Tugas Teori Kritis (Autosaved)z
description
Transcript of Tugas Teori Kritis (Autosaved)z
TUGAS TEORI KRITIS
PERGOLAKAN PEMIKIRAN FRANKFURT VERSUS FUKUYAMA
Disusun oleh:
RIFQI
06240004
JURUSAN SOSIOLOGI INDUSTRIFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG2009
FRANKFURT SCHOOL
A. SEJARAH SEKOLAH FRANKFURT
Pada mulanya Lembaga Penelitian Sosial untuk didirikan di Frankfurt pada tahun
1924 sebagai sekolah khusus untuk kajian ilmiah Marxism. Its benefactor was Felix Weil, a
wealthy part-time scholar who saw the establishment of the Institute as a compromise
between his class position and his leftist sympathies. Para dermawan adalah Felix Weil,
seorang kaya paruh waktu sarjana yang melihat pembukaan Institut sebagai kompromi antara
beliau dan kelas posisi kiri sympathies. The Institute-loosely associated with the University
of Frankfurt at its inception-became a sort of mecca for German leftists, for whom the study
of Marxist political economy and the history of the labor movement could be undertaken at
the university level for the first time. Lembaga-loosely dikaitkan dengan University of
Frankfurt di awal-nya menjadi semacam Mekkah untuk leftists Jerman, untuk yang ilmu
ekonomi dan politik Marxist sejarah gerakan buruh yang dapat dilakukan di tingkat
universitas untuk pertama kalinya. Yet it did not begin to assume its mature approach until
the appointment, in 1930, of Max Horkheimer as director. Namun ia tidak menganggap nya
mulai matang pendekatan sampai penunjukan, pada tahun 1930, dari Max Horkheimer
sebagai direktur. Horkheimer, a philosopher by training, was thoroughly steeped in the
German tradition through Hegel, and had embraced Marxism only reluctantly. Horkheimer,
yang oleh filsuf pelatihan, adalah sepenuhnya steeped dalam tradisi Jerman melalui Hegel,
dan telah embraced Marxism saja ogah-ogahan. Yet, in his inaugural lecture as director of the
Institute, he pointed to the working class as the starting point of all serious social inquiry.
Namun, di kuliah perdana sebagai direktur Institute, dia yang bekerja pada kelas sebagai awal
dari semua pertanyaan serius sosial. He went on to define the task of the Institute in a vague
but quite original way: Ia pergi ke menentukan tugas Institute di kabur tetapi cukup dengan
cara asli:
mensetup, bersama dengan asosiasi ..., sebuah rezim yang direncanakan bekerja pada
penjajaran dari filosofis dalam membangun dan empirisme sosial teori Untuk ....[] mengatur
pertanyaan, atas dasar falsafah pertanyaan saat ini, di yang filosof, sociologists, ekonom,
psikolog dan sejarawan dapat bersatu dalam kerja sama abadi. 1
To just such an end, he gathered around him a diverse group of scholars to formulate
this interdisciplinary approach: Fromm, a Freudian analyst with strong leftist leanings;
1 The Frankfurt School: Its History, Theories, dan Politik signifikansi(Maret 1995)
Friedrich Pollock, a rather orthodox Marxist economist; Adorno, whose doctorate was in
philosophy but who at the time was employed as a music critic; Marcuse, a philosopher and
former student of Martin Heidegger. Untuk hanya itu akhirnya, ia berkumpul di sekelilingnya
yang beragam kelompok ulama ini untuk merumuskan pendekatan antar: Fromm, seorang
analis Freudian dengan kuat kiri leanings; Friedrich Pollock, yang cukup ortodoks Marxist
ekonom; Adorno, yang adalah doktor dalam filosofi tapi yang di Pada saat itu bekerja sebagai
kritikus musik; Marcuse, seorang filsuf dan mantan mahasiswa dari Martin Heidegger.
Benjamin, who was never a permanent member of the Institute, was perhaps the hardest to
classify, for his work encompassed nearly all the humanistic disciplines and many of the
social sciences. Benjamin, yang tidak pernah tetap anggota Institute, mungkin adalah yang
paling sulit untuk mengklasifikasikan, untuk karyanya mencakup hampir semua disiplin
humanistik dan banyak ilmu sosial. True to Horkheimer's aim, the first studies under the
Institute's name-on the influence of authority on the German working class-were evenly
balanced between theoretical speculation and empirical support. Horkheimer's true ke tujuan,
yang pertama studi di bawah nama-Institut pada pengaruh otoritas di Jerman bekerja-kelas
yang merata seimbang antara teori dan empiris mendukung spekulasi. Before the Institute
could really develop their approach, however, they were forced into exile by the ascendancy
of the Nazi Party to power in 1933. Institute sebelum benar-benar dapat mengembangkan
pendekatan Namun, mereka terpaksa ke dalam pembuangan oleh kekuasaan dari Partai Nazi
ke listrik di 1933. The Frankfurt School was doubly damned, being not only "left-wing
radicals" but Jewish to boot. Sekolah di Frankfurt adalah sangat penting kualat, tidak hanya
"sayap kiri radikal" tetapi Yahudi boot. Initially scattered throughout Europe in exile, their
next permanent base would be Columbia University in New York, with which they formed an
association which would last from July 1934 until early 1943. Awalnya tersebar di seluruh
Eropa dalam pengasingan, mereka selanjutnya akan tetap dasar Universitas Columbia di New
York, yang mereka membentuk sebuah perkumpulan yang terakhir dari 1934 hingga awal
Juli 1943. Their financial needs were still met by Weil's endowment, so they were able to
remain relatively independent and free to carry out their own work. Keuangan kebutuhan
mereka masih dipenuhi oleh Weil dari sumbangan, sehingga mereka dapat tetap relatif
independen dan bebas untuk melakukan pekerjaan mereka sendiri.
Institut penelitian Sosial di Frankfrut mencapai sebuah periode keemasan, ketika Max
Horkheimer menjadi direkturnya pada tahun 1930, Horkheimer mendirikan suatu majalah
baru, Zeitschrift fur Sozialforschung (Majalah/jurnal penelitian social), yang menjadi salah
satu majalah terkemuka dalam bidangnya. Sudah sejak prmulaannya, Institut penelitian di
Frankfrut mengumpulkan sarjana-sarjana dari berbagai pelbagai bidang keahlian, supaya
berbagai persoalan yang menyangkut masyarakat dapat di pelajari dari berbagai segi ilmiah.
Keahlian Horkheimer sendiri adalah filsafat social. Di antara rekan-rekan terdekatnya seperti:
Fedrich Pollock (ekonomi), Leo Lowenthal (sosiologi kesusastraan), Walter Benjamin (ilmu
kesusastraan), Theodor W.Adorno ( musikologi, filsafat, psikologi, sosiologi), Erich Fromm
(psikoanalisis), dan Herbet Marcuse (filsafat). Marcuse di terima dalam Institut Penelitian,
sehingga banyak artikel-artikel dalam majalahnya mampu di pandang sebagai buah diskusi
bersama.
Sudah sejak timbulnya nasional-sosialisme, Horkheimer dan kawan-kawannya mengeritik
dan menentang aliran politik ini. Apalagi, kebanyakan anggota Institut Penelitian keturunan
yahudi. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa Institut Penelitian ini di tutup atas
perintah pemerintahan nasional-sosialis, ketika Hitler mulai berkuasa pada tahun 1933. Sudah
beberapa tahun sebelumnya Horkheimer menerka akan terjadi perkembangan serupa dan
karenanya telah mendirikan beberapa cabang di luar negeri, yaitu di London, Jenewa, dan
Paris. Setelah mereka mengungsi dari Jerman, majalahnya di terbitkan di Paris sampai
tahun1940. Tidak lama kemudian menjadi jelas bahwa Prancis pun tidak selamanya aman
untuk melanjutkan pekerjaan Instit Penelitian. Pada tahun 1943 Horkheimer berangkat ke
Amerika Serikat untuk menjajaki kemungkinan-kemungkinan disana dan dengan gembira ia
menerima tawaran rektor Colombia University di New york, agar Institut Penelitian akan
bermukim di kampus universitas tersebut. Pada tahun yang sama hamper semua anggota
Institut Penelitian pindah ke New york. Mereka dapat meneruskan pekerjaannya dengan
tenang, antara lain karena modal yayasan pada waktu itu sudah di selamatkan ke luar negeri,
sehingga tidak mungkin disita oleh pemerintah nasional-sosialis. Di New york pusat
penelitian mereka beroprasi di bawah International Institut of reseach.
Pada tahun 1949 dan 1950 Horkheimer, Adorno, dan Pollock pulang ke Jerman. Institut fur
Sozialforshchung di Frankfrut di bangun kembali dan-lain dari pada zaman sebelum perang-
berafiliasi dengan universitas. Sekembalinya di tanah air, Lembaga Penelitian mencapai
puncak pengaruhnya dalam kalangan intelektual khususnya pada mahasiswa. Dalam tahun
60-an pemikiran Lembaga penelitian terutama menjadi sumber inspirasi bagi Sozialisticher
Deutscher Studentenbund (SDS) ini berlangsung sampai kira-kira tahun 1967, ketika SDS
mulai menerima kekerasan sebagai cara beraksi. Ketika itu terjadi perpecahan antara aktivis-
aktivis mahasiswa dan pemimpin–pemimpin Madzhab Frankfrut. Setelah kembalidari
Amerika, Horkheimer dan Adorno di angkat sebagai profesor di universitas. Malah
Horkheimer dipilih sebagai rector universitas pada tahun 1951 (biarpun ia tetap memegang
kewarganegaraan Amerika). Marcuse, Lowenthal, dan Fromm tinggal di Amerika. Di antara
sarjana-sarjana muda yang bergabung dengan Madzhab Frankfrut setelah institut Penelitian
bermukim lagi di Frankfrut, boleh disebut juga Jurgen Habermas dan Alfred Schmidt.
Filsafat yang di praktekkan dalam Madzhab Frankfrut di kenal sebagai “teori kritis”. Kalau
kita ingin menentukan kedudukan teori kritis dalam rangka sejarah filsafat, maka terutama
tiga factor harus dikemukakan: teori kritis secara khusus di pengaruhi di pengaruhi oleh
Hegel, Marx, dan Freud. Yang di kenal agak umum ialah peranan filsafat Karl Marx dalam
pemikiran para anggota Madzhab Frankfrut, sampai-sampai ajaran mereka tidak jarang di
tunjukkan dengan nama “neomarxisme”.
Tetapi oleh pengikut-pengikut Madzhab Frankfrut Marx di pandang dengan cara lain dari
pada yang lazim di buat pada waktu itu. Untuk interpretasi baru itu yang lain memainkan
peranan penting adalah karya Karl Korsch Marxismusund Philosophie (19230) (Marxisme
dan filsafat). Korsch berkaitan erat dengan Institut Penelitian pada tahun-tahun pertama
berdirinya. Karyanya yang di sebut tadi dimuat dalam Archif fur Geschichte des Sozialismus
und der Arbeiterbewegung, publikasi yang di pimpin oleh Carl Grunberg, direktur Institut
Penelitian sebelum Horkheimer. Berdasarkan antara lain karya Korsh ini, para anggota
Institut Penelitian mengerti Marx dalam hubungan erat dengan filsafat Hegel. Mereka lebih
mengutamakan dan menekankan pemikiran Hegelian dari pada pemikiran Marx.
Sudah sejak tahun-tahun pertama berdirinya Institut Penelitian, Horkheimer dan berebapa
rekannya menaruh minat akan Psikoanalisis Freud, sebab dari Psikoanalisis mereka harapkan
banyak bantuan lagi bagi penyelidikan maslah-masalah social. Horkheimer memelihara
kontak pribadi dengan beberapa ahli Psikoanalisis di Frankfrut dan sejak nomer pertama
majalah Zeitschrift fur Sozialforschung Erich Fromm memberikan sumbangan artikel tentang
Psikoanalisis.
Horkheimer mendukung terbentuknya “Institut Psikoanalisis di Frankfrut (Institut Freudian
pertama yang secara resmi berhubungan denga suatu universitas), sehingga Sigmund Freud
sendiri menulis dua surat kepadanya untuk mengucapkan rasa syukurnya. Tetapi percobaan
untuk mengintegrasikan psikoanalisis Freud dalam pandangan marxistis tentang masyarakat
baru di lontarkan sungguh-sungguh, ketika ErichcFromm menjadi anggota penuh Lembaga
Penelitian sesudah perpindahannya ke Amerika Serikat.
B. FASE-FASE TEORI KRITIS MAZHAB FRANKFURT
- Fase-fase Pertama, pembentukan aliran tahun1923-1933 Direktur pertama lembaga itu
adalah Carl Grunberg, seorang ekonom dan sejarahwan sosial. Grunberg berhasil
mengarahkan -orientasi teoritis dan pendekatan yang kemudian menjadikan kajian-kajian
teoritis para pendahulunya.
- Fase Ketiga, perkembangan aliran Frankfurt mulai pada awal 1950 sampai 1973. pada fase
ini, pengaruh aliran ini mulai memudar dengan meninggalnya Adorno tahun 1969 dan
Horkheimer tahun 1973. Dengan kematian dua tokoh terkemuka praktis aliran Frankfurt
terhenti. Aliran itu tidak lagi berperan dalam dunia pemikiran sosial.tidak lagi berperan dalam
dunia pemikiran social. Dan fase selanjutnya diteruskan oleh Habermas.
C. ASUMSI DASAR MADZHAB KRITIS FRANKFURT
- Kritis terhadap masyarakat. Teori Kritis mempertanyakan sebab. Teori Kritis
mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam
masyarakat. Struktur masyarakat yang rapuh ini harus diubah.Struktur masyarakat yang rapuh
ini harus diubah.
- Kritis berpikir secar historis, artinya berpijak pada proses masyarakat yang historis. Dengan
kata lain teori kritis berakar pada suatu situasi pemikiran dan situasi sosial tertentu, misalnya
material-ekonomis.
- Teori kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya teori dari kemungkinan jatuhnya
teori dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Inilah yang
terjadi pada pemikiran filsafat modern. Menurut Madzhab Frankfurt, pemikiran tersebut telah
berubah menjadi ideologi kam kapitalis. Teori harus memiliki kekuatan, nilai dan
kebebasanuntuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi
ideologi.
- Teori kritis tidak mmisahkan teori dar praktek, pengetahuan dari tindakan, serta rasio
teoritis dari rasio praktis. Perlu digarisri rasio praktis. Perlu digarisbawahi bahwa rasio praktis
tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang hanya memperhitungkan alat
atau sarana semata. Madzhab Frankfurt menunjukkan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai
adalah palsu. Teori kritis harus selalu melayani transformasi praktis masyarakat.
D. RIWAYAT HIDUP
1)MAX HORKHEIMER (1895-1973)
Lahir di Zuffenhausen, dekat kota Stuttgart. Ayahnya adalah pengusaha tekstil yang kaya
raya dan Max di harapkan menjadi penggantinya. Tetapi setelah mencari pengalaman di
bidang bisnis, baik di Jerman maupun di luar negeri , ia memutuskan akan belajar Filsafat. Ia
mengikuti kuliah di universitas Munchen, Freiburg, dan Frankfrut. Untuk pertama kalinya
perhatiannya tarik oleh filsafat, ketika ia membaca buku Schopenhauer Aphorismenzur
Lebensweisheit (pepatah-pepatah tentang kebijaksanaan hidup). Dan di kemudian hari
Schopenhauer tetap akan memainkan peranan penting dalam pemikirannya. Sesudah perang
dunia I, ia mulai mempelajari karya-karya Karl Marx. Apa yang terjadi di eropa selama
perang (1914-18) dan juga revolusi Rusia (1917) telah meyakinkan dia bahwa filusuf harus
memperhatikan masyarakat dan persoalan-persoalannya lebih dahulu dari pada individu saja.
Apalagi, Marxisme dianggapnya suatu ajaran yang sangat berguna untuk mencari jalan keluar
dari masalah-masalah yang di hadapi Jerman sehabis perang. Bersama marx, ia berpendapat
bahwa masyarakat yang lebih baik hanya dapat di wujudkan oleh Revolusi. Dan juga ia
mempertahankan keyakinannya bahwa di Jerman pada saat itu (periode sesudah Perang dunia
ke I) suatu Revolusi yang diadakan oleh kaum buruh bersama intelektual sebenarnya dapat
menjatuhkan nasional-sosialisme, biarpun pada kenyataanya bukan itulah yang terjadi. Sebab,
kita tahu bahwa rezim Hitler di jatuhkan oleh penggabungan antara tiga negara besar, yaitu
dua kapitalistis dan satu komunitis.
Pada tahun 1922 Horkheimer menjadi doctor filsafat yang pertama dari Universitas Frankfrut
dengan sebuah disertasi tentang Kant, di bawah bimbingan Hans Cornelius, filsuf neokantian,
dan profesor di Frankfrut yangpengaruhnya sangat mendalam atas diri Horkheimer. Tiga
tahun kemudian ia menerbitkan bukunya yang pertama yang di bawakan sebagai
Habilitationsschrift di Frankfrut, berjudul Kants Kritik der Urteiskraft als Bindeglied
zwischen theoretischer und praktischer philosophie (1925) juga di bawah bimbingan
Cornelius.
2)THEODOR W.ADORNO
Lahir di Frankfrut pada tahun 1903.Ayahnya, Wiesngrund, adalah seorang pedagang anggur,
keturunan Yahudi. Ibunya di kenal sebagai seorang penyanyi ternama sebelum nikah. Sejak
kecilnya Theodor di liputi suasana musik dan pada muda nya ia belajar sosiologi, filsafat, dan
musik. Ia mengenal Horkeimer sejak mereka bersama ikut seminar Prof. Cornelius tentang
Husserl (1922). Mereka menjadi sahabat untuk seumur hidup dan akan bekerjasama dalam
bidang intelektual sebagaimana jarang terdapat dalam sejarah pemikiran. Ia mendapat gelar
“doctor filsafat” atas dasar sebuah disertasi tentang fenomenologi Husserl. Lalu dia berangkat
ke Wina untuk memperdalam pengetahuannya tentang musik (pada Eduard Steuerman dan
Alban Berg). Sesudah tiga tahun disana, ia kembali lagi ke Frankfrut dan mempersiapkan
Habilitationsschrift tentang Kierkegaard: Konstruktion des Aesthetischen (1933). Ia menulis
beberapa artikel untuk Zeitschrift fur Sozialforschung tentang sosiologi musik, tetapi baru
pada tahun 1938 (di Amerika Serikat) ia menjadi anggota Lembaga Penelitian Sosial secara
resmi. Dalam tahun 40-an Horkheimer dan Adorno mulai bekerjasama dalam menulis.
Berbeda dengan Horkheimer, Adorno mempunyai kesan bahwa nasional-sosialisme
merupakan suatu gejala yang cepat akan lewat dan agak lama ia tinggal di Jerman. Sejak
tahun 1934 ia berada di Oxford, Inggris, dan akhirnya beremigrasi juga ke Amerika Serikat,
dimana antara lain ia bekerja dalam rangka Princenton Radio Reseach Project yang dipimpin
oleh sosiolog Paul lazarsfeld, juga seorang emigran dari Jerman. Disana bersama dengan
Horkheimer ia menulis buku Dialektik der Aufklarung (1947) (Dialektika Pencerahan).
Karya yang menjadi masyhur dalam kalangan paling luas ialah The Authoritarian Personality
(1950), yang di tulis oleh Adorno dan bekerjasama dengan Else Frenkel-Brunswik, Daniel J.
Levinson, dan R. Nevitt Sanford. Studi tentang kepribadian otoriter ini dilatarbelakangi
pengalamannya dengan fasisme di Eropa.
Pada tahun 1949 Adorno pulang ke Jerman untuk mendirikan kembali Institut Penelitian
Sosial bersama sahabatnya, Horkheimer, dan serentak juga menjadi Profesor di Universitas
Frankfrut. Jika Horkheimer mencapai umur pension pada tahun 1958, Adorno
menggantikannya sebagai direktur Institut Penelitian Sosial di Frankfrut, sampai saat
kematiannya pada tahun 1969.
3)HERBERT MARCUSE(1898-1979)
Lahir pada 19 Juli 1898 di Berlin, Marcuse dibesarkan yang nyaman di atas kelas menengah
Yahudi lingkungan. Dalam 1916, pada ketinggian Perang Dunia I, ia dipaksa untuk
menyelesaikan Gimnasium Nya (yakni, SMA swasta) studi di masa percepatan program agar
dirancang menjadi Imperial German Army. Setahun kemudian, ia bergabung dengan Partai
Sosial Demokrat (partai sosialis Jerman). Dengan kekalahan dari Jerman pada 1918,
bergabung dengan pemberontakan Marcuse bertahap oleh para pekerja dan tentara untuk
memprotes pemerintah pengelolaan bencana perang dan runtuh dari ekonomi Jerman. Beliau
menjabat sebentar di Soldier's Council di Berlin. Yang didirikan di Republik Weimar setelah
mengalahkan Kaiser yang gagal untuk memecahkan masalah politik dan ekonomi yang
diciptakan oleh perang. Marcuse diri dari politik sehari-hari yang revolusioner upheavals dan
terdaftar di Universitas Humboldt di Berlin. Dia segera ditransfer ke dia studi di Universitas
Freiberg untuk belajar dengan unggulan existentialist filsuf Jerman Martin Heidegger. Di
antara tahun 1920 dan 1932, dia pindah kiri di kalangan intelektual. Di antara teman-
temannya orang Jerman kritikawan Walter Benjamin filsuf dan Max Horkheimer.
Pada tahun 1932, ia bergabung dengan Marxist-dipengaruhi Lembaga Penelitian Sosial di
Universitas Frankfurt. Tahun berikutnya yang datang ke pihak Nazi kuasa dan ditutup
Institute, kemudian ia pindah ke Amerika Serikat dan kembali dibuka di Universitas
Columbia di New York City. Selama tahun 1940-an, Marcuse, seperti sejumlah lainnya
emigran Jerman intelektual, bekerja untuk beberapa badan intelijen Amerika Serikat. Setelah
dia meninggalkan layanan pemerintah, ia mengajar di Columbia, Harvard, Brandeis, dan
University of California, baik di San Diego dan Santa Cruz kampus. Awal pada akhir 1930an,
Marcuse menjadi tertarik pada hubungan kebebasan dan kebahagiaan. Dalam sebuah
karangan yang disebut "Pada hedonisme" (1938), ia mengembangkan argumen bahwa tanpa
kebebasan untuk memenuhi kebutuhan satu dan bertindak untuk mencapai pemenuhan diri,
sebenarnya kebahagiaan itu mustahil. Jika kebebasan tidak mungkin karena kondisi sosial
dan ekonomi, maka kondisi tersebut harus diubah dalam rangka mencapai peningkatan
kebahagiaan dan kebebasan.
Herbert Marcuse (1898-1979) mulai dikenal luas sebagai seorang filosof, sosiolog, dan
aktivis politik sejak tahun 1960an di Amerika Serikat. Bahkan oleh beberapa media ia
dijuluki sebagai "father of the New Left" karena sikap menentangnya terhadap kehidupan
masyarakat kapitalis. Hal ini terlihat khususnya dari pemikiran sintesis Marcuse atas teori
Marx dan Sigmund Freud yang dia rumuskan pada 1955 dalam bukunya, Eros and
Civilization, dan One-Dimensional Man pada tahun 1964. Herbert Marcuse dilahirkan di
Berlinpada tahun 1898 dalam asuhan sebuah keluarga Yahudi.
Setelah memenuhi tugas wajib militernya di Jerman pada Perang Dunia I, dia lantas pergi ke
Freiburguntuk menyelesaikan studinya. Marcuse mendapatkan gelar Ph. D pada tahun 1922,
lantas ia berkarir dalam bidang penerbitan di Berlin, namun tak lama kemudian dia kembali
ke Freiburg pada tahun 1928 untuk belajar Filsafat bersama Martin Heidegger yang kemudian
membawanya menjadi salah seorang pemikir paling berpengaruh di Jerman. Artikel Marcuse
diterbitkan pertama kali pada tahun 1928, artikel tersebut merupakan pemikiran sintesis
Marcuse tentang fenomenologi, eksistensialisme, dan Marxisme. Pemikiran Sintesis inilah
yang nantinya akan dipakai kembali oleh beberapa filosof Marxis lain seperti Jean-Paul
Sartre dan Maurice Merleau-Ponty, begitu juga oleh para mahasiswa dan kaum intelektual
gerakan New Left di Amerika Serikat. Meski Marcuse tidak pernah kembali tinggal di
Jerman, dia mendapatkan kedudukan sebagai guru besar di Frankfurt School, bersama-sama
dengan Max Horkheimer dan Theodor Adorno. Pada tahun 1940 dia memublikasikan Reason
and Revolusion, sebuah buku yang membahas tentang dialektika antara pemikiran Hegel dan
Marx. Selama Perang Dunia II ia bekerja untuk U.S. Office of War Information (OWI),
sebuah proyek pemerintah Amerika Serikat yang berhubungan dengan propaganda anti-Nazi.
Pada 1943 dia dipindahkan ke Office of Strategic Services (OSS) yang salah satu misinya
adalah penelitin tentang Nazi dan Denazifikasi. Setelah itu pada 1945, Marcuse dipekerjakan
dalam Department of State Amerika Serikat sampai 1951 sebagai Kepala Urusan Eropa,
kemudian dia berhenti setelah kematian istrinya yang pertama pada tahun yang sama. Pada
1952 dia mulai berkarir sebagai pengajar ahli dalam bidang politik, karir pertamanya yaitu di
Columbia dan Harvard University. Kemudian ia berpindah ke Brandeis University dari tahun
1958 sampai 1965. Di Universitas inilah Marcuse mendapatkan gelar professornya dalam
bidang filsafat dan politik. Lantas ia berpindah ke University of California,San Diego, hingga
akhir hayatnya. Selain tercatat sebagai salah satu anggota mazhabFrankfurt, Marcuse juga
merupakan teman sekaligus kolaborator sosiolog dan sejarawan Barrington Moore Jr dan
filosof politik Robert Paul Wolff.
E. PEMIKIRANTOKOH MAZHAB FRANKFURT
1.MaxHorkheimer
Horkheimer sebagai tokoh yang dianggap menetapkan prinsip-prinsip dasar Frankfurt School
dalam melakukan kritik epistemology dan kritik peradaban industrial (Bullock dalam Ahmad
Suhelmi, 1999: 276) yang kemudian memunculkan sebuah tulisan berjudul Traditionelle und
Kritiche Theory (teori tradisional dan teori kritis) yang dipaparkannya pada tahun 1937 dan
dilatarbelakangi oleh kegagalan perjuangan kelas pekerja di Jerman dan Soviet. Horkheimer
membedakan teori kritis dan teori tradisional yang ditandai oleh perbedaan tegas antara
pengamat dengan subyek kajian.
Dalam berpikir teoritis tradisional, asal-usul fakta obyektif khusus, penerapan praktis dari
system konseptual untuk memahami fakta-fakta, dan peran beberapa system tindakan,
semuanya diterima sebagai eksternal dari berpikir teoritis itu sendiri.
Alienasi ini, yang menemukan ungkapan dalam terminology filsafat karena pembedaan nilai-
penelitian, pengetahuan-tindakan, dan sifat-sifat berlawanan yang lain, melindungi
ketegangan dimana kita telah tunjukan dan sediakan sebagai kerangka jaminan untuk aktifitas
mereka (Horkheimer dan Paul Connerton, 1976: 219).
Kemudian Horkheimer menyatakan posisi teori kritis sebagai berikut:
a. Kesadaran berpikir tentang dirinya disederhanakan penemuan hubungan yang berjalan
antara posisi intelektual dan lokasi social mereka.
b. Struktur sikap kritis, karena sebagian kemauan menembus cara tindakan social yang
berlaku, tidak lebih tertutup berhubungan dengan disiplin social, kemudian memahami ini
lebih dari ilmu alam.
c. Realitas obyektif yang diberikan persepsi dipahami sebagai produk dimana secara prinsip
harus di bawah kendali manusia, sehingga dimasa depan setidak-tidaknya akan menjadi fakta
terkendali, dan realitas-realitas ini kehilangan waktu faktualitas yang murni.
Horkheimer juga menyatakan bahwa teori-teori filosofis dan ilmu social yang menyatakan
diri murni deskriptif, sesungguhnya tidak menggambarkan murni seperti itu, tetapi sekaligus
membenarkan. Artinya, kata deskriptif bukan sekedar menunjukkan penggambaran,
melainkan juga menunggalkan evaluasi tersembunyi yang juga bisa dikatakan sebagai
ideologis. Dengan demikian, obyektifitas ilmu social dan filasafat bersifat semu, sebab
dibelakangnya tersembunyi kepentingan-kepentinagn struktur kekuasaan untuk tidak
diganggu gugat. Obyektifitas itu perlu dirobek (Franz Magnis Suseno dalam FX Mudji
Sutrisno dan F. Budi Haadiman (editor), 1992: 148).
2.TheodorW.Adorno
Dalam karyanya bersama Horkheimer berjudul Dialectic of Enlightenment, Adorno berusaha
memberikan analisis konseptual tentang bagaimana Pencerahan, yang pada mulanya
ditujukan untuk mengamankan kebebasan dari ketakutan dan otoritas manusia, berubah
menjadi beberapa bentuk dominasi politik, sosial, dan budaya dimana manusia kehilangan
individualitas dan masyarakat kehilangan makna kemanusiaan. Analisis ini diberikan dengan
penjelasan tentang motif konseptual dari proses rasionalisasi masyarakat--dalam konteks
Weberian--dimana dominasi kapitalis merupakan bahaya terbesar yang muncul darinya.
Konsep sosiologi yang diformulasikan Adorno dimulai dengan usaha untuk memahami kaitan
antara musik dan masyarakat. Pada terbitan pertama jurnal yang dipublikasikan Institut
Penelitian Sosial Frankfurt, Adorno menulis essay berjudul On the Social Situation of Music,
yang memaparkan beberapa temuan-temuan sosiologis. Essay ini penting karena analisis
musik adalah awal dari refleksi sosiologis Adorno, yang bertujuan untuk menyingkap
kandungan sosiologis dalam tekstur karya estetis. Hal ini berlanjut dengan penemuan apa
yang disebut mediasi sosial, yang berarti kesalingterpengaruhan antara yang universal dan
partikular; masyarakat dan individu.
Objek sentral dalam teori kritis Adorno adalah hubungan saling keterpengaruhan antara
pertentangan-pertentangan dalam masyarakat sebagai sebuah totalitas dan bentuk konkrit
kehidupan subjek-subjek dalam masyarakat. Teori kritis diorientasikan pada ide tentang
masyarakat sebagai subjek, dengan individu sebagai pusat. Sebuah teori menjadi ”kritis”
dengan menegasikan ketidakadilan, egoisme, dan alienasi yang dihasilkan oleh kondisi sosial
dibawah ekonomi kapitalis.
Sama halnya pemikiran Adorno sekaligus juga Hoekheimer dalam Cultural Studies yang
telah dinyatakan secara terang-terangan dan tegas dalam judul essai mereka ‘Industri
Kebudayaan-Pencerahan Sebagai Pembohong Massal’ (The Culture Industry-Enlightenment
As Mass Deception) (Adorno dan Horkheimer, 1979). Mereka berpendapat bahwa produk
cultural adalah komoditas yang dihasilkan oleh industry kebudayaan yang meski demokratis,
individualistis dan beragam, namun pada kenyataannya otoriter, konfortmis dan sangat
terstandardisasi. Jadi, kebudayaan membubuhkan stempel yang sama atas berbagai hal. Film,
radio dan majalah menciptakan suatu system yang seragam secara keseluruhan untuk semua
bagian’ (Adorno dan Horkheimer, 1979; 120). Keragaman produk industry kebudayaan
adalah suatu ilusi untuk ‘sesuatu yang disediakan bagi semua orang sehingga tak seorang pun
bisa lari darinya’ (Adorno dan Horkheimer, 1979; 123).
Adorno (1941) memandng music pop, khususnya jazz, sebagai suatu polesan, miskin dengan
orisinalitas dan tidak memerlukan terlalu banyak usaha oleh audiennya. Bagi Adorno, tujuan
music standar adalah reaksi standard an penegasan atas kehidupan bagaimana adanya. Ini
bukan Cuma soal makna yang tersembunyi, namun soal penstrukturan psikis manusia secara
konformis. Adorno mengganti istilah ideology (sebagai ide) dengan psikologi Freudian saat
menyatakan industry kebudayaan, bersama dengan keluarga, memproduksi ‘kelemahan ego’
dan ‘kepribadian otoriter’
Sebaliknya, seni kritis Adorno tidak berorientasi pada pasar dan menantang standar logika
masyarakat yang ter-reifikasi. Menurut Adorno, contohnya adalah music atonal (tanpa nada)
Schoenberg, yang menurutnya, memaksa kita berpikir tentang cara baru dalam melihat dunia
ini. Kita bisa mencatat bahwa kritik yang ditemukan ini benar-benar soal bentuk ketimbang
isi, khusunya aliran non-realisme dan sifat ‘asing’ seni yang memberikan inspirasi melalui
‘negatifitas utopis’-nya.
3.HerbertMarcuse
Dalam bukunya One Dimensional Man, Marcuse melalui kacamata Marx dan Freud mencoba
untuk menganalisis akar-akar fenomena masyarakat kapitalis yang merupakan akar dari
adanya budaya konsumerisme. Secara garis besar Marcuse mengatakan dalam tesisnya bahwa
segala kehidupan dalam masyarakat kapitalis diarahkan kepada satu tujuan, yaitu peningkatan
sistem kapitalisme. Dengan demikian ia berpendapat mustahil ada ruang untuk bernafas bagi
tumbuhnya pemikiran lain di luar kapitalisme. Maka Marcuse sampai pada kesimpulan
bahwa masyarakat industri modern merupakan masyarakat yang tidak sehat, berdimensi satu,
represif (menindas, menekan), totaliter (menyeluruh, menguasai segala-galanya). Apa yang
Marcuse sampaikan dalam tesisnya tersebut memang bukanlah isapan jempol belaka. Di
banyak negara, khususnya negara miskin seperti Indonesia, budaya konsumerisme begitu
mewabah dan merasuk hingga ke lapisan akar rumput. Melalui fenomena multi-media—iklan
TV misalnya—orang terpropaganda hingga kehilangan kontrol terhadap pikirannya atas apa
yang layak dan tidak layak untuk dikonsumsi. Semua orang, baik yang masuk dalam kategori
kelas menengah ke atas maupun kelas sosial menengah ke bawah, berbondong-bondong
untuk menyerbu pusat-pusat perbelanjaan, tanpa mempertimbangkan sifat dan motivasi
konsumsi. Kiranya inilah salah satu dari sekian banyak fenomena yang melandasi pemikiran
Marcuse, bahwa orang telah berpikir dalam satu dimensi, konsumsi dan konsumsi, tanpa
mengindahkan derajat kelayakan dan hirarki kebutuhan. Sisi lain dari masyarakat kapitalis
adalah represif. Marcuse mengatakan bahwa sistem ekonomi-sosial kapitalisme merupakan
sistem yang menindas dan menekan. Kalau dulu penindasan dan penekanan itu diterapkan
dalam bentuk perbudakan—yang dalam bahasa Marx—oleh kaum borjuis terhadap kaum
proletar, namun pada masa sekarang bentuknya semakin diperlembut. Pertama-tama
dibentuklah suatu image akan adanya sebuah sistem sosial ekonomi yang kaya, maju, nyaman
dan enak. Hal ini semakin dipoles dengan kian cepatnya laju pertumbuhan produksi yang dari
hari ke hari wajib untuk menciptakan kebutuhan baru bagi masyarakatnya. Sebenarnya
kebutuhan yang dimaksud di sini lebih bersifat semu, konsumtif. Hadir banyak alat
propaganda yang luar biasa dahsyatnya, menghipnotis masyarakat untuk menjadi boros dan
menghambur-hamburkan uangnya demi sesuatu yang tidak perlu dengan tanpa disadarinya.
Inilah yang Marcuse sebut sebagai “perbudakan sukarela”. Pola sistem masyarakat industri
modern juga bersifat totaliter. Totalitarianisme yang diterapkan di sini tidak tanggung-
tanggung. Bukan hanya lini sosial dan ekonomi, namun budaya dan pemikiran masyarakat
juga diubah agar sesuai dengan tujuan utama; yaitu peningkatan keuntungan. Maka dalam
system kapitalisme, setiap orang secara individu diasingkan dari akar budayanya. Atau dalam
bahasa yang lebih kasar terjadi sebuah “Brain Washing” yang kemudian diisi dengan nilai-
nilai yang dianjurkan oleh sistem kapitalisme. Totalitarianisme itu juga terlihat dari
penggunaan bidang seni dan sastra yang hanya dipakai sebagai alat pendukung untuk
menyokong orde yang mapan sehingga semakin mendulang keuntungan yang berlipat-lipat.
Pengalaman Marcuse dalam dua babak perang dunia, juga menyisakan banyak penderitaan
yang tak mudah ia lupakan. Perang—dalam istilah Marcuse—merupakan salah satu dari
bentuk pola budaya konsumerisme yang paling kasar dan paling sadis yang diciptakan oleh
masyarakat industri modern. Industri senjata, menurutnya, bukan merupakan satu bentuk
usaha untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM), namun semata-mata untuk
kelangsungan bisnis dan untuk kepentingan pengerukan kekayaan belaka. Pemaduan dan
pencampuradukan antara kemakmuran dan ancamanperang, serta kehancuran umat manusia,
merupakan satu contoh dari strategi sistem kapitalisme untuk melangsungkan keuntungan dan
melanggengkan pengaruhnya. Dalam hal pendidikan, sistem masyarakat industri modern juga
tak lupa untuk mencoba-coba dan berkotor tangan di dalamnya. Lihat saja di Indonesia
misalnya, segala lini disiplin ilmu yang diajarkan seoalah tertuju pada satu; sebagai sarana
pendukung dan penyokong cita-cita kaum kapitalis. Maka tidak heran jika Filsafat dewasa
ini, di Indonesia, sudah tidak lagi kritis bahkan banyak ditinggalkan dan dianggap sebagai
momok pemikiran, padahal seharusnya filsafat lebih bersifat analitis kritis dan solutif. Tentu
saja Marcuse tidak tinggal diam atas fenomena tersebut. Ia menawarkan beberapa jalan
keluar agar orang dapat terbebas dari jeratan pengaruh yang tidak sehat tersebut. Pertama,
Marcuse menyatakan bahwa teknologi dan ilmu pengetahuan sudah saatnya untuk direnggut
dari penyalahgunaan sebagai alat kepentingan dominasi “establishment” untuk menemukan
dan mewujudkan kemungkinan-kemungkinan bentuk kehidupan yang lebih manusiawi. Atau
dalam bahasa lain, lawanlah teknologi dan ilmu pengetahuan dengan teknologi dan ilmu
pengetahuan yang sama, seperti pembuatan iklan “gemar berhemat” misalnya. Kedua,
menciptakan kesadaran yang “Aesthetic Ethos” yang menyaratkan bahwa unsur-unsur estetis
seperti seni musik, seni lukis, seni teater, menjadi suatu kerangka kehidupan. Karena dengan
adanya dimensi estetis dalam suatu masyarakat akan terwujud masyarakat yang bebas dan
matang dalam menentukan pilihan, salah satunya dalam aktivitas konsumsi. Ketiga,
menciptakan dorongan biologis untuk pembebasan. Yang dimaksud Marcuse di sini adalah
pembalikan kehendak dan minat untuk menentang dominasi penindasan kerja, misalnya
menolak kerja lembur. Karena pada hakikatnya, kerja lembur merupakan salah satu
“perbudakan sukarela” yang hanya bertujuan untuk mencapai keuntungan yang sebesar
besarnya dengan biaya pengeluaran sekecil-kecilnya. Keempat, mengubah gaya hidup mewah
yang telah dijargonkan oleh sistem kapitalisme sebagai simbol dari kesejahteraan.
Peningkatan hasil pendapatan industrial yang ditopang oleh prinsip produksi dengan tujuan
untuk menciptakan kebutuhan baru dapat dilawan dengan menerapkan pola hidup sederhana.
Sederhana di sini bukan dimaksudkan sebagai gaya hidup asketis, namun lebih dimaksudkan
sebagai pola konsumsi yang sesuai dengan kebutuhan yang sebenar-benarnya (pola konsumsi
matang) dan bukan kebutuhan yang palsu maupun yang artifisial. Kelima, mengubah gaya
hidup kuantitatif menjadi gaya hidup kualitatif.
FRANCIS FUKUYAMA
A. LATAR BELAKANG FUKUYAMA
Francis Fukuyama lahir di Hyde Park lingkungan dari Chicago. Ayahnya, Yoshio
Fukuyama, sebuah generasi kedua Jepang-Amerika, telah dilatih sebagai menteri dalam
Gereja berkenaan dgn jemaah dan menerima gelar doktor dalam sosiologi dari University of
Chicago. Ibunya, Toshiko Kawata Fukuyama, lahir di Kyoto, Jepang, dan adalah anak
perempuan Shiro Kawata, pendiri dari Departemen Ekonomi Universitas Kyoto dan presiden
pertama dari Osaka City University di Osaka. Fukuyama anak dari tahun yang dihabiskan di
New York City. Pada tahun 1967 keluarganya pindah ke State College, Pennsylvania, di
mana dia menghadiri sekolah menengah.
Fukuyama diterima dia gelar Bachelor of Arts di klasik dari Cornell University,
dimana ia belajar filsafat politik di bawah Allan Bloom. Dia yang dia Ph.D. dalam
pemerintahan dari Harvard University, belajar dengan Samuel P. Huntington dan Harvey C.
Mansfield, antara lain. Fukuyama telah berafiliasi dengan Asosiasi Telluride sejak ia
mahasiswa di Cornell tahun, sebuah perusahaan pendidikan yang penting lainnya ke rumah
pemimpin dan intelektual, termasuk Steven Weinberg, Paul Wolfowitz dan Kathleen
Sullivan.
Fukuyama yang saat ini sedang Bernard L. Schwartz dari Profesor Ekonomi Politik
Internasional dan Direktur Program Pembangunan Internasional di Paul H. Nitze School of
Advanced International Studies di Johns Hopkins University, yang berlokasi di Washington,
DC.
Fukuyama sangat dikenal sebagai penulis yang Akhir Sejarah dan Manusia Terakhir, di mana
ia berpendapat bahwa perkembangan manusia sebagai sebuah sejarah perjuangan antara
ideologi yang besar pada akhirnya, dengan dunia menetap pada demokrasi liberal setelah
akhir Perang Dingin dan jatuh dari Tembok Berlin pada tahun 1989. Fukuyama predicted the
eventual global triumph of political and economic liberalism: Fukuyama prediksi yang
akhirnya global kejayaan politik dan ekonomi liberalisme:
What we may be witnessing is not just the end of the Cold War, or the passing of a particular
period of post-war history, but the end of history as such... Apa yang kita dapat menyaksikan
tidak hanya pada akhir Perang Dingin, atau lulus dari periode tertentu pasca perang sejarah,
tetapi pada akhir sejarah seperti ... That is, the end point of mankind's ideological evolution
and the universalization of Western liberal democracy as the final form of human
government. Yakni, titik akhir dari evolusi manusia dari ideologis dan universalization
demokrasi liberal Barat sebagai bentuk final pemerintah manusia.
He has written a number of other books, among them Trust: The Social Virtues and the
Creation of Prosperity and . Dia telah menulis sejumlah buku lainnya, di antara mereka
Trust: The Social Virtues dan ciptaan Kesejahteraan dan kami Posthuman Future:
Consequences of the Biotechnology Revolution. In the latter, he qualified his original 'end of
history' thesis, arguing that since biotechnology increasingly allows humans to control their
own , it may allow humans to alter , thereby putting liberal democracy at risk. Di kemudian,
ia memenuhi syarat yang asli 'akhir sejarah' tesis, argumentasi sejak bioteknologi yang
semakin memungkinkan manusia untuk mengontrol sendiri evolusi, mungkin membolehkan
manusia untuk merubah sifat manusia, dengan demikian meletakkan demokrasi liberal
beresiko. One possible outcome could be that an altered human nature could end in radical
inequality. Salah satu hasil yang dapat diubah manusia yang dapat mengakhiri sifat radikal
dalam ketidaksetaraan. He is a fierce enemy of , an intellectual movement asserting that is a
desirable goal. Dia adalah musuh sengit transhumanism, sebuah gerakan asserting intelektual
yang posthumanity adalah tujuan yang diinginkan.
The current revolution in biological sciences leads him to theorize that in an environment
where science and technology are by no means at an end, but rather opening new horizons,
history itself cannot therefore be said to be, as he once thought, at an end. Yang sedang dalam
revolusi ilmu biologi mengarah kepada teori bahwa di sebuah lingkungan di mana ilmu
pengetahuan dan teknologi yang tidak berarti pada akhirnya, namun baru membuka horizons,
sejarah itu sendiri sehingga tidak bisa dikatakan menjadi, karena dia berpikir sekali, pada
akhirnya.
PEMIKIRAN
Neoconservatism
Fukuyama merupakan tokoh penting dalam kebangkitan neoconservatism. He was active in
the think tank starting in 1997, and as a member co-signed the organization's recommending
that support Iraqi insurgencies in the overthrow of then-President of , . He was also among
forty co-signers of September 20, 2001 letter to President after the that suggested the US
'capture or kill Osama bin Laden, and to destroy his network of associates', and 'provide full
military and financial support to the Iraqi opposition' for the purpose of removing Saddam
Hussein from power 'even if evidence does not link Iraq directly to the attack.' Dia aktif di
Proyek untuk Abad Baru Amerika think tank dimulai pada tahun 1997, dan sebagai anggota
co-organisasi menandatangani surat merekomendasikan bahwa Presiden Bill Clinton
mendukung insurgencies di Irak yang kemudian menjungkal-Presiden Irak, Saddam Hussein. [2 ] Ia juga di antara empat puluh co-signers dari William Kristol dari 20 September 2001 surat
ke Presiden George W. Bush setelah 11 September 2001 serangan yang diusulkan AS
'menangkap atau membunuh Osama bin Laden, dan memusnahkan dalam jaringan asosiasi' ,
dan 'penuh memberikan dukungan keuangan dan militer ke Irak oposisi' untuk tujuan
menghapus Saddam Hussein dari kekuasaan 'meskipun bukti tidak terhubung langsung ke
Irak serangan.’
In an article published by Fukuyama in the New York Times in February 2006 Fukuyama
discussed the situation with the war in Iraq stating: "What American foreign policy needs is
not a return to a narrow and cynical realism, but rather the formulation of a "realistic
Wilsonianism" that better matches means to ends." In regards to neoconservatism he went on
to say: "What is needed now are new ideas, neither neoconservative nor realist, for how
America is to relate to the rest of the world — ideas that retain the neoconservative belief in
the universality of human rights, but without its illusions about the efficacy of American
power and hegemony to bring these ends about." [ 4 ] Dalam artikel yang diterbitkan oleh
Fukuyama di New York Times pada Februari 2006 Fukuyama membahas situasi dengan
perang di Irak menyatakan: "Apakah politik luar negeri Amerika tidak perlu kembali ke yang
sempit dan sinis realisme, tetapi sebaliknya dengan formulasi yang realistis Wilsonianism
"yang lebih cocok untuk berakhir." [4] Dalam hal neoconservatism dia pergi ke berkata: "Yang
dibutuhkan sekarang adalah ide-ide baru, baik neoconservative dan tidak realistis, bagaimana
untuk Amerika adalah untuk berhubungan dengan sisa dari dunia -- ide yang
mempertahankan kepercayaan neoconservative dalam universalitas hak asasi manusia, tetapi
tanpa dengan ilusi tentang manfaat dari Amerika dan hegemoni kuasa untuk membawa
tentang ini berakhir
Dengan bukunya “The End of History and the Last Man”(1992), Francis
Fukuyama,
Padahal apa yang ditulis oleh Fukuyama itu tidak lain dari visi dan doktrin
politik Partai Republik di Amerika, partainya Reagan, Bush Sr, Bush Jr dan
Wolfowitz, wakil menteri pertahanan AS. Menurut kaum konservatif itu,
kapitalisme adalah jalan keluar satu-satunya, jalan hidup satu-satunya yang
bisa ditempuh umat manusia. Tidak ada jalan lain, tidak ada alternatif lain,
tidak ada pilihan lain.
Yang membikin Fukuyama diangkat sedemikian tingginya oleh kaum konservatif
AS dan kaum liberal dunia, ialah, karena Fukuyama MEMASTIKAN di dalam
bukunya itu, tentang KEMENANGAN MUTLAK KAPITALISME atas sosialisme.
Dengan bukunya itu, Francis Fikuyama menjadi terkenal di seluruh dunia, dan
beruang; seperti George Orwell (1903 – 1950), yang menjadi terkenal dengan
a.l. bukunya yang ketika itu meramalkan bagaimana situasi dunia 34 tahun
mendatang (1984). Bahkan belum lama ini, ada seorang analisis Amerika berani
menyatakan bahwa Perang Dunia III s u d a h dimulai, yaitu apa yang
dikatakannya ‘PERANG MELAWAN TERORISME’. Bukankah sesudah “nine-eleven”,
peristiwa pemboman dua menara World Trade Centre di Manhattan, AS, seperti
yang dimaklumkan oleh presiden AS G.W. Bush, kini dunia sedang dalam situasi
“perang melawan terorisme”.
Mao Tsetung, akhli perang Tiongkok Baru yang bertahun-tahun lamanya, yang
mengutip Jendral Mayor Prusia Clausewitz (1780-1831), penulis buku “Tentang
Perang” (Vom Krieg), yang merupakan buku falsafah militer yang paling
berpengaruh di Barat, menyatakan bahwa --- Perang itu, adalah lanjutan dari
politik dengan cara lain, lebih jelas lagi, perang itu bukan saja merupakan
tindakan politik semata, tetapi suatu instrumen politik yang
sungguh-sungguh, suatu kelanjutan dari kegiatan politik dengan cara lain.
Melihat sejarah perkembangan hubungan mancanegara, jelaslah bahwa perjuangan
politik, konflik-konflik politik, ekonomi dan wilayah, diantara
negara-negara atau aliansi-aliansi negara, tidak pernah berhenti. Maka, dari
sini bisa diprediksi bahwa perang itu tidak akan berhenti. Kapanpun dari
waktu ke waktu selalu akan terjadi perang. Bisa perang besar, seperti perang
dunia, tetapi sering-sering adalah perang-perang kecil. Pembuktian tidak
diperlukan, karena sejarah itu sendiri sudah menunjukkan dengan fakta-fakta,
dari dulu hingga saat ini.
Dari sini bisa dikatakan bahwa ramalan Fukuyama bahwa dimasa mendatang tidak
akan ada lagi konflik besar, perjuangan besar, karena sistim kapitalisme,
demokrasi-liberal, sudah mencapai kemenangan akhir, bahwa SEJARAH SUDAH
BERAKHIR, karena bagi dunia ini sudah tidak ada lagi alternatif lainnya,
selain KAPITALISME, . . . . kiranya adalah suatu teori atau doktrin, suatu
ramalan yang KEBURU NAFSU.
Buku Fukuyama THE END OF HISTORY ... itu sudah sepuluh tahun lebih ditulis
dan memang ketika itu menjadi bestseller. Mengapa kok, baru sekarang ini aku
menulis tentang Rancis Fukuyama. Apa itu bukan sudah terlambat, sudah
menjadi isu atau barang basi? Kukira tidak. Karena yang dipersoalkan
Fukuyama adalah masalah haridepan dunia, bukan soal sepélé. Cobalah,
menurut Fukuyama, tidak ada alternatif lain didunia ini kecuali
berhegemoninya sistim kapitalisme, kecuali demokrasi-liberal.
Tetapi, sebab langsung yang menggerakkan aku menulis kolom ini ialah, “DE
GROENE AMSTERDAMMER”, mingguan Belanda, terbitan 22 Nov, 2003, yang memuat
wawancara Pieter van Os, salah seorang redakturnya, yang ia lakukan dengan
Francis Fukuyama belum lama berselang. Dalam wawancara itu, Fukuyama
mengeluh karena “tidak ada lagi orang yang mau mendengar (kata-kata)saya”.
Yang dimaksudkannya dengan orang-orang yang yang sudah tidak mau lagi
mendengar apa yang dikatakannya, ialah, teman-temannya golongan konservatif
AS yang ada di kalangan yang berkuasa, maupun yang diluar establishment di
AS. Mereka itu, pada waktu terbitnya buku Fukuyama yang terkenal itu ,
telah menyanjung-nyanjungnya setinggi langit.
Maka timbul pertanyaan, mengapa dewasa ini, sudah tidak ada lagi yang mau
mendengarnya. Sederhana sekali. Sesudah terjadinya “nine-eleven”, teori
Fukuyama dengan : “The End of History-nya” itu, tampak menjadi lumer.
Ternyata sistim kapitalisme AS, sistim kapitalisme di dunia, itu bukan tidak
ada lagi yang melakukan perlawaan terhadapnya. Tidak kurang dari presiden
Bush sendiri yang bilang, bahwa Osama Bin Laden dengan Al Qaedanya, dengan
aksi-aksi terornya yang sulit dilacak itu, merupakan tantangan besar bagi AS
dan “way of life”-nya, dengan “the American dream”-nya. Sehingga presiden
Bush merasa perlu, mengadakan sidang khusus Congres AS untuk mengeluarkan
maklumat perangnya itu. Baru-baru ini ia minta lagi anggaran tambahan
pertahanan sebesar bermilyar-milyar dollar jumlahnya untuk pengembangan
sistim peluru kendali mutakhir. Kemudian, dengan alasan melakukan perang
melawan terorisme, AS melakukan invasi militer ke Afghanistan. Lalu
menyerbu Irak, dengan alasan khusus, bahwa Sadam Hussein dengan senjata
pemusnah masal yang dimilikinya, merupakan ancaman terbesar bagi keamanan
dunia dan keamanan nasional Amerika Serikat sendiri. Sehingga ia merasa
perlu untuk minta kekuasaan istimewa dan minta anggaran militer tambahan
yang hampir mencapai 100 milyar dolar, untuk menggulingkan rezim Sadam
Hussein dan bercokol di Irak.
Jelas, bagi presiden Bush, bagi White House, bagi Capitol Hill dan bagi
Pentagon, “perang melawan terorisme dunia”, yang dipicu dengan peledakan
pada Twin Towers di Manhattan (Nine Elevan), adalah SOAL BESAR. Sedangkan
bagi Fukuyama, peledakan di Manhattan itu, bila dipandang dari kejauhan
adalah riak-riak belaka dari lautan besar perkembangan sejarah, dimana
kemenangan demokrasi-liberal, kemenangan kapitalisme sudah pasti.
Fukuyama menganggap Washington telah membikin SEMUT (“Nine Eleven”) YANG
DISEBUL MENJADI SEBESAR GAJAH (perang “melawan terorisme”). Fukuyama
berpendapat bahwa aksi-aksi teror Alqaeda itu, tidak lebih dari
kejutan-kejutan dan kejangan-sekarat dari fundamentalisme (Islam). Sebab,
menurut Fukuyama, SEJARAH SUDAH BERAKHIR, perjuangan antara dua sistim,
sosialisme lawan kapitalisme sudah selesai dengan kemenangan mutlak
kapitalisme atas sosialisme. Maka soal-soal lain yang muncul, dilihat dari
jarak jauh, adalah riak-riak saja dalam suatu arus besar globalisasi pada
jalur kapitalisme, jalur demokrasi-liberal. Jadi, “Nine Eleven” dan apa yang
dimaklumkan sebagai “perang lawan terorisme” tidak sedemikian besarnya
seperti yang dibuat oleh politik Amerika. Kata Fukuyama.
“Nine-eleven”, celakanya, adalah suatu titik balik bagi Fukuyama. Karena,
ramalannya, mengenai dunia dimana kombinasi antara liberalisme dengan
demokrasi merupakan ideologi yang berhegemoni, tiba-tiba tampaknya seperti
suatu fata morgana. Orang melihat ramalan Fukuyama sebagai suatu
kesalahpengertian yang terlalu berani, yang muncul dari suatu harapan yang
berkelebihan sesudah porak-porandanya Uni Sovyet.
Soal lain lagi ialah, bahwa Fukuyama tidak percaya bahwa apa yang dilakukan
oleh Bush, yaitu mengeskpor konsep demokrasi AS ke Irak, bahwa hal itu akan
bisa berhasil. Cukup realis juga Fukuyama ketika ia menyatakan bahwa, banyak
sekali tokoh-tokoh yang berpengaruh di dalam dan di sekitar pemerintahan AS
yang betul-betul percaya bahwa “proses demokratisasi” bisa dipercepat
temponya. Mereka-mereka itu, menurut Fukuyama, juga mengira bahwa
orang-orang Irak akan menerima orang-orang Amerika yang datang mnyerbu,
dengan tangan terbuka. Wakil presiden Cheney sendiri yang mengatakan
demikian itu, dekat-dekat sebelum dilancarkannya invasi. Demikian Fukuyama.
Pandangan baru Fukuyama ini bertolak belakang dengan politik Bush.
Keruan saja, Fukuyama yang diangkat begitu rupa sebagai akhli teori dan
jururamal kemenangan demokrasi-liberal, kemenangan kapitalisme itu, karena
pandangannya mengenai masalah perang Irak yang berbeda dengan politik
Washington, kini ditinggalkan bahkan dianggap sepi samasekali oleh kaum
konservatif Amerika, termasuk oleh Wolfowitz. Adalah Wolfowitz, teman dekat
Fukuyama, yang menyarankan kepada Fukuyama untuk keluar dari State
Department, yang ketika itu telah menulis esay-politiknya dengan judul “The
End of History”, --- untuk mengembangkan esay-politiknya itu dan
melngkapinya menjadi sebuah buku. Di dalam buku itu Fukuyama akan
memaklumkan kemenangan kapitalisme, kemenangan demokrasi-liberal atas
sosialisme. Orang-orang konservatif itulah yang memberikan dana sebesar
600.000 dolar kepadanya, agar Fukuyama bisa memusatkan kegiatannya menulis
buku itu.
Jelas, ceritera tentang Fukuyama dan pandangannya itu masih jauh dari
selesai, meskipun ia sudah dianggap sepi oleh Washington.
Karena, yang ia persoalkan adalah soal besar: Apakah benar tak ada
alternatif lain bagi dunia ini kecuali kapitalisme yang penuh kontradiksi
itu? Lihat saja perang tarif antara Amerika dengan Eropa, Jepang dan
Tiongkok, yang berkecamuk sekarang ini, untuk menyebut satu contoh saja.
Apakah benar, bahwa demokrasi-liberal adalah jalan kebebasan dan kemakmuran
bagi mayoritas rakyat dunia yang masih hidup dalam keadaan miskin, dihisap
dan digencet oleh negara-negara kaya, teristimewa oleh negara adi kuasa
Amerika Serikat? Apakah benar sudah tidak ada pasaran lagi bagi ide-ide
sosialisme?