Tugas Hukum Jaminan
-
Upload
aditya-nur-pambudi -
Category
Documents
-
view
228 -
download
0
Transcript of Tugas Hukum Jaminan
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
1/23
PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
TERKAIT DENGAN PASAL 6 DAN PASAL 20
UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996
A. ABSTRAK
Tanah menjadi jaminan atas pelunasan utang piutang harus dibebani dengan hak tanggungan
sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah. Terkait dengan jaminan berupa tanah tersebut sebelumnya terdapat perjanjian
kredit yang dibuat oleh pihak debitur maupun pihak kreditur yang merupakan perjanjian pokok.
Kemudian tanah yang dibebani hak tanggungan dibuat akta pembebanan hak tanggungan atastanah yang dibuat oleh seorang PPAT merupakan perjanjian assesoir. Akta tersebut kemudian di
daftar di Kantor Pertanahan guna diterbitkan sertifikat hak tanggungan yang mempunyai
kekuatan eksekutorial sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996.
Tidak jarang debitur melakukan wanprestasi atas perjanjian kredit tersebut, sehingga kreditur
mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas jaminan tersebut sebagaimana diatur dalam
Pasal 6, Pasal 11 ayat (2) huruf e, dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Akan
tetapi, debitur juga melakukan gugatan perlawanan terhadap usaha kreditur melakukan eksekusi
ke Pengadilan Negeri.
Terhadap putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Sukoharjo dengan nomor
20/Pdt.Plw/2010/PN.Skh, bahwa hakim menolak gugatan pelawan hal ini dikarenakan bahwa
kreditur mempunyai hak untuk melakukan eksekusi apabila debitur wanprestasi sebagaimana
tercantum dalam Pasal 6, Pasal 11 ayat (2) huruf e, dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996. Akibat hukumnya, tanah yang menjadi jaminan tersebut penguasaan yuridis berada
di tangan kreditur sebagai pihak yang mempunyai hak atas jaminan atas pelunasan utang piutang
debitur.
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin komplek maka mempengaruhi dunia
ekonomi terkait dalam hal pembangunan nasional. Pembangunan nasional untuk meningkatkan
taraf kehidupan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Upaya mengembangkan
perekonomian dan perdagangan diperlukan peran dari pemerintah dan pelaku usaha (masyarakat
dan badan hukum). Pengembangan perekonomian tersebut memerlukan adanya modal yang
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
2/23
besar sehingga modal tesebut diperoleh dengan perkreditan melalui perbankan. Upaya
perkreditan yang dilakukan oleh debitur dan kreditur dilakukan dengan membuat perjanjian
kredit terlebih dahulu sebagai perjanjian pokok. Perjanjian kredit biasanya dalam bentuk
perjanjian baku yang diberikan oleh kreditur kepada debitur dimana untuk disepakati bersama.
Akan tetapi ada pula perjanjian kredit dibuat secara akta notariil yang dibuat oleh Notaris.
Notaris dalam hal ini harus teliti guna melindungi masing-masing pihak terkait dengan hak dan
kewajibannya. Pemberian kredit oleh kreditur kepada debitur tidak secara cuma-cuma melainkan
disertai dengan pemberian jaminan yang senilai dengan jumlah dari nilai kredit tersebut.
Mayoritas debitur memberikan jaminan kepada kreditur berupa tanah dalam bentuk sertifikat hak
atas tanah. hal ini disebabkan tanah mempunyai nilai yang relatif stabil bahkan tidak akan
mengalami kemerosotan, sangat menguntungkan bagi kreditur. Sebagaimana diatur dalam Pasal
51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 bahwa hak milik, hak guna usaha dan hak guna
bangunan dibebani dengan hak tanggungan. Lembaga Hak Tanggungan tersebut belum dapat
berfungsi sebagaimana mestinya, karena belum adanya undang-undang yang mengaturnya secara
lengkap, sesuai yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960. Dalam kurun waktu itu, berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal 57
Undang-Undang Pokok Agraria, masih diberlakukan ketentuan Hypotheek sebagaimana
dimaksud dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan ketentuan
Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad
1937-190, sepanjang mengenai hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam atau berdasarkan
Undang-Undang Pokok Agraria (Penjelasan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960).
Hal ini disebabkan Hypotheek diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menganut asas perlekatan dimana tidak sesuai dengan asas hukum tanah nasional yang menganut
asas pemisahan horizontal. Sehingga, perlu dibentuk undang-undang yang spesialitas mengenai
hak tanggungan kemudian diundangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang HakTanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Ada lembaga
jaminan hutang yaitu Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, adalah :
Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakankepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.
Berdasarkan pengertian dari hak tanggungan tersebut, bahwa jaminan berupa tanah tersebut
juga termasuk benda yang terdapat diatas tanah sebagai pelunasan atas hutang tertentu.
Pembebanan jaminan atas tanah dengan hak tanggungan tersebut tidak akan terlepas dari
perjanjian kredit sebagai perjanjian pokoknya. Selanjutnya dibuat Akta Pembebanan Hak
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
3/23
Tanggungan (APHT) yang dibuat oleh seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Akan tetapi, tidak selalu seorang kreditur meminta kepada
Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk langsung membuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan
karena dapat terjadi pihak debitur tidak dapat datang sendiri secara langsung memberikan hak
tanggungan dan dapat pula disebabkan karena tanah yang menjadi jaminan terjadi peralihan hak
sehingga perlu dibuatkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dibuat oleh Notaris
yang berwenang. Pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan terdapat beberapa janji yang
dimuat didalamnya, sebagai pihak Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut perlu sikap teliti dalam
hal melindungi hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Karena perjanjian ini merupakan
perjanjian assesoir atau perjanjian tambahan dari perjanjian kredit yang merupak perjanjian
pokok. Perjanjian assesoir ini dilakukan setelah perjanjian pokok telah ditanda tangani oleh para
pihak.
Dengan demikian, perjanjian tersebut telah menimbulkan hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh masing-masing pihak. Pihak debitur mempunyai kewajiban untuk melakukan
angsuran atau pelunasan terhadap piutang tersebut kepada kreditur sebagaimana tertuang dalam
perjanjian kredit maupun perjanjian assesoir tersebut. Tidak jarang bahwa debitur telah
melakukan wanprestasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 maupun Pasal 20 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 telah memberikan kewenangan kepada kreditur sebagai pihak pemegang
hak tanggungan untuk melakukan eksekusi atas hak tanggungan. Salah satu perkara yang terjadi
di Kabupaten Sukoharjo terkait dengan eksekusi hak tanggungan yang mendapat perlawanan dari
pihak debitur. Pihak debitur yang bernama Tumiyem, Tohari, Sudarno dan Hardiman telah
melakukan perjanjian kredit dengan salah satu bank yaitu Bank Rakyat Indonesia yang berkantor
Cabang di Kartasura. Bank Rakyat Indonesia yang berkantor Cabang di Kartasura selaku pihakkreditur, telah memberikan fasilitas kredit yang dituangkan dalam Akta Perjanjian Kredit Nomor
1 tertanggal 03 Oktober 2005. Kemudian akta perjanjian kredit tersebut terjadi perubahan dengan
Akta Perpanjangan dan Suplesi Kredit No.01 tertanggal 3 Oktober 2005. Guna menjamin
pelunasan hutang, pihak debitur memberikan jaminan berupa :
a. sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 1617 a/n Tumiyem dengan luas 98
m2.
b. sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 2154 a/n Tohari dengan luas 290 m2.
c. sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 4465 a/n Tohari dengan luas 665 m2.
d. sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 1205 a/n Hardiman dengan luas 4084
m2.
Dengan berjalannya pelaksanaan kredit, ternyata pihak debitur melakukan keterlambatan
membayar angsuran. Akan tetapi, pihak kreditur telah memberikan kesempatan bagi pihak
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
4/23
debitur berupa restrukturisasi yang dituangkan dalam Akta Perjanjian Restrukturisasi Kredit
Nomor 21 tertanggal 29 Desember 2006 yang dibuat oleh Notaris Nyonya Wirati Kendarto, agar
membayar atas keterlambatan angsuran tersebut. Dalam akta perjanjian restrukturisasi tersebut
memuat klausul jika debitur tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang dipersyaratkan
sebanyak tiga kali berturut-turut maka putusan restrukturisasi kredit tersebut batal dan kewajiban
bagi debitur kembali ke perjanjian pokoknya. Akan tetapi, pihak debitur tidak memenuhi
kewajibannya sebagai debitur sehingga debitur tersebut wanprestasi. Pihak debitur wanprestasi,
kreditur telah memberikan somasi atau Surat Peringatan kepada pihak debitur agar memenuhi
kewajibannya. Somasi dilakukan oleh pihak kreditur sebanyak tiga kali yaitu tanggal 9
Desember 2009, 5 Januari 2010, dan 1 Februari 2010. Pihak debitur juga tidak memenuhi
kewajibannya sehingga pihak kreditur melakukan pelelangan umum atas empat objek hak
tanggungan yang menjadi jaminan tersebut dengan pemberitahuan pelaksanaan lelng dan
pengosongan objek lelang tertanggal 17 Maret 2010 dan pihak kreditur melakukan eksekusi atas
4 bidang tanah tersebut. Akan tetapi, pihak debitur sebagai pelawan melakukan perlawanan
kepada pihak kreditur, yaitu Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Kartasura sebagai TerlawanI; Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Surakarta sebagai Terlawan II; dan Kantor
Badan Pertanahan Kabupaten Sukoharjo sebagai Terlawan III. Pihak debitur mengajukan
gugatan perlawanan ke Pengadilan Negeri Kabupaten Sukoharjo dengan nomor register perkara
20/Pdt.Plw/2010/PN.Skh dengan pokok perkara sebelum ada pengumuman lelang di Harian
Jawa Pos Radar Solo hari Rabu tanggal 17 Maret 2010 pihak debitur tidak pernah diberi surat
peringatan atau somasi dari Pengadilan Negeri berapa kewajiban yang wajib dibayar oleh pihak
debitur. Sehingga menurut pihak debitur tidak ada somasi atau surat peringatan lebih dahulu
maka penjualan benda yang menjadi objek hak tanggungan dan objek sengketa yang akan dijual
secara lelang tidak adanya kepastian. Selain itu, menurut pihak debitur tidak pernah mendapat
surat dari Pengadilan Negeri adanya sita eksekusi dan pelaksanaan penjualan secara lelangtersebut tidak melalui Pengadilan Negeri. Permasalahan tersebut telah diputus oleh Hakim Ketua
Pengadilan Negeri Sukoharjo dengan perkara nomor 20/Pdt.Plw/2010/PN.Skh tertanggal 5
Agustus 2010,
Dalam Provisi :
- Menolak tuntuan provisi para pelawan tersebut;
Dalam Eksepsi:
- Menerima Eksepsi Terlawan I tersebut;
Dalam Pokok Perkara:
1. Menyatakan Para Pelawan sebagai Pelawan yang tidak benar;2. Menyatakan perlawanan Para Pelawan tidak dapat diterima;
3. Menghukum Para Pelawan untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara
ini sebesar Rp. 538.000,00
Berdasarkan pada uraian diatas bahwa pihak debitur sebagai pelawan mengajukan
perlawanan karena menurut pelawan tidak adanya surat pemberitahuan dari Pengadilan Negeri
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
5/23
akan kewajiban membayar hutang sehingga menurut pelawan pelelangan objek sengketa tidak
mempunyai kepastian hukum. Disatu sisi, hal ini berkaitan dengan kewenangan dari pihak
kreditur sebagai pihak yang melakukan eksekusi ditinjau dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996.
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada uraian tersebut diatas, maka penulis akan menganalisa bagaimana
akibat hukum dari 4 bidang tanah yang menjadi jaminan atas suatu kredit tersebut ?
D. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Pustaka Tentang Perjanjian Kredit Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan,
Kredit adalah peyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga. Unsur essensial dari suatu kredit adalah kepercayaan, yaitu
keyakinan dari bank sebagai kreditur bahwa kredit yang diberikan akan sungguh-sungguh
diterima kembali dalam jangka waktu yang berdasarkan pada kesepakatan. Unsur-unsur
kredit adalah (Hermansyah. 2005: Hal 56):
i. kepercayaan, yaitu keyakinan dari si oemberi kredit bahwa prestasi yang
diberikannya baik dalam bentuk uang, atau jasa, akan benar-benar diterimanya
kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.
ii. Waktu, yaitu masa yang memisahkan antara pemebrian prestasi dengan kontraprestasi
yang akan diterima pada masa yang akan datang.
iii. Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat adanya jangka
waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan
diterima kemudian hari.
Perjanjian merupakan perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Buku III Pasal
1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pinjam Meminjam ialah perjanjian dengan
mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-
barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini
akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Akan
tetepi pada kenyataannya bahwa perjanjian kredit itu tidak murni perjanjian pinjam
meminjan saja melainkan juga terdapat perjanjian pemberian kuasa, pemberian jaminan dan
perjanjian lainnya.
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
6/23
Perjanjian yang terjadi antara yang satu dengan yang lain, hal ini mewajibkan pihak yang
satu untuk berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi.
Pihak yang berkewajiban berprestasi disebut dengan debitur, sedangkan pihak yang berhak
atas prestasi adalah kreditur.
Objek dari kredit, digolongkan dalam beberapa golongan, yaitu dapat dilihat dari segikegunaan, tujuan, jangka waktu, dan jaminan. Hal penting dalam perjanjian kredit, objek
kredit yang dilihat dari segi jaminan, antara lain:
a) Jaminan orang, yaitu kredit yang diberikan kepada seorang debitur dengan jaminan
orang yang menanggung kredit tersebut bila debitur lalai memenuhi kewajibannya.
b) Kredit dengan jaminan barang yaitu kredit yang diberikan kepada seseorang debitur
dengan jaminan benda bergerak maupun tidak bergerak, yang berfungsi sebagai
jaminan atas pelunasan kredit yang diterima apabila debitur lalai dalam penuhi
kewajibannya.
c) Kredit agunan dokumen yaitu kredit yang diberikan kepada seorang debitur dengan
jaminan yang memiliki debitur umumnya dokumen hubungan kerja antara debitur
dengan pihak ketiga dengan maksud kredit tersebut untuk membiayai pekerjaan atau
proyek hubungan kerja antara debitur dengan pihak ketiga. Jaminan dengan istilah
agunan, sebagaiman diatur dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, agunan adalah jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank
dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah. Jaminan kredit adalah pihak debitur untuk mendapatkan kepercayaan darikreditur sebagai pihak yang menyalurkan dana, dimana dana tersebut setelah ada pada
debitur akan dikembalikan lagi pada kreditur dengan cara mengangsur dalam suatu
waktu yang telah ditentukan guna menjamin angsuran tersebut pihak debitur
memberikan sesuatu sebagai jaminan kepada kreditur yang apabila debitur tidak lagi
mampu membayar angsurannya, kreditur dapat mengambil pelunasan dengan cara
menjual jaminan tersebut.
Dasar hukum jaminan kredit yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Stb.1847b
Nomor 23 yang mengatur kaitannya dengan jaminan dalam Pasal 314 sampai dengan Pasal
316 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang berkaitan dengan pembebanan hipotik KapalLaut, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dengan objek jaminan
kredit berupa tanah berserta segala sesuatu yang berada diatas tanah tersebut, Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1992 tentang Fidusia dengan objek jaminan kredit berupa benda
bergerak.
2. Tinjauan Pustaka Tentang Hak Tanggungan.
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
7/23
Definisi Hak Tanggungan sebagai berikut: Hak Tanggungan adalah hak jaminan
yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005:
Hal. 13)
Berdasar pada pengertian dari Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996, bahwa hak tanggungan merupakan lembaga jaminan dengan objek hak atas tanah
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dimana beserta dengan berikut
atau tidak berikut benda-benda yang berada diatas tanah yang menjadi jaminan atas suatu
utang guna pelunasan hutangnya tersebut dengan mengutamakan kedudukan bagi
kreditur tertentu.
Unsur-unsur pokok dari Hak Tanggungan berdasarkan pada definisi HakTanggungan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, antara lain :
a) Dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat dibebankan
juga berikut benda-benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
Dengan mengingat hukum tanah nasional menganut asas pemisahan horizontal.
b) Hak jaminan untuk menjamin pelunasan hutang tertentu.
c) Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah yang sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai atas tanah
Negara.
d) Utang yang dijamin tersebut harus suatu utang tertentu.
e) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lainnya.
Asas-asas dalam hak tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah guna pelunasan
hutang tertentu meliputi:
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan (Preferent) kepada kreditornya. Hal ini
berarti bahwa kreditor pemegang hak tanggungan mempunyai hak didahulukan di
dalam mendapatkan pelunasan atas piutangnya daripada kreditor-kreditor lainnya
atas hasil penjualan benda yang dibebani hak tanggungan tersebut;
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
8/23
b. Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada artinya
meskipun hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan tersebut telah
beralih atau berpindah-pindah kepada orang lain, namun hak tanggungan yang
ada tetap melekat pada objek tersebut dan tetap mempunyai kekuatan mengikat.
c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas. Asas Spesialitas wajib dicantumkanberapa yang dijamin serta benda yang dijadikan jaminan, juga identitas dan
domisili pemegang dan pemberi Hak Tanggungan yang wajib dicantumkan dalam
Akta Pemberian Hak Tanggungan. Asas Publisitas wajib dilakukan dengan akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan wajib didaftarkan pada Kantor
Pertanahan.
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, artinya dapat dieksekusi seperti
putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti. Hak atas tanah
yang dapat dibebani dengan hak tanggungan diatur dalam Pasal 51 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960, Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunanyang diatur dalam Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 39 merupakan objek yang dapat
dibebani dengan hak tanggungan. Kemudian terkait dengan hal ini diatur lebih
lanjut dalam undang-undang yaitu Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 (Munir Fuady,2002: hal.146). Selain tercantum dalam Pasal 4 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996, bahwa Hak Pakai atas Tanah Negara menurut ketentuan
yang berlaku wajib didaftar dan dapat dipindahtangankan juga dapat dibebani
dengan hak tanggungan. Rumah Susun dibangun diatas tanah hak milik, hak guna
bangunan atau hak pakai atas tanah negara, dan hak guna bangunan atau hak
pakai di atas hak pengelolaan (Pasal 17 jo Pasal 47 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun) juga merupakan objek hak
tanggungan. Secara Hukum Adat memungkinkan bangunan yang ada diatasnya
pada suatu saat diangkat atau dipindahkan dari tanah tersebut. Konsekuensinya
adalah pemilik satuan rumah susun harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak
atas tanah.
Menurut Undang-Undang Nomor Tahun 1996 bahwa Hak Guna Bangunan merupakan
salah satu objek hak tanggungan, akan tetapi menurut Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 1996, tanah yang dapat diberikan dengan hak Guna Bangunan adalah Tanah
Negara, Tanah Hak Pengelolaan, Tanah Hak Milik. Hak Guna Bangunan atas tanah negara
dan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan yang dapat dijadikan jaminan hutang
dengan dibebani Hak Tanggungan, sedangkan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik
tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan, dikarenakan Hak
Guna Bangunan atas tanah Hak Milik meskipun wajib didaftar akan tetapi tidak dapat
dipindahtangankan kepada pihak lain. Subjek dari hak tanggungan sebagaimana diatur dalam
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
9/23
Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996,yaitu (Adrian Sutedi, 2010:
hal.54).
1) Pemberi Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak
tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan itu dilakukan;
2) Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang mendapatkan pelunasan atas pihutang yang
diberikan.
Proses pembebanan hak tanggungan dilaksanakan melalui dengan dua tahap, yaitu tahap
pemberian hak tanggungan dengan dibuatnya Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT)
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang
dijamin; tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan merupakan saat lahirnya hak
tanggungan yang dibebankan. Tahap pemberian hak tanggungan diatur dalam Pasal 10Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, pemberian hak tanggungan didahului dengan janji
untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang
dituangkan didalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang
yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Pemberian hak
tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Apabila objek hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak
lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum
dilakukan, maka pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan hak
atas tanah yang bersangkutan. Tahap pendaftaran hak tanggungan yang diatur dalam Pasal 13Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada
Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah penandatangan Akta
Pembebanan Hak Tanggungan (APHT), Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib mengirimkan
Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) yang bersangkutan dan warkah lain yang
duiperlukan kepada Kantor Pertanahan. Warkah lain yang dimaksud meliputi surat-surat
bukti yang berkaitan dengan objek hak tanggungan, dan identitas pihak-pihak yang
bersangkutan termasuk di dalamnya sertifikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan
mengenai objek hak tanggungan.
Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkanbuku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi
objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang
bersangkutan.
Kepastian tanggal dalam buku tanah dimaksudkan agar dalam pembuatan buku tanah hak
tanggungan tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan para pihak yang berkepentingan
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
10/23
dan mengurangi kepastian hukum, adanya hari, tanggal buku tanah hak tanggungan, maka
hak tanggungan itu lahir, asas publisitas terpenuhi dengan dibuatnya buku tanah hak
tanggungan dan hak tanggungan mengikat kepada pihak ketiga. Hak atas tanah yang menjadi
jaminan belum bersertifikat, tanah tersebut wajib disertifikatkan terlebih dahulu sebelum
dilakukan pendaftaran hak tanggungan yang bersangkutan. Adanya sertifikat hak tanggungan
yang merupakan tanda bukti adanya hak tanggungan yang diterbitkan oleh Kantor
Pertanahan yang memuat irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sertifikat tersebut sebagai pengganti grosse akta
hipotik sepanjang mengenai hak atas tanah. Berdasarkan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, bahwa:
i. sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat
hak tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ii. Sertifikat hak tangunggan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irahdengan kata DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA".
iii. Sertifikat hak tanggungan sebagaiman dimaksud dalam ayat (2), mempuayai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse akta hipotik sepanjang mengenai
hak atas tanah.
Irah-irah yang dicantumkan pada sertifikat hak tanggungan dimaksudkan guna
menegaskan adanya kekuataan eksekutorial pada sertifikat hak tanggungan, sehingga apabiladebitur cidera janji (wanprestasi), dapat dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuataan hukum tetap. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan
yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan eksekusi hak tanggungan yang telah
dibebankan atas tanah dapat dilakukan tanpa harus melalui proses gugat menggugat atau
beracara di pengadilan. Hal ini disebut dengan parate eksekusi. Berdasarkan pada Pasal 18
ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996, hapusnya hak tanggungan karena suatu hal
sebagai berikut:
a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan. Hapusnya hutang itu
mengakibatkan hak tanggungan sebagai perjanjian accessoir menjadi hapus. Hal initerjadi karena adanya hak tanggungan tersebut adalah untuk menjamin pelunasan dari
hutang debitor yang menjadi perjanjian pokoknya.
b. Dilepaskannya hak tanggungan tersebut oleh pemegang hak tanggungan. Apabila
debitor atas persetujuan kreditor pemegang hak tanggungan menjual objek hak
tanggungan untuk melunasi hutangnya, maka hasil penjualan tersebut akan
diserahkan kepada kreditor yang bersangkutan dan sisanya dikembalikan kepada
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
11/23
debitor. Untuk menghapuskan beban hak tanggungan, pemegang hak tanggungan
memberikan pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya hak tanggungan tersebut
kepada pemberi hak tanggungan (debitor). Dan pernyataan tertulis tersebut dapat
digunakan oleh kantor pertanahan dalam mencoret catatan hak tanggungan tersebut
pada buku tanah dan sertifikat hak tanah yang menjadi objek hak tanggungan yang
bersangkutan (Pasal 22 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996);
c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan suatu penetapan peringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri. Pembersihan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua
pengadilan negeri hanya dapat dilaksanakan apabila objek hak tanggungan dibebani
lebih dari satu hak tanggungan. Dan tidak terdapat kesepakatan diantara para
pemegang hak tanggungan dan pemberi hak tanggungan tersebut mengenai
pembersihan objek hak tanggungan dan beban yang melebihi harga pembeliannya,
apabila pembeli tersebut membeli benda tersebut dari pelelangan umum.
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan. Alasannya disebabkankarena hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tidak lain dan tidak
bukan adalah sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat objektif sahnya perjanjian,
khususnya yang berhubungan dengan kewajiban adanya objek tertentu, yang salah
satunya meliputi keberadaan dari sebidang tanah tertentu yang dijaminkan.
3. Tinjauan Pustaka Tentang Eksekusi Hak Tanggungan Eksekusi adalah pelaksanaan
putusan hakim.
Tidak semua putusan hakim dapat dimintakan eksekusi, kecuali putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap yang tidka mungkin dilawan dengan upaya hukumverzet, banding maupun kasasi. Pada prinsipnya, hanya putusan yang berkekuatan hukum
tetap yang dapat dilaksanakan putusannya, yaitu putusan pengadilan yang bersifat
condemnatoir karena putusan telah berkekuatan hukum tetap, didalamnya mengandung
hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berpekara. Pada prinsipnya
eksekusi merupakan realisasi kewajiban yang dikalahkan dalam putusan hakim, untuk
memenuhi prestasi yang tercantum dalam amar putusan hakim. Dengan kata lain eksekusi
terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, di mana proses ini
merupakan tahap terakhir dalam proses acara berperkara di pengadilan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, ada tiga jenis eksekusi yaitu (Sudikno Mertokusumo,
1988: hal. 181):
a) Eksekusi Untuk Melakukan Suatu Perbuatan. Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR,
Jika seseorang dihukum akan melakukan suatu perbuatan, dan ternyata ia tidak
melakukannya, maka pihak yang dimenangkan, memiliki wewenang untuk
meminta pertolongan pada ketua Pengadilan agar kepentingannya didapatkan.
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
12/23
b) Eksekusi Riil, yaitu melakukan suatu tindakan nyata/riil sepertimenyerahkan
sesuatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah, melakukan suatu
perbuatan tertentu, dan menghentikan suatu perbuatan atau keadaan. Eksekusi riil
ini dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata, sesuai dengan amar putusan
tanpa memerlukan lelang. Sumber hubungan hukum yang disengketakan dalam
eksekusi riil, pada umumnya ialah upaya hukum yang mengikuti persengketaan
hak milik atau persengketaan hubungan hukum yang didasarkan atas perjanjian
jual beli, sewa menyewa, atau perjanjian melaksanakan suatu perbuatan.
c) Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang. Yaitu eksekusi yang menghukum pihak
yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang (pasal 196 HIR, pasal 208 RBg).
Eksekusi yang hanya dijalankan dengan pelelangan terlebih dahulu, hal ini
disebabkan nilai yang akan dieksekusi itu bernilai uang. Sumber hubungan hukum
yang disengketakan dalam eksekusi pembayaran sejumlah uang sangat terbatas
sekali, yaitu semata-mata hanya didasarkan atas persengketaan perjanjian utang
piutang dan ganti rugi berdasarkan cidera janji/wanprestasi, dan hanya dapat
diperluas berdasarkan pasal 225 HIR, dengan membayar nilai sejumlah uang
apabila tergugat tidak mau menjalankan perbuatan yang dihukumkan dalam
batasan jangka waktu tertentu.
Hak tanggungan tidak mungkin dilaksanakan dengan eksekusi riil, karena hubungan
hukum yang mendasarinya adanya hutang piutang yang harus diselesaikan dengan cara
mambayar sejumlah uang. Eksekusi hak tanggungan dapat dilakukan dengan tiga cara
sebagai berikut:
a. Eksekusi melalui penjualan di bawah tangan. Eksekusi merupakan cara yangmudah dan dapat diperjanjikan bersama oleh pemberi dan pemegang hak
tanggungan. Tujuan dari penjualan objek hak tanggungan secara di bawah tangan
adalah untuk mencari harga tertinggi sehingga tidak merugikan debitur atau
pemilik barang jaminan. Penjualan objek hak tanggungan dilakukan melalui
pelelangan umum maka harga jual jauh di bawah harga pasar.
Eksekusi objek hak tanggungan secara di bawah tangan dapat dilakukan
jika sebelumnya telah disepakati bersama oleh pemberi dan pemegang hak
tanggungan. Pelaksanaan penjualan yang dilakukan dibawah tangan dapat
dilakukan setelah lewat satu bulan sejak diberitahukan oleh pemberi dan/ataupemegang hak tanggungan kepada para pihak yang berkepentingan dan
diumumkan sedikitnya dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan
dan/atau media massa setempat serta tidak ada pihak yang keberatan.
Eksekusi ini dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tidak
dijelaskan siapa yang melakukan penjualan, debitur sendiri atau kreditur.
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
13/23
Biasanya yang melakukan penjualan dalam arti menentukan harganya adalah
kreditur. Untuk melakukan tindakan tersebut kreditur mutlak harus membuat
kesepakatan dengan debitur. Ketentuan dalam Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 4 tahun 1996, kesepakatan untuk menjual di bawah tangan yang dibuat
oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan adalah pada saat hutang dapat
ditagih. Penjualan di bawah tangan yang dimulai dari pencapaian kesepakatan dan
pengumuman penjualan bari dapat dilakukan jika hutang dapat ditagih.
b. Eksekusi atas kekuasaan sendiri. Eksekusi ini sebagaiman dimaksud dalam Pasal
6 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996, Apabila debitor cidera janji, pemegang
Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan
atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Berdasarkan pada Pasal 6 Undang-
Undang Nomor 4 tahun 1996 dengan diperkuat dengan Pasal 11 ayat (2) huruf e
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996, janji pemegang hak tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek hak tanggungan
apabila debitur cidera janji. Sehingga, pasal 6 dan pasal 11 ayat (2) huruf e
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 merupakan tata cara eksekusi yang paling
singkat karena kreditur tidak perlu mengajukan permohonan eksekusi kepada
Ketua Pengadilan Negeri akan tetapi dapat langsung eksekusi dengan melalui
Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek hak tanggungan
yang bersangkutan apabila jalan damai tidak tercapai.
Janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e Undang-Undang
Nomor 4 tahun 1996 harus dimuat dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan.
Akan tetapi kewenangan yang dimiliki oleh kreditur pemegang hak tanggunganpertama untuk menjual sendiri atau dengan perantaraan Kantor Lelang Negara
tidak dapat dilaksanakan karena pemegang hak tanggungan yang bersangkutan
masih memerlukan fiat eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri karena menurut
Pengadilan Negeri pelaksanaan lelang sebagai akibat adanya sertifikat hak
tanggungan yang memakai irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA harus dilakukan atas perintah dan pimpin
Ketua Pengadilan Negeri.
c. Eksekusi berdasarkan eksekutorial yang terdapat pada Sertifikat Hak
Tanggungan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-UndangNomor 4 tahun 1996 dengan irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA yang dicantumkan dalam sertifikat Hak
Tanggungan, dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial.
Akan tetapi, pihak kreditur jarang menempuh langkah penjualan di bawah tangan
atau penjualan lelang atas kekuasaan sendiri. Jika debitur wanprestasi maka
kreditur langsung meminta kepada Pengadilan Negeri agar dilaksanakan eksekusi
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
14/23
berdasarkan sertifikat hak tanggungan yang mempunyai tittle eksekutorial.
Eksekusi demikian didasarkan pada Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Rbg. yang
mengatur eksekusi terhadap dokumen selain putusan pengadilan yang mempunyai
title eksekutorial.
Eksekusi berdasarkan pada Pasal 224 HIR dilakukan oleh kreditur dengancara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar sertifikat hak
tanggungan dapat dieksekusi . Permohonan yang diajukan oleh kreditur dengan
menyerahkan sertifikat hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar
diterbitkan fiat atau surat perintah sehingga eksekusi dapat dijalankan secara
paksa bahkan dengan bantuan aparat keamanan sekalipun. Fiat eksekusi
merupakan eksekusi yang dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negera setelah
mendapat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, permohonan fiat
eksekusi ini pihak Pengadilan Negeri cukup melakukan pemeriksaan terhadap
syarat-syarat formal yang telah ditentukan. Berdasarkan pada fiat tersebut disertai
dengan terbitnya surat perintah penjualan lelang, maka Kantor Lelang melakukan
penjualan atas objek hak tanggungan di muka umum. Akan tetapi sebelum
menerbitkan fiat eksekusi tersebut Ketua Pengadilan Negeri memberikan
peringatan kepada debitur agar dalam jangka waktu tertentu debitur penuhi
kewajibannya secara sukarela. Apabila peringatan tersebut tidak dapat dipenuhi
maka Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan surat perintah penyitaan untuk
selanjutnya diterbitkan perintah penjualan lelang kepada Kantor Lelang Negara.
Sebelum pelelangan dilaksanakan harus didahului pengumuman sebanyak dua
kali berturut-turut dengan tenggang waktu 15 hari melalui surat kabar.
Setelah semua persyaratan lelang terpenuhi kemudian Kantor Lelang Negaramelakukan pelelangan atas objek tak tanggungan secara umum dimana hasilnya
digunakan untuk melunasi utang debitur dan jika ada sisanya akan dikembalikan
kepada debitur.
E. METODE PENELITIAN.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau disebut dengan penelitian
doktrinal adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian ini difokuskan
untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif (Jhony
Ibrahim, 2006: Hal 295). Penelitian hukum ini emnggunakan pendekatan perundang-
undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan perundangan-undangan yaitu dengan
menelaah peraturan perundang-undangan yang relevan dengan isu hukum yang diteliti,
sedangkan pendekatan konseptual adalah meneliti suatu isu hukum berkaitan dengan
eksekusi hak tanggungan dengan menggunakan konsep yang berhubungan dengan isu
tersebut.
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
15/23
Jenis data sekunder yang antara lain, mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-
buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, surat kabar harian, dan sebagainya.
Sumber data sekunder itu meliputi bahan hukum primer yang meliputi Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011
tentang Rumah Susun, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998, dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Teknik analisa data
menggunakan logika deduktif, penalaran yang bertolak dari aturan hukum yang berlaku
umum pada kasus individual dan konkret yang dihadapi. Sumber hukum yang diperoleh
dengan cara menginventarisasi sekaligus mengkaji penelitian dari studi kepustakaan,
aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu
menafsirkan norma untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir yaitu
dengan menarik kesimpulan dari sumber hukum yang diolah, sehingga pada akhirnyadapat menjawab tentang pelaksanaan dari eksekusi hak tanggungan apabila debitur
melakukan wanprestasi terkait dengan Pasal 6 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah.
F. HASIL PEMBAHASAN.
Jaminan dalam kredit berupa hak atas tanah dalam bentuk sertifikat hak atas tanah
dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996. Sesuai dengan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 jo Pasal 4
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani hak
tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan. Tujuan dari kredit
diperlukan adanya pemberian jaminan itu agar menjamin bagi debitur dalam pelunasan
hutang dalam jangka wktu yang telah disepakati yang tertuang secara tertulis dalam
perjanjian kredit yang dibuat dalam akta di bawah tangan atau akta notariil yang dibuat
oleh Notaris yang berwenang. Proses pembebanan hak tanggungan dilaksanakan melalui
dengan dua tahap, yaitu tahap pemberian hak tanggungan : dengan dibuatnya Akta
Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang didahului
dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin; tahap pendaftarannya oleh Kantor
Pertanahan merupakan saat lahirnya hak tanggungan yang dibebankan. Tahap pemberianhak tanggungan diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996, pemberian
hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai
jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan didalam dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang
menimbulkan utang tersebut. Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan
Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
16/23
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila objek hak
tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah
memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, maka
pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan hak atas tanah
yang bersangkutan. Tahap pendaftaran hak tanggungan yang diatur dalam Pasal 13
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996, pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada
Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah penandatangan Akta
Pembebanan Hak Tanggungan (APHT), Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib mengirimkan
Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) yang bersangkutan dan warkah lain yang
duiperlukan kepada Kantor Pertanahan. Warkah lain yang dimaksud meliputi surat-surat
bukti yang berkaitan dengan objek hak tanggungan, dan identitas pihak-pihak yang
bersangkutan termasuk di dalamnya sertifikat hak atas tanah dan/atau surat-surat
keterangan mengenai objek hak tanggungan.
Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan
buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang
menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas
tanah yang bersangkutan. Kepastian tanggal dalam buku tanah dimaksudkan agar dalam
pembuatan buku tanah hak tanggungan tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan
para pihak yang berkepentingan dan mengurangi kepastian hukum, adanya hari, tanggal
buku tanah hak tanggungan, maka hak tanggungan itu lahir, asas publisitas terpenuhi
dengan dibuatnya buku tanah hak tanggungan dan hak tanggungan mengikat kepada
pihak ketiga.
Hak atas tanah yang menjadi jaminan belum bersertifikat, tanah tersebut wajib
disertifikatkan terlebih dahulu sebelum dilakukan pendaftaran hak tanggungan yang
bersangkutan. Adanya sertifikat hak tanggungan yang merupakan tanda bukti adanya hak
tanggungan yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan yang memuat irah-irah DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap. Sertifikat tersebut sebagai pengganti grosse akta hipotik sepanjang mengenai hak
atas tanah.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996, bahwa Sertifikat
hak tanggungan dengan irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA, mempuayai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti
grosse akta hipotik sepanjang mengenai hak atas tanah. Irah-irah yang dicantumkan pada
sertifikat hak tanggungan dimaksudkan guna menegaskan adanya kekuataan eksekutorial
pada sertifikat hak tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji (wanprestasi), dapat
dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuataan
hukum tetap.
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
17/23
Tidak jarang debitur tersebut melakukan wanprestasi, hal ini dikarenakan adanya
kredit macet sehingga dapat merugikan pihak kreditur. Kemudian langkah bagi pihak
kreditur dalam hal ini melakukan eksekusi yang merupakan hak dari undang-undang
sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Apabila
debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual
obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. selain itu tercantumnya
janji-janji dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 11
ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996, janji bahwa pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak
Tanggungan apabila debitor cidera janji;
Kreditur yang melakukan eksekusi melalui pelelangan umum tersebut mendapat
perlawanan dari pihak debitur dengan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri
domisili yang mereka pilih. Hal ini dapat dikarenakan debitur merasa tidak terima apabila
debitur dianggap melakukan wanprestasi. Sebagaimana dalam perkara nomor
20/Pdt.Plw/2010/PN.Skh, ada dua pihak yaitu pelawan dan terlawan. Pihak pelawan
adalah Tumiyem, Tohari, Sudarno dan Hardiman. Sedangkan Pihak Terlawan meliputi
Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Surakarta sebagai Terlawan I, Kantor Pelawanan
Kekayaan Negara dan Lelang Surakarta sebagai Terlawan II, Kantor Badan Pertanahan
Kabupaten Sukoharjo sebagai Turut Terlawan. Perkara ini berawal dari pihak pelawan
(debitur) telah mengadakan perjanjian kredit dengan Terlawan I (kreditur) yaitu Bank
Rakyat Indonesia Kantor Cabang Kartasura, dengan dibuat akta Perjanjian Kredit Nomor
01 tertanggal 03 Oktober 2005 kemudian dirubah dengan Akta Perpanjangan dan Suplesi
Kredit No.01 tertanggal 3 Oktober 2005. Guna menjamin pelunasan kredit tersebutdebitur telah memberikan jaminan yang termuat dalam klausul perjanjian kredit tersebut
berupa 4 bidang tanah yaitu :
a) sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 1617 a/n Tumiyem
dengan luas 98 m2;
b) sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 2154 a/n Tohari dengan
luas 290 m2,
c) sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 4465 a/n Tohari dengan
luas 665 m2, s
d) ebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 1205 a/n Hardiman dengan
luas 4084 m2. Keempat bidang tanah tersebut telah dibebani dengan hak
tanggungan.
Berjalannya kredit, pihak debitur telah melakukan keterlambatan angsuran kemudian
pihak kreditur yaitu Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Surakarta telah memberi
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
18/23
kesempatan kepada pihak debitur melalui restrukturisasi yang dituangkan dalam Akta
Perjanjian Restrukturisasi Kredit Nomor 21 tertanggal 29 Desember 2006 yang dibuat
oleh Notaris Wirati Kendarto.
Hak atas tanah yang menjadi jaminan belum bersertifikat, tanah tersebut wajib
disertifikatkan terlebih dahulu sebelum dilakukan pendaftaran hak tanggungan yangbersangkutan. Adanya sertifikat hak tanggungan yang merupakan tanda bukti adanya hak
tanggungan yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan yang memuat irah-irah DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap. Sertifikat tersebut sebagai pengganti grosse akta hipotik sepanjang mengenai hak
atas tanah
Berdasarkan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996, bahwa Sertifikat
hak tanggungan dengan irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA, mempuayai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusanpengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti
grosse akta hipotik sepanjang mengenai hak atas tanah. Irah-irah yang dicantumkan pada
sertifikat hak tanggungan dimaksudkan guna menegaskan adanya kekuataan eksekutorial
pada sertifikat hak tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji (wanprestasi), dapat
dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuataan
hukum tetap.
Tidak jarang debitur tersebut melakukan wanprestasi, hal ini dikarenakan adanya
kredit macet sehingga dapat merugikan pihak kreditur. Kemudian langkah bagi pihak
kreditur dalam hal ini melakukan eksekusi yang merupakan hak dari undang-undangsebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Apabila
debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual
obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. selain itu tercantumnya
janji-janji dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 11
ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996, janji bahwa pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak
Tanggungan apabila debitor cidera janji;
Kreditur yang melakukan eksekusi melalui pelelangan umum tersebut mendapatperlawanan dari pihak debitur dengan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri
domisili yang mereka pilih. Hal ini dapat dikarenakan debitur merasa tidak terima apabila
debitur dianggap melakukan wanprestasi. Sebagaimana dalam perkara nomor
20/Pdt.Plw/2010/PN.Skh, ada dua pihak yaitu pelawan dan terlawan. Pihak pelawan
adalah Tumiyem, Tohari, Sudarno dan Hardiman. Sedangkan Pihak Terlawan meliputi
Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Surakarta sebagai Terlawan I, Kantor Pelawanan
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
19/23
Kekayaan Negara dan Lelang Surakarta sebagai Terlawan II, Kantor Badan Pertanahan
Kabupaten Sukoharjo sebagai Turut Terlawan. Perkara ini berawal dari pihak pelawan
(debitur) telah mengadakan perjanjian kredit dengan Terlawan I (kreditur) yaitu Bank
Rakyat Indonesia Kantor Cabang Kartasura, dengan dibuat akta Perjanjian Kredit Nomor
01 tertanggal 03 Oktober 2005 kemudian dirubah dengan Akta Perpanjangan dan Suplesi
Kredit No.01 tertanggal 3 Oktober 2005. Guna menjamin pelunasan kredit tersebut
debitur telah memberikan jaminan yang termuat dalam klausul perjanjian kredit tersebut
berupa 4 bidang tanah yaitu :
a. sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 1617 a/n Tumiyem
dengan luas 98 m2;
b. sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 2154 a/n Tohari dengan
luas 290 m2;
c. sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 4465 a/n Tohari denganluas 665 m2;
d. sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 1205 a/n Hardiman
dengan luas 4084 m2. Keempat bidang tanah tersebut telah dibebani dengan
hak tanggungan.
Berjalannya kredit, pihak debitur telah melakukan keterlambatan angsuran kemudian
pihak kreditur yaitu Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Surakarta telah memberi
kesempatan kepada pihak debitur melalui restrukturisasi yang dituangkan dalam Akta
Perjanjian Restrukturisasi Kredit Nomor 21 tertanggal 29 Desember 2006 yang dibuat
oleh Notaris Wirati Kendarto.
Berdasarkan uraian perkara diatas bahwa menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 bahwa pihak Kreditur dalam melakukan pelelangan merupakan salah satu
kewenangan kreditur dalam upaya eksekusi hak tanggungan sebagaimana tercantum
dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Apabila debitor cidera janji,
pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Eksekusi yang dilakukan oleh debitur dalam eksekusi dengan pelelangan umum inidilakukan melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Surakarta sehingga
tidak diperlukan adanya somasi dari Pengadilan Negeri karena kreditur menurut Pasal 6
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tersebut mempunyai kekuasaan sendiri untuk
melakukan eksekusi atas jaminan yang dibebani oleh hak tanggungan jika debitur
wanprestasi. Selain pasal 6 juga tercantum dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996, janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
20/23
mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri atas obyek Hak Tanggungan
apabila debitor cidera janji. Janji tersebut telah tercantum dalam Akta Pembebanan Hak
Tanggungan sehingga secara otomatis berlaku untuk para pihak yang menandatangani
akta tersebut sebagai perjanjian assesoir. Dengan dibuatnya Akta Pembebanan Hak
Tanggungan tersebut maka tidak diperlukan adanya perjanjian lain. Jadi, upaya yang
dilakukan oleh kreditur, Bank Rakyat Indonesia tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 6
jo.Pasal 11 ayat (2) huruf e jo.Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, karena
pada dasarnya kewenangan dari kreditur melakukan eksekusi atas kekuasaan sendiri
melalui perantara Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Surakarta sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebagai akibat dilakukan pedaftaran hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahan
maka terbit sertifikat hak tanggungan sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996. Sertifikat hak tanggungan itu memuat irah-irah DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Kemudian
dipertegas lagi dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 bahwa titel
eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum
menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan
piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor
lainnya.
Maka berdasar pada Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 , dengan
meminta penetapan eksekusi ke Pengadilan Negeri melalui permohonan yang diajukan
oleh kreditur dengan menyerahkan sertifikat hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan
Negeri agar diterbitkan fiat atau surat perintah sehingga eksekusi dapat dijalankan secara
paksa bahkan dengan bantuan aparat keamanan sekalipun. Berdasarkan pada fiat tersebut
disertai dengan terbitnya surat perintah penjualan lelang, maka Kantor Lelang melakukan
penjualan atas objek hak tanggungan di muka umum. Apabila peringatan tersebut tidak
dapat dipenuhi maka Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan surat perintah penyitaan
untuk selanjutnya diterbitkan perintah penjualan lelang kepada Kantor Lelang Negara.
Sebelum pelelangan dilaksanakan harus didahului pengumuman sebanyak dua kali
berturut-turut dengan tenggang waktu 15 hari melalui surat kabar. Sedangkan status dari
bidang tanah yang menjadi jaminan yang dibebani dengan hak tanggungan tersebut, pada
proses pembebanan hak tanggungan mengakibatkan terbitnya sertifikat hak tanggungansebagaimana tercantum dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Dengan
melalui proses tersebut pihak kreditur telah menguasai yuridis kepemilikan tanah sebagai
akibat dijaminkannya hak atas tanah tersebut atas suatu utang piutang.
Sehingga, berdasarkan pada perkara Nomor 20/Pdt.Plw/2010/PN.Skh bahwa tindakan
kreditur dalam hal ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu Pasal
6 jo.Pasal 11 ayat (2) huruf e, dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Pada
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
21/23
dasarnya kreditur mempunyai kewenangan untuk melakukan eksekusi atas objek jaminan
yang dibebani hak tanggungan baik eksekusi atas kekuasaan sendiri maupun eksekusi
yang mempunyai title eksekutorial. Dengan objek jaminan yang dibebani dengan hak
tanggungan maka empat bidang tanah yang menjadi jaminan tersebut secara yuridis milik
kreditur sebagai akibat adanya perjanjian utang piutang.
G. KESIMPULAN
Tanah yang menjadi jaminan atas suatu utang piutang telah dibebani dengan hak
tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 guna
menjamin pelunasan piutang. Dalam pelaksanaan kredit timbul permasalahan adanya
debitur wanprestasi sebagaimana dilakukan oleh Tumiyem cs dalam perkara nomor
20/Pdt.Plw/2010/PN.Skh. Disini kreditur telah melakukan eksekusi melalui pelelanganumum dengan perantara Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Surakarta. Akan
tetapi pihak Tumiyem cs selaku debitur melakukan gugatan perlawanan di Pengadilan
Sukoharjo dan diputus oleh Hakim Ketua Penagdilan Sukoharjo menolak gugatan
pelawan. Hal ini disebabkan bahwa tindakan kreditur melakukan eksekusi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 jo.Pasal
11 ayat (2) huruf e, dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, apabila debitur
wanprestasi maka kreditur punya kewenangan melakukan eksekusi atas kekuasaan
sendiri. Eksekusi melalui pelelangan umum tersebut untuk mengambil hasil penjualan
secara lelang untuk membayar hutang debitur. Sehingga, dengan jaminan tanah yang
dibebani oleh hak tanggungan tersebut secara yuridis dibawah penguasaan kreditur
sebagai akibat adanya perjanjian utang piutang
H. SARAN
Berdasarkan kasus tersebut, dalam pembuatan perjanjian kredit mengenai hal-hal
yang insidentil dipertegas agar debitur mengetahui mana yang menjadi kewajiban dan
hak masing-masing pihak serta dipertegas akibat hukum apabila tidak dipenuhinya
kewajiban tersebut. guna tercapai tujuan sebagaiman tecantum dalam penjelasan angka 9
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Hal ini dilakukan guna mengantisipasi adanya
itikad tidak baik dari salah satu pihak sehingga merugikan. Hal yang paling penting
adalah adanya kesepakatan oleh para pihak.
I. DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi. 2010. Hukum Hak Tanggungan. Jakarta: Sinar Grafika.
-
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
22/23
Achmad Susetyo. 2009. Peroyaan Hak Tanggungan Atas Tanah Jaminan Kredit
Oleh Bank. http://kasusperbankan.wordpress.com/2009/05/28/peroyaan-hak-
tanggungan-atas-tanah-jaminan-kredit-oleh-bank/. Diakses tanggal 7 Maret 2013
jam 09.30 WIB
Arhiem. 2012. Hak Tanggungan.
http://hukumperbankan.blogspot.com/2012/05/hak-tanggungan.html.
Diakses tanggal 7 Maret 2013 jam 09.00 WIB.
Boedi Harsono. 2003. Hukum Agararia Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanannya, Edisi Revisi Cetakan Ke-9.
Jakarta:
Djambatan.Gusti Mtfyanah. 2004. Ruang Lingkup Objek Hak
Tanggungan:Telaah Kritis Terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.
Jumal Hukum dan Pemikiran, No. 2, Tahun 6 Juli- Desember 2004.
Hermansyah. 2005. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta:Gramedia.
Jhony Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi
Revisi). Malang : Bayumedia Publishing.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2005. Seri Hukum Harta Kekayaan Hak
Tanggungan. Jakarta:
Kencana.Kasmir. 2000. Manajemen Perbankan. Bandung: Raja Grafindo Persada.
Mohammad Djais. 2011. Pelaksanaan Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Berdasar
Pasal 6 UUHT Tidak Sah Menurut Hukum.
http://hukum.kompasiana.com/2011/07/24/pelaksanaan-eksekusi-obyek-
haktanggungan-berdasar-pasal-6-uuht-tidak-sah-menurut-hukum-380999.html.
Diakses tanggal 7 Maret 2013 jam 09.03 WIB.
Munir Fuady.2002. Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era
Global. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Netty Endrawati, Hutang Debitur dan Eksekusi Hak Tanggungan. INOVASI
Volume XVI, Edisi Khusus Desember 2008.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
http://hukumperbankan.blogspot.com/2012/05/hak-tanggungan.htmlhttp://hukumperbankan.blogspot.com/2012/05/hak-tanggungan.htmlhttp://hukum.kompasiana.com/2011/07/24/pelaksanaan-eksekusi-obyek-haktanggungan-berdasar-pasal-6-uuht-tidak-sah-menurut-hukum-380999.htmlhttp://hukum.kompasiana.com/2011/07/24/pelaksanaan-eksekusi-obyek-haktanggungan-berdasar-pasal-6-uuht-tidak-sah-menurut-hukum-380999.htmlhttp://hukum.kompasiana.com/2011/07/24/pelaksanaan-eksekusi-obyek-haktanggungan-berdasar-pasal-6-uuht-tidak-sah-menurut-hukum-380999.htmlhttp://hukumperbankan.blogspot.com/2012/05/hak-tanggungan.htmlhttp://hukum.kompasiana.com/2011/07/24/pelaksanaan-eksekusi-obyek-haktanggungan-berdasar-pasal-6-uuht-tidak-sah-menurut-hukum-380999.htmlhttp://hukum.kompasiana.com/2011/07/24/pelaksanaan-eksekusi-obyek-haktanggungan-berdasar-pasal-6-uuht-tidak-sah-menurut-hukum-380999.html -
7/28/2019 Tugas Hukum Jaminan
23/23
Sudikno Mertokusumo. 1988. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:
Liberty.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan.
Windajani. 2011. Hambatan Eksekusi Hak Tanggungan di Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara. Mimbar Hukum Edisi Khusus, November 2011.