Upload Scrib
-
Upload
tamrin-ambon-kendari -
Category
Documents
-
view
137 -
download
9
Transcript of Upload Scrib
KARAKTERISASI KITIN DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI MEDIA PENDUKUNG AMOBILISASI ENZIM
I. KITIN DAN KITINASE
Kitin
Kitin adalah polimer kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Kitin merupakan
komponen penyusun tubuh serangga, udang, kepiting, cumi-cumi, dan artropoda lainnya,
serta bagian dari dinding sel kebanyakan fungi dan alga. Kitin memiliki struktur yang
mirip selulosa. Bila selulosa tersusun atas monomer glukosa, maka kitin tersusun dari
monomer N-asetilglukosamin. Keduanya memiliki kelarutan sangat rendah dalam air serta
mengalami biodegradasi melalui mekanisme yang hampir serupa dengan melibatkan
komplek enzim.
Penghilangan gugus asetil (deasetilasi) dari kitin menghasilkan kitosan. Kitin dan
kitosan memiliki kandungan nitrogen sekitar 6.98%, jauh lebih tinggi dibanding polimer
sintetik yang hanya 1.25%. Oleh karenanya, keduanya menarik secara komersial karena
bisa dipakai sebagai agen pengkelat. Selain itu, karena kitin dan kitosan merupakan bahan
alam maka keduanya lebih bersifat biocompatible dan biodegradable dibanding polimer
sintetik. Kitin, kitosan, serta senyawa turunannya telah banyak diaplikasikan dalam
berbagai industri (Table 1). Nilai total perdagangan bahan-bahan tersebut pada tahun 2002
mencapai 1.2 trilyun rupiah.
Kitinase
Kitinase (EC 3.2.1.14) merupakan enzim yang mampu menghidrolisa polimer
kitin menjadi kitin oligosakarida atau monomer N-asetilglukosamin. Enzim ini dihasilkan
oleh bakteri, fungi, tanaman, dan hewan. Atas dasar cara kerjanya dalam mendegradasi
1
substrat, kitinase dibedakan kedalam 2 kelompok utama: endokitinase dan eksokitinase.
Endokitinase memotong polimer kitin secara acak menghasilkan dimer, trimer, tetramer
dan atau oligomer gula. Eksokitinase memotong kitin hanya dari ujung non reduksi. Bila
hasil potongan berupa monomer maka enzim tersebut dinamakan
Nacetylheksosaminidase, namun bila potongan yang dihasilkan berupa dimer maka enzim
tersebut disebut sitobiosidase (Cohen-Kupiec and Chet, 1998).
Berdasarkan homologi sekuen asam aminonya, kitinase dibedakan atas famili 18
dan 19. Famili 18 meliputi kitinase dari bakteri, fungi, serangga, tanaman (kelas III dan
V), hewan (Gijzen et al, 2001) dan satu kitinase dari Streptomyces griseus (Ohno et al,
1996). Kitinase tanaman kelas I tersusun atas sekuen yang conserved pada struktur
utamanya, serta domain kaya cystein pada ujung N. Kitinase kelas II secara struktural
homolog dengan kelas I, tetapi tidak memiliki domain kaya cystein. Sementara, kitinase
kelas III dan V tidak memiliki homologi dengan kitinase kelas I, II dan IV (Fukamizo.
2000).
2
Tabel 1. Beberapa Aplikasi Kitin dalam Industri
Bidang Aplikasi
Nutrisi Serat yang dapat dikonsumsi
Pangan Pengawet dan pengkaya rasa
Perbaikan tektur
Bahan emulsi
Bahan penjernih
Biomedis Obat luka Kontak lensa
Membran dialisa darah
Antitumor
Antikolesterol
Pelangsing tubuh
Perawatan Kulit dan Rambut Lotion dan krimpelembab
Produk-roduk perawatan rambut
Pertanian dan Lingkungan Fungisida
Pemupukan
Perawatan benih
Pengolahan limbah
Lain-lain Industri kertas
Penyerap warna
Baterai padat
Aditif pakan
Kromatografi
Selain oleh kitinase, polimer kitin juga bisa didegradasi oleh enzim kitin
deasetilase dan kitosanase. Kitin deasetilase (EC 3.5.1.41) menghilangkan gugus asetil
dari kitin menghasilkan kitosan. Kitosan akan dipotong-potong oleh kitosanase (EC
3.2.1.1.32) menghasilkan kitosan oligomer kitosan. Oligomer kitosan kemudian dipotong-
3
potong lagi oleh â-D-glukosaminidase menghasilkan monomer glukosamin. Oleh karena
itu, kitin dan kitosan memiliki struktur yang serupa tetapi disusun oleh monomer gula
yang berlainan. Kitin tersusun atas monomer N-asetil glukosamin, sementara kitosan
disusun oleh monomer glukosamin.
II. BEBERAPA PENELITIAN TENTANG KITIN DAN APLIKASINYA
A. KARAKTERISASI KITIN DARI LIMBAH RAJUNGAN
PENDAHULUAN
Wilayah perairan Indonesia merupakan sumber cangkang hewan invertebrate laut
berkulit keras (Crustacea) yang mengandung kitin secara berlimpah. Kitin
yang terkandung dalam Crustacea berada dalam kadar yang cukup tinggi berkisar
20-60% tergantung spesies. Limbah berkitin di Indonesia yang dihasilkan saat ini
sekitar 56.200 ton pertahun ( Departemen Kelautan dan Perikanan, 2000). Rajungan
merupakan salah satu komoditas penting bagi hasil perikanan Indonesia. Pada
umumnya rajungan diekspor dalam bentuk dagingnya yang telah dipasteurisasi.
Hasil samping pengolahan daging rajungan berupa limbah cangkang (kulit dan
kepala). Limbah ini belum termanfaatkan secara baik dan berdaya guna, bahkan
sebagian besar merupakan buangan yang juga turut mencemari lingkungan.
Salah satu alternatif upaya pemanfaatan limbah cangkang rajungan agar memiliki
nilai dan daya guna limbah rajungan menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi
adalah pengolahan menjadi kitin dan kitosan. Kitin adalah biopolimer tersusun oleh
unit-unit N- asetil-D-glukosamin berikatan β(1-4) yang paling banyak dijumpai di
alam setelah selulosa. Produksi alamiah kitin di dunia diperkirakan mencapai 109
metrik ton per tahun.
4
Senyawa ini dijumpai sebagai komponen eksoskeleton kelompok Crustaceae, dinding
sel insekta, kapang dan kamir (Patil et al, 2000). Kitosan merupakan senyawa
hasil deasetilasi kitin, terdiri dari unit N-asetil glukosamin dan N glukosamin.
Adanya gugus reaktif amino pada atom C-2 dan gugus hidroksil pada atom C-3 dan
C-6 pada kitosan bermanfaat dalam aplikasinya yang luas yaitu sebagai pengawet
hasil perikanan dan penstabil warna produk pangan, sebagai flokulan dan membantu
proses reverse osmosis dalam penjernihan air, aditif untuk produk agrokimia dan
pengawet benih (Muzzarelli et al, 1997; Shahidi et al, 1999).
Aplikasi kitin dan kitosan di berbagai bidang sangat ditentukan oleh karakterisasi
mutu keduanya yang meliputi derajat deasetilasi, kelarutan, viskositas, dan berat
molekul. Untuk itu maka penelitian ini sangat penting dilakukan sehingga
pemanfaatan limbah khususnya rajungan menjadi produk bernilai ekonomis dapat
dilakukan secara maksimal.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi mutu kitin asal limbah
rajungan hasil samping proses pengolahan daging rajungan yang meliputi
parameter rendemen, derajat deasetilasi, kelarutan, viskositas, dan berat molekul.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian pendahuluan dilakukan persiapan, pencucian, pengeringan dan
penggilingan bahan baku sampai menjadi tepung cangkang rajungan• Hasil
analisis proksimat tepung cangkang rajungan menunjukkan kadar air (bk) sebesar
5,48%; kadar abu (bk) 42,61%; kadar protein 10,43%l; kadar lemak 2,08%;
karbiohidrat 37,40% dan komponen lainnya 2%.
5
Berdasarkan data tersebut di atas terlihat bahwa kadar air tepung cangkang
rajungan cukup rendah (5,48%)• Hal ini karena dilakukan pengeringan terlebih
dahulu sebelum penggilingan• Kadar abu tepung cangkang rajungan cukup
tinggi yang menunjukkan bahwa kandungan mineralnya cukup besar. Sebagian
besar kandungan mineral yang terdapat pada limbah rajungan berupa kalsium
karbonat, dan sebagian kecil berupa kalsium posfat• Keberadaan kedua jenis mineral
tersebut sangat dipengaruhi oleh habitat tempat hidupnya• Selain itu karena
demineralisasi yang belum dilakukan• Bila kadar kitin yang merupakan bahan
awal pembuatan kitosan diperoleh dari persentase polisakaridanya, maka diperoleh
kadar kitin 37,40%• Nilai ini ternyata lebih rendah dari hasil penelitian Muzzarelli
(2000), yang menyatakan bahwa cangkang kepiting/rajungan mengandung kitin
sampai 70%, namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan cangkang udang (35%)
dan cumi-cumi (20%)• Menurut Whistler (1973), limbah udang dan rajungan
mengandung 15-30% kitin•
Jika dibandingkan dengan hasil uji proksimat dari penelitian M• Saleh dkk (1999)
terhadap kulit udang windu (Penaeus monodon) menunjukkan bahwa kadar air
cangkang rajungan lebih rendah dari kulit udang windu (10,57%)• Adapun kadar abu,
kadar protein kasar dan kadar lemak cangkang rajungan lebih tinggi dari udang
windu (masing-masing 20,31%; 32,74% dan 2%)•
Produksi Kitin
Penelitian utama dilakukan untuk mengekstraksi kitin dari tepung cangkang
rajungan melalui proses demineralisasi menggunakan asam klorida dan
deproteinasi menggunakan natrium hidroksida dengan pemanasan tinggi•
Rendemen hasil proses demineralisasi sebesar 60%• Pada proses demineralisasi,
6
senyawa kalsium akan bereaksi dengan asam klorida yang larut dalam air
(Bastaman, 1989)• Protein, lemak, posfor, magnesium dan besi turut terbuang dalam
proses ini•
Deproteinasi bertujuan untuk memutuskan ikatan antara protein dan kitin, dengan
cara menambahkan natrium hidroksida• Rendemen setelah
deproteinasi sebesar 32%• Rendemen ini merupakan rendemen
kitin• Protein yang terekstrak dalam bentuk Na-proteinat dimana ion
Na+ mengikat ujung rantai protein yang bermuatan negatif sehingga mengendap•
Hasil karakterisasi kitin yang meliputi kelarutan, derajat deasetilasi, viskositas intrinsik
dan berat molekul masing-masing adalah 28 %; 38,02 %; 8,57 ml/g dan 11 x 103
Rendemen berupa tepung kering cangkang rajungan menunjukkan nilai yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan tepung kulit udang windu (48,57%) (M• Saleh dkk,
1999)• Hal ini kemungkinan disebabkan perbedaan lamanya pemanasan
selama proses demineralisasi•
Keduanya dilarutkan masing-masing dalam larutan asam klorida 1 N, setelah itu
dipanaskan pada suhu berbeda yaitu untuk cangkang rajungan pada 90 oC,
sedangkan kulit udang windu pada 70 oC selama satu jam•
Kelarutan Kitin
Kitin termasuk polisakarida yang sangat sukar dilarutkan pada pH netral seperti air
sehingga pelarutan dilakukan dalam suasana asam atau basa• Berdasarkan h a s i l
p e n g a m a t a n terlihat bahwa kelarutan kitin relatif lebih tinggi dari standar Lab•
7
Protan (1989) yang menyatakan bahwa kitin tidak larut dalam asam encer• Hal ini
disebabkan kitin secara alami berbentuk kristal yang mengandung rantai-rantai
polimer berkerapatan tinggi yang terikat satu sama lain dengan ikatan hidrogen yang
sangat kuat (Bartnicki-Garcia, 1989). Kitin bersifat mudah mengalami degradasi
secara biologis, tidak beracun, tidak larut air, asam anorganik encer dan asam-asam
organik tetapi larut dalam larutan dimetil asetamida dan litium klorida (Ornum, 1992)•
Kelarutan berhubungan erat dengan derajat deasetilasi• Deasetilasi akan memotong
gugus asetil pada kitin, menyisakan gugus amina• Adanya H pada amina
memudahkan interaksi dengan air melalui ikatan hidrogen• Tetapi kitin maupun
kitosan tidak dapat larut hanya dalam air, kecuali dengan substitusi. Keduanya dapat
larut dalam asam encer, seperti asam asetat. Adanya gugus karboksil dalam asam
asetat akan memudahkan pelarutan kitin dan kitosan karena terjadinya interaksi
hidrogen antara gugus karboksil dengan gugus amina dari keduanya (Dunn et al,
1997)•
Derajat Deasetilasi Kitin
Derajat deasetilasi adalah suatu parameter mutu kitosan yang menunjukkan
persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen kitin maupun
kitosan. Semakin tinggi derajat deasetilasi kitosan, maka gugus asetil kitosan
semakin rendah sehingga interaksi antar ion dan ikatan hidrogennya akan semakin
kuat (Knoor, 1982). Pelepasan gugus asetil dari kitosan menyebabkan kitosan
bermuatan positif yang mampu mengikat senyawa bermuatan negatif seperti protein,
anion polisakarida membentuk ion netral (Suhartono, 1989)•
Derajat deasetilasi kitosan dipengaruhi konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) dan
8
suhu proses (Benjakul, 1993). Larutan NaOH konsentrasi tinggi ( ≥ 40%)
berfungsi memutuskan ikatan antar gugus karboksil dengan atom nitrogen dari kitin
yang memiliki struktur kristal tebal dan panjang (Angka dan Suhartono, 2000)•
Tingginya konsentrasi NaOH menyebabkan gugus fungsional amino (-NH3+) yang
mensubstitusi gugus asetil kitin di dalam sistem larutan semakin aktif sehingga proses
deasetilasi semakin baik. .Berdasarkan h a s i l p e n e l i t i a n y a n g d i p e r o l e h
nampak bahwa derajat deasetilasi kitin masih rendah, yang menunjukkan bahwa
gugus asetil yang masih cukup besar pada rantai polimernya. Demineralisasi dan
deproteinasi terhadap kitin yang dilakukan sebelumnya ternyata belum mampu
menghilangkan gugus asetil.
Viskositas dan Berat Molekul Kitin
Viskositas intrinsik menunjukkan kemampuan polimer untuk meningkatkan
viskositas larutan. Viskositas intrinsik diperoleh dari kurva isp/C yang
diekstrapolasi hingga C mendekati 0, sehingga meniadakan pengaruh konsentrasi
(Hwang et al., 1997).
Berat molekul berhubungan dengan derajat polimerisasi. Polimer rantai lurus
seperti kitosan akan menunjukkan peningkatan densitas jika derajat
polimerisasi bertambah. Dengan demikian, viskositas intrinsik juga akan meningkat.
Wang et. al (1991) menunjukkan hubungan linier antara nilai log viskositas
intrinsik dengan nilai log berat molekul, untuk larutan kitosan dengan derajat deasetilasi
sama.
B. PEMANFAATAN LIMBAH UDANG
9
Penelitian juga dilakukan BPPT terhadap pengolahan limbah binatang laut, seperti udang
dan kepiting, untuk dijadikan kitin dan kitosan yang juga berfungsi sebagai biokatalis
sejumlah industri. Untuk industri tekstil, misalnya, kitosan berfungsi memperkuat warna.
Sementara dalam industri kertas, kitosan mampu membuat kertas menjadi licin. Di
industri makanan, kitosan berfungsi sebagai antibakteri dan antijamur dan juga mampu
menjernihkan air.
Penelitian menunjukkan bahwa limbah dari berbagai binatang laut mengandung kitin, tapi
kandungan kitin terbesar terdapat pada udang dan kepiting. Menurut Setyahadi (2003),
kandungan kitin pada limbah kepiting mencapai 50 - 60 persen, sementara limbah udang
menghasilkan 42 - 57 persen kitin. Sedangkan cumi-cumi dan kerang, masing-masing 40
persen dan 14 - 35 persen. Namun karena bahan baku yang gampang diperoleh adalah
udang, maka proses kitin dan kitosan biasanya lebih memanfaatkan limbah udang.
Menurut Setyahadi (2003), penelitian BPPT terhadap kitin mengandalkan proses biologis
dibanding kimiawi karena itu diklaim lebih ramah lingkungan. Penelitian tahap awal
dilakukan BPPT bekerja sama dengan PT Windika Utama dari Indonesia serta Hamburg
University dan SeeLab dari Jerman..
C. STUDY PEMANFAATAN POLIMER KITIN SEBAGAI MEDIA PENDUKUNG AMOBILISASI ENZIM α-AMILASE
1. PENDAHULUAN
Pemanfaatan enzim secara komersial terus dipelajari dan diterapkan, seperti yang dilakukan
oleh Bailey dan Ollis (1988), yaitu pemanfaatan enzim untuk proses enzimatik pada
industri makanan, minuman, farmasi dan biokimia. Salah satu contoh
pemanfaatan tersebut adalah pematangan buah-buahan hijau yang dipanen, pelayuan
daging yang diinginkan, pengawetan keju, pencegahan kekeruhan bir, pembentukan
10
tekstur gula, pengobatan luka, dan penanganan limbah.
Secara umum enzim larut dalam air, sehingga banyak enzim tidak ekonomis untuk
digunakan pada pengoperasian tipe batch dalam skala besar, karena hanya dapat
digunakan satu kali proses dengan biaya yang cukup mahal. Tetapi dalam tahun-tahun
belakangan ini berbagai teknik telah ditemukan untuk memperbaiki kerja enzim, yaitu
dengan cara mengikatkan enzim pada bahan-bahan yang tidak larut dalam air, dimana
bahan-bahan tersebut dapat dipisahkan dari produk dengan mudah. Hal itu
memungkinkan penggunaan kembali bahan-bahan tak larut yang mengandung enzim
tersebut atau disebut amobilisasi enzim (Johnson, 1979).
Menurut Bailey dan Ollis (1988), amobilisasi enzim menjadi menarik jika substrat yang
dibutuhkan sangat banyak atau enzim yang bersangkutan mahal. Wirawan
(1988), juga menjelaskan bahwa penggunaan enzim teramobilisasi dibatasi oleh
mahalnya harga bahan pendukung, oleh karena itu diperlukan bahan pendukung yang
murah, tersedia dalam jumlah besar serta memiliki sifat menguntungkan.
Kitin adalah polisakarida paling melimpah kedua di alam setelah selulosa. Kitin
terdapat dalam komponen srtuktural eksoskeleton dari serangga dan krustacea, juga
terdapat di dalam dinding sel ragi dan jamur yang jumlahnya berkisar antara 30-60 %.
Kitin dilaporkan telah dapat digunakan sebagai bahan pendukung untuk beberapa enzim,
seperti papain, laktase, kimotripsin, asam pospatase, dan glukosa isomerase. Sebagai
bahan pendukung enzim penggunaannya yang terbesar adalah pada industri makanan
dan kosmetik (Peter,1995).
Amobilisasi enzim pada kitin dapat dilakukan dengan metode adsorpsi sederhana,
11
dengan adsorpsi pada kitin yang diaktifkan dengan glutaraldehid, atau dengan ikatan
silang dari enzim dan pendukung dengan glutaraldehid. Ikatan silang dengan
glutaraldehid menyebabkan penurunan aktivitas enzim sebesar 14 – 60%
(Synowiecki,1982). Metode adsorpsi fisik merupakan salah satu metode amobilisasi
enzim yang sederhana dan efektif karena sedikit atau tidak menyebabkan perubahan
konformasi enzim, atau destruksi pada pusat aktif enzim.
Pada penelitian ini telah berhasil dilakukan amobilisasi enzim α-amilase dengan
bahan pendukung polimer kitin menggunakan metode adsorpsi fisik, dan didapatkan
kondisi optimum untuk enzim α-amilase bebas dan amobil, yang meliputi pH optimum,
suhu optimum, dan waktu inkubasi optimum.
2. METODOLOGI
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah oven, inkubator, sentrifuga, penangas air,
neraca elektronik, pH meter, termometer, lemari pendingin, spektrofotometer UV-Vis,
dan peralatan gelas.
Bahan-bahan dan reagen kimia yang digunakan antara lain enzim α- amilase
didapat dari UPT-BPPT Sulusuban, amilum, asam 3,5-dinitrosalisilat, reagen Folin-
Ciocalteu, glukosa, BSA, fenol, Na-K tartarat, HCl, NaOH, Na-bisulfit CuSO4.5H2O,
Na2CO3, dan kitin.
Prosedur Penelitian
Pembuatan larutan pereaksi
(a) Larutan dinitrosalisilat (DNS)
Sebanyak 1 gr asam 3,5 –dinitrosalisilat dan 1 gr NaOH dilarutkan dalam
aquades, kemudian ditambahkan 0,2 gr fenol, 0,4 g Na/K-tartarat, dan 0,05 gr Na-
bisulfit.
Larutan diaduk hingga merata dan diencerkan hingga 100 ml.
(b) Larutan pereaksi Lowry
12
Larutan A, 2 gr Na2CO3 dalam 100 ml NaOH 0,1 N. Larutan B, 5 ml larutan CuSO4.
5H2O 1% dalam 5 ml larutan Na/K-tartarat 1%. Larutan C, campuran 50 ml larutan A
dan 1 ml larutan B. Larutan D, reagen Folin-Ciocelteau 1:1.
Penentuan kadar protein (Metode Lowry)
Sebanyak 1 ml larutan enzim direaksikan dengan 5 ml larutan C dan didiamkan selama 10
menit pada suhu kamar, kemudian ditambahkan larutan D dan didiamkan kembali selama
30 menit pada suhu kamar. Warna yang terbentuk diukur serapannya
menggunakan spektrofotometerUV-Vis pada panjang gelombang 600 nm. Kadar protein
ditentukan dengan membuat kurva standar bovin serum albumin (BSA) pada konsentrasi
20 – 100 µg/ml.
Penentuan aktivitas enzim amilase
Untuk enzim bebas, sebanyak 0,5 ml larutan pati 1% pH 7 didiamkan pada suhu 30°C
selama 5 menit, kemudian ditambahkan 0,5 ml enzim dan diaduk perlahan-lahan.
Campuran diinkubasi selama 70 menit pada suhu 55oC. Reaksi dihentikan dengan cara
memanaskan campuran hingga mendidih. Untuk enzim amobil digunakan larutan pati 1%
pH 5,5 dan reaksi dihentikan dengan cara memisahkan campuran dengan disentrifugasi
pada kecepatan 4500 rpm selama 15 menit untuk diambil filtratnya. Filtrat yang
diperoleh ditambahkan 3 ml pereaksi DNS dan ditempatkan dalam air mendidih selama 5
menit. Campuran dibiarkan dingin sampai suhu kamar dan diukur serapannya
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 538 nm. Kadar glukosa
ditentukan pada konsentrasi 0,1 – 0,5 mg/ml.
13
Amobilisasi enzim amilase
Sebanyak 30 mg kitin berukuran 20-44 mesh ditambahkan ke dalam 10 ml larutan
enzim yang telah ditentukan kadar proteinnya. Campuran didiamkan pada suhu kamar
selama 1 jam dengan sesekali pengadukan. Kemudian campuran didiamkan pada suhu
4oC selama 12 jam. Setelah 12 jam campuran disaring dan dicuci dengan 100 ml
aquades. Filtrat yang diperoleh diukur kadar proteinnya. Endapan yang diperoleh
merupakan enzim amobil.
Karakterisasi Enzim α-Amilase bebas dan Amobil
Karakterisasi Enzim α-amilase bebas dan amobil yang dilakukan meliputi :
1. pH reaksi
Variasi pH yang digunakan adalah mulai dari 5,5 sampai 7,5 untuk enzim bebas dan 5,0 sampai 7,5 untuk enzim amobil.
2. Suhu
Variasi suhu yang digunakan adalah mulai 50oC sampai 70oC untuk enzim bebas
dan 60oC sampai 95oC untuk enzim amobil
3. Waktu inkubasi
Variasi yang digunakan adalah mulai dari 60 sampai 80 menit untuk enzim bebas dan 60 sampai 85 menit untuk enzim amobil.
Penentuan stabilitas enzim
Untuk mengetahui stabilitas enzim bebas terhadap waktu penyimpanan
pada suhu kamar, dilakukan pengukuran aktifitas setiap hari. Sedangkan untuk enzim
amobil pengukuran dilakukan setiap dua hari. Pengukuran aktifitas dilakukan sampai
terlihat penurunan aktifitas baik enzim bebas maupun amobil dapat diabaikan. Untuk
mengetahui stabilitas enzim amobil pada pemakaian berulang, dilakukan pemakaian
berulang sampai terlihat penurunan aktivitas terabaikan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Amobilisasi Enzim α-Amilase
Umumnya proses amobilisasi enzim menyebabkan peningkatan stabilitas enzim
14
namun menyebabkan penurunan aktivitas enzim. Tetapi dengan menggunakan metode
adsorpsi fisik hanya terjadi sedikit penurunan aktivitas enzim yaitu 3,69%. Hal ini
dapat dilihat dari aktivitas spesifik enzim bebas yaitu 93,95 x 10-2 unit/mg dan
aktivitas enzim amobilnya adalah 90,48 x 10-2 unit/mg.
Kitin dapat mengikat enzim α-amilase sebanyak 0,0194; 0,0190; 0,0205 (mg
protein/ mg kitin) dengan rerata 0,0196 mg protein/mg kitin. Banyaknya enzim yang
diserap ini dihitung dari selisih antara kadar protein enzim bebas dengan kadar
protein filtrat pada proses amobilisasi. Kadar protein enzim bebas adalah 1,038 mg,
kadar protein filtrat yaitu 0,449 mg. Dengan kata lain protein enzim yang diikat oleh
kitin adalah 56,74%.
Menurut J. Synoweicki, et.al. (1981) kesesuaian kitin sebagai bahan pendukung
untuk amobilisasi enzim tergantung pada derajat deproteinasi, keberadaan gugus
amino, kandungan mineral, ukuran partikel, struktur permukaan, dan konformasi molekul
kitin.
Karakterisasi Enzim α-Amilase bebas dan Amobil pH Optimum
Penentuan pH optimum dilakukan dengan mengukur aktivitas enzim α-amilase pada
berbagai variasi substrat amilum. pH optimum enzim α-amilase bebas diperoleh pada
pH 7,0 dengan aktivitas unit sebesar 38,98 x 10-2unit/ml, untuk enzim α-amilase amobil,
aktivitas tertinggi diperoleh pada pH 5,5 dengan aktivitas unit sebesar 4,55 x 10-2 unit/ml,
seperti yang terlihat pada Gambar 3.
15
Ak
tivi
tas
Un
it (
unit
/ml)
x 10
-245
40
35
30
25
20
15
10
5
0
4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5 8
pH
Enzim Bebas
Enzim Amobil
Gambar 1. Kurva hubungan antara pH reaksi dengan aktivitas enzim α-amilasebebas dan amobil (diukur pada kondisi reaksi, enzim bebas T : 55oC; t = 60 menit; dan enzim amobil T = 60oC; t = 60 menit).
Aktivitas enzim α–amilase bebas terlihat naik dengan naiknya pH sampai dengan pH 7, pada
pH 7,5 aktivitas enzim menurun. Hal ini menunjukkan bahwa pada pH 7 gugus pemberi atau
penerima elektron yang penting pada sisi katalitik enzim berada dalam tingkat ionisasi yang
diinginkan (Lehninger,1988). Enzim seperti umumnya protein, memiliki gugus yang dapat
berionisasi sehingga perubahan pH dapat mempengaruhi konformasi enzim, ikatan enzim
dengan substrat, serta gugus aktif pada pusat aktif enzim, sehingga aktivitas enzim juga
terpengaruh (Wiseman, 1985 dalam Asroni, dkk., 1996).
Enzim α–amilase amobil memiliki pH optimum yang lebih rendah dari enzim bebas yaitu
5,5, perubahan pH enzim amobil ke arah asam ini disebabkan oleh muatan bahan pendukungnya
(kitin) bersifat negatif, seperti dikatakan Suhartono (1989) dan Mubarok (1996) dalam Derita
(1997) pH aktivitas enzim akan bergeser ke arah asam jika muatan bahan pendukungnya
bersifat negatif dan akan bergeser ke arah basa jika bahan pendukungnya bersifat positif.
16
Suhu Optimum
Suhu optimum adalah suhu yang diperlukan agar aktivitas enzim optimum. Suhu
mempengaruhi laju reaksi karena suhu dapat merubah laju pemecahan kompleks enzim-substrat
menjadi produk. Aktivitas enzim α-amilase bebas dan amobil pada berbagai variasi suhu
dapat dilihat pada Gambar 4. Suhu optimum enzim α-amilase bebas adalah 55oC dengan
aktivitas unit sebesar 48,76 x 10-2 unit/ml. Sedangkan enzim α-amilase amobil optimum pada
suhu 90oC dengan aktivitas unit sebesar 74,42 x 10-2 unit/ml.
17
Ak
tivi
tas
Un
it (
un
it/m
l)x
10-2
80
70
60
50
40
30
20
10
0
45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Suhu (oC
)
EnzimBebas
EnzimAmobil
Gambar 2. Kurva hubungan antara suhu inkubasi dengan aktivitas enzim α-amilase bebasdan amobil (diukur pada kondisi reaksi, enzim bebas pH = 7; t = 70 menit; enzim amobil pH= 5,5; t = 60 menit).
Pada Gambar 4 dapat kita lihat bahwa aktivitas enzim bebas dan amobil bertambah
dengan bertambahnya suhu. Kecepatan reaksi sangat tergantung dari energi kinetik molekul-
molekul yang bereaksi. Kecepatan reaksi enzim dibawah suhu optimum adalah hasil datri
bertambahnya energi kinetik molekul-molekul yang bereaksi, tetapi bila suhu dinaikkan terus,
energi kinetik molekul-molekul enzim menjadi demikian besar sehingga melampaui penghalang
energi untuk memecah ikatan sekunder yang mempertahankan enzim dalam keadaan mantap
atau keadaan katalitik aktif, berubahnya struktur sekunder dan tersier menyebabkan
hilangnya aktivitas enzim (Martin, 1983 dalam Sriana, 2003).
Suhu optimum enzim amobil jauh lebih tinggi dibanding dengan suhu optimum enzim
bebas. Kenaikan suhu optimum pada enzim amobil dikarenakan adanya tambahan energi yang
dibutuhkan agar substrat dapat menembus halangan ruang yang disebabkan oleh bahan
pendukung polimer kitin.
18
Waktu Inkubasi Optimum
Penentuan waktu inkubasi optimum bertujuan untuk mengetahui pada waktu inkubasi
berapa enzim dapat bekerja maksimum menghasilkan produk tertinggi. Aktivitas enzim α-
amilase bebas dan amobil pada berbagai waktu inkubasi dapat dilihat pada Gambar 5.
19
Ak
tivi
tas
Un
it (
un
it/m
l)x
10-2
55
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
50 55 60 65 70 75 80 85 90
t (menit)
Enzim Bebas
Enzim Amobil
Gambar 3. Kurva hubungan antara waktu inkubasi dengan aktivitas enzim α-amilase bebasdan amobil (diukur pada kondisi reaksi, enzim bebas pH = 7; T = 55oC; enzim amobil pH = 6,5; T = 60oC).
Berdasarkan gambar waktu inkubasi enzim α-amilase bebas adalah 70 menit dengan
aktivitas unit sebesar 48,76 x 10-2 unit/ml, dan enzim α-amilse amobil 90 menit dengan aktivitas
unit sebesar 2,36 x 10-2 unit/ml. Karena adanya halangan ruang yang dibentuk
oleh bahan pendukung, maka enzim amobil memerlukan waktu yang lebih lama untuk
bereaksi dengan substat dibanding dengan enzim bebas. Turunnya aktivitas enzim
setelah waktu inkubasi optimum disebabkan oleh perubakan kondisi reaksi yaitu
perubahan pH yang disebabkan bertambahnya produk pada akhir reaksi.
Stabilitas Enzim Bebas dan Amobil
Kesetabilan enzim α-amilase amobil terhadap penyimpanan pada suhu ruang
meningkat dibandingkan dengan enzim α-amilase bebas. Aktivitas enzim α-amilase
bebas pada penyimpanan hari keempat mengalami penurunan sebesar 79,22% dari hari ke nol
(mula-mula), sedangkan enzim α-amilase amobil pada hari keempat hanya mengalami
penurunan aktivitas sebesar 29,12% dan pada hari ke-10 mengalami penurunan sebesar
49,45% dari hari ke nol (mula-mula). Penurunan aktivitas enzim α-amilase bebas dan amobil
pada penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Gambar 6.
20
Ak
tivi
tas
Un
it (
unit
/ml)
x 10
-2
60555045
4035
2520
1510
50
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Waktu Penyimpanan (Hari)
Enzim Bebas
Enzim Amobil
Gambar 4. Kurva hubungan antara stabilitas enzim terhadap penyimpanan pada suhu ruangdengan aktivitas enzim α-amilase amobil (diukur pada kondisi reaksi, enzim bebas pH = 7; T = 55oC; t = 70 menit; enzim amobil pH = 5,5; T = 90 menit; t = 80 menit).
Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa keunggulan dari amobilisasi enzim adalah
enzim amobil dapat digunakan berulang kali, tetapi tentu saja dengan aktivitas yang menurun.
Penurunan aktivitas enzim α-amilase amobil pada pemakain berulang dapat dilihat pada
Gambar 7. Penurunan aktivitas ini disebabkan oleh faktor tidak kuatnya ikatan antara enzim
dengan bahan pendukung, sehingga terjadi pelepasan enzim selama pemakaian. Hal ini seperti
dikatakan oleh Chibata (1978) bahwa kelemahan metode adsorbsi adalah lemahnya ikatan
antara enzim dengan bahan pendukung.
21
Akt
ivit
as
Un
it (
un
it/m
lx10-2
575451484542393633302724211815129630
0 1 2 3 4 5 6 7
Pemakaian
Gambar 5. Kurva hubungan antara stabilitas enzim α-amilase amobil terhadap pemakaian
berulang dengan aktivitas enzim amobil (diukur pada kondisi reaksi pH = 5,5; T = 90oC; t = 80menit
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa amobilisasi
enzim α-amilase dengan bahan pendukung polimer kitin dengan metode adsorpsi fisik dapat
meningkatkan stabilitas enzim dengan penurunan aktivitas enzim yang sangat kecil, yaitu
3,69%. Hasil karakterisasi enzim α-amilase bebas adalah suhu optimum 55oC, pH optimum 7,0,
dan waktu inkubasi optimum 70 menit,dengan aktifitas unit sebesar 48,76 x 10-2 unit/ml. Hasil
karakterisasi enzim α-amilase amobil adalah suhu optimum 90oC, pH optimum 5,5, dan waktu
inkubasi optimum 80 menit, dengan aktivitas unit sebesar 53,33 x 10-2 unit/ml. Stabilitas enzim
α-amilase bebas terhadap penyimpanan pada suhu ruang mengalami penurunan aktivitas
22
sebesar
63,02% setelah hari ke-4 penyimpanan. Sedangkan enzim α-amilase amobil
mengalami penurunan aktivitas sebesar 49,45% setelah hari ke-10 penyimpanan. Stabilitas enzim
α-amilase amobil terhadap pemakaian berulang mengalami penurunan aktivitas sebesar
88,56% setelah pemakaian ke-6.
Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin Dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi Dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan Dan Implikasinya
Terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler
Ransum merupakan faktor penentu terhadap pertumbuhan, disamping bibit dan
tatalaksana pemeliharaan. Optimalitas performan ayam broiler dapat terealisasi bila diberi
ransum bermutu yang memenuhi persyaratan tertentu dalam jumlah yang cukup.
Pemenuhan kebutuhan zat makanan dalam ransum dapat dilakukan dengan
menambahkan imbuhan pakan (feed suplement) guna meningkatkan kualitas dan efisiensi
ransum. Salah satunya adalah pemanfaatan limbah cair ekstraksi kitin dari limbah udang
yang diolah secara kimiawi dan biologis melalui tahapan deproteinasi-demineralisasi.
Proses deproteinasi dan demineralisasi dapat dilakukan secara kimiawi dan biologis. Cara
kimiawi pada tahap deproteinasi menggunakan NaOH, dan pada tahap demineralisasi
menggunakan H2SO4. Adapun cara biologis pada tahap deproteinasi menggunakan
bakteri Bacillus licheniformis, dan pada tahap demineralisasi menggunakan kapang
Aspergillus niger. Produk cair ekstraksi kitin tersebut digunakan sebagai imbuhan pakan
pada ransum ayam broiler.
Penelitian telah dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Non Ruminansia dan
Industri Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Jatinangor-
23
Sumedang selama lima bulan, yaitu dari Bulan Mei sampai dengan Oktober 2006. Tujuan
penelitian adalah untuk mendapatkan kondisi proses (dosis zat kimia atau mikroba dan
lama proses pengoalhan) yang optimal pada tahapan deproteinas-i deminerlisasi secara
kimiawi dan biologis terhadap protein dan mineral terlarut dari ekstraksi kitin. Produk
ekstraksi kitin dijadikan imbuhan pakan untuk mendapatkan tingkat penggunaan yang
optimal dalam ransum terhadap nilai kecernaan dan performan ayam broiler. Percobaan
dilakukan dalam tiga tahap dengan menggunakan metode eksperimental di laboratorium.
Tahap pertama, menggunakan rancangan tersarang (3X3) yang diulang 3 kali. Tahap
kedua dan ketiga, menggunakan rancangan acak lengkap, terdiri atas 8 perlakuan dan
diulang 4 kali. Peubah yang diamati pada tahap pertama: kandungan protein, kalsium dan
fosfor terlarut produk cair ekstraksi kitin; tahap kedua: kecernaan bahan kering, protein
dan bahan organik ransum; tahap ketiga: konsumsi ransum, pertambahan berat badan dan
konversi ransum ayam broiler. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan
perbedaan antar perlakuan diuji dengan uji jarak berganda Duncan. Kesimpulan hasil
penelitian: Ekstaksi kitin limbah udang secara biologis melalui proses deproteinasi oleh
Bacillus licheniformis pada dosis 4% selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan
demineralisasi oleh Aspergillus niger pada dosis 2% selama 48 jam menghasilkan protein
dan mineral terlarut terbaik. Produk cair ekstraksi kitin secara biologis dapat dijadikan
imbuhan pakan, dan digunakan sebesar 3% dalam ransum ayam broiler untuk
menghasilkan nilai kecernaan dan performan yang optimal.
24
DAFTAR PUSTAKA
A b u n,. T. Aisjah, dan D. Saefulhadjar, 2006. Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin Dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi Dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan Dan Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler. Universitas Padjadjaran. www.pustaka ilmiah.com
Krissetiana H., 2004. Kitin dan Kitosan dari Limbah Udang. www.suara Merdeka.com di akses 1 Desember 2009
Laila A., dan J. Hendri, 2008. Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim Α-Milase. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008
Rochima E., 2006. Karakterisasi Kitin Dan Kitosan Asal Limbah Rajungan Cirebon
Jawa Barat. www.google.com
Rahayu S., 2004. Karakteristik Biokimiawi Enzim Termostabil. Penghidrolisis Kitin. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian Bogor. Posted 21 December 2004
25