UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA MODIFIKASI STRUKTUR SENYAWA ASAM...
Transcript of UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA MODIFIKASI STRUKTUR SENYAWA ASAM...
-
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
MODIFIKASI STRUKTUR SENYAWA ASAM P-
METOKSISINAMAT MELALUI PROSES AMIDASI
UREA SERTA UJI AKTIVITAS SEBAGAI
ANTIINFLAMASI
SKRIPSI
SUTAR
NIM : 1111102000077
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2015
-
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
MODIFIKASI STRUKTUR SENYAWA ASAM P-
METOKSISINAMAT MELALUI PROSES AMIDASI
UREA SERTA UJI AKTIVITAS SEBAGAI
ANTIINFLAMASI
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi
SUTAR
NIM : 1111102000077
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2015
i
-
ii
-
iii
-
iv
-
v
ABSTRAK
Nama : Sutar
Program Studi : Farmasi
Judul : Modifikasi Struktur Senyawa Asam p-metoksisinamat
Melalui Proses Amidasi Urea Serta Uji Aktivitas Sebagai
Antiinflamasi
Telah dilakukan modifikasi senyawa asam p-metoksisinamat melalui
reaksi amidasi urea dengan menggunakan microwave unmodified pada daya
300W selama 15 menit. Reaksi ini menghasilkan senyawa murni para
metoksisinamamida (C10H11NO2) dengan rendemen sebesar 20,92%. Aktivitas
antiinflamasi dari senyawa asam p-metoksisinamat dan para metoksisinamamida
diuji dengan metode inhibisi denaturasi Bovine Serum Albumin (BSA) yang
masing-masing senyawa menghasilkan persentase inhibisi denturasi protein
sebesar -0,54% dan 33,17% pada konsentrasi 0,1 ppm, -0,34% dan 37,1% pada
konsentrasi 1 ppm, 0,11% dan 41,08% pada konsentrasi 10 ppm, 0,32% dan
81,57% pada konsentrasi 100 ppm. Hasil ini menunjukan bahwa senyawa hasil
amidasi etil p-metoksisinamat (para metoksisinamamida) memiliki aktivitas
sebagai antiinflamasi yang lebih tinggi dibandingkan senyawa induk asam p-
metoksisinamat sehingga memungkinkan untuk dianalisis lebih lanjut sebagai
kandidat antiinflamasi.
Kata kunci : asam p-metoksisinamat, amidasi, Bovine Serum Albumin.
-
vi
ABSTRACT
Name : Sutar
Programme study : Pharmacy
Title : Structure Modification p-methoxycinnamate Acid
Through Urea Amidation and Antiinflammatoty Assay
to the Result of Modification Compound.
Modification of p-methoxycinnamate acid through urea amidation has been
carried out using a microwave unmodified at 300 W for 15 minutes. This reaction
produce a pure compound of p-methoxycinnamamide (C10H11NO2) with 20.92%
yield. Antiinflammatory activity of p-methoxycinnamate acid and p-
methoxycinnamamide was analyzed by using inhibition of bovine serum albumine
(BSA) denaturation method. It was found that in concentration 0,1 ppm, 1 ppm,
10 ppm and 100 ppm p-methoxycinnamate acid inhibit denaturation of protein
-0.54%, -0.34%, 0.11% and 41.08% whereas p-methoxycinnamamide 33.17%,
37.1%, 41.08% and 81.57%. These result indicate that the compound amidation of
p-methoxycinnamamide have higher antiinflammatory activity than the lead
compound p-methoxycinnamate acid thus allowing for further analysis as
candidate of antiinflammantory.
Keywords : p-methoxycinnamate, amidation, Bovine Serum Albumin
-
viiVii llviii
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam
rangka pemenuhan tugas akhir sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Farmasi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
yang senantiasa diberikan sejak masa perkuliahan sampai saat penulisan skripsi
ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu,
saya mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. H. Arief Sumantri, SKM., M.Kes, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Bapak Yardi, M.Si, Apt, Ph.D selaku Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
3. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt, selaku pembimbing pertama serta
Bapak Supandi, M.Si., Apt selaku pembimbing kedua yang telah
membantu, membimbing dan memberikan ilmu kepada saya, serta
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dari awal penelitian sampai pada
penyusunan skripsi ini selesai.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmu dan
pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di jurusan
Farmasi Fakultas Keokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Para laboran Laboratorium Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membantu dalam hal penggunaan alat dan bahan selama penelitian.
6. Kedua orang tua saya, ayahanda Uher dan ibunda Rohimah serta keluarga
besar saya yang senantiasa mendo’a kan dan memberikan bantuan moril,
-
viii
materil dan spiritual hingga skripsi ini dapat diselesaian. Semoga Allah
SWT memberikan balasan yang sebaik-baikna atas bantuan kalian.
7. Teman-teman seperjuangan Askandari, Aziz Iqbal Iraqia, Fatiah Yahya,
Mida Fahmi, Wina Oktaviana, Nicky Annisiana Fortunita, Ayu Diah
Gunardi, Rian Hidayat, Fio Noviany dan Sry Wardiah serta kakak tingkat
dan teman-teman penelitian yang tergabung dalam “kingdom kencur”
yaitu Syarifatul Mufidah, Fikri Awluddin, Muhammad Rezza, Nurkhayati
Putri Indriani, Muhammad Syahid Ali, Indah Nunik dan Nova Sari Aulia
yang telah berbaik hati membantu saya baik itu dalam bentuk material atau
pun moril selama penelitian sampai pada penyusunan skripsi.
8. Teman-teman seperjuangan di Laboratorium Farmasi Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
yang senantiasa memberikan masukan, semangat dan do’a bagi penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman farmasi angkatan 2011 yang telah berjuang bersama-sama
selama 4 tahun untuk menyelsaikan skripsi ini
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan agar
tercapainya kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga hasil
penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi kalangan akademis dan dunia
ilmu pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa farmasi serta bagi
masyarakat pada umumnya
Jakarta, Juli 2015
Penulis
-
ix
-
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORSINILITAS ................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
ABSTRACK ........................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................ ix
DAFTAR ISI........................................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 3
1.5 Hipotesis ........................................................................................ 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 4
2.1 Spesifikasi Bahan .......................................................................... 4
2.1.1. Senyawa Etil p-metoksisinamat......................................... 4
2.1.2. Senyawa Asam p-metoksisinamat ..................................... 6
2.1.3. Urea.................................................................................... 7
2.1.4. Imidazol ............................................................................. 8
2.2 Hidrolisis Etil p-metoksisinamat ................................................... 8
2.3 Amida ............................................................................................ 10
2.3.1. Reaksi Pembuatan Amida.................................................... 11
2.4 Identifikasi ..................................................................................... 12
2.4.1. Kromatografi ....................................................................... 12
2.4.2. Spektrofotometri .................................................................. 16
2.5 Inflamasi ........................................................................................ 20
2.5.1. Pengertian Inflamasi ............................................................ 20
-
xi
2.5.2. Antiinflamasi Menghambat Denaturasi Protein .................. 21
2.6 Iradiasi Microwave ........................................................................ 22
BAB 3. METODE PENELITIAN ..................................................................... 24
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 24
3.1.1. Tempat ................................................................................. 24
3.1.2. Waktu .................................................................................. 24
3.2 Alat dan Bahan .............................................................................. 24
3.2.1. Alat ...................................................................................... 24
3.2.2. Bahan ................................................................................... 24
3.3 Prosedur Penelitian ........................................................................ 25
3.3.1. Modifikasi Struktur ............................................................. 25
3.3.2. Uji Aktivitas Antiinflamasi Secara In Vitro ........................ 27
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 29
4.1 Hidrolisis EPMS Menjadi APMS.................................................. 29
4.2. Modifikasi Struktur Asam p-metoksisinamat dengan Amidasi..... 35
4.2.1. Identifikasi Senyawa Hasil Amidasi ................................... 37
4.3. Pengujian Aktivitas Antiinflamasi dan Hubungan Struktur
Senyawa Hasil Modifikasi............................................................. 48
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 50
5.1. Kesimpulan .................................................................................... 50
5.2. Saran .............................................................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 51
LAMPIRAN......................................................................................................... 56
-
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Etil p-metoksisinamat....................................................................... 4
Gambar 2.2. Jalur asam sikhimat dalam biosintesa fenilpropanoid untuk
menghasilkan etil p-metoksisinamat ....................................................... 5
Gambar 2.3. Struktur Asam p-metoksisinamat ..................................................... 6
Gambar 2.4. Struktur Urea .................................................................................... 7
Gambar 2.5. Struktur Imidazol ............................................................................. 8
Gambar 2.6. Skema Reaksi Amidasi Urea dengan Katalis Imidazol.................... 8
Gambar 2.7.Mekanisme Reaksi Hidrolisis Etil p-metoksisisnamat...................... 9
Gambar 2.8. Mekanisme Reaksi Hidrolisis pada Ester ......................................... 10
Gambar 2.9. Mekanisme Reaksi Hidrolisis Ester dengan Katalis Basa................ 10
Gambar 2.10. Struktur Amida ............................................................................... 10
Gambar 2.11. Sintesis Amida dari Derivat Karboksilat........................................ 10
Gambar 2.12. Skema Kromatografi Lapis Tipis ................................................... 15
Gambar 4.1. KLT Hasil Reaksi Hidrolisis ............................................................ 29
Gambar 4.2. Mekanisme Reaksi Hidrolisis Etil p-metoksisinamat ...................... 30
Gambar 4.3. KLT Hasil Hidrolisis dan Asam p-metoksisinamat Standar ............ 31
Gambar 4.4. Senyawa Hasil Hidrolisis ................................................................. 32
Gambar 4.5. Waktu Retensi GCMS Senyawa Hasil Hidrolisis ............................ 32
Gambar 4.6. Spektrum GCMS Senyawa Hasil Hidrolisis .................................... 33
Gambar 4.7.Pola Fragmentasi GCMS Senyawa Hasil Hidrolisis ......................... 34
Gambar 4.8. Struktur Senyawa Asam p-metoksisinamat...................................... 34
Gambar 4.9. Mekanisme Reaksi Amidasi Asam p-metoksisinamat dgn Urea ..... 35
Gambar 4.10. KLT Senyawa Hasil Reaksi Amidasi ............................................. 36
Gambar 4.11. Hasil Pemisahan Senyawa Amidasi Kromatografi Kolom ............ 36
Gambar 4.12. KLT Senyawa EPMS, APMS dan Hasil Amidasi ......................... 38
Gambar 4.13. Senyawa Hasil Amidasi ................................................................. 38
-
xiii
Gambar 4.14. Spektrum FTIR Senyawa Hasil Amidasi ....................................... 39
Gambar 4.15. Spektrum FTIR Senyawa Etil p-metoksisinamat ........................... 39
Gambar 4.16. Spektru FTIR Senyawa Asam p-metoksisinamat .......................... 39
Gambar 4.17. Waktu Retensi GCMS Senyawa Hasil Amidasi ............................ 41
Gambar 4.18. Spektrum GCMS Senyawa Hasil Amidasi .................................... 42
Gambar 4.19. Pola Fragmentasi GCMS Senyawa Hasil Amidasi ........................ 43
Gambar 4.20. Spektrum 1H-NMR Senyawa Hasil Amidasi ................................. 44
Gambar 4.21. Spektrum 13
C-NMR Senawa Hasil Amidasi .................................. 45
Gambar 4.22. Senyawa Para Metoksisinamamida ................................................ 47
-
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1.Daftar daerah spektrum IR Senyawa Amidasi, APMS dan EPMS....... 39
Tabel 4.2.Data Pergeseran Kimia spektrum 1H-NMR senyawa hasil amidasi ..... 46
Tabel 4.3.Data Pergeseran Kimia spektrum 13
C-NMR senyawa hasil amidasi .... 47
Tabel. 4.4.Hasil antiinflamasi EPMS, APMS dan Para Metoksisinamamida....... 49
-
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kerangka Penelitian.......................................................................... 56
Lampiran 2. Skema Identifikasi Senyawa Hasil Modifikasi................................. 57
Lampiran 3. Perhitungan Bahan dan Rendemen Hasil Hidrolisis serta Amidasi . 58
Lampiran 4. Spektrum GCMS Senawa Asam p-metoksisinamat ......................... 59
Lampiran 5. Spektrum GCMS Senyawa Hasil Amidasi ....................................... 60
Lampiran 6. Spektrum FTIR Senyawa Hasil Amidasi.......................................... 61
Lampiran 7. Spektrum FTIR Senyawa APMS...................................................... 62
Lampiran 8. Spektrum FTIR Senyawa EPMS ...................................................... 63
Lampiran 9. Spektrum 1H-NMR Senyawa Hasil Amidasi.................................... 64
Lampiran 10. Spektrum 13
C-NMR Senyawa Hasil Amidasi ................................ 70
Lampiran 11. Hasil Uji Aktivitas Antiinflamasi ................................................... 74
Lampiran 12. Optimasi Reaksi Amidasi ............................................................... 76
-
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara megabiodiversity yang kaya akan tanaman
obat, dan sangat potensial untuk dikembangkan, namun belum dikelola
secara maksimal. Kekayaan alam tumbuhan di Indonesia meliputi 30.000
jenis tumbuhan dari total 40.000 jenis tumbuhan di dunia, 940 jenis
diantaranya merupakan tumbuhan berkhasiat obat (jumlah ini merupakan
90% dari jumlah tumbuhan obat di Asia). Berdasarkan hasil penelitian, dari
sekian banyak jenis tanaman obat, baru 20-22% yang dibudidayakan.
Sedangkan sekitar 78% diperoleh melalui pengambilan langsung
(eksplorasi) dari hutan. Potensi tanaman obat di Indonesia, apabila dikelola
dengan baik akan sangat bermanfaat dari segi ekonomi, sosial-budaya
maupun lingkungan (dephut, n.d).
Diantara salah satu potensi alam Indonesia yang bisa digunakan
sebagai obat adalah kencur (Kaempferia galanga L.). Kencur merupakan
tanaman tropis yang banyak tumbuh di berbagai daerah di Indonesia sebagai
tanaman yang dibudidayakan. Biasanya tanaman ini dari umbinya
digunakan sebagai ramuan obat tradisional (Hamida, 2007). Rimpang
kencur secara empiris telah dimanfaatkan dalam mengobati berbagai
penyakit seperti radang lambung, radang anak telinga, influenza pada bayi,
masuk angin, sakit kepala, batuk, memperlancar haid, mata pegal, keseleo,
diare, menghilangkan darah kotor dan mengusir lelah (Al-Fattah, 2011).
Kandungan metabolit sekunder dalam ekstrak kencur diantaranya
ialah asam propionate (4,7%), pentadekan (2,08%), asam tridekanoat
(1,81%), 1,21-docosadiene (1,47%), beta-sitosterol (9,88%), dan komponen
terbesar adalah etil p-metoksisinamat (80.05%) (Umar et al,.2012)
Etil p-metoksisinamat merupakan golongan senyawa ester yang
mengandung cincin benzena dan gugus metoksi serta gugus karbonil yang
mengikat etil (Barus, 2009). Dalam studi in vitro, etil p-metoksisinamat
secara non-selektif menghambat aktivitas COX-1 dan COX-2 (Umar et al,
2012). Berbeda dengan etil p-metoksisinamat, asam p-metoksisinamat yang
-
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
merupakan hasil hidrolisis dari etil p-metoksisinamat sama sekali tidak
memberikan aktivitas sebagai antiinflamasi (Mufidah, 2014). Selain itu
modifikasi struktur dari asam p-metoksisinamat dengan proses amidasi
masih belum banyak dikembangkan. Oleh karena itu diperlukan
pengembangan struktur dari senyawa ini.
Salah satu metode pengembangan struktur adalah dengan penambahan
gugus amina yang bertujuan untuk memberikan efek antiinflamasi serta
mengurangi efek samping AINS terhadap gastrointesitinal (Kalgutkar et al,
2000). Modifikasi ibuprofen menjadi turunan amida menggunakan amina
alifatik atau aromatik yang berbeda menghasilkan peningkatan aktivitas
analgesik, gastroprotektif dan aktivitas antiinflamasi (Kumar et al, 2010).
Dalam penelitian ini dilakukan reaksi hidrolisis terlebih dahulu yaitu
mereaksikan etil p-metoksisinamat dengan NaOH pada suhu 55-60˚С.
Asam p-metoksisinamat yang merupakan hasil reaksi dari hidrolisis
kemudian diamidasi dengan urea dalam microwave unmodified
menggunakan katalis imidazol pada tekanan 300 W selama 15 menit.
Produk hasil reaksi yang mengandung gugus amida kemudian diuji
aktivitas antiinflamasinya dengan metode BSA (Bovin Serum Albumin).
Uji antiinflamasi dilakukan secara in vitro dengan melihat efek denaturasi
pada BSA (Bovin Serum Albumin). Pengujian ini dipilih karena mudah,
menggunakan sedikit sampel, waktu analisa yang cepat dan merupakan uji
pendahuluan yang dilakukan sebagai skrining awal aktivitas antiinflamasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah senyawa asam p-metoksisinamat dapat dimodifikasi menjadi
turunan senyawa yang mengandung gugus amin melalui proses amidasi
dengan urea menggunakan katalis imidazol?
2. Bagaimana hubungan struktur senyawa hasil amidasi asam p-
metoksisinamat dengan aktivitas antiinflamasi?
-
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.3 Tujuan Penelitian
1. Modifikasi struktur senyawa asam p-metoksinamat dengan penambahan
gugus amin melalui proses amidasi dengan urea menggunakan katalis
imidazol
2. Melakukan uji aktivitas antiinflamasi dari senyawa yang dimodifikasi.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah
mengenai aktivitas antiinflamasi dari senyawa hasil modifikasi struktur
amidasi asam p-metoksisinamat serta dapat dijadikan referensi lainnya.
1.5 Hipotesis
1. Reaksi amidasi dari asam p-metoksisinamat akan merubah gugus
karboksilat menjadi amida dan dapat menghasilkan senyawa turunan
yang mengandung gugus NH2.
2. Penambahan gugus NH2 pada asam p-metoksisinamat dapat
mempengaruhi aktivitas sebagai agen antiinflamasi
-
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Spesifikasi Bahan
2.1.1. Senyawa Etil p-metoksisinamat
Etil p-metoksisinamat adalah salah satu produk alam yang
terdapat pada rimpang kencur (Kaempferia galanga L) dalam jumlah yang
relatif besar dengan rumus molekul C12H14O3 termasuk turunan sinamat
(Windono et al, 1997). Senyawa etil p-metoksisinamat berbentuk kristal
berwarna putih dengan berat molekul 206.24 g/mol dan memiliki titik lebur
55-56˚C (Bangun, 2011). Senyawa etil p-metoksisinamat merupakan
golongan senyawa ester yang mengandung cincin benzena dan gugus
metoksi yang bersifat nonpolar dan juga gugus karbonil yang mengikat etil
yang bersifat sedikit polar. Sehingga dalam ekstraksinya dapat
menggunakan pelarut-pelarut yang mempunyai variasi kepolaran yaitu
etanol, etil asetat, metanol, air dan heksana (Barus, 2009).
Gambar 2.1 Etil p-metoksisinamat (Barus, 2009).
Etil p-metoksisinamat mempunyai gugus fungsi yang reaktif sehingga
sangat mudah ditransformasikan menjadi gugus fungsi yang lain. Etil p-
metoksisinamat adalah ester alam dimana gugus esternya dapat dihidrolisis
menjadi senyawa asam karbooksilat (Mufidah, 2014). Kadar etil p-
metoksisinamat dalam simplisia dapat mencapai 80,05 % (Umar et al, 2012)
Etil p-metoksisinamat sebelumnya dimanfaatkan sebagai bahan tabir
surya (Windono, et al 1997), namun dewasa ini telah diteliti lebih lanjut
bahwa etil p-metoksisinamat memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi non-
selektif menghambat COX-1 dan COX-2 secara in vitro (Umar et al., 2012).
4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
-
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Etil p-metoksisinamat merupakan senyawa turunan asam sinamat sehingga
biosintesinya termasuk pada jalur sikhimat. (Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Jalur asam sikhimat dalam biosintesa fenilpropanoid untuk
menghasilkan etil p-metoksisinamat
( Bangun, 2011)
-
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.2. Senyawa Asam p-metoksisinamat
Asam p-metoksisinamat merupakan senyawa organik yang
diperoleh dari hidrolisis etil p-metoksisinamat dengan rumus molekul
C10H10O3. Senyawa asam p-metoksisinamat (APMS) mempunyai
karakteristik sebagai berikut :
Warna : Putih
Bau : Tidak Berbau
Bentuk : Serbuk
Titik leleh : 172-176˚C
Berat molekul : 178 g/mol
Rumus molekul : C10H10O3
Gambar 2.3 Struktur Asam p-metoksisinamat (Mufidah, 2014)
Senyawa asam p-metoksisinamat merupakan golongan senyawa
karboksilat yang mengandung cincin benzena dan gugus metoksi dan juga
gugus karbonil yang mengikat OH. Asam p-metoksisinamat dapat dibuat
dengan mereaksikan etil p-metoksisinamat (ester) dengan suatu basa
(NaOH) pada suhu kamar selama 32 jam disertai pengadukan dengan
pelarut etanol pro analisis ( Mufidah, 2014). Telah diteliti bahwa gugus
OH pada asam karboksilat dapat digantikan dengan gugus amina melalui
proses amidasi. Sumber amina yang digunakan adalah urea dan imidazol
sebagai katalis. Reaksi ini dapat terjadi dengan iradiasi microwave pada
tekanan 300 W selama 15 menit (Khalafi-Nezhad, 2003).
-
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.3. Urea
Gambar 2.4 Struktur Urea
( Pubchem, n.d)
Karakteristik urea sebagai berikut :
Warna : Putih
Bau : Tidak Berbau
Bentuk : Serbuk
Titik leleh : 132.7̊ C-135°C
Berat molekul : 60.05526 g/mol
Rumus molekul : CON2H4
(sumber: pubchem, n.d)
Urea adalah senyawa organik yang tersusun dari unsur karbon,
hidrogen, oksigen dan nitrogen dengan rumus kimia CON2H4 atau
(NH2)2CO. Urea juga dikenal dengan nama carbamide yang terutama
digunakan di kawasan Eropa. Nama lain yang juga sering dipakai adalah
carbamide resin, isourea, carbonyl diamide dan carbonyldiamine. Karena
urea mempunyai gugus amida sehingga dapat dimanfaatkan sebagai reagen
dalam pembuatan amida primer. Dibandingkan amonium asetat, amonium
klorida, amonium sulfat, dan ammonium karbonat. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa urea adalah sumber yang paling cocok untuk
pembentukan amida primer. (Khalafi-Nezhad, 2003).
-
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.4. Imidazol
Gambar 2.5. Struktur Imidazol
( Sumber : pubchem,n.d )
Karakteristik imidazol sebagai berikut :
Warna : Putih
Bau : Bau khas
Bentuk : Serbuk
Titik leleh : 89˚С
Berat molekul : 68.07726 g/mol
Rumus molekul : C3H4N2
(sumber: pubchem, n.d.)
Imidazol adalah senyawa organik dengan rumus C3H4N2, yaitu sebuah
aromtik heterosiklik yang diklsifikasikan sebagai diazole atau alkaloid.
Imidazol dapat digunakan sebagai katalis dalam pembuatan amida primer
karena mempunyai titik leleh yang rendah dan waktu iradiasi yang singkat.
Gambar 2.6 Skema Reaksi Amidasi Urea dengan Katalis Imidazol
( Sumber : Khalafi-Nezhad, 2003 )
2.2. Hidrolisis Etil P-Metoksisinamat
Hidrolisis etil p-metoksisinamat dengan NaOH akan menghasilkan
suatu asam p-metoksisinamat. Reaksi hidrolisis ini dapat memberikan
rendemen 82,34 % (Mufidah, 2014).
-
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.7 Mekanisme Reaksi Hidrolisis Etil p-metoksisinamat (Mufidah,
2014)
Mekanisme reaksi hidrolisis diinisiasi oleh protonasi pada karbonil
oksigen. Protonasi menyebabkan keadaan terpolarisasi pada gugus karbonil
melepaskan elektron dari karbon sehingga bersifat lebih elektrofilik dan
akan menerima penambahan nukleofilik OH (Larson dan Weber, 1994).
Gambar 2.8 Mekanisme Reaksi Hidrolisis pada Ester
( Sumber : Larson & Webber, 1994 )
Hidrolisis ester dengan katalis basa melalui mekanisme penambahan
nukleofilik OH secara langsung terjadi kepada gugus karbonil. Hidrolisis
ester berkatalis basa terjadi karena ion OH merupakan nukleofil yang lebih
kuat dibandingkan air (Larson and Weber, 1994). (Gambar 2.9)
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1010
Gambar 2.9 Mekanisme Reaksi Hidrolisis Ester dengan Katalis Basa
(Larson and Weber, 1994).
2.3. Amida
Suatu amida ialah senyawa yang mempunyai nitrogen trivalen terikat
pada suatu gugus karbonil. Suatu amida diberi nama asam karboksilat
induknya, dengan mengubah imbuhan asam ...-oat (atau –at) menjadi amida.
Gambar 2.10 Struktur Amida
(Barus, 2009)
Amida disintesis dari derivat asam karboksilat dan ammonia atau
amina yang sesuai. Reaksi-reaksinya sebagai berikut :
Gambar 2.11 Sintesis Amida dari Derivat Karboksilat
( Fessenden and Fessenden,1999 )
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1111
Seperti asam karboksilat, amida memiliki titik cair dan titik didih yang
tinggi karena adanya pembentukan ikatan hidrogen. Amida mampu
membentuk ikatan hidrogen intermolekular selama masih terdapat hidrogen
yang terikat pada nitrogen. Senyawa ini juga sangat istimewa karena
nitrogennya mampu melepaskan elektron dan mampu membentuk suatu
ikatan pi dengan karbon karbonil. Pelepasan elektron ini menstabilkan
hibrida resonansi (Bresnick,1996).
2.3.1. Reaksi Pembuatan Amida
Pembuatan amida primer dapat dibuat dari karboksilat melalui
transformasi sintetis organik. Secara umum pembentukan carboxamide
dibuat dari asam karboksilat dengan cara mengaktivasi karbonil
menggunakan gugus yang lebih reaktif seperti asil halida, anhidrida
campuran, asil azida, ester aktif atau aktivasi dengan reagen kopling,
yang paling umum digunakan adalah N, N-disikloheksilkarbodiimida
(DCC) (Khalafi-Nezhad, 2003).
Pengunaan tekhnologi microwave dalam kimia organik telah di
eksplor akhir dekade ini. Iradiasi menggunakan microwave menurunkan
waktu reaksi, meningkatkan hasil, mudah dikerjakan, tidak merusak
lingkungan dan dapat meningkatkan regio dan stereoselektivitas reaksi.
Pembuatan amida primer secara langsung dapat dilakukan dengan
mereaksikan asam karboksilat dan urea dengan adanya imidazol
dibawah iradiasi microwave. Imidazol digunakan karena mempunyai
titik leleh yang rendah sehingga waktu iradiasi singkat, serta dapat
mencampurkan suatu reagen atau reaksi dalam keadaan kering.
Hasil reaksi yang didapatkan tergantung dari reagen (sumber)
yang digunakan seperti amonium asetat, amonium klorida, amonium
sulfat, dan ammonium karbonat. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa urea adalah sumber yang paling cocok untuk pembentukan
amida primer. Singkatnya, prosedur microwave saat ini menyediakan
metodologi yang efisien dan sangat sederhana dalam pembuatan amida
primer dengan menggunakan urea sebagai sumber amonia. Selain
murah serta aman digunakan, urea juga dapat menghasilkan amida
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1212
primer dengan hasil yang baik dan bebas dari penggunaan pelarut
(Khalafi-Nezhad, 2003).
Pengembangan modifikasi senyawa hasil amidasi telah banyak
dikembangkan oleh para peneliti seperti modifikasi ibuprofen menjadi
turunan amida menggunakan amina alifatik atau aromatik yang berbeda
menghasilkan peningkatan aktivitas analgesik, gastroprotektif dan
aktivitas inflamasi (Kumar, Manoj et al, 2010). Selain ibuprofen,
modifikasi struktur senyawa antiinflamasi dengan penambahan gugus
amina juga dilakukan pada indometasin dan asam meclofenamat,
dimana turunan amida dari indometasin menghasilkan efek
penghambatan selektif COX-2 dan menghilangkan efek samping pada
gastrointestinal. Pengembangan senyawa tersebut bertujuan untuk
mengurangi efek samping AINS terhadap gastrointesitinal dan
meningkakan aktivitas antiinflamasi (Kalgutkar, Amit S. et al, 2000).
2.4 Identifikasi
2.4.1 Kromatografi
Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat
terlarut oleh suatu proses migrasi deferensial dinamis dalam sistem
yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu di antaranya bergerak
secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan di dalamnya zat-zat
itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan
dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau
kerapatan muatan ion. Dengan demikian, masing-masing zat dapat di
identifikasi atau ditetapkan dengan metode analitik (Departemen
Kesehatan, 1995).
Teknik kromatografi umum membutuhkan zat terlarut
terdistribusi diantara dua fase, satu diantaranya diam (fase diam), yang
lainnya bergerak (fase gerak). Fase gerak membawa zat terlarut melalui
media, hingga terpisah dari zat terlarut lainnya, yang tereluasi lebih
awal atau lebih akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melewati media
pemisah oleh aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas yang
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1313
disebut eluen. Fase diam dapat bertindak sebagai zat penjerap, seperti
halnya penjerap alumina yang diaktifkan, silika gel, dan resin penukar
ion, atau dapat bertindak melarutkan zat terlarut sehingga terjadi partisi
antara fase diam dan fase gerak. Dalam proses terakhir ini suatu lapisan
cairan pada suatu penyangga yang inert berfungsi sebagai fase diam
(Departemen Kesehatan,1995).
Jenis-jenis kromatografi yang bermanfaat dalam analisis kualitatif
dan kuantitatif yang digunakan dalam penetapan kadar dan pengujian
Farmakope Indonesia adalah kromatografi kolom, kromatografi gas,
kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, dan kromatografi cair
kinerja tinggi. Kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis
umumnya lebih bermanfaat untuk tujuan identifikasi, karena mudah dan
sederhana. Kromatografi kolom memberikan pilihan fase diam yang
lebih luas dan berguna untuk pemisahan masing-masing senyawa secara
kuantitatif dari suatu campuran. (Departemen Kesehatan,1995).
a. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah suatu metode
pemisahan komponen menggunakan fasa diam berupa plat dengan
lapisan bahan berupa adsorben inert. KLT sering digunakan untuk
identifikasi awal karena sederhana dan juga murah. KLT dapat
dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya sebagai
metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif atau preparatif.
Kedua, dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem
penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau
kromatografi cair kinerja tinggi (Gritter et al, 1991).
Diantara berbagai jenis teknik kromatografi, kromatografi
lapis tipis adalah yang paling banyak digunakan untuk analisis obat
di laboratorium farmasi. Metode ini hanya memerlukan investasi
kecil untuk perlengkapan dan menggunakan waktu yang singkat
untuk menyelesaikan analisis (15-60 menit), memerlukan jumlah
cuplikan yang sangat sedikit (kira-kira 0,1 g). Selain itu, hasil palsu
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1414
yang disebabkan oleh komponen sekunder tidak mungkin terjadi,
kebutuhan ruangan minimum, dan penanganannya sederhana
(Stahl Egon dalam Khoirunni’mah, 2013).
Penotolan larutan uji diberi jarak antara lebih kurang 1,5 cm
dan lebih kurang 2 cm dari tepi bawah lempeng, dan biarkan
mengering (tepi bawah lempeng adalah bagian lempeng yang
pertama kali dilalui oleh alat membuat lapisan pada waktu
melapiskan zat penjerap). Ketika bekerja dengan lempeng,
gangguan fisik harus terhindarkan dari zat penjerap. Beri tanda
pada jarak 10 cm hingga 15 cm di atas titik penotolan. Tempatkan
lempeng pada rak penyangga, hingga tempat penotolan terletak di
sebelah bawah,dan masukkan rak ke dalam bejana kromatografi.
Pelarut dalam bejana harus mencapai tepi bawah lapisan penjerap,
tetapi titik penotolan jangan sampai terendam. Letakkan tutup
bejana pada tempatnya, dan biarkan sistem hingga pelarut
merambat 10 cm hingga 15 cm di atas titik penotolan, umumnya
diperlukan waktu lebih kurang 15 menit hingga 1 jam. Keluarkan
lempeng dari bejana , buat tanda batas rambat pelarut, keringkan
lempeng di udara, dan amati bercak mula-mula dengan cahaya
ultraviolet gelombang pendek (254 nm) dan kemudian dengan
cahaya ultraviolet gelombang panjang (366 nm). Ukur dan catat
jarak tiap bercak dari titik penotolan serta catat panjang gelombang
untuk tiap bercak yang diamati. Tentukan harga Rf untuk bercak
utama. Jika diperlukan, semprot bercak dengan pereaksi yang
ditentukan, amati dan bandingkan kromatogram zat uji dengan
kromatogram baku pembanding (Departemen kesehatan, 1995).
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1515
Gambar 2.12 Skema Kromatografi Lapis Tipis
( Sumber : Mufidah, 2014 )
b. Kromatografi Kolom
Alat-alat yang diperlukan untuk kromatografi kolom sangat
sederhana, terdiri dari tabung kromatografi dan sebuah batang
pemampat yang diperlukan untuk memadatkan wol kaca atau kapas
pada dasar tabung jika diperlukan, serta untuk memadatkan zat
penjerap atau campuran zat penjerap dan air secara merata di
dalam tabung. Kadang-kadang digunakan cakram kaca berpori
yang melekat pada dasar tabung untuk menyangga isinya. Tabung
berbentuk silinder dan terbuat dari kaca, kecuali bila dalam
monografi, disebutkan terbuat dari bahan lain. Sebuah tabung
mengalir dengan diameter yang lebih kecil untuk mengeluarkan
cairan yang menyatu dengan tabung atau disambung melalui suatu
sambungan anti bocor pada ujung bawah tabung utama
(Departemen kesehatan, 1995).
Ukuran kolom bervariasi; kolom yang umum digunakan
dalam analisis farmasi mempunyai diameter dalam antara 150 mm
hingga 400 mm, tidak termasuk tabung pengalir. Tabung pengalir,
umumnya berdiameter dalam antara 3 mm hingga 6 mm,dapat
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1616
dilengkapi dengan sebuah kran untuk mengatur laju aliran pelarut
yang melalui kolom dengan teliti. Batang pemampat merupakan
suatu batang silinder, melekat kuat pada sebuah tangkai yang
terbuat dari plastik, kaca, baja tahan karat, atau aluminium, kecuali
bila dinyatakan lain dalam monografi. Tangkai batang pemampat
biasanya mempunyai diameter yang lebih kecil dari kolom dan
panjang minimal 5 cm melebihi panjang efektif kolom, batang
mempunyai diameter lebih kurang 1 mm lebih kecil dari diameter
dalam kolom (Departemen kesehatan, 1995).
Zat penjerap atau fase diam (bisa berupa aluminium oksida
yang telah diaktifkan, silika gel, tanah diatome terkalsinasi, atau
tanah silika yang dimurnikan untuk kromatografi) dalam keadaan
kering atau dalam campuran dengan air, dimampatkan ke dalam
tabung kromatografi kaca atau kuarsa. Zat uji yang dilarutkan
dalam sejumlah kecil pelarut, dituangkan ke dalam kolom dan
dibiarkan mengalir ke dalam zat penjerap. Zat berkhasiat
diadsorpsi dari larutan secara kuantitatif oleh bahan penjerap
berupa pita sempit pada permukaan atas kolom. Dengan
penambahan pelarut lebih lanjut melalui kolom, oleh gaya gravitasi
atau dengan memberikan tekanan, masing-masing zat bergerak
turun dalam kolom dengan kecepatan tertentu, sehingga terjadi
pemisahan dan diperoleh kromatogram (Departemen
Kesehatan,1995).
2.4.2 Spektrofotometri
Spektrofotometri adalah pengukuran absorbsi energi cahaya oleh
suatu molekul pada suatu panjang gelombang tertentu untuk tujuan
analisa kualitatif dan kuantitatif. Spektrofometri sinar tampak
mempunyai panjang gelombang 400 – 750 nm (Rohman, 2007).
Keuntungan utama metode spektrofotometri adalah bahwa metode ini
memberikan cara yang sederhana untuk menetapkan kuantitas zat yang
sangat kecil (Bassett, dkk., 1994). Teknik yang sering digunakan dalam
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1717
analisis farmasi meliputi spektrofotometri serapan ultraviolet, cahaya
tampak, inframerah dan serapan atom (Departemen Kesehatan,1995).
1. Spektrofotometri IR
Spektroskopi IR adalah studi mengenai interaksi antara
energi cahaya dan materi, dimana energi yang dipancarkan berasal
dari radiasi inframerah dengan panjang gelombang yang lebih
panjang dari cahaya tampak, tetapi lebih pendek dari radiasi
gelombang mikro. Spektrofotometri IR adalah salah satu teknik
analisis yang penting karena dapat mempelajari berbagai jenis
sampel, baik identifikasi senyawa organik maupun anorganik
(Hendayana, 1994).
Spektrofotometri infra merah merupakan alat untuk merekam
spektrum di daerah inframerah yang terdiri dari suatu sistem optik
dengan kemampuan menghasilkan cahaya monokromatik di daerah
4000 cm-1 hingga 625 cm-1 (lebih kurang 2,5 πm hingga 16 πm)
dan suatu metode untuk mengukur perbandingan intensitas
perbandingan cahaya yang ditransmisikan cahaya datang.
Spektrum IR digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi
(Departemen Kesehatan, 1995).
2. Spektrofotometri UV-VIS
Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik
analisis spektroskopi yang memakai sumber radiasi
eleltromagnetik ultraviolet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak
(380-780 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer.
Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup
besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-
Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif ketimbang
kualitatif (Mulja dan Suharman, 1995: 26).
Spektrofotometer terdiri atas spektrometer dan fotometer.
Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1818
panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur
intensitas cahaya yang ditranmisikan atau yang diabsorpsi.
Spektrofotometer tersusun atas sumber spektrum yang kontinyu,
monokromator, sel pengabsorpsi untuk larutan sampel atau
blangko dan suatu alat untuk mengukur pebedaan absorpsi antara
sampel dan blangko ataupun pembanding (Khopkar, 1990: 216).
Spektrofotometer UV-Vis dapat melakukan penentuan
terhadap sampel yang berupa larutan, gas, atau uap (Mulja dan
Suharman, 1995: 28).
Pengukuran dengan alat spektrofotometer UV-Vis didasarkan
pada hubungan antara berkas radiasi elektromagnetik yang
ditransmisikan (diteruskan) atau yang diabsorbsi dengan tebalnya
cuplikan dengan konsentrasi dari komponen penyerap. Hubungan
tersebut dinyatakan dalam Hukum Lambert-Beer (Sastroamidjojo,
1985) :
A = a . b . c
Keterangan :
(a) Daya Serap ; (b) Tebal Kuvet ; (c) Konsentrasi larutan;
(A) Serapan
Instrumentasi dari spektrofotometer UV-Vis ini dapat
diuraikan sebagai berikut :
1) Suatu sumber energi cahaya yang berkesinambungan yang
meliputi daerah spektrum yang mana alat tersebut dirancang
untuk beroperasi.
2) Suatu monokromator, yakni sebuah piranti untuk memencilkan
pita sempit panjang gelombang dari spektrum lebar yang
dipancarkan oleh sumber cahaya.
3) Suatu wadah untuk sampel (dalam hal ini digunakan kuvet).
4) Suatu detektor, yang berupa transduser yang merubah energi
cahaya menjadi suatu isyarat listrik.
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1919
5) Suatu amplifier (pengganda) dan rangkaian yang merubah
energi cahaya menjadi suatu isyarat listrik.
6) Suatu sistem baca dimana diperagakan besarnya isyarat listrik
yang ditangkap. (Mufida, 2014)
3. Spektrofotometri Resonansi Magnetik
Nuclear Magnetic Resonance (NMR) digunakan untuk
menentukan struktur dari komponen alami dan sintetik yang baru,
kemurnian dari komponen, dan arah reaksi kimia sebagaimana
hubungan komponen dalam larutan yang dapat mengalami reaksi
kimia. NMR dapat menentukan jumlah masing-masing jenis yang
berbeda dari inti hidrogen serta memperoleh informasi mengenai
sifat dasar dari lingkungan terdekat dari masing-masing jenis.
Informasi yang sama dapat ditentukan untuk inti karbon.
Kombinasi IR dan data NMR seringkali cukup untuk menentukan
secara benar struktur molekul yang tidak diketahui (Pavia et al.,
2008).
Instrumen NMR terdiri atas komponen-komponen sebagai
berikut (Willard et al., 1988) :
a) Magnet untuk memisahkan energi spin nuklir.
b) Paling tidak terdapat dua saluran frekuensi radio, satu untuk
stabilisasi medan/frekuensi dan satu untuk memberikan
frekuensi radio untuk energi penyinaran. Yang ketiga dapat
digunakan untuk masing-masing inti yang akan dipisahkan.
c) Probe sampel yang mengandung kumparan untuk kopling
sampel dengan bidang frekuensi radio.
d) Detektor untuk memproses sinyal NMR.
e) Generator (sweep generator) untuk menyapu bersih baik
medan magnet maupun frekuensi radio melalui frekuensi
resonansi sampel.
f) Rekorder untuk menampillkan spektrum.
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2020
2.5 Inflamasi
2.5.1 Pengertian Inflamasi
Inflamasi merupakan reaksi lokal pada jaringan vaskular terhadap
cedera yang ditandai dengan gejala seperti rubor (kemerahan), kalor
(panas), dolor (nyeri), dan turgor (pembengkakan). Respon pertahanan
tubuh terhadap invasi benda asing, kerusakan jaringan, atau keduanya
disebut inflamasi. Penyebab inflamasi antara lain mikroorganisme,
trauma mekanis, zat-zat kimia, dan pengaruh fisika. Apabila jaringan
rusak seperti terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka pada
jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang
membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas.
Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera
diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini
disebut inflamasi (Rukmono, 1973)
Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik protein plasma
dan fagosit ke tempat yang mengalami cedera atau terinvasi agar
keduanya dapat mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan
agen yang masuk, membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan
untuk proses penyembuhan. Respon inflamasi dapat bersifat akut
maupun kronik. Inflamasi akut terjadi segera setelah terjadi cedera,
sedangkan inflamasi kronik merupakan inflamasi yang berlangsung
lebih dari dua minggu dan dapat timbul setelah inflamasi akut, misalnya
karena infeksi yang tidak sembuh (Corwin, 2008).
Obat-obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki
aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat
dicapai melalui berbagai cara yaitu menghambat pelepasan
prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya. Berdasarkan
mekanime kerjanya, obat-obatan antiinflamasi terbagi dalam golongan
steroid yang terutama bekerja dengan cara menghambat pelepasan
prostaglandin dari sel-sel sumbernya dan golongan non steroid yang
bekerja melalui mekanisme lain seperti inhibisi siklooksigenase yang
berperan pada biosintesis protaglandin (Setyarini, 2009). Obat-obat
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2121
antiinflamasi sangat efektif menghilangkan rasa nyeri dan inflamasi
dengan menekan produksi prostaglandin dan metabolisme asam
arakidonat dengan cara penghambatan siklooksigenase. Penekanan
prostaglandin sebagai mediator inflamasi pada jaringan menyebabkan
kurangnya rasa nyeri dan pembengkakan sehingga fungsi otot dan sendi
membaik (Setyarini, 2009).
2.5.2 Antiinflamasi Menghambat Denaturasi Protein
Inflamasi sering dikaitkan dengan rasa sakit dan melibatkan
kejadian seperti peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
peningkatan denaturasi protein dan alterasi membran. Ciri-ciri jaringan
yang telah rusak salah satu penyebabnya diakibatkan oleh adanya
denaturasi protein (Umapathy et al, 2010).
Salah satu metode in vitro yang menggunakan prinsip denaturasi
adalah uji BSA (Bovine Serum Albumin) (William et al., 2008).
Denaturasi protein pada jaringan adalah salah satu penyebab penyakit
inflamasi dan artritis. Produksi dari antigen-auto pada penyakit artritis
dapat mengakibatkan denaturasi protein secara in vivo. Oleh karena itu,
penggunaan suatu agen tertentu yang bisa mencegah denaturasi protein
akan bermanfaat pada pengembangan obat antiinflamasi (Chatterjee et
al., 2012).
Beberapa metode in vitro lain dapat digunakan dalam mengetahui
potensi atau aktivitas antiinflamasi dari suatu obat, kandungan kimia
dan preparat herbal. Teknik-teknik yang bisa digunakan antara lain
adalah pelepasan fosforilasi oksidatif (ATP biogenesis terkait dengan
respirasi), stabilisasi membran eritrosit, stabilisasi membran lisosomal,
tes fibrinolitik dan agregasi trombosit (Oyedapo et al., 2010). Uji
antiinflamasi juga bisa dilakukan dengan melihat efek inhibisi pada
siklooksigenase menggunakan kit khusus uji skrining siklooksigenase
(Umar et al., 2012).
Indometasin, ibufenak, asam flufenamik dan asam salisilat
memiliki kemampuan dalam mencegah denaturasi BSA yang
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2222
dipanaskan pada pH patologis yakni 6,2-6,5. Pada uji BSA, jika
senyawa sampel menghambat denaturasi dengan persen inhibisi >20%
maka dianggap memiliki aktivitas antiinflamasi dan layak untuk
dikembangkan lebih lanjut. (Williams et al., 2008).
2.6 Iradiasi Microwave
Microwave adalah gelombang elektromagnetik yang memiliki
panjang gelombang antara 1 milimeter (mm) sampai 1 meter (m) dan
frekuensi 0,3-300 GHz. Biasanya pemanfaatan gelombang
elektromagnetik digunakan untuk telekomunikasi celluler phone, radar,
GPS, telekomunikasi televisi dll. Namun microwave dapat
dimanfaatkan sebagai alat pemanas karena teridiri dari dua bagian
utama yaitu bagian listrik dan bagian magnetik yang menjadi sumber
panas (Yeman, 2002).
Energi dalam bentuk gelombang mikro (microwave) mempunyai
peran yang besar dalam proses radiasi suatu zat dimana energi tersebut
dapat berpindah kedalam zat yang mengalami iradiasi. Penyerapan
energi terjadi ketia molekul (+) dan molekul (-) suatu zat saling
berdekatan dengan medan listrik menyebabkan zat tersebut mengalami
pemanasan. Pada dasarnya kemampuan suatu zat untuk mengabsorbsi
energi tergantung dari dua hal. Pertama efesiensi zat tersebut untuk
menyerap energi mikro dan yang kedua adalah tergantung dari efisiensi
energi tersebut menjadi panas. Jika sampel mengandung zat polar atau
ionik cukup secara efisien menyerap energi gelombang mikro dan
menghasilkan panas akan tetapi jika sampel memiliki sifat dielektrik
rendah dibutuhkan penambahan senyawa polar atau ionik untuk
menghasilkan panas (Deepak et al,.2013).
Secara teoritis ada dua proses mekanisme yang terjadi pada metode
iradiasi microwave, yaitu mekanisme polarisasi dipolar dan mekanisme
secara konduksi. Prinsip dari mekanisme polarisasi dipolar adalah
terjadinya polarisasi dipolar makibat adanya interaksi dipol-dipol antara
molekul-molekul polar ketika diiradiasikan dengan microwave.
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2323
Sedangkan prinsip dari mekanisme konduksi terjadi pada larutan-
larutan yang mengandung ion. Bila suatu larutan yang mengandung
partikel bermuatan atau ion diberikatan suatu medan listrik maka ion-
ion tersebut akan bergerak. Pergerakan tersebut akan mengakibatkan
peningkatan kecepatan terjadinya tumbukan sehingga akan mengubah
energi kinetik menjadi energi kalor ( Yeman, 2002).
Dalam dekade terakhir, penerapan microwave sebagai alat untuk
sintesis senyawa obat telah memperoleh banyak popularitas. Hal itu
dikarenakan sebagian besar reaksi obat kimia berlangsung singkat
ketika memanfaatkan energi mikro (microwave). Manfaat lain dari
tekhnik ini adalah hasil yang didapatkan tinggi, sederhana dalam
pengerjaannya serta lebih produktivitas jika dibandingkan dengan
metode konvensional (Deepak et al,.2013).
-
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian
3.1.1 Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian 1,
Laboratorium Penelitian II, Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia
dan Laboratorium Analisis Obat dan Pangan Halal Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.1.2 Waktu
Penelitian ini dimulai pada bulan Februari 2015 sampai Mei 2015
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Spektrofotometri ¹H-NMR dan 13
C-NMR (500 MHz, JEOL),
spektrofotometer UV-Vis (Hitachi), vacuum rotary evaporator (SB-
1000 Eyela), microwave oven ( Samsung, 250 watt, 50 Hz), digital
water bath (SB-100 Eyela), spektrofotometri IR (Shimadzu), GCMS
(Agilent Technologies), alat-alat gelas, hot plate, magnetic stirer,
lemari pendingin, Plat aluminium TLC silica gel 60 F254 (Merck),
shacking bath, timbangan analitik, penangas, statif, termometer, pipet
eppendorf, mikropipet, pinset, pengaduk magnetik, kertas saring, kapas,
alumunium foil, pH indikator, alu dan mortar.
3.2.2 Bahan
Senyawa etil p-metoksisinamat yang merupakan hasil isolasi dari
kencur (Kaempferia galanga L.) didapatkan dari peneliti sebelumnya
Mufidah (2014), senyawa asam p-metoksisinamat yang merupakan
hasil hidrolisis dari senyawa etil p-metoksisinamat, natrium diklofenak
(Sigma-Aldrich), urea Analytical Reagent (Merck), imidazol (Merck),
silika gel 60 (Merck), dan Bovine Serum Albumin (Sigma-Aldrich).
24 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
-
2525
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pelarut dan bahan pembantu lain : aquades, etil asesitat, n-heksan,
methanol, etanol 95%, HCl 15% dan tris base (Sigma-Aldrich).
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Modifikasi Struktur
a. Hidrolisis Etil p-metoksisinamat
Sebanyak 1.500 mg NaOH dilarutkan dengan etanol pro analisis
secukupnya dalam gelas kimia, kemudian dipanaskan diatas hot plate
sambil diaduk menggunakan magnetic stirer hingga larut. Setelah itu
ditambahkan senyawa etil p-metoksisinamat sebanyak 5.000 mg ke
dalamnya, pemanasan dijaga pada suhu 55˚С sampai 60˚C . Hasil reaksi
ditambahkan aquades dan HCl 15% secukupnya sehingga terbentuk
endapan putih, kemudian difiltrasi menggunakan corong yang dilapisi
kertas saring, filtrat yang didapat ditambahkan kembali HCl 15%.
(Apabila masih terdapat endapan putih, filtrat kemudian disaring.
Prosedur ini dilakukan berulang kali hingga tidak ada lagi endapan
putih yang terbentuk). Residu yang dihasilkan merupakan senyawa
hasil hidrolisis, kemudian dikeringkan.
b. Amidasi asam p-metoksisinamat
Sebanyak 1,602 gram (9 mmol) senyawa asam p-metoksisinamat,
2,16 gram (36 mmol) urea dan 0,612 gram (9 mmol) imidazol digerus
dalam lumpang sampai tercampur. Kemudian dilakukan iradiasi
menggunakan microwave dengan daya 300 W selama 15 menit dalam
erlenmeyer tertutup. Kemurnian senyawa hasil reaksi kemudian dicek
spotnya menggunakan KLT dengan eluen n-heksan : etil asetat
perbandingan 2:3 serta dihitung nilai Rf dari senyawa tersebut
kemudian dibandingkan dengan senyawa standar asam p-
metoksisinamat dan etil p-metoksisinamat. Jika masih terdapat spot
asam p-metoksisinamat dan etil p-metoksisinamat maka dilakukan
fraksinasi dengan kromatografi kolom (Khalafi-Nezhad, 2003).
Metode yang digunakan dalam kromatografi kolom mengacu pada
metode yang digunakan Waters (1985). Silika gel 60 digunakan sebagai
-
2626
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
fase diam. Sedangkan fase gerak yang digunakan menggunakan sistem
fase gerak dengan polaritas bertingkat. Senyawa hasil reaksi amidasi
dimasukan ke dalam kolom yang mempunyai diameter 2 cm serta
panjang 30 cm, selanjutnya dialiri n-heksana (100 ml) terlebih dahulu.
Kemudian polaritas fase gerak ditingkatkan menggunakan pelarut n-
heksana dan etil asetat sebanyak 100 ml dengan perbandingan 9:1, 8:2,
7:3, 6:4, 5:5, 4:6 dan 3:7 fraksi yang didapatkan ditampung dalam vial.
Fraksi tersebut di identifikasi melalui KLT menggunakan plat TLC
Silica gel 60 F254 (E-merck) dengan eluen n-heksana : etil asetat
perbandingan 2:3 kemudian nilai Rf nya dibandingkan dengan nilai Rf
asam p-metoksisinamat dan etil p-metoksisiinamat sebagai standar.
c. Identifikasi Senyawa
a) Organoleptis
Senyawa hidrolisis etil p-metoksisinamat dan senyawa hasil
amidasi kemudian diidentifikasi warna, bentuk dan juga bau.
b) Identifikasi Senyawa Menggunakan ¹H-NMR dan 13
C-NMR
Senyawa hasil amidasi (kira-kira 10 mg), dilarutkan dalam
pelarut kloroform bebas proton (DMSO), setelah dilarutkan
kemudian dimasukkan ke dalam tabung mikro NMR untuk
kemudian dianalisis.
c) Identifikasi senyawa menggunakan FTIR
Sampel (senyawa hasil amidasi) kira-kira 1 - 2 mg diaduk
dengan bubuk KBr murni (kira-kira 200 mg) hingga rata.
Kemudian sampel yang telah diaduk tadi ditempatkan dalam
tempat sampel pada alat spektroskopi inframerah untuk dianalisis.
d) Identifikasi Senyawa Menggunakan GCMS
Senyawa hasil hidrolisis etil p-metoksisinamat dan hasil
amidasi (kira-kira satu spatula) dilarutkan dengan metanol hingga
-
2727
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
larut, dimasukan dalam botol kecil kemudian ditempatkan pada alat
GCMS. Kolom GCMS yang digunakan adalah HP-5MS (30 m ×
0,25 mm ID × 0,25 µ m); suhu awal 70˚C selama 2 menit,
dinaikkan ke suhu 2850C dengan kecepatan 20˚C/min selama 20
menit. Suhu MSD 2850C. Kecepatan aliran 1,2 mL/min dengan
split 1:100. Parameter scanning dilakukan dari massa paling rendah
yakni 35 sampai paling tinggi 550 (Umar et al, 2012).
e) Identifikasi Titik Leleh
Sampel dimasukan kedalam pipa kapiler (1/4 pipa kapiler)
kemudian dianalisis menggunakan alat melting point sampai
sampel tersebut meleleh.
3.3.2 Uji Aktivitas Antiinflamasi Secara In Vitro
a. Pembuatan reagen untuk uji Antiinflamasi
1) Larutan TBS (Tris Buffer Saline) pH 6.3
Sebanyak 8,7 g natrium klorida dan 1,21 g Tris base dilarutkan
dalam 100 mL. Selanjutnya pH diatur dengan penambahan asam
asetat glasial sampai pH 6,3 menggunakan (Mohan, 2003).
2) Penyiapan variat konsentrasi Na Diklofenak
Pembuatan larutan induk sebesar 10000 ppm Na dikolfenak
yaitu dengan melarutkan 50 mg Na diklofenak dalam 5 ml
metanol. Kemudian dilakukan pengenceran menjadi 1000, 100, 10
dan 1 ppm.
3) Penyiapan variat senyawa EPMS, APMS dan sampel amidasi
Pembuatan larutan induk 10000 ppm senyawa EPMS, APMS
dan sampel amidasi yaitu dengan melarutkan 50 mg masing-masing
senyawa dalam 5 ml metanol. Kemudian dilakukan pengenceran
menjadi 1000, 100, 10 dan 1 ppm.
-
2828
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
100
4) Pembuatan BSA 0,2 % (w/v)
Sebanyak 0.2 g (Bovin Serum Albumin) BSA dilarutkan dalam
TBS 100 mL. (Williams et al., 2008).
b. Uji in Vitro Antiinflamasi (Williams et al., 2008)
Pengujian aktivitas antiinflamasi dari senyawa hasil modifikasi
terhadap denaturasi BSA :
a. Pembuatan Larutan Kontrol Negatif
Larutan kontrol negatif (5 mL) terdiri dari 50 µ L metanol
yang kemudian ditambah dengan BSA hingga volume 5 mL.
b. Pembuatan Larutan Uji
Larutan uji (5 mL) terdiri dari 50 µ L larutan sampel yang
kemudian ditambah dengan BSA hingga volume 5 mL sehingga
didapatkan variat konsentrasi menjadi 100, 10, 1 dan 0.1 ppm.
c. Pembuatan Larutan Kontrol Positif
Larutan kontrol positif (5 mL) terdiri dari 50 µ L larutan
natrium diklofenak yang kemudian ditambah dengan BSA hingga
volume 5 mL sehingga didapatkan variat konsentrasi menjadi 100,
10, 1 dan 0.1 ppm.
Setiap larutan di atas dipanaskan dalam water bath selama 5 menit
pada suhu 73˚C. Setelah selesai larutan tersebut diangkat dari water
bath, kemudian didinginkan selama 25 menit dan diukur absorbannya
dengan spektrofotometer UV (Hitachi) pada panjang gelombang 660
nm. Persentase inhibisi dari denaturasi BSA dikalkulasikan dengan
rumus berikut :
% inhbisi =
Uji inhibisi denturasi protein BSA (Bovin Serum Albumin) dengan
rentang uji 50-0,035 ppm yang dapat memberikan % inibisi >20%
dianggap memiliki aktivitas antiinflamasi yang potensial (Williams et
al, 2008).
-
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hidrolisis Etil p-metoksisinamat Menjadi Asam p-metoksisinamat
Sebanyak 5 g etil p-metoksisinamat dilarutkan dengan etanol pro
analisis dalam gelas kimia yang sebelumnya telah ditambahkan 1,5 g
NaOH. Penggunaan NaOH sebagai katalis basa akan menghasilkan reaksi
irreversible sehingga hasil reaksi menjadi sempurna serta produk yang
dihasilkan lebih mudah dipisahkan. Kemudian dipanaskan diatas hot plate
pada suhu 55-60°C selama 3 jam disertai pengadukan. Karena etanol
mendidih pada suhu 78,37°C sehingga dalam reaksi ini digunakan suhu
55-60°C, apabila digunakan suhu lebih rendah reaksi berjalan lambat.
Setelah itu, hasil reaksi ditambahkan aquades secukupnya kemudian di
filtrasi menggunakan corong pisah yang dilapisi kertas saring, filtrat yang
didapat ditambahkan HCl 15% hingga tidak ada endapan putih yang
terbentuk atau pH filtrat mencapai 4. Residu yang didapatkan berupa
senyawa hasil reaksi hidrolisis kemudian dikeringanginkan. Setelah
didapatkan hasil reaksi, dilakukan pengecekan terhadap nilai Rf
menggunakan KLT serta dibandingkan dengan nilai Rf senyawa EPMS
menggunakan eluen etil asetat dan n-heksana perbandingan 3:2. Gambar
KLT hasil reaksi hidrolisis dapat dilihat pada gambar 4.1.
A B
Gambar 4.1 KLT Hasil Reaksi Hidrolisis dengan eluen etil asetat dan n-
heksana perbandingan 3:2 (Visualisasi Uv ƛ245 nm)
Keterangan : A = Senyawa Hasil Hidrolisis
B =Senyawa Etil p-metoksisinamamida
29 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
-
3030
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Reaksi hidrolisis dilakukan dengan NaOH sebagai katalis basa dan
etanol p.a sebagai pelarut. Mekanisme reaksi hidrolisis diinisiasi oleh
protonasi pada karbonil oksigen. Protonasi menyebabkan keadaan
terpolarisasi pada gugus karbonil melepaskan elektron dari karbon
sehingga bersifat lebih elektrofilik dan akan menerima penambahan
nukleofilik OH (Larson dan Weber, 1994).
Pengecekan hasil reaksi dengan KLT dilakukan untuk melihat
jumlah spot dari hasil reaksi hidrolisis serta untuk mengidentifikasi ada
tidaknya spot etil p-metoksisianamat dalam senyawa tersebut, apabila
spot EPMS sudah tidak ada maka reaksi dinyatakan sempurna. Setelah
reaksi selesai, dilakukan filtrasi dan pencucian dengan aquades
menggunakan corong yang dilapisi kertas saring. Filtrat yang diperoleh
ditambahkan HCl 15% untuk mengikat Na+
sehingga terbentuklah
endapan putih berupa hasil hidrolisis sampai pH 4 atau tidak lagi
terbentuk endapan.
Residu yang didapat kembali dicuci dengan aquades untuk
menghilangkan garam yang terbentuk kemudian residu
dikeringanginkan. Residu yang didapatkan berwarna putih serta tidak
berbau. Mekanisme reaksi hidrolisis etil p-metoksisinamat dapat dilihat
pada gambar 4.2.
Gambar 4.2. Mekanisme Reaksi Hidrolisis Etil p-metoksisinamat
-
3131
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
rsa maan b
Reaksi hidrolisis ini bertujuan untuk mengganti gugus ester etil p-
metoksisinamat dengan gugus asam sehingga dihasilkan senyawa asam
p-metoksisinamat dengan rendemen sebesar 82,34%. Rendemen
dihitung dengan menggunakan pe erikut :
% rendemen hidrolisis = ,
x 100 % = 82,34 %
Senyawa hasil reaksi hidrolisis kemudian dibandingkan dengan dengan
senyawa asam p-metoksisinamat standar dari Mufidah (2014). Lihat
gambar 4.3.
A B
Gambar 4.3. KLT Hasil Hidrolisis dan APMS Standar dengan eluen etil asetat
dan n-heksan perbandingan 3:2 (Visualisasi Uv ƛ245 nm)
Keterangan : A = Asam p-metoksisinamat Standar
B = Hasil Hidrolisis
Nilai Rf yang didapat sebagai berikut :
Rf asam p-metoksisinamat standar : 0,575
Rf asam p-metoksisinamat hasil reaksi : 0,575
Hasil reaksi hidrolisis yang dihasilkan memiliki karakteristik sebagai
berikut :
Warna : Putih
Bau : Tidak Berbau
Bentuk : Serbuk
-
3232
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.4. Senyawa Hasil Hidrolisis
Gambar 4.5. Waktu Retensi GCMS Senyawa Hasil Hidrolisis
-
3333
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.6. Spektrum GCMS Senyawa Hasil Hidrolisis
Selanjutnya berat molekul hasil hidrolisis dibandingkan dengan berat
molekul senyawa asam p-metoksisinamat menggunakan GCMS. Asam p-
metoksisinamat memiliki berat molekul 178,0 dengan fragmentasi massa
pada 161; 133; 117; 89 dan 63 (Mufidah, 2014). Dari interpretasi GCMS
menunjukan bahwa senyawa hasil hidrolisis muncul pada waktu retensi
9,649 dengan berat molekul 178,0 dan fragmentasi massa 161; 133; 118;
89 dan 77, ada pun fragmentasi massa senyawa hasil hidrolisis asam p-
metoksisinamat adalah sebagai berikut :
-
3434
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.7. Pola Fragmentasi GCMS Senyawa Hasil Hidrolisis
Dari data titik leleh, nilai Rf serta analisis menggunakan GCMS,
hasil hidrolisis yang diperoleh menunjukan kesamaan seperti yang
dilakukan oleh Mufidah (2014). Sehingga diambil kesimpulan bahwa
senyawa hasil hidrolisis etil p-metoksisinamat adalah asam p-
metoksisinamat.
Gambar 4.8. Struktur senyawa asam p-metoksisinamat
-
3535
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2. Modifikasi Struktur Asam p-metoksisinamat dengan Reaksi Amidasi
Reaksi amidasi asam p-metoksisinamat dilakukan dengan mereaksikan
urea serta imidazole dalam microwave unmodified dengan daya 300 W
selama 15 menit. Reaksi amidasi merupakan reaksi lambat apabila
dilakukan pada suhu rendah, karena –NH2 merupakan gugus pergi (leaving
group) dengan tingkat kereaktifan lebih rendah dibanding gugus lain
seperti –OR, -OC=R dan X- sehingga membutuhkan pemanasan. Metode
pemanasan yang telah dieskplor akhir dekade ini dalam kimia organik
adalah iradiasi microwave karena memiliki banyak keunggulan, seperti
waktu reaksi lebih cepat, produk lebih bersih, selektivitas lebih tinggi, dan
hasil yang lebih baik. Hal ini menjadi alternatif utama untuk memperoleh
hasil sintesis dari berbagai senyawa organik yang lebih efisien, dengan
operasional yang sederhana dan kondisi reaksi yang ringan (Khalafi-
Nezhad, 2003).
Amidasi asam p-metoksisinamat dengan urea ini diawali dengan
pembebasan amonia (NH3) dari urea oleh imidazole membentuk garam
ammonium karboksilat kemudian dengan pemanasan menghasilkan
carboxamide. Reaksinya sebagai berikut :
Gambar 4.9. Mekanisme Reaksi Amidasi Asam p-metoksisinamat dengan Urea
(Khalafi-Nezhad, 2003).
Reaksi ini dilakukan menggunakan microwave unmodified dengan daya
300 W selama 15 menit, kemudian dilakukan pengecekan menggunakan
KLT dengan eluen n-heksan dan etil asetat perbandingan 3:2.
-
3636
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1 2 3
Gambar 4.10. KLT Senyawa Hasil Reaksi Amidasi (Visualisasi Uv ƛ245 nm)
Keterangan : (1) Etil pmetoksisinamat (2) Asam p-metoksisinamat (3) Senyawa
Hasil Amidasi
Dari hasil KLT terlihat ada dua spot yaitu spot senyawa hasil reaksi dan
senyawa induk asam p-metoksisinamat. Hasil reaksi selanjutnya
dimurnikan menggunakan kromatografi kolom dengan eluen etil asetat dan
n-heksan perbandingan 7:3. Kemudian dilakukan pengecekan kembali
menggunakan KLT dengan eluen etil asetat dan n-heksan perbandingan
3:2
1 2 3
Gambar 4.11. Hasil Pemisahan Senyawa Amidasi Menggunakan Kromatografi
Kolom (visualisasi UV ƛ 245 nm)
Keterangan : : (1) Etil p-metoksisinamat (2) Asam p-metoksisinamat (3) Senyawa
Hasil Amidasi
-
3737
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kan persa
maa
10
Dengan pemisahan menggunakan kromatografi kolom didapatkan satu
spot senyawa hasil amidasi dengan rendemen sebesar 20,92%. Rendemen
dihitung dengan mengguna n berikut :
% inhbisi = ,
0 = 20,92%
4.2.1. Identifikasi Senyawa Hasil Modifikasi
Identifikasi senyawa hasil modifikasi dilakukan dengan penentuan nilai
Rf, uji organoleptik, pengukuran titik leleh serta elusidasi struktur
menggunakan IR, GCMS, 1H-NMR dan
13C-NMR.
Identifikasi nilai Rf hasil reaksi amidasi dibandingkan dengan senyawa
etil p-metoksisinamat dan asam p-metoksisinamat menggunakan eluen etil
asetat dan n-heksan perbandingan 3:2 (Lihat gambar 4.11).
Nilai Rf yang didapatkan adalah sebagai berikut :
Rf etil p-metoksisinamat : 0,825
Rf asam p-metoksisinamat : 0,575
Rf Senyawa Hasil Amidasi: 0,225
Berdasarkan nilai Rf, dapat diketahui kepolaran dari senyawa
modifikasi. Etil p-metoksisinamat memiliki nilai Rf tertinggi 0,825 ini
menunjukan bahwa senyawa tersebut memiliki polaritas yang rendah.
Senyawa hasil hidrolisis etil p-metoksisinamat yaitu asam p-
metoksisinamat memiliki nilai Rf 0,575 lebih polar dibandingkan dengan
etil p-metoksisinamat karena ada pengurangan atom karbon pada gugus
ester. Kemudian senyawa hasil reaksi amidasi memiliki nilai Rf 0,225
menunjukan bahwa pergantian gugus OH pada asam p-metoksisinamat
dengan NH2 dapat meningkatkan polaritas, seperti yang terlihat pada
gambar 4.11.
-
3838
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
A B C
Gambar 4.12. KLT Senyawa APMS, EPMS dan Senyawa Hasil Amidasi
Keterangan : A = Asam p-metoksisinamat
B = Etil p-metoksisinamat
C = Senyawa Hasil Reaksi Amidasi
Selanjutnya hasil reaksi amidasi di identifikasi dengan melakukan
identifikasi melting point serta uji organoleptik untuk melihat karakteristik
dari senyawa tersebut, sehingga didapatkan karakteristik senyawa sebagai
berikut :
Warna : Putih kekuningan
Bau : Tidak berbau
Bentuk : Serbuk
Titik leleh : 194°C-197°C
Gambar 4.13. Senyawa Hasil Amidasi
Elusidasi struktur senyawa hasil amidasi menggunakan FTIR
didapatkan spektrum IR seperti pada gambar 4.13 dan pada tabel 4.1
-
3939
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
58
.52
3361.1
1
31
83
.65
17
33
.12
16
75
.25
15
98
.09
15
13
.22
13
86
.88
13
04
.90
12
53
.78
11
77
.59
11
12
.97
10
23
.28
94
0.3
4
82
6.5
3
76
8.6
7
68
9.5
8
61
0.5
0
52
5.6
2
47
8.3
7
105
%T
90
75
60
45
30
4000
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500
amidasi-urea 1/cm
Gambar 4.14. Spektrum FTIR Senyawa Hasil Amidasi
Gambar 4.15. Spektrum FTIR Senyawa EPMS (Mufidah, 2014)
Gambar 4.16. Spektrum FTIR Senyawa APMS (Mufidah, 2014)
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4040
Pada senyawa hasil amidasi, senyawa etil p-metoksisinamat dan
senyawa asam p-metoksisinamat ditemukan pita serapan C-H aromatik
pada masing-masing bilangan gelombang v 3183,65cm-1, v 3007,15 cm-
1
dan v 2974,36 cm-1. Sedangkan gugus aromatik para ditemukan pada
bilangan gelombang v 826,53 cm-1, v 829,43 cm-
1 dan v 825,57 cm-
1 yang
menunjukan bahwa ketiga senyawa tersebut mempunyai gugus aromatik
para.
Hal yang membedakan dari ketiga senyawa tersebut adalah bahwa pada
senyawa hasil amidasi ditemukannya pita serapan C=O (amida) pada
bilangan gelombang v 1675,52 cm-1, pita serapan C-N pada bilangan
gelombang v 1253,78 cm-1
dan pita serapan dari gugus NH2 pada
bilangan gelombang 3361,11-3458,52 cm-1. Sedangkan pada senyawa etil
p-metoksisinamat dan asam p-metoksisinamat ditemukan pita serapan C-O
(ester dan alkohol) pada masing-masing bilangan gelombang v 1367,59
cm-1
dan v 1316,47 cm-1. Pada senyawa asam p-metoksisinamat
ditemukan pita serapan OH (bond) pada bilangan gelombang v 2500-3000
cm-1
sedangkan pada senyawa etil p-metoksinamat tidak ditemukan pita
serapan tersebut.
Tabel 4.1 Daftar daerah spektrum IR Senyawa Hasil Amidasi, APMS dan
EPMS
Ikatan
Daerah Absorbansi (v, cm-1)
Senyawa Amidasi APMS
(Mufidah, 2014)
EPMS
(Mufidah, 2014)
Aromatik Para 826,53 825,57 829,43
C=O 1675,52 1704,18 1690,68-1679,11
C-H 3183,65 2974,36 3007,15
NH2 3361,11 & 3458,52 - -
C-N 1253,78
C-O (alkohol,ester) - 1316,47 1367,59
OH - 3300-2500 -
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4141
Gambar 4.17. Waktu Retensi GCMS Senyawa Hasil Amidasi
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4242
Gambar 4.18. Spektrum GCMS Senyawa Hasil Amidasi
Analisis kedua dilakukan menggunakan GCMS, interpretasi GCMS
menunjukan bahwa senyawa hasil amidasi muncul pada waktu retensi
10,905 dengan berat molekul 177 dan fragmentasi massa muncul pada
177, 161, 133, 103 dan 77, seperti yang terlihat pada gambar 4.15.
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4343
Gambar 4.19. Pola Fragmentasi GCMS Senyawa Hasil Amidasi
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4444
Gambar 4.20. Spektrum 1H-NMR Senyawa Hasil Amidasi
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4545
Gambar 4.21. Spektrum 13
C-NMR Senyawa Hasil Amidasi
Analisa terakhir yang dilakukan adalah dengan
1H-NMR dan
13C-NMR
dimana interpretasinya berupa pergeseran kimia (δ) dalam satuan ppm
(Pavia et al, 2008). Nilai pergeseran kimia adalah perbedaan resonansi
frekuensi suatu inti terhadap standar. Dalam penelitian ini didapatkan
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4646
spektrum IH-NMR memberikan sinyal pada pergeseran kimia 3,83 ppm
(3H) dan muncul berbentuk singlet. Sinyal ini lebih ke arah downfield
karena berikatan dengan oksigen (-OCH3). Kemudian pada pergeseran
kimia 5,54 ppm ditemukan sinyal berbentuk singlet yang merupakan
proton dari amida (NH2). Ditemukan juga sinyal pada pergeseran kimia
6,33 ppm (1H) berbentuk doublet memiliki hubungan puncak dengan
pergeseran kimia 7,62 (1H) berbentuk doublet karena kedua puncak ini
memiliki nilai konstanta kopling yang sama yaitu 15,55 Hz. Hal ini
menunjukan bahwa bentuk tersebut berupa olefin dengan proton
terkonfigurasi trans. Pada pergeseran kimia 6,92 ppm – 7,47 ppm (4H)
merupakan proton-proton dari benzen dengan dua subtitusi. Pola sinyal ini
menunjukan bahwa 2 proton yang sama terkopling secara ortho dengan 2
proton yang ekivalen lainnya, yang menunjukan bahwa sinyal ini adalah
sinyak dari H 6/10 dan 7/9, untuk lebih jelasnya lihat tabel 4.2 dengan
panduan gambar 4.18
Tabel 4.2 Data Pergeseran Kimia (δ) spektrum 1H-NMR senyawa hasil
amidasi (CDCl3, 500 MHz)
Posisi Pergeseran Kimia (δ, ppm)
Asam p-metoksisinamat
(Mufidah,2014)
Senyawa Hasil Amidasi
1 - 5,54 (s, 2H)
3 7,63 (d, 1H, J= 16,2) 6,33 (d, 1H, J=15,5)
4 6,34 (d, 1H, J= 16,2) 7,62 (d, 1H, J= 15,55)
6 6,95 (d, 1H, J= 9,1) 6,92 (d, IH, J=6,5)
7 7,47 (d, 1H, J= 9,1) 7,47 ( d, 1H, J= 9,1)
9 7,54 (d, 1H, J= 9,1) 7,47 (d, 1H, J=9,1)
10 6,95 (d, 1H, J= 9,1) 6,92 (d, 1H, J=6,5)
11 3,82 (s, 3H) 3,83 (s, 3H J= 8,45)
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4747
Tabel 4.3. Data Pergeseran Kimia (δ) spektrum 13C-NMR senyawa hasil amidasi (CDCl3,
500 MHz)
Posisi Pergeseran Kimia (δ, ppm)
Etil p-metoksisinamat
(Mufidah, 2014)
Senyawa Hasil Amidasi
1 60,77 dan 14,60 -
2 167,55 168,23
3 116,28 117,05
4 144,13 142,46
5 127,65 127,52
6 130,19 129,74
7 114,77 114,90
8 161,29 161,32
9 114,77 114,90
10 130,19 129,74
11 55,89 55,55
Dari data IR, GCMS, 1H-NMR dan
13C-NMR dapat disimpulkan bahwa
senyawa yang terbentuk dari reaksi amidasi asam p-metoksisinamat
dengan urea adalah senyawa para metoksisinamamida (C10H11NO2)
Gambar 4.22. Senyawa para metoksisinamamida
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4848
4.3. Pengujian Aktivitas Antiinflamasi dan Hubungan Struktur Aktivitas
Senyawa Hasil Modifikasi
Inflamasi sering dikaitkan dengan rasa sakit dan melibatkan
kejadian seperti peningkatan permeabilitas pembuluh darah, peningkatan
denaturasi protein dan alterasi membran. Ciri-ciri jaringan yang telah
rusak salah satu penyebabnya diakibatkan oleh adanya denaturasi protein
(Umapathy et al, 2010). Pada penelitian ini, uji aktivitas antiinflamasi in
vitro dengan prinsip denaturasi (William et al., 2008) dipilih untuk
melakukan skrining awal antiinflamasi pada senyawa hasil modifikasi.
Uji aktivitas antiinflamasi dilakukan pada senyawa para
metoksisinamamida serta dibandingkan dengan asam p-metoksisinamat
dan etil p-metoksisinamat dengan natrium diklofenak sebagai kontrol
positif.
Uji inhibisi denturasi protein BSA (Bovin Serum Albumin) dengan
rentang uji 50-0,035 pm yang dapat memberikan % inibisi >20% dianggap
memiliki aktivitas antiinflamasi yang potensial (Williams et al, 2008).
Natrium diklofenak aktif dalam memberikan aktivitas sebagai
antiinflamasi dimulai dari konsentrasi 10 ppm dengan persen inhibisi
24,93% dan pada konsentrasi 100 ppm dapat menghambat denaturasi
protein sebesar 93,43% (Lihat tabel 4.4).
Senyawa para metoksisinamamida merupakan hasil reaksi amidasi
dari asam p-metoksisiniamat. Pada tabel 4.4 dapat dilihat bahwa senyawa
ini mulai menunjukan aktivitas antiinflamasi pada konsentrasi 0,1 ppm
yaitu dengan presentase inibisi 33,17% sedangkan pada konsentrasi 100
ppm memiliki persentase inhibisi sebesar 81,57%. Data ini menunjukan
senyawa para metoksisinamamida memiliki aktivitas antiinflamasi lebih
besar dibandingkan senyawa induk asam p-metoksisinamat yang hanya
memiliki persentase inhibisi 0,32% pada konsentrasi 100 ppm. Begitu juga
dengan senyawa etil p-metoksinamat, senyawa para metoksisinamamida
memiliki persentase inhibisi lebih besar pada konsentrasi 100 ppm dengan
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4949
persen inhibisi 81,57% sedangkan etil p-metoksinamat memiliki
persentase inhibisi 54,93%. Hal ini menunjukan bahwa modifikasi struktur
yang dilakukan pada gugus OH dari asam p-metoksisinamt menjadi
turunan amida dengan urea dapat meningkatkan aktivitas antiinflamasi.
Tabel 4.4 Hasil uji antiinflamasi EPMS, APMS dan Para
Metoksisinamamida
No Sampel Konsentrasi
(ppm)
%inhibisi
1
Natrium Diklofenak
0,1 1,59
1 2,99
10 24,93
100 93,43
2
Etil p-metoksisinamat
0,1 30,90
1 36,46
10 46,76
100 54,93
3
Asam p-
metoksisinamat
0,1 -0,54
1 -0,34
10 0,11
100 0,32
4
Para
Metoksisinamamida
0,1 33,17
1 37,1
10 41,08
100 81,57
-
5050
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Modifikasi struktur gugus fungsi OH dari asam p-metoksisinamat melalui
reaksi amidasi dengan urea menghasilkan senyawa para
metoksisinamamida (C10H11NO2) dengan berat molekul 177,0 g/mol
2. Hubungan struktur hasil modifikasi asam p-metoksisinamat terhadap
antiinflamasi menunjukan pergantian gugus fungsi OH menjadi amida
dapat meningkatkan aktivitas antiinflamasi. Senyawa hasil amidasi (para
metoksisinamamida) memiliki persentase inhibisi denaturasi protein
sebesar 33,17 % pada konsentrasi 0,1 ppm, 37,1% pada konsentrasi 1 ppm,
41,08% pada konsentrasi 10 ppm dan 81,57% pada konsentrasi 100 ppm.
5.2 Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut terkait reaksi amidasi urea tanpa
menggunakan katalis serta optimasi kondisi reaksi sehingga diperoleh
rendemen yang lebih tinggi.
-
5151
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Afriastini.J.J. 1990. Bertanam Kencur. Wakarta Penebar Swadaya. Jakarta.
Al-Fattah, Muhammad Hatta. 2011. Mukjizat Pengobatan Herbal dalam Al-
Qur’an. Mirqat:Jakarta
Backer. C. A. R. C. B. Van den Briak.1968. Flora of Java. Vol 2. Walters
Noordhoff.N.V. Groningen. P. 33.
Bangun, Robijanto. 2011. Semi Sintesis N,N-Bis(2-Hidroksietil)-3-(4-Metoksifenil
Akrilamida Dari Etil P-Metoksisinamat Hasil Isolasi Rimpang Kencur
(Kaempferia Galanga, L) Melalui Amidasi Dengan Dietanolamin. Medan:
Universitas Sumetra Utara.
Barus, Rosbina. 2009. Amidasi Etil p-Metoksi Sinamat yang Diisolasi dari Kencur
(Kaempferia Galanga, Linn). Medan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara.
Basset, J. 1994. Buku Ajar Vogel : Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik .Jakarta:
EGC Buku Kedoktean
Bresnick, S. M. D. 2004. Intisari Kimia Organik. Jakarta: Penerbit Hipokrates.
Chatterjee, Priyanka; Sangita Chandra; Protapaditya Dey; Sanjib Bhattacharya.
2012. Evaluation of Anti-Inflammatory Effects of Green Tea and Black
Tea : A Comparative in vitro Study. J. Adv. Pharm Technol Res Vol 3 (2)
136-138.
Corwin, Elizabeth J.