Uas semiotika komunikasi (part 2)

37
REPRESENTASI KASUS KPK DAN POLRI DALAM COVER MAJALAH TEMPO EDISI 26 JANUARI 2015 DENGAN ANALISIS SEMIOTIKA PROPOSAL SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S.I.Kom.) Nama : Lukman Prabowo NIM : 1271510115 Program Studi : Ilmu Komunikasi Konsentrasi : Broadcast Journalism

Transcript of Uas semiotika komunikasi (part 2)

Page 1: Uas semiotika komunikasi (part 2)

REPRESENTASI KASUS KPK DAN POLRI DALAM COVER MAJALAH TEMPO EDISI 26 JANUARI 2015 DENGAN ANALISIS

SEMIOTIKA

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh GelarSarjana Ilmu Komunikasi (S.I.Kom.)

Nama : Lukman PrabowoNIM : 1271510115Program Studi : Ilmu KomunikasiKonsentrasi : Broadcast Journalism

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASIUNIVERSITAS BUDI LUHUR

JAKARTA2014

Page 2: Uas semiotika komunikasi (part 2)

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan

sehari-hari manusia pada umumnya. Hampir setiap saat kita selalu dikaitkan

dengan komunikasi. Kodrat manusia merupakan makhluk sosial yang

memerlukan interaksi. Dalam dunia komunikasi interaksi merupakan hal yang

wajib dilakukan oleh seorang agar penyampaian pesan terlaksana dengan

baik.

Komunkiasi dibedakan menjadi banyak jenis, salah satu jenis yang

penulis angkat adalah komunkasi massa. Komunikasi massa merupakan

proses dimana organisasi media membuat dan menyebarkan pesan kepada

khalayak banyak (publik). Organisasi - organisasi media ini akan

menyebarluaskan pesan-pesan yang akan memengaruhi dan mencerminkan

kebudayaan suatu masyarakat, lalu informasi ini akan mereka hadirkan

serentak pada khalayak luas yang beragam. Hal ini membuat media menjadi

bagian dari salah satu institusi yang kuat di masyarakat.

Dalam komunikasi masa, media masa menjadi otoritas tunggal yang

menyeleksi, memproduksi pesan, dan menyampaikannya pada khalayak.

Penulis melihat pengaruh komunikasi massa terhadap khalayak maka penulis

membuat penelitian dengan menggunakan komunikasi massa yang juga

sesuai dengan konsentrasi pendidikan penulis. Alat analisis yang penulis

pakai adalah analisi semiotika, yang merupakan proses pemaknaan tanda.

Topik yang akan penulis angkat adalah menganalisa makna yang tersirat

dalam cover majalah tempo edisi 26 Januari 2015 s/d 01 Februari 2015.

Dalam majalah tersebut banyak gambaran makna yang dapat diterjemahkan

dengan bahasa sehari-hari. Pada analisa ini penulis akan menggunakan teori

Semiotika Mitos Roland Barthes. Dalam cover majalah Tempo edisi tersebut

merupakan representasi kasus KPK dan Polri yang seakan menampilkan

bahwa figur KPK yang dilambangkan “cicak” diintimidasi oleh banyak pihak.

Page 3: Uas semiotika komunikasi (part 2)

Berikut adalah gambar cover majalah tempo edisi 26 Januari 2015 s/d 01

Februari 2015. Berdasarkan hal itulah penulis membuat penelitian ini.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis membuat rumusan masalah

sebagai berikut :

- Pengaruh media massa untuk mempengaruhi khalayak terhadap kasus

KPK vs Polri

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk memberika pengetahuan tentang analisis

semiotika untuk menganalisa tanda. Sehingga kita dapat melihat pemaknaan

yang dibangun oleh media massa.

1.4. Kegunaan penelitian

Secara praktis penelitian ini berguna untuk memperlihatkan pesan yang ada

pada media massa sehingga pesan dapat disampaikan secara terbuka.

Manfaat akademis adalah untuk menjadi dasar penelitian terdahulu untuk

mahasiswa melakukan penelitian selanjutnya dengan topik semiotika.

1.5. Sistematika Penulisan

Dalam skripsi ini penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I berisi tentang latar belakang penulis memilih dan menetapkan tema

dan topik pembahasan. Penulis juga menjelaskan rumusan masalah, tujuan,

manfaat dan sistematika penulisan.

BAB II penulis menjelaskan kajian pustaka, dimana penulis menjelaskan

penelitian sebelumnya yang sejenis.

BAB III Penulis menjelaskan metodologi penelitian dan paradigma yang

dipakai.

BAB IV penulis akan melakukan pembahasan dan analisa sesuai dengan

topik yang diteliti.

BAB V penulis akan memberika kesimpulan dan saran.

Page 4: Uas semiotika komunikasi (part 2)

BAB IIKAJIAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

- ANALISIS SEMIOTIK SAMPUL MAJALAH MALE EDISI NOVEMBER –

DESEMBER 2012 (Representasi Citra Perempuan Dalam Sampul

Majalah), PUTRA ALAM, ANDI

Andi Putra Alam, E 311 06 004, Analisis Semiotik Sampul Majalah MALE

Edisi November-Desember 2012 (Representasi Citra Perempuan Pada

Sampul Majalah) dibimbing oleh Abdul Gaffar selaku pembimbing I dan

Alem Febri Sonni selaku pembimbing II. Tujuan Penelitian ini adalah (1)

Untuk mengetahui representasi Majalah MALE edisi November-Desember

2012 tentang citra perempuan ke dalam sebuah analisis semiotik pada

sampulnya. (2) Untuk mengetahui tanda-tanda penggambaran citra

perempuan yang terdapat di sampul Majalah MALE edisi November-

Desember 2012. Untuk mencapai tujuan yang dimaksud di atas, maka

metode penelitian yang digunakan meliputi : tipe penelitian kualitatif.

Penelitian ini didasarkan pada sampul Majalah MALE edisi November-

Desember 2012. Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah

analisis semiotika Charles Sanders Pierce, Penggunaan analisis semiotika

ini bertujuan untuk melihat bagaimana majalah mencitrakan perempuan

melalui penggambaran sampulnya. Hasil penelitian ini menunjukkan

penggambaran citra perempuan pada Majalah MALE dilihat dari pemilihan

pakaian menggambarkan perempuan yang feminim, sederhana, berani

dan anggun. Jika dilihat melalui pose, Majalah MALE menggambarkan

perempuan yang elegan dan ramah tamah. Jika dilihat dari simbol-simbol

yang divisualkan, Majalah MALE menggambarkan perempuan yang

ramah, serius, sederhana, berani, anggun dan manis. Jika dilihat dari teks

yang ditampilkan, menggambarkan perempuan yang feminim, sederhana,

berani, manis dan anggun. Melalui warna-warna pada pakaian, backgroud

serta aksesoris menunjukkan sifat kewanitaan. Selain itu, pada Majalah

MALE penggambaran juga diperlihatkan melalui sosok model yang

banyak dikenal publik (terkenal), profesional, sedang naik daun dan

memiliki kelebihan. Andi Putra Alam, E 311 06 004

Page 5: Uas semiotika komunikasi (part 2)

- ANALISIS SEMIOTIKA COVER MAJALAH XY-KIDS! EDISI DESEMBER

2011- JANUARI 2012, Tia Purbaningrum

Di sini peneliti akan melakukan penelitian pada cover majalah XY-Kids!

Gambar yang ada pada cover majalah XY-Kids! dibuat sesuai dengan

kebutuhan informasi khalayaknya. Beberapa rubrik di dalam majalah

dipilih berdasarkan apa yang disukai oleh anak-anak melalui rapat redaksi

lalu rubrik yang paling disukai tersebut dirangkum pada sebuah cover

majalah. Gambar yang terdapat pada cover tentunya memiliki pesan dan

maknanya tersendiri yang ingin disampaikan oleh redaksi kepada

pembacanya. Gambar-gambar yang terdapat pada sebuah sampul

majalah memiliki banyak makna dan setiap orang berbeda-beda dalam

memaknai gambar tersebut sesuai dengan pemahaman masing-masing.

Untuk memahami makna dari sebuah sampul majalah tidaklah mudah.

Oleh karena itu, kita perlu memahami arti dan alasan dari penggunaan

bentuk maupun susunan/rangkaian kata-kata, gambar dan warna yang

dipakai. Di sini peneliti menggunakan metode semiotika (Model Charles

Sanders Peirce) untuk memahami makna-makna yang tersirat pada tanda

sehingga terbentuk sebuah makna yang komprehensif dan jelas.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti akan meneliti cover majalah

XY-Kids! Dengan demikian peneliti mengambil judul “Analisis Semiotika

Cover Majalah XY-Kids! edisi Desember 2011 - Januari 2012”.

BAB III

Page 6: Uas semiotika komunikasi (part 2)

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Paradigma Penelitian

Pada penelitian ini penulis menggunakan paradigma konstruktivisme.

Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah

realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya,

konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan

bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa

konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini

sering sekali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia

sering dilawankan dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi.

Paradigma Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang

memisahlkan subjek dengan objek komunikasi. Dalam pandangan

konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami

realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan.

Konstruktivisme justru menganggap subjek (komunikan/decoder) sebagai

faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosial.

3.2. Metodologi Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif pada skripsi ini. Metodologi

kualitatif adalah metode yang lebih menekankan pada aspek pemahaman

secara mendalam terhadap suatu masalah daripada melihat permasalahan

untuk penelitian generalisasi. Metode penelitian ini lebih suka menggunakan

teknik analisis mendalam ( in-depth analysis ), yaitu mengkaji masalah secara

kasus perkasus karena metodologi kulitatif yakin bahwa sifat suatu masalah

satu akan berbeda dengan sifat dari masalah lainnya. Tujuan dari metodologi

ini bukan suatu generalisasi tetapi pemahaman secara mendalam terhadap

suatu masalah. Penelitian kualitatif berfungsi memberikan kategori substantif

dan hipotesis penelitian kualitatif. Berdasarkan hal-hal terkait maka penulis

melihat metodologi ini adalah metode yang tepat dikarenakan metode ini

menggunakan anaisis mendalam.

BAB IV

Page 7: Uas semiotika komunikasi (part 2)

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. MajalahMajalah adalah sebuah media publikasi atau terbitan secara berkala yang

memuat artikel – artikel dari berbagai penulis (Assegaff, 1983 : 127). Selain

memuat artikel, Majalah juga merupakan publikasi yang berisi cerita pendek,

gambar, review, ilustrasi atau fitur lainnya yang mewarnai isi dari majalah. Oleh

karena itu, majalah dijadikan salah satu pusat informasi bacaan yang sering

dijadikan bahan rujukan oleh para pembaca dalam mencari sesuatu hal yang

diinginkannya. Eksistensi majalah muncul karena kebutuhan masyarakat akan

informasi beragam yang sesuai dengan gaya hidup masyarakat saat ini. Maka

tak heran banyak berbagai ragam majalah beredar saat ini, yang disesuaikan

dengan segmentasinya. Majalah dapat dibedakan menurut pembaca pada

umumnya atau kelompok pembaca yang menjadi target pasarnya, yakni majalah

dapat diklasifikasikan menurut segmen demografis (usia atau jenis kelamin),

ataupun pembedaan secara psikografis, dan geografis atau dapat dilihat dari segi

kebijakan editorialnya (Kasali, 1992:111).

4.1.2. RepresentasiDalam Kamus Besar Bahasa Indonesia representasi diartikan sebagai suatu

perbuatan mewakili; keadaan diwakili; dan apa yg mewakili; perwakilan. Secara

sederhana, representasi adalah sebuah gambaran suatu hal yang digambarkan

Page 8: Uas semiotika komunikasi (part 2)

melalui media. Menurut chris barker representasi adalah konstruksi sosial yang

mengharuskan kita mengeksplorasi pembentukan makna tekstual dan

menghendaki penyelidikantentang cara dihasilkannya makna pada beragam

konteks. Yasraf Amir Piliang (2003:28) menjelaskan, representasi pada dsarnya

adalah sesuatu yang hadir, namun menunjukan sesuatu diluar dirinyalah yang

coba dihadirkan. Mitchell (1990) membayangkan representasi sebagai sebuah

segiempat dengan dua sumbu diagonal, yang menghubungkan objek

presentasional dengan yang merepresentasikan dan lainnya menghubungkan

pembuat representasi ke penampil.

4.1.3. IntimidasiIntimidasi (juga disebut cowing) dimaksudkan adalah perilaku yang akan

menyebabkan seseorang yang pada umumnya akan merasakan "takut cedera"

atau berbahaya. Ini tidak diperlukan untuk membuktikan bahwa perilaku tersebut

menimbulkan kekerasan sebagai teror untuk korban yang sebenarnya takut. Hal

tersebut menggunakan kekerasan atau ancaman untuk mencapai tujuan politik,

agama, atau ideologi.

Segala perilaku mengancam seharusnya dapat menjadi sebuah

perkembangan yang normal kompetitif maladaptive untuk mendorong dominasi.

Dalam beberapa kasus, perilaku mengancam mungkin lebih terpola sepenuhnya

oleh kekuatan sosial, atau mungkin lebih mercilessly plotted egotisme oleh

individu, yaitu menggunakan 'ancaman kekerasan' atau 'mengancam' untuk

mengatakan atau melakukan sesuatu terhadap pihak lain. Banyak hal yang dapat

dijadikan sebuah intimidasi, dan tidak banyak terkadang intimidasi dikarenakan

ada perbedaan minoritas dan mayoritas. Kaitan hal tersebut kaum minoritas

terkadang di intimidasi oleh kaum mayoritas.

4.1.4. Teori Semiotika Roland BarthesBarthes, lahir di Chevourg pada tahun 1915 dan meninggal di Paris pada

tahun 1980. Ia belajar sastra Perancis dan bahasa-bahasa klasik di Universitas

Paris, dan setelah lulus mengajar bahasa Perancis di Universitas Rumania dan

Mesir, kemudian bergabung dalam Pusat Riset Ilmiah Nasional, mendalami

bidang sosiologi serta leksikologi. Selain itu Barthes juga mengajar sosiologi

tanda, simbol dan representasi kolektif di Perancis. Barthes memulai kariernya

Page 9: Uas semiotika komunikasi (part 2)

sebagai penulis kemudian mengabdikan dirinya pada semiologi. Pernyataan

Barthes yang paling dikenal adalah “La Mort de l’auteur” atau “matinya si

penulis”, The death of the author yang dengan itu ia ingin menggarisbawahi

bahwa tidak ada otoritasi interpretasi, dan interpretasi dapat terus berjalan. Buku

Mithologie (mitologi), karya Roland Barthes merupakan buku seri yang memuat

artikel-artikel yang sebagian besar dipublikasikan dalam majalah Les Leures

Nouvelles antara tahun 1954 dan 1956. Tujuan dari majalah tersebut membahas

nilai-nilai dan sikap yang secara implisit memuat berbagai pesan yang sesuai

dengan kebudayaan seperti layaknya dalam koran, majalah, laporan, dan foto,

melalui objek atau material seperti permainan, minuman, parfum dan mobil.

Barthes menamakan pesan-pesan tersebut sebagai “mitos” (Yunani:

muthos),artinya tuturan yang mempunyai makna pesan.

Mitos adalah suatu bentuk pesan atau tuturan yang harus diyakinii

kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Mitos bukan konsep atau ide tertapi

merupakan suatu cara pemberian arti. Menurut Roland Barthes tuturan mitologis

bukan saja berbentuk tuturan oral, tetapi tuturan itu dapat berbentuk tulisan,

fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, iklan, lukisan. Mitos pada

dasarnya adalah semua yang mempunyai modus representasi. Mitos yang

berurusan dengan semiologi telah berkaitan dengan dua istilah, yakni penanda

signifier (significant) dan petanda signified (signife), dan kemudian bertautan lagi

dengan istilah sign (tanda). Misalnya satu karangan bunga menandakan cinta.

Dalam hal ini berarti tidak hanya berurusan dengan signifier dan signified, bunga

dan cinta, karena dalam tahap analisis terdapat tiga istilah, bunga yang

menandakan cinta adalah sebagai tanda (sign). Dalam hal ini signifier adalah

suatu konsep bahasa (bunga), signified adalah gambaran dari mental bunga, dan

sign merupakan hubungan antara konsep dan gambaran mental yang melahirkan

suatu arti, yakni: cinta. Jika hal tersebut diterapkan pada contoh psikis (Freud),

bahwa psikis manusia adalah representasi. Barthes cenderung memisahkan

ketiga istilah signifier, signified, dan sign sebagaimana tampak pada bagan

berikut:

1. Signifier (Penanda) 2. Signified (Petanda)

3. Sign (Tanda)

Page 10: Uas semiotika komunikasi (part 2)

Di dalam mitos kita menemukan ketiga pola di atas, yakni signifier, signified,

dan sign, tetapi mitos mempunyai sistem yang lebih unik karena sistem

semiologisnya dikonstruksi dari sistem semiologis sebelumnya, yakni sign atau

tanda.

Di dalam mitos terdapat dua sistem semiologi. Pertama kita melihat bahasanya

atau modus representasinya seperti fotografi, lukisan, poster, ritual atau objek

lainnya yang disebut dengan objek bahasa atau meta-language, karena bahasa

mitos merupakan bahasa kedua, dari pembicaraan bahasa pertamanya.

Teori Barthes selalu membawa keterkaitan tentang tanda yang dimaknai secara

denotasi kemudian dimaknai secara konotasi sesuai dengan sudut pandang

masyarakat berkembang. Jika konotasi itu sudah mantap, maka ia akan menjadi

mitos, sedangkan mitos yang sudah mantap akan menjadi ideologi (Barthes, dalam

Rusmana, 2005). Rumusan tentang teori Barthes dapat dlihat dalam gambar

dibawah :

First Order Second Order

Reality Sign Culture

1. Signifier (Penanda)

2. Signified (Petanda)

3. Sign (Tanda) (Denotatif)I. Signifier (Penanda) II. Signified (Petanda)

III. Sign (tanda) (Konotatif)

Page 11: Uas semiotika komunikasi (part 2)

Dari gambar diatas, dapat dijelsakan bahwa signifikasi tahap pertama

merupakan Signifier dan Signified yang disebut denotasi, yaitu makna

sebenarnya dari tanda. Sedangkan signifikasi tahap kedua digunakan istilah

konotasi, yaitu makna yang subyektif atau paling tidak, intersubyektif; yang

berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos. Mitos merupakan lapisan

pertanda dan makna yang paling dalam.

4.1.5. Hasil TemuanSetelah melihat dan mengamati Cover majalah Tempo tersebut, maka penulis

menemukan beberapa tanda yang mengandung makna mendalam. Penanda

tersebut coba penulusi maknai satu persatu dan nantinya dibuat kesimpulan.

Adapun penemuan yang penulis temui pada cover majalah tersebut adalah :

- Gambar 5.1. (Gambar siluet Ular)

- Gambar 5.2. (Gambar siluet Buaya)

- Gambar 5.3. (Gambar siluet Kalajengking)

- Gambar 5.4. (Gambar siluet Laba-Laba)

- Gambar 5.5. (Gambar Siluet Kecoa)

- Gambar 5.6. (Gambar Siluet 2 Kelabang disamping Buaya)

- Gambar 5.7. (Gambar Siluet Cicak )

- Gambar 5.8. (Gambar Tulisan “KPK adalah Kita” dalam lingkaran ular)

4.1.6. Analisis PembahasanKasus kisruh KPK dan Polri seakan menjadi topik yang selalu mengundang tanya

dan kebingungan. Pada kali ini penulis mengangkat penampilan depan majalah

terbitan perusahaan media Tempo. Sudah tidak asing ditelinga kita mendengan

kata Tempo, dibalik sebuah kebranian perusahaan yang selalu menampilkan

pemberitaan “nyentrik” dan tidak tanggung-tanggung keberanian mengkritik

sesuatu dalam pemberitaannya. Dalam analsisi ini penulis mengangkat majalah

Mitos

Konotasi

Signifier

SignifiedDenotasi

Page 12: Uas semiotika komunikasi (part 2)

tempo dalam pemberitaan kelanjutan dari KPK dengan Polri. Majalah ini terbit

pada 26 Januari 2015 s/d 01 Februari 2015, dengan mengusung judul “KPK

Adalah Kita”.

Berikut adalah hasil temuan penulis dikaitkan dengan teori semiotika dari Barthes

yang terkait dengan Mitos.

Tabel 6.1.Analisis Tataran Pertama Semiotika Roland Barthes

Sign (Tanda) Signifier (Penanda) Signified (Pertanda)

Gambar 5.1.

Siluet Ular

Seekor Ular yang

sedang mecoba

berputar untuk

menangkap mangsa

Ular adalah reptil yang

tak berkaki dan

bertubuh panjang. Ular

memiliki sisik seperti

kadal dan sama-sama

digolongkan ke dalam

reptil bersisik

(Squamata). Ular yang

ditampilkan adalah ular

jenis ular anaconda

Anaconda merupakan

ular terbesar dan paling

kuat di dunia.

Gambar 5.2.

Siluet Buaya

Seekor Buaya yang

sedang mecoba

menangkap mangsa

Buaya adalah reptil

bertubuh besar yang

hidup di air. Secara

ilmiah, buaya meliputi

seluruh spesies

anggota suku

Crocodylidae. Buaya

umumnya menghuni

habitat perairan tawar

seperti sungai, danau,

Page 13: Uas semiotika komunikasi (part 2)

rawa dan lahan basah

lainnya, namun ada

pula yang hidup di air

payau seperti buaya

muara. Makanan utama

buaya adalah hewan-

hewan bertulang

belakang seperti

bangsa ikan, reptil dan

mamalia.

Gambar 5.3.

Siluet Kalajegking

Seekor Kalajengkin

yang sedang mecoba

menangkap mangsa

Kalajengking adalah

sekelompok hewan

beruas dengan delapan

kaki (oktopoda) yang

termasuk dalam ordo

Scorpiones dalam

kelas Arachnida.

Kalajengking masih

berkerabat dengan

ketonggeng, laba-laba,

tungau, dan caplak.

Semua spesies

kalajengking memiliki

bisa. Pada umumnya,

bisa kalajengking

termasuk sebagai

neurotoksin (racun

saraf)

Seekor Laba-laba yang

sedang mecoba

menangkap mangsa

Laba-laba, atau disebut

juga labah-labah,

adalah sejenis hewan

berbuku-buku

(arthropoda) dengan

dua segmen tubuh,

Page 14: Uas semiotika komunikasi (part 2)

Gambar 5.4.

Siluet Laba-Laba

empat pasang kaki, tak

bersayap dan tak

memiliki mulut

pengunyah. Semua

jenis laba-laba

digolongkan ke dalam

ordo Araneae; dan

bersama dengan

kalajengking,

etonggeng, tungau —

semuanya berkaki

delapan— dimasukkan

ke dalam kelas

Arachnida. Laba-laba

tidak memiliki mulut

atau gigi untuk

mengunyah. Sebagai

gantinya, mulut laba-

laba berupa alat

pengisap untuk

menyedot cairan tubuh

mangsanya.

Gambar 5.5.

Siluet Kecoa

Seekor Kecoa yang

sedang memperhatikan

mangsanya

Kecoa, lipas, atau coro

adalah serangga (kelas

Insecta) dari ordo

Blattodea yang kurang

lebih terdiri dari 3.500

spesies dalam 6

familia. Kecoa terdapat

hampir di seluruh

belahan bumi, kecuali

di wilayah kutub. Kecoa

sering dianggap

sebagai hama dalam

Page 15: Uas semiotika komunikasi (part 2)

bangunan, walaupun

hanya sedikit dari

ribuan spesies kecoa

yang termasuk dalam

kategori ini.

Gambar 5.6.

Dua Kelabang di Samping

Buaya

Dua ekor kelabang

yang sedang

mendampingi buaya

untuk menangkap

mangsa

Kelabang adalah

hewan metamerik yang

memiliki sepasang kaki

di setiap ruas

tubuhnya. Hewan ini

termasuk hewan yang

berbisa, dan termasuk

hewan nokturnal.

Mereka adalah

arthropoda soliter (bila

disatukan, Anda

melawan dengan

kematian salah satu

dari dua) dan malam.

Kelabang dianggap

sebagai hewan berbisa

meskipun bisa lipan

kurang mematikan

manusia.

Gambar 5.7.

Siluet Cicak yang dekat

tembok

Seekor cicak yang

sedang berada didekat

tembok dan dengan

gerakan bertahan

(melakukan

pertahanan)

Cecak atau cicak

adalah hewan reptil

yang biasa merayap di

dinding atau pohon.

Cecak berwarna abu-

abu, tetapi ada pula

yang berwarna coklat

kehitam-hitaman.

Cecak biasanya

berukuran sekitar 10

Page 16: Uas semiotika komunikasi (part 2)

centimeter. Cecak

bersama dengan tokek

dan sebangsanya

tergolong ke dalam

suku Gekkonidae. Di

alam cecak biasanya

hidup pada tempat-

tempat teduh.

Gambar 5.8.

Tulisan “KPK adalah Kita”

dalam lingkaran ular

Tulisan yang

menampilkan huruf

“KPK ADALAH KITA” lalu diikuti tulisan sub

judul

“setelah menetapkan

Budi Gunawan sebagai

tersangka, KPK digebuk

dari pelbagai penjuru”

Tulisan ini menandakan

bahwa KPK adalah

milik kita yang

diibaratkan rakyat lalu

ada sub judul yang

berkaitan dengan

pembahasan dalam

majalah tersebut.

Tabel 6.2.Analisis Tataran Kedua Semiotika Roland Barthes

Sign (Tanda) Signifier (Penanda) Signified (Pertanda)

Gambar 5.1.

Siluet Ular

Seekor Ular yang

sedang mecoba

berputar untuk

menangkap mangsa.

Ular yang ditampilkan

adalah ular jenis ular

anaconda. Anaconda

merupakan ular

terbesar dan paling kuat

di dunia.

Anaconda adalah ular

yang terkuat didunia,

ular pada dasarnya

mempunyai sifat yang

licik dan

penggambaran bahwa

ada sosok orang yang

kuat dan hebat didalam

tim buaya

(buaya=polri). Dalam

kegiatannya ular

memang bertindak

Page 17: Uas semiotika komunikasi (part 2)

lamban tapi selalu tepat

sasaran dalam

menngkap dan

melumpuhkan mangsa.

Orang tersebut berjalan

pelan tapi sedang

memperhatikan gerak

gerik cicak (cicak=kpk).

Gambar 5.2.

Siluet Buaya

Seekor Buaya yang

sedang mecoba

menangkap mangsa.

Buaya mempunyai

tubuh yang besar dan

makanan utama buaya

adalah hewan-hewan

bertulang belakang

seperti bangsa ikan,

reptil dan mamalia.

Buaya erupakan hewan

besar dan licik, dia

tidak mengenal

kompromi dalam hal

kekuasaan. Buaya

mempunyai

kemampuan tenaga

yang luar biasa, buaya

selalu menunggu

mangsanya lengah.

Polri diibaratkan seekor

buaya dimaksudkan

bahwa ada kekuatan

yang luar biasa di

tubuh polri dan polri

selalu menunggu waktu

yang tepat untuk

menerkam mangsanya

dan ketika meleset

maka diakan

melakukan strategi

yang lain seperti halnya

buaya yang selalu ada

cara untuk melakukan

sesuatu demi wilayah

Page 18: Uas semiotika komunikasi (part 2)

kekuasannya.

Gambar 5.3.

Siluet Kalajegking

Seekor Kalajengkin

yang sedang mecoba

menangkap mangsa.

Kalajengking

merupakan sahabat

dari laba-laba dan

hewan reptil sejenis.

Semua spesies

kalajengking memiliki

bisa. Pada umumnya,

bisa kalajengking

termasuk sebagai

neurotoksin (racun

saraf)

Kalajengking menjadi

hewan mistis dalam

ilmu-ilmu hitam. Ketika

kita melihat

kalajengking kita selalu

mengkaitkannya

dengan sosok “setan”

karena hewan kecil ini

mempunyai bisa yang

luar biasa dan racun

yang dikeluarkan

adalah racun saraf.

Kalajengking didalam

gambar ini diibaratkan

sosok yang sudah lama

membayang-bayangi

KPK dan nanti pada

saatnya dia akan

menyerang saraf dari

KPK. Jika berbicara

tentang saraf pastilah

organ terpenting dalam

kehidupan manusia,

oleh karena itu akan

diserang saraf KPK

sehingga menjadi

lumpuh dan tidak

berdaya.

Gambar 5.4. Seekor Laba-laba yang

sedang mecoba

menangkap mangsa.

Laba-Laba juga

merupakan kerabat dari

Laba-laba dalam

habitatnya adalah

hewan yang cerdik

dengan menciptakan

jaring-jaring untuk

Page 19: Uas semiotika komunikasi (part 2)

Siluet Laba-Laba kalajengking, Laba-laba

tidak memiliki mulut

atau gigi untuk

mengunyah. Sebagai

gantinya, mulut laba-

laba berupa alat

pengisap untuk

menyedot cairan tubuh

mangsanya.

menangkap

mangsanya. Jebakan

yang diciptakan

tidaklah sembarangan.

Laba-laba dalam

membuat sarang

tidaklah sembarangan,

selalu melihat tempat

yang cocok dan aman,

dan dalam membuat

jebakan pun tidak

sembarangan, dia

membuat jebakan yang

memang nantinya akan

dilintasi oleh

mangsanya.

Penggambaran laba-

laba ini diperuntukan

untuk sebuah kekuatan

stratgi yang pintar

dalam menjebak

mangsanya. Disini KPK

adalah mangsa maka

dapat dipastikan laba-

laba sudah menebar

jaring-jaring dan siap

menangkap KPK kapan

pun ketika mereka

bergerak, karena

kecerdiaknya itu

mereka dapat membuat

pimpinan KPK menjadi

tersangka.

Gambar 5.5. Seekor Kecoa yang Kecoa menjadi hewan

Page 20: Uas semiotika komunikasi (part 2)

Siluet Kecoa

sedang memperhatikan

mangsanya. Kecoa

terdapat hampir di

seluruh belahan bumi,

kecuali di wilayah

kutub. Kecoa sering

dianggap sebagai

hama.

yang paling dianggap

jijik dan merupakan

hama bagi banyak

orang. Mengapa

menampilkan kecoa ?.

dilihat dari strateginya

kecoa itu selalu ada

dimana-mana,

mengibaratkan bahwa

orang-orang yang

menjatuhkan KPK

berada dimana-mana

dan mereka seakan

menjadi hama yang

menakuti KPK dan

mereka melihat bahwa

dengan kecoa kita

dapat mendapat

melemahkan informasi

KPK karena kita

mengetahui kelemahan

KPK.

Gambar 5.6.

Dua Kelabang di Samping

Buaya

Dua ekor kelabang

yang sedang

mendampingi buaya

untuk menangkap

mangsa. Mereka adalah

arthropoda soliter (bila

disatukan, Anda

melawan dengan

kematian salah satu

dari dua) dan malam.

Kelabang dianggap

sebagai hewan berbisa

Kelabang dalam tradisi

mistis diartikan sebagi

teluh yang dari para

dukun. Biasanya

kelabang diibaratkan

hewan yang berbisa

tapi tidak mematikan

dan dia biasanya hanya

menakut-nakuti

manusia sehingga

manusia merasa

terpojok. Dan kelabang

Page 21: Uas semiotika komunikasi (part 2)

meskipun bisa lipan

kurang mematikan

manusia.

melambangkan

penghianatan.

Gambaran ini terlihat

pada dua kelabnag

yang menemani buaya

palin depan dan berada

di sisinya. Ini

menggambarkan

bahwa ada sosok yang

berbahaya dalam arti

kata penghianatan

yang dialakukan orang-

orang yang

sebelumnya membela

KPK dan sekarang

mendekan di Polri dan

berusaha menakuti

KPK.

Gambar 5.7.

Siluet Cicak yang dekat

tembok

Seekor cicak yang

sedang berada didekat

tembok dan dengan

gerakan bertahan

(melakukan

pertahanan). Di alam

cecak biasanya hidup

pada tempat-tempat

teduh.

Cicak mungkin dalam

kelompok reptil hewan

ini hewan yang paling

bawah drajatnya jika

dibandingkan dengan

buaya dan ular serta

lain-lainnya. Banyak

mitos yang

menggambarkan cicak

akan tetapi disini

penulis melihat mitos

yang berkembang

adalah cicak hewan

yang lemah hanya

seram dalam

penampilan karena

Page 22: Uas semiotika komunikasi (part 2)

seperti hewan reptil

lainnya yang melata.

KPK dianggap sebagai

cicak dikarenakan

kelemahannya dan

ketidak berdayaannya

dalam mengadapi

tekanan, tubuhnya

yang lembut seakan

menjadi tidak

mempunyai kekuatan.

Oleh karena itu cicak

atau kpk ini dipojokan

sampai di tembok,

padahal secara logika

dia bisa naik tembok

dan lari akan tetapi dia

memilih untuk

menantang. Cicak yang

digambarkan berwarna

merah melambangkan

keberanian KPK

menghalau sendiri

berbagai musuh yang

muncul.

Gambar 5.8.

Tulisan “KPK adalah Kita”

dalam lingkaran ular

Tulisan yang

menampilkan huruf

“KPK ADALAH KITA” lalu diikuti tulisan sub

judul

“setelah menetapkan

Budi Gunawan sebagai

tersangka, KPK digebuk

dari pelbagai penjuru”

Tulisan ini menandakan

bahwa KPK adalah

milik kita yang

diibaratkan rakyat lalu

ada sub judul yang

berkaitan dengan

pembahasan dalam

majalah tersebut.

Dalam perjalanannya

Page 23: Uas semiotika komunikasi (part 2)

tulisan itu seakan

membuat suatu opini

publik tentang KPK,

yang digambarkan

cicak sendiri dan

dengan kata-kata ini

mengambarkan bahwa

KPK tidak sendiri

karena ada Kita

“Rakyat” yang merasa

adalah bagian dari KPK

oleh karena itu

penjelasan KPK adalah

Kita menjadi definisi

pembela KPK.

Penjelasan diatas dalam berbentuk tabel memaparkan bahwa banyak makna

yang tersimpan dalam sebauh cover majalah Tempo edisi tersebut. Penulis

menilai bahwa Tempo sedang menggambarkan keadaan sekarang bukan hanya

“Buaya vs Cicak”, dalam ini penulis melihat Tempo sedang merepresentasikan

tindakan intimidasi yang dilakukan oleh Buaya bersama rekan-rekannya terhadap

Cicak. Penulis melihat bahwa hal yang hendak disampaikan adalah bahwa figur

atau lembaga yang bersama Polri adalah dari berbagai penjuru ada yang dahulu

sebagai orang yang mendukung KPK sekarang melemahkan KPK (lihat gambar

5.6.) banyak dari mereka yang berubah haluan dengan membela polri padahal

merekalah yang menyetujui atau mendukung KPK dahulu. Saat ini KPK dalam

ancaman besar karena ada “Ular Anaconda” siap untuk menerkam dia dan

mentup semua jalan keluarnya (lihat gambar 5.1.). Jaring-jaring jebakan sudah

mulai dilepaskan sehingga satu demi satu KPK akan terjerat dalam jebakan itu

(lihat gambar 5.4.), dan tidak hanya jebakan bahkan ada pihak yang berusaha

melumpuhkan saraf KPK melaui bisa kalajengking (lihat gambar 5.3.). saat ini

KPK sudah mulai terpojok dan siap dihabiskan kapan saja (lihat gambar 5.7.)

tidak ada jalan keluar unruk KPK karena dibelakangnya hanya ada tembok. Oleh

karena itu ada tulisan (lihat gambar 5.8.) KPK adalah Kita yang seakan

Page 24: Uas semiotika komunikasi (part 2)

menguatkan KPK bahwa mereka tidak sendiri meskipun buaya bersama

temannya tapi penulis melihat ada opini publik yang membentuk representasi

dari kekuatan rakyat.

BAB VKESIMPULAN

5.1. KesimpulanPenulis melihat bahwa media massa merupakan sebuah alat penyampaian

pesan yang sangat efektif, akan tetapi bagimana media sekarang dibuat menjadi

teka-teki yang hanya bisa diartikan oleh orang-orang tertentu. Apakah ini akan

menjadi media massa atau akan berubah media rahasia dengan mengutamakan

kepentingan pribadi. Penulis mencoba untuk menyimpulkan bahwa cover yang

Page 25: Uas semiotika komunikasi (part 2)

dibuat oleh majalah Tempo adalah sebuah representasi intimidasi terhadap KPK

yang dilakukan oleh Polri dan semua yang membela Polri.

Kekuatan yang ditampilkan dalam bentuk “hewan” yang mempunyai kisah-

kisah mitos yang berkembang dimasyarakat. Pada tabel diatas penulis mencoba

memaparkan beberapa fakta yang ada.

5.2. SaranBerdasarkan penjelasan diatas penulis harap nantinya setiap majalah tidak

hanya mementingkan kepentingan tertentu dan saat ini penulis merasa

sebaiknya media massa dijadikan lebih transparan tidak dengan teka-teki.

Seperti yang penulis paparkan bahwa media untuk masyarakat dalah media

massa bukan media rahasia.

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro dan Q-Anees, Bambang. 2009. Filsafat Ilmu Komunikasi.

Bandung: Simbiosa Rekatama Media

Mc Quail, Dennis, 1986, Teori Komunikasi Massa (terj), Jakarta : Airlangga

Sumanto, 1995 , Metodologi Penelitian Sosial Dan  Pendidikan , Yogyakarta : Andi

Offset.

Vera, Nawiroh, 2014, Semotika dalam Riset Komunikasi, Jakarta : Ghalia Indonesia

Page 26: Uas semiotika komunikasi (part 2)