UTS KADEHAM
Transcript of UTS KADEHAM
GEOSTRATEGI INDONESIA
Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS)
Mata Kuliah KADEHAM Semester 1 Tahun Akademik 2010/2011
Disusun oleh
Kelompok:
1. 052 10 005/ Andriany Eka Yovita
2. 052 07 005/ Amelia Hartanti
3. 052 10 017/ Dinda Agianiza
4. 052 10 049/ Yofani Intan
Dosen :
Drs. K. Satata, SH.MM
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
2010
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan penyusunan
makalah berjudul “Geostrategi Indonesia” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
nilai pada Ujian Tengah Semester di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Arsitekur,
Universitas Trisakti.
Penulis menyadari betul bahwa baik isi maupun penyajian makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang
membangun sehingga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman.
Seiring dengan itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Drs. K. Satata,
SH.MM selaku dosen mata kuliah KADEHAM, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan
kesehatan serta rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.
Jakarta, Oktober 2010
Penulis
DAFTAR ISI
2
Kata Pengantar …………………………………………………………………………..................................... 2
Daftar Isi …………………………………………………………………………………………………................. 3
BAB I Pendahuluan ………………………………………………………………………………….................. 4
BAB II Permasalahan ……………………………………………………………………………………........... 6
BAB I
3
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesatuan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sesuatu yang paling penting
untuk diperhatikan. Didalam konsep wawasan nusantara dikatakan bahwa Indonesia merupakan
satu kesatuan yang terdiri atas tiga komponen, meliputi wilayah daratan, lautan dan ruang
angkasa. Ketiga komponen tersebut sama pentingnya bagi bangsa Indonesia. Untuk saat ini
masalah yang sering muncul adalah terkait dengan komponen yang kedua yaitu lautan. Dalam
makalah ini, ambalat menjadi tema sentral dalam pembahasan tentang wawasan nusantara
mengingat ambalat merupakan salah satu bagian dari wilayah Indonesia yang tengah dalam
kondisi kritis akibat klaim yang dilontarkan oleh Malaysia.
Malaysia mengklaim Ambalat sebagai wiilayahnya sebagaimana dulu Malaysia mengklaim
Sipadan dan Ligitan menjadi miliknya dan akhirnya jatuh ke tangan Malaysia. Jika kondisi
kritis ini dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera diselesaikan, maka kesatuan negara kita akan
terancam dan bisa menjadi awal bagi terpecah belahnya wilayah NKRI. Tidak terselesaikannya
kasus ini sebagaimana kasus Sipadan Ligitan bisa menjadi jembatan lepasnya pulau-pulau yang
lain di titik-titik kritis daerah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga.
B. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Memenuhi sebagian persyaratan mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah
KADEHAM tahun ajaran 2010/2011
2. Menjelaskan, menganalisis dan menguasai makna geopolitik Indonesia, wawasan
nasional dan tantangannya dalam era globalisasi
3. Untuk dijadikan bahan dalam kegiatan diskusi.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah
metode studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi yang
bersifat teoritis yang kemudian data tersebut akan dijadikan dasar atau pedoman. Sumber-
4
sumber yang dijadikan sebagai studi pustaka diperoleh dari berbagai sumber bacaan. Baik itu
buku maupun situs-situs yang di internet.
D. Landasan Teori
Suatu strategi yang memanfaatkan kondisi geografi negara dalam menentukan kebijakan,
tujuan, sarana utk mencapai tujuan nasional (pemanfaatan kondisi lingkungan dalam
mewujudkan tujuan politik). Geostrategi Indonesia diartikan pula sebagai metode untuk
mewujudkan cita-cita proklamasi sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan dan UUD
1945. Ini diperlukan untuk mewujudkan dan mempertahankan integrasi bangsa dalam
masyarakat majemuk dan heterogen berdasarkan Pembukaan UUD 1945.
E. Sistematika
Sistematika penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :
BAB I : merupakan bagian pendahuluan yang menguraikan latar belakang, tujuan,
metode pengumpulan data, landasan teori dan sistematika penulisan makalah.
BAB II : merupakan bagian permasalahan yang menguraikan kasus/masalah yang
menarik untuk dipecahkan dan ada kemungkinan untuk dibahas.
BAB III : merupakan bagian pembahasan yang menguraikan masalah yang dibahas
berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber.
BAB IV : merupakan bagian kesimpulan dan saran
5
BAB II
PERMASALAHAN
1. Geostrategi Indonesia
a. Pengertian Geostrategi Indonesia
Geostrategi adalah suatu strategi dalam memanfaatkan kondisi lingkung didalam upaya
mewujudkan cita-cita proklamasi dan tujuan nasional. Geostrategi Indonesia merupakan
strategi dalam memanfaatkan konstelasi geografi negara Indonesia untuk menentukan
kebijakan, tujuan, dan sarana-sarana dalam mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia.
Geostrategi Indonesia memberi arahan tentang bagaimana merancang strategi
pembangunan dalam rangka mewujudkan masa depan yang lebih baik, aman, dan
sejahtera. Oleh karena itu, geostrategi Indonesia bukanlah merupakan geopolitik untuk
kepentingan politik dan perang, melainkan untuk kepentingan kesejahteraan dan
keamanan.
Salah satu persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh sebuah negara adalah wilayah
kedaulatan, di samping rakyat dan pemerintahan yang diakui. Konsep dasar wilayah
negara kepulauan telah diletakkan melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.
Deklarasi tersebut memiliki nilai sangat strategis bagi bangsa Indonesia, karena telah
melahirkan konsep Wawasan Nusantara yang menyatukan wilayah Indonesia. Laut
Nusantara bukan lagi sebagai pemisah, akan tetapi sebagai pemersatu bangsa Indonesia
yang disikapi sebagai wilayah kedaulatan mutlak Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada bangsa yang secara eksplisit mempunyai cara bagaimana ia memandang tanah
airnya beserta lingkungannya. Cara pandang itu biasa dinamakan wawasan nasional.
Sebagai contoh, Inggris dengan pandangan nasionalnya berbunyi: "Britain rules the
waves". Ini berarti tanah Inggris bukan hanya sebatas pulaunya, tetapi juga lautnya.
Tetapi cukup banyak juga negara yang tidak mempunyai wawasan, seperti: Thailand,
6
Perancis, Myanmar dan sebagainya. Wawasan nasional Indonesia adalah wawasan
nusantara yang disingkat Wanus.
Wanus ialah cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 tentang diri dan lingkungannya dalam mengekspresikan diri
sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah lingkungan yang sarwa nusantara.
Unsur-unsur dasar wawasan nusantara itu ialah: wadah (contour atau organisasi), isi,
dan tata laku. Dari wadah dan isi wasantara itu, tampak adanya bidang-bidang usaha
untuk mencapai kesatuan dan keserasian dalam bidang-bidang:
• Satu kesatuan wilayah
• Satu kesatuan bangsa
• Satu kesatuan budaya
• Satu kesatuan ekonomi
• Satu kesatuan hankam.
Jelaslah disini bahwa Wanus adalah pengejawantahan falsafah Pancasila dan UUD
1945 dalam wadah negara Republik Indonesia. Kelengkapan dan keutuhan pelaksanaan
Wanus akan terwujud dalam terselenggaranya ketahanan nasional Indonesia yang
senantiasa harus ditingkatkan sesuai dengan tuntutan zaman. Ketahanan nasional itu
akan dapat meningkat jika ada pembangunan yang signifikan dalam "koridor" Wanus.
b. Geostrategi Dalam Bidang Politik
Konsep dan pratek perpolitikan dinegara Indoenesia, pada dasarnya adalah hasil dari
difusi dan asimilasi dari bentuk-bentuk beberapa konsep politik diluar negeri. Terutama
konsep dan praktek politik yang berasal dari nagara-nagara penjajah yang sempat
singgah di bumi pertiwi ini. Sekalipun dalam peraturan termaktub bahwa politik
Indonesia adalah sistem politik yang berdasarkan pancasila terutama yang terdapat pada
sila ke-4 yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan”. Namun pada kenyataannya lain. Hal ini jelas terlihat
dengan dipraktikannya sistem politik demokrasi, yang kalau kita tahu demokrasi itu
muncul dari pemikiran-pemikiran liberalisme. Peran negara dalam hal ini hanya sebagai
7
kambing conge saja, dan terkadang negara tidak punya hak apa-apa dalam mengurus
urusan rakyatnya karena semuanya berpusat pada rakyat. Apakah itu benar? Ataukah itu
salah? Yang pasti perlu kita cermati, bahwa rakyat adalah bagian dari negara, sekalipun
negara pada awalnya berdiri atas kehendak rakyat, namun dengan kekuatan peraturan
yang telah disepakati oleh semua lembaga dan elemen masyarakat, maka peran negara
dan pemerintah tentu harusnya menjadi pilar yang perlu diperhatikan.
Hal lain yang sangat kami sayangkan dalam sistem politik negara kita adalah sistem
praktik dan konsep politik yang hanya mementingkan keinginan saja, bukan melihat
pada kebutuhan. Bukti konkrit adalah sudah tahu utang Negara Indonesia keluar negeri
itu sangat banyak, di indonesia malah melangsungkan pemilihan wakil-wakil rakyat
dengan biaya yang tidak kurang dari 24 Triliyun rupiah, apakah kalau seperti itu sistem
politik Indonesia dikatakan tepat? Tentu tidak.
Lantas solusi apa yang akan kami paparkan guna perbaikan sistem politik Indonesia dan
menjadi bagian dari geostrategi Indonesia?
Konsep penentuan sistem politik Indonesia harus disesuaikan dengan dasar-dasar
negara yaitu undang-undang dasar Negara. Praktiknya pun harus sesuai dengan konsep,
kata orang Sunda “jangan pasalia, atau kakidul kakaler”, dan hal ini jelas terjadi dengan
sistem politik Indonesia, konsepnya A sementara praktiknya B.
c. Geostrategi Dalam Bidang Ekonomi
Seperti kita ketahui bersama, sistem perekonomian yang diterapkan di Indonesia, sangat
jauh dari independen. Apakah kesejahteraan negara tercapai secara merata?
Kemakmuran dapat direalisasikan? Rakyat miskin dapat tertangani? Masyarakat
kalangan ekonomi bawah bisa menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi?
Tidak bukan? Mari kita analisa bersama, hutang negara kita terus meningkat, banyak
perusahan BUMN yang diprivatisasi kepada pihak swasta, tidak sedikit lahan tambang
kita dikeruk oleh negara-negara luar, adapun untungnya mereka yang menikmati, rakyat
kita hanya dijadikan korban saja. Lantas dimana peranan dan aplikasi yang diamanatkan
dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 dan 2? Disini pun terjadi penyelewengan Undang-
Undang. Bukannya negara kita adalah negara yang patuh kepada undang-undang karena
kita penganut demokrasi, atau jangan-jangan makna demokrasinya pun telah bergeser
menjadi democrazy?
8
Selanjutnya strategi apa saja yang harus kita lakukan dalam rangka memperkuat
ketahanan dalam sistem perekonomian Negara Indonesia?
1) Barangkali isi pidato presiden dalam acara memperingati hari kebangkitan Nasional
20 Mei kemarin bisa kami sarikan disini. Beliau menyampaikan bahwa harus adanya
“Kemandirian, Persaingan global dan Peradaban”. Kemandirian dalam segala hal,
segala bidang dan aspek kehidupan ketatanegaraan. Termasuk salah satunya dalam
bidang ekonomi. Lantas kita pun tidak akan lupa dengan janji-janji para capres dan
cawapres yang sekarang sedang berkompetisi memperebutkan kursi kerajaan yang
semoga tidak semata kesana, melainkan siapapun yang nanti terpilih mereka akan
bertanggungjawab untuk memperjuangkan hak-hak rakyatnya secara merata, termasuk
dalam mewujudkan Indonesia menjadi sejahtera, aman, adil sentosa, dan berdaya saing
global.
2) Yang kedua, langkah konkrit yang harus dilakukan adalah, penanaman sikap yang
kuat dalam setiap individu masyarakat untuk berpikir bukan hanya menjadi konsumen
saja melainkan bagaimana caranya menjadi produsen. Dan hal ini sangat belum
membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam hal ini tentu peran
pemerintah sebagai motivator dan fasilitator murni sangat diperlukan.
4) Yang tidak kalah penting dalam hal ini adalah bagaimana carana agar Indonesia
bersedia dan sepakat untuk menerapkan sistem ekonomi islam, mata uang yang
digunakannya pun bukan lagi rupiah melainkan emas dan perak, perbankkannya pun
sistem syariah, yang semuanya sudah jelas tidak pernah dilanda kerugian walau terjadi
krisis global sekalipun seperti yang terjadi beberapa bulan yang lalu.
d. Geostrategi Dalam Bidang Sosial
S digembar-gemborkannya konsep dan praktIk modernisasi dan derasnya arus
globalisasi yang masuk ke negara kita, yang semuaanya dimotori oleh negara-negara
barat, semua itu jelas-jelas telah merubah dan memporak-porandakan tata kehidupan
sosial masyarakat kita. Percaya ataupun tidak hal itu jelas terjadi. Bagaimana mayarakat
telah ternodai dengan sikap individualis sehingga tatanan sosial dalam kehidupan kita
jelas-jelas telah menghilangkan jati diri bangsa.
Lalu langkah-langkah apa saja yang harus kita aktualisasikan guna memperbaiki tatanan
kehidupan sosial masyarakat Indonesia? Dibawah ini coba kami paparkan hal-hal yang
bisa kita lakukan:
9
1) Dikembalikannya pola kehidupan yang dulu pernah ada. Perlu digaris bawahi bukan
berarti lantas kita kembali menjadi kehidupan kuno lagi. Melainkan kita kembali
menerapkan pola kehidupan yang harmonis, dinamis, dan familier. Kita kembali
munculkan sikap-sikap gotong royong, saling menghormati dan menghargai, saling
merasakan, dan saling membantu untuk bersama-sama membangun.
2) Perlu dipahamkan bahwa pola kehidupan liberal yang sekuler itu jelas sangat
bertentangan dengan prinsip-prinsip masyarakat Timur. Melainkan mereka harus
disadarkan ulang tentang bagaimana pola kehidupan yang seharusnya dijalankan oleh
warga Indonesia khususnya. Dalam hal ini institusi pendidikan memiliki peran yang
besar.
e. Geostrategi Dalam Bidang Budaya
Kita tentu masih ingat ketika bangsa kita tiba-tiba ramai menggunakan batik dalam
setiap aktivias keseharian kita, terutama dikalangan petinggi negara. Ya, peristiwa itu
terjadi ketika ada pengakuan bahwa batik adalah hasil kreasi orang-orang Malaysia.
Lantas kita juga belum lupa ketika orang ramai-ramai menyuarakan bahwa seni
angklung adalah hasil seni budaya khas bangsa Indonesia khususnya Jawa Barat.
Pertanyaannya adalah apakah itu yang dimaksud dengan cinta tanah air? Apakah itu
perjuangan untuk menjaga warisan leluhur kita?
Sejalan dengan pemikiran diatas, kami berpendapat bahwa ada hal penting yang
diangggap kurang diperhatikan oleh segenap bangsa ini, salah satunya adalah
pemeliharaan atau pelestarian budaya. Mengapa kami mengatakan demikian? Karena
dengan tidak dipeliharanya itu maka eksistensi budaya kita semakin hilang, terlebih
saat ini semua itu telah tergerus oleh roda globalisasi dan konsep modernisasi. Perlu
kita waspaidai, perlu kita sikapi, perlu kita tangapi secara serius. Bukan ketika saat
budaya kita ada yang menjiplak, bukan seharusnya kita tiba-tiba mengeksiskan budaya
kita ketika itu diaku oleh bangsa lain. Namun bagaimana cara dan upaya serta
strateginya agar dalam setiap saat, tanpa mengenal waktu-waktu tertentu saja, budaya
ini perlu kita perlihara, perlu terus kita lestarikan, perlu kita selalu perbaharui, dan perlu
kita eksiskan baik dalam dan luar negeri.
Adapun hal-hal yang bisa dilakukan terkait masalah dan strategi untuk tetap menjaga
kelestarian budaya, menurut kami sebagai berikut:
10
1. Pendidkan kebudayaan perlu diprioritaskan, mulai dari TK sampai perguruan tinggi,
baik itu di jalur pendidikan formal, nonformal dan informal.
2. Kegiatan-kegiatan yang sifatnya kemasyarakatan dibiasakan selalu dibalut dengan
kebudayaan, jangan sampai kita lebih bangga menyaksikan tampilan Band daripada
Seni Budaya Wayang atau Tari Jaipong.
3. Buat pencitraan bahwa budaya itu adalah salah satu kekayaan yang perlu dijaga,
mencintai budaya berarti mencintai dan menghargai leluhur kita. Bagaimanapun kita
tidak akan terlahir jika tidak punya leluhur.
4. Kita masih ingat dengan ungkapan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai karya-karya leluhurnya, barangkali jargon ini hanya baru diketahui saja
belum dipahami. Maka pemahaman tentang kebudayaan menjadi sangat perlu untuk
diaktualisasikan dalam realita kehidupan.
f. Geostrategi Dalam Bidang Pertahanan Keamanan
Orang terkadang selalu mengidentikan ketahanan itu dengan TNI, ABRI, dan Polisi.
Apakah itu hal yang salah? Jelas tidak, mereka memang berkewajiban secara utuh
dengan penuh kesadaran untuk menjaga, membentengi keamanan dan kenyamanan
segenap bangsa ini dari berbagai ancaman baik yang datang dari dalam ataupun luar
negeri. Namun kewajiban menjaga itu kami tegaskan bukan hanya ada ditangan-tangan
mereka yang kami sebut-sebut diatas. Melainkan kewajiban semua kalangan, mulai dari
kalangan pekerja, buruh, karyawan, rakyat sipil pemerintah, pengusaha, politikus, dll.
Karena pada zaman sekarang konsep ketahanan pun telah berbeda dengan konsep yang
pra kemerdekaan.
2. Wawasan Nusantara
Wawasan nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia tentang diri yang serba nusantara
dan lingkungan dunia yang serba berubah, berdasarkan pancasila dan UUD 45 dengan
memperhatikan sejarah dan budaya serta dengan memanfaatkan kondisi dan konstelasi
geografinya, dalam upaya mewujudkan aspirasi bangsa dalam mencapai tujuan dan cita-cita
nasionalnya, disingkat Wasantara.
(Toto Pandoyo, 1985)
11
Indonesia memandang dirinya sebagai negara kesatuan yang terdiri atas beribu-ribu pulau yang
terpisahkan oleh perairan nusantara berupa selat dan laut. Kondisi ini tidak diperoleh bangsa
Indonesia begitu saja, tetapi melalui beberapa tahap dalam jangka lama sejak kemerdekaan
Indonesia.
Kesatuan wilayah ini penting artinya sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan
memanfaatkan segenap potensi yang ada di dalamnya sebagaimana tujuan pembangunan yang
tercantum dalam UUD 1945.
17 agustus 1945-13 Desember 1957
Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Indonesia yang diakui dunia internasional sangatlah
sempit. Waktu itu dasar yang digunakan adalah dasar: ordonansi belanda tahun 1939 tentang
batas wilayah laut teritorial indonesia yang menetapkan sejauh 3 mil dari garis pantai ketika
surut, dengan asas pulau demi pulau secara terpisah. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan
kepentingan keselamatan dan keamanan NKRI, karena berarti kapal dan bangsa asing bebas
berkeliaran di laut yang terletak diantara wilayah-wilayah indonesia tersebut.
(Endang Zaelani, 2002)
Deklarasi Juanda
Deklarasi Juanda
(13 Desember 1957-17 Februari 1969).
Klaim wilayah nusantara untuk pertama kalinya bertitik tolak pada Deklarasi tentang perairan
indonesia yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957, dan
dikenal dengan deklarasi juanda. 1957. Ini dimaksudkan untuk menggantikan rezim hukum
atas laut wilayah yang pada waktu itu masih berdasarkan peraturan kolonial. Beberapa tahun
12
kemudian, klaim atas wawasan nusantara tersebut ditingkatkan menjadi perpu no 4 tahun 1960,
lalu dikukuhkan menjadi UU No 4 PRP tahun 1960.
(Toto Pandoyo, 1985)
Adapun pertimbangan yang mendorong pemerintah Republik Indonesia sebagai negara
kepulauan sehingga mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia adalah:
Bahwa bentuk geografi Indonesia yang berwujud negara kepulauan, yang terdiri atas 13.000
lebih pulau-pulau, besar dan kecil yang tersebar di lautan.
Demi untuk kesatuan wilayah negara RI, agar semua kepulauan dan dan perairan (selat) yang
ada diantaranya merupakan kesatuan yang utuh, yang tak dapat dipisah-pisahkan antara pulau
yang satu dengan pulau yang lainnya, atau antara pulau dengan perairannya.
Bahwa penetapan batas perairan wilayah perairan sebagaimana menurut ‘teritoriale Zee en
maritieme kringen ordonantie 1939) yang dimuat dalam Staatsblad 1939 No 442 pasal 1 ayat (1)
sudah tidak cocok lagi dengan kepentingan Indonesia setelah merdeka.
Bangsa Indonesia setelah berdaulat sebagai suatu negara yang merdeka mempunyai hak
sepenuhnya dan berkewajiban untuk mengatur segala sesuatunya, demi untuk keamanan dan
keselamatan Negara serta bangsanya.
Dalam tahap selanjutnya, klaim wawasan nusantara dilengkapi dengan klaim landas kontinen
indonesia yaitu UU no 1 tahun 1973, beserta klaim ZEE Indonesia ialah UU no 5 tahun 1983.
ketiga UU tersebut adalah arti dari wawasan nusantara dalam arti luas.
Deklarasi Landas Kontinen
(Sejak 17 February 1969).
Landas kontinen menurut pengertian hukum laut internasional mencakup seluruh tepian
kontinen yang secara geografis meliputi landas/ dataran kontinen, lereng kontinen dan kaki
kontinen. Adapun yurisdiksi atas landas kontinen ada pada dasar laut dan tanah dibawahnya,
sampai kedalaman 200 m atau lebih, selama masih dapat dilakukan eksplorasi atau eksploitasi.
Asas-asas pokok yang termuat dalam deklarasi tentang landas kontinen adalah sebagai berikut:
13
Segala sumber kekayaan alam yang terdapat dalam landas kontinen Indonesia adalh
milik eksklusif negara RI
Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas landas kontinen dengan
negara- negara tetangga melalui perundingan.
Jika tidak ada garis batas, maka landas kontinen suatu garis yang ditarik di tengah-
tengah antara pulau terluar negara tetangga.
Klaim tersebut tidak mempengaruhi sifat serta status perairan di atas landas kontinen
Indonesia maupun udara di atasnya.
Zona Ekonomi Eklsusif (ZEE)
ZEE Indonesia adalah jalur laut di luar laut wilayah Indonesia sejauh 200 mil laut dari garis
pangkal atau garis dasar. Kelebaran 200 mil laut tersebut tentunya apabila perbatasannya
berwujud lautan (perairan) dan tidak berdekatan dengan wilayah negara tetangga.
(Toto Pandoyo, 1985)
Batas ZEE adalah 200 mil yang dihitung dari garis dasar laut wilayah indonesia. ZEE diakui
oleh dunia internasional setelah melalui forum internasional (konferensi PBB) tentang hukum
laut II di New York 3 April 1982 dan ditandatangani oleh 117 negara) konvensi ini mengakui
asas negara kepulauan serta menetapkan asas pengukuran ZEE.
14
Menegok kembali perjalanan kronologi sejarah untuk mempertahankan kedaulatan wilayah
NKRI saat ini, bukanlah sesuatu yang muda), bahkan memakan waktu berpuluh-puluh tahun.
Jadi sangat disayangkan jika keutuhan wilayah negara kita itu terkoyak begitu saja hanya karena
kelalaian bangsa Indonesia sendiri. Contohnya kasus Sipadan dan Ligitan yang pada akhirnya
kedua pulau tersebut lepas dari NKRI.
A. Kasus
Baru beberapa saat sebelumnya kasus Sipadan dan Ligitan selesai, Indonesia dihadapkan
kembali pada masalah kesatuan wilayah dengan munculnya konflik Indonesia-Malaysia dengan
Ambalatnya. Sengketa pulau Ambalat ini memanas setelah terbetik berita bahwa pemerintah
malaysia melalui perusahaan minyak nasionalnya, petronas, memberikan konsesi eksplorasi
sumber daya minyak kepada perusahaan inggris-belanda, shell, pada tanggal 16 februari 2005
yang kemudian memunculkan konflik terbuka ketika dipicu oleh isue penahanan dan
penyiksaan pekerja indonesia yang sedang membangun mercusuar di wilayah sengketa,
tepatnya di karang unarang, oleh awak patroli angkatan laut Malaysia.
(Tempo; 2005)
Perlakuan tersebut kemudian memicu kegusaran beberapa kelompok masyarakat indonesia yang
kemudian bereaksi berlebihan; seperti membangun posko ganyang malaysia atau membakar
15
bendera malaysia, yang sepertinya hal ini wajar melihat masyarakat kita yang majemuk dan
demokratis. Namun yang perlu kita perhatikan adalah agar luapan emosional itu tidak membuat
pertahanan militer kedua negara mudah “angkat senjata”.
Jika konflik terbuka makin meluas dikhawatirkan justru akan menimbulkan dampak yang lebih
buruk bagi keutuhan wilayah Indonesia. Tentu hal ini sangat tidak kita inginkan.
B. Dasar masalah
16
Malaysia mengklaim wilayah di sebelah timur kalimantan Timur itu miliknya. Malaysia
menyebut wilayah tersebut sebagai block ND6 dan ND 7 (lihat pict 4) yang kemudian diklaim
sebagai wilayah lautnya. Mereka mendasarkan klaimnya dengan dasar putusan mahkamah
Internasional (ICJ) yang memetakan pulau sipadan dan ligitan menjadi milik malaysia pada
tahun 2002; yang dari kedua pulau inilah, dan juga peta malaysia tahun 1979, malaysia dirasa
mereka-reka batas wilayah lautnya. Padahal peta tersebut sudah diprotes oleh berbagai negara
seperti Singapura, Filipina, Cina, Brunai, Thailand dan Vietnam. karena sifatnya yang
mencaplok wilayah negara lain. Malaysia menggunakan basis landas kontinen hingga mencakup
juga pulau Karang Unarang (lihat pict 4). Padahal kita tahu bahwa landas kontinen hanya
berlaku untuk negara kepulauan.
(Tempo; 2005)
Berbeda dengan Malaysia, Indonesia sudah mendasarkan batas wilayahnya dengan konsepsi
negara kepulauan (archipelagic state). Konsepsi ini yang tertuang dalam Konvensi PBB tentang
Hukum laut internasional 1982 (UNCLOS):
Laut adalah wilayah penghubung teritorial daratan yang berupa pulau-pulau. Batas wilayah
terluar untuk negara kepulauan adalah 12 mil laut atau 22,2 km (1 mil= 1 852 m) dihitung dari
garis pantai pulau-pulau terluar saat air surut rendah. Batas ini kemudian saling dihubungkan
menjadi wilayah sebuah negara kepulauan.
(Albert Koers, 1991)
Menurut UNCLOS, wilayah perairan dalam batas tersebut sepenuhnya hak negara pantai;
meliputi kewenangan atas wilayah udara diatasnya, dasar laut (sea bed), tanah di bawah dasar
laut (sub-soil), dan semua sumber daya maritim dibawahnya baik yang hidup, misalnya ikan,
maupun tidak, umpamanya muatan kapal tenggelam. Nah, berdasarkan perhitungan, diketahui
17
bahwa batas laut malaysia yang mereka klaim ternyata mencapai 70 mil laut alias 129,6 km dari
titik terendah pulau Sipadan dan Ligitan; yang artinya sudah terlalu jauh masuk ke wilayah
Indonesia.
18
C. Analisa masalah
Jika kita cermati, penyebab utama konflik perbatasan tersebut adalah ketidakjelasannya
batas-batas wilayah laut Indonesia dan negara tetangga. Hal ini disebabkan oleh kelalaian
pemerintah Indonesia sendiri yang sampai saat ini belum menetapkan batas wilayahnya di
laut sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982. Indonesia sendiri sudah meratifikasi UNCLOS
tersebut tahun 1986, tetapi sampai saat ini belum terlihat adanya upaya yang serius dalam
menetapkan batas-batas wilayah laut tersebut.
Apabila pemerintah Indonesia serius dalam memperhatikan batas-batas wilayahnya di laut,
misalnya dengan cara menetapkan dan mendepositkannya titik-titik batas wilayahnya tersebut
ke Sekjen PBB supaya diakui secara internasional, mungkin konflik di wilayah perbatasan
dapat diminimalisasi.
Dasar klaim yang digunakan malaysia adalah dengan menarik titik dasar dari pangkal yang
menghubungkan pulau Sipadan dan Ligitan. Namun demikian, hal ini tidak bisa menjadi
dasar klaim yang kuat, megingat malaysia bukanlah negara kepulauan.
Dasar yang dipakai indonesia adalah Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 dan pertemuan
di bali yang mengangkat semua masalah yang berkaitan dengan masalah perbatasan dua
negara mulai dari laut wilayah, landas kontinen, ZEE. Hasyim Djalal (dewan maritim
Indonesia) mengatakan bahwa:
Dalam hukum internasional, indonesia mempunyai hak-hak berdaulat atas dasar laut di luar
wilayahnya sampai 200 mil dari garis dasar (garis lurus yang menghubungkan titik-titik
terluar). Jika ditarik dari garis tersebut, ambalat masuk didalamnya dan bahkan lebih jauh
keluar lagi.
(Tempo; 2005)
Pernyataan ini sudah dicantumkan dalam UU No 4 tahun 1960 yang kemudian diakui dengan
pemuatan ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam bab IV
konvensi PBB tentang hukum laut atau UNCLOS.
Analisa sebab pendukung malaysia berani mengklaim wilayah ambalat meskipun dasar klaim
atas ambalat lemah, antara lain karena:
Klaim Malaysia atas ambalat menggunakan tafsiran pihak malaysia dengan ketentuan legal
yang mereka buat sendiri juga atas dasar kalkulaasi strategis. Malaysia melihat bahwa
indonesia tidak memiliki kekuatan penangkal yang memadai (postur pertahanan kurang baik).
Segi teknologi pertahanan dan kecanggihan peralatan perang, Indonesia dipandang sudah
ketinggalan dari malaysia, terutama pada kekuatan matra laut dan udara. (lihat peta
perbandingan kekuatan Indonesia vs Malaysia).
Strategi pertahanan indonesia masih bertumpu pada strategi landas darat (land based strategy)
yaitu sistem hankamrata. (yang mengandalkan keterlibatan dan keikutsertaan rakyat secara
fisik dalam menghancurkan musuh dari luar).
Strategi hankamrata tidak mungkin dijalankan di laut. (Tempo; 2005)
Pict 5
D. Upaya diplomasi
Melihat jumlah dan beragamnya masyarakat Indonesia, penyelesaian ambalat secara militer
sepertinya kurang bijaksana. Karena hal ini akan menimbulkan kesulitan baru dalam
koordinasi mengingat letak geografis Indonesia yag merupakan wilayah kepulauan dipisahkan
oleh lautan dan selat serta kesulitan dalam kontrol emosi masyarakatnya yang majemuk.
Oleh karena itu, upaya diplomasi sepertinya akan lebih baik untuk menyelesaikan masalah
Ambalat. Hal ini didukung oleh beberapa alasan, antara lain karena kedua negara telah lama
menjalin hubungan kerjasama dalam berbagai bidang baik regional maupun bilateral. Di
samping itu upaya diplomasi juga bisa menjadi pintu awal bagi penyelesaian masalah
perbatasan wilayah ke dua negara.
Sampai saat ini upaya diplomasi yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia dan Malaysia
untuk menyelesaikan kasus Ambalat adalah dengan mengadakan kesepakatan-kesepakatan.
20
Pada tanggal 22-23 Maret 2005 di Bali diadakan perundingan dua delegasi (MenLu
Indonesia: Nur Hasan Wirayuda). Dalam perundingan ini belum diperoleh titik temu dan
disepakati untuk diadakan pertemuan lanjutan pada bulan mei 2005.
E. Masalah titik-titik perbatasan
Kesatuan berarti satu utuh yang tidak bisa terpisahkan. Jika salah satu bagian dari yang satu
itu hilang berarti tidak dapat dikatakan satu. Munculnya kembali kasus persengketaan pulau
di perbatasan, menunjukkan lemahnya pertahanan di wilayah tersebut. Hal tersebut dapat
mengakibatkan kedaulatan RI dan kesatuan wilayah terpecah belah/terancam. Hal ini
mengacam konsep wawasan nusantara.
Sebgai indikator kekritisan keberadaan suatu wilayah adalah apabila:
Secara ekonomi pulau-pulau kecil dikelola negara lain padahal secara hukum pulau
tersebut milik Indonesia. Pulau kecil tersebut bisa saja didapat secara legal dari
pemerintah Indonesia, misalnya dengan cara menyewa, bisa juga secara ilegal.
(Suhana, 2005)
Secara politik pulau-pulau kecil tersebut masyarakatnya lebih mengakui negara lain
daripada negaranya sendiri. Misalnya Miangas. Secara hukum pulau itu milik
Indonesia tetapi secara politik milik Filipina karena bahasa yang dipakai bahasa
Tagalog, bukan bahasa Indonesia. Juga mata uang yang dipakai masyarakat Peso,
bukan Rupiah.
Dan akan mencapai puncak kritis yang mengancam kesatuan wilayah apabila ada keputusan
secara hukum internasional yang menyatakan pulau-pulau kecil tersebut merupakan milik
negara lain. Ini memerlukan waktu yang lama karena harus melalui perundingan internasional
dan bahkan peperangan. Selain itu juga memerlukan bukti-bukti ilmiah yang dapat
menunjukan keberadaan pulau-pulau kecil tersebut di wilayahnya.
Upaya preventif yang bisa diambil pemerintah adalah dengan melakukan kerjasama antara
pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam di pulau-pulau kecil
dengan lebih terfokus pada penumbuhan kekuatan ekonomi lokal yang dikelola masyarakat di
wilayah tersebut. Juga mempercepat pengembangan armada transportasi antarpulau di
wilayah perbatasan.
Disamping itu juga perlu sekali untuk mengadakan perjanjian-perjanjian antar negara
mengenai titik-titik perbatasan yang rawan sengketa.
21
F. Soulusi untuk mempertahankan kesatuan wilayah
Solusi yang bisa diambil untuk mempertahankan kesatuan wilayah, antara lain:
Solusi Pertahanan
Membangun kembali postur pertahanan dengan pendefinisian ancaman secara akurat
dan konkret.
Menggeser focus strategi pertahanan dari landas darat ke integrated forces.
Menyadari keterbatasan kemampuan ekonomi negara, postur perlu dibangun
berdasarkan thread-based defense planning bukan capability-based defense planning.
Perlunya pembangunan postur pertahanan secara bertahap berupa transformasi yang
semula mengandalkan personel/manusia ke pertahanan berbasis teknologi secara
bertahap. (Tempo; 2005)
Dan semua itu harus didukung oleh penataan instrumen perundang-undangan, pengembangan
doktrin, dukungan logistic yang memadai dan berkelanjutan serta perbaikan kesejahteraan
prajurit, serta dukungan masyarakat. Tanpa pemahaman masyarakat mengenai mendesaknya
agenda pembangunan pertahanan, indonesia akan terus menjadi negara besar (secara
geografis) yang lemah (big, weak state) yang hanya akan dilecehkan negara lain.
(Tempo; 2005)
Solusi Politik
Setelah kita melihat pentingnya penyelesaian segera titik-titik kritis di wilayah NKRI, maka
solusi yang bisa dilakukan pemerintah (dalam sudut pandang politik) antara lain, jangan
sampai pemerintah mengatasi perbatasan laut dengan cara yang dapat menimbulkan
permasalahan baru, misalnya memberikan hak secara legal kepada pihak investor asing untuk
mengelola pulau kecil tersebut. Indikasi ke situ sangat ”kental” dilakukan Departemen
Kelautan dan Perikanan. Hal ini dapat dilihat dari ”ngototnya” departemen itu mendesak
Presiden menanda-tangani Keppres tentang pengelolaan 92 pulau kecil di perbatasan. Padahal
pengelolaan sumber daya alam di pulau-pulau kecil tersebut jelas merupakan kewenangan
pemerintah daerah, seperti diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
(Tempo; 2005)
22
Solusi Ekonomi
Pertama, secepatnya merevisi kembali UU No. 1 Tahun 1973 agar Indonesia mempunyai
dasar hukum yang lebih kuat untuk mengatur Landas Kontinen Indonesia. Hal ini disebabkan
pengertian landas kontinen berdasarkan kedalaman air 200 meter (UNCLOS 1958) dengan
pengertian hukum landas kontinen yang berlaku sekarang (UNCLOS 1982) adalah berbeda,
yaitu kini sampai kelanjutan alamiah wilayah darat Indonesia. Sementara UU No 1 Tahun
1973 tersebut masih berdasarkan UNCLOS 1958.
(Suhana, 2005)
Kedua, merevisi dan meningkatkan status hukum Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2002
tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia menjadi
Undang-undang serta mendepositkannya kepada Sekjen PBB.
Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum mendepositkan titik-titik pangkal tersebut kepada
PBB. Padahal hal tersebut sangat penting bagi Indonesia ketika akan melakukan penentuan
titik-titik perbatasan laut Indonesia.
Ketiga, menetapkan dan mendepositkan batas-batas wilayah laut Indonesia, termasuk batas
landas kontinen. Khusus batas lantas kontinen, Indonesia masih diberikan batas waktu sampai
2009 untuk melakukan klaimnya di luar 200 mil dari garis pangkal kepulauan/nusantaranya.
Apabila sampai batas waktu tersebut belum menentukan, maka Indonesia hanya bisa
mengklaim batas landas kontinen sampai jarak 200 mil saja. Sampai saat ini baru tiga negara
yang sudah mengajukan klaim landas kontinennya ke PBB dari 148 negara yang sudah
meratifikasi UNCLOS 1982, yaitu Rusia (2001), Brasil (2004) dan Australia (2004).
23
BAB III
PEMBAHASAN
Menilik semua permasalahan diatas semua berawal dari konsep dan implementasi dari
wawasan nusantara. Dalam rangka menerapkan wawasan nusantara, kita sebaiknya terlebih
dahulu mengerti dan memahami pengertian ,ajaran dasar, hakikat ,asas, kedudukan dan fungsi
serta tujuan wawasan nusantara.
A. Pengertian dan sejarah singkat timbulnya wawasan nusantara
1. Pengertian Wawasan Nusantara
Istilah wawasan nusantara berasal dari kata wawas yang berarti pandangan, tinjauan,
atau penglihatan inderawi.
Istilah wawasan berarti cara pandang, cara tinjau, atau cara melihat.
Sedangkan istilah nusantara berasal dari kata “nusa” yang berarti pulau-pulau, dan “antara”
yang berati diapit di antara dua hal.
Secara unum wawasan nasional berarti cara pandang suatu bangsa tentang diri dan
lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah dan sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi
dan kondisi geografi negaranya untuk mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya.
Wawasan nusantara mempunyai arti cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan
lingkungannya berdasarkan pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan geografi wilayah
nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya.
(Tim Dosen UGM)
B. Kaitan Kasus Ambalat dengan Wawasan Nusantara
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar dan wilayah yang luas baik darat
maupun lautan memiliki tantangan tersendiri untuk menjaga keutuhan dan persatuan serta
kesatuan wilayahnya. Berbagai ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan baik yang
berasal dari dalam negeri maupun luar negeri dapat mengancam keutuhan bangsa dan Negara
Indonesia. Hal yang berkaitan dengan konsep wawasan nusantara serta implementasinya salah
satunya mengenai persengketaan berkaitan dengan daerah perbatasan antar Negara. Seperti
hal yang sangat marak baru-baru ini yaitu sengketa antar dua negara serumpun, Indonesia-
Malaysia mengenai daerah perbatasan di wilayah Ambalat.
24
Adapun latar belakang yang memunculkan masalah tersebut yaitu Pemberian konsesi
eksplorasi pertambangan di Blok ND7 dan ND6 dalam wilayah perairan Indonesia. Tepatnya
di Laut Sulawesi, perairan sebelah timur Kalimantan oleh perusahaan minyak malaysia,
petronas kepada PT Shell, pada tanggal16 Februari 2005. Padahal Pertamina dan Petronas
sudah lama saling mengklaim hak atas sumber minyak dan gas di Laut Sulawesi dekat Tawau,
Sabah yang dikenal dengan East Ambalat. Kedua perusahaan minyak dan gas itu sama-sama
menawarkan hak eksplorasi ke perusahaan asing. Blok Ambalat diperkirakan memiliki
kandungan 421,61 juta barel minyak dan gas 3,3 triliun kaki kubik.
( Ken/ Wan, Dispenal [email protected])
Pemberian konsesi minyak oleh Malaysia tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai pihak di
Indonesia. klaim tersebut dilakukan Malaysia dengan argumentasi peta tahun 1979 yang
diterbitkan secara sepihak oleh Malaysia. dan menurut Marty Natalegawa "Jangankan
Indonesia, negara lain saja sudah protes atas penerbitan peta itu, karena mengubah wilayah
perairan di Asia Tenggara,".Protes terhadap peta itu sudah dilakukan sejak Tahun 1980 dan
tetap dilakukan secara berkala. Indonesia sendiri telah memberikan konsesi minyak kepada
beberapa perusahaan minyak dunia di lokasi ini sejak tahun 1960-an tanpa ada keberatan dan
protes dari negara lain. "Karena memang dilakukan di wilayah Indonesia," kata Marty.
( Yophiandi Kurniawan, www. tempo interaktif.com)
Malaysia semula mengklaim memiliki wilayah perairan Indonesia lebih dari 70 mil dari batas
pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Belakangan Malaysia memperluas wilayahnya sampai
sejauh dua mil. Dengan demikian, total luas wilayah Indonesia yang telah "dicaplok"
Malaysia adalah 15.235 kilometer persegi. Adapun titik awal penarikan garis batas pengakuan
dimulai dari garis pantai Pulau Sebatik, Kaltim.
Salah satu bukti kesewenang-wenangan Malaysia yang lain adalah mencantumkan kawasan
Karang Unarang ke dalam wilayah perairan Malaysia pada peta terbaru yang dikeluarkan
pemerintahan pimpinan Perdana Menteri Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi. Padahal
selama ini Karang Unarang berada di kawasan Indonesia. Pengakuan tersebut kontan ditolak
Indonesia. Alasannya, Malaysia bukan negara kepulauan dan hanya berhak atas 12 mil dari
garis batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Patut diketahui, konsep Wawasan Nusantara
atau status Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui dalam Konvensi Hukum Laut
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1982 (UNCLOS 1982).
(Ken/ Wan,Dispenal [email protected])
25
Kontan saja, tindakan sepihak ini menuai tanggapan yang beragam dari seluruh lapisan
masyarakat Indonesia, dari mulai demo, sikap untuk melakukan diplomasi, hingga sikap keras
untuk melakukan perang terbuka.
( Tridoyo Kusumanstanto, http://www.kompas.com)
Tindakan pemerintah Malaysia yang mengklaim blok perairan Ambalat sebagai
wilayah teritorial negaranya telah memicu sikap dan tindakan "reaksi" dari berbagai
komponen masyarakat Indonesia. Bahkan, banyak anggota masyarakat yang siap
mengikrarkan diri sebagai korps sukarelawan apabila konflik klaim wilayah perairan Ambalat
termanifestasi menjadi perang terbuka. Perasaan sakit hati masyarakat (bangsa) Indonesia
tersebut sesungguhnya merupakan akumulasi kekecewaan dan tumpukan rasa sakit hati atas
berbagai kebijakan pemerintah Malaysia yang begitu antikemanusiaan dan antipenghargaan
martabat bangsa lain (khususnya bangsa Indonesia). Dari kasus TKI, di mana pemerintah
Malaysia lebih banyak bertindak represif dan seolah menempatkan para TKI asal Indonesia
sebagai "budak belian" yang disia-siakan. Juga kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan
melalui keputusan ICJ (International Court Justice) tahun 2002, menjadi inspirasi sentimen
nasionalisme bangsa ini.
Perkembangan kasus Ambalat sendiri, saat ini telah menaikkan ketegangan hubungan
diplomatik antara Malaysia dan Indonesia, meski dalam strategi politik media di Malaysia
kasus klaim Ambalat sengaja ''didinginkan'' agar publik Malaysia tidak terlibat jauh dalam
sengketa politik tersebut.
Ada beberapa sikap masyarakat di dalam negeri Indonesia yang merespons kasus Ambalat.
Pertama, sikap anti-Malaysia dalam pengertian politik. Sikap ini ditunjukkan oleh kalangan
nasionalis dan masyarakat awam yang sebenarnya memiliki perasaan sakit hati atas kebijakan
politik pemerintah Malaysia dalam kasus TKI. Sikap ini ditunjukkan dalam berbagai
demonstrasi dengan isu "Ganyang Malaysia". Kedua, sikap kritis dan rasional. Sikap ini
mencoba mengkritisi kasus Ambalat sebagai bentuk sengketa kewilayahan antardua negara
tetangga karena perbedaan sudut pandang politik kemaritiman dan juga kepentingan
ekonomi-politik. Sikap ini ditunjukkan oleh kalangan cerdik pandai di Indonesia yang
memposisikan kasus Ambalat setara dengan kasus-kasus sengketa batas wilayah atau klaim
teritorial seperti Kepulauan Spratly, yang diperebutkan lima negara asia. Ketiga, sikap kritis-
progresif. Sikap ini ditunjukkan oleh berbagai komponen gerakan mahasiswa yang mencoba
membaca kasus Ambalat sebagai bentuk pertaruhan harga diri bangsa dan negara dari deraan
kepentingan ekonomi-politik neo-imperalisme.Sikap kritis-progresif kalangan gerakan
mahasiswa -- yang terekspresi dalam berbagai aksi, demonstrasi, pernyataan sikap -- tersebut
dilandasi oleh kerangka berpikir bahwa kasus konflik Ambalat sebenarnya merupakan konflik
26
kepentingan rezim neo-liberalisme dan neo-imperalisme yang terwakili berbagai serikat
perusahaan minyak global yang ingin mengeksploitasi sumber daya minyak di gugus perairan
Ambalat (East Ambalat). Yakni antara perusahaan minyak UNOCAL (AS) dan ENI (Italia)
yang telah menjalin kontrak dengan pemerintah Indonesia, diwakili Pertamina melawan
perusahaan SHELL (Inggris-Belanda) yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan
pemerintah Malaysia,yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah Malaysia,
yang diwakili "mitra bisnisnya'', yakni Petronas.Dalam catatan pengamat politik Riswanda
Imawan, sengketa perairan Ambalat merupakan medan "pertempuran'' kepentingan
antarperusahaan kapitalis minyak di atas untuk memperebutkan sumber daya minyak dan gas
yang ada di dasar perairan Ambalat. Dalam konteks demikian sebenarnya konflik Ambalat
adalah pertentangan kepentingan antarperusahaan minyak global dengan memanfaatkan
politik intervensi pemerintah Malaysia yang mungkin memiliki sikap berani berkonflik
melawan pemerintah Indonesia, yang saat ini lemah secara politik, ekonomi dan kekuatan
persenjataan karena deraan praktik korupsi serta krisis ekonomi sejak akhir kekuasaan Orde
Baru.
( Yuli Prasetyaningsih, http://www.balipost.co.id)
Sikap masyarakat Indonesia sangat wajar, mengingat luka akan lepasnya Pulau Sipadan dan
Ligitan masih belum hilang. Selain itu, hingga saat ini, pihak Malaysia tidak pernah berniat
baik dalam menyelesaikan permasalahan perbatasan dengan negara tetangga. Sikap arogansi
Malaysia ini dicerminkan oleh ditetapkannya peta wilayah buatan Malaysia tahun 1979 secara
sepihak dan dengan gampangnya memasukkan wilayah negara lain sebagai wilayahnya,
seperti wilayah Indonesia, China, Filipina, Thailand, Vietnam, serta Inggris yang
mengatasnamakan Brunei Darussalam.
Sebagaimana Indonesia, negara-negara yang wilayahnya diklaim oleh Malaysia melakukan
protes keras. Ironisnya, hingga saat ini pihak Malaysia belum menuntaskan masalah ini secara
penuh. Padahal, klaim suatu wilayah secara sepihak tidak dibenarkan oleh ketentuan
internasional sebagaimana tertuang dalam hukum laut internasional (UNCLOS 1982).
Dengan kata lain, apabila suatu wilayah negara pantai berhadapan (opposite) atau
berdampingan (adjacent) dengan negara lain, maka negara tersebut harus melakukan
perundingan untuk mencapai persetujuan. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada keputusan
Mahkamah Internasional 18 Desember 1951 dalam kasus perikanan atau yang dikenal dengan
Anglo norwegian fisheries case antara Inggris dan Norwegia. Pada kasus itu disebutkan,
bahwa delimitasi batas wilayah laut tidak hanya bergantung pada kehendak sepihak satu
negara pantai saja yang dituangkan dalam undang-undang nasionalnya, melainkan
keabsahannya delimitasi batas wilayah laut harus didasarkan pada hukum internasional.
27
Sementara itu yang patut diingat dalam menuntaskan permasalahan sengketa Ambalat, di
samping show of force militer, Pemerintah Indonesia juga harus menyiapkan strategi jitu
secara diplomatik agar tidak kembali menelan kekalahan seperti dalam persidangan kasus
sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan. Akankah kedaulatan wilayah kita yang disatukan oleh
lautan kembali terlepas dari pangkuan Ibu Pertiwi?
Perjuangan Indonesia untuk memperoleh pengakuan sebagai negara kepulauan merupakan
sebuah perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Hal ini dikarenakan usaha-usaha untuk
memasukkan rezim kepulauan selama diadakan Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930
dan Konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 selalu mengalami kegagalan. Di samping
tidak adanya kesepakatan mengenai pengertian negara kepulauan, kegagalan tersebut
dipengaruhi oleh berbagai kepentingan antarnegara, khususnya negara-negara maritim besar
yang ingin terus menancapkan hegemoninya di wilayah laut.
Mochtar Kusumaatmadja (2003) menyebutkan, sekurang-kurangnya ada empat golongan
yang berkepentingan dengan prinsip-prinsip negara kepulauan, yaitu: Pertama, negara-negara
tetangga, yakni anggota-anggota ASEAN dan negara-negara tetangga lainnya, termasuk
Australia. Kedua, negara yang berkepentingan terhadap perikanan dan pemasangan kabel
komunikasi di dasar laut, seperti Jepang yang melakukan kegiatan perikanan di Perairan
Indonesia sejak sebelum perang. Ketiga, negara maritim yang berkepentingan terhadap lalu
lintas pelayaran laut. Dalam golongan ini termasuk negara- negara Eropa Barat yang memiliki
armada niaga besar dan maju. Keempat, negara maritim besar yang mempunyai kepentingan
terhadap strategi militer, seperti Amerika Serikat dan Rusia.
Sementara itu jauh sebelum bergabungnya Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritus sebagai
negara pendukung asas-asas kepulauan pada akhir tahun 1972, Pemerintah Republik
Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 mengeluarkan suatu deklarasi tentang wilayah
Perairan Indonesia yang dikenal dengan istilah Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini mengubah
batas laut teritorial Indonesia dari 3 mil berdasarkan Territoriale Zee en Maritime Kringen
Ordonnantie (TZMKO) 1939 menjadi 12 mil. Artinya, bagian laut yang sebelumnya termasuk
laut lepas (high seas), sekarang menjadi laut teritorial Indonesia, seperti Laut Jawa yang
terletak antara Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa.
Untuk memperkuat Deklarasi Djuanda 1957 dan melaksanakan konsepsi Wawasan
Nusantara, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Perpu Nomor 4 Tahun 1960
tentang Perairan Indonesia yang kemudian diganti oleh UndangUndang No 6/1996. Dalam
perkembangan selanjutnya, konsepsi negara kepulauan akhirnya mendapat pengakuan pada
Konvensi Hukum Laut 1982.
28
Dimasukannya poin-poin negara kepulauan dalam Bab IV UNCLOS 1982 yang berisi 9 pasal,
bagi seluruh rakyat Indonesia hal ini memiliki arti penting karena selama 25 tahun secara
terus-menerus Pemerintah Indonesia memperjuangkan asas-asas negara kepulauan.
Pengakuan resmi asas negara kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam rangka
mewujudkan satu kesatuan wilayah yang utuh sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember
1957 dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam TAP MPR tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara yang menjadi dasar bagi perwujudan kepulauan Indonesia sebagai satu
kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.
Berdasarkan informasi yang berkembang, mencuatnya konflik Malaysia-Indonesia di Perairan
Sulawesi disebabkan salah satunya oleh kesalahan Malaysia dalam melakukan penarikan
garis pangkal (base line) pascasidang kasus Sipadan-Ligitan. Sejak beralihnya kepemilikan
Pulau Sipadan dan Ligitan, pihak Pemerintah Malaysia menempatkan dirinya sebagai negara
kepulauan (archipelagis state), yang kemudian menggunakan garis pangkal lurus kepulauan
(straight archipelagic baseline) dalam penentuan batas wilayahnya sehingga wilayah
perairannya menjorok jauh ke selatan, mengambil wilayah perairan Indonesia.
Dengan dasar itu, materi yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah Malaysia
merupakan negara kepulauan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam UNCLOS 1982?
Secara umum, definisi yang diberikan UNCLOS 1982 terhadap negara kepulauan ialah
negara-negara yang terdiri atas seluruhnya dari satu atau lebih kepulauan. Selanjutnya
ditentukan, bahwa yang dimaksud dengan kepulauan adalah sekumpulan pulau-pulau,
perairan yang saling bersambungan (inter-connecting water) dan karakteristik alamiah lainnya
dalam pertalian yang demikian erat sehingga membentuk suatu kesatuan intrinsik geografis,
ekonomis, dan politis atau secara historis memang dipandang sebagai demikian (Pasal 47).
Dengan demikian, Malaysia tidak dibenarkan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan
karena mereka tidak berstatus sebagai negara kepulauan.
Selain itu, klaim Malaysia juga didasarkan pada konsepsi Landasan Kontinen (continental
shelf) yang merupakan kelanjutan alamiah (natural prolongation) dari wilayah daratannya
sampai pada ujung luar dari tepian kontinen atau sampai pada jarak 200 mil laut dari garis
pangkal. Ironisnya, lagi- lagi Malaysia keliru, karena Indonesia sebagai negara kepulauan
yang berhak melakukan penarikan garis pangkal dari ujung luar batas pulau-pulaunya, maka
batas laut teritorial bagian utara pulau Jawa berada di Lautan Sulawesi.
( Tridoyo Kusumanstanto, http://www.kompas.com)
29
C. Hikmah dan Solusi Kasus Ambalat Kaitannya dengan Implementasi Wawasan
Nusantara
Lepasnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia, dan kini Blok Ambalat dalam klaimnya
juga, secara hukum sebenarnya akibat kelalaian Indonesia yang tidak segera menetapkan
batas terluar kepulauan Indonesia, terutama sejak rezim hukum negara kepulauan mendapat
pengakuan dari masyarakat internasional melalui Konvensi Hukum Laut (KLH) 1982. Bab IV
KLH, 1982 (Pasal 46 hingga Pasal 54) mengatur tentang Negara Kapulauan (Archipelagic
States) Indonesia telah meratifikasi KLH 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985.
Namun, ratifikasi KLH 1982 ternyata dalam perkembangannya tidak segera diikuti dengan
langkah-langkah tindak lanjut sebagai penjabarannya ke dalam peraturan perundang-
undangan nasional. Kondisi tersebut sebenarnya kurang menguntungkan bagi Indonesia,
karena berarti Indonesia belum dapat mengambil manfaat dari adanya perubahan dan atau
pembaruan di bidang pengaturan atas laut khususnya yang diatur dalam Bab IV KLH 1982
tentang Negara Kapulauan.
Rezim hukum "negara kepulauan" Indonesia yang telah diperjuangkan dengan susah payah
sejak deklarasi Juanda 1957, harus dijaga keutuhannya dan dipertahankan eksistensinya, bila
perlu dengan mengerahkan kekuatan bersenjata dan seluruh rakyat Indonesia. Aksi Malaysia
dengan klaimnya atas Blok Ambalat merupakan tamparan nyata terhadap kedaulatan teritorial
"negara kepulauan" Indonesia. Aksi tersebut tidak boleh dibiarkan menjadi kenyataan.
Tunjukkan dan tegaskan baik secara "faktual" maupun "yuridis" bahwa Blok Ambalat adalah
milik Indonesia.
Pengaturan masalah kelautan bagi pemerintah Republik Indonesia merupakan hal yang
penting dan mendesak mengingat bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara
kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dengan sifat dan corak tersendiri. Hal tersebut sesuai
dengan amanat pembukaan UUD 1945 bahwa, "Pemerintah Republik Indonesia berkewajiban
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia".
Penetapan batas-batas laut teritorial selebar 3 mil dari pantai sebagaimana terdapat dalam
Territiriale Zee en Maritieme Kringen-Ordonnantie 1939 (TZMKO 1939) Pasal 1 ayat 1 tidak
sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan negara Republik Indonesia. Demi
kesatuan wilayah negara Republik Indonesia, semua pulau-pulau serta laut yang terletak di
antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pada tanggal 13 Desember 1957, Pemerintah Republik
Indonesia mengeluarkan suatu pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia (deklarasi
30
Juanda). Deklarasi tersebut yang di dalamnya mengandung konsepsi nusantara menimbulkan
konsekuensi bagi pemerintah dan bangsa Indonsia untuk memperjuangkan dan
mempertahankannya hingga mendapat pengakuan dari masyarakat internasional.
Deklarasi Juanda 1957 mendapat tantangan dari negara-negara yang saat itu merasa
kepentingannya terganggu seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda dan New
Zealand dengan menyatakan tidak mengakui klain Indonesia atas konsepsi nusantara. Negara
yang mendukung pernyataan Indonesia mengenai konsepsi nusantara hanya Uni Soviet dan
Republik Rakyat Cina.
Tapi dalam visi dan orientasi pembangunan, khususnya sejak Orba, kita melupakan visi dan
orientasi negara kepulauan ini dan lebih berorientasi tanah daratan (land based oriented) yang
mengakibatkan kita bersifat inward looking. Tanpa orientasi kepulauan, seperti dikatakan
Dimyati Hartono, kita tidak punya national security belt, yakni titik-titik kawasan strategis
bagi mengamankan kewilayahan dan kedaulatan negara. Setiap titik itu bukan saja menjadi
pos pertahanan tetapi juga dikembangkan ekonomi dan sarana-prasarana pendidikannya
sehingga kawasan-kawasan titik ini dengan sendirinya akan terbangun sistem peringatan dini
(early warning system). Dengan orientasi kepulauan, Indonesia akan membangun dengan
pandangan integratif darat, laut dan udara. Dan orientasi ini akan membuat kita lebih outward
looking.
Dalam menghadapi sengketa dan konflik daerah perbatasan ada beberapa model dan pola
yang pernah dan dapat dilakukan untuk mengatasinya seperti dijelaskan dalam Pasal 33
Piagam PBB tentang Hukum Laut Internasional bahwa bila tak bisa diselesaikan secara
bilateral, ada pelbagai alternatif, misalnya mediator, arbitrator dan mekanisme regional.
Dalam kasus Ambalat, Malaysia pasti tak akan menggunakan mekanisme regional di
ASEAN, karena dia punya persoalan dengan semua negara tetangganya seperti Singapura,
Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina dan Thailand mengenai batas laut. Malaysia takut
semua anggota ASEAN berpihak ke Indonesia.
Bila perundingan bilateral menemui jalan buntu, bisa dipilih solusi joint development, di
mana Indonesia termasuk pelopor dalam penggunaan mekanisme itu. Pada 1989, setelah
bertahun-tahun menemui jalan buntu, kita sepakat tak membuat garis batas dengan Australia
di Celah Timor. Kita menyepakati membuat joint development dengan melakukan kerja sama
ekonomi di wilayah yang disengketakan. Model joint development banyak mendapat pujian
dari dunia dan konsep ini akhirnya ditiru negara-negata lain.
Sebagai negara kepulauan, kita mempunyai persoalan dalam menjaganya karena saat
kemerdekaan, laut kita cuma 3 mil dari pantai. Jadi luas laut kita tak lebih dari 100 ribu
31
kilometer persegi. Setelah konsep wawasan nusantara diterima dunia, dan mendapat
tambahan ZEE 200 mil, total laut kita menjadi 6 juta kilometer persegi.
( Didi Turmudzi, http://www.pikiran-rakyat.com)
Dengan demikian, dengan alasan apa pun, klaim wilayah di Blok Ambalat dan Blok East
Ambalat tidak dibenarkan oleh hukum laut internasional. Apalagi Indonesia diperkuat oleh
serentetan sejarah yang mencatat bahwa perairan di Ambalat masuk ke dalam wilayah
pengaturan Kerajaan Bulungan. Namun, langkah yang juga harus segera ditempuh oleh
Pemerintah Indonesia adalah segera perbaiki dan depositkan PP No 38/2002 tentang Daftar
Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia ke Sekjen PBB untuk
dicatatkan sebagai bukti dalam penguasaan wilayah. Semoga usaha diplomasi yang kuat dan
terukur dapat mempertahankan kedaulatan keutuhan Negeri Bahari yang kita cintai.
( Tridoyo Kusumanstanto, http://www.kompas.com)
Persengketaan atas wilayah Ambalat membutuhkan penyelesaian yang logis, relevan,
tanpa merugikan pihak manapun apalagi sampai menimbulkan peperangan. Jika terjadi
kontak senjata antar Angkatan Laut maka masing-masing negara bersengketa RI-Malaysia
mengalami kerugian. Diusahakan sedapat mungkin persengketaan atas wilayah Ambalat
dapat diselesaikan secara damai.
Sebuah sentilan mengenai kasus sipadan, ligitan, dan yang terakhir adalah ambalat,
harusnya menyadarkan kita bahwa kita telah jauh dari konsep wawasan nasional yang
merupakan landasan visional bangsa dan Negara Indonesia.
Berkaitan dengan masalah perbatasan ini kaitannya dengan Wawasan Nusantara, penulis
menawarkan solusi untuk menilik kembali kepada diri kita masing-masing harusnya setiap
warga Negara Indonesia perlu memiliki kesadaran untuk:
Mengerti, memahami, dan menghayati hak dan kewajiban warga Negara serta hubungan
warga Negara dan Negara, sehingga sadar sebagai bangsa Indonesia yang cinta tanah air
berdasarkan pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nuasantara
Mengerti, memahami, dan menghahayati bahwa di dalam menyelenggarakan kehidupannya
Negara memerlukan konsepsi wawasan nusantara, sehingga sadar sebagai earga Negara
memiliki wawasan nusantara guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional
Indonesia harus lebih jeli dalam melihat setiap wilayahnya yang berbatasan dengan Negara
lain, dan tentu apapun yang berkaitan dengan hal ini dibutuhkan bukti autentik. Indonesia
32
harus belajar dari kasus Sipadan Ligitan agar wilayah Indonesia tetap merupakan satu
kesatuan utuh yang berlandaskan kebhinekaan.
33
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN & SARAN
Kesimpulan:
Masalah perbatasan wilayah antar Negara merupakan salah satu bentuk ancaman bagi
keutuhan wilayah Nusantara. Kasus ambalat harusnya menyadarkan bangsa Indonesia bahwa
kita sudah jauh dari Konsep Wawasan Nusantara dan juga kelalaian Indonesia yang tidak
segera menetapkan batas terluar kepulauan Indonesia. Selama ini wawasan nusantara hanya
jadi sebuah slogan tanpa adanya implementasi yang jelas dalam berbagai segi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk mengetuk hati nurani setiap warga Negara
Indonesia agar sadar bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, diperlukan pendekatan dengan
program yang teratur, terjadwal dan terarah. Hal ini akan mewujudkan keberhasilan dan
implementasi wawasan nusantara. Dengan demikian wawasan nusantara terimplementasi
dalam kehidupan nasional guna mewujudkan ketahanan nasioanal dalam rangka menjaga
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Saran:
Seandainya pertahanan kita kuat, tentu malaysia akan berpikir dua kali sebelum mengklaim
wilayah ambalat sebagai wilayah miliknya. Sudah saatnya TNI berubah dan mengikuti
perkembangan konsep pertahanan modern.
Perlunya perumusan sebuah doktrin baru tanpa harus meninggalkan aspek kesemestaan (total
defense) yang lebih sesuai dengan jenis dan sumber ancaman yang akan kita hadapi.
(Tempo; 2005)
Dalam kasus ambalat ini, kami memandangnya dengan tiga sudut pandang:
Sisi intern. Bisa jadi kasus Ambalat sengaja dimunculkan oleh pihak Indonesia sendiri yang
kemudian melalui rekayasa yang kompleks, untuk menutupi kasus BBM. Mungkin ini
merupakan strategi politik salah satu pihak di wilayah negara ini, tanpa kita bersuudzan pada
satu pihak, tapi hal ini perlu diwaspadai untuk mencari penyelesaian yang tepat jika memang
penyebabnya adalah demikian.
Sisi Extern. Bisa jadi kasus ambalat merupakan bagian dari konspirasi global yang mungkin
dimotori oleh oknum (baik dari dalam negeri maupun begara asing) yang menginginkan
34
munculnya permusuhan Indonesia-Malaysia, yang selama ini dilihat memiliki hubungan
yang baik. Bahkan jika kita tilik kebelakang ketika Indonesia dilanda tsunami di Aceh,
Malaysia jugalah yang membantu pertama kali.
Jika memang demikian, tentu tak boleh kita mudah teradu domba. Hendaknya kedua negara
kembali melihat dengan bijaksana, “sudah benarkah sikap saya?”. Disini moral punya peran
yang besar.
Pandangan kami sebagai seorang muslim, seperti yang kita ketahui bahwa Malysia dan
Indonesia adalah 2 negara yang mayoritas penduduknya muslim, apakah pantas jika masalah
perebutan wilayah menjadi penyebab keretakan hubungan antar negara? Sementara
mempertahankan wilayah negara merupakan sebuah kewajiban sebagai setiap muslim dan
mengklaim wilayah negara tetangga juga merupakan satu bentuk pencurian.
35
DAFTAR PUSTAKA
Anonymus. 4 Mei 2005. Tinjauan hukum laut dari Konflik Perbatasan Indonesia
Malaysia (www.rsi.com)
Agoes, Etty, R., 1988. masalah sekitar Ratifikasi dan Implementasi konvensi hukum Laut 1982. Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Basril, Chaidir ., 1992. Pengetahuan tentang Penyelenggaraan Pertahanan Keamanan Negara, CV. Chitra Delima, Jakarta.
Djalal, Hasyim., 1979. Perjuangan Indonesia di bidang Hukum Laut. Bina Cipta, Bandung.
Hidayat, Imam dan Mardiono., 1983. Geopolitik. Usaha Nasional, Surabaya.
Ken/ Wan. 07 Maret 2005. Hari ini Presiden Yudhoyono Ke Ambalat. (Dispenal [email protected])
Koers, Alberts. 1991. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, Suatu Ringkasan. Jogjakarta: UGM Press
Kurniawan, Yophiandi. 27 Februari 2005. Protes Indonesia atas Ambalat .Tempo Interaktif.
Kusumastanto, Tridoyo. Ambalat dan Diplomasi Negara Kepulauan Republik Indonesia. (ww.kompas.com)
Lemhannas. 1997. Wawasan Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka.
Pandoyo, Toto. 1985. Wawasan Nusantara dan Implementasinya dalam UUD 1945 serta PembangunanNasinal. Jakarta: PT Bina Aksara.
Prasetianingsih, Yuli. Membaca Sengketa Ambalat dengan Reaktualisasi Nasionalisme. (www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/3/18/o2.htm)
Suhana. 4 mei 2005. (www.tnial.mil.id/artid.php3?id=30)
Sumarsono, dkk., 2001. Pendidikan Kewarganegaraan. PT Sun, Jakarta.
Tempo. 14-20 Maret 2005. Jakarta.
Tempo. 7-13 maret 2005. Jakarta
Turmudzi, Didi, Prof. Dr. H.M. Membangun Visi Negara Kepulauan. (www.pikiran-rakyat.com)
Zaelani, Endang et al. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Jogjakarta:Paradigma.
37