Web viewDalam buku . Teori Komunikasi ... Asap merupakan indeks dari adanya api. ... pembentukan...
Transcript of Web viewDalam buku . Teori Komunikasi ... Asap merupakan indeks dari adanya api. ... pembentukan...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Media massa adalah media komunikasi dan informasi yang melakukan
penyebaran informasi secara massal dan dapat diakses oleh masyarakat secara
massal pula (Bungin, 2006:72). Informasi yang disebarkan secara massal dan
dapat ditangkap oleh masyarakat secara massal memberikan kemudahan dalam
mengkonsumsi media, sehingga media menjadi bagian penting dalam kehidupan
manusia. Tanpa media dapat kita bayangkan bagaimana kehidupan manusia
yang sangat butuh akan informasi. Dewasa ini, media massa menjadi kebutuhan
bagi manusia.
Adanya media massa, seseorang dapat mengetahui informasi dari belahan
dunia meski jaraknya sangat jauh. Dalam bukunya Sosiologi Komunikasi, Burhan
Bungin (2006:86) menjelaskan sebagai agent of change, media massa juga
menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong
kebudayaan, katalisator perkembangan budaya. Sebagai agent of change yang
dimaksud adalah juga mendorong agar perkembangan budaya itu bermanfaat bagi
manusia bermoral dan masyarakat sakinah, dengan demikian media massa juga
berperan untuk mencegah berkembangnya budaya-budaya yang justru merusak
peradaban manusia dan masyarakatnya.
Keunggulan media massa yang dapat diakses secara massal berkembang dan
bergerak dalam lingkup budaya untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat
1
(massa). Media massa mampu mengubah kebudayaan dengan budaya baru dan
media massa juga mampu mencegah berkembangnya budaya baru yang tidak
sesuai dengan budaya yang sudah ada dengan membentuk pola pikir
masyarakatnya.
Media sebagai sebuah sistem komunikasi manusia telah kian penting di
dunia di mana meminjam istilah C. Wright Mills – penglaman primer telah
digantikan oleh komunikasi sekunder, seperti media cetak, radio, televisi, dan
film. Media telah memainkan peran penting dalam merombak tatanan sosial
menjadi masyarakat serba massal. Lebih dari itu, menurut Mills, media juga kian
penting sebagai alat kekuasaan kaum elite. Media tidak hanya menyaring
pengalaman eksternal manusia, melainkan bahkan ikut membentuk pengalaman
itu sendiri. Media memberi tahu kita tentang apa atau siapa diri kita, harus
menjadi apa diri kita nanti, apa yang kita inginkan, dan bagaimana kita
menampilkan diri kepada orang lain. Media menyajikan aneka informasi tentang
dunia. Namun karena media menyajikannya dalam bahasa, stereotype dan
harapannya sendiri, media sering membuat manusia frustasi dalam upayanya
mengaitkan hubungan pribadinya dengan kenyataan dunia di sekelilingnya.
Manusia kian tergantung pada media untuk memperoleh informasi dan kian rapuh
terhadap manipulasi dan eksploitasi kalangan tertentu di masyarakat yang
menguasai media (Rivers dan Jensen, 2003:321-322).
Film yang merupakan bagian dari media, seperti yang dikatakan oleh Mills
menjadi pengalaman primer bagi manusia. Film, di dalamnya kaya akan nilai
budaya. Konstruksi dan geraknya tak lepas dari budaya. Film mempunyai
2
kekuatan dalam memperkenalkan budaya baru, mensosialisasikan, dan
menghilangkan budaya lama. Hal ini dilatar belakangi oleh power yang dimiliki
film. Dalam buku Teori Komunikasi Massa, yang ditulis oleh John Vivian
(2008:159) disebutkan bahwa film bisa membuat orang tertahan, setidaknya saat
mereka menontonnya, secara lebih intens ketimbang medium lainnya. Bukan hal
yang aneh jika seorang pengulas film menyarankan agar calon penonton
menyiapkan sapu tangan. Anda tentu tak pernah mendengar saran seperti itu dari
pengulas musik dan buku.
Oey Hong Lee (dalam Sobur, 2003:126) misalnya, menyebutkan, “film
sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia, mempunyai massa
pertumbuhannya pada akhir abad ke-19, dengan perkataan lain pada waktu unsur-
unsur yang merintangi perkembangan surat kabar sudah dibikin lenyap. Ini berarti
bahwa dari permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah dapat menjadi alat
komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami unsur-unsur teknik, politik,
ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada
pertumbuhannya pada abad ke-18 dan permulaan abad ke 19”.
Orang terpesona oleh film sejak awal penciptaan teknologi film itu, meski
gambar saat itu tak lebih dari gambar putus-putus dan goyang-goyang di tembok
putih. Medium ini tampaknya punya kekuatan magis. Dengan masuknya suara
pada akhir 1920-an dan kemudian warna serta banyak kemajuan teknis lainnya,
film terus membuat orang terpesona (Vivian, 2008:160).
Pada tanggal 24 April 1894 “The New York Times” memberitakan
dahsyatnya sambutan publik terhadap film layar lebar pertama yang ditayangkan.
3
Filmnya sendiri sederhana, yakni tentang dua gadis pirang yang memperagakan
tarian payung. Disebutkan bahwa masyarakat sangat antusias menyambut
tontonan baru itu. Teriakan kagum terdengar tanpa henti. Semua hal mereka
soraki, termasuk pencipta film Mr. Edison (Rivers dan Peterson, 2003:60).
Pada awal dipertunjukannya film mendapat sambutan antusias dari
masyarakat. Yang dipertunjukkan adalah tarian dua orang gadis. Munculnya film
pertama, memang menjadikan sosok wanita sebagai objek tontonan. Dalam
perkembangannya film tetap menjadikan wanita sebagai bagian utama untuk
menarik penonton.
Segala kelebihan yang dimiliki oleh wanita, mungkin menjadi inspirasi
pembuat film. Dalam banyak film di dunia termasuk Indonesia, wanita menjadi
objek tontonan adalah hal yang sangat lumrah dan biasa. Bagian fisik si wanita
sering menjadi daya tarik sebuah film. Belum lagi sisi kehidupannya yang berliku,
juga mampu memberi inspirasi bagi pembuat film. Sederhananya, wanita adalah
makhluk penuh sensasi yang mengundang inspirasi.
Daya tarik film tergantung bagaimana kreatifitas insan film berkarya. Meski
dalam film itu hanya dibutuhkan pemeran laki-laki, namun kehadiran perempuan
dibutuhkan walau hanya sebagai pemeran pendukung. Dalam perannya, sikap dan
perilaku perempuan tersebut selalu dikonstruksikan dengan tujuan menjadi
pemeran yang mempunyai daya tarik. Tujuannya, agar film mempunyai daya tarik
bagi masyarakat.
Stereotype perempuan juga tidak lepas kaitannya dengan seks dan gender,
yaitu suatu konsep sosial yang berhubungan dengan pembedaan karakter
4
psikologis dan fungsi sosial antara perempuan dan laki-laki yang dikaitkan dengan
anatomi jenis kelaminnya (sex) (Mufid, 2009: 281). Stereotype perempuan adalah
akibat dari konstruksi budaya. Perempuan digambarkan sebagai seseorang
berkarakter lemah lembut, memikirkan sesuatu dengan pendekatan perasaan, lebih
bodoh dari laki-laki, dan menjadi ibu rumah tangga yang baik dengan
menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga.
Perempuan sebenarnya dapat menentukan bagaimana dirinya meski budaya
telah menentukannya lebih dahulu. Hal ini erat kaitannya dengan citra. Citra
dijelaskan oleh Dan Nimmo (1989: 4) adalah segala sesuatu yang telah dipelajari
seseorang, yang relevan dengan situasi dan dengan tindakan yang bisa terjadi
didalamnya. Ke dalam citra tercakup seluruh pengetahuan seseorang (kognisi),
baik benar ataupun keliru, semua preferensi (afeksi) yang melekat kepada tahap
tertentu peristiwa yang menarik atau menolak orang tersebut dalam situasi itu, dan
semua pengharapan (konasi) yang dimiliki orang tentang apa yang mungkin
terjadi jika ia berperilaku dengan cara yang berganti-ganti terhadap objek di dalam
situasi itu. Ringkasnya, citra adalah kecendrungan yang tersusun dari pikiran,
perasaan, dan kesudian. Citra selalu berubah seiring dengan berubahnya
pengalaman.
Citra perempuan dalam film dibentuk oleh ide cerita dan penulis naskah
(scrip writer). Bagaimana realnya, hal ini merupakan bagian dari tugas sutradara
dalam film.
Sutradara memberikan contoh bagaimana aktris/aktor melakonkan adegan
yang sudah ada dalam skenario. Sutradara juga mengatur bagaimana proses
5
pembuatan film termasuk waktu dan lokasi dimana sebuah adegan diambil. Oleh
karena itu, sutradara merupakan orang-orang yang memang berkecimpung di
dunia perfilman. Layak atau tidak sebuah adegan untuk ditampilkan, ditentukan
oleh sang sutradara. Sebut saja Teddy Soeriaatmadja, Nia Dinata, Hanung
Bramantyo, Riri Riza, Deddy Mizwar, Garin Nugroho, dan banyak lagi nama-
nama lain merupakan deretan nama sutradara Indonesia. Apresiasi mereka
terhadap film Indonesia adalah kontribusi yang sungguh luar biasa dalam dunia
perfilman nasional. Disadari atau tidak, sebagai sutradara mereka telah
mengkonsepkan citra perempuan dalam karya-karya mereka.
Film dibentuk oleh sutradara dengan perspektif yang berbeda-beda.
Begitupun dengan pemerannya. Aktor dan aktris diarahkan oleh sutradara sesuai
dengan tujuannya. Aktris dalam memerankan perannya dalam film mencitrakan
perannya dalam film tersebut. Sebut saja ruang lingkup perempuan yang terbatas
dari pada laki-laki, perempuan yang patah hati ditinggalkan seorang lelaki,
perempuan yang hidupnya hancur karena lelaki yang disayang telah
mengkhianatinya, atau cerita tentang kesuksesan seorang perempuan yang
dibidani oleh seorang laki-laki, dan masih banyak cerita lainnya dari film yang
mengisahkan perempuan. Sekalipun ia sebagai pemeran utama dalam film,
perempuan dalam ceritanya selalu diposisikan nomor dua di bawah laki-laki. Hal
itu bisa terjadi akibat adaptasi budaya dari suatu komunitas masyarakat atau ingin
mempertahankan citra perempuan yang dikukuhkan dari budaya. Film yang
diperankan oleh perempuan – baik sebagai pemeran utama maupun pemeran
pendukung – menghasilkan citra perempuan.
6
Sutradara Hanung Bramantyo merupakan sineas berbakat Indonesia yang
sukses manggarap 20 judul film. Sebagai sutradara, Hanung Bramantyo tak luput
dengan peran perempuan dari film yang digarapnya. Disadari atau tidak, Hanung
Bramantyo ikut berperan dalam membentuk citra perempuan di media. Sebagaian
filmnya, menjadikan perempuan sebagai bintang utama. Film layar lebarnya yang
berjudul Brownies, bertema percintaan yang menceritakan sisi perempuan modern
sebagai pemeran utamanya. Get Merried yang dilakonkan Nirina Zubir sebagai
pemeran utama adalah film dengan kisah seorang perempuan yang mempunyai
latarbelakang masyarakat pinggiran. Perempuan Berkalung Sorban dari genre
drama islami adalah film dengan kisah perjuangan seorang perempuan untuk
mencerdasakan kaum perempuan. Dengan perspektif yang berbeda, Hanung
Bramantyo mengangkat berbagai sisi (sosial, budaya, dan agama) perempuan.
Setiap film garapannya, jika pemeran utama adalah perempuan, selalu dicitrakan
berbeda-beda meski dari genre yang sama.
Dari penggambaran yang penulis paparkan di atas, kiranya hal ini sangat
penting untuk diperhatikan melalui sebuah kajian mendalam tentang dunia
perfilman. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk mengangkat permasalah
ini menjadi sebuah tulisan ilmiah dengan judul, Analisis Semiotik Citra
Perempuan Dalam Film Perempuan Berkalung Sorban.
B. Alasan Pemilihan Judul
Alasan peneliti mengambil judul ini adalah:
7
1. Dunia perfilman Indonesia banyak mengangkat realitas perempuan Indonesia
yang berhubungan erat dengan sosial dan budaya
2. Dalam film Perempuan Berkalung Sorban, memerankan perempuan sebagai
pemeran utama dan alur ceritanya adalah cerita dari sosok perempuan itu
sendiri.
3. Judul ini erat kaitannya dengan Ilmu Komunikasi yang sesuai dengan
pendidikan penulis.
4. Hanung Bramantyo merupakan sutradara berbakat yang karyanya fenomenal di
Indonesia. Sebagian film yang telah digarap, bercerita tentang perempuan.
C. Penegasan Istilah
Agar tidak terjadi kesalahan terhadap judul karya ilmiah ini, maka penulis
memberikan penegasan istilah yang terdapat pada judul tersebut, sebagai berikut:
1. Analisis Semiotik
Semiotika adalah salah satu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things)
(Sobur, 2003:15).
2. Citra
Citra dijelaskan oleh Dan Nimmo (1989: 4) adalah segala sesuatu yang telah
dipelajari seseorang, yang relevan dengan situasi dan dengan tindakan yang bisa
terjadi didalamnya. Ke dalam citra tercakup seluruh pengetahuan seseorang
(kognisi), baik benar ataupun keliru, semua preferensi (afeksi) yang melekat
8
kepada tahap tertentu peristiwa yang menarik atau menolak orang tersebut dalam
situasi itu, dan semua pengharapan (konasi) yang dimiliki orang tentang apa yang
mungkin terjadi jika ia berperilaku dengan cara yang berganti-ganti terhadap
objek di dalam situasi itu.
3. Perempuan
Perempuan adalah jenis sebagai lawan laki (Kamus Umum Bahasa
Indonesia, 2006: 873).
4. Film
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia film memiliki berbagai arti yang
saling berkaitan. Pertama, dalam pengertian kimia fisik dan teknik, film berarti
selaput halus. Pengertian ini dapat dicontohkan, misalnya pada selaput tipis, cat,
atau pada lapisan tipis yang biasa dipakai untuk melindungi benda-benda seperti
misalnya dokumen (laminasi). Dalam fotografi dan sinematografi, film berarti
bahan yang dipakai untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan foto. Film juga
mempunyai pengertian paling umum, yaitu untuk menamakan serangkaian
gambar yang diambil dari objek yang bergerak. Gambar objek itu memperlihatkan
suatu seri gerakan atau momen yang berlangsung secara terus menerus, kemudian
diproyeksikan ke sebuah layar dengan memutarnya dalam kecepatan tertentu
sehingga menghasilkan sebuah gambar hidup (Ensiklopedi Nasional Indonesia,
2004: 305).
9
5. Perempuan Berkalung Sorban
Gambar 1: Cover Film Perempuan Berkalung Sorban
(Sumber: Wikipedia Indonesia, 2011)
Sutradara Hanung Bramantyo
ProduserChand Parwez Servia
Hanung Bramantyo
Penulis
Ginatri S. Noer
Hanung Bramantyo
Novel:
Abidah El Khalieqy
Pemeran
Revalina S. Temat
Joshua Pandelaki
Widyawati
Oka Antara
Reza Rahadian
Ida Leman
Musik oleh Tya Subiakto
Distributor Starvision Plus
10
Durasi 129 menit
Negara Indonesia
(Tabel 1, Film Perempuan Berkalung Sorban)(Sumber data: Wikipedia Indonesia: 2011)
Film ini berkisah mengenai perjalanan hidup Annisa (Revalina S. Temat),
seorang wanita berkarakter cerdas, berani dan berpendirian kuat. Annisa hidup
dan dibesarkan dalam lingkungan dan tradisi Islam konservatif di keluarga Kyai
yang mengelola sebuah pesantren kecil Salafiah putri Al-Huda di Jawa Timur,
Indonesia. Dalam lingkungan dan tradisi konservatif tersebut, ilmu sejati dan
benar hanyalah al-Qur’an, Hadist dan Sunnah, dan buku-buku modern dianggap
sebagai ajaran menyimpang. Dalam pesantren Salafiah putri Al-Huda diajarkan
bagaimana menjadi seorang perempuan yang harus tunduk pada laki-laki,
sehingga Annisa beranggapan bahwa ajaran Islam hanya membela laki-laki dan
menempatkan perempuan dalam posisi sangat lemah dan tidak seimbang. Tapi
protes Annisa selalu dianggap rengekan anak kecil. Hanya Khudori (Oka Antara),
paman Annisa dari pihak Ibunya yang selalu menemani Annisa, menghibur
sekaligus menyajikan dunia yang lain bagi Annisa. Diam-diam Annisa menaruh
hati pada Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari dirinya
masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan (Joshua Pandelaki), ayah
Annisa, sekalipun bukan sedarah. Hal itu membuat Khudori selalu mencoba
menghindari perasaannya pada Annisa. Sampai akhirnya Khudori melanjutkan
sekolah ke Kairo, Mesir. Secara diam-diam Annisa yang mendaftarkan kuliah ke
Yogyakarta, Indonesia, dan diterima. Namun Kyai Hanan tidak mengizinkannya
dengan alasan bisa menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum
11
menikah berada sendirian jauh dari orang tua. Namun Annisa bersikeras dan
protes kepada ayahnya. Akhirnya Annisa dinikahkan dengan Samsudin (Reza
Rahadian), seorang anak Kyai dari pesantren Salaf besar di Jawa Timur.
Sekalipun hati Annisa berontak, tapi pernikahan itu dilangsungkan juga.
Kenyataannya Samsudin yang berperangai kasar dan ringan tangan menikah lagi
dengan Kalsum (Francine Roosenda). Harapan untuk menjadi perempuan
muslimah yang mandiri bagi Annisa seketika runtuh. Dalam kiprahnya itu, Annisa
dipertemukan lagi dengan Khudori dan keduanya masih sama-sama mencintai.
Film kemudian menceritakan perjalanan cinta Annisa dan Khudori dan juga
perjuangan Annisa untuk membela hak-hak perempuan muslim di tengah
rintangan keluarga pesantrennya yang konservatif (Wikipedia Indonesia, 2011).
D. Permasalahan
1. Batasan Masalah
Film Perempuan Berkalung Sorban merupakan film yang dibintangi oleh
perempuan sebagai tokoh utamanya. Untuk mengetahui citra perempuan dalam
film tersebut, batasan masalah dalam penelitian ini adalah menganalisis (analisis
semiotik) citra perempuan sebagai tokoh utama dalam film Perempuan Berkalung
Sorban karya sutradara Hanung Bramantyo.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah; Bagaimana analisis semiotik citra perempuan dalam film
Perempuan Berkalung Sorban karya Hanung Bramantyo?
12
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui citra perempuan dalam
film Perempuan Berkalung Sorban karya Hanung Bramantyo dengan
menggunakan analisis semiotik.
2. Kegunaan Penelitian
a. Sebagai sumbangan partisipasi pemikiran peneliti dalam penelitian ilmiah, dan
sebagai wujud pengabdian penulis terhadap kajian budaya dan perfilman
Indonesia
b. Dapat menambah wawasan dan cakrawala bagi penulis
c. Sebagai referensi untuk peneliti yang berminat melakukan penelitian lebih
lanjut mengenai permasalahan yang serupa.
d. Sebagai penyelesaian tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pada
Fakultas Dakwah Dan Ilmu Komunikasi UIN Suska Riau.
F. Kerangka Teoritis
Kerangka teori memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari
sudut mana masalah penelitian akan di sorot. Untuk itulah perlu disusun kerangka
teori yang akan menjadi landasan berpikir bagi penulis dalam menganalisis
masalah penelitian (Nawawi, 2005:23).
Teori adalah seperangkat dalil atau prinsip umum yang kait mengkait
(hipotesis yang diuji berulang kali) mengenai aspek-aspek suatu realitas yang
13
berfungsi untuk menerangkan, meramalkan, atau memprediksi, dan menemukan
keterpautan fakta-fakta secara sistematis (Effendy, 2004:244)
1. Analisis Semiotik
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala
yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-
tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang
menggunakannya. Menurut Preminger (2001), ilmu ini menganggap bahwa
fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Kriyantono, 2006: 263).
Kajian semiotik menurut Saussure lebih mengarah pada penguraian sistem
tanda yang berkaitan dengan linguistik, sedangkan Pierce lebih menekankan pada
logika dan filosofi dari tanda-tanda yang ada di masyarakat (Kriyantono, 2006:
264).
Analisis semiotik berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang
tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Karena sistem tanda
sifatnya amat kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda tersebut.
Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi
sosial di mana pengguna tanda tersebut berada (Kriyantono, 2006: 264).
Yang dimaksud “tanda” ini sangat luas. Pierce yang mengutip dari Fiske
(1990) membedakan tanda atas lambang (symbol), ikon (icon), dan indeks (index).
Dapat dijelaskan sebagai berukut (Kriyantono, 2006:264):
14
a. Lambang: suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya
merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional. Lambang ini
adalah tanda yang dibentuk karena adanya konsensus dari para pengguna
tanda. Warna merah bagi masyarakat Indonesia adalah lambang berani,
mungkin di Amerika bukan.
b. Ikon: suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya berupa
hubungan berupa kemiripan. Jadi, ikon adalah bentuk tanda yang dalam
berbagai bentuk menyerupai objek dari tanda tersebut. Patung kuda adalah ikon
dari seekor kuda.
c. Indeks: suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya timbul
karena ada kedekatan eksistensi. Jadi indeks adalah suatu tanda yang
mempunyai hubungan langsung (kausalitas) dengan objeknya. Asap
merupakan indeks dari adanya api
Model Analisis Semiotik Charles S. Peirce
Semiotika berangkat dari tiga elemen utama yaitu (Kriyantono, 2006:265),
a. Tanda
Adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera
manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (mempresentasikan) hal lain di
luar tanda itu sendiri. Acuan tanda ini disebut objek.
b. Acuan tanda (objek)
Adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang
dirujuk tanda.
c. Pengguna tanda (Interpretant)
15
Konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya
ke suatu makna yang ada dalam benak sesorang tentang objek yang dirujuk
sebuah tanda.
Yang dikupas teori segitiga, maka adalah persoalan bagaimana makna
muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu
berkomunikasi. Peirce dalam Fiske (1990) menyatakan hubungan antara tanda,
objek, dan interpretant digambarkan di bawah ini (Kriyantono, 2006: 265),
Hubungan antara tanda, objek dan interpretant (Triangle Of Mining)
Sign
Interpretant object
(Gambar 2, sumber: Kriyantono, 2006:266)
Model analisis Semiotik Ferdinand Saussure
Menurut Saussure, tanda terbuat atau terdiri dari (Kriyantono, 2006: 267):
a. Bunyi-bunyi dan gambar (sounds and images), disebut “Signifier”
b. Konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar (The concepts these sounds
and images), disebut “signified” berasal dari kesepakatan.
Tanda (sign) adalah sesuatu yang berbentuk fisik (any sound-image) yang
dapat dilihat dan didengar yang biasanya merujuk kepada sebuah objek atau aspek
dari realitas yang ingin dikomunikasikan (Kriyantono, 2006: 268).
Model Semiotik dari Saussure
SIGN
Composed of
16
Signifier Signification Referent Signified (External Reality)
(Gambar 3, sumber: Kriyantono, 2006:268)
Kode
Kode merupakan sistem pengorganisasian tanda. Kode mempunyai
sejumlah unit (atau kadang-kadang satu unit) tanda. Cara menginterpretasi pesan-
pesan yang tertulis yang tidak mudah dipahami. Jika kode sudah diketahui, makna
akan bisa dipahami. Dalam semiotik, kode dipakai untuk merujuk pada struktur
perilaku manusia. Budaya dapat dilihat sebagai kumpulan kode-kode (Kriyantono,
2006: 268).
Saussure merumuskan dua cara pengorganisasian tanda ke dalam kode,
yaitu (Kriyantono, 2006: 269):
a. Paradigmatik
Merupakan sekumpulan tanda yang dari dalamnya dipilih satu untuk
digunakan
b. Syntagmatic
Merupakan pesan yang dibangun dari paduan tanda-tanda yang dipilih.
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural
atau semiotika. Seperti yang dikemukakan oleh Van Zoest (1993), film dibangun
dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang
bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan
fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem
17
penandaan. Karena itu, menurut Van Zoest (1993), bersamaan dengan tanda-tanda
arsitektur, terutama indeksikal, pada film terutama digunakan tanda-tanda ikonis,
yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Memang, ciri gambar-gambar
film adalah persamaannya dengan realitas yang ditujukannya. Gambar yang
dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya (Sobur,
2001:128).
Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk
berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek
yang diharapakan. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara: kata
yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi
gambar-gambar) dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam
film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang
menggambarkan sesuatu (Sobur, 2003:128).
Tentu saja, seperti dikatakan Van Zoest (1999), film menuturkan ceritanya
dengan cara khususnya sendiri. Kekhususan film adalah mediumnya, cara
pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya dengan proyektor dan layar.
“Semiotika film untuk membuktikan hak keberadaannya–yang dalam hal-hal
penting menyimpang dari sintaksis dan semantik teks dalam arti harfiah–harus
memberikan perhatian khusus pada kekhususan tersebut,” kata Van Zoest.
Menurutnya, pada sintaksis dan semantik film dapat dipergunakan pengertian-
pengertian yang dipinjam dari ilmu bahasa dan sastra, tetapi akan merupakan
metafor-metafor, jadi dengan pengertian-pengertian yang dipergunakan sebagai
perbandingan–tidak perlu kita tolak. Van Zoest mengatakan bahwa “hanya dengan
18
betul-betul menyadari dimana letak perbedaan-perbedaannya dengan cara kerja
teks bahasa, kita akan menemukan cara kerja khusus semiotika film”. Ada hal-hal
yang dapat dilakukan film yang tidak dapat dilakukan cerita tertulis dan
sebaliknya. Bila kita mempelajari penyimpangan–pemyimpangan ini, maka
menurut Van Zoest lagi, akan banyak kekhusussan film yang dapat terungkapkan,
sehingga perbandingan antara roman dan film, dalam rangka kepentingan di atas,
sangatlah berguna (Sobur, 2001:130).
Sardar dan Loon (2001) menyebutkan bahwa film juga sebetulnya tidak
jauh beda dengan televisi. Namun, film dan televisi memiliki bahasanya sendiri
dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda (Sobur: 2001:130).
Tata bahasa itu terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan
(cut), pemotretan jarak dekat (close-up), pemotretan dua (two short), pemotretan
jarak jauh (long shot), pembesaran gambar (zoom –in), pengecilan gambar (zoom-
out), memudar (fade), pelarutan (dissolve), gerakan lambat (slow motion), gerakan
yang dipercepat (speeded-up), efek khusus (special effect). Namun, bahasa
tersebut juga mencakup kode-kode representasi yang lebih halus yang tercakup
dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol
yang paling abstrak dan arbitrer serta metafora. Metafora visual sering
menyinggung objek –objek dan simbol-simbol dunia nyata serta mengonotasikan
makna-makna sosial dan budaya (Sobur, 2001:130-131).
Dalam buku Penelitian Kualitatif yang ditulis oleh Burhan Bungin
(2010:173), pada umumnya ada tiga jenis masalah yang hendak diulas dalam
analisis semiotik, yaitu:
19
a. Masalah makna (the problem of meaning)
b. Masalah tindakan (the problem of action) atau pengetahuan tentang bagaimana
memperoleh sesuatu melalui pembicaraan.
c. Masalah koherensi (problem of coherence) yang menggambarkan bagaimana
membentuk suatu pola pembicaraan masuk akal (logic) dan dapat dimengerti
(sensible).
Burhan Bungin (2010:173-174) mengutip dari Sudibyo, Hamad, Qodari
(2003) dalam Sobur, membagi tiga unsur semiotik yang menjadi pusat perhatian
penafsiran teks secara kentekstual, yaitu:
a. Medan wacana (field of discourse): menunjuk pada hal yang terjadi: apa yang
dijadikan wacana oleh pelaku (= media massa) mengenai sesuatu yang sedang
terjadi di lapangan peristiwa.
b. Pelibat wacana (tenor of discourse) menunjukkan pada orang-orang yang
dicantumkan dalam teks (berita); sifat orang-orang itu, kedudukan dan peranan
mereka. Dengan kata lain, siapa saja yang dikutip dan bagaimana sumber itu
digambarkan sifatnya.
c. Sarana wacana (made of discourse) menunjuk pada bagian yang diperankan
oleh bahasa: bagaimana komunikator (media massa) menggunakan gaya
bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat (orang-orang yang
dikutip); apakah menggunakan bahasa yang diperhalus atau hiperbolis,
eufumistis atau vulgar.
Pateda (dalam Sobur, 2001: 100-101) menjelaskan terdapat Sembilan
macam semiotik yang kita kenal sekarang, yaitu:
20
a. Semiotik analitik, yakni semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce
menyatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi
ide, objek, dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna
adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek
tertentu.
b. Semiotik deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang
dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti
yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit yang mendung menandakan bahwa
hujan tidak lama lagi akan turun, dari dahulu hingga sekarang tetap saja seperti
itu. Demikian pula jika ombak memutih di tengah laut, itu menandakan bahwa
laut berombak besar. Namun, dengan majunya ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni, telah banyak tanda yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi
kebutuhannya.
c. Semiotik founal (zoosemiotic), yakni semiotik yang khusus memperhatikan
sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda
untuk berkomunikasi antara sesamanya, tetapi juga sering menghasilkan tanda
yang dapat ditafsirkan oleh manusia.
d. Semiotik kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Telah diketahui bahwa
masyarakat sebagai makhluk sosial memiliki sistem budaya tertentu yang telah
turun-temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat dalam
masyarakat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu
yang membedakannya dengan masyarakat yang lain.
21
e. Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang
berwujud mitos dan cerita lisan, ada di antaranya memiliki nilai kultural tinggi.
Itu sebabnya Greimas (1987) memulai pembahasannya tentang nilai-nilai
kultural ketika ia membahas persoalan semiotik naratif.
f. Semiotik natural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan di hulu telah turun hujan,
dan daun pohon-pohonan yang menguning lalu gugur. Alam yang tidak
bersahabat dengan manusia, misalnya banjir atau tanah longsor, sebenarnya
memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam
g. Semiotik normatif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu-
lintas. Di ruang kereta api sering dijumpai tanda yang bermakna dilarang
merokok.
h. Semiotik sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang berwujud kata
maupun lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat. Buku
Halliday (1978) itu sendiri berjudul Language Social Semiotic. Dengan kata
lain, semiotik sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa.
i. Semiotik struktural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
2. Citra Perempuan
a. Citra
22
Dalam film animasi seperti film-film Wold Disney, film-film kartun Mickey
Mouse dan sebagainya adalah sebuah hasil konstruksi dari teknologi media yang
mampu membangun sebuah realitas kehidupan, seakan-akan memang benar
terjadi. Seakan realitas itu benar ada dalam kehidupan di sekeliling kita, bahkan
seakan kita hidup bersama mereka (Bungin, 2006:215).
Baudrillard mengutip pernyataan Piliang (1998), menyebutkan bahwa
penciptaan realitas tersebut menggunakan satu model produksi yang disebut
dengan simulasi, yaitu penciptaan model-model nyata yang tanpa asal-usul atau
realitas awal. Hal ini olehnya disebut (hiper-reality). Melalui model simulasi,
manusia dijebak dalam satu ruang, yang disadarinya sebagai nyata, meskipun
sesungguhnya semu, maya, atau khayalan belaka (Bungin, 2006:218-219).
Menurut Piliang (1998) dalam buku yang ditulis oleh Burhan Bungin, ruang
realitas itu dapat digambarkan melalui analogi peta. Bila di dalam suatu ruang
nyata, sebuah peta merupakan representasi dari sebuah territorial, maka di dalam
model simulasi, petalah yang mendahului territorial. Realitas (teritorial) sosial,
kebudayaan atau politik, kini dibangun berdasarkan model-model (peta) fantasi
yang ditawarkan televisi, iklan, bintang-bintang layar perak, sinetron atau tokoh-
tokoh kartun. Namun tidak mustahil, kadang pemirsa memberi pemaknaan yang
berbeda, sesuai dengan lapisan (layer) pemirsa, jadi sangat mungkin terjadi
pemaknaan citra yang berbeda pula (Bungin, 2006: 219).
Realitas sosial yang dimaksud adalah sebuah konstruksi pengetahuan
dan/atau wacana dalam dunia kognitif yang hanya hidup dalam pikiran individu
dan simbol-simbol masyarakat, namun sebenarnya tidak ditemukan dalam dunia
23
nyata. Koridor realitas inilah yang dimaksud dengan realitas yang dicitrakan
media, artinya realitas citra itu hanya ada dalam media (Bungin, 2006: 210).
Menurut Dan Nimmo (1989: 4) citra adalah segala sesuatu yang telah
dipelajari seseorang, yang relevan dengan situasi dan dengan tindakan yang bisa
terjadi di dalamnya.
b. Perempuan
Dalam Kamus Linguistik yang ditulis oleh Kridalaksana (1993), Sejarah
kontemporer bahasa Indonesia mencatat bahwa kata wanita menduduki posisi dan
konotasi terhormat. Kata ini mengalami proses ameliorasi (suatu perubahan
makna yang semakin positif, arti sekarang lebih tinggi daripada arti dahulu)
(Sudarwati dan Jupriono; 2011).
Kata kewanitaan, yang diturunkan dari wanita, berarti keputrian atau sifat-
sifat khas wanita. Sebagai putri (wanita di lingkungan keraton), setiap wanita
diharapkan masyarakatnya untuk meniru sikap laku, gaya tutur, para putri keraton,
yang senantiasa lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung,
mendampingi, mengabdi, dan menyenangkan pria. Dengan kata wanita, benar-
benar dihindari nuansa memprotes, memimpin, menuntut, menyaingi,
memberontak, menentang, melawan. Maka, bisa dimengerti bahwa yang muncul
dipilih sebagai nama organisasi wanita bergengsi nasional adalah "Darma
Wanita", sebab di sinilah kaum wanita berdarma, berbakti, mengabdikan dirinya
pada lembaga tempat suaminya bekerja. Maka, program kerjanya pun harus selalu
mendukung tugas-tugas dan jabatan suami (Sudarwati dan Jupriono; 2011).
24
Berdasarkan "Old Javanese English Dictionary" (Zoetmulder, 1982), kata
wanita berarti yang diinginkan. Arti yang dinginkan dari wanita ini sangat relevan
dibentangkan di sini. Maksudnya, jelas bahwa wanita adalah sesuatu yang
diinginkan pria. Wanita baru diperhitungkan karena (dan bila) bisa dimanfaatkan
pria. Sudut pandangnya selalu sudut pandang lawan mainnya (pria). Jadi,
eksistensinya sebagai makhluk Tuhan menjadi nihil. Dengan demikian, kata ini
berarti hanya menjadi objek (bagi lelaki) belaka (Sudarwati dan Jupriono; 2011).
Ini merupakan pantulan realitas bahwa apa pun yang dilakukan wanita
tetaplah tak sanggup menghapus kekuasaan pria. Wanita berada dalam alam tanpa
otonomi atas dirinya. Begitulah inferioritas wanita akan selalu menderita gagap,
gagu, dan gugup di bawah gegap gempitanya superioritas pria (Sudarwati dan
Jupriono; 2011).
Sedangkan kata perempuan dalam pandangan masyarakat Indonesia, kata
perempuan mengalami degradasi semantis, atau peyorasi, penurunan nilai makna;
arti sekarang lebih rendah dari arti dahulu. Di pasar pemakaian, terutama di tubuh
birokrasi dan kalangan atas, nasib perempuan terpuruk di bawah kata wanita,
sehingga yang muncul adalah Menteri Peranan Wanita, pengusaha wanita (wanita
pengusaha), insinyur wanita, peranan wanita dalam pembangunan (Sudarwati dan
Jupriono; 2011).
Dalam tinjauan etimologisnya, kata perempuan bernilai cukup tinggi, tidak
di bawah, tetapi sejajar, bahkan lebih tinggi daripada kata lelaki (Sudarwati dan
Jupriono; 2011).
25
1) Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti tuan,
orang yang mahir/berkuasa, atau pun kepala, hulu, atau yang paling besar;
maka, kita kenal kata empu jari: ibu jari, empu gending: orang yang mahir
mencipta tembang.
2) Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu: sokong, memerintah,
penyangga, penjaga keselamatan, bahkan wali; kata mengampu artinya
menahan agar tak jatuh atau menyokong agar tidak runtuh; kata mengampukan
berarti memerintah (negeri); ada lagi pengampu: penahan, penyangga,
penyelamat.
3) Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini mengalami
pemendekan menjadi puan yang artinya ‘sapaan hormat pada perempuan’,
sebagai pasangan kata tuan 'sapaan hormat pada lelaki'.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keperempuanan juga berarti
kehormatan sebagai perempuan. Di sini sudah mulai muncul kesadaran menjaga
harkat dan martabat sebagai manusia bergender feminin. Tersirat juga di sini
makna kami jangan diremehkan atau kami punya harga diri (Sudarwati dan
Jupriono; 2011).
c. Citra Perempuan, Perempuan Dalam Film, dan Teori Perempuan Dalam
Media
Gandhi mengungkapkan (dalam Johan, 2009:15) bahwa fenomena kaum
perempuan Dunia Ketiga termasuk Indonesia secara umum digambarkan sebagai
26
perempuan yang bodoh, miskin, terkebelakang, terikat adat, jinak, berorientasi
keluarga, dan selalu menjadi korban.
Jenis kelamin biologis merupakan pemberian; kita dilahirkan sebagai
seorang laki-laki atau seorang perempuan. Tetapi, jalan yang menjadikan kita
maskulin atau feminim adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan
interpretasi biologis oleh kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai
‘naskah’ (scripts) untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar
memainkan peran feminim atau maskulin, sebagaimana halnya setiap masyarakat
memiliki bahasanya sendiri. Sejak kita sebagai bayi mungil hingga mencapai usia
tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan
oleh masyarakat bagi kita untuk menjadil laki-laki dan perempuan. Gender adalah
seperangkat peran, yang seperti halnya kostum dan topeng di teater,
menyampaikan pada orang lain bahwa kita adalah feminim atau maskulin.
Perangkat perilaku khusus ini – yang mencakup penampilan, pakaian, sikap,
kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung
jawab keluarga dan sebagainya – secara bersama-sama memoles “peran gender”
kita (Mosse, 1996:2-3).
Yang jelas, suatu masyarakat dapat memiliki beberapa naskah yang berbeda,
kebiasaan yang berbeda, tetapi nilai inti dari suatu kultur, yang mencakup peran
gender berlangsung dari generasi ke generasi seperti halnya bahasa (Mosse,
1996:3).
Salah satu hal yang paling menarik mengenai peran gender adalah peran-
peran itu berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur
27
lainnya. Peran itu juga amat dipengaruhi oleh kelas sosial, usia, dan latar belakang
etnis (Mosse, 1996:3-4).
Gender kita menentukan berbagai pengalaman hidup yang akan kita
singkap. Gender dapat menentukan akses kita terhadap pendidikan, kerja, alat-
alat, dan sumber daya yang diperlukan untuk industri dan keterampilan. Gender
bisa menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak kita. Yang jelas,
gender ini akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan kita untuk
membuat keputusan dan bertindak secara autonom. Gender bisa jadi merupakan
satu-satunya faktor terpenting dalam membentuk kita akan menjadi apa nantinya
(Mosse, 1996:4-5).
Gender kita membatasi dan mendahului kita. Kita lahir kedalamnya
sebagaimana halnya kita lahir ke dalam keluarga kita, dan gender kita bekerja
pada suatu tingkat di luar tujuan-tujuan individu kita. Untuk itulah kita cenderung
menjalani peran gender sebagai sesuatu yang benar, alami dan baik. Peran gender
yang kita jalani dalam kehidupan sehari –hari merupakan bagian dari landasan
cultural kita, dan tidak mudah di ubah (Mosse, 1996:7).
Setiap saat, sebagian besar di antara kita belajar menyukai diri sendiri
dengan “kostum” yang dianggap tepat bagi gender kita. Sehingga, kebanyakan di
antara kita akhirnya memilih peran gender yang bisa diterima oleh diri kkita
(Mosse, 1996:7).
Sesuai dengan asal-usulnya, pembentukan identitas gender didasarkan pada
acuan ekspektasi dan preskripsi nilai-nilai religius, sosial, dan kultural. Oleh
sebab itu, gender dapat berubah sewaktu-waktu seiring dengan perubahan dimensi
28
ruang dan waktu. Pencitraan seseorang dalam perspektif gender dibingkai dalam
konteks semangat ruang dan waktu (Chuzaifah, et.al., 2004:18).
Dalam buku Perempuan Dalam Wacana Politik Orde Baru yang disusun
oleh Liza Hadiz (2004:273) yang merupakan kumpulan dari artikel Prisma
menuliskan bahwa perempuan berorientasi pada laki-laki yang lebih penting
perannnya, di samping itu dia tergantung pada pria dan perlu berlindung pada
mereka. Tempatnya tiada lain ialah di rumah, dalam rumah tangga, di mana
kesejahteraan menjadi tanggung jawab dan tugas sucinya.
Perempuan yang menyiratkan makna radikal memiliki citra. Tamagola
(Bungin, 2006: 220-222) menjelaskan citra perempuan dalam media
tergambarkan sebagai citra pigura, citra pilar, citra pinggan, dan citra pergaulan.
1) Citra pigura
Pentingnya perempuan untuk selalu tampil memikat dengan mempertegas
sifat kewanitaannya secara biologis, seperti memiliki waktu menstruasi, memiliki
rambut hitam dan panjang, merupakan pencitraan perempuan dengan citra pigura.
Ditekankan lagi dengan menebar isu ‘natural anomy’ bahwa umur perempuan
sebagai momok yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan perempuan.
2) Citra pilar
Citra pilar dalam pencitraan perempuan, ketika perempuan digambarkan
sebagai tulang punggung utama keluarga. perempuan sederajad dengan laki-laki,
namun karena fitrahnya berbeda dengan laki-laki, maka perempuan digambarkan
memiliki tanggungjawab yang besar terhadap rumah tangga. Secara lebih luas,
perempuan memiliki tanggung jawab terhadap persoalan domestik.
29
3) Citra pinggan
Perempuan tidak bisa melepaskan diri dari dapur karena dapur adalah dunia
perempuan, hal ini merupakan penggambaran dari citra pinggan.
4) Citra pergaulan
Citra ini ditandai dengan pergulatan perempuan untuk masuk ke dalam
kelas-kelas tertentu yang lebih tinggi dimasyarakatnya, perempuan dilambangkan
sebagai makhluk yang anggun, menawan.
Pencitraan perempuan seperti di atas tidak sekedar dilihat sebagai objek,
namun juga dilihat sebagai subjek pergaulan perempuan dalam menempatkan
dirinya sebagai realitas sosial, walaupun tidak jarang perempuan lupa bahwa
mereka telah masuk dalam dunia hiper-realitik (pseudo-reality), yaitu sebuah
dunia yang hanya ada dalam media (Bungin, 2006: 219-220).
Film mempunyai jauh lebih banyak bahan untuk mengatakan sesuatu
tentang wanita secara langsung – yaitu bahwa banyak film secara sadar mulai
membuat pernyataan tentang wanita – kesadarannya, tempatnya di dalam
masyarakat, sebagaimana dibuat dalam kesusasteraan. Apa yang dikatakan film
tentang wanita lebih menarik dari pada bagaimana wanita dimanfaatkan/dipakai
dalam media tersebut (Liza Hadiz, 2004:295).
Keindahan perempuan dan kekaguman lelaki terhadap perempuan adalah
cerita klasik dalam sejarah umat manusia. Dua hal itu pula menjadi dominan
dalam inspirasi banyak pekerja seni dari masa ke masa. Namun ketika perempuan
menjadi simbol dalam seni-seni komersial, maka kekaguman-kekaguman terhadap
perempuan itu menjadi sangat diskriminatif, tendensius, dan bahkan menjadi
30
subordinasi dari simbol-simbol dari kekuatan laki-laki. Bahkan terkadang
mengesankan perempuan menjadi simbol-simbol kelas sosial dan kehadirannya
dalam kelas tersebut hanya karena kerelaan yang dibutuhkan laki-laki (Bungin,
2006: 202).
Komunikasi memang terikat dalam budaya (culture-bound). Teori
komunikasi yang dihasilkan dari penelitian dalam suatu budaya belum tentu
sesuai bila diterapkan dalam budaya lain. Namun variabel-variabel yang sama
dapat diteliti oleh para peminat dan ahli-ahli dalam bidang itu, sehingga muncul
suatu teori baru yang lebih khas atau modifikasi dari teori sebelumnya (Deddy
Mulyana, 2001:22)
Perempuan Berkalung Sorban merupakan film garapan sutradara Hanung
Bramantyo. Bintang utama dari kedua film tersebut adalah perempuan. Film yang
merupakan bagian dari media, mencitrakan perempuan dalam bangunan budaya.
Cultural Norms Theory (Teori Norma Budaya)
Teori Norma Budaya menurut Melvin DeFleur hakikatnya adalah bahwa
media massa melalui penyajiannya yang selektif dan penekanannya pada tema-
tema tertentu, menciptakan kesan-kesan pada khlayak di mana norma-norma
budaya umum mengenai topik yang diberi bobot itu, dibentuk dengan cara-cara
tertentu (Effendy, 2003: 279).
Dalam pada itu kadang-kadang media massa menggalakkan bentuk-bentuk
baru dari perilaku yang diterima oleh masyarakat secara luas. dengan lain
perkataan, dalam situasi-situasi tertentu media massa menciptakan norma-norma
budaya baru. Mengenai hal ini tampak pada media surat kabar, radio, televisi, dan
31
film. Media tersebut menampilkan banyak bentuk baru dari hiburan, bahkan
interaksi di kalangan keluarga (Effendy, 2003: 280).
3. Tinjauan Terhadap Film Perempuan Berkalung Sorban
a. Film
Pendahulu teknis film adalah fotografi. Penemuan tahun 1727 bahwa cahaya
menyebutkan nitrat perak menjadi gelap adalah dasar dari perkembangan
teknologi film. Demikian pula fenomena manusia yang disebut persistensi visi.
Mata manusia menangkap gambar selama sepersekian detik. Jika serangkaian foto
menangkap sesuatu yang bergerak dan jika foto itu digerakkan secara berurutan
dengan cepat, maka mata manusia akan melihatnya sebagai gambar yang bergerak
tak putus-putus (Vivian, 2008:161).
Yang diperlukan adalah kamera yang tepat dan film untuk menangkap
sekitar 16 gambar per detik. Peralatan ini muncul pada 1888. William Dickson
dari laboratorium Thomas Edison mengembangkan sebuah kamera film. Dickson
dan Edison menggunakan film seluloid yang kemudian disempurnakan oleh
George Eastman, yang memperkenalkan kamera Kodak. Pada 1891 Edison telah
mulai memproduksi film (Vivian, 2008:161).
film dibuat karena rangsangan konteks sosial dan konteks pemikiran
tertentu. Konteks itu dijawab oleh penciptanya yang hidup dalam kontek sosial
dan pemikiran yang sama. Jawaban sang pencipta bisa mengukuhkan atau malah
menolak konteks sosial dan pemikiran tadi. Celakanya, film tidak hanya beredar
di wilayah dengan konteks sosial dan pemikiran yang sama. Film bisa dilihat
dimana saja, karena sifat medium ini “terpaket”, mudah dikirim dan dibawa-bawa
32
(apalagi dengan adanya teknologi pita video dan kemudian teknologi digital),
sehingga juga bersifat “massal”. Film bisa ditonton penikmat yang punya konteks
sosial berlainan sama sekali, sehingga bisa jadi suatu film tidak bisa dinikmati
atau dipahami karena perbedaan konteks sosial dan pemikiran tadi (Kristanto,
2004:9).
Film dalam batasan sinematografi sepanjang sejarahnya memberikan
keleluasaaan tema bila dilihat dari sisi dan sasaran atau tujuannya. Terdapat
berbagai jenis film, diantarnya film instruktif, film penerangan, film jurnal, film
gambar atau animasi, film boneka, film iklan, film dokumenter, dan film cerita
(Ensiklopedi Nasional Indonesia, 2004: 305).
Film cerita adalah film yang berisi kisah manusia (roman) yang dari awal
sampai akhir merupakan suatu keutuhan cerita dan dapat memberikan kepuasan
emosi kepada penontonnya. Film cerita dapat diputar di gedung bioskop atau
dibikin untuk acara televisi. Sebuah film cerita biasanya dimainkan oleh sejumlah
pemeran (aktor/aktris) dengan dukungan pemain lain. Film cerita dapat berupa
satu film dengan satu masa putar, dapat pula berupa film serial dengan masa putar
lebih dari satu kali. Film serial biasanya ditujukan untuk penayangan televisi
(Ensikopedi Nasional Indonesia, 2004: 306).
Untuk membuat sebuah film cerita dibutuhkan suatu kerja kolektif. Untuk
pembuatan film yang baik dibutuhkan saling mendukung antar unsur dalam
kolektivitas. Unsur pokok itu adalah penulis skenario, sutradara, bintang film, juru
kamera, juru tata suara, dan produser (Ensikopedi Nasional Indonesia, 2004: 306-
307).
33
Sutradara berperanan sebagai pemegang pimpinan dalam pembuatan film.
Bidang kerjanya tidak hanya pada satu segi saja, melainkan pada seluruh
pembuatan film. Sutradara memimpin pembuatan skenario, permainan para
bintang film yan mendukung film bersangkutan, pengambilan gambar-gambar
oleh juru kamera, perekam suara oleh juru rekam, penyusunan gambar oleh
penyusun film sampai seluruh film selesai. Karena itu, seorang sutradara dituntut
mempunyai pengetahuan bidang perfilman, mempunyai kepribadian yang masak,
dapat berorganisasi dan memiliki kreativitas serta daya artistik yang memadai
(Ensikolpedi Nasional Indonesia, 2004:307).
Kerja sutradara dimulai dari membedah skenario ke dalam director’s
treatment, yaitu konsep kreatif sutradara tentang arahan gaya pengambilan
gambar. Selanjutnya, sutradara mengurai setiap adegan (scene) ke dalam sejumlah
shot dan membuat shot list, yaitu uraian arahan pengambilan gambar dari tiap
adegan. Shot list tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam story board, yaitu
rangkaian gambar ala komik yang memuat informasi tentang ruang dan tata letak
pemeran (blocking) yang nantinya akan direkam menjadi sebuah film. Berbekal
director’s treatment, shot list, dan story board, script breakdown bisa dikerjakan.
Sutradara kemudian memberi pengarahan tentang film apa yang akan dibuat.
Untuk itu, sutradara harus berkomunikasi secara intensif dengan desainer
produksi, peñata artistik, peñata suara, dan editor (Effendy, 2002: 61).
Jadi, kedudukan suatu akting dilihat berdasarkan hubungan: sutradara
memilih naskah untuk diperagakan aktor. Aktor harus paham nilai naskah dan
34
arahan yang dimaui sutradara, tentang nilai kehidupan yang direka pengarang
dalam naskahnya itu. gambarannya sebagai berikut (Tambayong, 2000:53)
Naskah Kehidupan
Sutradara
Aktor Pengarang
(Gambar 4, sumber: Tambayong, 2000:53)
Bintang film adalah pemegang peran (pemain) dalam film. Seorang bintang
film dituntut mempunyai kemampuan kating sesuai dengan apa yang telah
dituliskan dalam skenario serta sejalan dengan apa yang diinginkan sutradara.
Namun tidak mustahil seorang bintang film diperbolehkan mengembangkan
kemampuan aktingnya dalam sebuah adegan di luar apa yang ditulis skenario,
sejauh masih berada dalam jalur cerita (Ensikopedi Nasional Indonesia,
2004:307).
Ada berbagai macam kategori bintang film. Tingkat teratas adalah bintang
utama (main star atau main plot). Ia adalah pemain yang memerankan tokoh
utama yang ada dalam cerita dan menjadi andalan kebagusan sebuah film. Bintang
utama didampingi bintang pembantu atau pemeran pembantu yang biasa disebut
costar (substar atau subplot). Pemeran pembantu adalah bintang film yang
memainkan tokoh yang dekat dengan tokoh utama. Bintang ini tidak harus
seorang pemeran, dapat juga seekor hewan kesayangan. Bintang utama dan
bintang pembantu didukung oleh bintang samping atau aktor/aktris pendukung
yang biasa disebut side star atai side plot. Lalu semua itu masih mendapat
dukungan dari bintang-bintang pelengkap yang biasa disebut figuran (figurant)
(Ensikopedi Nasional Indonesia, 2004: 307-308).
b. Perempuan Berkalung Sorban
35
Film Perempuan Berkalung Sorban adalah sebuah film yang menceritakan
kehidupan seorang wanita yang memiliki pemikiran modern. Hidup dalam
lingkungan pesantren dengan ajaran Islam yang kental. Wanita yang memilih
hidup dengan pemikiran modern dianggap sebagai wanita yang liar dan keluar
dari aturan yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Berangkat dari apa yang dituliskan Asghar Ali yang dikutip oleh Chumaidi
Syarif Romas (2000: 96) dalam bukunya yang berjudul Wacana Teologi Islam
Kontemporer, perempuan modern mampu mendefinisikan dirinya secara
eksistensial dalam sejarah teristerial peradaban modern. Asghar Ali dengan
berpijak pada konsep penciptaan pria dan perempuan sebagai nafsin wahidatin
(an-Nisa: 1 dan az-Zumar: 6) menyatakan bahwa lelaki dan perempuan secara
substansial setara. Akan tetapi didasari oleh Boisard bahwa Al-Qur’an diturunkan
pada masa Nabi, budaya arab masih primitif, yang tradisinya belum dapat
diberantas, meskipun tujuan Al-Qur’an ingin membawa perbaikan martabat
perempuan. Kemudian ia mengatakan bahwa dalam perkembangan sejarah
menunjukkan penyalahgunaan memahami Al-Qur’an, yang secara Harfiah
memperkuat egoisme lelaki. Dikatakan pula bahwa risalah nabi Muhammad ialah
menegakkan hak-hak suci perempuan di hadapan hukum, perlindungan hak milik
pribadi dan hak waris secara sederajad.
Firman Allah yang menyatakan bahwa kasih sayang-Ku meliputi segala
sesuatu (QS al-A’raf:156) merupakan substansi dari paradigma moralitas ilahiyah,
yang dapat mendasari teologi perempuan, sehingga perempuan juga sederajad
dengan sosok lelaki dalam arti yang sebenarnya. Namun demikian, disadari atau
36
tidak, dalam perjalanan sejarah perempuan telah “menyimpang” dari perspektif
Al-Qur’an itu sendiri. Akibat lebih jauh, dapat dikatakan bahwa perempuan telah
kehilangan otoritas “keimamahan” dalam ritual keagamaan (Romas, 2000:97).
G. Konsep Operasional
Untuk menghindari kesalahpahaman dalam kajian ini, maka konsep teori
perlu dioperasionalkan sebagai tolak ukur dalam penelitian ini. Menurut Rachmat
Kriyantono (2006:26) riset tergantung pada pengamatan dan pengamatan tidak
dapat dibuat tanpa sebuah pernyataan atau batasan yang jelas mengenai apa yang
diamati. Pernyataan atau batasan ini adalah hasil dari kegiatan
mengoperasionalkan konsep, yang memungkinkan riset mengukur
konsep/konstruk/variabel yang relevan, dan berlaku bagi semua jenis variabel.
Konsep opeasional dalam penelitian ini yaitu mengenai sebuah konsep yang
akan memberikan penjelasan terhadap pendekatan teori yang digunakan untuk
membahas citra perempuan dalam film Perempuan Berkalung Sorban.
Untuk mengkaji citra perempuan dalam film Perempuan Berkalung Sorban,
peneliti menggunakan konsep semiotik untuk mengkonsepkan citra perempuan
dalam film tesebut. Sembilan konsep semiotik seperti yang telah dibahas pada
kerangka teoritis di halaman sebelumnya digunakan untuk meninjau konstruksi
perempuan. Sesuatu yang ditimbulkannya melalui bangunan yang ia buat dalam
lakonnya sebagai Anissa, memberi makna pada orang lain tentang dirinya
terutama dalam bentuk bahasa (bahasa verbal dan non verbal), dan atribut diri
37
yang ia pergunakan dalam film tersebut. Tinjauan dengan analisis semiotik
dijabarkan oleh Sobur (2001:100-101) sebagai berikut:
a. Semiotik analitik, yakni semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce
menyatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi
ide, objek, dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna
adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek
tertentu.
b. Semiotik deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang
dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti
yang disaksikan sekarang. Dengan majunya ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni, telah banyak tanda yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi
kebutuhannya.
c. Semiotik founal (zoosemiotic), yakni semiotik yang khusus memperhatikan
sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda
untuk berkomunikasi antara sesamanya, tetapi juga sering menghasilkan tanda
yang dapat ditafsirkan oleh manusia.
d. Semiotik kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Telah diketahui bahwa
masyarakat sebagai makhluk sosial memiliki sistem budaya tertentu yang telah
turun-temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat dalam
masyarakat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu
yang membedakannya dengan masyarakat yang lain.
38
e. Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang
berwujud mitos dan cerita lisan, ada di antaranya memiliki nilai kultural tinggi.
f. Semiotik natural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dihasilkan oleh alam.
g. Semiotik normatif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu-
lintas. Di ruang kereta api sering dijumpai tanda yang bermakna dilarang
merokok.
h. Semiotik sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang berwujud kata
maupun lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat.
i. Semiotik struktural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
H. Metode Penelitian
Metode adalah cara atau teknik yang digunakan untuk riset. Metode
mengatur langkah-langkah dalam melakukan riset. Sedangkan penentuan metode
riset, periset memilih metode apa yang akan dipakai dalam mendekati dan
mencari data, apakah melalui metode survey, analisis isi, eksperimen, semiotik,
analisis historis, etnometodologi, FGD atau pun observasi partisipan. Metode ini
disesuaikan dengan permasalahan, pendekatan, juga bentuk data yang diinginkan
(Kriyantono, 2006: 82).
39
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Rachmat Kriyantono (2006: 56) menjelaskan riset kualitatif bertujuan untuk
menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan
besarnya populasi atau sampling bahkan populasi atau samplingnya sangat
terbatas. Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan bisa menjelaskan
fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Di sini yang
lebih ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) data bukan banyaknya
(kuantitas) data.
1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di tempat yang menyediakan perangkat-perangkat
tertentu yang memudahkan peneliti untuk bisa menyaksikan film Perempuan
Berkalung Sorban.
2. Subjek Dan Objek Penelitian
a. Subjek penelitian
Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian adalah tokoh utama
perempuan dalam film Perempuan Berkalung Sorban.
b. Objek penelitian
Sedangkan objek penelitiannya adalah citra perempuan dalam film karya
sutradara Hanung Bramantyo yaitu film Perempuan Berkalung Sorban.
3. Populasi dan Sampel Penelitian
a. Populasi
40
Sugiyono (dalam Kriyantono, 2006: 151) menyebutkan populasi sebagai
wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai
kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh periset untuk dipelajari,
kemudian ditarik suatu kesimpulan. Populasi yang digunakan peneliti adalah
keseluruhan subjek yang diteliti, yaitu tokoh utama perempuan dalam film
Perempuan Berkalung Sorban.
b. Sampel
Riset kualitatif tidak bertujuan untuk membuat generalisasi hasil riset. Hasil
riset lebih bersifat kontekstual dan kasuistik, yang belaku pada waktu dan tempat
tertentu sewaktu riset dilakukan. Karena itu, pada riset kualitatif tidak dikenal
istilah sampel. Sampel pada riset kualitatif disebut informan atau subjek riset,
yaitu orang-orang yang dipilih diwawancarai atau diobservasi sesuai tujuan riset
disebut subjek riset—bukan objek—karena informan dianggap aktif
mengkonstruksi realitas, bukan sekedar objek yang hanya mengisi kuesioner.
Dalam studi semiotik, framing ataupun analisis wacana dikenal dengan istilah
korpus. Korpus adalah suatu himpunan terbatas atau juga terbatas dari unsur yang
memiliki sifat bersama atau tunduk pada aturan yang sama dan karena itu dapat
dianalisis sebagai keseluruhan, meskipun tidak secara langsung menghasilkan
generalisasi (Kriyantono, 2006: 163).
I. Teknik Pengumpulan Data
41
Teknik pengumpulan data untuk mendapatkan data yang lengkap, maka
peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yaitu,
1. Data Teks
Ini biasanya digunakan pada penelitian yang membahas sistem tanda.
Dalam kajian komunikasi segala macam tanda adalah teks yang di dalamnya
terdapat simbol-simbol yang sengaja dipilih, di mana pemilihan, penyusunannya,
dan penyampaiannya tidak bebas dari maksud tertentu, karena itu akan
memunculkan makna tertentu(Kriyantono, 2006: 38).
Data teks digunakan peneliti untuk meneliti sistem tanda pada film
Perempuan Berkalung Sorban.
2. Observasi
Observasi diartikan sebagai kegiatan mengamati secara langsung – tanpa
mediator – sesuatu objek untuk melihat dengan dekat kegiatan yang dilakukan
objek tersebut (Kriyantono, 2006:108).
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah instrument pengumpulan data yang sering digunakan
dalam berbagai metode pengumpulan data. Tujuannya untuk mendapatkan
informasi yang mendukung analisis dan interpretasi data (Kriyantono, 2006:118)
J. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis semiotik. Luxemburg
(1984), seperti dikutip Santosa (1993) menyatakan bahwa semiotik adalah ilmu
42
yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem-
sistemnya dan perlambangan (Sobur, 2001: 96).
Batasan yang lebih jelas dikemukakan oleh Preminger (2001), “semiotik
adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena
sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu
mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti” (Sobur, 2001: 96).
Langkah-langkah penelitian semiotika (Sobur, 2001: 154)
1. Cari topik yang menarik perhatian
2. Buat pertanyaan penelitian yang menarik (mengapa, bagaimana, di mana, apa)
3. Tentukan alasan/rationale dari penelitian
4. Rumuskan tesis penelitian dengan mempertimbangkan tiga langkah
sebelumnya (topik, tujuan, dan rationale)
5. Tentukan metode pengolahan data (kualitatif/semiotika)
6. Klasifikasi data
a. Identifikasi teks
b. Berikan alasan mengapa teks tersebut dipilih dan perlu diidentifikasi
c. Tentukan pola semiosis yang umum dengan mempertimbangkan hierarki
maupun sekuennya atau, pola sintagmatig dan paradigmatik
d. Tentukan kekhasan wacananya dengan mempertimbangkan elemen semiotika
yang ada
7. Analisis data berdasarkan
a. Ideologi, interpretant kelompok, frame work budaya;
43
b. Pragmatik, aspek sosial, komunikatif;
c. Lapis makna, intekstualitas, kaitan dengan tanda lain, hukum yang
mengaturnya;
d. Kamus vs ensiklopedi
8. Kesimpulan
K. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini tardiri dari pokok-pokok permasalahan
yang dibahas pada masing-masing bab yang diuraikan menjadi beberapa bagian:
BAB I : PENDAHULUAN
Menjelaskan tentang Latar Belakang Permasalahan; Alasan
Pemilihan Judul; Penegasan Istilah; Permasalahan; Tujuan dan
Manfaat Penelitian; Kerangka Teoritis; Konsep Operasional;
Metode Penelitian; dan Sistematika Penulisan
BAB II : GAMBARAN UMUM PENELITIAN
Pada bab ini, peneliti menjelaskan mengenai film Perempuan
Berkalung Sorban.
BAB III : PENYAJIAN DATA
Pada bab penyajian data ini, peneliti menyajikan data dari teks
film Perempuan Berkalung Sorban.
BAB IV : ANALISIS DATA
Dalam analisis data, peneliti mencoba menganalisis dan
mengevaluasi data sesuai dengan penyajian data yang baik.
44
BAB V : PENUTUP
Menjelaskan mengenai kesimpulan dan saran dari penelitian yang
diteliti
45