Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari...

16
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial mengamanahkan Peta Rupa Bumi Indonesia sebagai Peta Dasar diselenggarakan mulai pada skala 1 : 1.000.000 sampai dengan skala 1 : 1000. Peta dengan skala 1:5000 sangat dibutuhkan untuk perencanaan tata ruang seperti Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RDTR) tersebut sesuai dengan yang diregulasikan pada Peraturan Pemerintah Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2011. Ketelitian yang dibutuhkan untuk RDTR dan RTRW untuk ketelitian dengan kelas paling minimal yaitu kelas 3 adalah 2,5 meter baik untuk akurasi vertikal maupun akurasi horizontal pada skala 1:5000. Pemilihan kelas 3 tersebut mempertimbangkan keterbatasan sarana dan prasarana yang ada pada daerah menurut Peraturan Pemerintah no 8 tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang, Konsep dan Implementasinya. Tingkat ketelitian peta skala 1:5.000 yang memenuhi spesifikasi teknis telah ditentukan dalam Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar. Ketelitian skala 1:5000 tersebut terbagi menjadi 3 kelas yaitu kelas 1, kelas 2 dan kelas 3. Kelas 1 mensyaratkan nilai ketelitian akurasi minimal 1 meter, kelas 2 mensyaratkan nilai ketelitian akurasi minimal 1,5 meter dan kelas 3 mensyaratkan nilai ketelitian akurasi minimal 2,5 meter. Tingkat ketelitian tersebut dapat dicapai menggunakan beberapa metode pemetaan. Beberapa metode tersebut yaitu secara fotogrametris (menggunakan foto udara stereo sebagai sumber data) serta metode terestris (melakukan pengukuran langsung terhadap objek yang akan dipetakan menggunakan alat ukur total station, waterpass, dll). Dua metode tersebut merupakan metode yang menghasilkan tingkat ketelitian baik. Metode tersebut jika ditinjau dari faktor biaya tergolong mahal serta waktu yang lama. Solusinya diperlukan alternatif metode lain yang salah satunya adalah metode ekstraterristris (Anonim, 2015). Pekerjaan pemetaan skala besar dengan menggunakan metode ekstrateristris yaitu memakai citra satelit resolusi tinggi sebagai sumber data. Metode ekstraterristris ini dapat dipergunakan sebagai alternatif (Anonim, 2015). Citra satelit resolusi tinggi tersebut terlebih dahulu harus melalui proses koreksi geometrik yang salah satunya adalah proses ortorektifikasi. Proses ortorektifikasi adalah salah satu proses menegakkan citra satelit karena EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISI TITIK KONTROL TANAH UNTUK SKALA PETA 1:5000 MUH HARDIEN A.T.L Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Transcript of Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari...

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial mengamanahkan

Peta Rupa Bumi Indonesia sebagai Peta Dasar diselenggarakan mulai pada skala 1 : 1.000.000

sampai dengan skala 1 : 1000. Peta dengan skala 1:5000 sangat dibutuhkan untuk perencanaan

tata ruang seperti Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Ruang dan Wilayah

(RDTR) tersebut sesuai dengan yang diregulasikan pada Peraturan Pemerintah Pekerjaan

Umum Nomor 20 Tahun 2011. Ketelitian yang dibutuhkan untuk RDTR dan RTRW untuk

ketelitian dengan kelas paling minimal yaitu kelas 3 adalah 2,5 meter baik untuk akurasi

vertikal maupun akurasi horizontal pada skala 1:5000. Pemilihan kelas 3 tersebut

mempertimbangkan keterbatasan sarana dan prasarana yang ada pada daerah menurut

Peraturan Pemerintah no 8 tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang, Konsep

dan Implementasinya.

Tingkat ketelitian peta skala 1:5.000 yang memenuhi spesifikasi teknis telah ditentukan

dalam Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta

Dasar. Ketelitian skala 1:5000 tersebut terbagi menjadi 3 kelas yaitu kelas 1, kelas 2 dan kelas

3. Kelas 1 mensyaratkan nilai ketelitian akurasi minimal 1 meter, kelas 2 mensyaratkan nilai

ketelitian akurasi minimal 1,5 meter dan kelas 3 mensyaratkan nilai ketelitian akurasi minimal

2,5 meter. Tingkat ketelitian tersebut dapat dicapai menggunakan beberapa metode pemetaan.

Beberapa metode tersebut yaitu secara fotogrametris (menggunakan foto udara stereo sebagai

sumber data) serta metode terestris (melakukan pengukuran langsung terhadap objek yang akan

dipetakan menggunakan alat ukur total station, waterpass, dll). Dua metode tersebut

merupakan metode yang menghasilkan tingkat ketelitian baik. Metode tersebut jika ditinjau

dari faktor biaya tergolong mahal serta waktu yang lama. Solusinya diperlukan alternatif

metode lain yang salah satunya adalah metode ekstraterristris (Anonim, 2015).

Pekerjaan pemetaan skala besar dengan menggunakan metode ekstrateristris yaitu

memakai citra satelit resolusi tinggi sebagai sumber data. Metode ekstraterristris ini dapat

dipergunakan sebagai alternatif (Anonim, 2015). Citra satelit resolusi tinggi tersebut terlebih

dahulu harus melalui proses koreksi geometrik yang salah satunya adalah proses

ortorektifikasi. Proses ortorektifikasi adalah salah satu proses menegakkan citra satelit karena

EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

adanya faktor pergeseran. Faktor pergeseran (displacement) yang diakibatkan posisi miring

pada satelit dan variasi topografi saat pengambilan data membuat lokasi pada citra belum sesuai

dengan lokasi sebenarnya.

Proses ortorektifikasi akan memberikan indikator kualitas berupa nilai RMS Error.

Nilai RMS Error tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai akurasi citra. Nilai

akurasi citra yang dihasilkan dari proses ortorektifikasi tersebut dapat tergantung dari berbagai

faktor. Salah satunya adalah variasi kondisi titik kontrol tanah (TKT). Dari penelitian

sebelumnya variasi yang paling berpengaruh yaitu variasi berdasarkan jumlah titik kontrol

tanah dan distribusi pada terrain citra. Variasi yang paling berpengaruh yaitu variasi distribusi

terrain pada citra (Omer dkk, 2014). Variasi lain yang berpengaruh yaitu variasi persebaran

titik kontrol tanah yang merata atau tidak merata (Eltohamy dkk, 2009).

Konfigurasi yang diinginkan pada penelitian ini yaitu konfigurasi titik kontrol tanah

yang optimal. Konfigurasi optimal adalah konfigurasi dimana titik kontrol tanah dapat

menghasilkan nilai akurasi yang akurat namun tetap memperhatikan efisiensi biaya. Efisiensi

biaya tersebut berkaitan dengan jumlah titik kontrol tanah yang dipakai. Pada skripsi ini akan

dilakukan evaluasi terhadap tiga variasi kondisi titik kontrol tanah yaitu variasi berdasarkan

jumlah titik kontrol tanah, variasi berdasarkan persebaran titik kontrol tanah dan variasi titik

kontrol tanah mewakili terrain citra.

I.2. Identifikasi Masalah

Nilai ketelitian pada masing-masing titik kontrol tanah (TKT) yang terukur pasti

berbeda-beda. Faktor – faktor yang berpengaruh perlu dipertimbangkan sebagai salah satu

proses evaluasi dari nilai akurasi ortorektifikasinya. Faktor-faktor tersebut merupakan variasi

kondisi titik kontrol tanah. Semua titik kontrol tanah tersebut terletak pada posisi yang berbeda-

beda (seperti dataran tinggi atau dataran rendah) serta jarak yang berada pada kisaran 3,5 – 4

km satu dengan yang lainnya (titik tersebar secara merata yang mewakili kondisi terrain

keseluruhan).

Kegiatan pengukuran titik kontrol tanah (TKT) di lapangan memerlukan waktu dan

biaya sehingga perlu diidentifikasi konfigurasi titik kontrol tanah yang optimal. Kondisi yang

diinginkan merupakan kondisi dimana jumlah titik kontrol tanah seminimal mungkin

jumlahnya dan nilai akurasinya memenuhi standar spesifikasi Peraturan Kepala Badan

Informasi Geospasial tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar untuk skala 1:5000.

EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Berdasarkan uraian di atas, masalah yang diidentifikasi adalah pemakaian banyak

jumlah titik kontrol tanah membuat biaya pengukuran yang semakin tinggi. Efisiensi biaya

akuisisi data dan jumlah titik dipertimbangkan untuk mengetahui apa pengaruh dari jumlah

titik yang dibuat bervariasi, titik kontrol tanah yang sebarannya dibuat merata serta titik yang

mewakili terrain citra terhadap nilai akurasi hasil proses ortorektifikasi citra.

I.3. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan dalam penelitian ini yaitu :

1. Kondisi dan variasi titik kontrol tanah seperti apakah yang optimal untuk koreksi

ortorektifikasi citra Worldview-2 dalam penelitian ini?

2. Apakah akurasi citra satelit WorldView-2 tersebut memenuhi standar ketelitian

menurut Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial tentang Pedoman Teknis

Ketelitian Peta Dasar untuk skala 1:5000?

I.4. Batasan Masalah

Kegiatan dalam penelitian ini yaitu:

1. Data yang digunakan citra satelit resolusi tinggi Worldview-2 untuk wilayah kota

Semarang sebanyak 2 scene.

2. Titik kontrol tanah sebanyak 40 titik untuk dua buah scene tersebut yang telah diukur

di lapangan dengan menggunakan GPS geodetik metode RTK (Real Time

Kinematic) untuk input koordinat X, Y nya serta DEM (Digital Elevation Model)

untuk koordinat Z nya dalam proses ortorektifikasi.

3. Batasan variasi kondisi pada penelitian ini yaitu :

a. Variasi Jumlah Titik : variasi ini hanya mempersoalkan

jumlah titik saja

b. Variasi Persebaran Distribusi Titik : variasi ini hanya mempersoalkan pola

distribusi saja

c. Variasi Titik Mewakili Terrain : variasi ini hanya mempersoalkan titik-

titik terletak sesuai topografi area

EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

I.5. Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi nilai akurasi hasil dari proses ortorektifikasi citra

resolusi tinggi Worldview-2 berdasarkan variasi konfigurasi titik kontrol tanah . Variasi

konfigurasi titik kontrol tanah tersebut adalah :

1. Variasi konfigurasi jumlah titik kontrol tanah.

2. Variasi konfigurasi persebaran titik kontrol tanah merata serta tidak merata,

3. Variasi konfigurasi distribusi titik kontrol tanah yang mewakili terrain.

I.6. Manfaat

Penelitian ini memiliki manfaat yaitu:

Mengetahui konfigurasi titik kontrol tanah yang optimal tanpa memakai terlalu banyak

titik kontrol tanah sehingga biaya akuisisi data dapat lebih efisien.

1.7. Tinjauan Pustaka

Penelitian yang dilakukan ini memiliki tujuan untuk mengevaluasi akurasi citra satelit

Worldview-2 dengan memperhatikan variasi kondisi jumlah titik, persebaran titik , serta titik

kontrol tanah (TKT) yang mewakili terrain. Penelitian yang dilakukan oleh Bambang (2011)

meneliti mengenai sebaran titik kontrol tanah terhadap ketelitian peta citra hasil ortorektifikasi.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa banyak titik kontrol tanah (TKT) yang digunakan

dalam proses ortorektifikasi citra sangat berpengaruh terhadap ketelitian hasil koreksi

geometrik yang ditunjukkan melalui harga Root Mean Square Error (RMSE). Uji coba dengan

banyak titik kontrol tanah tersebut digunakan jumlah dengan variasi dimulai dari 6, 8, 9, 13,

dan 15 buah TKT dan sebaran yang merata.

Faktor pengaruh kondisi terrain citra dikemukakan oleh Bidang Produksi Data Pusat

Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (2010). Penelitian

tersebut menyatakan bahwa koreksi ortorektifikasi merupakan koreksi geometrik untuk

memperbaiki distorsi geometri. Distorsi geometri tersebut disebabkan oleh karakteristik

sensor, arah penginderaan dan pergeseran relief yang mengakibatkan arah penginderaan

memiliki proyeksi perspektif. Kondisi ini dapat terjadi pada citra dengan variasi topografi yang

sangat tinggi seperti lembah hingga puncak gunung dan bukit.

Akurasi dari proses koreksi geometrik bergantung utamanya pada jumlah TKT yang

dipilih , fitur yang diidentifikasi pada citra (persimpangan jalan, perpotongan jalan bandara,

EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

lengkungan pada sungai dan fitur-fitur lainnya), dan distribusi dari TKT yang dipilih pada area

citra yang terdistorsi yang dinyatakan oleh Eltohamy dan Hamza (2009) pada papernya. Paper

tersebut menyebutkan jumlah TKT yang digunakan yaitu 20 TKT untuk dua scene citra.

Penelitian lain oleh Omer, Murat dan Haci (2014) menyatakan dalam papernya mengenai efek

dari jumlah TKT dan distribusinya pada permukaan diinvestigasi pada citra stereo WorldView-

2. Variasi kondisi yang berpengaruh adalah variasi distribusi titik kontrol pada terrain dan

variasi jumlah titik kontrol tanah. Variasi distribusi titik kontrol pada terrain terlihat lebih

efektif daripada efek jumlah TKT melihat pada hasil adjustment. Penelitian oleh Omer, Murat

dan Haci tersebut menggunakan variasi jumlah TKT mulai dari jumlah 31, 26, 21, 16, 11, 6, 4

TKT untuk dua scene citra. Data DEM (Digital Elevation Model) tidak digunakan dalam kedua

penelitian tersebut.

Evaluasi hasil ortorektifikasi citra diperlukan untuk dapat mengetahui kondisi apakah

yang paling mempengaruhi nilai akurasi tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Bambang

(2011) menyebutkan bahwa nilai RMSE dipengaruhi oleh jumlah titik TKT dengan pola

sebaran merata dan sejalan dengan Eltohamy dan Hamza (2009) yang menyatakan faktor

jumlah TKT dan distribusi TKT memiliki pengaruh pada nilai akurasi citra. Pada penelitian ini

selain variasi jumlah titik TKT ditambahkan variasi dengan jumlah TKT yang sama namun

pola sebaran selain dibuat merata juga dibuat tidak merata. Variasi kondisi lain yaitu variasi

TKT yang mewakili terrain citra. Titik kontrol tanah diletakkan pada daerah bukit (terrain

tinggi) serta daerah dekat pantai (terrain rendah) untuk meminimalisir distorsi geometri yang

sebelumnya telah dinyatakan oleh Bidang Produksi Data Pusat Data Penginderaan Jauh

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (2010) akibat variasi topografi pada citra yang

diteliti. Hal serupa dikemukakan oleh Omer, Murat dan Haci (2014) mengenai efek distribusi

titik kontrol pada terrain. Variasi distribusi titik kontrol pada terrain lebih efektif atau

berpengaruh daripada variasi jumlah TKT.

EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

1.8. Landasan Teori

I. 8. 1 Citra Satelit Worldview-2

Citra merupakan masukan data atau hasil observasi dalam proses penginderaan jauh

(Hornby, 1974). Penginderaan Jauh atau Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu dan seni

untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data

yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena

tersebut.

Citra merupakan gambaran yang tampak dari suatu obyek yang sedang diamati, sebagai

hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau/sensor, baik optik, elektrooptik, optik-mekanik

maupun elektromekanik (Simonett dkk, 1983). Citra memerlukan proses interpretasi atau

penafsiran terlebih dahulu dalam pemanfaatannya.

Citra satelit adalah hasil dari pemotretan/perekaman alat sensor yang dipasang pada

wahana satelit ruang angkasa dengan ketinggian lebih dari 400 km dari permukaan bumi.

Kemampuan sensor dalam merekam obyek terkecil pada tiap pikselnya ini disebut

dengan resolusi spasial. Berdasarkan tingkatan resolusinya citra satelit dibedakan menjadi 3

macam, yaitu (Sutanto,1994) :

Citra resolusi rendah, memiliki resolusi spasial antara 15 m s/d 30 m

Citra resolusi sedang, memiliki resolusi spasial 2.5 m s/d 10 m

Citra resolusi tinggi, memiliki resolusi spasial 0.5 m s/d 1 m

Tingkat resolusi spasial citra satelit ini dipengaruhi oleh kemampuan sensor dalam

merekam objek yang terkecil, Satelit Landsat TM mampu merekam obyek terkecil dilapangan

sebesar 30 x 30 meter, Satelit Ikonos merekam dengan obyek terkecilnya 1 x 1 meter.

QuickBird dengan ukuran obyek terkecilnya 0,6 x 0,6 meter.

Citra satelit terbentuk dari serangkaian matrik elemen gambar yang disebut dengan

piksel. Piksel merupakan unit terkecil dari sebuah citra. Piksel sebuah citra pada umumnya

berbentuk segi empat dan mewakili suatu area tertentu pada citra. Jika sebuah sensor memiliki

resolusi spasial 20 meter dan citra dari sensor tersebut menampilkannya secara penuh, maka

masing-masing piksel akan mewakili area seluas 20 x 20 meter. Citra yang menampilkan area

dengan cakupan yang luas biasanya memiliki resolusi spasial yang rendah. Pada penelitian ini

digunakan citra satelit WorldView-2 dengan level produk yang digunakan yaitu level 2A yang

EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

tidak memiliki relief topografi sehingga untuk proses ortorektifikasi dapat digunakan nilai

elevasi dari sumber lain dalam hal ini yaitu DEM (Digital Elevation Model) menurut Omer,

Murat dan Haci (2014). Gambar 1.1 berikut menunjukkan ilustrasi bentuk dari satelit resolusi

tinggi Worldview-2.

Gambar 1.1. Ilustrasi Satelit Resolusi Tinggi WorldView-2

(Sumber : http://www.geomatching.com)

I. 8. 2 Ketelitian Peta

Ketelitian peta adalah nilai yang menggambarkan tingkat kesesuaian antara posisi dan

atribut sebuah objek di peta dengan posisi dan atribut sebenarnya. Root Mean Square Error

(RMSE) adalah akar kuadrat dari rata-rata kuadrat selisih antara nilai koordinat data dan nilai

koordinat dari sumber independent yang akurasinya lebih tinggi.

EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Ketelitian peta dasar tersebut meliputi :

a. Ketelitian Geometri adalah nilai yang menggambarkan ketidakpastian koordinat posisi

suatu objek pada peta dibandingkan dengan koordinat posisi objek yang dianggap posisi

sebenarnya. Komponen ketelitian geometri terdiri atas:

1. Akurasi horizontal.

2. Akurasi vertikal.

b. Ketelitian atribut/semantik adalah nilai yang menggambarkan tingkat kesesuaian

atribut sebuah objek di peta dengan atribut sebenarnya.

c. Ketelitian Geometri Peta RBI

Ketentuan untuk standar ketelitian geometri Peta RBI yang dihasilkan tertera pada tabel

di bawah ini :

Tabel 1.2 Standar ketelitian geometri Peta RBI

(Sumber : Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 tentang

Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar )

Pada penelitian ini digunakan standar ketelitian untuk kelas 3 dengan nilai akurasi

horizontal dan akurasi vertikal masing-masing sebesar 2,5 meter untuk skala 1:5000 karena

menyesuaikan keterbatasan sarana dan prasarana yang ada di daerah mengacu PP no 8 tahun

2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang, Konsep dan Implementasinya yang telah

disebutkan pada latar belakang sebelumnya.

EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Nilai ketelitian posisi peta dasar pada Tabel 1.2 adalah nilai CE90 (Circular Error)

untuk ketelitian horizontal dan LE90 (Linear Error) untuk ketelitian vertikal, yang berarti

bahwa kesalahan posisi peta dasar tidak melebihi nilai ketelitian tersebut dengan tingkat

kepercayaan 90%. CE90 merupakan ukuran ketelitian geometrik horizontal yang didefinisikan

sebagai radius lingkaran yang menunjukkan bahwa 90% kesalahan atau perbedaan posisi

horizontal objek di peta dengan posisi yang dianggap sebenarnya tidak lebih besar dari radius

tersebut. LE90 merupakan ukuran ketelitian geometrik vertikal (ketinggian) yaitu nilai jarak

yang menunjukkan bahwa 90% kesalahan atau perbedaan nilai ketinggian objek di peta dengan

nilai ketinggian sebenarnya tidak lebih besar dari nilai jarak tersebut. Nilai CE90 dan LE90

dapat diperoleh dengan rumus mengacu kepada standar US NMAS (United States National

Map Accuracy Standards) sebagai berikut:

CE90 = 1,5175 x RMSEr ........................................................................................... 1.1

LE90 = 1,6499 x RMSEz ........................................................................................... 1.2

dimana :

RMSEr : Root Mean Square Error pada posisi x dan y (horizontal)

RMSEz : Root Mean Square Error pada posisi z (vertikal)

dengan rumus RMSE sebagai berikut :

𝑅𝑀𝑆𝐸=√Σ(X2−X1)2

𝑛 ........................................................................................................................ 1.3

Keterangan :

RMSE = Root Mean Square Error

X1 = nilai sebenarnya

X2 = nilai hasil ukuran

n = banyak ukuran yang digunakan

I. 8. 3 Ortorektifikasi Citra Satelit

Citra satelit memiliki distorsi geometrik absolut berkisar 10 hingga ratusan meter. Hal

ini terjadi karena proses perekamannya dilakukan di antariksa berjarak ratusan kilometer dari

bumi, pada wahana satelit yang bergerak dengan posisi yang tidak selalu tegak lurus terhadap

permukaan bumi. Kesalahan geometrik juga terjadi dari efek topografi muka bumi. Kualitas

EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

geometrik suatu citra merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembuatan peta.

Geometrik citra yang tidak presisi akan berdampak pada kesalahan dalam pengukuran

parameter jarak, luas, atau sudut pada peta yang dihasilkan. Koreksi geometrik lebih tepat

dilakukan pada citra satelit dan bukan pada peta vektor karena proses koreksi akan jauh lebih

efisien dan presisi jika dilakukan pada citra dari pada koreksi geometrik pada peta vektor.

Metode koreksi geometrik yang berpengaruh untuk mengurangi distorsi geometrik citra

satelit adalah dengan metode ortorektifikasi. Piksel pada citra di posisikan ulang sesuai

koordinat sebenarnya dengan acuan horizontal dari data GPS (Global Potitioning System) dan

koreksi efek topografi serta distorsi perekaman dengan data DEM (Digital Elevation Model).

Metode ortorektifikasi ada beberapa,yaitu orbital modeling (menggunakan Rigorous Model),

Polinomial, Thin Plate Spline, dan fungsi matematis. Tiap metode memiliki kelemahan dan

kelebihan tertentu. Daerah berelief tinggi sebaiknya mengkombinasikan beberapa metode

tersebut secara bertahap agar dapat diperoleh hasil yang memuaskan.

Algoritma ortorektifikasi yang dilakukan pada penelitian ini dijelaskan dalam diagram

alir berikut :

I.8.3.1 Model Matematika Toutin’s Model

Model matematika yang digunakan pada penelitian ini merupakan model matematika

teliti (Rigorous Model) yang dikembangkan di Canada Centre for Remote Sensing. Model ini

dapat menyajikan keadaan fisik sebenarnya serta telah mengintegrasikan semua distorsi yang

muncul selama akuisisi gambar. Distorsi yang dihasilkan tersebut mampu ditangani oleh

Toutin’s Model termasuk distorsi karena platform, sensor, Bumi, serta proyeksi kartografis

(Toutin dan Cheng, 2002).

Titik Kontrol

Tanah

DEM Citra

Satelit

Pemilihan Model

Matematis

Ortorektifikasi

Pemilihan Titik

Kontrol dan Cek Ekstraksi Nilai Z

dari DEM

Pembentukan

Orthoimage

EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Model matematika Rigorous ini dipilih berdasarkan hasil penelitian oleh A.O. Ok dan

M.Turker (2006) dimana hasil yang didapatkan merupakan hasil dengan nilai akurasi terbaik

dibandingkan model matematika lainnya seperti RPC (Rational Polynomial Coefficien), RF

(Rational Function) dan lain-lain. Penelitian lain yang dilakukan oleh Aguilar dkk (2005) juga

memberikan hasil serupa dimana pada penelitian tersebut akurasi terbaik adalah model Toutin.

Pertimbangan lain dalam pemilihan model Toutin karena citra WorldView-2 yang digunakan

merupakan level 2A yang sudah memiliki parameter RPC sehingga tidak perlu lagi

menggunakan model RPC.

I.8.3.2 Titik Kontrol Tanah

Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Brock Adam McCarty pada website

www.apollomapping.com mengenai Geospatial Frequently Asked Question – What is Ground

Control pada tahun 2014, titik kontrol tanah merupakan titik yang lokasinya berada pada

permukaan bumi yang memiliki nilai X,Y serta Z. Penggunaan titik kontrol tanah dalam

ortorektifikasi citra satelit resolusi tinggi mengharuskan titik-titik tersebut dapat diidentifikasi

secara jelas. Titik-titik yang dapat terlihat jelas tersebut berarti harus dapat diamati pada citra

satelit yang sedang dikerjakan (misalnya : citra tidak tertutup awan). Jumlah titik kontrol tanah

yang digunakan untuk keperluan ortorektifikasi dapat didapatkan dengan rumus yang telah

dirumuskan oleh McCarty sebagai berikut:

Jumlah Titik Kontrol = 10 + (Luas Citra dalam km2 / 25) + (2 x Jumlah Overlap Citra) ..... 1.5

Perlu diketahui bahwa rumusan tersebut tidak akurat untuk daerah dengan landscape

yang sangat bergunung atau dalam hal ini perbedaan elevasi yang sangat tajam. Jumlah titik

kontrol minimal dari persamaan di atas dapat dijadikan acuan dengan minimal jumlah titik

kontrol yang dibutuhkan. Model matematika yang digunakan membutuhkan 7 titik kontrol

tanah minimal pada penelitian ini.

EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

I. 8. 4 DEM (Digital Elevation Model)

DEM merupakan data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan

bumi atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari

permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut menggunakan

himpunan koordinat (Tempfli, 1991).

DEM adalah suatu sistem, model, metode, dan alat dalam mengumpulkan, prosessing,

dan penyajian informasi medan. Susunan nilai-nilai digital yang mewakili distribusi spasial

dari karakteristik medan, distribusi spasial di wakili oleh nilai sistem koordinat horisontal X Y

dan karakteristik medan diwakili oleh ketinggian medan dalam sistem koordinat Z (Doyle,

1991). DEM khususnya digunakan untuk menggambarkan relief medan. Gambaran model

relief rupabumi tiga dimensi yang menyerupai keadaan sebenarnya di dunia nyata (real world)

divisualisaikan dengan bantuan teknologi komputer grafis dan teknologi virtual reality (Mogal,

1993).

Struktur data DEM terdiri dari Grid, TIN, dan Kontur. Grid atau Lattice menggunakan

sebuah bidang segitiga teratur, segiempat, atau bujursangkar atau bentuk siku yang teratur grid.

Perbedaan resolusi grid dapat digunakan, pemilihannya biasanya berhubungan dengan ukuran

daerah penelitian dan kemampuan fasilitas komputer. Data dapat disimpan dengan berbagai

cara, biasanya metode yang digunakan adalah koordinat Z berhubungan dengan rangkaian titik-

titik sepanjang profil dengan titik awal dan spasi grid tertentu (Moore dkk., 1991).

TIN adalah rangkaian segitiga yang tidak tumpang tindih pada ruang tak beraturan

dengan koordinat x, y, dan nilai z yang menyajikan data elevasi. Model TIN disimpan dalam

topologi berhubungan antara segitiga dengan segitiga didekatnya, tiap bidang segitiga

digabungkan dengan tiga titik segitiga yang dikenal sebagai facet. Titik tak teratur pada TIN

biasanya merupakan hasil sampel permukaan titik khusus, seperti lembah, igir, dan

perubahan lereng (Mark 1975).

Kontur dibuat dari digitasi garis kontur yang disimpan dalam format seperti DLGs

(Digital Line Graphs) koordinat (x, y) sepanjang tiap garis kontur yang menunjukkan elevasi

khusus. Kontur paling banyak digunakan untuk menyajikan permukaan bumi dengan simbol

garis.

EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

(Sumber : ESRI ArcGIS 10.x Desktop Help)

(Sumber : mathworld.wolfram.com) (Sumber : Gemcom Surpac 6.5.1)

I.8.4.1 Radargrametri pada Terrasar-X

Digital Elevation Model yang digunakan dalam penelitian ini yaitu produk dari

Terrasar-X. Metode akuisisi datanya menggunakan radargrametri (teknik pengukuran atau

mendeteksi objek dengan memakai radar). Metode ini berbasis pada amplitudo data dan

menggunakan dua buah akuisisi data dengan sudut pengambilan yang berbeda-beda (datar dan

curam). Data Terrasar-X tersebut dihasilkan dari dua buah wahana yang melakukan penyiaman

secara bersamaan. Ilustrasi mengenai pengambilan data dengan metode radargrametri pada

Terrasar-X tersebut dapat dilihat pada gambar 1.5.

Gambar 1.2. Struktur Data DEM : Grid

Gambar 1.2. Struktur Data DEM : TIN

Gambar 1.4. Struktur Data DEM : Kontur

EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Gambar berikut merupakan gambar akuisisi Terrasar-X dengan radargrametri :

Gambar 1.5. Radargrametri pada Terrasar-X

(Sumber : www.dgpf.de )

I. 8. 5 Sistem Koordinat Titik Kontrol Tanah

Sistem koordinat yang digunakan yaitu sistem koordinat kartesian (X,Y,Z) dengan

sistem proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator) dan datum yang digunakan yaitu WGS

(World Geodetic System) 1984. UTM merupakan sistem proyeksi silinder yang membungkus

ellipsoid dengan kedudukan sumbu silindernya tegak lurus sumbu tegak ellipsoid (sumbu

perputaran bumi) sehingga garis singgung ellipsoid dan silinder merupakan garis yang

berhimpit dengan garis bujur pada ellipsoid (Prihandito, 1988). Sistem proyeksi UTM

didefinisikan posisi horizontal dua dimensi (x,y) menggunakan proyeksi silinder, transversal,

dan konform yang memotong bumi pada dua meridian standar. Seluruh permukaan bumi dibagi

atas 60 bagian yang disebut dengan UTM zone. Setiap zona dibatasi oleh dua meridian sebesar

Sudut

Pengambilan

Curam (20◦)

Sudut

Pengambilan

Datar

EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

6° dan memiliki meridian tengah sendiri. Contoh, zona 1 dimulai dari 180° BB hingga 174°

BB, zona 2 di mulai dari 174° BB hingga 168° BB, terus kearah timur hingga zone 60 yang

dimulai dari 174° BT sampai 180° BT. Batas lintangnya 80° LS hingga 84° LU. Setiap bagian

derajat memiliki lebar 8° yang pembagiannya dimulai dari 80° LS kearah utara. Bagian derajat

dari bawah (LS) dinotasikan dimulai dari C,D,E,F, hingga X (huruf I dan O tidak digunakan).

Bagian derajat 80° LS hingga 72° LS diberi notasi C, 72° LS hingga 64° LS diberi notasi D,

64° LS hingga 56° LS diberi notasi E, dan seterusnya. Pembagian zona di wilayah Indonesia

dibagi menjadi 9 zona yaitu dimulai dari zona 46 (90° BT) sampai zona 54 (144° BT).

Gambar 1.6. Pembagian zona UTM di Indonesia

(Sumber : www.geospasial.net)

Ketentuan – ketentuan dalam proyeksi UTM yaitu (Prihandito, 1988) :

1. Bidang silinder memotong bola bumi pada dua buah meridian yang disebut meridian

standar dengan faktor skala 1.

2. Lebar zone 6° dihitung dari 180° BB dengan nomor zone 1 hingga ke 180° BT dengan

nomor zone 60. Tiap zone mempunyai meridian tengah sendiri.

3. Perbesaran di meridian tengah = 0,9996.

4. Batas paralel tepi atas dan tepi bawah adalah 84° LU dan 80° LS.

EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Sedangkan ciri-ciri proyeksi UTM adalah (Prihandito, 1988):

1. Proyeksi bekerja pada setiap bidang ellipsoid yang dibatasi cakupan garis meridian dengan

lebar yang disebut zone.

2. Proyeksi garis meridian pusat (Meridian Sentral) merupakan garis vertikal pada bidang

tengah poyeksi.

3. Proyeksi garis lingkar ekuator merupakan garis lurus horizontal di tengah bidang proyeksi.

4. Grid merupakan perpotongan garis-garis yang sejajar dengan dua garis proyeksi pada butir

dua dan tiga dengan interval sama, jadi garis pembentukan grid bukan hasil dari garis Bujur

atau Lintang Ellipsoid (kecuali garis Meridian Pusat dan Ekuator).

5. Penyimpangan arah garis meridian terhadap garis utara grid di Meridian Pusat sama

dengan atau garis arah meridian yang melalui titik luar Meridian Pusat tidak sama dengan

garis arah Utara Grid Peta yang disebut Konvegerensi Meridian. Tampilan simpangan ini

dapat diabaikan dalam luasan dan skala tertentu karena kecil.

I.9. Hipotesis

Perbedaan konfigurasi titik pasti menghasilkan beda nilai akurasi. Nilai akurasi

dipengaruhi konfigurasi jumlah titik kontrol tanah, persebaran titik yang merata serta titik yang

mewakili terrain citra. Konfigurasi optimal yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan

efisiensi biaya dan nilai akurasi memenuhi standar akurasi Peraturan Kepala Badan Informasi

Geospasial tentang Ketelitian Peta Dasar tingkat ketelitian kelas 3 adalah konfigurasi

persebaran titik merata serta konfigurasi titik yang mewakili terrain citra.

EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/