UJI KINERJA MEMBRAN NANOFILTRASI ZEOLIT UNTUK …
Transcript of UJI KINERJA MEMBRAN NANOFILTRASI ZEOLIT UNTUK …
i
UJI KINERJA MEMBRAN NANOFILTRASI ZEOLIT UNTUK
MENAPIS NITRAT DAN AMONIUM AIR LIMBAH
PRODUKSI TAHU
Nama Mahasiswa : Andriono Sapto Nugroho
NRP : 3311201208
Pembimbing : Alia Damayanti, S.T., M.T., Ph.D
ABSTRAK
Teknologi pengolahan air yang saat ini menjadi perhatian para ilmuwan
adalah teknologi membran. Keunggulan teknologi membran terdapat pada
pengoperasiannya yang tidak membutuhkan energi terlalu besar. Teknologi
membran tidak melibatkan perubahan fase dan tidak perlu menggunakan energi
panas, sehingga komponen di dalamnya dapat dipertahankan.
Penelitian ini menggunakan zeolit sebagai membran nanofiltrasi yang
memiliki ukuran pori 0,001 µm. Penelitian ini mengharapkan nilai koefisien
rejeksi yang tinggi dan nilai fluks yang stabil dalam proses filtrasi yang lebih
lama, dengan preparasi membran nanofiltrasi yang optimal. Metode yang
digunakan untuk mengurangi dan mengoptimalkan konsentrasi nitrat dan
amonium limbah cair tahu adalah dengan membuat ukuran partikel zeolit 40 mesh
dan 200 mesh. Durasi proses centrifuge selama 10 menit dan 20 menit dengan
penambahan NH4Cl sebagai porogen serta penambahan lapisan pendukung PEG
untuk kekuatan membran. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi
proses sintesis serta karakteristik membran nanofiltrasi dengan bahan baku zeolit
alam secara spesifik. Selain itu penelitian ini juga mencari efektifitas kinerja zeolit
sebagai membran nanofiltrasi untuk menurunkan kadar nitrat dan amonium.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja membran zeolit nanofiltrasi
sangat baik dan efektif dalam menapis nitrat dan amonium. Permeabilitas
membran zeolit nanofiltrasi tertinggi berada pada ukuran partikel 200 mesh
dengan durasi centrifuge 10 menit pada 6,67 L/m2.jam. Permselektivitas membran
zeolit tertinggi dalam menapis nitrat berada pada ukuran partikel 200 mesh
dengan durasi centrifuge 10 menit dengan nilai 89,26% pada volume limbah
25%.Sementara itu permselektivitas membran zeolit tertinggi dalam menapis
amonium berada pada ukuran partikel 40 mesh dengan durasi centrifuge 10 menit
dengan nilai 98,18% pada volume limbah 75%.
kata kunci : limbah cair tahu, membran, nanofiltrasi, pengolahan air, zeolit
ii
Halaman Ini Sengaja Dikosongkan
iii
TEST PERFORMANCE OF ZEOLITE NANOFILTRATION
MEMBRANES FOR NITRATE AND AMMONIUM
FILTRATION IN TOFU WASTEWATER
Student : Andriono Sapto Nugroho
ID Number : 3311201208
Supervisor : Alia Damayanti, S.T., M.T., Ph.D.
ABSTRACT
Water treatment technologies that are currently of concern to the scientists, is a
membrane technology. The advantages of membrane technology found in the operation of
wastewater treatment that does not require too much energy because it does not involve a
phase change energy use and not too hot, so that the components inside can be
maintained .
This research used zeolite as a nanofiltrate membrane with its pore diameter of
0,001 µm. This research expects high value of rejection coefficient and stable value of
flux on longer filtration process, with optimal preparation of nanofiltration membrane.
The method which used in order to reduce and optimize concentration of nitrate and
ammonium in tofu wastewater was making zeolite particle size 40 mesh and 20 mesh.
Duration of centrifuge process as long as 10 minutes and 20 minutes with addition of
NH4Cl as a porogent and also addition of supporting layer PEG for membrane strength.
The aims of this research were identifying synthesis process and also specific
characteristics of nanofiltration membrane with raw material of natural zeolite.
Furthermore, this research was also finding the effectiveness of zeolite performance as
nanofiltration membrane in order to reduce nitrate and ammonium concentrations.
This research result shows that the performance of nanofiltration zeolite membrane
is very good and effective in filtrating nitrate and ammonium. The permeability of
nanofiltration zeolite membrane has its highest value on 200 mesh particle size with 10
minutes centrifuge duration and 6.67 L/m2.hour. The zeolite membrane permselectivity in
filtrating nitrate has its highest value on 200 mesh particle size with 10 minutes
centrifuge duration and 89.26% effectiveness on 25% wastewater volume. While the
zeolite membrane permselectivity in filtrating ammonium has its highest value on 40
mesh particle size with 10 minutes centrifuge duration and 98.18% effectiveness on 75%
wastewater volume.
keywords : tofu wastewater, membrane, nanofiltration, water treatment, zeolite
iv
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Cair Industri Tahu
2.1.1 Bahan Baku
Proses pembuatan tahu masih banyak yang dilakukan dengan cara
tradisional dan membutuhkan tenaga kerja manusia. Bahan baku utama yang
digunakan adalah kedelai (Glycine spp).
2.1.2 Sumber Limbah Industri Tahu
Limbah industri tahu pada umumnya dibagi menjadi dua bentuk limbah,
yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat industri pengolahan tahu
berupa kotoran hasil pembersihan kedelai (batu, tanah, kulit kedelai, dan benda
padat lain yang menempel pada kedelai) dan sisa saringan bubur kedelai yang
disebut dengan ampas tahu. Ampas tahu yang terbentuk besarannya berkisar
antara 25%-35% dari produk tahu yang dihasilkan. Ampas tahu masih
mengandung kadar protein cukup tinggi sehingga masih dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pakan ternak dan ikan, misalnya ikan bandeng. Salah satu sifat
dari ampas tahu ini adalah mempunyai sifat yang cepat basi dan tidak tahan lama
serta menimbulkan bau busuk apabila tidak dikelola secepatnya.
Tabel 2.1 Komposisi Bahan Kimia Ampas Tahu
No Unsur Satuan Nilai
1 Kalori kal 414.0
2 Protein gr 26.6
3 Lemak gr 18.3
4 Karbohidrat gr 41.3
5 Kalsium mg 19.0
6 Fosfor mg 29.0
7 Besi mg 4.0
8 Vit. B mg 0.20
9 Air gr 9.0 Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup, 2006
8
Limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu sebagian besar
adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu yang disebut dengan air
dadih (whey). Cairan ini mengandung kadar protein yang tinggi dan dapat segera
terurai. Seperti terlihat pada Tabel. 2.1.
2.1.3 Karakteristik Limbah Cair Tahu
Limbah cair industri tahu merupakan salah satu sumber pencemaran
lingkungan. Karakteristik air buangan yang dihasilkan berbeda karena berasal
dari proses yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Myrasandri dan Syafila
(2011) dalam Puspayana dan Damayanti (2013) menganalisis karakteristik
limbah cair tahu pada salah satu industri tahu di Bandung yaitu didapatkan data
sebagai berikut:
Tabel 2.2 Uji Karakteristik Awal Limbah Cair Tahu
Parameter Satuan Nilai Baku Mutu (*)
pH - 5,435 6-9
Zat Organik Mg/L KMnO4 9.449 -
BOD5 mg/L 6.586 50
COD terlarut mg/L 8.640 100
NTK mg NH3-N/L 297,5 20*
Ammonium mg NH3-N/L 11,2 1
Nitrat mg/L 25,355 20
Nitrit mg/L 0,0313 1
Total Phospat mg PO43- P/L 2,0232 5*
Parameter Satuan Nilai Baku Mutu (*)
Alkalinitas Total Mg/L CaCO3 860 -
Asiditas Mg/L CaCO3 1270 -
VSS mg/L 150 -
TSS mg/L 2350 400* Sumber : (*) Baku Mutu PP No. 82 Tahun 2001
Baku Mutu SK Gub. Jatim No. 72 Tahun 2013
9
Karakteristik buangan industri tahu meliputi dua hal, yaitu karakteristik
fisika dan kimia. Karakteristik fisika meliputi padatan total, padatan tersuspensi,
suhu, warna, dan bau. Menurut Kaswinarni (2007) karakteristik limbah cair
industri tahu antara lain:
1. Temperatur
Suhu buangan industri tahu berasal dari proses pemasakan kedelai. Suhu yang
meningkat di lingkungan perairan akan mempengaruhi kehidupan biologis,
kelarutan oksigen dan gas lain, kerapatan air, viskositas, serta tegangan
permukaan. Suhu limbah cair yang dihasilkan dari proses pencetakan tahu
30°C-35°C dan sekitar 80°C-100°C dari air bekas merebus kedelai.
2. pH
Nilai pH air digunakan untuk mengekpresikan kondisi keasaman (konsentrasi
ion hidrogen) air limbah. Skala pH berkisar antara 1-14; kisaran nilai pH 1-7
termasuk kondisi asam, pH 7-14 termasuk kondisi basa, dan pH 7 adalah
kondisi netral.
3. TSS (Total Suspended Solid)
Padatan-padatan tersuspensi/TSS (Total Suspended Solid) digunakan untuk
menentukan kepekatan air limbah, efisiensi proses dan beban unit proses.
Pengukuran yang bervariasi terhadap konsentrasi residu diperlukan untuk
menjamin kemantapan proses kontrol.
4. BOD dan COD
Kebutuhan oksigen dalam air limbah ditunjukkan melalui BOD dan COD.
BOD (Biological Oxygen Demand) adalah suatu karakteristik yang
menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme
(biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik
dalam kondisi aerobik (Metcalf and Eddy, 2003). COD (Chemical Oxygen
Demand) adalah kebutuhan oksigen dalam proses oksidasi secara kimia. Nilai
COD akan selalu lebih besar daripada BOD karena kebanyakan senyawa
lebih mudah teroksidasi secara kimia daripada secara biologi.
5. Senyawa-senyawa organik di dalam air buangan tersebut dapat berupa
protein, karbohidrat, lemak dan minyak. Senyawa-senyawa berupa protein
dan karbohidrat memiliki jumlah yang paling besar yaitu 40%-60% dan 25%-
10
50% sedangkan lemak 10%. Komponen terbesar dari limbah cair tahu
yaitu protein (N-total) sebesar 226.06- 434.78 mg/l, sehingga masuknya
limbah cair tahu ke lingkungan perairan akan meningkatkan total nitrogen
di perairan tersebut.
6. Gas-gas yang biasa ditemukan dalam limbah tahu adalah gas nitrogen
(N2), amonia (NH3), Oksigen (O2), hidrogen sulfida (H2S), karbondioksida
(CO2) dan metana (CH4). Gas-gas tersebut berasal dari dekomposisi
bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air buangan.
2.2 Denitrifikasi
Denitrifikasi merupakan proses reduksi nitrat menjadi nitrit dan
kemudian diubah menjadi gas nitrogen. Proses ini umumnya terjadi dalam
keadaan anoksik (tanpa oksigen) namun ada beberapa bakteri yang dapat
menguraikan asam nitrat dalam keadaan oksik atau aerob, karena bakteri yang
dipakai adalah bakteri aerob, menghabiskan BOD/COD, menghasilkan
alkalinitas dan sel baru. Dalam suatu keadaan di mana tanpa pemberian oksigen
yang telah larut, maka kegunaan dari oksigen sebagai penerima elektron yang
terakhir untuk pernafasan terhambat. Dalam keadaan seperti ini, maka
kebanyakan dari mikroorganisme fakultatif harus bertumpu pada fermentasi
guna menimbulkan lagi NAD+. Bagaimanapun, tentu chemoorganotrops mampu
di dalam menempatkan O2 dengan NO3- sebagai penerima elektron terakhir dan
respirasi dapat dilakukan dengan cara mereduksi nitrat ke dalam bentuk nitrit,
oksidasi nitrit dan oksidasi nitrous atau nitrogen ditunjukkan pada reaksi :
NO3- + substrat → NO2
- + CO2 + H2O
NO2- + substrat → N2 + CO2 + H2O + OH-
NO3- + substrat → N2 + CO2 + H2O + OH-
NO3- + substrat + sel + O2 + nutrisi → sel baru + N2 + CO2
+ H2O + OH- + residu selular tahan urai
11
Di mana produksi akhir asterik ditunjukkan seperti gas diketahui sebagai
anaerob atau respirasi nitrat dan dibawa keluar oleh pergantian bakteri tertentu
seperti Alcaligenes, Achromobacter, Micrococcuss dan Pseudomonas. Tidak
semua generasi ini mempunyai kemampuan untuk melengkapi oksidasi ke dalam
bentuk nitrogen dan juga berbagi jenis produksi seperti gas tertentu dapat
dihasilkan (Salimin dan Rachmadetin, 2000).
2.3 Dampak Limbah Cair Tahu
Herlambang (2002) menjelaskan bahwa pencemaran bahan organik
limbah industri tahu dapat menimbulkan gangguan terhadap kehidupan biotik.
Turunnya kualitas air di badan air akibat meningkatnya kandungan bahan
organik. Aktivitas organisme dapat memecah molekul organik yang kompleks
menjadi molekul organik yang sederhana. Bahan anorganik seperti ion fosfat dan
nitrat dapat dipakai sebagai makanan oleh tumbuhan yang melakukan
fotosintesis. Selama proses metabolisme oksigen banyak dikonsumsi, sehingga
apabila bahan organik dalam air sedikit, oksigen yang hilang dari air akan segera
diganti oleh oksigen hasil proses fotosintesis dan oleh reaerasi dari udara.
Sebaliknya jika konsentrasi beban organik terlalu tinggi, maka akan tercipta
kondisi anaerobik yang menghasilkan produk dekomposisi berupa amonia,
karbondioksida, asam asetat, hirogen sulfida, dan metana. Senyawa-
senyawa tersebut sangat toksik bagi sebagian besar hewan air, dan akan
menimbulkan gangguan terhadap keindahan (gangguan estetika) yang berupa
rasa tidak nyaman dan menimbulkan bau. Limbah cair industri tahu
mengandung sejumlah besar karbohidrat, lemak dan protein. Molekul organik
yang terdapat dalam limbah cair industri tahu secara garis besar mengalami
perombakan terutama karbohidrat, lemak dan protein yang terkandung
didalamnya yang dilakukan oleh mikroorganisme pengurai. Bahan organik
kompleks berupa karbohidrat, lemak dan protein mula-mula diubah menjadi
bentuk persenyawaan yang lebih sederhana glukosa, gliserol, asam lemak dan
asam amino. Asam amino yang merupakan hasil dari perombakan protein akan
dioksidasi menjadi nitroge amonia (NH3) dan senyawa karboksil. Senyawa
(NH3) akan dioksidasi lag menjadi nitrit (NO2-). Apabila oksigen tersedia akan
12
dioksidasi lagi menjadi nitrat (NO3-) (Pelczar dan Chan, 1996). Bahan organik
yang terdapat pada limbah cair industri tahu apabila berada dalam konsentrasi
tinggi dan langsung dibuang tanpa pengolahan akan menimbulkan pencemaran
pada lingkungan perairan (Nurhasan dan Pramudyanto, 1997).
Limbah cair yang dihasilkan mengandung padatan tersuspensi maupun
terlarut, akan mengalami perubahan fisika, kimia, dan hayati yang akan
menimbulkan gangguan terhadap kesehatan karena menghasilkan zat beracun
atau menciptakan media untuk tumbuhnya kuman penyakit atau kuman lainnya
yang merugikan baik pada produk tahu sendiri ataupun tubuh manusia. Bila
dibiarkan, air limbah akan berubah warnanya menjadi cokelat kehitaman dan
berbau busuk. Bau busuk ini mengakibatkan sakit pernapasan. Apabila air
limbah ini merembes ke dalam tanah yang dekat dengan sumur maka air sumur
itu tidak dapat dimanfaatkan lagi. Apabila limbah ini dialirkan ke sungai maka
akan mencemari sungai dan bila masih digunakan akan menimbulkan gangguan
kesehatan yang berupa penyakit gatal, diare, kolera, radang usus dan penyakit
lainnya, khususnya yang berkaitan dengan air yang kotor dan sanitasi
lingkungan yang tidak baik. (Kaswinarni, 2007).
2.4 Zeolit
2.4.1 Pengenalan Zeolit
Pada tahun 1756 seorang ilmuwan mineral, Axel Cornstedt asal Swedia
menemukan sejenis mineral yang kemudian diketahui sebagai zeolit dengan tipe
stilbite. Asal kata zeolite, diambil dari bahasa Yunani, “zeo dan lithos”, yang
berarti batu yang mendidih, karena bila dipanaskan akan membuih dan
mengeluarkan air (Akbar, 2010).
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, mineral zeolit
mempunyai kemampuan sebagai adsorben yang dikemukakan oleh Damour
seorang peneliti mineral pada tahun 1840 dalam Akbar (2010). Bahwa mineral
zeolit dapat terdehidrasi secara reversible tanpa menunjukkan adanya perubahan
morfologi. Kemudian pada tahun 1858, Eichorn melakukan pengamatan pada
kemampuan zeolit untuk melakukan pertukaran ion (ion exchange). Tidak
berhenti sampai disitu, Weighel dan Steinhoff pada tahun 1925 dalam Akbar
13
(2010) melaporkan bahwa chabasite dapat mengadsorbsi secara selektif molekul-
molekul senyawa organic berukuran kecil dalam campurannya dengan molekul-
molekul besar. Dilanjutkan penemuan McBain pada tahun 1932 dalam Akbar
(2010) melakukan uji coba pemanasan mineral zeolit (aktivasi) dan
mendapatkan zeolit mampu menyerap molekul-molekul gas dengan ukuran
partikel tertentu. Hingga tahun 1977, ditemukan deposit zeolit yang melimpah di
USA, Rusia, Jepang, Australia, Kuba dan sebagian Eropa Timur (Dyer, 1988).
2.4.2 Penamaan dan Struktur Zeolit
Menurut Smith (1984) dalam Akbar (2010), seorang ahli kristalografi
berkebangsaan Amerika, zeolit didefinisikan sebagai suatu Kristal alumino
silikat yang mempunyai struktur kerangka tiga dimensi (framework),
mempunyai rongga (cavity), dan saluran (channel) yang mengandung kation
logam alkali dan alkali tanah (Na, K, Mg, Ca), serta molekul air.
Sistem penamaan struktur kerangka zeolit didasarkan atas unit primer atau
PBU (Primary Building Unit) yang selanjutnya bertranformasi membentuk
struktur yang lebih kompleks lagi yaitu unit sekunder atau SBU (Secondary
Building Unit) dan unit periodik atau PBU (Periodical Building Unit) .
2.4.3 Zeolit Alam
Zeolit alam merupakan mineral yang tersedimentasi atau ada di alam
yang utamanya merupakan persenyawaan aluminosilicates yang membentuk
kerangka struktur tiga dimensi antara AlO4 dan SiO4 tetrahedral. Zeolit alam
merupakan bahan yang cocok dalam fabrikasi membran keramik karena sifatnya
yang tidak mudah mengembang dalam air dan mudah membentuk suspensi
untuk melapisi membran sebagai support (Dong dkk., 2006). Zeolit alam
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan membran konvensional yang
dibuat dari senyawa-senyawa yang umum digunakan seperti Al2O3 atau ZrO2 dll.
Zeolit alam akan membentuk pori-pori antar partikel (inter- particle active
pores) ketika disintering dalam keadaan kering (Nasir dan Budi, 2010) .
Menurut data Pusat Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
(PPTMB) penambangan zeolit alam di Indonesia terus meningkat. Data pada
14
tahun 2003 menunjukkan produksi mineral zeolit mencapai 60 juta ton. Jumlah
tersebut didomninasi oleh zeolit dengan jenis klinoptilolit dan mordenit. Lokasi
penambangan zeolit tersebar luas di berbagai daerah seperti Bayah-Banten,
Cikalong-Tasikmalaya, Cikembar dan Nagung-Bogor, Sukabumi dan Kalianda,
Cukuh Bulak, Talang Padang-Lampung dan seterusnya (Akbar, 2010).
2.5 Definisi Membran
Membran adalah lapisan tipis yang dapat digunakan untuk memisahkan
komponen yang berbeda berdasarkan sifat permeabilitasnya. Perbedaan sifat
permeabilitas inilah yang menunjang proses membran untuk diterapkan di
hampir seluruh bidang teritama industri kimia. Pemisahan menjadi aplikasi
industri yang utama pada teknologi membran selama 15 tahun terakhir tetapi
sebenarnya studi pemisahan telah dimulai jauh sebelum periode itu (Baker,
2004). Penelitian tentang sifat permeabilitas dan fenomena osmosis, pertama kali
dipublikasikan oleh Abbe Nolet seorang peneliti berkebangsaan Perancis tahun
1748 (Mulder, 1996). Dengan banyak keunggulan, penggunaaan membran juga
mempunyai keterbatasan yaitu terjadinya fouling atau porasisasi konsentrasi
pada membran, dan jangka hidup membran yang relatif singkat (Mulder, 1996).
Bahan pembuatan membran terdiri dari bahan alami dan bahan sintetis.
Bahan alami adalah bahan yang berasal dari alam misalnya pulp dan kapas,
sedangkan bahan sintetis dibuat dari bahan kimia, misalnya polimer (Abanmy
dan Yoshio, 1992).
Membran berfungsi memisahkan material berdasarkan ukuran dan bentuk
molekul, menahan komponen dari umpan yang mempunyai ukuran lebih besar
dari pori-pori membran dan melewatkan komponen yang mempunyai ukuran
yang lebih kecil. Larutan yang mengandung komponen yang tertahan disebut
konsentrat dan larutan yang mengalir disebut permeat. Filtrasi dengan
menggunakan membran selain berfungsi sebagai sarana pemisahan juga
berfungsi sebagai sarana pemekatan dan pemurnian dari suatu larutan yang
dilewatkan pada membran tersebut.
Transportasi pada membran terjadi karena adanya driving force yang
dapat berupa konveksi atau difusi dari masing-masing molekul, adanya
15
tarik menarik antar muatan komponen atau konsentrasi larutan, dan
perbedaan suhu atau tekanan (Pabby dkk., 2009).
Menurut Agustina dkk. (2005) teknologi membran memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan dengan proses lain, antara lain:
• Pemisahan dapat dilakukan secara kontinyu.
• Konsumsi energi umumnya relatif lebih rendah.
• Proses membran dapat mudah digabungkan dengan proses pemisahan
lainnya. (hybrid processing).
• Pemisahan dapat dilakukan dalam kondisi yang mudah diciptakan.
• Mudah dalam scale up.
• Tidak perlu adanya bahan tambahan.
• Material membran bervariasi sehingga mudah diadaptasikan pemakaiannya
2.5.1 Membran Zeolit
Zeolit merupakan aluminosilikat kristalin mikro yang memiliki
molecularsized pori-pori seragam. Mereka mampu memisahkan molekul
berdasarkan perbedaan ukuran molekul dan adsorpsi dan sifat difusi zeolitik.
Oleh karena itu juga berlaku sebagai pemisah untuk gas dan campuran fasa cair .
Meskipun zeolit pertama sudah dijelaskan pada tahun 1756, zeolit secara
komersial tidak digunakan sampai penemuan zeolit sintetis pada awal 1950-an
(Ghobarkar dkk., 1999). Saat ini lebih dari 150 kerangka topologi zeolit sintetis
tersedia (Baerlocher dkk., 2007) dan baru yang sering ditemukan. Terlepas dari
aluminosilikat, juga metallosilicates lain, semua - silika, dan aluminophosphate (
Alpo) bahan yang disebut sebagai zeolit, atau zeotypes. Beberapa jenis yang
banyak digunakan dalam ( petro ) industri kimia sebagai katalis, adsorben dan
ion - exchanger (Sherman, 1999). Membran zeolitik pertama kali disintesis
dalam kisaran tahun 80-an (Caro dkk., 2005) dan, setelah itu, jumlah publikasi
pada membran zeolit meningkat secara signifikan hingga tahun 2002, sejak saat
itu jumlahnya tetap cukup konstan.
Membran zeolit adalah lapisan zeolit tipis polikristalin diendapkan pada
pendukung anorganik berpori. Karena kristalinitas zeolit memiliki ukuran pori
yang terdefinisi dengan baik, dan secara kimiawi dan stabil secara termal. Hal ini
16
membuat mereka cocok untuk pemisahan gas (Bakker dkk., 1997;Van Den
Bergh dkk., 2007;Van Den Bergh dkk., 2008) dan reaktor membran (McLeary
dkk., 2003;Coronas dan Santamaria, 2004). Membran zeolit menawarkan
beberapa keunggulan dibandingkan membran polimer dan membran anorganik
lainnya (Bowen dkk., 2004). Zeolit menunjukkan suatu stabilitas kimia
meningkat dibandingkan dengan polimer dan silika amorf dan tidak
membengkak. Zeolit lebih stabil secara termal, yang memungkinkan kekuatan
pendorong signifikan lebih tinggi ( suhu dan tekanan ) dan potensi pemisahan
dari reaktor kimia. Karena ukuran pori didefinisikan dengan baik, pengayakan
molekul dengan benar dapat dicapai sehingga memiliki selektivitas tinggi.
Membran berbasis zeolit dapat dimanfaatkan juga untuk minimisasi limbah
dan recovery pelarut (Chau dkk., 2000) . Membran berbasis zeolit juga banyak
dimanfaatkan untuk pemisahan gas dari hidrokarbon, dehidrasi pelarut,
katalis untuk konversi kimia, remediasi polutan dan untuk produksi air bersih
(Cui dkk., 2008).
Kombinasi antara zeolit dengan bahan pengikat lainnya telah banyak
dilakukan dengan tujuan yang sama yaitu pemisahan gas dan pemisahan air.
Soyer dkk. (2009) dalam Akbar ( 2010) melakukan desalinasi air laut menjadi
air minum menggunakan membran zeolit. Kemudian Hennepe dkk. (1987)
dalam Akbar (2010), menggunakan campuran antara zeolit sebagai medium
pemisah dengan karet silikon sebagai bahan pengikatnya (binder). Penggunaan
campuran zeolit dengan semen portland sebagai membran mikrofilter juga
dilakukan oleh Akbar (2010). Pada tahun 2012, Muliawati telah melakukan
pembuatan membran selulosa asetat sebagai membran nanofiltrasi dengan
penambahan PEG.
Polimer hidrofilik seperti PEG dalam pembuatan membran, akan
memiliki lebih banyak pori , kurang macrovoids, meningkatkan interkonektivitas
pori (Ghosh dan Hoek, 2008; Chakrabarty dkk., 2008a, Liu dkk, 2003;
Chakrabarty dkk., 2008b).
2.6 Klasifikasi Membran
Membran diklasifikasikan menjadi beberapa golongan sebagai berikut:
17
1. Jenis membran berdasarkan bahan dasar pembuatan
2. Jenis membran berdasarkan fungsi
3. Jenis membran berdasarkan morfologi
4. Jenis membran berdasarkan prinsip pemisahannya
2.6.1 Jenis Membran Berdasarkan Bahan Dasar Pembuatan
Berdasarkan bahan dasar pembuatannya, membran dapat dibagi menjadi
dua jenis (Koros dkk., 1996), yaitu:
1. Membran biologis
Merupakan membran yang sangat kompleks pada struktur dan fungsinya.
Banyak dijumpai dalam sel makhluk hidup yang terdiri atas struktur dasar
dari dua lapisan lemak. contoh : sel kulit, ginjal, jantung, dan lain
sebagainya (Wenten, 1996).
2. Membran sintesis
Membran sintesis merupakan membran buatan yang sengaja dibuat untuk
kepentingan tertentu. Membran sintesis dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
membran organik dan membran anorganik (Mulder, 1996). Membran
organik adalah membran yang bahan penyusun utamanya polimer dan
makromolekul dengan bahan baku senyawa organik yang dibuat pada suhu
rendah (suhu kamar). Contoh : membrane selulosa asetat, PAN, PA, dan lain
sebagainya (Mulder, 1996). Membran anorganik tersusun dari senyawa
anorganik Contoh: membran keramik (seperti ZrO2 dan γ-Al-2O3),
membran gelas (seperti SiO2) (Mulder, 1996).
Istilah yang terakhir, dapat diterapkan pada semua membran (dibuat oleh
manusia) dengan bahan-bahan alami (modifikasi oleh manusia) dan dengan
bahan sintetik (membran sintetik). Karena efektivitas membran dalam
aplikasi tergantung pada morfologi serta mikro system membran, maka
klasifikasi lain membran sintetik dapat dibuat seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.1. di bawah ini.
18
Gambar 2.1. Klasifikasi Membran Sintetik (Tavolaro dan Drioli, 1999)
2.6.2 Jenis Membran Berdasarkan Fungsi
Berdasarkan fungsinya membran dibagi menjadi 4 jenis yaitu membran
mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi, dan reverse osmosis (Mulder, 1996).
Berikut ini penjelasan masing-masing membran berdasarkan perbedaan tekanan
(gradien tekanan). Ciri-ciri dari masing-masing jenis membran ditunjukkan pada
tabel di bawah ini.
19
Tabel 2.3. Jenis Membran Berdasarkan Fungsi
Sumber : Mulder, 1996 *Sutherland, 2008
2.6.2.1 Mikrofiltrasi
Mikrofiltrasi adalah pemisahan partikel berukuran mikron atau
submikron, merupakan suatu proses pemisahan dengan mekanisme penyaringan
yaitu memisahkan spesi tertentu dari yang lain berdasarkan ukuran dan
digunakan untuk penyaringan udara maupun cair. Karena membran mikrofiltrasi
mempunyai pori yang relatif besar, maka ketahanan terhadap tekanan relatif
No Jenis
Membran Ukuran
Pori Tekanan Fungsi Fluks*
1 Mikrofiltrasi
0.05-10 mm
0.1–2 bar
Memisahkan suspensi dan koloid
>50L/m2.jam
50-500 nm*
0.5-2 bar* All above dan colloids*
2
Ultrafiltrasi
0.05-10 nm
1.0–5 bar Memisahkan makromolekul
10-50 L/m2.jam
5-50 nm*
0.5-10 bar*
All above dan macromolecules*
3
Nanofiltrasi < 2 nm
5 - 20 bar
Memisahkan komponen terlarut BM rendah
1.4-12 L/m2.jam
0.6-5 nm*
10–40 bar*
PW dan low molecular solutes*
4
Reverse Osmosis < 2 nm
10-100 bar
Memisahkan komponen terlarut BM rendah
0.05 - 1.4 L/m2.jam
< 0.6 nm*
30-70 bar* Pure water (PW)* -
20
kecil dan sebagai gaya penggerak cukup digunakan tekanan rendah yaitu kurang
dari 2 bar.
2.6.2.2 Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi (UF) juga memisahkan atau memekatkan larutan yang
mengandung koloid dan bahan berberat molekul tinggi. Membran
semipermeable dipakai untuk memisahkan makromolekul dari larutan. Tekanan
sistem ultrafiltrasi relatif rendah 1-10 bar, sehingga dapat menggunakan pompa
centrifugal biasa. Pada membran ultrafiltrasi biasanya terjadi penurunan
permeabilitas karena disebabkan beberapa hal :
1. Zat terlarut teradsorbsi pada permukaan membran dan pori-porinya.
2. Zat terlarut tertahan di dalam pori-pori (blocking).
3. Zat terlarut secara mekanik tertahan pada bagian atas membran (saringan).
2.6.2.3 Nanofiltrasi
Nanofiltrasi merupakan proses khusus yang dipilih ketika proses
Reverse Osmosis dan Ultrafiltrasi bukan merupakan pilihan yang tepat untuk
operasi separasi. Nanofiltrasi bisa digunakan untuk beberapa jenis pemisahan
seperti demineralisasi, penghilangan zat warna, dan desalinasi. Pada larutan yang
terdiri dari solute organik, suspended solid, dan ion polyvalen, permeat yang
dihasilkan mengandung ionmonovalen dan berupa larutan organik dengan BM
rendah seperti alkohol (Baker, 2004). Nanofiltrasi adalah proses yang
menggunakan tekanan sebagai driving force. Proses separasi didasarkan pada
ukuran molekul. Membran yang digunakan dalam proses nanofiltrasi memiliki
retensi yang tidak terlalu besar terhadap garam univalent (Dasilva dan Martha,
2007). Nanofiltrasi terutama digunakan untuk menghilangkan ion atau
pemisahan cairan yang berbeda.
2.6.2.3.1 Prinsip Kerja Nanofiltrasi
Nanofiltrasi merupakan proses yang terjadi akibat perbedaan tekanan
untuk memisahkan solut berukuran lebih besar dari larutan dengan
menggunakan membran semipermeable. Proses ini dilakukan dengan cara
21
mengalirkan larutan sepanjang permukaan membran dengan memanfaatkan beda
tekanan. Filtrasi membran aliran crossflow menggunakan laju alir yang besar
untuk meningkatkan laju permeate dan mengurangi kemungkinan terjadinya
fouling. Partikel solut yang terejeksi (misal: garam terlarut) terpisah bersama
dengan arus aliran yang keluar dan tidak terakumulasi di permukaan membran
(Norman dkk., 2008). Pori pada membran nanofiltrasi tidak bisa diamati dengan
menggunakan mikroskop, walaupun begitu air masih bisa melewati membran
sedangkan garam multivalent dan bahan organik dengan BM (Berat Molekul)
rendah akan terejeksi.
Membran nanofiltrasi dengan ukuran pori sekitar 0.001 µm memiliki
keterbatasan dalam mengolah air baku menjadi air minum. Membran nanofiltrasi
hanya dapat memisahkan air dari padatan terlarut, bakteri, virus, ion multivalensi
seperti Ca2+, Mg2+ dll yang menyebabkan kesadahan atau molekul yang
mempunyai berat molekul dengan rentang 200-5000 dan tidak dapat
memisahkan ion monovalensi seperti Na+, K+ dll. Hal ini berarti, membran
nanofiltrasi hanya dapat mengolah air baku yang berupa air tawar (Ren dan
Wang, 2011). Sulit untuk memprediksi performansi dari membran nanofiltrasi,
terutama bila terdapat lebih dari tiga macam solut dalam larutan tersebut karena
rejeksi membran dipengaruhi oleh ukuran, struktur, dan muatan dari komponen
dalam larutan. Akibatnya, proses piloting sangat direkomendasikan pada aplikasi
nanofiltrasi, apalagi bila hasil analisa air umpan tersedia secara lengkap. Dalam
Gambar 2. 2. yang akan disajikan di bawah ini terlihat jenis partikel yang lolos
dan juga yang terejeksi oleh membran nanofiltrasi.
Gambar 2.2. Karakteristik Proses Membran Nanofiltrasi (Wenten, 1996)
22
2.6.2.4 Reverse Osmosis
Reverse osmosis adalah proses pemisahan dengan tekanan sebagai daya
dorong, menahan semua ion dan meloloskan air. Membran reverse osmosis ini
juga rentan adanya fouling karena diakibatkan adanya zat-zat dalam air baku,
misalnya kerak, pengendapan koloid, oksida logam, organic, silika.
2.6.3 Jenis Membran Berdasarkan Morfologi
Berdasarkan morfologinya membran dapat dibagi menjadi dua jenis,
yaitu:
1. Membran simetri adalah membran yang mempunyai ukuran pori-pori yang
homogen baik sisi dalam maupun sisi luarnya. Ketebalannya berkisar antara
10-200 μm. Berikut membran simetri disajikan dalam Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Membran Simetri (Mulder, 1996)
2. Membran asimetri adalah membran dengan ukuran pori-pori sisi luar lebih
rapat dengan ketebalan antara 0.1 - 0.5 μm, sedangkan ukuran pori sisi dalam
lebih renggang dengan ketebalan antara 50-200 μm. Membran asimetri
divisualkan pada Gambar 2. 4. dibawah ini.
Membran mikrofiltrasi memiliki ukuran pori antara 0.05 dan 10 µm dan
dirancang menyaring sel dan memungkinkan protein dan zat terlarut lebih kecil
untuk masuk ke dalam filtrat.
23
Gambar 2.4. Membran Asimetri (Mulder, 1996)
2.6.4 Jenis membran berdasarkan prinsip pemisahannya
Berdasarkan prinsip pemisahannya, membran terbagi menjadi tiga jenis,
yaitu :
1. Membran berpori adalah membran dengan prinsip pemisahan berdasarkan
pada ukuran partikel zat.
Gambar 2.5. Membran berpori (Mulder, 1996)
2. Membran tak berpori adalah membran dengan prinsip pemisahan
berdasarkan atas perbedaan kelarutan dan kemampuan berdifusi. Serta
tingkat selektivitas dan permeabilitasnya ditentukan dari sifat intrinsik
bahan polimer membran. Membran ini sering digunakan untuk gas
separation dan pervaporasi.
24
membran
Gambar 2.6. Membran tak berpori (Mulder, 1996)
3. Membran cair adalah membran yang prinsip pemisahannya tidak
ditentukan oleh membran ataupun bahan pembentuk membran tersebut,
tetapi oleh molekul pembawa yang spesifik (Mulder, 1996). Teknik
pemisahan dengan membran cair merupakan metode pemisahan dengan
selektivitas tinggi untuk pemisahan ion logam maupun senyawa organik
atau anorganik (Bargeman dan Smolders, 1986).
2.7 Material Membran
Material membran dapat diklasifikasikan menjadi 3 antara lain :
1. Organik (polimer)
Contoh material : polycarbonate, polyamide, dll. Jenis polimer yang
dijadikan material membran yaitu :
Membran berpori (porous membrane)
Digunakan untuk aplikasi mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi
Membran tidak berpori (non-porous membrane)
Digunakan untuk aplikasi permeasi gas, uap dan pervaporasi
2. Anorganik
Tipe material anorganik membran ada 4 yaitu :
Membran Keramik
25
Merupakan kombinasi dari logam (aluminium, titanium, silicium, atau
zirconium dan non- logam (oxide, nitride, carbide)
Membran gelas/kaca
Berupa silicon oksida/Silika SiO2
Membran logam (termasuk carbon)
Membran zeolit
3. Biologi
Merupakan material membran yang berasal dari makhluk hidup, misalnya
lipida (phospholipid). Struktur membran dari material ini sangat kompleks,. Tiap
molekul lipid terdapat bagian yang hidrofilik dan hidrofobik (Mulder, 1996).
2.8 Teori Pemisahan dengan Membran
Pemisahan dengan membran dilakukan dengan mengalirkan feed ke
dalam membran kemudian akan terpisah sesuai driving force yang digunakan.
Proses pemisahan dengan membran menghasilkan dua aliran yaitu permeate dan
retentate. Permeate merupakan hasil pemisahan yang diinginkan sedangkan
retentate merupakan hasil sisa (Pe Xu dkk., 2011; Pabby dkk., 2009). Seperti
pada Gambar 2.7. di bawah ini.
Gambar 2.7 Skema Pemisahan menggunakan Membran (Pe Xu dkk., 2011;
Pabby dkk., 2009)
2.9 Kinerja Instalasi Membran
Sebelum kita menginjak pada kinerja membran nanofiltrasi, dapat kita
lihat kerangka proses pemisahan membran pada Gambar 2.8. di bawah ini :
26
Gambar. 2.8 Kerangka Proses Pemisahan pada Membran (Koltuniewicz, 2005)
Driving force sebagai tenaga pendorong pada pemisahan menggunakan
membran terdapat 4 macam. Kinerja (performance) instalasi membran
tergantung pada jenis driving force yang digunakan (Mulder, 1996) dalam
Puspayana dan Damayanti (2013). Macam-macam aplikasi pemisahan dengan
membran berdasarkan driving force dan kinerja instalasinya antara lain :
1. Driving force gradient tekanan (∆P)
Proses Pemisahan Membran
Proses Fisik Proses Kimia
Haemodialisis, Membran cair,
Membran Pendukung, Transport aktif,
Fasilitas transport
Tekanan sebagai tenaga pendorong
Proses Difusi Proses Panas Proses Listrik
-Mikrofiltrasi -Ultrafiltrasi
-Nanofiltreasi -Reverse Osmosisi
-Pemisahan Gas
-Pervaporasi -Perstraction
-Dialisis -Ekstraksi Membran -Absorbsi Membran
-Distilasi Membran
-Distilasi Vakum Membran
-Elektrodialisis
-Electrostatic Pseudoliquid Membranes
27
Aplikasi penggunaan antara lain : mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi, reverse
osmosis. Kinerja instalasi membran berupa fluks (J) merupakan tingkat dan
koefisien rejeksi (R) yang merupakan tingkat permselektivitas.
Besarnya fluks dihitung dari besarnya laju alir yang melewati setiap luas
permuakaan membran. Semakin besar laju alir permeate dan semakin kecil luas
permukaan membran, maka fluks yang dihasilkan semakin besar. Sedangkan
rejeksi merupakan ukuran perbandingan konsentrasi permeate dan retentate yang
berhasil dipisahkan. Kinerja membran dapat dilihat pada Gambar 2. 8. berikut:
Gambar 2.9. Skema proses membran (Pe Xu dkk., 2011; Mulder, 1996)
2. Driving force gradien Konsentrasi (∆C)
Aplikasi penggunaan : pervaporasi, permeasi gas, permeasi uap, dialisis,
dialisis–difusi. Selektivitas (α) pada pemisahan campuran gas dapat
dihitung dengan persamaan berikut (Cao dkk., 2002) :
YA / YB αA/B = ——————— (1) XA / XB
Dimana A dan B merupakan komponen-komponen yang terdapat pada campuran
yang akan dipisahkan sedangkan X dan Y merupakan fraksi mol umpan dan
permeate. Sedangkan selektifitas dan permeabilitas pada pemisahan gas murni
dapat dihutng dengan persamaan :
(P/L)A αA/B = —————— (2) (P/L)B
28
QP (P/L) = ———— (3) Am. ∆P Dimana :
Jv = volume fluks (liter/m2.sec)
QP = laju alir permeate (liter/sec atau cm3/sec)
Am = luas permukaan membran (m2 atau cm2)
αA/B = selektivitas zat A terhadap zat B
(P/L) = permeabilitas (1bGPU = 1×10-6 cm3(STP)/(cm2s cmHg))
∆P = beda tekanan (cmHg)
3. Driving force gradient Temperature (∆T)
Aplikasi penggunaan : thermo-osmosis, distilasi membran. Kinerja instalasi
berupa fluks (J) dan selektifitas (α).
4. Driving force gradien Potensial Listrik (∆E)
Aplikasi penggunaan : elektrodialisis, elektro-osmosis, membran-elektrolisis.
Kinerja instalasi berupa fluks (J) dan selektivitas (α).
2.10 Karakterisasi Membran
Kriteria yang penting dalam menentukan kinerja membran dapat dilihat
dari parameter fluks (permeabilitas), rejeksi (permselektivitas), ketebalan,
morfologi dan sifat mekanik membran (Mulder, 1996).
2.10.1 Permeabilitas Membran
Kriteria penting dalam menentukan kinerja membran sebagai alat
pemisah adalah fluks dan rejeksi (Radimandan Suendo, 2002). Permeabilitas atau
fluks yang mengalir melalui membran didefinisikan dengan jumlah volume
permeat yang melewati membran per satuan luas permukaan per satuan waktu.
Harga fluks menunjukkan kecepatan alir permeat saat melewati membran. harga
fluks ini sangat tergantung pada jumlah dan ukuran pori-pori membran.
V J = ——— (4) A x t
29
J = Fluks (L/m2. jam)
V = Volum permeat (L)
A = Luas permukaan membran (m2)
t = Waktu (jam)
Laju fluks akan menurun sejalan dengan waktu pengoperasian
akibat pengendapan atau pelekatan material dipermukaan membran, yang
dikenal dengan istilah fouling dan scaling. Fouling dapat didefinisikan sebagai
proses terbentuknya lapisan oleh material yang tidak diinginkan pada
permukaan membran. Secara teknis, scaling didefinisikan sebagai akumulasi
kerak (scale) akibat adanya peningkatan konsentrasi dari materi anorganik yang
melewati hasil kali kelarutannya pada permukaan membran dan menyebabkan
penurunan kinerja membran. Sehingga definisi fouling sudah termasuk
scaling. Dalam penggunaannya, istilah fouling lebih banyak pada materi
biologis dan koloid, sedangkan istilah scaling digunakan untuk pengendapan
garam atau mineral anorganik. Terjadinya fouling diawali dengan adanya
polarisasi konsentrasi yaitu peningkatan konsentrasi lokal dari suatu solut
pada permukaan membran, sehingga material terlarut berkumpul membentuk
lapisan gel yang semakin lama menebal. Pada polarisasi konsentrasi ini, fluks
mengalami penurunan karena adanya peningkatan pada tahapan hidrodinamik
pada lapisan batas dan kenaikan tekanan osmotik lokal. Selain polarisasi
konsentrasi, penurunan fluks dapat terjadi akibat pengaruh dari adsorpsi,
pembentukkan lapisan gel (gel layer formation) dan penyumbatan pada pori.
Dampak langsung yang dapat diamati dan cukup signifikan yang menandai
terjadinya fouling ini adalah menurunnya kinerja membran (fluks permeat
menurun seiring waktu), seperti yang terlihat pada Gambar 2.10.
Gambar. 2.10. Nilai Fluks permeat seiring waktu
30
2.10.2 Permselektivitas Membran
Permselektivitas atau efisiensi pemisahan adalah kemampuan membran
untuk meloloskan spesi tertentu dan menahan spesi yang lain (Mulder, 1996).
Permselektivitas biasanya dinyatakan dengan rejeksi (R%) yang menunjukkan harga
fraksi konsentrasi zat terlarut yang tertahan atau tidak menembus oleh membran.
Koefisien rejeksi dapat dirumuskan sebagai berikut (Mulder, 1996; Anderson
dkk., 1997):
1001%
f
p
CC
R (5)
dimana:
R = Koefisien rejeksi (%)
Cp = Konsentrasi zat terlarut dalam permeat
Cf = Konsentrasi zat terlarut dalam umpan
Penentuaan nilai rejeksi membran berkaitan dengan porositas membran.
Porositas merupakan perbandingan ukuran pori dengan luasan membran.
Semakin kecil ukuran membran, maka porositas yang dihasilkan akan semakin
tinggi dan sebaliknya. Jika rejeksi membran menunjukkan 100% berarti
membran mengalami rejeksi sempurna dan sebaliknya jika nilainya 0%,
menunjukkan larutan dan zat terlarut melewati membran dengan bebas (Mulder,
1996).
2.10.3 SEM (Scanning Electron Microscopy)
Salah satu cara untuk mengetahui morfologi membran adalah dengan uji
SEM. Dengan uji ini dapat diketahui struktur permukaan dan penampang
melintang suatu polimer menggunakan mikroskop elektron. Selain itu, SEM juga
dapat mengetahui distribusi pori, geometri pori, ukuran pori dan porositas pada
permukaan (Mulder, 1996). Prinsip kerja SEM dimulai dengan berkas elektron
primer dengan energi kinetik 1-25 kV mengenai sampel membran. Setelah
mengenai membran elektron tersebut direfleksikan atau dipancarkan. Elektron
yang direfleksikan ini disebut dengan elektron sekunder yang akan muncul dan
31
menentukan image yang teramati pada layar micrograph pada alat SEM (Mulder,
1996).
Ketika berkas elektron dikenakan pada suatu membran, maka ada
kemungkinan membran tersebut akan terbakar atau rusak. Kerusakan ini
dipengaruhi oleh jenis membran dan kecepatan berkas elektron yang diberikan.
Kemungkinan akan terjadinya kerusakan ini dapat dicegah dengan melapisi
sampel membran dengan lapisan konduksi, biasanya digunakan lapisan emas.
Kerusakan struktur membran juga bisa terjadi pada saat pengeringan membran.
Adapun metode yang biasa digunakan untuk mencegah kerusakan struktur ini
adalah dengan mengunakan cryo-unit atau mengganti air membran dengan
cairan yang mempunyai tegangan permukaan lebih kecil dari air pada saat
pengeringan. Beberapa contoh cairan yang biasa digunakan adalah etanol,
butanol, pentana dan heksana (Mulder, 1996). Skema kerja SEM ditunjukkan
pada Gambar 2.11 di bawah ini.
Gambar 2.11. Skema kerja SEM (Mulder, 1996)
2.10.4 Ketebalan membran
Pengukuran ketebalan membran sangat berguna baik bagi pemakai
maupun pembuat membran karena secara tidak langsung ketebalan membran
sebagai indikator keseragaman dan kontrol kualitas membran. Pengukuran
ketebalan membran dapat digunakan alat mikrometer, dan diukur secara acak
kemudian dihitung ketebalan rata-ratanya (Mulder,1996).
32
2.10.5 Uji Tarik
Uji tarik merupakan salah satu pengujian sifat fisik yang melibatkan
deformasi material di bawah tekanan tertentu. Terdapat beberapa besaran fisika
yang digunakan untuk menentukan sifat fisik material yaitu tegangan (stress),
regangan (strain), dan Modulus Young. Ketiga besaran ini diperoleh dengan
melakukan uji tarik terhadap material yang akan diukur.
Tegangan (stress) adalah besarnya gaya (F) yang diberikan pada material
yang diuji persatuan luas material (A) (Lando and Maron, 1974). Hubungan
antara besarnya gaya yang diberikan dengan besarnya tegangan ditunjukkan
pada persamaan :
F σ = ——— (6) A
Regangan (strain) adalah perbandingan mula-mula akibat suatu gaya
dengan arah sejajar perubahan panjang tersebut (Lando and Maron, 1974).
Hubungan antara regangan dengan perubahan panjang ditunjukkan pada
persamaan :
Δ l ∆ε = ——— (7) l0
Modulus Young (E) adalah kemiringan dari kurva tegangan-regangan
sebelum tercapai hasil tegangan (Lando and Maron, 1974). Persamaannya adalah
sebagai berikut :
σ E = ——— (8) Δ=ε
Kemiringan kurva tegangan-regangan untuk mendapatkan Modulus Young
ditunjukkan pada Gambar 2.12 di bawah ini.
33
Gambar 2.12 Kurva tegangan-regangan (Mulder, 1996)
2.11 Spektrofotometer Serapan Atom (SAA)
Metode analisis spektrofotometer serapan atom adalah salah satu metode
analisis kimia yang dilakukan berdasarkan analisis pengukuran besaran sifat
fisik yang timbul atau berubah akibat adanya interaksi materi dengan berbagai
bentuk energi panas, radiasi, kimia dan listrik.
2.11.1 Prinsip Kerja SAA
Larutan cuplikan diambil melalui kapiler dan disempurnakan sebagai
kabut halus dalam nyala api yang berbentuk memanjang. Setelah cuplikan dalam
kabut halus mengalami berbagai proses dalam nyala api, maka akhirnya unsur
logam yang dianalisis timbul sebagai atom-atom netral yang masih dalam
keadaan dasarnya. Atom-atom itu kemudian disinari dengan panjang gelombang
tertentu sehingga terjadi absorbsi sinar oleh atom logam. Absorbsi berbanding
lurus dengan konsentrasi unsur logam yang akan dianalisis. Absorbsi sinar oleh
atom-atom logam terjadi di dalam nyala api. Sumber energi berupa lampu katoda
berongga (Hollow Chathode Lamp). Sedangkan nyala pembakar berguna untuk
mengaktifkan atom logam sebelum menyerap energi (Akbar, 2010).
2.11.2 Skema Alat Spektrofotometri Serapan Atom (SAA)
Alat SAA merupakan gabungan dari beberapa instrumen utama seperti
sumber sinar, atomisasi, dan spektrofotometer (terdiri dari monokrometer,
detektor, rekorder) yang dirangkai sedemikian rupa hingga dapat digunakan
34
sebagai analisis kadar logam. Berikut ini merupakan gambar diagram alir prinsip
kerja alat Spektrofotometri Serapan Atom (SAA) di bawah ini.
Gambar 2.13 Diagram Sistem kerja alat Spektrofotometri Serapan Atom
(SAA)
a. Sumber Sinar
Sumber sinar yang digunakan untuk pengukuran secara spektrofotometri
serapan atom adalah Hollow Chatode Lamp dan setiap pengukuran logam
harus menggunakan hollow chatode khusus. Hollow chatode akan
memancarkan energi radiasi yang sesuai dengan energi yang diperlukan
untuk transisi elektron atom. Hollow chatode lamp terdiri dari tungsten
(bermuatan positif) dan katoda silinder (bermuatan negtif). Kedua elektroda
tersebut berada di dalam sebuah tabung gelas yang berisi gas neon (Ne) atau
gas Argon (Ar) dengan tekanan 1-5 torr.
b. Sistem Pengatoman
Pada sistem pengatoman unsur yang akan dianalisis diubah bentuknya dari
bentuk ion menjadi atom bebas. Proses ini juga dikendalikan oleh nebulizer,
dimana uap larutan diberi panas (suhu) tinggi sehingga terjadi proses
atomisasi.
c. Monokromator
Monokromator berfungsi untuk meneruskan panjang gelombang emisi dari
lampu katoda berongga yang diabsorbsi paling kuat oleh atom-atom di dalam
35
nyala api (panjang gelombang maksimum) dan menahan garis-garis emisi lain
dari lampu katoda berongga yang tidak digunakan dalam analisis.
d. Detektor
Detektor berfungsi mengubah energi sinar menjadi energi listrik. Energi yang
dihasilkan akan mengeluarkan angka digital, maupun menampilkan angka
pada layar monitor.
e. Sistem Pembacaan
Sistem pembacaan pada SAA sangat bervariasi dan tergantung pada
keperluan. Untuk analisis raksa maupun pengatoman dengan tungku grafik
yang diperlukan adalah terutama sistem pembacaan rekorder atau monitor
komputer. Dimana cuplikan telah diubah menjadi larutannya (pada umumnya
pelarut digunakan adalah aquadest berkualitas tinggi).
Menurut Asminar dkk. (2008), hubungan antara absorbansi dengan
konsentrasi unsur logam yang dianalisis dinyatakan dengan Hukum Lambert-
Beer sebagai berikut :
I A = log ——— (9) Io A = a . b . c (10)
Dimana ,
Io = Transmitansi awal (candela) a = koefisien serapan radiasi (L.M-1.cm-1)
I = Transmitansi (candela) b = panjang medium yang
dilewati radiasi resonansi (cm)
A = Absorbansi
c = konsentrasi atom tingkat tenaga dasar (mol.L-1)
36
2.12 Bahan aditif pada polimer
Bahan aditif pada polimer yaitu bahan yang ditambahkan pada polimer
untuk meningkatkan kemampuan pemrosesan dan mengubah kualitas dan sifat
produk polimer. Bahan aditif yang banyak ditambahkan pada polimer dapat
berfungsi sebagai zat penstabil (stabilizer), zat pemlastis (plasticizer), zat
pengisi (filler), dan zat-zat lain seperti zat warna, akselerator, zat penahan nyala
(Billmeyer, 1962).
Pada pembuatan membran bahan aditif yang ditambahkan kepada
polimer untuk menambah fleksibilitas dan workabilitynya yaitu sifat mekanik
dan kinerja membran yang optimal. Pada penelitian ini menggunakan bahan Poli
etilen glikol (PEG).
PEG adalah molekul sederhana dengan struktur molekul linier atau
bercabang, polieter netral, sesuai dengan beberapa variasi bobot molekul, dan
larut dalam air dan beberapa pelarut organik. PEG dengan bobot molekul
dibawah 700 berbentuk cair pada suhu ruang, sedangkan PEG dengan bobot
molekul 700-900 berbentuk semi solid dan PEG dengan bobot molekul 900-
1000 atau lebih berbentuk padat pada suhu ruang. Bobot molekul kurang dari
1000, PEG bersifat kental, cairan tak berwarna. Sedangkan bobot molekul yang
lebih tinggi dari 1000 bersifat lilin dan berbentuk padatan putih (Harris, 1992).
Sementara menurut Su (2009) PEG adalah senyawa biocompatible, highly
hydrophilic dan anti fouling.
PEG dibuat secara komersial melalui reaksi etilen oksida dengan air atau
etilen glikol dengan sejumlah kecil katalis natrium klorida. Jumlah dari
etilen glikol menentukan berat molekul PEG yang dihasilkan. Rumus molekul
PEG dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
H
H
C
H
C O HOH
H
Gambar 2.14. Rumus molekul polietilen glikol (id.wikipedia.org/wiki/Polietilen_glikol)
37
PEG larut dalam air dan beberapa pelarut organik meliputi toluene,
metil klorida, etanol dan aseton. PEG tidak larut dalam heksana dan hidrokarbon
alifatik yang serupa, dietil eter serta etilen glikol. Kelarutan ini banyak
digunakan untuk sintesis turunan PEG mulai reaksi dengan menggunakan
pelarut organik seperti toluen, dan pemisahan produk dilakukan dengan
menambahkan bahan yang tidak larut seperti heksan atau etil eter (Harris, 1992).
2.13 Fouling
Dalam pengolahan limbah dengan menggunakan membran, fluks
permeat mungkin mengalami penurunan . Penolakan ini mungkin disebabkan
karena polarisasi konsentrasi atau fouling (Ashaghi dkk., 2007). Ada dua jenis
membran fouling secara umum yaitu :
1. Fouling reversible, adalah hasil dari penyimpanan partikel koloid atau
zat terlarut di dalam permukaan membran atau pori-pori membran.
Backwash dengan air murni mungkin bisa digunakan untuk membalikkan
deklinasi fluks pada fouling reversible.
2. Fouling irreversible adalah hasil dari penyerapan kimia maupun fisik
yang kuat terhadap partikel dan zat terlarut pada permukaan membran
dan pori-pori membran. Satu-satunya metode untuk memulihkan
deklinasi fluks oleh fouling ireversible adalah mencuci dengan larutan
asam atau alkali. Namun, dengan metode pembersihan secara agresif
mungkin tidak dapat memulihkan permeabilitas membran seperti sedia
kala (Li, 2006).
Membran Fouling mungkin disebabkan oleh biofouling, scaling, organik
fouling, organik fouling (Ashaghi dkk., 2007 ) dan Maguire-Boyle dan Barron ,
2011) antara lain :
1. Kontaminasi mikroba dari air yang dapat menghasilkan biofilm pada
permukaan membran, sehingga dapat menurunkan permeasi air
melalui membran (Biofouling).
2. Garam dapat memicu pada permukaan membran (scaling).
38
3. Pelapisan permukaan atau menyumbat pori-pori pada lapisan
pendukung dengan hidrokarbon (organik fouling).
4. Akumulasi tanah liat dan silika pada permukaan membranakan
menyebabkan koloid fouling.
Identifikasi pada mekanisme fouling belum jelas, karena
pengukuran/pengamatan pada proses skala laboratorium tidak dapat benar-benar
menggambarkan atau menjelaskan fenomena pada skala pilot atau proses
membran sekala penuh (Chon dkk., 2012). Banyak aliran umpan yang diproses
menggunakan membra, memiliki partikel dengan ukuran nanometer untuk
micrometer yang daspat mengakibatkan fouling oleh karena itu masalah tersebut
tidak dapat dihentikan (Abbasi dkk., 2012).
Strategi yang berbeda dan dapat dimanfaatkan untuk mengurangi efek
fouling (Lee and Frankiewicz, 2005) :
1. Minyak, padatan, dan gel dapat dikurangi dengan menggunakan
beberapa proses pre-treratment
2. Menjaga kecepatan cross-flow yang tinggi.
3. Siklus pembersihan dapat dimanfaatkan.
4. Backwash atau mencuci arus balik dan dapat digunakan.
5. Beroperasi pada suhu yang lebih tinggi.
Penambahan desinfektan dan agen anti scaling dapat mengontrol
terjadinya fouling (Ashaghi dkk., 2007). Hal yang penting dalam mengendalikan
fluks adalah kecepatan cross-flow, tekanan meningkat maka kenaikan fluks akan
linier. Satu dari parameter yang paling penting dalam mengendalikan fluks
adalah kecepatan cross-flow. Dengan kecepatan cross-flow 3 m/s dan dilaporkan
sebagai kecepatan normal, proses di atas dapat mengurangi tingkat fouling,
namun pemanfaatan tekanan yang lebih tinggi membutuhkan lebih banyak
energy dan tekanan yang sangat tinggi (akibat kecepatan tinggi dapat
menyebabkan fouling yang parah atau pemadatan membran (Ashaghi, 2007).
2.14 Teknik Pembuatan Membran
Semua jenis material sintetik yang berbeda dapat digunakan untuk
pembuatan membran. Material yang digunakan bisa berupa anorganik seperti
39
logam, keramik, gelas atau organik mencakup semua polimer. Tujuannya adalah
untuk memodifikasi material melalui teknik yang cocok untuk memperoleh
struktur membran dengan morfologi yang cocok untuk pemisahan yang spesifik.
Tidak setiap masalah pemisahan bisa diselesaikan dengan semua jenis material.
Sejumlah teknik tersedia untuk pembuatan membran sintetik. Beberapa teknik
ada yang bisa digunakan untuk membuat membran baik anorganik maupun
organik. Teknik pembuatan yang paling penting diantaranya (Mulder, 1996)
dalam Damayanti (2013) :
1. Sintering
Bahan membran yang diguanakan adalah bubuk yang memiliki ukuran
partikel tertentu. Bubuk tersebut ditekan dan dipanaskan pada suhu yang
tinggi, sehingga antar muka partikel yang berdekatan akan menghilang dan
timbul pori-pori. Metode ini digunakan untuk menghasilkan membran
mikrofiltrasi organik dan anorganik yang berpori, dengan ukuran pori antara
0.1-10 μm
2. Streching
Pada metode ini membran yang terbuat dari polimer semikristalin ditarik
searah dengan arah aktrusi, sehingga bagian ristalin dari polimer terletak
sejajar dengan arah ektrusi. Porositas membran dihasilkan dengan metode
ini lebih banyak dibandingkan dengan metode sintering. Pori yang terbentuk
berukuran 0. 1-3 μm.
3. Track-etching
Metode ini dikenal dengan metode litografi. Membran dari polimer
ditembak dengan partikel radiasi berenergi tinggi pada arah tegak lurus
terhadap membran. Partikel radiasi akan membentuk lintasan pada matriks
membran. Pada saat membran dimasukkan kedalam bak asam atau basa,
maka membran polimer akan terbentuk sepanjang lintasan. Pori yang
dihasilkan berukuran seragam (simetri) dan distribusi pori sempit (porositas
pori yang diperoleh berkisar antara 0. 02-10 μm.
4. Template leaching
Teknik ini dilakukan dengan melepas salah satu komponen membran,
sehingga dihasilkan membran berpori. Sebagai contoh leburan homogeny
40
dari komponen system (Na2O-B2O3-SiO2) didinginkan dan system akan
memisah menjadi dua fasa. Fasa pertama adalah fasa yang tidak larut dan
mengandung SiO2, sedangkan fasa kedua adalah fasa yang larut. Fasa kedua
ini dilepas dengan penambahan asam atau basa. Ukuran pori yang
dihasilkan bervariasi dengan ukuran minimum sekitar 5 nm.
5. Coating
Polimer membran yang rapat akan menghasilkan nilai fluks yang rendah.
Untuk meningkatkan laju fluks, maka ketebalan membran harus diperkecil
dengan membentuk membran komposit. Membran komposit terdiri atas dua
material yang sangat selektif diletakkan dibagian atas membran. Selektivitas
membran akan ditentukan oleh lapisan atas ini. Sedangkan pada lapisan
bawahnya dilapisi dengan material berpori besar. coating dapat dilakukan
dengan cara dip coating, polimerisasi plasma, polimerisasi antar muka, dan
polimerisasi in situ.
6. Phase Inversion (inversa fasa)
Inversa fasa adalah proses transformasi polimer dari fasa cair ke fasa padat
dengan kondisi terkendali. Proses pengendapan diinisiasi oleh keadaan dari
satu cairan menjadi dua cairan yang saling campur (liquid-liquid demixing).
Campuran salah satu fasa cair yang mengandung polimer berkonsentrasi
tinggi akan memadat dan membentuk matriks sehinga morfologi membran
dapat diatur. Keunggulan adalah proses yang sederhana, skala produksi
yang fleksibel, serta mampu menghasilkan membrane dengan tingkat
porositas yang lebih tinggi.
2.14.1 Pencucian Membran
Pencucian membran dapat didefinisikan sebagai proses dimana material
dihilangkan dari zat-zat yang bukan bagian dari material tersebut. Pencucian
membran merupakan usaha agara permukaan aktif tetap bersih dan proses yang
sangat penting dalam mewujudkan operasi membran yang efisien serta
menjamin tingkat kemurnian produk (Wenten, 1995).
Metode-metode untuk pencucian membran setelah terbentuknya fouling
didasari pada metode diantaranya secara hidrolis dan penggunaan bahan kimia.
41
Metode yang digunakan bergantung pada proses pemisahan dan konfigurasi
modulnya. Pencucian membran secara hidrolis dilakukan dengan pembilasan
balik (backflushing) dari permeate melalui membran. Pencucian membran
menggunakan bahan kimia merupakan metode yang sangat penting dan secara
luas digunakan untuk mengendalikan fouling pada proses pemisahan
menggunakan membran.
Teknik-teknik untuk penghilangan (pembersihan) endapan dari membran
yang mengalami fouling diantaranya secara kimia (menggunakan bahan kimia),
secara mekanis (osmosis langsung, pembilasan) dan kombinasi secara mekanis
dan menggunakan pembersih membran yang diformulasikan khusus. Pencucian
membran menyebabkan bahan kimia bereaksi dengan endapan, kerak, produk
korosi dan foluant yang lainnya. Bahan kimianya dapat diklasifikasikan sebagai
asam, alkali dan produk yang diformulasikan (Pinem, 2010).
Membran yang terkotori menyebabkan berkurangnya kecepatan fluks dan
efisensi operasi. Fouling akan menyebabkan shutdown yang tidak teratur, waktu
operasi hilang dan menyebabkan penggantian membran. Proses pencucian
membran didasari oleh dua tipe operasi yaitu:
1. Operasi pembilasan yang menghilangkan lapisan tipis cair atau partikel yang
menempel pada permukaan.Pada pre-runsing (pembilasan awal) terjadi
penghilangan bahan bahan biologi, sedangkan pembilasan lainnya menitik
beratkan pada residu pencuci (deterjen, desinfektan).
2. Operasi pencucian yang menghilangkan pengotor yang menempel kuat pada
permukaan. Teknik untuk menghilangkan endapan dapat dilakukan secara
kimia (penggunaan bahan bahan kimia), mekanikal (osmosis langsung,
flushing, dan spongeball, air sparging dan lain lain) sera kombinasi antara
mekanikal, ultrasonik dan pencucian kimia, namun yang paling sering
digunakan adalah pencucian kimia khususnya menggunakan membran
terformulasi (Wenten, 1995).
Menurut Wenten (1995) tiga macam bahan pencuci yang sering
digunakan dalam menghilangkan endapan dari membran adalah sebagai berikut:
a) Bahan basa dan bahan asam, yang terdiri dari dissolution, peptizing, dan
bahan yang mempunyai sifat mendispersi kotoran tapi menyebabkan korosi.
42
b) Bahan aktif permukaan (surface active agent) yaitu bahan yang
menambahkan sifat pembasahan dari larutan, mengurangi tegangan
permukaan dan mempunyai efek mengemulsi dan mendisversi kotoran.
c) Bahan penghelat (chelating agent) yaitu bahan yang mampu meredeposisi.
2.15 Jenis Aliran Umpan dalam Pengoperasian Membran
Dalam operasi membran terdapat dua jenis aliran umpan, yaitu aliran
cross flow dan aliran dead-end. Pada aliran cross flow, aliran umpan mengalir
melalui suatu membran, dengan hanya sebagian saja yang melewati pori
membran untuk memproduksi permeat, sedangkan aliran pelarut atau cairan
pembawa akan melewati permukaan membran sehingga larutan, koloid dan
padatan tersuspensi yang tertahan oleh membran akan terus terbawa menjadi
aliran balik. Seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.15 Arah aliran umpan Cross flow
Sedangkan pada sistem dead-end, keseluruhan dari fluida melewati
membran (sebagai media filter) dan partikel tertahan pada membran, dengan
demikian fluida umpan mengalir melalui tahanan membran dan tahanan
penumpukan partikel pada permukaan membran (Mallack dkk., 1997). Seperti
pada gambar di bawah ini.
43
Gambar 2.16. Arah aliran umpan dead-end
2.16. Penelitian Terdahulu
Berbagai metode telah dikembangkan untuk zeolit. Dalam beberapa
penelitian zeolit dapat disintesis dengan metode sintesis zeolit, zeolit disintesis
dari abu dasar batubara menggunakan metode peleburan diikuti kristalisasi
hidrotermal (Yanti dan Yuli, 2009) dan juga dilakukan oleh Widiastuti (2011)
dengan sistem kolom dengan aliran dari atas ke bawah. Zeolit pada penelitian
ini dibuat dari abu dasar batubara dengan metode peleburan dengan suhu
peleburan dilakukan pada 750ºC selama 1 jam dan proses hidrotermal pada suhu
100ºC selama 12 jam dengan perbandingan molar SiO2/Al2O3 = 1.9. Hasil
analisis Difraksi Sinar X, XRD untuk mengetahui struktur kristalnya,
menunjukkan zeolit yang terbentuk adalah zeolit (hasil pencocokan puncak-
puncak tersebut sesuai dengan Powder Diffraction File (PDF) yang diperoleh
dari Data Base Joint Committee on Powder Diffraction Standards (JCPDS) 1997
dengan nomor seri PDF 39-0222 sebagai standar terbentuknya zeolit A). (Suci
dan Nurul, 2010). Berdasarkan metode peleburan abu dasar diikuti proses
hidrotermal yang dilakukan oleh Yanti dan Yuli (2009) menunjukkan bahwa
terbentuk zeolit yang memiliki kristalinitas dan kemurnian lebih tinggi
dibandingkan dengan metode hidrotermal langsung abu dasar bebas karbon
(Nikmah, 2009) ataupun hidrotermal langsung abu dasar dengan masih adanya
karbon (Atminingsih, 2009). Pada tahap peleburan dengan alkali, abu dasar
terdekomposisi menjadi garam alkali yaitu garam natrium silikat dan aluminat.
44
Padatan abu dasar yang mengandung garam natrium silikat dan natrium alumina
silikat dihaluskan dan dilarutkan dalam air destilat hingga konsentrasi NaOH
sekitar 2M. Proses pelarutan leburan abu dasar dengan air destilasi adalah
sebagai berikut:
Na2 SiO3(s) + H2O(aq)> Na2SiO3(aq)
Na2AlSiO4(s)+ H2O(aq)> Na2Al(OH)4(aq)
Untuk membuat zeolit, selanjutnya rasio molar SiO2/Al2O3 gel awal dalam
ekstrak leburan dikontrol melalui penambahan sumber Al dan diikuti oleh
kristalisasi zeolit. Reaksi yang terjadi ketika proses kristalisasi berlangsung
yaitu:
NaOH(aq)+ NaAl(OH)4(aq)+ Na2SiO3(aq) suhu kamar >
[Nax(AlO2)y(SiO2)z. NaOH. H2O](gel) Suhu 373, 3 oC >
Nap[(AlO2)p(SiO2)q]. h H2O
Pada tahun 2001 Nizami dan Iqbal telah melakukan penelitian untuk
menghasilkan silica dari sekam padi. Metode yang mereka gunakan adalah
pyroprocessed dengan membakar sekam padi di dalam furnace listrik dengan
suhu 500ºC selama 8 jam. Abu yang dihasilkan mengandung 92.01% SiO2 yang
telah diberikan perlakuan kimia basah dan pengeringan termal.
Penelitian terdahulu (Puspayana dan Damayanti, 2013), sampel yang
sama dengan menggunakan membran silika nanofiltrasi dengan massa 5 gram
dapat merejeksi konsentrasi ammonium sampai mencapai 92.17%. Fluks
terbesar terjadi pada membran dengan massa silika 8 gram saat digunakan
variasi volume air limbah 25% dengan nilai fluks sebesar 3.67 L/m2. Jam. Serta
didukung oleh penilitian Aufiyah dan Damayanti (2013) serta Maharani dan
Damayanti (2013) yang menyimpulkan membran terbaik adalah membran
dengan massa silika 5 gram. Jadi komposisi terbaik adalah silika 28.66% wt,
PEG 32.38% wt, PVA 19.48% wt, semen putih 19.48% wt.
Hasil analisis dari SEM dan XRD menunjukkan bahwa kinerja dari
membran perovskit LSCF 7382 yang disintesis dengan tekanan 2 ton akan
menjadi lebih baik untuk konversi gas metan menjadi syngas jika membran
disinterring dengan menggunakan suhu 1100⁰C dan waktu sintering 8 jam, yang
45
dilakukan oleh Ilmiah dkk. (2011). Sifat suspensi (ukuran partikel dari bubuk
keramik) dan kondisi sintering harus dioptimalkan sehingga diperoleh dukungan
yang akan menghasilkan porositas yang optimal dan ukuran pori yang sementara
dapat mempertahankan kekuatan materi yang memadai (Mulder, 1996), sehingga
permean dapat dioptimalkan. Sintering pada suhu tinggi dapat meningkatkan
kekuatan ikatan bahan kaca dalam teknologi membran (San dan Yener, 2005).
Seiring peningkatan suhu dari 950°C sampai 1000°C selama 20 menit dengan
tingkat pendinginan 5°C/menit, suhu dapat mengubah porositas dan ukuran pori.
Porositas menurun dari 43.42 % menjadi 40.02 % dan meningkatkan ukuran pori
rata-rata dari 1.48 µm menjadi 1.88 µm (San dan Özgür, 2011).
Dalam studi lain, Kim dkk. (2002), pembuatan pendukung membran
keramik tubular, menurut temuan mereka porositas lebih tergantung pada suhu
sintering, sedangkan ukuran pori lebih tergantung pada ukuran dari partikel awal
yang digunakan dalam membuat membran. Ukuran partikel mempengaruhi
kemasan partikel dan dengan demikian terjadi evolusi jari-jari pori selama
sintering. Semakin kecil ukuran partikel awal, semakin besar densifikasi
(kekerasan permukaan, kekuatan, kerapatan) pertumbuhan rongga selama
sintering (Kingery, 2002). Ukuran pori konstan dengan peningkatan suhu
sintering, pada pembentukan membran dengan ukuran partikel 0.5 µm dan 2.8
µm (Wang dkk., 1999). Menurut Bissett (2005), bahwa penggunaan bubuk
AKP-15 (0.61µm) menghasilkan dukungan dengan porositas dan permeability
air tertinggi pada suhu sintering setara dibandingkan AKP-30 (0.31 µm) dan
AKP-50 (0.25 µm). Ukuran pori dan distribusi ukuran pori dipengaruhi oleh
ukuran serbuk partikel mula-mula.
Studi tentang membran anorganik oleh Arief, dkk. (2013) yang berbahan
dasar dari zeolit alam, silika, dan kalsium karbonat telah berhasil disintesis dan
diaplikasikan untuk penjernihan air rawa gambut. Mikrograf SEM menunjukkan
adanya pengaruh temperatur sintering terhadap morfologi, ukuran pori, porositas
dan densitas membran. Membran yang di sinter pada temperatur 850 - 900oC
mempunyai ukuran pori yang kecil yaitu 0.1 – 3 µm dan masih berada pada
range mikrofiltrasi. Porositas akan berkurang dengan bertambahnya temperatur
46
sintering. Densitas menunjukkan sifat yang berbeda dari porositas terhadap
kenaikan temperatur sintering.
Pada penelitian dengan menggunakan teknologi nanofiltrasi NF90
dengan bahan material poliamide yang dilakukan selama ini, memiliki penolakan
terhadap nitrat relatif tinggi pada air tanah dalam kisaran 84-95% (Amouha,
2011).
Membran nanofiltrasi sangat efektif dalam mengurangi konsentrasi nitrat,
arsenic, aluminium, fluoride, boron, dan uranium dalam perairan alam (Richard,
2012).
47
47
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Umum
Pada penelitian ini dilakukan pengujian membran nanofiltrasi dari zeolit
sebagai filter pada limbah industri tahu. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah
untuk mengetahui durasi proses centrifuge optimal dan ukuran partikel zeolit yang
bisa dihasilkan untuk pembuatan membran. Sampel yang digunakan dalam penelitian
ini adalah limbah cair dari industri tahu yang terdapat di industri yang terletak di
Jalan Kedung Tarukan No. 12 Surabaya.
Karakteristik membran dilakukan dengan dua cara, yaitu pengujian struktur
yang dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometri FTIR dan analisis
morfologi membran yang dilakukan dengan menggunakan peralatan SEM. Parameter
yang dianalisis pada penelitian ini meliputi kadar Nitrat dan Amonium dengan
parameter fisik ukuran pori membran zeolit nanofiltrasi. Variasi yang dilakukan pada
penelitian ini adalah varasi durasi proses centrifuge, ukuran partikel zeolit dan
konsentrasi air limbah sebagai variabel kinerja/bebas. Sedangkan variabel terikat
adalah prosentase rejeksi dan fluks.
Tahapan penelitian untuk pertama kali dilakukan dengan identifikasi masalah
yang berasal dari kesenjangan antara kondisi nyata dengan kondisi ideal, kemudian
didapatkan ide penelitian dari masalah yang timbul. Kerangka penelitian
selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.1:
Pengambilan sampel limbah cair tahu untuk analisa Nitrat dan Amonium
v
Ide Penelitian: uji kinerja membran zeolit A untuk pengolahan air limbah
Tinjauan Pustaka: a. Limbah cair industri tahu
b. Karakteristik limbah cair tahu
c. Dampak limbah cair tahu d. Definisi Membran
e. Klasifikasi Membran
f. Teknik Pembuatan Membran zeolit. g. Permeabilitas Membran.
h. Permselektivitas Membran.
i. Karakterisasi Membran.
j. Pemanfataan Membran.
v
48
Gambar 3.1 Kerangka Penelitian
3.2 Ide Penelitian
Ide penelitian dalam tugas akhir ini adalah sebagian besar limbah yang
dihasilkan oleh industri tahu skala rumah tangga tidak diolah terlebih dahulu. Untuk
mengatasi masalah tersebut, digunakan teknologi membran yaitu dengan melakukan
penelitian pemanfaatan zeolit alam sebagai bahan baku pembuatan membran
nanofiltrasi untuk menurunkan kadar nitrat dan amonium pada limbah cair tahu.
3.3 Studi Literatur
Studi literatur dilakukan dengan mencari bahan-bahan yang berhubungan dan
terkait untuk mendukung penelitian dari awal hingga penyusunan laporan. Studi
Pelaksanaan sintesis zeolit sebagai bahan dasar membran nanofiltrasi
v
v
Pembuatan membran nanofiltrasi dengan variasi
ukuran partikel zeolit 40 mesh; 200 mesh dan
durasi proses centrifuge 10 ; 20 menit dengan 600
rpm dalam larutan 2-propanol.
Pengujian membran pada
reaktor dengan variasi
konsentrasi air limbah
75%;50%;25%
Analisa Data dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
v
Penambahan NH4Cl dan lapisan pendukung. Selanjutnya
proses pencetakan membran : 1. Analisis Morfologi
Membran 2. Pengujian Struktur 3. Permeabilitas 4.
Permselektivitas
-
Variabel terkontrol :
tebal membran ;
massa zeolit 2 mg ;
lapisan pendukung,
5.0 ml PEG 400 v
49
literatur juga berguna untuk mendapatkan arahan dan pedoman dalam pelaksanaan
penelitian, serta memperkuat hasil penelitian lapangan. Sumber-sumber yang
digunakan meliputi textbook, jurnal/artikel ilmiah, laporan penelitian, tugas akhir dan
karya terdahulu yang berhubungan dengan penelitian terdahulu.
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Analisa Awal Limbah Cair Tahu (analisa Nitrat dan Amonium)
Limbah cair tahu yang digunakan berasal dari limbah industri tahu yang
berada di Jalan Kedung Tarukan, Surabaya. Pengambilan sampel dilakukan dengan
menampung limbah cair tahu ke dalam bak atau ember berukuran sedang sebanyak 4
liter. Setelah itu akan dilakukan analisa kadar Nitrat dan Amonium pada limbah cair
tahu tersebut. Untuk menganalisa kadar Nitrat digunakan metode Brucin Asetat.
Alat-alat yang digunakan dalam metode ini adalah Erlenmeyer 50 ml,
spektrofotometer dan kuvet, dan pipet 10; 5 ml. Sedangkan bahan yang digunakan
adalah larutan Brucin Asetat dan larutan Asam Sulfat (H2SO4) pekat. Untuk analisa
Amonium digunakan metode Nessler. Alat-alat yang digunakan adalah
spektrofotometer dan kuvet, Erlenmeyer 100 ml, dan pipet 25; 10; 5 ml. Sedangkan
bahan yang digunakan adalah larutan Garam Signet dan larutan Nessler.
3.4.2 Pembuatan Membran
Langkah pertama dalam pembuatan larutan membran adalah dengan
menimbang zeolit hasil sintesis pengayakan dengan ukuran partikel 0.425 mm atau
200 mesh dan 0.075 mm atau 40 mesh dengan berat masing-masing 2 mg. Masing-
masing tersebut dimasukkan dalam botol sentrifuge kemudian ditambahkan 35 mL 2-
Propanol. Larutan tersebut di sentrifuge 100 mL selama 10 menit dengan kecepatan
600 rpm. Kemudian membuat larutan suspensi yang sama disentrifuge selama 20
menit dengan kecepatan 600 rpm. Setelah selesai di sentrifuge akan terbentuk
endapan putih zeolit yang telah tercampur 2-Propanol dengan merata. Endapannya
diambil untuk pembuatan membran dan cairan atasnya dibuang. Endapan putih
dimasukkan dalam beker glass yang telah berisi campuran 3,5 gram NH4Cl dan 300
ml aquades kemudian di aduk dengan magnetik stirrer selama 1 jam dan dibiarkan
sampai mengendap.
50
Proses pencetakan membran dilakukan dengan pencampuran larutan PEG
(Poly Ethylen Glicol). Langkah awal dari proses pembuatan membran adalah,
menambahkan 5.0 ml PEG 400 serta 30 mL aquades ke dalam beker glass 80 mL.
Berikut komposisi untuk masing-masing variasi ukuran partikel zeolit dan variasi
durasi proses centrifuge zeolit yang digunakan. Kemudian di panaskan pada panci
yang telah berisi air. hal ini bertujuan agar larutan tidak hangus karena waktu
pemanasan cukup lama sampai semua bahan tercampur dengan halus dan mengental.
Setelah larutan mengental kemudian dicetak dengan menggunakan cawan petri dan
dibiarkan selama 30 jam. Membran dioven pada suhu 70 °C selama 1 jam untuk
memperkuat struktur membran dan tidak mudah sobek.
3.4.3 Pengujian Membran pada Reaktor Aliran Cross Flow
Pengujian kinerja membran dilakukan dalam reaktor dengan aliran cross
flow. Membran nanofiltrasi dipotong membentuk lingkaran dengan diameter 1.5 cm.
Setelah itu membran diletakkan ke dalam reaktor dengan menggunakan kasa
steinless sebagai media penyangga membran. Kemudian reaktor dijalankan dengan
menggunakan boster untuk mengalirkan air limbah. Dengan diberi tekanan sebesar 5
atm (Mulder, 1996) dan pengatur debit (valve) yang diperkecil, sehingga air limbah
akan mengalir melewati membran dan untuk yang tidak tersaring (konsentrat) akan
dialirkan kembali ke bak awal limbah.
Untuk membran zeoliot nanofiltrasi ini, pengujian untuk mendapatkan
koefisien rejeksi (R%) dilakukan pada menit ke-80 yaitu akan diambil permeat yang
dihasilkan pada akhir proses penyaringan. Sedangkan dalam memperoleh nilai fluks
dilakukan selama 80 menit, dan setiap selang 20 menit diambil permeatnya dan
diukur volumenya. reaktor dengan aliran cross flow dalam pengujian membran zeolit
nanofiltrasi dengan ukuran partikel 40 mesh dan 200 mesh dengan durasi centrifuge
10 menit dan 20 menit pada masing-masing variasi konsentrasi limbah cair tahu
dengan aquadest , yaitu dengan perbandingan 75%:25% : 50%:50% ; 25%:75%.
Berikut ini reactor cross flow yang ditunjukkan pada Gambar 3.2.
51
Gambar 3. 2 Aliran Cross Flow pada Reaktor
3.4.4 Pengujian Struktur , Analisa Morfologi dan Pengujian Ukuran Pori
Membran
Pengujian struktur membran dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometri FTIR. Sampel yang dianalisis dibentuk menjadi serbuk dan
dihubungkan dalam KBr sehingga terbentuk pellet KBr. Analisa Morfologi
dilakukan dengan metode SEM. Membran yang telah kering dibekukan dengan
Nitrogen cair, kemudian dipatahkan dan ditempelkan pada holder. Membran dilapisi
emas lalu dimasukkan ke dalam chamber. Langkah terakhir adalah dilakukan
pemotretan terhadap permukaan dan penampang lintang membran.
3.4.5 Analisis Kadar Nitrat
Kadar Nitrat dianalisa dengan menggunakan metode Brucin Asetat. Alat-
alat yang digunakan dalam metode ini adalah Erlenmeyer 50 ml, spektrofotometer
dan kuvet, dan pipet 10; 5 ml. Sedangkan bahan yang digunakan adalah larutan
Brucin Asetat dan larutan Asam Sulfat (H2SO4) pekat.
3.4.6 Analisis Kadar Amonium
52
Untuk analisa Amonium digunakan metode Nessler. Alat-alat yang
digunakan adalah spektrofotometer dan kuvet, Erlenmeyer 100 ml, dan pipet 25; 10
; 5 ml. Sedangkan bahan yang digunakan adalah larutan Garam Signet dan larutan
Nessler.
3.4.7 Analisis Data dan Pembahasan
Data-data yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah data primer yang
diperoleh dari pengamatan uji membran pada reaktor cross flow. Selama 1, 2 jam
reaktor dijalankan dan setiap 20 menit dilakukan pengambilan permeat. Permeat
akan dianalisis untuk mengetahui seberapa besar pengaruh membran nanofiltrasi
terhadap efektifitas removal sesuai dengan variabel yang telah ditentukan. Data-data
yang dibutuhkan adalah:
Kadar Nitrat dan Amonium awal dan setelah diolah pada limbah cair tahu
Waktu kontak antara limbah dan membran
Debit permeat yang dihasilkan
53
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengujian Membran dalam Reaktor
Hasil pencetakan membran dengan menggunakan cawan petri kemudian
dikeringkan dengan cara diangin-anginkan 30 jam. Hal ini bertujuan untuk
menghilangkan kandungan air yang ada pada membran. Setelah 30 jam membran
yang agak kering di oven pada suhu 70ºC selama 1 jam. Ditunjukkan pada gambar
(lampiran Gambar T). Secara visual membran zeolit nanofiltrasi ini :
Berwarna coklat, pada kondisi kering maupun basah (dalam air).
Keras dan tekstur permukaan halus jika dalam kondisi kering
Lunak, lentur, dan tekstur permukaan halus jika dalam kondisi basah (dalam
air)
Memiliki ketebalan berkisar 0.5 – 1.0 mm
Tampak gambar visual lebih dekat di bawah ini.
Gambar.4.1. Membran Zeolit Nanofiltrasi
54
Langkah selanjutnya dilakukan pengujian membran dalam reaktor cross flow
untuk mengetahui kandungan amonium dan nitrat pada permeat yang dihasilkan.
Reaktor cross flow yang digunakan seperti pada gambar (lampiran Gambar U).
Membran yang akan diuji pada reaktor dipotong dengan ukuran diameter 2.0 cm
karena ukuran lubang watermur sebesar 1.5 cm kemudian diletakkan pada tempat
membran yang terbuat dari watermur. Setelah membran diletakkan kemudian
diberi penyangga berupa kawat agar membran tidak mudah bocor. Selanjutnya
watermur tersebut ditutup dengan rapat agar tidak terjadi kebocoran. Seperti
tampak pada Gambar 4.2 di bawah ini susunan letak membran.
komponen water mur
membran zeolit
kasa stainless
Gambar.4.2. Susunan letak membran dalam water mur
Langkah berikutnya setelah bak penampung berisi air limbah, pressure
booster pump dinyalakan dan dipastikan semua valve dipastikan dalam keadaan
terbuka agar aliran air menjadi lancar. Pada awal pengoperasian presure gauge
menunjukkan tekanan 0 atm sehingga untuk menaikkan tekanan cara yang
dilakukan yaitu dengan menutup valve sedikit demi sedikit secara perlahan
sampai preasure gauge menunjukkan tekanan yang diinginkan yaitu berkisar 5.0
atm yang ditunjukkan pada gambar (lampiran Gambar V). Mengapa hal ini ini
dilakukan pada tekanan 5 atm, karena :
Proses kinerja membran nanofiltrasi bekerja dengan tekanan minimal 5 atm
(Mulder, 2006).
55
Menurut Ashaghi (2007), kecepatan cross flow yang tinggi dapat
menyebabkan fouling yang parah atau pemadatan membran.
Memiliki ketebalan membran 1.00 mm, dengan diameter 1.50 cm untuk
menghindari terjadinya kerusakkan pada membran pada saat uji coba dalam
reaktor.
Pengujian membran berbahan dasar zeolit ini dilakukan 2 cara yaitu yang
untuk mengetahui koefisien rejeksi dilakukan pada menit ke-80 dan pengambilan
permeat dilakukan. Hal ini berdasarkan pada penelitian terdahulu oleh Puspayana,
(2013), bahwa koefisien rejeksi terbaik pada pengambilan permeat setelah 80
menit atau 1.2 jam. Sedangkan yang kedua untuk menguji tingkat fluks dilakukan
penentuan volume permeat tiap 20 menit selama 80 menit. Sehingga pengambilan
permeat dilakukan sebanyak 4 kali pada setiap variasi ukuran partikel, variasi
lama durasi centrifuge dan %volume limbah cair tahu. Sedangkan pengambilan
sampel untuk analisa awal limbah dilakukan pada saat awal pengoperasian
reaktor. Karena variasi yang digunakan dalam penelitian ini salah satunya adalah
volume limbah, maka dilakukan analisa awal limbah cair tahu sebanyak 3 kali
seperti yang tercantum pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Variasi Uji Membran
Ukuran Partikel Zeolit
Durasi Centrifuge pada 600 rpm
Perbandingan Volume limbah : volume Aquadest
40 mesh 75% : 25%
10 menit 50% : 50%
200 mesh 25% : 75%
40 mesh 75% : 25%
20 menit 50% : 50%
200 mesh 25% : 75%
Sumber : Hasil Penelitian (2014)
4.2. Analisis Limbah Cair Tahu
Limbah cair tahu yang digunakan berasal dari limbah industri tahu rumah
tangga yang berada di Jalan Kedung Tarukan No. 12, Surabaya. Analisis awal
56
limbah cair tahu dilakukan untuk mengetahui konsentrasi awal nitrat dan
ammonium yang nantinya akan dibandingkan dengan permeat yang dihasilkan
saat uji membran di dalam reaktor aliran cross flow. Hasil dari analisis awal
limbah dan permeat digunakan untuk perhitungan efisiensi removal dari membran
yang dinyatakan dengan koefisien rejeksi. Parameter yang digunakan dalam
penelitian ini nitrat dan amonium.
Pada penelitian ini tidak menggunakan volume limbah 100%, dimana
karakteristik limbah cair tahu merupakan suatu padatan baik itu tersuspensi
maupun terlarut (Kaswinarni, 2007). Sehingga untuk menghindari adanya
sumbatan dengan adanya padatan suspensi pada selang Pressure Booster Pump
yang memiliki diameter 3.0 mm (Gambar.4.3) pada proses uji kinerja membran
dalam reaktor, dilakukan pengenceran pada sampel limbah cair tahu dengan
variasi volume limbah 75%, 50% serta 25%. Disamping pengenceran, juga
dilakukan proses pengendapan. Sehingga dalam proses uji kinerja membran zeolit
nanofiltrasi dalam reaktor cross flow ini diharapkan bekerja secara optimal.
Gambar. 4.3. Selang pada Pressure Booster Pump
a. Parameter nitrat
Sebagai tahapan awal dalam menganalisis kadar nitrat yang terkandung di
dalam limbah cair tahu dengan menggunakan metode Brucin Acetat. Sampel yang
dibutuhkan sebanyak 2 ml dan ditambahkan dengan 2 ml larutan Brucin Asetat
serta 4 ml larutan asam sulfat (H2SO4) pekat. Kemudian larutan dibaca nilai
absorbansinya pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 410 nm. Agar
57
nilai absorbansi nitrat tetap pada kisaran range yang telah ditentukan, maka akan
dibuat kalibrasi nitrat dengan panjang gelombang 410 nm. Nilai absorbansi yang
didapat setelah dibaca di spektrofotometer dimasukkan ke dalam rumus
persamaan kalibrasi sebagai berikut:
y = 0,104x –0,006 (11) dengan , y = nilai absorbansi nitrat (A) x = konsentrasi nitrat (mg/l)
Setelah didapatkan nilai x dengan menggunakan rumus diatas, kemudian
dikalikan dengan faktor pengenceran. Berikut ini merupakan data dari hasil
analisis awal konsentrasi nitrat di dalam limbah cair tahu dengan masing masing
variasi volume limbah yang berbeda ditunjukkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hasil Analisis Awal Nitrat
% volume limbah : % volume aquadest Kadar Nitrat (mg/l)
75 : 25 3.30 50 : 50 3.20 25 : 75 14.90
Sumber: Hasil Penelitian (2014) Dilihat dari hasil penelitian awal kadar nitrat dalam sampel cair limbah tahu,
terdapat perbedaan kadar/konsentrasi baik pada 25% volume limbah sampai pada
75% volume limbah. Dalam proses pengujian membran zeolit nanofiltrasi dari
awal hingga akhir, sampel diambil terlebih dahulu dari pabrik produksi tahu yang
kemudian disimpan dalam lemari es/frezeer. Pada tahap awal pengujian
menggunakan 25% volume limbah, diperoleh kadar nitrat yang tinggi yaitu 14.90
mg/l. Kemudian dilanjutkan pada tahap kedua dengan menggunakan 50% volume
limbah memperoleh kandungan nitrat 3.20 mg/l. Kadar nitrat mengalami
penurunan yang begitu besar, hal ini disebabkan oleh perlakuan/proses yang
terjadi dalam limbah cair tahu tersebut. Perlakuan sampel limbah cair tahu antara
lain :
1. Menyimpan di dalam lemari es/frezeer dengan suhu berkisar 8oC,
58
2. Rentang waktu yang cukup lama dalam pengujian membran dengan variasi
volume limbah.
Sehingga sampel limbah cair tahu dalam kondisi anaerob yang
memungkinkan terjadinya proses denitrifikasi, yaitu proses reduksi nitrat menjadi
nitrit dan kemudian diubah menjadi gas nitrogen.
Tahap anaerobik yang melibatkan pengurangan NO3- untuk gas nitrogen
oleh bakteri denitrifikasi. Denitrifikasi telah terbukti sebagai proses yang terjadi
di luar penyaring dengan menggunakan zeolit (Booker dkk.,1995), di mana
substrat (nitrat dan organik C) diperlukan untuk denitrifikasi (Wilson dkk.,1981).
b. Parameter Amonium
Sedangkan untuk menganalisa kadar amonium digunakan metode Nessler
yaitu dibutuhkan sampel sebanyak 25 ml. Dengan melakukan pengenceran
sebanyak 25x, mula-mula diambil sampel 1 ml dan diencerkan dengan aquades
sampai volume 25 ml. Kemudian ditambahkan 1 ml larutan nessler dan 1,25 ml
larutan garam signet. Kemudian didiamkan selama 10 menit dan setelah itu dibaca
pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 410 nm. Sama halnya dengan
analisis nitrat, agar nilai absorbansi tetap pada kisaran range yang telah
ditentukan, maka akan dibuat kalibrasi amonium dengan panjang gelombang 410
nm.
Nilai absorbansi yang didapat setelah dibaca di spektrofotometer
dimasukkan ke dalam rumus persamaan kalibrasi sebagai berikut:
y = 0.278x + 0.075 (12) dengan : y = nilai absorbansi amonium (A) x = konsentrasi nitrat (mg/l)
Setelah didapatkan nilai x dengan menggunakan rumus di atas, kemudian
dikalikan dengan faktor pengenceran. Berikut ini merupakan data dari hasil
analisis awal konsentrasi amonium di dalam limbah cair tahu dengan masing-
masing variasi volume limbah yang berbeda ditunjukkan pada Tabel 4.3.
59
Tabel 4.3. Hasil Analisis Awal Amonium
% volume limbah : % volume aquadest Kadar Amonium (mg/l) 75 : 25 11.00
50 : 50 15.50
25 : 75 12.80
Sumber: Hasil Penelitian (2014)
Hasil analisa awal amonium pada penelitian ini, dengan perlakuan sampel
cair limbah tahu disimpan dalam lemari es/frezeer dengan suhu sekitar 8oC pada
awal pengujian menunjukkan peningkatan kadar amonium dalam sampel pada
25% volume limbah dan 50% volume limbah. Terjadi peningkatan kadar
amonium dengan peningkatan persentase volume limbah. Hal ini disebabkan
proses oksidasi tidak terjadi pada amonium atau dalam kondisi in aktif pada
mikroorganisme yang ada serta rentang waktu yang cukup lama dalam pengujian
membran pada 50% volume limbah dari 25% volume limbah selama dalam
penyimpanan di lemari es. Tetapi kadar amonium pada persentase volume limbah
75% mengalami penurunan dari 50% volume limbah. Hal ini disebabkan antara
lain, rentang waktu pengujian membran zeolit pada 50% volume limbah dengan
75% volume limbah pendek dan memungkinkan terjadi proses oksidasi di dalam
limbah cair tersebut. Hal ini juga didukung adanya peningkatan kadar nitrat pada
75% volume limbah dari kadar nitrat 50% volume limbah. Terjadi oksidasi pada
amonium menjadi nitrat. seperti reaksi dibawah ini :
NO2- + 1/2O2 => NO3
- NH4
+ + 2O2 => NO3- + 2H+ + H2O
Proses nitrifikasi yang terjadi adalah suatu proses konversi dari amonia menjadi
nitrit yang kemudian menjadi nitrat yang dilakukan oleh bakteri autotropik dan
heterotropik (Grady dan Lim (1980) dalam Said (2009)).
Bahan organik berupa protein yang terdapat dalam limbah cair industri tahu
terdekomposisi menjadi amonia dengan bantuan mikroorganisme pengurai yang
terdapat dalam limbah cair industri tahu. Pada kondisi aerobik amonia teroksidasi
menjadi nitrit, kemudian nitrit dioksidasi lagi menjadi nitrat (Irmanto dan Suyata,
2009).
60
1.3. Pengaruh Variasi Ukuran Partikel Zeolit, Waktu Durasi Centrifuge
dan Volume Air Limbah Terhadap Prosentase Removal Nitrat.
Permeat yang dihasilkan dari pengujian membran dalam reaktor aliran
cross flow kemudian di analisis dengan menggunakan metode Brucin Asetat untuk
parameter nitrat. Nilai konsentrasi Nitrat dapat dihitung setelah di baca nilai
absorbansinya pada spektrofotometer dengan panjang gelombag 410 nm. Setelah
itu dihitung pula besarnya prosentase koefisien rejeksi.
Tabel 4.4. Pengaruh Variasi Ukuran Partikel Zeolit, Waktu Durasi Centrifuge dan Volume Air Limbah Terhadap Prosentase Removal Nitrat.
Sumber : Penelitian 2014
Keterangan Tabel 4.4 :
75%:25% = volume limbah 75% dengan volume aquadest 25%
Menit
ke-80
75% : 25%
C75-25 = 3.30
mg/l
50% : 50%
C50-50= 3.20
mg/l
25% :
75%
C25-75= 14.90
mg/l
10’ 20’ 10’ 20’ 10’ 20’
40
mesh
2.30
mg/l
2.50
mg/l
2.00
mg/l
1.70
mg/l
6.30
mg/l
10.20
mg/l
R 30.30% 24.24% 37.50% 46.80% 57.72
%
31.54
%
200
mesh
2.40
mg/l
2.40
mg/l
0.80
mg/l
0.90
mg/l
1.60
mg/l
8.30
mg/l
R 27.27% 27.27% 75.00% 71.88% 89.26
%
44.30
%
61
50%:50% = volume limbah 50% dengan volume aquadest 50%
25%:75% = volume limbah 25% dengan volume aquadest 75%
C75-25 = konsentrasi awal nitrat pada volume limbah 75% dengan volume
aquadest 25%
C50-50 = konsentrasi awal nitrat pada volume limbah 50% dengan volume
aquadest 50%
C25-75 = konsentrasi awal nitrat pada volume limbah 25% dengan volume
aquadest 75%
10’ = waktu durasi centrifuge selama 10 menit
20 = waktu durasi centrifuge selama 20 menit
40 mesh = ukuran partikel 40 mesh
200 mesh = ukuran partikel 200 mesh
R = Koefisien Rejeksi
Hasil dari perhitungan koefisien rejeksi nitrat pada membran 200 mesh
durasi centrifuge 10 menit dengan volume limbah 25% yang terbesar dengan nilai
89.26 %. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 4.4. Dengan Konsentrasi awal atau C25-
75 nitrat 14.90 mg/l, pada pengambilan permeat menit ke-80.
Ukuran partikel dari bubuk awal juga memiliki efek pada sifat pendukung
membran , dimana Steenkamp dkk. (2001) dan Wang dkk. (1999), menyatakan
bahwa semakin kecil ukuran partikel serbuk awal, maka semakin kecil pori-pori,
permeabilitas serta porositas air rendah. Didukung oleh Li dkk. (2007), dan Dyer
(1988) bahwa ukuran pori dan kepadatan kerangka adalah faktor utama yang
menjadi perhatian ketika mempertimbangkan zeolit untuk pemisahan air, ukuran
pori menentukan selektivitas ion dan kepadatan kerangka menentukan
permeabilitas air. Membran zeolit nanofiltrasi ukuran partikel 200 mesh dengan
durasi centrifuge 10 menit lebih selektif pada ion nitrat.
Ditinjau dari proses centrifuge, durasi 10 menit memperlihatkan hasil yang
optimal pada proses kerja membran dalam menapis ion nitrat. Hal ini seperti yang
dilakukan oleh Fatmasari (2012) dalam Puspayana dan Damayanti (2013).
Hasil dari perhitungan koefisien rejeksi nitrat pada membran 200 mesh
durasi centrifuge 10 menit dengan volume limbah 50 % yang terbesar
62
dengan nilai 75.00 % dan koefisien rejeksi terkecil pada membran 40 mesh durasi
centrifuge 20’ dengan nilai 31.54%. Seperti ditunjukkan pada Tabel 4.4. Dengan
konsentrasi awal atau C50-50 nitrat 15.50 mg/l, pada pengambilan permeat menit
ke-80. Hal ini, sesuai dengan penjelasan pada 25% volume limbah yang
menunjukkan selektifitas membran zeolit nanofiltrasi dengan ukuran partikel 200
mesh, durasi centrifuge 10 menit terhadap ion nitrat.
Hasil dari perhitungan koefisien rejeksi nitrat pada membran 40 mesh
durasi centrifuge 10 menit dengan volume limbah 75% yang terbesar dengan nilai
30.30 %. Dapat dilihat pada Tabel 4.4. Dengan Konsentrasi awal atau C75-25
nitrat 11.00 mg/l, pada pengambilan permeat menit ke-80. Secara umum
koefisien rejeksi nitrat yang didapatkan pada volume air limbah 75% memiliki
nilai yang hampir sama. Hal ini memungkinkan terjadinya fouling (Notodarmojo,
2009), sehingga dalam proses penapisan nitrat dengan membran zeolit nanofiltrasi
pada limbah cair mengalami hambatan. Jadi perlu adanya pengenceran atau pre
treatment pada limbah cair tahu (proses pengendapan) dan penyaringan.
1.4. Pengaruh Variasi Ukuran Partikel Zeolit, Waktu Durasi Centrifuge
dan Volume Air Limbah Terhadap Prosentase Removal Amonium.
Selain menggunakan parameter nitrat juga digunakan parameter amonium
pada penelitian ini. Permeat yang dihasilkan saat uji membran dalam reaktor,
dilakukan analisa amonium dengan menggunakan metode Nessler. Untuk
mengetahui konsentrasi awal amonium maka perlu diketahui nilai absorbansi dan
dihitung dengan menggunakan rumus persamaan kurva baku amonium. Setelah
didapatkan konsentrasi amonium, dihitung pula nilai koefisien rejeksinya. Hasil
perhitungan koefisien rejeksi amonium bisa dilihat pada Tabel 4.5. di bawah ini.
63
Tabel. 4.5. Pengaruh Variasi Ukuran Partikel Zeolit, Waktu Durasi Centrifuge dan Volume Air Limbah Terhadap Prosentase Removal Amonium.
Sumber : Penelitian 2014
Keterangan Tabel 4.5.:
75:25 = volume limbah 75% dengan volume aquadest 25%
50:50 = volume limbah 50% dengan volume aquadest 50%
25:75 = volume limbah 25% dengan volume aquadest 75%
C75-25 = konsentrasi awal nitrat pada volume limbah 75% dengan volume
aquadest 25%
C50-50 = konsentrasi awal nitrat pada volume limbah 50% dengan volume
aquadest 50%
C25-75 = konsentrasi awal nitrat pada volume limbah 25% dengan volume
aquadest 75%
10’ = waktu durasi centrifuge selama 10 menit
20’ = waktu durasi centrifuge selama 20 menit
40 mesh = ukuran partikel 40 mesh
200 mesh = ukuran partikel 200 mesh
Menit
ke-80
75 : 25
C75-25 = 11.00 mg/l
50 : 50
C50-50 = 15.50 mg/l
25 : 75
C25-75 = 12.80 mg/l
10’ 20’ 10’ 20’ 10’ 20’
40
mesh
0.20 mg/l 0.20 mg/l 9.50 mg/l 4.50 mg/l 6.90 mg/l 6.50 mg/l
R 98.18% 98.18% 38.71% 70.97% 46.10 % 49.20 %
200
mesh
3.80
mg/l
6.85
mg/l
4.50
mg/l
6.00
mg/l
5.80
mg/l
5.50 mg/l
R 65.45% 37.72% 70.97% 61.29% 54.69 % 57.03 %
64
R = Koefisien Rejeksi
Hasil perhitungan koefisien rejeksi pada seluruh variasi membran dengan
volume limbah 25 % hampir sama. Koefisien rejeksi yang terbaik pada kondisi ini
adalah membran 200 mesh durasi centrifuge 20 menit yaitu 57.03 %. Dengan
Konsentrasi awal atau C25-75 amonium 12.80 mg/l, pada pengambilan permeat
menit ke-80. Ditunjukkan pada Tabel 4.5.
Pada Tabel 4.5., hasil uji membran dengan durasi centrifuge 20 menit
memberikan hasil yang optimal pada proses penapisan amonium pada ukuran
partikel 200 mesh. Kemungkinan yang terjadi, proses durasi centrifuge untuk
kepadatan kerangka juga dapat mempengaruhi selektivitas membran terhadap ion
( Li dkk. (2007); Dyer (1988)). Fouling juga mempengaruhi dalam proses
penapisan ini (Notodarmojo, 2004). Untuk meminimal terjadinya sumbatan,
penambahan PEG berperan dalam hal ini sebagai anti fouling (Su, 2009).
Hasil perhitungan koefisien rejeksi pada seluruh variasi membran dengan
volume limbah 50 % ditunjukkan pada Tabel 4.5. Koefisien rejeksi yang terbaik
pada kondisi ini adalah membran 200 mesh durasi centrifuge 10 menit yaitu
70.97%. Dengan Konsentrasiawal atau C50-50 amonium 15.50 mg/l, pada
pengambilan permeat menit ke-80. Menunjukkan bahwa membran 200 mesh
dengan durasi centrifuge 10 menit memiliki karakter yang kuat terhadap
selektifitas terhadap ion. Hal ini juga berlaku pada ion nitrat. Sehingga durasi
centrifuge (Fatmasari, 2012) memberikan hasil yang optimal. Sedangkan pada
ukuran partikel 40 mesh diperlukan waktu durasi yang lebih lama yaitu 20 menit,
untuk mendapatkan kerapatan kerangka yang mempengaruhi selektivitas
membran terhadap ion amonium (Li dkk. (2007); Dyer (1988)). PEG sebagai anti
fouling bekerja lebih optimal pada membran ini.
Hasil perhitungan koefisien rejeksi pada seluruh variasi membran dengan
volume limbah 75% hampir sama. Koefisien rejeksi yang terbaik pada kondisi ini
adalah membran 40 mesh durasi centrifuge 10 menit dan 20 menit yaitu 98.18%.
Dengan Konsentrasi awal atau C75-25 nitrat 11.00 mg/l, pada pengambilan
permeat menit ke-80. Bisa dilihat pada Tabel 4.5.
65
Penjelasan pada penapisan nitrat, bahwa menurut Li dkk, (2007), dan
Dyer (1988) bahwa ukuran pori dan kepadatan kerangka adalah faktor utama yang
menjadi perhatian ketika mempertimbangkan zeolit untuk pemisahan air, ukuran
pori menentukan selektivitas ion dan kepadatan kerangka menentukan
permeabilitas air. Ukuran pori ditentukan oleh ukuran partikel serbuk awal
(Steenkamp dkk. (2001); Wang dkk. (1999)), sehingga dalam proses penapisan
amonium yang optimal dengan menggunakan membran zeolit nanofiltrasi 40
mesh yang memiliki selektivitas terhadap ion amonium. Serta didukung centrifuge
yang optimal pada durasi 10 menit (Fatmasari, 2012).
1.5. Pengaruh Variasi Ukuran Partikel Zeolit, Waktu Durasi
Centrifuge dan Volume Air Limbah Terhadap Nilai Fluks Membran
Nilai fluks didapatkan dari jumlah volume yang dihasilkan oleh permeat yaitu
yang melewati membran dengan luas permukaan bagian atas membran per satuan
waktu. Berikut ini merupakan data nilai fluks yang didapatkan saat penelitian dari
menit ke-20 hingga menit ke-80.
1.5.1. Hubungan antara variasi ukuran partikel zeolit, waktu durasi
centrifuge, dan prosentase volume air limbah 25% dan aquadest 75%
dengan pengambilan permeat setiap 20 menit selama 80 menit.
Tabel 4.6 Nilai Fluks (J) pada Volume Air Limbah 25% dan Aquadest 75%
Menit ke
40 mesh 10’ 40 mesh 20’ volu
me (ml) Nilai
Fluks volu
me (ml) Nilai
Fluks 20 2.25 3.81 1.65 2.80 40 2.00 1.71 1.00 0.85 60 1.75 0.99 0.50 0.30 80 1.30 0.55 0.40 0.17
Rata-rata
1.77
1.03
Sumber: Hasil Penelitian (2014)
66
Pada Tabel 4.6 dan Tabel 4.7 menunjukkan bahwa nilai fluks terbesar
didapatkan pada membran ukuran partikel zeolit 40 mesh, durasi centrifuge 10
menit pada pengambilan pertama yaitu menit ke 20 sebesar 3.81 L/m².jam dan
terjadi penurunan nilai fluks di setiap pertambahan waktu.
Gambar 4.4 Nilai Fluks (J) pada Ukuran Partikel Zeolit 40 mesh, Waktu Durasi Centrifuge 10’ : 20’ dan Volume Air Limbah 25 % dan Aquadest 75%.
Tabel 4.7 Nilai Fluks (J) pada Volume Air Limbah 25% dan Aquadest 75%
Menit ke 200 mesh 10” 200 mesh 20”
volume (ml) Nilai Fluks volume (ml) Nilai Fluks
20 1.50 2.54 2.00 3.39 40 1.25 1.07 1.85 1.58 60 1.00 0.57 1.50 0.85 80 0.50 0.22 1.15 0.49
Rata-rata
1.10
1.58 Sumber: Hasil Penelitian (2014) Gambar 4.5 Nilai Fluks (J) pada Ukuran Partikel Zeolit 200 mesh, Waktu Durasi
Centrifuge 10’ : 20’ dan Volume Air Limbah 25 %
67
Pada pengukuran fluks, dapat dilihat bahwa semakin lama waktu yang
dibutuhkan larutan umpan untuk melewati membran, maka nilai fluks semakin
kecil. Hal ini disebabkan karena terjadinya fouling, yaitu perubahan yang bersifat
irreversible yang disebabkan oleh interaksi secara fisik dan kimiawi antara
membran dengan partikel yang terdapat dalam proses pemisahan (Wenten, 1996).
Kemungkinan yang terjadi pada ukuran 40 mesh dengan durasi centrifuge pada
penambahan PEG (Su, 2009), tidak bekerja secara maksimal pada saat proses
pembuatan. Yang seharusnya memiliki kerapatan rangka yang lebih kompak.
Sehingga terjadi fouling yang relatif lebih cepat. Juga kemungkinan terjadi pada
membran dengan ukuran 200 mesh baik pada durasi 10 menit maupun 20 menit.
Permasalahan penurunan laju fluks membran menurut Ariyanti (2009) dalam
Rachmawati dan Damayanti (2013) juga dapat dipengaruhi oleh polaritas
membran dan penyumbatan permukaan pori membran.
1.5.2. Hubungan antara variasi ukuran partikel zeolit, waktu durasi
centrifuge, dan prosentase volume air limbah 50% dan aquadest 50%
dengan pengambilan permeat setiap 20 menit selama 80 menit.
Pada Tabel 4.8 dan Tabel 4.9 menunjukkan bahwa nilai fluks terbesar
didapatkan pada membran ukuran partikel zeolit 200 mesh, durasi centrifuge 10
menit pada pengambilan pertama yaitu menit ke 20 sebesar 6.67 L/m².jam dan
terjadi penurunan nilai fluks di setiap pertambahan waktu. Dalam proses
pembuatan membran, memungkinkan kerja yang optimal sehingga distribusi pori
dengan penambahan NH4Cl sebagai porogen merata (Puspayana dan Damayanti,
2013) serta penambahan PEG dengan yang optimal dalam mengurangi terjadinya
proses fouling dini.
68
Tabel 4.8 Nilai Fluks (J) pada Volume Air Limbah 50 % dan Aquadest 50%
Menit ke 40 mesh 10’ 40 mesh 20’
volume (ml) Nilai Fluks volume (ml) Nilai Fluks 20 2.00 3.33 1.50 2.50 40 1.75 1.50 1.00 0.85 60 1.30 0.74 0.75 0.43 80 1.00 0.42 0.50 0.21
Rata-rata
1.49
0.99 Sumber: Hasil Penelitian (2014)
Gambar 4.6 Nilai Fluks (J) pada Ukuran Partikel Zeolit 40 mesh, Waktu Durasi
Centrifuge 10’ : 20’ dan Volume Air Limbah 50 %
Tabel 4.9 Nilai Fluks (J) pada Volume Air Limbah 50 % dan Aquadest 50%
Menit ke 200 mesh 10” 200 mesh 20”
volume (ml) Nilai Fluks volume
(ml) Nilai Fluks
20 4.00 6.67 1.85 3.08 40 3.80 3.25 1.20 1.02 60 3.70 2.10 1.00 0.57 80 3.50 1.49 0.85 0.36
Rata-rata
3.88
1.26 Sumber: Hasil Penelitian (2014)
Gambar 4.7 Nilai Fluks (J) pada Ukuran Partikel Zeolit 200 mesh, Waktu Durasi
Centrifuge 10’ : 20’ dan Volume Air Limbah 50 %.
69
1.5.3. Hubungan antara variasi ukuran partikel zeolit, waktu durasi
centrifuge, dan prosentase volume air limbah 75% dan aquadest
25% dengan pengambilan permeat setiap 20 menit selama 80
menit.
Tabel 4.10 dan Tabel 4.11 menunjukkan bahwa nilai fluks terbesar
didapatkan pada membran ukuran partikel zeolit 200 mesh, durasi centrifuge 20
menit pada pengambilan pertama yaitu menit ke 20 sebesar 3.16 L/m².jam dan
terjadi penurunan nilai fluks di setiap pertambahan waktu.
Pada Tabel 4.10. Pengaruh fouling serta polarisasi (Ariyanti, 2009) baik
pada mesh 40 dengan durasi 10 menit dan 20 menit menunjukkan peningkatan
yang cepat dalam proses penapisan. Sehingga permeabilitas membran rendah.
Peran PEG sebagai anti fouling tidak bekerja secara maksimal.
Tabel 4.10 Nilai Fluks (J) pada Volume Air Limbah 75% dan Aquadest 25%
Menit ke 40 mesh 10’ 40 mesh 20’
volume (ml) Nilai Fluks volume
(ml) Nilai Fluks
20 0.75 1.25 0.2 0.33 40 0.64 0.55 0.6 0.51 60 0.60 0.34 0.48 0.27 80 0.57 0.24 0.42 0.18
Rata-rata
0.60
0.32 Sumber: Hasil Penelitian (2014)
Gambar 4.8 Nilai Fluks (J) pada Ukuran Partikel Zeolit 40 mesh, Waktu Durasi
Centrifuge 10’ : 20’ dan Volume Air Limbah 75 %
70
Tabel 4.11 Nilai Fluks (J) pada Volume Air Limbah 75% dan Aquadest 25%
Menit ke 200 mesh 10’ 200 mesh 20’
volume (ml) Nilai Fluks volume (ml) Nilai Fluks 20 1.50 2.50 1.90 3.16 40 1.00 0.85 1.33 1.14 60 0.82 0.46 1.23 0.70 80 0.80 0.34 0.92 0.39
Rata-rata
1.04
1.35 Sumber: Hasil Penelitian (2014)
Gambar 4.9 Nilai Fluks (J) pada Ukuran Partikel Zeolit 200 mesh, Waktu
Durasi Centrifuge 10’ : 20’ dan Volume Air Limbah 75 %
Pada Tabel 4.11. Peranan PEG sebagai anti fouling (Su, 2009) lebih
mendominasi pada membran 200 mesh dengan durasi centrifuge 20 menit. Hal ini
dikarenakan kerapatan kerangka pada membran ini lebih tinggi daripada membran
200 mesh dengan durasi 10 menit. Jadi, dari keseluruhan membran zeolit
nanofiltrasi memiliki karakter-karakter yang spesifik terhadap selektivitas
terhadap ion serta permeabilitas membran. Hal ini menunjukkan pengaruh
komposisi ukuran pori, durasi centrifuge serta pemakaian lapisan pendukung pada
membran dapat memberikan spesifikasi pada proses penapisan ion.
1.6. Uji Morfologi Membran Zeolit Nanofiltrasi dengan SEM
Salah satu cara untuk mengetahui morfologi membran adalah dengan uji
SEM. Dengan uji ini dapat diketahui struktur permukaan dan penampang
melintang suatu membran menggunakan mikroskop elektron (Mulder, 1996).
Analisis SEM menunjukkan bentuk dan perubahan atau morfologi permukaan dari
71
sampel yang dianalisis. Pada prinsipnya bila terjadi perubahan suatu bahan
misalnya perubahan struktur permukaan, maka bahan tersebut cenderung
mengalami perubahan energi. Energi yang telah berubah tersebut dapat
dipancarkan, dipantulkan, dan diserap serta diubah bentuknya menjadi fungsi
gelombang elektron yang dapat ditangkap dan dibaca hasilnya (Mumpuni, 2011).
Pada penelitian ini, membran zeolit nanofiltrasi yang telah dibuat
merupakan jenis membran anorganik berdasarkan morfologinya. Membran ini
biasanya multi-lapis, yang berarti bahwa mereka yang terdiri satu atau lebih
lapisan pendukung bagi lapisan atas. Lapisan pendukung (PEG) memberikan
kekuatan mekanik sedangkan lapisan atas bertanggung jawab atas sifat pemisahan
membran. Kekuatan lapisan pendukung harus stabil pada temperatur tinggi dan
tahan terhadap pelarut agar dapat digunakan dalam jangka waktu yang panjang
(Mabande dkk., 2004; De Vos dan Verweij, 1988). Dapat dilihat pada Gambar di
bawah ini yang merupakan penampang melintang membran sebelum dan sesudah
pengujian pada membran. Hasil SEM penampang melintang membran zeolit
nanofiltrasi dengan perbesaran 200 kali. Pada gambar tersebut terdapat rongga-
rongga yang sangat kecil dan struktur membran terlihat asimetris.
Gambar. 4.10 Penampang melintang membran zeolit nanofiltasi pada ukuran 200 mesh, durasi centrifuge 10 menit pada 25% volume limbah dengan 75% volume aquadest. Sebelum dan sesudah uji kinerja pada reaktor.
72
Gambar 4.11 Penampang melintang membran zeolit nanofiltasi pada ukuran 200 mesh, durasi centrifuge 10 menit pada 50% volume limbah dengan 50% volume aquadest. Sebelum dan sesudah uji kinerja pada reaktor.
Gambar. 4.12 Penampang melintang membran zeolit nanofiltasi pada ukuran 40 mesh, durasi centrifuge 10 menit pada 75% volume limbah dengan 25% volume aquadest. Sebelum dan sesudah uji kinerja dalam reaktor.
Dari Gambar yang ditampilkan di atas, membran yang dihasilkan dalam
penelitian ini sebagai membran anorganik yang memiliki keunggulan antara lain
(Biesheuvel, 1999):
1. Partikel dapat tersebar secara efektif dalam fase cair dengan pengadukan.
2. Pencampuran partikel dapat berlangsung secara homogen.
3. Hasil sentrifuge dalam struktur padat, seragam, bebas cacat dan memiliki
permukaan yang halus.
73
Sedangkan kekurangan dalam proses pembuatan membran ini adalah :
1. Waktu produksi lama karena pemisahan partikel cair
2. Segresi yang tidak diingikan akibat gravitasi.
Distribusi pori dapat dilihat pada gambar penampang melintang membran,
merata pada seluruh bagian membran. Hal ini ditunjukkan adanya serat-serat pada
bagian dalam, seperti pada Gambar. 4.7, Gambar. 4.8 dan Gambar. 4.9. sisi
kanan menunjukkan adanya aliran air dalam hal ini adalah sebagai permeat.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan Puspayana dan Damayanti (2013) dengan
penambahan NH4Cl sebagai porogen yaitu pembentuk serta penyeragam pori dan
juga penambahan PEG sebagai bahan organik pembentuk pori salah satunya yang
dilakukan oleh Muliawati (2012) dengan Saljoughi (2010).
Dalam proses pembuatan membran zeolit nanofiltrasi ini untuk
membentuk permukaan yang halus serta merata dilakukan penambahan air serta
pengadukan yang stabil sebelum membran dicetak seperti yang dilakukan oleh
Puspayana dan Damayanti (2013). Serta ditunjang proses centrufuge selama 10
menit yang merupakan durasi optimal dalam membentuk struktur membran yang
padat dan seragam. Seperti terlihat pada Gambar di bawah ini, merupakan hasil
analisis SEM pada permukaan membran zeolit nanofiltrasi sebelum dan sesudah
uji pada reaktor.
Gambar. 4.13. Penampang permukaan membran zeolit nanofiltrasi ukuran 200 mesh, durasi centrifuge 10 menit pada 25% volume limbah dan 75% volume aquadest. (Perbesaran 500 kali).
74
Gambar. 4.14. Penampang permukaan membran zeolit nanofiltrasi ukuran 200 mesh, durasi centrifuge 10 menit pada 25% volume limbah dan 75% volume aquadest. (Perbesaran 5000 kali).
Dapat dilihat dengan jelas pada Gambar di atas, perbedaan membran
sebelum dan sesudah uji pada reaktor menunjukkan adanya zat/partikel yang
menempel pada membran.. Fouling dapat terjadi pada membran tetapi tidak hanya
di bagian permukaan atas atau lapisan luar membran saja, tetapi juga terjadi pada
bagian spinger atau lapisan dalam membran. Pengotor yang masuk kedalam
lapisan dalam tersebut terjadi akibat adanya tekanan yang diberikan selama proses
operasi membran, tekanan akan mendorong deposisi partikel pada permukaan
membran atau lapisan atas untuk masuk ke dalam lapisan dalam membran
(Notodarmojo, 2004). Hal ini dapat dilihat dari hasil fluks yang mengalami
penurunan seiring dengan waktu berjalan. Untuk mengurangi terjadinya fouling,
dilakukan penambahan PEG, sebagai anti fouling, seperti terdapat dalam Su
(2009) yang menyebutkan bahwa PEG adalah senyawa biocompatible, highly
hydrophilic dan anti fouling.
Gambar. 4.15. Penampang permukaan membran zeolit nanofiltrasi ukuran 200 mesh, durasi centrifuge 10 menit pada 50% volume limbah dan 50% volume aquadest. (Perbesaran 500 kali).
75
Gambar. 4.16. Penampang permukaan membran zeolit nanofiltrasi ukuran 200 mesh, durasi centrifuge 10 menit pada 50% volume limbah dan 50% volume aquadest. (Perbesaran 5000 kali).
Gambar. 4.17. Penampang permukaan membran zeolit nanofiltrasi ukuran 40 mesh, durasi centrifuge 10 menit pada 75% volume limbah dan 25% volume aquadest. (Perbesaran 500 kali).
Gambar. 4.18. Penampang permukaan membran zeolit nanofiltrasi ukuran 40 mesh, durasi centrifuge 10 menit pada 75% volume limbah dan 25% volume aquadest.(Perbesaran 5000 kali).
76
Dari data penelitian yang diperoleh, permeabilitas membran zeolit 40
mesh dengan durasi centrifuge 10 menit memberikan nilai tertinggi pada volume
limbah 25% yaitu 3.81 L/m2.jam. Sedangkan pada volume limbah 50%,
membran zeolit 200 mesh dengan durasi centrifuge 10 menit memberikan
permeabilitas 6.67 L/m2.jam. Pada volume limbah 75%, membran zeolit 200
mesh dengan durasi 20 menit memberikan permeabilitas sebesar 3.16 L/m2.jam.
Pada pengukuran fluks, dapat dilihat bahwa semakin lama waktu yang
dibutuhkan larutan umpan untuk melewati membran, maka nilai fluks semakin
kecil. Hal ini disebabkan karena terjadinya fouling, yaitu perubahan yang
bersifat irreversible yang disebabkan oleh interaksi secara fisik dan kimiawi
antara membran dengan partikel yang terdapat dalam proses pemisahan
(Wenten, 1996).
Permeabilitas membran ini terbaik pada 6.67 L/m2.jam dengan
menggunakan membran zeolit 200 mesh dengan durasi centrifuge 10 menit, dan
yang terkecil adalah 0.17 L/m2.jam pada membran zeolit 40 mesh, durasi
centrifuge 20 menit. Nilai fluks yang didapatkan tersebut masih berada dalam
range nilai fluks membran nanofiltrasi. Seperti yang dilakukan oleh Puspayana
dan Damayanti, 2013, dengan nilai fluks terbesar 3.67 L/m2.jam. Mulder (1996)
menjelaskan bahwa fluks untuk membran nanofiltrasi berkisar antara 1.4 – 12
L/m2.jam pada tekanan 5-20 atm.
Dari data yang diperoleh selama proses penelitian ini berlangsung, dalam
menentukan koefisien rejeksi nitrat yang memiliki ion radius 264 pm
(Nightingale, 1959), memberikan nilai rejeksi tertinggi 89.26% pada volume
limbah 25% dengan menggunakan membran zeolit 200 mesh pada durasi
centrifuge 10 menit, kemudian pada volume limbah 50% didapatkan 75.00%
dengan menggunakan membran zeolit 200 mesh pada durasi centrifuge 10
menit. Sedangkan koefisien rejeksi nitrat pada volume limbah 75% memberikan
nilai yang hampir sama dengan rata-rata 30.00%. Hal ini, dari data yang ada
menunjukkan bahwa ukuran partikel 200 mesh dengan durasi centrifuge 10
menit lebih efektif dalam menapis nitrat pada limbah cair tahu.
77
Sesuai dengan fungsi membran, membran nanofiltrasi memiliki ukuran
pori kurang dari 2 nm, dalam proses kerja membran menapis ion amonium yang
memiliki ukuran radius 290 pm (Hitoshi, 1993) dan telah bekerja sesuai dengan
yan diharapkan, yaitu pada permselektivitas membran zeolit 40 mesh baik pada
durasi centrifuge 10 menit maupun 20 menit memberikan nilai 98.18% dalam
menapis amonium. Sedangkan permselektivitas membran yang bekerja dalam
menapis nitrat, terbaik pada membran zeolit 200 mesh dengan durasi 10 menit
memberikan nilai 89.26%. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran partikel awal
zeolit dalam pembuatan membran sangat berpengaruh serta memiliki spesifikasi
dalam menapis ion tertentu. Seperti yang dilakukan oleh Kim dkk. (2002), bahwa
ukuran partikel mempengaruhi kemasan partikel seiring dengan terjadinya evolusi
jari-jari pori selama sintering dan ukuran pori lebih tergantung pada ukuran
partikel awal yang digunakan dalam membuat membran. Didukung oleh Bissett
(2005), bahwa ukuran pori dan distribusi ukuran pori dipengaruhi oleh ukuran
serbuk partikel mula-mula.
Ditinjau dari durasi waktu centrifuge pada hasil penelitian ini seperti yang
dilakukan oleh Fatmasari, (2012) , menunjukkan bahwa durasi centrifuge 10
menit memberikan hasil yang optimal baik pada ukuran partikel zeolit 40 mesh
pada penapisan amonium dan 200 mesh pada penapisan nitrat.
Tidak lepas dari lapisan pendukung, PEG dalam pembentukan dan
penyeragam pori-pori membran telah bekerja dengan baik sehingga memiliki
kekuatan dalam proses filtrasi pada tekanan tinggi dengan ketebalan membran 1.0
mm, serta proses pembuatan membran ini, dengan menggunakan NH4Cl sebagai
porogen dalam membentuk pori-pori membran seperti yang dilakukan oleh
Puspayana dan Damayanti (2013). Dalam penelitian yang dilakukan Muliawati
(2012), menyatakan bahwa penambahan komposisi PEG berpengaruh terhadap
pembentukan pori semakin kecil, meningkatkan keteraturan bentuk pori pada
membran. Saljoughi (2010) telah melakukan pembuatan membran dengan
penambahan aditif PEG mempunyai pengaruh pada membran yaitu meningkatkan
laju permeasi membran karena PEG diketahui sebagai bahan organik pembentuk
pori pada membran.
78
Penelitian kinerja zeolit dalam menghilangkan amonium dan nitrat
bergantung pada laju aliran air limbah, jenis air limbah, ukuran partikel zeolit, dan
kontak antara air limbah dengan partikel zeolit (Nguyen dan Tanner, 1998).
79
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Setelah melalui proses penelitian dalam pembuatan dan menapis nitrat dan
amonium pada limbah cair tahu dengan menggunakan membran zeolit nanofiltrasi
maka dapat disimpulkan:
1. Membran zeolit nanofiltrasi dapat dibuat pada variasi komposisi ukuran
partikel 40 mesh dan 200 mesh dengan berat 2.00 mg melalui proses
alkalifussion dengan :
Penambahan 35.00 ml 2-propanol durasi centrifuge 10 menit
Penambahan NH4Cl 1.20% magnet stirer selama 1 jam
Penambahan 2.00 ml PEG 400
Penambahan 30.00 ml aquadest
2. Karakteristik membran zeolit nanofiltrasi :
Secara visual dan berdasarkan hasil penelitian, membran ini memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
- Berwarna kecoklatan
- Keras dan tekstur permukaan halus jika dalam kondisi kering
- Lunak, lentur, dan tekstur permukaan halus jika dalam kondisi
basah (dalam air)
- Bekerja pada suhu kamar
- Ketebalan membran 1.00 mm
Berdasarkan morfologinya, merupakan jenis membran anorganik
Hasil SEM pada penampang melintang dan permukaan, terdapat
rongga-rongga yang berdasarkan prinsip pemisahannya merupakan
jenis membran asimetris.
Membran zeolit nanofiltrasi dengan ukuran partikel awal 40 mesh
dengan durasi centrifuge 10 menit selektif terhadap ion amonium pada
volume limbah 75% dan volume aquadest 25%.
80
Membran zeolit nanofiltrasi dengan ukuran partikel awal 200 mesh dengan
durasi centrifuge 10 menit selektif terhadap ion nitrat pada volume limbah
25% dan volume aquadest 75%
Bekerja pada reaktor cross flow dengan driving force sebesar 5 atm.
Masa kerja membran dalam reaktor 120 menit
2. Kinerja membran zeolit nanofiltrasi sangat baik dan efektif dalam menapis
nitrat dan amonium, yaitu :
a. Permeabilitas membran zeolit tertinggi pada ukuran partikel 200 mesh
dengan durasi 10 menit dengan nilai 6.67 L/m2.jam pada volume limbah
50% dan volume aquadest 50%.
b. Permselektivitas membran zeolit tertinggi dalam menapis nitrat pada
ukuran partikel 200 mesh dengan durasi 10 menit dengan nilai 89.26%
pada volume limbah 25% dan volume aquadest 75%
c. Permselektivitas membran zeolit tertinggi dalam menapis amonium pada
ukuran partikel 40 mesh dengan durasi 10 menit dengan nilai 98.18%
pada volume limbah 75% dan volume aquadest 25%
5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan konsenterasi volume
limbah 100%.
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Kota Pahlawan Surabaya Propinsi
Jawa Timur, tepatnya pada tanggal 23 Maret 1973,
Terlahir sebagai anak ke-3 dari 4 bersaudara. Putera
dari Bapak Noer Rasa dan Ibu Mias Lasmiasih.
Menempuh pendidikan formal TK RW 13, Surabaya
lulus pada tahun 1980, kemudian melanjutkan
pendidikan SDN Ngagel Rejo III, Surabaya lulus pada
tahun 1986. Melanjutkan pendidikan formal SMP 12,
Surabaya lulus pada tahun 1989. SMAN 16 Surabaya
lulus pada tahun 1992, kemudian menyelesaiakan
pendidikan Strata satu di Jurusan KIMIA FMIPA
UNAIR dengan gelar S.Si.
Email : [email protected]
LAMPIRAN
1. Analisis Proses Sintesis Silika pada Zeolit Menggunakan Metode
Alkalifussion
Metode alkalifussion merupakan metode yang sering digunakan untuk
ekstraksi silika dari bahan anorganik seperti pasir dan proses reusing limbah
gelas. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mori telah didapatkan
silika dengan kemurnian tinggi 99,9% yang berasal dari limbah gelas dengan
menggunakan senyawa alkali Na2CO3, NaOH, dan KOH (Mori, 2003). Pada tahun
2011 penelitian yang dilakukan oleh Widodo telah mendapatkan kemurnian silika
sebesar 99,2 wt% pada rasio 10:90% dengan 4 jam pemanasan yang berasal dari
pasir Bancar (Widodo, 2011). Pada penelitian ini digunakan zeolit (Lampiran
Gambar.A) dan KOH sebagai sumber ion K pada saat proses alkalifussion
dikarenakan bahan tersebut tidak terlalu membutuhkan konsumsi energi tinggi
saat berlangsungnya proses yaitu dengan temperatur pembakaran 360ºC.
Sedangkan proses alkalifussion dengan menggunakan senyawa alkali karbonat
(Na2CO3) membutuhkan konsumsi energi yang lebih tinggi yaitu sebesar 1400-
1500ºC dan NaOH membutuhkan konsumsi energi kalor sebesar 500ºC. Proses
alkalifussion dengan menggunakan senyawa KOH-SiO2 dapat terjadi secara
optimal dengan perbandingan SiO2 ≤ 15 wt%, KOH ≥ 85 wt% dan waktu
pemanasan 2 atau lebih dari 2 jam (Mori, 2003). Pada penelitian sebelumnya
Widodo telah mendapatkan silika dengan kemurnian dan hasil sintesis optimum
pada rasio 10:80 % wt dengan waktu pemanasan selama 4 jam. Sehingga pada
penelitian ini digunkan digunakan rasio antara pasir silika dan KOH sebesar 12:88
wt% dengan waktu pemanasan selama 4 jam. Penggunaan rasio 12:88 wt%
dikarenakan perbedaan antara berat silika yang dihasilkan dari rasio 12:88 wt%
dan rasio 10:80 % wt tidak terlalu besar sehingga dapat dilakukan penghematan
jumlah KOH yang digunakan.
a. Tahap persiapan
Tahapan persiapan yang pertama dilakukan adalah penggerusan zeolit
dengan menggunakan alat sederhana yaitu penumbuk batu dan blender. Setelah
dilakukan penggerusan, langkah selanjutnya adalah dengan menyaring zeolit hasil
penggerusan dengan menggunakan alat saring yang telah ditentukan ukurannya,
yaitu 40 mess dan 200 mess yang dilakukan di Laboratorium Mektan Teknik Sipil
ITS.
Dalam proses penyaringan untuk mendapatkan ukuran partikel 40 mess
yang ditunjukkan gambar (lampiran Gambar F) dan 200 mess yang ditunjukkan
pada gambar (lampiran Gambar H) dilakukan 4 (empat) tahapan, yaitu pertama
dengan alat saring ukuran 40 mess, kemudian dengan ukuran 60 mess selanjutnya
adalah 100 mess dan yang terakhir 200 mess. Partikel Zeolit 40 mess akan
tertahan pada alat saring dengan ukuran 60 mess, sedangkan yang melewatinya
memiliki ukuran di bawah 40 mess. Pada akhirnya partikel zeolit yang melewati
alat saring 200 mess, akan mendekati ukuran partikel kurang dari sama dengan
ukuran partikel 200 mess.
Setelah proses penggerusan dan penyaringan partikel zeolit dengan
ukuran yang diharapkan sudah tercapai yaitu 40 mess dan 200 mess. Tahapan
berikutnya adalah pencucian dengan HCL 15% dilakukan selama 12 jam. Zeolit
yang akan digunakan sebanyak kurang lebih 1 kg. Setelah direndam dengan HCL
15% berikutnya dilakukan pencucian zeolit dengan menggunakan aquades
sebanyak 3 sampai dengan 4 kali. Perendaman ini dilakukan untuk melarutkan
senyawa-senyawa pengotor selain SiO2 dikarenakan karakteristik HCL sebagai
asam kuat mampu melarutkan beberapa kandungan senyawa metal yang terdapat
pada pasir silika (Widodo, 2011).
b. Tahapan sintesis silika
Tahapan pertama pada sintesis silika yaitu pembentukan kalium silikat
(K2SiO3). Pada tahapan ini zeolit dengan ukuran 40 mess dan 200 mess dan KOH
dengan perbandingan 12:88 wt% diletakkan pada cawan keramik, diaduk secara
merata menggunakan spatula). Dalam 1 cawan keramik berisi 10 gram pasir silika
dan 73,3 gram KOH. Berikutnya dilakukan pemanasan dengan menggunakan
furnace dengan suhu 360ºC selama 4 jam, proses ini merupakan proses
alkalifussion. Kemudian sampel didinginkan sehingga terbentuk larutan kalium
silikat.
Tahap kedua yaitu pembentukan Silicic acid (Si(OH)4) pada masing-
masing ukuran 40 mess dan 200 mess yang diawali dengan pembentukan lautan
potassium silikat. Pembentukan larutan potassium silikat dilakukan dengan cara
melarutkan larutan kalium silikat dengan 1 liter aquades. Hal ini dikarenakan
kalium silikat mudah larut dalam aquades (H2O) sehingga terbentuk larutan
potassium silikat.
Pada saat pembentukan potassium silikat dibutuhkan waktu kurang lebih
24 jam agar unsur metal yang terkandung dalam larutan dapat mengendap
sehingga didapatkan larutan potassium silikat murni. Waktu pemanasan akan
mempengaruhi banyaknya larutan potassium silikat yang terbentuk, semakin lama
waktu pemanasan maka semakin banyak larutan potassium silikat yang terbentuk.
Setelah dilakukan proses pengendapan unsur metal pada larutan potassium silikat
selama 24 jam terlihat adanya endapan putih di dasar larutan. Endapan tersebut
merupakan campuran metal hidroksida yang terdapat pada zeolit. Endapan
tersebut terbentuk dikarenakan kalium silikat yang dihasilkan merupakan basa
kuat, sedangkan unsur-unsur metal yang terdapat pada larutan tidak dapat larut
dalam basa kuat (Mori, 2003).
Endapan metal pada larutan potassium silikat dibuang kemudian dilakukan
titrasi dengan menggunakan larutan HCl pekat hingga pH larutan 1-2. Titrasi
dilakukan sambil dilakukan pemanasan pada larutan hingga suhunya mencapai
50ºC. Titrasi dengan larutan asam kuat akan melarutkan unsur-unsur selain Si
seperti Na, Al, Ca, Ti, dan Cu (Mori, 2003). Silica acid merupakan gel putih yang
dapat dipisahkan dari H2O dan kuantitas terbentuknya akan mempengaruhi massa
akhir dari silika dioksida yang diperoleh.
Tahap ketiga yaitu tahapan pemurnian silika (SiO2), dikarenakan pada
proses pembentukan silicic acid terdapat kristal KCl. Sehingga dilakukan
pencucian hasil titrasi dengan aquades beserta penyaringan hingga larutan berubah
warna dari kuning menjadi putih. Setelah dilakukan penyaringan dengan kertas
saring untuk mendapatkan silika murni (SiO2) seperti pada gambar (lampiran
Gambar O) dan dioven pada suhu 105ºC sampai kering yang proses
pengeringannya ditunjukkan pada gambar (lampiran Gambar Q) Silika yang sudah
kering dihaluskan kembali dengan menggunakan mortar untuk memperhalus dan
memperluas permukaan silika.
Pada penelitian ini didapatkan silika sebanyak 8,00 gr dengan metode
alkalifussion menggunakan zeolit 10 gr pada setiap satu kali proses sintesis. Silika
yang didapatkan sebanyak 80% massa total zeolit yang digunakan. Sedangkan
pada penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2011) dihasilkan silika sebanyak
71,2% dari massa total silika yang digunakan.
2. Pembuatan Membran
Alat dan Bahan
Alat-alat yang akan digunakan dalam pembuatan membran adalah:
Beaker glass 100 ml
Sentrifuge
Spatula
Magnetic strirrer
Cawan petri
Bahan yang akan digunakan dalam pembuatan membran adalah:
Zeolit
2-propanol
NH4CL
Aquades (air deionisasi)
PEG
Oven
Prosedur Pembuatan Membran
1. Menentukan ukuran partikel zeolit
Variasi ukuran partikel dengan cara penyaringan menggunakan saringan yang
memiliki ukuran partikel 0.425 ; 0.075 µm .
2. Menentukan durasi proses centrifuge suspensi zeolit
Variasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah durasi proses centrifuge
yaitu masing-masing 10 ; 20 menit dengan kecepatan yang sama 600 rpm
yang dicampurkan dengan 35 ml 2-propanol. Campuran tersebut dimasukkan
ke dalam botol 100 ml kemudian di sentrifuge. Selanjutnya, campuran
tersebut ditambahkan 3, 5 gram NH4Cl sebagai surfaktan kationik yang telah
dilarutkan dalam 300 ml aquades. Campuran tersebut kemudian diaduk
dengan magnetic stirrer selama 1 jam agar terbentuk pori membran yang
berukuran nano (Chowdhury dkk, 2006).
Proses pencetakan membran diawali dengan menambahkan, 5 ml PEG, dan
ke dalam campuran. Selanjutnya membran dicetak menggunakan cawan petri
dan dijemur di bawah sinar matahari sampai kering selama 30 jam. Membran
dioven pada suhu 70ºC selama 1 jam untuk memperkuat struktur membran
dan tidak mudah sobek.
3. Analisa Permeat
a. Analisa Nitrat dengan Metode Brucin Asetat
Alat dan Bahan
Erlenmeyer 50 ml 2 buah
Spektrofotometer dan kuvet
Pipet 10 ml dan 5 ml
Larutan Brucin Asetat
Larutan Asam Sulfat (H2SO4) pekat
Prosedur Percobaan :
Isi masing-masing 2 buah Erlenmeyer 50 ml dengan sampel air
(permeat) dan aquades (sebagai blanko) sebanyak 2 ml.
Tambahkan 2 ml larutan Brucin Asetat.
Tambahkan 4 ml larutan Asam Sulfat pekat.
Aduk dan biarkan selama 10 menit.
Baca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 400 μm.
Absorbansi dari hasil pembacaan, dibaca pada hasil kalibrasi atau kurva
kalibrasi.
b. Analisa Amonium dengan Metode Nessler
Alat dan Bahan
Spektrofotometer dan kuvet
Erlenmeyer 100 ml 2 buah
Pipet 25 ml, 10 ml, 5 ml
Larutan Nessler
Larutan Garam Signet
Prosedur Percobaan
Isi masing-masing 2 buah Erlenmeyer 100 ml dengan air sampel (permeat) dan
aquades (sebagai blanko) sebanyak 25 ml.
Tambahkan 1 ml larutan Nessler
Tambahkan 1, 25 ml larutan Garam Signet
Aduk dan biarkan 10 menit
Baca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 400 μm.
Absorbansi dari hasil pembacaan, dibaca pada hasil kalibrasi atau kurva
kalibrasi.
Tabel 4a. Data Kalibrasi Nitrat
Konsentrasi
(mg/l) Absorbansi (A)
0.25 0.026 0.5 0.039 0.75 0.07
1 0.092 1.25 0.129 1.5 0.154 1.75 0.182
2 0.197 Sumber: Hasil Penelitian
Setelah didapatkan data kalibrasi nitrat, kemudian data tersebut diplotkan ke dalam kurva. Kurva kalibrasi nitrat dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 4.32 Kurva Kalibrasi Nitrat Nilai absorbansi yang didapat setelah dibaca di spektrofotometer
dimasukkan ke dalam rumus persamaan kalibrasi sebagai berikut: y = 0,104x – 006 ………………………………. (4.1) dengan : y = nilai absorbansi nitrat (A) x = konsentrasi nitrat (mg/l)
y = 0,1048x - 0,0068 R² = 0,9923
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0 0,5 1 1,5 2 2,5
Ab
sorb
ansi
A
Konsentrasi mg/l
Tabel. 4b. Data Kalibrasi Amonium
Konsentrasi (mg/l) Absorbansi (A) 0.05 0.080 0.10 0.100 0.20 0.139 0.40 0.170 0.50 0.229 0.80 0.313 1.00 0.360 1.50 0.480
Sumber: Hasil Penelitian
Setelah didapatkan data kalibrasi amonium, kemudian data tersebut diplotkan ke dalam kurva. Kurva kalibrasi amonium dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 4.33 Kurva Kalibrasi Amonium
Nilai absorbansi yang didapat setelah dibaca di spektrofotometer dimasukkan ke dalam rumus persamaan kalibrasi sebagai berikut: y = 0.278x + 0.075……………. ………………. (4.2) y = nilai absorbansi amonium (A) x = konsentrasi nitrat (mg/l)
y = 0,278x + 0,0758 R² = 0,9922
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6
Ab
sorb
ansi
A
konsentrasi mg/l
4. Pengujian Struktur Membran
Pengujian struktur membran dilakukan dengan menggunakan peralatan
FTIR di Laboratorium Teknik Metalurgi ITS. Pengujian struktur dilakukan secara
spektrofotometri FTIR. Membran yang akan dianalisis harus berbentuk serbuk
dan dicampur dengan KBr. Serbuk sampel yang dicampur dengan KBr akan
terbentuk pellet.
6. Analisa Morfologi Membran
Morfologi membran dianalisa dengan menggunakan peralatan SEM di
Laboratorium Teknik Metalurgi ITS. Analisa SEM dilakukan untk membran yang
memiliki kinerja terbaik. Membran yang sudah kering dibekukan dengan nitrogen
cair. Membran yang sudah beku dipatahkan dan ditempelkan pada holder.
Membran dilapisi emas dan dimasukkan ke dalam chamber. Selanjutnya membran
dipotret pada bagian permukaan dan penampang melintang membran.
7. Analisis Pembuatan Membran
Tahap pertama dalam pembuatan membran yaitu dengan menimbang silika
dengan massa 2 gram pada masing-masing ukuran 40 mesh untuk waktu
centrifuge 10 menit dan 20 menit. Demikian juga pada ukuran 200 mesh untuk
waktu centrifuge 10 menit dan 20 menit. Variasi ukuran silika serta variasi lama
waktu centrifuge pada masing-masing ukuran tersebut digunakan untuk
mengetahui hasil proses yang optimum untuk rejeksi amonium dan nitrat pada
sampel limbah cair produksi tahu yang digunakan. Selanjutnya ditambahkan
larutan 2-propanol sebanyak 35 ml pada masing-masing perlakuan. Penambahan
2-propanol berfungsi untuk melarutkan silika. Berikutnya dilakukan proses
centrifuge selama selama 10 menit dan 20 menit dengan kecepatan 600 rpm hal
ini dilakukan dengan tujuan untuk meratakan distribusi partikel silika membran.
Distribusi partikel dengan memisahkan fasa padatan dan cairan dalam sampel
merupakan tahapan penting untuk mendapatkan partikel dengan homogenitas
tinggi. Kecepatan sentrifuge akan mempengaruhi kepadatan membran.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fatmasari (2012) kecepatan
sentrifuge yang optimal yaitu 600 rpm.
Tahap berikutnya yaitu dilakukan penambahan NH4Cl sebanyak 3,5 gram
yang telah dilarutkan dengan 300 ml aquades. NH4Cl ditambahkan untuk
mencegah tumbuhnya mikroba pada membran yang akan dibuat. Silika beserta
NH4Cl yang telah dilarutkan dengan aquades kemudian diaduk menggunakan
magnetic stirrer selama 1 jam. Hal tersebut dilakukan agar terbentuk pori
membran yang berukuran nano.
Tahapan terakhir dari pembuatan membran adalah pencetakan. Tahapan
pertama dari proses pencetakan adalah penambahan PEG 400 sebanyak 5 ml dan
aquades 30 ml pada endapan yang dihasilkan dari pengadukan dengan magnetic
stirrer. Semen ditambahkan karena semen berfungsi sebagai bahan pengikat
(binder) serbuk silika. PEG berfungsi untuk pembentukan dan penyeragaman
pori-pori membran (Yang dkk., 2001). Aquades berfungsi untuk membentuk
permukaan membran yang halus dan rapat.
Tahap berikutnya dari pencetakan membran yaitu proses pencetakan
dengan menggunakan cawan petri kemudian dikeringkan dengan cara diangin-
anginkan 30 jam. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan kandungan air yang ada
pada membran. Setelah 30 jam membran yang agak kering di oven pada suhu
70ºC selama 1 jam. Ditunjukkan pada gambar (lampiran T).
LAMPIRAN GAMBAR
Lampiran Gambar. A. Zeolit Alam.
Lampiran Gambar. B. Alat Penggerus batu dan Blender.
Lampiran Gambar. C. Zeolit sebelum dan sesudah digerus.
Lampiran Gambar. D. Alat Pengayak/Penyaring manual beserta hasil ayakan.
Lampiran Gambar. E. Ayakan ukuran 40 mesh
Lampiran Gambar. F. Hasil ayakan Zeolit 40 mesh
Lampiran Gambar. G. Ayakan ukuran 200 mesh.
Lampiran Gambar H. Hasil ayakan ukuran 200 mesh
Lampiran Gambar. I. Partikel Zeolit hasil proses pengeringan setelah perendaman dengan HCl 15%.
Lampiran Gambar. J. Partikel Zeolit 40 mesh dan 200 mesh dengan penambahan KOH sebelum difurnace selama 4 jam pada suhu 360oC
Lampiran Gambar. K. Hasil proses pembentukkan larutan kalium silikat pada partikel 40 mesh dan 200 mesh setelah difurnace selama 4 jam pada suhu 360oC.
Lampiran Gambar L. Larutan Kalium Silikat dengan endapan metal hidroksida pada partikel zeolit 40 mesh dan 200 mesh.
Lampiran Gambar M. Proses titrasi HCl 37% dengan pemanasan suhu 50oC.
Lampiran Gambar N. Endapan/gel Silika Acid yang terbentuk.
Lampiran Gambar. O. Penyaringan Gel Silika Acid.
Lampiran Gambar. P. Gel Silika Acid
Lampiran Gambar. Q. Gel Silika Acid setelah pengeringan pada oven suhu 105oC selama 1 jam.
Lampiran Gambar. R. Alat centrifuge dan hasil proses centrifuge selama 10’ dan 20’
Lampiran Gambar. S. Proses pengadukan dengan magnet stirrer.
Lampiran Gambar T. Proses pencetakan dan pengeringan membran.
Lampiran Gambar U. Reaktor cross flow
Lampiran Gambar. V. Presure Gauge dan valve pengatur tekanan.
Lampiran Gambar. W. Perbandingan antara sampel dengan permeat.
Lampiran Gambar X. Pengukuran absorbansi dengan Spektrofotometer.
La mpiran Gambar. Y. Alat SEM di Laboratorium Energi ITS type EVO/MA10