Turp Syndrome
-
Upload
gilbie1402 -
Category
Documents
-
view
88 -
download
0
description
Transcript of Turp Syndrome
BAB I
PENDAHULUAN
Rata-rata kematian setelah 30 hari pasca operasi yang berhubungan dengan TURP
sebesar 0.2% hingga 0.8%. Angka kematian ini kurang lebih sama pada pasien yang mendapat
anestesi regional maupun umum. Dengan rata-rata terendah angka kematian sebesar 0.2%,
masih dibutuhkan pasien untuk dipelajari dalam kasus TURP untuk menemukan kesimpulan
dalam diagnosis dan penanganan komplikasi dari TURP itu sendiri.1
Morbiditas pasca operasi rata-rata dalam suatu penelitian sebesar 18%. Peningkatan
morbiditas banyak ditemukan pada pasien dengan waktu reseksi yang cukup lama, yaitu
melebihi dari 90 menit, ukuran kelenjar prostat yang besar (lebih dari 45g), retensi urin akut,
dan usia pasien yang melebihi 80 tahun. Ashton dan rekannya mempelajari 250 laki-laki yang
akan menjalani prosedur TURP dan menemukan satu pasien pasca operasi dengan infark
miokard (0.4%) dan menyebabkan kematian.1
Insiden dari komplikasi postoperatif termasuk infark miokard, emboli pulmonal,
kecelakaan cerebrovascular, TIA, gagal ginjal, insufisiensi hepar, dan butuhnya perpanjangan
ventilasi serupa dengan membandingkan pasien yang mendapat anestesi spinal dengan
anestesi umum. Perdarahan dan sindroma TURP merupakan komplikasi yang cukup sering
ditemukan pada pasien yang sedang atau telah menjalani pembedahan dengan TURP.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.A. Benign Prostate Hyperplasia
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), juga dikenal sebagai benign prostatic
hypertrophy, merupakan diagnosis histologik yang dikarakteristikkan dengan adanya
proliferasi sel-sel prostat yang berlebihan. Pembesaran kelenjar prostat ini berasal dari
proliferasi sel epitel dan stroma prostat, rusaknya pencetus apoptosis, atau keduanya.2
Hiperplasia dari kelenjar ini dapat merestriksi aliran urin dari kandung kemih. BPH
sendiri merupakan hal yang normal akibat proses penuaan pada laki-laki dan bergantung pada
produksi hormon Testosteron dan Dihidrotestosteron (DHT). Sekitar 50% laki-laki
menunjukan adanya BPH pada usia 60 tahun. Jumlah ini bertambah pada usia sekitar 85
tahun.2
Tatalaksana BPH
Tatalaksana BPH tergantung dari ukuran prostat dan kesehatan secara keseluruhan.
a. Perubahan gaya hidup
Jika dari hasil pemeriksaan pembesaran prostat tidak signifikan, terapi yang diberikan
tidak harus pembedahan. Terapi yang diberikan dapat dengan perubahan gaya hidup
seperti mengurangi asupan cairan ketika menjelang malam hari, tidak mengonsumsi zat-
zat yang dapat mengiritasi kandung kemih seperti kafein dan alcohol.3
b. Medikasi
Medikasi dapat mengkontrol gejala BPH hingga yang sedang. Beberapa pilihan obat
antara lain:
Alpha-blocker. Obat-obatan ini merelaksasikan otot-otot di sekitar penyempitan dari
kandung kemih menuju ke uretra.3
5-alpha reductase inhibitors. Obat-obatan ini dapat mengecilkan ukuran kelenjar
prostat, tetapi membutuhkan waktu cukup lama untuk melihat efeknya.3
2
Anticholinergics. Obat-obatan ini dapat meningkatkan kapasitas dari kandung kemih,
sehingga dapat menunda keinginan untuk berkemih.3
c. Terapi invasif minimal
Laser therapy. Sebuah cystoscope dimasukan melalui uretra untuk mengirimkan
laser berenergi tinggi yang akan menguapkan jaringan prostat yang membesar. Terapi
laser biasanya akan menghasilkan perbaikan gejala dan tidak menyebabkan gangguan
ereksi atau inkontinensia jangka panjang. Jenis-jenis terapi laser yang dapat
digunakan:
o Holmium laser enucleation of the prostate (HoLEP). Jaringan prostat yang
diambil dapat diperiksa untuk kanker prostat atau keperluan lainnya. Penelitian
menemukan bahwa teknik ini cukup aman dan efektif tanpa memperhatikan
ukuran prostat dan hasilnya dapat dipertahankan hingga 10 tahun.
o Laser photovaporization of the prostate (PVP). Cara ini serupa dengan HoLEP,
tetapi tidak mengambil jaringan prostat untuk analisis lebih lanjut.3
Microwave thermal therapy. Juga dikenal dengan Transurethral Microwave
Thermotherapy (TUMT), kateter khusus dimasukan ke dalam uretra mengirimkan
energy gelombang mikro yang akan menghancurkan jaringan prostat. TUMT
biasanya digunakan pada laki-laki dengan ukuran prostat yang kecil dan gejala BPH
yang ringan.3
Needle ablation. Sebuah jarum kateter dimasukan ke dalam prostat mengirimkan
energy radiofrekuensi (RF) yang dapat menghancurkan jaringan prostat. RF dapat
mencapai bagian yang tidak dapat dicapai oleh TUMT.3
Transurethral resection of the prostate (TURP).Sebuah alat bedah dimasukan ke
dalam uretra dan digunakan untuk mengeruk jaringan prostat yang berlebih. TURP
biasanya digunakan pada pasien dengan BPH sedang hingga berat atau pernah
menjalani operasi prostat sebelumnya.3
Transurethral incision of the prostate (TUIP). Dokter bedah memasukan alat khusus
ke dalam uretra dan membuat satu atau dua insisi pada prostat untuk meningkatkan
3
pengeluaran urin, tetapi tidak mengambil jaringan sedikitpun. TUIP digunakan pada
pasien dengan gejala BPH ringan.3
Prostatectomy. Biasanya dilakukan pada ukuran prostat yang sangat besar atau pada
pasien dengan kerusakan di kandung kemihnya, batu kandung kemih, atau striktur
uretra.3
II.B. Transurethral Resection of The Prostate
Transurethral Resection of The Prostate (TURP) merupakan salah satu jenis pembedahan
prostat untuk mengurangi gejala sedang hingga berat yang disebabkan oleh pembesaran
prostat. Selama TURP dilakukan, kombinasi alat visual dan bedah (resectoscope) dimasukan
dari ujung lubang penis dan ke dalam uretra. Uretra sendiri dikelilingi oleh kelenjar prostat.
Dengan menggunakan resectoscope, jaringan prostat yang berlebih yang menutupi jalur
keluarnya urin akan dibuang.4
Selama lebih dari 60 tahun, TURP telah digunakan sebagai standar terapi pada pasien laki-laki
geriatric dengan lower urinary tract symptoms (LUTS) yang disebabkan oleh benign prostatic
enlargement (BPE) dan benign prostatic obstruction (BPO).4
II.B.1. Diagnostic work-up
Volume prostat sebelumnya diukur, secara ideal dengan menggunakan Transrectal
Ultrasound (TRUS) untuk mengestimasi waktu operasi. Tidak ada batasan volume prostat
yang pasti untuk dilakukannya TURP. Secara tradisional, volume 80-100 ml merupakan
indikasi untuk dilakukannya prostatektomi. Sitoskopi preoperatif biasanya tidak
direkomendasikan kecuali ada kecurigaan patologi uretra atau kandung kemih.4
II.B.2. Indikasi TURP
Komplikasi dari BPE dan BPO, merupakan indikasi untuk dilakukannya TURP, yaitu:4
1. Retensi urin berulang
2. BPH atau BPE yang berhubungan dengan adanya makrohematuria akibat terapi 5
alpha-reductase inhibitor
3. Insufisiensi renal atau dilatasi saluran kemih bagian atas
4. Batu kandung kemih
5. UTI yang berulang
4
Kontraindikasi dari TURP adalah UTI yang belum diatasi dan gangguan perdarahan.4
II.B.3. Aspek teknik TURP
Beberapa teknik perkembangan dari TURP telah diimplementasikan beberapa tahun terakhir
seperti video-TURP, continuous-flow instruments, special loop designs, dan modifikasi dari
generator frekuensi tinggi.4
Teknik Reseksi
Di tahun 1943, Nesbit mendeskripsikan sebuah prosedur dimulai dengan bagian
ventral dari kelenjar (antara arah jam 11 dan jam 1), dilanjutkan dengan lobus lateral,
midlobus, dan diakhiri pada bagian apex. Di Eropa, ada teknik yang dikembangkan
oleh Mauermayer, Hartung, dan May. Teknik ini dibagi menjadi empat langkah:
1. Reseksi midlobus
2. Paracollicular TUR
3. Reseksi lobus lateral dan ventral
4. Reseksi apeks
Perkembangan lebih lanjut dengan menggunakan system trocar suprapubis dan
continuous-flow resectoscopes, dua-duanya memberikan irigasi tekanan rendah.4
II.B.4. Komplikasi Intraoperatif
a. Perdarahan
Komplikasi intraoperatif yang paling besar pada TURP masih berupa perdarahan yang
berlebihan. Beberapa pengembangan teknik berupa generator frekuensi tinggi,
continuous-flow instruments, video-TURP menyebabkan penurunan signifikan dari
penggunaan transfusi. Resiko perdarahan berhubungan dengan infeksi preoperatif dan
retensi urin yang disebabkan oleh pembengkakan kelenjar, volume prostat, dan waktu
reseksi.4
b. TURP syndrome5
c. Perforasi vesika urinaria5
d. Hipotermia5
e. Septikemia5
f. Disseminated Intravascular Coagulation5
5
II.C. Transurethral Resection of The Prostate Syndrome
II.C.1. Definisi
Transurethral Resection Syndrome merupakan suatu bentuk intoksikasi air iatrogenik,
suatu kombinasi kelebihan cairan dan hiponatremia yang terlihat pada berbagai prosedur
bedah endoskopik, walaupun secara klasik terlihat setelah prosedur Transurethral Resection of
The Prostate (TURP).6 TURP sering membuka jaringan pleksus venosus di dalam prostat dan
menyebabkan absorpsi sistemik cairan irigasi.5 TURP syndrome terjadi ketika cairan irigasi
diserap dalam jumlah yang cukup (2 L atau lebih) untuk menimbulkan manifestasi sistemik.6
TURP syndrome dilaporkan juga terjadi setelah transurethral resection of bladder
tumor, sitoskopi diagnostik, percutaneus nephrolithotomy, artroskopi, dan prosedur
ginekologik yang menggunakan irigasi.6
II.C.2. Epidemiologi dan Faktor Resiko
Insiden TURP syndrome terjadi antara 0,5-8% dengan tingkat mortalitas 0,2-0,8%. Pada
satu penelitian menunjukkan morbiditas dan mortalitas pasien yang menjalani TURP tidak
berhubungan dengan lama operasi, kecuali ketika operasi berlangung lebih dari 150 menit.7
TURP syndrome lebih sering terjadi jika ukuran kelenjar prostat besar, terjadi kerusakan
kapsul prostat selama pembedahan, dan tekanan hidrostatik tinggi dari cairan irigasi. Kelenjar
prostat yang besar kaya akan jaringan vena sehingga memungkinkan absorpsi cairan irigasi
intravaskular. Kerusakan kapsul prostat selama pembedahan memungkinkan masuknya cairan
irigasi ke dalam ruang periprostatik dan retroperitoneal. Tekanan hidrostatik cairan irigasi
merupakan penentu yang penting dalam kecepatan absorpsi cairan irigasi.7
II.C.3. Patofisiologi
TURP syndrome memiliki karakteristik berupa pergeseran volume intravaskular dan efek
osmolaritas (plasma-solute).7
Kelebihan Cairan
6
Pada setiap prosedur TURP hampir selalu terjadi penyerapan cairan irigasi ke dalam
aliran darah melalui sinus vena prostatik yang terbuka dan terakumulasi dalam ruang
periprostatik dan retroperitoneal. Jumlah cairan irigasi yang diabsorpsi tergantung dari tinggi
wadah cairan irigasi yang menentukan besar tekanan hidrostatik dan durasi pembedahan.1
Sebagian besar reseksi berlangsung selama 45-60 menit, dan rata-rata 20 ml/menit cairan
diabsorpsi.5 Uptake 1 L irigan ke dalam sirkulasi dalam satu jam menyebabkan penurunan
akut konsentrasi natrium serum 5-8 mmol/L.6
Metode praktikal yang dapat digunakan untuk memperkirakan volume cairan irigasi
yang diabsorpsi selama TURP adalah berdasarkan rumus berikut:
Volume yang diabsorpsi = [Na+] preoperasi/[Na+] postoperasi x ECF – ECF7
Baik hipertensi maupun hipotensi dapat terjadi pada TURP syndrome; hipertensi dan
refleks takikardia terjadi karena ekspansi volume yang cepat hingga mencapai 200 ml/menit.
Pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang buruk dapat mengalami edema pulmoner akibat
kelebihan sirkulasi akut.6 Absorpsi cairan manitol menyebabkan ekspansi volume
intravaskular dan memperberat kelebihan cairan.5
Hipertensi transien, yang dapat tidak terjadi jika terjadi perdarahan hebat, diikuti dengan
periode hipotensi yang panjang. Hiponatremia dengan hipertensi menyebabkan perubahan
tekanan osmotik dan hidrostatik yang mengakibatkan perpindahan cairan dari intravaskular ke
dalam interstisial pulmoner sehingga menimbulkan edema pulmoner dan syok hipovolemik.
Pelepasan endotoksin ke dalam sirkulasi dan asidosis metabolik juga dapat menyebabkan
hipotensi.6
Hiponatremia
Penurunan konsentrasi natrium serum hingga <120 mmol/L menandakan TURP
syndrome yang berat. Penurunan konsentrasi natrium ini menyebabkan gradien osmotik antara
cairan intraselular dan ekstraselular di dalam otak, yang mengakibatkan perpindahan cairan
dari intravaskular yang menimbulkan edema otak, peningkatan tekanan intrakranial, dan
gejala neurologik.6 Konsentrasi natrium ekstraselular harus berada pada batas fisiologis untuk
depolarisasi sel dan produksi potensial aksi. Gejala sistem saraf pusat meliputi iritabilitas,
7
konfusi dan nyeri kepala merupakan tanda awal terjadinya hiponatremia. Hiponatremia lebih
lanjut (Na ≤102 mEq/L) dan menurunya osmolalitas serum dapat menyebabkan terjadinya
kejang dan koma. Hiponatremia berat dapat menimbulkan efek kardiovaskular berupa
inotropik negatif, hipotensi, dan disritmia. Pada kadar natrium < 115 mEq/L, dapat terjadi
perubahan elektrokardiografi berupa pelebaran QRS dan elevasi segmen ST.1
Hipo-osmolalitas
Penyebab kerusakan sistem saraf pusat tidak berasal dari hiponatremia saja, tetapi juga
hipo-osmolalitas akut. Otak memiliki respon terhadap stres hipo-osmotik berupa penurunan
natrium, kalium, dan klorida intraselular.6
Penurunan natrium, kalium, dan klorida intraselular menyebabkan penurunan
osmolalitas intraselular dan mencegah pembengkakan. Edema otak merupakan suatu
komplikasi berat, dan perkembangan herniasi serebral dalam beberapa jam postoperasi adalah
penyebab kematian utama dari absorpsi air.6
Hiperglisinemia dan Hiperamonemia
Glisin masuk ke dalam intravaskular dan dimetabolisme oleh ginjal dan portal bed
melalui deaminasi oksidatif. Otak juga mengandung sistem enzim pemecah glisin yang
memecah glisin menjadi karbon dioksida dan amonia. Peningkatan level amonia serum selama
endoskopi terjadi sekunder akibat penyerapan glisin di mana hiperamonemia tidak terjadi pada
pasien yang menjalani reseksi retropubik tanpa glisin.6 Penggunaan cairan irigasi sorbitol atau
dekstros dalam jumlah besar juga dapat menimbulkan hiperglisinemia.5 Hiperglisinemia dapat
menjadi penyebab TURP ensefalopati melalui aktivitas positif pada reseptor N-methyl-D-
aspartic acid.8 Hiperglisinemia juga berkontribusi terhadap timbulnya depresi kardiovaskular
dan toksisitas sistem saraf pusat.6 Keracunan amonia berhubungan dengan lambatnya
peningkatan kesadaran dan beberapa gejala sistem saraf pusat lainnya.1
8
Gambar II.1. Patofisiologi TURP syndrome9
II.C.4. Manifestasi Klinis
TURP syndrome bersifat multifaktorial, diawali dengan absorpsi cairan irigasi yang
menyebabkan perubahan kardiovaskular, sistem saraf pusat, dan metabolik. Gambaran klinis
bervariasi sesuai dengan tingkat keparahannya dan dipengaruhi tipe irigan yang digunakanan,
faktor pasien, dan faktor pembedahan.6 Manifestasi klinis ini terutama diakibatkan oleh
kelebihan cairan sirkulasi, intoksikasi air, dan toksisitas zat yang terkandung dalam cairan
irigasi.5 TURP syndrome dapat terlihat 15 menit setelah reseksi dimulai hingga 24 jam
postoperasi.6
Tanda yang paling awal muncul adalah rasa menusuk dan sensasi terbakar pada daerah
wajah dan leher disertai letargi, pasien gelisah dan mengeluh sakit kepala. Tanda yang selalu
muncul adalah bradikardia dan hipotensi arterial. Distensi abdomen sekunder terhadap
absorpsi cairan irigasi melalui perforasi kapsul prostatik juga dapat terjadi.6
Pada periode postoperasi selanjutnya, dapat terjadi mual dan muntah, gangguan
penglihatan, kedutan dan kejang fokal atau umum, serta perubahan kesadaran dari konfusi
ringan hingga koma. Penyebab gangguan sistem saraf pusat ini berhubungan dengan
hiponatremia, hiperglisinemia, dan atau hiperamonemia. Hiponatremia dapat terjadi ketika
menggunakan semua jenis cairan irigasi, tetapi hiperglisinemia dan hiperamonemia terjadi
ketika menggunakan glisin sebagai cairan irigasi.6 9
Gangguan visual sering dilaporkan sebagai komplikasi TURP syndrome, tetapi
gangguan ini hanya muncul jika terjadi kombinasi penggunaan glisin dan hiponatremia berat.
Gejala visual ini bervariasi dari penglihatan redup hingga kebutaan sementara yang
berlangsung selama beberapa jam. Pupil mengalami dilatasi dan tidak bereaksi terhadap
rangsang cahaya.6 Kebutaan akibat TURP disebabkan karena efek toksik dari glisin terhadap
retina. Tingkat keparahan kebutaan akibat TURP secara langsung berhubungan dengan jumlah
glisin dalam darah. Penglihatan secara gradual meningkat seiring dengan penurunan glisin
darah.7
Tabel II.1. Tanda dan Gejala Transurethral Resection of The Prostate7
Kardiovaskular dan respiratori Sistem saraf pusat Hematologik dan Renal
Hipertensi
Bradiaritmia/takiaritmia
Gagal jantung kongestif
Edema pulmoner dan hipoksemia
Infark miokard
Hipotensi
Syok
Mual/muntah
Agitasi/konfusi
Kejang
Letargi/paralisis
Kebutaan
Pupil non-reaktif/dilatasi
Koma
Hiponatremia
Hiperglisinemia
Hiperamonemia
Hipoosmolalitas
Hemolisis/anemia
Gagal ginjal akut
II.C.5. Tatalaksana TURP syndrome
Terapi yang direkomendasikan jika terjadi gejala TURP syndrome:
- Terminasi segera operasi.7
- Berikan furosemid, 20 mg IV.7
- Berikan oksigen melalui nasal kanul atau face mask.7
- Jika terjadi edema pulmoner, dapat dilakukan intubasi trakeal dan ventilasi tekanan
positif dengan oksigen.7
- Periksa darah untuk analisa gas darah dan natrium serum.7
- Jika natrium serium rendah dan tanda klinis hiponatremia terlihat, berikan saline
hipertonik (3-5%) IV. Kecepatan pemberian saline hipertonik sebaiknya tidak melebihi
100 ml/jam. Pada sebagian besar kasus dibutuhkan tidak lebih dari 300 ml untuk
10
mengkoreksi hiponatremia.7 Pemberian saline hipertonik dapat mengurangi edema
serebral, mengekspansi volume plasma, mengurangi edema selular, dan meningkatkan
ekskresi urinari tanpa meningkatkan total ekskresi zat terlarut.6
- Jika terjadi kejang, dapat diberikan agen antikonvulsan jangka pendek seperti
diazepam 5-20 mg atau midazolam 2-10 mg IV. Jika kejang tidak berhenti, dapat
ditambah barbiturat atau fenitoin 10-20 mg/kg IV. Relaksan otot dapat diberikan juga.
- Jika terjadi edema pulmoner atau hipotensi, perlu dilakukan monitoring hemodinamik
invasif.7
- Jika terjadi kehilangan darah signifikan, dapat diberikan packed red blood cell.7
Sebagian besar pasien yang menjalani prosedur TURP adalah orang dengan usia tua.
Fungsi kapasitas organ berkurang sesuai dengan usia, menyebabkan penurunan cadangan dan
kemampuan kompensasi. Penyakit penyerta menekan fungsi organ dan meningkatkan resiko.6
Kemampuan ginjal dalam mengatur keseimbangan natrium dan air juga terganggu pada
orang dengan usia tua menyebabkan aktivitas renin plasma menurun, jumlah aldosteron darah
dan urinari menurun, dan menurunnya respon terhadap hormon antidiuretik. Oleh karena itu,
dengan adanya penyakit jantung atau ginjal, pemberian cairan harus diberikan secara hati-hati
pada orang tua yang menjalani operasi endoskopik untuk mengurangi resiko dan mencegah
eksaserbasi TUR syndrome.6
Pasien dengan gejala ringan seperti mual, muntah, dan agitasi dengan hemodinamik
stabil dimonitor hingga gejala hilang. Terapi suportif seperti antiemetik dapat diberikan.
Bradikardia dan hipotensi dapat diatasi dengan atropin, obat adrenergik dan kalsium. Ekspansi
volume plasma dapat diperlukan karena hipotensi dan cardiac output yang rendah dapat
terjadi ketika irigasi dihentikan. Waktu paruh glisin sekitar 85 menit, sehingga gangguan
visual biasanya hilang spontan dalam 24 jam dan tidak membutuhkan intervensi.6
II.C.6. Prevensi
a. Posisi pasien
Menurunkan tekanan hidrostatik dalam vesika urinaria dan tekanan vena prostatik
dapat menurunkan volume cairan irigasi yang diabsorpsi ke dalam sirkulasi.6
11
Pada posisi Trendelenburg (200), tekanan intravesikal yang diperlukan untuk memulai
absorpsi 0,25 kPa meningkat menjadi 1,25 kPa pada posisi horizontal. Dengan
demikian resiko TURP syndrome meningkat dengan posisi Trendelenburg.6
b. Durasi operasi
Walaupun absorpsi cairan dalam jumlah besar dapat terjadi dalam 15 menit sejak
dimulai operasi, telah direkomendasikan durasi operasi kurang dari 60 menit. Pada
penelitian retrospektif Mebust and colleagues terhadap 3885 pasien yang menjalani
TURP, ditemukan bahwa insiden perkembangan TURP syndrome sebesar 2% pada
grup dengan waktu reseksi lebih dari 90 menit, sementara insiden TURP syndrome
hanya 0,7% pada grup dengan waktu reseksi kurang dari 90 menit.6
c. Tinggi wadah cairan
Tinggi optimum dan aman dari cairan irigasi selama TURP merupakan suatu hal yang
masih kontroversial. Madsen dan Naber menjelaskan bahwa tekanan di fossa prostatik
dan jumlah cairan irigasi yang diabsorpsi tergantung dari tinggi cairan irigasi di atas
pasien dan disarankan bahwa tinggi optimum sebaiknya 60 cm di atas pasien. Mereka
menunjukkan adanya peningkatan dua kali lipat dari absorpsi cairan ketika tinggi
irigan meningkat 10 cm.6
II.C.7. Anestesia dan TURP syndrome
Anestesi spinal secara umum merupakan pilihan utama teknik anestesi pada TURP.
Dengan anestesi umum, diagnosis TURP syndrome dapat mengalami masalah, karena pasien
tidak dapat memberikan keluhan dari gejala-gejala awal dan klinisi harus bergantung kepada
perubahan lanjut dari tekanan darah, nadi, dan elektrokardiografi. Anestesi spinal dapat
mengurangi resiko edema pulmoner, menurunkan jumlah darah yang hilang, dan dapat
mendeteksi awal perubahan status mental dari pasien yang sadar.6 Penurunan tekanan darah
sekunder dari blok simpatik yang dihasilkan teknik regional merupakan salah satu faktor yang
mengurangi jumlah darah yang hilang. Tekanan vena perifer dan tekanan vena sentral
menurun selama anestesi regional dan ventilasi spontan. Penurunan tekanan vena perifer ini
juga merupakan salah satu penyebab penurunan jumlah darah yang hilang selama operasi
12
prostatik.1 Namun, anestesi spinal yang mengurangi central venous pressure menyebabkan
absorpsi cairan irigasi lebih besar daripada anestesi umum.6
Loading cairan diberikan dengan hati-hati untuk mengurangi kejadian hipotensi yang
diinduksi anestesi spinal, walaupun cairan ini tidak selalu efektif karena penurunan cadangan
fisiologi pada usia tua menyebabkan tubuh kurang mampu meningkatkan cardiac output
sebagai respon dari loading cairan.6
13
BAB III
KESIMPULAN
Transurethral Resection of The Prostate (TURP) Syndrome merupakan suatu kumpulan
gejala yang dapat terjadi pada prosedur yang menggunakan cairan irigasi. Patofisiologi TURP
syndrome ditandai dengan terjadinya absorpsi cairan irigasi, volume sirkulasi yang berlebihan,
hiponatremia, dan hipoosmolalitas. Perubahan ini menyebabkan terjadinya berbagai macam
manifestasi klinis pada sistem kardiovaskular, respirasi, neurologi, hematologi, dan juga renal.
Prevensi terjadinya TURP syndrome diperlukan untuk meminimalisasi insiden
terjadinya TURP syndrome. Namun, walaupun telah dilakukan prevensi, kasus TURP
syndrome tetap dapat terjadi, dan identifikasi awal dari gejala diperlukan untuk menghindari
onset manifestesi klinis yang berat pada pasien. Dengan pasien yang sadar selama operasi
akan membantu klinisi mengenali gejala awal timbulnya TURP syndrome. Monitoring
konsentrasi natrium serum dan osmolalitas serum sering dilakukan dan efektif untuk menilai
absorpsi intravaskular. Terapi suportif merupakan terapi utama untuk penanganan komplikasi
renal, respiratori, dan kardiovaskular pada TURP syndrome. Tatalaksana lainnya meliputi
rencana terapi untuk mengatasi hiperamonemia, hiperglisinemia, hiponatremia,
hipoosmolalitas, ensefalopati, dan kejang setelah TURP.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Miller RD, Eriksson LI, et al. Miller’s Anesthesia 7th ed. 2010. USA: Elsevier.
2. Deters LA. Benign Prostate Hyperplasia. 2011. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/437359-overview#a0156. Tanggal 03-09-2011.
3. Anonim. Benign Prostate Hyperplasia. 2011. Diunduh dari:
http://www.mayoclinic.org/bph/treatment.html. Tanggal 03-09-2011.
4. Marszalek M, Ponholzer A, et al. Transurethral Resection of The Prostate. European
Urology Supplements 8 2009; 504-512.
5. Morgan, Edward, et al. Clinical Anesthesiology 4th ed. New York: McGraw-Hill
Companies, 2006: halaman: 759-761.
6. Hawary A, Mukhtar K, et al. Transurethral Resection of The Prostate Syndrome: Almost
Gone but Not Forgotten. Journal of Endourology 2009 Desember; 2013-2020.
7. Yao FS, Fontes ML, Malhotra V. Yao & Artusio’s Anesthesiology: Problem-Oriented
Patient Management 6th ed. Philadelphia: Lippincott williams & Wilkins, 2008:
halaman: 797-821.
8. Bhakta P, Goel A, et al. Propofol for the management of glycine-mediated excitatory
symptoms of TURP syndrome. European Journal of Anaesthesiology 25 2007: 424–435.
9. Gravenstein D. Transurethral Resection of The Prostate (TURP) Syndrome: A Review
of The Pathophysiology and Management. Anesth Analg 1997 Agustus; 438-446.
15