Turunnya al qur'an dengan tujuh huruf
-
Upload
abdul-fauzan -
Category
Spiritual
-
view
34 -
download
2
Transcript of Turunnya al qur'an dengan tujuh huruf
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al-Quran merupakan pedoman umat Islam yang berisi petunjuk dan tuntunan
komprehensif guna mengatur kehidupan di dunia dan akhirat. Ia merupakan kitab otentik dan
unik, yang mana redaksi, susunan maupun kandungan maknanya berasal dari wahyu,
sehingga ia terpelihara dan terjamin sepanjang zaman.
Sulit dibayangkan sekiranya umat Islam tidak memiliki al-Qur’an. Padahal ia adalah
umat terakhir, umat yang diutus Allah sebagai saksi atas perbuatan semua manusia, dan umat
terbaik yang rasulnya menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Atau sulit
dibayangkan sekiranya al-Qur’an yang ada di tangan umat ini bukan berasal dari ‘Tangan’
Zat yang maha mengetahui segala sesuatu yang gaib dan yang zahir.
Fenomena al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw ternyata
bagaikan magnet yang selalu menarik minat manusia untuk mengkaji dan meneliti kandungan
makna dan kebenarannya. Al-Qur’an yang diturunkan atas ‘tujuh huruf’(sab’at ahruf)
menjadi polemik pengertiannya di kalangan ulama, polemik ini bermuara pada pengertian
satb’ah dan ahruf itu sendiri, dan korelasinya dengan cakupan mushaf Usman. Apa bila orang
arab berbeda lahjah dalam pengungkapan sesuatu makna dengan perbedaan tertentu, maka
Qur'an yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad , menyempurnakan makna
kemukjizatannya karena ia mencakup semua huruf dan wajah qiraah pilihan diantara lahjah-
lahjah itu. Dan ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka untuk membaca ,
menghafal dan memahaminya.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud dengan turunnya Al-Qu’an dengan tujuh huruf ?
b. Bagaimana pendapat para ulama mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh
huruf ?
c. Apa hikmah dibalik turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf ?
2
1.3 Tujuan
a. Memiliki pemahaman tentang maksud turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf
b. Mengetahui berbagai pendapat ulama dalam menyikapi turunnya Al-Qur’an
dengan tujuh huruf
c. Mengambil hikmah dari turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tujuh Huruf
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab yang jelas. Hal ini adalah suatu yang wajar
karena Al-Qur’an diturunkan ketengah-tengah umat yang berbahasa arab melalui Nabi yang
berbahasa arab sekalipun ini bukan berarti bahwa islam hanya untuk bangsa arab.1
Rasulullah SAW bersabda, “Jibril telah membacakan Al-Quran kepadaku dalam satu
huruf. Aku berulang-ulang membacanya. Selanjutnya aku selalu meminta kepadanya agar
ditambah, sehingga ia menambahnya sampai tujuh huruf. (H.R. Bukhori Muslim). Kemudian,
Rasul SAW berkata: “sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh ahruf ( huruf), maka
baca kamulah mana yang mudah dari padanya”. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim).
Hadits kedua ini berasal dari umar ibn al-khaththaab yang membawa hisyam ibn
hakim ke hadapan Rasul karena membaca surat al-furqon dengan berbagai cara baca dan
Rasul tidak pernah membacanya dengan cara itu kepada umar. Setelah hisyam
memperdengarkan bacaanya kepada Rasul, Rasul berkata: “Demikianlah ia diturunkan” dan
seterusnya menyambungnya dengan sabdanya di atas.2
Ada yang berpendapat bahwa qira’at tujuh identik dengan hadis Nabi Muhammad SAW yang
menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf. Adapun hadis-hadis yang
menunjukkan hal ini adalah sebagai berikut:
أستزيده : أزل فلم فراجعته حروف على جبريل أقرأني صلعم الله رسول قال
) ومسلم ) البخارى روه أحرف سبعة إلى أنتهى حتى ويزيدني
Artinya:
Rasulullah bersabda, “Malaikat Jibril telah membacakan [al-Qur’an] kepadaku atas
beberapa huruf, lalu aku berulang kali meminta kepadanya agar ditambahnya bacaan
1 Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Qur’an. hlm. 1292 Al-Zarqani, Muhammad Abd al-‘Azim. hlm. 140-144
4
tersebut, maka Jibril pun menambah bacaan itu sehingga sampai tujuh huruf [macam].”(HR.
Bukhari Muslim).
: تيسر ما فقرإوا إحرف سبعة على إنزل القرأن هذا إن صلعم الله رسول قال
) مسلم . ) و البخرى روه منه
Artinya:
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf
(tujuh macam bacaan), bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari al-Qur’an.”
(HR. Bukhari Muslim)
Dalam hadis lain dikatakan, “Rasulullah berkata kepadaku [Ubayy bin Ka’ab] “Hai Ubayy,
telah diutus [Jibril] kepadaku untuk membacakan al-Qur’an atas satu huruf, lantas aku
meminta kepadanya agar dimudahkan umatku membacanya, maka [Jibril] berkata, bacalah
al-Qur’an itu atas dua huruf, lalu aku meminta lagi agar dimudahkan umatku membacanya,
maka [Jibril] berkata lagi, bacalah atas tujuh huruf”.”
Dalam sebuah hadis yang panjang juga dijelaskan, dari Umar bin Khattab ia berkata, “Aku
mendengar dari Hisyam bin Hakim membaca surah al-Furqan di masa hidup Rasulullah.
Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum
pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia
shalat, tetapi aku berusaha sabar menunggunya sampai salam. Begitu salam aku tarik
selendangnya dan bertanya: Siapakah yang membacakan (mengajarkan bacaan) surah itu
kepadamu? Ia menjawab: Rasulullah yang membacakannya kepadaku. Lalu aku katakan
kepadanya: Dusta kau! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surah yang
aku dengar tadi engkau membacanya (tetapi tidak seperti bacaanmu). Kemudian aku bawa
dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan kepadanya bahwa aku telah mendengar orang
ini membaca surah al-Furqan dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan
kepadaku, maka Rasulullah berkata: Lepaskan dia, wahai Umar. Bacalah surah tadi wahai
Hisyam! Hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. Maka
kata Rasulullah: Begitulah surah itu diturunkan. Ia berkata lagi: Bacalah, wahai Umar! Lalu
aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Dan katanya
lagi: Sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan
tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya.”
5
Kejadian serupa juga dialami oleh Ubayy bin Ka’ab, dan Umar pada saat itu beranggapan
bahwa tidak ada seorang pun yang boleh berani mengada-ada membuat silabus sendiri:
semua bacaan sekecil apapun merupakan bacaan yang sesuai dengan apa yang telah diajarkan
oleh Nabi.
Hadis yang berkenaan dengan hal ini sangatlah banyak jumlahnya dan sebagian besar telah
diselidiki oleh Ibn Jarir di dalam pengantar Tafsir-nya. As-Suyuti menyebutkan bahwa hadis-
hadis tersebut diriwayatkan dari dua puluh orang sahabat. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam
menetapkan kemutawatiran hadis mengenai turunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf. Hadis
tentang diturunkannya al-Qur’an dalam tujuh huruf ini sendiri memiliki kemiripan dengan
pendapat kitab Talmud tentang turunnya Taurat dengan banyak bahasa dalam waktu yang
sama, namun jelas dia tidak memiliki hubungan sama sekali.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tidaklah benar anggapan orang bahwa Qiraat
(macam-macam bacaan) Al-Quran itu diciptakan oleh Nabi Muhammad atau para sahabat,
atau ulama tabi’in yang dipengaruhi oleh dialek bahasa kabilah-kabilah Arab. Dan jelas pula
bahwa macam-macam bacaan Al-Quran itu sudah ada sejak Al-Quran diturunkan. Arti
Sab’atu Ahruf (Tujuh Huruf) dalam hadits di atas mengandung banyak penafsiran dan
pendapat dari kalangan ulama. Hal itu disebabkan karena kata Sab’ah itu sendiri dan kata
Ahruf mempunyai banyak arti. Kata Sab’ah dalam bahasa Arab bisa berarti bilangan tujuh,
dan bisa juga berarti bilangan tak terbatas.
2.2 Pendapat Ulama Tentang Tujuh Huruf
Tidak terdapat nas sarih yang menjelaskan maksud dari sab’at ahruf (tujuh huruf).
Sehingga menjadi hal yang lumrah kalau para ulama,-berdasarkan ijtihadnya masing-masing,
berbeda pendapat dalam menafsirkan pengertiannya. Ibn Hibban al-Busti (w. 354 H)
sebagaimana dikutip al-Suyuti mengatakan bahwa perbedaan ulama dalam masalah ini
sampai tiga puluh lima pendapat.3 Sementara al-Zarqani dalam kitabnya hanya menampilkan
sebelas pendapat secara detail dari perbedaan-perbedaan ulama tersebut. Perbedaan ulama
mengenai pengertian sab’at ahruf ini tidak berasal dari tingkatan kualifikasi mereka atas
hadis-hadis tentang tema dimaksud. Perbedaan itu justru muncul dari lafaz sab’at dan ahruf
3 Al-suyuthi, Jalaludin, op. cit., Jilid I, hlm. 47
6
yang masuk kategori lafaz-lafaz musytarak, yaitu lafaz-lafaz yang mempunyai banyak
kemungkinan arti, sehingga memungkinkan dan mengakomodasi segala jenis penafsiran.
Selain itu juga disebabkan adanya fenomena historis tentang periwayatan bacaan al-Qur’an
yang memang beragam. Berikut ini sebagian dari pendapat-pendapat tersebut:
Pendapat pertama. al-Tabari, dan jumhur ulama fiqh, dan hadis mengartikan sab’at
ahruf sebagai tujuh bentuk bahasa yang berbeda lafalnya, tetapi sama maknanya. Dengan
bahasa lain, sab’at ahruf di sini dapat diartikan tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab tentang
lafaz-lafaz tertentu yang berbeda lafaznya tetapi sama maknanya, seperti lafaz halumma,
qasdi, ta’al, nahwi, dan aqbil. Meskipun kata-kata tersebut berbeda dalam pelafalan namun
maknanya satu, yaitu perintah untuk datang.
Al-Tabari, dan ulama yang sepakat dengannya mendasarkan pendapatnya ini pada
hadis Abu bakrah yang meriwayatkan permintaan Rasulullah kepada Jibril untuk memberikan
alternatif pembacaan al-Qur’an lebih dari satu. Alasan lain adalah hadis Anas yang membaca
Q.S. al-Muzammil (73): 6, dengan bacaan قيال وأقوم وطأ ketika أشد ditanya tentang
bacaannya tersebut, Anas menjawab bahwa lafaz أهياء أقوم adalah أصوب satu arti.
Begitu pula hadis yang diirwayatkan Ubay ibn Ka’ab yang membaca surat al-Baqarah: 20
dengan tiga variasi bacaan. Namun demikian tidak semua makna mempunyai tujuh lafaz
yang senada dengan makna tersebut. Tetapi semua makna yang bisa diwakili oleh suatu lafaz,
lafaz ini sajalah yang dipakai. Adapun jika ungkapan makna itu bisa diwakili dengan dua
lafaz, maka dua lafaz inilah yang dipakai, begitu seterusnya hingga tujuh lafaz
Riwayat dan dalil-dalil yang dikemukakan di atas tidak hanya dipegangi oleh ulama-
ulama zaman klasik dan pertengahan semacam al-Tabari, Sufyan ibn Uyainah, Ibn Wahb,
Khalaiq, dan al-Tahawi, tetapi diikuti pula oleh penulis-penulis kontemporer semisal Manna’
al-Qattan, Abd al-Mun’im al-Namr, Abd al-Sabur Syahin, Umar Shihab, dan Hasbi ash-
Shiddieqy. umar shihab berkata: “…perbedaan yang dapat diterima hanyalah perbedaan
bahasa yang semakna”4. Sedangkan T.M. Hasby Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa Al-
Qur’an diturnkan dengan lahjah-lahjah yang biasa dipakai oleh suku quraisy dan suku-suku
lainnya di tanah arab sehingga hasillah bagi Al-Qur’an beberapa macam bunyi lahjah.
Sedangkan lahjah yang biasa dipakai di tanah arab ada tujuh macam5. Manna’ al-Qattan
4 Syihab, H. Umar, Al-Qur’an Dan Rekayasa Social, hlm. 1515 Ash-shiddieqy, T..M. Hasbi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir. hlm.82-83.
7
misalnya berkata: “Bahwa yang dimaksud dengan huruf-huruf yang tujuh adalah tujuh bahasa
dari bahasa-bahasa Arab tentang makna yang sama”.6 Dalam membangun argumentasi, al-
Tabari tidak hanya mendasarkan kepada teks-teks kitab suci, alasan-alasan rasionalpun ia
pergunakan untuk memperkuat pendapatnya ini. al-Tabari berpendapat bahwa perbedaan
yang terjadi di antara sahabat dalam pembacaan al-Qur’an hanya sebatas perbedaan lafaz
bukan pada perbedaan makna, karena menurutnya tidak mungkin Rasulullah membenarkan
semua yang diperselisihkan sahabat bila yang diperselisihkan itu berkaitan dengan masalah
makna (hukum) seperti mengenai halal-haram, janji dan ancaman, dan sebagainya. Ini
sebagai bukti bahwa perbedaan yang ada hanya pada pelafalan bahasa atau dialek al-Qur’an
yang telah diajarkan Rasulullah kepada para sahabat.
Ibn Kasir mengutip perkataan al-Tahawi dan yang lainnya, “Bahwasanya adanya
tujuh huruf itu adalah sebagai rukhsah (dispensasi) agar orang-orang boleh membaca al-
Qur’an dalam tujuh bahasa”. Hal ini berlaku tatkala kebanyakan orang Islam kesulitan untuk
membaca dalam bahasa Quraisy dan bacaan Rasulullah, dikarenakan keterbatasan
kemampuan yang dimiliki sebagian umat Islam saat itu. Pendapat kedua, Ibn Qutaibah
menafsirkan sab’at ahruf dengan tujuh bentuk (awjuh) perubahan, yaitu:
1. Perubahan harakat (tanda baca) tetapi makna dan bentuk tulisannya tidak berubah.
2. Perubahan pada kata kerja (fi’il)
3. Perubahan pada lafaz, seperti “nunsyiruha” dengan ra’ dan “nunsyizuha” dengan za’
4. Perubahan dengan pergantian huruf yang berhampiran mahrajnya
5. Perubahan dengan penambahan dan pengurangan kalimat.
6. Perubahan dengan cara mengemudiankan dan mendahulukan.
7. Perubahan dengan penggantian suatu kata dengan kata yang lain.
Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Ibn al-Jazari dan Qadi Ibn Tayyib.
Bahkan pada substansinya kedua pendapat terakhir ini tidak berbeda dengan penafsiran yang
dikemukakan oleh Ibn Qutaibah7, kecuali dalam hal ungkapan, urutan, dan contohnya. Dalam
hubungannya dengan qira’ah, ketiga pendapat in juga tidak jauh dengan penafsiran yang
dikemukakan al-Razi.
6 Al-Qaththan, Manna’,Studi Ilmu-Ilmu Quran, hlm. 1627 Al-Suyuti, Jalaludin, Jilid, I, hlm. 47-48
8
Pendapat ketiga, kelompok ini mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahruf adalah
tujuh bahasa bagi tujuh kabilah Arab. Tujuh bahasa ini adalah tujuh bahasa yang paling fasih
di antara suku-suku Arab, yang terbanyak adalah bahasa Quraisy, Huzail, Saqif, Kinanah,
Tamim, dan Yaman. Pendapat ini dibenarkan oleh al-Baihaqi dan al-Abhari.
Ibn Mansur al-Azhari (w. 370 H) menyebutkan bahwa pendapat ini sebagai pendapat
yang mukhtar, dengan alasan perkataan Usman ketika menyuruh mereka menulis mushaf,
“Dan sesuatu yang yang kamu perselisihkan antara kamu dan Zaid, maka kamu tulislah
dengan bahasa Quraisy, karena al-Qur’an banyak turun dengan bahasa mereka”. Dari
penelitian al-Sijistani mengenai bahasa al-Qur’an ternyata ditemukan lebih banyak dari
bahasa-bahasa yang sudah disebutkan di depan, ia menyebutkan sekitar dua puluh delapan
bahasa, sementara Abu Bakr al-Wasiti menyebutkan empat puluh bahasa, termasuk bahasa di
luar rumpun bahasa Arab, seperti Nabat, Barbar, Suryani, Ibrani, dan Qibti.
Pendapat keempat, Qadi ‘Iyad, dan ulama yang sepakat dengannya menganggap
pengertian sab’at ahruf yang terdapat dalam hadis Nabi sebagai sesuatu yang pelik dan tidak
dapat dipahami makna sebenarnya. Sebab kata ahruf termasuk lafaz musytarak yang secara
literal (harfiyah) dapat berarti ejaan, kata, makna, sisi, ujung, bentuk, bahasa, dan arah.
Sementara kata Sab’ah ada yang mengartikannya tidak dengan bilangan tujuh yang
sebenarnya. Akan tetapi maksudnya hanyalah untuk memberikan kemudahan dan keleluasaan
bagi umat. Sebab kata sab’ah digunakan untuk menunjukkan arti banyak (kasrah) dalam hal
satuan, sebagaimana kata sab’un dalam hal puluhan dan sab’umiyah dalam hal ratusan.
Dengan demikian kata sab’ah (tujuh) di sini tidak dimaksud bilangan tertentu.
Pendapat kelima, Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahruf adalah
qira’at sab’ah. Ada yang menegaskannya dengan tujuh qira’ah dari tujuh sahabat Nabi, yaitu
Abu Bakr, Umar, Usman, ‘Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, dan Ubay Ibn Ka’ab,8 dan adapula
pula yang menghubungkannya dengan qira’ah tujuh yang populer.9
Ibn al-Jazari mengemukakan bahwa sesungguhnya pendapat ini tidak diucapkan oleh
seorangpun dari ulama-ulama, hanya pendapat ini merupakan perkataan yang memberatkan
ulama dari dulu dalam menceritakan, membantah, dan menyalahkannya. Pendapat ini adalah
suatu sangkaan orang-orang awam yang bodoh, tidak lain. Sesungguhnya mereka mendengar
8 Al-Suyuti, Jalaludin, Jilid, I, hlm. 509 Al-Suyuti, Jalaludin, Jilid, I, hlm. 82
9
turunnya al-Qur’an dalam tujuh huruf dan tujuh riwayat, maka kemudian mereka
menghayalkan hal tersebut.
Hasbi ash-Shiddieqy menilai bahwa pendapat yang menyatakan bahwa sab’at ahruf
sebagai sab’at qira’ah merupakan pendapat yang lemah. Pernyatan Hasbi ini memang
beralasan, sebab sekalipun tujuh ahli qira’ah itu sangat berpengaruh dalam pembacaan ayat-
ayat al-Qur’an, namun masih ada ahli qira’ah lain yang digunakan juga qira’ahnya.
Qira’ah mutawatirah yang masyhur di kalangan umat Islam, tidak hanya qira’ah
sab’ah. Dikenal pula qira’ah sittah, qira’ah asyrah, qira’ah ihda asyrah. Dengan demikian
pendapat ini tidak diakui, karena tidak ada seorang ulamapun yang sepakat dengan pendapat
ini.
2.3 Perbedaan Ahruf Sab’ah Dengan Qira’at Sab’ah
1. Pengertian Qira’at
Lafal Qira’at adalah bentuk jamak dari Qira’ah yang merupakan bentuk
masdar dari Fi’il Madi Qara’a. Menurut bahasa qira’ah artinya becaan, para ahli
mengemukakan menurut istilah secara berbeda-beda.
a. Ibn Al Jarazi , mengemukakan bahwa qira’at merupakan pengetahuan
tentang cara-cara mengucapkan kalimat-kalimat Al Qur’an dan
perbedaannya.
b. Al Shabani, mengemukakan bahwa Al Qur’an oleh seorang imam qara
yang berbeda dengan (bacaan imam) lainnya.
2. Latar Belakang Adanya Perbedaan Qira’at
Orang yang pertama menyusun Qira’at adalah salah satu kitab Abu Ubaid Al-
Qosim Ibn Salam (wafat tahun 244 H). Beliau telah mengumpulkan para imam qira’at
dengan bacaannya masing-masing, para toko lain yang turut melopori lahirnya ilmu
Qira’at adalah Abu Hatim Al-sijistany, Abu Ja’far al-Thabary dan Ismail al-Qodhi.
Qira’at ini terus berkembang hingga sampailah pada Abu Bakar Ahmad Ibn Musa Ibn
10
Abbas Ibn mujahid yang terkenal dengan panggilan Ibn Mujahid (wafat tahun 324 H)
di Bagdad. Beliaulah yang menyusun dan mengumpulkan Qira’ah sa’bah atau tujuh
Qira’at dari tujuh imam yangdikenal di Mekkah, Madinah, Kufah, Basrah, dan Syam.
Para tujuh imam dari Qari tersebut adalah :
1) Ibn Amir
Nama lengkapnya Abdullah aal-Yashubi yang merupakan seorang Qodhi di
Damaskus pada masa pemerintahan Ibn Abd al-Malik. Beliau berasal dari kalangan
tabi’in yang belajar Qira’at dari al-Mughirah Ibn Abi Syihab al-Mahzumi, Usman bin
Affan dan Rsulullah SAW. Beliau wafat tahun 118 H Damaskus. Muridnya yang
terkenal dalam Qira’at yaitu Hisyam dan Ibn Szakwan.
2) Ibn Katsir
Nama lengkapnya Abu Muhammad Abdullah Ibn Kastir Al-Dary al-Makky.
Beliau adalah imam Qira’at di Mekkah dari kalangan tabi’in. Yang pernah hidup
bersama sahabat Sbdullah Ibn Zubair, Abu Ayyub al-Anshari dan Annas Ibn Malik.
Beliau wafat tahun 291 H, muridnya yang terkenal adalah Al-Bazy (wafat tahun 250
H) dan Qunbul (wafat tahun 291 H).
3) Ashim Al-Khufy
Nama lengkapnya ‘Ashim Ibn Abi Al-Nujud M. Asadi disebut juga Ibn
Bahdalan dan nama panggilannya adalah Abu Bakar, beliau seorang tabi’in yang
wafat sekitar tahun 127-128 H di Kuffah. Kedua perawinya yang terkenal adalah
Syu’ban (wafat tahun 193 H) dan Hafsah (wafat tahun 180 H).
4) Abu Amr
Nama lengkapnya Abu Amr Zabban Ibn A’la Ibn Ammar al-Bashti yang
sering juga dipanggil Yahya. Beliau seorang guru besar pada rawi yang wafat di
Kuffah pada tahun 154 H.
5) Hamzah al-Kufy
Nama lengkapnya Hamzah Ibn Habib Ibn Imarah al-Zayyat al-Fardh al-
Thaimi yang sering dipanggil Ibn Imarah. Beliau berasal dari kalangan hamba sahaya
ikrimah Ibn Robbi’ Mthaimi yang wafat di Hawan pada masa khalifah Abu Ja’far al-
Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya yang terkenal adalah khalaf (wafat tahun 229
H) dan Khallat (wafat tahun 220 H).
6) Imam Nafi
11
Nama lengkapnya Abu Ruwaim Nafi Ibn Abd Al-Rahman Ibn Abi Na’im al-
Laisry. Beliau berasal dari Isfahan dan wafat di Madinah pad tahun 169 H. Perawinya
adalah Qolum (wafat tahun 220 H) dan Warassy (wafat tahun 197 H).
7) Al-Kisaiy
Nama lengkapnya Ali Ibn Hamzah. Selain imam Qori beliau terkenal juga
sebagai imam nahwu golongan Kufah. Nama panggilannya Abu al-Hasan dan sering
juga disebut Kisaiy karena sewaktu berihram beliau memakai kisa. Beliau wafat pada
tahun 189 H di Ronbawyan yaitu sebuah desa di negeri Roy dalam perjalanan menuju
Khurasan bersama al-Rasyid. Perawinya yang terkenal adalah Abd al-Haris (wafat
tahun 242 h) dan Al-Dury (wafat tahun 246 H).
3. Syarat-Syarat Qira’at Yang Mukhobar Dan Jenisnya
Syarat-syarat Qira’at yang muktabar :
Qira’at harus sesuai dengan bahasa Arab, walaupun hanya dalam satu segi.
Qira’at harus sesuai dengan tulisan (rasm) Usmany, sekalipun hanya dalam
satu sisi.
Qira’at shahih sanadnya.
Jenis-jenisnya berdasarkan Qira’at yang shahih sanadnya :
Mutawatir yaitu Qiraan yang diriwayatkan dan diterima oleh sejumlah banyak
orang.
Masyhur yaitu Qiraan dengan sanadnya yang shahih, namun jumlah
periwayatannya tidak sampai sebanyak mutawatir.
Ahad yaitu Qiraan yang sanadnya shahih.
4. Membuat Analis Tentang Al-Qur’an di Turunkan Dalam Tujuh Huruf dan
Relevansinya Dengan Qira’at
Sejak dibukukannya Qira’at sab’ah oleh imam Mujahid, orang-orang
beranggapan bahwa yang dimaksud hadits Muhammad Saw. Yang menyatakan
diturunkannya Al Qur’an atas Sab’ah Ahruf (tujuh huruf) adalah qiraan sab’ah
yang dinukil dari imam tujuh yang terkenal dikalangan Qori. Anggapan seperti
keliru, karena kedua istilah ini meiliki pengertian dan hakikat yang berbeda.
12
Oleh karena itu, Abu Al-Abbas Ibn Ammar (wafat tahun 430 H), seorang Muari
besar. Mencela keras Ibn Mujahid dan mengatakan bahwa usaha itu akan
menimbulkan sangkaan bahwa Qira’at yang tujuh itulah yang dimaksud oleh
Hadits. Dia mengatakan bahwa alangkah baiknya kalau dikumpulkan itu kurang
atau lebih dari tujuh, supaya hilang dari kesamaran itu, Ash Shiddiqie (1972;133).
Sekalipun ilmu Qira’at ini lahir dari kandungan sab’ah ahruf, namun keberadaan
sab’ah ahruf secara mutlak lebih umum ketimbang Qira’at sab’ah.
2.4 Hikmah Al-Qur’an Turun Dengan Tujuh Huruf
Hikmah yang dapat diambil dengan kejadian turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf
adalah sebagai berikut:
1. Mempermudah ummat Islam khususnya bangsa Arab yang dituruni Al-Qur’an
sedangkan mereka memiliki beberapa dialeks (lahjah) meskipun mereka bisa
disatukan oleh sifat ke-Arabannya.
2. Sebagai mukjizat al-Qur’an dari sisi lughawi (bahasa) bagi bangsa Arab. Karena
beragamnya dialek diantara suku-suku Arab.
3. Mukjizat al-Qur’an dari segi makna dan penggalian hokum. Karena berubahnya
bentuk lafaz dalah sebagaian huruf akan menghasilkan produk hukum yang dapat
berlaku dalam setiap masa. Oleh karena itu, para fuqaha dalam istinbat
(penyimpulan hokum) dan ijtihad berhujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf
ini.10
4. Menyatukan ummat Islam dalam satu bahasa yang disatukan dengan bahasa
Quraisy yang tersusun dari berbagai bahasa pilihan dikalangan suku-suku bangsa
Arab yang berkunjung ke Makkah pada musim haji dan lainnya.
10 Al-Qaththan, Manna’, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hlm. 248
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa jumhur ulama dalam masalah ini
cenderung mengambil jalan akomodatif, dengan tidak membenarkan pendapat yang
menyatakan mushaf Usmani hanya memuat satu huruf, juga tidak membenarkan pendapat
14
yang menyatakan bahwa mushaf Usmani sudah mencakup keseluruhan sab’at ahruf. Dari
pandangan ini jumhur terlihat ambivalen, di mana pada satu sisi mereka tidak membenarkan
pendapat yang menyatakan bahwa mushaf Usmani telah mencover keseluruhan sab’at ahruf,
ini berarti ada bagian dari sab’at ahruf yang dihilangkan, namun pada sisi lain mereka juga
tidak membenarkan pendapat al-Tabari yang menyatakan bahwa mushaf Usmani hanya
memuat satu huruf saja. Padahal argumentasi al-Tabari mengenai permasalahan ini selaras
dan dapat dipertanggung jawabkan secara historis.
Dari sini dapat dipahami bahwa turunnya al-Qur’an dalam berbagai variasi bacaan
(sab’at ahruf), sifatnya kontekstual dan bukan suatu yang normatif. Hal ini dapat diketahui
dari konteks turunnya di Madinah yang awalnya berfungsi sebagai keringanan dan
kemudahan bagi umat Islam yang saat itu terdiri dari berbagai kabilah dengan beragam
bahasa dan dialek, yang hal itu tidak terjadi di Mekkah karena umat Islam masih minoritas
dan tidak butuh pada adanya variasi bacaan al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Suyuti, Jalalal-Din. al-Itqan fi‘Ulum al-Qur’an. jilid I Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Qaththan, Manna’, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Litera AntarNusa, Bogor, 1992
Akaha, Abduh Zulfidar. al-Qur’an dan al-Qira’at. Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 1996.
15
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Syihab, H. Umar, Al-Quran Dan Rekayasa Social, Pustaka kartini, Jakarta, 1990
Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996