UPAYA PERENCANAAN KAWASAN INDUSTRI TERPADU DI …
Transcript of UPAYA PERENCANAAN KAWASAN INDUSTRI TERPADU DI …
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 79
UPAYA PERENCANAAN KAWASAN INDUSTRI TERPADU DI KABUPATEN BREBES SEBAGAI IMPLIKASI PELAKSANAAN
OTONOMI DAERAH
Oleh
Suemy Suemy
Universitas Sultan Fatah (UNISFAT) Demak Jawa Tengah
PENDAHULUAN Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
sebagai sub-sistim pemerintahan negara, dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat (UU No. 33 tahun 2004). Sebagai daerah otonomi daerah mempunyai wewenang dan tanggungjawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat. Prinsip dasar pemberian otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan bahwa daerahlah yang mengetahui kebutuhan dan standar pelayanan bagi masyarakat di daerahnya. Atas dasar pertimbangan ini, maka pemberian otonomi daerah diharapkan mampu memacu
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pada akhirnya.
Salah satu sektor yang berperan dalam perekonomian secara global adalah sektor industri, oleh karena itu pembangunan kawasan industri di daerah diharapkan dapat meningkatkan perekonomian daerah setempat yang berdampak pada peningkatan perekonomian nasional.
Berawal dari pemikiran tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Brebes dalam hal ini melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah merencanakan Kawasan Industri Terpadu (KIT) sebagai upaya peningkatan pendapatan daerah dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah yang akan berdampak pada
peningkatan perekonomian di daerah dan juga nasional.
Kawasan Industri Terpadu di
Kabupaten Brebes diperlukan karena
dalam jangka panjang kawasan industri yang saat ini berlokasi di kota - kota
besar pada waktu yang akan datang akan
mengalami fase jenuh, disamping itu
daerah Kabupaten Brebes dan sekitarnya
memerlukan adanya akses yang dapat
membuka sekaligus memicu
pertumbuhan perekonomian daerah. Di Kabupaten Brebes sebelumnya
sudah dialokasikan lahan untuk Kawasan
Industri Terpadu yaitu di Desa Cimohong Kecamatan Bulakamba. Namun karena
kurangnya sosialisasi serta infrastruktur
pendukung maka sampai saat ini belum ada investor yang tertarik untuk
menanamkan modalnya di kawasan
tersebut.
TUJUAN Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah: a. Mengetahui dampak
pengembangan Kawasan Industri Terpadu Kabupaten Brebes dari sisi ekonomi, infrastruktur, teknis dan lingkungan;
b. Mengetahui hasil Analisa Mengenai
Dampak Lingkungan Pengembangan Kawasan Industri Terpadu Kabupaten Brebes;
c. Merumuskan kebijakan model / pola kerjasama investasi infrastruktur yang sesuai dan perlu dikembangkan di Kawasan Industri
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 80
Terpadu Kabupaten Brebes;
d. Mengembangkan pengaturan dan kelembagaan yang diperlukan dalam pengembangan Kawasan Industri Terpadu Kabupaten Brebes.
KAJIAN TEORI
1). LANDASAN HUKUM Landasan hukum dalam penyusunan Perencanaan Kawasan Industri Terpadu Kabupaten Brebes antara lain : a. Undang-undang Nomor 5 Tahun
1984 tentang Perindustrian; b. Undang-undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
c. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
d. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
e. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
f. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah;
g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
h. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Industri;
i. Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;
j. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri;
k. Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 15 Tahun 2001 tentang Evaluasi dan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Brebes;
l. Peraturan Daerah Kabupaten
Brebes Tahun Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kemitraan Daerah;
m. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun
2006 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;
n. Serta produk hukum lainnya yang
dapat menjadi landasan hukum dalam penyusunan Pekerjaan Perencanaan Kawasan Industri Terpadu Kabupaten Brebes.
2). DEFINISI INDUSTRI
A. TERMINOLOGI INDUSTRI Kata industri berasal dari kata dalam bahasa Inggris yakni “Industry”. Dalam kamus “The Scribner Bantam English Dictionary”, cetakan ke – 18 tahun 1900, tertera sebagai berikut, Industri berasal dari kata latin “industria” yang bermakna :
a. Siap melaksanakan suatu
tugas pekerjaan atau bidang usaha atau karyawan yang siap melakukan atau menerapkan sesuatu tugas atau pekerjaan yang bersifat tetap, terus menerus dan secara teratur (Steady application to a task, business or labor)
b. Industri adalah berbagai bentuk kegiatan ekonomi (Any form of economic activity)
c. Industri adalah perusahaan-perusahaan yang produktif menghasilkan sesuatu barang atau jasa yang dapat dijual (Productive enterprises generally)
d. Industri adalah tempat atau
pekerjaan yang produktif (Productive occupations as distingnished from finance and commerce)
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 81
e. Industri adalah cabang pekerjaan atau
perdagangan yang khusus (Particular branch of work
or trade)
B. PERMAHAMAN
PENGERTIAN-
PENGERTIAN YANG TERKAIT DENGAN
INDUSTRI MENURUT PERATURAN
PERUNDANGAN RI
Beberapa pemahaman pengertian yang terkait dengan industri menurut
peraturanperundangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Perindustrian adalah
tatanan dan segala kegiatan yang bertalian dengan kegiatan industri.
b. Industri adalah kegiatan
ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.
c. Kelompok industri
adalah bagian-bagian utama kegiatan industri, yakni kelompok industri hulu atau juga disebut kelompok industri dasar, kelompok industri hilir, dan kelompok industri kecil.
d. Cabang industri adalah
bagian suatu kelompok industri yang mempunyai
ciri umum yang sama
dalam proses produksi.
e. Jenis industri adalah
bagian suatu cabang
industri yang mempunyai
ciri khusus yang sama
dan/atau hasilnya bersifat
akhir dalam proses
produksi.
f. Bidang usaha industri adalah lapangan kegiatan yang bersangkutan dengan cabang industri atau jenis industri.
g. Perusahaan industri adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan di bidang usaha industri.
h. Rancang bangun industri adalah kegiatan industri yang berhubungan dengan perencanaan pendirian industri/pabrik secara keseluruhan atau bagian-bagiannya.
i. Perekayasaan industri
adalah kegiatan industri yang berhubungan dengan perancangan dan pembuatan mesin/peralatan pabrik dan peralatan industri lainnya.
j. Standar industri adalah
ketentuan-ketentuan terhadap hasil produksi industri yang di satu segi menyangkut bentuk, ukuran, komposisi, mutu, dan lain-lain serta di segi lain menyangkut cara
mengolah, cara menggambar, cara menguji dan lain-lain.
k. Standardisasi industri
adalah penyeragaman dan
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 82
penerapan dari standar
industri.
l. Tatanan industri adalah
tertib susunan dan
pengaturan dalam arti
seluas-luasnya bagi
industri.
m. Kawasan industri adalah
kawasan tempat pemusatan kegiatan
industri yang dilengkapi dengan prasarana dan
sarana penunjang yang
dikembangkan dan
dikelola oleh Perusahaan
Kawasan Industri yang
telah memiliki Izin Usaha
Kawasan Industri.
n. Kawasan peruntukan
industri atau zona industri adalah bentangan lahan
yang diperuntukan bagi kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata
Ruang Wilayah yang
ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah
Kabupaten/ Kota yang
bersangkutan.
o. Kompleks Industri adalah suatu konsentrasi kegiatan sejumlah
“industri di suatu tempat yang diantaranya banyak
yang mendasarkan pilihan
lokasinya yang saling
berdekatan atas
pertimbangan adanya
saling keterkaitan
teknis/ekonomis atau integrasi hulu-menengah-
hilir.
p. Sentra industri adalah
sentra industri kecil yang
merupakan sekumpulan
kegiatan industri kecil
sejenis yang lokasinya
mengelompok pada jarak
yang tidak terlalu
berjauhan.
q. Kawasan Industri Terpadu merupakan
kawasan pusat kegiatan
industri yang didukung
dengan penyediaan
fasilitas dan utilitas
internal, yang juga
menyatu dengan sistem
utilitas eksternal (kawasan) seperti pembangkit tenaga listrik,
pembuangan limbah dan
sistem transportasi, serta
dilengkapi dengan
pelayanan prosedur yang
cepat dan mudah untuk
semua perijinan investasi, industri perdagangan, ekspor-impor, pajak
maupun tenaga kerja.
Pembangunan industri terpadu dimaksudkan untuk mewujudkan suatu kompleks industri yang didalamnya terdapat unsur riset, inovasi, pabrik, pemasaran dan penjualan atau distribusi. Pengembangan industri
manufaktur pada beberapa sub
sektor yang memenuhi satu
atau lebih kriteria di antaranya
menyerap banyak tenaga kerja,
memenuhi kebutuhan dasar
dalam negeri seperti makanan-
minuman dan obat-obatan,
selain itu juga mengolah hasil
pertanian dalam arti luas
termasuk perikanan dan
sumber-sumber daya alam lain
dalam negeri, serta memiliki
potensi pengembangan ekspor.
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 83
Dengan dibangunnya oleh perusahaan lain
kawasan industri terpadu disebut kelompok
diharapkan akan mampu industri hulu.
menampung tenaga kerja b. Industri Hilir
sesuai dengan yang Industri hilir adalah
dibutuhkan oleh kawasan kelompok perusahaan
industri tersebut. Di samping yang menggunakan
itu, pencemaran dari limbah produk perusahaan
industri yang berada disekitar lain sebagai bahan
kawasan dapat dilokalisir dan baku untuk kemudian
dipantau tingkat diproses menjadi
pencemarannya, sehingga barang setengah jadi
tidak merugikan masyarakat atau barang jadi.
sekitarnya. Misalnya: Perusahaan
(Pengertian Kawasan X menggunakan
Industri Terpadu diolah, produk perusahaan Y,
bersumber pada Depkominfo, maka perusahaan X
Depdagri dan Disperindag, merupakan pabrik
Tahun 2008) industri hilir dari
C. KLASIFIKASI INDUSTRI perusahaan Y.
2. Klasifikasi
Industri
SECARA UMUM
Berdasarkan Hubungan
1. Klasifikasi Industri Horizontal
Berdasarkan Hubungan Pengertian horizontal di
Vertikal
sini adalah peninjauan
Hubungan vertikal adalah
atas
dasar hubungan
adanya hubungan dalam
sejajar antara produk
bentuk penggunaan
yang dihasilkan masing-
produk hasil akhir suatu
masing perusahaan.
kelompok perusahaan
sebagai bahan baku pada Contoh:
kelompok perusahaan Perusahaan H1, H2, dan
lain. Misalnya hasil H3 merupakan hotel
barang yang dibuat suatu motel, dan losmen,
perusahaan X dijadikan sedangkan perusahaan
bahan baku oleh A1, A2 dan A3 masing-
perusahaan lain. Dalam masing merupakan
hal ini, antara perusahaan perusahaan agen
X dengan perusahaan Y penjualan tiket pesawat,
mempunyai hubungan perusahaan jasa
vertikal. Hubungan angkutan pariwisata dan
vertikal tersebut terdiri tempat rekreasi.
dari: Industri Hulu dan Perusahaan H1, H2, H3,
Industri Hilir. A1, A2, dan A3
a. Industri Hulu merupakan kelompok
Perusahaan yang industri jasa pariwisata.
membuat produk yang 3. Klasifikasi Industri Atas
dapat
dipergunakan
Dasar Skala Usahanya
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 84
Selain klasifikasi industri
seperti dipaparkan di atas, ternyata industri pun dapat diklasifikasikan
atas dasar skala atau
besar kecilnya usaha.
Adapun besar kecilnya
suatu usaha bisnis
ditentukan oleh besar
kecilnya modal yang
ditanamkan. Oleh karena
itu klasifikasi industri berdasarkan skala usaha
dapat dibagi menjadi 3
kriteria sebagai berikut :
a. Industri skala usaha
kecil (small scale
industry)
b. Industri skala usaha menengah (medium
scale industry) c. Industri skala usaha
besar (large scale
industry)
Kasifikasi industri atas
dasar skala usahanya dapat dilakukan berdasarkan modal usaha
atau jumlah tenaga kerja
yang ada. Berdasarkan kriteria Disperindag, penggolongan industri berdasarkan skala usahanya dapat dibedakan sebagai berikut :
Usaha kecil bila modal usahanya di bawah Rp 500 juta,
Usaha menengah bilamodal usahanya antara Rp 500 juta s/d 1 milyar,
Usaha besar bila
modal usahanya diatas Rp 1 juta.
(Kriteria ini akan
berubah sesuai dengan perubahan
nilai uang)
Berdasarkan jumlah
tenaga kerja, penggolongan industri dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
Industri Rumah
Tangga adalah usaha kerajinan rumah tangga yang mempunyai pekerja
antara 1-4 orang.
Industri Kecil adalah perusahaan yang mempunyai pekerja 5-19 orang
Industri Sedang
adalah perusahaan yang mempunyai pekerja 20-99 orang
Industri Besar adalah
perusahaan yang mempunyai pekerja 100 orang atau lebih
D. TUJUAN
PEMBANGUNAN INDUSTRI
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984
Pembangunan industri bertujuan untuk :
a. Meningkatkan
kemakmurandan
kesejahteraan rakyat secara adil dan merata dengan memanfaatkan dana, sumber daya alam, dan/atau hasil budidaya serta dengan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup;
b. Meningkatkan
pertumbuhan ekonomi
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 85
secara bertahap, mengubah
struktur perekonomian ke arah yang lebih baik, maju,
sehat, dan lebih seimbang
sebagai upaya untuk
mewujudkan dasar yang
lebih kuat dan lebih luas bagi pertumbuhan
ekonomi pada umumnya,
serta memberikan nilai
tambah bagi pertumbuhan
industri pada khususnya;
c. Meningkatkan kemampuan dan penguasaan serta mendorong terciptanya teknologi yang tepat guna
dan menumbuhkan kepercayaan terhadap kemampuan dunia usaha nasional;
d. Meningkatkan
keikutsertaan masyarakat dan kemampuan golongan ekonomi lemah, termasuk pengrajin agar berperan secara aktif dalam pembangunan industri;
e. Memperluas dan
memeratakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha,serta
meningkatkan peranan
koperasi industri;
f. Meningkatkan penerimaan devisa melalui peningkatan ekspor hasil produksi nasional yang bermutu,disamping penghematan devisa melalui pengutamaan pemakaian hasil produksi dalam negeri, guna mengurangi ketergantungan kepada luar negeri;
g. Mengembangkan pusat- pusat pertumbuhan
industri yang menunjang pembangunan daerah
dalam rangka pewujudan
Wawasan Nusantara;
h. Menunjang dan
memperkuat stabilitas
nasional yang dinamis
dalam rangka
memperkokoh ketahanan
nasional. E. PENGEMBANGAN
KAWASAN INDUSTRI 1. Konsep Pengembangan
Kawasan Perwujudan strategi pembangunan daerah
bertujuanuntuk meningkatkan kinerja
pembangunandan memperoleh hasil yang lebih optimal terletak padakemampuan
aktualisasi konsep pembangunan wilayah secara utuh dan terpadu (comprehensive and
integrated area development concept). Pendekatan pembangunan wilayah yang utuh dan terpadu
akan mampu mewujudkan efisiensi dan efektivitas fungsi perencanaan pembangunan daerah. Dengan kata lain, pendekatan tersebut
menganut azas
keseluruhan sektor (comprehensive) secara terpadu, bukan lagi penjumlahan (agregatif)
masing-masing sektor secara terpisah.
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 86
Dengan konsep demikian Untuk menghadapi
maka pelaksanaan persaingan di pasar
pembangunan masing- global maupun pasar
masing sektor secara domestik serta
otomatis akan memanfaatkan
berakumulasi keunggulan lokasional
(bersinergi) dalam (locational advantage),
mendukung sasaran pengembangan industri
pembangunan wilayah kita harus diarahkan dan
yang menjadi konsep dipersiapkan melalui
induknya. Disamping itu, pembentukan kawasan
diantara masing-masing industri guna mendorong
sektor secara signifikan peningkatan kemampuan
akan saling terkait bersaing secara
(linkage), mengingat menyeluruh, dari
semua sektor berada kemampuan bersaing
dalam satu kerangka berdasarkan factor driven
pembangunan wilayah ke arah investment driven
yang utuh. Ada tiga dan innovation driven.
indikator keberhasilan Untuk itu, semua
pengembangan wilayah stakeholders dalam
yang dapat dilihat industri harus
sebagai kesuksesan dikelompokkan dalam
pembangunan daerah, suatu lokasi untuk
adalah produktivitas, memfasilitasi dan
efisiensi, partisipasi mendukung proses
masyarakat, yang investasi dan inovasi. Ini
semuanya dapat berarti harus ada
menjamin interaksi antara industri
kesinambungan utama (core industry),
pelaksanaan suatu penyedia bahan baku,
program di suatu wilayah industri pendukung, serta
atau kawasan. fasilitas pendukung
Dalam pengembangan lainnya, seperti layanan
kawasan industri, Riset dan Pengembangan
terdapat beberapa (R & D), layanan diklat,
pengertian yang terkait layanan distribusi dan
dengan kawasan ini, transpotasi, layanan
yaitu : finansial, dan sebagainya.
a. Zone Industri; Untuk
b. Kawasan Industri;
mengakomodasikan
c. Kawasan Berikat;
semua ini, Kluster
d. Industrial Estate;
Industri (industrial
e. Lingkungan
Industri
cluster) adalah salah satu
Kecil;
konsep yang dapat
f. Kluster Industri
digunakan. Industri dan
2. Konsep Pengembangan stakeholders berada pada
Kawasan IndustrI satu lokasi geografi
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 87
untuk menghadapi globalisasi dan memanfaatkan efek
keterkaitan (linkage) dan networking secara
interaktif.
Sehingga pengertian
kluster industri adalah
pengelompokan industri yang saling berhubungan
secara interaktif yang merupakan aglomerasi
perusahaan-perusahaan yang membentuk
patnership, baik sebagai industri pendukung
maupun sebagai industri terkait.
Manfaatnya untuk
mendorong spesialisasi
produksi pada suatu daerah/wilayah dan
mendorong keunggulan komparatif menjadi
keunggulan kompetitif.
Keunggulan dibentuknya
kluster industri adalah
meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya
transpotasi dan transaksi, mengurangi biaya sosial, menciptakan aset secara kolektif, dan
meningkatkan
terciptanya inovasi.
3. Konsentrasi Spasial Kawasan Industri Konsentrasi spasial merupakan
pengelompokkan dari aktivitas
ekonomi secara spasial dalam
suatu lokasi tertentu dan saling terkait. Hal ini dapat ditemui pada
konsentrasi industri tekhnologi
tinggi di Silicon Valley (Ellison
dan Glaeser, 1997), Konsentrasi
spasial pada kota tepi air (Fujita
dan Mori, 1996), kluster industri
(Porter, 1990; 1998 a; 1998 b), serta aglomerasi perkotaan (Fujita dan Thiesse, 2002). Krugman (1991) menyatakan bahwa konsentrasi spasial merupakan aspek yang ditekankan dari aktivitas ekonomi secara geografis dan dan sangat penting
dalam penentuan lokasi industri.
Menurut Krugman, dalam
konsentrasi aktivitas ekonomi secara spasial, terdapat 3 hal yang
saling terkait yaitu interaksi antara
skala ekonomi, biaya transportasi dan permintaan. Untuk
mendapatkan dan meningkatkan
kekuatan skala ekonomis,
perusahaan-perusahaan cenderung
berkonsentrasi secara spasial dan
melayani seluruh pasar dari suatu
lokasi. Sedangkan untuk meminimalisasi biaya transportasi, perusahaan
perusahaan cenderung berlokasi pada wilayah yang memiliki permintaan lokal yang besar, akan
tetapi permintaan lokal yang besar cenderung berlokasi di sekitar terkonsentrasinya aktifitas ekonomi, seperti komplek industri maupun perkotaan. Menurut Weber (Fujita et
al,1999;26-27), ada 3 faktor yang
menjadi alasan perusahaan pada
industri dalam menentukan
lokasi, yaitu:
A) Perbedaan biaya transportasi. Produsen cenderung mencari lokasi yang memberikan keuntungan berupa penghematan biaya transportasi serta dapat mendorong efisiensi dan efektivitas produksi. Dalam perspektif yang lebih luas,Coase(1937) mengemukakan tentang penghematan biaya transaksi (biaya transportasi, biaya
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 88
transaksi, biaya kontrak, biaya koordinasi dan biaya komunikasi) dalam penentuan lokasi perusahaan.
B) Perbedaan biaya upah.
Produsen cenderung mencari
lokasi dengan tingkat upah
tenaga kerja yang lebih rendah
dalam melakukan aktivitas
ekonomi sedangkan tenaga
kerja cenderung mencari lokasi
dengan tingkat upah yang lebih
tinggi. Adanya suatu wilayah
dengan tingkat upah yang tinggi
mendorong tenaga kerja untuk
terkonsentrasi pada wilayah
tersebut. Fenomena ini dapat
ditemui pada kota -kota besar
dengan keanekaragaman tinggi
seperti Jakarta maupun kota
yang terspesialisasi seperti
Kudus maupun Kediri.
C) Keuntungan dari konsentrasi industri secara spasial. Konsentrasi spasial akan menciptakan keuntungan yang berupa penghematan lokasi dan penghematan urbanisasi. Penghematan lokasi terjadi apabila biaya produksi perusahaan pada suatu industri menurun ketika produksi total dari industri tersebut meningkat (terjadi increasing return of scale). Hal ini terjadi pada perusahaan pada industri yang berlokasi secara berdekatan. Penghematan urbanisasi terjadi bila biaya produksi suatu perusahaan menurun ketika produksi seluruh perusahaan pada berbagai tingkatan aktivitas ekonomi dalam wilayah yang sama meningkat. Penghematan karena berlokasi di wilayah yang sama ini terjadi akibat skala perekonomian kota yang
besar, dan bukan akibat skala suatu jenis industri. Penghematan urbanisasi telah
memunculkan perluasan wilayah metropolitan (extended metropolitan regions).
Dalam perspektif yang sedikit berbeda tentang keuntungan konsentrasi spasial, Marshal (1920) mengemukakan pemikiran tentang externalitas positif dan menjelaskan mengapa produsen cenderung berlokasi dekat dengan produsen lain (dorongan untuk berlokasi dekat dengan perusahaan lain disebut dengan agglomerasi). Menurut Marshal, konsentrasi spasial didorong oleh ketersediaan tenaga kerja yang terspesialisasi dimana berkumpulnya perusahaan pada suatu lokasi akan mendorong berkumpulnya tenaga kerja yang terspesialisasi, sehingga
menguntungkan perusahaan dan
tenaga kerja. Selain itu,
berkumpulnya perusahaan atau
industri yang saling terkait akan
dapat meningkatkan efisiensi
dalam pemenuhan kebutuhan input
yang terspesialisasi yang lebih baik
dan lebih murah. Yang terakhir,
Marshal menyatakan bahwa jarak
yang tereduksi dengan adanya
konsentrasi spasial akan
memperlancar arus informasi dan
pengetahuan (knowledge spillover)
pada lokasi tersebut. Pandangan
Marshal tentang industri yang
terkonsentrasi di suatu tempat dan
saling terkait disebut industrial
cluster atau industrial district.
Menurut Marshal, kluster industri
pada dasarnya merupakan
kelompok aktifitas produksi
aktifitas produksi yang amat
terkonsentrasi secara spasial dan
kebanyakan
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 89
terspesialisasi pada satu atau dua industri utama saja.
Senada dengan pendapat Marshal,
Porter menyatakan bahwa kluster
adalah perusahaan-perusahaan
yang yang terkonsentrasi secara
spasial dan saling terkait dalam
industri. Perusahaan-perusahaan
dalam industri yang terkonsentrasi
secara spasial tersebut juga terkait
dengan institusi-institusi yang
dapat mendukung industri secara
praktis. Kluster meliputi kumpulan
perusahaan dan hal yang terkait
dalam industri yang penting dalam
kompetisi. Kluster selalu
memperluas aliran menuju jalur
pemasaran dan konsumen, tidak
ketinggalan juga jalur menuju
produsen produk komplementer,
dan perusahaan lain dalam industri
yang terkait, baik terkait dalam
keahlian, teknologi maupun input.
Dalam kluster juga tercakup
pemerintah dan institusi yang lain
(Porter,1990; 1998 a; 1998 b).
Kluster menginterprestasikan jaringan yang terbentuk dan menjadi semakin kokoh dengan sendirinya tidak hanya oleh perusahaan dalam kluster tetapi oleh organisasi yang lain yang terkait sehingga menciptakan kolaborasi dan kompetisi dalam tingkatan yang tinggi sehingga dapat meningkatkan daya saing
berdasarkan keunggulan kompetitif. (Raines P, 2002). Ada 3 bentuk Kluster berdasarkan perbedaan tipe dari eksternalitas dan perbedaan tipe dari orientasi dan intervensi kebijakan (Kolehmainen,2002).
1) The industrial districts cluster.
Industrial district cluster atau yang biasa disebut dengan Marshalian Industrial District
adalah kumpulan dari perusahaan pada industri yang terspesialisasi dan terkonsentrasi secara spasial dalam suatu wilayah (Marshal,1920). Pandangan Marshal mengenai industrial district masih relevan sampai saat ini dan secara empiris masih dapat dijumpai. Dalam perpektif lebih modern (Krugman,1991; Porter,1990), industrial district cluster berbasis pada eksternalitas sebagai berikut: a) Penurunan biaya transaksi
(misalnya,biaya
komunikasi dan transportasi).
b) Tenaga kerja yang terspesialisasi (misalnya, penurunan biaya rekruitment tenaga kerja yang terspesialisasi dan penurunan biaya untuk pengembangan sumber daya manusia).
c) Ketersediaan sumber daya,
input dan infrastruktur yang spesifik dan terspesialisasi (misalnya pelayanan spesial dan tersedia sesuai dengan kebutuhan lokal).
d) Ketersediaan ide dan
informasi yang maksimal (misalnya mobilitas tenaga kerja, knowledge spillover, hubungan informal antar perusahaan).
Intinya, industrial district, terjadi secara alamiah dan bersifat “open membership”. Dalam industial district tidak memerlukan investasi dalam membangun relationship. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kluster ini dapat muncul tanpa memerlukan usaha untuk
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 90
memunculkannya. Selain itu Ciri-ciri dari industrial district dapat teridentifikasikan dalam area metropolitan dan kota - kota lain yang memprodusi jasa dalam skala yang tinggi. (Gordon dan McCann, 2000).
2) The industrial complex
cluster. Industrial complex cluster
berbasis pada hubungan antar perusahaan yang teridentifikasi dan bersifat stabil yang
terwujud dalam perilaku spasial dalam suatu wilayah. Hubungan
antar perusahaan sengaja dimunculkan untuk
membentuk jaringan
perdagangan dalam kluster.
Model kompleks industri pada
dasarnya lebih stabil daripada
model distrik industri, karena
diperlukannya investasi dalam
menjalin hubungan antara
perusahaan – perusahaan dalam
kluster ini, dimana hubungan
yang terjadi berdasarkan atas
pertimbangan yang mantap
dalam pengambilan keputusan.
Dengan kata lain kluster ini
(komplek industri) terjadi
karena perusahaan -
perusahaan ingin meminimalkan biaya transaksi spasial (biaya transportasi dan komunikasi) dan memiliki tujuan - tujuan tertentu baik secara implisit ataupun eksplisit dengan menempatkan perusahaannya dekat dengan perusahaan-perusahaan lain. Dalam beberapa kasus, terjadinya kluster industri didorong oleh adanya suatu perusahaan yang mengekspor produk akhir ke pasar internasional, yang menjadi mesin penggerak bagi
perusahaan - perusahaan lain untuk berada pada kluster tersebut.
Komplek industri tidak
terbangun secara alami dan
berbasis pada hubungan saling
ketergantungan yang tidak
simetris antara perusahaan besar
dan kecil. Keadaan ini dapat
menghalangi penyerapan dan
pengembangan inovasi dan
menempatkan perusahaan kecil
pada kedudukan yang yang
rendah dalam menciptakan
investasi dalam penelitian dan
pengembangan serta pemasaran. Dominasi dari perusahaan besar
yang menjadi motor dalam kluster tersebut dapat berdampak negatif bagi iklim usaha dan peluang pada kluster
secara keseluruhan. 3) The Social Network cluster.
Social Network cluster menekankan pada aspek sosial pada aktifitas ekonomi dan norma - norma institusi dan
jaringan. Model ini berdasarkan pada kepercayaan dan bahkan hubungan informal antar personal. hubungan
interpersonal dapat
menggantikan hubungan
kontrak pasar atau hubungan
hirarki organisasi pada proses
internal dalam kluster. Harrison
(1992) menyatakan bahwa
konsentrasi spasial pada kluster
ini merupakan konteks alami
yang terbentuk karena adanya
hubungan informal dan modal
sosial yang berupa kepercayaan,
karena hal tersebut yang
membentuk dan menjaga
melalui persamaan sosial dan
sejarah dan terus menerus
melakukan kegiatan bersama
dan saling berbagi.
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 91
Perlu diingat bahwa jaringan sosial antar perusahaan tidak perlu dibentuk dalam ruang lingkup regional ataupun lokal karena kedekatan wilayah dan budaya dapat memfasilitasi terbentuknya proses tersebut.
DAMPAK PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI Kawasan industri adalah suatu zona/wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai kegiatan industri. Di dalam zona perindustrian tersebut, terdapat industri yang sifatnya individual (yang berdiri sendiri) dan industri - industri yang sifatnya mengelompok dalam kawasan industri (Industrial Estate). Di Indonesia sendiri, pada tahun 2005 sudah terdapat 203 kawasan industri yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia dengan luas ±67.000 Ha. Dari jumlah tersebut baru beroperasi 64 kawasan dengan total area ±20.000 Ha, dan rata-rata tingkat pemanfaatan ±44% yang di dalamnya terdapat ±60.000 industri. Pemerintah sendiri telah banyak
mengeluarkan kebijakan - kebijakan
untuk mendorong terciptanya Kawasan
Industri di berbagai daerah - daerah
untuk menarik para investor asing untuk
menanamkan modalnya di kawasan
perindustrian yang sudah ada. Salah satu
kebijakan pemerintah adalah dengan
strategi pengembagan FTZ (Free Trade
Zone) atau SEZ (Special Economic
Zone). Dimana kebijakan ini
diberlakukan di suatu kawasan Industri
berupa pemberian fasilitas dan insentif
fiskal yang amat menarik dan bersifat
khusus sehingga investor dapat tertarik
untuk membuka pabriknya pada kawasan
industri tersebut. Selain itu usaha
pemerintah yang lain untuk
pengembangan kawasan Industri adalah
dengan pembangunan kelengkapan
infrastruktur yang menunjang usaha -
usaha produksi di kawasan industri ini.
Setiap perkembangan yang terjadi mempunyai dampak atau pengaruh terhadap lingkungan disekitarnya maka dalam hal ini perkembangan kawasan mempunyai dampak terhadap perkembangan kota disekitarnya. Keseriusan pemerintah dalam pengembangan Kawasan Industri bukanlah suatu hal yang mengherankan melihat dampak positif/keuntungan yang dapat diperoleh dari pengembangan Kawasan Industri bagi perkembangan lingkungan di sekitarnya. Keuntungan pengembangan kawasan industri : a. Memacu pertumbuhan Ekonomi
yang lebih tinggi. Contoh terhadap hal ini dapat dilihat di Propinsi Banten, dimana pencapaian pertumbuhan ekonomi Propinsi Banten pada akhir 2006 mencapai 6,24%, atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi rata - rata nasional, sedangkan PDRB (Produk Domestik Nasional Bruto) daerah pada tahun 2006 mencapai 94 trilliun. Besarnya PDRB ini berasal dari sektor industri yang memberikan kontribusi hingga 49,75%. Pertumbuhan ekonomi
Propinsi Banten hampir setengahnya dipengaruhi oleh
sektor industri, bahkan pertumbuhan ekonomi daerahnya dapat melebihi perumbuhan ekonomi rata - rata nasional, yang tentu saja tidak dapat terlepas dari peranan sektor industri.
b. Kemudahan dalam hal penyediaan
sarana infrastruktur yang diperlukan oleh pabrik - pabrik dalam melakukan produksinya. Dengan menggabungkan beberapa industri dalam satu kawasan, maka pemenuhan fasilitas sarana dan prasarana yang menunjang dan diperlukan untuk proses industri
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 92
dapat dipenuhi lebih mudah karena dikumpulkan dalam satu kawasan. Berbeda halnya apabila tidak terdapat kawasan industri, dimana lokasi industri yang satu dengan yang lain terletak berjauhan, maka sarana yang diperlukan untuk proses produksi cenderung susah dilakukan dan lebih mahal karena penggunaannya yang cenderung untuk keperluan sendiri. Namun dengan adanya kawasan industri yang merupakan
aglomerasi/pengumpulan dari beberapa Industri, maka pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana industri dapat lebih mudah, karena dikelompokkan pada satu kawasan, dan lebih murah sifatnya, karena dapat digunakan secara bersama - sama.
c. Membuka lapangan pekerjaan
baru. Dengan bertumbuhnya Kawasan
Perindustrian, maka akan membuka
lapangan pekerjaan baru di pabrik
yang dapat menyerap ribuan
buruh/tenaga kerja. Dengan
tambahnya lapangan kerja tersebut,
maka pendapatan masyarakat dapat
menjadi meningkat yang disertai
juga dengan peningkatan SDM-nya.
Masyarakat akan memperoleh
pekerjaan dan memperoleh pelatihan
dan peningkatan pengetahuan
dengan bekerja di pabrik - pabrik
perindustrian. Untuk bekerja di suatu
pabrik, pekerja tentu saja harus
memiliki keahlian dan keterampilan.
Untuk memenuhi hal ini, maka salah
satu usaha yang dilakukan
pemerintah berupa Program Magang
di Kawasan Industri yang
dikhususkan kepada para masyarakat
di sekitar lingkungan Kawasan
Industri. Dengan program tersebut,
SDM dan ketrampilan masyarakat
diharapkan
dapat meningkat yang nantinya dapat menghasilkan tenaga - tenaga kerja yang terampil dan siap bekerja.
d. Peningkatan pendapatan daerah
melalui pajak daerah. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi suatu daerah maka juga akan meningkatkan pendapatan pajak daerahnya. Dengan bertambahnya pajak daerah, maka
pemerintah dapat lebih mengembangkan pembangunan di sekitar kawasan.
e. Pemudahan pengelolaan
lingkungannya
Pengelolaan limbah secara terintegrasi dengan mudah bisa
dilakukan. Dengan
dikelompokkannya industri dalam satu kawasan, maka AMDAL-nya
berupa AMDAL kawasan, sehingga
lebih mempermudah dalam
pengecekan dan pengontrolan lingkungannya. Pengeloaan limbah
secara terintegrasi (integrated waste
management) dapat dengan mudah
dilakukan sehingga pengontrolannya juga dapat lebih mudah dilakukan.
f. Mengurangi arus urbanisasi.
Masyarakat dari desa tidak lagi hanya menargetkan kota sebagai tempat mencari pekerjaan, tetapi cukup ke Kawasan Industri yang menyediakan lapangan kerja cukup banyak. Para warga kota yang bekerja di Kawasan Industri juga cenderung akan memilih tinggal di daerah Kawasan Industri apabila Kawasan Industri telah menyediakan
fasilitas hunian yang memadai. Sehingga peluang arus transmigrasi
dari kota ke daerah pinggiran kota menjadi semakin besar yang tentu
saja dapat mengurangi kepadatan
penduduk kota sebagai nilai
positifnya.
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 93
Selain memberikan dampak - dampak positif, pengembangan Kawasan Industri juga memiliki dampak - dampak yang negatif. Dampak yang negatif/kerugian ini kebanyakan berkaitan dengan aspek lingkungan. Misalnya saja terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat polusi dan limbah yang dihasilkan dari pabrik - pabrik di Kawasan Industri. Polusi dari pabrik - pabrik di Kawasan Industri ini biasanya berupa polusi udara, air, kebisingan, ataupun tanah, yang umumnya menerima dampak negatif dari polusi ini adalah warga yang tinggal di Kawasan Industri dan di sekitar Kawasan Industri.
METODE PENELITIAN
A. LOKASI Lokasi Perencanaan Kawasan Industri Terpadu Kabupaten Brebes adalah Desa Cimohong Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes.
B. ALAT ANALISIS Menurut Mulyadi (1997: 284)
yang menulis teori investasi yang dalam hal ini dikaitkan dengan
kelayakan program dan epidemologi dan kelayakan ekonomi dari aspek keuangan. Kelayakan ekonomi ditinjau dari
sudut aspek keuangan menggunakan metode yang dilakukan untuk menilai investasi, dilakukan dengan cara:
1. Analisis net present value
(NPV) Analisis ini untuk menilai kelayakan investasi dengan
menghitung selisih antara nilai
sekarang dari penerimaan kas bersih yang akan datang dengan
nilai sekarang investasi awal.
Semakin besar NPV positif,
investasi semakin menguntungkan. NPV dapat
dihitung dengan rumus seperti berikut:
N AT
NPV
(1 K)I
I0
k = discount rate
At = cashflow periode k
N = usia ekonomi 2. Analisis payback period
Analisis ini untuk mengetahui periode yang diperlukan dalam pengembalian investasi seluruhnya. Semakin pendek payback period-nya, proyek akan semakin baik. Payback period dihitung dengan;
(1) Membagi jumlah investasi
dengan penerimaan kas bersih (proceeds) tiap periode, bila proceeds sama setiap periodenya.
(2) Mengurangkan jumlan
investasi dengan penerimaan kas bersih (proceeds) yang diterima, bila besar proceeds tidak sama setiap periodenya.
3. Analisis Return on
Investment (ROI) Analisis ini untuk melihat apakah suatu proyek layak sampai pada tahap pengembangan dan pengujian. Perhitungan ROI dapat ditakukan dengan bermacam-macam cara, salah satunya yang paling terkenal adalah dengan membandingkan penghasilan tahunan rata-rata sesudah pajak dan depresiasi dengan investasi rata-rata.
ROI = E/I ROI
= Return on investment
E = Penghasilan tahunan rata-rata I = Investasi rata-rata yang diperlukan untuk sebuah proyek.
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 94
Pendekatan ini memerlukan Tipe 2 (5920 m2) 2
adanya estimasi tentang unit Rp
kelangsungan hidup yang 9.472.000.000,- / unit diharapkan dari produk Tipe 3 (7000 m2) 2
tersebut dan pendapat tentang unit Rp
kemungkinan penjualan serta 11.200.000.000,- /
biaya yang berkaitan dengan unit produk tersebut setiap 3 ) Kavling Industri Besar
tahunnya. (50%) 4. Analisis hasil pengembalian
(internal rate of return)/IRR Tipe 1 (9700 m2) 13
Yaitu tingkat bunga yang unit Rp
menyamakan nilai sekarang 15.520.000.000,- / arus kas dengan pengeluaran unit
investasi. Tipe 2 (10000 m2) 11
unit Rp
HASIL DAN PEMBAHASAN 16.000.000.000,- / A. Hasil Perhitungan unit
Dalam pembangunan Kawasan Tipe 3 (12000 m2) 2
Industri Terpadu di Desa unit Rp
Cimohong, investasi yang 19.200.000.000,- / dibutuhkan untuk pembangunan unit
kawasan industri Cimohong B. Estimasi penerimaan sewa
adalah sebesar Rp dari beberapa fasilitas
905.159.154.520,- Persewaan Penginapan
Dari investasi tersebut, (unit) Rp 600.000,- didapatkan hasil perhitungan /tahun
kelayakan finansial sebagai Kantor Perbankan (m2)
berikut : Rp 100.000/m2
A. Estimasi harga jual masing- Show Room (m2)
masing Kavling berdasarkan Rp 100.000/m2
skala industrinya: Kantin(m2)
1) Kavling Industri Kecil Rp 100.000/m2
(15%) Minimarket (m2)
Tipe 1 (1920 m2) 1 Rp 100.000/m2
unit Rp Estimasi biaya dalam pengelolaan
3,072,000,000,- / unit kawasan industri tersebut, Tipe 2 (2000 m2) 36 meliputi biaya operasional, biaya
unit Rp pemeliharaan,biaya gaji, biaya
3,200,000,000,- / unit asuransi, biaya depresiasi dan
Tipe 3 (2400 m2) 5 lain-lain.
unit Rp Hasil estimasi cash flow, dengan
3.840.000.000,- / unit asumsi masa konstruksi satu
2) Kavling Industri Sedang tahun, dan umur ekonomis adalah
(35%) 25 ( duapuluh lima) tahun. Tipe 1 (5000 m2) 44 Dengan discount factor 10 %, 12
unit Rp % dan 14 %, didapatkan hasil 8.000.000.000,- / unit sebagai berikut:
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 95
1. Net Present Value : berkembang dengan baik,
a. Df = 10 % : Rp didukung oleh suasana
291.723.259.253.575,- kondusif dari berbagai aspek, b. Df = 12 % : Rp terutama keamanan dan tidak
98.236.030.931.190,- adanya demonstrasi buruh di c. Df = 14 % : Rp Kabupaten Brebes.
(50.159.980.993.680),- B. Rencana Kerja Sama Dengan
2. Internal Rate Return : 13,266 Pemerintah - Swasta
% Investasi merupakan salah satu
3. Benefit Cost Ratio : faktor yang penting untuk
a. Df = 10 % : 1,32 meningkatkan pertumbuhan
b. Df = 12 % : 1,11 ekonomi daerah. Makin besar arus
c. Df = 14 % : 0,94 investasi, dapat memberikan
4. Pay Back Periode : 15 tahun peluang munculnya kegiatan-
kegiatan usaha yang lain.
Dari hasil perhitungan di atas, Implikasinya adalah
dapat disimpulkan bahwa secara meningkatnya kesempatan kerja
finansial proyek bisa dilaksanakan dan peluang terjadinya
atau layak. Hal ini bisa dilihat dari peningkatan PAD.
nilai NPV yang positif, Benefit Namun, bagaimana usaha Pemda
Cost Ratio di atas 1, Nilai IRR untuk meningkatkan PAD tanpa
masih di atas tingkat bunga yang harus membebani rakyatnya, berlaku. (Hasil perhitungan secara sehingga dapat mengembangkan
keseluruhan bisa lihat lampiran). otonominya. Masih terdapat Kawasan industri Cimohong peluang yang dapat dimanfaatkan
direncanakan merupakan kawasan oleh daerah untuk mendukung
atau pusat pengembangan sumber pembiayaan dan investasi berbagai industri dengan daerah untuk mendukung
pengelolaan secara terpadu. implementasi otonomi daerah
Prospek Pasar Kawasan Industri yang pelaksnaannya dapat Terpadu Desa Cimohong dilakukan oleh para pelaku
Kabupaten Brebes potensial untuk ekonomi daerah termasuk BUMN, pengembangan industri terutama BUMD, Swasta dan Masyarakat. industri berbahan baku pertanian Diperlukan adanya perhatian
(agroindustri). yang serius dalam upaya
Kawasan industri Terpadu di Desa meningkatkan efisiensi sektor
Cimohong diharapkan menjadi publik, sekaligus mengupayakan
pemicu utama dalam memperkuat agar administrasi negara mampu
Kabupaten Brebes untuk menarik menelurkan berbagai kiat dan
investor, dengan beberapa terobosan dalam menciptakan
keuntungan yang bisa didapatkan, iklim yang kondusif bagi yaitu: berkembangnya sektor swasta. a. Rencana pengawasan perizinan Keterbatasan yang membelengu
dalam satu atap, sektor publik bukannya
b. Promosi investasi, dengan merupakan halangan jika kita
adanya usaha resmi diharapkan mampu mendayagunakan
investasi yang dilakukan oleh kekuatan dan potensi sektor
pengusaha/ investor dapat swasta yang mulai berkembang.
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 96
Pola kemitraan sektor publik dan swasta merupakan harapan baru dalam mendobrak keterbatasan.
Acapkali daerah memiliki aset
yang sangat potensial untuk
dimanfaatkan atau dikembangkan,
namun upaya-upaya ke arah itu
terhalang oleh terbatasnya sumber
dana atau akses ke sumber dana
atau keterbatasan kemampuan
SDM dalam menggunausahakan
aset tersebut. Di sisi lain swasta
atau masyarakat merupakan pihak
yang dalam banyak hal,
mempunyai potensi pendanaan dan
teknologi yang perlu
diproduktifkan, dengan demikian
melalui kerjasama antara
Pemerintah daerah dengan swasta atau masyarakat dapat memberikan nilai tambah dan keuntungan kedua belah pihak
Kerjasama antara pemerintah
daerah dan swasta tidak hanya akan dapat memberikan keuntungan berupa uang, tetapi juga merupakan strategi diversifikasi resiko, dimana dengan kerjasama ini resiko Pemerintah Daerah menjadi kecil atau bahkan tanpa ikut menanggung resiko sama sekali.
Di Indonesia, pola kerjasama
antara diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan infrastruktur.
C. Bentuk Kerja Sama Antara
Sektor Publik Dan Swasta Kerja sama Pemerintah daerah dengan
swasta idealnya didasarkan pada win-win solution partnership,
artinya kerjasama tersebut dilakukan dengan kesadaran dari
dua belah pihak atas keuntungan timbal balik yang akan dihasilkan
dalam kerjasama
tersebut. Pemerintah Daerah dalam pengertian kerja sama Pemerintah Daerah termasuk di dalamnya BUMD/Perusahaan Daerah. Oleh karena itu perusahaan daerah mempunyai peluang untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha melalui kerjasama dengan pihak swasta.
Pihak ketiga menurut Permendagri Nomor 3 Tahun 1986 adalah instansi atau badan usaha atau perorangan yang berada di luar organisasi Pemerintah Daerah, antara lain Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah lainnya, BUMN, BUMD, Koperasi, Swasta Nasional atau Swasta Asing yang tunduk pada hukum Nasional
Bentuk Kerja sama secara garis besar dikelompokkan adalam 2 bentuk, yaitu 1. Kerjasama Pengelolaan (Joint
Operation). Kerja sama ini dapat dilakukan melalui berbagai model, yaitu :
a. Sewa Tambah Guna (
Contract Add and Operate /CAO)
b. Rehabilitasi Guna Serah (Rehabilitate, Operate and Transfer/ROT)
c. Bangun Serah (Built and Transfer/ BT)
d. Bangun Guna Serah ( Built, Operate and Transfer/BOT)
e. Bangun Serah Sewa ( Built, Transfer and Rent /BTR)
f. Bangun Sewa Serah ( Built, Rent and Transfer/BRT)
g. Bangun Kelola Miliki ( Built, Operate and Own/BOO)
h. Kerjasama Operasi
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 97
2. Kerjasama Usaha Patungan (Joint Venture). Pemda bersama-sama dengan swasta dapat mendirikan Perseroan Terbatas yang mengacu pada Undaag-undang Nomor 1 Tahun 1995.
D. Langkah Strategis Pemilihan
Kerja Sama Untuk dapat mencapai
sasaran secara optimal, maka pilihan untuk melakukan kerjasama perlu diletakkan dalam
suatu kerangka strategis. Sebagaimana dilakukan oleh perusahaan dalam rangka menjalin kerjasama strategis untuk mengembangkan bisnisnya. Kerangka pikir yang biasa dipakai adalah menggunakan model manajemen strategis. Menurut Usman ( 1996 ) beberapa kekuatan dan kelemahan pemanfaatan dana sektor swasta dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 1 KEKUATAN DAN KELEMAHAN KERJA SAMA DENGAN SEKTOR SWASTA
Aspek Kekuatan Kelemahan
Efisiensi Dengan Masuknya Kantor Tidak ada kelemahan yang
Swasta maka perusahaan akan menonjol beroperasi dengan lebih
efisien
Persiapan Dilakukan bersama-sama Akan lebih ketat adanya
dengan pihak swasta, keterlibatan ihak swasta
sehingga mudah
memperhatikan berbagai
aspek
Pendanaan Pemda/Perusda tidak perlu Apabila modal sawsta banyak
menyediakan dana dalam berasal dari Luar Negeri, maka
jumlah yang besar dalam perlu diperha-tikan resiko nilai penyertaan modal tukar
Pembagian Terjadi pembagian resiko Tidak ada kelemahan yang
Resiko antara Pemda/Perusda dengan menonjol swasta
Desentralisasi Meningkatkan kewenangan Tambah wewenang
Pemda menyebabkan tambahan
tanggung jawab
Patyisipasi Meningkatkan peran swasta Tidak ada kelemahan yang
Swasta dalam pembangunan daerah menonjol
Penentuan Tarif Pemerintah tetap mempunyai Tanpa danya konrol yang kuat kekuatan dalam menentukan dari pemerintah, swasta dapat tarif menerapkan tarif yang
memberatkan masyarakat
Alih Teknologi Akan terjadi alih teknologi Tidak ada kelemahan yang
dari sektor swasta ke sektor menonjol emerintah
Makro Ekonomi Pinjaman Pemerintah diganti Tidak ada kelemahan yang
dengan sumber swasta menonjol
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 98
Berdasarkan tabel 1 di atas, walaupun terdapat beberapa kelemahan yang mungkin timbul dengan adanya kerja sama Pemerintah Daerah dengan Swasta, namun secara umum aspek positif yang ditimbulkannya lebih dominan dibandingkan dengan aspek negatifnya yaitu Bangun Guna Serah (BOT)
BANGUN GUNA SERAH (Built, Operate And Transfer)
Bentuk kerjasama BOT dikenal pada transaksi-transaksi yang obyeknya berupa tanah. Kekayaan daerah yang berupa tanah dan fasilitas-fasilitas yang ada di atasnya yang memiliki potensi ekonomi yang tinggi dialihkan pemanfaatannya kepada swasta, dengan cara pihak swasta tersebut atas biayanya sendiri membangun bangunan berikut fasilitas
komersiilnya serta mendayagunakan bangunan dan fasilitas tersebut untuk suatu jangka waktu tertentu.
Biasanya pada awal kerjasama Pemda juga akan menerima kompensasi berupa uang dari pihak swasta dan mempunyai hak untuk memanfaatkan suatu area dari bangunan tersebut tanpa pembayaran apapun ke pihak swasta.
Selama masa BOT, resiko yang terjadi atas bangunan dan fasilitas yang dibangun swasta akan merupakan tanggungan swasta karena secara hukum kepemilikan bangunan dan fasilitas masih menjadi milik pihak swasta.
Gambar 1
STRATEGI DIVERSIFIKASI RESIKO KERJASAMA BOT
BOT
Transfer Resiko
Pemerintah Swasta
Resiko 100% resiko Resiko
Pembangunan DARI RESIKO rendah tinggi
Resiko 100% resiko Resiko
Konstruksi DARI RESIKO rendah tinggi
Resiko Resiko
Resiko
100%
sangat sangat
Operasi DARI RESIKO rendah tinggi
Berdasarkan tabel 1 di atas, walaupun terdapat beberapa kelemahan
yang mungkin timbul dengan adanya kerja sama Pemerintah Daerah dengan
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 99
Swasta, namun secara umum aspek positif yang ditimbulkannya lebih dominan dibandingkan dengan aspek negatifnya.
Di Indonesia, pola kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan swasta sebenarnya diatur dalam :
a. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah
c. Peraturan Presiden Nomor 67
Tahun 2005 tentang kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam penyediaan Infrastruktur,
d. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 61 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah.
e. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 69 Tahun 2007 Tentang Kerja Sama Pembangunan Perkotaan
Tujuan utama pelaksanaan kerjasama antara Pemerintah Daerah/Perusda dengan Pihak Ketiga adalah untuk meningkatkan perekonomian daerah dan menembah pendapatan daerah. Secara umum, tujuan dilakukannya kerjasama adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pembiayaan, melalui dana dari masyarakat untuk kepentingan pembangunan,
b. Usaha untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi daerah melalui perluasan dan peningkatan pembangunan,
c. Meningkatkan pendapatan daerah
dengan memanfaatkan hasil-hasil pembangunan masyarakat,
d. Mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah,
e. Mendayagunakan aset daerah secara optimal, khususnya aset yang masih dapat ditingkatkan penggunaannya,
f. Adanya alih teknologi yang
digunakan dalam pengelolaan proyek yang dapat dimanfaatkan SDM di Pemda,
g. Terhindarinya penjualan aset
daerah yang potensial kepada swasta,
h. Terciptanya lapangan pekerjaan yang dapat mendorong dan mendayagunakan tenaga kerja setempat untuk bekerja di sektor industri,
i. Sebagai katalisator penyerapan
tenaga kerja ke kota-kota besar.
KESIMPULAN Kesimpulan dari hasil analisis
pada pembahasan sebelumnya adalah sebagai berikut L 1). Pembangunan Kawasan Industri
Terpadi di Desa Cimohong dinyatakan layak secara finansial. Hal ini bisa dilihat dari hasil perhitungan, didapatkan hasil :
O NPV
Df = 10 % = Rp
291.723.259.253.575,-
Df = 12 % = Rp
98.236.030.931.190,-
Df = 14 % = (Rp
50.159.980.993.680)
O IRR = 13,266 O B/C Ratio
Df = 10 % = 1,32
Df = 12% = 1,11
Df = 14 % = 0,94O Pay Back Period = 15 tahun
Proyek dikatakan layak secara finansial, jika NPV positif, B/C ratio di atas 1, dan IRR di atas tingkat bunga yang berlaku. Dengan hasil perhitungan, proyek dinyatakan layak untuk dibangun.
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 100
2). Kemitraan dengan pihak ketiga, dilakukan dengan pertimbangan terdapatnya keterbatasan pihak Pemda. Bentuk kemitraan seperti yang diatur dalam Perda Kabupaten Brebes No 5 tahun 2006 tentang Kemitraan Daerah. Dengan melihat beberapa
alternatif, yang paling menguntungkan adalah bentuk B – O – T (Build, Operate and Transfer), dicirikan dengan adanya investasi swasta, pembangunan sarana, biaya rendag, kualitas tinggi, menguntungkan, efisiensi tinggi.
PENUTUP Dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah seperti yang
diamanatkan oleh Undang-undang
Nomor 33 tahun 2004 tentang
Pemerintahan daerah dan Undang-
undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan Keuangan Pemerintah
Pusat dan Daerah, disebutkan bahwa
suatu daerah yang tidak mampu
membiayai sumber pelaksanaan otonomi
daerah akan di-merger (digabungkan)
atau dihapuskan. Berdarakan kebutuhan
dan tuntutan zaman maka perlu adanya
perluasan wilayah dalam rangka
menambah sumber penerimaan daerah,
yaitu salah satu cara untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Brebes adalah membuat
perencanaan Kawasan Industri Terpadu.
Daftar Pustaka
Abdul Halim, 2001, Manajemen
Keuangan Daerah, Yogyakarta : AMP YKPN
Agung Riyadi, Anton A, Didit P, 2002, Laporan Penelitian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
di Kabupaten Sukoharjo, Surakarta : FE UMS.
Agus Wantara, 1995, Analisis
Pendapatan Asli Daerah
Istimewa Yogyakarta Tahun
1970-1980 (tesis yang tidak
dipublikasikan), Yogyakarta
: UGM
Alfian Lians, 1985, Pendapatan Daerah
Dalam Ekonomi Orde Baru, Prisma No. 4 Tahun XIV.
Andi Mustari, 1999, Otonomi Daerah
dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Jakarta
: Gaya Media Pratama
Asnafiah Yulianti, 2001, Kemandirian dan Pertumbuhan Ekonomi
Dalam Menyongsong Otonomi Daerah, Kajian Ekonomi dan Bisnis Stiekers, Vo. 5 , No. 29, Tahun 2001.
B.Usman, 1977, Pajak-pajak Indonesia, Jakarta : Majalah Mingguan Pajak. Bagus Santosa, 1995, Evaluasi Peran
Retribusi Pasar Terhadap Pendapatan Daerah : Studi Kasus Kabupaten Sleman (laporan penelitian yang tidak dipublikasikan), Yogyakarta : UGM
Bahl, Roy, 1999, Implementation Rule Fiscal Desentralisation, Atlanta : International Studies Program School of Policy Studies, Georinia State University.
Balai Penerbitan Panca Usaha, 2001,
Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18 Tahun
1997 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Bandung :
CV. Laksana Mandiri Caroline, 2004, Analisis Penerimaan
Retribusi Pasar Kota Salatiga, Semarang : UNDIP
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 101
(tesis yang tidak dipublikasikan)
Dadang Solihin, 2001, Kamus Istilah Otonomi Daerah, Jakarta : Lembaga
Pemberdayaan
Ekonomi Kerakyatan
Davey, 1988, Pembiayaan Pemerintah Daerah, Terjemahan
Amanullah, Jakarta : UI
Press
Deddy Supriady, 2001, Otonomi
Penyelenggara Pemerintah Daerah, Jakarta : Gramedia
Fisher,Ronald, 1996, State and Local
Publik Finance, A Time
Higher Education Group, Inc. Company.
Guritno Mangkoesoebroto, 1995, Ekonomi Publik, Yogyakarta
: BPFE
Harry Waluya, 2001, Analisis Rasio PAD/APBD Terhadap Kebijakan Kemandirian
Keuangan Daerah Otonom, Jurnal Ekonomi dan Bisnis FE Universitas Katolik Indonesia Atmajaya, Vol. 1, No. 2, Edisi Agustus 2001
Husein Umar, 2003, Strategic
Management In Action,
Percetakan : PT. SUN
Jakarta
Ibnu Syamsi, 1993, Dasar-dasar Kebijakan Keuangan
Negara, Jakarta : Bima
Aksara.
Indah Susantun, 2000, Fungsi
Keuntungan Cobb Douglas
Dalam Pendugaan Efisiensi
Ekonomi Relatif, Jurnal Ekonomi Pembangunan,
Vol. 5, No. 2, Edisi 2000. J.B. Kristiadi, 1985, Masalah Sekitar
Peningkatan Pendapatan
Daerah, Prisma No. 12, Tahun XIV, Jakarta : LP3ES
John Suprihanto, 1997, Pengukuran Tingkat Kepuasan
Pelayanan, Jakrta : Rineka
Cipta
Jones, Bernard, 1995, Local Government Financial Management, ICSA
Publishing Limited. Josep Riwu Kaho, 1998, Prospek
Otonomi Daerah Negara
Republik Indonesia “
Identifikasi Faktor Yang
Mempengaruhi Penyelenggaraannya “, Jakarta : Rajawali Press
Kadariyah,1992, Pengantar Evaluasi
Proyek. Jakarta : Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Krisna D. Darumurti dan Umbu
Raunta, 2000, Otonomi Daerah “ Perkembangan, Pemikiran dan Pelaksanaan “, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
Mardiasmo, 2001, Manajemen
Penerimaan Daerah dan Struktur APBD dalam Era Otonomi Daerah, Kajian Ekonomi dan Bisnis Stiekers, Vo. 5, No. 29, Tahun 2001.
Mardiasmo, 2001, Pengawasan,
Pengendalian dan Pemeriksaan Kinerja
Pemerintah Daerah Dalam Melaksanakan Otonomi Daerah, Jurnal Bisnis dan Akuntansi, Vol. 3, No. 2, Tahun 2001.
Mardiasmo, 2001, Peningkatan
Pendapatan Asli Daerah :
Permasalahan dan Kebijakan, makalah yang disampaikan dalam Sidang Pleno Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Ke-10 di Batam
Mardiasmo, 2002, Otonomi dan manajemen Keuangan
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 102
Daerah, Yogyakarta :
Penerbit Andi. Marzuki, 1995, Metodologi Riset,
Yogyakarta : FE-UII
Moh. Nazir, 1999, Metode Penelitian, Penerbit : Ghalia Indonesia
Mudrajat Kuncoro, 1995, Desentralisasi
Fiskal di Indonesia, Prisma, No. 4 Tahun. XXIV
Mulyanto, 2002, Potensi Pajak dan
Retribusi Daerah di Kawasan Subosuko
Wonosraten Propinsi Jawa
Tengah, Kerjasama IRIS dan
LPEM UI, Jakarta.
Musgrave, 1990, Keuangan Negara
Dalam Teori dan Praktek
(Edisi 5), Jakarta : PT. Erlangga
Nick Devas, Brian Binder, Anne
Booth, Kennet Davey dan Roy Kelly, 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di
Indonesia, Terjemahan
Masri Maris, Jakarta :
Penerbit UI Press.
Pontjowinoto, Didit, MP,1991,
“Alternatif Reformasi Kebijakan dan Manajemen Keuangan Daerah”, Prisma, Jakarta : LP3ES
Rustian Kamaludin, 1992, Bunga
Rampai Pembangunan Nasional dan Pembangunan Daerah, Jakarta : FE-UI.
S. Pamudji, 1980, Pembinaan
Perkotaan di Indonesia,
Jakarta : Ichtiar
S. Pamudji, 1990, Makna Dati II
Sebagai Titik Berat Pelaksanaan Otonomi
Daerah, Jakarta : CSIS Sadono Sukirno, 1982, Pengantar Teori
Ekonomi Mikro, Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas
Indonesia.
Shaw, G.K, 1989, Hubungan Fiskal Antara Pemerintah,
Penerjemah Silvia Rilwon, Jakarta : Gramedia
Sidik Jatmika, 2001, Otonomi Daerah : Perspektif Hubungan
Internasional, Yogyakarta : Bigraf Publising.
Soejamto, 1992, Otonomi Birokrasi Partisipasi, Jakarta : Sinar
Grafika
Soelarso, 1998, Modul Mata Pelajaran Administrasi Pendapatan
daerah Dalam Terapan,
Yogyakarta : UGM
Soesilo, 2001, Perspektif Politik
Ekonomi Otonomi Daerah Dibawah Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999, Ekuitas, Vol. 5, No. 4, Tahun 2001.
Soetrisno, PH, 1986, Ekonomi Publik II,
Jakarta : Karunika. Soetrisno. 1981. Evaluasi Project Jilid I.
Yogyakarta : Fakultas
Ekonomi Universitas Gajah
Mada. Suparmoko, 1996, Keuangan Negara
Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta : BPFE
Suparmoko, 2002, Ekonomi Publik :
Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah,
Penerbit Andi Yogyakarta. Susijati, B Hirawan, 1986, Analisa
Tentang Keuangan Daerah di Indonesia, EKI Vo. XXXIV No. 1
Syarif Hidayat, 2000, Reflektifitas
Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan ke Depan, Jakarta : Pustaka Quantum
Zulkarnain Djamin. 1992. Perencanaan
dan Analisa Proyek, Jakarta : Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012
Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) 103
Tjahya Supriyatna, 1992, Sistim
Administrasi Pemerintahan
di Daerah, Jakarta : Bumi Aksara
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
Tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang No. 34 Tahun 2004
Tentang Perimbangan
Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
VOLUME 3 NOMOR 2, NOVEMBER 2012