Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari...
Transcript of Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari...
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial mengamanahkan
Peta Rupa Bumi Indonesia sebagai Peta Dasar diselenggarakan mulai pada skala 1 : 1.000.000
sampai dengan skala 1 : 1000. Peta dengan skala 1:5000 sangat dibutuhkan untuk perencanaan
tata ruang seperti Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Ruang dan Wilayah
(RDTR) tersebut sesuai dengan yang diregulasikan pada Peraturan Pemerintah Pekerjaan
Umum Nomor 20 Tahun 2011. Ketelitian yang dibutuhkan untuk RDTR dan RTRW untuk
ketelitian dengan kelas paling minimal yaitu kelas 3 adalah 2,5 meter baik untuk akurasi
vertikal maupun akurasi horizontal pada skala 1:5000. Pemilihan kelas 3 tersebut
mempertimbangkan keterbatasan sarana dan prasarana yang ada pada daerah menurut
Peraturan Pemerintah no 8 tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang, Konsep
dan Implementasinya.
Tingkat ketelitian peta skala 1:5.000 yang memenuhi spesifikasi teknis telah ditentukan
dalam Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta
Dasar. Ketelitian skala 1:5000 tersebut terbagi menjadi 3 kelas yaitu kelas 1, kelas 2 dan kelas
3. Kelas 1 mensyaratkan nilai ketelitian akurasi minimal 1 meter, kelas 2 mensyaratkan nilai
ketelitian akurasi minimal 1,5 meter dan kelas 3 mensyaratkan nilai ketelitian akurasi minimal
2,5 meter. Tingkat ketelitian tersebut dapat dicapai menggunakan beberapa metode pemetaan.
Beberapa metode tersebut yaitu secara fotogrametris (menggunakan foto udara stereo sebagai
sumber data) serta metode terestris (melakukan pengukuran langsung terhadap objek yang akan
dipetakan menggunakan alat ukur total station, waterpass, dll). Dua metode tersebut
merupakan metode yang menghasilkan tingkat ketelitian baik. Metode tersebut jika ditinjau
dari faktor biaya tergolong mahal serta waktu yang lama. Solusinya diperlukan alternatif
metode lain yang salah satunya adalah metode ekstraterristris (Anonim, 2015).
Pekerjaan pemetaan skala besar dengan menggunakan metode ekstrateristris yaitu
memakai citra satelit resolusi tinggi sebagai sumber data. Metode ekstraterristris ini dapat
dipergunakan sebagai alternatif (Anonim, 2015). Citra satelit resolusi tinggi tersebut terlebih
dahulu harus melalui proses koreksi geometrik yang salah satunya adalah proses
ortorektifikasi. Proses ortorektifikasi adalah salah satu proses menegakkan citra satelit karena
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
adanya faktor pergeseran. Faktor pergeseran (displacement) yang diakibatkan posisi miring
pada satelit dan variasi topografi saat pengambilan data membuat lokasi pada citra belum sesuai
dengan lokasi sebenarnya.
Proses ortorektifikasi akan memberikan indikator kualitas berupa nilai RMS Error.
Nilai RMS Error tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai akurasi citra. Nilai
akurasi citra yang dihasilkan dari proses ortorektifikasi tersebut dapat tergantung dari berbagai
faktor. Salah satunya adalah variasi kondisi titik kontrol tanah (TKT). Dari penelitian
sebelumnya variasi yang paling berpengaruh yaitu variasi berdasarkan jumlah titik kontrol
tanah dan distribusi pada terrain citra. Variasi yang paling berpengaruh yaitu variasi distribusi
terrain pada citra (Omer dkk, 2014). Variasi lain yang berpengaruh yaitu variasi persebaran
titik kontrol tanah yang merata atau tidak merata (Eltohamy dkk, 2009).
Konfigurasi yang diinginkan pada penelitian ini yaitu konfigurasi titik kontrol tanah
yang optimal. Konfigurasi optimal adalah konfigurasi dimana titik kontrol tanah dapat
menghasilkan nilai akurasi yang akurat namun tetap memperhatikan efisiensi biaya. Efisiensi
biaya tersebut berkaitan dengan jumlah titik kontrol tanah yang dipakai. Pada skripsi ini akan
dilakukan evaluasi terhadap tiga variasi kondisi titik kontrol tanah yaitu variasi berdasarkan
jumlah titik kontrol tanah, variasi berdasarkan persebaran titik kontrol tanah dan variasi titik
kontrol tanah mewakili terrain citra.
I.2. Identifikasi Masalah
Nilai ketelitian pada masing-masing titik kontrol tanah (TKT) yang terukur pasti
berbeda-beda. Faktor – faktor yang berpengaruh perlu dipertimbangkan sebagai salah satu
proses evaluasi dari nilai akurasi ortorektifikasinya. Faktor-faktor tersebut merupakan variasi
kondisi titik kontrol tanah. Semua titik kontrol tanah tersebut terletak pada posisi yang berbeda-
beda (seperti dataran tinggi atau dataran rendah) serta jarak yang berada pada kisaran 3,5 – 4
km satu dengan yang lainnya (titik tersebar secara merata yang mewakili kondisi terrain
keseluruhan).
Kegiatan pengukuran titik kontrol tanah (TKT) di lapangan memerlukan waktu dan
biaya sehingga perlu diidentifikasi konfigurasi titik kontrol tanah yang optimal. Kondisi yang
diinginkan merupakan kondisi dimana jumlah titik kontrol tanah seminimal mungkin
jumlahnya dan nilai akurasinya memenuhi standar spesifikasi Peraturan Kepala Badan
Informasi Geospasial tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar untuk skala 1:5000.
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang diidentifikasi adalah pemakaian banyak
jumlah titik kontrol tanah membuat biaya pengukuran yang semakin tinggi. Efisiensi biaya
akuisisi data dan jumlah titik dipertimbangkan untuk mengetahui apa pengaruh dari jumlah
titik yang dibuat bervariasi, titik kontrol tanah yang sebarannya dibuat merata serta titik yang
mewakili terrain citra terhadap nilai akurasi hasil proses ortorektifikasi citra.
I.3. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan dalam penelitian ini yaitu :
1. Kondisi dan variasi titik kontrol tanah seperti apakah yang optimal untuk koreksi
ortorektifikasi citra Worldview-2 dalam penelitian ini?
2. Apakah akurasi citra satelit WorldView-2 tersebut memenuhi standar ketelitian
menurut Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial tentang Pedoman Teknis
Ketelitian Peta Dasar untuk skala 1:5000?
I.4. Batasan Masalah
Kegiatan dalam penelitian ini yaitu:
1. Data yang digunakan citra satelit resolusi tinggi Worldview-2 untuk wilayah kota
Semarang sebanyak 2 scene.
2. Titik kontrol tanah sebanyak 40 titik untuk dua buah scene tersebut yang telah diukur
di lapangan dengan menggunakan GPS geodetik metode RTK (Real Time
Kinematic) untuk input koordinat X, Y nya serta DEM (Digital Elevation Model)
untuk koordinat Z nya dalam proses ortorektifikasi.
3. Batasan variasi kondisi pada penelitian ini yaitu :
a. Variasi Jumlah Titik : variasi ini hanya mempersoalkan
jumlah titik saja
b. Variasi Persebaran Distribusi Titik : variasi ini hanya mempersoalkan pola
distribusi saja
c. Variasi Titik Mewakili Terrain : variasi ini hanya mempersoalkan titik-
titik terletak sesuai topografi area
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
I.5. Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi nilai akurasi hasil dari proses ortorektifikasi citra
resolusi tinggi Worldview-2 berdasarkan variasi konfigurasi titik kontrol tanah . Variasi
konfigurasi titik kontrol tanah tersebut adalah :
1. Variasi konfigurasi jumlah titik kontrol tanah.
2. Variasi konfigurasi persebaran titik kontrol tanah merata serta tidak merata,
3. Variasi konfigurasi distribusi titik kontrol tanah yang mewakili terrain.
I.6. Manfaat
Penelitian ini memiliki manfaat yaitu:
Mengetahui konfigurasi titik kontrol tanah yang optimal tanpa memakai terlalu banyak
titik kontrol tanah sehingga biaya akuisisi data dapat lebih efisien.
1.7. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang dilakukan ini memiliki tujuan untuk mengevaluasi akurasi citra satelit
Worldview-2 dengan memperhatikan variasi kondisi jumlah titik, persebaran titik , serta titik
kontrol tanah (TKT) yang mewakili terrain. Penelitian yang dilakukan oleh Bambang (2011)
meneliti mengenai sebaran titik kontrol tanah terhadap ketelitian peta citra hasil ortorektifikasi.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa banyak titik kontrol tanah (TKT) yang digunakan
dalam proses ortorektifikasi citra sangat berpengaruh terhadap ketelitian hasil koreksi
geometrik yang ditunjukkan melalui harga Root Mean Square Error (RMSE). Uji coba dengan
banyak titik kontrol tanah tersebut digunakan jumlah dengan variasi dimulai dari 6, 8, 9, 13,
dan 15 buah TKT dan sebaran yang merata.
Faktor pengaruh kondisi terrain citra dikemukakan oleh Bidang Produksi Data Pusat
Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (2010). Penelitian
tersebut menyatakan bahwa koreksi ortorektifikasi merupakan koreksi geometrik untuk
memperbaiki distorsi geometri. Distorsi geometri tersebut disebabkan oleh karakteristik
sensor, arah penginderaan dan pergeseran relief yang mengakibatkan arah penginderaan
memiliki proyeksi perspektif. Kondisi ini dapat terjadi pada citra dengan variasi topografi yang
sangat tinggi seperti lembah hingga puncak gunung dan bukit.
Akurasi dari proses koreksi geometrik bergantung utamanya pada jumlah TKT yang
dipilih , fitur yang diidentifikasi pada citra (persimpangan jalan, perpotongan jalan bandara,
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
lengkungan pada sungai dan fitur-fitur lainnya), dan distribusi dari TKT yang dipilih pada area
citra yang terdistorsi yang dinyatakan oleh Eltohamy dan Hamza (2009) pada papernya. Paper
tersebut menyebutkan jumlah TKT yang digunakan yaitu 20 TKT untuk dua scene citra.
Penelitian lain oleh Omer, Murat dan Haci (2014) menyatakan dalam papernya mengenai efek
dari jumlah TKT dan distribusinya pada permukaan diinvestigasi pada citra stereo WorldView-
2. Variasi kondisi yang berpengaruh adalah variasi distribusi titik kontrol pada terrain dan
variasi jumlah titik kontrol tanah. Variasi distribusi titik kontrol pada terrain terlihat lebih
efektif daripada efek jumlah TKT melihat pada hasil adjustment. Penelitian oleh Omer, Murat
dan Haci tersebut menggunakan variasi jumlah TKT mulai dari jumlah 31, 26, 21, 16, 11, 6, 4
TKT untuk dua scene citra. Data DEM (Digital Elevation Model) tidak digunakan dalam kedua
penelitian tersebut.
Evaluasi hasil ortorektifikasi citra diperlukan untuk dapat mengetahui kondisi apakah
yang paling mempengaruhi nilai akurasi tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Bambang
(2011) menyebutkan bahwa nilai RMSE dipengaruhi oleh jumlah titik TKT dengan pola
sebaran merata dan sejalan dengan Eltohamy dan Hamza (2009) yang menyatakan faktor
jumlah TKT dan distribusi TKT memiliki pengaruh pada nilai akurasi citra. Pada penelitian ini
selain variasi jumlah titik TKT ditambahkan variasi dengan jumlah TKT yang sama namun
pola sebaran selain dibuat merata juga dibuat tidak merata. Variasi kondisi lain yaitu variasi
TKT yang mewakili terrain citra. Titik kontrol tanah diletakkan pada daerah bukit (terrain
tinggi) serta daerah dekat pantai (terrain rendah) untuk meminimalisir distorsi geometri yang
sebelumnya telah dinyatakan oleh Bidang Produksi Data Pusat Data Penginderaan Jauh
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (2010) akibat variasi topografi pada citra yang
diteliti. Hal serupa dikemukakan oleh Omer, Murat dan Haci (2014) mengenai efek distribusi
titik kontrol pada terrain. Variasi distribusi titik kontrol pada terrain lebih efektif atau
berpengaruh daripada variasi jumlah TKT.
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
1.8. Landasan Teori
I. 8. 1 Citra Satelit Worldview-2
Citra merupakan masukan data atau hasil observasi dalam proses penginderaan jauh
(Hornby, 1974). Penginderaan Jauh atau Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu dan seni
untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data
yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena
tersebut.
Citra merupakan gambaran yang tampak dari suatu obyek yang sedang diamati, sebagai
hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau/sensor, baik optik, elektrooptik, optik-mekanik
maupun elektromekanik (Simonett dkk, 1983). Citra memerlukan proses interpretasi atau
penafsiran terlebih dahulu dalam pemanfaatannya.
Citra satelit adalah hasil dari pemotretan/perekaman alat sensor yang dipasang pada
wahana satelit ruang angkasa dengan ketinggian lebih dari 400 km dari permukaan bumi.
Kemampuan sensor dalam merekam obyek terkecil pada tiap pikselnya ini disebut
dengan resolusi spasial. Berdasarkan tingkatan resolusinya citra satelit dibedakan menjadi 3
macam, yaitu (Sutanto,1994) :
Citra resolusi rendah, memiliki resolusi spasial antara 15 m s/d 30 m
Citra resolusi sedang, memiliki resolusi spasial 2.5 m s/d 10 m
Citra resolusi tinggi, memiliki resolusi spasial 0.5 m s/d 1 m
Tingkat resolusi spasial citra satelit ini dipengaruhi oleh kemampuan sensor dalam
merekam objek yang terkecil, Satelit Landsat TM mampu merekam obyek terkecil dilapangan
sebesar 30 x 30 meter, Satelit Ikonos merekam dengan obyek terkecilnya 1 x 1 meter.
QuickBird dengan ukuran obyek terkecilnya 0,6 x 0,6 meter.
Citra satelit terbentuk dari serangkaian matrik elemen gambar yang disebut dengan
piksel. Piksel merupakan unit terkecil dari sebuah citra. Piksel sebuah citra pada umumnya
berbentuk segi empat dan mewakili suatu area tertentu pada citra. Jika sebuah sensor memiliki
resolusi spasial 20 meter dan citra dari sensor tersebut menampilkannya secara penuh, maka
masing-masing piksel akan mewakili area seluas 20 x 20 meter. Citra yang menampilkan area
dengan cakupan yang luas biasanya memiliki resolusi spasial yang rendah. Pada penelitian ini
digunakan citra satelit WorldView-2 dengan level produk yang digunakan yaitu level 2A yang
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
tidak memiliki relief topografi sehingga untuk proses ortorektifikasi dapat digunakan nilai
elevasi dari sumber lain dalam hal ini yaitu DEM (Digital Elevation Model) menurut Omer,
Murat dan Haci (2014). Gambar 1.1 berikut menunjukkan ilustrasi bentuk dari satelit resolusi
tinggi Worldview-2.
Gambar 1.1. Ilustrasi Satelit Resolusi Tinggi WorldView-2
(Sumber : http://www.geomatching.com)
I. 8. 2 Ketelitian Peta
Ketelitian peta adalah nilai yang menggambarkan tingkat kesesuaian antara posisi dan
atribut sebuah objek di peta dengan posisi dan atribut sebenarnya. Root Mean Square Error
(RMSE) adalah akar kuadrat dari rata-rata kuadrat selisih antara nilai koordinat data dan nilai
koordinat dari sumber independent yang akurasinya lebih tinggi.
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Ketelitian peta dasar tersebut meliputi :
a. Ketelitian Geometri adalah nilai yang menggambarkan ketidakpastian koordinat posisi
suatu objek pada peta dibandingkan dengan koordinat posisi objek yang dianggap posisi
sebenarnya. Komponen ketelitian geometri terdiri atas:
1. Akurasi horizontal.
2. Akurasi vertikal.
b. Ketelitian atribut/semantik adalah nilai yang menggambarkan tingkat kesesuaian
atribut sebuah objek di peta dengan atribut sebenarnya.
c. Ketelitian Geometri Peta RBI
Ketentuan untuk standar ketelitian geometri Peta RBI yang dihasilkan tertera pada tabel
di bawah ini :
Tabel 1.2 Standar ketelitian geometri Peta RBI
(Sumber : Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar )
Pada penelitian ini digunakan standar ketelitian untuk kelas 3 dengan nilai akurasi
horizontal dan akurasi vertikal masing-masing sebesar 2,5 meter untuk skala 1:5000 karena
menyesuaikan keterbatasan sarana dan prasarana yang ada di daerah mengacu PP no 8 tahun
2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang, Konsep dan Implementasinya yang telah
disebutkan pada latar belakang sebelumnya.
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Nilai ketelitian posisi peta dasar pada Tabel 1.2 adalah nilai CE90 (Circular Error)
untuk ketelitian horizontal dan LE90 (Linear Error) untuk ketelitian vertikal, yang berarti
bahwa kesalahan posisi peta dasar tidak melebihi nilai ketelitian tersebut dengan tingkat
kepercayaan 90%. CE90 merupakan ukuran ketelitian geometrik horizontal yang didefinisikan
sebagai radius lingkaran yang menunjukkan bahwa 90% kesalahan atau perbedaan posisi
horizontal objek di peta dengan posisi yang dianggap sebenarnya tidak lebih besar dari radius
tersebut. LE90 merupakan ukuran ketelitian geometrik vertikal (ketinggian) yaitu nilai jarak
yang menunjukkan bahwa 90% kesalahan atau perbedaan nilai ketinggian objek di peta dengan
nilai ketinggian sebenarnya tidak lebih besar dari nilai jarak tersebut. Nilai CE90 dan LE90
dapat diperoleh dengan rumus mengacu kepada standar US NMAS (United States National
Map Accuracy Standards) sebagai berikut:
CE90 = 1,5175 x RMSEr ........................................................................................... 1.1
LE90 = 1,6499 x RMSEz ........................................................................................... 1.2
dimana :
RMSEr : Root Mean Square Error pada posisi x dan y (horizontal)
RMSEz : Root Mean Square Error pada posisi z (vertikal)
dengan rumus RMSE sebagai berikut :
𝑅𝑀𝑆𝐸=√Σ(X2−X1)2
𝑛 ........................................................................................................................ 1.3
Keterangan :
RMSE = Root Mean Square Error
X1 = nilai sebenarnya
X2 = nilai hasil ukuran
n = banyak ukuran yang digunakan
I. 8. 3 Ortorektifikasi Citra Satelit
Citra satelit memiliki distorsi geometrik absolut berkisar 10 hingga ratusan meter. Hal
ini terjadi karena proses perekamannya dilakukan di antariksa berjarak ratusan kilometer dari
bumi, pada wahana satelit yang bergerak dengan posisi yang tidak selalu tegak lurus terhadap
permukaan bumi. Kesalahan geometrik juga terjadi dari efek topografi muka bumi. Kualitas
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
geometrik suatu citra merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembuatan peta.
Geometrik citra yang tidak presisi akan berdampak pada kesalahan dalam pengukuran
parameter jarak, luas, atau sudut pada peta yang dihasilkan. Koreksi geometrik lebih tepat
dilakukan pada citra satelit dan bukan pada peta vektor karena proses koreksi akan jauh lebih
efisien dan presisi jika dilakukan pada citra dari pada koreksi geometrik pada peta vektor.
Metode koreksi geometrik yang berpengaruh untuk mengurangi distorsi geometrik citra
satelit adalah dengan metode ortorektifikasi. Piksel pada citra di posisikan ulang sesuai
koordinat sebenarnya dengan acuan horizontal dari data GPS (Global Potitioning System) dan
koreksi efek topografi serta distorsi perekaman dengan data DEM (Digital Elevation Model).
Metode ortorektifikasi ada beberapa,yaitu orbital modeling (menggunakan Rigorous Model),
Polinomial, Thin Plate Spline, dan fungsi matematis. Tiap metode memiliki kelemahan dan
kelebihan tertentu. Daerah berelief tinggi sebaiknya mengkombinasikan beberapa metode
tersebut secara bertahap agar dapat diperoleh hasil yang memuaskan.
Algoritma ortorektifikasi yang dilakukan pada penelitian ini dijelaskan dalam diagram
alir berikut :
I.8.3.1 Model Matematika Toutin’s Model
Model matematika yang digunakan pada penelitian ini merupakan model matematika
teliti (Rigorous Model) yang dikembangkan di Canada Centre for Remote Sensing. Model ini
dapat menyajikan keadaan fisik sebenarnya serta telah mengintegrasikan semua distorsi yang
muncul selama akuisisi gambar. Distorsi yang dihasilkan tersebut mampu ditangani oleh
Toutin’s Model termasuk distorsi karena platform, sensor, Bumi, serta proyeksi kartografis
(Toutin dan Cheng, 2002).
Titik Kontrol
Tanah
DEM Citra
Satelit
Pemilihan Model
Matematis
Ortorektifikasi
Pemilihan Titik
Kontrol dan Cek Ekstraksi Nilai Z
dari DEM
Pembentukan
Orthoimage
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Model matematika Rigorous ini dipilih berdasarkan hasil penelitian oleh A.O. Ok dan
M.Turker (2006) dimana hasil yang didapatkan merupakan hasil dengan nilai akurasi terbaik
dibandingkan model matematika lainnya seperti RPC (Rational Polynomial Coefficien), RF
(Rational Function) dan lain-lain. Penelitian lain yang dilakukan oleh Aguilar dkk (2005) juga
memberikan hasil serupa dimana pada penelitian tersebut akurasi terbaik adalah model Toutin.
Pertimbangan lain dalam pemilihan model Toutin karena citra WorldView-2 yang digunakan
merupakan level 2A yang sudah memiliki parameter RPC sehingga tidak perlu lagi
menggunakan model RPC.
I.8.3.2 Titik Kontrol Tanah
Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Brock Adam McCarty pada website
www.apollomapping.com mengenai Geospatial Frequently Asked Question – What is Ground
Control pada tahun 2014, titik kontrol tanah merupakan titik yang lokasinya berada pada
permukaan bumi yang memiliki nilai X,Y serta Z. Penggunaan titik kontrol tanah dalam
ortorektifikasi citra satelit resolusi tinggi mengharuskan titik-titik tersebut dapat diidentifikasi
secara jelas. Titik-titik yang dapat terlihat jelas tersebut berarti harus dapat diamati pada citra
satelit yang sedang dikerjakan (misalnya : citra tidak tertutup awan). Jumlah titik kontrol tanah
yang digunakan untuk keperluan ortorektifikasi dapat didapatkan dengan rumus yang telah
dirumuskan oleh McCarty sebagai berikut:
Jumlah Titik Kontrol = 10 + (Luas Citra dalam km2 / 25) + (2 x Jumlah Overlap Citra) ..... 1.5
Perlu diketahui bahwa rumusan tersebut tidak akurat untuk daerah dengan landscape
yang sangat bergunung atau dalam hal ini perbedaan elevasi yang sangat tajam. Jumlah titik
kontrol minimal dari persamaan di atas dapat dijadikan acuan dengan minimal jumlah titik
kontrol yang dibutuhkan. Model matematika yang digunakan membutuhkan 7 titik kontrol
tanah minimal pada penelitian ini.
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
I. 8. 4 DEM (Digital Elevation Model)
DEM merupakan data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan
bumi atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari
permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut menggunakan
himpunan koordinat (Tempfli, 1991).
DEM adalah suatu sistem, model, metode, dan alat dalam mengumpulkan, prosessing,
dan penyajian informasi medan. Susunan nilai-nilai digital yang mewakili distribusi spasial
dari karakteristik medan, distribusi spasial di wakili oleh nilai sistem koordinat horisontal X Y
dan karakteristik medan diwakili oleh ketinggian medan dalam sistem koordinat Z (Doyle,
1991). DEM khususnya digunakan untuk menggambarkan relief medan. Gambaran model
relief rupabumi tiga dimensi yang menyerupai keadaan sebenarnya di dunia nyata (real world)
divisualisaikan dengan bantuan teknologi komputer grafis dan teknologi virtual reality (Mogal,
1993).
Struktur data DEM terdiri dari Grid, TIN, dan Kontur. Grid atau Lattice menggunakan
sebuah bidang segitiga teratur, segiempat, atau bujursangkar atau bentuk siku yang teratur grid.
Perbedaan resolusi grid dapat digunakan, pemilihannya biasanya berhubungan dengan ukuran
daerah penelitian dan kemampuan fasilitas komputer. Data dapat disimpan dengan berbagai
cara, biasanya metode yang digunakan adalah koordinat Z berhubungan dengan rangkaian titik-
titik sepanjang profil dengan titik awal dan spasi grid tertentu (Moore dkk., 1991).
TIN adalah rangkaian segitiga yang tidak tumpang tindih pada ruang tak beraturan
dengan koordinat x, y, dan nilai z yang menyajikan data elevasi. Model TIN disimpan dalam
topologi berhubungan antara segitiga dengan segitiga didekatnya, tiap bidang segitiga
digabungkan dengan tiga titik segitiga yang dikenal sebagai facet. Titik tak teratur pada TIN
biasanya merupakan hasil sampel permukaan titik khusus, seperti lembah, igir, dan
perubahan lereng (Mark 1975).
Kontur dibuat dari digitasi garis kontur yang disimpan dalam format seperti DLGs
(Digital Line Graphs) koordinat (x, y) sepanjang tiap garis kontur yang menunjukkan elevasi
khusus. Kontur paling banyak digunakan untuk menyajikan permukaan bumi dengan simbol
garis.
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
(Sumber : ESRI ArcGIS 10.x Desktop Help)
(Sumber : mathworld.wolfram.com) (Sumber : Gemcom Surpac 6.5.1)
I.8.4.1 Radargrametri pada Terrasar-X
Digital Elevation Model yang digunakan dalam penelitian ini yaitu produk dari
Terrasar-X. Metode akuisisi datanya menggunakan radargrametri (teknik pengukuran atau
mendeteksi objek dengan memakai radar). Metode ini berbasis pada amplitudo data dan
menggunakan dua buah akuisisi data dengan sudut pengambilan yang berbeda-beda (datar dan
curam). Data Terrasar-X tersebut dihasilkan dari dua buah wahana yang melakukan penyiaman
secara bersamaan. Ilustrasi mengenai pengambilan data dengan metode radargrametri pada
Terrasar-X tersebut dapat dilihat pada gambar 1.5.
Gambar 1.2. Struktur Data DEM : Grid
Gambar 1.2. Struktur Data DEM : TIN
Gambar 1.4. Struktur Data DEM : Kontur
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Gambar berikut merupakan gambar akuisisi Terrasar-X dengan radargrametri :
Gambar 1.5. Radargrametri pada Terrasar-X
(Sumber : www.dgpf.de )
I. 8. 5 Sistem Koordinat Titik Kontrol Tanah
Sistem koordinat yang digunakan yaitu sistem koordinat kartesian (X,Y,Z) dengan
sistem proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator) dan datum yang digunakan yaitu WGS
(World Geodetic System) 1984. UTM merupakan sistem proyeksi silinder yang membungkus
ellipsoid dengan kedudukan sumbu silindernya tegak lurus sumbu tegak ellipsoid (sumbu
perputaran bumi) sehingga garis singgung ellipsoid dan silinder merupakan garis yang
berhimpit dengan garis bujur pada ellipsoid (Prihandito, 1988). Sistem proyeksi UTM
didefinisikan posisi horizontal dua dimensi (x,y) menggunakan proyeksi silinder, transversal,
dan konform yang memotong bumi pada dua meridian standar. Seluruh permukaan bumi dibagi
atas 60 bagian yang disebut dengan UTM zone. Setiap zona dibatasi oleh dua meridian sebesar
Sudut
Pengambilan
Curam (20◦)
Sudut
Pengambilan
Datar
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6° dan memiliki meridian tengah sendiri. Contoh, zona 1 dimulai dari 180° BB hingga 174°
BB, zona 2 di mulai dari 174° BB hingga 168° BB, terus kearah timur hingga zone 60 yang
dimulai dari 174° BT sampai 180° BT. Batas lintangnya 80° LS hingga 84° LU. Setiap bagian
derajat memiliki lebar 8° yang pembagiannya dimulai dari 80° LS kearah utara. Bagian derajat
dari bawah (LS) dinotasikan dimulai dari C,D,E,F, hingga X (huruf I dan O tidak digunakan).
Bagian derajat 80° LS hingga 72° LS diberi notasi C, 72° LS hingga 64° LS diberi notasi D,
64° LS hingga 56° LS diberi notasi E, dan seterusnya. Pembagian zona di wilayah Indonesia
dibagi menjadi 9 zona yaitu dimulai dari zona 46 (90° BT) sampai zona 54 (144° BT).
Gambar 1.6. Pembagian zona UTM di Indonesia
(Sumber : www.geospasial.net)
Ketentuan – ketentuan dalam proyeksi UTM yaitu (Prihandito, 1988) :
1. Bidang silinder memotong bola bumi pada dua buah meridian yang disebut meridian
standar dengan faktor skala 1.
2. Lebar zone 6° dihitung dari 180° BB dengan nomor zone 1 hingga ke 180° BT dengan
nomor zone 60. Tiap zone mempunyai meridian tengah sendiri.
3. Perbesaran di meridian tengah = 0,9996.
4. Batas paralel tepi atas dan tepi bawah adalah 84° LU dan 80° LS.
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Sedangkan ciri-ciri proyeksi UTM adalah (Prihandito, 1988):
1. Proyeksi bekerja pada setiap bidang ellipsoid yang dibatasi cakupan garis meridian dengan
lebar yang disebut zone.
2. Proyeksi garis meridian pusat (Meridian Sentral) merupakan garis vertikal pada bidang
tengah poyeksi.
3. Proyeksi garis lingkar ekuator merupakan garis lurus horizontal di tengah bidang proyeksi.
4. Grid merupakan perpotongan garis-garis yang sejajar dengan dua garis proyeksi pada butir
dua dan tiga dengan interval sama, jadi garis pembentukan grid bukan hasil dari garis Bujur
atau Lintang Ellipsoid (kecuali garis Meridian Pusat dan Ekuator).
5. Penyimpangan arah garis meridian terhadap garis utara grid di Meridian Pusat sama
dengan atau garis arah meridian yang melalui titik luar Meridian Pusat tidak sama dengan
garis arah Utara Grid Peta yang disebut Konvegerensi Meridian. Tampilan simpangan ini
dapat diabaikan dalam luasan dan skala tertentu karena kecil.
I.9. Hipotesis
Perbedaan konfigurasi titik pasti menghasilkan beda nilai akurasi. Nilai akurasi
dipengaruhi konfigurasi jumlah titik kontrol tanah, persebaran titik yang merata serta titik yang
mewakili terrain citra. Konfigurasi optimal yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan
efisiensi biaya dan nilai akurasi memenuhi standar akurasi Peraturan Kepala Badan Informasi
Geospasial tentang Ketelitian Peta Dasar tingkat ketelitian kelas 3 adalah konfigurasi
persebaran titik merata serta konfigurasi titik yang mewakili terrain citra.
EVALUASI HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA WORLDVIEW-2 BERDASARKAN VARIASI KONDISITITIK KONTROL TANAHUNTUK SKALA PETA 1:5000MUH HARDIEN A.T.LUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/