Tugas KKSD Final
description
Transcript of Tugas KKSD Final
REFRAT
KAJIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK: KEMATIAN
KARENA SUHU DINGIN
Disusun Oleh:
Aprilisasi Purnama Sari, S.Ked NIM. G99151018
Achmad Nurul Hidayat, S.Ked NIM. G99151019
Ismael, S.Ked NIM. G99151020
Ery Radiyanti, S.Ked NIM. G99151021
Naila Shofwati P, S.Ked NIM. G99151022
Periode: 19 Oktober - 31 Oktober 2015
Pembimbing:
dr. Sugiharto, M.kes. (MMR), SH
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN
MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 3
1.2 Etiologi .................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fisiologi Tubuh terhadap Suhu Dingin ................................................... 7
A. Fisiologi tubuh terhadap suhu ........................................................... 7
B. Efek pajaran suhu dingin terhadap kondisi fisiologi manusia .......... 11
2.2 Kematian ................................................................................................ 12
2.3 Suhu Dingin ............................................................................................ 21
A. Respon Tubuh terhadap Suhu Dingin .............................................. 21
B. Dampak Suhu Dingin terhadap Tubuh Manusia .............................. 23
C. Faktor-faktor Individu yang Mempengaruhi Dampak Suhu Dingin
......................................................................................................... 24
2.4 Hipotermia .............................................................................................. 27
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Hasil Pemeriksaan Forensik pada Mayat karena Suhu Dingin ............... 35
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan .............................................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut suatu studi internasional, paparan suhu dingin 20 kali lebih
mematikan dibanding suhu panas. Temuan yang dipublikasikan di jurnal The
Lancet tersebut meneliti sekitar 74.225.200 kematian antara tahun 1985 sampai
tahun 2012 di 13 negara dengan cakupan iklim yang luas, mulai dari negara pemilik
iklim dingin sampai subtropik. Sekitar 7,71 persen kematian diakibatkan temperatur
yang tidak optimal. Hasilnya juga berbeda- beda di tiap negara. Sebanyak 7,29
persen kematian karena suhu dingin, sedangkan suhu panas hanya menyebabkan
0,42 persen kematian (Gasparrini et al,2015). Hal ini menunjukkan bahwa kematian
akibat suhu dingin perlu mendapat perhatian yang serius, terutama mengenai
bagaimana mencegah dan menanganinya.
Tubuh manusia secara fisiologis memiliki mekanisme pertahanan terhadap
perubahan suhu. Respon tubuh terhadap kedinginan terdiri dari dua tahap, yaitu
mekanisme vaskuler, dengan mengubah aliran darah di kulit yang diatur oleh
hipotalamus, dan mekanisme non- vaskuler, dengan meningkatkan tonus otot dan
kontraksi involunter (menggigil) (Pyke dan Sutton dalam Komariyah,2012).
Namun, seiring dengan semakin merosotnya suhu tubuh akan terjadi depresi pusat
pernapasan dan sistem kardiovaskular. Irama jantung terganggu yang akhirnya
menyebabkan fibrilasi ventrikel dan kematian (Sherwood, 2011).
Paparan cuaca dingin dapat mengakibatkan kematian yang biasanya dikaitkan
dengan hipotermia. Hipotermia terjadi ketika suhu inti tubuh menurun hingga <95
0F (< 350F). Gejala awal termasuk menggigil dan ekstremitas dingin. Pada
hipotermia yang memburuk, gejala berkembang menjadi kebingungan, kehilangan
keterampilan motoric halus, dan amnesia. Kehilangan panas terus tanpa rewarming
yang memadai dapat mengakibatkan hipotensi, gangguan pernapasan, aritmia
jantung, dan kematian (Meiman et al, 2015). Selain itu dapat memperburuk kondisi
kronis yang sudah ada sebelumnya (termasuk jantung dan penyakit pernapasan),
dan pada orang dengan kondisi fungsi termoregulasi terganggu serta mereka yang
menggunakan berbagai obat lebih rentan terhadap efek dingin. Subpopulasi yang
4
berisiko mengalami kematian akibat cuaca dingin mirip dengan subpopulasi yang
berisiko mengalami kematian yang berhubungan dengan panas, antara lain usia tua,
bayi, laki-laki, orang hitam, dan orang dengan kondisi medis yang kronis (Berko et
al, 2014).
1.2 Etiologi
Beberapa akibat pajanan terhadap suhu dingin yang potensial
menimbulkan cedera:
a. Hipotermia
Hipotermia adalah suatu kondisi emergensi yang terjadi ketika tubuh
kehilangan panas lebih cepat daripada pembentukannya, menyebabkan
penurunan suhu tubuh ke tingkat yang membahayakan. Suhu tubuh normal
berkisar 98.6 0F (37 0C). Hipotermia terjadi ketika suhu tubuh turun
dibawah 95 0F (35 0C).
Tanda dan gejala hipotermia meliputi :
Gambar 1. Tanda dan gejala hipotermia (Guyton, 2008).
b. Frostbite
Apabila tubuh terpajan dengan suhu yang sangat rendah, daerah
permukaan dapat membeku. Pembekuan itu disebut frostbite. Frostbite
menyebabkan hilangnya sensasi dan warna pada daerah yang terkena. Hal
ini terutama terjadi pada daun telinga dan jari-jari tangan serta kaki. Bila
kebekuan tersebut cukup untuk menyebabkan terbentuknya kristal es di
dalam sel, akan terjadi kerusakan permanen, seperti kerusakan sirkulasi
5
yang permanen, demikian juga dengan kerusakan jaringan setempat.
Gangrene sering mengikuti proses pencairan es, dan daerah yang
mengalami frostbite harus diangkat secara pembedahan (amputasi).
Tanda dan gejala frostbite :
Pengurangan aliran darah ke tangan dan kaki
Mati rasa
Sakit
Kesemutan
Kulit pucat, maserasi
c. Trench foot atau immersion foot
Trench foot atau immersion foot adalah suatu keadaan cedera pada kaki
sebagai hasil dari pajanan yang terus-menerus terhadap kondisi basah dan
dingin (sekitar 60 0F) dan kaki secara konstan berada dalam keadaan basah.
Hal ini terjadi karena kondisi kaki basah dapat menyebabkan kehilangan
panas 25 kali lebih cepat dibanding kaki kering. Oleh karena itu, untuk
mencegah kehilangan panas ini tubuh mengkonstriksikan pembuluh darah
di kaki. Jaringan kulit mulai mati karena kekurangan oksigen dan nutrisi.
Tanda dan gejala :
Kulit kemerahan
Mati rasa
Kram kaki
Bengkak
Kesemutan
Lepuhan atau ulcer
Perdarahan di bawah kulit
Gangren
d. Chilblains
Chilblains adalah cedera yang terbentuk akibat kerusakan pada
pembuluh darah kecil di kulit yang disebabkan oleh pajanan kulit pada
suhu sekitar 60 0F.
Tanda dan gejala:
Kemerahan
6
Gatal
Lepuhan
Inflamasi
Ulcer pada beberapa kasus yang parah
(CDC, 2015).
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fisiologi Tubuh terhadap Suhu Dingin
A. Fisiologi tubuh terhadap suhu
a. Mekanisme kerja
Temperatur inti manusia normal dipertahankan antara 36,5‐37,5ºC
pada suhu lingkungan dan dipengaruhi respon fisiologis tubuh. Pada
keadaan homeotermik, sistem termoregulasi diatur untuk
mempertahankan temperatur tubuh internal dalam batas fisiologis dan
metabolisme normal. Tindakan anestesi dapat menghilangkan
mekanisme adaptasi dan berpotensi mengganggu mekanisme
fisiologis fungsi termoregulasi. Kombinasi antara gangguan
termoregulasi yang disebabkan oleh tindakan anestesi dan eksposur
suhu lingkungan yang rendah, akan mengakibatkan terjadinya
hipotermia pada pasien yang mengalami pembedahan. Menggigil
merupakan salah satu konsekuensi terjadinya hipotermia perioperatif
yang dapat berpotensi untuk terjadi sejumlah sekuele, yaitu
peningkatan konsumsi oksigen dan potensi produksi karbon dioksida,
pelepasan katekolamin, peningkatan cardiac output, takikardia,
hipertensi, dan peningkatan tekanan intraokuler. Definisi hipotermia
adalah temperatur inti 10ºC lebih rendah di bawah standar deviasi
rata‐rata temperatur inti manusia pada keadaaan istirahat dengan suhu
lingkungan yang normal (28‐35ºC).
b. Fungsi Termoregulasi
Fungsi termoregulasi diatur oleh sistem kontrol fisiologis yang
terdiri dari termoreseptor sentral dan perifer yang terintegrasi pada
pengendali dan sistem responan eferen. Input temal aferen datang dari
reseptor panas dan dingin baik itu di sentral atau di perifer.
Hipotalamus juga mengatur tonus otot pembuluh darah kutaneus,
menggigil, dan termogenesis tanpa menggigil yang terjadi bila ada
peningkatan produksi panas.
8
Secara historis, traktus spinotalamikus lateralis diketahui sebagai
satu‐satunya jalur termoaferen menuju pusat termoregulasi di
hipotalamus. Seluruh jalur serabut saraf asendens ini terpusat pada
formatio retikularis dan neuron termosensitif berada pada daerah di
luar preoptik anterior hipotalamus, termasuk ventromedial
hipotalamus midbrain, medula oblongata, dan korda spinalis. Input
multiple yang berasal dari berbagai termosensitif, diintegrasikan pada
beberapa tingkat di korda spinalis dan otak untuk koordinasi bentuk
respon pertahanan tubuh. Sistem termoregulasi manusia dibagi dalam
tiga komponen: termosensor dan jalur saraf aferen, integrasi input
termal, dan jalur saraf efektor pada sistem saraf otonom.
1) Termosensor dan Jalur Saraf Aferen
Banyak pengetahuan mengenai struktur sistem termoregulasi
yang diperoleh dari penelitian pada hewan. Input termal aferen
dapat berasal dari sentral dan perifer. Reseptor termal terdapat pada
kulit dan membran mukosa yang sensitif terhadap sensasi termal
dan memberikan kontribusi terhadap refleks termoregulasi.
Reseptor spesifik dingin mengeluarkan impuls pada suhu 25‐30ºC.
Impuls ini berjalan pada serabut saraf tipe A‐δ. Reseptor panas
mengeluarkan impuls pada suhu 45‐50ºC dan berjalan pada serabut
saraf tipe C. Reseptor dingin berespon terhadap perubahan
sementara temperatur lingkungan dalm waktu lama, gradual, atau
cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan temperatur
lingkungan dalam waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang
cepat terhadap perubahan temperatur lingkungan biasanya diikuti
respon temperatur kulit. Hal ini dibuktikan pada penelitian
terhadap sistem termoregulasi manusia secara kimia. Pada
penelitian tersebut, disebutkan bahwa produksi panas tubuh selalu
diukur melalui kebutuhan oksigen tubuh. Termoregulasi terhadap
dingin dipengaruhi oleh reseptor dingin pada kulit dan dihambat
oleh pusat reseptor panas. Reseptor dingin kulit merupakan sistem
pertahanan tubuh terhadap temperatur dingin dan input aferen yang
9
berasal dari reseptor dingin ditransmisikan langsung ke
hipotalamus. Berbeda dengan reseptor dingin perifer, lokasi
reseptor dingin sentral tidak begitu jelas secara anatomis. Produksi
panas pada temperatur kulit yang hangat meningkat bila temperatur
inti tubuh menurun kurang dari 36ºC. Pusat termoreseptor dingin
kurang begitu penting bila dibandingkan input sensoris dingin
perifer, akan tetapi suatu penelitian terhadap transeksi korda
spinalis, menyimpulkan bahwa proses di pusat termoregulasi akan
aktif bila temperatur inti tubuh di bawah titik ambang batas set‐
point dan kurang sensitif terhadap termoreseptor perifer.
2) Hipotalamus Pusat Integrasi
Mekanisme informasi termal aferen akan diolah oleh pusat
regulasi temperatur yang berada di hipotalamus. Hipotalamus
anterior menerima informasi termal aferen secara integral dan
hipotalamus posterior mengontrol jalur desendens ke efektor. Area
preoptik hipotalamus berisi saraf sensitif dan insensitif terhadap
temperatur temperatur. Beberapa ahli membaginya dalam saraf
yang sensitif terhadap panas meningkatkan respon peningkatan
produksi panas lokal yang diaktivasi oleh mekanisme pelepasan
panas tubuh. Saraf yang sensitif terhadap panas meningkatkan
respon peningkatan produksi panas lokal yang diaktivasi oleh
mekanisme pelepasan panas tubuh. Saraf yang sensitif terhadap
dingin sebaliknya, meningkatkan respon terhadap dingin tubuh
pada area preoptik hipotalamus. Saraf yang sensitif tehadap
stimulasi termal lokal dikontrol oleh hipotalamus posterior,
formatio retikularis, dan medula spinalis. Hipotalamus posterior
menerima rangsang aferen dingin yang berasal dari perifer dengan
stimulasi panas yang bersumber dari area preoptik hipotalamus dan
mengaktifkan respon efektor. Deteksi dingin dibedakan dengan
panas berdasarkan impuls aferen yang berasal dari reseptor dingin.
Bila temperatur inti tubuh turun 0,5ºC dibawah nilai normal,
neuron preoptik akan menjadi tidak aktif. Kulit mengandung
10
reseptor dingin dan panas, dimana reseptor dingin 10 kali lebih
banyak bila dibandingkan dengan reseptor panas. Suatu penelitian
terhadap manusia menyimpulkan bahwa termoregulasi otonom
bekerja melalui empat mekanisme saraf yaitu: deteksi panas
sentral, deteksi dingin perifer, pusat inhibisi panas sebagai respon
metabolik terhadap dingin, dan inhibisi termoregulasi keringat
terhadap kulit yang dingin. Temperatur set‐point didefinisikan
sebagai batas ambang temperatur sekitar 36,7‐ 37,1 ºC. Set‐point
ini dapat disebut juga thermoneutral zone atau interthreshold range
dan pada manusia sangat unik. Pada manusia set‐point ini
bervariasi, selama tidur suhu tubuh sekitar 36,2 ºC sampai
menjelang pagi, meningkat lebih dari 10 ºC menjelang malam.
Wanita memiliki nilai set‐point yang lebih tinggi 10 ºC selama
siklus menstruasi pada fase luteal. Pada tumor intrakranial seperti
space‐occupying lesion dan keadaan dehidrasi dapat menyebabkan
peningkatan temperatur set‐point dengan mekanisme yang belum
jelas.
3) Respon Efektor
Respon termoregulasi ditandai dengan : pertama, perubahan
tingkah laku yang secara kuantitatif mekanisme ini lebih efektif,
kedua, respon vasomotor yang ditandai dengan vasokonstriksi
pembuluh darah dan piloereksi sebagai respon terhadap dingin, dan
vasodilatasi dan berkeringat sebagai respon terhadap panas, ketiga,
menggigil dan peningkatan rata‐rata metabolisme.8 Pada keadaan
sadar, perubahan tingkah laku lebih jelas terlihat bila dibandingkan
dengan mekanisme otonom regulasi temperatur tubuh. Bila
hipotalamic termostat mengindikasikan adanya temperatur tubuh
terlalu dingin, impuls dapat sampai ke korteks serebri tanpa melalui
hipotalamus untuk menghasilkan sensasi rasa dingin. Keadaan ini
menimbulkan perubahan tingkah laku seperti peningkatan aktivitas
motorik, berusaha mencari penghangat atau memakai penghangat
11
tambahan . Kontrol respon tingkah laku terhadap dingin didasari
oleh besarnya signal panas yang diterima kulit.
B. Efek pajaran suhu dingin terhadap kondisi fisiologi manusia
Saat suhu tubuh turun, meski hanya beberapa derajat di bawah suhu
normal yaitu 37o C, tubuh menggunakan mekanisme pertahanan untuk
memelihara suhu inti tubuhnya. Terus menerus terpajan dengan dingin
akan menyebabkan orang tersebut menggigil, sehingga menghasilkan
panas dengan menaikan kecepatan metabolik tubuh. Tubuh akan bereaksi
dengan mulai memindahkan aliran darah dari ekstrimitas tubuh dan kulit
bagian luar menuju inti tubuh (dada dan perut). Hal ini memungkinkan
kulit yang tepajan dan ekstrimitas untuk dingin lebih cepat dan
meningkatkan resiko frostbit dan hipotermia.
Hipotalamus otak manusia mengatur suhu inti tubuh dalam merespon
suhu baik panas maupun dingin. Hipotalamus bertanggung jawab untuk
menjalankan sistem pertahanan suhu tubuh untuk melawan dingin, yaitu
vasokontriksi peripheral dan menggigil. Tubuh dapat mengatur suhu
intinya dengan smenurunkan hilangnya panas (vasokontriksi peripheral)
dan meningkatkan produksi panas (menggigil). Memperbanyak aktivitas
fisik juga dapat meningkatkan produksi panas.
Vasokontriksi peripheral adalah respon yang dilakukan untuk
menurunkan suhu kulit. Vasokontriksi mengarahkan darah menjauh dari
permukaan kulit menuju inti tubuh, dimana panas lebih mudah dijaga.
Menggigil dihasilkan dari kontraksi otot voluntari dan menghasilkan
peningkatan produksi panas metabolik, yang dapat menggantikan panas
yang hilang. Ada hubungan antara kecepatan bernapas dan detak jantung.
Menggigil dapat meningkatkan metabolic rate 2-5 kali lipat (Wald Peter
H, 2002:151). Bagaimanapun juga apabila suhu inti tubuh menurun
karena terpajan dingin terus menerus, metabolik tubuh, pernapasan dan
detak jantung akan menurun.
Gejala yang muncul dari penderita hipotermia adalah menggigil,
ketidakmampuan dalam mengerjakan pekerjaan motorik, kelesuan dan
kebingungan ringan. Ini terjadi disaat suhu inti tubuh menurun hingga
12
sekitar 35oC (95oF). Selama suhu tubuh terus menurun, hipotermia
semakin bertambah parah. Individu tersebut akan jatuh dalam keadaan
linglung atau tak sadar, tidak berhasil dalam menyelesaikan tugas, walau
hanya pekerjaan motorik yang sederhana. Cara berbicara korban
hipotermia akan menyatu (tidak jelas) dan kebiasaan individu tersebut
akan rasional.
Keadaan yang paling parah terjadi ketika suhu tubuh inti berada di
bawah 32ºC. Hasilnya, tubuh berubah ke dalam keadaan tidur,
melambatnya detak jantung, aliran darah, dan bernafas. Ketidaksadarkan
dan gagal jantung dapat terjadi dalam keadaan yang benar-benar
hipotermik.
2.2 Kematian
1. Definisi
Kematian memiliki berbagai pengertian dipandang dari berbagai sudut
yang berbeda. Secara umum, mati berarti akhir dari kehidupan, ketiadaan
nyawa dalam organisme biologis. Semua makhlykuk hidup pada akhirnya
mati secara permanen, baik dari penyebab alami seperti penyakit atau dari
penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Setelajh kematian tubuh
makhluk hidup akan mengalami perubahan yang tidak akan terjadi pada
manusia hidup (Forensik FK UI, 1997).
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju maka
definisi mati pun berubah mengikuti ilmu perkembangan ilmu
pengetahuan yang ada. Secara tradisional mati dapat disedefinisikan
sebagai berhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan, yaitu sistem saraf
pusat, jantung, dan paru secara permanen (permanent cessation of life).
sementara itu, pengurus besar IDI menyatakan seseorang dinyatakan mati
bilamana fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara
pasti/irreversibel atau bila telah terbukti terjadi kematian otak (Forensik
FK UI, 1997; Husni, 2007; Wujoso, 2009).
13
2. Jenis kematian
Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati
somatis (mati klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati otak
(mati batang otak) (Forensik FK UI, 1997; Husni, 2007).
a) Mati somatis (mati klinis) ialah suatu keadaan dimana oleh karena
sesuatu sebab terjadi gangguan pada ketiga sistem utama (sistem saraf,
kardiovaskuler, dan pernafasan) yang bersifat menetap.
Pada kejadian mati somatis ini secara klinis tidak ditemukan adanya
refleks, elektro ensefalografi (EEG) mendatar, nadi tidak teraba,
denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerak pernapasan dan suara
napas tidak terdengar saat auskultasi.
b) Mati suri (apparent death) ialah suatu keadaan yang mirip dengan
kematian somatis, akan tetapi gangguan yang terdapat pada ketiga
sistem bersifat sementara. Kasus seperti ini sering ditemukan pada
kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam.
c) Mati seluler (mati molekuler) ialah suatu kematian organ atau jaringan
tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan
hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga
terjadinya kematian seluler pada tiap organ tidak bersamaan.
d) Mati serebral ialah suatu kematian akibat kerusakan kedua hemisfer
otak yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan
kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskuler
masih berfungsi dengan bantuan alat.
e) Mati otak (mati batang otak) ialah kematian dimana bila telah terjadi
kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversible, termasuk
batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati
batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak
dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan.
(Forensik FK UI, 1997; Husni, 2007; Wujoso, 2009)
3. Cara Mendeteksi Kematian
Melalui fungsi sistem saraf, kardiovaskuler, dan pernapasan, kita bisa
mendeteksi hidup matinya seseorang. Untuk mendeteksi tidak
14
berfungsinya sistem saraf, ada lima hal yang harus kita perhatikan yaitu
tanda areflex, relaksasi, tidak ada pegerakan, tidak ada tonus, dan elektro
ensefalografi (EEG) mendatar/flat (Forensik FK UI, 1997; Husni, 2007).
Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sistem kardiovaskuler ada enam
hal yang harus kita perhatikan yaitu denyut nadi berhenti pada palpasi,
denyut jantung berhenti selama 5-10 menit pada auskultasi, elektro
kardiografi (EKG) mendatar/ flat, tidak ada tanda sianotik pada ujung jari
tangan setelah jari tangan korban kita ikat (tes magnus), daerah sekitar
tempat penyuntikan icard subkutan tidak berwarna kuning kehijauan (tes
icard), dan tidak keluarnya darah dengan pulsasi pada insisi arteri radialis
(Forensik FK UI, 1997)
Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sisteim pernapasan juga ada
beberapa hal yang harus kita perhatikan, antara lain tidak ada gerak napas
pada inspeksi dan palpasi, tidak ada bising napas pada auskultasi, tidak ada
gerakan permukaan air dalam gelas yang kita taruh diatas perut korban
pada tes, tidak ada uap air pada cermin yang kita letakkan didepan lubang
hidung atau mulut korban, serta tidak ada gerakan bulu ayam yang kita
letakkan didepan lubang hidung atau mulut korban (Forensik FK UI,
1997).
4. Tanda Kematian
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada
seseorang berupa tanda kematian yang perubahannya biasa timbul dini
pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian. Perubahan tersebut
dikenal sebagai tanda kematian yang nantinya akan dibagi lagi menjadi
tanda kematian pasti dan tanda kematian tidak pasti (Forensik FK UI,
1997; Husni, 2007).
a) Tanda kematian tidak pasti.
- Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit.
- Terhentinya sirkulasi yang dinilai selama 15 menit, nadi karotis
tidak teraba.
- Kulit pucat.
- Tonus otot menghilang dan relaksasi.
15
- Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit
setelah kematian.
- Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10
menit yang masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air mata.
b) Tanda kematian pasti
i. Livor mortis (Lebam Mayat)
Nama lain livor mortis ini antara lain lebam mayat, post mortem
lividity, post mortem hypostatic, post mortem sugillation, dan
vibices (Forensik FK UI, 1997; Husni, 2007).
Livor mortis adalah suatu bercak atau noda besar merah
kebiruan atau merah ungu (livide) pada lokasi terendah tubuh
mayat akibat penumpukan eritrosit atau stagnasi darah karena
terhentinya kerja pembuluh darah dan gaya gravitasi bumi, bukan
bagian tubuh mayat yang tertekan oleh alas keras (Forensik FK UI,
1997; Husni, 2007).
Bercak tersebut mulai tampak oleh kita kira-kira 20-30 menit
pasca kematian klinis. Makin lama bercak tersebut makin luas dan
lengkap, akhirnya menetap kira-kira 8-12 jam pasca kematian
klinis.Sebelum lebam mayat menetap, masih dapat hilang bila kita
menekannya. Hal ini berlangsung kira-kira kurang dari 6-10 jam
pasca kematian klinis. Juga lebam masih bisa berpindah sesuai
perubahan posisi mayat yang terakhir. Lebam tidak bisa lagi kita
hilangkan dengan penekanan jika lama kematian klinis sudah
terjadi kira-kira lebih dari 6-10 jam (Forensik FK UI, 1997; Husni,
2007).
Ada 4 penyebab bercak makin lama semakin meluas dan
menetap, yaitu:
- Ekstravasasi dan hemolisis sehingga hemoglobin keluar.
- Kapiler sebagai bejana berhubungan.
- Lemak tubuh mengental saat suhu tubuh menurun.
- Pembuluh darah oleh otot saat rigor mortis.
(Forensik FK UI, 1997; Husni, 2007).
16
Livor mortis dapat kita lihat pada kulit mayat. Juga dapat kita
temukan pada organ dalam tubuh mayat. Masing-masing sesuai
dengan posisi mayat. Lebam pada kulit mayat dengan posisi mayat
terlentang, dapat kita lihat pada belakang kepala, daun telinga,
ekstensor lengan, fleksor tungkai, ujung jari dibawah kuku, dan
kadang-kadang di samping leher. Tidak ada lebam yang dapat kita
lihat pada daerah skapula, gluteus dan bekas tempat dasi (Forensik
FK UI, 1997).
Lebam pada kulit mayat dengan posisi mayat tengkurap, dapat
kita lihat pada dahi, pipi, dagu, bagian ventral tubuh, dan ekstensor
tungkai. Lebam pada kulit mayat dengan posisi tergantung, dapat
kita lihat pada ujung ekstremitas dan genitalia eksterna. Lebam
pada organ dalam mayat dengan posisi terlentang dapat kita
temukan pada posterior otak besar, posterior otak kecil, dorsal
paru-paru, dorsal hepar, dorsal ginjal, posterior dinding lambung,
dan usus yang dibawah (dalam rongga panggul) (Forensik FK UI,
1997; Husni, 2007).
Ada tiga faktor yang mempengaruhi livor mortis yaitu volume
darah yang beredar, lamanya darah dalam keadaan cepat cair dan
warna lebam. Volume darah yang beredar banyak menyebabkan
lebam mayat lebih cepat dan lebih luas terjadi. Sebaliknya lebih
lambat dan lebih terbatas penyebarannya pada volume darah yang
sedikit, misalnya pada anemia (Forensik FK UI, 1997; Husni,
2007).
Ada lima warna lebam mayat yang dapat kita gunakan untuk
memperkirakan penyebab kematian yaitu (1) warna merah
kebiruan merupakan warna normal lebam, (2) warna merah terang
menandakan keracunan CO, keracunan CN, atau suhu dingin, (3)
warna merah gelap menunjukkan asfiksia, (4) warna biru
menunjukkan keracunan nitrit dan (5) warna coklat menandakan
keracunan aniline (Forensik FK UI, 1997; Husni, 2007; Wujoso,
2009).
17
Interpretasi livor mortis dapat diartikan sebagai tanda pasti
kematian, tanda memperkirakan saat dan lama kematian, tanda
memperkirakan penyebab kematian dan posisi mayat setelah
terjadi lebam bukan pada saat mati.
Livor mortis harus dapat kita bedakan dengan resapan darah
akibat trauma (ekstravasasi darah). Warna merah darah akibat
trauma akan menempati ruang tertentu dalam jaringan. Warna
tersebut akan hilang jika irisan jaringan kita siram dengan air
(Forensik FK UI, 1997; Husni, 2007).
ii. Rigor mortis (Kaku Mayat)
Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada
otot yang kadang-kadang disertai dengan sedikit pemendekan
serabut otot, yang terjadi setelah periode pelemasan/ relaksasi
primer; hal mana disebabkan oleh karena terjadinya perubahan
kimiawi pada protein yang terdapat dalam serabut-serabut otot
(Forensik FK UI, 1997; Husni, 2007).
a. Cadaveric spasme
Cadaveric spasme atau instantaneous rigor adalah suatu
keadaan dimana terjadi kekakuan pada sekelompok otot dan
kadang-kadang pada seluruh otot, segera setelah terjadi
kematian somatis dan tanpa melalui relaksasi primer (Forensik
FK UI, 1997).
b. Heat Stiffening
Heat Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat suhu
tinggi, misalnya pada kasus kebakaran (Forensik FK UI, 1997).
c. Cold Stiffening
Cold Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat suhu
rendah, dapat terjadi bila tubuh korban diletakkan dalam freezer,
atau bila suhu keliling sedemikian rendahnya, sehingga cairan
tubuh terutama yang terdapat sendi-sendi akan membeku
(Forensik FK UI, 1997).
iii. Algor mortis (Penurunan suhu tubuh)
18
Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh mayat akibat
terhentinya produksi panas dan terjadinya pengeluaran panas
secara terus-menerus. Pengeluaran panas tersebut disebabkan
perbedaan suhu antara mayat dengan lingkungannya. Algor mortis
merupakan salah satu perubahan yang dapat kita temukan pada
mayat yang sudah berada pada fase lanjut post mortem (Forensik
FK UI, 1997).
Pada beberapa jam pertama, penurunan suhu terjadi sangat
lambat dengan bentuk sigmoid. Hal ini disebabkan ada dua faktor,
yaitu masih adanya sisa metabolisme dalam tubuh mayat dan
perbedaan koefisien hantar sehingga butuh waktu mencapai tangga
suhu (Forensik FK UI, 1997; Wujoso, 2009).
Ada sembilan faktor yang mempengaruhi cepat atau lamanya
penurunan suhu tubuh mayat, yaitu:
a. Besarnya perbedaan suhu tubuh mayat dengan lingkungannya.
b. Suhu tubuh mayat saat mati. Makin tinggi suhu tubuhnya, makin
lama penurunan suhu tubuhnya.
c. Aliran udara makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.
d. Kelembaban udara makin mempercepat penurunan suhu tubuh
mayat.
e. Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat
penurunan suhu tubuh mayat.
f. Aktivitas sebelum meninggal.
g. Sebab kematian, misalnya asfiksia dan septikemia, mati dengan
suhu tubuh tinggi.
h. Pakaian tipis makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.
i. Posisi tubuh dihubungkan dengan luas permukaan tubuh yang
terpapar.
Penilaian algor mortis dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut, antara lain:
a. Lingkungan sangat mempengaruhi ketidakteraturan penurunan
suhu tubuh mayat.
19
b. Tempat pengukuran suhu memegang peranan penting.
c. Dahi dingin setelah 4 jam post mortem.
d. Badan dingin setelah 12 jam post mortem.
e. Suhu organ dalam mulai berubah setelah 5 jam post mortem.
f. Bila korban mati dalam air, penurunan suhu tubuhnya
tergantung dari suhu, aliran, dan keadaan airnya.
g. Rumus untuk memperkirakan berapa jam sejak mati yaitu
(98,4ºF - suhu rectalºF): 1,5ºF
(Forensik FK UI, 1997; Wujoso, 2009)
iv. Dekomposisi (Pembusukan)
Pembusukan mayat nama lainnya dekomposisi dan putrefection.
Pembusukan mayat adalah proses degradasi jaringan terutama
protein akibat autolisis dan kerja bakteri pembusuk terutama
Klostridium welchii. Bakteri ini menghasilkan asam lemak dan gas
pembusukan berupa H2S, HCN, dan AA. H2S akan bereaksi dengan
hemoglobin (Hb) menghasilkan HbS yang berwarna hijau
kehitaman. Syarat terjadinya degradasi jaringan yaitu adanya
mikroorganisme dan enzim proteolitik (Forensik FK UI, 1997).
Proses pembusukan telah terjadi setelah kematian seluler dan
baru tampak oleh kita setelah kira-kira 24 jam kematian. Kita akan
melihatnya pertama kali berupa warna kehijauan (HbS) di daerah
perut kanan bagian bawah yaitu dari sekum (caecum). Lalu
menyebar ke seluruh perut dan dada dengan disertai bau busuk
(Forensik FK UI, 1997; Wujoso, 2009).
Ada 17 tanda pembusukan, yaitu wajah dan bibir membengkak,
mata menonjol, lidah terjulur, lubang hidung dan mulut
mengeluarkan darah, lubang lainnya keluar isinya seperti feses
(usus), isi lambung, dan partus (gravid), badan gembung, bulla atau
kulit ari terkelupas, aborescent pattern/ marbling yaitu vena
superfisialis kulit berwarna kehijauan, pembuluh darah bawah kulit
melebar, dinding perut pecah, skrotum atau vulva membengkak,
20
kuku terlepas, rambut terlepas, organ dalam membusuk, dan
ditemukannya larva lalat (Forensik FK UI, 1997).
Organ dalam yang cepat membusuk antara lain otak, lien,
lambung, usus, uterus gravid, uterus post partum, dan darah. Organ
yang lambat membusuk antara lain paru-paru, jantung, ginjal dan
diafragma. Organ yang paling lambat membusuk antara lain
kelenjar prostat dan uterus non gravid (Forensik FK UI, 1997).
Larva lalat dapat kita temukan pada mayat kira-kira 36-48 jam
pasca kematian. Berguna untuk memperkirakan saat kematian dan
penyebab kematian karena keracunan. Saat kematian dapat kita
perkirakan dengan cara mengukur panjang larva lalat. Penyebab
kematian karena racun dapat kita ketahui dengan cara
mengidentifikasi racun dalam larva lalat (Forensik FK UI, 1997).
Ada sembilan faktor yang mempengaruhi cepat-lambatnya
pembusukan mayat, yaitu:
a. Mikroorganisme. Bakteri pembusuk mempercepat
pembusukan.
b. Suhu optimal yaitu 21-370C mempercepat pembusukan.
c. Kelembaban udara yang tinggi mempercepat pembusukan.
d. Umur. Bayi, anak-anak dan orang tua lebih lambat terjadi
pembusukan.
e. Konstitusi tubuh. Tubuh gemuk lebih cepat membusuk daripada
tubuh kurus.
f. Sifat medium. Udara: air: tanah (1: 2: 8).
g. Keadaan saat mati. Oedem mempercepat pembusukan.
Dehidrasi memperlambat pembusukan.
h. Penyebab kematian. Radang, infeksi, dan sepsis mempercepat
pembusukan. Arsen, stibium dan asam karbonat memperlambat
pembusukan.
i. Seks. Wanita baru melahirkan (uterus post partum) lebih cepat
mengalami pembusukan.
21
Pada pembusukan mayat kita juga dapat menginterpretasikan
suatu kematian sebagai tanda pasti kematian, untuk menaksir saat
kematian, untuk menaksir lama kematian, serta dapat
membedakannya dengan bulla intravital (Forensik FK UI, 1997;
Wujoso, 2009).
v. Adipocere (Saponifikasi Mayat)
Adipocere adalah suatu keadaan dimana tubuh mayat
mengalami hidrolisis dan hidrogenisasi pada jaringan lemaknya,
dan hidrolisis ini dimungkinkan oleh karena terbentuknya
lesitinase, suatu enzim yang dihasilkan oleh Klostridium welchii,
yang berpengaruh terhadap jaringan lemak (Forensik FK UI,
1997).
Untuk dapat terjadi adipocere dibutuhkan waktu yang lama,
sedikitnya beberapa minggu sampai beberapa bulan dan
keuntungan adanya adipocere ini, tubuh korban akan mudah
dikenali dan tetap bertahan untuk waktu yang sangat lama sekali,
sampai ratusan tahun (Forensik FK UI, 1997; Wujoso, 2009).
vi. Mummifikasi
Mummifikasi dapat terjadi bila keadaan lingkungan
menyebabkan pengeringan dengan cepat sehingga dapat
menghentikan proses pembusukan. Jaringan akan menjadi gelap,
keras dan kering. Pengeringan akan mengakibatkan menyusutnya
alat-alat dalam tubuh, sehingga tubuh akan menjadi lebih kecil dan
ringan. Untuk dapat terjadi mummifikasi dibutuhkan waktu yang
cukup lama, beberapa minggu sampai beberapa bulan; yang
dipengaruhi oleh keadaan suhu() lingkungan dan sifat aliran udara
(Forensik FK UI, 1997).
2.3 Suhu Dingin
4 Respon Tubuh terhadap Suhu Dingin
Dingin adalah bahaya fisik yang dapat mengganggu fisiologis suhu
tubuh seseorang. Sebuah penelitian menunjukan bahwa dengan suhu
22
dingin 18⁰C seseorang akan mengalami penurunan suhu tubuh dengan
rata-rata penurunan 0,55⁰C (Nugroho, 2009). Pada kasus yang terjadi di
India Selatan, suhu lingkungan yang dingin juga mengakibatkan
penurunan suhu tubuh hingga 26,3⁰C (Anand dkk., 2014). Mekanisme
pengatur suhu tidak 100% efektif sehingga suhu inti tubuh akan
mengalami penurunan jika tubuh terpapar suhu dingin.
Paparan suhu dingin pada tubuh akan memberikan dampak berupa
perubahan fisiologis pada tubuh. Respon terjadi secara cepat pada kulit
akibat perubahan temperatur lingkungan. Termoregulasi terhadap dingin
dipengaruhi oleh reseptor dingin pada kulit dan dihambat oleh pusat
reseptor panas. Reseptor dingin pada kulit merupakan sistem pertahanan
tubuh terhadap temperatur dingin dan input aferen yang berasal dari
reseptor dingin ditransmisikan langsung ke hipotalamus (Dhany, 2011).
Hipotalamus mengatur suhu tubuh manusia apabila terpapar suhu
lingkungan. Hipotalamus memicu peningkatan produksi panas yang
mengakibatkan respon vasokontriksi peripheral (Sherwood, 2001). Pada
saat terpapar suhu dingin, tubuh dapat mengatur suhu intinya dengan
menurunkan hilangnya panas (vasokontriksi peripheral). Vasokontriksi
peripheral 13 merupakan respon yang dilakukan dengan mengurangi
pengeluaran panas dan menurunkan suhu pada kulit. Pada saat yang sama,
hipotalamus merespon dengan meningkatkan produksi panas melalui
peningkatan metabolisme dan aktivitas otot rangka dalam bentuk
menggigil (Nugroho, 2009).
Tubuh manusia dapat menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar
jika perubahan temperatur luar tidak melebihi 35% untuk kondisi dingin
(Karisti, 2008). Tubuh akan mengalami aklimatisasi bila suhu lingkungan
berada di bawah suhu tubuhnya. Aklimatisasi merupakan penyesuaian
fisiologis tubuh terhadap suatu lingkungan baru. Tubuh yang terpapar suhu
dingin akan kehilangan panas dalam tubuhnya yang ditandai dengan
menggigil. Aklimatisasi pada suhu dingin ditandai dengan adanya
penurunan suhu di bagian rectal dan esophageal (Marino dkk., 1998).
Aklimatisasi pada suhu dingin paling cepat terjadi selama dua minggu
23
dengan paparan 20⁰C kurang dari satu hari yang dipengaruhi dengan 14
kondisi fisik yang baik dan kemampuan aklimatisasi tubuh (Sawka dkk.,
2001). Paparan berulang akan meningkatkan toleransi terhadap dingin.
Apabila tubuh tidak mampu beradaptasi dengan suhu dingin dengan
mengalami penurunan suhu tubuh mencapai di bawah 85⁰F maka
kemampuan hipotalamus untuk mengatur suhu tubuh hilang dan akan
mengganggu (Guyton, 1995).
5 Dampak Suhu Dingin terhadap Tubuh Manusia
Menurut Canadian Centre of Occupational Health and Saftey (2008)
penurunan suhu tubuh dibagi menjadi 4 yaitu normal (36,1-37⁰C),
hipotermia ringan (35,1-36⁰C), hipotermia sedang (32,2- 35⁰C) dan
hipotermia berat (32,1-23,9⁰C) Pada lingkungan dengan suhu rendah,
tubuh akan bereaksi dan menimbulkan keluhan-keluhan subyektif seiring
dengan semakin menurunnya suhu tubuh.
Tabel 2.1 Reaksi Tubuh Manusia akibat Suhu Dingin Berdasarkan Suhu
Tubuh Inti
Suhu Inti (oC) Reaksi Tubuh
37 Sensasi thermoneutral
36 Kegelisahan, tangan dan kaki menggigil
35 Disorientasi, apatis, menggigil kuat, kulit menjadi
biru/keabuan, jantung berdegup.
34 Menggigil yang sangat keras, jari kaku dan kebiruan,
kebingungan
33
Mengantuk, depresi, berhenti menggigil, sulit
bernafas, napas pendek, dan tidak mampu merespon
rangsangan.
32 Progresif
31
Pingsan, halusinasi, kekakuan otot, sangat bingung,
tidur yang dalam dan menuju koma, detak jantung
rendah, tidak menggigil.
30 Koma, tidak sadar, tidak memiliki refleks.
24
29 Denyut jantung melambat
<28
kulit membiru, menolak bantuan, pingsan, pasien
tidak sadarkan diri, jantung berhenti menuju
kematian.
Sumber: Arief, 2012; Biem dkk., 2003; dan OSH, 1997
Tabel 1 di atas menunjukan bahwa semakin menurun suhu tubuh
maka akan semakin menimbulkan gejala-gejala yang merupakan reaksi
tubuh terhadap suhu dingin dan mendekati kematian. Reaksi tubuh
tersebut merupakan gejala dari hipotermia. Ketika seseorang terus
menerus terpapar suhu dingin maka tubuh akan terus melakukan
pertahanan terhadap lingkungan yang dingin untuk tetap menjaga suhu
tubuhnya hingga menimbulkan gejala seperti menggigil. Menggigil dapat
meningkatkan metabolic rate 2-5 kali lipat (Nugroho, 2009). Hal ini
dikarenakan suhu tubuh yang menurun di bawah suhu normal. Suhu di
bawah normal biasanya karena gangguan pembentukan panas atau
kelainan pada termostat. Selain menyebabkan hipotermia, paparan suhu
dingin terhadap tubuh manusia juga dapat mengakibatkan frosbite dan
trench foot (Lerner & Brenda, 2007). Gejala-gejala dari frosbite dan trench
foot hampir sama yaitu berkurangnya aliran darah ke tangan dan kaki, mati
rasa, kesemutan atau menyengat, merasakan sakit, kulit kebiruan dan kaki
keram (NIOSH, 2010).
6 Faktor-faktor Individu yang Mempengaruhi Dampak Suhu Dingin
a. Jenis kelamin
Wanita dan laki-laki memiliki sistem fisiologis yang berbeda
sehingga dalam aklimatisasi pada lingkungan juga memiliki perbedaan.
Wanita lebih tahan terhadap suhu dingin daripada suhu panas. Hal
tersebut disebabkan wanita memiliki jaringan dengan daya konduksi
yang lebih tinggi terhadap panas bila dibandingkan dengan laki-laki
sehingga tingkat produksi keringat pada perempuan lebih sedikit
dibanding laki-laki. Selain itu suhu wanita juga mengalami irama
bulanan dalam kaitannya dengan daur haid. Suhu inti rata-rata 0,5⁰C
(0,9⁰F) lebih tinggi selama separuh terakhir siklus dari saat ovulasi ke
25
haid. (Sheerwood, 2001). Walaupun tingkat pendinginan tubuh lebih
lambat pada wanita, tetapi dari ekstremitas akan lebih cepat (OSH,
1997).
Selain itu laki-laki juga memiliki faktor risiko lebih besar untuk
kematian yang disebabkan oleh hipotermia (CDC, 2007). Sifat isolator
tubuh pria sama dengan tiga per empat sifat isolator pakaian biasa
sedangkan pada wanita sifat isolator ini tetap lebih baik (Guyton 1995).
Hal tersebut menunjukan bahwa laki-laki dan wanita sama-sama
memiliki risiko terhadap cedera dingin hanya saja wanita lebih kuat
terhadap paparan suhu dingin.
b. Usia
Usia merupakan satuan waktu yang dapat mengukur waktu hidup
manusia. Semakin tua usia seseorang maka kemampuan fisiologis
tubuh semakin menurun (Nugroho, 2009). Pada 59 kematian akibat
hipotermia di Montana, 53% korban berusia di atas 65 tahun, dan 34%
berusia 45-64 tahun (CDC, 2007). Lansia sensitif terhadap suhu ektrim
karena kemunduran mekanisme kontrol terutama pada kontrol
vasomotor, penurunan jumlah jaringan subkutan, penurunan aktivitas
kelenjar dan penurunan metabolisme (Fauzi, 2013). Orang yang lebih
tua memerlukan waktu yang lama untuk mengembalikan suhu tubuh
menjadi normal setelah terpapar suhu ektrem (Annuriyana, 2010).
Penurunan panas berlebih akan menyebabkan kematian pada orang usia
lanjut yang tidak mendapatkan penghangatan yang adekuat (Burnside
dan Thomas, 1995).
c. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan cara sederhana untuk
mengetahui status gizi orang dewasa dengan membandingkan berat
badan (kg) dan tinggi badan (m2) seseorang (Riski, 2013). Status gizi
seseorang dapat diketahui dengan menggunakan IMT guna mengetahui
normal atau tidaknya status gizi yang dimiliki. Semakin tinggi IMT
maka jumlah lemak dalam tubuh semakin banyak. Kondisi yang rentan
terhadap suhu dingin yaitu keadaan malnutrisi yang identik dengan
26
tubuh kurus, karena dapat mengurangi bahan bakar yang tersedia untuk
memperoleh panas tubuh (Biem dkk., 2003). Kehilangan panas akan
cepat terjadi apabila memiliki tubuh yang kurus karena tubuh yang
kurus memiliki sedikit lemak untuk dapat menghantarkan panas dan
melindungi tubuh dari paparan suhu dingin (Sherwood, 2001). Orang
dengan tubuh gemuk memiliki jaringan adiposa dengan ketebalan
lemak subkutan sehingga lebih jarang mengalami penurunan suhu
tubuh (Brazaitis dkk., 2014).
d. Lama Terpapar Suhu Dingin
Manusia dapat beradaptasi dengan suhu lingkungan yang dingin
paling cepat dalam waktu dua minggu dengan paparan kurang dari satu
hari sesuai dengan kondisi fisik yang baik dan kemampuan aklimatisasi
(Sawka dkk., 2001). Hal tersebut menunjukan semakin lama terpapar
suhu dingin maka tubuh akan meningkatkan toleransi terhadap suhu
dingin. Aklimatisasi dikarenakan produksi panas tubuh yang dapat
mempertahankan suhu tubuh sehingga sistem termoregulasi terbiasa
dengan peningkatan dan penurunan produksi panas tubuh. Ketika tubuh
tidak mampu beradaptasi dengan suhu dingin dan mengalami
penurunan suhu tubuh di bawah 85⁰F maka kemampuan hipotalamus
untuk mengatur suhu tubuh hilang dan akan mengganggu walaupun
setelahnya suhu tubuh hanya turun 94⁰F (Guyton, 1995).
e. Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit akan mengganggu metabolisme tubuh terutama
pada penyakit yang berhubungan dengan organ dalam. Penurunan
pembentukan panas terjadi pada keadaan hipometabolik, seperti pada
miksedema berat, malnutrisi, hipoglikemia dan insufiensi adrenal.
Penekanan sistem saraf pusat karena penyakit otak primer, obat-obatan
atau toksin dapat mengubah termostat dan menyebabkan hipotermia
(Burnside dan Thomas., 1995). Seseorang akan berisiko hipotermia
apabila mereka memiliki penyakit seperti jantung, kencing manis,
ginjal, stroke dan syaraf (Nugroho, 2009). Selain itu hipertensi,
diabetes, hipotiroidisme dan arteriosclerosis juga rentan terhadap
27
cedera dingin dan dikarenakan sirkulasi yang buruk (Safety
Compliance Letter, 2008). Hal tersebut akan berpengaruh pula terhadap
perubahan suhu inti tubuh karena akan mengganggu proses produksi
panas tubuh apabila organ-organ dalam seperti abdomen, kepala dan
dada mengalami hipometabolik.
2.4 HIPOTERMIA
1. Definisi
Dalam buku Harrison’s Principles Of Internal Medicine (2008),
Hipotermia adalah kondisi dimana tubuh mengalami penurunanan suhu
inti (suhu organ dalam) dibawah 35oC (95oF). Tubuh manusia mampu
mengatur suhu pada zona termonetral, yaitu antara 36,5-37,5 °C. Di luar
suhu tersebut, respon tubuh untuk mengatur suhu akan aktif
menyeimbangkan produksi panas dan kehilangan panas dalam tubuh.
Hipotermia diakibatkan oleh lepasnya panas karena konduksi, konveksi,
radiasi, atau transpirasi. Di samping sebagai suatu gejala, hipotermia dapat
merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian (Sudoyo dkk,
2009).
2. Klasifikasi
Beberapa literatur mengklasifikasikan hipotermia menjadi 3, yaitu
hipotermia ringan (suhu tubuh berkisar 32,2°C - 35°C), hipotermia sedang
(suhu tubuh berkisar 28°C – 32,2°C) dan hipotermia berat (suhu tubuh
berkisar <28°C) (Sudoyo dkk, 2009). Berikut tabel pembagian derajat
hipotermia beserta gejalanya:
28
Gejala hipotermia ringan adalah penderita berbicara melantur, kulit
menjadi sedikit berwana abu-abu, detak jantung melemah, tekanan darah
menurun, dan terjadi kontraksi otot / menggigil sebagai usaha tubuh untuk
menghasilkan panas. Pada penderita hipotermia sedang, detak jantung dan
respirasi melemah hingga mencapai hanya 3-4 kali bernapas dalam satu
menit. Pada penderita hipotermia berat, pasien tidak sadar diri, badan
menjadi sangat kaku, pupil mengalami dilatasi (membesar), terjadi
hipotensi akut, dan pernapasan sangat lambat hingga tidak ada (Sudoyo
dkk, 2009).
3. Etiologi
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hipotermi antara lain
paparan suhu lingkungan, intoksikasi alkohol, cedera otak, syok dan
beberapa kondisi penyakit seperti hipotiroidism, neuropati, diabetes dan
hipoglikemi. Kelelahan dan juga keseimbangan energi yang negatif juga
meningkatkan risiko terjadinya hipotermi. Pasien yang menjalani
pembedahan darurat dapat juga mengalami hipotermi akibat kehilangan
panas melalui paparan dingin ruang operasi (melalui radiasi, konduksi,
konveksi, dan evaporasi) dan sebab iatrogenik (pemberian cairan infus dan
tranfusi darah Intravena yang dingin). Pemberian obat anestesi juga
mengganggu kemampuan untuk mempertahankan homeostasis suhu,
menyebabkan redistribusi suhu inti tubuh yang hangat ke jaringan perifer
yang dingin sehingga semakin menurunkan suhu inti. Anestesi Umum juga
merubah ambang batas untuk vasokonstriksi termoregulasi dan menggigil.
Selain itu, trauma juga terbukti merubah termoregulasi, menurunkan
produksi panas, dan merusak kompensasi menggigil (Hildebrand dkk,
2004; Tsuei dkk, 2004).
4. Respon tubuh terhadap Hipotermia
Pada keadaan hipotermia dapat diamati beberapa fase adaptasi yang
terjadi pada tubuh manusia. Fase tersebut dimulai dari fase eksitatorik
untuk mengkompensasi turunnya suhu tubuh inti. Jika terus berlangsung
maka akan diikuti fase adinamik, paralitik, dan fase awal kematian.
29
Tabel 2.2 Reaksi tubuh terhadap hipotermia
(Sumber: Guyton, 2008).
a. Perubahan kardiovaskular
Menggigil yang intensif dapat terjadi pada suhu antara 34oC sampai
36oC dengan akibat peningkatan kebutuhan oksigen dan laju
metabolism. Selama penghangatan kembali, bisa terjadi pelepasan
bekuan darah dingin dan metabolit asam dari pembuluh darah perifer,
dilatasi pembuluh darah sistemik sehingga terjadi instabilitas
kardiovaskular ditandai dengan hipotensi, depresi miokard, dan
pelepasan metabolit asam. Hipotermia yang menyebabkan efek
inotropik negatif pada miokard dan depresi kontraktilitas jantung kiri
dapat terjadi pada hipotermia sedang. Hipotermia juga berhubungan
dengan disritmia atrium dan ventrikel. Perubahan EKG awal yang
terjadi pada hipotermia adalah sinus takikardia. Ketika suhu semakin
turun maka akan terjadi bradikardia. Respon jantung terhadap
katekolamin juga akan menjadi tumpul ketika terjadi hipotermia, juga
jantung akan menjadi tidak toleran terhadap hipervolemia dan
hipovolemia. Hipotermia intraoperatif meningkatkan kejadian
gangguan jantung seperti iskemia, angina unstable, dan takikardia
ventrikel. Peningkatan gangguan jantung dapat lebih hebat dari sekedar
vasokonstriksi perifer, peningkatan kadar norepinefrin, dan perubahan
Fase I
36-36oC
(Eksitasi)
Fase 2
33-30oC
(Exhaution)
Fase 3
30-27oC
(Paralysis)
Fase 4
< 27oC
(Vita
reducta/k
ematian)
Sistem otot Menggigil Penurunan
tonus otot
Munculnya
rigiditas otot
Sistem sirkulasi
dan
kardiovaskular
Takikardia
Penurunan perfusi
ke perifer
Sinus
bradikardi
Munculnya
resistensi oleh
karena peningkatan
viskositas darah
VT
VF
Sistem
pernafasan
Hiperventilasi Depresi nafas
sentral
Bradipneu diselingi
fase apneu
apneu
Sistem saraf Munculnya
kepanikan dan
kewaspadaan
Disorientasi,
apatis
Tidak sadar, refleks
(-)
30
tonus alfa-adrenoseptor akibat reaksi terhadap suhu dingin (Soreide
dkk, 2004).
Pada hipotermia ringan, terjadi takikardia, vasokonstriksi perifer dan
peningkatan cardiac output. Tekanan darah akan sedikit naik. Jika
temperatur semakin turun dan menyebabkan hipotermia sedang, maka
akan terjadi bradikardi progresif akibat penurunan depolarisasi spontan
dari sel-sel pace maker. Pada hipotermia sedang ini dapat terjadi
penurunan cardiac output, namun masih dapat di kompensasi dengan
peningkatan resistensi vaskuler sistemik akibat respons reflex otonom
dan pelepasan katekolamin. Peningkatan resistensi sistemik ini akan
menyebabkan hemokonsentrasi, viskositas darah meningkat dan terjadi
respon vasomotor.
Denyut jantung akan turun hingga 30-40 kali/menit pada temperatur
28⁰C. Ketidakstabilan frekuensi denyut jantung juga dapat disebabkan
karena hipoglikemia, hipovolemia dan obat. Pada temperature < 24⁰C
dapat terjadi asistol yang merupakan manifestasi primer dari
hipotermia. Pada temperatur yang lebih rendah, dapat terjadi bradikardi
ekstrim (20 kali/menit) pada temperature 20⁰C.
Iskemi, peningkatan aktivitas adrenergic dan gangguan elektrolit
merupakan predisposisi terjadinya iritabilitas pada miokard. Pada
hipotermia sedang, hal ini dapat menyebabkan aritmia, yang paling
sering adalah fibrilasi atrium, atrial flutter, multifocal ventricular
extrasystoles dan takiaritmia. Fibrilasi ventrikel umumnya terjadi
apabila ada perubahan mendadak pada status asam-basa (pO2 atau
pCO2), temperatur miokard, dan temperatur berada di bawah 27⁰C.
b. Hematologi
Pada keadaan hipotermia maka dapat terjadi peningkatan viskositas
darah, fibrinogen dan hematokrit sehingga dapat mengganggu fungsi
kerja organ-organ lain. Perubahan permeabilitas vaskuler menyebabkan
perpindahan plasma ke extravaskuler, diikuti dengan hipovolemia yang
diperberat dengan diuresis yang diinduksi oleh cuaca dingin.
Hematokrit naik ±2% setiap penurunan temperature 1⁰C. Cuaca dingin
31
secara langsung menginhibisi reaksi enzim pada jalur intrinsik dan
ekstrinsik kaskade pembekuan yang dapat menyebabkan koagulopati.
Hipotermia dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah akibat
gangguan fungsi trombosit, penghambatan pergerakan enzim
pembekuan, dan aktivasi kaskade fibrinolisis. Koagulopati yang
mengancam nyawa berhubungan dengan suhu kurang dari 34oC dan
progresivitas asidosis metabolic (Soreide dkk, 2004). Hipotermia dan
kombinasi hipotermia-asidosis menyebabkan gangguan koagulasi.
Inhibisi produksi thromboksan B2 menyebabkan penurunan respon
trombosit untuk agregasi. Trombosit selanjutnya akan disimpan di
limpa dan hati yang tidak dapat digunakan.
Hipotermia menyebabkan pelepasan senyawa seperti heparin
sehingga menyebkan gejala seperti disseminated intravascular
coagulation (DIC). Hal ini ditandai dengan peningkatan masa
protrombin (PT) dan masa parsial tromboplastin (PTT), dan
meningkatnya produksi fibrin. Hipotermia juga mempengaruhi faktor
Hageman dan tromboplastin yang diperlukan untuk membentuk bekuan
pada endotel yang cedera (Dirkman dkk, 2008).
Pasien hipotermi berat hampir selalu mengalami asidosis metabolik
serius, yang disebabkan oleh perfusi jaringan menurun dan menggigil
dengan peningkatan pembentukan asam laktat dan metabolit lainnya
(Hildebrand dkk, 2004). Hipotermi yang terjadi bersamaan dengan
asidosis metabolik dan koagulopati telah diidentifikasi menjadi “lethal
Triad” atau “Trias Kematian” (Tsuei dkk, 2004; Dirkman dkk, 2008).
Pasien yang datang dengan trias kematian mempunyai angka kematian
sebesar 50–60% (Mitra dkk, 2011).
c. Neuromuskular
Efek paparan cuaca dingin terhadap sistem saraf pusat akan tampak
nyata, berupa kebingungan dan kadang amnesia ringan. Semakin turun
temperatur, pasien akan semakin mengalami gangguan kesadaran.
Regulasi serebrovaskuler akan menghilang pada temperature 25⁰C dan
32
aliran darah ke serebral akan berkurang 6-7% tiap penurunan
temperature 1⁰C.
Pada hipotermia berat, akan terjadi penurunan kecepatan
metabolisme tubuh sehingga terjadi peningkatan toleransi iskemia
serebral. EEG akan menjadi datar pada temperature < 20⁰C.
Menggigil akan terjadi pada hipotermia ringan namun kemudian
akan berkurang seiring dengan penurunan temperature tubuh. Semakin
turun temperature tubuh, cairan synovial akan semakin mengental
sehingga menimbulkan kekakuan otot-otot dan persendian. Ataxia dan
hilangnya kontrol motorik halus akan mulai terjadi pada hipotermia
ringan, diikuti dengan hiporefleks pada hipotermia sedang. Tubuh
kaku, pupil berdilatasi dan terjadi areflexia apabila temperature tubuh
<28⁰C. Pada hipotermia berat, kekakuan otot dan sendi akan nampak
seperti rigor mortis.
d. Pernapasan
Pada hipotermia ringan dapat terjadi takipnea, yang kemudian
diikuti bronkosmpasme dan bronkorrhoea. Ketika temperature tubuh
turun hingga menyebabkan hipotermia sedang, refleks perlindungan
terhadap jalan napas akan semakin menurun pula akibat fungsi siliar
terganggu. Hal ini menjadi predisposisi terjadinya aspirasi dan
pneumonia. Penurunan konsumsi oksigen dan produksi karbondioksida
akan terjadi ±50% pada suhu 30⁰C. Regulasi temperatur inti tubuh
sangatlah bergantung pada kadar pCO2. Pada hipotermia berat terjadi
apnue dan hipoventilasi progresif atau bahkan edema pulmo (jarang
terjadi).
Terdapat pergeseran ke kiri pada kurva disosiatif oksihemoglobin
sebagai repson terhadap turunnya temperature tubuh sehingga
mengganggu distribusi oksigen dan menyebabkan hipoksia jaringan.
Namun, pada hipotermia berat terjadi pergeseran kurva disosiatif
oksihemoglobin ke kanan akibat semakin beratnya asidosis metabolik.
33
e. Ginjal
Pada hipotermia ringan terjadi diuresis akibat cuaca dingin yang
diikuti dengan ekskresi elektrolit. Hal ini terjadi karena peningkatan
aliran darah renal akibat vasokonstriksi perifer. Turunnya temperatur
akan menyebabkan hilangnya kemampuan tubulus distal ginjal untuk
mereabsorpsi air dan resisten terhadap kerja vasopresin (ADH).
Pada hipotermia sedang, laju filtrasi glomerulus menurun
sebagaimana cardiac output dan aliran darah ginjal menurun. Terjadi
pula penurunan fungsi tubular ginjal dan clearance ginjal terhadap
glukosa. Kapasitas tubular untuk seksresi ion H+ menurun sehingga
berkontribusi terhadap terjadinya asidosis.
f. Gastrointestinal
Motilitas usus menurun pada temperature < 34⁰C. Perdarahan dapat
terjadi di seluruh saluran pencernaan dan pada studi autopsy ditemukan
adanya erosi lambung dan perdarahan submukosa. Ulserasi dangkal
pada lambung sering disebut sebagai Wischnevky’s ulcer dan umumya
sering ditemukan pada pemeriksaan postmortem. Studi pada hewan
menunjukkan bahwa hipotermia meningkatkan produksi asam lambung
dan menurunkan sekresi bikarbonat duodenum yang merupakan
predisposisi kerusakan mukosa duodenum.
Gangguan hepar dapat terjadi akibat menurunnya cardiac output dan
metabolic clearance asam laktat yang turut berkontribusi terhadap
terjadinya asidosis. Pankreatitis sering terjadi akibat hipotermia, 20-
30% sering ditemukan pada autopsy. Pankreatitis terjadi karena
thrombosis di mikrosirkulasi sehingga menyebabkan iskemia dan
nekrosis perilobular di pankreas.
g. Kulit
Hipotermia dapat meningkatkan terjadinya infeksi luka operasi
akibat vasokonstriksi termoregulasi, penurunan tekanan oksigen
subkutan, gangguan kemampuan membunuh kuman netrofil, dan
penurunan deposisi kolagen (Soreide dkk, 2004).
34
5. Penanganan Hipotermia
Metode menghangatkan pada pasien yang mengalami hipotermia
meliputi baik penghangatan eksternal pasif, penghangatan eksternal aktif,
dan penghangatan internal aktif. Penghangatan eksternal pasif dilakukan
dengan memisahkan pasien dari lingkungan yang dingin dan melakukan
penutupan tubuh pasien dari paparan dingin. Penghangatan eksternal aktif
dapat dilakukan dengan pemberian air atau udara hangat disekitar tubuh
pasien, juga selimut atau benda hangat lainnya. Sedangkan penghangatan
internal aktif dapat dilakukan dengan memberikan inhalasi udara panas,
pemberian cairan infus yang dihangatkan, bilas lambung dengan air
hangat, irigasi kandung kemih atau mediastinum dengan cairan hangat
(Soreide dkk, 2004).
35
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Hasil Pemeriksaan Forensik pada Mayat karena Suhu Dingin
Pada patologi forensik, Identifikasi mayat dengan hipotermia sebagai
penyebab suatu kematian selalu memiliki kesulitan tersendiri karena tidak
memiliki tanda yang patognomonik atau khas dan bersifat non spesifik.
Perubahan makroskopik dengan validitas diagnosis tertinggi antara lain tanda
keferstein (frost erythema) dan Wischnewsky’s spot (bercak hemoragik pada
mukosa gaster). Diagnosis kematian karena hipotermia dibuat dengan
kombinasi observasi, penelusuran riwayat paparan, penemuan klinis, dan
ketiadaan faktor lethal lain (Hotmar P, 2005).
Wischnewsky’s spot merupakan suatu indikasi akibat dari stres fisiologis
berat dan/atau hipotermia. Meskipun bukan merupakan tanda patognomonik
pada hipotermia, tanda tersebut telah dikaitkan erat dengan kematian di mana
hipotermia memainkan peran penting (Kupkova B et al, 2007)
Pada hipotermia perdarahan membrane synovial, perubahan warna cairan
synovial menjadi kemerahan, bright red or pink lividity, perdarahan pancreas,
perdarahan otot terutama otot iliopsoas, serta bercak hemoragik pada
duodenum dan jejunum juga dapat ditemukan, meski frekuensinya lebih
jarang jika dibandingkan penemuan frost erythema dan Wischnewsky’s spot.
Untuk mendiagnosis kematian karena hipotermia, tanda-tanda ini perlu
dihubungkan dengan penemuan-penemuan lain yang merujuk ke arah
hipotermia (Palmiere et al, 2014).
Gambar 3.1 Temuan Wischnewsky spot pada mayat dengan hipotermia
(Palmiere et al, 2014)
36
Pada keadaan hipotermia, bercak hemoragik tidak hanya ditemukan pada
mukosa gaster (Wischnewsky spot). Hal serupa dapat juga ditemukan pada
traktus gastrointestinal, dan esophagus meskipun lebih jarang penemuannya.
Wischnesky spot ditemukan pada 40-91% kematian karena hipotermia.
Wischnesky spot bervariasi ukurannya mulai dari 1 mm hingga 2 cm dan bisa
berjumlah hingga 100. Pada orang muda lesi ini lebih banyak jumlahnya dan
ukurannya lebih besar jika dibandingkan dengan orang tua yang mati karena
hipotermia (Kupkova B et al, 2007).
Wischnewsky spot terjadi karena penurunan suhu tubuh akibat paparan
lingkungan dingin akan menyebabkan perdarahan gaster. Terjadi autolysis
eritrosit, sehingga hemoglobin akan dilepas dan kemudian mengalami
hematenisasi oleh asam lambung. Proses hematinisasi akan menberikan
gambaran coklat kehitaman pada wischnewsky spot (Kupkova B, et al.2007,
Palmiere et al, 2014 ).
Gambar 3.2 Temuan Frost erythema pada mayat dengan hipotermia
(Tsokos M, 2008)
Frost erythema memiliki gambaran berupa perubahan warna kulit menjadi
ungu kemerahan atau kecoklatan yang umumnya ditemukan pada daerah
permukaan ekstensor sendi-sendi yang besar terutama lutu, siku, dan region
trochanter mayor. Frost erythema ditemukan pada 72% kasus hipotermia
karena suhu dingin. Frost erythema harus dibedakan dari hematom. Secara
mikroskopik, frost erythema tidak ditandai dengan adanya infiltrasi dan
ekstravasasi eritrosit (Hotmar P, 2005; Tsokos, 2008).
Kematian akibat hipotermia memberi gambaran yang berbeda-beda seperti
munculnya gejala takikardi pada korban hingga timbulnya bradikardi pada
37
korban yang mengalami hipotermia sangat berat, namun walapun demikian
hingga saat ini masih belum ada cara yang paling tepat dan efektif dalam
identifikasi korban mati akibat hipotermia (Tsokos, 2008).
Gambaran lain yang juga dijumpai pada korban mati akibat hipotermia
adalah livor mortis, ekstremitas berwarna keunguan, penipisan lipid dari
korteks adrenal dan bahkan juga ditemukan vakuolisasi pada sel-sel hati saat
dilakukan pemeriksaan dalam. Walaupun begitu, beberapa tanda tersebut
tidak hanya dijumpai pada kasus kematian dengan kondisi hipotermia, maka
dari itu penegakan diagnosis pada kasus hipotermia tidak hanya berdasarkan
temuan di lapangan tetapi juga melibatkan ada tidaknya kehadiran lethal
factor lain selain suhu lingkungan (Kupkova B et al, 2007, Palmiere et al,
2014).
Beberapa tanda mikroskopik lain yang berhubungan dengan hipotermia
antara lain deplesi glikogen hepar, degenerasi asam epitel tububulus renal,
perubahan pankreatik (nekrosis fokal pancreas dan jaringan adiposa
peripankreas, pancreatitis hemoragik dan non hemoragik, vakuolisasi
pancreas), vakuolisasi sel kelenjar pituitari anterior, hepatosist, sel adrenal
dan renal, perubahan lemak pada miosit jantung dan hepatosit (Palmiere et al,
2014 ).
38
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
39
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penulis Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia (1997). Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta: FKUI; h. 25-36.
Husni, GM (2007). Hukum Kesehatan Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Andala, Padang:
FKUNAND; h. 15-26.
Wujoso, Hari (2009). Thanatologi. Cetakan I. Surakarta: UNS Press.
Harrison’s (2008). Principles Of Internal Medicine (Seventeeth Edition). United
States of America: R.R. Donnelley and Sons, Inc.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K Simandibrata M., dan Setiati S (2009). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Hildebrand F, Giannoudis PV, van Griensven M, Chawda M, Pape HC. (2004).
Pathophysiologic changes and effects of hypothermia on outcome in
elective surgery and trauma patients. The American Journal of Surgery;
187: 363–71. 5.
Tsuei BJ and Kearney PA (2004). Hipothermia in the trauma patient.Injury, Int. J.
Care Injured; 35: 7–15.
Dirkman D, Hanke AA, Gorlinger K, Peters J (2008). Hypothermia and Acidosis
Synergistically Impair Coagulation in Human Whole Blood. International
Anesthesia Research Society; 106: 6.
Mitra B, Cameron PA , Mori A, Maini A, Fitzgerald M, Paul E,et al (2008). Early
prediction of acute traumatic coagulopathy. J.Resuscitation; Article in
Press.
Soreide E, Smith CE (2004). Hypothermia in trauma victims – friend or foe? Indian
J Crit Care Med April-June Vol 8 Issue 2.
Tsokos M (2008). Forensic Pathology Reviews vol.5. USA: Humana Press.
Palmiere Cristian, Teresiński Grzegorz, Hejna Petr (2014). Review article:
Postmortem diagnosis of hypothermia. Int J Legal Med.
Hottmar P, Hejna P (2005). Death due to fatal hypothermia in victims dissected in
Department of Forensic Medicine in Hradec Králové between 1992 - 2003.
Soud Lek.; 50(3): 38-41.
40
Kupkova, B, et al (2007). Involvement due to severe stomach
hypothermia in avalanche victims. Folia Gastroenterol Hepatol. P. 5; 2.