Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev

download Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev

of 15

Transcript of Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev

  • 7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev

    1/15

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. KASUS POSISI

    Pada musim gugur tahun 1941, Heydrich memberi perintah kepada Eichmann

    bahwaorang Yahudi yang ada di Eropa yang berada di bawah kekuasaan Jerman,

    harus dihukum.Tahun 1942, Heydrich memerintahkan Eichmann untuk menghadiri

    pertemuan Wannsee sebagai sekretaris, dimana anti semitik Jerman dimasukkan ke

    dalam aturan resmi genosida.Eichmann diberi posisi pengurus transportasi dari jalan

    akhir terhadap permasalahan Yahudi,yang membuat dia berwenang atas semua

    kereta yang membawa orang Yahudi ke kamp kematian di wilayah yang telah

    diokupasi dari Polandia.Tahun 1944, Eichmann dikirim ke Hongaria setelah Jerman

    mengokupasi negara-negara yang takut dengan invasi soviet. Pada suatu ketika,

    Eichmann bekerja untukmendeportasi orang Yahudi dan mengirim 430.000 orang

    Hongaria kepada kematian dengankamar gas.Tahun 1945, Heinrich Himmler

    memerintahkan untuk penghentian pembasmian rasYahudi dan menghilangkan buktidari tindakan terakhir terhadap pembasmian masal rastersebut, namun perintah

    tersebut tidak dilaksanakan oleh Eichmann.1

    Tahun 1959, Mossad mengumumkan bahwa Eichmann berada di Buenos Aires

    yangdiketahui bernama Ricardo Clement dan memulai pencaharian dimana lokasi

    Eichmann yang sebenarnya. Akhirnya disimpulkan bahwa Ricardo Clement tersebut

    adalah Adolf Eichmann.Pemerintah Israel menyetujui misi penangkapan Eichmann

    untuk dibawa ke pengadilanJerussalem untuk diadili terkait dengan kejahatan perang.

    Agen dari Mossad tetap melanjutkanpengintaiannya kepada Eichmann sampai

    keadaan benar-benar memungkinkan untukmenangkapnya.Eichmann ditemukan oleh

    tim Mossad dan Shabak sebuah agen yang berada dipinggiran kota Boeinos Aires

    pada tanggal 11 Mei 1960 yang menjadi bagian dari operasitersebut. Agen-agen

    Mossad datang pada bulan April 1960 setelah identitas dari Eichmann diberitahukan. 2

    1

    Idem.2Idem.

    1

  • 7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev

    2/15

    Pada tanggal 21 Mei 1960, Eichmann dibawa keluar dari Argentina dengan

    penerbangan komersil menuju Israel.Pemerintah Israel hanya mengakui bahwa

    penculikan Eichmann tersbut dilakukan olehorang-orang Yahudi yang menjadi

    relawan dan membawanya ke pemerintah Israel. Negosiasiakhirnya dilakukan antara

    Israel yang diwakili oleh perdana menteri David Ben-Gurion denganPresiden

    Argentina Arturo Frondizi.Pada bulan Juni 1960, setelah kegagalan terhadap

    perundingan rahasia dengan Israel, Argentina meminta rapat tertutup dengan Dewan

    Keamanan PBB, untuk mengajukan apa yangmenjadi keberatan yang diakui oleh

    Argentina sebagai pelanggaran terhadap hak-hak berdaulatdari Republik Argentina.

    Dalam debat tersebut, Israel diwakili oleh Golda Meir yang berargumentasi bahwa

    kejadian tersebut hanyalah merupakan pelanggaran hukum Argentina secara diam-

    diam ketika yang melakukan penculikan tersebut bukanlah agen Israel melainkan

    hanyalah warga sipil biasa.3

    Akhirnya Dewan mengeluarkan suatu resolusi yang meminta Israeluntuk

    membuat ganti rugi yang tepat, ketika menyatakan bahwa Eichmann seharusnya

    dibawake pengadilan yang berwenang terhadap kejahatan yang dipersalahkankepadanya dan resolusiini seharusnya tidak bisa ditafsirkan sebagai pengampunan

    terhadap kejahatan yang berdasarkan kebencian dimana Eichmann

    dipersalahkan.Setelah perundingan yang panjang, pada tanggal 3 Agustus, Israel dan

    Argentinamenyetujui untuk mengakhiri masalah mereka dengan membuat pernyataan

    bersama bahwaPemerintahan Israel dan Republik Argentina, dengan itikad baik akan

    melaksanakan ResolusiDewan Keamanan tanggal 23 Juni 1960, yang menandakan

    bahwa hubungan diplomatic secara tradisional diantara dua negara akan dilanjutkan

    dan telah memutuskan untuk menutupkejadian yang ditimbulkan dari perbuatan Israel

    yang pada dasarnya melanggar dasar-dasar dari hak berdaulat Argentina.4

    Adolf Eickman yang bertanggungjawab terhadap pembunuhan orang yahudi di

    Jerman dan di negara-negara yang diduduki Jerman telah melarikan diri ke Argentina

    sejak perang dunia kedua berakhir. Pemerintah Israel melalui permohonan diplomatik

    meminta kepada pemerintah Argentina agar Eickmann dapat diesktradisikan.

    3

    Idem.4Idem.

    2

  • 7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev

    3/15

    Pemerintah Argentina menolak permohonan ini dengan alasan tidak ada perjanjian

    antara Argentina dengan Israel. Karena permohonan resmi ditolak, pemerintah Israel

    menculik Eickmann dari Argentina dan diajukan ke pengadilan Israel dengan tuduhan

    sebagai penjahat perang.5

    Dalam sidang pengadilan Jerussalem, Eickman dituduh melanggar ketentuan

    Pasal 1 Undang-undang Israel tentang Nazi Coloborators (Punishment-Law) Tahun

    1951. Eickman dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati. Atas keputusan

    Pengadilan Distrik ini, Eickmann naik banding ke Mahkamah Agung Israel. Namun,

    ternyata Mahkamah Agung Israel menguatkan keputusan Pengadilan Distrik.6

    B. MASALAH HUKUM

    1. Bagaimanakah keterkaitan kasus Eichmann dengan Prinsip yurisdiksi

    perlindungan dan universal ?

    2. Bagaimanakah penerapan dari metode penemuan hukum dalam kasus

    Eichmann?

    5 Yudha Bakti A, Hukum Internasional Bunga Rampai. Penerbit Alumni, Bandung, 2003, hlm125.6

    Yudha Bakti A, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 2000 hlm33.

    3

  • 7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev

    4/15

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. PRINSIP JURISDIKSI PERLINDUNGAN DAN UNIVERSAL

    Jurisdiksi menurut prinsip perlindungan

    Hukum Internasional mengakui bahwa setiap negara mempunyai kewenangan

    melaksanakan juridiksi terhadap kejahatan yang menyangkut keamanan dan

    intergritas atau kepentingan ekonomi yang vital . Wewenang ini didasarkan atas

    prinsip perllindungan (protective principle).

    Dalam perkara Joyce v DPP, Majelis tinggi (House of Lord) seakan-akan

    beranggapan bahwa Comon Law Inggris mengenal semacam prinsip perlindungan

    yaitu bahwa seorang asing yang mengkhianati mahkota dapat dihukum oleh

    pengadilan Inggris atas kejahatan pengkhianatannya yang dilakukan diluar negeri.

    Pertimbangan yang melandasi keputusan majelis tinggi ini adalah bahwa kejahatan

    semacam itu secara langsung membahayakan keamanan dan integritas kerajaan ,

    dan penalaran dapat juga digunakan untuk tindak pidana yang melanggar undang-

    undang lainnya dalam lingkup yang serupa (misalnya pelanggaran terhadap Officials

    Secret Acts).

    Alasan-alasan juridiksi berdasarkan prinsip perlindungan ini adalah 7:

    Akibat tindak pidana itu lebih besar bagi negara terhadap mana tindak pidana

    itu tertuju;

    Apabila juridiksi tidak dilaksanakan terhadap tindak pidana demikian, maka

    pelaku tindak pidana tersebut dapat lolos dari penghukuman karena di negara

    dimana tindak pidana itu dilakukan (Lex loci delicti) perbuatan itu tidak

    melanggar hukum lokal atau karena extradisi akan ditolak dengan alasan

    tindak pidana itu bersifat politis.

    Keberatan serius terhadap prinsip perlindungan tersebut adalah bahwa setiap

    negara dianggap memiliki wewenang untuk memutuskan tindakan mana yang

    7 J.G Starke ,Pengantar Hukum Iternasional : 1988 ,Hlm.304

    4

  • 7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev

    5/15

    membahayakan keamanannya dan keuangan negarannya . Dengan demikian, dalam

    banyak kasus , penerapan prinsip perlindungan tersebut cenderung merupakan hal

    yang sewenang wenang.

    Berdasarkan prinsip jurisdiksi perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan

    jurisdiksinya terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan diluar negeri

    yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan , integritas dan kemerdekaan

    negara.8Kejahatan yang dapat mengancam kepentingan negara, misalnya saja ,

    berkomplot untuk menggulingkan pemerintah, pemalsuan uang, spionase.9

    Penerapan prinsip perlindungan ini dibenarkan sebagai dasar untuk penerapanjurisdiksi suatu negara . Latar belakang pembenaran ini karena perundang-undangan

    nasional pada umumnya tidak mengatur atau tidak menghukum perbuatan yang

    dilakukan di dalam suatu negara yang dapat mengancam atau menganggu keamanan

    , integritas dan kemerdekaan negara lain.

    Contoh penerapan secara umum prinsip perlindungan ini tampak pada doktrin

    jalur tambahan dalam hukum laut internasional. Negara pantai menetapkan jalur ini

    dengan tujuan untuk melindungi kepentingan negaranya terhadap pelanggaran yang

    dilakukan orang asing diluar wilayah kedaulatannya.

    Praktek Inggris : Pengkhianatan Joice terhadap Inggris, setelah berganti

    kewarganegaraan Jerman. The House of Lords berpendapat bahwa pengadilan

    Inggris mempunyai jurisdiksi untuk mengadili setiap orang asing yang meninggalkan

    Inggris dengan memiliki paspor Inggris dan ia melakukan pengkhianatan melalui

    siaran-siaran propaganda untuk kepentingan musuh di waktu perang.

    Praktek Amerika Serikat : US mengundangkan peraturan yang bertujuanmemberikan jurisdiksi kepada pengadilannya untuk mengadili segala hal yang

    mempunyai akibat terhadap US. Hal ini disebut pula dengan doktrin efek.

    Jurisdiksi menurut prinsip universal

    8 C.T. Oliver. The Jurisdiction (Competence) of State, 1991. Hlm. 316 , dikutip dari HualaAdolf Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional; Jakarta,2002,hlm 213.

    9 Oscar Schachter,International Law in Theory and Practice,1991.hlm.254, dikutip dari

    Huala Adolf Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional; Jakarta,2002,hlm 213.

    5

  • 7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev

    6/15

    Menurut prinsip ini, setiap negara mempunyai juridiksi terhadap tindak

    kejahatan yang mengancam masyarakat internasional. Jurisdiksi ini lahir tanpa

    melihat dimana kejahatan dilakukan atau warga negara yang melakukan kejahatan.

    Maryan Green berpendapat bahwa terhadap kejahatan-kejahatan seperti ini,

    selain memiliki jurisdiksi, negara-negara pun memiliki hak, bahkan kewajiban untuk

    menghukumnya. Lahir jurisdiksi universal terhadap jenis kejahatan yang merusak

    (destruktif) terhadap masyarakat internasional sebenarnya juga disebabkan karena

    tidak adanya badan peradilan internasional yang khusus mengadili kejahatan yang

    dilakukan oleh orang-perorangan (individu).

    ICC (International Criminal Court) . ICC memiliki jurisdiksi terhadap individu

    sehubungan dengan tindak kejahatan yang sangat serius bagi masyarakat

    internasional. Kejahatan tersebut adalah Genocide. (pemusnahan suatu bangsa

    secara sistematis), kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, kejahatan

    agresi.

    Kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan yang tunduk

    kepada prinsip jurisdiksi universal adalah pembajakan laut (pasal 100 konvensi

    hukum laut 1982) dan kejahatan perang . Dalam kejahatan perang komisi kejahatan

    perang PBB menyatakan bahwa hak untuk menghukum kejahatan tidak terbatas

    kepada negara yang warga negaranya menderita atau kepada negara yang

    wilayahnya dipakai sebagai tempat dilaksanakannya kejahatan . Namun hak tersebut

    dimiliki oleh setiap negara yang merdeka.

    Suatu tindak pidana yang tunduk pada juridiksi universal adalah tindak pidana

    yang berada di bawah juridiksi semua negara dimanapun tindak pidana itu dilakukan.

    Karena umumnya diterima tindakan yang bertentangan dengan kepentingan

    masyarakat internasional , maka tindakan itu dipandang sebagai delik jure gentium

    dan semua negara berhak untuk menagkap dan menghukum pelaku-pelkakunya.

    Jelas tujuan pemberian juridiksi universal tersebut adalah untuk menjamin bahwa

    tidak adda tindak pidana semacam itu yang tidak dihukum.

    Barangkali saat ini hanya ada dua kasus yang masuk dalam juridiksi universal,

    yakni kejahatan perompakan jure gentium dan kejahatan perang. Kasus-kasus lain

    6

  • 7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev

    7/15

    tidak perlu harus melibatkan pelaksanaan juridiksi universal oleh semua negara,

    Setiap negara berhak untuk menangkap perompak (pirate) di laut lepas dan

    menghukum mereka tanpa memandang kebangsaan serta tempat dilakukannya

    kejahatan tersebut. Prinsip universalitas penghukuman terhadap kejahatan-kejahatan

    perang dikukuhkan dengan konvensi-konvensi jenewa 1949 berkenaan dengan

    tawanan-tawanan perang , perlindungan penduduk sipil dan personel yang menderita

    sakit dan luka-luka , sebagaimana telah dilengkapi dengan protocol I dan II yang

    disahkan pada tahun 1977 oleh konferensi diplomatic di Jenewa tentang penetapan

    dan pengembangan hukum humaniter internasional yang berlaku dalam konflik-konflik

    bersenjata (Diplomatic Conference at Geneva on the Reaffirmation and Armed

    Conflicts) .

    B. METODE PENEMUAN HUKUM

    Penemuan hukum (Rechtsvinding) merupakan proses pembentukan hukum

    oleh subyek atau pelaku penemuan hukum dalam upaya menerapkan peraturan

    hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode

    tertentu yang dapat dibenarkan dalam ilmu hukum, seperti interpretasi, penalaran(redenering), eksposisi (konstruksi hukum) dan lain-lain. Kaidah-kaidah atau metode-

    metode tersebut digunakan agar penerapan aturan hukumnya terhadap peristiwanya

    tersebut dapat dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum, sehingga hasil

    yang diperoleh dari proses tersebut juga dapat diterima dan dipertanggungjawabkan

    dalam ilmu hukum.

    Dalam praktek tidak jarang dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam

    hukum atau perundang-undangan atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap

    dan tidak jelas. Tidak ada hukum atau perundang-undangan yang lengkap selengkap-

    lengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena itu peraturan hukum yang tidak

    jelas harus dijelaskan, yang tidak lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan

    hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap agar aturan hukumnya

    dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Pada hakekatnya semua perkara

    membutuhkan metode penemuan hukum agar agar aturan hukumnya dapat

    diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya, sehingga dapat diwujudkan putusan

    7

  • 7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev

    8/15

    hukum yang diidam-idamkan, yaitu yang mengandung aspek keadilan, kepastian

    hukum dan kemanfaatan.

    BAB III

    ANALISIS

    8

  • 7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev

    9/15

    A. ANALISIS KASUS EICHMANN TERKAIT YURISDIKSI PERLINDUNGAN DAN

    UNIVERSAL

    Mahkamah Agung Israel yang bertindak sebagai Pengadilan Banding , untuk

    memperkuat penghukuman oleh pengadilan Israel terhadap Eichmann , seorang

    penjahat perang dan kejahatan-kejahatan kemanusiaan menurut undang-undang

    Israel tahun 1951, sebagian berpegang kepada prinsip juridiksi universal, dengan

    mana Mahkamah Agung Israel menolak keberatan bahwa tindakan Eichmann yang

    terjadi di Eropa selama perang dunia kedua itu terjadi sebelum negara Israel benar-

    benar berdiri, dan dilakukan terhadap orang-orang yang bukan warga negara

    tersebut.

    Kejahatan-kejahatan atau delik Jure Gentium , selain daripada perompakan

    dan kejahatan perang, menimbulkan pertimbangan-pertimbangan yang agak

    berbeda . Oleh karena itu, tindak pidana perdagangan obat bius, perdagangan wanita

    dan anak-anak serta pemalsuan mata uang telah dimasukan dalam lingkup konvensi-

    konvensi international , tetapi ditangani atas dasaraut punier, aut dedere, yaitu para

    pelakunya dihukum oleh negara dimana dalam wilayahnya mereka ditangkap ataudiekstradiksikan kepada negara yang memiliki kewenangan dan berkewajiban

    melaksanakan juridiksi terhadap mereka. Demikian pula halnya dengan kejahatan-

    kejahatan internasional Genocide berdasarkan Genocide Convention 1948 (lihat

    pasal VI , yang menentukan penghukuman oleh pengadilan pengadilan negara

    dimana dalam wilayahnya kejahatan itu dilakukan , atau oleh sebuah pengadilan-

    pengadilan internasional , dan oleh karenanya bukan oleh pengadilan-pengadilan

    semua negara). Konvensi-konvensi tersebut mengatur kerjasama internasional dalammemberantas dan menghukum beberapa kejahatan tertentu yang dilakukan di dalam

    pesawat udara, hal-hal ini mungkin dapat dikatakan merupakan awal tahap pertama

    dalam proses dimana tindak pidana semacam itu pada akhirnya akan tunduk pada

    juridiksi universal, tetapi titik akhir dalam proses tersebut masih jauh untuk dicapai.

    Kasus Eichman ini berdasarkan dengan ketentuan yang mengaturnya

    merupakan yurisdiksi universal karena merupakan kejahatan perang serta genoside

    dimana Eichman membunuh warga jahudi yang tinggal di German saat itu.

    9

  • 7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev

    10/15

    B. ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG KASUS EICHMAN TERKAITMETODE PENEMUAN HUKUM YANG DIGUNAKAN

    Terhadap bantahan Eickmann, bahwa dia melakukan bukan perbuatan itu

    kepada rakyat Israel, tetapi kepada orang-orang yahudi ditolak oleh pengadilan

    dengan alasan, bahwa bangsa yahudi mempunyai hubungan erat dengan Israel

    sehingga terhadap tindakan yang diajukan untuk memusnahkan bangsa yahudi itu

    merupakan tindakan yang menyangkut Israel.

    Penolakan Eickmann bahwa dia tidak pernah melanggar ketentuan Pasal 1 (a)

    Undang-undang Colaborators (punishment-law) tidak dapat diterima oleh pengadilan

    dengan alasan, bahwa ketentuan pasal 1 (a) tersebut yang menyatakan unsur-unsur

    kejahatan dapat dikenakan hukum mati kejahatan sebagai berikut:10

    - Melakukan, selama periode rezim nazi, di dalam negara musuh, suatu

    tindakan kejahatan terhadap bangsa yahudi,

    - Melakukan selama periode rezim nazi, di dalam negara musuh, suatu

    tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan,

    - Melakukan selama periode nazi di dalam negara musuh, suatu tindakan

    kejahatan perang.

    Pengadilan berpendapat bahwa ketentuan pasal 1 (a) Undang-undang

    Colaborators harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 dari The Convention for

    The Prevention and Punishmnet of Genocide yang menyatakan bahwa thecontracting parties confirm that genocide, whether commited in time of peace or in

    time of war, is a crime under international law which they undertake and punish.

    Pengadilan juga menunjuk adanya definisi kejatan perang yang tercantum di

    dalam Pasal 6 (b) Piagam Nuremberg yang dinyatakan, bahwa: war crimes, namely,

    violations of the laws or customs of war. Such violations shall include, but not be

    limited to murder, ill-treatment of deportation of or in occupied territory

    10 Yudha Bakti A, Hukum Internasional Bunga Rampai, Op. Cit. hlm 126-127.

    10

  • 7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev

    11/15

    Terhadap perkara Adolf Eickmann ini Mahkhamah Agung Israel telah

    menguatkan keputusan Pengadilan Distrik Jerusalem dengan menyatakan bahwa:11

    1. Hak Israel untuk mengadili Eickmann didasarkan kepada pandangan pokok

    hukum internasional, yaitu:

    - Kejahatan yang dilakukan oleh Ecikmann jelas melanggar hak-hak asasi

    manusia yang mempunyai sifat universal yang menyangkut hak-hak

    masyarakat bangsa-bangsa,

    - Perbuatan Eickmann memenuhi ketentuan Pasal 1 Konvensi Genocide

    tentang perlindungan dan penghukuman bagi pemusnahan suatu bangsa

    dengan demikian memenuhi unsur-unsur Pasal 1 (a) Undang-undang

    Colaborators, perbuatan Eickmann ini termasuk kategori kejahatan perang

    seperti terdapat di dalam Pasal 6 Piagam Nuremberg sehingga dapat dituntut

    sebagai pejahat perang. Berdasarkan ketentuan pasal ini pula israel diberikan

    hak untuk mengadili Eickmann.

    - Perbuatan Eickmann termasuk kategori kejahatan perang seperti terdapat di

    dalam pasal 6 Piagam Nurenberg sehingga dapat dituntut sebagai pejahat

    perang. Berdasarkan ketentuan pasal ini pula diberikan hak untuk mengadili

    Eickmann.

    Mahkamah Agung Israel kemudian memutuskan bahwa Eickmann bersalah

    dan hukuman mati yang diputuskan oleh Pengadilan Distrik dapat dilaksanakan

    terhadapnya, dari berbagai argumentasi selama proses peradilan berlangsung, dapat

    ditarik beberapa hal penting yang berhubungan denagan penafsiran atas suatu

    undang-undang nasional dan konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan

    dasar pertimbangan hukum bagi Pengadilan/Mahkamah, yaitu:

    1. Pengadilan telah menerapkan metode penafsiran sejarah, khususnya

    berdasarkan sejarah hukum yaitu pengadilan telah menyelidiki untuk

    menemukan kehendak pembuat undang-undang (disini undang-undang

    11 Yudha Bakti A, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Op.Cit. hlm 34-35.

    11

  • 7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev

    12/15

    tentang colaborators). Bahkan, lebih lanjut pengadilan mengaitkan asal-usul

    Undang-undang Colaborators itu dengan suatu sistem hukum internasional

    yang pernah berlaku, yaitu menghubungkan dengan ketentuan-ketentuan

    hukum dalam Konvensi Genocide.

    2. Principle of Subsequent Practice12 dan Principle of Effectiveness13 juga telah

    diterapkan oleh Pengadilan Israel dengan menunjuk pengertian kejahatan

    perang seperti yang telah dipraktikan dalam keputusan pengadilan penjahat

    perang di Nuremberg dan Tokyo.

    3. Dikaitkannya Undang-undang Colaborators dengan Konvensi Genocide

    memperlihatkan bahwa metode intention-school14 sebagai salah satu

    interpretasi yang dikenal dalam hukum internasional diterapkan juga oleh

    hakim Pengadilan Israel. Hal ini terlihat bahwa Undang-undang Colaborators

    tidak diartikan secara gramatikal saja, tetapi juga berpegang pada kehendak

    pembuat Undang-undang atau Konvensi yang bermaskud meluaskan daya

    jangkau berlakunya Undang-undang atau konvensi tersebut terhadap setiap

    orang yamg melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai tindakan

    yang mengancam dan membahayakan masyarakat bangsa-bangsa.

    Mahkamah Internasional dalam memutuskan suatu perkara mengenai

    penafsiran, pertama-tama menggunakan teks perjanjian dilihat dalam konteks isi

    keseluruhan dari perjanjian meliputi pembukaan dan lampiran-lampiran atau

    instrumen dan penerimaan perjanjian. Mahkamah menggunakan prepratory works

    12 Penggunaan prinsip tersebut penting mengingat interpretasi perjanjian multilateral yangbersifat umum atau memuat kaidah-kaidah umum atau adakalanya mengalami perubahandalam pelaksanaannya disamping terpengaruh oleh perkembangan pendapat dan praktekpeserta-peserta perjanjian itu sendiri. Dalam Yudha Bakti A,Penafsiran dan KonstruksiHukum, Penerbit Alumni, Bandung, 2000 hlm 32.13 Prinsip keefektifan ini terutama ditandaskan oleh makhamah bahwa merupakan suatusyarat apabila perjanjian harus ditafsirkan secara keseluruhan yang akan menjadiperjanjian itu paling efektif dan bermanfaat Dalam Yudha Bakti A, Penafsiran danKonstruksi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 2000 hlm 2414 Salah satu aliran dalam hukum internasional mengenai interpretasi, yaitu aliran iniberpendapat pada kehandak para pembuat perjanjian terlepas dari teks perjanjian. Aliranini menggunakan secara luas pekerjaan pendahuluan (travaux preparatorie) dan bukti-

    bukti lain yang menggambarkan kehendak para pihak. Dalam Mieke Komar, BeberapaMasalah Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. FH Unpad, Bandung 1981 hlm 42.

    12

  • 7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev

    13/15

    yang biasa pula dilakukan oleh para pihak yang bersengketa di depan Mahkamah.

    Principle of Subsequent Practice dipraktekan oleh Mahkamah berdasarkan praktek

    negara-negara dalam mencari suatu bukti apa yang sebenarnya menjadi obyek dan

    tujuan perjanjian. Mahkamah juga melaksanakan sedapat mungkin Principle of

    Effectiveness. DIsini penting untuk mengetahui cara-cara penafsiran yang lazim yang

    digunakan oleh Mahkamah, karena ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina 1969

    tentang hukum Perjanjian mengikuti dalam garis besarnya perkembangan terbaru

    dalam penafsiran perjanjian sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Mahkamah

    Internasional.

    Penafsiran merupakan satu aspek di dalam melaksanakan perjanjian,

    penafsiran itu harus dibedakan secara jelas dengan aspek-aspek lainnya dari

    perjanjian. Terdapat tiga macam pembedaan aspek penafsiran, yaitu:15

    1. Perbedaan antara ketentuan dalam hukum internsional yang mengatur

    penafsiran perjanjian (lex lata) dengan penilaian atas penafsiran perjanjian dari

    sudut pandangan pembaruan hukum (law reforms atau de lege ferenda)

    2. Pembedaan antara penafsiran sebagai proses untuk mendayagunakan sifat

    hukum suatu konsensus dengan penerapan sebagai proses untuk menetapkan

    akibat dari penafsiran yang dilakukan dalam kasus-kasus,

    3. Pembedaan antara penafsiran sebagai verifikasi dan revisi dalam arti

    perubahan hak dan kewajiban para pihak.

    Penafsiran meliputi aspek-aspek pengkajian dan penjelasan dari suatu

    konsensus untuk dimungkinkannya pendayagunaan dalam menyelesaikan kasus-

    kasus hubungan internasional, mempunyai dasar pengaturannya dalam hukum

    internasional.

    Dari suatu contoh praktek penafsiran yang digunakan dalam tulisan ini atas

    suatu ketentuan hukum nasional suatu negara yang mengacu pada Konvensi

    Internasional telah dilaksanakan oleh pengadilan Distrik Yerusalem dan Mahkamah

    15

    George, Schwarsenberger, Myths and Realistic of Treaty Interprtation, hlm 76-80 dalamYudha Bakti A, Hukum Internasional Bunga Rampai, Op. Cit. hlm 141-142

    13

  • 7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev

    14/15

    Agung Israel dalam menangani perakra Adolf Eickmann yang telah dinyatakan antara

    lain, bahwa:16

    Our juridiction to try this caase id based on the nazi and Nazi Collaborators(Punishment) Law, an enacted law teh provisions of which are unequivocal.The court hsa to give effect to a law of the Knesset and we cannot entertain thecontention that this law conflicts with principles og International law.

    Menurut pengadilan Israel, ketentuan-ketentuan dari Nazi dan Nazi

    Collaborators (Punishment) Law ditafsirkan sebagai tidak bertentangan dengan

    prinsip-prinsip hukum internsional. Bahkan, pengadilan pun memperhatikan sumber-

    sumber hukum internasional (we have, however, also considered the souces of

    internsional law and have failed to find any foundation for the contention that israel

    law is in conflict with principles of internastinal law).

    Mahkamah Israel juga mencari dasar hukum internsaional dari berbagai

    pendapat para ahli dan praktik pengadilan negara lain, sehingga dapat dibuktikan

    bahwa Nazi Collaborators Lawsesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional

    (the court quoter from a number of authors who take the view that crimes againts

    internasional law, generally or ar crimes in particular give rise to universal jurisdiction,.

    It then considered on objection to tist jursidiction based upon Article 6 of the genocide

    Convention 1948).

    Disini hakim sampai kepada penafsiran teologis, yaitu dengan memperluas

    sedemikian rupa apa yang menjadi tujuan Nazi Collaborators Law tersebut dan

    menghubungkannya dengan baik praktik-praktik pengadilan negara lain, pendapatpara ahli, maupun dengan Konvensi International yang mempunyai tujuan yang sama

    dengan undang-undang tersebut.17

    16 Yudha Bakti A, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 2000 hlm

    59.17 Yudha Bakti A, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Op. Cit. hlm 60.

    14

  • 7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev

    15/15

    BAB IV

    PENUTUP

    A. KESIMPULAN

    1. Kasus Eichman ini berdasarkan dengan ketentuan yang mengaturnya

    merupakan yurisdiksi universal karena merupakan kejahatan perang serta

    genosida.

    2. Metode penemuan hukum yang diterapkan adalah metode penafsiran

    hukum intention-school sebagai salah satu interpretasi yang dikenal

    dalam hukum internasional. Hal ini terlihat bahwa Undang-undang

    Colaborators tidak diartikan secara gramatikal saja, tetapi juga berpegang

    pada kehendak pembuat Undang-undang atau Konvensi yang bermaskud

    meluaskan daya jangkau berlakunya Undang-undang atau konvensi

    tersebut. Selain itu, diterapkan juga penafsiran teologis, yaitu dengan

    memperluas sedemikian rupa apa yang menjadi tujuan Nazi Collaborators

    Law tersebut dan menghubungkannya dengan baik praktik-praktik

    pengadilan negara lain, pendapat para ahli, maupun dengan Konvensi

    International yang mempunyai tujuan yang sama dengan undang-undang

    tersebut.

    B. SARAN

    1. Perlu dikaji pengembangan penerapan yurisdiksi universal untuk kasus-

    kasus selain kejahatan perang. Penerapan yurisdiksi universal menurut

    penulis dapat diterapkan untuk kasus-kasus lingkungan internasional.

    2. Perlu diterapkan metode penafsiran hukum filosofis terhadap suatu kasus

    kejahatan perang termasuk dalam kasus Eichmann. Hal ini penting agar

    dalam memutus perkara melihat filosofi prinsip-prinsip hukum umum,

    dalam hal ini hukum internasional.

    15