Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana
-
Upload
maryunita-yusmar -
Category
Documents
-
view
144 -
download
28
Transcript of Tugas Kelompok Sistem Peradilan Pidana
TUGAS KELOMPOK II
UPAYA HUKUM MENIADAKAN BOLAK-BALIK PEMERIKSAAN DALAM
PROSES PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
Disusun Oleh :
ARIE WINARDI (P0902212010)M. AKRAM (P0902212013)RESKY ANDRY ANANDA (P0902212019)MUSAKKIR (P0902212023)RAHMAT (P0902212024)DIAN REZKY AUGUSMI TAJUDDIN (P0902212015)ANDI AFDHALIAH SRI HAYATI (P0902212016)SYAHRAENI HARDIYANI ARSAM (P0902212021)
MATA KULIAH SISTEM PERADILAM PIDANA
KONSENTRASI HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM
PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
HALAMAN JUDUL
UPAYA HUKUM MENIADAKAN BOLAK-BALIK PEMERIKSAAN DALAM
PROSES PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
Diajukan Oleh :
KELOMPOK II
ARIE WINARDI (P0902212010)M. AKRAM (P0902212013)RESKY ANDRY ANANDA (P0902212019)MUSAKKIR (P0902212023)RAHMAT (P0902212024)DIAN REZKY AUGUSMI TAJUDDIN (P0902212015)ANDI AFDHALIAH SRI HAYATI (P0902212016)SYAHRAENI HARDIYANI ARSAM (P0902212021)
Dosen :
Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H.
MATA KULIAH SISTEM PERADILAN PIDANA
KONSENTRASI HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM
PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
i
KATA PENGANTAR
Kami pertama-tama mengucapkan puji syukur pada Tuhan Yang
Maha Kuasa yang selalu memberikan berkat dan kekuatan serta
kecerdasan pada kami untuk menyelesaikan tugas ini.
Kami juga bersyukur dengan kemajuan teknologi saat ini sehingga
kami dapat menemukan berbagai referensi yang mendukung pembuatan
tugas kami ini baik melalui internet maupun pemberitaan yang sedang
hangat di media elektronik lainnya.
Tugas ini dapat kami selesaikan atas hasil pemikiran – pemikiran
dari anggota kami masing-masing sehingga dapat kami rampungkan
dalam sebuah tulisan yang ada sekarang ini.
Dengan kerendahan hati, kami selaku penulis dari makalah ini
mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan yang
menjauhkannya dari kesempurnaan, hal ini karena keterbatasan kami
sebagai manusia biasa yang hanya bias terus berusaha untuk melakukan
yang terbaik dan memaksimalkan apa yang diberikan oleh Tuhan Yang
Maha Kuasa.
Demikian atas semua bantuannya kami mengucapkan terima kasih.
Makassar, 11 April 2013
Penulis
ii
ABSTRAK
Kelompok II Mata Kuliah Sistem Peradilan Pidana, Konsentrasi Hukum Pidana, Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin : UPAYA HUKUM MENIADAKAN BOLAK-BALIK PEMERIKSAAN DALAM PROSES PERADILAN PIDANA DI INDONESIA, di bawah bimbingan dosen Prof. Dr. Andi Sofyan, SH.,MH.
Penelitian ini adalah kajian sosiologis empiris yang bertujuan untuk mengetahui upaya-upaya apa sajakah yang dapat ditempuh untuk menghilangkan kecenderungan bolak-nalik pemeriksaan dalam proses peradilan pidana.
Penelitian ini dilakukan melalui konstruksi pemikiran yang didasarkan pada materi-materi yang dirangkum dari berbagai macam referensi yang ada baik berupa buku-buku maupun dari media internet yang dikaji secara mendalam dengan lebih memandang masalah dari sudut pandang sosiologis.
Dari penelitian yang dilakukan, maka diperoleh temuan bahwa ; Upaya-upaya konkrit yang dapat dilakukan dalam menangani masalah bolak-balik pemeriksaan dalam proses peradilan pidana di Indonesia antara lain :1. Merealisasikan surat edaran Jaksa Agung yang berupa P-16, yakni
membentuk suatu forum koordianasi antara kepolisian dan kejaksaan terkait pemeriksaan perkara pidana yang ada.
2. Memperluas kewenangan praperadilan dalam mengintervensi jalannya proses pemeriksaan suatu perkara pidana yang bukan hanya terfokus pada hak-hak tersangka melainkan juga pada bagaimana proes pemeriksaannya sendiri.
Kata kunci : Praperadilan, pemeriksaan, Sistem Peradilan pidana.
iii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL ..................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
ABSTRAK ................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan ............................................ 1
B. Rumusan Masalah .............................................................. 4
C. Kerangka Pikir...................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum mengenai Sistem Peradilan Pidana ...... 6
B. Model – Model Sistem Peradilan Pidana ............................ 11
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Sumber Data ....................................................... 23
B. Metode Analisis Data .......................................................... 23
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Permasalahan Pemeriksaan dalam Sistem Peradilan Pidana
di Indonesia ........................................................................ 25
B. Upaya hukum Praperadilan................................................. 32
C. Misi dalam Mencapai Tujuan Sistem Peradilan Pidana yang
Efisien Dan Lebih Maksimal dalam Menyelesaikan
Permasalahan Pidana......................................................... 33
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 35
B. Saran .................................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Penegakan hukum yang ideal harus bisa memenuhi tiga nilai dasar
dari hukum yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Baik
dalam tataran teoretis maupun praktis, ketiga nilai dasar tersebut tidak
mudah untuk diwujudkan secara serasi. Pemenuhan nilai kepastian
hukum, terkadang harus mengorbankan nilai keadilan dan kemanfaatan,
demikian pula pemenuhan nilai keadilan dan kemanfaatan di satu sisi,
pada sisi yang lain akan bisa berakibat pada dikorbankannya nilai
kepastian hukum.
Dalam literatur, penegakan hukum pidana melalui pendekatan
sistem dikenal dengan istilah sistem peradilan pidana. Secara umum
sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu proses bekerjanya
beberapa lembaga penegak hukum melalui sebuah mekanisme yang
meliputi kegiatan bertahap yang dimulai dari penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan hakim yang
dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan.
Proses tersebut bekerja secara berurutan artinya tahap yang satu
tidak boleh melompati tahap lainnya. Keseluruhan proses itu bekerja di
dalam suatu sistem, sehingga masing-masing lembaga itu merupakan
subsistem yang saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi antara
satu dengan yang lain. Dalam sistem peradilan pidana tersebut bekerja
1
komponen-komponen fungsi yang masing-masing harus berhubungan dan
bekerja sama. Sebagaimana dikatakan oleh Alan Coffey berkaitan dengan
hal ini yaitu bahwa :
“Criminal justice can function systematically only to the degrees that each segment of the system takes into account all other segments. In order words, the system is no more systematic than the relationships between Police and prosecution, Police and Court Prosecution and Corrections, Corrections and law, and so forth. In the absence of functional relationships between segments, the criminal justice system is vulnerable to fragmentation and ineffectiveness” 1.
Jadi adanya fragmentasi dalam arti masing-masing fungsi bekerja
sendiri-sendiri dan tidak memperhatikan antar hubungan diantara sub-
subsistem yang ada harus dicegah bilamana akan dibangun suatu sistem
peradilan pidana yang efektif. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan
konsep “Integrated Approach” dari Hiroshi Ishikawa yang antara lain
menegaskan bahwa komponen-komponen fungsi itu walaupun fungsinya
berbeda-beda dan berdiri sendiri-sendiri (diversity) tetapi harus
mempunyai suatu tujuan dan persepsi yang sama sehingga merupakan
suatu kekuatan yang utuh ( unity ), yang saling mengikat.
Hiroshi Ishikawa dalam hal ini menyatakan bahwa:
“Criminal justice agencies including the police, prosecution, judiciary institution should be compared with a chain of gears, and each of them should be precise and tenacious in maintaining good combination with each other”2
Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh
pakar hukum pidana dan para ahli dalam “criminal justice science” di
1 M.Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi ( Diskresi Kepolisian ), Jakarta: Pradnya Paramita, 1991, hl. 25.
2 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hl. 49.
2
Amerika Serikat seiring dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja
aparatur penegak hukum dan institusi penegakan hukum yang didasarkan
pada pendekatan hukum dan ketertiban, yang sangat menggantungkan
keberhasilan penanggulangan kejahatan pada efektivitas dan efisiensi
kerja organisasi kepolisian. Dalam hubungan ini pihak kepolisian ternyata
menghadapi berbagai kendala, baik yang bersifat operasional maupun
prosedur legal dan kemudian kendala ini tidak memberikan hasil yang
optimal dalam upaya menekan kenaikan angka kriminalitas, bahkan terjadi
sebaliknya.
Frank Remington adalah orang pertama di Amerika Serikat yang
memperkenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui
pendekatan sistem (system approach) dan gagasan mengenani sistem ini
terdapat dalam laporan Pilot Proyek Tahun 1958. Gagasan ini kemudian
dilekatkan pada mekanisme administrasi peradilan pidana dan diberi
nama “Criminal Justice System”. Istilah ini kemudian diperkenalkan dan
disebarluaskan oleh The President’s Crime Commision3.
Diagram skematik “Criminal Justice System” telah disusun oleh The
Commision’s Task force on Science and Technology di bawah pimpinan
Alfred Blumstein. Sebagai ahli manajemen, Blumstein menerapkan
pendekatan manajerial dengan bertopang pada pendekatan sistem
terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sejak saat itu dalam
penanggulangan kejahatan di Amerika Serikat diperkenalkan dan
3 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan pidana ( Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme ), Bandung: Binacipta, 1996, hl. 8.
3
dikembangkan pendekatan sistem sebagai pengganti pendekatan hukum
dan ketertiban. Melalui pendekatan sistem ini kepolisian, pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan tidak lagi merupakan instansi yang berdiri
sendiri melainkan masing-masing merupakan unsur penting dan berkaitan
erat satu sama lain4.
Sistem peradilan pidana yang terpadu atau yang dikenal dengan
istilah integrated criminal justice system memerlukan berbagai
persyaratan untuk mewujudkannya. Mengacu pada unsur-unsur sistem,
maka keterpaduan dalam sistem peradilan pidana memerlukan
sinkronisasi baik yang menyangkut struktur, substansi maupun kultur.
Berdasarkan uraian di atas, maka kami terdorong untuk berpikir kritis
tentang. Hal ini perlu dilakukan guna membantu dalam menentukan arah
kebijakan hukum pidana yang dapat ditempuh, utamanya dengan
pembaharuan hukum pidana (Konsep KUHP Baru).
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka
permasalahan yang dapat dirumuskan adalah : Upaya apakah yang dapat
dilakukan untuk menghilangkan bolak-balik pemeriksaan dalam proses
peradilan pidana di indonesia?
4 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 1996, hl. 23.
4
C. Kerangka Pikir
1
UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Bolak-balik pemeriksaan dalam proses penyelesaian perkara dalam peradilan pidana yang sering dialihkan pada keluarnya Surat Pemberitahuan Pemberhentian Penyidikan (SP3)
Proses Praperadilan dalam Peradilan Pidana
Upaya-upaya yang dapat ditempuh untuk menghilangkan o Merealisasikan surat edaran
Jaksa Agung yang berupa P-16, yakni membentuk suatu forum koordianasi antara kepolisian dan kejaksaan terkait pemeriksaan perkara pidana yang ada.
o Memperluas kewenangan praperadilan dalam mengintervensi jalannya proses pemeriksaan suatu perkara pidana yang bukan hanya terfokus pada hak-hak tersangka melainkan juga pada bagaimana proses pemeriksaannya sendiri yang menyangkut seringnya bolak-balik pemeriksaan.
PembahasanBagaimana permasalahan yang sering dihadapi dalam proses pemeriksaan mulai dari tahap pengadiuan di kepolisian sampai dengan tahap penyidikan oleh pihak kejaksaan serta bagaimana upaya untuk memeperbaiki serta merenkonstruksinya sistemnya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum Mengenai Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana (SPP) berasal dari dua kata yaitu
“sistem” dan “peradilan pidana”. Pemahaman mengenai ”sistem” dapat
diartikan sebagai suatu rangkaian diantara sejumlah unsur yang saling
terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pandangan Muladi,
pengertian system harus dilihat dalam konteks, baik sebagai physical
system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk
mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract system dalam arti gagasan-
gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain
saling ketergantungan5.
Dan apabila dikaji dari etimologis, maka ”sistem” mengandung arti
terhimpun (antar) bagian atau komponen (subsistem) yang saling
berhubungan secara beraturan dan merupakan suatu keseluruhan.
Sedangkan ”peradilan pidana” merupakan suatu mekanisme pemeriksaan
perkara pidana yang bertujuan untuk menghukum atau membebaskan
seseorang dari suatu tuduhan pidana. Dalam kaitannya dengan peradilan
pidana, maka dalam implementasinya dilaksanakan dalam suatu sistem
peradilan pidana. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak lain adalah
pencapaian keadilan bagi masyarakat.
5 Muladi, Kapita Selekta Sistem peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995, hl. 41.
6
Sistem Peradilan Pidana atau “Criminal Justice System” kini telah
menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan
sistem.
Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh
pakar hukum pidana dan ahli dalam criminal justice system di Amerika
Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur
penegak hukum dan institusi penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti
dari meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an.
Pada masa itu pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum
adalah ”hukum dan ketertiban” (law and order approach) dan penegakan
hukum dalam konteks pendekatan tersebut dikenal dengan istilah ”law
enforcement”.
Menurut Indriyanto Seno Adji, sistem peradilan pidana di
Indonesia merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal
Justice System, yang merupakan suatu sistem yang dikembangkan di
Amerika Serikat yang dipelopori oleh praktisi hukum (law enforcement
officers). Dengan kata lain sistem peradilan pidana merupakan istilah yang
digunakan sebagai padanan dari Criminal Justice System. Untuk
mendapatkan gambaran tentang sistem peradilan pidana atau criminal
justice sistem, di bawah ini penulis mengutip beberapa pengertian sistem
peradilan pidana6, sebagai berikut :
6 HR. Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Restu Agung, 2007, hl. 11
7
1. Dalam Black Law Dictionary, Criminal Justice System diartikan sebagai
”the network of court and tribunals which deal with criminal law and it’s
enforcement”. Pengertian ini lebih menekankan pada suatu
pemahaman baik mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan
maupun pada fungsi dari jaringan untuk menegakan hukum pidana.
Jadi, tekanannya bukan semata-mata pada adanya penegakan hukum
oleh peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan
fungsi penegakan hukum tersebut dengan membangun suatu jaringan.
2. Remington dan Ohlin, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai
pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi
peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem
merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan,
praktik adminisrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian
sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang
dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk
memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.
3. Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan.
4. Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan
(network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel,
hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Akan tetapi,
menurut Muladi kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial.
8
Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan
kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.
Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana atau
criminal justice system di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan
sudut pandang yang berbeda pula. Criminal Justice System atau yang
dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana
merupakan suatu bentuk yang unik dan berbeda dengan sistem sosial
lainnya. Perbedaan dapat dilihat dari keberadaannya untuk memproduksi
segala sesuatu yang bersifat unwelfare (dapat berupa perampasan
kemerdekaan, stigmatisasi, perampasan harta benda atau menghilangkan
nyawa manusia) dalam skala yang besar guna mencapai tujuan yang
sifatnya welfare (rehabilitasi pelaku, pengendalian dan penekanan tindak
pidana).
Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu
proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat
sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum
substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan
pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana ”in
abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”.
Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan
pidana, karena perundang-undangan tersebut memberikan kekuasaan
pada pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakan
yang diterapkan. Lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan
9
kebijakan dan memberikan langkah hukum untuk memformulasikan
kebijakan dan menerapkan program kebijakan yang telah ditetapkan. Jadi,
semua merupakan bagian dari politik hukum yang pada hakekatnya
berfungsi dalam tiga bentuk, yakni pembentukan hukum, penegakan
hukum, dan pelaksanaan kewenangan dan kompetensi.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, ada beberapa asas utama
yang harus diperhatikan dalam mengoperasionalisasikan hukum pidana,
sebab individu harus benar-benar merasa terjamin bahwa mekanisme
sistem peradilan pidana tidak akan menyentuh mereka tanpa landasan
hukum tertulis, yang sudah ada terlebih dahulu (legality principle). Di
samping itu, atas dasar yang dibenarkan oleh undang-undang hukum
acara pidana mengenai apa yang dinamakan asas kegunaan (expediency
principle) yang berpangkal tolak pada kepentingan masyarakat yang dapat
ditafsirkan sebagai kepentingan tertib hukum (interest of the legal order).
Atas dasar ini penuntutan memperoleh legitimasinya. Asas yang ketiga
adalah asas perioritas (priority principle) yang didasarkan pada semakin
beratnya beban sistem peradilan pidana7. Hal ini bisa berkaitan dengan
berbagai kategori yang sama. Perioritas ini dapat juga berkaitan dengan
pemilihan jenis-jenis pidana atau tindakan yang dapat diterapkan pada
pelaku tindak pidana.
B. Model-Model Sistem Peradilan Pidana
7 J.W. Lapatra, Analyzing the Criminal Justice Systems, Massachusetts: Lexinton Books, 1978, hlm. 86.
10
Dalam literatur dikenal beberapa model peradilan pidana.
Menurut Herbert L. Packer, Michael King dan J.W. Lapatra, berkembang
beberapa model sistem peradilan pidana dalam rangka penyelenggaraan
peradilan pidana. Perlu dijelaskan di sini bahwa penggunaan model di sini
bukanlah sesuatu hal yang nampak secara nyata dalam suatu sistem
yang dianut oleh suatu negara, akan tetapi merupakan suatu sistem nilai
yang dibangun atas dasar pengamatan terhadap praktek peradilan pidana
di berbagai negara. Berdasarkan pengamatannya dikatakan bahwa dalam
penyelenggaraan peradilan pidana di tujuh model dalam proses
pemeriksaan perkara pidana Sebagai berikut :
1. Due Process Model
Sistem peradilan pidana dengan Due Process Model
menggambarkan suatu versi yang diidealkan tentang bagaimana
sistem harus bekerja sesuai dengan gagasan atau sifat yang ada
dalam aturan hukum. Hal ini meliputi prinsip-prinsip tentang hak-
hak terdakwa, asas praduga tidak bersalah, hak terdakwa untuk
diadili secara adil, persamaan di depan hukum dan peradilan.
Menurut Herbert Packer mengenai Due Process Model
memiliki ciri-ciri dengan selalu menganggap penting adanya refresif
kejahatan, yaitu tahap ajudicatif (dalam sidang pengadilan harus
ditentukan salah tidaknya tersangka), atas dasar legal guilt.
Kemudian selalu mengadakan chek and recheck (obstacle couse)
dan hal ini harus diuji menurut peraturan. Ciri berikutnya adalah
menghormati undang-undang. Kemudian menempatkan kedudukan
11
yang sama bagi setiap orang di depan hukum sehingga model ini
dikatakan orang lebih manusiawi dan menghormati hak asasi
manusia.
Pada Due Process Model, sangat diperlukan peranan Bantuan
Hukum yang dalam hal ini ialah pengacara untuk mendampingi
tersangka sejak di tingkat penahanan, penangkapan, maupun
tentunya di pengadilan sehingga para tersangka merasa tenang
dalam pemeriksaan dan terhindar dari segala bentuk tekanan,
paksaan dan penyiksaan.
Kritik kami terhadap Due Process Model yaitu :
1. Due Proses Model memperkecil kesalahan karena selalu
berjalan di atas rel aturan, namun akan menimbulkan lebih
banyak korban. Hal ini karena polisi tidak bisa bertindak
sebelum putusan yang mengikat artinya kewenangan polisi
bersifat terbatas.
2. Due process model akan menyebabkan proses peradilan
menjadi lama dan biaya yang lebih mahal karena proses
peradilan yang wajar selalu mengikuti prosedur-prosedur dan
aturan-aturan yang ada karena kekuasaan yang dominan dalam
model ini adalah konstitusi.
3. Due process model lebih mementingkan hak terdakwa daripada
hak korban sehingga tidak dapat menciptakan keadilan yang
seimbang di antara keduanya.
12
2. Crime Control Model
Seorang tokoh bernama Herbert Packer berpendapat bahwa
Crime Control Model merupakan model peradilan pidana yang
bertujuan untuk menekan angka kejahatan dengan memberikan
toleransi yang kecil, disini fungsi peradilan pidana adalah untuk
mengontrol dan mengawasi. Kelemahan dalam model ini bila
terdapat ketidakmampuan komponen-komponen dalam sistem
peradilan pidana dapat menimbulkan runtuhnya ketertiban umum
yang mengarah pada hilangnya ketenangan sosial yang penting
bagi kebebasan manusia. Proses peradilan yang terdapat dalam
model ini cenderung cepat dan efisien, penekanan lebih ditekankan
pada kecepatan dan penyelesaiannya. Dalam model peradilan
pidana ini asas yang berlaku adalah asa praduga bersalah, dimana
timbul dalam sistem peradilan pidana yang mempunyai prinsip
pembuktian secara ekstensif dan professional, oleh karena itu
setiap tersangka yang tertangkap dan telah dikenakan suatu
tuduhan maka ia pasti bersalah.
Kritik kami mengenai Crime Control Model berdasarkan
penjelasan diatas maka dalam praktiknya, pertama, crime control
model lebih mengutamakan profesionalisme pada aparat penegak
hukum untuk menyingkap, mencari dan menemukan pelaku tindak
pidana. Profesional yang merupakan sifatnya, maka peraturan yang
bersifat formal sering dilanggar, dan kadang-kadang untuk
mendapatkan barang bukti, para profesionalis ini memaksakan
13
cara-cara ilegal untuk tujuan cepat dan efisiensi. Sehingga untuk
menghindari hambatan dari proses pidana itu maka kewenangan
kebijakan dari penegak hukum itu seringkali diperluas sehingga
aparat penegak hukum dapat bertindak semena-mena demi
mendapatkan kebenaran. Kedua, walaupun proses peradilan
sangat cepat dan efisien namun dalam kenyataannya bahwa Crime
Control Model ini sering dipertentangkan sebagai kurang
manusiawi dan tidak menghormati Hak Asasi Manusia karena inti
dari Crime Control Model ini adalah Punishment (hukuman)
3. Medical Model
Medical Model adalah model sistem peradilan pidana dimana
yang terbaik dalam menghadapi para individu yang melanggar
hukum guna mengurangi kejahatan yang dilakukan melalui
pendekatan rehabilitasi. Para polisi memiliki kekuasan untuk
memperingatkan pelanggar dan mengarahkan mereka kepada
lembaga kerja sosial.
Kritik kelompok kami mengenai model sistem peradilan ini
adalah pertama, Medical model merupakan sistem yang
mengutamakan rehabilitasi dan resosialisasi daripada penjatuhan
hukuman sehingga belum tentu atau bahkan tidak mungkin pelaku
tindak pidana akan langsung sadar dengan hanya rehabilitasi saja,
justru menurut saya pelaku kejahatan akan mengulangi
perbuatannya lagi (residivis). Kedua, medical model tidak dapat
14
mengurangi pelaku kejahatan justru hanya akan menambah pelaku
kejahatan karena rehabilitasi belum tentu dapat menyadarkan
pelaku kejahatan dengan begitu saja tanpa dijatuhi sanksi pidana
terlebih dahulu.
4. Bureaucratic Model
Bureaucratic Model merupakan model sistem peradilan pidana
yang menekankan kejahatan harus dibongkar dan terdakwa diadili,
ia harus dijatuhi hukuman dengan cepat, dan sedapat mungkin
efisien. Keefektifan pelaksanaan hukum di pengadilan menjadi
suatu perhatian utama. Jika terdakwa mengaku tidak bersalah
dalam suatu proses peradilan, maka penuntut dan pembela
berupaya untuk mengumpulkan bukti-bukti, memanggil saksi dan
menyiapkan berbagai dokumen yang diperlukan untuk keperluan
pembuktian.
Bureaucratic Model, hanya berupaya menciptakan suatu
sistem hukum yang cepat dan efisien tanpa melihat tujuan hukum
yang sebenarnya bagi masyarakat. Bureaucratic model juga
mengeyampingkan hak-hak terdakwa.
5. Status Passage Model
Status Passage Model merupakan model yang menekankan
bahwa para pelanggar harus diadili di depan umum dan dijatuhi
hukuman. Hukuman perlu dijatuhkan untuk menggambarkan
pencelaan moral masyarakat. Pengadilan publik dan hukuman
15
perlu untuk menunjukkan bahwa masih terdapat nilai-nilai hukum
yang kebal dari masyarakat. Hukum publik dan ungkapan
pencelaan dalam rehabilitasi dapat menyebabkan perasaan malu
para pelanggar.
Status Passage Model ini lebih menonjolkan kepada
pencitraan buruk terhadap tersangka sehingga terkesan
menciptakan suasana hukum yang kurang kondusif untuk
perbaikan psikologi terdakwa. Terdakwa akan merasa tertekan dan
merasa tersingkir dari pergaulan masyarakat.
6. Power Model
Power Model adalah Sistem Peradilan Pidana yang pada
dasarnya memperkokoh peranan penguasa sebagai pembuat
hukum dan sekaligus menerapkannya di masyarakat. Hukum
Pidana dan pelaksanaannya dipengaruhi oleh kepentingan dari
golongan yang dominan, seperti ras, jenis kelamin dan lain-lain.
Kritik Penulis terhadap Power Model bahwa dengan model ini
akan menciptakan hukum yang represif yaitu hukum yang
mengabdi kepada kekuasaan dan kepentingan pemerintah
sehingga kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan rakyat
yang diperintahkan. Akibat dari model ini antara lain :
a. Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan
kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.
Kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan
16
dimana mereka dapat memperoleh perlindungan bersifat
terbatas.
b. Badan-badan pengawas khusus seperti polisi misalnya
menjadi pusat kekuasaan yang bebas. Badan-badan
pengawas khusus seperti polisi misalnya menjadi pusat
kekuasaan yang bebas. power model” terutama bertujuan
untuk memelihara dominasi klas-klas dalam masyarakat.
Tugas-tugas kepolisian juga didominasi memelihara sistem ini,
yang tidak jarang memungkinkan pengabaian hukum positif
formal, sepanjang hubungan yang seimbang antar klas sosial
tetap terjaga.
c. pemerintah lebih banyak menginterfensi para penegak hukum
sehingga penegakan hukum yang terlaksana tidak obyektif.
17
7. Just Desert Model (Just Desert & Just Punishment)
Just Desert Model (Just Desert & Just Punishment)
merupakan model keadilan yang hakikatnya penjatuhan pidana
kepada pelaku tindak pidana bersifat selektif dalam artian kepada
orang yang bersalah saja yang harus dijatuhi pidana. Kemudian
penjatuhan pidana tersebut haruslah sesuai dengan tingkat dan
bobot kesalahan yang dilakukannya. Berikutnya dalam menjalani
proses peradilan tersebut maka hak-hak dari terdakwa berupa asas
praduga tidak bersalah (presumption of innocence) harus
dilindungi dan dijunjung tinggi serta juga bagi korban diberikan
ganti kerugian. Konkretnya, pelaku tindak pidana diwajibkan
memberi ganti kerugian kepada korban akibat dari tindak pidana
yang telah dilakukannya.
Sistem peradilan pidana dengan model yang dikemukakan
oleh Michael King ini sifatnya lebih “positivis” sehingga membuat
jarak dengan dimensi keadilan. Kedua, model tersebut bersifat
prosedural dimana yang dituju adalah bagaimana menekan tingkat
kejahatan, memprosesnya dan berusaha secepat mungkin diadili
dalam sidang pengadilan. Tindakan represif merupakan fungsi
terpenting dari proses peradilan, sehingga efisiensi penegak hukum
dalam menyeleksi tersangka, penetapan kesalahannya dan
perlindungan hak tersangka dari proses peradilan merupakan
tujuan utama. Konsekuensi logisnya maka proses penegakan
18
hukum berlandaskan prinsip cepat (speedy), tuntas (finality), dan
efisien yang dapat menciptakan terjadinya banyak kesalahan dalam
proses persidangan.
Model SistemPeradilan Pidana Fungsi Sosial Ciri-Ciri
1. Due Process Model Justice (Keadilan)
1. Kesetaraan di depan hukum dan pengadilan
2. Melindungi hak-hak terdakwa
3. Kewenangan polisi dibatasi
4. Asas praduga tidak bersalah
2. Crime Control Model Punishment (Hukuman)
1. Mengabaikan kontrol hukum
2. Mengenyampingkan hak-hak terdakwa
3. Pengadilan yang cepat dan efisien
4. Kewenangan polisi luas
5. Asas praduga bersalah
3. Medical Model (diagnosis, prediction, and treatment selection)
Rehabilitation (Rehabilitasi)
1. Prosedur pengumpulan informasi
2. Individualisasi3. Pendekatan dengan
pengobatan4. Polisi leluasa
menggunakan diskresi5. Relaksasi aturan
formal
19
4. Bureaucratic Model Management of Crime and Criminals
1. Bebas dari pertimbangan politik
2. Pengadilan yang cepat dan efisien
3. Minimalisasi konflik4. Minimalisasi biaya5. Pelaksanaan hukum
menjadi perhatian utama
5. Status Passage Model
Denunciation and Degradation
1. Pencelaan moral dari masyarakat terhadap terdakwa
2. Pengadilan mencerminkan nilai-nilai dalam masyrakat
3. Kewenangan polisi bersifat tidak dibatasi
6. Power Model Maintenance of class domination
1. Memperkuat peranan penguasa sebagai pembuat hukum
2. Keterasingan dan penindasan terhadap terdakwa
3. Memperhatikan pemeliharaan stratifikasi/kelas dalam masyarakat
4. Ketidaksetaraan antara hakim dengan terdakwa di mata hukum
7. Just Desert Model (Just Desert & Just Punishment)
Compensation and Punishment
1. penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana bersifat selektif dan sesuai dengan tingkat dan bobot kesalahan
2. Hak-hak dari terdakwa dilindungi dan dijunjung tinggi
3. Pelaku tindak pidana diwajibkan memberi ganti kerugian kepada korban
20
Pada dasarnya, ketujuh model Sistem Peradilan Pidana
tersebut mendeskripsikan “model keadilan” yang ingin dicapai dalam
takaran kebijakan aplikatif bagi hakim di pengadilan khususnya saat
proses penjatuhan putusan.
Menurut pendapat kami sendiri sebagai akademisi hukum
maka sistem peradilan pidana yang tepat untuk diterapkan di
Indonesia adalah Just Desert Model (Just Desert & Just Punishment).
Pada model keadilan ini pada hakikatnya memiliki kelebihan dan
keunggulan sehingga tepat untuk sistem peradilan pidana di Indonesia
yaitu :
1. Penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana bersifat selektif
dalam artian kepada orang yang bersalah saja yang harus dijatuhi
pidana.
2. Penjatuhan pidana tersebut haruslah sesuai dengan tingkat dan
bobot kesalahan yang dilakukannya.
3. Dalam menjalani proses peradilan tersebut maka hak-hak dari
terdakwa berupa asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence) harus dilindungi dan dijunjung tinggi sehingga dapat
dikatakan model sistem peradilan ini melindungi dan menghargai
Hak Asasi Manusia
4. Korban diberikan ganti kerugian. Konkretnya, pelaku tindak
pidana diwajibkan memberi ganti kerugian kepada korban akibat
dari tindak pidana yang telah dilakukannya sehingga sangat
21
sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu mengembalikan kondisi
dalam keadaan yang semula.
22
BAB III
METODE PENULISAN
D. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan Sumber Data yang digunakan dalam penulisan ini terdiri
dari:
1. Bahan Hukum Primer
Adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat terdiri dari UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan
peraturan lainnya.
2. Bahan Hukum Sekunder
Adalah bahan hukum yang berupa tulisan-tulisan ilmiah di
bidang hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer seperti artikel, kliping, seminar, internet,
kamus hukum dan lainnya.
E. Metode Analisa Data
Seluruh data yang dikumpulkan, selanjutnya diinventarisasi,
diklasifikasi, dan dianalisis untuk menghasilkan kesimpulan-
kesimpulan dari bahan-bahan yang didapatkan sesuai dengan
23
permasalahan yang dibahas oleh Penulis. Kesimpulan tersebut yang
diperoleh dari berbagai macam bahan yang telah dianalisis
digunakan untuk mengkaji dan membahas permasalahan yang
diteliti oleh Penulis pada penelitian ini. Hal ini bertujuan agar
memperolah hasil pembahasan dan kesimpulan yang relevan sesuai
dengan permasalahan yang diteliti.
24
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Permasalahan Pemeriksaan dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia
Dalam Hukum Acara Pidana (Hukum Pidana Formil)
sebagaimana tercantum dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana telah dicoba diletakkan kerangka landasan untuk
melaksanakan sistem peradilan pidana. Hal ini tampak dalam pengaturan
hal-hal sebagai berikut :
1. Hubungan Penyidik POLRI Dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) adalah sebagai berikut :
a. PPNS dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinator dan pengawasan Penyidik POLRI (Pasal 7 ayat 2);
b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik memberikan petunjuk kepada PPNS dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat 1);
c. PPNS melaporkan tindak pidana yang sedang disidik kepada penyidik POLRI (Pasal 107 ayat 2);
d. PPNS menyerahkan hasil penyidikan yang telah selesai kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI (Pasal 107 ayat 3);
e. Dalam hal PPNS menghentikan penyidikan, segera memberitahukan penyidik POLRI dan Penuntut Umum (Pasal 109 ayat 3).
2. Hubungan Penyidik POLRI Dengan Penuntut Umum.
a. Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum (Pasal 8, Pasal 14 huruf a, Pasal 110 ayat 1);
b. Penuntut Umum memberikan perpanjangan penahanan atas permintaan penyidik (Pasal 14 huruf c, Pasal 24 ayat 2);
c. Dalam hal Penuntut Umum berpendapat hasil penyidikan belum lengkap, ia segera mengembalikan kepada penyidik disertai
25
petunjuknya dan penyidik wajib melengkapinya dengan melakukan pemeriksaan tambahan (Pasal 14 huruf b, Pasal 110 ayat 2 dan ayat 3);
d. Dalam hal penyidik mulai melakukan penyidikan/ pemeriksaan, memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat 1);
e. Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan, memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat 2), sebaliknya dalam hal Penuntut Umum menghentikan penuntutan, ia memberikan Surat Ketetapan kepada Penyidik (Pasal 140 ayat 2 huruf c);
f. Penuntut Umum memberikan turunan surat pelimpahan perkara, surat dakwaan kepada penyidik (Pasal 143 ayat 4), demikian pula dalam hal Penuntut Umum mengubah surat dakwaan ia memberikan turunan perubahan surat dakwaan itu kepada penyidik (Pasal 144 ayat 3);
g. Dalam acara pemeriksaan cepat, penyidik atas kuasa Penuntut Umum (demi hukum), melimpahkan berkas perkara dan menghadapkan terdakwa, saksi/ahli, juru bahasa dan barang bukti pada sidang pengadilan (Pasal 205 ayat 2).Konsekuensi dari hal di atas, penyidik memberitahukan hari sidang kepada terdakwa (Pasal 207 ayat 1) dan menyampaikan amar putusan kepada terpidana (Pasal 214 ayat 3)
3. Hubungan Penyidik dan Hakim/Pengadilan.
a. Ketua Pengadilan Negeri dengan keputusannya memberikan perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud Pasal 29 atas permintaan penyidik;
b. Atas permintaan Penyidik, Ketua Pengadilan Negeri menolak atau memberikan surat izin penggeledahan rumah atau penyitaan dan /atau surat izin khusus pemeriksaan surat (Pasal 33 ayat 1, Pasal 38 ayat 1);
c. Penyidik wajib segera melapor kepada Ketua Pengadilan Negeri atas pelaksanaan penggeledahan rumah atau penyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat 2 dan Pasal 38 ayat 2;
d. Penyidik memberikan kepada panitera bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan kepada terpidana (Pasal 214 ayat 3)
e. Panitera memberitahukan kepada penyidik tentang adanya perlawanan dari terdakwa (Pasal 214 ayat 7).
4. Hubungan Antara Pengadilan dan Jaksa Di Satu Pihak dan Lembaga
Pemasyarakatan di Lain Pihak.
26
Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 36 Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman No. 4 Tahun 2004 yang mengatur tentang
Pengawasan Pelaksanaan Putusan Pengadilan.Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 36 ayat :
1) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.
2) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan berdasarkan undang-undang.
3) Pelaksanan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.
4) Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.
Undang-undang yang dimaksud oleh Pasal 36 ayat (2) di atas
adalah Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
yang pengaturannya terdapat di dalam Bab XX, Pasal 277-283. Ketentuan
selengkapnya adalah sebagai berikut :
Pasal 277 :1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas
khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.
2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk paling lama dua tahun.
Pasal 278Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani olehnya, kepala lembaga pemasyarakatan, dan terpidana kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalam register pengawasan dan pengamatan.
Pasal 279Register pengawasan dan pengamatan sebagaimana tersebut pada pasal 278 wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh
27
panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui ditandatanani juga oleh hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 277.
Pasal 2801) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna
memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
2) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku narapidana atau pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani pidananya.
3) Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tetap dilaksanakansetelah terpidana selesai menjalani pidananya.
4) Pengawasan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 277 berlaku pula bagi pemidanaan bersyarat.
Pasal 281Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan haikm tersebut.
Pasal 282Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan pengamat dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu.
Pasal 283Hasil pengawasan dan pengamatan dlaporkan oleh hakim pengawas dan pengamat kepada ketua pengadilan negeri secara berkala.
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah agar supaya terdapat
jaminan, bahwa putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan dilaksanakan
semestinya. Di samping itu untuk lebih mendekatkan pengadilan tidak saja
dengan lembaga kejaksaan tetapi juga dengan pemasyarakatan.
Pengawasan tersebut menempatkan pemasyarakatan dalam rangkaian
proses pidana dan menetapkan tugas hakim tidak berakhir pada saat
putusan dijatuhkan olehnya.
28
Di samping itu untuk memenuhi penyelenggaraan peradilan yang
terpadu, oleh Mahkamah Agung pernah dikeluarkan SEMA No. 10 Tahun
1983 tentang Penetapan Perpanjangan Penahanan jangan sampai
terlambat diserahkan kepada Penuntut Umum. Dalam SEMA dikatakan,
bahwa mengingat sering terjadinya penetapan perpanjangan penahanan
yang dikeluarkan oleh pengadilan, dimana salinannya sering terlambat
sampai di tangan Penuntut Umum (yang meminta permohonan
perpanjangan penahanan), sehingga ketika mau dilaksanakan oleh
Penuntut umum ternyata terdakwanya sudah dikeluarkan oleh kepala
Lembaga Pemasyarakatan demi hukum. Untuk tidak mengulangi hal itu,
maka ditentukanlah bahwa paling lambat 10 hari sebelum habisnya masa
penahanan pengadilan negeri harus sudah mengeluarkan penetapan
perpanjangannya dan pada hari itu juga ( hari penandatanganan surat
penetapan itu ) salinan surat tersebut sudah harus disampaikan kepada
Penuntut Umum dengan surat pengantar yang tembusannya disampaikan
kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dimana tempat terdakwa
ditahan.KUHAP memiliki sepuluh asas sebagai berikut :
1. perlakuan yang sama di muka hukum;2. praduga tidak bersalah;3. hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;4. hak untuk memperoleh bantuan hukum;5. hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;6. peradilan yang bebas, dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;7. peradilan yang terbuka untuk umum;8. pelanggaran atas hak-hak warganegara (penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus dilakukan berdasarkan undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);
29
9. hak tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya;
10.kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusannya
Berdasarkan kesepuluh asas tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa KUHAP menganut “due process of law” (proses hukum yang adil
atau layak). Suatu proses hukum yang adil pada intinya adalah hak
seorang tersangka dan terdakwa untuk didengar pandangannya tentang
bagaimana peristiwa kejahatan itu terjadi; dalam pemeriksaan
terhadapnya dia berhak didampingi oleh penasihat hukum; diapun berhak
mengajukan pembelaan, dan penuntut umum harus membuktikan
kesalahannya di muka suatu pengadilan yang bebas dan dengan hakim
yang tidak berpihak8.
Menurut Mardjono Reksodiputro, “desain prosedur” (procedural
design) sistem peradilan pidana yang ditata melalui KUHAP terbagi dalam
tiga tahap, yaitu tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap pra-
adjudikasi (pre- adjudication), tahap sidang pengadilan atau tahap
adjudikasi (adjudication), dan tahap setelah pengadilan atau purna
adjudikasi (post-adjudication). Beliau mendukung pandangan bahwa
tahap adjudikasi atau tahap sidang pengadilan harus dianggap dominan
dalam seluruh proses. Pandangan ini berdasarkan pada KUHAP yang
menyatakan bahwa setiap putusan apapn bentuknya harus didasarkan
pada “fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari
pemeriksan di sidang”, sehingga sustu sistem peradilan pidana yag jujur
dan melindungi hak seorang warga negara yang merupakan terdakwa,
akan paling jelas terungkapkan dalam tahap adjudikasi. Hanya dalam
tahap adjudikasi inilah terdakwa dan pembelanya dapat berdiri tegak
sebagai pihak yang benar-benar bersamaan derajatnya berhadapan
dengan penuntut umum9.
8 Romli Atmasasmita, op. Cit. hal 429 Ibid. Hal. 42
30
Pandangan di atas tidak sepenuhnya disetujui oleh Romli
Atmasasmita, dengan alasan bahwa sekalipun memang benar bahwa
pada tahap ini dari sudut hukum masing-masing pemeran utama
(penasihat hukum/terdakwa dan penuntut umum) memiliki kedudukan
yang sederajat, akan tetapi pada tahap ini dilihat dari sudut kriminologi
dan viktimologi proses stigmatisasi dan viktimisasi struktural sudah
berjalan, bahkan sejak tahap penangkapan dan penahanan10.
Sistem peradilan pidana terpadu adalah sistem yang mampu
menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan
negara, kepentingan masyarakat, maupun kepentingan individu termasuk
kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Menurut Muladi
(1995:119),makna integrated criminal justice system ini adalah
sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan yang dapat dibedakan
dalam :
1. Sinkronisasi struktural (structural syncronization)
2. Sinkronisasi substansial (substantial syncronization);
3. Sinkronisasi kultural (cultural syncronization).
Sinkronisasi struktural adalah keserampakan dan keselarasan
dalam kerangka hubungan antara lembaga penegak hukum, sinkronisasi
substansial adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal
dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif, sedangkan
sinkronisasi kultural adalah keserampakan dan keselarasan dalam
menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara
menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
10 (Romli Atmasasmita, 1996: 43 )
31
B. Upaya Hukum Praperadilan
Pra peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk
memeriksa dan memutus:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan;b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan;c. Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. (Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP);
d. Sah atau tidaknya penyitaan barang bukti (Pasal 82 ayat 1 huruf b KUHAP).
Yang dapat mengajukan Pra peradilan adalah tersangka, yaitu apakah
tindakan penahanan terhadap dirinya bertentangan dengan ketentuan
Pasal 21 KUHAP, ataukah penahanan yang dikenakan sudah melawati
batas waktu yang ditentukan Pasal 24 KUHAP;
a. Penyidik untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penuntutan;b. Penuntut Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk
memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan misalnya saksi korban.
Tuntutan ganti rugi, rehabilitasi yang diajukan oleh tersangka, keluarganya
atau penasihat hukumnya, harus didasarkan atas:
a. Penangkapan atau penahanan yang tidak sah;b. Penggeledahan atau penyitaan yang pertentangan dengan
ketentuan hukum dan undang-undang;c. Kekeliruan mengenai orang yang ditangkap, ditahan atau diperiksa.
32
C. Misi dalam Mencapai Tujuan Sistem Peradilan Pidana yang Efisien
Dan Lebih Maksimal dalam Menyelesaikan Permasalahan Pidana.
Upaya-upaya konkrit yang dapat dilakukan dalam menangani
masalah bolak-balik pemeriksaan dalam proses peradilan pidana di
Indonesia antara lain :
1. Merealisasikan surat edaran Jaksa Agung yang berupa P-16, yakni
membentuk suatu forum koordianasi antara kepolisian dan kejaksaan
terkait pemeriksaan perkara pidana yang ada.
2. Memperluas kewenangan praperadilan dalam mengintervensi jalannya
proses pemeriksaan suatu perkara pidana yang bukan hanya terfokus
pada hak-hak tersangka melainkan juga pada bagaimana proses
pemeriksaannya sendiri yang menyangkut seringnya bolak-balik
pemeriksaan.
Sedangkan upaya lain yang dapat di jalankan untuk memperbaiki sistem
peradilan pidana di indonesia adaah :
1. Menjadikan keempat aparatur penegak hukum yakni kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan sebagai suatu
instansi pelaksana perundang-undangan yang tidak dapat dipisahkan
satu sama lain dari suatu proses penegakan hukum.
2. Menciptakan suatu system social dimana masyarakat keseluruhan
mempunyai tanggung jawab akan keberhasilan maupun kegagalan
akan pengakan hukum dari keempat aparatur Negara tersebut.
3. Menciptakan sistem peradilan 1 pintu dimana semua proses
penanganan dilakukan tanpa adanya prosedur bolak balik perkara
mulai dari proses penyelidikan sampai dengan pelaksanaan putusan.
4. Harus menciptakan sistem koordinasi dan sinkronisasi antara
komponen peradilan pidana (kepeolisian, kejaksaan, pengadilan, dan
lembaga pemasyarakatan)
5. Setiap tingkatan aparatur penegak hukum melaksanakan tugasnya
sesuai dengan aturan profesinya dimana kepolisian yang seharusnya
33
aktif mencari perkara dalam masyarakat kini malah sangat passif
menunggu masyarakat yang melakukan pengaduan.
6. Menumbuhkan kembali kesadaran akan tanggungjawab sosial individu
dalam masyarakat yang belakangan ini sudah sangat tergeruk oleh
pergeseran zaman yang mengarah pada kehidupan yang hedonisme
dan individualis.
7. Menciptakan suatu tatanan masyarakat yang saling menjaga satu
sama lain dengan mempercayai satu sama lain.
8. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia para aparat penegak
hukum sehingga kecendrungan selama ini yang menjadikan tugas
penegakan hukum hanya sebatas tugas saja, tidak ada tanggungjawab
moral terhadap masyarakat secara keseluruhan.
9. Meningkatkan volume sosialisi/penyuluhan kepada masyarakat yang
bukan hanya sebatas undang-undang yang berlaku melainkan juga
terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi saat ini dan
bagaimana penanggulangannya.
10.Mewujudkan sistem perekrutan aparat penegak hukum. Mulai dari
kepolisian, kejaksaan, kehakiman, maupun dalam lembaga
pemasyarakatan yang transparan serta demokratis terhadap rakyat.
34
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Upaya-upaya konkrit yang dapat dilakukan dalam menangani
masalah bolak-balik pemeriksaan dalam proses peradilan pidana di
Indonesia antara lain :
1. Merealisasikan surat edaran Jaksa Agung yang berupa P-16, yakni
membentuk suatu forum koordianasi antara kepolisian dan kejaksaan
terkait pemeriksaan perkara pidana yang ada.
2. Memperluas kewenangan praperadilan dalam mengintervensi jalannya
proses pemeriksaan suatu perkara pidana yang bukan hanya terfokus
pada hak-hak tersangka melainkan juga pada bagaimana proses
pemeriksaannya sendiri yang menyangkut seringnya bolak-balik
pemeriksaan.
Sedangkan upaya lain yang dapat di jalankan untuk memperbaiki sistem
peradilan pidana di indonesia adaah :
1. Menjadikan keempat aparatur penegak hukum yakni kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan sebagai suatu
instansi pelaksana perundang-undangan yang tidak dapat dipisahkan
satu sama lain dari suatu proses penegakan hukum.
35
2. Menciptakan suatu system social dimana masyarakat keseluruhan
mempunyai tanggung jawab akan keberhasilan maupun kegagalan
akan pengakan hukum dari keempat aparatur Negara tersebut.
3. Menciptakan sistem peradilan 1 pintu dimana semua proses
penanganan dilakukan tanpa adanya prosedur bolak balik perkara
mulai dari proses penyelidikan sampai dengan pelaksanaan putusan.
4. Harus menciptakan sistem koordinasi dan sinkronisasi antara
komponen peradilan pidana (kepeolisian, kejaksaan, pengadilan, dan
lembaga pemasyarakatan)
5. Setiap tingkatan aparatur penegak hukum melaksanakan tugasnya
sesuai dengan aturan profesinya dimana kepolisian yang seharusnya
aktif mencari perkara dalam masyarakat kini malah sangat passif
menunggu masyarakat yang melakukan pengaduan.
6. Menumbuhkan kembali kesadaran akan tanggungjawab sosial individu
dalam masyarakat yang belakangan ini sudah sangat tergeruk oleh
pergeseran zaman yang mengarah pada kehidupan yang hedonisme
dan individualis.
7. Menciptakan suatu tatanan masyarakat yang saling menjaga satu
sama lain dengan mempercayai satu sama lain.
8. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia para aparat penegak
hukum sehingga kecendrungan selama ini yang menjadikan tugas
penegakan hukum hanya sebatas tugas saja, tidak ada tanggungjawab
moral terhadap masyarakat secara keseluruhan.
36
9. Meningkatkan volume sosialisi/penyuluhan kepada masyarakat yang
bukan hanya sebatas undang-undang yang berlaku melainkan juga
terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi saat ini dan
bagaimana penanggulangannya.
10.Mewujudkan sistem perekrutan aparat penegak hukum. Mulai dari
kepolisian, kejaksaan, kehakiman, maupun dalam lembaga
pemasyarakatan yang transparan serta demokratis terhadap rakyat.
B. Saran
Dari hasil penelitian yang Penulis telah lakukan, maka sebagai
manusia yang terus ingin melakukan kemajuan kedepannya, Penulis ingin
menyampaikan beberapa saran, yaitu: Dari segala upaya yang telah
dikemukakan di atas maka terlebih dahulu baiknya kita kembali pada diri
sendiri sebagai mahasiswa dan kaum intelektual yang nantinya akan
menggantikan mereka-mereka yang berjibaku di dunia penyidikan
maupun pemeriksaan perkara pidana, karena manurut kami bahwa
masing-masing dari kita nantinya akan memberikan sumbangsi tersendiri
bagi bangsa ini.
37
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku
Abdussalam, HR dkk.2007.Sistem Peradilan Pidana. Restu Agung: Jakarta.
Atmasasmita, Romli.1996, Sistem Peradilan pidana ( Perspektif Eksistensialisme
dan Abolisionisme ).Binacipta: Bandung
---------------------------.1996, Perbandingan Hukum Pidana. Mandar Maju: Bandung
Faal, M.1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian),
Pradnya Paramita:Jakarta.
Harahap, Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;
Penyidikan dan Penuntutan. Sinar Grafika: Jakarta.
Lapatra, J.W.1978. Analyzing the Criminal Justice Systems. Lexinton Book:
Massachusetts:
Muladi.1995. Kapita Selekta Sistem peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP:
Bandung
II. PERUNDANG-UNDANGAN
UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
38
4
5