Tuhan Dalam Ruang Publik

download Tuhan Dalam Ruang Publik

of 2

Transcript of Tuhan Dalam Ruang Publik

  • Tuhan dalam Ruang PublikOleh Ahmad MunjinPeneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina

    Media Indonesia, 15 Juni 2007 Dalam artikelnya di harian ini, 25 Mei 2007, Ayang Utriza NWAY seorang mahasiswa Ph.D Ecole des Hautes Etudies en Sciences (EHESS) Paris, Perancis menulis mengenai penyakaralan kekerasan. Dalam tulisannya, Ayang mempertanyakan mengenai hubungan antara ajaran agama dengan kekerasan. Artikel Ayang sangat relevan dan layak diapresiasi di tengah-tengah maraknya kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama.

    Tulisan ini tidak bermaksud jadi pengayaan atas pandangan Ayang, tapi melihat kenyataan keberagamaan bangsa ini hampir tidak ada paralelismenya dengan prilaku yang mencerminkan nilai-nilai profetik dari agama yang dianutnya. Kekerasan, ketidakadilan, dan kemunafikan merupakan kosa-kata yang sering dijumpai dalam keseharian kita sekaligus diakronis dengan pesan-pesan dari kamus kenabian.

    Ketiga perilaku di atas, terjadi ketika penghayatan keagamaan seseorang diaktualisasikan dalam hubungannya dengan yang lain. Dalam hubungan inilah terbentuk ruang publik di mana nilai-nilai keagamaan seseorang bersentuhan dengan nilai-nilai orang lain. Ada dua kemungkinan yang diakibatkannya: di satu sisi bisa memunculkan kekerasan, ketidakadilan, dan kemunafikan, tetapi di sisi yang lain bisa memunculkan hal sebaliknya.

    Respon terhadap kenyataan di atas, juga ada dua: pertama, agama harus diletakan di ruang privat, karena kalau agama diletakan di ruang publik maka kekerasan akan muncul dari perbedaan-perbedaan yang melekat di ruang publik. Kedua, justru sebaliknya, agama harus memberikan pendasaran moral bagi ruang publik yang plural.

    Salah satu organisasi keagamaan yang gencar mengampanyekan bahwa agama harus diletakan di ruang privat adalah Jaringan Islam Liberal (JIL). Konsekwensi dari faham ini, baik aspek sosial maupun aspek spiritual dari agama harus ditarik dari ruang publik. Agama dan ekspresi ketuhanannya tidak boleh mengganggu ruang ini. Dengan demikian, semuahal yang menyangkut publik harus absen dari intervensi ekspresi ketuhanan. Karena itu, Tuhan sedikit demi sedikit tersingkir dari ruang publik.

    Atas dasar proposisi tersebut, ritual keagamaan yang menyangkut publik seperti kumandang azan dalam Islam tidak bisa lagi diperdengarkan lagi melalui pengeras suara, karena pengeras suara memasuki ruang publik yang paralogi. Paralogi adalah antonim homologi, dua istilah yang digagas oleh Jean-Francois Lyotard, seorang filsuf kontemporer Perancis. Dalam tulisan ini, kedua istilah tersebut identik tetapi tidak sama. Ruang publik merujuk pada tempat sedangkanparalogi menunjuk pada karakteristik dari ruang publik itu sendiri yang beraneka-ragam. Keanekaragaman inilah yang disebut paralogi. Begitu juga dengan ruang privat di mana homologi menunjuk pada karakteristik yang personal dan individual.

    Seruan untuk salat merupakan pemaksaan sesuatu yang paralogi menjadi homologi yaitu bersama-sama salat. Kesamaan inilah yang disebut sebagai homologi yang sekaligus menurut kalangan JIL mengandung kekerasan, paling tidak, mengganggu orang lain. Azan tidak boleh disiarkan di televisi-televisi dan radio karena keduanya merupakan ruangpublik yang plural, terdiri dari berbagai agama. Begitu juga dengan ritual yang lain dan juga pada agama yang lain.

    Sekilas, pandangan pemisahan agama dari ruang publik seolah-olah tanpa bias, tetapi pada hemat penulis banyak hal yangharus dipertimbangkan. Pemisahan agama dari ruang publik ke ruang privat sejauh ini mengedepankan aspek artifisialnyaketimbang dimensi hakiki dari agama. Pemisahan semacam ini tidak menyentuh pesan-pesan profetik berupa moralitas agama.

    Paralel dengan pesan-pesan profetik di atas, Bung Hatta salah seorang tokoh pendiri bangsa memiliki pandangan paling baik mengenai kenegaraan dalam kaitannya dengan agama. Menurutnya, semua kegiatan kenegaraan harus berlangsung dibawah sinar Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana sila pertama itu menyinari empat sila yang lain dalam Pancasila. Dengan begitu kegiatan kenegaraan kita memiliki dasar metafisis, sehingga menghasilkan komitmen yang total, yang tumbuh dari kesadaran bahwa semua perbuatan dan tingkah laku manusia adalah bermakna, dan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan (Madjid, 2003: 109).

    Dimensi artifisial (luar) dari agama adalah atribut-atribut keagamaan yang memiliki keragaman yang direpresentasikan

  • dari ritual masing-masing agama yang berbeda-beda, termasuk juga cara berpakaian dan lain-lain. Sejauh ini, dimensi inilah yang mendapat perhatian serius untuk dipisahkan dari ruang publik ke ruang privat oleh kalangan yang memiliki pemahaman semacam ini termasuk JIL. Padahal, pemisahan semacam ini tidak terlalu mendesak dan tidak memiliki relevansi dengan konteks budaya kita. Tetapi justru apabila pemisahan ini dipaksakan, aspek-aspek profetik akan pudar dari ruang publik, dan ini pula lebih berbahaya ketimbang dimensi artifisial agama berada di ruang publik. Pemaksaan ini sama saja seperti menerapakan wahabisme di Indonesia yang mengikis kekayaan budaya di tanah air.

    Selain itu, pemisahan di atas tidak ada paralelismenya dengan dasar negara kita Pancasila yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan merupakan dasar bagi keempat dasar lainnya. Ketuhanan adalah ruang privat yangmenjadi penopang kuat bagi kokohnya bangunan kemanusian yang adil dan beradab dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila kedua sampai kelima merupakan ruang publik. Apabila agama dipisahkan menjadi urusan pribadi dan terpisah secara diakronis dari ruang publik maka akan menimbulkan hilangya jiwa bagi sila-sila tersebut.

    Ketika absennya agama dari ruang publik, ini sama artinya dengan hilangnya jiwa berbangsa dan bernegara yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa mengingat ruang ini merupakan kumpulan dari ruang privat, maka yang akan muncul kemudian adalah pelanggaran prinsip keadilan dan keseimbangan oleh kaum beragama yang akan mendatangkan malapetaka berlipat ganda. Tanpa kecuali agama apapun, karena setiap agama mengajarkan prinsip yang sama.

    Kemudian, jika jiwa agama hilang dari ruang publik, hukum di negeri ini tidak akan optimal menumpas kejahatan birokrasi dan korupsi, karena ketuhanan tidak dijadikan dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi dilakukan oleh individu (ruang privat) tetapi memiliki pengaruh dan merugikan masyarakat (ruang publik). Jika individu itu memiliki kesadaran tentang ketuahanan (iman) maka pada saat yang sama Tuhan menjadi saksi dalam kesadarannya bagi semua perbuatannya termasuk ketika individu tersebut melakukan korupsi. Wilayah ini sangat personal yang tidak dapat disentuh oleh hukum positif, karena yang menghakimi adalah dirinya sendiri yaitu kesadaran akan adanya Tuhan yang menyaksikan segala perbuatannya.

    Untuk menjembatani tegangan tersebut, peran Tuhan dalam ruang publik harus dijadikan landasan moral dengan tanpa memaksakan baik dimensi artifisialnya maupun dimensi hakikinya. Dengan memperhatikan bias yang ditimbulkan dari pemisahan agama dari ruang publik ke ruang privat, maka perlu diajukan tesis bahwa faham semacam itu harus dilampaui.Agama harus direpresentasikan secara spiritual yaitu komunikasi personal dengan Tuhan dan secara amal direpresentasikan melalui hubungan baik sesama manusia. Hubungan baik antar manusia inilah yang disebut ruang publik. Dalam hubungan ini pula, manusia bisa menjadikan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana dianutnya dijadikan pendasaran bagi setiap tingkah laku dalam hubungannya dengan yang lain.

    Tetapi, meskipun agama memiliki peran penting dalam ruang publik, tidak lantas agama ditafsirkan dan dimanipulasi untuk membenarkan kekerasan demi mengejar kekuasaan atau dengan kata lain, politisasi dan ideologisasi agama.

    Peran kesadaran akan Tuhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di satu sisi jangan dipaksakan di ruang publik tetapi di sisi yang lain jangan dihilangkan begitu saja seolah-seolah agama tidak memiliki dimensi kebaikan. Padahal, dalam ranah politisasi dan ideologisasi inilah agama menjadi sumber perpecahan. Karena itu, pesan profetik dari agama harus dijalankan melalui logika publik (public reasoning). Apa yang menurut agama adalah baik maka jangan serta-merta dipaksakan di ruang publik. Moralitas agama tidak boleh melampaui konsensus di ruang publik. Konsensus tersebut pada gilirannya tidak boleh diklaim oleh salah satu agama karena hal itu sudah milik bersama dalam ruang publik.

    Di atas semuanya, baik dimensi artifisial (luar) maupun dimensi bathin dari agama, ketika dipaksakan ke orang lain dalamruang publik, memang merupakan kekerasan. Tetapi, ruang publik tanpa jiwa agama juga kering dari nilai-nilai profetik. Tuhan tetap dibutuhkan dalam ruang publik. Ruang publik tidak sepenuhnya bebas dari agama, juga tidak sepenuhnya agama mendeterminasi ruang