UAS 2014.doc

32
PROGRAM MAGISTER ILMU KOMUNIKASI PROGRAM PASCASARJANA-UNIVERSITAS BUNDA MULIA JAKARTA TAKE HOME EXAM Nama : Fidelis Harjo No. ID: 8313000 I. DRAMA(TURGI) POLITIK LOKAL 1.1. Pendahuluan Dua drama politik, dari dua aktor berbeda. Bupati Ngada, Marianus Sae memblokir bandara(Detik.Com,23/12/13). Heboh. Bupati Flotim, Yoseph Lagadoni Herin lain lagi. Rela banting duit 20 juta dari dompetnya. Heroik. Selamatkan 4 orang ibu dari sanksi kurungan 2 bulan, lantas bandel jual miras (Flores Bangkit.Com,12/1/2014). Dua drama politik hadir nyaris bertepatan sama, menyisahkan “ruang tanya” publik. 1.2 Tujuan Penulisan Apa pesan murni di balik kedua drama ini? Dua drama politik menggarap pesan berbeda. Tapi tingkah kedua aktor mengerucut pada karakter sama. Kedua-duanya menunjukkan ke-“hero”-an seorang pemimpin. Bupati Ngada menunjukkan karakter, hero yang “berkuasa”. Bupati Lembata menampilkan karakter, hero 1

Transcript of UAS 2014.doc

PROGRAM MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

PROGRAM PASCASARJANA-UNIVERSITAS BUNDA MULIA JAKARTA

TAKE HOME EXAM

Nama : Fidelis Harjo

No. ID: 8313000

I. DRAMA(TURGI) POLITIK LOKAL

1.1. Pendahuluan

Dua drama politik, dari dua aktor berbeda. Bupati Ngada, Marianus Sae memblokir bandara(Detik.Com,23/12/13). Heboh. Bupati Flotim, Yoseph Lagadoni Herin lain lagi. Rela banting duit 20 juta dari dompetnya. Heroik. Selamatkan 4 orang ibu dari sanksi kurungan 2 bulan, lantas bandel jual miras (Flores Bangkit.Com,12/1/2014). Dua drama politik hadir nyaris bertepatan sama, menyisahkan ruang tanya publik.

1.2 Tujuan Penulisan

Apa pesan murni di balik kedua drama ini? Dua drama politik menggarap pesan berbeda. Tapi tingkah kedua aktor mengerucut pada karakter sama. Kedua-duanya menunjukkan ke-hero-an seorang pemimpin. Bupati Ngada menunjukkan karakter, hero yang berkuasa. Bupati Lembata menampilkan karakter, hero berbelas kasih. Inilah dasar kajian dalam tulisan ini selanjutnya. Apa pesan politik di balik drama ini? Saya gunakan teori dramaturgi Erving Goffman untuk menganalisa kedua kasus ini.

1.3. Metodologi Penulisan

Dalam tulisan ini, saya menggunakan kajian pustaka. Buku inti untuk membedah kedua fenomena di atas adalah buku Erving Goffman yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life (1956). Saya juga menggunakan rujukan berita dari Detik.com dan Flores Bangkit.Com tentang apa terjadi dengan perilaku Bupati Ngada dan Bupati Flores Timur. Kedua kasus ini sangat heboh dan menarik untuk dikaji secara mendalam. Dan, lebih menarik lagi. Kedua kasus ini terjadi nyaris dalam waktu berdekatan. Reaksi publik pun sangat bervariasi dan penuh pro-kontra.

1.4. Teori Dramaturgi dan Analisa Kasus

Erving Goffman adalah seorang filsuf Inggris. Goffman sangat terkenal dengan teori interaksi simboliknya yang disebut dramaturgi. Teori dramaturgi ini dikupas secara detil dalam bukunnya The Presentation of Self in Everyday Life (1956). Goffman coba menerjemahkan (inter-)aksi sosial kita ke dalam sebuah panggung real drama.

Interaksi sosial kita adalah sebuah interaksi dramatik. Setiap presentasi diri(perfomance) kita disebutnya sebagai drama di atas panggung. Ada aktor, ada audiens. Presentasi diri kita adalah upaya membangun kesan baik(good impression) kepada publik. Layaknya, seorang aktor drama, yang memanipulasi mata audiens.

Menurut Goffman, struktur interaksi sosial terdiri atas dua panggung utama. Ada panggung depan(front stage). Ada pula panggung belakang(back stage). Panggung depan adalah wilayah berhadap-hadapan dengan audiens. Karena itu, wilayah ini sangat menentukan bagaimana membangkitkan rasa chemestry dengan penonton.

Tutur dan tingkah kita pun di-setting baik. Agar pada akhirnya, presentasi diri(tutur-tingkah) kita selekasnya mendapat kesan baik audiens. Tutur dan tingkah dikemas sedemikian menarik agar perfomance itu berakhir dengan happy ending untuk audiens. Meski, audiens tak sadar bahwa semua itu hanya manipulasi semata-mata.

Semua aksi di depan panggung bukan kebetulan. Tetapi semua aksi itu sudah di-setting dan di-editing di panggung belakang(back stage). Karena itu, menurut Goffman, presentasi diri kita dalam interaksi sosial, mirip mekanisme kerja aktor panggung. Setiap aksi kita di depan publik telah disetting untuk memagneti audiens.

1.4.1. Aksi Bupati Ngada: The Self

Lalu, bagaimana dengan aksi Bupati Ngada dan Lembata? Kesan apa yang hendak dibangun dari aksi heboh mereka kepada publik? Pertama, Bupati Marianus Sae muncul dengan memblokir bandara. Setidaknya, lewat pemblokiran bandara, Bupati Marianus membangun sebuah kesan bahwa dirinya yaitu penguasa hebat.

Merpati jangan anggap remeh. Bupati adalah tuan tanah dan kepala atas dari setiap kepala warga. Harusnya, Maskapai Merpati membaca pesan dari konteks ini. Meski ongkos hukum dari aksi Bupati Marianus ini sangat mahal. Bisa-bisa masuk penjara(sekarang dalam proses). Adakah good impression yang dibangun dari aksi?

Sepertinya, saya bisa menempatkan aksi Bupati Marianus dalam kategori back stage dari teori dramaturgi Goffman. Bupati Marianus terlanjur mempertontonkan apa yang seharusnya di back stage, malah keburu dipertontonkan. Pemblokiran bandara bukan tipe bermainan cantik. Sebab, aksi itu belum dikemas tetapi terlanjur.

Aksi Bupati Marianus murni aksi the self(dirinya). Tidak tersentuh oleh pengaturan setting dan editing di back stage. Murni aksi dirinya yang meluapkan rasa kecewa, marah, dan dongkol kepada Merpati. Karena itu, dari aksinya sulit mendapatkan good impression dari publik. Lihat saja (re)aksi publik tak karu-karuan menyengirnya.

Tetapi, Goffman bisa salah juga. Kadang aksi polos(the self) lebih diterima publik daripada aksi manipulasi aktor di panggung drama. Buktinya, tak sedikit juga warga(audiens) mendukung Bupati Marianus. Sebab Merpati juga terlalu arogansi pada level tertentu. Mentang-mentang wahana BMUN, tidak peduli request Bupati.

Mengapa maskapai pesawat swasta justru lebih menanggapi permintaan Bupati Marianus. Itu pertanyaan yang serius. Merpati adalah wahana milik negara. Justru menolak request bupati. Mengapa tidak diatur secara baik ke dalam? Atur baik agar kepentingan Bupati Marianus(emergency) dikabulkan demi urusan negara juga.

Jadi, secara teori dramaturgi Goffman, aksi Bupati Marianus adalah aksi mentah. Aksi the self. Aksi tidak seharusnya dipertontonkan dulu di panggung depan. Sekali lagi, jika ingin mendapatkan kesan baik menurut Goffman. Tetapi saya sendiri simpatik dengan aksi Bupati Marianus. Sangat murni tanpa poles ataupun make up.

Seorang temanku bilang begini. Bisa jadi kalau setiap orang Jakarta, yang mengyel-yel kemarahan dan kekecewaan terhadap aksi Bupati Marianus, sejenak ada di posisi Bupati Marianus mungkin saja bereaksi lebih kejam daripada apa yang dilakukan oleh Bupati Marianus. Bisa benar juga. Tuan tanah kok ditreat jelek begitu.

Ada benar juga. Sekali-kali beri pelajaran juga buat Merpati. Meski, aksi Bupati Marianus sangat berbahaya. Bahaya akan keselamatan penumpang. Terlalu polos dan keburu untuk dipertontonkan. Mestinya Bupati Marianus mengikuti nasihat Goffman. Kita mesti bermain cantik memanipulasi kesan, agar target inti tercapai.

Bermain kasar(blokir) tidak ada kesan yang dibangun. Selain penampilan the self yang dominan. Itu berarti secara dramaturgi, aksi Bupati Marianus gagal mempresentasikan diri di panggung. Tetapi kita harus ingat bahwa terlepas dari dark side aksi Bupati Marianus, beliau juga sangat dipuji-puja oleh warga Ngada. Ada 136 kepala desa kompak membuat petisi untuk membebaskan Bupati Marianus.

Kinerja beliau sebagai Bupati Ngada tidak diragukan. Track record kinerjanya sangat gemilang. Dulu beliau berhasil mengalahkan 8 pasangan kandidat Bupati Ngada dalam satu putaran saja. Tentu ada yang luar biasa dengan kinerja Bupati Marianus terhadap pembangunan Ngada sampai sebegitu besarnya kepercayaan warga.

Kita masih ingat juga, Menteri BMUN Dahlan Iskan pernah memuji Bupati Ngada dalam tulisan 'Tempat Bersandar Harus Kukuh'. Bupati Marianus sangat disiplin dan sangat berpihak kepada nasib orang terakhir dalam hitungan pembangunan daerah.

Ini jadi alasan kenapa beliau nekat. Nekat blokir bandara. Karena dia tahu, bahwa dia sudah berbuat sesuatu. Warga akan pasang badan untuk dirinya. Dan, itu benar adanya. Tidak direkayasa apalagi dibayar. Sekali lagi, meski aksinya salah. Ongkosnya terlalu mahal secara hukum.Tapi menarik untuk menjadi lesson learning.

Aksi Bupati Flotim (berbelas kasih) menjadi antitese aksi Bupati Ngada yang main labrak saja. Bupati Flotim aktingnya sangat cantik. Tapi, belum tentu akting yang cantiknya itu serta-merta mendapat reaksi cantik pula. Inilah fokus analisis berikut.

1.4.2. Aksi Bupati Flores Timur: The Others

Its good to be clever. Its great to be smart. But after all, the best is to be wise. Kata-kata bijak ini ada benarnya. Apa yang dilakukan oleh Bupati Flotim, Yoseph Lagadoni Herin bisa diterangkan dalam ungkapan itu. Menyantuni 4 orang ibu dengan uang 20 juta agar bebas dari kurungan: apakah aksi good, smart, atau wise?

Goffman memang tidak mengajukan pertanyaan di atas. Tapi, agar presentasi diri di depan publik maksimal, maka pertanyaan di atas adalah masker (pembalut) yang bisa men-setting tingkah dan tutur kata di depan publik. Presentasi depan publik diandaikan sudah dibalut baik. Agar, proses aksi input throughput output selaras.

Keselarasan beri duit bebas hukuman- bangun kesan baik. Benarkah Bupati Yosep Herin dapat kesan baik, seperti, apa yang diiming-iming Goffman dalam dramaturginya? Atau, sebaliknya. Justru, aksi belas kasih dicerca balik oleh publik? Yang dengan mudah audiens membaca isi bahwa ini benar-benar manipulasi politik.

Bupati Yosep Herin dalam aksinya menyantuni ibu-ibu penjual miras dirundung hukuman dengan segopok duit adalah penerjemahan real teori dramaturgi Goffman. Aktor panggung sudah seharusnya aktingnya selain memuaskan mata audiens tetapi pada saat yang sama menyetir per-hati-an audiens untuk memberi kesan baik.

Sepintas, aksi Bupati Yosep Herin adalah baik. Sebab menjawabi kegalauan ibu-ibu desa yang terancam pidana kurungan. Aksi ini cerdas juga. Ketika suara protes semringah terdengar dan mengganggu perhatian publik, Bupati mengocek dompetnya. Perkara selesai. Hanya apakah bijak? Biarlah audiens menilai apa bijak.

Ada suara minor. Ini paling drama politik. Telak, dramaturginya Goffman. Jika saja Goffman masih hidup, maka Bupati Yosep Herin barangkali murid yang mendapat nilai cum laude.Sebab Bupati Yosep Herin sebagai pemimpin menerjemahkan teori dramaturgi Goffman secara sempurna.Beliau menarik atensi publik demi kesan baik.

Jika Bupati Marianus Sae kedodoran dalam performance, maka Bupati Yosep Herin terlalu cantik performance-nya. Aksi belas kasihnya di-setting untuk menggiring kesan baik publik. Cuma sayangnya. Permainan cantiknya terlalu kentara membangun kesan baik. Terlalu kentara menggiring audiens, dongkrak kesan baik.

1.5. Kesimpulan

Dalam dramaturgi Goffman, bangun kesan baik(others) memang orientasi dari setiap presentasi. Secara naluriah arah presentasi kita di tengah inter(aksi) adalah untuk mendapat kesan baik. Cuma, kadang aksi seorang aktor di panggung mudah ditebak. Apakah aksi buatan(manipulasi) atau sungguh-sungguh(menjiwai aksinya).

Sampai pada titik, di mana audiens juga tergelayut dalam aksi itu. Dan, menurut Goffman untuk mencapai level itu, diperlukan latihan berulang-ulang di panggung belakang(back stage). Di panggung belakang itulah, aksi dibalut sedemikian rupa. Agar tak ada cela bagi audiens menertawakan, katakan aksi sedih di atas panggung.

Bupati Yoseph Lagadoni Herin bukanlah aktor solo. Terlalu banyak aktor politik yang akting politiknya terlalu kentara menggiring warga kepada sebuah pencitraan(good impression). Tradisi seperti ini sudah menjadi pola tetap akting politik. Tidak berubah. Padahal, teknik itu tidak cukup mempan. Ini benar dagelan politik drama.

Goffman dalam teori dramaturginya mengatakan bahwa seorang aktor yang berakting di front stage bukan sekadar melakonkan apa yang di-setting di back stage tetapi juga menjiwai aktingnya. Menjiwai akting bisa berupa menciptakan keunikan the self. Karakter itu tidak dibuat-buat. Karakter itu lahir dari refleksi hening-bening.

Dengan karkater unik itu, seorang aktor memiliki power bisa menyulap perhatian audiens (good impression) meski tanpa diekspetasi. Perkara pujian atas apa yang telah dibuat dengan sepenuh hati tak akan ke lari mana-mana. Tak akan bakal salah alamat. Apalagi, pujian itu tertukar di tengah kerumunan aktor. Akan ada waktunya.

Begitupun akting politik. Cuma persoalannya adalah apa dan bagaimana persis politik berisi itu. Goffman mengatakan bahwa akting itu unik. Keunikan itu lahir dari ruang refleksi hening. Jokowi adalah model politik berisi. Aksinya unik dan iklas. Aksi pencitraan mudah ditebak jika tidak dilakukan dengan iklas. Jokowi buktikan itu.

II. Hasil Penelitian: Pengemis Di Jalan Tikus

2.1. Pengantar

Sasaran penelitianku adalah: seorang pengemis Lelaki Tua. Lokasinya di sebuah jalan tikus di Pluit-Jakut. Mengapa pengemis ini mengemis di jalan tikus? Sangat unik. Posisi duduknya membelakangi jalan raya. Tetapi kotak simpan uang diletakkan di sampingnya. Tidak seperti kebiasaan pengemis lainnya. Mereka mengemis di lampu merah atau di warung-warung. Tetapi pengemis ini justru memilih mengasingkan diri dari keramaian dan kerumunan pengemis lain. Lebih unik lagi, adalah dia mengemis tanpa meminta-minta pengendara motor yang sedang lewat di jalan. Dia membelakangi jalan lalu berdoa. Inilah kisah penelitianku.

2.2. Narasi Penelitian

Aku dari dulu sangat jarang memberi duit untuk yang namanya pengemis. Tapi pengemis ini yang menakluk prinsip aku itu. Ia mencair hatiku. Dan, tanpa kusadari begitu ringan tanganku mengocek lembar lesuh ribuan nitip di songkok laki tua di lapaknya. Penelitian ini kubuat pada tanggal 22 Maret 2014, sekitar jam 9 pagi hari. Penelitian ini sebenarnya adalah kerinduan saya sendiri yang sudah lama saya tunda. Soalnya, Sudah hampir setahun aku melihat Lelaki Tua ini mengemis di tempat yang sama. Tetapi baru pagi ini, aku mendekatinya. Hatiku sedikit berdebar ketika motorku merapat lapaknya. Debar-takut campur aduk. Debar karena apa aku diperkenankan untuk menjepret wajahnya dengan kamera BB-ku. Aku serba takut.

Aku pandai curi perhatiannya saat itu. Secara spontan aku cabut duit, letakkan di songkoknya. Dekap kakiku sengaja dibikin berisik. Agar lelaki tua itu menoleh. Mungkin jamnya tepat, lelaki tua itu toleh dengan senyum lebar. Makasih, anakku! Pikirku ini masuk enak. Sepertinya, ada kemistri. Pas aku mau bertanya, tiba-tiba dia bertanya duluan. Anak muda mau pergi ke kerja, ya?, selorohnya. Rasa shok pura-pura kubikin seadanya. Supaya tidak terkesan aku mengganggu dan shok perhatian.

Lalu, aku jawab, iya Pak. Aku doain ya, biar anakku sukses. Aku hanya bisa menatap dengan senyum mengharu. Saking harunya, aku lupa mau tanya apa. Sial. Akhirnya, aku raba saku jaket kumal adidasku. Pura-pura baca BBM, padahal tidak ada pesan masuk. Ini hanya trik-trikan aku, untuk mengambil foto wajah lelaki tua ini. Pelan-pelan saya membuka item kamera di BB-ku. Dengan penuh sedu, aku minta izin. Pak, boleh saya fotoin Bapak? Dia diam membisu. Lalu, dari bibirnya yang kering terucap, Boleh Nak. Lega habis deh. Ku-zoom kamera, lalu langsung jepret.

Saya bertanya dengan penuh hati-hati. Boleh saya tahu, mengapa Bapak memilih berdoa di sini? Lalu, dia menjawab dengan mata berkaca-kaca. Ya, hidup di Jakarta susah Nak. Dulu aku tidak pernah berpikir hidupku seperti ini. Setelah jatuh sakit dua tahun yang lalu, saya memilih untuk mengemis. Meski, saya sendiri tidak suka dengan cara mencari nafkah seperti ini. Tetapi, hanya ini cara terakhir yang bisa kujalani hidup yang tersisa dan tersiksa ini. Anak-anakku sudah tidak tahu di mana mereka. Sebab saya meninggalkan mereka di Jawa. Sampai sekarang, saya tidak mendapat kabar apa-apa. Kemudian, dia tarik napas sebentar. Saya tidak mau mengemis di jalan-jalan. Saya sudah memutuskan bahwa saya lebih baik mengemis di tempat ini. Saya membawa tikar ini setiap hari. Lalu, aku berdoa di tempat ini. Bangun pagi sekitar pukul 05.00. Kemudian cuci muka seadanya. Sebelum ke sini saya berdoa. Saya tinggalkan tempat ini pukul 10.00 pagi. Jika saya mendapatkan duit dari orang, cukup untuk membeli mekanan. Jika saya tidak mendapatkan apa-apa, saya tetap bersyukur. Saya tulus menjalani hidup saya seperti ini belakangan. Saya tidak peduli. Apa kata orang. Sebab, mereka tidak mengerti hidupku. Itu sebabnya, saya selalu membelakangi jalan di saat saya berada di tempat ini. Saya ingin jika mereka tulus memberi ya memberi saja. Toh, aku juga tulus berdoa di sini. Lalu, saya pikir sudah cukup informas yang kuperoleh. Tapi saya ingin infromasi lain. Informasi dari orang-orang sekitar Bapak Tua ini. Ada warung yang tidak seberapa jauh dari tempat ini. Saya ingin tahu apa kata orang tentang Bapak ini. Ini niatkuku.

Lalu, aku merapat ke motorku. Tidak jauh dari situ. Ada dua pemuda sebayaku parkir di warung itu. Aku coba bercakap dengan mereka. Tiba-tiba seorang di antara mereka, berkata Mas baru abis amal, ya? Aku tidak jawab. Ada rasa jengkel di situ.Tidak lama temannya menyerang balik temannya itu. Hei, kalau kamu mau ngamal, ngamal saja. Buat apa nanyaiin orang lain, nasihat temannya. Untuk melengkapi, papasan, aku juga berkata, Mas, aku tidak ngamal, kok. Ambil foto aja. Akhirnya, saya batal niatku untuk bertanya tentang Bapak tadi. Sebab, reaksi awal ketika saya merapat di warung itu, saya sudah disuguh oleh pertanyaan tidak ramah.

Pemuda yang menjengkelkan tadi, dengan agak berlagak mengumpat. Mengapa kita harus memberi duit kepada pengemis yang malas. Nanti mereka manja. Paling setelah itu, mereka berfoya-foya. Lalu, kalau duitnya habis, ya mengemis lagi dong. Aku tersentak dengan jawaban temannya itu. Kata dia, aku masih ingat benar. Kalau saya mau beri, ya beri. Kalau ada duit saya beri. Kalau tidak ada, mendingan diam. Tidak usah protes kemurahan hati orang lain. Aku tidak peduli, mau dia gunakan untuk apa ke, itu ke, ini ke. Itu urusan dia. Toh pahala memberi itu, akan kuterima.

Aku pura-pura tidak tahu diskusi itu. Tetapi, saya sebenarnya sempat terhentak. Terutama kata-kata bijak temanya. Kalau saya mau beri, ya beri. Aku tidak peduli, mau dia gunakan untuk apa ke, itu ke, ini ke. Itu urusan dia. Kata ini bikin dug-dag. Aku mulai stater motorku. Pamit baik-baik. Oh ya, aku sempat tengok ke arah bapak Lelaki Tua tadi. Dan, ternyata bapak tua tadi kembali sibuk dengan mengurai lembut biji tasbihnya. Itu berarti doa dimulai. Dua pengalaman pagi ini bikin aku penasaran.

Di atas motor hatiku berontak. Aduh kenapa tadi aku hanya kasi duit segitu saja. Padahal, aku masih simpan banyak lembaran ribuan. Aku coba menenangkan diri. Dengan janji, besoknya, aku bisa beri lagi. Tanpa sadar, motorku sudah merapat pintu gerbang kantor kerjaku. Struk tiket masuk diberi oleh staf penjaga. Tetapi pikiranku tidak pernah berhenti mengingat wajah lelaki tua tadi. Saking bengongnya, aku tidak sadar ternyata tangan staf penjaga sudah menjulur tangannya dari kotak loket untuk memberikan struk tiket itu. Setelah aku menerima tiket itu, kulihat curi wajah staf itu. Rasanya, aku bikin dia sewot pagi-pagi. Aku cepat-cepat kabur pergi.

Setibanya, aku ruang kerjaku. Aku tarik napas panjang. Duduk manis. Lalu, tanpa lama-lama melongok lagi foto Si Lelaki Tua. Baru kali ini, aku lihat wajahnya lebih jelas. Wajah ceria tampak di mukanya. Kemestri senyumnya langsung membuat wajahku berbunga-bunga. Senangnya, minta ampun. Karena, sudah lama aku mengincar untuk menjepret pengemis tua ini. Hari ini aku total senang. Bahkan, tanpa sadar waktu jam kantor terasa terlalu cepat. Saya tidak sabar pulang rumah.

2.3. Teori Disonansi Kognitif

Kedua fenomena di atas, saya menganalisanya dengan teori disonansi kognitif. Menurut Leon Festinger, disonansi adalah sebuah perasaan tidak nyaman yang memotivasi orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyaman itu (1957, hal 4).Teori disonansi kognitif beranggapan bahwa dua elemen pengetahuan merupakan hubungan yang disonan(tidak harmonis) apabila dengan mempertimbangkan dua elemen itu sendiri pengamatan satu elemen akan mengikuti elemen lainnya. Teori berpendapat bahwa disonansi, secara psikologis tidak nyaman , maka akan memotivasi seseorang untuk berusaha mengurangi disonansi dan mencapai harmonis atau keselarasan. Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi tingkat disonansi seseorang (Zimbardo, Ebbsen&Maslach, 1977):

Pertama, kepentingan, atau seberapa signifikan suatu masalah, berpengaruh terhadap tingkat disonansi yang dirasakan. Kedua, rasio disonansi atau jumlah kognisi disonan berbanding dengan jumlah kognisi yang konsonan. Ketiga, rasionalitas yang digunakan individu untuk menjustifikasi inkonsistensi. Faktor ini merujuk pada alasan yang dikemukan untuk menjelaskan mengapa sebuah inkonsistensi muncul. Makin banyak alasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi kesenjangan yang ada, maka semakin sedikit disonansi yang dirasakan seseorang.

Aronson dan Festinger (1968; 1957; dalam Sarwono, S.W., 2009) mengemukakan tiga mekanisme yang dapat digunakan untuk mengurangi disonansi kognitif, yaitu: pertama, mengubah sikap atau perilaku menjadi konsisten. Kedua, mencari informasi baru yang mendukung sikap atau perilaku untuk menyeimbangkan elemen kognitif yang bertentangan. Ketiga, mekanisme yang terakhir adalah trivialization yang berarti mengabaikan atau menganggap ketidaksesuaian antara sikap atau perilaku penyebab disonansi sebagai hal biasa dan tetap konsisten menjalankanya.

2.4. Analisa

2.4.1. Perilaku Pengemis

Dari penelitian kecil saya, maka saya menarik beberapa pemikiran. Pertama, Pengemis itu ternyata ada yang tulus berdoa bagi pemberi duit. Saya tidak mau mencurigai perilaku pengemis lelaki tua tadi. Saya merasa dia tulus berdoa untuk saya. Karena, dia tidak seperti pengemis lainnya, mondar-mandir. Dia konsisten dengan pola mengemisnya: cara dan tempat. Caranya yang unik yaitu berdoa dan mememegang tasbi. Lalu, membelakangi jalan dan orang yang lewat. Unik kali. Waktu mengemis pun juga terpola yaitu pagi hari saja dari pukul 07.00-10 pagi saja. Meski dia tidak mengemis secara agresif tetapi dia bisa mendapatkan duit dengan alternatif lain yaitu lewat menonjolkan perilaku religiusnya. Cara ini yang jauh dari ciri umum perilaku seorang dan gerombolan pengemis Jakarta. Dia berani tampil unik.

Penampilan unik pengemis di atas bisa dibaca sebagai upaya mengurangi disonansi. Disonansi itu bisa saja datang dari dirinya sendiri dan bisa juga datang dari opini publik. Mengemis secara agresif di lampu merah atau tempat kerumunan bisa menyebabkan rasa tidak nyaman(disonansi). Tidak nyaman bagi dirinya. Sebab, rawan kecelakaan, penangkapan oleh polisi, dan dipandang jelek (bad image) oleh keluarga atau tetangganya. Oleh sebab itu, dia memilih mengemis di pinggir jalan(jalan tikus) adalah upaya meredusir disonansi sosial itu. Selain itu, dia menggunakan atribut unik yaitu memegang tasbi sambil berdoa. Atribut tasbi dan pola berdoa adalah konsonan yang diciptakannya untuk membungkus disonansi dirinya sebagai pengemis jalanan. Boleh mengemis tetapi asalkan santun dan religi. Mengemis secara agresif adalah pengalaman masa lalunya memyebabkan dia mengubah strategi mengemis dengan cara baru. Cara baru yang lebih menguasai emosional orang yang memiliki kultur religi yang kental. Dia paham benar apa yang menjadi kerinduan orang bereligi karena itu dia mengemis dalam nuansa religi pula. Dengan demikian disonansi sosial bisa terkubur dalam perilaku mengemis secara religi. Karena perilaku ini nyaman(konsonan), tidak menabrak opini publik, maka pengemis tadi merasa ideal mengemis di jalan tikus meski dia tetap jadi mengemis. Dengan itu, dia membungkus dirinya(konsonan) dari pendangan orang lain bahwa dia memang pengemis tapi pengemis yang santun, bereligi, dan tidak ada paksaan.

2.4.2. Perilaku Saya

Dulu saya sangat tidak suka memberi duit kepada pengemis. Tetapi ada kecualinya. Saya bisa beri kalau ada pengemis yang bernyanyi. Biar sejelek apapun nyanyiannya. Karena saya taat pada prinsipku, orang yang pantas menerima, kerja. Kalau hanya meminta-minta dengan seribu wajah pilu, tak mempan meluluhkan hatiku untuk memberi. Prinsipnya, you do something then you get something. Prinsip ini sudah lama saya pegang. Tapi, awasan teman yang saya sendiri tidak kenal di dekat lapak pengemis tua tadi. Mau beri, beri saja. Kata ini bergetar kuat dan cair.

Kata bijak dari sahabat ini adalah informasi baru bagi saya sendiri. Kata-kata bijak ini mencairkan prinsip lama saya. Bahwa memberi duit kepada pengemis itu tidak mendidik. Dan, hanya kepada orang yang bekerja yang pantas mendapat upah. Namun setelah saya berjumpa dengan sahabat ini, konflik dalam diri saya mencair sejenak. Bahwa mengapa saya mempertanyakan soal pemberian. Dengan mempertanyakan peberian saya sendiri sama artinya saya tidak iklas memberi. Ketika pmeberian tidak iklas maka saya sendiri tidak mendapatkan kebahagian itu.

Memberi itu punya kebahagiannya tersendiri. Kadang memberi melawan pemberontakan napsu yang sering memasukin kita dalam kurung kekikiran dengan sejuta alasan. Hemat, uang tak cukup, jangan royal, dan banyak tetek bengeknya. Semua ini adalah virus yang mematikan semangat memberi. Saya sangat terkejut dan terpana dengan kata-kata bijak yang kuperoleh dari teman di saat bertemu pengemis lelaki tua tadi, kalau mau beri, ya beri saja dengan tulus. Buat apa cari tahu alasan kegunaan duit amal. Toh, rezeki-berkat yang dapat datang tanpa tanya.

2.4.3. Kesimpulan

Itu berarti, bukan hanya pengemis yang mengalami disonansi kognitif tetapi termasuk saya sendiri. Dari pengamatan saya sendiri bahwa tujuan saya awalnya adalah membuat pengamatan kecil atas perilaku unik pengemis tetapi di luar dugaan saya sendiri, saya tercebur juga dalam pengalaman disonansi kognitif versi saya. Itu disebabkan oleh kehadiran awasan dari sahabat yang tak kuduga pula. Ada konflik bathin. Memberi dengan iklas tanpa tanya adalah pernyataan yang mencair prinsip lama saya. Tidak memberi sedekah kepada pengemis yang malas. Oleh karena itu, perilaku saya juga tiba-tiba cair ketika saya mendapatkan informasi eksternal (disonansi). Perilaku pengemis di atas adalah bentuk perilaku manusia yang sulit diprediksi juga. Tetapi dengan adanya disonansi sosial, hal ini membangkitkan motivasi baru kepada pengemis untuk menyeimbangi disonansi yang ada dengan perilaku barunya. Mengemis di jalan tikus adalah upaya mengurangi disonansi sekaligus menegaskan konsonan. Konsonan itu bisa terbaca dalam perilaku pengemis dari segi pola mengemisnya yang lebih bersifat religi dan keluar dari box. Namun, teori ini sebenarnya sangat dangkal. Sebab, tidak memperlihat secara jelas kapan dan bagaimana perilaku laku disonansi itu berawal berproses- dan berakhir.

III. Perbedaan Paradigma Objektif dan Subjektif

3.1. Paradigma Objektif (Kuantitatif)

Penelitian obyektif atau sering disebut pendekatan kuantitatif. Pendekatan ini sering dikatakan sebagai pendekatan ilmiah yang sistematis. Penelitian objektif memandang bahwa kebenaran dapat ditemukan, jika seseorang dapat menyingkirkan campur tangan manusia ketika melakukan penelitian, dalam arti lain mengambil jarak dari objek yang diteliti, karena pendekatan ini lebih sistematis, terkontrol, empiris mengenai hubungan yang diasumsikan di antara fenomena alam.

Penelitian obyektif juga cenderung menganggap manusia yang mereka amati sebagai pasif dan perubahannya disebabkan kekuatan-kekuatan sosial di luar diri mereka. Penelitian ini juga berpendapat, hingga derajat tertentu perilaku manusia dapat diramalkan, meskipun ramalan tersebut tidak setepat ramalan perilaku alam. Dengan kata lain, hukum-hukum yang berlaku pada perilaku manusia bersifat mungkin (probabilistik). Misalnya, kalau mahasiswa lebih rajin belajar, mereka (mungkin) akan mendapatkan nilai lebih baik. Jadi apabila di pahami bahwa Penelitian objektif ini menganggap perilaku manusia dapat di bagi-bagi menjadi bagian independen, yang masing-masing bekerja secara sistematis(sebab-akibat).

3.2. Paradigma Subjektif (Kualitatif)

Paradigma subjektif sering disebut pendekatan kualitatif. Penelitian subyektif cenderung memandang manusia sebagai pribadi yang aktif, dinamis, serta mampu melakukan perubahan lingkungan di sekeliling mereka. Kaum subjektivis menjelaskan interpretasi atas perilaku manusia tidak bersifat kausal, dan tidak bisa dijelaskan melalui generalisasi seperti yang dilakukan kaum objektivis. Fokus perhatian kaum subjektivis adalah bagian perilaku manusia yang disebut tindakan (action), bukan sekadar gerakan tubuh, yang mencakup ucapan, bukan dengkuran; melompat bukan tejatuh; bunuh diri, bukan sekedar kematian. Semua hal itu memberi makna kepada kehidupan dan semua tindakan tersebut bersifat interpretif.

3.3. Asumsi Dasar (Objektif dan Subjektif)

No.

Asumsi

Objektif

Subjektif

1

Realitas

Realitas diasumsikan sebab-akibat tunggal, nyata, eksternal, statis, dapat dipecahkan oleh hukum tetap dan universal.

Realitas bersifat simultan saling memengaruhi, ganda, rumit, semu, dinamis, dikonstruksikan, holistik, dan bersifat relatif.

2

Manusia

Aktor bersifat pasif, tidak bebas, dan perilaku manusia dikendalikan oleh faktor eksternal.

Aktor bersifat aktif, kreatif, bebas, dan perilaku manusia ditentukan oleh individu itu sendiri.

3.

Peneliti

Pengamat yang otonom, berjarak, dan mendeskripsikan subjek penelitian.

Setaraf, empati, akrab, interaktif, saling berpengaruh, dan memperlakukan subjek penelitian

4.

Tujuan

Penelitian

Menangani hal-hal yang bersifat umum dengan sample besar (representatif) dan acak.

Menguji teori, meramalkan persitiwa yang akan datang, generalisasi yang tidak terikat oleh waktu dan konteks.

Menekankan efek

Menangani hal-hal bersifat khusus, bukan hanya perilaku terbuka tapi juga proses yang tak terucapkan dalam sampel kecil.

Menekankan makna historis sebuah peristiwa.

Menekankan perbedaan individu.

Mengembangkan hipotesis yang terikat oleh waktu dan konteks.

Membuat penilain etis dan estetis.

5.

Teknik

Penelitian

Wawancara (how many) dan pengamatan terstruktur,survei, eksperimen, dan mencari penjelasan klausal.

Wawancara (why) tidak terstruktur, pengamat berperan serta, analisis kasus dan dokumentasi, studi kritis, dan interpretif.

6.

Analisis

Penelitian

Deduktif, dilakukan setalah pengumpulan data, dan menggunakan statistik.

Induktif, berkesinambungan dari awal sampai akhir, mencari pola atau model.

7.

Kualitas

Penelitian

Objektivitas, reliabilitas, dan validitas.

Otensitas, sejauh mana temuan penelitian mencerminkan subjek yang diteliti.

8.

Peran Nilai

Nilai, etika, moral tidak boleh mencampuri proses penelitian dan penelitian harus bebas nilai.

Nilai, etika, dan moral melekat dalam proses penelitian.

3.4. Dua Contoh Teori Paradigma Objektif

3.4.1. The Elaboration Likelihood Model of Persuasion

The Elaboration Likelihood Model of Persuasion (ELM) dikembangkan oleh Petty dan Cacioppo di tahun 1986 (McQuail, 2005: 517). Model ini berupaya menerangkan bagaimana seseorang berpikir mengenai isu dan argumen relevan yang terkandung di dalam suatu pesan. Model ini didasarkan pada asumsi bahwa seseorang termotivasi untuk berperilaku benar dengan menjadi rasional, koheren, dan konsisten dengan pandangan orang lain. Sementara itu, tidak semua orang memiliki waktu dan kapasitas untuk berdedikasi dalam mengembangkan sikap seperti itu, dan kita bersifat selektif dalam memberi perhatian terhadap isu dan argumen yang dihadapkan kepada diri kita, dalam artian kita hanya akan memberi perhatian pada isu dan argumen yang menarik perhatian kita dan kita anggap relevan dengan diri atau kepentingan kita. Kondisi ini terefleksi melalui cara kita memproses informasi, apakah kita mengelaborasinya mendalam (centrally) atau dangkal (peripherally).

Jika suatu informasi kita anggap penting, maka kita akan mengerahkan pengetahuan dan pengalaman kita untuk menelaah lebih dalam informasi tersebut. Sebaliknya, jika suatu informasi tidak menarik kepentingan kita, kita tidak akan menelaahnya lebih jauh, kita hanya akan mengandalkan tanda-tanda insidental, seperti kredibilitas atau kemenarikan sumber informasi, bukan konten kognitif pesannya. Apakah kita akan menganggap suatu informasi penting atau tidak, dipengaruhi oleh variabel kita sebagai penerima pesan dan variabel pesan itu sendiri. Perbedaan di antara kedua modus tersebut akan mempengaruhi strategi persuasive calon komunikator, apakah akan menggunakan argumentasi rasional atau menggunakan cara-cara yang lebih superfisial dalam merebut perhatian audiens melalui cues yang simpel dan pembentukan asosiasi dan citra positif.

3.4.2 Teori Pengurangan Ketidakpastian

Teori pengurangan ketidakpastian atau Uncertainty Reduction Theory dikemukakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese pada tahun 1975. Inti dari teori Pengurangan Ketidakpastian adalah untuk mengurangi ketidakpastian antara orang asing saat pertama kali bertemu dan melakukan percakapan. Cara untuk mengurangi ketidakpastian adalah dengan mencari informasi melalui komunikasi dengan orang lain. Teori ini menyatakan bahwa ada dua tipe dari ketidakpastian dalam perjumpaan pertama yaitu ketidakpastian kognitif dan ketidakpastian perilaku. Ketidakpastian kognitif adalah tingkatan ketidakpastian yang dihubungkan dengan keyakinan dan sikap. Ketidakpastian perilaku adalah berkenaan dengan luasnya perilaku yang dapat diprediksikan dalam situasi yang diberikan.

Teori pengurangan ketidakpastian memiliki beberapa asumsi dasar. Pertama, orang mengalami ketidakpastian dalam latar interpesonal. Sebelum kita berinteraksi, kita memiliki berbagai harapan kepada lawan bicara kita. Kedua, ketidakpastian adalah keadaan yang tidak mengenakkan, menimbulkan stress secara kognitif. Ketiga, ketika orang asing bertemu, perhatian utama mereka adalah untuk mengurangi ketidakpastian mereka atau meningkatkan prediktabilitas. Ketika bertemu dengan orang baru, seseorang akan membuat harapan awal berdasar persepsinya. Keempat, komunikasi interpersonal adalah sebuah proses perkembangan yang terjadi melalui tahapan-tahapan. Komunikasi interpersonal terbai menjadi tiga fase, yaitu fase awal, fase personal, dan fase akhir. Kelima, komunikasi interpersonal adalah alat yang utama untuk mengurangi ketidakpastian. Semakin sering kita berinteraksi, maka ketidakpastian dalam diri akan berkurang. Keenam, kuantitas dan sifat informasi yang dibagi oleh orang lain akan berubah seiring berjalannya waktu.

Ketujuh, sangat mungkin untuk menduga perilaku orang dengan menggunakan cara seperti hukum.

Beberapa aksioma teori Pengurangan Ketidakpastian. Pertama, semakin sering berkomunikasi dengan lawan bicara dan berusaha untuk saling mengenal satu dengan yang lainnya, ketidakpastian akan semakin berkurang. Kedua, semakin kita mengekspresikan nonverbal kita kepada orang lain, maka itu akan dapat mengurangi ketidakpastian kita. Ketiga, semakin ketidakpastian kita tinggi maka kita akan lebih banyak untuk mencari informasi yang menurut kita belum lengkap guna mengurangi ketidakpastian kita. Keempat, semakin ketidakpastian kita meningkat, maka tingkat keintiman dan isi komunikasi kita akan menurun. Kelima, semakin tinggi ketidakpastian kita terhadap lawan bicara, maka tingkat resiprositas kita juga tinggi. Keenam, jika kita sama-sama memiliki kemiripan berupa kemiripan konteks dengan lawan bicara, maka itu akan dapat mengurangi ketidakpastian kita terhadap orang itu. Ketujuh, semakin tinggi ketidakpastian kita, kesukaan kita pada lawan bicara akan menurun. Kedelapan, makin sering kita berinteraksi dengan teman dan anggota keluarga dari mitra hubungan kita, maka ketidakpastian kita makin sedikit.

Kesembilan, semakin kita tidak pasti dengan oranglain, kita tidak akan merasa nyaman ketika berbicara dengan lawan bicara kita maka kita tidak akan rasa puas.

3.5. Dua Contoh Teori Paradigma Subjektif

3.5.1. Coordinated Management of Meaning

Teori ini (Pearce dan Cronan, 1980) digunakan untuk menjelaskan suatu percakapan (kegiatan komunikasi antar dua orang), di mana para pelaku komunikasinya membentuk realitas sosialnyanya sendiri dengan cara memperoleh pertalian tertentu (coherence), tindakan yang terkoordinasi (coordinating actions), serta pengalaman yang rahasia (experiencing mystery). Coherence adalah suatu konteks terpadu mengenai apa yang telah dibicarakan, coordinating dalang melanjutkan kehidupan cerita, dan mystery adalah suatu perasaan kagum atas cerita yang tidak diekspresikan.

Sebagai teori yang berciri humanistik maka pendekatan yang digunakan bisa analitis dan sistematis, yang diarahkan kepada peristiwa komunikasi antar dua orang pada situasi dan kondisi tertentu. Teori ini sarat dengan nilai-nilai individual dari masing-masing interpreter. Misalnya ketika kita sebagai ilmuwan sedang mencoba meneliti apa saja yang terjadi dengan telah berlangsungnya kegiatan komunikasi antara dua orang dalam situasi dan kondisi satu, kondisi dua, saat yang satu dan saat lain. Hasilnya tentu sangat bervariasi.

Namun demikian, sesuai dengan tujuan akhir dari komunikasi adalah tercapainya kesepahaman antar keduanya, maka nilai-nilai perbedaannya tadi bisa dianggap sebagai faktor variasi atau tambahan. Yang penting dari peristiwa komunikasi untuk kasus seperti ini adalah, dua-duanya memahami posisi masing-masing, dan memahami seperti apa objek yang dikomunikasikannya itu. Dengan kata lain, masing-masing pihak baik posisinya sebagai komunikator maupun sebagai komunikan, atau sebaliknya, memiliki tanggung jawab yang seimbang dengan perannya masing-masing. Pesan atau informasi yang mengalir secara timbal balik dari komunikator kepada komunikan dan sebaliknya, akan menghasilkan kristalisasi pesan yang pada akhirnya dipahami secara bersama.

Contoh dalam kasus. Sekali-sekali kita iseng buka SMS (short message service) anak kita yang masih ABG (anak baru gede), perhatikan bahasa yang digunakannya. I lv u (maksudnya I love you), 7an (maksudnya tujuan), plg brg (pulang bareng), jdn (jadian), bgt (banget), skrg (sekarang), btw (by the way), mc (miss call), dll. Kita dibuatnya bingung, tidak mengerti apa maksudnya. Tapi komunikasi antara mereka yang sejawat atau seumur dan sebahasa, tidak menjadi persoalan. Mereka sama-sama mengerti isi pembicaraannya. Dunia kita, alam kita sudah berbeda dengan alam dan dunia mereka. Bukankah ketika kita masih ABG juga sering memberontak terhadap aturan-aturan yang dibuat orang tua kita.

3.5.2. Politnes Theory

Politnes Theory dikembangkan oleh Brown dan Levinson (1978, 1987), teori kesantunan atau Politeness Theory (PT) menjelaskan bagaimana kita mengelola identitas kita sendiri dan orang lain melalui interaksi, khususnya, melalui penggunaan strategi kesantunan. Menurut Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh Goffman (1967), bahwasanya bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada wajah atau muka, baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. Wajah, dalam hal, ini bukan dalam arti rupa fisik, namun wajah dalam artian public image, atau mungkin padanan kata yang tepat adalah harga diri seseorang.

Tiga asumsi dasar panduan teori kesantunan. Pertama, PT mengasumsikan bahwa semua individu perlu untuk mengatur mimik wajah mereka (Brown & Levinson, 1978, 1987). Sederhananya, wajah mengacu pada citra diri yang dikehendaki; juga termasuk pengakuan bahwa mitra interaksional Anda memiliki kebutuhan mimik wajah bagaimana yang mereka harapkan. Ada dua dimensi mengenai konsep wajah: wajah positif dan wajah negatif. Wajah Positif mencakup kebutuhan seseorang untuk disukai, dihargai, dan dikagumi oleh orang lain.

Wajah positif berkaitan dengan nilai-nilai keakraban antara penutur dan mitra tutur. Wajah negatif mengasumsikan keinginan seseorang untuk bertindak bebas, tanpa kendala atau memposisikan diri sebagai orang lain. Berbeda dengan wajah positif, yang mana penutur dan mitra tutur mengharapkan terjaganya nilai-nilai keakraban, ketakformalan, kesekoncoan, maka wajah negatif ini dimana penutur dan mitra tutur mengharapkan adanya jarak sosial. Yang jelas, sulit untuk mencapai wajah positif dan negatif secara bersamaan, karena keduanya saling bertolak belakang.

Kedua, teori kesopanan mengasumsikan bahwa manusia rasional dan berorientasi tujuan, mereka menghormati dan menghargai kebutuhan mimik wajah (Brown & Levinson, 1978, 1987). Dengan kata lain, Anda memiliki pilihan dan membuat keputusan komunikatif untuk secara relasional dan berorientasi tujuan dalam konteks menjaga wajah. Brown dan Levinson mengemukakan bahwa manajemen wajah terbaik ketika orang terlibat membantu untuk menjaga wajah orang lain.

Ketiga, asumsi terakhir, PT berpendapat bahwa beberapa perilaku wajah secara fundamental dapat mengancam (Brown & Levinson, 1978, 1987). Wajah mengancam ini meliputi perilaku umum seperti permintaan maaf, pujian, kritik, permintaan, dan ancaman (Craig, Tracy, & Spisak, 1993). Kesantunan (dan kesopanan) berbahasa dapat diartikan sebagai sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap wajah orang lain (Yule, 2006:104). Wajah seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang penutur menyatakan sesuatu yang mengandung ancaman terhadap individu yang berkenaan dengan nama baiknya.

Daftar Pustaka:

1. Severin, Werner J., Teori Komunikasi Sejarah, Metode Dan Terapan Dalam Media Massa, terj. Sugeng Hariyanto, Jakarta : Kencana, 2005.

2. Deddy Mulyana: Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma ilmu Komunikasi dan Ilmu sosial Lainnya,(2003).

3. Deddy Mulyana dan Solatun, Metode penelitian Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya Bandung, 2013

4. McQuail, Dennis, (2005). McQuails Mass Communication Theory. London: Sage

Publications Ltd.

5. Goffman, Erving, The Presentation of Self in Everyday Life (1959) USA: Anchor (Penguin Reprint 1990).

18