Tugas Kuliah Uu Rsau
-
Upload
muhammad-ridhwan-fatharanifurqan -
Category
Documents
-
view
221 -
download
4
description
Transcript of Tugas Kuliah Uu Rsau
BAB I
PENDAHULUAN
Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum
harus diwujudkan melalui berbagai upaya kesehatan dalam rangkaian pembangunan kesehatan
secara menyeluruh dan terpadu yang didukung oleh suatu sistem kesehatan nasional.
Sejalan dengan amanat Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 telah ditegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan
kesehatan, kemudian dalam Pasal 34 ayat (3) dinyatakan negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Rumah Sakit
sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan
yang sangat diperlukan
dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan
Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan. Dokter sebagai salah satu komponen utama
pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting
karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang
diberikan. Landasan utama bagi dokter untuk dapat melakukan tindakan medis terhadap orang
lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang dimiliki, yang diperoleh melalui
pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang dimilikinya harus terus menerus dipertahankan dan
ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter dan maraknya tuntutan hukum
yang diajukan masyarakat dewasa ini seringkali diidentikkan dengan kegagalan upaya
penyembuhan yang dilakukan dokter sebaliknya apabila tindakan medis yang dilakukan dapat
1
berhasil, dianggap berlebihan, padahal dokter dengan perangkat ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dimilikinya hanya berupaya untuk menyembuhkan, dan kegagalan penerapan ilmu
kedokteran tidak selalu identik dengan kegagalan dalam tindakan. Oleh karena itu dibutuhkan
suatu pirantie legal yang dapat menjembatani kebutuhan masyarakat dan kemampuan
pelaksanan profesi dokter sesuai dengan hukum yang berlaku apabila terjadi kesalahan dalam
tindakan medis dapat dilakukan penegakan hukum namun harus dalam bingkai hukum yang
proporsonal sehingga dengan hal tersebut diharapkan dapat menjadi solusi pelayanan kesehatan
yang bermutu tinggi
2
BAB II
KRONOLOGI KASUS
Pada tanggal 6 November 2012 Adinda terjatuh saat melakukan persiapan bertanding
untuk Kejuaran Nasional (KEJURNAS) EFI-JPEC di Sentul, Jawa Barat. Namun, pada saat itu
Adinda tidak merasakan apa-apa. Namun demikian untuk mengecek kondisinya Adinda
menemui dr. Guntur di Rumah Sakit Sahid Memorial Jakarta, 13 November 2012. Adinda pun
mendapatkan serangkaian tindakan medis berupa penyuntikan dan infus dari dokter tersebut
sehabis menyabet empat medali pada Kejuaraan Nasional EFI.
Tiga minggu setelah itu, Adinda merasakan wajahnya membengkak dan mati rasa,
tumbuh gundukan, daging pada punuk, badan biru-biru. Dia juga mengalami tremor, sakit kepala
yang luar biasa, berat badan naik secara drastis, serta ngilu pada tulang dan otot, karena
kekhawatiran akan adanya kesalahan pengobotan oleh dr. Guntur tersebut Adinda memeriksakan
dirinya pada dokter spesialis endokrinolog di Singapura dan dokter endokrinolog tersebut
memvonis Adinda terkena penyakit "iatrogenic cushing syndrome". Penyakit itu diduga
merupakan akibat dari tindakan medis dr. Guntur yang merupakan spesialis tulang di Rumah
Sakit Sahid dimaksud.
Di luar sepengetahuan Adinda, dokter tersebut ternyata melakukan tindakan medis
berupa rangkaian suntikan secara intra-articular atau intramuscular injections dan infus Aclasta
yang mengandung zat-zat dosis tinggi TCA (Triamcinolone Acetonide) atau pengobatan steroid,
obat anastesi lokal Lidocaine dan pain killer Tramal. Jenis steroid TCA ini berbeda dengan jenis
steroid yang sering digunakan oleh para atlit untuk doping atau dikenal dengan nama Anabolic
Steroid.
Pemberian obat yang dikatakan oleh dr. Guntur sebagai Anti Inflamatory (anti pembengkakan
atau peradangan yang disebabkan oleh patah tulang) yang diberikan melalui 15 kali suntikan
dalam 7 hari, ternyata mengandung steroid dosis tinggi. Pemberian obat tersebut diduga terjadi
kesalahan karena ternyata Adinda tidak mengalami patah/retak 3 tulang rusuk dan tulang ekor
juga tidak menderita osteoporosis sehingga semestinya tidak memerlukan tindakan medis seperti
3
yang telah diberikan oleh dr. Guntur yang dikatakannya sebagai Anti Inflamatory (suntikan) dan
"Suplemen Tulang" (infus)," karena tindakan oleh dr. Guntur itu terjadi efek samping yang
diderita Adinda yang pada akhirnya Adinda didiagnosa mengalami Iatrogenic Cushing's
Syndrom,"
4
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
1. Menurut Perspektif Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Sebelum masuk pada tinjauan yuridis mengenai posisi kasus sebagaimana yang
telah diuraikan diatas, akan dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hukum
pidana. Istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu menunjukkan sanksi
dalam hukum pidana.1 Pidana adalah sebuah konsep dalam bidang hukum pidana yang
masih perlu penjelasan lebih lanjut untuk dapat memahami arti dan hakikatnya. Menurut
Roeslan Saleh “pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang
dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu”.2
W.P.J Pompe berpendapat bahwa Hukum pidana adalah semua aturan-aturan
hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana
dan apakah macamnya pidana itu.3 Menurutnya sifat melawan hukum dan kesalahan
bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana.4
Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam
arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau
strafrecht in subjectieve zin. Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana
yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale.5 Simons
merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai:6
1) Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam oleh nestapa yaitu
suatu pidana apabila tidak ditaati;
2) Keseluruhan peraturan yang menentukan syarat-syarat untuk menjatuhkan pidana;
1 Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 23.2 Roeslan Saleh, “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana” Dua Pengertian Dalam Hukum Pidana”, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 9.3 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Grafindo. hlm. 5.4 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, Cet ke-2, 1990, hlm. 43.5 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm. 1-2. 6 Ibid, hlm. 3.
5
3) Keseluruhan ketentuan yang menentukan dasar untuk penjatuhan dan penerapan
pidana.
Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi bisa diartikan secara luas dan
sempit, yaitu sebagai berikut:7
1) Dalam arti luas:
Hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau
mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu;
2) Dalam arti sempit:
Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana
terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh
badan-badan peradilan.
Selanjutnya di dalam hukum pidana untuk menjatuhkan pemidanaan terhadap
seseorang yang diduga bersalah maka tindakannya harus memenuhi unsur-unsur dari
teori pemidanaan yaitu mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang diduga
bersalah tersebut. D.Simons mengatakan bahwa strafbaar feit atau tindak pidana adalah
“een strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld verband staande handeling van een
toere kennings vatbaar person”. Jadi unsur-unsur strafbaar feit adalah:8
- Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan),
- Diancam dengan pidana (Stratbaar gesteld),
- Melawan hukum (wedderlejtikheid),
- Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
- Oleh orang yang mampu bertanggung jawab atau toere kennings vatbaar
person.
Sejalan dengan pendapat tersebut Van Hamel mendefinisikan straafbarfeit sebagai
“een wetelijk omschreven menshejlijke gedraginh, onrechmatig, straafwardig, en aan
schuld te witjen”. Jadi unsur-unsurnya terdiri dari:
- Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang.
- Melawan hukum
- Dilakukan dengan kesalahan
7 Sudarto, Op. Cit, hlm. 9.8 Ibid. hlm. 49
6
- Patut dipidana
Dari kedua pendapat tokoh tersebut diatas dapat kita simpulkan bahwa suatu
tindak pidana dapat dikatakan memenuhi unsur tindak pidana apabila ada perbuatan yang
melanggar peraturan perundang-undangan dan diancam dengan sanksi pidana, dilakukan
dengan melawan hukum (wedderechtelijkheid) serta perbuatan tersebut merupakan suatu
kesalahan / Schuld (kesengajaan atau kelalaian).
Perbuatan melawan hukum merupakan unsur yang sentral dalam menentukan
apakah perbuatan orang tersebut melanggar suatu ketentuan hukum atau tidak. Sifat
melawan hukum dalam pengertian bahasa Belandanya sering disebut dengan
wederrechtelijkheid. Simons dan Noyon memberikan definisi wederrechtelijkheid
sebagai “ in strijd met het recht atau “bertentangan dengan hukum” sedangkan Hoge
Raad memberikan definisi wederrechtelijkheid itu sebagai “ niet steunend op het recht”
atau “tidak berdasarkan hukum” atau pun sebagai “zonder bevoegdheid” atau “tanpa
hak”.9 Dari beberapa definisi tersebut melahirkan dua aliran terhadap pandangan
wederrechtelijkheid yaitu:
1) Sifat Melawan Hukum yang formil:
Suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum, apabila perbuatan diancam pidana
dan dirumuskan sebagai suatu delik dalm undang-undang sedang sifat melawan
hukumnya perbuatan itu dapat dihapus hanya berdasarkan suatu undang-undang.
Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan
dengan undang-undang (hukum tertulis). Penganut pandangan wederrechtelijkheid
formil itu adalah Simons dan Noyon.
2) Sifat Melawan Hukum Materil
Suatu perbuatan melawan hukum tidak hanya yang ada di undang-undang (yang
tertulis) saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya azaz-azaz hukum yang tidak
tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam
rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga
berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (uber gesetzlich). Jadi menurut
ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang
9 Van Hamel, Hand Boek, hlm. 221
7
(hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis
termasuk tata susila dan sebagainya.
Terkait dengan kasus tersebut di atas tindakan dokter Guntur yang melakukan
tindakan medis kepada Adinda Yuanita dapat dijerat dengan tindak pidana sebagaimana
dalam Pasal 360 ayat (2) KUHP.
Pasal 360 ayat (2) KUHP:
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah”.
Terhadap tindakan kedua pasal tersebut apabila dilakukan karena sedang menjalankan
profesi atau jabatannya maka hukuman pidananya diperberat 1/3.10
Dokter Guntur yang melakukan tindakan medis kepada Adinda Yuanita yang
membuat Adinda mengalami luka-luka yaitu wajahnya membengkak dan mati rasa,
tumbuh gundukan, daging pada punuk, badan biru-biru, tremor, sakit kepala yang luar
biasa, berat badan naik secara drastis, serta ngilu pada tulang dan otot. Untuk menyatakan
apakah dokter Guntur telah salah dalam melakukan tindakan medis dan dapat dijerat
dengan sanksi pidana sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 360 ayat (2) tersebut,
maka seluruh unsur di dalam Pasal 360 ayat (2) tersebut harus terpenuhi karena aturan
dalam hukum pidana apabila ada unsur yang tidak terpenuhi maka pemidanaan tidak
dapat diterapkan. Berikut ini unsur-unsur pada pasal 360 ayat (2) KUHP:
a. Karena kesalahannnya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa
sehingga timbul penyakit atau halangan
b. Menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu
c. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah”.
10 Liat Pasal 361 KUHP.
8
2. Menurut Perspektif Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran
Dalam melakukan tindakan medis apakah benar dokter Guntur telah melakukan
kesalahan (kelalaian) dalam menjalankan tugasnya sebagai profesi dokter baik itu
melanggar kode etik dokter maupun melanggar UU Praktek Kedokteran. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut kita harus meninjau secara keseluruhan pasal-pasal dan penjelasan
pasal yang ada pada UU praktek kedokteran dan Kode etik etik dokter agar dapat
menentukan apakah tela terjadi kesalahan (kelalaian) yang dilakukan oleh dr Guntur.
Berikut ini beberapa Pasal dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
yang patut diduga dilanggar oleh dr Guntur :
1) Pasal 45 ayat (1), (2), dan (3).
Pasal 45 ayat (1)
“Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.”
Pasal 45 ayat (2)
“Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.”
Pasal 45 ayat (3)
Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
2) Pasal 51 huruf (a)
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban:
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien;
9
3) Pasal 52 huruf (c)
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
Selanjutnya beberapa pasal yang patut diduga dilanggar oleh dr Guntur yaitu sebagai
berikut:
1) Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya dengan standar
profesi yang tertinggi.
2) Pasal 7 a
Setiap dokter harus dalam setiap praktek medisnya memberikan pelayanan medis
yang kompeten dengan kebebasan tekhnis dan moral sepenuhnya, disertai dengan
rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan terhadap martabat manusia.
3) Pasal 7 c
Seorang dokter harus menghargai hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak-
hak tenaga kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasiennya.
Berdasarkan Undang-Undang Praktek Kedokteran, Kode etik kedokteran dapat
kita analisis bahwa tindakan dr. Guntur yang tidak menanyakan persetujuan lebih dahulu
kepada pasien Adinda Yuanita mengenai resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
akibat dari pengobatan yang dilakukannya pada dasarnya telah melanggar Pasal 45 UU
Praktek Kedokteran dan Pasal 7 c Kode etik kedokteran.. Tindakan medis oleh dr Guntur
juga tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien hal ini dapat dibuktikan dengan
pemberian obat Anti Inflamatory (anti pembengkakan atau peradangan yang disebabkan
oleh patah tulang) yang diberikan melalui 15 kali suntikan dalam 7 hari, yang
mengandung steroid dosis tinggi. Pemberian obat tersebut terjadi kesalahan karena obat
tersebut diperuntukkan untuk pasien yang mengalami patah/ retak tulung rusuk dan
osteoporosis pada tulang ekor dan ternyata Adinda tidak mengalami patah/retak 3 tulang
rusuk dan tulang ekor juga tidak menderita osteoporosis sehingga semestinya tidak
memerlukan tindakan medis Anti Inflamatory (suntikan) dan "Suplemen Tulang" (infus)
10
sebagaimana yang diberikan oleh dr Guntur, tindakan ini dapat dikualifikasikan telah
melanggar Pasal 51 a dan 52 c Undang-Undang Praktek Kedokteran dank ode etik Pasal 2
dan Pasal 7 a.
Kesalahan (kelalaian) sebagaimana yang dilakukan oleh dr Guntur juga telah
memenuhi persyaratan perbuatan melawan hukum baik materiil maupun formil dan
tindakan dr. Guntur telah mengakibatakan Adinda Yunandi tidak dapat menjalankan
pekerjaannya yang juga sebagai meta pencahariaanya dengan menjadi tim pelatih dan
manajer atlet berkuda show jumping di dalam mengikuti beberapa pertandingan. Oleh
karena dr. Guntur telah melakukan kesalahan (kelalaian) dalam melakukan tindakan medis
dan juga telah memenuhi persyaratan perbuatan melawan hukum (wedderechttelijkheid)
serta perbuatan dr. Guntur tersebut menyebabkan Adinda Yuanita tidak dapat
melaksanakan pekerjaannya yang mana perbuatan tersebut diancam pidana sebagaimana
Pasal 360 ayat (2) KUHP maka dr. Guntur dapat disimpulkan telah memenuhi unsur-unsur
delik sebagaimana yang di persyaratkan Pasal 360 ayat (2) KUHP.
3. Menurut Perspektif Hukum (KUHPerdata, UU Rumah Sakit, UU Perlindungan
Konsumen)
Selain dari upaya hukum pidana yang dapat ditempuh oleh Adinda Yuanita
upaya lain yang dapat ditempuh ialah melalui jalur hukum perdata. Untuk lebih
memperjelas analisi ini maka terlebih dahulu akan dijelaskan mengeanai Hal-hal yang
prinsip dalam hukum perdata. Menurut Sri Sudewi Masjchoen Sofwan Hukum Perdata
adalah hukum yang mengatur kepentingan warga negara perseorangan yang satu dengan
perseorangan yang lainnya. Ronald G. Salawane menyatakan bahwa Hukum Perdata
adalah seperangkat aturan-aturan yang mengatur orang atau badan hukum yang satu
dengan orang atau badan hukum yang lain didalam masyarakat yang menitikberatkan
kepada kepentingan perseorangan dan memberikan sanksi yang keras atas pelanggaran
yang dilakukan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Selanjutnya Subekti mengatakan bahwa Hukum perdata adalah semua hak yang
meliputi hukum privat materiil yang mengatur kepentingan perseorangan. Dari ketiga
definisi ahli hukum perdata tersebut dapat kita simpulkan bahwa hukum perdata
11
merupakan hukum perseorangan yang bersifat privat dan mengatur kepentingan
perseorangan yang di dasari oleh aturan hukum perdata maetriil.
Terkait dengan kasus dr, Guntur dan Adinda Yuniati secara keperdataan atau
hubungan personalitas tindakan hukum yang dapat dilakukan adalah menuntut ganti rugi
atas kerugian yang dialami oleh Adinda Yuanita akibat dari tindakan dr Guntur akan
tetapi untuk dapat meminta suatu ganti rugi terhadap perkara perdata ada beberapa hal
yang harus diperhatikan yaitu misalnya mengenai peraturan perundang-undangan yang
membolehkan adanya ganti rugi, hal yang menyebabkan timbulnya ganti rugi apakah
karena perjanjian atau karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad), dan
besaran ganti rugi yang dapat dituntut. Selanjutnya ada beberapa dasar hukum sebagai
dasar untuk mengajukan ganti rugi baik dari pihak dr. Guntur atau pihak rumah sakit
yaitu sebagai berikut:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
Pasal 1365 KUHPer
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikankerugian tersebut”.
Pasal 1371 KUHPer
“Menyebabkan luka atau cacat anggota badan seseorang dengan sengaja atau karena
kurang hati-hati, memberi hak kepada korban selain untuk menuntut penggantian
biaya pengobatan, juga untuk menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh
luka atau cacat badan tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut
kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan. Ketentuan
terakhir ini pada umumnya berlaku dalam hal menilai kerugian yang ditimbulkan oleh
suatu kejahatan terhadap pribadi seseorang”.
2) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 19 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
12
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan
atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang
atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya yang kemudian harus diketahui lebih lanjut adalah hal yang
menyebabkan timbulnya ganti rugi tersebut di dalam hukum perdata ganti rugi bisa
terjadi karena 2 hal yaitu karena Wanprestasi dan karena Perbutatan Melawan Hukum
karena di dalam kasus ini tidak terdapat peranjian antara kedua belah pihak dan tindakan
medis yang dilaukan oleh dr Guntur diduga terjadi karena kesalahan oleh sebab itu
penuntutan ganti rugi dalam hal ini lebih teapat jika dirumuskan dalam Perbuatan
Melawan Hukum (onrechtmatigdaad). Untuk dapat dikatakan seseorang telah melawan
hukum dari perspektif hukum perdata maka unsur-unsur dibawah ini harus terpenuhi
yaitu:
1) Perbuatan Tersebut Melawan Hukum2) Harus ada kesalahan pada pelaku3) Harus ada kerugian, dan4) Harus ada hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
Dari ke empat unsur tersebut diatas tindakan dr Guntur telah memenuhi persyaratan
tersebut. Perbuatan melawan hukum dalam hal ini adanya undang-undang atau azas
kepatutan yang dilanggar, sebagaimana penjelasan diatas bahwa ada beberapa pasal
dalam ketetentuan pidana dan kode etik yang diduga kuat dilanggar oleh dr Guntur begitu
pun dengan kesalahan yaitu kelalaian atau kekurang hati-hatian dr Guntur dalam
menjalankan tugas selaku dokter sebagaiamana keterangan Adinda Yuanita yang
menyatakan bahwa dr Guntur tidak memberitahukan resiko dari pengobatan Aninda
Yunita sebagaimana juga yang telah diuraikan diatas. Mengenai kerugian yang diderita
oleh Aninda Yunita adalah ia tidak memperoleh kesembuhan padahal sudah
mengeluarkan uang untuk kesembuhannya bahkan harus menambah biaya karena harus
melakukan pengecekan ulang ke Singapore dan hal tersebut harus dilakukannya karena
diduaga ada kesalahan tindakan medis yang dilakukan oleh dr Guntur. Oleh karena ke
13
empat syarat tersebut telah terpenuhi maka menurut peraturan dalam KUHPerdata
Adinda Yunita dapat mengajukan ganti rugi secara keperdataan. Selain itu jika merujuk
pada UU Perlindungan Konsumen syaratnya juga sudah terpenuhi karena kerugian
konsumen atas konumsi jasa dari pelaku usaha dapat dimintai ganti rugi. Ganti rugi yang
ditetapkan UU Perlindungan Konsumen, dilakukan oleh konsumen dalam hal ini Adinda
Yunita yang ditujukan ke Pelaku Usaha dalam hal ini Rumah Sakit Sahid. Dengan
demikian ganti rugi baik menurut KUHPerdata maupun UU Perlindungan Konsumen
dapat dilakukan oleh Adinda Yuanita.
5. Menurut Perspektif UU Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit
Lebih lanjut selain daripada sanksi pidana dan perdata sebagaimana yang telah
diuraikan di atas, rumah sakit tempat dr Guntur bekerja juga dapat dikenakan sanksi
administrasi akibat dari tindakan dr Guntur tersebut hal ini sebagaimana yang
ditegaskan dalam UU Rumah Sakit pada Pasal 29 ayat (1) huruf b dan Pasal 29 ayat (2)
berikut ini:
Pasal 29 huruf b bahwa “Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban: memberi
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan
mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit”
Pasal 29 ayat (2) bahwa Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenakan sanksi admisnistratif berupa:
- teguran;
- teguran tertulis; atau
- denda dan pencabutan izin Rumah Sakit.
Pasal 32 huruf e, j dan q , setiap pasien mempunyai hak :
(e) memperoleh layaan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian
fisik dan materi;
(j) mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis,tujuan
tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiran biaya,
14
(q) menggugat dan/atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan
pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana.
Berdasarkan kasus, pihak dokter melanggar pasal ini karena diketahui tidak memberi
penjelasan mengenai obat yang diberikan baik indikasi diberikan obat tersebut maupun
efek samping dengan pemberian obat tersebut, sedangkan setiap tindakan kedokteran
yang dilakukan seharusnya pasien harus dimintai persetujuannya setelah mengetahui
informasi mengenai tindakan tersebut.
Pada pasal 46 diketahui bahwa “rumah sakit bertanggung jawab secara hokum terhadap
semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di
Rumah Sakit”. Dalam kasus ini pihak RS ikut bertanggung jawab secara hukum terhadap
kerugian yang dialami adinda akibat tindakan yang dilakukan dr.Guntur.
15
BAB IV
PENUTUP
Pembelajaran yang dapat diambil dari kasus tersebut diatas adalah kiranya dokter di
dalam menjalankan profesinya harus dilakukan dengan hati-hati, memberikan pelayanan yang
terbaik serta selalu mengupdate ilmu pengetahuaanya mengingat profesi dokter merupakan
profesi yang sangat penting karena menyangkut dengan kesehatan manusia bahkan dapat
dikatakan menyangkut kehidupan seorang manusia. Selain itu yang juga perlu menjadi perhatian
adalah kiranya dokter dalam melaksanakan tugasnya penting untuk memperhatikan seluruh
aspek peraturan hukum baik terkait dengan kode etik maupun yang terkait dengan peraturan
perundang-undangan hal ini sangat penting karena tindakan yang dilakukan dokter tidak hanya
mempengaruhi diri pribadi dokter tersebut akan tetapi apabila adanya kesalahan tindakan medis
yang dilakukan dokter dalam menjalankan tugasnya di rumah sakit maka tuntutan hukum tidak
hanya dikenakan ke dokter yang bersangkutan melainkan rumah sakit tempat dokter tersebut
bekerja juga dapat dilakukan penuntutan hukum. Bahkan tuntutan hukum yang dapat dilakukan
tidak hanya berupa sanksi pidana melainkan juga sanksi perdata dan sanksi administrasi.
Tindakan medis yang dilakukan seorang dokter secara professional yang sesuai dengan
aturan-aturan hukum dan kewajiban selaku dokter serta memberikan seluruh hak pasien dengan
benar di dalam melayani pasien merupakan kunci utama untuk dapat terhindar dari segala aspek
tuntutan hukum yang belakangan ini sedang sering dilakukan oleh masyarakat, kiranya pameo
Aegrosi Lex Suprema (Kesalamatan pasien adalah hukum yang tertinggi) dapat menjadi landasan
tindakan seorang dokter di dalam menjalankan tugas mulianya.
Demikianlah anlisis kasus ini kami buat yang mana analisis kasus ini berdasarkan dengan
data yang penulis dapatkan sehingga dapat dikatakan sumber informasinya masih parsial dan
akan mungkin berbeda dengan kenyataan hasil suatu penyelidikan atau penyidikan yang
dilakukan baik oleh MKDKI ataupun yang dilakukan oleh Penyidik Kepolisian untuk itu sesuai
dengan azas hukum yang berlaku universal maka sebaiknya kita memposisikan sikap pada Azas
Persemption of innocence (Azas Praduga tidak bersalah) sampai benar-benar ada putusan oleh
pengadilan sebagai the last corner stone dalam criminal justice system di Indonesia yang
memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht van gewidjge)
16