Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev
-
Upload
deafani-perdana-lubis -
Category
Documents
-
view
213 -
download
1
Transcript of Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev
-
7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev
1/15
BAB I
PENDAHULUAN
A. KASUS POSISI
Pada musim gugur tahun 1941, Heydrich memberi perintah kepada Eichmann
bahwaorang Yahudi yang ada di Eropa yang berada di bawah kekuasaan Jerman,
harus dihukum.Tahun 1942, Heydrich memerintahkan Eichmann untuk menghadiri
pertemuan Wannsee sebagai sekretaris, dimana anti semitik Jerman dimasukkan ke
dalam aturan resmi genosida.Eichmann diberi posisi pengurus transportasi dari jalan
akhir terhadap permasalahan Yahudi,yang membuat dia berwenang atas semua
kereta yang membawa orang Yahudi ke kamp kematian di wilayah yang telah
diokupasi dari Polandia.Tahun 1944, Eichmann dikirim ke Hongaria setelah Jerman
mengokupasi negara-negara yang takut dengan invasi soviet. Pada suatu ketika,
Eichmann bekerja untukmendeportasi orang Yahudi dan mengirim 430.000 orang
Hongaria kepada kematian dengankamar gas.Tahun 1945, Heinrich Himmler
memerintahkan untuk penghentian pembasmian rasYahudi dan menghilangkan buktidari tindakan terakhir terhadap pembasmian masal rastersebut, namun perintah
tersebut tidak dilaksanakan oleh Eichmann.1
Tahun 1959, Mossad mengumumkan bahwa Eichmann berada di Buenos Aires
yangdiketahui bernama Ricardo Clement dan memulai pencaharian dimana lokasi
Eichmann yang sebenarnya. Akhirnya disimpulkan bahwa Ricardo Clement tersebut
adalah Adolf Eichmann.Pemerintah Israel menyetujui misi penangkapan Eichmann
untuk dibawa ke pengadilanJerussalem untuk diadili terkait dengan kejahatan perang.
Agen dari Mossad tetap melanjutkanpengintaiannya kepada Eichmann sampai
keadaan benar-benar memungkinkan untukmenangkapnya.Eichmann ditemukan oleh
tim Mossad dan Shabak sebuah agen yang berada dipinggiran kota Boeinos Aires
pada tanggal 11 Mei 1960 yang menjadi bagian dari operasitersebut. Agen-agen
Mossad datang pada bulan April 1960 setelah identitas dari Eichmann diberitahukan. 2
1
Idem.2Idem.
1
-
7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev
2/15
Pada tanggal 21 Mei 1960, Eichmann dibawa keluar dari Argentina dengan
penerbangan komersil menuju Israel.Pemerintah Israel hanya mengakui bahwa
penculikan Eichmann tersbut dilakukan olehorang-orang Yahudi yang menjadi
relawan dan membawanya ke pemerintah Israel. Negosiasiakhirnya dilakukan antara
Israel yang diwakili oleh perdana menteri David Ben-Gurion denganPresiden
Argentina Arturo Frondizi.Pada bulan Juni 1960, setelah kegagalan terhadap
perundingan rahasia dengan Israel, Argentina meminta rapat tertutup dengan Dewan
Keamanan PBB, untuk mengajukan apa yangmenjadi keberatan yang diakui oleh
Argentina sebagai pelanggaran terhadap hak-hak berdaulatdari Republik Argentina.
Dalam debat tersebut, Israel diwakili oleh Golda Meir yang berargumentasi bahwa
kejadian tersebut hanyalah merupakan pelanggaran hukum Argentina secara diam-
diam ketika yang melakukan penculikan tersebut bukanlah agen Israel melainkan
hanyalah warga sipil biasa.3
Akhirnya Dewan mengeluarkan suatu resolusi yang meminta Israeluntuk
membuat ganti rugi yang tepat, ketika menyatakan bahwa Eichmann seharusnya
dibawake pengadilan yang berwenang terhadap kejahatan yang dipersalahkankepadanya dan resolusiini seharusnya tidak bisa ditafsirkan sebagai pengampunan
terhadap kejahatan yang berdasarkan kebencian dimana Eichmann
dipersalahkan.Setelah perundingan yang panjang, pada tanggal 3 Agustus, Israel dan
Argentinamenyetujui untuk mengakhiri masalah mereka dengan membuat pernyataan
bersama bahwaPemerintahan Israel dan Republik Argentina, dengan itikad baik akan
melaksanakan ResolusiDewan Keamanan tanggal 23 Juni 1960, yang menandakan
bahwa hubungan diplomatic secara tradisional diantara dua negara akan dilanjutkan
dan telah memutuskan untuk menutupkejadian yang ditimbulkan dari perbuatan Israel
yang pada dasarnya melanggar dasar-dasar dari hak berdaulat Argentina.4
Adolf Eickman yang bertanggungjawab terhadap pembunuhan orang yahudi di
Jerman dan di negara-negara yang diduduki Jerman telah melarikan diri ke Argentina
sejak perang dunia kedua berakhir. Pemerintah Israel melalui permohonan diplomatik
meminta kepada pemerintah Argentina agar Eickmann dapat diesktradisikan.
3
Idem.4Idem.
2
-
7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev
3/15
Pemerintah Argentina menolak permohonan ini dengan alasan tidak ada perjanjian
antara Argentina dengan Israel. Karena permohonan resmi ditolak, pemerintah Israel
menculik Eickmann dari Argentina dan diajukan ke pengadilan Israel dengan tuduhan
sebagai penjahat perang.5
Dalam sidang pengadilan Jerussalem, Eickman dituduh melanggar ketentuan
Pasal 1 Undang-undang Israel tentang Nazi Coloborators (Punishment-Law) Tahun
1951. Eickman dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati. Atas keputusan
Pengadilan Distrik ini, Eickmann naik banding ke Mahkamah Agung Israel. Namun,
ternyata Mahkamah Agung Israel menguatkan keputusan Pengadilan Distrik.6
B. MASALAH HUKUM
1. Bagaimanakah keterkaitan kasus Eichmann dengan Prinsip yurisdiksi
perlindungan dan universal ?
2. Bagaimanakah penerapan dari metode penemuan hukum dalam kasus
Eichmann?
5 Yudha Bakti A, Hukum Internasional Bunga Rampai. Penerbit Alumni, Bandung, 2003, hlm125.6
Yudha Bakti A, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 2000 hlm33.
3
-
7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev
4/15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PRINSIP JURISDIKSI PERLINDUNGAN DAN UNIVERSAL
Jurisdiksi menurut prinsip perlindungan
Hukum Internasional mengakui bahwa setiap negara mempunyai kewenangan
melaksanakan juridiksi terhadap kejahatan yang menyangkut keamanan dan
intergritas atau kepentingan ekonomi yang vital . Wewenang ini didasarkan atas
prinsip perllindungan (protective principle).
Dalam perkara Joyce v DPP, Majelis tinggi (House of Lord) seakan-akan
beranggapan bahwa Comon Law Inggris mengenal semacam prinsip perlindungan
yaitu bahwa seorang asing yang mengkhianati mahkota dapat dihukum oleh
pengadilan Inggris atas kejahatan pengkhianatannya yang dilakukan diluar negeri.
Pertimbangan yang melandasi keputusan majelis tinggi ini adalah bahwa kejahatan
semacam itu secara langsung membahayakan keamanan dan integritas kerajaan ,
dan penalaran dapat juga digunakan untuk tindak pidana yang melanggar undang-
undang lainnya dalam lingkup yang serupa (misalnya pelanggaran terhadap Officials
Secret Acts).
Alasan-alasan juridiksi berdasarkan prinsip perlindungan ini adalah 7:
Akibat tindak pidana itu lebih besar bagi negara terhadap mana tindak pidana
itu tertuju;
Apabila juridiksi tidak dilaksanakan terhadap tindak pidana demikian, maka
pelaku tindak pidana tersebut dapat lolos dari penghukuman karena di negara
dimana tindak pidana itu dilakukan (Lex loci delicti) perbuatan itu tidak
melanggar hukum lokal atau karena extradisi akan ditolak dengan alasan
tindak pidana itu bersifat politis.
Keberatan serius terhadap prinsip perlindungan tersebut adalah bahwa setiap
negara dianggap memiliki wewenang untuk memutuskan tindakan mana yang
7 J.G Starke ,Pengantar Hukum Iternasional : 1988 ,Hlm.304
4
-
7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev
5/15
membahayakan keamanannya dan keuangan negarannya . Dengan demikian, dalam
banyak kasus , penerapan prinsip perlindungan tersebut cenderung merupakan hal
yang sewenang wenang.
Berdasarkan prinsip jurisdiksi perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan
jurisdiksinya terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan diluar negeri
yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan , integritas dan kemerdekaan
negara.8Kejahatan yang dapat mengancam kepentingan negara, misalnya saja ,
berkomplot untuk menggulingkan pemerintah, pemalsuan uang, spionase.9
Penerapan prinsip perlindungan ini dibenarkan sebagai dasar untuk penerapanjurisdiksi suatu negara . Latar belakang pembenaran ini karena perundang-undangan
nasional pada umumnya tidak mengatur atau tidak menghukum perbuatan yang
dilakukan di dalam suatu negara yang dapat mengancam atau menganggu keamanan
, integritas dan kemerdekaan negara lain.
Contoh penerapan secara umum prinsip perlindungan ini tampak pada doktrin
jalur tambahan dalam hukum laut internasional. Negara pantai menetapkan jalur ini
dengan tujuan untuk melindungi kepentingan negaranya terhadap pelanggaran yang
dilakukan orang asing diluar wilayah kedaulatannya.
Praktek Inggris : Pengkhianatan Joice terhadap Inggris, setelah berganti
kewarganegaraan Jerman. The House of Lords berpendapat bahwa pengadilan
Inggris mempunyai jurisdiksi untuk mengadili setiap orang asing yang meninggalkan
Inggris dengan memiliki paspor Inggris dan ia melakukan pengkhianatan melalui
siaran-siaran propaganda untuk kepentingan musuh di waktu perang.
Praktek Amerika Serikat : US mengundangkan peraturan yang bertujuanmemberikan jurisdiksi kepada pengadilannya untuk mengadili segala hal yang
mempunyai akibat terhadap US. Hal ini disebut pula dengan doktrin efek.
Jurisdiksi menurut prinsip universal
8 C.T. Oliver. The Jurisdiction (Competence) of State, 1991. Hlm. 316 , dikutip dari HualaAdolf Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional; Jakarta,2002,hlm 213.
9 Oscar Schachter,International Law in Theory and Practice,1991.hlm.254, dikutip dari
Huala Adolf Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional; Jakarta,2002,hlm 213.
5
-
7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev
6/15
Menurut prinsip ini, setiap negara mempunyai juridiksi terhadap tindak
kejahatan yang mengancam masyarakat internasional. Jurisdiksi ini lahir tanpa
melihat dimana kejahatan dilakukan atau warga negara yang melakukan kejahatan.
Maryan Green berpendapat bahwa terhadap kejahatan-kejahatan seperti ini,
selain memiliki jurisdiksi, negara-negara pun memiliki hak, bahkan kewajiban untuk
menghukumnya. Lahir jurisdiksi universal terhadap jenis kejahatan yang merusak
(destruktif) terhadap masyarakat internasional sebenarnya juga disebabkan karena
tidak adanya badan peradilan internasional yang khusus mengadili kejahatan yang
dilakukan oleh orang-perorangan (individu).
ICC (International Criminal Court) . ICC memiliki jurisdiksi terhadap individu
sehubungan dengan tindak kejahatan yang sangat serius bagi masyarakat
internasional. Kejahatan tersebut adalah Genocide. (pemusnahan suatu bangsa
secara sistematis), kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, kejahatan
agresi.
Kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan yang tunduk
kepada prinsip jurisdiksi universal adalah pembajakan laut (pasal 100 konvensi
hukum laut 1982) dan kejahatan perang . Dalam kejahatan perang komisi kejahatan
perang PBB menyatakan bahwa hak untuk menghukum kejahatan tidak terbatas
kepada negara yang warga negaranya menderita atau kepada negara yang
wilayahnya dipakai sebagai tempat dilaksanakannya kejahatan . Namun hak tersebut
dimiliki oleh setiap negara yang merdeka.
Suatu tindak pidana yang tunduk pada juridiksi universal adalah tindak pidana
yang berada di bawah juridiksi semua negara dimanapun tindak pidana itu dilakukan.
Karena umumnya diterima tindakan yang bertentangan dengan kepentingan
masyarakat internasional , maka tindakan itu dipandang sebagai delik jure gentium
dan semua negara berhak untuk menagkap dan menghukum pelaku-pelkakunya.
Jelas tujuan pemberian juridiksi universal tersebut adalah untuk menjamin bahwa
tidak adda tindak pidana semacam itu yang tidak dihukum.
Barangkali saat ini hanya ada dua kasus yang masuk dalam juridiksi universal,
yakni kejahatan perompakan jure gentium dan kejahatan perang. Kasus-kasus lain
6
-
7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev
7/15
tidak perlu harus melibatkan pelaksanaan juridiksi universal oleh semua negara,
Setiap negara berhak untuk menangkap perompak (pirate) di laut lepas dan
menghukum mereka tanpa memandang kebangsaan serta tempat dilakukannya
kejahatan tersebut. Prinsip universalitas penghukuman terhadap kejahatan-kejahatan
perang dikukuhkan dengan konvensi-konvensi jenewa 1949 berkenaan dengan
tawanan-tawanan perang , perlindungan penduduk sipil dan personel yang menderita
sakit dan luka-luka , sebagaimana telah dilengkapi dengan protocol I dan II yang
disahkan pada tahun 1977 oleh konferensi diplomatic di Jenewa tentang penetapan
dan pengembangan hukum humaniter internasional yang berlaku dalam konflik-konflik
bersenjata (Diplomatic Conference at Geneva on the Reaffirmation and Armed
Conflicts) .
B. METODE PENEMUAN HUKUM
Penemuan hukum (Rechtsvinding) merupakan proses pembentukan hukum
oleh subyek atau pelaku penemuan hukum dalam upaya menerapkan peraturan
hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode
tertentu yang dapat dibenarkan dalam ilmu hukum, seperti interpretasi, penalaran(redenering), eksposisi (konstruksi hukum) dan lain-lain. Kaidah-kaidah atau metode-
metode tersebut digunakan agar penerapan aturan hukumnya terhadap peristiwanya
tersebut dapat dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum, sehingga hasil
yang diperoleh dari proses tersebut juga dapat diterima dan dipertanggungjawabkan
dalam ilmu hukum.
Dalam praktek tidak jarang dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam
hukum atau perundang-undangan atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap
dan tidak jelas. Tidak ada hukum atau perundang-undangan yang lengkap selengkap-
lengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena itu peraturan hukum yang tidak
jelas harus dijelaskan, yang tidak lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan
hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap agar aturan hukumnya
dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Pada hakekatnya semua perkara
membutuhkan metode penemuan hukum agar agar aturan hukumnya dapat
diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya, sehingga dapat diwujudkan putusan
7
-
7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev
8/15
hukum yang diidam-idamkan, yaitu yang mengandung aspek keadilan, kepastian
hukum dan kemanfaatan.
BAB III
ANALISIS
8
-
7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev
9/15
A. ANALISIS KASUS EICHMANN TERKAIT YURISDIKSI PERLINDUNGAN DAN
UNIVERSAL
Mahkamah Agung Israel yang bertindak sebagai Pengadilan Banding , untuk
memperkuat penghukuman oleh pengadilan Israel terhadap Eichmann , seorang
penjahat perang dan kejahatan-kejahatan kemanusiaan menurut undang-undang
Israel tahun 1951, sebagian berpegang kepada prinsip juridiksi universal, dengan
mana Mahkamah Agung Israel menolak keberatan bahwa tindakan Eichmann yang
terjadi di Eropa selama perang dunia kedua itu terjadi sebelum negara Israel benar-
benar berdiri, dan dilakukan terhadap orang-orang yang bukan warga negara
tersebut.
Kejahatan-kejahatan atau delik Jure Gentium , selain daripada perompakan
dan kejahatan perang, menimbulkan pertimbangan-pertimbangan yang agak
berbeda . Oleh karena itu, tindak pidana perdagangan obat bius, perdagangan wanita
dan anak-anak serta pemalsuan mata uang telah dimasukan dalam lingkup konvensi-
konvensi international , tetapi ditangani atas dasaraut punier, aut dedere, yaitu para
pelakunya dihukum oleh negara dimana dalam wilayahnya mereka ditangkap ataudiekstradiksikan kepada negara yang memiliki kewenangan dan berkewajiban
melaksanakan juridiksi terhadap mereka. Demikian pula halnya dengan kejahatan-
kejahatan internasional Genocide berdasarkan Genocide Convention 1948 (lihat
pasal VI , yang menentukan penghukuman oleh pengadilan pengadilan negara
dimana dalam wilayahnya kejahatan itu dilakukan , atau oleh sebuah pengadilan-
pengadilan internasional , dan oleh karenanya bukan oleh pengadilan-pengadilan
semua negara). Konvensi-konvensi tersebut mengatur kerjasama internasional dalammemberantas dan menghukum beberapa kejahatan tertentu yang dilakukan di dalam
pesawat udara, hal-hal ini mungkin dapat dikatakan merupakan awal tahap pertama
dalam proses dimana tindak pidana semacam itu pada akhirnya akan tunduk pada
juridiksi universal, tetapi titik akhir dalam proses tersebut masih jauh untuk dicapai.
Kasus Eichman ini berdasarkan dengan ketentuan yang mengaturnya
merupakan yurisdiksi universal karena merupakan kejahatan perang serta genoside
dimana Eichman membunuh warga jahudi yang tinggal di German saat itu.
9
-
7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev
10/15
B. ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG KASUS EICHMAN TERKAITMETODE PENEMUAN HUKUM YANG DIGUNAKAN
Terhadap bantahan Eickmann, bahwa dia melakukan bukan perbuatan itu
kepada rakyat Israel, tetapi kepada orang-orang yahudi ditolak oleh pengadilan
dengan alasan, bahwa bangsa yahudi mempunyai hubungan erat dengan Israel
sehingga terhadap tindakan yang diajukan untuk memusnahkan bangsa yahudi itu
merupakan tindakan yang menyangkut Israel.
Penolakan Eickmann bahwa dia tidak pernah melanggar ketentuan Pasal 1 (a)
Undang-undang Colaborators (punishment-law) tidak dapat diterima oleh pengadilan
dengan alasan, bahwa ketentuan pasal 1 (a) tersebut yang menyatakan unsur-unsur
kejahatan dapat dikenakan hukum mati kejahatan sebagai berikut:10
- Melakukan, selama periode rezim nazi, di dalam negara musuh, suatu
tindakan kejahatan terhadap bangsa yahudi,
- Melakukan selama periode rezim nazi, di dalam negara musuh, suatu
tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan,
- Melakukan selama periode nazi di dalam negara musuh, suatu tindakan
kejahatan perang.
Pengadilan berpendapat bahwa ketentuan pasal 1 (a) Undang-undang
Colaborators harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 dari The Convention for
The Prevention and Punishmnet of Genocide yang menyatakan bahwa thecontracting parties confirm that genocide, whether commited in time of peace or in
time of war, is a crime under international law which they undertake and punish.
Pengadilan juga menunjuk adanya definisi kejatan perang yang tercantum di
dalam Pasal 6 (b) Piagam Nuremberg yang dinyatakan, bahwa: war crimes, namely,
violations of the laws or customs of war. Such violations shall include, but not be
limited to murder, ill-treatment of deportation of or in occupied territory
10 Yudha Bakti A, Hukum Internasional Bunga Rampai, Op. Cit. hlm 126-127.
10
-
7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev
11/15
Terhadap perkara Adolf Eickmann ini Mahkhamah Agung Israel telah
menguatkan keputusan Pengadilan Distrik Jerusalem dengan menyatakan bahwa:11
1. Hak Israel untuk mengadili Eickmann didasarkan kepada pandangan pokok
hukum internasional, yaitu:
- Kejahatan yang dilakukan oleh Ecikmann jelas melanggar hak-hak asasi
manusia yang mempunyai sifat universal yang menyangkut hak-hak
masyarakat bangsa-bangsa,
- Perbuatan Eickmann memenuhi ketentuan Pasal 1 Konvensi Genocide
tentang perlindungan dan penghukuman bagi pemusnahan suatu bangsa
dengan demikian memenuhi unsur-unsur Pasal 1 (a) Undang-undang
Colaborators, perbuatan Eickmann ini termasuk kategori kejahatan perang
seperti terdapat di dalam Pasal 6 Piagam Nuremberg sehingga dapat dituntut
sebagai pejahat perang. Berdasarkan ketentuan pasal ini pula israel diberikan
hak untuk mengadili Eickmann.
- Perbuatan Eickmann termasuk kategori kejahatan perang seperti terdapat di
dalam pasal 6 Piagam Nurenberg sehingga dapat dituntut sebagai pejahat
perang. Berdasarkan ketentuan pasal ini pula diberikan hak untuk mengadili
Eickmann.
Mahkamah Agung Israel kemudian memutuskan bahwa Eickmann bersalah
dan hukuman mati yang diputuskan oleh Pengadilan Distrik dapat dilaksanakan
terhadapnya, dari berbagai argumentasi selama proses peradilan berlangsung, dapat
ditarik beberapa hal penting yang berhubungan denagan penafsiran atas suatu
undang-undang nasional dan konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan
dasar pertimbangan hukum bagi Pengadilan/Mahkamah, yaitu:
1. Pengadilan telah menerapkan metode penafsiran sejarah, khususnya
berdasarkan sejarah hukum yaitu pengadilan telah menyelidiki untuk
menemukan kehendak pembuat undang-undang (disini undang-undang
11 Yudha Bakti A, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Op.Cit. hlm 34-35.
11
-
7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev
12/15
tentang colaborators). Bahkan, lebih lanjut pengadilan mengaitkan asal-usul
Undang-undang Colaborators itu dengan suatu sistem hukum internasional
yang pernah berlaku, yaitu menghubungkan dengan ketentuan-ketentuan
hukum dalam Konvensi Genocide.
2. Principle of Subsequent Practice12 dan Principle of Effectiveness13 juga telah
diterapkan oleh Pengadilan Israel dengan menunjuk pengertian kejahatan
perang seperti yang telah dipraktikan dalam keputusan pengadilan penjahat
perang di Nuremberg dan Tokyo.
3. Dikaitkannya Undang-undang Colaborators dengan Konvensi Genocide
memperlihatkan bahwa metode intention-school14 sebagai salah satu
interpretasi yang dikenal dalam hukum internasional diterapkan juga oleh
hakim Pengadilan Israel. Hal ini terlihat bahwa Undang-undang Colaborators
tidak diartikan secara gramatikal saja, tetapi juga berpegang pada kehendak
pembuat Undang-undang atau Konvensi yang bermaskud meluaskan daya
jangkau berlakunya Undang-undang atau konvensi tersebut terhadap setiap
orang yamg melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai tindakan
yang mengancam dan membahayakan masyarakat bangsa-bangsa.
Mahkamah Internasional dalam memutuskan suatu perkara mengenai
penafsiran, pertama-tama menggunakan teks perjanjian dilihat dalam konteks isi
keseluruhan dari perjanjian meliputi pembukaan dan lampiran-lampiran atau
instrumen dan penerimaan perjanjian. Mahkamah menggunakan prepratory works
12 Penggunaan prinsip tersebut penting mengingat interpretasi perjanjian multilateral yangbersifat umum atau memuat kaidah-kaidah umum atau adakalanya mengalami perubahandalam pelaksanaannya disamping terpengaruh oleh perkembangan pendapat dan praktekpeserta-peserta perjanjian itu sendiri. Dalam Yudha Bakti A,Penafsiran dan KonstruksiHukum, Penerbit Alumni, Bandung, 2000 hlm 32.13 Prinsip keefektifan ini terutama ditandaskan oleh makhamah bahwa merupakan suatusyarat apabila perjanjian harus ditafsirkan secara keseluruhan yang akan menjadiperjanjian itu paling efektif dan bermanfaat Dalam Yudha Bakti A, Penafsiran danKonstruksi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 2000 hlm 2414 Salah satu aliran dalam hukum internasional mengenai interpretasi, yaitu aliran iniberpendapat pada kehandak para pembuat perjanjian terlepas dari teks perjanjian. Aliranini menggunakan secara luas pekerjaan pendahuluan (travaux preparatorie) dan bukti-
bukti lain yang menggambarkan kehendak para pihak. Dalam Mieke Komar, BeberapaMasalah Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. FH Unpad, Bandung 1981 hlm 42.
12
-
7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev
13/15
yang biasa pula dilakukan oleh para pihak yang bersengketa di depan Mahkamah.
Principle of Subsequent Practice dipraktekan oleh Mahkamah berdasarkan praktek
negara-negara dalam mencari suatu bukti apa yang sebenarnya menjadi obyek dan
tujuan perjanjian. Mahkamah juga melaksanakan sedapat mungkin Principle of
Effectiveness. DIsini penting untuk mengetahui cara-cara penafsiran yang lazim yang
digunakan oleh Mahkamah, karena ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina 1969
tentang hukum Perjanjian mengikuti dalam garis besarnya perkembangan terbaru
dalam penafsiran perjanjian sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Mahkamah
Internasional.
Penafsiran merupakan satu aspek di dalam melaksanakan perjanjian,
penafsiran itu harus dibedakan secara jelas dengan aspek-aspek lainnya dari
perjanjian. Terdapat tiga macam pembedaan aspek penafsiran, yaitu:15
1. Perbedaan antara ketentuan dalam hukum internsional yang mengatur
penafsiran perjanjian (lex lata) dengan penilaian atas penafsiran perjanjian dari
sudut pandangan pembaruan hukum (law reforms atau de lege ferenda)
2. Pembedaan antara penafsiran sebagai proses untuk mendayagunakan sifat
hukum suatu konsensus dengan penerapan sebagai proses untuk menetapkan
akibat dari penafsiran yang dilakukan dalam kasus-kasus,
3. Pembedaan antara penafsiran sebagai verifikasi dan revisi dalam arti
perubahan hak dan kewajiban para pihak.
Penafsiran meliputi aspek-aspek pengkajian dan penjelasan dari suatu
konsensus untuk dimungkinkannya pendayagunaan dalam menyelesaikan kasus-
kasus hubungan internasional, mempunyai dasar pengaturannya dalam hukum
internasional.
Dari suatu contoh praktek penafsiran yang digunakan dalam tulisan ini atas
suatu ketentuan hukum nasional suatu negara yang mengacu pada Konvensi
Internasional telah dilaksanakan oleh pengadilan Distrik Yerusalem dan Mahkamah
15
George, Schwarsenberger, Myths and Realistic of Treaty Interprtation, hlm 76-80 dalamYudha Bakti A, Hukum Internasional Bunga Rampai, Op. Cit. hlm 141-142
13
-
7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev
14/15
Agung Israel dalam menangani perakra Adolf Eickmann yang telah dinyatakan antara
lain, bahwa:16
Our juridiction to try this caase id based on the nazi and Nazi Collaborators(Punishment) Law, an enacted law teh provisions of which are unequivocal.The court hsa to give effect to a law of the Knesset and we cannot entertain thecontention that this law conflicts with principles og International law.
Menurut pengadilan Israel, ketentuan-ketentuan dari Nazi dan Nazi
Collaborators (Punishment) Law ditafsirkan sebagai tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip hukum internsional. Bahkan, pengadilan pun memperhatikan sumber-
sumber hukum internasional (we have, however, also considered the souces of
internsional law and have failed to find any foundation for the contention that israel
law is in conflict with principles of internastinal law).
Mahkamah Israel juga mencari dasar hukum internsaional dari berbagai
pendapat para ahli dan praktik pengadilan negara lain, sehingga dapat dibuktikan
bahwa Nazi Collaborators Lawsesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional
(the court quoter from a number of authors who take the view that crimes againts
internasional law, generally or ar crimes in particular give rise to universal jurisdiction,.
It then considered on objection to tist jursidiction based upon Article 6 of the genocide
Convention 1948).
Disini hakim sampai kepada penafsiran teologis, yaitu dengan memperluas
sedemikian rupa apa yang menjadi tujuan Nazi Collaborators Law tersebut dan
menghubungkannya dengan baik praktik-praktik pengadilan negara lain, pendapatpara ahli, maupun dengan Konvensi International yang mempunyai tujuan yang sama
dengan undang-undang tersebut.17
16 Yudha Bakti A, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 2000 hlm
59.17 Yudha Bakti A, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Op. Cit. hlm 60.
14
-
7/29/2019 Tugas Penemuan Hukum Deafani-rev
15/15
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Kasus Eichman ini berdasarkan dengan ketentuan yang mengaturnya
merupakan yurisdiksi universal karena merupakan kejahatan perang serta
genosida.
2. Metode penemuan hukum yang diterapkan adalah metode penafsiran
hukum intention-school sebagai salah satu interpretasi yang dikenal
dalam hukum internasional. Hal ini terlihat bahwa Undang-undang
Colaborators tidak diartikan secara gramatikal saja, tetapi juga berpegang
pada kehendak pembuat Undang-undang atau Konvensi yang bermaskud
meluaskan daya jangkau berlakunya Undang-undang atau konvensi
tersebut. Selain itu, diterapkan juga penafsiran teologis, yaitu dengan
memperluas sedemikian rupa apa yang menjadi tujuan Nazi Collaborators
Law tersebut dan menghubungkannya dengan baik praktik-praktik
pengadilan negara lain, pendapat para ahli, maupun dengan Konvensi
International yang mempunyai tujuan yang sama dengan undang-undang
tersebut.
B. SARAN
1. Perlu dikaji pengembangan penerapan yurisdiksi universal untuk kasus-
kasus selain kejahatan perang. Penerapan yurisdiksi universal menurut
penulis dapat diterapkan untuk kasus-kasus lingkungan internasional.
2. Perlu diterapkan metode penafsiran hukum filosofis terhadap suatu kasus
kejahatan perang termasuk dalam kasus Eichmann. Hal ini penting agar
dalam memutus perkara melihat filosofi prinsip-prinsip hukum umum,
dalam hal ini hukum internasional.
15