TUHAN PERSPEKTIF IBN ṬHUFAYL DALAM NOVEL ḤAYY IBN...
Transcript of TUHAN PERSPEKTIF IBN ṬHUFAYL DALAM NOVEL ḤAYY IBN...
TUHAN PERSPEKTIF IBN ṬHUFAYL DALAM NOVEL ḤAYY IBN
YAQZHÂN
Skripsi
DiajukandalamRangkaMemenuhi Salah
SatuPersyaratanuntukMemperolehGelarSarjana Agama (S. Ag)
DisusunOleh :
Muhammad Usman
11140331000057
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
TUHAN PERSPEKTIF IBN ṬHUFAYL DALAM NOVELḤAYY IBN
YAQZHÂN
Muhammad Usman
PenelitianinibertujuanuntukmengetahuipemikiranTuhandalamNovel
HayyḤayy ibn yaqzhânkaryaIbnṬhufayl.Metode yang
digunakandalampenelitianiniadalahdeskriptifanalitis.Sementaraitu,
teknikdalampengumpulan data yang digunakandalampenelitianiniialahkajianpustaka
(library research) denganmenggunakankitabHayy bin
YaqdzonkaryaIbnṬhufaylsebagaisumberprimernya. DalampandanganIbnṬhufayl,
TuhanadalahsesuatuAl-Maujud yang Wajib Ada, sehinggauntukber-
musyahadahdenganAl-Maujud Yang Wajib Adadiperlukankepekaanpancaindra,
kekuatanrasionaldanolahan spiritual yang kuatseperti yang dikatakanIbnṬhufayl,
dalampencarianAl-Maujud yang Wajib Ada
IbnṬhufaylmenggunakanfasilitasalamsemestasepertilangit,
hewandantumbuhanuntukmenyerupaiAl-Maujud yang Wajib
Adasehinggadalamtasyabbuhat(meniruperilakualam)
ibnṬhufaylbisamendapatjalanpenyinarandaricahayasegalacahayadanakhirnyadarisega
lausahaituiabisaber-musyahadah(menyaksikan) dzatTuhan yang
merupakanpuncakdarikebahagiaan.
Kata Kunci: Tuhan, AlamSemesta, IbnṬhufayl.
vi
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulisucapkankehadirat Allah Swt. Berkatrahmat,
hidayah, daninayah-Nya,
penulisdapatmenyelesaikanskripsiini.Shalawatdansalamsemogasenantiasadilimpahka
n-Nyakepadapanutankita, Nabi Muhammad Saw.
yangtelahmemberikanteladankepadakitasemuasehinggakitabisamenapakidenganpelan
-pelanajarandanteladannya.
Denganpenuhkebahagiaan, tulisanskripsi yang berjudulTUHAN
PERSPEKTIF IBN ṬHUFAYL DALAMNOVELḤAYY IBN
YAQZHÂNinidapatterselesaikan. Bagipenulis, halinibukanlahpekerjaan yang
ringandanmudah, denganadanyakesungguhanniat, tekad,
dandoapenulisdapatmenyelesaikanstudi di JurusanAqidahdanFilsafat Islam,
FakultasUshuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta.
Dalampenulisanskripsiini, penulismenyadaribahwatanpakontribusipemikiran,
gagasan, dandorongandaripelbagaipihakakansulitterselesaikan. Olehkarenaitu,
dengansegalahormatdanterimakasih yang sebesar-besarnyapenulishaturkankepada:
1. IqbalHasanuddin, M. Hum, sebagaidosenpembimbingskripsi yang
telahbersediameluangkanwaktunyauntukmengoreksidanmemberikanbanyakkri
tikdan saran dalamskripsiini.
2. PenulisjugamengucapkanterimakasihkepadaDr. Yusuf Rahman M.A,
selakudekanFakultasUshuluddindanDra. TienRohmatin,
vii
M.A,selakuketuaJurusanAqidahdanFilsafat Islam serta Dr. Abdul Hakim
Wahid, M.A, selakusekretarisJurusanAqidahdanFilsafat Islam.
3. SeluruhstafperpustakaandancivitasakademikaFakultasUshuluddinbesertabapa
kdanibudosen yang telahmembimbingpenulisselamamenjalankanstudi di
fakultasini.
4. Kedua orang tuapenulis, BapakAbdurrohimdanIbuCica yang
telahmemberikandoadandukungannya.
kakaksayaMeliNurmayantidanadikFirmansyahdan Sofa Riahyang
selalumemberikansemangatuntukmenuntaskanskripsiini.
5. KeluargabesarAqidahdanFilsafat Islam angkatan 2014, yakniHafit, Alfred,
Ridho, Zia, Amna, Ria, Nicol, Fajri, Romadhon, Rey, Via, Rizka,
Vividanteman-temanlainnya yang
telahbelajarbersamadanmenemanikehidupankampus.
6. Keluargabesar LTQ Jabalurrahmah, yakni Aziz, Badru, Lutfi, Imam,
Humaidi, Amri, Farhan, Febridanteman-temanlainnya yang
telahmemberikansemangatdalammengerjakanskripsi.
Terimakasihatasbantuan yang
diberikankepadapenulisbaikmaterimaupunimmaterikepadasemuapihak yang
tidakbisadisebutkansatupersatudalampenyelesaianskripsiini.Semoga Allah
Swtmemberikanbalasan yang berlipatdanmenjadikannyasebagaiamaljariyah yang
tidakakanterputus, Amin.
Penulisberharapsemogaskripsiinidapatbermanfaatbagipenuliskhususnyadanparapemb
acaumumnya.
Jakarta, 10 Mei 2019
Penulis
viii
Muhammad Usman
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط a a ا
ẓ ẓ ظ b b ب
‘ ‘ ع t t ت
gh gh غ ts th ث
f f ف j j ج
q q ق ḥ ḥ ح
k k ك kh kh خ
l l ل d d د
m m م dz dh ذ
n n ن r r ر
w w و z z ز
h h ه s s س
, , ء sy sh ش
yy ي ṣ ṣ ص
h h ة ḍ ḍ ض
VOKAL PANJANG
Arab Indonesia Inggris
ā āأ
ī īإي
ū ūأو
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL .................................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ................................................................................................ vi
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ix
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 9
E. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 10
F. Metode Penelitian..................................................................................... 12
G. Sistematika Penulisan .............................................................................. 13
BAB II: KHAZANAH PEMIKIRAN TENTANG TUHAN DALAM FILSAFAT
A. Tuhan dalam Pemikiran Filsafat Barat
1. Aristoteles ................................................................................... 15
2. Neo-Platonisme .......................................................................... 18
x
B. Tuhan dalam Pemikiran Filsafat Islam
1. Ibn Sina ...................................................................................... 21
2. IbnBajjah ...................................................................................... 27
BAB III: BIOGRAFI IBN ṬHUFAYL
A. RiwayatHidup Ibnu Ṭhufayl ................................................................... 32
B. Karya-Karyanya ...................................................................................... 34
C. Kondisi Sosial dan PolitikIbnṬhufayl ..................................................... 35
D. TentangḤayyibnYaqzhân ........................................................................ 45
BAB IV: TUHAN DALAM KISAH ḤAYY IBN YAQZHÂN
A. Epistimologi dan Ontologi Ḥayy ibn Yaqzhân ...................................... 55
B. Metode Tasyabbuhat(MeniruPerilakualam) ............................................... 61
1. Menyerupai Hewan-Hewan Tak Berakal ............................................ 62
2. Menyeruppai Benda-Benda Langit ................................................... 67
3. Menyerupai Al-Maujud yang Wajib Ada ............................................ 70
C. Kebenaran Tuhan dalam Kisah Ḥayy ibn Yaqzhân ................................ 73
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 83
B. Saran-Saran ............................................................................................. 85
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 86
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sifat dasar manusia adalah bertanya apa yang tidak diketahui, apapun yang
berhadapan dengannya selalu dipertanyakan. Mengapa demikian?Karena
ketidaktahuan itu yang mendorong manusia untuk memerlukan pengetahuan.
Ada dua kenyataan pada manusia yang tampaknya berlawanan dan
membuatnya selalu ingin mengetahui lebih jauh, pertama karena pengetahuan
manusia yang membuatnya bertindak, alasan manusia betindak itu memiliki beberapa
faktor baik itu segi kebutuhan atau yang lainnya, kebutuhan manusia adalah makan
dan minum, manusia terdorong kebutuhan itu karena mengetahui apa yang
diperlukan, kedua, kemauan untuk mengetahui lebih jauh, pengetahuan manusia
memang terbatas tapi wawasan manusia tidak terbatas sehingga manusia terus
terdorong untuk selalu bertanya karena ingin mencapai pengetahuan yang lebih benar
sampai kepada masalah ke-Tuhanan.1
Kesempurnaan manusia terdapat ketika dia bisa mengetahui tentang hakikat
Tuhan, baik itu dari nama dan sifatnya (asma wa sifat), keberadaan atau dengan dzat-
Nya. Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan bimbingan spiritual untuk
mengetahui jalan kebenaran yang hakiki.
Jika kita elihat pada abad ke 20 banyak kalangan filsuf yang meninggalkan
ateisme tapi tidak dapat membantu untuk menemukan filsafat ke-Tuhanan
1Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Ikapi 2006) hal.18
2
dikarenakan terikat oleh paradigma ilmu-ilmu alam, jadi sebagian besar filsafat abad
ke-20 Tuhan berada diluar batas-batas rasional. Memasuki abad ke-21 pergeseran ini
terlihat sedikit dengan menghadapkan manusia intelektual yang tetap percaya pada
Tuhan dengan dua pertanyaan: Apakah imannya lebih daripada sekedar warisan indah
yang sudah berumur ribuan tahun? Apakah ia dapat mempertanggungjawabkan
kepercayan kepada Allah secara rasional?.2
Penting harus kita ketahui bahwa mengetahui sebuah objek termasuk Tuhan
adalah esensi (mahiyah) atau ke apa-an darinya. Karena ketika kita melontarkan
pertanyaan tentang apa maka itu adalah normal dan sah. Tentu untuk menjawab
pertanyaan yang fundamental meskipun itu menggunakan kata ‘apa’ tidak berarti
pertanyaan itu mudah dijawab apalagi berkaitan dengan Tuhan. Bahkan seorang filsuf
pernah berkata bahwa Tuhan yang besar tapi tidak dikenal(The Great Unknown)
Adapun maksud dari kata ‘tidak dikenal’ dalam istilah filsafatnya adalah via-
negativa yaitumengetahui Tuhan dengan membedakan dengan cara yang lain dengan
maksud untuk mengisyaratkan perbedaan yang mutlak anatar Tuhan dan Makhluk-
Nya.3
Pada zaman ini manusia merasa kehilangan kepercayaan kepada Tuhannya
sehingga ketidakpercayaan itu menimbulkan perintah dan larangannya diacuhkan
yang akibat daripada itu ketidakselarasan di muka bumi menjadi carut marut
Mencari kebenaran tentang Tuhan tidaklah mudah, apalagi pada abad ke-21
serba modern, manusia termakan dengan peradaban tekhnologi yang menjadi
2 Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Ikapi 2006) hal.13 3Mulyadhi Kartanegara Lentera Kehidupan (Panduan Memahami Tuhan, Alam dan Manusia)
(Bandung : Mizan 2017) Cet. I, hal. 4
3
pencarian kepada pengetahuan yang hakiki melemah, mereka menginginkan
penetahuan yang praktis yang bisa menghasilkan untuk dirinya dengan kebahagian
yang sesaat. Padahal ketika manusia sudah menemukan kebagiaan jiwa yang hakiki
dan menyaksikan (musyahadah) dengan Sang Khaliq, maka manusia akan sampai
pada pen9getahuan tentang rahasia kebahagiaan.4
Manusia mampu mengetahui Tuhan dan beberapa sifatnya terlepas dari agama
dan wahyu dan pendapat itu sudah diakui oleh kitab suci maupun para agamawan
yang berfikir serius seperti yang termaktub dalam kitab agama Kristen ‘bahwa
kekuatan dan ke-ilhaman tampak kepada pikiran dan karya-Nya sejak dunia
diciptakan.5
Pelbagai pemikiran dan konsep telah diajukan untuk mendapatkan komposisi
yang cocok bagaimana mengetahui Tuhan sesuai keinginan manusia, Mengetahui
Tuhan adalah cara untuk mengisi kekosongan jiwa manusia agar mengetahui
kebenaran dan kebaikan yang selaras dengan keinginan Tuhan.
Dalam tradisi filsafat Islam, Tuhan menjadi kajian utama dalam masalah filsafat
seperti yang dipersoalkan Al-Kindī, Al-Rāzī, Al-Fārābī, Ibn Sīnā, Ibn Rusyd dan Ibn
Ṭufayl. Filosof muslim pertama Al-Kindī pernah menulis kitab yang berkaitan
dengan Tuhan, ia mengungkapkan bahwa Tuhan adalah tujuan akhir filsafat karena
Allah Maha terpuji, Dialah penyebab gerak di alam semesta , abadi (qadim),
4Masruri, Hadi, Ibn Ṭufayl Jalan Pencerahan Mencari Tuhan (Yogyakarta: LKiS 2005)
cet. I, hal. 49 5Simon Petrus L. Tjahjadi, Tuhan para filsuf dan Ilmuan (Yogyakarta ; KANISIUS 2007)
hal. 11
4
penyebab gerak tanpa menggerakan Diri-Nya dan tidak dapat dilihat serta tidak dapat
terbagi.6
Dalam Risalah Hayy Bin Yaqdzan, Ibn Ṭufayl mencoba memberikan gambaran
tentang bagaimana cara untuk mendapatkan pengetahuan yang hakiki. Pertama,
melakukan peniruan terhadap perilaku binatang (kehidupan hewan). Peniruan
terhadap prilaku kehiduapn hewan hanya sebatas memenuhi kebutuhan jasmani
ketika Hayy mengalami kebutuhhan badan didalam dirinya, peniruan ini tidak akan
membawa Hayy pada tinggakatan paling tertinggi, karena itu Hayy melakukan
peniruan ini sekedarnya saja.7 Jika Hayy belum bisa menemukan pengetahuan hakiki
tersebut maka dia memakai jalan yang kedua yaitu menyerupai benda-benda samawi
dan meyerupa sifat-sifatnya, dalam hal ini Hayy merasa harus dalam keadaan suci
karena itu sifat benda langit, sehingga Hayy membersihkan dirinya dari segala
kotoran yang mempel dalam tubunya seperti membersihkan kuku, membersihan gigi
serta berbagai kotoran yang menempel dan tersembunyi sampai melakukan mandi
sesering mungkin, tidak hanya itu Hayy juga menempelkan wangi-wangian agar
tubuh dan pakaiannya harum sehingga Hayy tampak harum, indah dan berkilau
karena Hayy mengetahui inilah jalan untuk beretemu dengan Sang Maujud.
Bersamaan dengan itu Hayy mulai melakukan gerakan memutar baik itu gerakan
6 M.M. Syarif, Para Filosof Muslim terj. History of Muslim Philosphy (Bandung: Mizan
1985) Cet. I, hal. 21 7M. Hadi Masruri, Ibn Thufal (Jalan Pencerahan Menuju Tuhan)hal 60
5
kecil atau gerakan yang mengitari pulau yang Hayy tempati sampai ia merasa hilang
kesadarannya karena telalu banyak memutar.8
Dalam bagian perjalanan yang ketiga Hayy melakukan pengolahan rohani yang
mengharuskan dirinya fokus terus menerus untuk mendapatkan pengetahuan
tentangWajib al wujud,Hayy memejamkan mata dan menutup telinga agar suaru yang
masuk tidak menggangu pikirannya dan memaksakan dirinya untuk menolak
hubungan yang bersifat inderawi dan hayalan dalam pikirannya serta berbagai daya
fisiknya. Dalam beberapa lama Hayy membiasakan dirinya untuk berpusat pada Sang
Maujud , ia memerangi kekuatan dan daya-daya jasmaniyah dan ketika daya
jasmaniyah itu melawannya Hayy mencoba untuk melawannya kembali, Hayy
membebaskan dirinya terutama alam pikirannya dari segala cacat dan gangguan.9
Setelah Hayy melangsungkan perjalanann yang ketiganya, ia merasakan
kedatangan tamu yang istimewa yaitu Sang Maujud yang diam-diam mendatanginya
dan Hayy bermusyahdah (menyaksikan) sehigga esensi dirinya tenggelam dalam
esensi-Nya.10
Ada beberapa jalan untuk menuju Tuhan dalam pandangan Hayy. Pertama
dengan menggunakan pengamatan inderawi (Syariah) dengan arti menjalankan
perintah Allah yang cendrung mengguanakan denngan cara dhohir (yang tersurat)
yang secara langsung menolak ta’wil dan hanya megimani terhadap ayat-ayat yang
memiliki makna dalam atau dengan kata lain menjalankan Syariah sesuai tuntunan
8Ahamdie Thaha Hayy bin Yaqzan (Anak Alam Mencari Tuhan) (Jakarta: Pustaka Fidaus
1997) hal. 80 9Muhammad ‘Ustman Najati Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim (Badung: Dar asy-
Syuruq 1993) Cet.I, hal. 285 10 Ahamdie Thaha Hayy bin Yaqzan (Anak Alam Mencari Tuhan) hal. 81
6
yang Allah berikan. Kedua Jalan penalaran yang Allah berikan lewat akal dan
pengolahan jiwa dengan jalan yang lebih cendrung ke arah tasauf, dan yang ketiga
lewat intuitif, Hayy lebih suka dengan cara yang ketiga yaitu jalan menyaksikan Sang
Maujud dengan cara pengolahan jiwa.11
Pemikiran Ibn Ṭufayl dalam Risalah Hayy bin Yaqzdan sangat berpengaruh
pada tokoh-tokoh berikutnya, seperti Baltazer Gracian dengan kisahnya yang
berjudul El Criticon adalah karya Eropa pertama yang terpengaruh kisah Hayy bin
Yaqdzan. Dr. M. Ghonimy Hilal menulis buku yang berjudul ‘Sastra Perbandingan’
yang didalam buku tersebut menyimpulkan kisah tokoh El Criticon.Kisah tersebut
dibagi kedalam tiga bagian, pertama musim semi masa kanak-kanak yang
menceritakan tokoh yang bernama Critilo terbawa kepesisir pulau Santa Alia yang
selamat dari tenggelamnya kapal yang membawa karam, kemudian Critilo bertemu
dengan manusia bernama Andrenio dan mengajarkan bahasa manusiakepada Critilo,
kedua musim gugur masa remaja Critilo menceritakan kepada Andrenio pendapanya
tentang kebenaran Al-Haq dengan menggunakan lambang yang bermacam-macam
dan ketiganya musim dingin pada masa tua, dalam cerita tesebut ketika berada dalam
istana petualangan Andrenio memperoleh cahaya hakikat yang sangat jelas
sehingga ia tidak merasakan dirinya terlihat seperti biasanya, andrenio tenggelam
dalam petualangan itu karena melihat cahaya hakikat yang sangat jelas.12
Penulis melihat kesamaan antara Hayy dan Critilo terdapat dalam
terselamatkannya manusia kepesisir pulau Waq-Waq dan Santa Alia, Critilio hidup
11 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan Rusa (Yogyakarta : Navila 2003)
Cet. I, hal. 216 12 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan Rusa hal. 264
7
sendiri di pulau Santa Alia tanpa budaya, agama dan kehidupan bermasyarakat
sampai Critilio menemukan kebenaran Al-Haq dan begitu pun dengan Hayy.
Kisah Hayy bin Yaqdzan adalah kisah filosofis-sufistik karya Ibn Ṭufayl yang
terkenal sehingga pada abad ke-14 kisah itu diterjemahkan kedalam bahasa Ibrani dan
pada abad ke-17 buku itu diterjemahkan ke berbagai bahasa diantaranya Latin,
Inggtis, Belanda, Prancis, Spanyol dan salah satu hal yang paling menarik kisah Hayy
bin Yaqdzan ini juga menjadi sumber rujukan Robenson Corozo yang diterbitkant
tahun 1797.13
Kipling yang menuliskan buku The Second of The Jungle dengan tokoh yang
diberi nama Muogly, Kipling menuliskan buku itu setelah membaca karya Hayy bin
Yaqdzan dalam terjemahan Bahasa inggris, kisah Kipling telah diangkat dalam film
Walt Disney dengan animasi yang dibuat oleh studio Walt Disney Holliwood dengan
judul The Jungle Book Pada tahun 1960. Pengaruh Hayy bin Yaqdzan terus mengalir
kepada kisah Tarzan penulis Amerika yang bernama Edgar Rice Baurroghs.14
Di samping itu, Ibn Ṭufayl juga dipengaruhi oleh filsuf muslim, seperti Ibn
Sina, Ibn Bajjah. Dengan demikian, Ibn Ṭufayl merupakan filsuf muslim yang
menyajikan kajian filsafat dalam bentuk kisah berupa simbol-simbol untuk
menemukan pengetahuan sejati dengan mengharmonisasikan pengamatan inderawi,
penalaran rasional dan intuitif.15
Ibn Khaldun pernah memberikan komentar kepada ibn Ṭufayl bahwa dia
mendalami semua bagian dari ilmu hikmah, salah satu tujuannya adalah
13Muhammad ‘Ustman Najati Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim hal.297 14 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan, hal. 272 15 M.M Syarif, Para Filosof Muslim h. 180.
8
menginginkan perpaduan antara syariat dan hikmah, dan dia belajar kepada ahli
hikmah salah satu diantaranya adalah Abu Bakar bin Saigh atau lebih dikenal dengan
Ibn Bajjah.16
Setelah membaca dan menganalisa secara rinci uraian ke-Tuhanan Ibn Ṭufayl di
atas, sedikit dapat disimpulkan bahwa Ibn Ṭufayl ialah filsuf muslim yang
menciptakan kisah Alegoris di mana Hayy bin Yaqdzan menjadi Ilustrasi untuk dapat
menemukan pengetahuan yang hakiki. Atas dasar dan latar belakang pemikiran
tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dalam pembahasan
skripsi yang berjudul “Tuhan Perspektif Ibnu Ṭufayl Dalam Novel Hayy Bin
Yaqdzan”
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Dalam skripsi ini, penulis membatasi pada pembahasan mengenai Tuhan
perspektif ibn Tufayl dalam kisah Hayy bin Yaqdzon. Oleh karena itu, pandangan-
pandangan mengenai objek studi lain tidak dibahas dalam skripsi ini karena kurang
relevan dengan penelitian yang akan dilakukan.
Pembahasan yang akan diangkat adalah Tuhan dalam perspektif ibn Ṭufayl
dalam karya Hayy bin Yaqdzon. Agar pembahasan tidak melebar, maka perlu
dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana pemikiran Ibnu Ṭufayl dalam kisah Hayy bin
Yaqdzan tentang Tuhan?
16Muhammad ‘Ustman Najati Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim, hal. 277
9
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian skripsi ini adalah:
1. Tujuan ilmiah, yaitu untuk mengetahui dan mendalami materi Tuhan
perspektif Ibn Ṭufayl.
2. Tujuan akademik, yaitu untuk memenuhi tugas akademik yang
merupakan syarat dan kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam rangka
menyelesaikan studi tingkat Sarjana program Strata Satu (S1) di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas
Ushuluddin, jurusan Aqidah dan Filsafat Islam dengan gelar Sarjana
Agama (S.Ag).
D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian skripsi ini dapat diambil manfaat sebagai berikut:
1. Untuk masyarakat
a. Mengetahui dan memahami secara mendalam mengenai
pemikiran Tuhan perspektif Ibn Ṭufayl.
b. Memiliki perspketif ke-Tuhanan agar manusia bisa menjalankan
perintah yang Allah berikan.
2. Untuk akademisi
c. Sebagai sumber bacaan tentang konsep tentang Tuhan.
d. Sebagai sumber rujukan mengenai kajian filsafat ke-Tuhanan Ibn
Ṭufayl.
10
E. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil penelusuran, penulis menemukan beberapa tulisan yang
berkaitan dengan Ibn Ṭufayl, antara lain:
Pertama, Studi Analisis Pemikiran Ekonomi Islam Ibnu Tufail Pada Kisah
“Hayy Bin Yaqzan” (Tesis, 2016) ditulis oleh saudara Ichsan Muhammad Yusuf
Abbas Jurusan Ekonomi Islam, Program Pascasarjana, UIN Sumatera Utara Medan.
Tesis ini membahas tentang konsep Ekonomi Islam yang diambil dari karya roman
filsafat yang terkenal dengan judul Hayy bin Yaqzan dalam membahas Akal dan
Wahyu serta pengaruhnya dalam membentuk Ekonomi Islam.
Kedua, Kebenaran Akal dan Kebenaran Wahyu Dalam Novel Hay bin Yaqzan
Karya Ibnu Ṭufayl (skripsi, 2015) ditulis oleh Dyan Sulistina Jurusan Filsafat Agama,
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsi
ini membahas mengenai kesesuaian akal murni melalui penalaran rasional dan
pengetahuan agama yang berlandaskan wahyu untuk menjelaskan agama yang pada
asasnya selaras dengan alam pikiran (filsafat) dapat menyelami maksud dan tujuan
agama yang diambil dalam karyanya Ibn Ṭufayl yang berjudul Hayy bin Yaqzan
Ketiga, Peranan Akal dalam Menyingkap Kebenaran (Studi Terhadap Kisah
Hayy bin Yaqzhan Karya Ibn Ṭufayl (1110-1185) (skripsi, 2013) ditulis oleh
Yulismar Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Sultan Syarif Kasim
Riau. Skripsi ini membahasperanan akal dalam menemukan kebenaran, keindahan,
kebaikan serta dikombinasikan dengan peranan wahyu untuk mencapai pengetahuan
ma’rifahterhadap Tuhan.
11
Keempat, Filsafat Manusia Ibnu Ṭufayl (1110-1185) (Sebuah Kajian Filosofis
Hayy Bin Yaqdzan) (skripsi, 2004) ditulis oleh Abdul Hakim Jurusan Aqidah
Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsi ini
membahas tentang manusia sebagai makhluk yang istimewa dengan akalnya serta
tanda-tanda alam semesta yang menjadi alat untuk mengetahui tabir alam semesta
menuju hakikat yang ADA.
Kelima, Analisis Komparatif Pemikiran Ibnu Tufail dan Jean Plaget Tentang
Konsep Epistimologi dan Implikasinya dalam Pendidikan Agama Islam (skripsi,
2008) ditulis oleh Khalid Rahman Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas
Tarbiyah, UIN Malang. Skripsi ini membahas tentang konsep epistimologi antara
pemikiran Ibnu Tufail dan Jean Plaget dalam memberikan sumbangsih terhadap
dunia pendidikan.
Keenam, Risalah Hayy bin Yaqdzan Karya Ibnu Ṭufayl dalam Perspektif
Pendidikan (tesis, 1995) ditulis oleh Ali Mudlorif Program Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Tesis ini membahas tentang fisafat pendidikan yang
menegaskan bahwa kebenaran ilmu umum dan kebenaran wahyu sangat selaras
dalam dunia pendidikan
Adapun perbedaan kajian yang akan penulis tulis dengan hasil penelitian di atas
adalah pembahasan mengenai Tuhan dalam perspektif Ibn Ṭufayl sebagai bagian dari
pemikiran ketuhanannya. Dengan demikian, penelitian yang akan dilakukan oleh
penulis merupakan penelitian pertama yang membahas tentang Tuhan perspektif Ibn
Ṭufayl.
12
F. Metode Penelitian
Penelitian ini sepenuhnya menggunakan library research, yaitu suatu teknik
penelitian untuk mendapatkan data yang relevan dengan subyekpenelitian.Untuk
mencapai tujuan penelitian, penulis menggunakan referensi-referensi yang bersumber
dari karya Ibn Ṭufayl yaitu Hayy bin Yaqdzon dan terjemahannya,Hayy bin Yaqdzon
(Manusia dalam Asuhan Rusa) yang diterjemahkan oleh Nur Hidayah. Selain itu,
sumber sekundernya berasal dari beberapa dokumen yang terkait dengan pokok
masalah penelitian ini, seperti majalah, buku, artikel, jurnal, koran, dan sebagainya.
Penelitian ini menggunakan metode analitis-deskriptif.Deskriptif analitis yaitu
mendeskripsikan data-data yang telah ada baik primer maupun sekunder, lalu
menganalisanya sehingga menghasilkan kesimpulan/verifikasi.Dalam penelitian
deskriptif penulis meneliti lebih luas dan terperinci sebab dalam penelitian ini tidak
hanya meneliti variabel masalahnya saja melainkan variabel-variabel lain yang
berhubungan dengan masalah itu dan menguraikan faktor-faktornya.Model penelitian
ini biasanya menjawab pada pertanyaan dasar “bagaimana”.17
Adapun pedoman standar yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini
mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)
yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun pedoman
transliterasi menggunakan Jurnal Ilmu Ushuluddin tahun 2013.
17 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003), cet. VI, hlm. 32-33.
13
G. Sistematika Penelitian
Untuk mempermudah bahasan tentang penulisan yang sistematis, maka
penulis menyusun ke dalam lima bab yang masing-masing terdiri dari sub-sub bab,
yaitu:
Bab I adalah pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah yang
menjadi alasan pelaksanaan penelitian ini, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Hal ini penting dibahas untuk memperjelas apa masalah yang diangkat, di mana
batasan masalahnya, dan bagaimana rumusannya.
Bab II berisi pembahasan mengenai definisi argumen Tuhan dalam khazanah
filsafat Islam yang terdiri dari tiga sub judul yaitu perspektif Ibn Sina dan Ibn Bajjah.
Bab III berisi tentang biografi Ibn Ṭufayl. Ada empat sub bahasan yang
ditulis dalam biografi Ibn Ṭufayl, yaitu riwayat hidup, karya-karya, dan kondisi sosial
dan politik Ibn Ṭufayl serta tentang Hayy ibn Yaqdzan.
Bab IV berisi pendapat Ibn Ṭufayl mengenai Tuhan. Dalam bab ini juga
dilakukan analisis secara mendalam tentang tanda-tanda adanya Tuhan, Pengetahuan
tentang Tuhan dan Mengetahui tentang adanya Tuhan.
Bab V adalah penutup. Bab ini terdiri dari rangkuman, tanggapan kritis serta
kesimpulan dan saran-saran.Rangkuman ini berisi ikhtisar berupa materi-materi yang
diuraikan dalam penelitian.Tanggapan kritis berupa respon penulis atas kekuatan dan
keterbatasan objek yang diteliti dan kesimpulan merupakan jawaban dari rumusan
masalah. Sedangkan, saran-saran berisi beberapa rekomendasi lanjutan tentang
14
penelitian yang sudah dilakukan serta memberikan kemungkinan lain untuk penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan pemikiran Ibn Ṭufayl tentang Tuhan.
15
BAB II
KHAZANAH PEMIKIRAN TENTANG TUHAN DALAM FILSAFAT
A. Tuhan dalam Pemikiran Filsafat Barat
1. Aristoteles
Aristoteles lahir di Stageira pada tahun 384 SM, ia lahir dari keluarga yang
saling mewarisi profesi kedokteran mulai dari kakek sampai ayahnya. Aristoteles
pindah ke Athena setelah orang tuanya meninggal pada usia 17 tahun, di Athenalah
Aristoteles memasuki pendidikan yang didirikan oleh Plato yang bernama Akademia,
Aristoteles menghabiskan waktu 20 tahun di Akademia sampai guruya meninggal.18
Pada tahun 343 Raja Philippos dari Makedonia menyerahkan anaknya
kepada Aristoteles untuk mendapatkan didikan dari Aristoteles. Pada tahun 335 SM
Aristoteles mendirikan sekolah yang termasyhur di dekat kuil dewa Apollo Lykeios
sehingga dikenal dengan sebutan Lykeion.Disanalah Aristoteles berbicara dan
berdiskusi dengan murid-muridnya, Aristoteles sering juga berjalan-jalan dikebun
(tamasysâ), Sehingga dari kebiasaan inilah orang menyebuat filsafat Aristoteles
(Masusyâ’iyyah ) atau filsafat Peripatetik.
Dalam perjalanannya, peralihan kekuasaan di Athena diambil alih oleh oposisi
setelah kematian Alexander, Aristoteles terancam bahaya karena melakukan
hubungan-hubungan yang mengaitkannya dengan orang-orang Makedonia sehingga
18Hanna Al-Fakhuri dan Khalil AL-Jurr, Târikh Al-Falsafah Al-‘Arabiyyah, Riwayat Filsafat
Arab Jilid I, terj. Irwan Kurniawan (Jakarta : Sadra International Institute 2014) Cet. I, hlm. 75.
16
mengharuskan ia melarikan diri ke kota ibunya, yaitu Khalkis. Sekolah yang
didirikan oleh Aristoteles di pindah tangankan kepada temannya yaitu Theophrastos.
Setelah lama berlindung kepada temannya di Khalkis, pada tahun 322 SM dengan
umur 62 tahun Aristotelespun menghempuskan nafas terakhir di kota Ibunya. 19
Para filosof Yunani mewarisi teori tentang Tuhan kepada filosof Arab,
diantaranya : Teori Aristoteles yang menyebut Tuhan sebagai “penggerak yang tidak
bisa digerakan” yaitu sebab pertama bagi penggerak seluruh alam wujud. Aristoteles
berpandangan bahwa Tuhan pasti ada dikarenakan metafisikanya adalah “eksistensi”.
Menurut definisi Aristoteles, pembahasan mengenai soal Maujud(exist) dari segi
eksistensinya adalah maujud, dan dari segala Maujud yang tertinggi adalah Yang
Maujud Mutlak atau dengan kata lain adalah Tuhan. Secara ringkas, dalam pandangan
Aristoteles Tuhan itu Maujud (exist) yang berarti ada.20
Dalil Tuhan menurut Aristoteles adalah tentang rangkaian sebab-musabab
(‘illahi), yaitu rangkaian sebab-musabab yang berakhir pada segala sebab yang tidak
disebabkan oleh sesuatu yang lain. secara bersambung rangkaian itu tanpa titik
pengahabisan (la nihayah). Yaitu berhentinya pada sebab pertama yang tidak
bersebab dengan sebutan al-Wajibul Wujud yang disebabkan oleh zatnya itu sendiri
sehinga ia menjadi “ada”. Sebab dari segala sebab itu adalah sebab Yang Sempurna,
sebab Yang Mutlak dan sebab bagi segala sesuatu Yang Ada yang tidak disebabkan
19 Hanna Al-Fakhuri dan Khalil AL-Jurr, Târikh Al-Falsafah Al-‘Arabiyyah, Riwayat Filsafat
Arab Jilid I, terj. Irwan Kurniawan (Jakarta : Sadra International Institute 2014) Cet. I, hlm. 75. 20 Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam (Jakarta : Pustaka Firdaus 2008) Cet. X, hlm. 129.
17
oleh yang lain. salah satu term Sebab Pertama itu adalah al-Mabda’ul -Awwal
(Sumber Pertama).21
Aristoteles berpandangan bahwa Tuhan adalah Zat yang Maha hidup yang
azali, abadi, Yang Maha sempurna yang tiada lebih awal dan akhir selain diri-Nya, Ia
tidak mempunyai iradah dan tidak memiliki perkerjaan. Alasan yang tepat dalam
memberikan penjelasan tentang Tuhan yang tidak memiliki pekerjaan karena tidak
ada yang mendesak-Nya untuk bekerja.Sesuatu terwujud tidak dari yang baru dalam
wujud kemutlakan-Nya yang tiada awal dan akhir. Karena itu, tidak ada sesuatu yang
baru dan dahulu, karena yang patut disifati oleh kesempurnaan Tuhan hanyalah
kebahagiaan (sa’adah) dengan nikmat kekekalaan-Nya yang tidak punya tujuan apa
pun di balik itu dan tidak ada nikmat selain itu baik diatas maupun dibawahnya.
Karena nikmat itu keluar dari cakupan-Nya sebagai perlindungan yang melindungi-
Nya.
Lebih lanjut Tuhan tidak berkepentingan dalam menciptakan alam semesta
atau unsur paling awal dalam penciptaan alam yang disebut dengan “primordial
matter”.Tetapi atas dasar kerinduan pada wujud Tuhan, primordial matter itu bekerja
sendiri dalam karakternya yang berwujud potensi dan mendorongnya menjadi wujud
serta membawanya dari kekurangan menuju kepada kesempurnaan. Karenanya
primordial matter ini bergerak dan bekerja atas dasar dorongan dan kerinduan.22
2. Neo-Platonisme
21 Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, hlm. 137. 22 Said Hawwa, Allah Subhanahu wa ta’ala ( Jakarta : Gema Insani Press 2002) hlm. 203.
18
Neoplatonisme23 dipandang sebagai inkarnasi lengkap dari filsafat mistik dan
filsafat Platonis yang dipupuk oleh inspirasi religious, baik itu berhubungan visi
penyucian metafisik dan theologisnya atau etikanya yang asketik.Neoplatonisme
meminjam secara bebas unsur-unsur dari pemikir-pemikir Yunani klasik
sebelumnya seperti Parmenides, Heraklitos, Platon serta Aristoteles. Dengan
pemikiran dari tokoh Yunani sebelumnya Neoplatonisme meracik sekaligus
menyusun suatu desain lengkap tentang theologi, fisika, etika dan metafisika.24
Neoplatonisme dipandang sebagai usaha terakhir roh Yunani untuk
menentang agama Kristen yang sedang tumbuh. Neoplatonisme adalah ajaran
Plato yang berusaha untuk menghidupkan ajaran-ajaran Plato demi keselamatan
dunia, salah satunya adalah dengan memperkayanya dengan segala hal yang terbaik
dari segala sistim yang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Ajaran-
ajaran yang termasuk dalam unsur-unsurnya adalah tokoh-tokoh seperti Plato,
Aristoteles, Stoa dan Philo yang bertujuan untuk mengembalikan roh Plato kepada
kemurniannya dalam kesempurnaan, menaikan dualisme Plato kepada tingkatan
yang lebih tinggi. Dalam artian ini anggapannya dicapai dengan menjadikan “yang
Ilahi” menjadi asas segala sesuatu, baik yang dapat diambil maupun yang tidak,
serta menjadi tujuan terakhir segala seuatu yang ada disekitarnya.25 Tokoh
terpenting dalam aliran Neoplatonisme adalah Plotinus yang mendasarkan
filsafatnya pada dua dialektika. Pertama, Dialektika menurun (a way down, al-
23Tentang Neo-Platonisme bisa dilihat secara lengkap dalam karya M.M. Shaif
1953.“Neoplatonism” dalam History of Philosophy, Eastern and Wesdtern.Radhakrisnan (ed). Vol. II 24 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani Klasik (Yogyakarta : Jalasutra 2013) Cet.1,
hlm. 302 25 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta : KANISIUS 2010 ) Cet
XXVI, hlm. 66
19
jadal al-nazil) dan yang kedua adalah dialektika menaik (a way up, al-jadal al-
sha’id).Dialektika menurun digunakan untuk menjelaskan “wujud tertinggi” (the
Highest,the First, al-Tabiat al-Ula, al-Wujud al-Awwal) yang cara alam keluar
dari-Nya. Plotinus terkenal dengan teorinya “Yang Esa” atau Esanya Plotinus
terhadap penjelasannya wujud tertinggi. Penjelasan yang kedua adalah keluarnya
alam dari “Yang Esa”. Ia sampai pada kesimpulan bahwa semua yang wujud,
termasuk didalamnya wujud pertama (Tuhan) merupakan rangkaian mata rantai
yang kuat dan erat. Sedangkan untuk dialektika menaik digunakan untuk
menjelaskan soal-soal akhlak dan jiwa dengan maksud untuk menentukan
kabahagiaan manusia.26
Penjelasan tentang dua dialektika diatas kemudian dikembangkan oleh
Plotinus ke dalam teori tentang asal-usul alam semesta yang tampaknya juga
merupakan gabungan dari teori-teori Aristoteles dan Plato yang hari ini teori itu
dikenal dengan sistem emanasi. Dunia tidak dipandang sebagai suatu wujud yang
diciptakan dari materi yang ada sejak sebelumnya (pre-existent matter) yang mana
dia itu sendiri kekal bersama-sama Tuhan (Plato), dan juga bukan dipandang
sebagai wujud yang keseluruhan dan kesempurnaannya kekal bersama Tuhan
(Aristoteles): dalam hal ini, sekarang dia dipandang sebagai wujud yang dihasilkan
atau dipancarkan dari hakikat kesejatian Tuhan secara kekal. jadi, tafsiran terhadap
pandangan yang baru ini berusaha memberikan kepercayaan kepada penciptaan
26 Muhammad Solikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam (YOGYAKARTA : NARASI 2008)
Cet. I, hlm. 163
20
alam dari tiada (ex nihilo) sebagai suatu tindakan penciptaan dunia yang
melibatkan hakikat Tuhan dari waktunya.27
Lebih lanjut tentang ajaran Plotinus tentang dualisme yang mengajarkan
bahwa disamping duina yang dapat diamati ini masih ada dunia lain yang tidak
dapat diamati yaitu dunia idea, dunia “ada” yang sejati yang pada hakikatnya
berbeda sekali dengan gejala ini. Teori dualisme Plato ini dinaikan tingkatannya
oleh plotinus ke tempat dalam suatu kesatuan yang lebih tinggi, di dalam kesatuan
“arus hidup” yang mengalir dari “Yang Ilahi”. Dalam hal ini Plotinus mengubah
filsafat Plato yang antroposentris (berpusat kepada manusia) dijadikan kepada
filsafat teosentris (berpusat kepada “Yang Ilahi”).28
Plotinus berpendapat bahwa Allah tidak termasuk dalam dunia, tetapi
termasuk dunia yang tidak diamati, Plotinus juga berpendapat bahwa Ia adalah
Esa, tanpa perbandingan yang tidak bisa dibandingkan dengan apa pun juga karena
tidak ada sesuatu apapun yang berada disampingnya, lebih lanjut Ia mengatasi
segala hal yang berlawanan karena Ia adalah Esa dan sempurna yang akal
manusiapun tidak bisa menembus sampai kepada-Nya, sebab dalam pikiran
manusia masih senantiasa ada subjek dan objek yang didalam pikiran manusia
masih senantiasa ada perbuatan memikir dan pikiran. Oleh karena itulah keadaan
Allah tidak dapat diuraikan baik itu tentang predikat, sifat dan juga tidak dapat
dikatakan apakah pada-Nya ada kesadaran dan kehendaknya atau tidak. Teori
tentang Allah ajaran Plotinus ini dipengaruhi oleh Neopythagorisme dan
27 Muhammad Solikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam, hlm. 164 28Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, hlm. 66
21
Platonisme dan Philo, Lebih lanjut bahwa Allah adalah yang Esa, yang Pertama,
yang Kekal yang Terbaik dan yang Tertinggi, yang mengatasi segala perlawanan
dan bebas daripada segala pengertian dikarenakan Ia adalah sempurna dalam diri-
Nya sendiri.
Seluruh alam jagat raya beserta isinya adalah bagian dari sesuatu yang
mengalir dari “yang Ilahi”, kalau kita gambarkan sesuatu itu adalah sumber yang
harus mengalir keluar atau laksana terang yang harus bersinar dari kegelapan, maka
dunia dan segala isinya telah ada sejak kekal yang tersimpan atau terpendam di
dalam diri “yang Ilahi”. Ketika pengaliran itu terjadi makin jauh dari sumbernya
maka keadaanya semakin tidak sempurna.29
B. Tuhan dalam Pemikiran Filsafat Islam
1. Abu Ali Husein Ibn Abdillah Ibnu Sina.
Abu Ali Husein Ibn Abdillah Ibnu Sina lahir di Afsyana, beliau lahir di
tempat yang terletak dekat Bukhara pada tahun 980 M, semenjak kecil Ibn Sina telah
banyak mempelajari ilmu pengetahuan yang ada pada zamannya seperti ; fisika,
kedokteran, hukum dan lain-lain, pada umur 17 tahun Ibn Sina terkenal sebagai
dokter. Atas panggilan Istana, Ibn Sina pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur
dari penyakit yang diderita kesehatannya pulih kembali setelah Ibn Sina datang dan
mengobatinya. Pada suatu waktu orang tuanya meninggal, ia pindah ke suatu kota di
dekat laut Kaspia yaitu Juzjan, disanalah ia mulai menulis ensiklopedianya tentang
29 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, hlm. 66 - 67
22
ilmu kedokteran yang kemudian terkenal dengan kitab (al-Qanun fi al-Tibb The
Cannon), dari sana ia pergi ke Ray yaitu suatu kota disebelah selatan Teheran dan
bekerja untuk Ratu Sayyedah dan anaknya Majd al-Dawlah, karena kecerdasannya
maka Sultan Syams al- Dawlah yang berkuasa di Hamdan (bagian barat dari Iran)
mengangkat Ibn Sina sebagai Menteri30
Ketika Ibn Sina umur 10 tahun, ia telah menyelesaikan pelajaran al-Qur’an
sastera dan Bahasa Arab. Kemudian ia belajar ilmu fiqh pada orang yang terkenal
zuhud (menjauhi kesenangan dunia) guru tersebut bernama Isma’il. Selain itu ia
juga belajar matematika dan ilmu ukur pada ‘Ali Abu ‘Abdullah an-Natili. Setelah
itu ibn Sina belajar sendiri dengan kemampuannya mambaca buku termasuk buku
Syarh sampai menguasai ilmu semantik dan mempelajari buku Ocledus mengenai
ilmu ukur (geometri) dan tidak ketinggalan buku-buku seperti ilmu kedokteran ia
pelajari. Sebagian literatur menyebutkan bahwa ibn Sina pada masa itu hafal isi
buku Metaphysica di luar kepala tanpa memahami isi kandungan serta maknanya
sampai ia menemukan buku Al-Farabi yang menjelaskan maksud tulisan
Aristoteles dalam masalah Metaphysica, barulah ia memahami perumusan
kalimat-kalimat yang dimaksud Aristoteles, Ibn Sina menganggap al-Farabi
sebagai guru kedua karena telah memberikan pemahaman atas penjelasan dari
Metaphysica Aristoteles.31
30 Ridjaluddin Fadjar Noegraha, Pengantar Filsafat Islam Filosof, Sejarah dan Ajarannya
(Ciputat : Kultur @ GP Press Group 2012), cet. I, hlm. 252. 31 Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, hlm. 48.
23
Ibn Sina mahir dalam ilmu kedokteran, pada waktu itu Sultan Nuh bin
Manshur mengidap sakit yang tak bisa diobati oleh dokter pada masanya, akan
tetapi setelah Ibn Sina datang maka sembuhlah Nuh bin Mansur itu, sejak itulah ia
terkenal pada usia yang masih muda mendapat sambutan yang baik. Kejadian ini
merupakan awal mula hubungan baik dengan Sultan Nuh bin Manshur yang
kemudian memberinya kesempatan untuk memeriksa ribuan buku yang tersimpan
dalam rak perpustakaannya.32
Berbicara tentang karya Ibn Sina, banyak karya ilmiah yang ditulis oleh
Ibn Sina seperti ilmu kedokteran yang memadukan dengan ilmu filsafat yang
berjudul Kitabusy-Syifa (buku penyembuhan) dan mengenai kedokteran ia menulis
buku al-Qanun. Buku asy-Syifa membagi ilmu menjadi empat golongan, yaitu :
ilmu ke-Tuhanan, ilmu semantik, ilmu alam dan ilmu pasti yang kemudian
diringkas dalam sebuah buku yang berjudul an-Najat (keselamatan).33
Hidup Ibn Sina penuh dengan kesibukan bekerja dan mengarang serta
kepahitan dan kesenanganya yang menimpa, kepahitan itu dikatakan ketika ia
tertimpa penyakit yang tidak bisa diobati dan mengakibatkan ia meninggal dunia
pada usia 58 tahun di Hamadzan pada tahun 428 H (1037 M).34
Pemikiran metafisika menurut ibn Sina adalah ilmu yang memberikan
pengetahuan tentang prinsif filsafat teoritis, dalam hal ini dilakukan dengan cara
mendemonstrasikan dalam upaya memperoleh prinsif-prinsif yang sempurna
melalui intelek. Metafisika berhubungan dengan eksistensi yang ada (maujud),
32Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta : PT RENIKA CIPTA 2010), hlm. 40. 33 Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, hlm. 85 34Sudarsono, Filsafat Islam, hlm. 41.
24
dalam pengertiannya adalah hubungan dengan maujud mutlak atau umum dan
hubungan dengan apa yang berkaitan dengannya.35
Dalam membahas mengenai adanya Tuhan yang hubungnnya dengan alam
semesta, dalam bukunya “Al-Isharat” ibn Sina mengatakan : titik pandangan
argumen orang terhadap wujud yang pertama, ke-Esaan-Nya, Maha Agung-Nya,
tidak berkehendak pada sesuatu yang lain selain dari ciptaan-Nya atas makhluk itu
sendiri, tanpa pandangan betapapun ciptaan dan bentuknya.Meskipun ciptaan-Nya
dipandang sebagai tanda adanya Tuhan, orang akan lebih mengerti dengan lebih
kuat dan baik terhadap Tuhan, karena adanya makhluk berarti adanya Tuhan.
Adanya segala makhluk , dapat dibenarkan pendapat tentang : adanya Tuhan.36
Percobaan-percobaan kebenaran ini, dilakukan Ibn Sina dalam pelbagai
kitabnya dengan judul An-Najat yang menyatakan bahwa sesuatu yang dibutuhkan
adalah keadaan yang masuk akal, bukanlah hal yang mustahil.Ada yang dibutuhkan
ini adalah Tuhan yang Maha Esa. Segala yang lain itu adalah mungkin, akan tetapi
sebagian darinya diperlukan oleh ada, dan sebagainya pula tidak diperlukan.
Mereka ini adalah mempunyai akal yang terpisah (separate intelligences) antara
yang satu dengan yang lainnya.Lebih lanjut Ibn Sina memberikan suatu aturan dari
bentuk sempurna kebutuhan pada bentuk tidak sempurna dan kemungkinan. Yang
dimaksud dengan bentuk sempurna dan kebutuhan itu adalah Tuhan sehingga ibn
Sina menyusun jalan pikiran tentang Tuhan sebagai berikut : “Akal terpisah,
35 Mustofa Hasan, Sejarah Filsafat Islam Geneologis dan Transmisi FIlsafat Timur ke Barat
(Bandung : CV Pustaka Setia 2015) Cet. I, hlm 104. 36 Sudarsono, Filsafat islam (Jakarta : PT Rineka Cipta 2010) hlm. 45.
25
bentuk, jasmani, benda dan kejadian. Dalam setiap ukurannya terdapat pelbagai
jenis makhluk yang berbeda dalam susunan kejadiannya”.37
Ibn Sina mengatakan bahwa Tuhan adalah akal murni yang mengetahui
dirinya sendiri, pengetahuan diri sendiri adalah sebab pelimpahan akal pertama
atas apa yang ia ingat dan pikirkan. Akal pertama Tuhan melimpah ke dalam akal
kedua sehingga ia mengingat dirinya sendiri sebagai keperluan bagi yang lain.
pada akhirnya ia melimpah ke dalam jiwa penggerak “primum mobile”, karena ia
mengingat dalam dirinya yang kemudian melimpah kedalam tubuh primum mobile
yang membuat manusia berilmu.38
Menurut ibn Sina Tuhan adalah Wajibul-Wujud (yakni tidak bisa tidak,
Allah pasti ada), ia menyerukan teori itu setelah mengadakan pembagian rasional
mengenai soal “ada” (maujud, eksistensi) menjadi : pasti (wujud), mungkin
(mumkin atau ja’iz) dan mustahil (mumtani’). Pandangan eksistensi ini sebenanrnya
bukan hal yang baru dari ibn Sina, tapi setidaknya dalam teori tersebut dipandang
mempunyai keisitimewaan yang dimiliki oleh ibn Sina.39
Dalam kitabnya al-Isyarat, definisi Tuhan diterangkan oleh Ibn Sina
sebagai berikut :Maha tahu adalah perwakilan dalam undang alam semesta, dalam
pengetahuan abadi, dalam suatu waktu tertentu. Undang pelimpahan Tuhan dalam
bentuk hirarki dan kekhususan adalah makhluk itu terdapat dengan pelimpahan
rasional. Lebih lanjut ibn Sina mengatakan bahwa Tuhan menghendaki kebaikan,
karenanya ia menyempurnakan wujud-Nya, makhluk adalah baik dan
37 Sudarsono, Filsafat islam, hlm. 46. 38 Sudarsono, Filsafat islam, hlm. 46. 39 Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam (Jakarta : Pustaka Firdaus 2008) Cet. X, hlm. 88.
26
kesempurnaan makhluk itu terdapat dalam segala makhluk, semua wujud dan
kesempurnaan terdapat dalam segala makhluk. Karena segala kebaikan dan
kesempurnaan datang dari Tuhan yang mempunyai sifat Rahman dan Rahim yang
menjelma ke dalam setiap kekuasaan yang dimiliki-Nya.40
Kitab al-Isyarat menunjukan bahwa ibn Sina menempuh jalan hipotesa
(thariq hadasi) sebagai cara untuk mengetahui rahasia-rahasiametafisika sesuai
dengan filsafat isyraqiyyah-Nya yang bersifat kebatinan. Thariq hadasi adalah
berfikir merenungkan al-Wujud tanpa memperhatikan keadaan segala makhluk
ciptaan Tuhan. Dalam kitabnya Ibn Sina menegaskan degan ucapan: perhatikanlah
bagaimana penjelasan kami yang memastikan adanya Yang pertama dan ke-Esaan-
Nya (al-Awwal danWahdaniyyah-Nya) yang tidak membutuhkan pemikiran
apapun selain al-Wujud dan penjelasan kami tidak membuthkan pemikiran tentang
penciptaan-Nya, sekalipun ciptaan-Nya itu membuktikan adanya al-Wujud.41
Lebih lanjut dalam masalah ke-Tuhanan, Ibn Sina menyebut bahwa
artiMaujudsebagai salah satu pengertian ‘aqli (al-Ma’ani al-badihiyyah). Dalam
bukunya asy-Syifaibn Sina mengatakan bahwa al-Maujud “sesuatu” atau “yang
pasti” semua pengertiannya yang pertama tergambar di dalam jiwa. Tidak perlu
disangkutpautkan dengan seusuatu yang lebih dapat memahami dari jiwa.42
Ibn Sina membagi suatu yang maujud “yang ada” kedalam tiga bagian
menurut pembagian semantik; al-Wajibul Wujud adalah kepastian adanya itu
disebabkan oleh zat subsantsi-Nya sendiri dan bisa disebutkan oleh adanya yang
40 Sudarsono, Filsafat islam, hlm. 49. 41 Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, hlm. 138. 42 Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, hlm. 134.
27
lain yang “pasti ada”. Sesuatu yang “pasti ada” ketika disebabkan oleh yang lain
dapat menjadi “ada” jika ia memenuhi syarat-syarat tertentu yang diperlukan.
Misalnya: kebakaran terjadi pada saat kayu bertemu api. Kebakaran itu menjadi
“ada” karena adanya yang lain, yaitu dengan adanya api yang mengandung
kekuatan untuk membakar dan menghasilkan kebakaran.43
Jika kita ingin mengetahui lebih jelas tentang al-Wujudnya Ibn Sina maka
ia membagi al-Wujud kedalam tiga bagian. Pertama, sesuatu yang kepastian adanya
disebabkan oleh dzatnya sendiri (Wajibul-Wujud Bidzatihi), Kedua, sesuatu yang
kepastian adanya disebabkan oleh yang lain (Wajinul-Wujud Bighairihi). Ketiga,
mungkin ada dan mungkin tidak ada atau sesuatu yang bisa ada dan bisa tidak ada
(Mumkinul-Wujud).44
2. Abu Bakr Muhammad Ibn Yahya al-Sha’igh
Abu Bakr Muhammad Ibn Yahya al-Sha’igh, yang dikenal dengan sebutan
Ibn Bajjah atau Avempace dalam dunia barat, Ibn Bajjah lahir di Saragossa
menjelang akhir abad ke – 5 H/11 M, (meninggal pada tahun 533 H/1138 M) ibn
Bajjah berasal dari keluarga al-Tujib karenanya ia dikenal sebagai al-Tujib dan
besar di kota kelahirannya, untuk mendapatkan petunjuk mengenai masa mudanya,
guru-gurunya serta pembimbing dalam menyelesaikan pelajarannya, data itu belum
kami temukan, tapi yang pasti cukuplah dikatakan bahwa dia merampungkan
jenjang akademisnya di Saragoza, sebab ketika dia pergi ke Granada dia telah
43 Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, hlm. 136. 44 Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, hlm. 136
28
menjadi seorang sarjana dan menguasai dua belas macam ilmu pengetahuan
termasuk bahasa dan sastra. Hal ini dibuktikan dengan adanya peristiwa yang
terjadi di masjid Granada, sebagai yang dicatat oleh al-Suyuti: “Suatu hari ibn
Bajjah mamasuki Masjid (jami’ah) Granada. Dia melihat seorang ahli tata bahasa
sedang memberikan pelajaran tentang tatabahasa kepada para murid yang
mengelilinya. Melihat seorang asing yang begitu dekat dengan mereka, para murid
muda itu menyapa ibn Bajjah dengan sedikit mengejek dengan pertanyaaan : ‘apa
yang diajarkan oleh ahli hukum itu? Ilmu apa yang dia kuasai dan bagaiman
pandangannya?’ ‘coba lihat,’ sahut ibn Bajjah, ‘aku membawa uang dua belas ribu
dinar dibawah ketiakku.’ Sambil berkata begitu dia memperlihatkan dua belas butir
mutiara yang sangat indah, yang masing-masing berharga seribu dinar. Ibn Bajjah
melanjutkan perkataannya ‘aku telah mengumpulkan pengalaman dalam dua belas
ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu ‘arabiyyah yang sedang kalian bahas ini.’
Selanjutnya Ibn Bajjah menyebutkan aliran mereka dengan rinci, para murid muda
yang bertanya itupun mengutarakan keheranan mereka dan memohon maaf kepada
ibn Bajjah.45
Melihat karir perjalanan hidup ibn Bajjah, ia berkecimpung dalam dunia
politik selama dua puluh tahun, bekerja sebagai penguasa daerah Granada dan
Saragoza di bawah Yusuf al-Murabithun (raja daulat al-Murabithin, Yusuf).Sejauh
yang dapat dicatat dalam sejarah, ibn Bajjah hidup di Serville pada tahun 1128 M.
ketika usianya terbilang belum lagi tua, ia meninggal dunia di Fez (Maroko) pada
tahun 1138 M. menurut satu riwayat ia meninggal karena diracun oleh seorang
45M.M Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung : MIZAN 1985) Cet. I, hlm. 144
29
dokter yang iri terhadap kecerdasan, dan ketenaran akan ilmunyadan menuduhnya
telah menjadi kafir oleh musuh-musuhya. Demikianlah yang dikatakan al-Fath Ibn
Khaqan yang menganggap ibn Bajjah sebagai filosof penganut aliran Ta’thil
(Aliran filsafat yang mengingkari sifat-sifat dan af’al Tuhan). Ibn Bajjah lebih
mengutamakan buku-buku pelajaran dan selalu memikirkan cakwrawala dan batas-
batas perubahan musim serta menolak kitab Allah.46
Selama hidupnya Ibn Bajjah mendalami berbagai ilmu pengetahuan seperti
matematika, ilmu astronomi, ilmu musik dan filsafat. Ia banyak menulis uraian
dan penjelasan tentang filsafat Aristoteles, sehingga ibn Ṭufayl memuji ibn Bajjah
dengan pernyataannya “dikalangan filosof zaman belakangan, Ibn Bajjah adalah
paling cerdas pikirannya, dan tepat pandangannya dan paling benar pendapatnya”.
Semua pembendaharaan tentang simpanan hikmah (filsafat) dan ilmunya belum
sempat ia terbitkan. Hanya saja ia menulis buku-buku yang tidak lengkap seperti
Fin-Nafsi (tentang jiwa) danTadbirul Mutawahid. Karenabeberapda bagian buku
akhirnya hilang dan rusak.
Ibn Bajjah menjelaskan dalam kitabnya yang berjudul Rasalatul- Wada’
bahwa manusia akan sanggup memahami dirinya sendiri dan dapat memahami
(makrifat) akal yang tinggi dengan sebutan Tuhan Yang Maha Kuasa dengan cara
berfikir sendiri (berfilsafat).47
Ibn Bajjah menjelaskan bahwa masyarakat akan mengalahkan perorangan
dan melumpuhkan kamampuan berfikirnya, serta menghalang-halanagi dari
46 Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, hlm. 98 47 Sudarsono, Filsafat Islam, hlm. 76.
30
kesempurnaan melalui keburukan-keburukan yang membanjir dan keinginan-
keinginannya yang deras, apabila akal dan pikirannya dapat menguasai perbuatan-
perbuatan seseorang dan mengabdikan diri untuk memperoleh hidayahnya maka
seseorang dapat mencapai tingkat kemuliaan dalam ukuran yang tinggi.48
Lebih lanjut ibn Bajjah meminta seseorang untuk menjauhi masyarakat
dengan kata lain yaitu ‘uzlah (peenyendirian), akan tetapi dalam ‘uzlah tersebut ibn
Bajjah tidak menyuruh untuk menjauhi manusia tanpa alasan, melainkan tetap
memiliki hubungan dengan masyarakat hanya saja ia harus bisa menguasai dirinya
serta hawa nafsunya agar tidak terbawa oleh arus keburukan-keburukan yang
terdapat dalam kehidupan masyarakat. Ia harus menjadi pusat dirinya sendiri dan
selalu merasa dirinya menjadi panutan dan pembuat aturan-aturan bagi
masyarakat.49
Dalam bukunya tadbir mutawwahid, ibn Bajjah mengatakan bahwa
manusia bisa berhubungan dengan akal fa’al dengan perantara pembangunan
potensi manusia dan ilmu pengetahuan, secara global seseorang harus
mengupayakan perjuangannya untuk berhubungan dengan alam atas, baik
bersama-sama dengan masyarakat ataupun sedang menyendiri. Sehingga jika
masyarakat baik, berarti ia telah memberikan andil dalam berbabagai macam
urusannya, tetepi jika masyarakat tidak baik, maka ia harus menyepi dan
menyendiri. Karena segala keutamaan dan perbuatan moral harus diarahkan untuk
48 Sudarsono, Filsafat Islam, hlm. 77. 49 Sudarsono, Filsafat Islam, hlm. 78.
31
memimpin dan menguasai jiwa manusia sehingga ia bisa mengalahkan jiwa
hayawaniah dalam dirinya.50
Menurut Ibn Bajjah, semua manusia mampu menempuh jalan tersebut dan
tidak ada yang menghambatnya kecuali peremehannya terhadap dirinya sendiri dan
ketundukannya terhadap keburukan-keburukan masyakarakat, kalau sekiranya
semua manusia bisa meninggalkan sikap keburukan tersebut, maka pastilah
masyarakat bisa mencapai kesempurnaan yang hakiki yang terdapat dalam
dirinya.51
50 Ibrahim Madkour, Filsafat Islam Metode dan penerapan (Jakarta : CV. Rajawali 1988)
hlm. 54. 51 Sudarsono, Filsafat Islam, hlm. 78.
32
BAB III
BIOGRAFI IBN ṬHUFAYL
A. Riwayat Hidup Ibnu Ṭhufayl
Ibn Ṭufayl sering disebut Abu Bacer dalam Bahasa Latin, nama lengkapnya
adalah Abu Bakar Muhammad bin ‘Abd al-Malik bin Muhammad bin Muhammad
bin Ṭufayl Al-Qeisy, dia memiliki gelar al-Andalusi dan al-Qurthubi52, dilahirkan di
Wadi Ash (Guadix)53 berdekatan dengan Granada (Gharnâthah) pada tahun 506 H
/1110 M dari keluarga suku Arab Bani Qeis. Ibn Ṭufayl berasal dari kabilah Arab
Bani Qeis ‘Aylan yang merupakan kabilah yang popular dan terkenal pada masanya.
Kabilah ini pada awalnya bermukim di daerah antara kota Mekkah dan Madinah,
seiring berjalannya dengan ekspansi dari luasnya wilayah kekuasaan Islam, kabilah
ini ikut andil dalam perluasan wilayah seperti Mesir, Persia, Afrika Utara sampai
Andausia. Asal usul nama kabilah ini diambil dari nama Qeis bin’Aylan yang
merupakan anak dari Mudhar yang silsilahnya sampai kepada ‘Adnan yaitu neneng
moyang bangsa Arab yang berkaitan erat dengan Nabi Ismail -‘Alaihi Salam-.
Kehidupan masa kecil dan remaja Ibnu Ṭufayl tidak banyak dikatahui orang
dan jejak rekaman dalam buku-buku sejarahpun menegaskan hal sama termasuk
perjalanan intelektualnya. Kehidupan Ibn Ṭufayl diketahui di kota Granada ketika ia
belajar pada masa dewasa, di kota Granada ia mempelajari berbagai ilmu
52Menurut Catatan dari beberapa buku di biografinya, gelar yang diberikan bukan hanya al-
Andalusi dan al-Qurthubi.Akan tetapi ibn Ṭufayl diberi gelar dengan julukan al-Ishili (dari Sevilla) dan al-Qaysi.Pemberian gelar al-Qays ini terkait dengan nasab Ibn Ṭufayl yang berakar dari kabilah al-Qays yaitu salah satu kabilah Arab yang ternama dan mempunyai kedudukan tertinggi di Andalusia. Lihat Hadi Masruri, Ibn Ṭufayl, (Yogyakarta : LKiS, 2005), h. 34
53 Merupakan lembah yang subur yang berdekatan dengan Granada (Gharnâthah)
33
pengetahuan, seperti; ilmu kedokteran, matematika, astronomi sastra arab dan
filsafat.54
Ibn Ṭufayl memulai karirnya sebagai dokter pemerintahan di kota Granada,
kemudian dia diangkat menjadi petugas rahasia55 pangeran Abu Sa’ad ibn Abd al-
Mu’min penguasa, Sabtah (Ceuta) dan Thanjah (Tangier), Maroko. pada dinasti
Muwahhidun Spanyol pertama yang merebut Maroko pada tahun 542 H/1147M.
Setelah itu Ibn Ṭufayl diangkat menjadi hakim di Maroko hingga menjadi dokter
(tabib) resmi sekaligus menteri pada pemerintahan Dinasti Muwahhidun pada masa
khalifah Abu Ya’qûb Yusûf al-Mansûr (558 H).Hanya saja Ibn Ṭufayl mengundurkan
diri dari Istana dan jabatannya digantikan oleh Ibn Rusyd pada tahun 578 H./1183 M.
Ibn Ṭufayl meninggal dunia di Markisy Maroko dikebumikan disana pada tahun 581
H./1186 M.56
Kedekatan Ibn Ṭufayl dengan penguasa Dinasti Muwahhidun, terutama
kepada khalifahnya Abu Ya’qûb Yusûf al-Mansûr yang dikenal sangat mencintai
ilmu pengetahuan, seorang pemimpin yang punya hobi mengumpulkan berbagai
literatur dari berbagai disiplin keilmuan oleh karena itu Abu Ya’qûb sangat suka
dengan Ibn Ṭufayl sehingga pada saat ia menjabat sebagai perdana menteri hampir
seluruh kegiataan Ibn Ṭufayl dihabiskan didalam Istana.57
Pada saat masih menjabat sebagai perdana menteri, Ibn Ṭufayl membawa Ibn
Rusyd dalam kajian ilmiah kepada khalifah Abu Ya’qûb Yusûf al-Mansûr dan
54 A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997), hlm.272 55 Dinas rahasia (kâtim as-sirr), dalam istilah sekarang disebut sebagai intelijen negara 56 M. Hadi Masruri, IbnṬufaylJalan Pencaharian Mencari Tuhan, hlm. 36 57 Albert Nasri, Abu Bakar Ibnu Tufail-Hayy bin Yaqzan , (Libanon: Dar al-Masyriq 2009),
hlm. 9
34
merekomendasikannya untuk memberikan anotasi (syarh) terhadap pemikiran
Aristoteles,atas undangan yang di luncurkan khalifah kepada pemikir Islam lainnya
termasuk Ibn Rusyd, pada akhirnya filsafat berhasil menghantarkan ke jenjang
paling tinggi dalam sejarah pemikiran Islam. Pada saat itu Ibn Rusyd dikenal sebagai
filsuf Islam yang sangat luas wawasan pengetahuannya, sehingga ajakan tersebut
mendapat banyak pujian dari kalanagan istana dan rakyat Muwahhidun.58
B. Karya-Karyanya
Ibn Ṭufayl sebagai seorang dokter, filosof, ahli matematika, penyair dan ahli
astronomi disebutkan dalam beberapa literatur memiliki berbagai karya, akan tetapi
dari sejumlah karya yang ada yang tersisa dan dinisbahkan kepadanya hanya:
Risâlah fî Asrâr al-Hikmah al- Masyrîqiyyah Hayy ibn Yaqzhân (Ḥayy ibn yaqzhân
tentang Rahasia Filsafat Timur), Rasâil fî an-Nafs, fî Biqâ al-Maskûnah wa al-Ghair
al-Maskûnah. Selain itu dia juga memiliki beberapa buku tentang kedokteran seperti
yang diriwayatkan oleh al-Marakusyi serta risalah yang berisi kumpulan surat-surat
tentang persoalan filsafat yang ia lakukan dengan Ibn Rusyd. Selain itu, apa yang
dikatakan oleh murid Ibn Ṭufayl yaitu Ibnu Ishaq Al-Bathruji Al-Falaky(1204 M)
bahwa Ibn Ṭufayl telah menemukan sistem astronomi yang lebihmutakhir dari yang
ditemukan olehastrolog Yunani Ptolemaeus.59 Menurut Ibn Khatib dua buku dengan
karya al-Bitruji yang berjudul Kitab al-Hai’ah dan karya Ibn Rusyd dengan judul fî
58Hadi masruri, Ibn Ṭufayl, hlm. 35 59 Yoesoef Sou’yb, Pemikiran Islam Merobah Dunia, (Jakarta: Maju. 1984), hlm. 245
35
Biqâ al-Maskûnah wa al-Ghair al-Maskûnah yang berkaitan dengan kedokteran ini
dipersembahkan oleh muridnya kepada Ibn Ṭhufayl.60
C. Kondisi Sosial dan Politik Ibn Ṭufayl
Dalam menentukan corak pemikiran (mode thought) seorang tokoh alangkah
baiknya kita mengetahui latar belakang kehidupan, sosial serta politik sebelum dan
pada masanya. Sangat penting kita kaji dalam ruang lingkup kehidupannya karena
pengaruh yang akan menjadi bagian dari corak pemikiran tersebut.
Pada abad pertengahan islam pernah mencapai puncak kejayaan dibunia barat,
yakni kekuasaan berpusat di Cordova61 (Spanyol). Menurut Muhammad Âbed al-
Jâbiri bahwa tokoh-tokoh yang telah berhasil membangun sebuah tradisi nalar kritis
yang ditegakkan diatas struktur berfikir demonstrative (nizhâm al-‘aql al-burhâni)
secara umum pemikiran ini dikenal dengan epistimologi burhani diantara tokoh
tersebut adalah ; Ibn Rusyd, Ibn Bajjah, Ibn Masarrah, Ibn ‘Arabi, Ibn Hazm dan
sejumlah tokoh lainnya yang menyumbangkan ilmu pengetahuan.62
Era kegemilangan pernah dicapai oleh umat Islam dengan masuknya Islam ke
Andalusia63 yang berkembang mulai dari Timur sampai meluas ke Barat dengan
60 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 103 61 Cordova merupakan pusat peradaban yang telah melahirkan tokoh-tokoh Islam seperti Ibn
Rusyd, Ibn Bajjah, Ibn Masarrah, Ibn ‘Arabi, Ibn Ḥazm, asy-Syathibi dan tokoh yang lainnya 62 Hadi Masruri, Ibn Ṭufayl Jalan Pencerahan Mencari Tuhan (Yogyakarta: LKiS 2005)
cet. I, hlm. 22 63 Andalusia merupakan kota yang terletak di Barat daya benua Eropa yakni di semananjung
Iberia. Andalusia merupakan pintu gerbang masuknya Islam ke benua Eropa. Kini semenanjung Iberia terpecah menjadi negara Spanyol dan Portugal yang terbagi kedalam dua bagian negara. Bangsa Arab menyebutnya Andalusia yang diambil dari kata Vandalusia yang asalnya adalah kata Vandal yang merupakan sebuah suku di Eropa yang datang menyerbu semenajung Iberia yang sebelumnya bangsa
36
corak penyebaran agama yang berbeda-beda.Secara geografis Andalusia merupakan
semenanjung Iberia di Eropa yang meliputi wilayah Spanyol dan Portugal yang
menjorong ke Selatan, ujungnya hanya dipisahkan oleh sebuah selat sempit dengan
ujung Benua Afrika.Daratan tersebut awalnya dihuni oleh bangsa Vandals yang
kemudian menyebutkan daerah tempat itu dengan sebutan Vandalusia yang dalam
ejaan Arab Andalusia. Kemudian mereka dijajah oleh bangsa Visigoths dengan
membangun Kerajaan Goth Barat (507-711 M) dan kerajaan Nasrani yang beraliran
Arianism (Unitary Faith) dengan ibukota Toledo.64
Dalam penyebaran Islam di Andalusia aliran-aliran Teologi Kristen juga
mempengaruhi jalannya perkembangan itu khususnya pada masa Dinasti
Muwahhidun, selain memerangi kahancuran tauhid pada masa pemerintahan
Murabithin, Kegiatan ilmiah juga berkembang dalam ruang lingkup filsafat,
walaupun kedokteran, matematika danilmu sosial juga di Analisa dalam kajian
ilmiah, ulama-ulama pemerintahan Muwahhidun juga intens melakukan dialog-
dialog teologi dengan para Kristen dengan kajian ilmiah tersebut.
Pada saat itu Andalusia di bawah kekuasaan Imperium Romawi hingga abad
ke-5 M, pada abad ke-6 M orang-orang Barbar (suku Iberia) datang ke Spanyol dan
menguasai Andalusia sehingga kekuasaan Romawi berakhir. Suku Iberia berhasil
mengambil hati masyarakat dan berinteraksi dengan penduduk setempat dengan baik,
hal ini dapat dibuktikan dengan tetap dijadikannya bahasa latin sebagai bahasa resmi
Arab datang dan menguasai wilayah itu. Lihat, Hadi W. Montgomery, A History of Islamic Spain,
(Edinburgh: The University Press, 1967), hlm 17 64 Joesoef Sou’yb, Kekuasaan Islam di Andalusia, (Medan: Firma Madju, 1984), hlm. 3.
37
negara dan menjadikan agama Nasrani sebagai agama resmi sehingga peradaban
Romawi masih eksis di bumi Andalusia.
Pada tahun 92 H/710 M Islam berhasil masuk ke daratan Eropa Andalusia
yang bagian dari benua Eropa melalui selat Gibraltar, Qordova, Malaga, Granada
sampai ke Toledo, bangsa Arab pada waktu itu dipimpin oleh Thâriq ibn Ziyâd
mengalahkan Raja Roderick yang pada waktu itu kekuasaan dipegang oleh Bani
Umayyah yang dikendalikan dibaw. Setelah Islam menguasai Andalusia, keadaan di
Andalusia dikandalikan dari Damaskus sebagai pusat pemerintahan Islam secara
turun-temurun sampai kondisi itu berlangsung hingga datangnya Amir
‘Abdurrahman ibn Mu’awiyah yang lebih popular dengan nama Abdurrahman ad-
Dâkhil. Pada saat kekuasaan Islam di Dunia Timur dipegang oleh Bani ‘Abbasiyyah
pada tahun 138 H/750 M, ‘Abdurrahman ad-Dâkhil melarikan diri dari Syam ke
Andalusia dan berhasil membangun kekuasaannya yang dikenal dengan Dinasti
Umayyah di Andalusia dan mampu bertahan selama 275 tahun dan berakhir
sepeninggal Hisyâm al-Mu’taqid Billah yang tidak mempunyai keturunan. Perlu
dicatat dinasti Umayyah di Andalusia mampu bersaing dengan Bani ‘Abbasiyyah
yang berada di Baghdad.65
Pemerintahan Daulah Ummayyah beralih kepada Mulûk ath-Thawâif setelah
Hisyâm al-Mu’taqid Billah meninggal pada 427 H. Mereka adalah raja yang terbagi-
bagi di wilayah Andalusia. Kekuasaan Mulûk ath-Thawâif hanya bertahan 50 tahun,
yakni ketika datangnya Yûsuf ibn Tasyfin yang kemudian pada tahun 484 H.
65 Hadi Masruri, Ibn Thufal, hlm. 24
38
mendirikan Dinasti Murâbithûn66. Kekuasaan Dinasti Murâbithûn tidak berlangsung
lama karena berhasil ditundukan oleh Muhammad ibn Tumart67 (515 H./1121 M.).
Kemudian Muhammad ibn Tumart mendirikan Dinasti Muwahhidun.68 Setelah dua
tahun meninggalnya Ibn Tumart kekuasaan digantikan oleh Abd al-Mu’min ibn
‘Ali (w. 557 H.), yang kemudian digantikan oleh Abû Ya’qûb Yûsuf bin Abd
Mu’min69 yang bergelar al-Manshûr (1163-1184 M.) Dinasti Dialah yang mendorong
kegiatan filsafat termasuk kepada Ibn Ṭufayl (1110-1185) dan Ibn Rusyd (1126-
1198), Muwahhidun layaknya dinasti-dinasti yang berkembang di Afrika Barat dan
dataran Andalusia yang dalam pandangan fikih menganut Mazhab Maliki, Sejarah
mencatat bahwa telah hidup di masa pemerintahannya dua tokoh pemikir Islam
yaitu Ibn Ṭufayl yang mewariskan karya roman filsafatnya yang terkenal dengan
judul Ḥayy ibn yaqzhân dan Ibn Rusyd aliran Averroisme dengan karyanya The
Commentaries Aristotle and Plato yang sangat membantu dalam bangkitnya kajian-
kajian ilmiah pada masa selanjutnya.70
66 Pada mulanya gerakan ini dinamakan gerakan agama yang didirikan Yusuf Ibn Tasyfin di
Afrika Utara yang mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy, keberhasilan menguasai spanyol diawali dengan mamanfatkan perpecahan yang terjadi dikalangan raja-raja Muslim pada saat itu. Lihat, Ahmad Mahmud Himayah, Kebangkitan Islam di Andalusia, (Jakarta: Gema Insani 2004), hlm. 27
67 Seorang Arab Barbar Maroko yang berkelana mencari hakikat ilmu syari’ah ke Kordoba sampai ke wilayah Baghdad
68 Awalnya adalah Gerakan al-Muwahhidûn dimaknai dengan gerakan kaum Tauhid, gerakan tersebut merupakan tandingan bagi gerakan kaum Santri yaitu al-Murâhbitûn yang berhasil membangun Daulat al-Muwahhidun di Afrika Barat yang kemudian meluas ke wilayah Andalusia. Lihat Jossoef Sou’yb, Kekuasaan Islam di Andalusia ,(Medan: Firma Madju, 1984), hlm. 3
69 Lahir di Tinmel, Maroko. Dia sangat terkenal dengan wawasan keilmuan yang sangat luas, memiliki kemampuan berbahasa Arab yang fasih, kuat hafalan syair-syair atau baitnya, karena kecintaanya terhadap ilmu pengetahuan al-Marakusyi meriwayatkan bahwa pada era tersebut rumah-rumah yang dicurigai memiliki khazanah litereatur-literatur disiplin ilmu semua digeledah dan buku disita oleh pihak kerajaan dengan cara yang sopan dan tanpa menyentuh barang lain. lihat Abu Muhammad Abdul Wahid bin Ali- Marakusyi, Al-Mu’jib fi Talkhis Akhbar al-magrib, (Shayda: Maktabah al-‘Ashiya, 2006), hlm. 176
70 Hadi Masruri, Ibn Ṭufayl, hlm. 25
39
Abû Ya’qûb Yûsuf adalalah orang yang sangat haus akan ilmu pengetahuan,
perlu dijelaskasn beberapa alasan kenapa Abû Ya’qûb Yûsuf sangat dekat dengan
Ibn Ṭufayl yang nantinya menjadi kepercayan khalifah dan menjadikannya sebagai
tabib (dokter) dan menteri, diantaranya alasannya adalah : Pertama, miliki kecintaan
yang sama dalam bidang filsafat, Abû Ya’qûb Yûsuf dan Ibn Ṭufayl sangat tertarik
dalam mengkaji fisafat sehingga kecintaan itu mereka banyak mengundang banyak
tokoh-tokoh filsafat untuk berdiskusi dalam kegiatan ilmiah. Kedua,sisi mereka
merupakan keturunan dari satu silsislah yaitu kabilah Qeis yang menyebar di daerah
Maroko dan Andalusia yang sering disebut dengan istilah sesama anak dari garis
Ayah. Hubungan darah di kalangan orang Arab sangat diprioritakan dan kental dalam
menjaga hubungan.Ketiga, memiliki kecintaan terhadap sastra Arab yang merupakan
upaya dalam meestarikan warisan nenek moyang mereka sehingga tidak dapat
dipisahkan oleh garis keturunan dari kedua tokoh tersebut.
Setelah Abû Ya’qûb Yûsuf memegang kekuasaan, dalam perjalannya
kekuasaan itu dialihkan kepada anaknya yang bernama Abû Yûsuf Ya’qûb yang
mempunyai kecendrungan pelarangan terhadap fisafat dan kegiatan berfilsafat,
sehingga perbedaan itu menonjol dengan Ayahnya. Pada saat Abû Yûsuf Ya’qûb
berkuasa terjadilah mihnahterhadap Ibn Rusyd tentang kegiatan filsafatnya.
Pada akhir abad ke–8 M. dalam dunia Timur71 terjadi gelombang tranferensi-
tranmisi ilmu pengetahuan melalui gerakan penerjemahan dari berbagai bahasa
71 Pada masa pemerintahan ‘Abbasiyyah terutama ketika Daulah Abbasiyyah diperintah oleh
tiga khalifah, yakni al-Manshûr (w. 775 M), Hârun al-Rasyîd (w. 809 M) dan al-Ma’mûn (w. 809 M), gerakan penerjemahan ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa sangat gencar dan mencapai puncaknya .
40
terutama dalam bahasa Yunani. Kondisi ini yang membuat dunia Timur banyak
melahirkan pemikir-pemikir yang konsen dalam bidangnya masing-masing terutama
yang berkaitan dengan ilmu filsafat seperti ; al-Kindî (801-873), al-Fârabi (870-950),
dan Ibn Sîna (980-1037), itulah hasil dari tumbuh dan suburnya ilmu pengetahuan di
dunia Timur. Dalam perjalanan kekuasaan waktu berganti sehingga terjadilah
pergantian penguasa yang dipegang oleh khalifah al-Mutawakkil, dalam
karakteristiknya khalifah ini lebih cendrung manganut mazhab Sunni sehingga ia
banyak memarginalkan pemikiran yang mengedepankan rasional filosofis dengan
berbau filsafat. Pada saat muncul karya al-Ghazali yang berjudul Tahâfut al-Falâsifah
dengan isinya bahwa pemikiran para filsuf paripatetik (Masysyâ’iyyûn) terutama a-
Fârâbi dan Ibn Sînâ sangat rancu dan rapuh. Setelah penguasa terpengaruh dari
pemikiran al-Ghazali, dari situ penguasa Abbasiyyah melarang pemikiran yang
berbau filsafat sehingga gerakan di dunia Islam bagian Timur menjadi stagna dan
beku dan menyatakan filsafat menyimpang dari agama.72
Jika kita perhatikan Islam di dunia Timur pemikiran tentang filsafat
mengalami gejolak serat pasang-surut yang mengikuti riak gelombang politik
penguasa, maka kejadian itu hampir sama dengan keadaan yang dialami Islam di
dunia Barat. Kenyataan ini menunjukan bahwa tumbuh dan berkembangnya ilmu
pengetahuan mengikuti keadaan sosial dan politik serta lingkungan dan tempat
tinggal yang mempengaruhinya.73Dalam hal ini di Andalusia kegiatan intelektual
72 Hadi Masruri, Ibn Ṭufayl, h.26 73 Keadaan itu dipertegas oleh Ibn Khaldûn yang menyatakan bahwa tumbuh dan suburnya
ilmu pengetahuan terletak pada makmurnya kesejahteraan rakyat dan megahnya peradaban. Hal ini disebabkan karena perhatian masyarakat tidak lagi tertuju pada pencaharian dalam memenuhi
41
dalam masyarakat belum terlihat disebabkan kondisi sosial dan politik yang belum
menentu.Shâ’id al-Andalusi menceritakan bahwa pengetahuan yang berkambang
pada saat itu hanya berkisar pada ilmu-ilmu al-Qur’an, syari’at dan bahasa, maka
tidak aneh jika persoalan ilmu pengetahuan belum berkembang karena sosial dan
politik yang masih semraut. Akan tetapi setelah situasi politik itu baik dan stabil
dengan terbuktinya mendirikan lembaga ilmu pengetahuan (majma’ al-‘ulum) di
Qordova dan kekuasaan Islam yang bertambah meluas di semananjung Iberia. Pada
permulaannya di Andalusia ilmu pengetahuan baru menyentuh ilmu kodekteran,
logika dan filsafat tidak lepas juga pelajaran al-Qur’an, bahasa dan syari’at. Lembaga
pengetahuan pada saat itu tidak dapat menampung para penuntut ilmu karena terlalu
banyak akan haus pada ilmu pengetahuan, akhirnya mereka melakukan ekspedisi ke
dunia Islam Timur: mulai dari Mesir, Syam, Hijaz hingga ke Baghdad. Menurut al-
Maqirri ada sekitar 304 orang yang melakukan ekspedia ke dunia Timur, meskipun
banyak orang yang melakukan ekspedisi itu, akan tetapi yang berminat dan
memusatkan perhatianya kepada filsafat, logika, sufi dan darwîsh yang tercatat hanya
30 orang. 74
Pada masa pemerintahan al-Hakam al-Mustanshir Billah75 (961-976 M.)
Kegiatan intelektual mulai tampak ke permukaan Andalusia dengan ilmu
kehidupan, melainkan perhatian itu dialihkan kepada usaha meningkatkan ilmu pengetahuan dan karhasil karya untuk menjadi manusia yang berkualitas. Lihat Ibn Khaldûn, al-Muqaddimah, hlm.344
74 Hadi Masruri, Ibn Ṭufayl, hlm. 28 75 Ketika al-Hakam masih dalam bimbingan Ayahnya yaitu Khalifah Abdurrahman ad-
Dâkhil, perhatian al-Hakam terhadap pemikiran filsafat sudah muncul semenjak ia masih kecil. Karena itu, ketika al-Hakam berkuasa ia rela mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk tujuan ekspedisi pengetahuan ke berbagai negara dan itu merupakan faktor utama umat Islam memiliki kegemaran untuk menuntut ilmu dan mendalami buku-buku filsafat. Dalam hal ini sikap al-Hakam persis seperti Ayahnya yang memmiliki perhatian terhadap ilmu pengetahuan.Perlu diketahui bahwa al-Hakam lebih
42
pengetahuaan yang berkaitan filsafat dengan geliatnya. kalangan banyak menilai
bahwa pada masa pemerintahan al-Hakam Eropa menuju puncak keemasan dan
kejayaan Islam di Andalusia, hal itu senada dengan ungkapan De Boer bahwa pada
masa pemerintahan al-Hakam keadaan lebih megah dan lebih produktif ketimbang
yang dicapai Islam di dunia Timur. Selain itu, di Andalusia terjadi akulturasi agama
dan peradaban yakni antara Islam, Kritsten dan Yunani yang bersepakat bahu-
membahu dan saling membantu dalam mengkaji ilmu pengetahuan dan Bahasa,
sehingaa masjid di Qordova menjadi ajang kegiatan ilmiah dan pusat pengembangan
ilmu pengetahuan dan filsafat. Mereka tumbuh dalam satu integritas sosial yang
menghilangkan sekat-sekat golongan, ras dan agama. 76
Setelah sepeninggalnya al-Hakam (w. 976) kekuasaan digantikan oleh
puteranya bernama Hisyâm al-Mu’ayyid Billah yang pada waktu itu ia masih
berumur dibawah sepuluh tahun. Pemikiran Hisyâm al-Mu’ayyid Billah lebih
condong pada pengetahuan syari’at sehingga pada waktu keemasan ilmu
pengetahuan tentang filsafat menurun pada waktu itu karena kebencian Hisyâm al-
Mu’ayyid Billah terhadap pemikiran yang berbau filsafat dimusnahkan bersama
seluruh buku-bukunya. Lewat punggawanya al-Hijab al-Manshûr77, Hisyâm
menganggap bahwa filsafat sebagai ajaran yang keluar dari syari’at (agama) sehingga
suka dipandang sebagai seorang filsuf (ahl al-hikmah) dari pada seorang khalifah menurut Shâ’id al-Andalusi.Lihat, Hadi masrusi, Ibn Ṭufayl, hlm. 29
76 T.J. De Boer, The Historyof Philosphy in Islam, (New York : Dover Publications Inc., t.t),hlm. 174
77al-Hijab al-Manshûr orang yang dianggap oleh banyak sejarawan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kehancuran ilmu pengetahuan di Andalusia, karena dialah yang merekomendasika dilarangnya filsafat dan kegiatan berfilsafat, bahkan dia dipandang menyalahgunakan kekuasaan untuk mendukung kelangsungan politiknya. Oleh karena itu yang ada dalam benaknya hanya mengambil hati masyarakat diantaranya mendekati fuqahâ.Lihat Hadi Masruri, Ibn Ṭufayl. hlm. 30
43
ia membakar khazanah pemikiran diantaranya filsafat, logika dan astronomi, kecuali
ilmu Bahasa, syari’at, ilmu hitung dan ilmu kedokteran. Atas kejadian itu kegiatan
intelektual pun stagnan karena serangan yang dilancarkan Hisyâm terhadap
pemikiran filsafat bahkan serangan itu terjadi kepada para filsuf yang tidak jarang
mendapatkan siksa bahkan sampai merenggut nyawa. 78
Meskipun tekanan terhadap pemikiran filsafat sangat gencar, para filsuf yang
masih hidup bisa mengantisipasi kegiatan filsafatnya secara sembunyi-sembunyi
dengan mendalami tradisi pemikiran Yunani.79situasi yang tidak kondusif ini terus
berangusng sampai tegaknya Diansti Muwahhidûn.80 Menurut Shâid al-Andalusi
bertkaitan dengan Ibn Bajjah, ia adalah seorang filsuf yang sering menyendiri
(‘uzlah) demi menghindari tekanan penguasa dan amukan massa awam, sehingga
dialah satu-satunya filsuf yang selamat meskipun beberapa kali usaha pembunuhan
itu ditujukan kepadanya.
Keadaan tidak kondusif bagi pengembangan intelektual terkait Ibn Ṭufayl
(506-581 H.) yang lahir dan dibesarkan. Dalam beberapa literatur mengatakan bahwa
Ibn Ṭufayl belajar filsafat kepada Ibn Bajjah, meskipun ada pernyataan seperti itu,
namun hal itu bukan belajar atau berguru secarang langsung dengan cara face to face,
78 Hadi Masruri, Ibn Ṭufayl. hlm. 31 79 Padad masa yang belum kondusif, menurut banyak peneliti ilmuan masih tetap intens
meperdalam ilmu pengetahuan tentang pemikiran filsafat, hal ini di pandang sebagai cikal bakal proses pematangan pemikira filsafat ditangan Ibn Rusyd (520-595 H.), salah satu para ilmuan yang terkenal itu diantaranya Abu ‘Utsmân al-Bughûni (w. 444 H.) yang menguasai filsafat Yunani, al-Karmani yang ahli dalam bidang kedokteran dan geometri, Ibn Hazm (w. 456 H.) dan Abû al-Hasan al-A’mâ (w. 458 H.) yang ahli dalam bidang logika. Liihat, Hadi Masruri, Ibn Ṭufayl, hlm. 31
80 Setelah Hisyâm ibn al-Hakam meninggal (w.427), keadaan wilayah di Andalusia terbagi-bagi dan dikuasai oleh raja-raja. Akan tetapi pada tahap berikutnya , Muhammad ibn Tumart mendirkan Dinasti Muwahhidunyang kemudian digantikan oleh Abd al-Mu’in ibn ‘Ali (487-558 H.), sepeninggalnya Abd al-Mu’in, kekuasaan dipegang oleh putranya yang bernama Abu Ya’qûb Yûsuf al-Manshûr (558-595 H.). Pada masa inilah kehidupan filsafat kembali menampakan di bumi Andalusia.
44
akan tetapi Ibn Ṭufayl belajar melalui karangan buku-buku yang Ibn Bajjah, dalam
artian berguru secara tidak langsung. Hal ini senada dengan Ibn Ṭufayl dalam
karyanya Hayy bin Yaqzhan bahwa dia menyatakan di kitabnya tidak pernah
bertemu dengan Ibn Bajjah.81 Berbeda dengan filsuf lainnya yang seolah menjadi
musuh penguasa, Ibn Ṭufayl justru memiliki kedekatan dengan para penguasa dan
hal ini yang membuat leluasa IbnṬufayl dalam mengembangkan filsafatnya, bahkan
pada masa khalifah Abû Ya’qûb Yûsuf al-Manshûr (558-580 H.) yang memegang
kekuasaan setelah Ayahnya Abd al-Mu’min, Ibn Ṭufayl pernah menjadi orang
kepercayaan khalifah karena terlalu dekatnya, bahkan Ibn Rusyd menjadi sasaran
dalam memberikan (syarh) terhadap pemikiran Aristoteles dan itu tidak lepas dari
rekomendasi Ibn Ṭufayl.82
Pada masa Ibn Ṭufayl, meskipun filsafat sudah mendapatkam tempat di hati
kaum muslimin, namun hal itu masih terbatas dalam kalangan elit tertentu, akan
tetapi untuk masyarakat awam filsafat masih dianggap bertentangan dengan agama
(syari’at) dan masih dianggap sebagai pemikiran yang sesat, Hal inilah salah satunya
kenapa Ibn Ṭufayl menuangkan pemikiran filsafatnya dengan memakai bahasa
symbol lewat sebuah kisah dengan tujuan agar mudah dipahami oleh mereka yang
81 Ibn Ṭufayl, Hayy bin Yaqzan, hlm. 112 82Menurut al-Marâkisyi berkaitan petemuan antara Khaliafh al-Manshûr, Ibn Ṭufayl dan Ibn
Rusyd.Ketika Ibn Rusyd hendak menghadap khalifah, ia mendapatainya sedag bersama Ibn Ṭufayl. pada saat itu khalifah bertanya kepada Ibn Rusyd tentang identitasnya dan melanjutkan keoada pertanyaan ; bagaiamana pendapat nereka (para filsuf) tentang langit, aoakau dahulu (qadim) atau baru (hâdist)? Mendengar pertanyaan itu Ibn Rusyd terlihat kaget dengan menampakan rasa malu-malu dan mencari alasan untuk menutupi kegemaran berfilsafatnya, akhirnya Ibn Ṭufayl angkat bicara dan mencawab persoalan yang ditanyakan khalifah. Setelah mendengar penjelasan Ibn Thufal tentang Platon, Aristoteles. Ibn Rusyd terkagum atas penjelasan pengetahuan yang mendalam tentang pemikiran filsafat, hal itulah yang membuat Ibn Rusyd ikut membahas persoalan-pesoalan filsafat.
45
hendak memasuki dunia filsafat, ibn Ṭufayl memberikan kisah itu dengan title Hayy
bin Yaqdzân.83
D. Tentang Hayy bin Yaqzhân
Ibn Ṭufayl memberikan kisah dalam karyanya yang alegoris dengan tokoh
yang diberi nama Hayy bin Yaqzhân84 dengan memiliki dua versi : pertama, Hayy
bin Yaqzhân terlahir seperti kebanyakan manusia lainnya, yakni dilahirkan oleh
seorang ibu dan seorang ayah, ibu dari Hayy adalah saudara kandung dari sang raja di
kepulauan Hindia85, sedangkan ayah Hayy adalah bernama Yaqzhân teman kerabat
dekat sang ibu.
Konon didekat pulau (Waqwaq) ada sebuah pulau besar, luas, makmur,
berpenghasilan melimpah, berpenduduk ramai dan dikuasai orang raja (tiran)86 yang
penuh ambisi. Sang raja mempunyai seorang adik kandung yang sangat cantik jelita
dan menarik ketika kaum lelaki memandangnya, tetapi sayangnya kebebasan cinta
83 Ibn Ṭhufayl, Hayy bin Yaqzhân, hlm. 236 84Hayy, memiliki arti hidup, adalah symbol yang tidak penah mati.Akal adalah sumber dari
segala yang ada dan juga sumber pengetahuan sehingga akal adalah sumber kehidupan.Ibn Ṭufayl
menampilkan sosok Hayy sebagai anak Yaqzhân.Kata Yaqzhân berarti sadar.Yaqzhân berarti
personifikasi dari Tuhan, dzat yang tidak pernah lalai dan lengah. Oleh karana itu Hayy bin Yaqzhân
merupakan perwujudan dari sosok manusia yang dengan akalnya manusia berfikir, mengamati dan
meneliti untuk memperoleh kebenaran sejati. Lihat lebh lanjut pada asy-Syaikh Kamil Muhammad
Muhammad ‘Uwaidhah, Ibn Ṭufayl : Failasuf al-Islam fi al-Ashr al-Wasith, hlm. 46-47 85Kepulauan Hindia yang dimaksud, menurut De Boer, adalah pulau Sailan. Lihat De Boer,
Tarikh al-Falsafah fi al- Islam, hlm. 380 86raja atau penguasa yang lalim dan sewenang-wenang (biasanya memperoleh kekuasaan
dengan jalan kekerasan). Lihat KBBI
46
yang ingin dijalankan wanita cantik itu ditahan oleh saudaranya secara paksa sebelum
ada calon suami yang menurut sang raja cocok untuk menjadi adik iparnya87
Sang raja itu mempunyai seorang teman yang dekat yang bernama Yaqzhân
yang secara diam-diam mengawini (saudara perempuannya), menurut ajaran pada
saat itu, kawin secara demikian dibolehkan dan tidak melanggar aturan. Kemudian
wanita itu hamil seraya melahirkan seorang bayi yang tampan dan rupawan, kuatir
rahasia diketahui sang raja dan orang banyak. Maka pada malam hari dengan rasa
takut dan kekhawatiran yang mendera jiwa, sang ibu dengan terpaksa meletakan
bayi tersebut ke dalam peti setelah puas menyusui sampai tertidur pulas.
Di awal malam hari sang ibu bersama pembantu dan orang kepercayaannya
menuju keluar, dengan gelisah tak menentu dengan hati berdebar-debar keras,
perasaan cinta dan takut menjadi satu dan sangat menyiksa jiwa. Namun rasa takut
akan kekejaman saudara kandungnya memaksakan sang ibu untuk membuang
anaknya. Ketika hendak menghanyutkan peti itu, sang ibu menyempatkan bermunajat
kepada Tuhannya dan berkata.
“Ya Allah Engkau yang menjadikan anak ini di waktu dia belum ada, adalah
karunia yang engkau anugrahkan untuk kami dalam kepekaan derita. Engkau
memelihari semasa ia berada dalam kandunganku. Engkau telah
memeliharanya dari lahir hingga saat ini, karena rasa takutku akan kelaliman
kakak kandungku, kukembalikan karunia ini pada rasa sayang-Mu. Aku
mohon kepadamu wahai Tuhanku.Berikanlah karunia-Mu untuknya,
87 Ahmadie Thaha, Hayy bin Yaqzan Anak Alam Mencari Tuhan (Jakarta : Pustaka Firdaus
1997) cet. I, hlm. 16
47
lindungilah karunia-Mu ini.Jangan pernah kau sia-siakan atau Kau tinggalkan
dia, wahai Tuhanku yang maha pengasih”.88
Setelah sang ibu bermunajat, dengan berat hati sang ibu menghanyutkan peti
itu kedalam lautan dengan daya air yang sangat begitu pasang dan air itu terus
mendorongnya, air pasang yang hanya datang satu tahun sekali segera menyambut
dengan suka cita dengan ombak laut yang mendekapnya dalam pekat malam. Selama
beberapa waktu peti itu sampailah ke tepi pantai. Peti tersebut telah tertutup ranting
dan daun kayu terlindung dari hujan dan panas matahari. Setelah air pasang mulai
turun, peti tersebut terdampar ke sebuah pulau yang tak dihuni manusia setelah
terhempas beberapa kali.Karena dipermainkan ombak laut, pecahlah kunci peti itu
dan terengganglah kayu-kayu yang berada disekeliling peti tersebut.89
Dalam beberapa saat peti tersebut berada dalam tempatnya.Angin yang
menyusup dalam kelebatan hutan menerbangkan pasir yang ada disekeiling peti
tersebut.Paku-paku yang menancap dalam peti telah terlepas.Sementara papan yang
menyangga telah terbelah ketika air melemparkannya ke dalam hutan.
Beberapa saat kemudian ketika bayi itu tak lagi mampu menahan rasa lapar,
maka sang bayi menangis dan bergerak-bergerak serta berharap sang ibu datang
dengan memberikan air susu seperti kala pertama ia dilahirkan. Suara tangis semakin
lama semakin kencang hingga menyusup sampai ke telinga seekor rusa yang hendak
88 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan Rusa (Yogyakarta : Navila 2003)
Cet. I, hlm.31 89 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan Rusa, hlm. 32
48
kehilangan anaknya. Seekor rusa yang hendak berjalan karena derita dan rasa rindu
yang tiada tertahan kepada anaknya yang hilang.90
Ketika sang rusa berjalan dan mendengar suara tangis sang bayi maka ia
merasa bahwa suara tangisan itu adalah anaknya yang ia cari, dan ketika ia
mendatangi sumber suara maka dengan khayalan sang rusa, suara itu adalah
anaknya yang hilang, dengan rasa bahagianya sang rusa langsung membuka peti yang
berisikan suara itu dengan kuku kakinya yang terbelah, ia singkirakan dedauanan,
ranting-ranting serta pasir yang menutupi peti itu dengan kukunya. Ketika sang rusa
telah membuka peti itu yang dilihat adalah wajah bayi manusia yang terus menangis
karena rasa haus dan kelaparan dan disitulah muncul rasa kasih dan sayang kepada
sang bayi. Rusa tersebut membawa dan menyusui bayi tersebut sampai puas dan
kenyang, ia pelihara dengan kasih sayang serta menjaga sang bayi itu dari
marabahaya yang mendatanginya91
Demikian asal mula kisahnya menurut versi penolak kelahiran tanpa ibu dan
bapak.Selanjutnya adalah kisah bagaimana sang bayi terlahir dari perut bumi
sebagaimana pendapat salaf sholeh - Radiyallahu anhu - Adapaun versi kedua
menganggap bahwa Hayy lahir secara spontanitas tanpa ibu dan bapak. Menurut
Salafussoleh92 -Radiyallahu anhu- ia bercerita bahwa ada sebuah pulau disalah satu
kepulauan Samudra Hindia yang berada dibawah garus katulistiwa. Di pulau tersebut
Hayy lahir tanpa seorang ayah dan ibu.Hayy bin Yaqzhân terlahir dengan sendirinya
90 Ahamdie Thaha Hayy bin Yaqzan (Anak Alam Mencari Tuhan), hlm. 17 91 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan Rusa, hlm. 33 92 Orang-orang yang shaleh yang hidup zaman dahulu seperti para sahabat, tabi’in atau tabi’it-
tabi’in
49
melalui proses pertembuhan alam yang berasal dari segumpal tanah meragi (ikhtimar
ath-thinah) yang berasal dari perut bumi di pulau al-Waqwâq. Tanah yang
bergelumbung itu tu terdiri dari dua bagian yang dipisahkan oleh selaput yang sangat
tipis yang berisi dzat udara yang sangat halus sebagai tempat bersemayamnya ruh
dari Tuhan. 93
Salafus shaleh berkata bahwa pulau itu bernama al-Waqwâq yang jauh
berada ditengah bumi. Bertahun-tahun pulau itu mengandung tanah yang sangat liat
dan mengendap diperut bumi, dikarenakan terlalu lama mengendap maka unsur
seperti udara, panas, dingin, lembab, kering dan basah menyatu di gumpalan tanah
tersebut. Unsur-unsur yang bertentangan itu menyatu dan bercampur sehingga
menjadi seimbang dan itulah kelebihan dari tanah tersebut.
Tanah terolah seperti ini sangat luas, Namun unsur-unsur yang ada didalam
tanah yang mengendap itu tidaklah sama, sebagian unsur lebih banyak disbanding
unsur lain yang menjadi sebuah adonan. Namun unsur-unsur yang mengendap tanah
seperti itu tidaklah sama, hanya endapan tanah yang berada ditengah bumi saja yang
memiliki kandungan serta unsur-unsur yang sempurna dan terseimbangkan dengan
sifat dasar manusia. Bagian tanah itu secara perlahan-lahan mengandung proses
kelahiran, mengalami semacam gelumbung mendidih karena kelengketannya yang
sangat kuat.
Proses mendidihnya gelumbung-gelumbung yang berada ditengah tersebut
terus semakin kencang menjadi lengket sehingga terjadilah diatas kelengketan
93 Masruri, Hadi, Ibn Ṭufayl Jalan Pencerahan Mencari Tuhan (Yogyakarta: LKiS 2005)
cet. I, hal. 46
50
ituterdapat gelembung lain yang lebih kecil yang terbelah menjadi dua bagian.
Didalam dua bagian itu terdapat pembatas selaput tipis yang dipenuhi dengan benda
yang sangat lembut dan zat udara yang sangat seimbang. Pada saat itulah Ruh -yang
merupakan urusan Allah- masuk ke dalam gelembung dan melekat erat sehingga ruh
yang sudah manyatu tidak mudah untuk dilepaskan. Dari situlah tercipta embrio
(janin) yang mengalami perkembangan dan berevolusi menjadi seorang bayi.
Kedudukan ruh itu sama seperti kedudukan cahaya matahari yang senantiasa
melimpahkan menyinari bumi. 94
Penjelasan Ibn Ṭufayl diatas sepertinya ingin menjelaskan bahwa penciptaan
manusia yang berasal dari tanah dengan mangacu Qs Ali ‘imran ayat 59 yang
artinya: “sesungguhnya perumpamaan (penciptan) Isa bagi Allah, seperti (penciptaan)
adam. Dia menciptakan ari tanah, kemudian dia berkata kepadanya , “jadilah” Maka
jadilah sesuatu itu”. Jika kita melihat dari ayat tersebut Ibn Ṭufayl menjadikan
korelasi antara surah Ali-‘Imran dan penjalasannya terhadap kelahiran Hayy.
Semua benda-benda yang ada di bumi yang tersinarkan matahari, seperti
benda tebal dan berkilauan yang memperoleh sinar matahari secara utuh dan
sempurna, seperti cermin dan lain sebagainya, jika cermin ini berbentuk cekung
dalam kecekungan tertentu, maka cermin tersebut mampu memancarkan sinar yang
dapat membakar benda lain yang terkena pantulannya, tapi ada benda yang lain yang
tidak terkena cahaya matahari secara sempurna yaitu benda tebal yang tak berkilauan.
Benda ini hanya menerima sinar matahari sesuai warna-warna benda yang satu sama
lainnya tidaklah sama dalam menerima cahaya. Dan diantara benda yang tidak
94 Ahmadie Thaha, Hayy bin Yaqdzon, hlm. 19
51
menerima cahaya matahari adalah udara karena udara merupakan benda sangat tipis
dan trasnparan.95
Demikian juga dengan dengan Ruh -yang merupakan urusan Allah SWT-
Ruhpun mampu mengalir dan masuk ke dalam benda yang ada dimuka bumi.Namun
tak semua benda yang ada dimuka bumi terpengaruh dengan keberadaan Ruh
ini.Dalam hal ini ada benda yang tidak terpengaruh atas keberadaan ruh ini karena
benda tidak siap menerimanya. Contohnya adalah jamadat. Kedudukan jamadat
seumpama kedudukan udara, ruh membekas kepadanya tetapi tanpa kelihatan
dikarenakan benda tadi tidak siap menerimanya dalam contoh diatas.Sedangkan pada
spesies tumbuh- tumbuhan benda ini ada juga yang nampak terpengaruh dengan
keberadaan Ruh yang mengalir didalam tubuhnya meski tidak sempurna. Kedudukan
tumbuh-tumbuhan seperti kedudukan yang tebal namun tidak berkikau dalam contoh
di atas.Namun ada diantara benda-benda yang ada di muka bumi yang nampak sangat
terpengaruh oleh keberadaan ruh yang mengalir di dalam tubuh sebagaimana
hewan.Dalam hal ini kedudukan hewan serupa dengan kedudukan benda-benda yang
tebal dan berkilauan.96
Dalam benda-benda yang berkilauan tersebut terbagi kedalam beberapa
kelompok diantaranya ada yang mampu menerima dan memantukan cahaya matahari
dengan sempurna dan sangat kuat sehingga ketika panas yang keluar dari benda yang
berkilauan itu serupa dengan sinar matahari ketika pertama masuk.sama halnya
dengan hewan. Dari semua hewan yang ada, beberapa hewan mampu menerima dan
95 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan Rusa, hlm. 35-36 96 Ahmadie Thaha, Hayy bin Yaqzhân, hlm. 18
52
memancarkan Ruh itu hingga hewan itu serupa dan seakan-akan hewan itu adalah
Ruh itu sendiri, bahkan jasadnyapun berbentuk Ruh itu sendiri. Hewan tersebut
adalah manusia khusus berdasarkan sabda Rasulallah SAW, "Sesungguhnya Allah
menciptakan Adam -alaihis salam- dalam bentuk-Nya" semakin kuat kecendrungan-
Nya dalam benda tersebut, maka semakin kuat gambaran bentuk-Nya dalam tubuh
hewan itu (manusia).
Apabila bentuk itu melengkat padanya, sehingga semua bentuk lain lenyap,
tinggal satu bentuk yang tadi saja, yang dimana bayang-bayang cahaya membakar
semuanya dengan benda sentuhan-Nya. Maka saat itulah ia setingkat cermin
penentang diri sendiri, tetapi pembakar benda lain. ini hanya ada para Nabi.
Setelah ruh itu masuk ke dalam tubuh dalam benda tersebut, dari situlah
tercipta embrio (janin) yang mengalami perkembangan dan berevolusi menjadi bayi
yang secara spontas menangis karena merasa lapar. Dalam keadaan seperti itu, ketika
sang rusa sedang mencari anaknya yang hilang dan mendengar suara tangisan bayi,
tiba-tiba rusa itu menghampiri suara tangisan tesebut, sang rusapun kemudain
memungut,menyusui dan mengasuh serta menjaga dari marabahaya.97
Hayy bin Yaqzhân tumbuh dan berkembang melalui enam fase diantaranya
;pertama, fase ini Hayy disusui dan diasuh oleh seekor rusa hingga berumur tujuh
tahun. Lebih lanjut Hayy belajar untuk menutup auratnya dan menirukan suara-suara
binatang.Selain itu dia belajar menggunakan tongkat dan untuk membela diri dan
mempertahankan makanannya.Fase kedua dimulai setelah ibunya meninggal.Hayy
mencoba membedah sang rusa karena ingin mengetahui penyebab kematiaanya.
97Ahmadie Thaha, Hayy bin Yaqzhân anak alam mencari Tuhan, hlm. 19
53
Dalam kehidupan Hayy, sejak lahir ia mempunyai ingatan, pengamatan dan
perasan yang sangat kuat serta mampu membedakan segala sesuatu ketika Hayy
membedah jasad sang Ibu, melalui penca indra dan pengalamannya, Hayy mampu
mengenali seluruh bagian tubuh sekaligus mengetahui fungsi dari tubuh sang ibu
tersebut.
Dalam fase ketiga.Hayy menemukan ruh hewani yang berada dalam tubuh
sang ibu, kesimpulan itu Hayy dapatkan ketika ia menemukan api yang bersarang
pada tubuh sang Ibu dan Hayy mengetahui bagaimana cara memanfaatkan dan
menggunakan api tersebut. Fase keeempat ini Hayy berumur dua delapan tahun ,
dimana Hayy mulai mengetahui segala sesuatu yang ada di alam kejadian dan
kerusakan (‘âlam al-kaun wa al-fasâd: alam materi). Hayy mulai sadar dan
mengetahui adanya satuan dan bilangan didalam jasad dan ruh serta meyakini bahwa
segala sesuatu mempunyai esensi yang sama meskipun dalam bnetuk yang berbeda,
Hayy terus membedakan jasad dan ruh itu, ia menilai bahwa ada yang kuat dan ada
yang lemah. Sampai penelitian itu Hayy mengerti sebab dan asal dari segala
kehidupan.
Setelah Hayy menguasai sebab dan asal kehidupan tentang segala sesuatu,
pada fase kelima, Hayy mulai melirik dan meneropong luar angkasa, planet dan
mengamati kosmos. Dalam keyakinan Hayy semua benda pada saatnya akan berakhir
dalam lingkaran bola kosmos. Lebih lanjut penelitian Hayy menggiring pada
pengetahuan tentang kekekalan dan kebaruan alam semesta, dalam penelitian Hayy
yang lebih mendalam ia menemukan bahwa jiwa adalah sesuatu yang terpisah dari
badan, dan keduanya mempunyai karakter yang berbeda. Menurut Hayy jiwa lebih
54
cendrung senantiasa rindu kepada Sang Khaliq. Perenungan itu terus dilakukan oleh
Hayy sehingga ia mempunyai kesimpulan yang lebih spesifik bahwa kebahagiaan
jiwa adalah ketika ia mampu menyaksikan (musyâhadah) swang Khaliq. Dengan
alasan inilah jiwa bersifat abadi dan keabadianyalah yang dapat mengetahui Sang
Khaliq, rahasia kebahagiaan itu didapat dengan perenungan yang dalam ketika Hayy
berumur 35 tahun pada waktu itu.
Pada fase keenam Hayy mulai meyakini bahwa kebahagiaan dan keselamatan
serta kesengsaraan terletak pada kemampuannya untuk menyaksikan sang Khaliq
secara terus menerus. Menurut Hayy ada tiga jalan agar manusia senantiasa
menyaksiakan sang Khaliq, hanya saja, Hayy lebih memilih jalan yang ketiga yaitu
dengan mencapai tingkatan musyâhadah dan tenggelam total bersama Sang Khaliq.
Setelah Hayy merasakan kondisi seperti itu, Hayy lupa terhadap dzat dirinya dan
tenggelam dalam fana’ Dzat Sang Khaliq. Setelah merasakan fana’Hayy mulai
mengatur kehidupan dirinya, norma, aturan dan batasan yang harus Hayy lakukan
untuk senantiasa mengekang hawa nafsunya akan kebutuhan jasmaniyyah demi
menjaga hubungan bersama Sang Khaliq. 98
98Masruri HadiIbn Ṭufayl Jalan Pencerahan Mencari Tuhan, hal. 47-49
55
BAB IV
TUHAN DALAM KISAHHAYY BIN YAQDZÂN
A. Epistimologi dan Ontologi Hayy bin Yaqzhân
Menurut Ibn Ṭhufayl, ma’rifat itu dimulai dari panca indra yakni dengan
pengamatandan perbandingan terhadap hal-hal indrawi. Adapun tentang hal yang
bersifat metafisis maka orang dapat mengetahuinya dengan daya akal dan daya
intuisi.Karena itu Ibn Ṭhufayl merekomendasikan dua jalan agar sampai kepada objek
pengetahuan sejati.Jalan pertama ditempuh dengan filsafat seperti yang dilakukan
Hayy dan kedua jalan yang ditempuh melewati wahyu seperti yang dilakukan
Absal.99
Dalam tahap awalnya, jiwa bukan seperti papan kosong atau dengan istilah
lain tabula rasa. Imaji Tuhan telah tesirat dalam tubuh manusia sebelum manusia itu
diciptakan, untuk menjadikan Imaji Tuhan tampak nyata maka langkah awal yang
harus dilakukan adalah mengikuti gagasan awal yang sesungguhnya dibalik kelahiran
Hayy yang berada dalam pulau kosong, keterkaitan itu adalah seperti menjernihkan
pikiran, menghilangkan prasangka, kecendrungan sosial dan keterlepasan dari
prasangka. Setelah hal ini tercapai, pengalaman , inteleksi dan ekstase memainkan
dengan bebas peranan mereka secara beruntun dalam memberikan visi yang jernih
tentang kebenaran yang melekat pada jiwa yang memberikan efek terhadap
pendidikan akal dan indra. Untuk mendapatkan visi semacam itu maka diperlukan
kesesuaian antara pengalaman dan nalar (Kant), nalar dan intuisi (Bergson dan
Iqbal) yang membentuk ciri khas dari epistimologi.
99 Muslim Ishak, Tokoh-tokoh Islm dari Barat, (Bina Ilmu: Surabaya), hlm.40
56
Pengalaman merupakan suatu proses mengenal lingkungan dengan memakai
indra, organ-organ indra ini berfungsi berkat jiwa hewani yang ada di dalam hati; dari
sana berbagai data yang kacau termasuk data yang tersusun mencapai otak yang
menyebarkannya lewat jalur syaraf ke seluruh tubuh manusia yang kemudian
dikirim ke otak lewat jalur yang sama dan diproses menjadi suatu kesatuan dalam
membentuk perspektif.100
Jika diperinci, daya rasio adalah kemampuan manusia dalama memahami segala
kebenaran secara logis, empirik, dan melalui uji pengetahuan diskursif. Sedangkan
daya intuisi adalah kemampuan jiwa, perasaan, atau emosi manusia dalam memahami
hakikat entitas segala yang ada.101 Jadi sumber pengetahuan menurut Ibn Ṭhufayl,
yaitu :
1. Metode yang mendasarkan pada indra: pertama, Hayy secara bersamaan
mengamati fenomena alam sekitarnya dari apa yang ia lihat seperti tumbuh-
tumbuhan, bebatuan, dan hewan berikut karakter-karkter yang dimiliki setiap
hewan baik yang jinak maupun yang buas dengan karakternya masing-
masing, Hayy mengamati alam sekitar tidak hanya apa yang dia lihat dengan
jarak dekat tapi sampai pada planet-planet yang berada di alam
semesta.Ketika sang Rusa yang dianggap ibunya meninggal, Hayy merasa
kebingungan karena sang rusa meninggal dengan cara tiba-tiba dan tak
bergerak tanpa ada sebab. Hayy mulai berfikir apa yang menyebabkan sang
rusa tak bergerak, karena rasa keingintahuan (curiuosity) Hayy sangat
100 M.M Syarif, Para Filosof Muslim,(Bandung : MIZAN 198), Cet. I.hlm. 186 101Berdasarkan pada filsafat rasional paripatetik Aristoteles dan pemikiran iluminasi Neo-
Platonisme. Lihat Hadi Masruri, Ibn Thufail, hlm. 37
57
mendalam, ia mulai mengobservasi tubuh sang rusa itu dengan cara
membelah badannya, pada tahap ini Hayy mendapat kesimpulan bahwa sang
Rusa meninggal karena tidak berfungsinya jantung karena pembakaran yang
ada di dalam jasadnya berhenti. Atas dasar inilah Hayy menemukan inti
bahwa adannya jiwa (al-nafs) pada setiap makhluk. Kedua. Hayy melakukan
peniruan untuk menerapakan metodenya. Ia menjalankan peniruan terhadap
hewan-hewan ketika ia masih kecil, peniruan itu dimulai dengan memakai
dedauanan sebagai pengganti bulu untuk menutup tubuhnya seperti yang
dilakukan burung dengan bulunya, Hayy juga mampu menerapkan
peniruannya dengan mempertahankan diri dari serangan binatang buas
karena kekuatan nalarnya yang tinggi, peniruan itu berlanjut sampai pada
menguburkan sang rusa karena melihat burung gagak.102Ketiga, Dengan
pengamatannya yang kuat Hayy mencoba untuk menyerupai dengan metode
peniruan kepada benda-benda empirik, diantaranya :
Menyerupai amaliah materi alam bawah yaitu alam dunia, seperti
menyerupai terhadap perilaku binatang yang pada dasarnya hanya
memenuhi kebutuhan jasmani, Hayy melakukan seminimal
mungkin karena ini hanya sebagai mempertahankan tubuhnya agar
mampu bertahan hidup.
Menyerupai alamiah materi alam atas seperti planet-planet,
perilaku benda-benda angkasa yang melambangkan sifat-sifat yang
102 Cerita yang disebutkan dalam al-Qur’an tentang usaha Habil yang memakamkan jasad
saudaranya Qabil yang dibunuhnya, yang berakhir setelah melihat seekor burung gagak yang menguburkan bangkai burung gagak lain yang mati. Qs. Al-Maidah, 5:27-31
58
tertinggi dari sifat Tuhan yang selalu memelihari kebersihan fisik,
kesucian dan kedisiplianan dalam menjaga keseimbangan, maka
Hayy mencoba menerapkan perilaku tersebut sampai pada
kesimpulan bahwa ia mempunyai penyerupaan yang ketiga
Menyerupai sifat dari yang Maujud Yang WajibAda, dalam
perilaku ini Tuhan mempunyai sifat yang imateri, yang jauh dari
sifat benda-benda yang mencoba menghilangkan persepsi dalam
benaknya, sehingga penyerupaan inilah yang menurutnya dapat
mencapai al-musyahadah untuk mencapai pengetahuan
tertinggi.103
2. Metode yang mendasarkan pad rasio (al-‘aql) : Pertama, ketika Hayy
membedah jasad sang rusa yang dianggap sebagai ibunya, Hayy dengan
pengolahan akalnya mamakai metode komparasi, desuksi dan analogi.
Dengan metode ini Hayy berhasil mengetahui hukum kausalitas, hukum alam
dan mengetahui sifat dan tabi’at seluruh alam yang membawanya pada
kesimpulan bahwa benda terdiri dari empat unsur, yaitu ; Api, udara, air dan
tanah. Benda tersebut terdiri dari asal (al-Hayula) dan bentuk (al-Shurah).104
3. Metode berdasarkan pada intuisi. Pertama, Metode penemuan (al-ikhtisyaf)
adalah metode dimana Hayy mengetahui rahasia-rahasia yang terkandung
dalam benda-benda yang berada dialam semesta, dalam hal ini bisa
dicontohkan ketika sang rusa mati lalu Hayy memebelah jasad tersebut dan
103 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta : Gaya media Pratama, 2002), hlm.112 104Hadi Masruri, Ibn Thufail, (Yogyakarta: LKiS Pelangai Aksara. 2015) hlm. 74
59
mengetahui secara perlahan-lahan fungsi dari semua anggota tubuh rusa
dengan sangat detail, dibalik itu semua Hayy berhasil menyingkap rahasia
yang berada dibalik materi yang ia sebut sebagai ruh hewani yang merupakan
penggerak bagi kehidupannya, dan inilah alasan Hayy kenapa sang rusa itu
mati. Kedua. Hayy menggunakan Metoderefleksi, yaitu penyerupaan amaliah
imateri yang mendasarkan pada daya jiwa manusia untuk bisa memaknai
esensi dari segala kearifan yang terkandung didalamnya yaitu moral tertinggi
demi bermusyahadah untuk mencapai kebahagiaan. Ketiga penyerupaan ini
mengikuti pencapaian derajat tertinggi yaitu melihat esensi Tuhan untuk
melakukan ekstase total (al-fan al-tamm).105
Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai benda-benda dengan alat-alat
pembanding dan pembedanya dengan menggunakan akal induktif sehingga
pengelompokan itu muncul menjadi mineral, hewan dan tanaman.Setiap benda dari
kelompok tersebut menampakan fungsi-fungsi tertentu yang membuat kita menerima
bentuk-bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-fungsi
tertentu. Dalam hal ini jiwa yang dimaksud adalah jiwa yang tidak bisa diamati
secara langsung sehingga sebab itu muncul berada diluarnya danitu adalah Tuhan,
maka jelas penggerak utama dalam jiwa-jiwa tersebut adalah bukan tubuh atau ruh
tubuh itu.106
105M. Hadi Masruri, Ibn Thufail. hlm. 191 106M.M Syarif, Para Filosof Muslim, hlm. 186
60
Menurut Ibn Ṭhufayl, Ma’rifah dengan menggunakan cara melatih intuisi
secara sungguh-sungguh, secara perlahan-lahan akan terungkap pengetahuan sejati.
Orang yang melakukan itu akan dilingkupi dengan sinar yang terang dan
menyenangkan, dari sanalah jiwanya mulai sadar sepenuhnya dan melihat apa yang
tidak pernah dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga. Kasyf ruhani merupakan
ektase yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, hanya merupakan symbol yang
terbatas pada pengalaman indra.107
Hayy memperhatikan bahwa antara akal dan indra mempunyai keterbatasan
diantara keduanya, akhirnya ia berpaling dari disiplin jiwa dan membawa kepada
ekstase yang menjadi sumber pengetahuan. Dalam tahap ini, kebenaran tidak lagi
dicapai lewat proses induksi dan deduksi, tapi cukup mengasah ketajaman intuitif
yang secara langsung dapat melihat cahaya yang ada didalamnya. Dari sanalah jiwa
mulai sadar bahwa ia mengalami ‘apa yang tidak pernah dilihat oleh atau didengar
oleh telinga dan dirasakan oleh hati sekalipun’.108
Rasio (al-’aql) dalam pengertiannya sebagai esensi yang memeliki daya
berfikir dan menempati posisi yang menentukan terutama dalam teori kesatuan (an-
nazhâriyyah al-ittishâl)109. Lebih lanjut Ibn Ṭhufayl mengkritik teori tersebut bahwa
rasio saja tidak cukup dijadikan pijakan di dalam mencapai pengetahuan sejati. Ibn
Ṭhufayl menyusulkan rasio harus didukung oleh intuisi yang terlatih melalui
107 Bakhtiar Husain Siddiqi, , Ibnu Thufail dalam M.M. Syarif (Ed), A History of Mulim
Philosophy, Vol. I, (Wisbaden: Otoo,Harrossowitz, 1963), hlm. 535 108M.M Syarif, Para Filosof Muslim, hlm. 187 109
an-nazhâriyyah al-ittishâl manusia yang menyendiri melalui akalnya yang telah sempurna dapat mencapai puncak kebahagiaan, yak dengan menyatu bersama akal aktif (al-‘aql al-fa’al) sehingga ia memperoleh pengetahuan, teori ini dipaparkan menurut Ibn Bajjah. Lihat Muhamad ‘Abed al-Jabiri, nahwu wa at-Turats.., hlm 168-187
61
prosesolah spiritual, sehingga ia meiliki ketajaman menerima penyinaran (isrâq) dari
esensi Yang Wajib Ada (necessary being).110
Ibn Ṭhufayl memaparkan kembali bahwa rasio (al-‘aql) semata tidak akan
mampu mencapai pengetahuan sejati, karena akal termasuk bagian dari esensi yang
dimiliki oleh manusia yakni esensi yang berdaya pikir (adz-dzât an-nâthiqah)111,
kenyatannya berada dialam materi atau diliput oleh materi dalam bentuk jasad
manusia. Oleh karena itu untuk mencapaipengetahuan yang sejati didalam
tinggakatan yang tertinggi, yang disebut oleh Ibn Ṭhufayl sebagai al-istighrâq al-
mahdh atau al-fana al-tamm (ekstase total), kekuatan akal harus dibarengi dengan
kukuatan intuisi sehingga menjadi manusia yang memiliki intuisi yang kuat, untuk
mencapai tingakatan itu menurut ibn , seseorang harus melakukan olah spiritual (ar-
riyadhah) yang dalam ini dilakukan oleh Hayy bin Yaqzhân.112
B. Metode Tasyabbuhat (Meniru Perilaku alam)
Dalam karya alegorisnya Ibn dengan tokoh Hayy bin Yaqzhân, seperti dalam
mukoddimahnya mengatakan bahwa ia ingin membuka rahasia-rahasia filsafat timur
(al-hikmah al-masyriqiyyah) Ibn sina. Lebih lanjut Ibn mengatakan bahwa struktur
pengetahuan yang lebih tinggi yang telah dirintis dengan konsep nadzariyyah al-
110M. Hadi Masruri,Ibn Thufail Jalan Pencerahan Mencari Tuhan, hlm. 107 111Esensi manusia juga memiliki daya-daya yang lain, seperti daya merasa (al-quwa al-
hâssah) dan daya tumbuh (al-quwa al-ghâdziyah), yang secara bersama-samas dimiliki binatang. Adapun tumbh-tumbuhan, ia hanya memiliki daya tumbuh (al-quwa al-munammiyah, al- ghâdziyah)
112M. Hadi Masruri, Ibn Thufail Jalan Pencerahan Mencari Tuhan, hlm. 120
62
ittishal yang dibangun oleh Ibn Bajjah memberikan dampak postif bagi struktur yang
akan ia bangun.
Keberhasilan Ibn dalam membanguan struktur filsafat dibagi kedalam dua
model pengetahuan (mode of epistime):Pertama model pengetahuan diskursif yang
dibangun diatas dasar rasio (al-'aql). Kedua : model pengetahuan yang intuitif mistis
yang didasarkan pada ketajaman intuisi (kasfiyyah-dzauqiyyah).113
Dalam pembahasan terdahulu sudah ditegaskan bahwa jiwa menurut Ibn
disebut esensi yang bersifat imateri yang bersumber dari imateri Yang Wajib Ada.
Oleh karena itu jiwa mampu mencapai pengetahuan Yang Wajib Ada dan bahkan
mampu menjalankan ekstase total (al-fanâal-tâmm)dan mampu menyatu dengan
esensi-Nya.
Untuk mencapai pengetahuan sejati, menurut Ibn tidaklah mudah karena
diperlukan latihan (riyadhah) mengolah intuisserta kekuatan rasio dalam mencapai
tingkatan itu, dalam analisis Hayy, ia membagi perbuatan-perbuatan yang harus di
lakukan demi tercapainya pengetahuan tertinggi diantaranya adalah:
1. Menyerupai Hewan-Hewan Tak Berakal
Metode yang pertama yang harus dilakukan Hayy dalam menyerupai hewan-
hewan tak berakal adalah memenuhi kebutuhan hidup dengan menggunakan kekuatan
raga dan panca indranya, sedangkan dalam penyerupaan kedua yang harus dilakukan
adalah mempertahankan ruhnya yang berada dalam jantung karena semua kekuatan
yang ada dalam dirinya berasal dari Ruh yang ia miliki. Untuk penyerupaan yang
113 Pengetahuan jenis ini dikenal dengan dalam terminology tasawuf sebagai ilmu laduni atau
ilmu -dengan-kehadiran (al-‘ilm al-ḫudhûri). Lihat Hadi Masruri, Ibn Thufail. hlm. 119
63
ketiga adalah apa yang dilakukan oleh dirinya, dalam artian menggunakan dzat
(substansi) yang berada dalam dirinya supaya ia dapat mengetahui al-Wujud yang
Wajid Ada. 114
Menurut Hayy, untuk mendapatkan kebahagiaan dan keberuntungan dari
derita yang dirasakan maka untuk mencari jalan keluarnya adalah dengan cara ber-
musyahadah dengan al-Maujud Yang Wajib Ada dan itu dilakukan secara terus
menerus serta berkesinambungan tanpa perpaling sekejap dan tanpa putus, ia mulai
berfikir untuk mendapatkan jawaban atas apa yang Hayy pikirkan.
Pertama, Hayy membutuhkan penyerupaan pertama agar dapat
mempertahankan Ruh untuk bisa melaksanakan musyahadah, tapi Hayy berfikir lebih
mendalam bahwa ia tidak akan bisa melakukan penyerupaan karena menyaksikan
semua benda yang dapat dipersepsikan, segala sesuatu yang dapat dipersepsikan
menjadi penghalang yang memalingkan seseorang syahid dari musyahadah al-
MaujudYang Wajib Ada. Tapi penyerupaan pertama dibutuhkan untuk masuk dalam
tingakatan kedua, maka Hayy tetap harus mempertahankan Ruh agar tidak terlepas
dari bahaya dan kehilangan ruh dengan cara tahap pertama.
Dalam penyerupaan kedua ini Hayymemperoleh keberuntungan yang sangat
besar karena menyaksikan Al-Wajibsecara berkesinambungan dan terus-menerus.
Musyahadah Hayy dalam tahapan ini hanya memikirkan dan menyaksikan dzat-
dzatnya sebatas yang nampak di hadapan saja.Sayangnya dalam tahapan kedua
114 Nur Hidayah. Hayy bin Yaqdzon, (Yogyakarta : Navila 2003) cet. I,hlm. 143
64
musyahadah dalam penyerupaan ini tidaklah murni dan mengandung unsur tipuan
sehingga musyahadahHayy dalam tahap ini palsu.
Hayy lebih menyukai tahapan yang ketiga, dalam penyerupaan ketiga ini
orang yang ber-musyahadah akan menghilangkan dirinya dari dalam dirinya sendiri,
dirinya akan sirna dan lenyap begitu juga dengan dzat-dzat yang lain, yang tersisa
hanyalah satu, yaitu dzat al-Haq Yang Wajib Ada. Dia yang Maha Agung dan Maha
suci, sehingga dalammusyahadahnya orang ini akan merasakan tenggelam secara
utuh dan total. Ketika Hayy telah sadar bahwa keinginan kuat dalam penyerupaan
tertingginya pada tahap ketiga, Hayy sadar juga bahwa tahapan ketiga tidak akan
tercapai keculai dimulai dalam penyerupaan tahap kedua dalam waktu yang lama.
Sementara Hayy sadar bahwa tahapan kedua tidak akan tercapai kecuali ia melakukan
penyerupaan pertama. Meskipun pada dasarnya halangan itu sebenarnya hanya
berupa aksiden dan bukan substansi tapi sangat penting dalam mempertahakan
Ruh.115
Hayy memberikan klasifikasi lagi bahwa untuk mempertahankan Ruh itu ada
dua hal.Pertama, menjaga dan mengutamakan diri dari luar (badan), seperti
melindungi dari sakit, dingin, panas, hujan, dan sinar matahari yang membakar
serta mempertahakan/melindungi dari hewan-hewan yang buas. Kedua, menjaga dan
mengutamakan diri dari dalam, artinya adalah menggantikan tenaga yang ia
habiskan, yaitu makan. Peraturan selanjutnya adalah ia harus mengikat dirinya
dengan aturan-aturan dan batasan yang harus ia turutiserta ukuran yang tidak boleh
115 Nur Hidayah. Hayy bin Yaqdzon, hlm. 145
65
dilanggar seperti mengatur jumlah makanan, jenis makanan dan jarak antara tuntutan
ke tuntutan lain. Jika ia memenuhi kebutuhan pokoknya secara serampangan, maka
ia akan terjebak dalam kegiatan yang melampaui batas.
Setelah memberikan aturan, Hayymemberikan jenis makanan yang boleh
dimakanan kedalam tiga bagian : Pertama, makanan yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan yang tidak tumbuh dan berkembang secara sempurna setelah matang.
Golongan ini adalah sayur mayur dan kacang-kacang, sayur mayur ini yang telah
mencapai puncak kesempurnaanya.Kedua, makanan yang berasal dari buah-buahan
yang telah matang. Dalam menjaga ekosistem buah-buahan ini terdiri dariyang basah
dan yang kering, sehingga yang dimakan adalah buah-buahan yang telah keluar
bijinya untuk menciptakan tumbuhan baru dalam jenis yang sama. Ketiga, makanan
yang bernyawa seperti hewan darat dan laut yang tentunya hewan yang boleh
dimakan dalam aturannya.116
Hayy tau bahwa bahan makanan yang sangat banyak dengan berbagai jenis
ini merupakan hasil aktualitas al-MaujudYang Wajib Ada, yang berasal dari sumber
kebahagiaan, ia akan merasa bahagia ketika menyerupai dan dekat dengan-Nya.
sehingga menurut Hayy mustahil kalau harus memakan-makanan yang belum
sempurna, Hayyakan mengikuti tujuan diciptakannya makanan-makanan itu
sehingga Hayy berusaha untuk menyerupai-Nya dengan tidak menentang aktualitas
al-Fail dan satu-satunya untuk tidak menentang al-Fail adalah mencegah untuk tidak
mengkonsumsi makanan secara total. namun Hayy tidak mungkin melaramg dirinya
untuk tidak mengkonsumsi makanan, karena jika ia tidak makan maka tubuhnya
116 Nur Hidayah. Hayy bin Yaqdzon, hlm. 146
66
akan rusak, jika rusak tubuh maka sama saja Hayy menentang al-Fail, dan ini lebih
bahaya dari daripada penentang yang pertama. 117
Hayy mengambil keputusan bahwa ia harus mengkonsumsi makanan, karena
menurut Hayy bahaya yang ditimbulkan lebih ringan di banding dengan bahaya jika
ia tidak mengkonsumsi makanan. Ketika golongan makanan diatas ada semua,
makaHayy harus memilih golongan makananyang tidak terlalu bertentangan dengan
aktualitas al-Fail. Seperti buah-buahan, daging dan sayuran. Ketika Hayy memilih
makan buah-buahan maka dipilihlah buah itu yang matang dan sempurna serta telah
mengeluarkan biji untuk di tanam dan telah mengeluarkan tunas-tunas baru yang
serupa, ia tidak boleh memakan sehingga menghancurkan atau membuang bijinya
ditanah yang tidak dapat ditanami seperti tanah yang tandus dan tidak subur .118
Sementara jumlah atau banyaknya makanan yang boleh dikonsumsi hanya
sekedar untuk menghilangkan rasa lapar untukmempertahankan Ruh yang ada dalam
tubuh agar Hayy tidak merasa lemah dan tidak menganggu musyahdahnyayang
dapat memutuskan kemampuannya untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang
harus ia lakukan dalam penyerupaan kedua. Jadi jarak antara waktu makan pertama
dan kedua Hayy hanya mengkonsumsi makanan untuk menjalankan perintah-
perintah-Nya.
117 Nur Hidayah. Hayy bin Yaqdzon, hlm. 147 118 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan Rusa, hlm. 148
67
2. Menyeruppai Benda-Benda Langit
Dalam Penyerupaan Hayy yang kedua, Ia mencoba untuk menyerupai benda-
benda langit serta mengikuti gerakaan benda langit tersebut, Hayy pelajari sifat-sifat
dari benda tersebut sampai ia berkesimpulan bahwa sifat- sifat benda langit terbagi
kedalam tiga kelompokdiantaranya ;
Pertama, sifat-sifat yang ada kaitannya dengan benda-benda yang dibawah
langit, yaitu alam semesta. Benda-benda langit memberikan sifat-sifatnya kepada
alam semesta seperti memberikan sifat panas dengan dzat dan memberikan sifat
dingin dengan cara aksiden. Seperti berupa penyinaran, pelembutan dan penebalan.
Semua itu diberikan benda langit kepada alam semesta yang siap menerimanya
dengan limpahan bentuk (shurah) yang terdapat Ruhani yang berasal dari Al-fail.119
Hayy mulai melaksanakan penyerupaan ini dengan memberikan bantuan
kepada hewan dan tumbuh-tumbuhan. Jika Hayy melihat hewan dan tumbuhan
terkena bahaya atau terkena penghalang, maka kewajiban Hayy untuk membantu
menghilangkan bahaya dan membuang penghalang dari tumbuhan dan hewan
tersebut, karena Hayy tidak mau menyaksikan sesuatu yang membutuhkan bantuan.
Jika Hayy melihat, maka kewajiban Hayy untuk menolongnya. Setiap kali matanya
menyaksikan hewan yang terkena bahaya seperti terjebak, terkena duri, terjatuh,
terkena luka, kelaparan, kehausan atau disiksa binatang yang lain. Maka Hayy akan
merawat hewan-hewan itu dengan menghilangkan penderitaan hewan tersebut
semampu Hayy sampai Hayy memberikan makan dan minum. Ketika matanya
119 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan Rusa, hlm. 150
68
melihat air yang mengalir untuk membasahi tumbuh-tumbuhan atau untuk hewan
yang sedang kehausan, dan air tersebut terhalang sesuatu sehingga tidak bisa
mengalir karena terhalang oleh kayu, tebing atau karang yang berjatuhan di aliran air,
maka Hayy akan menyingkirkan dan menghilangkan penghalang supaya air tersebut
mengalir dengan lancar. Dan setiapkali Hayy menyaksikan tumbuh-tumbuhan yang
terhalang sesuatu sehingga tumbuhan tersebut tidak memperoleh sinar matahari, atau
ada tumbuhan yang kekeringan sehingga menjadi layu dan bahkan akan mati, atau
Hayy melihat ada tumbuhan yang menyakiti tumbuhan lain, maka Hayy akan
memindahkan tumbuhan itu sehingga terkena sinar matahari, ia juga memotong
tumbuhan yang disakati tumbuhan lain dan ia juga memberikan air kepada tumbuhan
yang layu sehingga menjadi segar dan bugar.120
Kedua, sifat-sifat yang terdapat dalam benda-benda yang berada dilangit
adalah gerakannya yang selalu berputar mengelilingi benda lain dan kadangkala
mengelilingi dirinya sendiri dengan keadaannya yang suci, jernih, bening dan jauh
dari kata kotor. Hayy berusaha melaksanakan penyerupaan benda-benda langit
dengan membersihkan tubuhnya dari najis dan kotoran serta membasuh dan
menggosok badannya dengan menggunakan air, ia bersihkan gigi dan menggunting
kukunya. Setelah Hayy membersihkan seluruh badannya lalu ia kenakan pakaian
yang bagus dan bersih serta memberikan wewangiaan dari tumbuhan-tumbuhan
yang harum serta beberapa rumpun tanaman yang mengadung minyak wangi.
Sehingga rupanya terlihat menawan, bagus dan bersih.sifat-sifat itu hampir
menyerupai sifat-sifat benda langit. Hayy kemudian berlari dan mengelilingi pulau
120Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan Rusa, hlm. 151
69
yang menjadi tempat tinggal dia, menyusuri pantai atau berlari dan berputar
mengelilingi rumahnya terkadang ia berlari atau berjalan dengan cepat, terkadang
juga Hayy berputar-putar mengelilingi dirinya sendiri hingga ia pingsan dan tak
sadarkan diri. Hayy rela melakukan kegiatan tersebut karena hanya ingin menyerupai
sifat-sifat benda langit.121
Ketiga, sifat-sifat yang hubungannya secara langsung dengan Al-Maujud yang
Wajib Ada.Usaha Hayy dalam penyerupaan ini adalah mengharuskan dirinya untuk
selalu memikirkan Al-Maujud yang Wajib Adadengan cara berputar mengelilingi
dirinya sendiri. ketikaHayy melakukan putaran dengan menutup telinga dan
memejamkan mata, Hayy juga memutuskan hubungan dengan benda-benda yang
dapat dipersepsikan, ia berusaha mengikuti khayalannya dan tidak memikirkan sekutu
selain Al-Wajib yang Ada. Hayy terus memaksakan dirinya terus berputar, semakin
cepat tubuhnya berputar, maka semakin kuat jugagerakan yang diciptakan sehingga
khayalannya menjadi lemah dan benda yang dipersepsikan menjadi hilang, pada saat
itulah Hayy menyaksikan Al-Maujud Yang Wajib Ada yang pikirannya murni yang
tidak tercampur tipu daya. Namun ketika Hayy sedang berputar-putar kekuatan
jasmaniyyahnya menurun, tubuhnya menjadi lemah sehingga musyahadah dengan al-
Wajib menjadi sirna dan Hayy kembali ketempat paling dasar. Hayy harus berpaling
untuk mengembalikan kekuatan jasmaniyyahnya dengan makanan yang telah
disebutkan diawal.122
121 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan Rusa, hlm. 151-152 122 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan Rusa, hlm. 154
70
3. Menyerupai Al-Maujud yang Wajib Ada
Hayy berusaha bersungguh-sungguh dalam tahapan ini karena tahapan ini
adalah tahapan yang diharapkannya, ia mulai perhatikan sifat-sifat yang dimiliki al-
Maujud yang Wajib Ada sehingga ia memberikan kesimpulan dari sifat-sifat yang
Wajib Ada ini menjadi dua bagian, diantarnya :
Pertama, sifat-sifat yang menetapkan (tsubat)
Sifat-sifat ini kembali pada hakikat Dzatnya, sifat ini tidak menyebabkan
Dzat-Nya menjadi banyak karena banyak adalah sifat-sifat benda. Hayy
mengtahui bahwa ilmu tentang Dzat-Nya bukanlah makna tambahan atas
Dzat-Nya, namun Dzat adalah ilmu itu sendiri dan ilmu tentang dzat-Nya
adalah dzat itu sendiri. Ia mulai mengerti bahwa dirinya memiliki
kemungkinan untuk mengetahui dzat-Nya. Ilmu yang mengetahui dzat-Nya
bukanlah makna tambahan atas dzat-Nya.Akan tetapi ilmu itu adalah dzat itu
sendiri. Maka yang harus digarisbawahi adalah menyerupai-Nya dengan
melaksanakan sifat-sifat tsubat-Nya adalah mengetahui tanpa menyekutukan-
Nya dengan sesuatu yang lain.
Kedua, sifat-sifat peniadaan (salab)
Sifat ini mengarahkan dirinya kepada pensucian dzat-Nya dari unsur-unsur
kebendaan dan sifat-sifat benda yang ada di alam semesta. Dalam riyadhah
yang berkaitan dengan sifat benda dan sifat benda langit yang terdahulu.
Seperti gerakan berputar-putar dan peduli terhadap kehidupan hewan dan
tumbuh-tumbuhan serta sikap kepeduliaanya Hayy dalam menolong, perasaan
71
memberi kasih sayang kepada mereka dengan menyingkirkan semua halangan
untuk pertumbuhan mereka, semua ini adalah bagian dari sifat-sifat benda
oleh sebab itu Hayy harus menyingkirkan hal-hal tersebut karena hal itu
menggunakan kekuatan jasmaniyyahnya. Pada saat ini Hayy tidak
membutuhkan situasi seperti sifat gerakan dan sikap-sikap diatas.123
Hayy hanya memerlukan Gua untuk menjadi tempat tinggalnya dan
membiarkan dirinya diam dan tak bergerak dalam keadaan terlentang serta dengan
memejamkan kedua matanya.Dalam keadaan itu Hayy menolak untuk didatangi
semua benda yang dapat diindra dengan menggunakan kekuatan jasmaniyyahnya,
Hayy hanya perlu memikirkan Al-Wujud yang WajibAda dengan terus memusatkan
pikirannya.Ketika ada halangan seperti khayalan yang terbesit dalam pikirannya
karena menganggu perhatiannya kepada al-Maujud yang Wajib Ada, maka dengan
sekuat tenaga Hayy akan menyingkirkan khayalan tersebut dari alam pikirannya,
Hayy membiarkan dirinya demi mendapatkan perhatian Al-Maujud yang wajib Ada.
Hayy membiarkan dirinya selama keadaan seperti itu dalam beberapa saat bahkan
berlangsung selama beberapa hari dengan tetap makan dan terus bergerak. Dengan
latihan ruhani serta mujahadah ini Hayy berharap semua khayalan yang ada di
benaknya menjadi sirna sehingga yang tersisa hanyalah dirinya, dalam musyahadah
yang pertama dirinya tidak lenyap dan tidak menjadi sirna, Namun Hayy sadar bahwa
dirinya menjadi penghalang bagi musyahdah murninya karena Hayy merasa menjadi
123 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzon, hlm. 155
72
buruk dalam musyahdah pertamanya. Dan Hayy menyadari bahwa dirinya menjadi
sekutu atau penghalang bagi apa yang ia saksikan untuk musyahdah murninya.124
Diujung kesadarannya Hayy terus bersungguh-sungguh dalam meniadakan
dirinya dengan terus memurnikan musyahdah Al-Haq.Padatitik tertentu pikiran dan
dirinya menjadi sirna serta apa yang ada di langit dan dibumi dengan bentuk (Shurah)
yang mengandung Ruh dan dzat-dzat yang senantiasa menyaksiakn al-Maujud Yang
Wajib Adadengan semua kekuatan yang berbeda dengan materi. Semua itu menjadi
sirna dan lenyap dari alam pikirannya bagai debu berterbangan yang terbawa oleh
angin sehingga yang tersisa hanyalah Al-Haq. Dan pada saat itu Hayy mendapatkan
apa yang ia harapkan.
Keadaan yang senantiasa merindukan-Nya dengan tunduk pada hukum-
hukum, aturan dan kesempurnaan irodahnya. Ia tidak akan bergerak kecuali atas
kehendak yang berada dalam genggaman-Nya yang terus mengikuti gerakan dari sifat
benda-benda langit dari tiga kelompok diatas karena senantiasa menyaksikan Al-
Wajib yang Wajib Ada.125
124 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzon, hlm. 157 125 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan Rusa, hlm. 159
73
C. Kebenaran Tuhan dalam Kisah Hayy bin Yaqzhân.
Diawal telah dijelaskan bahwa rasio (al-‘aql) dan intuisi (adz- dzauq)
menjadi struktur penggetahuan untuk mendapat pengetahuan atau bisa disebut juga
dengan metode untuk mencapai pengetahuan sejati, untuk mencapai tingkatan
pengetahuan ini Hayy lebih suka dengan ber-musyâhadah untuk merasakan
kebahagian. Struktur filsafat ini juga dibangun diatas kedua meotde tersebut, pertama
metode itu dinamakan dengan demonstrative yang didasarkan pada rasio (al-
‘aql).kedua metode yang dibangun yakni intuisi yang didasarkan pada rasa (adz-
dzauq).
Ibn kemudian mengklasifikasikan pengetahuan berdasarkan metode rasio dan
intuisi tersebut. Dalam kisahnya Hayy bin Yaqzhân klasifikasi itu dibagi kedalam
dua bagian yaitu: Pertama pengetahuan metafisika (ma wara’ah ath-thabî’ah)
adalahpengetahuan tentang luar alam (‘âlam al-khâriji) atau alam atas (‘âlam al-a’âl)
yang termasuk didalamnya pengetahuan tentang Tuhan. Kedua, pengetahuan tentang
fisika (ath-thabî’ah) adalah tentang hakikat yang ada di alam kejadian dan kejadian
(‘âlam al-kaun wa al-fasâd). Dalam pengetahuan yang dua ini, kita akan membahas
pengetahuan metafisika.126
Untuk memulai pengetahuan tentang metafisika,Hayy memulai dengan
memberikan isyarat kepada dirinya terutama benak pikirannya untuk menatap mata
hatinya, tataplah dengan mata batin dan mari dengarkan kata hati, barangkakali
126M. Hadi Masruri, Ibn Thufail Jalan Pencerahan Mencari Tuhan, hlm. 129
74
dengan isyarat yang ditancapkan dalam hati akan mendapatkan kebenaran yang
menutun ada untuk menyaksikan pengetahuan sejati. 127
Dalam hal ini Hayysama seperti Diogenos atau Rumi yang menginstruksikan
tatapan yang mendalam kepada sanubari dan merasakan isyarat yang diberikan oleh
hati untuk mencoba mengikuti jalan kebenaran yang dibisikan oleh Tuhan. Dari sana
Hayy mulai meniadakan diri dan berusaha keras dengan terus memurnikan
penyaksian (musyahadah) agar bisa memperoleh apa yang ia harapkan.
Hayy mencoba untuk melenyapkan dirinya dan mencoba masuk sehingga
pikirannya menjadi sirna baik itu yang berada dilangit dan dibumi, semua kekuatan
yang sangat berbeda dengan materi dan bentuk (shurah) benda yang benbentuk ruh
serta dzat dzat yang senantiasa menyaksikan Al-Maujud yang Wajib Adasemua
menjadi hilang dan lenyap dialam pikirannya bagaikan debu yang berterbangan dan
dimakan oleh angin, yang ada dalam dipikirannya hanyalah yang Maha tunggal, dan
Pada saat itu ia mendengarkan Firman yang berbunyi "kepunyaan siapakah kerajaan
pada hari ini? Kepunyaan Allah yang Mahaesa lagi Maha mengalahkan". Pada saat
itu Hayy tenggelam dalam musyahadah dan ia dapat menyaksikan sesuatu yang tidak
terlintas dalam benak manusia, tidak nampak dimata dan tidak terdengar oleh
telinga. Karena dalam keadaan itu Hayy hanya bisa memahami firman-firman-Nya
sehingga ia tidak kaku untuk mengatakan sesuatu, tetapi ia sangat paham betul untuk
memahamai seruan-seruan yang diperintahkan kepadanya.128
127Ahamdie Thaha Hayy bin Yaqzan (Anak Alam Mencari Tuhan), hlm. 86 128 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan Rusa, hlm. 160
75
Jika kita bertanya bagaimana mengidentifikasi hubungan kalbu terhadap
sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam benak manusia, karena banyak sekali hal-
hal yang terlintas dalam benak manusia namun tidak dapat diidentifikasi, apalagi oleh
orang yang tidak pernah mengetahui-Nya atau melangkah di jalan-Nya yang tidak
pernah sama sekali melintas didalam benak kita?
Untuk penjelasannya Ibn menjawab dengan singkat bahwa kalbu disini
bukanlah kalbu biasa, bukan juga kalbu atau ruh yang terdapat dalam rongga atau
kalbu yang memiliki rongga dan menjadi tempat ruh, menurut Ibn yang dimaksud
kalbu yang dapat mengetahui pengetahuan sejati itu adalah esensi Ruh yang
mengalirkan kekuatannya kepada manusia kesukujur tubuhnya.
Meskipun ketiga-tiga kalbu itu disebut kalbu, namun Ibn ingin mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan kalbu diatas adalah benak dan bukan salah satu dari
tiga kalbu tersebut, karena kalimat yang dapat menjelaskanpun tidak mampu
menjelaskan apa yang terlintas dalam benak. Maka siapapun yang berusaha untuk
menjelaskan pengalamannya tersebut, sesungguhnya ia melemparkan sesuatu yang
mustahil.
Didalam penjelasan tersebut Ibn sepertinya berhati-hati dalam menjelaskan
tentang Tuhan karena ia mengetahui bahwa hal imateri seperti metafisika tidaklah
mudah untuk dijelaskan melewati hal yang bersifat kata-kata, menurut Ibn , kita tidak
akan mampu menjelaskan apa yang berada ditempat tersebut kecuali kita telah
merasakan pengalaman pada tempat tersebut. Ibn juga menegaskan bahwa jangan
memintaku penjelasan secara lisan tentang apa yang aku tuliskan karena aku tidak
mampu menjelaskan apa yang terlintas dalam benak menggunakan kata-kata serta
76
penjelasan lewat lisan sangatlah terbatas. Atas penjelasan tersebut sepertinya Ibn
lebih suka menerangkan tentang musyahdahnya lewat isyarat.
Ibn berkata “ketika yang nampak didalam penglihatan hanyalah yang maha
Esa (al-Wahid ) , yang Maha Hidup (al-Hayy) dan yang mengatur makhluk-
makhluk-Nya (al-Qoyyum). Maka semua yang ada dimuka bumi ini menjadi sirna
termasuk diri Hayy itu sendiri”.Hayy menyaksikan sesuatu yang belum pernah ia
saksikan sebelumnya. Ketika ia sedang merasakan nikmatnya kebahagiaan ber-
musyahadah tiba-tiba ia terbangun dan memperhatikan segala yang ada di bumi,
Hayybagaikan orang mabuk dan terlintas dalam benak pikirannya bahwa dzatnya
adalah dzat al-Haqq ta'ala. Lebih jauhHayy menganggap bahwa dirinya adalah dzat
Tuhan, dia adalah al-Haq itu sendiri. Dzat yang dulunya ia sangka sebagai hakikat
hanyalah pancaran dari dzat al-Haqq, seperti benda-benda yang tertimpa cahaya
matahari, seakan-akan cahaya matahari itu berasal dari benda-benda tersebut,
meskipun benda-benda tersebut memancarkan cahaya yang disandarkan pada benda
padat karena cahayanya, namun sesungguhnya cahaya tersebut tidak berasal dari
benda-benda tersebut. Begitupun dengan anggapan Hayy yang salah bahwa dirinya
adalah dzat Tuhan itu sendiri. 129
Ibn lebih lanjut memberikan permisalan tentang cahaya matahari yang
menyinari benda-benda padat, permisalan ini upaya dalam memahami peleburan
antara Hayy dan Tuhan, dalam kisah tersebut di jelaskan bahwa jika benda-benda
tersebut hanya memantulkan dari cahaya matahari ketika benda-benda tersebut
129 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan Rusa, hlm. 162
77
berproses, sehingga menjadi sirna ketika sinar yang dipantulkanpun menjadi sirna
dan menyatu dalam cahaya maka yang tersisa hanya yang berasal dari matahari.
Cahaya matahari tidak Akan pernah bertambah dan berkurang ketika benda-benda
yang padat hadir dan mengeluarkan cahaya demikian ketika benda-benda padat itu
sirna, maka cahaya matahari tidak akan pernah sirna dan akan selalu ada. jika ada
benda tebal dan tidak mampu menerima pantulan cahaya matahari, maka menurut
Ibn , benda tersebut tidak memiliki arti bagi mentari, tetapi ketika benda-benda tebal
itu mampu memerima cahaya matahari dan memantulkan cahayanya itulah benda
yang sangat berarti menurut Ibn .130
Argumen diatas dibuktikan oleh Hayy itu sendiri, ketika ia menyaksikan
dengan bahwa dzat al-Haqq -azza wa jalla- tidak akan menjadi banyak, dan hal itu
diyakinioleh Hayy yang telah melekat erat dalam sanubari. Hayy memberikan contoh
yang mendalam, ilmu Allah tentang dzat Allah adalah dzat Allah sendiri, orang yang
memiliki pengetahuan tentang dzat Allah maka sesungguhnya dia telah mengetahui
dzat Allah itu sendiri. Dzat Allah dapat diketahui dengan menggunakan ilmu
Allah.Karena dzat Allah tidak dapat diketahui kecuali dengan menggunakan
pengetahuan tentang dzat ilmu Allah.Jadi intinya adalah ilmu Allah adalah dzat Allah
itu sendiri.
Pada mulanya dzat-dzat itu nampak sangat banyak, namun setelah
mengetahui hakikat yang sesungguhnya, Hayy merasa bahwa Dzat-dzat yang
dimilikiTuhan itu tunggal, keyakinan itu hampir ia benarkan dan ditancapkan dalam
hatinya, jika Tuhan tidak memberikan rahmat dan petunjuk-Nya.Ketika dzat-dzat
130Ahamdie Thaha Hayy bin Yaqzan (Anak Alam Mencari Tuhan), hlm. 87
78
dari raga terpisah dan mengetahui Dzat al-Haq.Hayy mulai mengerti bahwa
penyerupaan ini ia laksanakan dengan menyusuri kegelapan benda.Pada saat itulah
Hayy merasa malu terhadap dirinya ketika mengetahui bahwa dzat-dzat tersebut
tunggal.karena sifat banyak dan sedikit, tunggal dan satu, banyak dan genap adalah
pecahan dari sifat-sifat benda. Ketika dzat-dzat yang terpisah dari badan dan
mengetahui dzat Allah -azza wa jalla- maka dia bukan benda atau bagian dari benda,
maka hal tersebut tidak bisa kita sifati dengan tunggal atau banyak karena arti
tunggal adalah beberapa dzat yang saling bersambung, sementara arti banyak adalah
beberapa dzat yang berbeda antara satu dengan dzat yang lain. artinya adalah kita bisa
paham dari beberapa makna yang tersusun dan tercampur dengan materi atas
pengertian dzat tunggal dan banyak.131
Namun, pengungkapan melalui kata-kata terlalu sempit karena jika anda
hendak mengatakan tentang esensi-esensi pembeda (zawat mufariqoh) itu dalam
bentuk jamak seperti 'tampak' yang dikenal dan dialami oleh kita sendiri, jika kata
‘tampak’ itu diungkapkan, maka terbayanglah adanya 'pluralitas'. Padahal
sebenarnya esensi tidak mengandung pluralitas, jika kata tampak itu terbayang
adanya makna 'kesatuan' (ittihad), maka itu hanya akan membuat rancu makna
ittihad dan mustahil baginya.132
Hayy pada posisi ini, bagaikan seseorang yang menghadapi seekor kelelawar
di siang hari yang menganggap bahwa matahari nampak gelap dimata kelelawar dan
bergerak-gerak bagai orang gila, seraya berkata "aku sudah berusaha menjelaskan
131 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan Rusa, hlm. 164 132Ahamdie Thaha Hayy bin Yaqzan (Anak Alam Mencari Tuhan), hlm. 88
79
dengan sangat mendetail, bahkan seolah-olah aku telah berubah dan tidak
menggunakan kebiasaan-kebiasaan orang yang berfikir logis. Aku mencoba
membuat hukum-hukum logis dan masuk kedalam akal, dan logika mengatakan
bahwa jikalau sesuatu tidak banyak maka sesuatu itu tunggal. Karena itu orang (yang
menghadapi kelelawar) tersebut hendaklah merendahkan semangat mengebu dan
menghentikan ocehannya, seraya mengintrofeksi diri, belajarlah dari alam indrawi
sekitar yang tampaknya kurang berharga dan belajarlah seperti Hayy bin Yaqzhân,
pada mulanya Hayy melihatnya memiliki sifat banyak dan tak terhingga tanpa
batasan, lalu dengan sudut pandang yang lain Hayy melihatnya dengan sesuatu yang
tunggal. Hayy tidak bisa memutuskan salah satu sifat dari kedua sifat tersebut karena
masih tersisa keraguan dalam benaknya.
Pluralitas dan ketunggalan itu bersumber dari alam indrawi, dan dalam
kerangka ini anda dapat memahami hakikat, benda yang berada disuatu tempat dan
berubah-ubah, serupa atau berbeda, tempat bagi sifat sambung dan putus, maka
kebingunggan Hayy timbul lagi yang tak bisa mengkategorikan untuk
membayangkan alam Ilahi sebagai istilah 'semua' dan 'sebagian' dan masalah
besarnya adalah tidak bisa diungkapkan dengan bahasa lisan. Jika ia mampu
menjelaskan dengan bahasa lisan maka penjelasan yang ia sangak hakikat bukanlah
hakikatnya. Takseorangpun yang mengetahui kecuali menyaksikan-Nya.Hakikat-
Nya yang tidak bisa diketahui secara sempurna kecuali orang yang telah mencapai-
Nya.
Adapun kata-kata "hingga aku melepaskan kebiasaan orang-orang yang
berakal dan membuang hukum -hukum logika", maka kami tinggalkan bersama akal
80
dan orang berakalnya. Karena akal yang dimaksudkan adalah daya pikir (quwwat
natiqah) yang memeriksa semua objek indrawi sehingga memperoleh pengetahun
universal (ma'na kulliy). Sedangkan kaum berakal ('uqula) adalah mereka yang
mengamati melalui cara pemikiran rasional. Padahal model pembicaraan yang
dimaksudkan jauh diatasnya. Karena itu orang yang hanya mengenal objek-objek
indrawi dan universalnya, hendaklah menutup telinga darinya, dan memgembalikan
kepada kelompoknya yang "mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari
kehidupan dunia, sedangakan mengenai kehidupan akhirat mereka lupa". 133
Jika anda termasuk orang yang merasa puas dengan bentuk penjelasan dan
keterangan tentang alam Ilahi seperti diatas, maka kami akan memberikan tambahan
pengetahuan tentang hasil persaksian Hayy bin Yaqzhân tentang maqom orang-orang
ahli kejujuran (uli al-shidq) dengan berkata :
"sebagian ketenggelaman (istighrok) murni, keluhuran (fana') utuh, dan
hakikat pencapaian (wushul), bersaksi akan planet-planet (falak) tertinggi
yang tak berbenda, serta melihat esensi yang bebas dari materi - yaitu esensi
sang maha esa sang kebenaran, tetapi bukan falak sendiri atau lainnya.
Esensi itu bagaikan "bentuk" matahari yang Tampa ada sebuah cermin Benin.
Esensi tertinggi bukan matahari atau cermin itu sendiri dan bukan pula salain
matahari atau cermin itu".134
Hayy melihat Esensi itu berada dipuncak kenikmatan dan suka cita,
keriangan dan kesenanagan, berkat menyaksikan Esensi Sang kebenaran dan yang
133Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV. Darus Sunnah
2002) Al-Qur’an Surat ar-Rum ayat 7.hlm. 405 134 Ahamdie Thaha Hayy bin Yaqzan (Anak Alam Mencari Tuhan), hlm. 90
81
Maha Agung. Menurut Hayy Esensi pembeda dari falak itu memiliki kesempurnaan
dan keindahan serta kecermelangan yang terlalu agung diungkap dan dijelaskan
dengan kata-kata, terlalu menjelimet untuk dikata dengan huruf dan suara.135
Ketika ia menyaksikan falak tertinggi, ia pun menyaksikan falak yang berada
dibawahnya yaitu falak bingtang-bintang yang tetap136. Dzat yang terlepas dari unsur
materi, dzat tersebut bukan dzat al-Wahid yang Haq atau dzat tertingi dari planet-
planet lain. bukan dirinya dan bukan pula selainnya. Ia bagaikan Esensi matahari
yang nampak di cermin yang memantulkan kembali bayangan matahari ke cermin
lain yang berada died pan matahari. Esensi ini juga memiliki kecemerlangan,
keindahan dana kenikmatan seperti yang dimiliki falak tertinggi.
Hayy juga menyaksikan falak yang berikutnya, yaitu falak saturnus (Zuhal).
dzat saturnus itu sangat berbeda dengan dzat benda. Falak itu bukan sesuatu yang ia
saksikan sebelumnya, dzat itu bagaikan matahari yang nampak dicermin yang telah
dipantulkan dari kaca yang ada di depan matahari, esensi ini pun memiliki
keindahan, kecemerlangan dan kenikmatan seperti yang ia lihat falak sebelumnya.
Hayy terus menyaksikan setiap falak yang memiliki esensi pembeda tersendiri
yang bebas dari materi dan bukan bagian dari esensi sebelumnya dan bukan pula yang
lainnya. Esensi ini bagaikan ‘bentuk’ matahari yang terpantul dari satu kaca ke kaca
yang lainnya berdasarkan susunan falak-falak tersebut. Masing masing esensi inipun
135 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan Rusa, hlm. 168 136Planet-planet yang berada di langit pertama atau langit paling jauh (al-falakul
awwal).Menurut kosmologi Aristotelian-Ptolomaic.Dalam buku Ptelomeus, Almagest planet-planet tersebut berjumlah 1025 buah. Jumlah ini diterima secara umum oleh para Astronomi muslim dan para filosof
82
memiliki keindahan, kenikmatan dan kelezatan yang tak pernah disaksikan oleh mata,
tak pernah terdengar oleh terlinga begitupun terbetik dalam kalbu manusia.137
Dari persaksian (musyahadat) yang saya ceritakan diatas, tampaknya bahwa
jika esensi-esensi pembeda itu dimiliki sebuah benda yang wujudnya abadi dan tidak
rusak contohnya adalah falak, maka esensi itupun abadi pula wujudnya.Sebaliknya
jika itu dimiliki benda yang bisa rusak, seperti manusia (hayawan natiq) maka esensi
itu pun rusak redup dan hancur.Seperti contoh cermin yang memantulkan bayangan,
maka bayangan yang terdapat dalam cermin aka nada jika cermin tersebut ada.
Namun jika cermin tersebut hancur atau rusak, maka bayangan dalam cerminpun
akan hancur dan sirna pula. Ibn mengatakan bahwa ia tidak akan ingkar janji
terhadap ucapannya bahwa penjelasan lewat kata-kata terlalu rumit dan sempit
tentang hakikat yang sebenarnya138
Akhirnya Ibn mengakhiri dengan ucapan kepada kita bahwa pengungkapan
lewat kata-kata teralu sempit, kata-kata atau kalimat yang digunakan untuk
menjelaskan semua ini justru akan membuat rancu apa yang ia saksikan. Maka apa
yang ia jelaskan tidak akan sampai pada hakikatnya. Penjelasan itu menggunakan
satu hukum yang sama bagi contoh dan objek yang dicontohi. Dari segala isi, maka
jangan salahkan kalau penjelasan itu memiliki kerancuan kecuali menguatkannya
dengan orang menyaksikan (musyahadah) langsung dengan diri-Nya.139
137Ahamdie Thaha Hayy bin Yaqzan (Anak Alam Mencari Tuhan), hlm. 91 138 Ahamdie Thaha Hayy bin Yaqzan (Anak Alam Mencari Tuhan), hlm. 93 139 Nur Hidayah, Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan Rusa , hlm. 174
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemikiran Ibn thufal dalam kisah tersebut menggambarkan bahwa Tuhan bisa
didapatkan dengan cara menapaki jalan degan penyerupaan kepada sang Maujud
Yang Wajib Ada, untuk menapaki sang Maujud yaitu dengan cara pengetahuan
empiris atau melatih kekuatan panca indra untuk menjalankan pengamatannya
pada semua jenis yang berada di alam bawah dengan segala sifat dan atributnya
seperti tumbuhan, bebatuan, binatang, air, tanah serta mengamati benda-benda
angkasa dengan segala siklus yang dimilikinya, tahap kedua yaitu menggunakan
kekuatan rasionalitasnya tentang alam dengan segala keberagamannya dan
binatang dengan spesiesnya serta angkasa yang berputar dengan porosnya, atas
ketelitiaannya ia berkesimpulan bahwa semua itu pasti ada sebab yang mengatur
dan wujud lain dibalik semua fenomena yang terjadi. Dari wilayah empiris Hayy
bin Yaqdzon bergerak pada sesuatu yang berbau imateri yang pencariannya
mendalami wilayah kontempasi atau pengolahan spiritual yang berujung pada
penemuan sang Maujud. Dalam wilayah ini ibn Ṭufayl mendapatkan pengetahuan
yang sejati atas usaha dan kecerdikannya dalam melihat fenomena yang terjadi.
Atas pengalaman hidup Hayy bin Yaqdzon dalam melihat fenomena alam,
Ibn Ṭufayl mengemukakan tiga argumen tentang adanya Tuhan, diantaranya :
84
a. Argumen gerak (al-Harakat)
Argumen gerak yang terjadi pada alam ini menjadi bukti adanya Allah, baik
yang meyakini alam itu baharu atau kodim. Adanya gerak ini menunjukan secara
pasti bahwa ada penggerak, sesuatu yang bergerak tidak mungkin bergerak
sendiri tanpa penggerak yang berada diluar alam dan juga berbeda dengannya.
Ibn Ṭufayl menyakinkan kita terhadap argumennya tentang alam baharu dan
kodim, bagi orang yang meyakini alam ini baharu penggerak berfungsi
mengubah alam dari tidak ada menjadi ada, dan bagi orang yang meyakini alam
ini kadim penggerak berfungsi mengubah materi dari potensial menjadi actual.
b. Argumen materi (al-Madat) dan bentuk (al-Shurat)
Argumen materi didasarkan pada ilmu fisika ibn Ṭufayl, yaitu; segala yang ada di
alam semesta ini tersusun dari materi dan bentuk, setiap materi membutuhkan
bentuk dan bentuk tidak mungkin bereksistensi tanpa penggerak, jadi segala
yang ada di alam semesta membutuhkan pencipta untuk membuat bentuk dan
meteri.
c. Argumen al-Ghayah dan al-Inayah al-Illahiyyah.
Dalam argumen ini ibn Ṭufayl membagi sifat al-Maujud Yang Wajib Ada pada
dua macam. Pertama, sifat yang menetapkan wujud Allah seperti ilmu, hikmah
dan Kudrah adalah sifat-sifat yang termasuk dalam zat-Nya sendiri. Kedua, sifat-
sifat yang menafikan kebendaan zat Allah sehingga Allah Maha Suci dari sifat
kebendaan.
Jadi kita bisa simpulkan dalam Risalah Hayy bin Yaqdzon ibn Ṭufayl
menggambarkan Hayy yang senantiasa mencari kebenaran dalam hidupnya dengan
85
dilandasi penalaran inderanya secara empiris, penalaran menggunakan akal secara
rasionalis serta pengolahan intuitifnya secara jernih yang kemudian Hayy
mendapatkan jalan tentang pengetahuan yang sejati yaitu al-Maujud Yang Wajib Ada.
B. Saran-saran
Kontribusi Ibn Ṭufayl dalam pemikiran Islam khususnya filsafat-mistisisme
telah berhasil membangun sebuah struktur pengetahuan yang baru. Melalui
risalahnya Ibn Ṭufayl menjelaskan tentang urutan-urutan pencapaian sebuah
pengethuan dan epistimologi pengetahuan baik itu tentang hakikat tuhan, etika
alam dan usahanya yang mencoba mengharmonisasikan antara agama dan filsafat.
Kendati demikian, penelitian ini belum cukup menguraikan pemikiran Ibn
Ṭufayl tentang Tuhan sepenuhya apalagi pemikiran filsafat Ibn Ṭufayl secara
keseluruhan, sebab pemikirannya ibn Ṭufayl dalam Risalahnya masih ada hal
yang perlu di expose seperti etika, pendidikan, keharmonisasian agama dan
filsafat dan filsafat manusia. Oleh karena itu dalam pembacaan penulis,
penelitian yang mendatang perlu dikaitkan dengan pemikirannya yang lain supaya
terasa lengkap dan sempurna.
86
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ahwani, Ahmad Fuad.Filsafat Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus 2008. Cet. X. Al-Fakhuri, Hanna dan AL-Jurr, Khalil Târikh Al-Falsafah Al-‘Arabiyyah,
Riwayat Filsafat ArabJilid I, terj. Irwan Kurniawan. Jakarta : Sadra International Institute 2014.Cet. I.
Ali, Yunasril. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi
Aksara. 1991.
Amin, Osman. Lights on Contemporary Moslem Philosophy. Kairo: The
Anwar, Dessy.Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.Surabaya: Karya Abdi Tama. 2001.
Bakhtiar, Amsal. Tema-Tema Filsafat Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2005 Boer, T. D. J. De. The History of Philosophy in Islam terj. Oleh Edward R. Jones B.D. New York: Dover Publications. 1903Bandung: CV Pustaka Setia. 2013. Cet. III
Boer, T. D. J. De. The History of Philosophy in Islam terj. Oleh Edward R.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya.Jakarta: CV. Darus Sunnah. 2002.
Fadjar, Ridjaluddin. Pengantar Filsafat Islam Filosof, Sejarah dan Ajarannya.
Ciputat : Kultur @ GP Press Group 2012, cet. I.
Faisal, Sanapiah. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003. Cet. VI.
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Jaya. 1987.
Hadiwijono,HarunSari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta : KANISIUS 2010.
Cet XXVI.
Hasan,Mustofa. Sejarah Filsafat Islam Geneologis dan Transmisi FIlsafat Timur
ke Barat. Bandung : CV Pustaka Setia 2015.Cet. I.
Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI Press. 2006. Cet. III
Hanafi, Ahmad. Pengantar FIlsafat Islam.Jakarta: Bulan Bintang. 1990.
Hawwa,Said. Allah Subhanahu wa ta’ala. Jakarta : Gema Insani Press 2002.
Hidayah, Nur. Hayy bin Yaqdzan Manusia dalam Asuhan Rusa. Yogyakarta : Navila 2003, cet.I.
87
Husain, Bakhtiar. Ibnu Thufail dalam M.M. Syarif (Ed), A History of Mulim
Philosophy, Vol. I, Wisbaden: Otoo,Harrossowitz, 1963.
Ishak, Muslim.Tokoh-tokoh Islm dari Barat, Bina Ilmu: Surabaya. 2010 Kartanegara, Mulyadhi. Lentera Kehidupan. Bandung: Mizan. 2017. Cet. I _________________. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam.
Bandung: Mizan. 2005. Cet. II.
_________________. Mozaik Khazanah Islam Bunga Rampai dari Chicago.
Jakarta: PARAMADINA 2000, cet. I.
Kusumohamidjojo,BudionoFilsafat Yunani Klasik. Yogyakarta : Jalasutra 2013 Cet.1.
Leaman (ed), Seyyed Hossein Nasr dan Oliver. Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam Buku Pertama terj. dari History of Islamic Philosophy.Bandung: Mizan.2003. Cet. I.
Madkour,Ibrahim.Filsafat Islam Metode dan penerapan (Jakarta : CV. Rajawali 1988) Magnis-Suseno, Franz, Menalar TuhanYogyakarta : Anggota IKAPI 2003
Masruri, M. Hadi. Ibnu Thufail Jalan Pencerahan Mencari Tuhan. Yogyakarta:
LKiS Pelangai Aksara. 2015.
M M Sharif.A History of Muslim Philosophy Volume I. Wiesbaden: Otto Harrassowitz. 1963.
Mudlorif, Ali. Risalah Hayy bin Yaqdzan Karya Ibnu Thufail dalam Perspektif
Pendidikan.Yogyakarta: Program pascasarjana UIN SunanKalijaga. 1995. Nasution, Hasyimiyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2012.
Cet.VI.
Renaissance Bookshop. 1958. Cet. I. Shariff, M.M. Sejarah Islam dari Segi
Falsafah.Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. 1994.
Saleem, Mohammad Sharif Khan dan Mohammad Anwar. Muslim Philosophy
and Philosophers. Delhi: Ashish Publising House. 1994.
Syarif, M.M. Para Filosof Muslim. Bandung : MIZAN 1985. Cet. I.
88
Siddiqi, Bakhtiar Husain, “Ibnu Thufail” dalam M. M. Syarif (Ed.), A History of
Muslim Philosophy.Vol. I. Wisbaden: Otto. Harrossowitz. 1963.
Soleh, Khudori. Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta : AR-RUZZ MEDIA 2016, cet. I.
Solikhin, Muhammad. Filsafat dan Metafisika dalam Islam.YOGYAKARTA :
NARASI 2008.Cet. I.
Sudarsono.Filsafat Islam. Jakarta : PT RENIKA CIPTA 2010. Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Islam.Jakarta : Fajar Interpratama Affset. 2007. Cet. III.
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya. Bandung: CV Pustaka Setia. 2013. Cet. III
Thaha, Ahmadie. Hayy bin Yaqzan Anak Alam Mencari Tuhan. Jakarta : Pustaka Firdaus 1997, cet. I.
Thufail, Ibnu Hayy bin Yaqdzan (ed) Faruq Sa’ad Beirut : Dar Al-Aflaq Al-Jaidah 1978.
__________ Hayy bin Yaqdzan (Anak Dalam Asuhan Rusa) terj. Nur Hidayah Yogyakarta: Navila 2010.
__________Hayy bin Yaqzan (Anak Alam Mencari Tuhan) terj. Ahmadie Thaha
Jakarta: Anggota IKAPI 1997. ‘Utsman, Muhammad Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim Bandung: Dar asy-
Syuruq 1993 Cet. I.
Petrus, Simon, Tuhan para filsuf dan Ilmuan Yogyakarta: KANISIUS 2007 Poerwantana, dkk.Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
1994.