UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI...
Transcript of UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI...
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI KUALITATIF PENGGUNAAN
ANTIBIOTIK MEROPENEM PADA PASIEN SEPSIS
BPJS DI RUMKITAL DR. MINTOHARDJO TAHUN
2014
SKRIPSI
ATHIROTIN HALAWIYAH
NIM: 1111102000075
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JUNI 2015
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI KUALITATIF PENGGUNAAN
ANTIBIOTIK MEROPENEM PADA PASIEN SEPSIS
BPJS DI RUMKITAL DR. MINTOHARDJO TAHUN
2014
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
ATHIROTIN HALAWIYAH
1111102000075
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JUNI 2015
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS
Skripsi ini adalah karya saya sendiri,
dan semua sumber balk yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Athirotin Halawiyah
NIM : 1111102000075
• Tanda Tangan . op
1 6P/
Tanggal : 1 Juni 2015
iii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Nama : Athirotin Halawiyah
NIM : 1111102000075
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : EVALUASI KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK MEROPENEM PADA PASIEN SEPSIS BPJS DI RUMKITAL DR. MINTOHARDJO TAHUN 2014
Disetujui Oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
A1111.111. Drs. M. Samsul Arifin, W. Apt
97211292005012004
Letkol Laut/K/NRP.12154/P
Mengetahui,
Ketua Program Studi Farmasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt
iv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Athirotin Halawiyah
NIM : 1111102000075
Program Studi : Fannasi
Judul Slcripsi : EVALUASI KUALITATIF PENGGLTNAAN ANTIBIOTIK MEROPENEM PADA PASIEN SEPSIS BPJS DI RUMKITAL DR. MINTOHARDJO TAHUN 2014
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I : Dr. Azrifitria M.Si., Apt
Pembimbing II : Drs. M. Samsul Arifin W.,Apt
Penguji I : Yardi Ph.D., Apt
Penguji II : Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt
Ditetapkan di : Ciputat
Tanggal : 1 Juni 2015
v UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : Athirotin Halawiyah
Program Study : Pharmacy
Title : Qualitative Evaluation of Meropenem Use in Social
Health Insurance Sepsis Patient in Naval Hospital Dr.
Mintohardjo 2014
Sepsis is a systemic and deleterious body response to infection.
Sepsispatientsrequire abroad-spectrumantibiotictherapywhen thepathogenic
bacteria that infects the bodyis unknown. Meropenem is a broad spectrum
antibiotic that has a high potential as an empirical and definitive therapy against
serious infections caused by multi-drug resistant organism (MDRO) The
antibiotic resistance may emerge as a result of inappropriate use of antibiotic. This
study aimed to evaluate the quality (appropriateness) use of meropenem in Naval
Hospital Dr. Mintohardjo using Gyssens’ flowchart. Certain parameters have been
analyzed, which are the adequacy of the data, indication, antibiotic choice,
duration, dosage, interval, route and timing of antibiotic usage.This is
retrospective study using descriptive-case study approach. Data for this study
were drawn from patient’s medical records from January-December 2014 periode.
The data retrieval was done by using the total sampling technique, where 26
samples were obtained in accordance with the study inclusion criteria. Patient
characteristics were observed, showed that the most common sepsis type is
nosocomial sepsis (42%), disease comorbidity is cerebrovascular sepsis (29%),
the mean duration of treatment is 20 days, the number of drug received are 13 and
the number of antibiotic received is 3. Meropenem was given as empirical therapy
in 24 patients (92,3%) and definitive therapy in 2 patients (7.7%). The result of
the qualitative evaluation of meropenem use showed that 15% were appropriate
(category 0), and 85% were inappropriate (category I-VI). The inappropriate use
of meropenem, 9% due to inappropriate dose, 24 % innapropriate interval, 6%
duration too long, 49% because there were alternatives that more effective, 3%
alternatives that have narrower spectrum, and 9% data insufficiency. Referring to
this result, the use of antibiotic meropenemin patients with sepsis in RUMKITAL
Dr.Mintohardjo requires efforts in improving the quality of use and prevention of
meropenem resistance.
Key word: Antibiotic evaluation, Gyssens category, meropenem, sepsis
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur tak terhingga saya panjatkan kepada Allah azza
wa jalla yang telah memberikan segala bentuk kasih sayangNya kepada saya.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW. Berkat rahmat dan pertolongan Allah, penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Kualitatif Antibiotik Meropenem
pada Pasien Sepsis BPJS di RUMKITAL Dr. Mintohardjo” bertujuan untuk
memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak mulai dari masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi, sangatlah sulit
untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih
dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Dr. Azrifitria, M.Si., Apt dan Bapak Drs. M. Samsul Arifin W., Apt
selaku dosen pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah banyak
memberikan bimbingan, ilmu, waktu, dan tenaga, dalam penelitian ini.
2. Prof. Dr. Arief Sumantri S.KM, M.KM selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak motivasi dan dukungan.
4. Ibu Dr. Hj. Delina Hasan, M.Kes, Apt selaku dosen Penasehat Akademik
(PA) atas motivasi dan bantuan selama empat tahun penulis menimba ilmu di
Farmasi UIN
5. Bapak dan Ibu dosen pengajar Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah banyak memberikan ilmu dan teladan selama masa perkuliahan.
6. Bapak Ari, Ibu Esti dan seluruh civitas RUMKITAL Dr. Mintohardjo yang
telah memberikan kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian.
ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Harta saya yang paling berharga, Abi H. Muhammad Syarofuddin Turmudzi
Hudan dan Ibu Dra. Hj. Rohmatin Maghfuroh atas kasih sayang, doa, teladan,
dukungan dan bimbingan yang tak henti mengalir. Terima kasih telah
menjadi murobbi ruhy. Insyaallah rumah di surga tersedia untuk Abi dan Ibu.
8. Adik-adik saya yang sangat saya sayangi, Muhammad Saad Yumnan dan
Ahmad Ubaidunnur, terima kasih untuk selalu mendukungku. Semoga kita
selalu berbakti kepada Abi dan Ibu serta selalu dalam naungan kasihNya.
9. Sahabat-sahabat tersayang; Nur Azizah dan Ratu Fauziyah, ketika
persahabatan berarti saling menginspirasi dan menguatkan. Terima kasih
telah membersamaiku dalam suka dan duka.
10. Teman-teman terdekat; Umniyaty Mufidah dan Syaima, terima kasih
menemaniku selama 3 tahun di perantauan. Semoga kita tetap berteman
hingga akhir hayat.
11. Keluarga Forum Lingkar Pena Ciputat; Kholik, Kak Andik, Tiara, Kak Amal,
Eza, Kak Ali Rif’an dan teman-teman serta senior yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk kebersamaan, kekeluargaan dan
pembelajaran selama ini. Penulis merasa beruntung mengenal kalian.
12. Teman-teman yang melaksanakan penelitian di RUMKITAL Dr.
Mintohardjo; Bilqis, Nikmah, Dana, Tari, Pipit, terima kasih untuk semangat
yang terus kita nyalakan bersama-sama.
13. Teman-teman seperjuangan Farmasi angkatan 2011, terima kasih atas
persaudaraan dan pertemanan yang berkesan selama 4 tahun ini.
14. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
kelancaran pengerjaan skripsi ini.
Semoga Allah azza wa jalla membalas kebaikan semua pihak yang telah
membantu. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap kritik
dan saran atas kekurangan dan keterbatasan penelitian ini. Semoga hasil
penelitian ini bermanfaat untuk banyak pihak dan perkembangan ilmu
pengetahuan.
Ciputat, 1 Juni 2015
Penulis
x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Athirotin Halawiyah
NIM : 1111102000075
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya : Skripsi
demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui/karya ilmiah saya,
dengan judul :
EVALUASI KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK MEROPENEM
PADA PASIEN SEPSIS BPJS DI RUMKITAL DR. MINTOHARDJO
TAHUN 2014
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat
dengan sebenarnya
Dibuat di : Ciputat
Pada Tanggal : 1 Juni 2015
Yang menyatakan,
(Athirotin Halawiyah)
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... v
ABSTRAK .................................................................................................. vi
ABSTRACT ................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................ x
DAFTAR ISI ................................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................... 3
1.3. Tujuan ......................................................................................... 4
1.3.1. Tujuan Umum ............................................................. 4
1.3.2. Tujuan Khusus ............................................................ 4
1.4. Manfaat Hasil Penelitian ............................................................ 4
1.4.1. Manfaat Teoritis ....................................................... 4
1.4.2. Manfaat Praktis .......................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 5
2.1. Antibiotik ................................................................................... 5
2.1.1. Definisi Antibotik ..................................................... 5
xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.2. Penggolongan Antibiotik ........................................... 5
2.1.2.1.Antibiotik Berdasarkan Spektrum Aktivitas .. 5
2.1.2.2.Antibiotik Berdasarkan Mekanisme Kerja .... 5
2.1.2.3.Antibiotik Berdasarkan Struktur Kimia ......... 6
2.1.3. Penggunaan Antibiotik .............................................. 7
2.1.4. Resistensi Antibiotik ................................................. 8
2.1.5. Evaluasi Penggunaan Antibiotik ............................... 11
2.1.5.1. Penilaian Kualitas Antibiotik ........................ 11
2.2. Meropenem ................................................................................. 14
2.2.1. Mekanisme Kerja ....................................................... 14
2.2.2. Indikasi ...................................................................... 14
2.2.3. Dosis .......................................................................... 14
2.2.4. Efek samping ............................................................. 15
2.2.5. Farmakokinetik .......................................................... 15
2.2.6. Kepekaan Bakteri Patogen Terhadap Meropenem .... 16
2.2.7. Potensi Interaksi Obat ................................................ 16
2.3. Sepsis .......................................................................................... 16
2.3.1. Definisi Sepsis ........................................................... 16
2.3.2. Patogenesis Sepsis ..................................................... 17
2.3.2.1.Mekanisme yang Mungkin Terjadi ................. 17
2.3.2.2.Fase-fase Respon Inflasi ................................ 18
2.3.3. Diagnosis .................................................................... 21
2.3.4. Manajemen Sepsis Berat ........................................... 23
2.3.4.1.Terapi Antimikroba ........................................ 25
2.4. BPJS ........................................................................................... 27
BAB 3 METODE PENELITIAN ............................................................... 28
3.1. Jenis Penelitian ........................................................................... 28
3.2. Kerangka Konsep Penelitian ...................................................... 28
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3. Populasi dan Sampel .................................................................. 28
3.3.1. Populasi ..................................................................... 28
3.3.2. Sampel ....................................................................... 29
3.4. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................... 29
3.5. Definisi Operasional ................................................................... 29
3.6. Prosedur Penelitian ..................................................................... 33
3.6.1. Persiapan (permohonan izin) ..................................... 33
3.6.2. Pengumpulan Data Penelitian ................................... 33
3.6.3. Pengolahan Data ........................................................ 34
3.6.4. Analisis Data ............................................................. 34
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 36
4.1. Hasil Penelitian .......................................................................... 37
4.1.1. Karakteristik Pasien ..................................................... 37
4.1.2. Peta Resistensi Mikroorganisme ................................. 39
4.1.3. Evaluasi Antibiotik ...................................................... 42
4.2. Pembahasan Penelitian ............................................................... 44
4.2.1. Karakteristik Pasien ...................................................... 44
4.2.2. Peta Resistensi Mikroorganisme ................................... 47
4.2.3. Evaluasi Antibiotik ....................................................... 50
4.3. Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian ...................................... 58
4.3.1. Kekuatan Penelitian ...................................................... 58
4.3.2. Keterbatasan Penelitian ................................................. 58
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 59
5.1. Kesimpulan ................................................................................. 59
5.2. Saran ........................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 61
xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1
2
3
4
5
Diagram Alir Gyssens ......................................................................
Struktur Meropenem …………………….........................................
Pelepasan mediator yang diinduksi endotoksin ................................
Pelepasan mediator yang diinduksi superantigen ............................ Kerangka Konsep Penelitian ……………………............................
13
14
19
20
28
xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1.
2.2.
3.1.
4.1.
4.2.
4.3.
4.4.
4.5.
4.6.
4.7.
Kriteria Diagnosis Sepsis……………………................................
Manajemen Sepsis Berat ……………………................................
Definisi Operasional ............ ……………………..........................
Karakteristik Pasien Sepsis yang Menerima Antibiotik
Meropenem ............ …………………….......................................
Data Jumlah Spesimen Uji Sensitivitas Antibiotik RUMKITAL
Dr. Mintohardjo Periode Januari-Desember 2014 .........................
Data Jumlah Kuman yang Terlibat dalam Pembuatan Peta
Resistensi Bakteri terhadap Antibiotik di RUMKITAL Dr.
Mintohardjo periode Januari-Desember2014 ................................
Data Profil Kuman Berdasarkan Jenis Spesimen Uji Sensitivitas
Antibiotik RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari-
Desember 2014………………........................................................
Hasil Evaluasi Penggunaan Antibiotik Meropenem (n=26) ..........
Rincian Ketidakrasionalan Penggunaan Antibiotik Meropenem
(n=34)………………......................................................................
Jenis Antibiotik Alternatif yang Lebih Efektif ..............................
22
23
30
38
40
40
41
42
43
43
xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1
2
3
4
Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian ........................................
Rekapitulasi Data Pasien ……………………..................................
Rekapitulasi Hasil Evaluasi Meropenem Berdasarkan Kategori
Gyssens …………………….............................................................
Laporan Peta Resistensi Bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo
Tahun 2014 .......................................................................................
66
67
85
139
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Infeksi merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan di rumah
sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya di Indonesia. Salah satu
permasalahan infeksi yang paling sering dijumpai adalah infeksi oleh bakteri.
Pemberian antibiotik masih merupakan pilihan utama untuk mengatasi infeksi saat
ini (Rosita, 2013).
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri,
yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman,
sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini yang
dibuat secara semi-sintesis juga termasuk kelompok ini, begitu pula semua
senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri (Tjay dan Rahardja, 2010). Antibiotik
merupakan obat yang paling banyak diresepkan di dunia. Pada tahun 2006, World
Health Organization (WHO) melaporkan bahwa lebih dari seperempat anggaran
rumah sakit dikeluarkan untuk biaya penggunaan antibiotik (Lestari, et al 2011).
Manfaat penggunaan antibiotik tidak perlu diragukan, akan tetapi penggunaan
antibiotik yang berlebihan akan menyebabkan bakteri resisten terhadap antibiotik.
Resistensi bakteri terhadap antimikroba menjadi masalah penting pelayanan
kesehatan. Infeksi yang disebabkan bakteri multi-drug resistant (MDR)
berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas karena terapi empiris
sering kali tidak tepat. Sehingga, antibiotik lini kedua atau ketiga harus diberikan.
Pemberian antibiotik lini kedua dan ketiga ini sering kali kurang efektif,
kemungkinan terjadi efek samping lebih besar dan biaya yang dibutuhkan lebih
besar (AMRIN-study, 2002).
Salah satu kondisi yang membutuhkan antibiotik adalah sepsis. Sepsis
adalah respon tubuh terhadap infeksi yang bersifat sistemik dan merusak. Sepsis
dapat menyebabkan sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat ditandai dengan
disfungsi organ akut. Syok septik adalah sepsis parah disertai hipotensi yang tidak
membaik dengan resusitasi cairan. Sepsis berat dan syok septik adalah masalah
besar untuk pelayanan kesehatan. Sepsis berat dan syok septik terjadi pada jutaan
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
orang tiap tahun, dan membunuh satu di antara empat penderitanya (Dellinger et
al,2012)
Sepsis paling banyak disebabkan oleh bakteri Gram-positive, diikuti oleh
bakteri Gram-negative dan kombinasi dari keduanya. Pasien dengan sepsis berat
atau syok septik memerlukan terapi antibiotik berspektrum luas sampai bakteri
patogen dan data kerentanan bakteri terhadap anbiotiknya didapatkan. Setelah
bakteri patogen teridentifikasi, de-eskalasi harus dilakukan dengan memilih agen
antimikroba yang sesuai dengan bakteri patogen, aman dan cost effective
(Dellinger et al, 2012)
Meropenem adalah agen antibakteri berspektrum luas yang termasuk
dalam golongan karbapenem. Untuk menangani infeksi, meropenem diindikasikan
sebagai terapi empiris sebelum mikroorganisme penyebab infeksi teridentifikasi
dan juga untuk penyakit yang disebabkan oleh satu bakteri atau banyak bakteri
baik pada orang dewasa maupun anak-anak (Baldwin, 2008). Efek samping
meropenem yang sering terjadi adalah diare, kulit kemerahan, mual dan muntah,
dan inflamasi di tempat injeksi yang terjadi pada <2,5% pasien (Lowe, 2000).
Meropenem tidak diabsorbsi setelah pemberian oral. Meropenem dapat
berpenetrasi dengan baik ke dalam sebagian besar jaringan termasuk paru-paru,
jaringan intrabdomen, cairan interstitial, cairan peritoneal dan cairan
serebrospinal. Waktu paruh meropenem kurang lebih 1 jam. Meropenem
dieliminasi terutama melalui ginjal (Lowe, 2000)
Pada tahun 2008, Meropenem Yearly Susceptibility Test Information
Collection (MYSTIC) melaporkan kepekaan bakteri patogen terhadap
meropenem adalah sebagai berikut: Pseudomonas aeruginosa (439 strain, 85,4%
peka), Enterobacteriaceae (1537 strain, 97,3% peka), methicillin-susceptible
staphylococci (460 strain, 100% peka), Streptococcus pneumoniae (125 strain,
80,2% pada meningitis susceptibility breakpoint), streptococci lain (159 strain,
90-100% peka), Acinetobacter spp. (127 strain, 45,7% peka) (Rhomberg dan
Jones, 2009). Dengan meningkatnya penggunaan antibiotik meropenem di rumah
sakit, kemungkinan resistensi harus diwaspadai (Mardiastuti, 2007).
Penggunaan antibiotik dapat dinilai dengan secara kualitas dengan metode
Gyssens berdasarkan data rekam medik dan kondisi klinis pasien (Permenkes,
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2011). Penilaian kualitas penggunaan antibiotik dilakukan untuk mengetahui
rasionalitas penggunaan antibiotika. Gyssens et al mengembangkan evaluasi
penggunaan antibiotika untuk menilai ketepatan penggunaan antibiotika seperti:
ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga
dan spektrum, lama pemberian, dosis, interval, rute dan waktu pemberian
(Pamela, 2011). Salah satu dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik menurut
Permenkes (2011) adalah data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang
tersedia di komunitas atau di rumah sakit setempat. Berdasarkan Surviving Sepsis
Campaign, pemilihan antibiotik untuk pasien sepsis harus berpedoman pada pola
prevalensi bakteri lokal (Dellinger et al, 2012).
Pada tahun 2014 pemerintah mulai memberlakukan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS). Implementasi JKN menuntut rumah sakit untuk dibayar secara prospektif
berdasarkan diagnosa pasien bukan atas dasar tindakan (fee for service) artinya
semakin singkat lama hari rawat pasien maka profit RS akan semakin baik karena
sumber daya yang dikeluarkan rumah sakit lebih efisien (Setiawan dan Ramadani,
2014). Penggunaan antibiotik yang terkendali dapat mencegah munculnya
resistensi dan menghemat penggunaan antibiotik, yang pada akhirnya akan
mengurangi beban biaya perawatan pasien, mempersingkat lama perawatan,
penghematan bagi rumah sakit serta meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit
(Permenkes, 2011)
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian
mengenai kualitas penggunaan antibiotik meropenem pada pasien sepsis rawat
inap BPJS di RUMKITAL Dr. Mintohardjo.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, disusunlah rumusan
penelitian sebagai berikut:
Bagaimanakah kualitas penggunaan antibiotik meropenem pada pasien
sepsis BPJS di ruang rawat inap RUMKITAL Dr. Mintohardjo ditinjau dari
ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga
dan spektrum, lama pemberian, dosis, interval, rute dan waktu pemberian
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
antibiotik serta dikaitkan dengan data peta resistensi mikroorganisme terhadap
antibiotik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum:
Melakukan evaluasi kualitas penggunaan antibiotik meropenem pada
pasien sepsis BPJS di RUMKITAL Dr. Mintohardjo berdasarkan kategori
Gyssens.
1.3.2. Tujuan Khusus:
1. Menentukan karakteristik pasien sepsis yang menerima antibiotik
meropenem
2. Memperoleh data peta resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik
3. Menilai kualitas penggunaan antibiotik meropenem pada pasien sepsis BPJS
berdasarkan kategori Gyssens
1.4. Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :
1.4.1.Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah ilmu
pengetahuan dalam bidang kefarmasian khususnya pada bidang evaluasi
antibiotik
1.4.2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan untuk RUMKITAL
Dr. Mintohardjo dalam hal peningkatan penggunaan antibiotik meropenem
yang rasional
5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Antibiotik
2.1.1. Definisi Antibiotik
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri,
yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman,
sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini yang
dibuat secara semi-sintesis juga termasuk kelompok ini, begitu pula semua
senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri (Tjay dan Rahardja, 2010)
Pengertian antibiotik secara sempit adalah senyawa yang dihasilkan oleh
berbagai jenis mikroorganisme (bakteri, fungi, actinomycetes) yang menekan
pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Penggunaannnya secara umum sering kali
memperluas istilah antibiotik meliputi senyawa antimikroba sintetik, seperti
sulfonamida dan kuinolon (Brunton et al, 2006)
2.1.2. Penggolongan Antibiotik
2.1.2.1 Antibiotik Berdasarkan Spektrum Aktifitas
Berdasarkan spektrum aktivitas, antibiotik dibagi menjadi dua golongan,
yaitu (Tjay dan Rahardja, 2010):
a. Antibiotik aktivitas sempit (narrow spectrum)
Obat-obat ini terutama aktif terhadap beberapa jenis kuman saja, misalnya
penisilin-G dan penisilin-V, eritromisin, klindamisin, kanamisin, dan asam fusidat
hanya bekerja terhadap kuman Gram positif. Sedangkan streptomisin, gentamisin,
polimiksin-B, dan asam nalidiksat khusus aktif terhadap kuman Gram negatif.
b. Antibiotik aktivitas luas (broad spectrum)
Antibiotik berspektrum luas bekerja terhadap lebih banyak kuman, baik
jenis kuman Gram positif maupun Gram negatif. Misalnya sulfonamida,
ampisilin, sefalosforin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan rifampisin
2.1.2.2.Antibiotik Berdasarkan Mekanisme Kerja
Berdasarkan mekanisme kerja, antibiotik dibagi sebagai berikut: (Brunton
et al, 2006)
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
a. Agen yang menghambat sintesis dinding sel bakteri, termasuk kelas β-
laktam misalnya penisilin, sefalosporin, karbapenem
b. Agen yang bekerja langsung pada membran sel mikroorganisme,
meningkatkan permeabilitas dan menyebabkan kebocoran komponen
intraseluler, termasuk polimiksin, agen antifungi polien (nistatin dan
amfoterisin)
c. Agen yang mengganggu fungsi subunit ribosom 30S atau 50S sehingga
menghambat sintesis protein secara reversibel, biasanya bersifat
bakteriostatik misalnya kloramfenikol, tetrasiklin, eritromisin, klindamisin,
streptogramin
d. Agen yang berikatan dengan subunit ribosom 30S dan mengubah sintesis
protein, biasanya bersifat bakterisid, misalnya aminoglikosida
e. Agen yang mempengaruhi metabolisme asam nukelat bakteri, seperti
rifamisin (rifampin dan rifabutin)
f. Antimetabolit, seperti trimethoprim dan sulfonamid, yang memblok enzim
esensial untuk metabolisme folat
2.1.2.3.Antibiotik Berdasarkan Struktur Kimia
Berdasarkan struktur kimianya, antibiotika dapat digolongkan sebagai
berikut: (Mutschler, 1991)
a. Antibiotik beta laktam, yang termasuk antibiotik beta laktam yaitu penisilin
(contohnya: benzyl penisilin, oksisilin, fenoksimetilpenisilin, ampisilin),
sefalosporin (contohnya: azteonam) dan karbapenem (contohnya:
imipenem)
b. Tetrasiklin, contoh: tetrasiklin, oksitetrasiklin, demeklosiklin.
c. Kloramfenikol, contoh: tiamfenikol dan kloramfenikol
d. Makrolida, contoh: eritromisin dan spiramisin.
e. Linkomisin, contoh: linkomisin dan klindamisin
f. Antibiotik aminoglikosida, contoh: streptomisin, neomisin, kanamisin,
gentamisin dan spektinomisin
g. Antibiotik polipeptida (bekerja pada bakteri gram negatif), contoh:
polimiksin B, konistin, basitrasin dan sirotrisin
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
h. Antibiotik polien (bekerja pada jamur), contoh: nistatin, natamisin,
amfoterisin dan griseofulvin
2.1.3. Penggunaan Antibiotik
Berdasarkan tujuan penggunaannya, antibiotik dibedakan menjadi
antibiotik terapi dan antibiotik profilaksis. Antibiotik terapi dapat dibedakan
menjadi antibiotik untuk terapi empiris dan terapi definitif.
Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan
pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi dan penghambatan
pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh
hasil pemeriksaan biologi. Indikasi penggunaannya adalah apabila ditemukan
sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri tertentu yang paliing
sering menjadi penyebab infeksi (Permenkes, 2011)
Rute pemberian oral merupakan pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada
infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik
parenteral. Adapun lama pemberian antibiotik empiris adalah jangka waktu 48-72
jam (Permenkes, 2011).
Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik untuk terapi empiris adalah:
(Permenkes, 2011)
1. Data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia di komunitas
atau di rumah sakit setempat
2. Kondisi klinis pasien
3. Ketersediaan antibiotik
4. Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam jaringan/organ yang
terinfeksi
5. Untuk infeksi yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat digunakan
antibiotik kombinasi
Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
resistensinya. Tujuan pemberian antibiotik adalah eradikasi dan penghambatan
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi, berdasarkan hasil
pemeriksaan mikrobiologi (Permenkes, 2011)
Rute pemberian oral merupakan pilihan pertama. Pada infeksi sedang
sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Jika
kondisi pasien memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segera
diganti dengan peroral.Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada
efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai dengan diagnosis awal yang telah
dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data
mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya (Permenkes,
2011)
Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik untuk terapi definitif: (Permenkes,
2011)
1. Efikasi dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik
2. Sensitivitas
3. Biaya
4. Kondisi klinis pasien
5. Diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit
6. Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium RS)
7. Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang terkini
8. Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.
Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang diberikan pada jaringan atau
cairan tubuh yang belum terinfeksi, namun diduga kuat akan terkena infeksi.
Antibiotik profilaksis diindikasikan ketika besar kemungkinan terjadi infeksi, atau
terjadi infeksi kecil yang berakibat fatal. Penggunaan antibiotik profilaksis
dibedakan menjadi antibiotik profilaksis bedah dan non bedah (Permenkes, 2011)
2.1.4. Resistensi Antibiotik
Resistensi dibedakan sebagai kejadian tidak terhambatnya pertumbuhan
bakteri dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang
seharusnya atau pada kadar hambat minimalnya. Multiple drug resistance
merupakan resistensi pada mikroorganisme terhadap dua atau lebih obat maupun
golongan obat. Istilah lainnya, cross resistance adalah resistensi obat yang belum
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pernah dipaparkan pada mikroba tersebut namun cara kerjanya mirip dengan
antimikroba lain yang sudah mengalami resistensi (Tripathi, 2003)
Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotik terjadi berdasarkan salah
satu atau lebih mekanisme berikut: (Jawetz, 1997)
a. Bakteri dapat mensintesis enzim inaktivator antibiotik. Misalnya
Staphylococcus resisten terhadap penisilin G karena dapat menghasilkan
betalaktamase yang merusak antibiotik tersebut.
b. Bakteri dapat mengubah permeabilitas membrannya terhadap molekul
antibiotik, misalnya pada penggunaan tetrasiklin yang hanya akan dapat
masuk ke dalam sel bakteri yang rentan (sensitif), namun tidak ditemukan
pada beberapa bakteri yang resisten.
c. Bakteri dapat mengembangkan perubahan struktur sasaran molekul
antibiotik, contohnya resistensi pada beberapa bakteri terhadap antibiotik
golongan aminoglikosida merupakan proses yang berkaitan dengan hilang
atau berubahnya struktur protein spesifik pada subunit ribosom 30S bakteri
yang merupakan reseptor pada bakteri yang sensitif.
d. Bakteri mampu mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung
dihambat oleh molekul antibiotik, misalnya beberapa bakteri yang resisten
terhadap sulfonamid tidak membutuhkan PABA ekstraseluler, tetapi bersifat
seperti sel mamalia yang dapat langsung menggunakan asam folat.
e. Bakteri mampu mengembangkan perubahan enzim, yakni enzim tersebut
dapat melakukan fungsi metabolismenya, bamun tidak rentan dipengaruhi
oleh molekul antibiotik, misalnya pada beberapa bakteri yang rentan
terhadap sulfonamid, enzim dihidropteroat sintetase pada mikroorganisme
tersebut mempunyai afinitas terhadap sulfonamid yang jauh lebih tinggi
daripada afinitasnya terhadap PABA.
Faktor-faktor yang memudahkan berkembangnya resistensi di klinik adalah
sebagai berikut: (Utami, 2012)
1. Penggunaan antibiotik yang irasional, misalnya periode penggunaan terlalu
singkat, dosis terlalu rendah, diagnosis awal yang salah, atau digunakan
dalam potensi yang tidak adekuat
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Faktor pasien, contohnya pasien dengan pengetahuan yang salah akan
cenderung mengganggap wajinya pemberian antibiotik dalam penanganan
penyakit apapun meskipun disebabkan oleh virus misalnya flu, batuk-pilek,
demam yang banyak dijumpai di masyarakat. Dengan adanya kesalahan
tersebut, pasien dengan kemampuan finansial yang baik akan meminta
diberikan terapi antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun tidak
diperlukan, bahkan membeli antibiotik sendiri tanpa peresepan dan dokter
(self medication), sedangkan pasien dengan kemampuan finansial rendah
seringkali tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi, padahal terapi
dengan antibiotik harus dituntaskan.
3. Faktor peresepan, yakni seringkali ditemukan kesulitan dalam menentukan
antibiotik yang tepat pada banyak tenaga klinis yang disebabkan kurangnya
pelatihan dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya
4. Penggunaan monoterapi, karena dibandingkan dengan penggunaan terapi
kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi
5. Gaya hidup, terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya mencuci tangan
setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat yang akan dipakai untuk
memeriksa pasien
6. Penggunaan di rumah sakit, yakni adanya infeksi endemik atau epidemik
yang memicu penggunaan antibiotik yang lebih masif di rumah sakit. Selain
itu, kombinsi pemakaian antibiotik yang lebih intensif dan lebih lama
dengan banyakanya pasien yang rentan terhadap infeksi yang berada di
rumah sakit akan memudahkan terjadinya infeksi nosokomial. Hal ini juga
dapat meningkatkan resistensi mikroba endemik tersebut terhadap antibiotik
yang digunakan.
7. Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak, misalnya pada beberapa
antibitoik yang juga dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit
infeksi pada hewan ternak atau digunakan sebagai suplemen rutin untuk
profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak dengan dosis
subterapeutik akan meningkatkan resiko terjadinya resistensi pada berbagai
mikroba.
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi,
didukung pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya pertukaran barang
sehingga jumlah antibiotik yang beredar semakin luas.
9. Penelitian, yaitu kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk
menemukan antibiotik baru.
10. Pengawasan, yaitu lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam
distribusi dan pemakaian antibiotik. Misalnya, pasien dapat dengan mudah
mendapatkan antibiotik meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu,
masalah pengawasan juga terkait dengan kurangnya komitmen dari instansi
terkait, baik untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan
penyebaran infeksi.
2.1.5. Evaluasi Penggunaan Antibiotik
Evaluasi penggunaan antibiotik bertujuan untuk: (Permenkes, 2011)
a. Mengetahui jumlah atau konsumsi penggunaan antibiotik di rumah sakit
b. Mengetahui dan mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik di rumah
sakit
c. Sebagai dasar untuk melakukan surveilans penggunaan antibiotik di rumah
sakit secara sistematik dan terstandar.
2.1.5.1. Penilaian Kualitas Antibiotik
Kualitas penggunaan antibiotik dinilai dengan menggunakan data yang
terdapat pada Rekam Pemberian Antibiotik (RPA), catatan medik pasien dan
kondisi klinis pasien. Penilaian dilakukan dengan menggunakan alur penilaian dan
klasifikasi/kategori Gyssens dkk. Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan
kesesuaian diagnosis (gejala klinis dan hasil laboratorium), indikasi, regimen
dosis, keamanan dan harga (Permenkes, 2011).
Kategori hasil penilaian kualitatif penggunaan antibiotik adalah sebagai
berikut: (Gyssens IC, 2005):
Kategori 0 = penggunaan antibiotik tepat/bijak
Kategori I = penggunaan antibiotik tidak tepat waktu
Kategori IIA = penggunaan antibiotik tidak tepat dosis
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kategori IIB = penggunaan antibiotik tidak tepat interval
Kategori IIC = penggunaan antibiotik tidak tepat cara/rute pemberian
Kategori IIIA = penggunaan antibiotik terlalu lama
Kategori IIIB = penggunaan antibiotik terlalu singkat
Kategori IVA = ada antibiotik lain yang lebih efektif
Kategori IVB = ada antibiotik lain yang kurang toksik/lebih aman
Kategori IVC = ada antibiotik lain yang lebih murah
Kategori IVD = ada antibiotik lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit
Kategori V = tidak ada indikasi penggunaan antibiotik
Kategori VI = data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi.
Alur penilaian kualitas antibiotik menggunakan kategori Gyssens:
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 1. Diagram Alir Gyssens Sumber: Gyssen (2005), dalam Permenkes
(2011)
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Diagram alir ini merupakan alat penting untuk menilai kualitas
penggunaan antibiotik. Pengobatan dapat tidak sesuai dengan alasan yang
berbeda pada saat yang sama dan dapat ditempatkan dalam lebih dari satu
kategori. Dengan alat ini, terapi empiris dapat dinilai, demikian juga terapi
definitif setelah hasil pemeriksaan mikrobiologi diketahui (Gyssens, 2005)
2.2. Meropenem
Gambar 2. Struktur Meropenem
(Sumber: Craig, 1997)
Meropenem merupakan antibiotik lini ketiga dari golongan karbapenem.
Meropenem merupakan antibiotik spektrum luas yang aktif melawan bakteri gram
negatif, bakteri gram positif dan bakteri anaerob. Meropenem memiliki kestabilan
tinggi terhadap hidrolisis oleh serin beta-laktamase. Berbeda dengan golongan
karbapenem terdahulu (imipenem/silastatin), meropenem relatif stabil oleh enzim
dehydropeptidase-I (DHP-I) (Baldwin, 2008)
2.2.1. Mekanisme Kerja
Meropenem menganggu sintesis dinding sel bakteri, sehingga
menghambat pertumbuhan bakteri dan menyebabkan kematian sel. Meropenem
berpenetrasi dengan cepat ke dalam dinding sel bakteri dan berikatan dengan
penicillin-binding proteins (PBP) dengan afinitas yang tinggi, sehingga
menginaktivasi bakteri (Baldwin, 2008)
2.2.2. Indikasi
Meropenem diindikasikan sebagai terapi empiris sebelum mikroorganisme
penyebab infeksi teridentifikasi dan juga untuk penyakit yang disebabkan oleh
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
satu bakteri atau banyak bakteri baik pada orang dewasa maupun anak-anak.
Meropenem disetujui di USA untuk digunakan dalam terapi complicated
intraabdominal infection, complicated skin and skin structure infection dan
meningitis yang disebabkan oleh bakteri (Baldwin, 2008). Di negara lain
meropenem juga disetujui untuk digunakan dalam terapi pneumonia nosokomial,
septikemia, infeksi saluran kencing, febrile neutropenia, cystic fibrosis dan
community acquired pneumonia (Baldwin, 2008).
2.2.3 Efek Samping
Efek samping meropenem yang sering terjadi adalah diare, kulit
kemerahan, mual dan muntah, dan inflamasi di tempat injeksi yang terjadi pada
<2,5% pasien (Lowe, 2000)
2.2.4. Dosis
Dosis orang dewasa berkisar pada 1,5-6 gram/hari setiap 8-12 jam,
tergantung tipe dan keparahan infeksi, kepekaan mikroorganisme dan kondisi
pasien. Dosis orang dewasa disarankan pada anak-anak dengan berat badan lebih
dari 50 kilogram. Pada bayi dan anak-anak berusia antara 3 bulan-12 tahun, dosis
yang direkomendasikan adalah 10-40 mg/kg diberikan secara intravena (Baldwin,
2008)
2.2.5. Farmakokinetik
Meropenem tidak diabsorbsi setelah pemberian oral. Meropenem dapat
berpenetrasi dengan baik ke dalam sebagian besar jaringan termasuk paru-paru,
jaringan intrabdomen, cairan interstitial, cairan peritoneal dan cairan
serebrospinal. Waktu paruh meropenem kurang lebih 1 jam. Meropenem
dieliminasi terutama melalui ginjal (Lowe, 2000)
Pada lansia, penurunan klirens meropenem berhubungan dengan
penurunan kreatinin klirens karena usia dan kemungkinan diperlukan penurunan
dosis. Farmakokinetik meropenem tidak berubah pada pasien dengan kerusakan
hati (Baldwin, 2008)
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.6. Kepekaan Bakteri Patogen terhadap Meropenem
Pada tahun 2008, Meropenem Yearly Susceptibility Test Information
Collection (MYSTIC) melaporkan kepekaan bakteri patogen terhadap
meropenem adalah sebagai berikut: Pseudomonas aeruginosa (439 strain, 85,4%
peka), Enterobacteriaceae (1537 strain, 97,3% peka), methicillin-susceptible
staphylococci (460 strain, 100% peka), Streptococcus pneumoniae (125 strain,
80,2% pada meningitis susceptibility breakpoint), streptococci lain (159 strain,
90-100% peka), Acinetobacter spp. (127 strain, 45,7% peka) (Rhomberg dan
Jones, 2009).
Secara umum, pola kepekaan bakteri gram negatif terhadap meropenem
masih cukup baik di beberapa negara, namun untuk P. aeruginosa terlihat
kepekaannya mulai menurun di Eropa dan Amerika. Dengan meningkatnya
penggunaan antibiotik meropenem di rumah sakit, kemungkinan resistensi harus
diwaspadai (Mardiastuti, 2007).
2.2.7. Potensi Interaksi Obat
Penggunaan bersama meropenem dengan probenesid menyebabkan
peningkatan waktu paruh dan konsentrasi plasma meropenem karena adanya
kompetisi terhadap sekresi tubular aktif. Penggunaan bersama meropenem dengan
probenesid tidak direkomendasikan (Baldwin, 2008)
Meropenem dapat menurunkan konsentrasi serum asam valproat, sehingga
menghasilkan level subterapeutik pada beberapa individu. Sebagai catatan, telah
dilaporkan adanya interaksi yang sama asam valproat dengan golongan
karbapenem lain, yaitu panipenem/betampiron sehingga diperkirakan interaksi
dengan asam valproat merupakan interaksi yang dipengaruhi golongan (Baldwin,
2008)
2.3. Sepsis
2.3.1. Definisi Sepsis
Pada tahun 1992, konferensi konsensus American College of Chest
Physician (ACCP) dan Society of Critical Care Management (SCCM)
mengenalkan term systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Pasien
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dikatakan mengalami SIRS jika ditemukan lebih dari satu tanda berikut: (Levy et
al, 2003)
- Temperatur lebih dari 38 ◦C atau kurang dari 36 ◦C
- Detak jantung lebih dari 90 kali per menit
- Hiperventilasi yang ditandai dengan laju pernapasan lebih dari 20 kali/menit
atau PaCO2 kurang dari 32 mmHg
- Jumlah sel darah putih lebih dari 12.000 sel/µL atau kurang dari 4000
sel/µL
Bone et al (1992) mendefinisikan sepsis sebagai SIRS dan infeksi. Sepsis
adalah respon tubuh terhadap infeksi yang bersifat sistemik dan merusak. Sepsis
dapat menyebabkan sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat ditandai dengan
disfungsi organ akut. Sedangkan syok septik adalah sepsis berat disertai hipotensi
yang tidak membaik dengan resusitasi cairan (Dellinger et al, 2012).
Beberapa definisi terkait lainnya adalah community-acquired sepsis yang
didefinisikan sebagai kejadian infeksi di luar rumah sakit atau dua hari pertama
perawatan di rumah sakit kecuali pasien pernah dirawat di rumah sakit 30-90 hari
sebelumnya, dirawat di panti jompo, melakukan hemodialisis atau menggunakan
alat intravaskular dalam jangka panjang; nosocomial yang didefinisikan sebagai
infeksi yang terjadi selama perawatan di rumah sakit (2 hari atau lebih setelah
masuk rumah sakit) atau didapatkan selama 30-90 hari setelah pulang dari rumah
sakit, sedang melakukan hemodialisis, tinggal di panti jompo atau memiliki alat
intravaskular jangka panjang (SWAB, 2010).
2.3.2. Patogenesis Sepsis
2.3.2.1.Mekanisme yang Mungkin Terjadi
Patogenesis sepsis dapat dijelaskan dalam tiga mekanisme yang
melibatkan pelepasan mediator sehingga menghasilkan respon inflamasi sistemik:
(Sagy et al, 2013)
a. Mekanisme 1: respon proinflamasi
Teori dibalik mekanisme ini berhubungan dengan pelepasan mediator
proinflamasi yang berlebihan dan menyebabkan inflamasi serta tanda
klinis SIRS.
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Mekanisme 2: kegagalan Compensatory Antiiflammatory Response
(CARS) untuk bekerja
Ketidakseimbangan antara respon proinflamasi dengan respon inflamasi
dipercaya terjadi selama infeksi. Hal ini menyebabkan mediator
proinflamasi untuk menginduksi proses inflamasi yang berlebihan.
c. Mekanisme 3: immunoparalisis
Mediator proinflamasi membanjiri dan memparalisasi sistem imun. Hal ini
menginduksi penurunan imun, menyebabkan ketidakmampuan
menetralisir patogen.
2.3.2.2.Fase-fase Respon Inflamasi
Terdapat tiga fase dalam patogenesis SIRS: (Sagy et al, 2013)
a. Pelepasan toksin bakteri
Invasi bakteri ke dalam jaringan tubuh adalah sumber toksis berbahaya.
Toksin tersebut bisa dinetralkan dan dibersihkan sistem imun atau
sebaliknya. Toksin berikut biasa dilepaskan bakteri gram negatif dan
bakteri gram positif:
- Bakteri gram negatif: lipopolisakarida (LPS)
- Bakteri gram positif: asam lipoteikoat (LPA), muramil dipeptida (MDP),
staphylococcal toxic shock syndrome toxin (TSST), streptococcal
pyrogenic toxin (SPE)
b. Pelepasan mediator sebagai respon terhadap infeksi
- Infeksi bakteri gram negatif dan gram positif dengan pelepasan endotoksin
Efek pelepasan endotoksin seperti lipopolisakarida (LPS) diperkirakan
terjadi saat infeksi bakteri gram negatif. Adapun pada saat infeksi gram
positif, diperkirakan terjadi pelepasan asam lipoteikoat (LPA). Kedua
toksin tersebut mempengaruhi fungsi makrofag sehingga terjadi pelepasan
mediator. Proses ini melibatkan toll-like receptor (TLR)-2 dan TLR-4.
Reseptor tersebut, bersama dengan co-reseptor CD-14 mengenali toksin
yang dilepaskan saat toksis menempel di dinding makrofag. Jika LPS
memerlukan LPS-binding protein (LBP) sebelum dikenali makrofag. LTA
dapat berikatan secara langsung pada TLR-2 makrofag.
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 3. Pelepasan mediator yang diinduksi endotoksin
Sumber: Sagy et al, 2013
- Infeksi bakteri gram positif dengan pelepasan eksotoksin (superantigen)
Superantigen mengaktivasi limfosit T dan memicu produksi interleukin 2
(IL-2) dan interferon gamma (IFN-ɣ). IL-2 adalah mediator proinflamasi
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, proliferasi, diferensiasi sel T untuk
menjadi sel T efektor dengan peningkatan kemampuan memori. IFN-ɣ
adalah mediator dengan sifat antivirus, immunoregulator dan antitumor.
IFN-ɣ juga mengaktivasi sintesis nitrit oksida dan membantu migrasi
leukosit. Keduanya memicu makrofag untuk melepaskan IL-1 dan faktor
nekrosis tumor alfa. IL-1 dan faktor tumor nekrosis alfa adalah stimulan
penting untuk menciptakan respon inflamasi sebagai respon terhadap
infeksi.
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4. Pelepasan mediator yang diinduksi superantigen
Sumber: Sagy et al, 2013
- Peran mediator (sitokin) dalam sepsis
Ada dua tipe mediator yang dilepaskan sebagai respon terhadap infeksi
yaitu mediator proinflamasi dan antiinflamasi. Diasumsikan bahwa respon
inflamasi yang menyebabkan sepsis berasal dari kelebihan mediator
proinflamasi dan kegagalan CARS untuk mensupresi imun. Sebaliknya,
apabila CARS dipicu secara berlebihan maka imunoparalisis terjadi
menyebabkan ketidakmampuan imun untuk bekerja.
Pertama, sitokin proinflamasi. Stimulasi makrofag menyebabkan produksi
sejumlah besar TNF-α, IL-1 dan IL-6. TNF-α adalah sitokin yang paling
berperan dalam sepsis dan dilepaskan pertama kali. Mediator proinflamasi
lain memfasilitasi inflamasi dengan meningkatkan adhesi sel endotelial-
leukosit, menginduksi nitrit oksida, pelepasan asam arakidonat, dan
mengaktivasi komplemen kaskade. Selain itu, mediator proinflamasi
meningkatkan koagulasi dengan meningkatkan level faktor koagulasi
jaringan dan koagulan membran. Mediator tersebut menghambat aktivitas
koagulan dengan meningkatkan thrombomodulin dan menginhibisi
fibrinolisis.
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kedua, sitokin antiinflamasi. Berlawanan dengan sitokin proinflamasi,
sitokin antiinflamasi menghambat inflamasi dengan penghambatan TNF-α,
augmentasi reaktan fase akut dan imunoglobulin serta penghambatan
fungsi limfosit T. Mediator antiinflamasi juga menghambat aktivasi sistem
koagulasi. Respon mediator antiinflamasi ini menyediakan mekanisme
feedback negatif untuk mengatur penurunan sintesis mediator proinflamasi
dan memodulasi efeknya sehingga menjaga homostasis dan mencegah
SIRS.
c. Efek kelebihan mediator spesifik
SIRS dihasilkan dari respon proinflamasi yang berlebihan. Sebaliknya, jika
CARS bekerja berlebihan maka terjadi imunosupresi yang tidak tepat. Jika
keseimbangan antara proinflamasi dan CARS terganggu maka homeostasis
tidak terjaga dan perkembangan klinis terhadap disfungsi organ bisa
terjadi.
2.3.3. Diagnosis
Berdasarkan International Guideline for Management of Severe Sepsis and
Septic Shock tahun 2012, berikut ini adalah kriteria diagnosis sepsis:
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis Sepsis
Variabel umum
Demam (>38,3°C)
Hipotermia (<36°C)
Detak jantung >90/menit lebih dari dua angka di atas nilai normal sesuai usia
Takipnea
Perubahan status mental
Edema signifikan atau keseimbangan positif cairan >20 mL/kg selama 24 jam
Hiperglikemia (glukosa plasma) >140 mg/dL atau 7.7. mmol/L tanpa adanya
diabetes
Variabel inflamasi
Leukositosis (WBC count >12.000 µL-1)
Leukopenia (WBC count <4000 µL-1)
WBC count normal dengan lebih dari 10% bentuk immature
Plasma C-reactive protein lebih dari dua angka di atas nilai normal
Variabel hemodinamik
Hipotensi arteri (SBP <90 mmHg, MAP <70mmHg
Variabel disfungsi organ
Hipoksemia arteri (Pao2/Fio2 <300)
Oliguria akut (keluaran urin <0,5 mL/kg/jam setidaknya selama 2 jam meskipun
sudah dilakukan resusitasi cairan yang cukup )
Peningkatan kreatinin >0,5 mg/dL atau 44,2 µmol/L
Koagulasi abnormal (INR >1,5 atau PTT >60 detik)
Ileus
Thrombocytopenia (platelet count <100.000 µL-1)
Hiperbilirubinemia (plasma total bilirubin >4 mg atau 70 µmol/L)
Variabel perfusi jaringan
Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L)
Penurunan refill kapiler
(Sumber: Dellinger et al, 2012)
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.3.4. Manajemen Sepsis Berat
Berdasarkan International Guideline for Management of Severe Sepsis and
Septic Shock tahun 2012, berikut ini adalah rekomendasi manajemen untuk sepsis
berat:
Tabel 2.2. Manajemen Sepsis Berat
A. Resusitasi awal
a. Resusitasi kuantitaif pada pasien dengan hipoperfusi yang diinduksi
sepsis setelah perubahan cairan awal atau konsentrasi laktat dalam darah
≥ 4 mmol/L. Tujuan selama 6 jam pertama resusitasi adalah:
b. Tekanan vena sentral 8-12 mmHg
c. Tekanan arteri rata-rata (MAP) ≥ 65 mmHg
d. Keluaran urin ≥ 0,5 mL/kg/jam
e. Vena central (vena cava superior) atau saturasi oksigen vena 70% atau
65%
f. Pada pasien dengan peningkatan level laktat maka target resusitasi adalah
untuk menormalkan laktat
B. Skrining untuk sepsis dan perkembangan kondisi
a. Skrining rutin terhadap potensi infeksi pasien sakit kritis untuk
menentukan implementasi awal terapi
b. Usaha peningkatan kondisi pasien sepsis berat berbasis rumah sakit
C. Diagnosis
a. Kultur sebelum terapi antimikroba jika tidak ada keterlambatan
signifikan (>45 menit) dalam memulai penggunaan antimikroba. Paling
tidak dua set kultur darah (baik aerob maupun nonaerob) ditentukan
sebelum terapi antimikroba
b. Penggunaan 1,3 beta-D-glucan assay, mannan dan anti-mannan antibody
assay jika tersedia dan candidiasis invasif terdapat dalam diagnosis
penyebab infeksi
c. Kajian imaging dilakukan untuk mengkonfirmasi sumber infeksi
potensial
D. Terapi antimikroba
a. Pemberian antimikroba intravena dalam satu jam pertama diketahuinya
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
syok sepsis dan sepsis tanpa syok sepsis sebagai tujuan terapi
b. Terapi empiris awal satu atau dua obat yang memiliki aktivitas melawan
bakteri patogen dan yang berpenetrasi dalam konsentrasi adekuat ke
dalam jaringan yang diasumsikan menjadi sumber sepsis.
c. Regimen antibiotik harus dinilai setiap hari untuk melakukan de-eskalasi
d. Gunakan level rendah prokalsitonin atau biomarker serupa untuk
membantuk klinisi mengehntikan antibiotik empriis pada pasien yang
tampak sepsis pada awalnya, tetapi tidak menunjukkan bukti sepsis lebih
lanjut
e. Terapi empiris kombinasi untuk pasien neutropeni dengan sepsis berat
dan untuk pasien yang susah diterapi, patogen MDR seperti
Acinetobacter dan Pseudomonas spp. Untuk pasien dengan infeksi berat
berkaitan dengan gagal napas dan syok septik, terapi kombinasi dengan
beta-laktam extended spectrum dan baik aminoglikosida atau
fluoroquinolone untuk P.aeruginosa. Kombinasi beta-laktam dan
makrolida untuk pasien dengan syok septic digunakan untuk infeksi
Streptococcus pneumoniae. Terapi kombinasi empiris tidak boleh
diberikan lebih dari 3-5 hari. De-eskalasi ke terapi tunggal paling sesuai
harus dilakukan segera profil kepekaan bakteri diketahui.
f. Durasi terapi biasanya 7-10 hari, lebih dari itu mungkin sesuai untuk
pasien yang memiliki respon klinis yang lambat, undrainable foci of
infectioni, bakteremia dengan S. aureus, beberapa fungi dan infeksi virus
atau defisiensi immunologi termasuk neutropenia
g. Terapi antivirus harus dimulai sedini mungkin pada pasien dengan sepsis
berat atau syok septik karena virus.
h. Agen antimikroba tidak boleh digunakan pada pasien dengan kondisi
inflamasi parah yang disebabkan karena noninfeksi.
E. Kontrol sumber
a. Diagnosis infeksi secara anatomik memerlukan pertimbangan apakah
kontrol sumber perlu dilakukan atau tidak secepat mungkin, dan
intervensi dilakukan selama 12 jam pertama setelah diagnosis dibuat, jika
mungkin.
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Ketika infeksi nekrosis peripancretic diidentifikasi sebagai sumber
infeksi potensial, intervensi definitif baiknya ditunda sampai adanya
pembatasan yang adekuat terhadap jaringan yang terinfeksi dan tidak.
c. Ketika kontrol sumber pada pasien sepsis berat dibutuhkan, intervensi
yang efektif adalah yang paling tidak menyakitkan secara fisiologis
(misal, perkutan daripada surgical drainage untuk abses)
d. Jika alat akses intravaskular adalah sumber sepsis berat atau syok septik,
alat tersebut harus dilepaskan setelah akses vaskular lain terpasang.
F. Pencegahan infeksi
a. Dekontaminasi oral dan digestive secara selektif harus diajukan dan
diinvestigasi sebagai metode untuk mengurangi kejadian pneumonia
yang berhubungan dengan ventilator. Pengukuran kontrol infeksi ini
dapat dimulai dalam pengaturan pelayanan kesehatan dan are dimana
metode ini efektif
b. klorheksidin glukonat oral digunakan dalam bentuk dekontaminasi
orofaringeal untuk menurunkan resiko pneumonia yang berhubungan
dengan ventilator pada pasien dengan sepsis berat.
(Sumber: Dellinger et al, 2012)
2.3.4.1.Terapi Antimikroba
Stichting Werkgroep Antibioticabeleid (SWAB), sebuah badan yang
mengurus kebijakan antibiotik di Belanda membagi terapi antibiotik empiris
sepsis menjadi dua yaitu terapi untuk sepsis tanpa lokasi infeksi yang jelas dan
terapi untuk sepsis dengan adanya lokasi infeksi yang dicurigai. Istilah yang
berhubungan dengan sepsis tanpa lokasi infeksi yang jelas yaitu community
acquired, yang didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi di luar rumah sakit atau
terjadi pada dua hari pertama perawatan di rumah sakit kecuali untuk pasien yang
dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu 30-90 hari sebelumnya, tinggal di
panti jompo, melakukan hemodialisis dan memakai alat intravaskular dalam
waktu lama. Hospital acquired didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi selama
perawatan di rumah sakit (setelah lebih dari dua hari) atau dalam jangka waktu
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30-90 hari setelah keluar dari perawatan di rumah sakit, melakukan hemodialisis
dan memakai alat intravaskular dalam waktu lama (SWAB, 2010).
Rekomendasi terapi untuk community acquired sepsis menurut SWAB
tanpa neutropenia dan tanpa lokasi infeksi yang jelas adalah sefalosporin generasi
kedua atau ketiga atau amoksisilin dikombinasikan dengan aminoglikosida +
asam klavulanat. Adapun terapi untuk sepsis dengan lokasi infeksi yang dicurigai
dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan lokasi infeksi:
a. Sepsis dan hospital acquired pneumonia
Dalam beberapa studi tidak ditemukan perbedaan antara karbapenem
dengan beta-laktam tunggal atau dikombinasikan dengan kuinolon dan
aminoglikosida (SWAB, 2010). Sementara guideline lain merekomendasikan
seftriakson, levofloksasin dan ampisilin-sulbaktam (Bugano et al, 2008).
Meropenem dilaporkan berhubungan dengan penurunan kegagalan terapi
dibandingkan dengan kombinasi ceftazidime dan aminoglikosida (SWAB, 2010)
b. Urosepsis
SWAB (2010) merekomendasikan sefalosporin generasi kedua atau ketiga
atau kombinasi amoksisilin dan gentamisin.
c. Intraabdominal sepsis
Untuk pasien dengan community acquired intraabdominal sepsis SWAB
merekomendasikan sefalosporin generasi ketiga dikombinasikan dengan
metronidazole dengan atau tanpa aminoglikosida atau amoksisilin + asam
klavulanat dengan atau tanpa aminoglikosida. Sedangkan untuk pasien
nosocomial intraabdominal sepsis adalah sefalosporin dikombinasikan dengan
metronidazol dan aminoglikosida atau amoksisilin + asam klavulanat atau
piperacilin/tazobactam dengan atau tanpa aminoglikosida (SWAB, 2010).
Guideline lain merekomendasikan meropenem dan amikasin (Bugano et al, 2008)
d. Sepsis dan skin and structure infection
Antibiotik yang direkomendasikan untuk uncomplicated skin and structure
infection adalah flukloksasilin. Sedangkan untuk uncomplicated skin and
structure infection adalah amoksisilin + asam klavulanat.
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4. BPJS
Berdasarkan UU No. 24 tahun 2011, Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial yang selanjutnya disebut BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial BPJS terbagi menjadi dua, yaitu BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS kesehatan berfungsi
menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan. Untuk program Jaminan
Kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, implementasinya dimulai
sejak 1 Januari 2014. Program tersebut selanjutnya disebut dengan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN).
Tujuan pelaksanaan JKN adalah untuk memberikan perlindungan
kesehatan dalam bentuk manfaat pemeliharaan kesehatan dalam rangka memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah
membayar iuran atau iuran dibayar oleh pemerintah.
28 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan desain case
study. Pengambilan data pasien dilakukan secara retrospektif, melalui
pengumpulan data dari rekam medis pasien rawat inap yang menerima antibiotika
meropenem di RUMKITAL Dr. Mintoharjo, selama periode Januari-Desember
2014.
3.2. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 5. Kerangka Konsep Penelitian
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medis pasien Sepsis
di ruang rawat inap RUMKITAL Dr. Mintoharjo periode Januari-Desember 2014.
26 rekam medis pasien yang
menggunakan antibiotik
meropenem yang memenuhi
kriteria inklusi
Kualitas penggunaan
antibiotik meropenem
Rasional
(kategori 0)
Tidak rasional
(kategori I-VI)
Parameter Gyssens: (Pamela, 2011)
- ketepatan indikasi,
- ketepatan pemilihan
berdasarkan efektivitas - toksisitas - harga
- lama pemberian - dosis
- interval pemberian - rute pemberian - waktu pemberian
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Subjek dipilih harus memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria
eksklusi.
Kriteria inklusi adalah:
a. Semua pasien sepsis rawat inap BPJS yang menggunakan antibiotik
meropenem di ruang rawat inap RUMKITAL Dr. Mintoharjo periode
Januari-Desember 2014
b. Subjek penelitian adalah semua usia
c. Rekam medik yang lengkap dan jelas terbaca
Kriteria eksklusi adalah:
a. Pasien tidak dalam rentang terapi yang dapat dievaluasi
3.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria
inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu
semua pasien yang memenuhi kriteria diambil sebagai sampel penelitian. Dari
hasil uji pendahuluan didapatkan 41 rekam medis pasien sepsis yang menerima
antibiotik meropenem tetapi hanya 26 pasien yang masuk kriteria inklusi.
Sebanyak 15 rekam medis pasien sepsis dieksklusi karena data rekam medis yang
hilang atau tidak memenuhi rentang terapi.
3.4. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang administrasi medis RUMKITAL Dr.
Mintoharjo Jakarta Pusat pada bulan Februari 2015-selesai. Pengambilan data
dilakukan bulan Februari-Maret 2015. Pengolahan data dan analisis data
dilakukan bulan April-Mei 2015.
3.5. Definisi operasional
Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah yang didefinisikan sebagai berikut:
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 3.1. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara dan Alat
Ukur Skala Ukur Keterangan
1
Karakteristik
Pasien
Jenis
Kelamin
Umur
Keparahan
sepsis
Jenis terapi
Jenis sepsis
Kondisi fisik yang
menentukan status
seseorang laki-laki
atau perempuan
Usia pasien yang
menjalani terapi
berdasarkan ulang
tahun terakhir
Keparahan sepsis
yang dialami
pasien
Jenis terapi
antibiotika
meropenem yang
diberikan kepada
pasien
Jenis sepsis yang
dialami pasien
Melihat
pencatatan status
pasien di rekam
medis
Melihat
pencatatan status
pasien di rekam
medis
Melihat
pencatatan
diagnosis pasien
di rekam medis
Melihat
pencatatan
pemberian obat
dan hasil kultur
pasien di rekam
medis
Melihat
pencatatan
diagnosis pasien
di rekam medis
Nominal
Kategori
Nominal
Nominal
Nominal
1. Laki-laki
2. Perempuan
1. Balita
2. Kanak-Kanak
3. Remaja Awal
4. Remaja Akhir
5. Dewasa Awal
6. Dewasa Akhir
7. Lansia Awal
8. Lansia Akhir
9. Manula
1. Sepsis
2. Sepsis berat
3. Syok septik
1. Empiris
2. Definitif
1. Nosocomial
sepsis
2. Community
acquired sepsis
Intraabdominal
sepsis
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
No Variabel Definisi Cara dan Alat
Ukur Skala Ukur Keterangan
Komorbidit
as
Lama
perawatan
Jumlah
obat yang
diterima
Jumlah
antibiotik
yang
diterima
Keberadaan dua
penyakit atau lebih
dalam satu waktu
pada satu pasien
Lama hari rawat
pasien di ruang
rawat inap
RUMKITAL Dr.
Mintohardjo
Jumlah obat yang
digunakan pasien
selama masa
perawatan
Jumlah antibiotik
yang digunakan
pasien selama masa
perawatan
Melihat
pencatatan
diagnosis pasien
di rekam medis
Melihat
pencatatan status
pasien di rekam
medis
Melihat
pencatatan
formulir
pemberian obat di
rekam medis
Melihat
pencatatan
formulir
pemberian obat di
rekam medis
Nominal
Rasio
Rasio
Rasio
3. Community
acquired
pneumonia sepsis
4. Hospital
acquired
pneumonia sepsis
5.Urosepsis
1.Renal disease
Cerebrovascula
r disease
2.Congestive
heart failure
3.Diabetes with
chronic
complication
4.Diabetes
5.Peripheral
vascular disease
1. <10 hari
2.10-20 hari
3. 20-30 hari
4. >30 hari
1. 1-10 obat
2. 10-20 obat
3. >20 obat
1. 1-2 antibiotik
2. 3-4 antibiotik
3. ≥ 5 antibiotik
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
No Variabel Definisi Cara dan Alat
Ukur Skala Ukur Keterangan
2
Resistensi
Tingkat resistensi
mikroorganisme
penyebab infeksi
terhadap antibiotik
Melihat hasil uji
sensitivitas di
laporan peta
resistensi
mikroorganisme
Nominal
1. Sensitif
2. Intermediet
3. Resisten
3
Kualitas
penggunaan
antibiotik
Ketepatan
indikasi
Ketepatan
pemilihan
berdasarkan
efektivitas
Toksisitas
Harga
Ketepatan
penggunaan
antibiotik
meropenem yang
dievaluasi dengan
kategori Gyssens
Pemberian
antibiotik
meropenem sesuai
dengan indikasi
yang benar sesuai
diagnosa dokter
Pemilihan
antibiotik
meropenem yang
tepat sesuai dengan
hasil kultur dan
peta kuman atau
literatur terkait
Kemampuan
antibiotik
meropenem untuk
menimbulkan
kerusakan dalam
tubuh
Harga antibiotik
sesuai dengan
peraturan yang
berlaku
Mengevaluasi
kualitas antibiotik
meropenem
sesuai dengan
parameter
Gyssens
Melihat
pencatatan status
pasien di rekam
medis
Melihat
pencatatan status
pasien di rekam
medis
Melihat
pencatatan status
pasien di rekam
medis
Melihat
pencatatan status
pasien di rekam
medis
Nominal
Nominal
Nominal
Nominal
Rasio
1. Rasional
2. Tidak rasional
1. Tepat
2. Tidak tepat
1. Tepat
2. Tidak tepat
1. Toksik
2. Tidak toksik
Rupiah
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
No Variabel Definisi Cara dan Alat
Ukur Skala Ukur Keterangan
Lama
pemberian
Dosis
Interval
pemberian
Rute
pemberian
Waktu
pemberian
Waktu yang
digunakan dalam
pemberian
antibiotik ke pasien
Takaran antibiotik
meropenem yang
diberikan
Jarak waktu antar
pemberian
antibiotik
meropenem
Jalur antibiotik
meropenem masuk
ke dalam tubuh
Waktu pada saat
antibiotik
meropenem
diberikan
Melihat
pencatatan status
pasien di rekam
medis
Melihat
pencatatan status
pasien di rekam
medis
Melihat
pencatatan status
pasien di rekam
medis
Melihat
pencatatan status
pasien di rekam
medis
Melihat
pencatatan status
pasien di rekam
medis
Nominal
Nominal
Nominal
Nominal
Nominal
1. Tepat
2. Tidak tepat
1. Tepat
2. Tidak tepat
1. Tepat
2. Tidak tepat
1. Tepat
2. Tidak tepat
1. Tepat
2. Tidak tepat
3.6. Prosedur Penelitian
3.6.1. Persiapan (Permohonan Izin)
Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian
dari Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah kepada RUMKITAL Dr. Mintoharjo. Penyerahan surat persetujuan
penelitian dari RUMKITAL Dr. Mintoharjo kepada Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah.
3.6.2. Pengumpulan Data Penelitian
Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan alur sebagai berikut:
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
a. Pengumpulan data sekunder yang diawali dengan mengumpulkan data
resistensi kultur bakteri yang mungkin menyebabkan infeksi di
RUMKITAL Dr. Mintohardjo. Kultur bakteri tersebut diperoleh dari
beberapa pasien selama tahun 2014. Masing-masing kultur tersebut sudah
ditetapkan resistensinya terhadap berbagai antibiotik. Data resistensi
bakteri yang didapatkan kemudian dikelompokkan berdasarkan jenis
bakteri dan dihitung resistensinya terhadap berbagai antibiotik bertujuan
untuk memperoleh gambaran resistensi bakteri tersebut terhadap antibiotik
yang digunakan.
b. Pemilihan pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi. Data rekam medis
dari pasien tersebut kemudian didokumentasikan berupa nomor rekam
medis, usia pasien, jenis kelamin, diagnosis, dan data penggunaan obat.
c. Data dari rekam medis pasien dan peta resistensi bakteri terhadap
antibiotik dianalisis dan dievaluasi menggunakan metode Gyssens
3.6.3. Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari rekam medis pasien kemudian diolah dengan
menggunakan program Statistical Package for the Social Science (SPSS) edisi
16.0 .
Proses pengolahan data meliputi langkah sebagai berikut:
a. Editing
Proses ini meliputi pemeriksaan kelengkapan data yang akan diolah,
koreksi kesalahan data dan eksklusi data-data yang tidak dibutuhkan
sehingga prngolahan data lebih mudah dan dapat dilakukan peneliti
dengan baik
b. Coding
Proses ini merupakan pemberian kode berupa angka terhadap data-data
yang terdiri dari beberapa kategori dalam satu variabel
c. Input data, yaitu kegiatan memasukkan data yang akan diolah ke dalam
program
d. Cleaning data¸ atau pemeriksaan kembali untuk memastikan data benar
dan siap diolah
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.6.4. Analisis data
a. Evaluasi kualitas penggunaan antibiotika
Evaluasi kualitas penggunaan antibiotika berdasarkan alur Gyssens
meliputi kelengkapan data, indikasi penggunaan antibiotika, pemilihan antibiotika
berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga dan spektrum, lama pemberian, dosis,
rute dan interval serta waktu pemberian antibiotik. Pedoman yang digunakan
untuk penelitian antara lain International Guideline for Management Severe
Sepsis and Septic Shock 2012, peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo dan
literatur terkait lainnya. Hasil evaluasi yang didapatkan kemudian dinyatakan
dengan persentase.
b. Analisis data
Analisis data dilakukan secara deskriptif, yakni analisis menggambarkan
data yang diperoleh dari selama penelitian secara sederhana sehingga dapat dibaca
dan dianalisis secara sederhana (Nursalam, 2008). Data akan dipaparkan dalam
tabel-tabel persentase menggunakan fitur frequency pada program SPSS 17.0
36 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan terhadap regimen antibiotik meropenem yang
diterima pasien sepsis di ruang rawat inap RUMKITAL Dr. Mintohardjo selama
periode Januari-Desember 2014.Pada penelitian ini dilakukan evaluasi kualitas
penggunaan antibiotik meropenem pada pasien sepsis yang dilakukan berdasarkan
kategori Gyssens. Parameter kualitas penggunaan antibiotik berdasarkan kategori
Gyssens antara lain ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan berdasarkan
efektivitas, toksisitas, harga, lama pemberian, dosis, interval pemberian, rute
pemberian, dan waktu pemberian (Pamela, 2011). Berdasarkan Surviving Sepsis
Campaign, pemilihan antibiotik untuk pasien sepsis harus berspektrum luas untuk
melawan bakteri patogen yang mungkin menginfeksi dan harus berpedoman pada
pola prevalensi bakteri lokal. Mengacu pada hal tersebut, kualitas penggunaan
antibiotik meropenem juga berpedoman dari peta resistensi bakteri terhadap
antibiotik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo. Peta resistensi bakteri yang digunakan
sebagai pedoman ini tidak dapat digeneralisir untuk digunakan di seluruh rumah
sakit karena jenis bakteri yang ditemukan di setiap rumah sakit berbeda-beda.
Bakteri yang terdapat di lingkungan rumah sakit dapat menyebabkan infeksi
nosokomial, salah satunya adalah sepsis. Pembuatan peta resistensi berasal dari
hasil uji kultur mikrobiologi terhadap sampel yang diambil dari pasien yang
menderita infeksi namun tidak kunjung sembuh. Sampel yang digunakan dalam
pembuatan peta resistensi misalnya darah, urin, sputum, jaringan dan cairan tubuh
pasien.
Peta resistensi tersebut digunakan untuk mengidentifikasi ketepatan
pemilihan berdasarkan efektivitas dan harga yang merupakan salah satu faktor
penilaian kerasionalan penggunaan antibiotik berdasarkan kategori Gyssens.
Antibiotik yang diberikan dinilai efektif apabila sensitivitasnya terhadap bakteri
yang menyebabkan sepsis masih cukup tinggi, dimana resistensi bakteri terhadap
antibiotik kurang dari 50% yang berarti efektivitas antibiotik dalam menghambat
pertumbuhan bakteri tersebut masih tinggi (Fathni, 2012). Apabila hasil uji kultur
negatif atau tidak dilakukan uji kultur, maka terapi dianggap terapi empiris. Pada
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penelitian ini ditemukan populasi pasien sepsis yang menerima antibiotik
meropenem sebesar 41 pasien. Dari populasi tersebut didapatkan sampel sebesar
26 pasien yang termasuk dalam kriteria inklusi.
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Karakteristik Pasien
Data yang diperoleh dari rekam medis pasien menunjukkan bahwa pasien
sepsis yang menerima antibiotik meropenem terdiri dari 14 orang laki-laki
(53,8%) dan 12 orang perempuan (46,2%).
Penggolongan usia pasien berdasarkan Departemen Kesehatan RI
(DEPKES) 2009. DEPKES RI mengklasifikasikan usia manusia menjadi delapan
kelompok, yaitu balita (0-5 tahun), kanak-kanak (6-11 tahun), remaja awal (12-16
tahun), remaja akhir (17-25 tahun), dewasa awal (26-35 tahun), dewasa akhir (36-
45 tahun), lansia awal (46-55 tahun), lansia akhir (56-65 tahun), dan manula (65
tahun ke atas). Berdasarkan kelompok usia, dapat dilihat bahwa rentang usia 46
tahun sampai 55 tahun (lansia awal) adalah usia pasien terbanyak yang ditemukan.
Jika digabungkan dengan kelompok usia yang lebih tua, yaitu lansia akhir dan
manula maka didapatkan persentase pasien lanjut usia sebesar 51,6 %.
Karakteristik pasien berdasarkan keparahan sepsis juga diamati dan terbagi
menjadi tiga kategori yaitu sepsis, sepsis berat dan syok septik. Data yang diamati
dari rekam medis pasien menunjukkan bahwa 19 pasien (73,1%) didiagnosis
sepsis, 3 pasien didiagnosis sepsis berat (11,5%) dan 4 pasien (15,4%) didiagnosis
syok septik. Jenis terapi pasien dibedakan menjadi jenis terapi empiris dan
definitif. Sebanyak 24 pasien (92.3%) menerima meropenem sebagai terapi
empiris dan 2 pasien sebagai terapi definitif (7.7%). Jenis sepsis yang dialami
pasien diamati dari rekam medis dan dibedakan menjadi sepsis tanpa lokasi
infeksi yang dicurigai dan sepsis dengan infeksi yang dicurigai. Sepsis tanpa
lokasi infeksi yang dicurigai dibagi menjadi community acquired sepsis dan
nosocomial sepsis. Sepsis dengan lokasi infeksi yang diketahui dibagi menjadi
beberapa jenis sesuai dengan lokasi infeksi. Hasil pengamatan pada rekam medis
menunjukkan nosocomial sepsis (11 pasien, 42%) adalah jenis sepsis terbanyak
yang dialami pasien. Data komorbiditas pasien dikategorikan berdasarkan
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Charlson Comobidity Index menggunakan kode International Classification of
Disease (ICD-9) (Deyo et al, 1992). Hasil pengamatan pada rekam medis
menunjukkan cerebrovascular disease (5 pasien, 29%) adalah komorbiditas yang
paling banyak ditemukan.
Karakteristik pasien lain yang diamati adalah lama perawatan, jumlah obat
yang diterima selama perawatan dan jumlah antibiotik yang diterima selama
perawatan. Ketiga karakteristik tersebut dikategorikan berdasarkan rentang
tertentu. Karakteristik pasien sepsis yang menerima antibiotik meropenem dapat
dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Karakteristik Pasien Sepsis yang Menerima Antibiotik Meropenem
Karakteristik Jumlah Persentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
14
12
53.8
46.2
Kelompok Usia
Balita (0-5 tahun)
Kanak-kanak (6-11 tahun)
Dewasa Awal (26-35 tahun)
Dewasa Akhir (36-45 tahun)
Lansia Awal (46-55 tahun)
Lansia Akhir (56-65 tahun)
Manula (65 tahun ke atas)
2
2
2
4
8
3
5
7.7
7.7
7.7
15.4
30.8
11.5
9.3
Keparahan Sepsis
Sepsis
Sepsis Berat
Syok Septik
19
3
4
73.1
11.5
15.4
Jenis Terapi Meropenem
Empiris
Definitif
24
2
92.3
7.7
Jenis Sepsis
Nosocomial sepsis
Community acquired sepsis
Intraabdominal sepsis
Community acquired
pneumonia sepsis
Hospital acquired
pneumonia sepsis
Urosepsis
11
4
2
1
7
1
42%
15%
8%
4%
27%
4%
Komorbiditas
Renal disease
Cerebrovascular disease
4
5
23.5
29
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Congestive heart failure
Diabetes with chronic
complication
Diabetes
Peripheral vascular disease
2
1
4
1
12
6
23.5
6
Lama Perawatan
<10 hari
10-20 hari
20-30 hari
>30 hari
7
13
1
5
26.9
50.0
3.8
19.2
Jumlah Obat yang
Diterima
1-10
10-20
>20
8
17
1
23.1
65.4
11.5
Jumlah Antibiotik yang
Diterima
1-2
3-4
≥5
6
17
3
30.8
65.4
3.8
4.1.2. Peta Resistensi Mikroorganisme
Peta resistensi mikroorganisme di RUMKITAL Dr. Mintohardjo pada
tahun 2014 menunjukkan persentase resistensi berbagai bakteri terhadap 24 jenis
antibiotik. Peta resistensi bakteri juga menyediakan informasi mengenai jenis
spesimen yang digunakan dalam uji resistensi. Spesimen yang paling banyak
digunakan adalah darah, sebanyak 185 spesimen (40,30%). Dari 185 spesimen
hanya 25 spesimen (13,51%) memberikan hasil positif, sedangkan 160 spesimen
(86,49%) memberikan hasil steril atau tidak terdapat pertumbuhan kuman.
Spesimen yang paling banyak memberikan hasil positif adalah sputum, dimana
dari 52 spesimen sputum semuanya memberikan hasil positif (100%). Spesimen
yang banyak memberikan hasil positif setelah sputum adalah pus/swab luka,
dimana dari 74 spesimen, 59 spesimen (79,72%) memberikan hasil positif. Data
jumlah spesimen uji sensitivitas antibiotik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo dapat
dilihat di tabel 4.2.
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.2. Data Jumlah Spesimen Uji Sensitivitas Antibiotik RUMKITAL Dr.
Mintohardjo Periode Januari-Desember 2014
No Jenis
Spesimen
Jumlah
Isolat
% Positif % Steril %
1 Darah 185 40,30 25 13,51 160 86,49
2 Urin 132 28,75 25 18,93 107 81,07
3 Sputum 52 11,32 52 100,00 0 0
4 Pus/Swab
Luka
74 16,12 59 79,72 15 20,28
5 Cairan
Tubuh
9 1,96 5 55,55 4 44,45
6 Faeces 2 0,43 0 0 2 100,00
7 Ujung
Kateter
1 0,21 1 100,00 0 0
8 Swab Vagina 1 0,21 1 100,00 0 0
9 Jaringan 1 0,21 0 0 1 100,00
10 Pot Selang 1 0,21 1 100 0 0
11 Swab Rektal 1 0,21 0 0 1 100
Jumlah 459 100,00 169 36,82 290 63,18
Jenis bakteri yang ditemukan pada spesimen yang diuji kebanyakan adalah
bakteri gram negatif seperti kelompok bakteri Coliform, Pseudomonas sp.,
Proteus sp., dan Aerobacter sp. Adapun bakteri gram positif yang ditemukan
adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus sp. Bakteri yang paling banyak
ditemukan dari spesimen yang diuji adalah bakteri kelompok Coliform dan
Eschericia coli yaitu pada 37 kultur spesimen (21,90%) ditemukan bakteri
Coliform dan pada 34 kultur spesimen (20,11%) ditemukan bakteri Eschericia
coli. Data mengenai jumlah kuman yang terlibat dalam pembuatan peta resistensi
dapat dilihat di tabel 4.3.
Tabel 4.3. Data Jumlah Kuman yang Terlibat dalam Pembuatan Peta resistensi
Bakteri terhadap Antibiotik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo periode Januari-
Desember 2014
No Jenis Kuman Jumlah %
1 Alkaligenes faecalis 30 17,75
2 Aerobacter aerogenes 5 2,95
3 Aerobacter Cloacae 1 0,60
4 Coliform 37 21,90
5 Eschericia coli 34 20,11
6 Proteus sp 15 8.90
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7 Pseudomonas sp 17 10,05
8 Staphylococcus aureus 24 14,20
9 Streptococcus sp 5 2,95
10 pseudodiplokokkus 1 0,60
Jumlah 169 100,00
Data jumlah kuman dan spesimen kemudian diperinci menjadi data profil kuman
berdasarkan jenis spesimen. Data profil kuman berdasarkan jenis spesimen dalam
uji sensitivitas dapat dilihat di tabel 4.4.
Tabel 4.4. Data Profil Kuman Berdasarkan Jenis Spesimen Uji Sensitivitas
Antibiotik RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari-Desember 2014
No Jenis Isolat Jenis Kuman Jumlah %
1 Darah Alkaligenes faecalis 9 5,32
Coliform 6 3,55
Eschericia coli 4 2,36
Staphylococcus aureus 5 2,96
Streptococcus Sp 1 0,60
2 Urin Alkaligenes faecalis 5 2,95
Aerobacter aerogenes 1 0,60
Coliform 2 1,18
Eschericia coli 11 6,50
Proteus Sp 3 1,78
Pseudomonas Sp 1 0,60
Staphylococcus aureus 1 0,60
Streptococcus Sp 1 0,60
3 Sputum Alkaligenes faecalis 8 4,73
Aerobacter aerogenes 3 1,78
Coliform 14 8,28
Eschericia coli 6 3,55
Proteus Sp 1 0,60
Pseudomonas Sp 11 6,50
Staphylococcus aureus 6 3,55
Streptococcus Sp 1 0,60
4 Pus/Swab Luka Alkaligenes faecalis 8 4,73
Aerobacter aerogenes 1 0,60
Aerobacter Cloacae 1 0,60
Coliform 10 5,91
Eschericia coli 13 7,70
Proteus Sp 11 6,50
Pseudomonas Sp 4 2,36
Staphylococcus aureus 9 5,32
Streptococcus Sp 2 1,18
5 Cairan Coliform 1 0,60
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Serebrospinal
6 Cairan Empedu Coliform 1 0,60
7 Cairan Asites Coliform 1 0,60
8 Cairan Paru-paru Pseudomonas Sp 1 0,60
9 Jaringan Coliform 1 0,60
10 Sekret Vagina Pseudodiplococcus 1 0,60
11 Kateter Staphylococcus aureus 1 0,60
12 Pot Selang Staphylococcus aureus 1 0,60
Jumlah 169 100.00
Adapun laporan peta resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat dilihat di
lampiran 4.
4.1.3. Evaluasi Antibiotik
Dalam penelitian ini, parameter yang digunakan untuk mengevaluasi
antibiotik meropenem berdasarkan kriteria Gyssens adalah ketepatan indikasi,
ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas dan harga, lama
pemberian, dosis, interval pemberian, rute pemberian, dan waktu pemberian
(Pamela, 2011). Pengobatan dapat tidak sesuai dengan alasan yang berbeda pada
saat yang sama dan dapat ditempatkan dalam lebih dari satu kategori. Dengan
evaluasi Gyssens, terapi empiris dapat dinilai, demikian juga terapi definitif
setelah hasil pemeriksaan mikrobiologi diketahui (Gyssens, 2005). Hasil evaluasi
menunjukkan 4 rejimen (15%) termasuk rasional (kategori 0) dan 22 rejimen
(85%) termasuk tidak rasional (kategori I-VI). Sebanyak 22 rejimen yang
termasuk tidak rasional diperinci menjadi 32 hasil evaluasi. Hasil dari evaluasi
antibiotik meropenem dapat dilihat pada tabel 4.5.
Tabel 4.5. Hasil Evaluasi Penggunaan Antibiotik Meropenem (n=26)
Kerasionalan Jumlah Persentase (%)
Rasional (Kategori 0) 4 15
Tidak rasional (Kategori
I-VI)
22 85
Total 26 `100
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hasil evaluasi penggunaan antibiotik meropenem yang tidak rasional dapat
diperinci menjadi beberapa kategori sesuai dengan parameter yang dinilai.
Rincian ketidakrasionalan penggunaan antibiotik meropenem dapat dilihat pada
tabel 4.6.
Tabel 4.6. Rincian Ketidakrasionalan Penggunaan Antibiotik Meropenem (n=34)
Kategori Jumlah Persentase (%)
Dosis tidak tepat (Kategori IIA) 3 9
Interval tidak tepat (Kategori IIB) 8 24
Pemberian terlalu lama (Kategori IIIA) 2 6
Alternatif lain lebih efektif (Kategori IVA) 17 49
Spektrum alternatif lebih sempit (Kategori IVD) 1 3
Data tidak lengkap (Kategori VI) 3 9
- 34 100
Hasil evaluasi kategori IVA (ada alternatif lebih efektif) dapat diperinci
lagi menjadi jenis antibiotik alternatif yang lebih efektif. Rincian jenis antibiotik
alternatif yang lebih efektif dapat dilihat di tabel 4.7.
Tabel 4.7. Jenis Antibiotik Alternatif yang Lebih Efektif
Antibiotik yang Lebih Efektif Jumlah
Amikasin, Imipenem dan Fosfomisin 9
Levofloksasin 7
Siprofloksasin dan Fosfomisin 1
- 17
4.2. Pembahasan Penelitian
4.2.1. Karakteristik Pasien
Data karakteristik pasien yang diperoleh meliputi jenis kelamin, usia,
keparahan sepsis, lama perawatan, jumlah obat yang diterima selama perawatan
dan jumlah antibiotik yang diterima selama perawatan. Data jenis kelamin
menunjukkan bahwa jumlah antara pasien laki-laki dan perempuan hampir
seimbang, yaitu 53,8% laki-laki dan 46,2% perempuan. Hasil penelitian ini
berbeda dengan penelitian cohort yang dilakukan oleh Brun-Buisson (1995),
Danai dan Martin (2005) dan Engel et al (2006) yang melaporkan bahwa sepsis
lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Laki-laki beresiko
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menderita sepsis 30% lebih besar dibanding dengan perempuan (Danai dan
Martin, 2005). Perbedaan ini kemungkinan karena jumlah sampel yang sedikit
dan juga karena tidak semua pasien sepsis di RUMKITAL Dr. Mintohardjo
diteliti. Hanya pasien sepsis yang menerima meropenem saja yang termasuk
kriteria inklusi dalam penelitian ini.
Data usia pasien menunjukkan bahwa kelompok usia pasien terbanyak
adalah lansia awal (46-55 tahun) sebesar 30,8%. Jika usia semua pasien dirata-
ratakan maka didapatkan usia 46,5 tahun. Menurut Danai dan Martin (2005) rerata
usia pasien sepsis adalah 55-65 tahun. Dibandingkan dengan penelitian tersebut,
rerata usia pasien sepsis pada penelitian ini lebih muda. Hal ini kemungkinan
dikarenakan karena jumlah sampel yang sedikit dan adanya perbedaan ruang
lingkup dan waktu penelitian. Kemungkinan lain perbedaan ini berkaitan dengan
tipe rumah sakit. Engel et al (2006) melaporkan bahwa pada rumah sakit besar,
pasien sepsis cenderung berusia lebih muda. RUMKITAL Dr. Mintohardjo
merupakan rumah sakit tipe B dengan jumlah tempat tidur 256 buah termasuk
rumah sakit besar, sehingga kemungkinan pasien sepsis cenderung berusia lebih
muda.
Data jenis keparahan sepsis menunjukkan sebesar 19 pasien (73,1%)
mengalami sepsis, 3 pasien (11,5% ) mengalami sepsis berat dan 4 pasien (15,4%)
mengalami syok septik. Salah satu isu penting dalam terapi sepsis adalah apakah
keparahan sepsis berpengaruh pada pemilihan antibiotik. Tidak ada penelitian
randomized controlled trial (RCT) yang sudah dilakukan mengenai hal ini. Hal
yang sudah jelas adalah pada pasien yang mengalami syok septik, terapi dengan
antibiotik yang tidak efektif tidak dapat diterima. Konsekuensinya, rejimen
antibiotik untuk pasien syok septik harus efektif melawan bakteri patogen yang
dicurigai. Tetapi tidak ada bukti berapa level resistensi antibiotik yang masih bisa
diterima untuk terapi pasien sepsis (SWAB, 2010). Karena itu, evaluasi ketepatan
antibiotik dalam penelitian ini akan mengacu pada terapi secara umum tanpa
memandang keparahan pasien.
Data jenis terapi meropenem pasien yang didapat dari rekam medis dan
laporan rekapitulasi hasil kultur menunjukkan bahwa mayoritas pasien menerima
meropenem sebagai terapi empiris yaitu sebesar 24 pasien (92.3%). Banyaknya
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terapi empiris dikarenakan banyak uji kultur yang dilakukan memberikan hasil
negatif. Adapun pasien yang menerima meropenem sebagai terapi definitif sesuai
hasil kultur hanya 2 pasien (7.7%). Dari 26 rejimen meropenem yang termasuk
kriteria inklusi, tidak semuanya didukung oleh data kultur mikrobiologi. Sebanyak
6 pasien tidak melakukan uji kultur mikrobiologi. Adapun 20 pasien lain yang
melakukan hasil uji kultur mikrobiologi, memberikan hasil 9 kultur positif dan 11
kultur negatif. Kebanyakan uji kultur tersebut dilakukan setelah meropenem mulai
diberikan sehingga penggunaan meropenem dianggap sebagai terapi empiris.
Jikapun uji kultur dilakukan sebelum pemberian meropenem, hasil uji kultur
tersebut adalah negatif (tidak ada kuman yang tumbuh). Sekitar 50% hasil kultur
dari pasien sepsis adalah negatif (Phua et al, 2013). Ada beberapa kemungkinan
penyebab hasil negatif tersebut. Pertama, sensitivitas uji kultur mikrobiologi yang
rendah. Alasan yang bisa dikemukakan antara lain adalah adanya paparan
antibiotik sebelum dilakukan uji kultur mikrobiologi, kesalahan sampling, volume
darah yang tidak mencukupi untuk uji kultur mikrobiologi, kondisi pemindahan
sampel yang tidak baik, dan bakteri yang memiliki pertumbuhan sangat lambat
atau sangat cepat (Phua et al, 2013). Kedua, kemungkinan pasien yang memiliki
hasil kultur negatif tidak menderita sepsis karena bakteri. Sekitar 5% kasus sepsis
di ICU disebabkan oleh fungi (Phua et al, 2013). Dalam penelitian ini, hasil kultur
negatif diduga karena paparan antibiotik sebelum dilakukan uji kultur
mikrobiologi menyebabkan level bakteri dalam spesimen uji menurun sehingga
tidak terdeteksi. Kemungkinan lain adalah pasien tidak menderita sepsis karena
bakteri. Akan tetapi hal tersebut tidak bisa dipastikan karena tidak dilakukan
pemeriksaan untuk memastikan adanya penyebab lain seperti virus dan jamur.
Sebagai konsekuensi dari ketidaktepatan waktu uji kultur mikrobiologi dan hasil
negatif uji kultur mikrobiologi, maka meropenem dianggap sebagai terapi empiris.
Hanya 2 rejimen dari 26 rejimen yang dianggap sebagai terapi definitif karena
pemberian meropenem dilakukan setelah hasil kultur didapatkan.
Jenis sepsis yang dialami pasien dibedakan menjadi sepsis tanpa lokasi
infeksi yang jelas dan sepsis dengan lokasi infeksi yang dicurigai (SWAB, 2010).
Penelusuran jenis sepsis dari rekam medis menunjukkan bahwa nosocomial sepsis
(11 pasien, 42%) adalah jenis sepsis yang paling banyak dialami pasien.
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Banyaknya kejadian yang diidentifikasi sebagai nosocomial sepsis dikarenakan
tidak ada lokasi infeksi yang dicurigai, dan juga karena hasil kultur negatif.
Adapun sepsis dengan lokasi infeksi yang dicurigai yang paling banyak
ditemukan adalah hospital acquired pneumonia sepsis yaitu sebanyak 7 pasien
(27%). Pneumonia merupakan penyakit infeksi di saluran pernapasan. Hal ini
sesuai dengan penelitian oleh Engel et al (2007) yang menunjukkan bahwa
saluran pernapasan merupakan sumber infeksi sepsis yang paling banyak. Jenis
sepsis yang lain yang ditemukan pada pasien adalah Community acquired sepsis,
Intraabdominal sepsis (2 pasien, 8%), Community acquired pneumonia sepsis (1
pasien, 4%), dan Urosepsis (1 pasien, 4%).
Data komorbiditas pasien dikategorikan berdasarkan Charlson Comobidity
Index menggunakan kode International Classification of Disease (ICD-9) (Deyo
et al, 1992). Data yang didapatkan dari rekam medis menunjukkan bahwa
cerebrovascular disease menjadi komorbiditas yang paling banyak dialami pasien
yaitu sebesar 29%. Komorbiditas lain yang ditemukan antara lain renal disease
(23%), congestive heart failure (12%), diabetes with chronic complication (6%),
diabetes (23%) dan peripheral vascular disease (6%). Apabila digabungkan
antara diabetes dan diabetes with chronic complication didapatkan hasil
persentase sebesar 29% sehingga sama besar dengan cerebrovascular disease.
Martin (2009) melaporkan bahwa dari 12.000 pasien sepsis yang diteliti,
komorbiditas yang paling banyak ditemukan adalah diabetes. Pasien diabetes
memiliki beberapa kondisi kerusakan imun seperi penurunan cell-mediated
immunity dan fagositosis. Diabetes meningkatkan kecenderungan individu
terhadap kejadian infeksi serius dalam aliran darah dan resiko disfungsi organ
berkaitan dengan sepsis (Iskander et al, 2013). Komorbiditas yang meningkatkan
resiko kematian pada pasien sepsis antara lain kondisi supresi imun, kanker,
HIV/AIDS, gagal hati dan ketergantungan terhadap alkohol (Iskander et al, 2013)
Data keparahan sepsis pasien yang didapat dari rekam medis menunjukkan
bahwa mayoritas pasien mengalami sepsis yaitu sebanyak 19 pasien (73,1%)
diikuti syok septik 4 pasien (15,4%) dan sepsis berat 3 orang (11,3%). Lama
perawatan pasien berkisar antara 5-72 hari dengan rerata 20 hari. Angka ini
berbeda dengan Danai dan Martin (2005) yang melaporkan rerata 12 hari.
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jumlah obat yang diterima pasien selama perawatan paling banyak pada
kategori 10-20 obat. Rerata jumlah obat yang diterima per pasien adalah 13 obat.
Menurut Ernie dan Hafiz (2007), pemberian obat dengan jumlah berlebihan atau
lebih dari 4 jenis obat dikenal dengan polifarmasi. Berdasarkan hal ini, pola
penggunaan obat pada pasien sepsis dapat dikatakan polifarmasi. Polifarmasi
sering menimbulkan interaksi obat, baik yang bersifat meningkatkan maupun
meniadakan efek obat. Interaksi obat yang ditimbulkan dapat menyebabkan efek
samping obat atau efek yang tidak diinginkan (Pillians, 2006).
Jumlah antibiotik yang diterima pasien selama perawatan terbanyak pada
3-4 antibiotik. Rerata jumlah antibiotik yang diterima pasien adalah 3 antibiotik.
4.2.2. Peta Resistensi Mikroorganisme
Antibiotik yang digunakan dalam pembuatan peta resistensi
mikroorganisme dapat dikelompokkan berdasarkan struktur kimianya, antara lain:
a. Golongan β-laktam, antara lain golongan penisilin: ampisilin, amoksisilin
sulfat, dan penisilin-tazobactam; golongan sefalosporin generasi 2:
sefrozil; golongan sefalosporin generasi 3: seftriakson, seftazidim,
sefotaksim, sefoperazon dan seftizoksim; dan golongan karbapenem:
meropenem dan imipenem
b. Golongan aminoglikosida, antara lain: gentamisin, amikasin sulfat,
kanamisin, dan netilmisin
c. Golongan kuinolon, antara lain fluoroquinolon generasi 2: siprofloksasin,
ofloksasin, levofloksasin dan kuinolon sintetik yaitu asam nalidiksat
d. Golongan glikopetida, yaitu vankomisin
e. Golongan makrolida, yaitu eritromisin
f. Golongan lain-lain, yaitu tetrasiklin, kloramfenikol, fosfomisin dan
linkomisin
Antibiotik tersebut digunakan untuk uji resistensi bakteri sesuai dengan
spektrum antibakteri masing-masing, dimana terdapat beberapa antibiotik yang
aktif pada bakteri gram negatif saja dan tidak efektif terhadap bakteri gram positif
maupun sebaliknya.
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Spesimen yang paling banyak digunakan adalah darah, sebanyak 185
spesimen (40,30%). Dari 185 spesimen hanya 25 spesimen (13,51%) memberikan
hasil positif, sedangkan 160 spesimen (86,49%) memberikan hasil steril atau tidak
terdapat pertumbuhan kuman. Bakteri yang ditemukan di darah menunjukkan
bahwa infeksi bakteri telah bersifat sistemik dan menyebar ke organ lain atau
bakteremia (Naber, 2009). Spesimen yang paling banyak memberikan hasil positif
adalah sputum, dimana dari 52 spesimen sputum semuanya memberikan hasil
positif (100%).
Bakteri yang paling banyak ditemukan dari spesimen yang diuji adalah
bakteri kelompok Coliform dan Eschericia coli yaitu pada 37 kultur spesimen
(21,90%) ditemukan bakteri Coliform dan pada 34 kultur spesimen (20,11%)
ditemukan bakteri Eschericia coli. Hasil ini tidak berbeda dengan pengamatan
peta resistensi mikroorganisme di RUMKITAL Dr. Mintohardjo pada tahun 2012
yang dilakukan Fathni (2009). Coliform merupakan bakteri gram negatif batang
yang terdiri dari beberapa jenis bakteri, salah satunya Eschericia coli. Bakteri
Eschericia coli dalam uji resistensi ini dipisahkan karena dapat dibedakan dari
bakteri lainnya yang termasuk kelompok Coliform. Bakteri yang banyak
ditemukan setelah Eschericia coli adalah Staphylococcus aureus yaitu sebanyak
24 kultur spesimen (14,20%). Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram
positif yang tidak selalu patogen namun dapat menyebabkan berbagai penyakit
infeksi, mulai dari infeksi kulit hingga bakteremia (Fathni, 2012). Banyaknya
bakteri Eschericia coli dan Staphylococcus aureus di RUMKITAL Dr.
Mintohardjo menunjukkan bahwa resiko sepsis tergolong tinggi. Eschericia coli
merupakan bakteri gram negatif yang paling banyak diisolasi dari pasien sepsis,
sedangkan Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang paling
banyak diisolasi dari pasien sepsis (DiPiro, 2008).
Data peta resistensi bakteri terhadap antibiotik memperlihatkan bahwa
kebanyakan bakteri, baik gram positif maupun negatif sudah resisten terhadap
kebanyak antibiotik yang digunakan dalam uji resistensi. Kelompok bakteri
Coliform yang paling banyak ditemukan di lingkungan RUMKITAL Dr.
Mintohardjo sudah resisten terhadap 17 jenis antibiotik dari 20 antibiotik yang
digunakan untuk uji resistensi Coliform. Coliform masih sensitif kepada antibiotik
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
amikasin sulfat, siprofloksasin dan fosfomisin. Eschericia coli yang merupakan
bakteri gram negatif yang banyak ditemukan pada pasien sepsis sudah resisten
terhadap 16 jenis antibiotik dari 20 antibiotik yang digunakan untuk uji resistensi
Eschericia coli. Eschericia coli masih sensitif terhadap antibiotik amikasin sulfat,
fosfomisin, imipenem, dan meropenem. Staphylococcus aureus yang merupakan
bakteri gram positif yang banyak ditemukan pada pasien sepsis sudah resisten
terhadap 16 jenis antibiotik dari 19 antibiotik yang digunakan untuk uji resistensi
Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus masih sensitif terhadap amikasin,
fosfomisin, dan imipenem.
Meropenem sebagai antibiotik berspektrum luas dapat bekerja pada bakteri
gram positif dan gram negatif. Data peta resistensi menunjukkan bahwa
meropenem sudah tidak efektif untuk melawan bakteri gram positif yang
ditemukan di RUMKITAL Dr. Mintohardjo yaitu Staphylococcus aureus (60%
resisten) dan Streptococcus sp (58% resisten). Pada kelompok bakteri gram
negatif, meropenem sudah resisten terhadap Pseudomonas sp (53% resisten),
Alkaligenes faecalis (60% resisten), Coliform (53% resisten). Meropenem masih
efektif terhadap Eschericia coli (12% resisten), Proteus sp (40% resisten) dan
Aerobacter sp (33% resisten). Dibandingkan dengan meropenem, beberapa
antibiotik yang lebih efektif antara lain amikasin, imipenem dan fosfomisin.
Amikasin masih efektif terhadap Streptococcus sp (20% resisten), Pseudomonas
sp (23% resisten), Coliform (46% resisten), Eschericia coli (12% resisten),
Proteus sp (27% resisten) dan Aerobacter sp (50% resisten). Imipenem masih
efektif terhadap Staphylococcus aureus (20% resisten), Streptococcus sp (37%
resisten), Pseudomonas sp (27% resisten), Eschericia coli (24% resisten), dan
Aerobacter sp (50% resisten). Data laporan peta resistensi bakteri dapat dlihat di
lampiran 4.
Ditinjau dari data yang diperoleh, tingkat resistensi berbagai bakteri yang
ditemukan di lingkungan RUMKITAL Dr. Mintohardjo sudah sangat tinggi. Di
RUMKITAL Dr. Mintohardjo, uji kultur mikrobiologi dilakukan apabila pasien
menerima antibiotik empiris namun tak kunjung sembuh. Selain itu, hasil uji
kultur mikrobiologi baru bisa diperoleh setelah kurang lebih 6 hari, sehingga
penggunaan antibiotik empiris pun semakin panjang. Penggunaan antibiotik
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam jangka waktu panjang diduga menyebabkan resistensi bakteri terhadap
antibiotik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo. Strategi yang bisa dilakukan untuk
mengontrol resistensi antibiotik antara lain melakukan pengawasan resistensi,
mengontrol higienitas untuk membatasi penyebaran strain tunggal dan membatasi
penggunaan antibiotik termasuk merotasi atau cycling penggunaan antibiotik
(Weinstein, 2001). Cycling adalah penggantian golongan antibiotik (atau
antibiotik tertentu dari sebuah golongan) dengan golongan antibiotik lain (atau
antibiotik lain dari kelas tersebut) yang menunjukkan spektrum aktivitas yang
sesuai (Brown dan Nathwani, 2004). Strategi lain yang bisa dilakukan adalah stop
order policy. Secara sederhana, stop order policy menyaratkan penulis resep
untuk menentukan durasi setiap antibiotik yang diresepkan, baik untuk terapi atau
profilaksis. Tujuan dari stop order policy adalah untuk membatasi durasi
penggunaan antibiotik yang diperpanjang untuk terapi dan profilaksis (Brown,
2005).
4.2.3. Evaluasi Antibiotik Meropenem
Pada penelitian ini, pedoman yang digunakan untuk menganalisis antara
lain International Guideline for Management Severe Sepsis and Septic Shock:
2012, Peta Kuman RUMKITAL Dr. Mintohardjo dan literatur terkait lainnya.
Aspek individu setiap pasien dan profil resistensi bakteri di lingkungan rumah
sakit juga berperan dalam pemilihan obat yang tepat (Bugano et al, 2008). Karena
itu, dalam menganalisis kerasionalan meropenem pada penelitian ini bersifat
individualistik antar pasien tergantung pada penyebab sepsis dan kondisi pasien.
Rekapitulasi data pasien dan rekapitulasi hasil evaluasi pasien dapat dilihat pada
lampiran 2 dan lampiran 3. Evaluasi dilakukan menggunakan alur Gyssens yang
dimulai dari kelengkapan data (kategori VI) dan berlanjut ke parameter-parameter
evaluasi lain hingga terakhir adalah rasional (kategori 0).
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 15% regimen penggunaan
meropenem adalah rasional (kategori 0) dan sebanyak 85% regimen penggunaan
meropenem tidak tepat (kategori I-V). Hasil ini sedikit lebih tinggi dibandingkan
dengan Rosita (2013) yang melakukan evaluasi penggunaan meropenem di
Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Jombang dengan penggunaan rasional
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebesar 7,1% dan tidak rasional 92,9%. Perbedaan ini diperkirakan terjadi karena
perbedaan ruang lingkup, waktu, tempat dan metode penelitian. Penelitian ini
dilakukan dengan metode retrospektif, sedangkan penelitian Rosita (2013)
dilakukan secara prospektif. Penelitian secara prospektif memberikan kesempatan
peneliti untuk mengkonfirmasi jika ditemukan masalah penggunaan antibiotika
dengan penulis resep sebelum membuat penilaian, karena sumber acuan yang
berbeda dapat menyebabkan penilaian yang berbeda (Pamela, 2011).
Ketidakrasionalan rejimen penggunaan meropenem pada penelitian ini
sebesar 85%. Sebanyak 19 rejimen yang termasuk tidak rasional diperinci menjadi
34 hasil evaluasi, meliputi kategori IIA (dosis tidak tepat) sebesar 9%, kategori
IIB (interval tidak tepat) sebesar 24%, kategori IIIA (pemberian terlalu lama)
sebesar 6%, kategori IVA (ada alternatif yang lebih efektif) sebesar 49%, kategori
IVD (spektrum alternatif lebih sempit) sebesar 3% dan kategori VI (data tidak
lengkap) sebesar 9%. Rekapitulasi hasil evaluasi dapat dilihat pada lampiran 3.
Pada hasil penelitian ini tidak terdapat hasil evaluasi kategori IVB
(alternatif lebih tidak toksik), IVC (alternatif lebih murah) dan kategori IIC (rute
tidak tepat). Ketiadaan hasil evaluasi kategori IVB dikarenakan meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan
orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima (Mohr, 2008).
Selain itu potensi interaksi obat meropenem tidak terlalu banyak. Meropenem
dilaporkan berinteraksi secara spesifik hanya dengan probenesid dan asam
valproat (Baldwin, 2008). Berdasarkan penelusuran data rekam medis, tidak
satupun obat yang diberikan kepada pasien berinteraksi dengan meropenem
sehingga tidak ada toksisitas yang mungkin terjadi.
Adapun ketiadaan hasil evaluasi berupa kategori IVC karena semua pasien
dalam penelitian ini merupakan pasien BPJS yang tidak menanggung biaya
pengobatan secara pribadi. Hal ini mengacu pada Pamela (2011), dimana apabila
harga antibiotik yang diterima termasuk mahal dan ada alternatif lebih murah
tetapi tidak ditanggung oleh jaminan kesehatan yang diikuti pasien, maka
antibiotik tersebut termasuk dalam kategori IVC. Sedangkan apabila harga
antibiotik termasuk mahal dan ada alternatif lebih murah tetapi ditanggung
jaminan kesehatan, maka antibiotik tersebut tidak termasuk dalam kategori IVC.
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Meskipun biaya pengobatan tidak ditanggung secara pribadi, tetapi ada baiknya
dilakukan penggantian antibiotik dari meropenem yang hanya tersedia dalam
bentuk sediaan parenteral menjadi antibiotik lain dalam bentuk sediaan oral
apabila memungkinkan. Beberapa kriteria berikut dapat dijadikan acuan untuk
penggantian dari antibiotik parenteral ke antibiotik oral (Arnold F, 2004):
a. Tidak ada indikasi terapi intravena, misalnya meningitis, endokarditis, dan
neutropenia
b. Tidak ada indikasi klinis mengenai saluran obat yang abnormal di saluran
cerna, misalnya diare
c. Pasien tidak demam paling tidak selama 8 jam
d. Tanda dan gejala klinis infeksi membaik
e. Jumlah sel darah putih normal
Berdasarkan hasil evaluasi, semua pasien menerima meropenem dengan
cara/rute pemberian yang sudah tepat. Ada dua cara pemberian antibiotik
meropenem yang dilakukan kepada pasien, yaitu injeksi bolus intravena dan drip
(infus) dalam NaCl 0,9%. Meropenem yang direkonstitusi dengan NaCl stabil
dalam selama 10 jam dalam ruangan yang terkontrol suhunya antara 15-25 ◦C dan
48 jam dalam suhu 4 ◦C (Baldwin, 2008). Meropenem merupakan time dependent
antibiotic, dimana aktivitas antibakterinya berhubungan dengan waktu konsentrasi
terjaga di atas MIC (minimum inhibitory concentration) selama interval dosis.
Untuk time dependent antibiotic, infus kontinu dilaporkan dapat mengoptimalisasi
pencapaian target farmakodinamik di dalam plasma (Roberts, et al, 2009).
Roberts et al (2009) melakukan randozimed trial terhadap pasien untuk menerima
meropenem secaa IV bolus dan infus kontinu dengan dosis yang sama yaitu 1
gram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infus kontinu dapat menjaga
konsentrasi meropenem dalam plasma dan jaringan subkutan jauh lebih tinggi
daripada IV bolus.
a. Kategori VI (Data Rekam Medis Tidak Lengkap)
Berdasarkan alur Gyssens, evaluasi penggunaan antibiotik pertama kali
ditinjau dari kelengkapan data penggunaan antibiotik tersebut. Apabila data
penggunaan antibiotik tidak lengkap maka analisis berhenti pada kategori VI.
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Suatu rekam medis yang masuk pada kategori VI memiliki kelengkapan form
sebagaimana tertuang dalam PERMENKES RI NOMOR
269/MENKES/PER/III/2008, tetapi tidak memiliki kelengkapan data yang
dibutuhkan untuk evaluasi antibiotik. Kelengkapan yang dimaksud dalam hal ini
adalah pencatatan penggunaan antibiotik meliputi rejimen dosis, interval, rute dan
waktu pemberian. Hasil penelitian menunjukkan dari 26 data rekam medis yang
akan dievaluasi, sebanyak 3 rekam medis (9%) tidak memiliki data rekam medis
yang lengkap. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan Gyssens (2001) yang
menyebutkan 10% regimen terapi tidak dapat dievaluasi karena data yang tidak
mencukupi. Ketiga rekam medis yang termasuk kategori VI ini (nomor 16, 21,22)
tidak memiliki pencatatan waktu pemberian obat yang lengkap. Ketiga rekam
medis yang termasuk kategori VI tidak dapat dievaluasi lebih lanjut sehingga
tersisa 23 data yang bisa dievaluasi lebih lanjut.
b. Kategori IVA (Alternatif Lebih Efektif)
Alur Gyssens selanjutnya adalah apakah antibiotik tersebut diindikasikan.
Untuk mengevaluasi hal ini bisa ditinjau dari hasil diagnosis dan data
laboratorium pasien. Berdasarkan data rekam medis, semua pasien terdiagnosis
sepsis dan mengalami peningkatan leukosit sehingga diindikasikan untuk
menerima antibiotik. Alur selanjutnya adalah apakah ada alternatif yang lebih
efektif. Untuk menganalisis hal ini, diperlukan informasi mengenai penyebab
sepsis pada pasien dan pola resistensi bakteri di rumah sakit. Bakteri adalah
mikroorganisme penyebab sepsis paling umum (Phua et al, 2013), sehingga
diperlukan uji kultur mikrobiologi untuk mengetahui bakteri apa yang
menyebabkan sepsis. Surviving Sepsis Campaign juga merekomendasikan uji
kultur mikrobiologi terhadap darah pasien sebelum memulai terapi antibiotik.
Seperti yang telah dibahas pada bagian karakteristik pasien, hanya 2
rejimen dari 26 rejimen yang bersifat terapi definitif. Kedua rejimen tersebut
adalah kasus 9 dan 18. Pada kasus 9, diketahui hasil uji kultur urin pasien positif
Alkaligenes faecalis. Berdasarkan peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo
tahun 2014, tingkat resistensi Alkaligenes faecalis terhadap meropenem sebesar
60% sehingga bisa dikatakan meropenem sudah tidak efektif lagi. Terdapat
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
alternatif yang lebih efektif dibandingkan meropenem terhadap Alkaligenes
faecalis yaitu fosfomisin dan siprofloksasin dengan tingkat resistensi berurutan
sebesar 40% dan 47%. Dengan adanya alternatif yang lebih efektif ini maka
rejimen penggunaan meropenem pada kasus 9 dianggap termasuk kategori IVA.
Luciana et al (2015) menyatakan bahwa antibiotik untuk mengobati sepsis
tergantung dari lokasi infeksi. Stichting Werkgroep Antibioticabeleid (SWAB),
sebuah badan yang mengurus kebijakan antibiotik di Belanda membagi terapi
antibiotik empiris sepsis menjadi dua yaitu terapi untuk sepsis tanpa lokasi infeksi
yang jelas dan terapi untuk sepsis dengan adanya lokasi infeksi yang dicurigai
(SWAB, 2010). Contoh kasus untuk sepsis dengan adanya infeksi lokasi yang
dicurigai adalah intraabdominal sepsis (kasus 1). Diketahui pasien didiagnosis
peritonitis, yaitu suatu kondisi respon inflamasi akut lapisan peritonium dimana
kondisi tersebut memungkinkan terjadinya abses peritonium yang memudahkan
bakteri untuk menginfeksi. Study for Monitoring Antimicrobial Resistance Trends
(SMART) pada tahun 2004 melaporkan bahwa Eschericia coli merupakan bakteri
yang banyak diisolasi dari intraabdomen 5731 pasien (Rossi et al, 2006).. Secara
umum, meropenem dan amikasin dianggap agen yang paling aktif melawan
Eschericia coli (Bugano et al, 2008). Mengacu pada peta resistensi bakteri di
RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, meropenem masih efektif melawan
Eschericia coli dengan resistensi hanya sebesar 12%. Dengan demikian maka
rejimen meropenem pada kasus 1 tidak termasuk kategori IVA.
Contoh kasus untuk nosocomial sepsis adalah kasus 12. Dengan hasil
kultur negatif dan tidak terdapat penyakit infeksi yang menyertai, maka analisis
keefektifan mengacu pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo
tahun 2014. Berdasarkan peta resistensi, lima dari delapan bakteri yang ditemukan
di lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa
antibiotik yang lebih efektif antara lain amikasin dan imipenem yang masih
efektif terhadap enam bakteri. Menurut Gilbert et al (2010), pembatasan
penggunaan antibiotik untuk mencegah perkembangan resistansi bakteri atau
mengurangi biaya tidak sesuai untuk pasien sepsis atau syok septik. Dengan
demikian rejimen meropenem pada kasus 12 termasuk kategori IVA.
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Contoh kasus untuk community acquired sepsis adalah kasus 10. Pasien
didiagnosis sepsis saat pertama kali masuk rumah sakit. Terdapat enam penelitian
prospektif randomized clinical trial (RCT) membandingkan keamanan dan efikasi
dari karbapenem (imipenem atau meropenem), sefalosporin generasi ketiga
(seftazidim, sefotaksim dikombinasi dengan metronidazole, dan piperacilin-
tazobactam. Hasil RCT menunjukkan tidak ada yang terbukti lebih superior satu
sama lain (Bugano et al, 2008). Mengacu pada hal ini maka kasus 10 tidak
termasuk dalam kategori IVA.
Adanya kejadian alternatif lebih efektif paling banyak pada kasus
nosocomial sepsis dimana amikasin, imipenem dan fosfomisin merupakan
antibiotik yang lebih efektif dibandingkan dengan meropenem. Hal ini mengacu
kepada data peta resistensi, dimana meropenem hanya efektif terhadap empat dari
delapan bakteri sedangkan amikasin, imipenem masih efektif terhadap lima dari
delapan bakteri dan fosfomisin masih efektif terhadap semua bakteri. Pada semua
kasus hospital acquired pneumonia sepsis juga didapatkan bahwa ada alternatif
yang lebih efektif daripada meropenem yaitu levofloksasin.
Setelah dilakukan analisis efektivitas pada 23 rejimen meropenem,
sebanyak 17 rejimen termasuk dalam kategori IVA.
c. Kategori IVD (Spektrum Alternatif Lebih Sempit)
Terdapat satu rejimen dari 23 rejimen yang dianalisis termasuk dalam
kategori IVD yaitu kasus 18. Hasil uji kultur bakteri dengan spesimen urin pasien
positif Eschericia coli yang merupakan bakteri gram negatif. Netilmisin
merupakan antibiotik yang bekerja pada lebih banyak gram negatif dibandingkan
dengan gram positif.
Penggunaan antibiotik berspektrum luas memiliki kerugian. Menurut
Gyssens (2001), pemilihan antibiotik berspektrum luas dengan waktu paruh
panjang dengan alasan kenyamanan akan mempercepat resistensi antibiotik
tersebut di rumah sakit. Sedangkan mempersempit spektrum antibiotik dan
mengurangi durasi terapi akan menurunkan kecenderungan perkembangan
superinfection dengan patogen lain atau organisme lain yang sudah resisten
(Dellinger et al, 2012)
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
d. Kategori IIIA (Pemberian Terlalu Lama)
Terdapat dua rejimen dari 23 rejimen yang dianalisis yang termasuk dalam
kategori IIIA yaitu kasus 9 dan 14. Berdasarkan data pemberian obat di rekam
medis, pasien nomer 9 menerima antibiotik meropenem selama 30 hari.
Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign, rejimen antibiotik harus dievaluasi
setiap hari untuk menilai kemungkinan de-eskalasi ke antibiotik yang lebih sesuai.
Menurut Soedarno (2008) apabila antibiotik tidak memberikan respon setelah tiga
hari, maka harus dievaluasi kemungkinan komplikasi, sumber infeksi lain,
resistensi terhadap antibiotika atau kemungkinan salah pemberian diagnosis.
Menurut Gyssens (2001) pemberian antibiotik jangka panjang tidak berarti akan
memberikan efek lebih baik daripada pemberian jangka pendek.
e. Kategori IIA (Dosis Tidak Tepat)
Meropenem sebagian besar diekskresi melalui ginjal, sehingga klirens
plasma meropenem menurun pada kondisi kerusakan ginjal. Studi farmakokinetik
menunjukkan bahwa klirens plasma meropenem berhubungan dengan klirens
kreatinin serum sehingga penyesuaian dosis disyaratkan pada pasien dengan
klirens kreatinin <51 mL/menit (Baldwin, 2008). Hasil evaluasi menunjukkan
terdapat tiga rejimen dengan dosis yang tidak tepat yaitu pada kasus 2, 4, dan 13
Pada kasus 2, diketahui pasien mengalami peningkatan kreatinin serum pada hari
penggunaan meropenem. Setelah dihitung klirens kreatinin pasien didapatkan
angka 16,8 mL/menit, sehingga pasien membutuhkan penyesuaian dosis hingga
separuh dari dosis awal.
f. Kategori IIB (Interval Tidak Tepat)
Terdapat delapan rejimen dari 22 rejimen yang dianalisis yang termasuk
kategori IIB. Mayoritas rejimen yang masuk dalam kategori IIB adalah rejimen
yang diterima pasien dengan peningkatan kreatinin serum yang seharusnya
membutuhkan penyesuaian interval. Contoh rejimen yang termasuk dalam
kategori IIB adalah kasus 14. Pada kasus 14, kreatinin klirens pasien menyentuh
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
angka 47,2 mL/menit sehingga membutuhkan penyesuaian interval menjadi 12
jam.
g. Kategori 0 (rasional)
Setelah dianalisis melewati alur Gyssens mulai dari kelengkapan data
hingga waktu pemberian, apabila rejimen tidak termasuk kategori V hingga I
maka rejimen tersebut dinyatakan sebagai rejimen yang rasional. Terdapat empat
rejimen dari 22 rejimen yang dianalisis yang termasuk kategori 0. Contoh rejimen
yang termasuk kategori 0 adalah kasus 1. Pasien didiagnosis sepsis dan diduga
terjadi karena infeksi intraabdomen. Data pasien lengkap untuk dievaluasi
sehingga evaluasi bisa terus dilakukan. Setelah meninjau aspek pemilihan
antibiotik, dosis, interval dan rute, lama pemberian serta waktu, rejimen
meropenem pada pasien 1 diniliai tepat. Sehingga hasil evaluasi untuk rejimen
pasien 1 termasuk kategori 0 (tepat). Rekapitulasi hasil evaluasi pasien dapat
dilihat di lampiran 3.
Berdasarkan pada permasalahan yang ditemukan, peneliti mengusulkan
agar pada pemberian meropenem lebih diatur dalam hal pemilihannya sebagai
terapi empiris. Meropenem merupakan salah satu antibiotik yang menjadi pilihan
utama dan pertahanan terakhir untuk terapi berbagaia infeksi serius (Ayalew et al,
2003). Namun demikian, kini penggunaan meropenem terancam oleh munculnya
beberapal laporan kasus resistensi. Adanya resistensi berbagai strain P.
aeruginosa, Acinetobacter sp, dan Enterobacteriaceae penghasil ESBL telah
dilaporkan oleh Hong et al (2005) dan Wolter et al (2008). Dilihat dari data peta
resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo, lima dari delapan bakteri yang biasa
ditemukan di lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Di
antara bakteri tersebut adalah Coliform, yang merupakan bakteri yang paling
banyak ditemukan di lingkungan rumah sakit. Apabila ketidakrasionalan
penggunaan meropenem terus berlanjut, dikhawatirkan resistensi akan terus
berkembang sehingga tidak satupun bakteri sensitif terhadap meropenem.
Peneliti mengusulkan agar setiap pengambilan sampel untuk uji kultur
sebaiknya dilakukan juga pewarnaan gram. Pewarnaan gram hanya membutuhkan
waktu satu hari, sedangkan uji kultur membutuhkan waktu 4-7 hari untuk
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mendapatkan hasilnya. Pewarnaan gram akan berguna untuk mengetahui jenis
bakteri yang menginfeksi, sehingga dapat dipilih antibiotik yang masih efektif
terhadap jenis bakteri tersebut dan mempunyai spektrum yang lebih sempit. Selain
itu, untuk menurunkan tingkat resistensi meropenem pada bakteri tertentu
sebaiknya dalam waktu berkala dilakukan strategi stop order policy, cycling atau
metode lainnya.
Dalam penelitian ini ditemukan banyak masalah berkaitan dengan dosis
dan interval yang tidak tepat. Kemungkinan hal ini karena kurangnya perhatian
dokter terhadap farmakokinetika meropenem. Pengetahuan tentang
farmakodinamik dan farmakokinetika dapat diterapkan untuk mendesain rejimen
yang lebih baik, memaksimalkan manfaat, menurunkan toksisitas dan resiko
resistensi serta menurunkan biaya (Pamela, 2011).
4.3. Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian
4.3.1. Kekuatan Penelitian
Penelitian ini memiliki kekuatan, antara lain:
1. Penelitian ini belum pernah dilakukan di RUMKITAL Dr. Mintohardjo
Jakarta Pusat
2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai rekomendasi dalam menetapkan
panduan penggunaan meropenem pada pasien sepsis.
4.3.2. Keterbatasan Penelitian:
Penelitian yang dilakukan memiliki beberapa keterbatasan, antara lain:
1. Adanya keterbatasan data yang dapat diperoleh dari rekam medis pasien
2. Penelitian bersifat retrospektif, sehingga penulis tidak dapat melihat
kondisi pasien yang sebenarnya dan tidak dapat mengkonfirmasi mengenai
rejimen meropenem yang diterima kepada penulis resep. Terdapat
kemungkinan perbedaan literatur yang dipakai sehingga hasil analisis pun
bisa berbeda.
59 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
1. Pasien yang diamati berjumlah 26 pasien, dengan karakteristik jenis sepsis
paling banyak ditemukan adalah nosocomial sepsis sebanyak 11 pasien
(42%), komorbiditas cerebrovascular disease sebanyak 5 pasien (29%),
rerata lama perawatan 20 hari, jumlah obat yang diterima 13 obat dan
jumlah antibiotik yang diterima 3 antibiotik.
2. Pasien yang menerima meropenem sebagai terapi empiris sebanyak 24
pasien (92,3%) dan terapi definitif sebanyak 2 pasien (7,7%).
3. Tingkat resistensi berbagai bakteri yang ditemukan di lingkungan
RUMKITAL Dr. Mintohardjo sudah sangat tinggi. Meropenem efektif
terhadap 3 dari 8 bakteri yaitu Eschericia coli (12% resisten), Proteus sp
(40% resisten) dan Aerobacter sp (33% resisten). Antibiotik yang lebih
efektif dibandingkan meropenem yaitu amikasin, fosfomisin dan
imipenem.
4. Penggunaan meropenem yang rasional (kategori 0) sebesar 15% dan yang
tidak rasional (kategori I-VI) sebesar 85% dengan rincian kategori IIA
(dosis tidak tepat) sebesar 9%, kategori IIB (interval tidak tepat) sebesar
24%, kategori IIIA (pemberian terlalu lama) sebesar 6%, kategori IVA
(alternatif lebih efektif) sebesar 49%, kategori IVD (spektrum aktivitas
lebih sempit) sebesar 3% dan kategori VI (data tidak lengkap) sebesar 9%.
5. Penggunaan antibiotik meropenem pada pasien sepsis di RUMKITAL Dr.
Mintohardjo tahun 2014 masih banyak yang tidak rasional dan diperlukan
upaya peningkatan kualitas penggunaannya.
5.2. Saran
1. Penggunaan meropenem sebaiknya dilakukan berdasarkan hasil uji kultur
mikrobiologi dan sebaiknya dilakukan juga uji pewarnaan gram untuk
mendapatkan gambaran bakteri penyebab sepsis yang lebih cepat
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Untuk mencegah resistensi bakteri terhadap meropenem yang semakin
berkembang sebaiknya dilakukan kebijakan stop order policy dan cycling
serta dilakukan evaluasi secara berkala terhadap penggunaan antibiotik
meropenem di RUMKITAL Dr. Mintohardjo
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
AMRIN-study group. (2005). Penggunaan Antibiotik di RS Dr Soetomo Surabaya dan
RSUP Dr. Kariadi Semarang. Directorate General of Medical Care
Arnold, F. W,. (2004). Improving Antimicrobial Use: Longitudinal Assesment of an
Antimicrobial Team Including a Clinical Pharmacist. J Manag Care Farm.
2004;10(2): 152-58
Ayalew K, Sumati, N., Yuliya, Barbara AJ. (2003). Carbapenems in Pediatrics. J Ther
Drug Monit, 25(5): 593-599
Baldwin, Claudine M., Lyseng-Williamson Katherine A., dan Susan J. Kean. (2008).
Meropenem: A Review of its Use in the Treatment of Serious Bacterial Infections.
Drugs 2008: 68 (6): 803-838
Bone, R. C., Balk, R.A., Cerra, F.B., Dellinger, R.P., et al (1992). Definitions of
Sepsis and Organ Failure and Guidelines for the Use of Innovative Therapies of
Sepsis. Chest 1992;101;1644-1655
Brown, Erwin (2005). Intervention to Optimise Antibiotic Prescribing in Hospital.
Dalam: Gould, I.M., Van der Meer, Antibiotic Policies Theory and Practice. New
York: Kluwer Academic Publisher h158-184
Brown, Erwin., Nathwani, Dilip (2005). Antibiotic Cycling or Rotation: a Systematic
Review of the Evidence of Efficacy. Journal of Antimicrobial Chemotherapy
(2005) 55, 6–9
Brun-Buisson, C., Doyon, F., Carlet, J., et al. (1995). Incidence, Risk Factors, and
Outcome of Severe Sepsis dan Septic Shock in Adults: Multicenter Prospective
Study in Intensive Care Unit. JAMA vol 274: 12
Brunton, Laurence L., Lazo, John S., Parker, Keith L. (2006). Goodman & Gilman
The Pharmacological Basis of Therapeutic 11th edition. New York: McGraw-Hill
Bugano, D.D.Z., Camargo, L.F.A., et al (2008). Antibiotic Management of Sepsis:
Current Concept. Expert Opin. Pharmacother 9(16)
Craig, William A. (1997). The Pharmacology of Meropenem, A New Carbapenem
Antibiotic. Clinical Infectious Diseases; 24(Suppl 2):S266-75
Danai, P., Martin, G. (2005). Epidemiologi of Sepsis: Recent Advances. Current
Infectious Disease Reports 7: 329-334
Dellinger, R. Phillip, Mitchell M. Levy, Andrew Rhodes, Djillali Annane, Herwig
Gerlach, et al. (2012). Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for
62
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Surviving Sepsis
Campaign.
Deyo, Richard A., Cherkin, Daniel C., Ciol, Marcia A. (1992). Adapting a Clinical
Comorbidity Index for Use with ICD-9-CM Administrative Databases. J Clin
Epidemiol Vol. 45, No. 6, pp. 613619, 1992
DiPiro, J.T (2008). Pharmacotherapy: A Patophysiologic Approach 7th Edition. New
York: McGraw-Hill
Engel, C., Brunkhorst, F., et al (2006) Epidemiology of Sepsis in Germany: results
from a national prospective multicenter study. Intebsive Care Med 33: 606-618
Ernie, HP., Hafiz, Ida (2007). Pemberian Obat Secara Polifarmasi pada Anak dan
Interaksi Obat yang Ditimbulkan. Media Litbang Kesehatan XVII Nomor 1
Tahun 2007
Fathni, Rafika (2012). Kerasionalan Penggunaan Antibiotik Profilaksis Laparotomi di
Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat Tahun 2012.
Universitas Indonesia
Gilbert DN, Moellering RC., et al (2010) The Sanford Guide to Antimicrobial Therapy
40th ed. Antimicrobial Therapy, Inc. Sperryville VA
Gunawan, Sulistia G., Rianto, S., Nafrialdi, dan Elizabeth. (2007) Farmakologi dan
Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Gyssens, IC. Van der Meers JWM. (2001). Quality of Antimicrobial Drug Prescription
in Hospital. Clinical Microbiology Infection Vol 7 Suppl 6
Gyssens, IC. (2005) Audit for Monitoring the Quality of Antimicrobial Drug
Prescription in Hospital. Dalam: Gould, I.M., Van der Meer, Antibiotic Policies
Theory and Practice. New York: Kluwer Academic Publisher h197-226
Hong, T. Molland, ES. Abdalhamid, B;, et al (2005). Eschericia coli: Development of
Carbapenem Resistance during Therapy. Clin Infect Dis 40:84-86
Iskander, Kendra N., Osuchowski, Marcin F., Stearns-Kurosawa, Deborah J., et al
(2013). Sepsis: Multiple Abnormalities, Heterogenous Response, anda Evolving
Understanding. Physiol Rev. 2013 Jul; 93(3): 1247–1288.
Jawetz, E. (1997). Principle of antimicrobial drug action, basic and clinical
pharmacology, Third edition. Appleton and Lange
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia no. 2406/MENKES/PER/XII/2011. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia
63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lestari, W., Almahdy A., Zubir A. Nasrul, Darwin, D. (2011). Studi Penggunaan
Antibiotik Berdasarkan Sistem ATC/DDD dan Kriteria Gyssens di Bangsal
Penyakit Dalam RSUP. Dr. M. Djamil Padang.
Levy, Mitchell M., Fink, Mitchell P., Marshall, John C., et al. (2003). 2001
SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference.
Intensive Care Med (2003) 29:530-538
Lowe, Matthew N., Lamb, Harriet M. 2000. Meropenem, An Updated review of its
Use in the Management of Intra-Abdominal Infections. Drugs Sep: 60 (3): 619-
646.
Luciana, Andrajati, R., Rianti, A., Khan, Amir H. (2015). Rational Antimicrobial Use
in an Intensive Care Unit in Jakarta: Hospital-Based, Cross-sectional Study. Trop
J Pharm Res, April 2015; 14(4): 707.
Mardiastuti, H.W., Anis Karuniawati, Ariyani Kiranasari, Ikaningsih, Retno Kadarsih.
2007. Emerging Resistance Pathogen: Situasi Terkini di Asia, Eropa, Amerika
Serkat, Timur Tengah dan Indonesia. Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 3.
Martin, G., Brunkhorst, Frank M., Janes, Jonathan M., et al (2009). The International
PROGRESS Registry of Patients With Severe Sepsis: drotregogin alfa (activated)
use and patient outcomes. Critical Care 2009 13:R103
Mohr, John. F., (2008) Update on Efficacy and Tolerability Meropenem in The
Treatment of Serious Bacterial Infection. CID 2008:47 (Suppl 1)
Naber, C.K. (2009). Staphylococcus aureus Bacteremia: Epidemiology,
Patophysiology, and Management Strategies. Clin Infect. Dis. 48(4): S231-S237
Nester, E.W. et al (1998). Microbiology: A Human Perspective 2nd Edition. New
York: McGraw-Hill
Nebraska Medical Center. Supporting Evidence for Meropenem Therapeutic
Interchange and Dosing Substitution Policy. Diakses dari www.nebraskamed.com
pada tanggal 21 April 2015
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan:
Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Keperawatan Edisi 2. Jakarta: Salemba
Medika
Nygard, Siri Tandberg, Langeland, Nina et al. (2014). Aetiology, Antimicrobial
Therapy and Outcome of Patients with Community Acquired Severe Sepsis: a
Prospective Study in a Norwegian University Hospital. BMC Infectious Diseases
2014, 14:121
64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pamela, Dina Sintia. 2011. Evaluasi Kualitatif Penggunaan Antibiotika dengan
Metode Gyssens di Ruang Kelas 3 Infeksi Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSCM Secara Retrospektif.. Depok: Universitas Indonesia.
Phua, J., Ngemg, Wang J., et al (2013). Characteristic and Outcomes of Culture
Negative Versus Culture Positive Severe Sepsis. Critical Care 17:R202
Pillians, Peter. (2006). What is Polypharmacy. Diunduh dari www.nps.org.au tanggal
27 Mei 2015
Rhomberg, Paul R., Ronald N. Jones. (2009). Summary trends for the Meropenem
Yearly Suspectibility Test Information Collection Program: a 10-year experience
in the United States (1999-2008). Diagnostic Microbiology and Infectious Disease
65 (2009) 414-426
Roberts, Jason A., Kirkpatrick, Carl M. J., Roberts, Michael S., et al (2009).
Meropenem Dosing in Critically Ill Patients with Sepsis and Without Renal
Dysfunction: Intermittent Bolus Versus Continuous Administration? Monte Carlo
Dosing Simulation and Subcutaneous Tissue Distribution. Journal of
Antimicrobial Chemotherapy (2009) 64, 142–150
Rosita, Neny Nurmiwati. (2013). Kajian Kualitas Penggunaan Antibiotik Meropenem
Sebelum dan Sesudah Pemberian Informasi Obat di Bangsal Rawat Inap RSUD
Kabupaten Jombang. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada
Rossi F, Baquero F, Hsueg PR., et al (2006). In Vitro Susceptibility of Aerobic and
Facultatively Anaerobic Gram-negative Bacili Isolated from patients with
Intraabdominal Infections Worldwide; 2004 Results from SMART (Study for
Monitoring Antimicrobial Resistance Trends) J Antimicrob Chemother 2006; 58
(1): 205-10
Sagy, Mayer, Al-Qaaqa, Yasir, Kim, Paul. (2013). Definitions and Pathophysiology of
Sepsis. Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care 2013;43:260-263
Setiawan, Ery. Royasia Viki Ramadani. (2014). Kualitas Pelayanan pada Pasien AMI
(Acute Myocardial Infarction) Sebelum dan Sesudah Implementasi JKN di RS
Harapan Kita 2009-2014. Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, FKM
UI.
Soedarno SSS, Garna H., Hadinegoro SRS., Satari HI. (2008). Pemakaian
Antimikroba di Bidang Pediatrik. Jakarta: Penerbit IDAI
Stichting Werkgroep Antibioticabeleid. (2010). SWAB Guidelines for Antibacterial
Therapy of Adult Patient with Sepsis. Diunduh dari www.swab.nl pada tanggal 22
Mei 2015
Tjay, Tan H., Rahardja Kirana. (2010). Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan
Efek-efek Sampingnya. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
65
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tripathi, K. D. (2003). Antimicrobial Drugs: General Consideration. Essential of
Medical Pharmacology, Fifth Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers.
Utami, E. R. (2012). Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Saintis 1
(1):124-138
Wolter, DJ., Acquazzino, D., Goering, RV., et al (2008). Emergence of Carbapenem
Resistance in Pseudomonas aeruginosa Isolate from a Patient with Cystic Fibrosis
in the Absence of Carbapenem Therapy. CID 48:137-141
Weinstein, Robert A. (2001) Controlling Antimicrobial Resistance in Hospitals:
Infection Control and Use of Antibiotics. Emerging Infectious Disease: vol. 7 No.
2
Lampiran 1. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian
67
6
7
Lampiran 2. Rekapitulasi Data Pasien
No Usia L
/
P
Tanggal
Rawat Inap
Lama
Inap
(hari)
Diagnosis
lain
Dosis Rute Waktu
penggunaan
Rentang
waktu
(hari)
Hasil Laboratorium Status Pasien
Variabel
umum
Variabel
inflamasi
Variabel
lain
Tanggal
1 35 P 15/2/2014-
6/3/2014
21 Peritonitis
umum,
ARDS
3 x 1
gram
IV 18/2/2014-
24/2/
2014
7 Temp: 38◦C
HR: 96
kali/menit
L: 11.200
Throm: 270
ribu/mm3
15/2/2014 Meninggal
Temp: 38◦C
GDS: 97
mg/dL
HR: 96
kali/menit
L: 17.900 Thromb:
169
ribu/mm3
16/2/2014
Temp:
39,5◦C
HR: 128
kali/menit
L: 13.800
Thromb:
119
ribu/mm3
Cr: 0,7
mg/dL
TD: 117/78
17/2/2014
Temp: 37 ◦C
HR: 104
kali/menit
L: 10.500 Thromb:
153
ribu/mm3
Cr: 0,8
mg/dL
18/2/2014
Temp: 38◦C
HR: 116
kali/menit
L: 12.400 Thromb:
155
ribu/mm3
TD: 102/72
19/2/2014
Temp: 36,5 ◦C
HR: 124
kali/menit
L: 14.800
Thromb:
209
ribu/mm3
20/2/2014
68
6
8
TD: 93/65
Temp: 36,8 ◦C
HR: 124
kali/menit
TD: 101/73 21/2/2014
Temp: 36,8 ◦C
HR: 108
kali/menit
L: 19.800 Thromb:
208
ribu/mm3
Cr: 0,6
mg/dL
TD: 122/77
22/2/2014
Temp: 37,5 ◦C
HR: 116
kali/menit
L: 18.500 Thromb:
260
ribu/mm3
Cr: 0,6
mg/dL
23/2/2014
Temp: 37,5 ◦C
HR: 116
kali/menit
L: 25.000 Thromb:
252
ribu/mm3
Cr: 0,7
mg/dL
TD:107/73
24/2/2014
Temp: 35,5 ◦C
HR: 66
kali/menit
Glukotest:
312
L: 16.800 Thromb:
310
ribu/mm3
25/2/2014
Temp: 37 ◦C
HR: 82
kali/menit
L: 6.700 Thromb:239
ribu/mm3
26/2/2014
Temp: 38 ◦C
HR: 122
kali/menit
L: 7.400 Thromb:
141
ribu/mm3
27/2/2014
Temp: 38 ◦C
HR: 122
kali/menit
L: 7.400 Thromb:
131
ribu/mm3
Cr: 0,9
mg/dL
28/2/2014
69
6
9
Temp: 38,5 ◦C
HR: 136
L: 7.400 Thromb:
141
ribu/mm3
01/3/2014
Temp: 37 ◦C
HR: 100
kali/menit
L: 8.600 Thromb:
186
ribu/mm3
TD: 131/91
02/3/2014
Temp: 38,8 ◦C
HR: 150
kali/menit
Temp: 38,4 ◦C
HR: 138
kali/menit
L: 8.300 Thromb:
131
ribu/mm3
Cr: 1,1
mg/dL
04/3/2014
Temp: 38,5 ◦C
HR: 132
kali.menit
L: 9.900 Thromb:
117
ribu/mm3
05/3/2014
L: 12.100 Thromb: 96
ribu/mm3
06/3/2014
2
48
tahu
n
L 06/5/2014-
12/7/2014
72 Stroke
Hemorragik,
penumonia,
hipertensive
heart
disesase,
peningkatan
fungsi
ginjal,
hipokalemia
3 x 1
gram
IV 8/5/2014-
12/5/2014
5 Temp: 38,8 ◦C
HR: 98
kali/menit
L: 17.600 Thromb:
218
ribu/mm3
07/5/2014 Meninggal
Temp: 39 ◦C
HR: 100
kali/menit
L: 21.400 Thromb:
202
ribu/mm3
Cr: 4,5
mg/dL
08/05/2014
Temp: 40 ◦C
HR: 136
kali/menit
L: 14.200 Thromb:
175
ribu/mm3
Cr: 4,7
mg/L
09/05/2014
Temp: 39,5 ◦C
HR: 112
kali/menit
L: 37.900 Thromb:
116
ribu/mm3
Cr: 6,5
10/05/2014
70
7
0
Temp: 38,5 ◦C
HR: 92
kali/menit
L: 24.100 Thromb: 95
ribu/mm3
11/05/2014
3 48
tahu
n
L 19/05/2015-
30/05/2014
11 Meningitis,
hipokalemia
,
hipoalbumin
, metabolic
disorder,
ARDS
3 x 1
gram
IV 26/5/2014-
30/5/2014
4 Temp: 37,8 ◦C
HR: 112
kali/menit
L: 14.200 Thromb:
202
ribu/mm3
Cr: 2,4
mg/dL
19/05/2015 Meninggal
Temp: 36 ◦C
HR: 92
kali/menit
L: 18.200 Thromb:
240
ribu/mm3
Cr: 1,6
mg/dL
20/05/2014
Temp: 37,5 ◦C
HR: 92
kali/menit
L: 19.100 Thromb:
295
ribu/mm3
Cr: 1,0
mg/dL
21/05/2014
Temp: 37,5 ◦C
HR: 104
kali/menit
L: 12.200 Thromb:
187
riu/mm3
PT: 24,1
aPTT: 49,1
26/05/2014
Temp: 38,8 ◦C
HR: 116 ◦C
L: 20.700 Thromb:
282
ribu/mm3
27/05/2014
Temp: 40 ◦C
HR: 112
kali/menir
L: 13.400 Thromb:
230
ribu/mm3
Cr: 1,1
mg/dL
28/05/2014
Temp: 37,5 ◦C
HR: 124
kali/menit
L: 18.900 Thromb:
248
ribu/mm3
Cr: 1,5
29/05/2014
71
7
1
mg/dL
Temp: 36,5 ◦C
HR: 108
kali/menit
L: 10.300 Thromb:
149
ribu/mm3
30/05/2014
4 39 L 06/5/2014-
11/5/2014
11 Head injury,
fracture
tibia,
hipoalbumin
, acute post
hemorrhagic
anemia,
hiponatremi,
hipokalemi
3 x 2
gram
IV 09/5/2014-
11/5/2014
3 Temp: 38,5 ◦C
HR: 96
kali/menit
L: 58.500 Thromb: 48
ribu/mm3
06/5/2014 Meninggal
Temp: 38 ◦C
HR: 96
kali/menit
L: 56.900 Thromb: 73
ribu/mm3
TD: 132/78
07/5/2014
Temp: 39,5 ◦C
HR: 128
kali/menit
GD: 231
mg/dL
L: 33.700 Thromb: 48
ribu/mm3
Cr: 4,8
PTT: 19,8
INR: 182
08/5/2014
Temp: 38,2 ◦C
HR: 104
kali/menit
L: 9.800 Thromb:
103
ribu/mm3
TD: 106/50
Cr: 1,2
INR: 1,82
aPTT: 36 s
laktat: 4,6
09/5/2014
Temp: 37 ◦C
HR: 84
kali/menit
TD: 78/38 10/5/2014
5 52
tahu
n
P
18/06/2014-
26/06/2014
8 TB paru,
pneumonia,
gagal napas
3 x 1
gram
IV 18/6/2014-
23/6/2014
6 Temp: 36,5 ◦C
HR: 84
kali/menit
GDS:
122mg/dL
L: 26.100 Thromb:
302
ribu/mm3
TD: 109/70
21/6/2014 Meninggal
Temp: 36,5 ◦C
HR: 64
kali/menit
L: 22.000 Thromb:
304
ribu/mm3
Cr: 0,9
mg/dL
22/6/2014
6 43 P 17/6/2014- 21 Hematosche 3 x 1 Drip 25/6/2014- 7 Temp: 37,5 ◦C L: 23.200 Cr: 0,9 25/6/2014 Perbaikan
72
7
2
tahu
n
09/7/2014 hari zia
perdarahan
ileum,
hemorroid,
polip
anorecti
gram NaC
l
0,9
%
100
cc
01/7/2014 HR: 132
kali/menit
mg.dL
TD: 110/79
Temp: 37,5 ◦C
HR: 128
kali/menit
L: 20.000 Thromb: 61
ribu/mm3
Prokalsitoni
n : >10
TD: 84/45
26/6/2014
Temp: 37,5 ◦C
HR: 108
kali/menit
L: 41.200 Cr: 1.0
aPTT: 34 s
TD: 90/74
27/6/2014
Temp: 37,5 ◦C
HR: 104
kali/menit
L: 31.900 Thromb: 87
ribu/mm3
TD: 110/80
28/6/2014
Temp: 38,5
HR: 98
kali/menit
L: 9.800 Thromb:
133
ribu/mm3
Cr: 0,7
mg/dL
TD: 102/80
29/6/2014
Temp: 38,3 ◦C
HR: 102
kali/menit
L: 7.100 Thromb: 91
ribu/mm3
Cr: 0,9
mg/dL
TD: 90/55
30/6/2014
7 51 L 7/10/2014-
22/10/2014
15 Hidrosefalu
s, renal
failure
2 x 1
gram
IV 7/10/2014-
12/10/2014
6 Temp: 36,5 ◦C
HR: 92
kali/menit
L: 23.300 Thromb:
324
ribu/mm3
Cr: 2,2
mg/dL
09/10/2014 Meninggal
Temp: 36,5 ◦C
HR: 100
kali/menit
L: Cr: 2,2
mg/dL
10/10/2014
L: 20.500 Thromb:
303
ribu/mm3
22/10/2014
8 1
bula
L 02/5/2014-
10/5/2014
9 Bronkopneu
monia,
1/3
floc
IV 9/5/2014-
10/5/2014
2 Temp: 37,5
◦C
L: 4.300 Thromb: 65
ribu/m3
02/5/2014 Sembuh
73
7
3
n hyperbilirub
inemia
Temp: 36 ◦C L: 16.900 Thromb:
367
ribu/mm3
07/5/2014
9 44
tahu
n
L 19/6/2014-
13/8/2014
53 Cholestitiati
s, Obstruksi
Jaundice,
Anemia
3 x 1
gram
IV 5/7/2014-
4/8/2014
30 Temp: 36,8
◦C
HR: 84
kali/menit
04/7/2014 Meninggal
Temp: 36,5
◦C
HR: 110
kali/menit
L: 14.200 Thromb:
622
ribu/mm3
TD: 110/70
Cr: 0.8
mg/dL
05/7/2014
Temp: 37 ◦C
HR: 104
kali/menit
L: 23.000 Thromb:
668
ribu/mm3
TD: 120/85
Bilirubin
total: 12,2
mg/dL
06/7/2014
Temp: 37 ◦C
HR: 100
kali/menit
L: 20.000 Thromb:
665
ribu/mm3
TD: 115/80
Cr: 0,7
mg/dL
07/7/2014
Temp: 36 ◦C
HR: 84
kali/menit
L: 28.800 Thromb:
565
ribu/mm3
TD: 120/80
30/7/2014
Temp: 36,5 ◦C
L: 13.300 Thromb:
459
ribu/mm3
Cr: 1,9
31/7/2014
74
7
4
mg/dL
TD: 93/61
Temp: 36,8 ◦C
HR: 68
kali/menit
L: 25.400 Thromb:
436
ribu/mm3
TD: 168/88
01/8/2014
Temp: 37 ◦C
HR: 78
kali/menit
L: 20.500 Thromb:
406
ribu/mm3
Cr: 1,3
mg/dL
TD: 137/90
02/8/2014
Temp: 36 ◦C
HR: 116
kali/menit
L: 16.000 Thromb:
460
ribu/mm3
Bilirubin
total: 4,31
mg/dL
TD: 124/90
03/8/2014
Temp: 36 ◦C
HR: 104
kali/menit
L: 27.500 Thromb:
508
ribu/mm3
Cr: 1,1
mg/dL
TD: 121/88
04/8/2014
10 55
tahu
n
P 14/7/2014-
02/8/2014
20 Rectal 3x1
gram
IV 21/7/2104-
23/7/2014
3 Temp:36 ◦C
HR: 88
kali/menit
GDS: 160
mg/dL
L: 16.400 Thromb:
799 ribu
Cr: 0,7
mg/dL
14/7/2014 Meninggal
Temp: 36 ◦C
HR: 84
kali/menit
L: 13.400 Thromb:
799
ribu/mm3
Cr: 0,7
mg/dL
TD: 140/90
16/7/2014
75
7
5
Temp: 38,2 ◦C
HR: 136
kali/menit
GDS: 188
mg/dL
L: 30.800 Thromb:
764
ribu/mm3
Cr: 1 mg/dL
TD:130/80
21/7/2014
Temp: 38 ◦C
HR: 128
kali/menit
GDS: 269
mg/dL
L: 21.100 Thromb:
436
ribu/mm3
Cr: 1,4
TD: 110/73
22/7/2014
Temp: 37,5 ◦C
HR: 100
kali/menit
GDS: 121
mg/dL
L: 20.700 Thromb:
343ribu/mm
3
Cr: 0,8
mg/dL
23/7/2014
Temp: 37 ◦C
HR: 88
kali/menit
GDS: 133
mg/dL
L: 23.100 Thromb:
322 ribu/m3
26/7/2014
Temp: 37,5 ◦C
HR: 92
kali/menit
GDS: 59
mg/dL
L: 53.000 Thromb:
314 ribu/m3
02/8/2014
11 80
tahu
n
P 30/7/2014-
20/8/2014
20 Chronic
heart
failure,
Chronic
kidney
disease on
Hemodialys
is, fraktur
remur
3x1
gram
IV 12/8/2014-
17/8/2014
6 Temp: 37 ◦C
HR: 120
kali/menit
L: 45.100 Thromb:
244
ribu/mm3
aPTT: 27,0
TD: 119/48
12/8/2014 Meninggal
Temp: 37 ◦C
HR: 98
kali/menit
L:31.500 Thromb:
114
ribu/mm3
Cr: 1,3
mg/dL
TD: 120/45
13/8/2014
Temp: 37 ◦C L: 20.900 Thromb: 14/8/2014
76
7
6
HR:116
kali/menit
GDS: 123
mg/dL
113
ribu/mm3
Cr: 1,3
mg/dL
TD: 47/46
Temp: 37 ◦C
HR: 108
kali/menit
GDS: 133
mg/dL
L: 16.100 Thromb:
143
ribu/mm3
TD: 137/45
15/8/2014
Temp: 37 ◦C
HR: 104
kali/menit
GDS: 84
mg/dL
L: 10.400 Thromb:
140
ribu/mm3
TD:104/64
16/8/2014
Temp: 37 ◦C
HR: 108
kali/menit
L: 17.500 Thromb:
134
ribu/mm3
Cr: 1,6
mg/dL
TD: 136/67
17/8/2014
12 65
tahu
n
L 18/8/2014-
03/9/2014
17
hari
Hipertensiv
e heart
disease,
atrial
fibrilasis
3x1
gram
Drip
dala
m
NaC
l
0,9
%
100
cc
20/8/2014-
31/8/2014
12 Temp: 37,5 ◦C
HR: 100
kali/menit
L: 26.000 Thromb:
581
ribu/mm3
Cr: 3,8
mg/dL
TD: 116/60
20/8/2014 Meninggal
Temp: 38 ◦C
HR: 100
kali/menit
GDS: 137
mg/dL
L: 15.200 Thromb:
474
ribu/mm3
Cr: 3,3
mg/dL
TD: 105/62
21/8/2014
Temp:36,8 ◦C
HR: 88
kali/menit
L: 15.100 Thromb:
333
ribu/mm3
22/8/2014
77
7
7
GDS: 133
mg/dL
TD:
141/106
Temp: 37 ◦C
HR: 90
kali/menit
GDS: 137
mg/dL
L: 14.300 Thromb:
323
ribu/mm3
TD: 110/75
23/8/2014
Temp: 37 ◦C
HR: 88
kali/menit
GDS: 131
mg/dL
L: 14.300 Thromb:
323
ribu/mm3
Cr: 1,4
mg/dL
INR: 1,51
TD: 134/84
24/8/2014
Temp: 36,5 ◦C
HR: 86
kali/menit
GDS: 133
L: 13.500 Cr: 1,0
mg/dL
TD: 135/84
25/8/2014
13 1har
i
P 20/8/2014-
04/9/2014
15 Asphyxia,
pneumonia
1/3
floc
IV 23/8/2014-
29/8/2014
7 hari Temp: 36,2
◦C
GDS: 66
mg/dL
L: 34.600 Thromb:
182
ribu/mm3
21/8/2014 Sembuh
Temp: 35 ◦C L: 25.200 Thromb:
230
ribu/mm3
24/8/2014
Temp: 36,5 ◦C L: 28.000 Thromb:
305
ribu/mm3
28/8/2014
14
54
tahu
n
L 24/8/2014-
02/10/2014
38 Intraventrik
el
hemorrhage,
hipertensi
grade II,
bronkopneu
monia,
leukositosis,
hipoalbumin
3x1
gram
IV 25/8/2014-
22/9/2014
28 Temp:37 ◦C
HR: 136
kali/menit
GDS: 118
mg/dL
L: 18.700 Thromb:
309
ribu/mm3
Cr: 1,5
mg/dL
TD: 170/90
25/8/2014 Sembuh
Temp: 38,5 ◦C
HR: 120
kali/menit
L: 18.700 Thromb:
320
ribu/mm3
27/8/2014
78
7
8
, anemia TD: 168/65
Temp: 39,5 ◦C
HR: 140
kali/menit
GDS: 76
mg/dL
L: 16.800 Thromb:
283
ribu/mm3
Cr: 1,5
TD:
219/120
28/8/2014
Temp: 36,2 ◦C
HR: 68
kali/menit
L: 19.200 Thromb:
339
ribu/mm3
TD:
191/120
31/8/2014
Temp: 37,2
◦C
HR: 88
kali/menit
L: 26.100 Thromb: 26
ribu/mm3
TD:
180/104
03/9/2014
Temp: 37 ◦C
HR: 92
kali/menit
L: 33.500 Thromb:
315
ribu/mm3
Cr: 1,0
mg/dL
TD: 110/70
07/9/2014
Temp:36,5 ◦C
HR: 84
kali/menit
L: 24.700 Thromb:
329
ribu/mm3
TD: 140/90
10/9/2014
Temp: 37 ◦C
HR: 84
kali/menit
L: 17.900 Thromb:
350
ribu/mm3
TD: 160/90
12/9/2014
Temp: 36,8
◦C
HR: 80
kali/menit
L: 31.700 Thromb:
409
ribu/mm3
TD: 120/80
17/9/2014
Temp: 36,8
◦C
HR: 84
L: 20.400 Thromb:
470
ribu/mm3
19/9/2014
79
7
9
kali/menit
Temp:36,8 ◦C
HR: 84
kali/menit
L: 19.500 Thromb:
534 ribu/m3
TD: 130/96
21/9/2014
Temp: 36,6
◦C
HR: 86
kali/menit
L: 15.500 Thromb:
725
ribu/mm3
TD: 120/80
28/9/2014
15 43
tahu
n
L 29/8/2014-
9/9/2014
11 Hipertensiv
e heart
disease,
stroke
hemorragik,
hiperkoleste
rolemia
broknkopne
umonia
3 x 1
gram
IV 1/9/2014-
8/9/2014
8 Temp: 36,5
◦C
HR: 124
kali/menit
L: 10.100 Thromb:
210
ribu/mm3
Cr: 1,8
29/8/2014 Meninggal
Temp: 38 ◦C
HR: 124
kali/menit
GDS: 102
mg/dL
L: 14.500 Thromb:
217
ribu/mm3
30/8/2014
Temp: 39 ◦C
HR: 132
kali/menit
L: 9.400 Thromb:
225
ribu/mm3
Cr: 3,0
01/9/2014
Temp:35,5 ◦C
HR: 84
kali/menit
L: 6.000 Thromb:203
ribu/mm3
Cr: 2,7
mg/dL
TD: 110/70
02/9/2014
Temp: 39,5
◦C
HR: 96
kali/menit
L: 6.900 Thromb:
179
ribu/mm3
TD: 110/73
03/9/2014
Temp: 37,5
◦C
HR: 124
kali/menit
L: 11.000 Thromb:
242
ribu/mm3
Cr: 2,6
mg/dL
TD:
130/101
05/9/2014
80
8
0
Temp: 37,8
◦C
HR:100
kali/menit
L: 11.200 Thromb:
216
ribu/mm3
TD:
06/9/2014
Temp: 37,5
◦C
HR: 144
kali/menit
L: 20.400 Thromb:
268
ribu/mm3
07/8/2014
Temp: 40,5
◦C
HR: 112
kali/menit
08/8/2014
16 11
tahu
n
P 12/12/2014-
22/12/2014
10 3 x 1
gram
IV Temp: 36, 2
◦C
HR: 84
kali/menit
L: 10.900 Thromb:
391
ribu/mm3
12/12/2014 Sembuh
Temp: 36 ◦C
HR: 84
kali/menit
L: 17.400 Thromb:
400
ribu/mm3
Cr: 0,7
mg/dL
TD: 100/80
14/12/2014
Temp: 37,5
◦C HR: 164
kali/menit
L: 12.700 Thromb:
282
ribu/mm3
TD: 103/37
15/12/2014
17 50
tahu
n
P 5/11/2014-
13/11/2014
8 Chronic
kidney
disease on
hemodialysi
s, anemia,
diabetes
nefropati,ul
kus DM,
hipertensi
heart
disease
2 x 1
gram
IV 5/11/2014-
12/11/2014
8 Temp: 38,5
◦C
HR: 92
kali/menit
GDS: 215
mg/dL
L: 36.500 Thromb:
412
ribu/mm3
Cr: 17,5
mg/dL
TD: 150/90
05/11/2014
Temp: 36 ◦C
HR: 74
kali/menit
GDS: 185
mg/dL
L: 22.200 Thromb:
296
ribu/mm3
TD: 140/80
06/11/2014
81
8
1
Temp: 37,5 ◦C
HR: 100
kali/menit
GDS: 121
mg/dL
L: 19.300 Thromb:
234
ribu/mm3
Cr: 6,7
mg/dL
TD: 140/90
07/11/2014
Temp: 36,8
◦C
HR: 84
kali/menit
GDS: 177
mg/dL
L: 12.700 Thromb:
226
ribu/mm3
TD: 140/90
10/11/2014
Temp: 36,8
◦C
HR: 88
kali/menit
GDS: 124
mg/dL
L: 10.100 Thromb:
249
ribu/mm3
Cr: 9,5
mg/dL
TD: 140/90
11/11/2014
18 63
tahu
n
L 24/10/2014-
5/11/2014
13 Gangren
pedis,
diabetes tipe
II, CHF,
hipoalbumin
emia
2x1
gram
IV 31/10/2014-
4/11/2014
5 Temp: 37,5
◦C
HR: 112
kali/menit
L: 15.000 Thromb:
214
ribu/mm3
02/11/2014 Perbaikan
Temp: 36,8 ◦C
HR: 112
kali/menit
L: 21.400 Thromb:
245
ribu/mm3
04/11/2015
19 32
tahu
n
P 20/9/2014-
6/11/2014
36 Crush
injury,
fraktur tibia
fibula,
hipoalbumin
emia,
anemia,
pneumonia
3x1
gram
Drip
dala
m
NaC
l 0,9
%
100
mlb
28/10/2014-
6/11/2014
10 Temp: 38,6
◦C
HR: 92
kali/menit
L: 30.700 Thromb:
321
ribu/mm3
TD: 110/70
23/10/2014 Perbaikan
Temp: 38,2
◦C
HR: 104
kali/menit
L: 13.900 Thromb: 61
ribu/mm3
TD: 110/80
27/10/2014
Temp: 36, 8
◦C
HR: 100
kali/menit
L: 8.500 Thromb:
134
ribu/mm3
TD: 120/80
29/10/2014
82
8
2
Temp: 37,5
◦C
HR: 112
kali/menit
L: 14.100 Thromb:
219
ribu/mm3
TD: 120/80
30/10/2014
Temp: 37 ◦C
HR: 88
kali/menit
L: 15.500 Thromb:
407
ribu/mm3
02/10/2014
Temp: 36,5
◦C
HR: 84
kali/menit
L: 11.300 Thromb:495
ribu/mm3
Cr: 0,7
mg/dL
05/10/2014
20 67
tahu
n
L
15/9/2014 39 Hipertensi
heart
disease,stro
ke
hemorragik,
DM tipe II
3x1
gram
IV 25/9/2014-
30/9/2014
6 Temp: 37 ◦C
HR: 92
kali/menit
L: 19.300 Thromb:
153
ribu/mm3
Cr: 2,0
mg/dL
TD: 145/75
25/9/2014 Perbaikan
Temp: 37 ◦C
HR: 76
kali/menit
GDS: 105
mg/dL
L: 22.800 Thromb:
103
ribu/mm3
TD:145/82
26/9/2014
Temp: 36 ◦C
HR: 168
kali/menit
L: 17.900 Thromb:
113
ribu/mm3
TD: 108/59
27/9/2014
Temp: 37,5
◦C
HR: 92
kali/menit
GDS: 104
mg/dL
L: 28.300 Thromb:
107
ribu/mm3
28/9/2014
Temp: 37,5
◦C
HR: 68
kali/menit
L: 24.800 Thromb:143
ribu/mm3
TD: 108/59
30/9/2014
83
8
3
21 68 P 5/10/2014-
12/10/2014
8 Epidural
hemorragik,
hipertensive
heart
disease
without
heart
failure,
bronkitis
3x1
gram
IV - - - - - - Meninggal
22 73 P 1/10/2014-
15/10/2014
15 Pneumonia,
anemia
2x1
gram
IV - - Temp: 37 ◦C
HR: 84
kali/menit
Glukosa test:
199 mg/dL
L: 18.300 Thromb:
110
ribu/mm3
Cr: 1,1
mg/dL
01/10/2014 Meninggal
23 70 L 26/03/2014-
30/03/2014
5 Hepatorenal
syndrome,
Ca hati
3 x 1
gram
IV 26/03/2014-
30/03/2014
5 Temp: 35,8 ◦C
HR: 68
kali/menit
L: 26.400 Thromb:
124
ribu/mm3
26/03/2014 Meninggal
24 8 L 14/4/2014-
24/10/2014
10 Tumor
serebri,
diabetes
insipidus,
hidrosefalus
3x1
gram
IV 18/4/2014-
21/4/2014
4 Temp: 36,5
◦C
HR: 92
kali/menit
L: 15.300 Thromb:
202
ribu/mm3
15/4/2014 Meninggal
Temp: 40,3 ◦C
HR: 104
kali/menit
L: 14.900 Thromb:
244
ribu/mm3
17/4/2014
Temp: 38,5 ◦C
HR: 128
kali/menit
L: 17.000 Thromb:
300
ribu/mm3
18/4/2014
Temp: 39 ◦C
HR: 145
kali/menit
L: 17.300 Thromb:
156
ribu/mm3
21/4/2014
Temp: 37,8 ◦C
HR: 156
kali/menit
L: 9700 Thromb: 98
ribu/mm3
23/4/2014
25 46 P 21/3/2014-
4/4/2014
13 Obstruksi
jaundice,
hipoalbumin
3x1
gram
IV 29/3/2014-
4/4/2014
7 L: 24.600 Thromb:
424
ribu/mm3
23/3/2014 Meninggal
84
8
4
,
hepatorenal
syndrom
Cr: 1,0
L: 30.300 Thromb:
401
ribu/mm3
aPTT: 51,8
s
bilirubin
total: 50,36
mg/dL
26/3/2014
L: 20.300 Thromb:
308
ribu/mm3
28/3/2014
26 59 L 11/3/2014-
21/3/2014
11 Miasthenia
gravis, DM
tipe II, CKD
stage III
3x1
gram
IV 11/3/2014-
18/3/2014
8 Temp: 36,5 ◦C
HR: 88
kali/menit
GDS: 230
mg/dL
L: 21.700 Thromb:
203
ribu/mm3
Cr: 1,2
mg/dL
12/3/2014 Meninggal
Temp: 37,2 ◦C
HR: 80
kali/menit
L: 21.100 Thromb:
155
ribu/mm3
Cr: 1,4
mg/dL
14/3/2014
Temp: 36,5 ◦C
HR: 92
kali/menit
GD: 235
mg/dL
L: 27.400 Thromb:
181
ribu/mm3
16/3/2014
Temp: 39 ◦C
HR: 120
kali/menit
GDS: 348
mg/dL
L: 45.200 Thromb:72
ribu/mm3
Prokalsitoni
n >10
INR: 1,62
19/3/2014
Temp: 37,5 ◦C
HR: 88
kali/meni
GDS:
321mg/dL
L: 39.000 Thromb: 47
ribu/mm3
Cr: 4,9
mg/dL
21/3/2014
85
85
Lampiran 3. Rekapitulasi Hasil Evaluasi Meropenem Berdasarkan Kategori
Gyssens
No: 1 Jenis Terapi: empiris Intraabdominal sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √
b Interval tepat √
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori 0
Analisis:
a. Kelengkapan data: Pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi.
b. Indikasi pemberian antibiotik: Berdasarkan diagnosis dan hasil
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil
diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: Pasien menerima meropenem sebagai terapi
empiris untuk intrabdominal sepsis yang dialami pasien. Study for
Monitoring Antimicrobial Resistance Trends (SMART) pada tahun 2004
melaporkan bahwa Eschericia coli merupakan bakteri yang banyak
86
86
diisolasi dari intraabdomen 5731 pasien (Rossi et al, 2006). Secara
umum, meropenem dan amikasin dianggap agen yang paling aktif
melawan Eschericia coli (Bugano et al, 2008). Mengacu pada peta
resistensi bakteri di RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014,
meropenem masih efektif melawan Eschericia coli dengan resistensi
hanya sebesar 12%. Dengan demikian maka rejimen meropenem pada
kasus 1 tidak termasuk kategori IVA (alternatif lebih efektif)
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum lebih sempit: pasien menerima meropenem sebagai terapi
empiris sehingga tidak diketahui bakteri jenis apa yang menginfeksi dan
karena itu dibutuhkan antibiotik berspektrum luas.
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 7 hari. Bugano et
al menyatakan waktu terapi untuk intrabdominal sepsis adalah 5-7 hari
sehingga waktu pemberian meropenem pasien tidak terlalu lama atau
terlalu singkat.
e. Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga
tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem
dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem.
Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima
meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap
tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi
intravena dan dinilai sudah tepat.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
87
87
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen meropenem
pasien 1 termasuk kategori 0 (rasional)
No: 2 Jenis Terapi: empiris Hospital acquired pneumonia sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√ Masih ada antibiotik yang lebih efektif
untuk mengatasi bakteri yang diduga
menyebabkan pneumonia.
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √ CrCl pasien sebelum pemberian
meropenem sebesar 16,8 mL/menit
sehingga membutuhkan penyesuaian dosis
menjadi 500 mg
b Interval tepat √ CrCl pasien sebelum pemberian
meropenem sebesar 16,8 mL/menit
sehingga membutuhkan penyesuaian
interval menjadi 12 jam
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN:Kategori IVA, IIA, IIB
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi.
88
88
b. Indikasi pemberian antibiotik: Berdasarkan diagnosis dan hasil
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil
diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: Pasien menerima meropenem sebagai terapi
empiris untuk Hospital acquired pneumonia sepsis. Bakteri yang paling
banyak ditemukan pada pasien Hospital acquired pneumonia sepsis
antara lain Pseudomonas sp, Eschericia coli, Klebsiella pneumonia dan
apabila merujuk pada peta resistensi antibiotik RUMKITAL Dr.
Mintohardjo tahun 2014, bakteri yang paling banyak ditemukan di
sputum adalah Coliform dan Pseudomonas. Antibiotik yang
direkomendasikan adalah seftriakson, levofloksasin dan ampisilin-
sulbaktam (Bugano et a, 2008). Mengacu pada peta resistensi
RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, meropenem sudah resisten
terhadap Coliform dengan tingkat resistensi 65% dan terhadap
Pseudomonas sebesar 53%. Dari ketiga rekomendasi tersebut
levofloksasin menunjukkan tingkat resistensi yang lebih rendah yaitu
41% sehingga diniliai lebih efektif. Dengan alasan ini maka rejimen
penggunaan meropenem pada pasien 2 termasuk kategori IVA (alternatif
lebih efektif).
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
spektrum lebih sempit
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 5 hari. Bugano et
al menyatakan waktu terapi untuk Hospital acquired pneumonia sepsis
adalah hingga 7 hari dan 15 hari jika dicurigai infeksi oleh Pseudomonas
89
89
sehingga waktu pemberian meropenem pasien tidak terlalu lama atau
terlalu singkat
e. Dosis, rute dan interval: berdasarkan data laboratorium, pasien
mengalami peningkatan kreatinin serum pada hari pemberian
meropenem. Karena ketiadaan data berat badan maka perhitungan klirens
kreatinin dilakukan dengan rumus Jellife.
CrCl (mL/menit) = 98 – [ 0,8 x {usia-20}]
SCr
= 98 – [ 0,8 x { 48-20}]
4,5
= 16,8 mL/menit
Dengan klirens kreatinin sebesar 16,8 mL/menit, interval harus
disesuaikan menjadi 12 jam sedangkan dosis diturunkan menjadi 500 mg.
Dengan pertimbangan ini maka rejimen penggunaan meropenem
termasuk kategori IIA (dosis tidak tepat) dan IIB (interval tidak tepat)
Adapun rute pemberian adalah intravena dan dinilai sudah tepat.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan
meropenem pada pasien nomer 2 termasuk dalam kategori IVA dan IIB.
No: 3 Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√ Masih ada antibiotik yang lebih efektif
90
90
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √
b Interval tepat √
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori IVA
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b. Indikasi pemberian antibiotik: berdasarkan diagnosis dan data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data
laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi
empiris. Tidak terdapat diagnosis penyakit infeksi selain sepsis dan hasil
uji kultur bakteri adalah negatif sehingga tidak diketahui jenis bakteri
yang menginfeksi. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr.
Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di
lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa
antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin
(efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap
lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua
bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada
pasien nomor 3 termasuk dalam kategori IVA.
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
91
91
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
spektrum lebih sempit
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 4 hari hingga
berhenti karena meninggal. Sehingga pemberian tidak serta merta dapat
dinilai terlalu singkat.
e. Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga
tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem
dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem.
Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima
meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap
tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi
intravena dan dinilai sudah tepat.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan
meropenem pada pasien nomer 3 termasuk dalam kategori IVA
No: 4 Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih √ Masih ada antibiotik yang lebih efektif
92
92
efektif
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √ CrCl pasien saat hari pemberian
meropenem sebesar 17,25 mL/menit
sehingga membutuhkan penyesuaian dosis
1 gram
b Interval tepat √ CrCl pasien sebelum pemberian
meropenem sebesar 17,25 mL/menit
sehingga membutuhkan penyesuaian
interval menjadi 12 jam
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori IVA, IIA, IIB
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b. Indikasi pemberian antibiotik: berdasarkan diagnosis dan data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data
laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi
empiris. Tidak terdapat diagnosis penyakit infeksi selain sepsis dan hasil
uji kultur bakteri adalah negatif sehingga tidak diketahui jenis bakteri
yang menginfeksi. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr.
Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di
lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa
antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin
(efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap
lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua
93
93
bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada
pasien nomor 3 termasuk dalam kategori IVA.
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
spektrum lebih sempit
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 3 hari hingga
berhenti karena meninggal. Sehingga pemberian tidak serta merta dapat
dinilai terlalu singkat.
e. Dosis, interval dan rute: pasien mengalami peningkatan kreatinin serum
pada hari pemberian meropenem sehingga diperlukan penyesuaian
rejimen. Karena ketiadaan data berat badan maka perhitungan klirens
kreatinin dilakukan dengan rumus Jellife.
CrCl (mL/menit) = 98 – [ 0,8 x {usia-20}]
SCr
= 98 – [ 0,8 x { 39-20}]
4,8
= 17,25 mL/menit
Dengan klirens kreatinin sebesar 17,25 mL/menit, interval harus
disesuaikan menjadi 12 jam sedangkan dosis yang mulanya 2 gram harus
diturunkan menjadi 1 gram. Dengan pertimbangan ini maka rejimen
penggunaan meropenem termasuk kategori IIA (dosis tidak tepat) dan
IIB (interval tidak tepat).
Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena
dan dinilai sudah tepat.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
94
94
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan
meropenem pada pasien nomer 4 termasuk dalam kategori IVA, IIA dan
IIB.
No: 5 Jenis Terapi: empiris Hospital acquired pneumonia sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√ Masih ada antibiotik yang lebih efektif
untuk mengatasi bakteri yang diduga
menyebabkan pneumonia.
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √
b Interval tepat √
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori IVA
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi
95
95
b. Indikasi pemberian antibiotik: Berdasarkan diagnosis dan hasil
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil
diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem meropenem sebagai
terapi empiris untuk Hospital acquired pneumonia sepsis. Bakteri yang
paling banyak ditemukan pada pasien Hospital acquired pneumonia
sepsis antara lain Pseudomonas sp, Eschericia coli, Klebsiella
pneumonia dan apabila merujuk pada peta resistensi antibiotik
RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, bakteri yang paling banyak
ditemukan di sputum adalah Coliform dan Pseudomonas. Antibiotik yang
direkomendasikan adalah seftriakson, levofloksasin dan ampisilin-
sulbaktam. Mengacu pada peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo
tahun 2014, meropenem sudah resisten terhadap Coliform dengan tingkat
resistensi 65% dan terhadap Pseudomonas sebesar 53%. Dari ketiga
rekomendasi tersebut levofloksasin menunjukkan tingkat resistensi yang
lebih rendah yaitu 41% sehingga diniliai lebih efektif. Dengan alasan ini
maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien 2 termasuk kategori
IVA (alternatif lebih efektif).
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
spektrum lebih sempit
d. Lama pemberian: : pasien menerima meropenem selama 5 hari. Bugano
et al menyatakan waktu terapi untuk Hospital acquired pneumonia
sepsis adalah hingga 7 hari sehingga waktu pemberian meropenem pasien
tidak terlalu lama atau terlalu singkat
96
96
e. Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga
tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem
dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem.
Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima
meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap
tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi
intravena yang merupakan salah satu cara pemberian selain pemberian
dengan infus.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan
meropenem pada pasien nomer 5 termasuk dalam kategori IVA
No: 6 Jenis Terapi: empiris Intraabdominal sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √
97
97
b Interval tepat √
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori 0
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi.
b. Indikasi pemberian antibiotik: Berdasarkan diagnosis dan hasil
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil
diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: Pasien menerima meropenem sebagai terapi
empiris untuk intrabdominal sepsis yang dialami pasien. . Study for
Monitoring Antimicrobial Resistance Trends (SMART) pada tahun 2004
melaporkan bahwa Eschericia coli merupakan bakteri yang banyak
diisolasi dari intraabdomen 5731 pasien (Rossi et al, 2006). Secara
umum, meropenem dan amikasin dianggap agen yang paling aktif
melawan Eschericia coli (Bugano et al, 2008). Mengacu pada peta
resistensi bakteri di RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014,
meropenem masih efektif melawan Eschericia coli dengan resistensi
hanya sebesar 12%. Dengan demikian maka rejimen meropenem pada
kasus 1 tidak termasuk kategori IVA (alternatif lebih efektif)
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum lebih sempit: pasien menerima meropenem sebagai terapi
empiris sehingga tidak diketahui bakteri jenis apa yang menginfeksi dan
karena itu dibutuhkan antibiotik berspektrum luas.
98
98
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 7 hari. Bugano et
al menyatakan waktu terapi untuk intrabdominal sepsis adalah 5-7 hari
sehingga waktu pemberian meropenem pasien tidak terlalu lama atau
terlalu singkat.
e. Dosis, interval dan rute: pasien tidka mengalami gagal ginjal sehingga
tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem
dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem.
Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima
meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap
tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah dengan
drip (infus) meropenem dalam NaCl 0,9 %. Menurut Baldwin (2008)
meropenem kompatibel dengan NaCl.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian diniliai benar.
Kesimpulan: rejimen meropenem pasien 6 termasuk kategori 0 (rasional)
No: 7 Jenis Terapi: empiris Community acquired sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
99
99
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √
b Interval tepat √
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori 0
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi
b. Indikasi pemberian antibiotik: Berdasarkan diagnosis dan hasil
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil
diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien didiagnosis sepsis saat pertama kali masuk
rumah sakit. Dengan demikian, sepsis yang dialami pasien termasuk
Community acquired sepsis. Nygard et al (2014) melaporkan bahwa
bakteri S. Pneumoniae, E.coli, S.aureus adalah bakteri yang paling
banyak ditemukan. Hasil enam penelitian randomized clinical trial
(RCT) menemukan bahwa di antara meropenem, sefalosporin generasi
ketiga dan piperacilin tazobactam memiliki efektifitas yang sama dan
tidak ada yang lebih superior. Dengan mengacu pada hal ini maka
pemilihan meropenem sebagai terapi untuk pasien 7 dianggap sudah
tepat.
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
100
100
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
spektrum lebih sempit
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 6 hari. Bugano et
al (2008) menyatakan bahwa ada bukti bahwa pemberian antibiotik lebih
pendek tidak menurunkan respon klinis dan biasanya antibiotik dapat
dihentikan setelah 7-10 hari. dengan alasan ini maka lama pemberian
dinilai tepat.
e. Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga
tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem
dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem.
Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima
meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap
tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi
intravena dan dinilai sudah tepat.
f. Waktu: meropenem diberikan pertama kali saat di IGD (instalasi gawat
darurat) sehingga masih dalam enam jam pertama yang disyaratkan untuk
pemberian antibiotik pasien sepsis.
Kesimpulan: rejimen penggunaan antibiotik pasien no 7 termasuk
kategori 0
No: 8 Jenis Terapi: empiris Hospital acquired pneumonia sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√ Masih ada antibiotik yang lebih efektif
untuk mengatasi bakteri yang diduga
menyebabkan pneumonia.
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
√
101
101
sempit
III Lama pemberian
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √
b Interval tepat √
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori IVA
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi
b. Indikasi pemberian antibiotik: Berdasarkan diagnosis dan hasil
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil
diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem meropenem sebagai
terapi empiris untuk Hospital acquired pneumonia sepsis. Bakteri yang
paling banyak ditemukan pada pasien Hospital acquired pneumonia
sepsis antara lain Pseudomonas sp, Eschericia coli, Klebsiella
pneumonia dan apabila merujuk pada peta resistensi antibiotik
RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, bakteri yang paling banyak
ditemukan di sputum adalah Coliform dan Pseudomonas. Antibiotik yang
direkomendasikan adalah seftriakson, levofloksasin dan ampisilin-
sulbaktam. Mengacu pada peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo
tahun 2014, meropenem sudah resisten terhadap Coliform dengan tingkat
resistensi 65% dan terhadap Pseudomonas sebesar 53%. Dari ketiga
rekomendasi tersebut levofloksasin menunjukkan tingkat resistensi yang
lebih rendah yaitu 41% sehingga diniliai lebih efektif. Dengan alasan ini
maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien 2 termasuk kategori
IVA (alternatif lebih efektif).
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
102
102
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
spektrum lebih sempit
d. Lama pemberian: : pasien menerima meropenem selama 5 hari. Bugano
et al menyatakan waktu terapi untuk Hospital acquired pneumonia
sepsis adalah hingga 7 hari sehingga waktu pemberian meropenem pasien
tidak terlalu lama atau terlalu singkat
e. Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga
tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem
dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem.
Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima
meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap
tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi
intravena dan dinilai sudah tepat.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan
meropenem pada pasien nomer 8 termasuk dalam kategori IVA
103
103
No: 9 Jenis Terapi: definitif urosepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√ Masih ada antibiotik yang lebih efektif
untuk mengatasi bakteri Alkaligenes
faecalis yang ditemukan di urin pasien
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
a Terlalu lama √ Meropenem digunakan selama 30 hari.
apabila tidak ada perbaikan kondisi pasien
sebaiknya mempertimbangkan untuk
mengganti antibiotik
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √
b Interval tepat √
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori IVA, IIIA
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi
b. Indikasi pemberian antibiotik: berdasarkan diagnosis dan data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data
laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3. Selain itu hasil uji kultur
bakteri pada spesimen urin pasien positif Alkaligenes faecalis.
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien menerima antibiotik meropenem sebagai
terapi definitif untuk melawan Alkaligenes faecalis. Berdasarkan peta
resistensi bakteri, Alkaligenes faecalis sudah resisten terhadap
104
104
meropenem dengan tingkat resistensi sebesar 60%. Terdapat antibiotik
yang lebih efektif melawan Alkaligenes faecalis yaitu siprofloksasin dan
fosfomisin dengan tingkat resistensi berturut-turut sebesar 47% dan 40%.
Dengan demikian maka penggunaan meropenem pada pasien nomor 9
termasuk kategori IVA.
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
spektrum lebih sempit
d. Lama pemberian: meropenem diberikan selama 30 hari. Apabila
memang tidak ada perbaikan kondisi pasien sebaiknya
mempertimbangkan untuk mengganti meropenem dengan antibiotik yang
lebih efektif. Dengan demikian maka rejimen meropenem nomer 9
termasuk kategori IIIA
e. Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga
tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem
dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem.
Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima
meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap
tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi
intravena dan dinilai sudah tepat
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
105
105
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan
meropenem pada pasien nomer 9 termasuk dalam kategori IVA, IIIA
No: 10 Jenis Terapi: empiris Community acquired sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √
b Interval tepat √
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori 0
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi
b. Indikasi pemberian antibiotik: Berdasarkan diagnosis dan hasil
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil
diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien didiagnosis sepsis saat pertama kali masuk
rumah sakit. Dengan demikian, sepsis yang dialami pasien termasuk
Community acquired sepsis. Nygard et al (2014) melaporkan bahwa
106
106
bakteri S. Pneumoniae, E.coli, S.aureus adalah bakteri yang paling
banyak ditemukan. Hasil enam penelitian randomized clinical trial
(RCT) menemukan bahwa di antara meropenem, sefalosporin generasi
ketiga dan piperacilin tazobactam memiliki efektifitas yang sama dan
tidak ada yang lebih superior (Bugano et al, 2008). Dengan mengacu
pada hal ini maka pemilihan meropenem sebagai terapi untuk pasien 7
dianggap sudah tepat.
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
spektrum lebih sempit
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 3 hari dan dinilai
sudah tepat untuk pemberian terapi empiris yaitu ±72 jam (3 hari).
e. Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga
tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem
dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem.
Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima
meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap
tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi
intravena dan dinilai sudah tepat.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
107
107
Kesimpulan: rejimen penggunaan antibiotik pasien no 10 termasuk
kategori 0.
No: 11 Jenis Terapi: empiris Community acquired sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √
b Interval tepat √ CrCl pasien sebelum pemberian
meropenem sebesar 38 mL/menit
sehingga membutuhkan penyesuaian
interval menjadi 12 jam
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk
I-VI
√
KESIMPULAN: Kategori IIB
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi
b. Indikasi pemberian antibiotik: Berdasarkan diagnosis dan hasil
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil
diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
108
108
- Alternatif lebih efektif: pasien didiagnosis sepsis saat pertama kali masuk
rumah sakit. Dengan demikian, sepsis yang dialami pasien termasuk
Community acquired sepsis. Nygard et al (2014) melaporkan bahwa
bakteri S. Pneumoniae, E.coli, S.aureus adalah bakteri yang paling
banyak ditemukan. Hasil enam penelitian randomized clinical trial
(RCT) menemukan bahwa di antara meropenem, sefalosporin generasi
ketiga dan piperacilin tazobactam memiliki efektifitas yang sama dan
tidak ada yang lebih superior. Dengan mengacu pada hal ini maka
pemilihan meropenem sebagai terapi untuk pasien 7 dianggap sudah
tepat.
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
spektrum lebih sempit
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 6 hari. Bugano et
al (2008) menyatakan bahwa ada bukti bahwa pemberian antibiotik lebih
pendek tidak menurunkan respon klinis dan biasanya antibiotik dapat
dihentikan setelah 7-10 hari. dengan alasan ini maka lama pemberian
dinilai tepat. Kemungkinan penggunaan yang singkat juga karena tidak
ada perbaikan klinis sehingga dokter memutuskan untuk mengganti
dengan antibiotik lain.
e. Dosis, interval dan rute: berdasarkan data laboratorium, pasien
mengalami peningkatan kreatinin serum pada hari pemberian
meropenem. Karena ketiadaan data berat badan maka perhitungan klirens
kreatinin dilakukan dengan rumus Jellife.
CrCl (mL/menit) = 98 – [ 0,8 x {usia-20}]
SCr
109
109
= 98 – [ 0,8 x { 80-20}]
1,3
= 38 mL/menit
Dengan klirens kreatinin sebesar 38 mL/menit, interval harus disesuaikan
menjadi 12 jam sedangkan dosis diberikan seperti biasa. Dengan
pertimbangan ini maka rejimen penggunaan meropenem termasuk
kategori IIB (interval tidak tepat)
Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi intravena
dan dinilai sudah tepat.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: rejimen penggunaan antibiotik pasien no 11 termasuk
kategori IIB.
No: 12 Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√ Masih ada antibiotik yang lebih efektif
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
110
110
a Dosis tepat √
b Interval tepat √
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori IVA
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b. Indikasi pemberian antibiotik: berdasarkan diagnosis dan data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data
laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi
empiris. Tidak terdapat diagnosis penyakit infeksi selain sepsis dan hasil
uji kultur bakteri adalah negatif sehingga tidak diketahui jenis bakteri
yang menginfeksi. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr.
Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di
lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa
antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin
(efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap
lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua
bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada
pasien nomor 3 termasuk dalam kategori IVA.
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
spektrum lebih sempit
111
111
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 11 hari. Secara
umum, antibiotik dapat dihentikan setelah 7-10 hari (Bugano et al, 2008)
sehingga pemberian tidak dianggap terlalu lama.
e. Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga
tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem
dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem.
Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima
meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap
tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah drip dalam
NaCl 0,9%. Menurut Baldwin (2008) meropenem kompatibel dengan
NaCl 0,9%.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan
meropenem pada pasien nomer 12 termasuk dalam kategori IVA
No: 13 Jenis Terapi: empiris Hospital acquired pneumonia sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√ Masih ada antibiotik yang lebih efektif
untuk mengatasi bakteri yang diduga
menyebabkan pneumonia.
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
112
112
III Lama pemberian
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √ Untuk pasien bayi harus disesuaikan dosis
menjadi 20 mg/kgBB. Karena BB pasien
2,8 kg maka dosis seharusnya disesuaikan
menjadi ± 60 mg
b Interval tepat √ Interval pemberian meropenem pada
pasien bayi adalah 12 jam
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori IVA, IIA, IIB
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi
b. Indikasi pemberian antibiotik: Berdasarkan diagnosis dan hasil
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil
diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem meropenem sebagai
terapi empiris untuk Hospital acquired pneumonia sepsis. Bakteri yang
paling banyak ditemukan pada pasien Hospital acquired pneumonia
sepsis antara lain Pseudomonas sp, Eschericia coli, Klebsiella
pneumonia dan apabila merujuk pada peta resistensi antibiotik
RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, bakteri yang paling banyak
ditemukan di sputum adalah Coliform dan Pseudomonas. Antibiotik yang
direkomendasikan adalah seftriakson, levofloksasin dan ampisilin-
sulbaktam. Mengacu pada peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo
tahun 2014, meropenem sudah resisten terhadap Coliform dengan tingkat
resistensi 65% dan terhadap Pseudomonas sebesar 53%. Dari ketiga
rekomendasi tersebut levofloksasin menunjukkan tingkat resistensi yang
lebih rendah yaitu 41% sehingga diniliai lebih efektif. Dengan alasan ini
maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien 2 termasuk kategori
IVA (alternatif lebih efektif).
113
113
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
spektrum lebih sempit
d. Lama pemberian: : pasien menerima meropenem selama 7 hari. Bugano
et al menyatakan waktu terapi untuk Hospital acquired pneumonia
sepsis adalah hingga 7 hari sehingga waktu pemberian meropenem pasien
tidak terlalu lama atau terlalu singkat
e. Dosis, interval dan rute: pasien merupakan pasien bayi yang
membutuhkan penyesuaian rejimen. Berdasarkan guideline Nebraska
Medical Center, dosis yang direkomendasikan untuk pasien bayi usia <7
hari adalah 20 mg/kgBB dengan interval 12 jam. Berat badan pasien
diketahui 2,8 kilogram maka dosis yang seharusnya diberikan: 2,8 x 20
mg = 56 mg. Dari catatan pemberian obat diketahui pasien menerima
dosis 1/3 floc (kurang lebih 330 mg) dengan interval 8 jam. Dengan
pertimbangan ini rejimen penggunaan meropenem pasien 13 termasuk
kategori IIA dan IIB. Adapun rute pemberian adalah injeksi intravena
dan dinilai sudah tepat.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan
meropenem pada pasien nomer 13 termasuk dalam kategori IVA, IIA,
IIB.
114
114
No: 14 Jenis Terapi: empiris Hospital acquired pneumonia sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√ Masih ada antibiotik yang lebih efektif
untuk mengatasi bakteri yang diduga
menyebabkan pneumonia.
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
a Terlalu lama √ Meropenem digunakan selama 30 hari.
apabila tidak ada perbaikan kondisi pasien
sebaiknya mempertimbangkan untuk
mengganti antibiotik
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √
b Interval tepat √ CrCl pasien sebelum pemberian
meropenem sebesar 47,2 mL/menit
sehingga membutuhkan penyesuaian
interval menjadi 12 jam
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori IVA, IIB, IIIA
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi.
b. Indikasi pemberian antibiotik: Berdasarkan diagnosis dan hasil
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil
diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: Pasien menerima meropenem sebagai terapi
empiris untuk Hospital acquired pneumonia sepsis. Bakteri yang paling
115
115
banyak ditemukan pada pasien Hospital acquired pneumonia sepsis
antara lain Pseudomonas sp, Eschericia coli, Klebsiella pneumonia dan
apabila merujuk pada peta resistensi antibiotik RUMKITAL Dr.
Mintohardjo tahun 2014, bakteri yang paling banyak ditemukan di
sputum adalah Coliform dan Pseudomonas. Antibiotik yang
direkomendasikan adalah seftriakson, levofloksasin dan ampisilin-
sulbaktam. Mengacu pada peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo
tahun 2014, meropenem sudah resisten terhadap Coliform dengan tingkat
resistensi 65% dan terhadap Pseudomonas sebesar 53%. Dari ketiga
rekomendasi tersebut levofloksasin menunjukkan tingkat resistensi yang
lebih rendah yaitu 41% sehingga diniliai lebih efektif. Dengan alasan ini
maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien 2 termasuk kategori
IVA (alternatif lebih efektif).
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
spektrum lebih sempit
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 28 hari. Bugano
et al menyatakan waktu terapi untuk Hospital acquired pneumonia
sepsis adalah hingga 7 hari sehingga waktu pemberian meropenem pasien
terlalu lama.
e. Dosis, rute dan interval: berdasarkan data laboratorium, pasien
mengalami peningkatan kreatinin serum pada hari pemberian
meropenem. Karena ketiadaan data berat badan maka perhitungan klirens
kreatinin dilakukan dengan rumus Jellife.
CrCl (mL/menit) = 98 – [ 0,8 x {usia-20}]
SCr
116
116
= 98 – [ 0,8 x { 54-20}]
1,5
= 47,2 mL/menit
Dengan klirens kreatinin sebesar 47,2 mL/menit, interval harus
disesuaikan menjadi 12 jam sedangkan dosis diberikan seperti biasa.
Dengan pertimbangan ini maka rejimen penggunaan meropenem
termasuk kategori IIB (interval tidak tepat)
Adapun rute pemberian adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan
meropenem pada pasien nomer 14 termasuk dalam kategori IVA, IIB dan
IIIA.
No: 15 Jenis Terapi: empiris Hospital acquired pneumonia sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√ Masih ada antibiotik yang lebih efektif
untuk mengatasi bakteri yang diduga
menyebabkan pneumonia.
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
117
117
Rute
a Dosis tepat √
b Interval tepat √ CrCl pasien sebelum pemberian
meropenem sebesar 26,5 mL/menit
sehingga membutuhkan penyesuaian
interval menjadi 12 jam
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori IVA, IIB
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi.
b. Indikasi pemberian antibiotik: Berdasarkan diagnosis dan hasil
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil diagnosis
dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: Pasien menerima meropenem sebagai terapi
empiris untuk Hospital acquired pneumonia sepsis. Bakteri yang paling
banyak ditemukan pada pasien Hospital acquired pneumonia sepsis antara
lain Pseudomonas sp, Eschericia coli, Klebsiella pneumonia dan apabila
merujuk pada peta resistensi antibiotik RUMKITAL Dr. Mintohardjo
tahun 2014, bakteri yang paling banyak ditemukan di sputum adalah
Coliform dan Pseudomonas. Antibiotik yang direkomendasikan adalah
seftriakson, levofloksasin dan ampisilin-sulbaktam. Mengacu pada peta
resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, meropenem sudah
resisten terhadap Coliform dengan tingkat resistensi 65% dan terhadap
Pseudomonas sebesar 53%. Dari ketiga rekomendasi tersebut
levofloksasin menunjukkan tingkat resistensi yang lebih rendah yaitu 41%
sehingga diniliai lebih efektif. Dengan alasan ini maka rejimen
penggunaan meropenem pada pasien 2 termasuk kategori IVA (alternatif
lebih efektif).
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
118
118
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung
oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum
lebih sempit
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 8 hari. Bugano et
al menyatakan waktu terapi untuk Hospital acquired pneumonia sepsis
adalah hingga 7 hari sehingga waktu pemberian meropenem pasien tidak
terlalu lama atau terlalu singkat
e. Dosis, rute dan interval: berdasarkan data laboratorium, pasien mengalami
peningkatan kreatinin serum pada hari pemberian meropenem. Karena
ketiadaan data berat badan maka perhitungan klirens kreatinin dilakukan
dengan rumus Jellife.
CrCl (mL/menit) = 98 – [ 0,8 x {usia-20}]
SCr
= 98 – [ 0,8 x { 43-20}]
3
= 26,5 mL/menit
Dengan klirens kreatinin sebesar 26,5 mL/menit, interval harus
disesuaikan menjadi 12 jam sedangkan dosis diberikan seperti biasa.
Dengan pertimbangan ini maka rejimen penggunaan meropenem termasuk
kategori IIB (interval tidak tepat).
Adapun rute pemberian adalah injeksi intravena dan dinilai sudah tepat.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan
setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan
meropenem pada pasien nomer 15 termasuk dalam kategori IVA dan IIB.
119
119
No: 16 Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √ Data pemberian obat tidak lengkap
V Antibiotik
diindikasikan
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
b Alternatif lebih
tidak toksik
c Alternatif lebih
murah
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
III Lama pemberian
a Terlalu lama
b Terlalu singkat
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat
b Interval tepat
c Rute tepat
I Waktu tepat
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori VI
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien tidak memiliki data yang cukup untuk
dievaluasi
Kesimpulan: rejimen penggunaan meropenem pada pasien 16 termasuk
kategori VI
No: 17 Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
120
120
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√ Masih ada antibiotik yang lebih efektif
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √
b Interval tepat √ CrCl pasien sebelum pemberian
meropenem sebesar 4,1 mL/menit sehingga
membutuhkan penyesuaian interval menjadi
24 jam
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori IVA, IIB
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b. Indikasi pemberian antibiotik: berdasarkan diagnosis dan data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data
laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi
empiris. Tidak terdapat diagnosis penyakit infeksi selain sepsis dan hasil
uji kultur bakteri adalah negatif sehingga tidak diketahui jenis bakteri
yang menginfeksi. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr.
Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di
lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa
antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin
(efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap
121
121
lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua
bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada
pasien nomor 3 termasuk dalam kategori IVA.
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
spektrum lebih sempit
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 8 hari. Secara
umum, antibiotik dapat dihentikan setelah 7-10 hari (Bugano et al, 2008)
sehingga pemberian tidak dianggap terlalu lama.
g. Dosis, interval dan rute: berdasarkan data laboratorium, pasien
mengalami peningkatan kreatinin serum pada hari pemberian
meropenem. Karena ketiadaan data berat badan maka perhitungan klirens
kreatinin dilakukan dengan rumus Jellife.
CrCl (mL/menit) = 98 – [ 0,8 x {usia-20}]
SCr
= 98 – [ 0,8 x { 50-20}]
17,8
= 4,1 mL/menit
Dari catatan pemberian antibiotik diketahui pasien diberikan rejimen 2 x
500 mg. Dengan klirens kreatinin sebesar 4,1 mL/menit, interval harus
disesuaikan menjadi 24 jam sedangkan dosis boleh diberikan seperti
biasa atau setengah dari dosis lazim. Dengan pertimbangan ini maka
rejimen penggunaan meropenem termasuk kategori IIB (interval tidak
tepat). Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi
intravena dan dinilai sudah tepat.
122
122
e. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa selama perawatan dimana
meropenem harus diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu
pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan
meropenem pada pasien nomer 17 termasuk dalam kategori IVA
No: 18 Jenis Terapi: definitif Nosocomial sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√ Masih ada antibiotik dengan spektrum lebih
sempit
III Lama pemberian
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √
b Interval tepat √
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori IVD
123
123
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b. Indikasi pemberian antibiotik: berdasarkan diagnosis dan data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data
laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi
definitif dengan hasil kultur pus positif Eschericia coli. Berdasarkan peta
resistensi bakteri, tingkat resistensi Eschericia coli terhadap meropenem
hanya sebesar 12% sehingga meropenem dianggap masih efektif
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: netilmisin merupakan aminoglikosida
yang memiliki aktivitas lebih luas pada gram negatif yang masih efektif
melawan Eschericia coli di RUMKITAL Dr. Mintohardjo sehingga
rejimen penggunaan meropenem pada pasien 18 termasuk dalam kategori
IVD/
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 6 hari. Secara
umum, antibiotik dapat dihentikan setelah 7-10 hari (Bugano et al, 2008)
sehingga pemberian tidak dianggap terlalu singkat. Selain itu pasien
menunjukkan perbaikan dengan penggunaan meropenem.
e. Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga
tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem
dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem.
Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima
meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap
124
124
tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi
intravena dan dinilai sudah tepat..
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan
meropenem pada pasien nomer 18 termasuk dalam kategori IVD
No: 19 Jenis Terapi: empiris Hospital acquired pneumonia sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√ Masih ada antibiotik yang lebih efektif
untuk mengatasi bakteri yang diduga
menyebabkan pneumonia.
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √
b Interval tepat √
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori IVA
Analisis:
125
125
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengkap untuk dievaluasi
b. Indikasi pemberian antibiotik: Berdasarkan diagnosis dan hasil
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Hasil
diagnosis dan data laboratorium dapat dilihat di lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem meropenem sebagai
terapi empiris untuk Hospital acquired pneumonia sepsis. Bakteri yang
paling banyak ditemukan pada pasien Hospital acquired pneumonia
sepsis antara lain Pseudomonas sp, Eschericia coli, Klebsiella
pneumonia dan apabila merujuk pada peta resistensi antibiotik
RUMKITAL Dr. Mintohardjo tahun 2014, bakteri yang paling banyak
ditemukan di sputum adalah Coliform dan Pseudomonas. Antibiotik yang
direkomendasikan adalah seftriakson, levofloksasin dan ampisilin-
sulbaktam. Mengacu pada peta resistensi RUMKITAL Dr. Mintohardjo
tahun 2014, meropenem sudah resisten terhadap Coliform dengan tingkat
resistensi 65% dan terhadap Pseudomonas sebesar 53%. Dari ketiga
rekomendasi tersebut levofloksasin menunjukkan tingkat resistensi yang
lebih rendah yaitu 41% sehingga diniliai lebih efektif. Dengan alasan ini
maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien 2 termasuk kategori
IVA (alternatif lebih efektif).
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
spektrum lebih sempit
d. Lama pemberian: : pasien menerima meropenem selama 9 hari. Bugano
et al menyatakan waktu terapi untuk Hospital acquired pneumonia
sepsis adalah hingga 7 hari dan 15 hari apabila dicurigai terjadi infeksi
126
126
oleh Pseudomonas sehingga waktu pemberian meropenem pasien tidak
terlalu lama atau terlalu singkat
e. Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga
tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem
dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem.
Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima
meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap
tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah drip dalam
NaCl 0,9%. Menurut Baldwin (2008) meropenem kompatibel dengan
NaCl.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan
meropenem pada pasien nomer 19 termasuk dalam kategori IVA
No: 20 Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√ Masih ada antibiotik yang lebih efektif
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
127
127
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √
b Interval tepat √ CrCl pasien sebelum pemberian
meropenem sebesar 30,2 mL/menit
sehingga membutuhkan penyesuaian
interval menjadi 12 jam
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori IVA, IIB
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b. Indikasi pemberian antibiotik: berdasarkan diagnosis dan data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data
laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi
empiris. Tidak terdapat diagnosis penyakit infeksi selain sepsis dan hasil
uji kultur bakteri adalah negatif sehingga tidak diketahui jenis bakteri yang
menginfeksi. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr.
Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di
lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa
antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin (efektif
terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap lima dari
delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua bakteri). Dengan
demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada pasien nomor 3
termasuk dalam kategori IVA.
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
128
128
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien ditanggung
oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan spektrum
lebih sempit
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 6 hari. Secara
umum, antibiotik dapat dihentikan setelah 7-10 hari (Bugano et al, 2008)
sehingga pemberian tidak dianggap terlalu singkat.
e. Dosis, interval dan rute: berdasarkan data laboratorium, pasien mengalami
peningkatan kreatinin serum pada hari pemberian meropenem. Karena
ketiadaan data berat badan maka perhitungan klirens kreatinin dilakukan
dengan rumus Jellife.
CrCl (mL/menit) = 98 – [ 0,8 x {usia-20}]
SCr
= 98 – [ 0,8 x { 67-20}]
2
= 30,2 mL/menit
Dengan klirens kreatinin sebesar 30,2 mL/menit, interval harus
disesuaikan menjadi 12 jam sedangkan dosis diberikan seperti biasa.
Dengan pertimbangan ini maka rejimen penggunaan meropenem termasuk
kategori IIB (interval tidak tepat)
Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah drip dalam NaCl
0,9%. Menurut Baldwin (2008) meropenem kompatibel dengan NaCl
0,9%.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus diberikan
setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan
meropenem pada pasien nomer 20 termasuk dalam kategori IVA dan IIB
129
129
No: 21 Jenis Terapi: empiris Community acquired sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √ Data pemberian obat tidak lengkap
V Antibiotik
diindikasikan
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
b Alternatif lebih
tidak toksik
c Alternatif lebih
murah
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
III Lama pemberian
a Terlalu lama
b Terlalu singkat
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat
b Interval tepat
c Rute tepat
I Waktu tepat
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori VI
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien tidak memiliki data yang cukup untuk dievaluasi
Kesimpulan: rejimen penggunaan meropenem pada pasien 21 termasuk
kategori VI
No: 22 Jenis Terapi: empiris Community acquired pneumonia sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √ Data pemberian obat tidak lengkap
V Antibiotik
diindikasikan
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
130
130
efektif
b Alternatif lebih
tidak toksik
c Alternatif lebih
murah
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
III Lama pemberian
a Terlalu lama
b Terlalu singkat
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat
b Interval tepat
c Rute tepat
I Waktu tepat
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori VI
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien tidak memiliki data yang cukup untuk
dievaluasi
Kesimpulan: rejimen penggunaan meropenem pada pasien 22 termasuk
kategori VI
No: 23 Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√ Masih ada antibiotik yang lebih efektif
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
131
131
III Lama pemberian
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √
b Interval tepat √
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori IVA
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b. Indikasi pemberian antibiotik: berdasarkan diagnosis dan data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data
laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi
empiris. Tidak terdapat diagnosis penyakit infeksi selain sepsis dan hasil
uji kultur bakteri adalah negatif sehingga tidak diketahui jenis bakteri
yang menginfeksi. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr.
Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di
lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa
antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin
(efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap
lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua
bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada
pasien nomor 3 termasuk dalam kategori IVA.
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
132
132
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
spektrum lebih sempit
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 5 hari hingga
meninggal sehingga tidak serta merta dapat dikatakan terlalu sebentar. .
e. Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga
tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem
dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem.
Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima
meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap
tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi
intravena dan dinilai sudah tepat.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan
meropenem pada pasien nomer 23 termasuk dalam kategori IV.
No: 24 Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√ Masih ada antibiotik yang lebih efektif
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
133
133
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √
b Interval tepat √
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori IVA
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b. Indikasi pemberian antibiotik: berdasarkan diagnosis dan data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data
laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi
empiris. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr.
Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di
lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa
antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin
(efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap
lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua
bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada
pasien nomor 24 termasuk dalam kategori IVA.
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
spektrum lebih sempit
134
134
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 4 hari. Secara
umum, antibiotik dapat dihentikan setelah 7-10 hari (Bugano et al, 2008)
sehingga pemberian tidak dianggap terlalu lama.
e. Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga
tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem
dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem.
Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima
meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap
tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi
intravena dan dinilai sudah tepat.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan meropenem
pada pasien nomer 24 termasuk dalam kategori IVA.
No: 25 Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√ Masih ada antibiotik yang lebih efektif
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
135
135
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √
b Interval tepat √
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori IVA
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b. Indikasi pemberian antibiotik: berdasarkan diagnosis dan data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data
laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi
empiris. Tidak terdapat diagnosis penyakit infeksi selain sepsis dan hasil
uji kultur bakteri adalah negatif sehingga tidak diketahui jenis bakteri
yang menginfeksi. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr.
Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di
lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa
antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin
(efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap
lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua
bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada
pasien nomor 3 termasuk dalam kategori IVA.
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
spektrum lebih sempit
136
136
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 7 hari. Secara
umum, antibiotik dapat dihentikan setelah 7-10 hari (Bugano et al, 2008)
sehingga pemberian tidak dianggap terlalu lama.
e. Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga
tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem
dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem.
Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima
meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap
tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi
intravena dan dinilai sudah tepat.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan
meropenem pada pasien nomer 25 termasuk dalam kategori IVA.
No: 26 Jenis Terapi: empiris Nosocomial sepsis
Kategori Parameter Kesesuaian Alasan
Ya Tida
k
VI Data lengkap √
V Antibiotik
diindikasikan
√
IV Pemilihan
antibiotik
a Alternatif lebih
efektif
√ Masih ada antibiotik yang lebih efektif
b Alternatif lebih
tidak toksik
√
c Alternatif lebih
murah
√
d Spektrum
alternatif lebih
sempit
√
III Lama pemberian
a Terlalu lama √
b Terlalu singkat √
137
137
II Dosis, Interval,
Rute
a Dosis tepat √
b Interval tepat √
c Rute tepat √
I Waktu tepat √
0 Tidak termasuk I-
VI
√
KESIMPULAN: Kategori
Analisis:
a. Kelengkapan data: pasien memiliki data yang lengka untuk dievaluasi
b. Indikasi pemberian antibiotik: berdasarkan diagnosis dan data
laboratorium pasien terindikasi untuk menerima antibiotik. Data
laboratorium dapat dilihat pada lampiran 3
c. Pemilihan antibiotik:
- Alternatif lebih efektif: pasien menerima meropenem sebagai terapi
empiris. Tidak terdapat diagnosis penyakit infeksi selain sepsis dan hasil
uji kultur bakteri adalah negatif sehingga tidak diketahui jenis bakteri
yang menginfeksi. Merujuk pada peta resistensi bakteri RUMKITAL Dr.
Mintohardjo tahun 2014, lima dari delapan bakteri yang ditemukan di
lingkungan rumah sakit sudah resisten terhadap meropenem. Beberapa
antibiotik yang memiliki efektivitas lebih baik antara lain amikasin
(efektif terhadap lima dari delapan bakteri), imipenem (efektif terhadap
lima dari delapan bakteri) dan fosfomisin (efektif terhadap semua
bakteri). Dengan demikian maka rejimen penggunaan meropenem pada
pasien nomor 3 termasuk dalam kategori IVA.
- Alternatif lebih tidak toksik: tidak terdapat interaksi antara obat yang
digunakan pasien dengan meropenem. Secara umum meropenem
merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak
dan orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima
(Mohr, 2008)
- Alternatif lebih murah: biaya pengobatan dan perawatan pasien
ditanggung oleh BPJS sehingga harga dianggap tidak membebani pasien
- Spektrum alternatif lebih sempit: tidak terdapat alternatif dengan
spektrum lebih sempit
138
138
d. Lama pemberian: pasien menerima meropenem selama 11 hari. Secara
umum, antibiotik dapat dihentikan setelah 7-10 hari (Bugano et al, 2008)
sehingga pemberian tidak dianggap terlalu lama.
e. Dosis, interval dan rute: pasien tidak mengalami gagal ginjal sehingga
tidak membutuhkan penyesuaian rejimen. Pasien menerima meropenem
dengan dosis 3 x 1 gram yang merupakan dosis lazim meropenem.
Berdasarkan catatan pemberian obat di rekam medis pasien menerima
meropenem dengan interval 8 jam sehingga interval pemberian dianggap
tepat. Adapun rute pemberian meropenem pada pasien adalah injeksi
intravena dan dinilai sudah tepat.
f. Waktu: meropenem diberikan secara parenteral sehingga tidak terjadi
absorbsi pada saluran pencernaan dan karena itu tidak diperlukan
penyesuaian waktu pemberian berkaitan dengan makanan. Pasien juga
tidak melakukan prosedur hemodialisa dimana meropenem harus
diberikan setelah hemodialisa sehingga waktu pemberian dinilai benar.
Kesimpulan: berdasarkan uraian analisis di atas rejimen penggunaan
meropenem pada pasien nomer 26 termasuk dalam kategori IVA
1
39
Lampiran 4. Laporan Peta Resistensi Bakteri RUMKITAL Dr. Mintohardjo Tahun 2014
Spesies
Bakteri
Status Resistensi Terhadap Antibiotik (%)
AM
C
AK
AM
P
CF
P
CT
X
CP
R
CA
Z
CR
O
C
CIP
FO
S
CN
IPM
K
ME
M
INA
NE
T
OF
X
PR
C
VA
LE
V
FE
P
ZO
X
Bakteri Gram Positif Kokus
Streptococcus
Sp
S 60 40 80 20 - 40 20 40 40 40 80 40 80 - 40 0 - 20 - 40 60 40 40
I 20 0 0 0 - 20 20 0 20 40 20 0 0 - 0 0 - 40 - 40 0 0 0
R 20 60 20 80 - 40 60 60 40 20 0 60 20 - 60 100 - 40 - 20 40 60 60
Staphylococcus
aureus
S 38 50 17 20 - 12 21 25 25 21 63 37 63 - 42 4 - 17 - 37 25 30 30
I 4 8 13 13 - 17 12 8 4 4 0 0 0 - 0 4 - 4 - 8 13 8 0
R 58 42 70 57 - 71 67 67 71 75 37 63 37 - 58 92 - 79 - 55 62 62 70
Bakteri Gram Negatif Batang
Alkaligenes sp S - 26 - 20 7 0 23 7 23 23 47 17 33 13 37 13 30 20 17 - 30 13 10
I - 10 - 10 10 0 13 7 0 13 13 3 3 3 3 3 3 7 10 - 13 13 3
R - 64 - 70 83 100 64 86 77 47 40 80 64 84 60 84 67 73 73 - 57 74 87
Pseudomonas
sp
S - 59 - 35 12 0 44 6 0 12 53 29 47 0 47 6 47 29 29 - 59 35 0
I - 18 - 12 12 0 23 12 0 41 18 6 6 0 0 6 0 24 12 - 0 18 0
R - 23 - 53 76 100 23 82 100 57 29 65 47 100 53 88 53 47 59 - 41 47 100
Coliform S - 40 - 16 0 5 11 5 19 43 57 19 30 8 35 16 21 19 11 - 19 5 3
I - 14 - 5 0 5 8 3 8 19 8 5 5 8 0 8 3 5 11 - 8 14 11
R - 46 - 79 100 90 81 92 73 38 35 76 64 84 65 76 76 76 78 - 73 81 86
Eschericia coli S - 65 - 18 24 15 29 24 38 18 76 41 76 21 88 15 59 24 15 - 38 38 29
I - 15 - 8 6 6 9 6 6 18 0 0 0 24 0 21 15 15 9 - 3 6 21
R - 20 - 74 70 79 62 70 56 64 24 59 24 75 12 64 26 61 76 - 59 56 50
Proteus sp. S - 53 - 13 0 7 20 7 20 20 40 27 54 7 60 7 47 13 20 - 27 27 7
I - 20 - 13 13 7 33 13 0 20 13 20 13 7 0 0 6 13 13 - 13 20 13
R - 27 - 74 87 86 47 80 80 60 47 53 33 86 40 93 47 74 67 - 60 53 80
Aerobacter S - 33 - 50 50 50 50 50 50 50 67 33 67 33 67 50 50 50 50 - 50 50 50
140
140
sp I - 17 - 0 0 0 0 0 0 0 16 17 0 17 0 0 0 0 0 - 17 0 0
R - 50 - 50 50 50 50 50 50 50 17 50 33 50 33 50 50 50 50 - 33 50 50
Keterangan: S= Sensitif; I= Intermediat; R= Resisten; AMC: Amoksisilin sulfat; AK= Amikasin sulfat, AMP= Ampisilin; CFP= Sefoperazon; CTX= Sefotaksim;
CPR= Sefrozil; CAZ= Seftazidim; CRO= Seftriakson; C= Kloramfenikol; CIP= Siprofloksasin; E= Eritromisin; FOS= Fosfomisin’ GN= Gentamisin; IPM= Imipenem;
K= Kanamisin; MEM= Meropenem; NA= Asam nalidiksat; NET= Netilsimin; OFX= Ofloksasin; TZP= Piperasilin tazobactan; TE= Tetrasiklin; VA= Vankomisin;
LEV= Levofloksasin; ZOX= Seftizoksim; FEP= Sefepim