UU No.4 Tahun 2009 Tentang Minerba

5
UU No.4 tahun 2009 tentang Minerba, dilahirkan dengan semangat untuk meningkatkan penguasaan nasional atas industri tambang sesuai dengan amanat Pasal 33 Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Sebuah alasan mulia dan memang seharusnya demikianlah landasan pengelolaan sumber daya alam nasional, termasuk dalam industri tambang dari hulu sampai hilir. Gerakan reformasi tahun 1998 juga mengusung isu ini, dan kuat disuarakan oleh tokoh reformasi saat itu Amien Rais, Bukan rahasia lagi, bila industri tambang nasional, khususnya disektor mineral (emas, tembaga, nikel, bijih besi), telah dikuasai oleh perusahaan asing sebagai dampak dari pemberlakuan UU Nomor 11 tentang Pertambangan tahun 1967 di awal Orde Baru. Bentuk kerja sama Kontrak Karya (KK) antara negara dan investor telah melemahkan daya tawar negara sehingga berbagai korporasi tambang asing mudah mengeruk kekayaan mineral Republik ini, sementara apa yang kita dapat selama orde baru ? Dalam era orde baru hampir 80 persen industri tambang mineral Indonesia dikuasai perusahaan asing seperti Freeport, Newmont, Inco, Rio Tinto, Newcrest, dan lainya. Hal inilah yang berusaha dirubah oleh pemerintah dan parlemen era reformasi tahun 2009, yang diawali dengan dikeluarkannya UU No.4 tahun 2009 tentang Minerba yang menggantikan UU No.11/1967. Sekarang setelah hampir 5 tahun UU Minerba ini diberlakukan belum terlihat implememtasinya sesuai cita-cita dan tujuan ketika UU Minerba ini dibuat karena aturan turunanya berupa PP dan Permen malah “memandulkan” nya. Padahal seharusnya aturan yang ada tidak boleh bertentangan dengan UU induknya tetapi kompromi politik, kemudian tidak sinkronya UU terkait serta persiapan yang tidak terencana dengan baik maka UU Minerba yang punya tujuan mulia ini pun saat ini masih mandul karena dimandulkan oleh aturan turunya baik PP maupun Permen maupun UU atau aturan lainya yang mendukungnya. Lihat saja, sejak UU Minerba ini dikeluarkan sudah ada 2 Peraturan Pemerintah (PP) diterbitkan yaitu PP 23/2010 dan PP 24/2012, dimana PP 24/2012 sendiri merupakan revisi dari

description

minerba

Transcript of UU No.4 Tahun 2009 Tentang Minerba

Page 1: UU No.4 Tahun 2009 Tentang Minerba

UU No.4 tahun 2009 tentang Minerba, dilahirkan dengan semangat untuk meningkatkan penguasaan nasional atas industri tambang sesuai dengan amanat Pasal 33 Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Sebuah alasan mulia dan memang seharusnya demikianlah landasan pengelolaan sumber daya alam nasional, termasuk dalam industri tambang dari hulu sampai hilir.

Gerakan reformasi tahun 1998 juga mengusung isu ini, dan kuat disuarakan oleh tokoh reformasi saat itu Amien Rais, Bukan rahasia lagi, bila industri tambang nasional, khususnya disektor mineral (emas, tembaga, nikel, bijih besi), telah dikuasai oleh perusahaan asing sebagai dampak dari pemberlakuan UU Nomor 11 tentang Pertambangan tahun 1967 di awal Orde Baru. Bentuk kerja sama Kontrak Karya (KK) antara negara dan investor telah melemahkan daya tawar negara sehingga berbagai korporasi tambang asing mudah mengeruk kekayaan mineral Republik ini, sementara apa yang kita dapat selama orde baru ? Dalam era orde baru hampir 80 persen industri tambang mineral Indonesia dikuasai perusahaan asing seperti Freeport, Newmont, Inco, Rio Tinto, Newcrest, dan lainya. Hal inilah yang berusaha dirubah oleh pemerintah dan parlemen era reformasi tahun 2009, yang diawali dengan dikeluarkannya UU No.4 tahun 2009 tentang Minerba yang menggantikan UU No.11/1967.

Sekarang setelah hampir 5 tahun UU Minerba ini diberlakukan belum terlihat implememtasinya sesuai cita-cita dan tujuan ketika UU Minerba ini dibuat karena aturan turunanya berupa PP dan Permen malah “memandulkan” nya. Padahal seharusnya aturan yang ada tidak boleh bertentangan dengan UU induknya tetapi kompromi politik, kemudian tidak sinkronya UU terkait serta persiapan yang tidak terencana dengan baik maka UU Minerba yang punya tujuan mulia ini pun saat ini masih mandul karena dimandulkan oleh aturan turunya baik PP maupun Permen maupun UU atau aturan lainya yang mendukungnya.

Lihat saja, sejak UU Minerba ini dikeluarkan sudah ada 2 Peraturan Pemerintah (PP) diterbitkan yaitu PP 23/2010 dan PP 24/2012, dimana PP 24/2012 sendiri merupakan revisi dari PP 23/2010. PP revisi ini sebenarnya sejalan dengan semangat ‘nasionalisasi’, dan memang perlu dilihat sebagai upaya pemerintah untuk mengurangi dominasi asing secara bertahap dalam industri tambang nasional. Namun ada beberapa hal yang membuat tekad ‘mulia’ pemerintah itu menjadi terkesan ’setengah hati’. Pertama, seperti yang telah disinggung sebelumnya, tidak berlaku surutnya PP ini membuat upaya pengurangan dominasi asing dalam pertambangan nasional yang selama ini berlangsung menjadi mustahil, karena rata-rata kontraknya sudah diperpanjang dahulu sebelum PP ini terbit, dimana 80 persen industri tambang nasional dikuasai asing dan sebagian besar telah berproduksi sebagai akibat berlakunya rezim KK orde baru tetap sulit disentuh oleh PP ini dan renegosiasi pun masih alot saat ini. Kedua, PP ini tidak sejalan dengan UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal. Dalam UU tersebut, kepemilikan saham oleh pihak asing tidaklah dibatasi, sehingga ini juga yang menjadi makin alot dalam proses regenosiasi, karena pihak yang berperkara melihat ini sebagai celah.

Page 2: UU No.4 Tahun 2009 Tentang Minerba

Disamping itu, perkembangan sistem pemerintahan yang mengusung otonomi daerah juga menambah keruh persoalan. Kewenangan Pemerintah Daerah (khususnya Bupati) dalam mengeluarkan IUP bagi investor tambang memunculkan persoalan baru. Padahal, sudah menjadi rahasia umum, banyak sekali IUP yang diterbitkan Bupati sarat dengan problem. Berbagai problem itu antara lain, tumpang tindih lahan antar IUP maupun antara IUP dengan tanah rakyat atau hak ulayat. Kebijakan rekonsiliasi nasional Clean and Clear yang dikeluarkan pemerintah sejak 2010 lalu guna menertibkan izin tambang merupakan langkah maju, namun tidak lah cukup. Yang harus dikoreksi kini adalah otoritas Bupati atau Pemda tingkat dua yang sangat besar dalam era Otonomi Daerah (Otda). Itu berarti pemerintah dan parlemen harus pula mengoreksi sistem Otda beserta perangkat regulasi pendukungnya, mau tidak mau.

Memang diakui oleh Thamrin Sihite, Dirjen Minerba yang mewakili Menteri ESDM pada acara Temu Profesi Tahunan dengan PERHAPI (Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia) di Jogja yang mengusung tema “Konservasi Bahan Tambang Menuju Masa Depan IndustriPertambangan Indonesia Yang Lebih Baik”, akhir Oktober lalu, memaparkan 4 hal yang menjadi persoalan saat ini dalam implementasi UU Minerba tahun 2014, yaitu Renegosiasi kontrak, Clear & Clean, Hilirisasi, dan Harga komoditi yang turun saat ini.

Pertama, terkait renegosiasi kontrak terhadap subtansinya sesuai UUD Minerba, akan fokus pada pembahasan terkait luas wilayah, dimana sikap pemerintah akan tetap pada pembatasan luas wilayah, sehingga sesuai dengan rencana produksi yang disampaikan. Sehingga pihak industri pertambangan tidak menelantarkan luas wilayah yang telah didapatnya, tetapi tidak diiringi dengan kemampuan atau rencana produksi, maka janganlah mempertanyakan luas wilayah yang tidak pantas untuk dipertanyakan, hal ini tentunya akan dilihat dari rencana produksi yang disampaikan saat mengajukan luas wilayah. Disamping itu pembagian wilayah juga mempertimbangan kepentingan dalam negeri khususnya jasa pertambangan.

Kedua, sering menjadi pertanyaan dari daerah terkait pelaksanaan Clear & Clean oleh pusat, dimana sebagai penerbit IUP didaerah, sementara tanggungjawab pelaksanaan Clear & Clean ada di pusat , ini harus dilihatnya sebagai bentuk pembinaan pusat kepada daerah, terhadap persoalan tumpah tindih IUP dan sekaligus memperketat SOP penerbitan IUP dengan tetap mengacu pada regulasi sebagai acuan PEMDA dalam pengelolaan tambang. Maksud dan tujuan C&C agar data dan informasi sejauh mana yang salah, sampai berakibat terjadinya tumpang tindih IUP yang diterbitkan daerah. Bahkan untuk data produksi yang selama ini berjalan, hanya sebagian kecil saja yang lapor ke pusat, akibatnya pusat kekurangan data.

Ketiga, terkait hilirisasi, pemerintah harus yakin bahwa SDM Indonesia sudah siap dan mampu, sebagai koreksi diri, karena kita sudah lama belajar tentang industri tambang. Kita sepakat tidak lagi menjual tanah air atau row material dimana sesuai permen 20 ESDM 2013 didalam lampirannya, jelas sekali batasan pemurnianya yang

Page 3: UU No.4 Tahun 2009 Tentang Minerba

bisa diekspor, sesuai lampiran 1,2 dan 3, jika telah memnuhi batasan ini, maka tidak dikenakan bea keluar, ini yang sedang disusun dengan menteri keuangan, walau sampai saat ini belum selesai dibahas. Kemudian, bagi pemilik IUP dan KK dimana per tgl 12 Januari 2014 tidak boleh ekspor dan ESDM tetap komit bahwa menjual row material tanpa proses dilarang, jadi kalau tidak ada niat pengolahan dalam negeri, maka kami sepakat sesuai rancangan PP yang sedang dalam proses draft sebagai persiapan revisi PP 24/2012 yang masih dalam proses narasi, nantinya akan diserahkan ke presiden, dimana diperbolehkan ekspor dengan syarat. Artinya bila ada niat membangun smelter, maka pemerintah tetap memberikan ijin untuk ekspor row material. Konsep syarat yang akan disusun adalah pertama, harus ada jaminan kesungguhan pembangunan smelter, yang nantinya diatur dalam peraturan pemerintah, dengan keseriusan target waktu penyelesaian sesuai rencana, dengan senilai uang jaminan, bila tidak dilaksanakan, maka uang jaminan akan dicairkan untuk pemerintah, dimana teknisnya, uang jaminan tersebut akan mengikat komitmen perusahaan untuk membangun smelter. Uang jaminan itu harus disimpan di bank dalam negeri. Jika perusahaan tidak memenuhi komitmen, maka uang jaminan itu akan diambil pemerintah untuk kemudian digunakan membangun smelter. Jumlah uang jaminan tergantung nilai investasi masing-masing smelter. Besaran berapa persennya, akan dirumuskan di dalam Permen, misalnya berapa persen tahun pertama, dan seterusnya. Tetapi untuk perusahaan yang komit untuk membangun smelter, maka kalau smelter sudah selesai dibangun, uang jaminannya akan dikembalikan. Pemerintah menargetkan semua smelter selesai dibangun dan beroperasi pada 2017. Syarat yang kedua adalah jumlah cadangan harus cukup sampai nanti pabrik beroperasi, jangan sampai cadangan yang ada, dihabiskan di ekspor semua, sehingga kehabisan cadangan untuk pabrik, dimana secara FS, syarat minimal umur cadangan harus bisa untuk kebutuhan pabrik minimal 30 tahun. Jadi kalau pemilik IUP kekurangan jumlah cadangan, maka harus kolabirasi dengan pemilik IUP lain. Syarat ketiga, Pelarangan ekspor menjadi sorotan dunia internasional khususnya proper dari lingkungan hidup, sehingga pemerintah akan ketat dalam pengawasan pengelolaan lingkungan tambang. Syarat keempat, Harus ada milestonenya, sehingga kita bisa membuat rencana pembangunan berbasis hilirasasi sektor pertambangan lebih jelas dan terarah Menuju Masa Depan Industri Pertambangan Indonesia Yang Lebih Baik.

Persoalan keempat dalam implementasi UU Minerba 2014 adalah masalah harga minerba, dimana saat ini, kalau dilihat kecenderunganya memang turun, kalau dilihat supply & demand batu bara, seharusnya kita bisa fokus pada energi nasional yang dirumuskan oleh DEN, dimana batu bara harus dimanfaatkan maksimal, sehingga bisa di mix dengan migas, hal ini mengacu pada kebijakan energi nasional.