti Sumenep, Pamekasan, Sampang dan Bangkalan.
Pernikahan dini sering disebabkan oleh faktor sosial budaya dan pendidikan yang dikarenakan faktor ekonomi relatif rendah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan dini pada remaja di Desa
Batang – batang Daya Kabupaten Sumenep (1)
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analitik dengan pendekatan Cross Sectional. Populasi
penelitian adalah remaja usia 17-21 tahun sebanyak 122 orang dengan besar sampel yang digunakan adalah 93
responden, teknik pengambilan sampelnya yaitu Simple Random Sampling. Analisis data menggunakan uji Regresi Logistik Ganda dengan taraf signifikasi 0,05
Dari hasil penelitian berdasarkan distribusi frekuensi didapatkan mayoritas usia remaja 17-18 tahun
sebanyak 55 orang (59,1%), mayorits pekerjaan orang tua wiraswasta sebanyak 69 orang (74,2%), pendidikan kurang
mayoritas sebanyak 59 responden (63,4%), sosial budaya yang mendukung mayoritas sebanyak 68 orang (73,1%),
sosial ekonomi kurang mayoritas sebanyak 66 (70,9%), pengetahuan kurang mayoritas sebanyak 65 orang (69,9%) dan yang melakukan pernikahan dini mayoritas sebanyak 62 orang (66,7%). Dari hasil uji Regresi Logistik Ganda
didapatkan hasil P<α maka H0 di tolak berarti ada pengaruh faktor pendidikan, sosial budaya terhadap pernikahan dini
pada remaja dan P>α maka H0 diterima berarti tidak ada pengaruh sosial ekonomi, pengetahuan terhadap pernikahan
dini pada remaja.
Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa ada pengaruh faktor pendidikan, sosial budaya, sosial ekonomi, pengetahuan terhadap pernikahan dini pada remaja di Desa Batang-batang Daya Kabupaten Sumenep.
Sebagai tenaga kesehatan kita dapat memberikan penyuluhan kepada keluarga dan remaja tentang pernikahan dini,
dampak pernikahan dini dari segi kesehatan reproduksi dan segi psikologi. Upaya penyelesaian berupa solusi tentunya
harus ada pendekatan antara tenaga kesehatan dan keluarga agar hasilnya dapat maksimal.
Kata Kunci : Pendidikan, Sosial Budaya, Sosial Ekonomi, Pengetahuan, Pernikahan Dini.
ABSTRACT
Indonesia still many who believe that it is better to marry young, then became the widow of the late
marriage, late marriage when a woman, it is a situation that has not been well received by members of the Society. Figures for early marriage on the island of Salt (Madura) is high. Based on data obtained from various districts in East
Java early marriage ever as much as 23.2%, Madura, and even almost evenly in the four districts like Sumenep,
Pamekasan, Sampang and Bangkalan. Early marriage is often caused by socio-cultural and educational factors are
relatively low due to economic factors. The purpose of this study was to determine the factors that influence early marriage among adolescents in the village of Batang - Power trunk Sumenep
The design used in this study are cross sectional analytical approach. The study population is 17-21 year
olds as much as 122 people with a large sample used is 93 respondents, the sample loading technique that is Simple
Random Sampling. Data analysis using Multiple Logistic Regression test with significance level 0.05
From the results of research based on the frequency distribution is obtained the majority of adolescents aged 17-18 years as many as 55 people (59.1%), mayorits parents work as many as 69 people self-employed (74.2%), education is
less a majority of 59 respondents (63.4% ), social culture that supports the majority of as many as 68 people (73.1%),
social economics is less a majority of 66 (70.9%), knowledge about the majority of as many as 65 people (69.9%) and
who perform the majority of early marriages were 62 people (66.7%). From the Multiple Logistic Regression test
results found that the result P <α then reject H0 means no influence on educational factors, socio-culture of early marriage in adolescents and P> α then H0 accepted means no influence of socioeconomic, knowledge of early marriage
among adolescents.
Based on the analysis concluded that there is influence of educational factors, socio-cultural,
socioeconomic, knowledge of early marriage among adolescents in the village of Daya rods Sumenep. As health
workers we can provide counseling to families and adolescents about early marriage, early marriage impacts in terms of reproductive health and psychological aspects. Efforts completion of course there must be a solution approach between
health workers and family so the results can be maximized.
Keywords: Education, Social, Cultural, Social, Economic, Science, Early Marriage.
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
PENDAHULUAN Indonesia masih banyak yang berpandangan
bahwa lebih baik menikah muda, kemudian menjadi
janda dari pada terlambat menikah. Apabila seorang
wanita terlambat menikah, hal itu merupakan suatu
keadaan yang belum diterima secara baik oleh anggota masyarakat. Banyak di daerah pedesaan, pernikahan
sering kali dilakukan segera setelah anak perempuan
mandapat haid pertama. Padahal pernikahan usia muda
berarti mendorong remaja untuk melewati tahapan
tugas perkembangannya, menjalani peran sebagai dewasa tanpa memikirkan kesiapan fisik, mental dan
sosial si pengantin (Walgito, 2004).
Pernikahan dini sering disebabkan oleh
pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan.
Sementara pernikahan dini banyak disebabkan oleh faktor sosial budaya dan kurangnya kesempatan
pendidikan yang dikarenakan faktor ekonomi relatif
rendah. Menurut Kepala Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) Propinsi Jawa Timur
yang menjadi pemicu banyaknya warga Madura melakukan perkawinan diusia dini karena faktor
pendidikan. Kebanyakan mereka itu warga pedesaan
60% dari total jumlah penduduk Madura, dan yang
tertinggi di kabupaten Sumenep (Syarifuddin, 2009).
Pada masyarakat yang berpendidikan rendah dan keadaan ekonomi yang kurang, faktor ekonomi
menjadi pendorong dilaksanakannnya pernikahan dini,
dengan melakukan pernikahan diharapkan status
ekonomi atau taraf hidup dapat terangkat menjadi lebih
baik serta kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Seharusnya pernikahan dini pada saat ini dihindari
mengingat dampak negatif dari pernikahan tersebut
yang tidak sedikit. Banyak pengalaman sosial
menyatakan bahwa banyak rumah tangga yang
bermasalah atau tidak dapat mendidik anak dengan baik karena ibu dan bapaknya masih belum cukup umur,
belum cukup umur disini berarti usia mereka dianggap
belum dewasa atau masih remaja (Kusumawati, 2005).
Pernikahan usia dini di bawah 15 tahun,
mempunyai risiko cukup tinggi bagi kesehatan perempuan, terutama pada saat hamil dan melahirkan.
Dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah
Sakit Balikpapan Husada (RSBH) dr Ahmad Yasa,
SpOG yang dikutip oleh Atriana mengatakan
perempuan yang menikah di usia dini memiliki banyak risiko, meskipun sudah mengalami menstruasi atau
haid. Rata-rata penderita infeksi kandungan dan kanker
mulut rahim adalah wanita yang menikah di usia dini
yaitu di bawah usia 19 atau 16 tahun. Untuk risiko
kebidanan hamil di bawah usia 19 tahun bisa berisiko pada kematian, selain kehamilan di usia 35 tahun ke
atas. Risiko lain hamil di usia muda juga rentan
terjadinya pendarahan, keguguran, hamil anggur dan
premature di masa kehamilan. Secara psikis anak juga
belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis
berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit
disembuhkan (Atriana, 2007) Tujaun penelitian ini untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan dini pada
remaja di Desa Batang-batang Daya Kabupaten Sumenep.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Dasar Remaja Menurut Undang-undang Kesejahteraan Anak (UU
No. 4/1979), menganggap semua orang di bawah usia 21
tahun dan belum menikah sebagai anak-anak. Oleh karena
itu, berhak mendapat perlakuan dan kemudahan-
kemudahan yang diperuntukkan bagi anak, misalnya; pendidikan, perlindungan dari orang tua, dan lain-lain
(Sarwono, 2006).
Remaja menurut WHO Tahun 1974 yang dikutip
oleh Sarwono (2006), memberikan definisi tentang remaja
yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan
sosial ekonomi.
Remaja atau istilah adolescence berasal dari kata
latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti
remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Bangsa primitif demikian pula orang-orang
zaman purbakala, memandang masa puber dan masa
remaja tidak berbeda dengan periode-periode lain dalam
rentang kehidupan, anak dianggap sudah dewasa apabila
sudah mampu mengadakan reproduksi (Hurlock, 2002). Berdasarkan dari beberapa pendapat diatas
dapat diambil kesimpulan bahwa remaja (adolescence)
merupakan masa transisi atau peralihan dari masa kanak-
kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya
perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Secara kronologis yang tergolong remaja ini berkisar antara usia
12 tahun atau 13-21 tahun. Untuk menjadi orang dewasa,
maka remaja akan melalui masa krisis dimana remaja
berusaha untuk mencari identitas diri.
Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (2002) adalah : 1) Masa Remaja Sebagai Periode Yang Penting
Semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting,
namun kadar kepentingannya berbeda-beda. Beberapa
periode yang lebih penting daripada beberapa periode
lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, dan ada lagi yang penting karena akibat-
akibat jangka panjangnya. Pada periode remaja, baik
akibat langsung maupun akibat jangka panjang tetap
penting. Periode yang penting karena akibat fisik dan ada
lagi karena akibat psikologis. Pada periode remaja kedua-duanya sama-sama penting.
2) Masa Remaja Sebagai Periode Peralihan
Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah, dari
apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih-lebih
sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Apabila anak-anak beralih dari masa kanak-
kanak ke masa dewasa, anak-anak harus “meninggalkan
segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan” dan juga
harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk
menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan.
3) Masa Remaja Sebagai Periode Perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama
masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik.
Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
dengan pesat. Kalau perubahan fisik menurun maka perubahan perilaku juga menurun.
4) Masa Remaja Sebagai Usia Bermasalah
Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri,
namun masalah masa remaja sering menjadi masalah
yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu.
Pertama, sepanjang masa kanak-kanak sebagian
diselesaiakan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga
kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam
mengatasi masalah. Kedua, karena para remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi
masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan
guru-guru.
5) Masa Remaja Sebagai Masa Mencari
Identitas Pada tahun-tahun awal masa remaja, penyesuaian diri
dengan kelompok masih tetap penting bagi anak laki-
laki dan perempuan. Lambat laun mereka
mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan
menjadi sama dalam segala hal, seperti sebelumnya. 6) Masa Remaja Sebagai Usia Yang
Menimbulkan Ketakutan
Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-
anak yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan
cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing
dan mengawasi kehidupan remaja muda yang takut
bertanggung jawab dan bersifat tidak simpatik terhadap
perilaku remaja yang normal.
7) Masa Remaja Sebagai Masa Yang Tidak Realistik
Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca
berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan
orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan
sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya
sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temanya,
menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri
dari awal masa remaja. Semakin tidak realistik cira-
citanya semakin ia menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya
atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang
ditetapkannya sendiri.
8) Masa Remaja Sebagai Ambang Masa Dewasa
Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan
stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan
bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan
bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah
cukup. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa,
yaitu merokok, minum-minuman keras, menggunakan
obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka
mengganggap bahwa perilaku ini akan memberikan
citra yang mereka inginkan.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian adalah keseluruhan dari
perencanaan untuk menjawab dan mengatasi beberapa
kesulitan yang kemungkinan timbul dalam penelitian. Desain penelitian yang digunakan yaitu penelitian
analitik dengan pendekatan “Cross Sectional” yaitu penelitian yang diarahkan untuk menjelaskan suatu
keadaan yang dikumpulkan secara sesaat untuk
mengetahui hubungan sebab dan akibat dari penelitian
(Nursalam, 2003).
Alat penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data agar
lebih mudah dan hasil lebih baik dalam arti lebih cermat,
lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah
(Nursalam, 2003).
Kriteria Sampling Kriteria inklusi adalah karakteristik umum penelitian dari
populasi target yang terjangkau yang akan di teliti
(nursalam, 2003). Untuk menentukan layak tidaknya
sampel yang akan diteliti maka ditentukan berdasarkan
kriteria inklusi dan eksklusi. Pada penelitian ini kriteria inklusi adalah sebagai berikut:
1. Remaja umur 17-21 tahun tahun di Desa Batang-
batang Daya Kabupaten Sumenep.
2. Remaja umur 17-21 tahun tahun yang bersedia
menjadi responden. 3. Remaja umur 17-21 tahun tahun yang bersedia
mengisi dan menandatangani formulir Informed
Consent
HASIL PENELITIAN
1. 1
1. Data umum
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Budaya di
Desa Batang-batang Daya Kabupaten Sumenep bulan Oktober 2009
Budaya Frekuensi Persentase
Mendukung
Tidak Mendukung
68
25
73,1
26,9
Total 93 100
2. Tabulasi pendidikan terhadap pernikahan dini
Tabel 2. Tabulasi silang Pendidikan terhadap
Pernikahan Dini di Desa Batang-batang Daya Kabupaten Sumenep bulan Oktober 2009
Pendidikan
Pernikahan Dini Jumlah
Ya Tidak
∑ % ∑ % ∑ %
Tinggi
Sedang
Rendah
0
10
52
0
29,4
88,1
0
24
7
0
70,6
11,9
0
34
59
100
100
100
Jumlah 62 66,7 31 33,3 93 100
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Tabel 3. Tabulasi silang Pendidikan terhadap Pernikahan Dini di Desa Batang-batang Daya
Kabupaten Sumenep bulan Oktober 2009
Pendidikan
Pernikahan Dini Jumlah
Ya Tidak
∑ % ∑ % ∑ %
Tinggi
Sedang Rendah
0
10 52
0
29,4 88,1
0
24 7
0
70,6 11,9
0
34 59
100
100 100
Jumlah 62 66,7 31 33,3 93 100
Tabel 4 Tabulasi silang Ekonomi terhadap
Pernikahan Dini di Desa Batang-batang Daya Kabupaten Sumenep bulan Oktober 2009
Ekonomi
Pernikahan Dini Jumlah
Ya Tidak
∑ % ∑ % ∑ %
Tinggi
Sedang Kurang
0
10 52
0
45,5 78,8
5
12 14
100
54,5 21,2
5
22 66
100
100 100
Jumlah 62 66,7 31 33,3 93 100
PEMBAHASAN
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas
yang melakukan pernikahan dini sebanyak 62 responden (66,7%).
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 93
responden mayoritas pendidikan rendah yang
melakukan pernikahan dini sebanyak 52 responden
(88,1%). Berdasarkan uji Regresi Logistik Ganda diperoleh P=0,008, maka P< α jadi Ho ditolak berarti
ada pengaruh antara pendidikan remaja dengan
pernikahan dini di Desa Batang-batang Daya
Kabupaten Sumenep.
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa dari 93 responden mayoritas pendidikan rendah yaitu sebanyak
52 responden (88,1%). Berdasarkan uji Regresi Logistik
Ganda diperoleh P=0,008, maka P< α jadi Ho ditolak
berarti ada pengaruh antara pendidikan remaja dengan
pernikahan dini di Desa Batang-batang Daya Kabupaten Sumenep.
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa dari 93
responden mayoritas ekonomi kurang yang melakukan
pernikahan dini sebanyak 52 responden (78,8%).
Berdasarkan uji Regresi Logistik Ganda diperoleh P=0,999, maka P>α jadi Ho diterima berarti tidak ada
pengaruh antara pendidikan remaja dengan pernikahan
dini di Desa Batang-batang Daya Kabupaten Sumenep.
Hal ini tidak sesuai dengan teori yang mengatakan
bahwa ekonomi bisa berpengaruh pada pernikahan dini menurut Cendi, dkk tetapi setelah dilakukan penelitian
kenyataannya tidak ada pengaruh ekonomi terhadap
pernikahan dini di Desa Batang-Batang Daya
Kabupaten Sumenep.
KESIMPULAN 1. Dari 93 remaja usia 17-21 tahun mayoritas memiliki
Pendidikan rendah yaitu sebanyak 59 orang (63,4%).
2. Dari 93 remaja usia 17-21 tahun mayoritas
mendukung budaya pernikahan dini yaitu sebanyak
68 orang (73,1%). 3. Dari 93 remaja usia 17-21 tahun mayoritas
ekonominya rendah yaitu sebanyak 66 orang
(70,9%).
4. Dari 93 remaja usia 17-21 tahun mayoritas memiliki
pengetahuan rendah yaitu sebanyak 65 orang (69,9%).
5. Dari 93 remaja usia 17-21 tahun mayoritas yang
melakukan penikahan dini yaitu sebanyak 65 orang
(69,9%).
6. Ada pengaruh antara pendidikan dengan pernikahan dini dimana hasil uji Regresi Logistik Ganda
P=0,008.
7. Ada pengaruh antara budaya dengan pernikahan dini
dimana hasil uji Regresi Logistik Ganda P=0,033.
8. Tidak ada pengaruh antara ekonomi dengan pernikahan dini dimana hasil uji Regresi Logistik
Ganda P=0,999.
9. Tidak ada pengaruh antara pengetahuan dengan
pernikahan dini dimana hasil uji Regresi Logistik
Ganda P=0,995.
DAFTAR PUSTAKA
1. Atriana, A (2007) Dampak Pernikahan Dini (Pernikahan Dibawah Umur). Bersumber dari: http://www.dwp.or.id/dwp1.php?kas=12&noid=799 (Diakses 29 Juni 2009, jam 07.45 )
2. lock, EB (2002) Psikologi Perkembangan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga
3. Nursalam (2003), Konsep dan Penerapan Metodologi 4. Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta Salemba 5. Medika 6. Sarwono, S. W. (2006), Psikologi Remaja. Edisi 7. Revisi 10. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. 8. Syarifuddin (2009) Pernikahan Dini Ngetren di
Madura.Bersumberdari:http://seputarmadura.blogspot.com/2009/05/pernikahan- dini-ngetren-di-madura.htm l(Diakses 1 Juli 2009, jam 10.10)