Tugas Niar
-
Upload
indah-dwitari -
Category
Documents
-
view
6 -
download
1
Transcript of Tugas Niar
Patogenesis hipersensitivitas tipe III
Hipersensitivitas tipe III adalah hipersensitivitas yang diperantarai oleh pengendapan kompleks
antigen-antibody (imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit
polimorfonuklear. Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus,
atau antigen endogen seperti DNA. Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika
kompleks tersebut terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ, atau terlokalisasi
pada organ tertentu (misalnya ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan
mengendap pada tempat khusus (1).
Patogenesis penyakit kompleks imun sistemik terbagi atas 3 tahap: (1) pembentukan kompleks
antigen-antibody dalam sirkulasi dan (2) pengendapan kompleks imun di berbagai jaringan,
sehingga mengawali (3) reaksi radang di seluruh tubuh (1).
Serum sickness akut adalah bentuk dasar suatu penyakit sistemik. Penyakit ini petama kali
digambarkan terjadi pada manusia pada saat serum asing diberikan untuk imunisasi pasif dalam
jumlah besar. Kira-kira 5 hari setelah protein asing diinjeksikan, antibody spesifik akan
dihasilkan; antibody ini bereaksi pada antigen yang masih ada dalam sirkulasi untuk membentuk
kompleks antigen-antibodi (tahap pertama). Pada tahap kedua, kompleks antigen-antibodi yang
terbentuk dalam sirkulasi mengendap di berbagai jaringan. Dua faktor penting yang menentukan
apakah pembentukan kompleks imun menyebabkan penyakit atau pengendapan jaringan adalah
ukuran kompleks imun dan status sistem fagosit mononuclear. Selain itu, beberapa faktor lain
mempengaruhi apakah dan di mana kompleks imun mengendap. Faktor ini meliputi muatan
kompleks (anionic vs kationik), valensi antigen, aviditas antibody, afinitas antigen terhadap
berbagai jaringan, arsitektur tiga dimensi kompleks tersebut, dan hemodinamika pembuluh darah
yang ada. Tempat pengendapan favorit kompleks imun adalah ginjal, sendi, kulit, jantung,
permukaan serosa, dan pembuluh darah kecil. Untuk kompleks yang meninggalkan sirkulasi dan
mengendap di dalam dan di luar dinding pembuluh darah, harus terjadi permeabilitas pembuluh
darah. Hal ini mungkin terjadi pada saat kompleks imun berikatan dengan sel radang melalui
reseptor Fc dan C3b memicu pelepasan mediator vasoaktif dan atau sitokin yang meningkatkan
permeabilitas. Saat kompleks tersebut mengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu
reaksi radang. Selama tahap ini (kira-kira 10 hari setelah pemberian antigen), muncul gejala
klinis, seperti demam, urtikaria, artralgia, pembesaran kelenjar getah bening, dan proteinuria (1).
Macam anti-histamin
Histamin merupakan 2-(4-imidazol) etilamin, didapatkan pada tanaman maupun jaringan hewan
serta merupakan komponen dari beberapa racun dan secret sengatan binatang. Histamine bekerja
dengan menduduki reseptor tertentu pada sel yang terdapat pada permukaan membrane. Dewasa
ini didapatkan 3 jenis reseptor histamine H1, H2, dan H3.; reseptor tersebut termasuk golongan
reseptor yang berpasangan dengan protein G. Pada otak, reseptor H1 dan H2 terletak pada
membrane pascasinaptik, sedangkan H3 pada prasinaptik (2).
Aktivitas reseptor H1 yang terdapat pada endotel dan sel otot polos, menyebabkan kontraksi otot
polos, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, dan sekresi mucus. Sebagian dari efek
tersebut mungkin diperantarai cyclic guanosine monophosphate (cGMP) dalam sel. Histamin
juga berperan sebagai neurotransmitter dalam susunan saraf pusat (2).
Reseptor H2 didapatkan pada mukosa lambung, sel otot jantung, dan beberapa sel imun.
Aktivitas reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam lambung. Selain itu juga berperan
dalam vasodilatasi dan flushing. Histamine menstimulasi sekresi asam lambung, meningkatkan
kadar cAMP, dan menurunkan kadar cGMP. Pada otot polos bronkus, aktivasi reseptor H1 oleh
histamine menyebabkan bronkokonstriksi, sedangkan aktifitas reseptor H2 oleh agonis reseptor
H2 menyebabkan relaksasi (2).
Reseptor H3 berfungsi untuk menghambat umpan balik pada berbagai sistem organ. Aktifasi
reseptor H3 yang didapatkan di beberapa daerah di otak mengurangi pelepasan transmitter baik
histamin maupun norefinefrin, serotonin, dan asetilkolin. Agonis reseptor H3 berpotensi untuk
digunakan dalam gastroprotektif sedangan antagonis H3 untuk antiobesitas (2).
Setelah diketahui bahwa hitamin mempengaruhi banyak proses fisiologis dan patologis, maka
dicarikan obat yang dapat mengendalikan efek histamine. Sampai saat ini, telah ditemukan
berbagai antihistamin untuk reseptor H1 dan H2, sedangkan belum ada ditemukan untuk H3 (2).
Antagonis reseptor H1 (AH1) digunakan untuk mengobati simtomatik berbagai penyakit alergi
dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan. AH1 terdiri menjadi dua golongan, generasi I,
II, dan III. AH1 generasi I memiliki efek sedasi ringan sampai kuat, efek antikolinergik dan masa
kerja yang pendek. Selain itu, beberapa AH1 generasi I juga memiliki efek anti-motion sickness.
Contoh AH1 generasi I adalah seperti etanolamin, etilediamin, piperazin, alkilamin, derivate
fenotiazin, dll. Generasi II cenderung memiliki masa kerja yang lebih panjang dari generasi I,
yaitu 12 sampai >24 jam. Selain itu, tidak terdapat adanya aktifitas antikolinergik pada generasi
II AH1. AH1 generasi II terdii dari astemizol, feksofenadin, loratadin, dan setirizin. AH1
generasi III dikembangkan dari metabolit AH1 generasi II untuk menyederhanakan
farmakokinetik dan metabolismenya, serta menghindari efek samping yang berkaitan obat
sebelumnya (2,3).
Antagonis reseptor H2 (AH2) bekerja menghambat sekresi asam lambung. Saat ini, AH2 terdiri
dari simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin. Simetidin dan ranitidine menghambat reseptor
H2 secara selektif dan reversible. Pengaruh fisiologis simetidin dan ranitidine tidak terlalu
penting pada reseptor-reseptor H2 lainnya. Walaupun tidak sebaik penekanan sekresi asam
lambung pada keadaan basal, simetidin dan ranitidine dapat menghambat sekresi asam lambung
akibat perangsangan muskarinik, stimulasi vagus, atau gastrin. Simetidin dan ranitidine juga
menggangu volume dan kadar pepsin asam lambung. Famotidin , seperti halnya ranitidine dan
simetidin, merupakan AK2 yang dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan basal,
malam, dan akubat distimulasi pentagastrin. Famotidin tiga kali lebih poten dari ranitidine dan
20 kali dari simetidin. Potensi nizatidine dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih
sama dengan ranitidine (2).
Tes selotip
Tes selotip atau disebut juga tes apusan kulit digunakan untuk mendiagnosa scabies.
Pemeriksaan dilakukan pada kulit yang terdapat lesi. Kulit dibersihkan dengan eter, kemudian
diletakkan selotip pada lesi dan diangkat dengan gerakan cepat. Selotip kemudian diletakkan di
atas gelas objek (enam buah dari lesi yang sama pada satu gelas objek) dan diperiksa dengan
mikroskop (4).
Daftar Pustaka
1. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. Jakarta: ECG. 2007
2. Dewoto, HR. Farmakologi dan terapi. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2012.
3. Handley DA, Magnetti A, Higgins AJ. Therapeutic advantages of third generation antihistamines. Exp Opin Invest Drugs 1998; 7: 1045-54.
4. Murtiastutik D. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual: Skabies Edisi 1. Surabaya: Airlangga University Press. 2005.