Tugas KKSD Final

40
REFRAT KAJIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK: KEMATIAN KARENA SUHU DINGIN Disusun Oleh: Aprilisasi Purnama Sari, S.Ked NIM. G99151018 Achmad Nurul Hidayat, S.Ked NIM. G99151019 Ismael, S.Ked NIM. G99151020 Ery Radiyanti, S.Ked NIM. G99151021 Naila Shofwati P, S.Ked NIM. G99151022 Periode: 19 Oktober - 31 Oktober 2015 Pembimbing: dr. Sugiharto, M.kes. (MMR), SH KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2015

description

- Kematian Karena Suhu Dingin- Hipotermia- Suhu Dingin

Transcript of Tugas KKSD Final

Page 1: Tugas KKSD Final

REFRAT

KAJIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK: KEMATIAN

KARENA SUHU DINGIN

Disusun Oleh:

Aprilisasi Purnama Sari, S.Ked NIM. G99151018

Achmad Nurul Hidayat, S.Ked NIM. G99151019

Ismael, S.Ked NIM. G99151020

Ery Radiyanti, S.Ked NIM. G99151021

Naila Shofwati P, S.Ked NIM. G99151022

Periode: 19 Oktober - 31 Oktober 2015

Pembimbing:

dr. Sugiharto, M.kes. (MMR), SH

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN

MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2015

Page 2: Tugas KKSD Final

2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................ 2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 3

1.2 Etiologi .................................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Tubuh terhadap Suhu Dingin ................................................... 7

A. Fisiologi tubuh terhadap suhu ........................................................... 7

B. Efek pajaran suhu dingin terhadap kondisi fisiologi manusia .......... 11

2.2 Kematian ................................................................................................ 12

2.3 Suhu Dingin ............................................................................................ 21

A. Respon Tubuh terhadap Suhu Dingin .............................................. 21

B. Dampak Suhu Dingin terhadap Tubuh Manusia .............................. 23

C. Faktor-faktor Individu yang Mempengaruhi Dampak Suhu Dingin

......................................................................................................... 24

2.4 Hipotermia .............................................................................................. 27

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pemeriksaan Forensik pada Mayat karena Suhu Dingin ............... 35

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan .............................................................................................. 38

DAFTAR PUSTAKA

Page 3: Tugas KKSD Final

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut suatu studi internasional, paparan suhu dingin 20 kali lebih

mematikan dibanding suhu panas. Temuan yang dipublikasikan di jurnal The

Lancet tersebut meneliti sekitar 74.225.200 kematian antara tahun 1985 sampai

tahun 2012 di 13 negara dengan cakupan iklim yang luas, mulai dari negara pemilik

iklim dingin sampai subtropik. Sekitar 7,71 persen kematian diakibatkan temperatur

yang tidak optimal. Hasilnya juga berbeda- beda di tiap negara. Sebanyak 7,29

persen kematian karena suhu dingin, sedangkan suhu panas hanya menyebabkan

0,42 persen kematian (Gasparrini et al,2015). Hal ini menunjukkan bahwa kematian

akibat suhu dingin perlu mendapat perhatian yang serius, terutama mengenai

bagaimana mencegah dan menanganinya.

Tubuh manusia secara fisiologis memiliki mekanisme pertahanan terhadap

perubahan suhu. Respon tubuh terhadap kedinginan terdiri dari dua tahap, yaitu

mekanisme vaskuler, dengan mengubah aliran darah di kulit yang diatur oleh

hipotalamus, dan mekanisme non- vaskuler, dengan meningkatkan tonus otot dan

kontraksi involunter (menggigil) (Pyke dan Sutton dalam Komariyah,2012).

Namun, seiring dengan semakin merosotnya suhu tubuh akan terjadi depresi pusat

pernapasan dan sistem kardiovaskular. Irama jantung terganggu yang akhirnya

menyebabkan fibrilasi ventrikel dan kematian (Sherwood, 2011).

Paparan cuaca dingin dapat mengakibatkan kematian yang biasanya dikaitkan

dengan hipotermia. Hipotermia terjadi ketika suhu inti tubuh menurun hingga <95

0F (< 350F). Gejala awal termasuk menggigil dan ekstremitas dingin. Pada

hipotermia yang memburuk, gejala berkembang menjadi kebingungan, kehilangan

keterampilan motoric halus, dan amnesia. Kehilangan panas terus tanpa rewarming

yang memadai dapat mengakibatkan hipotensi, gangguan pernapasan, aritmia

jantung, dan kematian (Meiman et al, 2015). Selain itu dapat memperburuk kondisi

kronis yang sudah ada sebelumnya (termasuk jantung dan penyakit pernapasan),

dan pada orang dengan kondisi fungsi termoregulasi terganggu serta mereka yang

menggunakan berbagai obat lebih rentan terhadap efek dingin. Subpopulasi yang

Page 4: Tugas KKSD Final

4

berisiko mengalami kematian akibat cuaca dingin mirip dengan subpopulasi yang

berisiko mengalami kematian yang berhubungan dengan panas, antara lain usia tua,

bayi, laki-laki, orang hitam, dan orang dengan kondisi medis yang kronis (Berko et

al, 2014).

1.2 Etiologi

Beberapa akibat pajanan terhadap suhu dingin yang potensial

menimbulkan cedera:

a. Hipotermia

Hipotermia adalah suatu kondisi emergensi yang terjadi ketika tubuh

kehilangan panas lebih cepat daripada pembentukannya, menyebabkan

penurunan suhu tubuh ke tingkat yang membahayakan. Suhu tubuh normal

berkisar 98.6 0F (37 0C). Hipotermia terjadi ketika suhu tubuh turun

dibawah 95 0F (35 0C).

Tanda dan gejala hipotermia meliputi :

Gambar 1. Tanda dan gejala hipotermia (Guyton, 2008).

b. Frostbite

Apabila tubuh terpajan dengan suhu yang sangat rendah, daerah

permukaan dapat membeku. Pembekuan itu disebut frostbite. Frostbite

menyebabkan hilangnya sensasi dan warna pada daerah yang terkena. Hal

ini terutama terjadi pada daun telinga dan jari-jari tangan serta kaki. Bila

kebekuan tersebut cukup untuk menyebabkan terbentuknya kristal es di

dalam sel, akan terjadi kerusakan permanen, seperti kerusakan sirkulasi

Page 5: Tugas KKSD Final

5

yang permanen, demikian juga dengan kerusakan jaringan setempat.

Gangrene sering mengikuti proses pencairan es, dan daerah yang

mengalami frostbite harus diangkat secara pembedahan (amputasi).

Tanda dan gejala frostbite :

Pengurangan aliran darah ke tangan dan kaki

Mati rasa

Sakit

Kesemutan

Kulit pucat, maserasi

c. Trench foot atau immersion foot

Trench foot atau immersion foot adalah suatu keadaan cedera pada kaki

sebagai hasil dari pajanan yang terus-menerus terhadap kondisi basah dan

dingin (sekitar 60 0F) dan kaki secara konstan berada dalam keadaan basah.

Hal ini terjadi karena kondisi kaki basah dapat menyebabkan kehilangan

panas 25 kali lebih cepat dibanding kaki kering. Oleh karena itu, untuk

mencegah kehilangan panas ini tubuh mengkonstriksikan pembuluh darah

di kaki. Jaringan kulit mulai mati karena kekurangan oksigen dan nutrisi.

Tanda dan gejala :

Kulit kemerahan

Mati rasa

Kram kaki

Bengkak

Kesemutan

Lepuhan atau ulcer

Perdarahan di bawah kulit

Gangren

d. Chilblains

Chilblains adalah cedera yang terbentuk akibat kerusakan pada

pembuluh darah kecil di kulit yang disebabkan oleh pajanan kulit pada

suhu sekitar 60 0F.

Tanda dan gejala:

Kemerahan

Page 6: Tugas KKSD Final

6

Gatal

Lepuhan

Inflamasi

Ulcer pada beberapa kasus yang parah

(CDC, 2015).

Page 7: Tugas KKSD Final

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Tubuh terhadap Suhu Dingin

A. Fisiologi tubuh terhadap suhu

a. Mekanisme kerja

Temperatur inti manusia normal dipertahankan antara 36,5‐37,5ºC

pada suhu lingkungan dan dipengaruhi respon fisiologis tubuh. Pada

keadaan homeotermik, sistem termoregulasi diatur untuk

mempertahankan temperatur tubuh internal dalam batas fisiologis dan

metabolisme normal. Tindakan anestesi dapat menghilangkan

mekanisme adaptasi dan berpotensi mengganggu mekanisme

fisiologis fungsi termoregulasi. Kombinasi antara gangguan

termoregulasi yang disebabkan oleh tindakan anestesi dan eksposur

suhu lingkungan yang rendah, akan mengakibatkan terjadinya

hipotermia pada pasien yang mengalami pembedahan. Menggigil

merupakan salah satu konsekuensi terjadinya hipotermia perioperatif

yang dapat berpotensi untuk terjadi sejumlah sekuele, yaitu

peningkatan konsumsi oksigen dan potensi produksi karbon dioksida,

pelepasan katekolamin, peningkatan cardiac output, takikardia,

hipertensi, dan peningkatan tekanan intraokuler. Definisi hipotermia

adalah temperatur inti 10ºC lebih rendah di bawah standar deviasi

rata‐rata temperatur inti manusia pada keadaaan istirahat dengan suhu

lingkungan yang normal (28‐35ºC).

b. Fungsi Termoregulasi

Fungsi termoregulasi diatur oleh sistem kontrol fisiologis yang

terdiri dari termoreseptor sentral dan perifer yang terintegrasi pada

pengendali dan sistem responan eferen. Input temal aferen datang dari

reseptor panas dan dingin baik itu di sentral atau di perifer.

Hipotalamus juga mengatur tonus otot pembuluh darah kutaneus,

menggigil, dan termogenesis tanpa menggigil yang terjadi bila ada

peningkatan produksi panas.

Page 8: Tugas KKSD Final

8

Secara historis, traktus spinotalamikus lateralis diketahui sebagai

satu‐satunya jalur termoaferen menuju pusat termoregulasi di

hipotalamus. Seluruh jalur serabut saraf asendens ini terpusat pada

formatio retikularis dan neuron termosensitif berada pada daerah di

luar preoptik anterior hipotalamus, termasuk ventromedial

hipotalamus midbrain, medula oblongata, dan korda spinalis. Input

multiple yang berasal dari berbagai termosensitif, diintegrasikan pada

beberapa tingkat di korda spinalis dan otak untuk koordinasi bentuk

respon pertahanan tubuh. Sistem termoregulasi manusia dibagi dalam

tiga komponen: termosensor dan jalur saraf aferen, integrasi input

termal, dan jalur saraf efektor pada sistem saraf otonom.

1) Termosensor dan Jalur Saraf Aferen

Banyak pengetahuan mengenai struktur sistem termoregulasi

yang diperoleh dari penelitian pada hewan. Input termal aferen

dapat berasal dari sentral dan perifer. Reseptor termal terdapat pada

kulit dan membran mukosa yang sensitif terhadap sensasi termal

dan memberikan kontribusi terhadap refleks termoregulasi.

Reseptor spesifik dingin mengeluarkan impuls pada suhu 25‐30ºC.

Impuls ini berjalan pada serabut saraf tipe A‐δ. Reseptor panas

mengeluarkan impuls pada suhu 45‐50ºC dan berjalan pada serabut

saraf tipe C. Reseptor dingin berespon terhadap perubahan

sementara temperatur lingkungan dalm waktu lama, gradual, atau

cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan temperatur

lingkungan dalam waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang

cepat terhadap perubahan temperatur lingkungan biasanya diikuti

respon temperatur kulit. Hal ini dibuktikan pada penelitian

terhadap sistem termoregulasi manusia secara kimia. Pada

penelitian tersebut, disebutkan bahwa produksi panas tubuh selalu

diukur melalui kebutuhan oksigen tubuh. Termoregulasi terhadap

dingin dipengaruhi oleh reseptor dingin pada kulit dan dihambat

oleh pusat reseptor panas. Reseptor dingin kulit merupakan sistem

pertahanan tubuh terhadap temperatur dingin dan input aferen yang

Page 9: Tugas KKSD Final

9

berasal dari reseptor dingin ditransmisikan langsung ke

hipotalamus. Berbeda dengan reseptor dingin perifer, lokasi

reseptor dingin sentral tidak begitu jelas secara anatomis. Produksi

panas pada temperatur kulit yang hangat meningkat bila temperatur

inti tubuh menurun kurang dari 36ºC. Pusat termoreseptor dingin

kurang begitu penting bila dibandingkan input sensoris dingin

perifer, akan tetapi suatu penelitian terhadap transeksi korda

spinalis, menyimpulkan bahwa proses di pusat termoregulasi akan

aktif bila temperatur inti tubuh di bawah titik ambang batas set‐

point dan kurang sensitif terhadap termoreseptor perifer.

2) Hipotalamus Pusat Integrasi

Mekanisme informasi termal aferen akan diolah oleh pusat

regulasi temperatur yang berada di hipotalamus. Hipotalamus

anterior menerima informasi termal aferen secara integral dan

hipotalamus posterior mengontrol jalur desendens ke efektor. Area

preoptik hipotalamus berisi saraf sensitif dan insensitif terhadap

temperatur temperatur. Beberapa ahli membaginya dalam saraf

yang sensitif terhadap panas meningkatkan respon peningkatan

produksi panas lokal yang diaktivasi oleh mekanisme pelepasan

panas tubuh. Saraf yang sensitif terhadap panas meningkatkan

respon peningkatan produksi panas lokal yang diaktivasi oleh

mekanisme pelepasan panas tubuh. Saraf yang sensitif terhadap

dingin sebaliknya, meningkatkan respon terhadap dingin tubuh

pada area preoptik hipotalamus. Saraf yang sensitif tehadap

stimulasi termal lokal dikontrol oleh hipotalamus posterior,

formatio retikularis, dan medula spinalis. Hipotalamus posterior

menerima rangsang aferen dingin yang berasal dari perifer dengan

stimulasi panas yang bersumber dari area preoptik hipotalamus dan

mengaktifkan respon efektor. Deteksi dingin dibedakan dengan

panas berdasarkan impuls aferen yang berasal dari reseptor dingin.

Bila temperatur inti tubuh turun 0,5ºC dibawah nilai normal,

neuron preoptik akan menjadi tidak aktif. Kulit mengandung

Page 10: Tugas KKSD Final

10

reseptor dingin dan panas, dimana reseptor dingin 10 kali lebih

banyak bila dibandingkan dengan reseptor panas. Suatu penelitian

terhadap manusia menyimpulkan bahwa termoregulasi otonom

bekerja melalui empat mekanisme saraf yaitu: deteksi panas

sentral, deteksi dingin perifer, pusat inhibisi panas sebagai respon

metabolik terhadap dingin, dan inhibisi termoregulasi keringat

terhadap kulit yang dingin. Temperatur set‐point didefinisikan

sebagai batas ambang temperatur sekitar 36,7‐ 37,1 ºC. Set‐point

ini dapat disebut juga thermoneutral zone atau interthreshold range

dan pada manusia sangat unik. Pada manusia set‐point ini

bervariasi, selama tidur suhu tubuh sekitar 36,2 ºC sampai

menjelang pagi, meningkat lebih dari 10 ºC menjelang malam.

Wanita memiliki nilai set‐point yang lebih tinggi 10 ºC selama

siklus menstruasi pada fase luteal. Pada tumor intrakranial seperti

space‐occupying lesion dan keadaan dehidrasi dapat menyebabkan

peningkatan temperatur set‐point dengan mekanisme yang belum

jelas.

3) Respon Efektor

Respon termoregulasi ditandai dengan : pertama, perubahan

tingkah laku yang secara kuantitatif mekanisme ini lebih efektif,

kedua, respon vasomotor yang ditandai dengan vasokonstriksi

pembuluh darah dan piloereksi sebagai respon terhadap dingin, dan

vasodilatasi dan berkeringat sebagai respon terhadap panas, ketiga,

menggigil dan peningkatan rata‐rata metabolisme.8 Pada keadaan

sadar, perubahan tingkah laku lebih jelas terlihat bila dibandingkan

dengan mekanisme otonom regulasi temperatur tubuh. Bila

hipotalamic termostat mengindikasikan adanya temperatur tubuh

terlalu dingin, impuls dapat sampai ke korteks serebri tanpa melalui

hipotalamus untuk menghasilkan sensasi rasa dingin. Keadaan ini

menimbulkan perubahan tingkah laku seperti peningkatan aktivitas

motorik, berusaha mencari penghangat atau memakai penghangat

Page 11: Tugas KKSD Final

11

tambahan . Kontrol respon tingkah laku terhadap dingin didasari

oleh besarnya signal panas yang diterima kulit.

B. Efek pajaran suhu dingin terhadap kondisi fisiologi manusia

Saat suhu tubuh turun, meski hanya beberapa derajat di bawah suhu

normal yaitu 37o C, tubuh menggunakan mekanisme pertahanan untuk

memelihara suhu inti tubuhnya. Terus menerus terpajan dengan dingin

akan menyebabkan orang tersebut menggigil, sehingga menghasilkan

panas dengan menaikan kecepatan metabolik tubuh. Tubuh akan bereaksi

dengan mulai memindahkan aliran darah dari ekstrimitas tubuh dan kulit

bagian luar menuju inti tubuh (dada dan perut). Hal ini memungkinkan

kulit yang tepajan dan ekstrimitas untuk dingin lebih cepat dan

meningkatkan resiko frostbit dan hipotermia.

Hipotalamus otak manusia mengatur suhu inti tubuh dalam merespon

suhu baik panas maupun dingin. Hipotalamus bertanggung jawab untuk

menjalankan sistem pertahanan suhu tubuh untuk melawan dingin, yaitu

vasokontriksi peripheral dan menggigil. Tubuh dapat mengatur suhu

intinya dengan smenurunkan hilangnya panas (vasokontriksi peripheral)

dan meningkatkan produksi panas (menggigil). Memperbanyak aktivitas

fisik juga dapat meningkatkan produksi panas.

Vasokontriksi peripheral adalah respon yang dilakukan untuk

menurunkan suhu kulit. Vasokontriksi mengarahkan darah menjauh dari

permukaan kulit menuju inti tubuh, dimana panas lebih mudah dijaga.

Menggigil dihasilkan dari kontraksi otot voluntari dan menghasilkan

peningkatan produksi panas metabolik, yang dapat menggantikan panas

yang hilang. Ada hubungan antara kecepatan bernapas dan detak jantung.

Menggigil dapat meningkatkan metabolic rate 2-5 kali lipat (Wald Peter

H, 2002:151). Bagaimanapun juga apabila suhu inti tubuh menurun

karena terpajan dingin terus menerus, metabolik tubuh, pernapasan dan

detak jantung akan menurun.

Gejala yang muncul dari penderita hipotermia adalah menggigil,

ketidakmampuan dalam mengerjakan pekerjaan motorik, kelesuan dan

kebingungan ringan. Ini terjadi disaat suhu inti tubuh menurun hingga

Page 12: Tugas KKSD Final

12

sekitar 35oC (95oF). Selama suhu tubuh terus menurun, hipotermia

semakin bertambah parah. Individu tersebut akan jatuh dalam keadaan

linglung atau tak sadar, tidak berhasil dalam menyelesaikan tugas, walau

hanya pekerjaan motorik yang sederhana. Cara berbicara korban

hipotermia akan menyatu (tidak jelas) dan kebiasaan individu tersebut

akan rasional.

Keadaan yang paling parah terjadi ketika suhu tubuh inti berada di

bawah 32ºC. Hasilnya, tubuh berubah ke dalam keadaan tidur,

melambatnya detak jantung, aliran darah, dan bernafas. Ketidaksadarkan

dan gagal jantung dapat terjadi dalam keadaan yang benar-benar

hipotermik.

2.2 Kematian

1. Definisi

Kematian memiliki berbagai pengertian dipandang dari berbagai sudut

yang berbeda. Secara umum, mati berarti akhir dari kehidupan, ketiadaan

nyawa dalam organisme biologis. Semua makhlykuk hidup pada akhirnya

mati secara permanen, baik dari penyebab alami seperti penyakit atau dari

penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Setelajh kematian tubuh

makhluk hidup akan mengalami perubahan yang tidak akan terjadi pada

manusia hidup (Forensik FK UI, 1997).

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju maka

definisi mati pun berubah mengikuti ilmu perkembangan ilmu

pengetahuan yang ada. Secara tradisional mati dapat disedefinisikan

sebagai berhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan, yaitu sistem saraf

pusat, jantung, dan paru secara permanen (permanent cessation of life).

sementara itu, pengurus besar IDI menyatakan seseorang dinyatakan mati

bilamana fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara

pasti/irreversibel atau bila telah terbukti terjadi kematian otak (Forensik

FK UI, 1997; Husni, 2007; Wujoso, 2009).

Page 13: Tugas KKSD Final

13

2. Jenis kematian

Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati

somatis (mati klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati otak

(mati batang otak) (Forensik FK UI, 1997; Husni, 2007).

a) Mati somatis (mati klinis) ialah suatu keadaan dimana oleh karena

sesuatu sebab terjadi gangguan pada ketiga sistem utama (sistem saraf,

kardiovaskuler, dan pernafasan) yang bersifat menetap.

Pada kejadian mati somatis ini secara klinis tidak ditemukan adanya

refleks, elektro ensefalografi (EEG) mendatar, nadi tidak teraba,

denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerak pernapasan dan suara

napas tidak terdengar saat auskultasi.

b) Mati suri (apparent death) ialah suatu keadaan yang mirip dengan

kematian somatis, akan tetapi gangguan yang terdapat pada ketiga

sistem bersifat sementara. Kasus seperti ini sering ditemukan pada

kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam.

c) Mati seluler (mati molekuler) ialah suatu kematian organ atau jaringan

tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan

hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga

terjadinya kematian seluler pada tiap organ tidak bersamaan.

d) Mati serebral ialah suatu kematian akibat kerusakan kedua hemisfer

otak yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan

kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskuler

masih berfungsi dengan bantuan alat.

e) Mati otak (mati batang otak) ialah kematian dimana bila telah terjadi

kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversible, termasuk

batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati

batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak

dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan.

(Forensik FK UI, 1997; Husni, 2007; Wujoso, 2009)

3. Cara Mendeteksi Kematian

Melalui fungsi sistem saraf, kardiovaskuler, dan pernapasan, kita bisa

mendeteksi hidup matinya seseorang. Untuk mendeteksi tidak

Page 14: Tugas KKSD Final

14

berfungsinya sistem saraf, ada lima hal yang harus kita perhatikan yaitu

tanda areflex, relaksasi, tidak ada pegerakan, tidak ada tonus, dan elektro

ensefalografi (EEG) mendatar/flat (Forensik FK UI, 1997; Husni, 2007).

Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sistem kardiovaskuler ada enam

hal yang harus kita perhatikan yaitu denyut nadi berhenti pada palpasi,

denyut jantung berhenti selama 5-10 menit pada auskultasi, elektro

kardiografi (EKG) mendatar/ flat, tidak ada tanda sianotik pada ujung jari

tangan setelah jari tangan korban kita ikat (tes magnus), daerah sekitar

tempat penyuntikan icard subkutan tidak berwarna kuning kehijauan (tes

icard), dan tidak keluarnya darah dengan pulsasi pada insisi arteri radialis

(Forensik FK UI, 1997)

Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sisteim pernapasan juga ada

beberapa hal yang harus kita perhatikan, antara lain tidak ada gerak napas

pada inspeksi dan palpasi, tidak ada bising napas pada auskultasi, tidak ada

gerakan permukaan air dalam gelas yang kita taruh diatas perut korban

pada tes, tidak ada uap air pada cermin yang kita letakkan didepan lubang

hidung atau mulut korban, serta tidak ada gerakan bulu ayam yang kita

letakkan didepan lubang hidung atau mulut korban (Forensik FK UI,

1997).

4. Tanda Kematian

Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada

seseorang berupa tanda kematian yang perubahannya biasa timbul dini

pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian. Perubahan tersebut

dikenal sebagai tanda kematian yang nantinya akan dibagi lagi menjadi

tanda kematian pasti dan tanda kematian tidak pasti (Forensik FK UI,

1997; Husni, 2007).

a) Tanda kematian tidak pasti.

- Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit.

- Terhentinya sirkulasi yang dinilai selama 15 menit, nadi karotis

tidak teraba.

- Kulit pucat.

- Tonus otot menghilang dan relaksasi.

Page 15: Tugas KKSD Final

15

- Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit

setelah kematian.

- Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10

menit yang masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air mata.

b) Tanda kematian pasti

i. Livor mortis (Lebam Mayat)

Nama lain livor mortis ini antara lain lebam mayat, post mortem

lividity, post mortem hypostatic, post mortem sugillation, dan

vibices (Forensik FK UI, 1997; Husni, 2007).

Livor mortis adalah suatu bercak atau noda besar merah

kebiruan atau merah ungu (livide) pada lokasi terendah tubuh

mayat akibat penumpukan eritrosit atau stagnasi darah karena

terhentinya kerja pembuluh darah dan gaya gravitasi bumi, bukan

bagian tubuh mayat yang tertekan oleh alas keras (Forensik FK UI,

1997; Husni, 2007).

Bercak tersebut mulai tampak oleh kita kira-kira 20-30 menit

pasca kematian klinis. Makin lama bercak tersebut makin luas dan

lengkap, akhirnya menetap kira-kira 8-12 jam pasca kematian

klinis.Sebelum lebam mayat menetap, masih dapat hilang bila kita

menekannya. Hal ini berlangsung kira-kira kurang dari 6-10 jam

pasca kematian klinis. Juga lebam masih bisa berpindah sesuai

perubahan posisi mayat yang terakhir. Lebam tidak bisa lagi kita

hilangkan dengan penekanan jika lama kematian klinis sudah

terjadi kira-kira lebih dari 6-10 jam (Forensik FK UI, 1997; Husni,

2007).

Ada 4 penyebab bercak makin lama semakin meluas dan

menetap, yaitu:

- Ekstravasasi dan hemolisis sehingga hemoglobin keluar.

- Kapiler sebagai bejana berhubungan.

- Lemak tubuh mengental saat suhu tubuh menurun.

- Pembuluh darah oleh otot saat rigor mortis.

(Forensik FK UI, 1997; Husni, 2007).

Page 16: Tugas KKSD Final

16

Livor mortis dapat kita lihat pada kulit mayat. Juga dapat kita

temukan pada organ dalam tubuh mayat. Masing-masing sesuai

dengan posisi mayat. Lebam pada kulit mayat dengan posisi mayat

terlentang, dapat kita lihat pada belakang kepala, daun telinga,

ekstensor lengan, fleksor tungkai, ujung jari dibawah kuku, dan

kadang-kadang di samping leher. Tidak ada lebam yang dapat kita

lihat pada daerah skapula, gluteus dan bekas tempat dasi (Forensik

FK UI, 1997).

Lebam pada kulit mayat dengan posisi mayat tengkurap, dapat

kita lihat pada dahi, pipi, dagu, bagian ventral tubuh, dan ekstensor

tungkai. Lebam pada kulit mayat dengan posisi tergantung, dapat

kita lihat pada ujung ekstremitas dan genitalia eksterna. Lebam

pada organ dalam mayat dengan posisi terlentang dapat kita

temukan pada posterior otak besar, posterior otak kecil, dorsal

paru-paru, dorsal hepar, dorsal ginjal, posterior dinding lambung,

dan usus yang dibawah (dalam rongga panggul) (Forensik FK UI,

1997; Husni, 2007).

Ada tiga faktor yang mempengaruhi livor mortis yaitu volume

darah yang beredar, lamanya darah dalam keadaan cepat cair dan

warna lebam. Volume darah yang beredar banyak menyebabkan

lebam mayat lebih cepat dan lebih luas terjadi. Sebaliknya lebih

lambat dan lebih terbatas penyebarannya pada volume darah yang

sedikit, misalnya pada anemia (Forensik FK UI, 1997; Husni,

2007).

Ada lima warna lebam mayat yang dapat kita gunakan untuk

memperkirakan penyebab kematian yaitu (1) warna merah

kebiruan merupakan warna normal lebam, (2) warna merah terang

menandakan keracunan CO, keracunan CN, atau suhu dingin, (3)

warna merah gelap menunjukkan asfiksia, (4) warna biru

menunjukkan keracunan nitrit dan (5) warna coklat menandakan

keracunan aniline (Forensik FK UI, 1997; Husni, 2007; Wujoso,

2009).

Page 17: Tugas KKSD Final

17

Interpretasi livor mortis dapat diartikan sebagai tanda pasti

kematian, tanda memperkirakan saat dan lama kematian, tanda

memperkirakan penyebab kematian dan posisi mayat setelah

terjadi lebam bukan pada saat mati.

Livor mortis harus dapat kita bedakan dengan resapan darah

akibat trauma (ekstravasasi darah). Warna merah darah akibat

trauma akan menempati ruang tertentu dalam jaringan. Warna

tersebut akan hilang jika irisan jaringan kita siram dengan air

(Forensik FK UI, 1997; Husni, 2007).

ii. Rigor mortis (Kaku Mayat)

Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada

otot yang kadang-kadang disertai dengan sedikit pemendekan

serabut otot, yang terjadi setelah periode pelemasan/ relaksasi

primer; hal mana disebabkan oleh karena terjadinya perubahan

kimiawi pada protein yang terdapat dalam serabut-serabut otot

(Forensik FK UI, 1997; Husni, 2007).

a. Cadaveric spasme

Cadaveric spasme atau instantaneous rigor adalah suatu

keadaan dimana terjadi kekakuan pada sekelompok otot dan

kadang-kadang pada seluruh otot, segera setelah terjadi

kematian somatis dan tanpa melalui relaksasi primer (Forensik

FK UI, 1997).

b. Heat Stiffening

Heat Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat suhu

tinggi, misalnya pada kasus kebakaran (Forensik FK UI, 1997).

c. Cold Stiffening

Cold Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat suhu

rendah, dapat terjadi bila tubuh korban diletakkan dalam freezer,

atau bila suhu keliling sedemikian rendahnya, sehingga cairan

tubuh terutama yang terdapat sendi-sendi akan membeku

(Forensik FK UI, 1997).

iii. Algor mortis (Penurunan suhu tubuh)

Page 18: Tugas KKSD Final

18

Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh mayat akibat

terhentinya produksi panas dan terjadinya pengeluaran panas

secara terus-menerus. Pengeluaran panas tersebut disebabkan

perbedaan suhu antara mayat dengan lingkungannya. Algor mortis

merupakan salah satu perubahan yang dapat kita temukan pada

mayat yang sudah berada pada fase lanjut post mortem (Forensik

FK UI, 1997).

Pada beberapa jam pertama, penurunan suhu terjadi sangat

lambat dengan bentuk sigmoid. Hal ini disebabkan ada dua faktor,

yaitu masih adanya sisa metabolisme dalam tubuh mayat dan

perbedaan koefisien hantar sehingga butuh waktu mencapai tangga

suhu (Forensik FK UI, 1997; Wujoso, 2009).

Ada sembilan faktor yang mempengaruhi cepat atau lamanya

penurunan suhu tubuh mayat, yaitu:

a. Besarnya perbedaan suhu tubuh mayat dengan lingkungannya.

b. Suhu tubuh mayat saat mati. Makin tinggi suhu tubuhnya, makin

lama penurunan suhu tubuhnya.

c. Aliran udara makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.

d. Kelembaban udara makin mempercepat penurunan suhu tubuh

mayat.

e. Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat

penurunan suhu tubuh mayat.

f. Aktivitas sebelum meninggal.

g. Sebab kematian, misalnya asfiksia dan septikemia, mati dengan

suhu tubuh tinggi.

h. Pakaian tipis makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.

i. Posisi tubuh dihubungkan dengan luas permukaan tubuh yang

terpapar.

Penilaian algor mortis dapat dilakukan dengan cara sebagai

berikut, antara lain:

a. Lingkungan sangat mempengaruhi ketidakteraturan penurunan

suhu tubuh mayat.

Page 19: Tugas KKSD Final

19

b. Tempat pengukuran suhu memegang peranan penting.

c. Dahi dingin setelah 4 jam post mortem.

d. Badan dingin setelah 12 jam post mortem.

e. Suhu organ dalam mulai berubah setelah 5 jam post mortem.

f. Bila korban mati dalam air, penurunan suhu tubuhnya

tergantung dari suhu, aliran, dan keadaan airnya.

g. Rumus untuk memperkirakan berapa jam sejak mati yaitu

(98,4ºF - suhu rectalºF): 1,5ºF

(Forensik FK UI, 1997; Wujoso, 2009)

iv. Dekomposisi (Pembusukan)

Pembusukan mayat nama lainnya dekomposisi dan putrefection.

Pembusukan mayat adalah proses degradasi jaringan terutama

protein akibat autolisis dan kerja bakteri pembusuk terutama

Klostridium welchii. Bakteri ini menghasilkan asam lemak dan gas

pembusukan berupa H2S, HCN, dan AA. H2S akan bereaksi dengan

hemoglobin (Hb) menghasilkan HbS yang berwarna hijau

kehitaman. Syarat terjadinya degradasi jaringan yaitu adanya

mikroorganisme dan enzim proteolitik (Forensik FK UI, 1997).

Proses pembusukan telah terjadi setelah kematian seluler dan

baru tampak oleh kita setelah kira-kira 24 jam kematian. Kita akan

melihatnya pertama kali berupa warna kehijauan (HbS) di daerah

perut kanan bagian bawah yaitu dari sekum (caecum). Lalu

menyebar ke seluruh perut dan dada dengan disertai bau busuk

(Forensik FK UI, 1997; Wujoso, 2009).

Ada 17 tanda pembusukan, yaitu wajah dan bibir membengkak,

mata menonjol, lidah terjulur, lubang hidung dan mulut

mengeluarkan darah, lubang lainnya keluar isinya seperti feses

(usus), isi lambung, dan partus (gravid), badan gembung, bulla atau

kulit ari terkelupas, aborescent pattern/ marbling yaitu vena

superfisialis kulit berwarna kehijauan, pembuluh darah bawah kulit

melebar, dinding perut pecah, skrotum atau vulva membengkak,

Page 20: Tugas KKSD Final

20

kuku terlepas, rambut terlepas, organ dalam membusuk, dan

ditemukannya larva lalat (Forensik FK UI, 1997).

Organ dalam yang cepat membusuk antara lain otak, lien,

lambung, usus, uterus gravid, uterus post partum, dan darah. Organ

yang lambat membusuk antara lain paru-paru, jantung, ginjal dan

diafragma. Organ yang paling lambat membusuk antara lain

kelenjar prostat dan uterus non gravid (Forensik FK UI, 1997).

Larva lalat dapat kita temukan pada mayat kira-kira 36-48 jam

pasca kematian. Berguna untuk memperkirakan saat kematian dan

penyebab kematian karena keracunan. Saat kematian dapat kita

perkirakan dengan cara mengukur panjang larva lalat. Penyebab

kematian karena racun dapat kita ketahui dengan cara

mengidentifikasi racun dalam larva lalat (Forensik FK UI, 1997).

Ada sembilan faktor yang mempengaruhi cepat-lambatnya

pembusukan mayat, yaitu:

a. Mikroorganisme. Bakteri pembusuk mempercepat

pembusukan.

b. Suhu optimal yaitu 21-370C mempercepat pembusukan.

c. Kelembaban udara yang tinggi mempercepat pembusukan.

d. Umur. Bayi, anak-anak dan orang tua lebih lambat terjadi

pembusukan.

e. Konstitusi tubuh. Tubuh gemuk lebih cepat membusuk daripada

tubuh kurus.

f. Sifat medium. Udara: air: tanah (1: 2: 8).

g. Keadaan saat mati. Oedem mempercepat pembusukan.

Dehidrasi memperlambat pembusukan.

h. Penyebab kematian. Radang, infeksi, dan sepsis mempercepat

pembusukan. Arsen, stibium dan asam karbonat memperlambat

pembusukan.

i. Seks. Wanita baru melahirkan (uterus post partum) lebih cepat

mengalami pembusukan.

Page 21: Tugas KKSD Final

21

Pada pembusukan mayat kita juga dapat menginterpretasikan

suatu kematian sebagai tanda pasti kematian, untuk menaksir saat

kematian, untuk menaksir lama kematian, serta dapat

membedakannya dengan bulla intravital (Forensik FK UI, 1997;

Wujoso, 2009).

v. Adipocere (Saponifikasi Mayat)

Adipocere adalah suatu keadaan dimana tubuh mayat

mengalami hidrolisis dan hidrogenisasi pada jaringan lemaknya,

dan hidrolisis ini dimungkinkan oleh karena terbentuknya

lesitinase, suatu enzim yang dihasilkan oleh Klostridium welchii,

yang berpengaruh terhadap jaringan lemak (Forensik FK UI,

1997).

Untuk dapat terjadi adipocere dibutuhkan waktu yang lama,

sedikitnya beberapa minggu sampai beberapa bulan dan

keuntungan adanya adipocere ini, tubuh korban akan mudah

dikenali dan tetap bertahan untuk waktu yang sangat lama sekali,

sampai ratusan tahun (Forensik FK UI, 1997; Wujoso, 2009).

vi. Mummifikasi

Mummifikasi dapat terjadi bila keadaan lingkungan

menyebabkan pengeringan dengan cepat sehingga dapat

menghentikan proses pembusukan. Jaringan akan menjadi gelap,

keras dan kering. Pengeringan akan mengakibatkan menyusutnya

alat-alat dalam tubuh, sehingga tubuh akan menjadi lebih kecil dan

ringan. Untuk dapat terjadi mummifikasi dibutuhkan waktu yang

cukup lama, beberapa minggu sampai beberapa bulan; yang

dipengaruhi oleh keadaan suhu() lingkungan dan sifat aliran udara

(Forensik FK UI, 1997).

2.3 Suhu Dingin

4 Respon Tubuh terhadap Suhu Dingin

Dingin adalah bahaya fisik yang dapat mengganggu fisiologis suhu

tubuh seseorang. Sebuah penelitian menunjukan bahwa dengan suhu

Page 22: Tugas KKSD Final

22

dingin 18⁰C seseorang akan mengalami penurunan suhu tubuh dengan

rata-rata penurunan 0,55⁰C (Nugroho, 2009). Pada kasus yang terjadi di

India Selatan, suhu lingkungan yang dingin juga mengakibatkan

penurunan suhu tubuh hingga 26,3⁰C (Anand dkk., 2014). Mekanisme

pengatur suhu tidak 100% efektif sehingga suhu inti tubuh akan

mengalami penurunan jika tubuh terpapar suhu dingin.

Paparan suhu dingin pada tubuh akan memberikan dampak berupa

perubahan fisiologis pada tubuh. Respon terjadi secara cepat pada kulit

akibat perubahan temperatur lingkungan. Termoregulasi terhadap dingin

dipengaruhi oleh reseptor dingin pada kulit dan dihambat oleh pusat

reseptor panas. Reseptor dingin pada kulit merupakan sistem pertahanan

tubuh terhadap temperatur dingin dan input aferen yang berasal dari

reseptor dingin ditransmisikan langsung ke hipotalamus (Dhany, 2011).

Hipotalamus mengatur suhu tubuh manusia apabila terpapar suhu

lingkungan. Hipotalamus memicu peningkatan produksi panas yang

mengakibatkan respon vasokontriksi peripheral (Sherwood, 2001). Pada

saat terpapar suhu dingin, tubuh dapat mengatur suhu intinya dengan

menurunkan hilangnya panas (vasokontriksi peripheral). Vasokontriksi

peripheral 13 merupakan respon yang dilakukan dengan mengurangi

pengeluaran panas dan menurunkan suhu pada kulit. Pada saat yang sama,

hipotalamus merespon dengan meningkatkan produksi panas melalui

peningkatan metabolisme dan aktivitas otot rangka dalam bentuk

menggigil (Nugroho, 2009).

Tubuh manusia dapat menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar

jika perubahan temperatur luar tidak melebihi 35% untuk kondisi dingin

(Karisti, 2008). Tubuh akan mengalami aklimatisasi bila suhu lingkungan

berada di bawah suhu tubuhnya. Aklimatisasi merupakan penyesuaian

fisiologis tubuh terhadap suatu lingkungan baru. Tubuh yang terpapar suhu

dingin akan kehilangan panas dalam tubuhnya yang ditandai dengan

menggigil. Aklimatisasi pada suhu dingin ditandai dengan adanya

penurunan suhu di bagian rectal dan esophageal (Marino dkk., 1998).

Aklimatisasi pada suhu dingin paling cepat terjadi selama dua minggu

Page 23: Tugas KKSD Final

23

dengan paparan 20⁰C kurang dari satu hari yang dipengaruhi dengan 14

kondisi fisik yang baik dan kemampuan aklimatisasi tubuh (Sawka dkk.,

2001). Paparan berulang akan meningkatkan toleransi terhadap dingin.

Apabila tubuh tidak mampu beradaptasi dengan suhu dingin dengan

mengalami penurunan suhu tubuh mencapai di bawah 85⁰F maka

kemampuan hipotalamus untuk mengatur suhu tubuh hilang dan akan

mengganggu (Guyton, 1995).

5 Dampak Suhu Dingin terhadap Tubuh Manusia

Menurut Canadian Centre of Occupational Health and Saftey (2008)

penurunan suhu tubuh dibagi menjadi 4 yaitu normal (36,1-37⁰C),

hipotermia ringan (35,1-36⁰C), hipotermia sedang (32,2- 35⁰C) dan

hipotermia berat (32,1-23,9⁰C) Pada lingkungan dengan suhu rendah,

tubuh akan bereaksi dan menimbulkan keluhan-keluhan subyektif seiring

dengan semakin menurunnya suhu tubuh.

Tabel 2.1 Reaksi Tubuh Manusia akibat Suhu Dingin Berdasarkan Suhu

Tubuh Inti

Suhu Inti (oC) Reaksi Tubuh

37 Sensasi thermoneutral

36 Kegelisahan, tangan dan kaki menggigil

35 Disorientasi, apatis, menggigil kuat, kulit menjadi

biru/keabuan, jantung berdegup.

34 Menggigil yang sangat keras, jari kaku dan kebiruan,

kebingungan

33

Mengantuk, depresi, berhenti menggigil, sulit

bernafas, napas pendek, dan tidak mampu merespon

rangsangan.

32 Progresif

31

Pingsan, halusinasi, kekakuan otot, sangat bingung,

tidur yang dalam dan menuju koma, detak jantung

rendah, tidak menggigil.

30 Koma, tidak sadar, tidak memiliki refleks.

Page 24: Tugas KKSD Final

24

29 Denyut jantung melambat

<28

kulit membiru, menolak bantuan, pingsan, pasien

tidak sadarkan diri, jantung berhenti menuju

kematian.

Sumber: Arief, 2012; Biem dkk., 2003; dan OSH, 1997

Tabel 1 di atas menunjukan bahwa semakin menurun suhu tubuh

maka akan semakin menimbulkan gejala-gejala yang merupakan reaksi

tubuh terhadap suhu dingin dan mendekati kematian. Reaksi tubuh

tersebut merupakan gejala dari hipotermia. Ketika seseorang terus

menerus terpapar suhu dingin maka tubuh akan terus melakukan

pertahanan terhadap lingkungan yang dingin untuk tetap menjaga suhu

tubuhnya hingga menimbulkan gejala seperti menggigil. Menggigil dapat

meningkatkan metabolic rate 2-5 kali lipat (Nugroho, 2009). Hal ini

dikarenakan suhu tubuh yang menurun di bawah suhu normal. Suhu di

bawah normal biasanya karena gangguan pembentukan panas atau

kelainan pada termostat. Selain menyebabkan hipotermia, paparan suhu

dingin terhadap tubuh manusia juga dapat mengakibatkan frosbite dan

trench foot (Lerner & Brenda, 2007). Gejala-gejala dari frosbite dan trench

foot hampir sama yaitu berkurangnya aliran darah ke tangan dan kaki, mati

rasa, kesemutan atau menyengat, merasakan sakit, kulit kebiruan dan kaki

keram (NIOSH, 2010).

6 Faktor-faktor Individu yang Mempengaruhi Dampak Suhu Dingin

a. Jenis kelamin

Wanita dan laki-laki memiliki sistem fisiologis yang berbeda

sehingga dalam aklimatisasi pada lingkungan juga memiliki perbedaan.

Wanita lebih tahan terhadap suhu dingin daripada suhu panas. Hal

tersebut disebabkan wanita memiliki jaringan dengan daya konduksi

yang lebih tinggi terhadap panas bila dibandingkan dengan laki-laki

sehingga tingkat produksi keringat pada perempuan lebih sedikit

dibanding laki-laki. Selain itu suhu wanita juga mengalami irama

bulanan dalam kaitannya dengan daur haid. Suhu inti rata-rata 0,5⁰C

(0,9⁰F) lebih tinggi selama separuh terakhir siklus dari saat ovulasi ke

Page 25: Tugas KKSD Final

25

haid. (Sheerwood, 2001). Walaupun tingkat pendinginan tubuh lebih

lambat pada wanita, tetapi dari ekstremitas akan lebih cepat (OSH,

1997).

Selain itu laki-laki juga memiliki faktor risiko lebih besar untuk

kematian yang disebabkan oleh hipotermia (CDC, 2007). Sifat isolator

tubuh pria sama dengan tiga per empat sifat isolator pakaian biasa

sedangkan pada wanita sifat isolator ini tetap lebih baik (Guyton 1995).

Hal tersebut menunjukan bahwa laki-laki dan wanita sama-sama

memiliki risiko terhadap cedera dingin hanya saja wanita lebih kuat

terhadap paparan suhu dingin.

b. Usia

Usia merupakan satuan waktu yang dapat mengukur waktu hidup

manusia. Semakin tua usia seseorang maka kemampuan fisiologis

tubuh semakin menurun (Nugroho, 2009). Pada 59 kematian akibat

hipotermia di Montana, 53% korban berusia di atas 65 tahun, dan 34%

berusia 45-64 tahun (CDC, 2007). Lansia sensitif terhadap suhu ektrim

karena kemunduran mekanisme kontrol terutama pada kontrol

vasomotor, penurunan jumlah jaringan subkutan, penurunan aktivitas

kelenjar dan penurunan metabolisme (Fauzi, 2013). Orang yang lebih

tua memerlukan waktu yang lama untuk mengembalikan suhu tubuh

menjadi normal setelah terpapar suhu ektrem (Annuriyana, 2010).

Penurunan panas berlebih akan menyebabkan kematian pada orang usia

lanjut yang tidak mendapatkan penghangatan yang adekuat (Burnside

dan Thomas, 1995).

c. Indeks Massa Tubuh (IMT)

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan cara sederhana untuk

mengetahui status gizi orang dewasa dengan membandingkan berat

badan (kg) dan tinggi badan (m2) seseorang (Riski, 2013). Status gizi

seseorang dapat diketahui dengan menggunakan IMT guna mengetahui

normal atau tidaknya status gizi yang dimiliki. Semakin tinggi IMT

maka jumlah lemak dalam tubuh semakin banyak. Kondisi yang rentan

terhadap suhu dingin yaitu keadaan malnutrisi yang identik dengan

Page 26: Tugas KKSD Final

26

tubuh kurus, karena dapat mengurangi bahan bakar yang tersedia untuk

memperoleh panas tubuh (Biem dkk., 2003). Kehilangan panas akan

cepat terjadi apabila memiliki tubuh yang kurus karena tubuh yang

kurus memiliki sedikit lemak untuk dapat menghantarkan panas dan

melindungi tubuh dari paparan suhu dingin (Sherwood, 2001). Orang

dengan tubuh gemuk memiliki jaringan adiposa dengan ketebalan

lemak subkutan sehingga lebih jarang mengalami penurunan suhu

tubuh (Brazaitis dkk., 2014).

d. Lama Terpapar Suhu Dingin

Manusia dapat beradaptasi dengan suhu lingkungan yang dingin

paling cepat dalam waktu dua minggu dengan paparan kurang dari satu

hari sesuai dengan kondisi fisik yang baik dan kemampuan aklimatisasi

(Sawka dkk., 2001). Hal tersebut menunjukan semakin lama terpapar

suhu dingin maka tubuh akan meningkatkan toleransi terhadap suhu

dingin. Aklimatisasi dikarenakan produksi panas tubuh yang dapat

mempertahankan suhu tubuh sehingga sistem termoregulasi terbiasa

dengan peningkatan dan penurunan produksi panas tubuh. Ketika tubuh

tidak mampu beradaptasi dengan suhu dingin dan mengalami

penurunan suhu tubuh di bawah 85⁰F maka kemampuan hipotalamus

untuk mengatur suhu tubuh hilang dan akan mengganggu walaupun

setelahnya suhu tubuh hanya turun 94⁰F (Guyton, 1995).

e. Riwayat Penyakit

Riwayat penyakit akan mengganggu metabolisme tubuh terutama

pada penyakit yang berhubungan dengan organ dalam. Penurunan

pembentukan panas terjadi pada keadaan hipometabolik, seperti pada

miksedema berat, malnutrisi, hipoglikemia dan insufiensi adrenal.

Penekanan sistem saraf pusat karena penyakit otak primer, obat-obatan

atau toksin dapat mengubah termostat dan menyebabkan hipotermia

(Burnside dan Thomas., 1995). Seseorang akan berisiko hipotermia

apabila mereka memiliki penyakit seperti jantung, kencing manis,

ginjal, stroke dan syaraf (Nugroho, 2009). Selain itu hipertensi,

diabetes, hipotiroidisme dan arteriosclerosis juga rentan terhadap

Page 27: Tugas KKSD Final

27

cedera dingin dan dikarenakan sirkulasi yang buruk (Safety

Compliance Letter, 2008). Hal tersebut akan berpengaruh pula terhadap

perubahan suhu inti tubuh karena akan mengganggu proses produksi

panas tubuh apabila organ-organ dalam seperti abdomen, kepala dan

dada mengalami hipometabolik.

2.4 HIPOTERMIA

1. Definisi

Dalam buku Harrison’s Principles Of Internal Medicine (2008),

Hipotermia adalah kondisi dimana tubuh mengalami penurunanan suhu

inti (suhu organ dalam) dibawah 35oC (95oF). Tubuh manusia mampu

mengatur suhu pada zona termonetral, yaitu antara 36,5-37,5 °C. Di luar

suhu tersebut, respon tubuh untuk mengatur suhu akan aktif

menyeimbangkan produksi panas dan kehilangan panas dalam tubuh.

Hipotermia diakibatkan oleh lepasnya panas karena konduksi, konveksi,

radiasi, atau transpirasi. Di samping sebagai suatu gejala, hipotermia dapat

merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian (Sudoyo dkk,

2009).

2. Klasifikasi

Beberapa literatur mengklasifikasikan hipotermia menjadi 3, yaitu

hipotermia ringan (suhu tubuh berkisar 32,2°C - 35°C), hipotermia sedang

(suhu tubuh berkisar 28°C – 32,2°C) dan hipotermia berat (suhu tubuh

berkisar <28°C) (Sudoyo dkk, 2009). Berikut tabel pembagian derajat

hipotermia beserta gejalanya:

Page 28: Tugas KKSD Final

28

Gejala hipotermia ringan adalah penderita berbicara melantur, kulit

menjadi sedikit berwana abu-abu, detak jantung melemah, tekanan darah

menurun, dan terjadi kontraksi otot / menggigil sebagai usaha tubuh untuk

menghasilkan panas. Pada penderita hipotermia sedang, detak jantung dan

respirasi melemah hingga mencapai hanya 3-4 kali bernapas dalam satu

menit. Pada penderita hipotermia berat, pasien tidak sadar diri, badan

menjadi sangat kaku, pupil mengalami dilatasi (membesar), terjadi

hipotensi akut, dan pernapasan sangat lambat hingga tidak ada (Sudoyo

dkk, 2009).

3. Etiologi

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hipotermi antara lain

paparan suhu lingkungan, intoksikasi alkohol, cedera otak, syok dan

beberapa kondisi penyakit seperti hipotiroidism, neuropati, diabetes dan

hipoglikemi. Kelelahan dan juga keseimbangan energi yang negatif juga

meningkatkan risiko terjadinya hipotermi. Pasien yang menjalani

pembedahan darurat dapat juga mengalami hipotermi akibat kehilangan

panas melalui paparan dingin ruang operasi (melalui radiasi, konduksi,

konveksi, dan evaporasi) dan sebab iatrogenik (pemberian cairan infus dan

tranfusi darah Intravena yang dingin). Pemberian obat anestesi juga

mengganggu kemampuan untuk mempertahankan homeostasis suhu,

menyebabkan redistribusi suhu inti tubuh yang hangat ke jaringan perifer

yang dingin sehingga semakin menurunkan suhu inti. Anestesi Umum juga

merubah ambang batas untuk vasokonstriksi termoregulasi dan menggigil.

Selain itu, trauma juga terbukti merubah termoregulasi, menurunkan

produksi panas, dan merusak kompensasi menggigil (Hildebrand dkk,

2004; Tsuei dkk, 2004).

4. Respon tubuh terhadap Hipotermia

Pada keadaan hipotermia dapat diamati beberapa fase adaptasi yang

terjadi pada tubuh manusia. Fase tersebut dimulai dari fase eksitatorik

untuk mengkompensasi turunnya suhu tubuh inti. Jika terus berlangsung

maka akan diikuti fase adinamik, paralitik, dan fase awal kematian.

Page 29: Tugas KKSD Final

29

Tabel 2.2 Reaksi tubuh terhadap hipotermia

(Sumber: Guyton, 2008).

a. Perubahan kardiovaskular

Menggigil yang intensif dapat terjadi pada suhu antara 34oC sampai

36oC dengan akibat peningkatan kebutuhan oksigen dan laju

metabolism. Selama penghangatan kembali, bisa terjadi pelepasan

bekuan darah dingin dan metabolit asam dari pembuluh darah perifer,

dilatasi pembuluh darah sistemik sehingga terjadi instabilitas

kardiovaskular ditandai dengan hipotensi, depresi miokard, dan

pelepasan metabolit asam. Hipotermia yang menyebabkan efek

inotropik negatif pada miokard dan depresi kontraktilitas jantung kiri

dapat terjadi pada hipotermia sedang. Hipotermia juga berhubungan

dengan disritmia atrium dan ventrikel. Perubahan EKG awal yang

terjadi pada hipotermia adalah sinus takikardia. Ketika suhu semakin

turun maka akan terjadi bradikardia. Respon jantung terhadap

katekolamin juga akan menjadi tumpul ketika terjadi hipotermia, juga

jantung akan menjadi tidak toleran terhadap hipervolemia dan

hipovolemia. Hipotermia intraoperatif meningkatkan kejadian

gangguan jantung seperti iskemia, angina unstable, dan takikardia

ventrikel. Peningkatan gangguan jantung dapat lebih hebat dari sekedar

vasokonstriksi perifer, peningkatan kadar norepinefrin, dan perubahan

Fase I

36-36oC

(Eksitasi)

Fase 2

33-30oC

(Exhaution)

Fase 3

30-27oC

(Paralysis)

Fase 4

< 27oC

(Vita

reducta/k

ematian)

Sistem otot Menggigil Penurunan

tonus otot

Munculnya

rigiditas otot

Sistem sirkulasi

dan

kardiovaskular

Takikardia

Penurunan perfusi

ke perifer

Sinus

bradikardi

Munculnya

resistensi oleh

karena peningkatan

viskositas darah

VT

VF

Sistem

pernafasan

Hiperventilasi Depresi nafas

sentral

Bradipneu diselingi

fase apneu

apneu

Sistem saraf Munculnya

kepanikan dan

kewaspadaan

Disorientasi,

apatis

Tidak sadar, refleks

(-)

Page 30: Tugas KKSD Final

30

tonus alfa-adrenoseptor akibat reaksi terhadap suhu dingin (Soreide

dkk, 2004).

Pada hipotermia ringan, terjadi takikardia, vasokonstriksi perifer dan

peningkatan cardiac output. Tekanan darah akan sedikit naik. Jika

temperatur semakin turun dan menyebabkan hipotermia sedang, maka

akan terjadi bradikardi progresif akibat penurunan depolarisasi spontan

dari sel-sel pace maker. Pada hipotermia sedang ini dapat terjadi

penurunan cardiac output, namun masih dapat di kompensasi dengan

peningkatan resistensi vaskuler sistemik akibat respons reflex otonom

dan pelepasan katekolamin. Peningkatan resistensi sistemik ini akan

menyebabkan hemokonsentrasi, viskositas darah meningkat dan terjadi

respon vasomotor.

Denyut jantung akan turun hingga 30-40 kali/menit pada temperatur

28⁰C. Ketidakstabilan frekuensi denyut jantung juga dapat disebabkan

karena hipoglikemia, hipovolemia dan obat. Pada temperature < 24⁰C

dapat terjadi asistol yang merupakan manifestasi primer dari

hipotermia. Pada temperatur yang lebih rendah, dapat terjadi bradikardi

ekstrim (20 kali/menit) pada temperature 20⁰C.

Iskemi, peningkatan aktivitas adrenergic dan gangguan elektrolit

merupakan predisposisi terjadinya iritabilitas pada miokard. Pada

hipotermia sedang, hal ini dapat menyebabkan aritmia, yang paling

sering adalah fibrilasi atrium, atrial flutter, multifocal ventricular

extrasystoles dan takiaritmia. Fibrilasi ventrikel umumnya terjadi

apabila ada perubahan mendadak pada status asam-basa (pO2 atau

pCO2), temperatur miokard, dan temperatur berada di bawah 27⁰C.

b. Hematologi

Pada keadaan hipotermia maka dapat terjadi peningkatan viskositas

darah, fibrinogen dan hematokrit sehingga dapat mengganggu fungsi

kerja organ-organ lain. Perubahan permeabilitas vaskuler menyebabkan

perpindahan plasma ke extravaskuler, diikuti dengan hipovolemia yang

diperberat dengan diuresis yang diinduksi oleh cuaca dingin.

Hematokrit naik ±2% setiap penurunan temperature 1⁰C. Cuaca dingin

Page 31: Tugas KKSD Final

31

secara langsung menginhibisi reaksi enzim pada jalur intrinsik dan

ekstrinsik kaskade pembekuan yang dapat menyebabkan koagulopati.

Hipotermia dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah akibat

gangguan fungsi trombosit, penghambatan pergerakan enzim

pembekuan, dan aktivasi kaskade fibrinolisis. Koagulopati yang

mengancam nyawa berhubungan dengan suhu kurang dari 34oC dan

progresivitas asidosis metabolic (Soreide dkk, 2004). Hipotermia dan

kombinasi hipotermia-asidosis menyebabkan gangguan koagulasi.

Inhibisi produksi thromboksan B2 menyebabkan penurunan respon

trombosit untuk agregasi. Trombosit selanjutnya akan disimpan di

limpa dan hati yang tidak dapat digunakan.

Hipotermia menyebabkan pelepasan senyawa seperti heparin

sehingga menyebkan gejala seperti disseminated intravascular

coagulation (DIC). Hal ini ditandai dengan peningkatan masa

protrombin (PT) dan masa parsial tromboplastin (PTT), dan

meningkatnya produksi fibrin. Hipotermia juga mempengaruhi faktor

Hageman dan tromboplastin yang diperlukan untuk membentuk bekuan

pada endotel yang cedera (Dirkman dkk, 2008).

Pasien hipotermi berat hampir selalu mengalami asidosis metabolik

serius, yang disebabkan oleh perfusi jaringan menurun dan menggigil

dengan peningkatan pembentukan asam laktat dan metabolit lainnya

(Hildebrand dkk, 2004). Hipotermi yang terjadi bersamaan dengan

asidosis metabolik dan koagulopati telah diidentifikasi menjadi “lethal

Triad” atau “Trias Kematian” (Tsuei dkk, 2004; Dirkman dkk, 2008).

Pasien yang datang dengan trias kematian mempunyai angka kematian

sebesar 50–60% (Mitra dkk, 2011).

c. Neuromuskular

Efek paparan cuaca dingin terhadap sistem saraf pusat akan tampak

nyata, berupa kebingungan dan kadang amnesia ringan. Semakin turun

temperatur, pasien akan semakin mengalami gangguan kesadaran.

Regulasi serebrovaskuler akan menghilang pada temperature 25⁰C dan

Page 32: Tugas KKSD Final

32

aliran darah ke serebral akan berkurang 6-7% tiap penurunan

temperature 1⁰C.

Pada hipotermia berat, akan terjadi penurunan kecepatan

metabolisme tubuh sehingga terjadi peningkatan toleransi iskemia

serebral. EEG akan menjadi datar pada temperature < 20⁰C.

Menggigil akan terjadi pada hipotermia ringan namun kemudian

akan berkurang seiring dengan penurunan temperature tubuh. Semakin

turun temperature tubuh, cairan synovial akan semakin mengental

sehingga menimbulkan kekakuan otot-otot dan persendian. Ataxia dan

hilangnya kontrol motorik halus akan mulai terjadi pada hipotermia

ringan, diikuti dengan hiporefleks pada hipotermia sedang. Tubuh

kaku, pupil berdilatasi dan terjadi areflexia apabila temperature tubuh

<28⁰C. Pada hipotermia berat, kekakuan otot dan sendi akan nampak

seperti rigor mortis.

d. Pernapasan

Pada hipotermia ringan dapat terjadi takipnea, yang kemudian

diikuti bronkosmpasme dan bronkorrhoea. Ketika temperature tubuh

turun hingga menyebabkan hipotermia sedang, refleks perlindungan

terhadap jalan napas akan semakin menurun pula akibat fungsi siliar

terganggu. Hal ini menjadi predisposisi terjadinya aspirasi dan

pneumonia. Penurunan konsumsi oksigen dan produksi karbondioksida

akan terjadi ±50% pada suhu 30⁰C. Regulasi temperatur inti tubuh

sangatlah bergantung pada kadar pCO2. Pada hipotermia berat terjadi

apnue dan hipoventilasi progresif atau bahkan edema pulmo (jarang

terjadi).

Terdapat pergeseran ke kiri pada kurva disosiatif oksihemoglobin

sebagai repson terhadap turunnya temperature tubuh sehingga

mengganggu distribusi oksigen dan menyebabkan hipoksia jaringan.

Namun, pada hipotermia berat terjadi pergeseran kurva disosiatif

oksihemoglobin ke kanan akibat semakin beratnya asidosis metabolik.

Page 33: Tugas KKSD Final

33

e. Ginjal

Pada hipotermia ringan terjadi diuresis akibat cuaca dingin yang

diikuti dengan ekskresi elektrolit. Hal ini terjadi karena peningkatan

aliran darah renal akibat vasokonstriksi perifer. Turunnya temperatur

akan menyebabkan hilangnya kemampuan tubulus distal ginjal untuk

mereabsorpsi air dan resisten terhadap kerja vasopresin (ADH).

Pada hipotermia sedang, laju filtrasi glomerulus menurun

sebagaimana cardiac output dan aliran darah ginjal menurun. Terjadi

pula penurunan fungsi tubular ginjal dan clearance ginjal terhadap

glukosa. Kapasitas tubular untuk seksresi ion H+ menurun sehingga

berkontribusi terhadap terjadinya asidosis.

f. Gastrointestinal

Motilitas usus menurun pada temperature < 34⁰C. Perdarahan dapat

terjadi di seluruh saluran pencernaan dan pada studi autopsy ditemukan

adanya erosi lambung dan perdarahan submukosa. Ulserasi dangkal

pada lambung sering disebut sebagai Wischnevky’s ulcer dan umumya

sering ditemukan pada pemeriksaan postmortem. Studi pada hewan

menunjukkan bahwa hipotermia meningkatkan produksi asam lambung

dan menurunkan sekresi bikarbonat duodenum yang merupakan

predisposisi kerusakan mukosa duodenum.

Gangguan hepar dapat terjadi akibat menurunnya cardiac output dan

metabolic clearance asam laktat yang turut berkontribusi terhadap

terjadinya asidosis. Pankreatitis sering terjadi akibat hipotermia, 20-

30% sering ditemukan pada autopsy. Pankreatitis terjadi karena

thrombosis di mikrosirkulasi sehingga menyebabkan iskemia dan

nekrosis perilobular di pankreas.

g. Kulit

Hipotermia dapat meningkatkan terjadinya infeksi luka operasi

akibat vasokonstriksi termoregulasi, penurunan tekanan oksigen

subkutan, gangguan kemampuan membunuh kuman netrofil, dan

penurunan deposisi kolagen (Soreide dkk, 2004).

Page 34: Tugas KKSD Final

34

5. Penanganan Hipotermia

Metode menghangatkan pada pasien yang mengalami hipotermia

meliputi baik penghangatan eksternal pasif, penghangatan eksternal aktif,

dan penghangatan internal aktif. Penghangatan eksternal pasif dilakukan

dengan memisahkan pasien dari lingkungan yang dingin dan melakukan

penutupan tubuh pasien dari paparan dingin. Penghangatan eksternal aktif

dapat dilakukan dengan pemberian air atau udara hangat disekitar tubuh

pasien, juga selimut atau benda hangat lainnya. Sedangkan penghangatan

internal aktif dapat dilakukan dengan memberikan inhalasi udara panas,

pemberian cairan infus yang dihangatkan, bilas lambung dengan air

hangat, irigasi kandung kemih atau mediastinum dengan cairan hangat

(Soreide dkk, 2004).

Page 35: Tugas KKSD Final

35

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pemeriksaan Forensik pada Mayat karena Suhu Dingin

Pada patologi forensik, Identifikasi mayat dengan hipotermia sebagai

penyebab suatu kematian selalu memiliki kesulitan tersendiri karena tidak

memiliki tanda yang patognomonik atau khas dan bersifat non spesifik.

Perubahan makroskopik dengan validitas diagnosis tertinggi antara lain tanda

keferstein (frost erythema) dan Wischnewsky’s spot (bercak hemoragik pada

mukosa gaster). Diagnosis kematian karena hipotermia dibuat dengan

kombinasi observasi, penelusuran riwayat paparan, penemuan klinis, dan

ketiadaan faktor lethal lain (Hotmar P, 2005).

Wischnewsky’s spot merupakan suatu indikasi akibat dari stres fisiologis

berat dan/atau hipotermia. Meskipun bukan merupakan tanda patognomonik

pada hipotermia, tanda tersebut telah dikaitkan erat dengan kematian di mana

hipotermia memainkan peran penting (Kupkova B et al, 2007)

Pada hipotermia perdarahan membrane synovial, perubahan warna cairan

synovial menjadi kemerahan, bright red or pink lividity, perdarahan pancreas,

perdarahan otot terutama otot iliopsoas, serta bercak hemoragik pada

duodenum dan jejunum juga dapat ditemukan, meski frekuensinya lebih

jarang jika dibandingkan penemuan frost erythema dan Wischnewsky’s spot.

Untuk mendiagnosis kematian karena hipotermia, tanda-tanda ini perlu

dihubungkan dengan penemuan-penemuan lain yang merujuk ke arah

hipotermia (Palmiere et al, 2014).

Gambar 3.1 Temuan Wischnewsky spot pada mayat dengan hipotermia

(Palmiere et al, 2014)

Page 36: Tugas KKSD Final

36

Pada keadaan hipotermia, bercak hemoragik tidak hanya ditemukan pada

mukosa gaster (Wischnewsky spot). Hal serupa dapat juga ditemukan pada

traktus gastrointestinal, dan esophagus meskipun lebih jarang penemuannya.

Wischnesky spot ditemukan pada 40-91% kematian karena hipotermia.

Wischnesky spot bervariasi ukurannya mulai dari 1 mm hingga 2 cm dan bisa

berjumlah hingga 100. Pada orang muda lesi ini lebih banyak jumlahnya dan

ukurannya lebih besar jika dibandingkan dengan orang tua yang mati karena

hipotermia (Kupkova B et al, 2007).

Wischnewsky spot terjadi karena penurunan suhu tubuh akibat paparan

lingkungan dingin akan menyebabkan perdarahan gaster. Terjadi autolysis

eritrosit, sehingga hemoglobin akan dilepas dan kemudian mengalami

hematenisasi oleh asam lambung. Proses hematinisasi akan menberikan

gambaran coklat kehitaman pada wischnewsky spot (Kupkova B, et al.2007,

Palmiere et al, 2014 ).

Gambar 3.2 Temuan Frost erythema pada mayat dengan hipotermia

(Tsokos M, 2008)

Frost erythema memiliki gambaran berupa perubahan warna kulit menjadi

ungu kemerahan atau kecoklatan yang umumnya ditemukan pada daerah

permukaan ekstensor sendi-sendi yang besar terutama lutu, siku, dan region

trochanter mayor. Frost erythema ditemukan pada 72% kasus hipotermia

karena suhu dingin. Frost erythema harus dibedakan dari hematom. Secara

mikroskopik, frost erythema tidak ditandai dengan adanya infiltrasi dan

ekstravasasi eritrosit (Hotmar P, 2005; Tsokos, 2008).

Kematian akibat hipotermia memberi gambaran yang berbeda-beda seperti

munculnya gejala takikardi pada korban hingga timbulnya bradikardi pada

Page 37: Tugas KKSD Final

37

korban yang mengalami hipotermia sangat berat, namun walapun demikian

hingga saat ini masih belum ada cara yang paling tepat dan efektif dalam

identifikasi korban mati akibat hipotermia (Tsokos, 2008).

Gambaran lain yang juga dijumpai pada korban mati akibat hipotermia

adalah livor mortis, ekstremitas berwarna keunguan, penipisan lipid dari

korteks adrenal dan bahkan juga ditemukan vakuolisasi pada sel-sel hati saat

dilakukan pemeriksaan dalam. Walaupun begitu, beberapa tanda tersebut

tidak hanya dijumpai pada kasus kematian dengan kondisi hipotermia, maka

dari itu penegakan diagnosis pada kasus hipotermia tidak hanya berdasarkan

temuan di lapangan tetapi juga melibatkan ada tidaknya kehadiran lethal

factor lain selain suhu lingkungan (Kupkova B et al, 2007, Palmiere et al,

2014).

Beberapa tanda mikroskopik lain yang berhubungan dengan hipotermia

antara lain deplesi glikogen hepar, degenerasi asam epitel tububulus renal,

perubahan pankreatik (nekrosis fokal pancreas dan jaringan adiposa

peripankreas, pancreatitis hemoragik dan non hemoragik, vakuolisasi

pancreas), vakuolisasi sel kelenjar pituitari anterior, hepatosist, sel adrenal

dan renal, perubahan lemak pada miosit jantung dan hepatosit (Palmiere et al,

2014 ).

Page 38: Tugas KKSD Final

38

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Page 39: Tugas KKSD Final

39

DAFTAR PUSTAKA

Tim Penulis Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia (1997). Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta: FKUI; h. 25-36.

Husni, GM (2007). Hukum Kesehatan Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian

Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Andala, Padang:

FKUNAND; h. 15-26.

Wujoso, Hari (2009). Thanatologi. Cetakan I. Surakarta: UNS Press.

Harrison’s (2008). Principles Of Internal Medicine (Seventeeth Edition). United

States of America: R.R. Donnelley and Sons, Inc.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K Simandibrata M., dan Setiati S (2009). Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Hildebrand F, Giannoudis PV, van Griensven M, Chawda M, Pape HC. (2004).

Pathophysiologic changes and effects of hypothermia on outcome in

elective surgery and trauma patients. The American Journal of Surgery;

187: 363–71. 5.

Tsuei BJ and Kearney PA (2004). Hipothermia in the trauma patient.Injury, Int. J.

Care Injured; 35: 7–15.

Dirkman D, Hanke AA, Gorlinger K, Peters J (2008). Hypothermia and Acidosis

Synergistically Impair Coagulation in Human Whole Blood. International

Anesthesia Research Society; 106: 6.

Mitra B, Cameron PA , Mori A, Maini A, Fitzgerald M, Paul E,et al (2008). Early

prediction of acute traumatic coagulopathy. J.Resuscitation; Article in

Press.

Soreide E, Smith CE (2004). Hypothermia in trauma victims – friend or foe? Indian

J Crit Care Med April-June Vol 8 Issue 2.

Tsokos M (2008). Forensic Pathology Reviews vol.5. USA: Humana Press.

Palmiere Cristian, Teresiński Grzegorz, Hejna Petr (2014). Review article:

Postmortem diagnosis of hypothermia. Int J Legal Med.

Hottmar P, Hejna P (2005). Death due to fatal hypothermia in victims dissected in

Department of Forensic Medicine in Hradec Králové between 1992 - 2003.

Soud Lek.; 50(3): 38-41.

Page 40: Tugas KKSD Final

40

Kupkova, B, et al (2007). Involvement due to severe stomach

hypothermia in avalanche victims. Folia Gastroenterol Hepatol. P. 5; 2.