TUGAS ANESTESI
-
Upload
desti-enci-mayasari -
Category
Documents
-
view
27 -
download
0
Transcript of TUGAS ANESTESI
1. Apakah perbedaan antara fentanyl dan ketorolac?
Fentanyl
Farmakokinetik
Absorbsi
Kebanyakan analgesik opioid diserap dengan baik dari daerah subkutan dan
intramuskular seperti halnya dari permukaan mukosa hidung atau mulut. Alat baru yang
dikenalkan kemungkinan terjadinya pemasukan opioid dengan tingkat efikasi tinggi
melalui hidung, menghasilkan kadar dalam darah yang berguna secara terapeutik dengan
menghindari metabolisme lintas pertama dibanding yang terjadi dengan dosis oral.
Meskipun penyerapan dari saluran cerna cepat, beberapa opioid yang diberikan melalui
jalur ini merupakan subjek untuk metabolisme lintas pertama dalam hati. Pada kasus
demikian dosis oral yang diperlukan untuk efek terapi mungkin lebih tinggi dari dosis
parenteral. Karena aktivitas enzim bertanggung jawab terhadap reaksi ini maka sangat
bervariasi pada individu yang berbeda, dosis oral efektif pada pasien tertentu mungkin
sulit untuk diperkirakan. 1
Absorbsi terjadi secara cepat dan lengkap setelah pemberian morfin dan
meperidin secara intramuskular dalam 20 – 60 menit. Pemberian fentanyl (oral
transmukosal fentanyl sitrat) merupakan salah cara yang efektif untuk memberikan efek
analgesia dan sedasi dan mempunyai mula kerja yang cepat (10 menit) dengan dosis 15-
20 μg/kg untuk anak-anak dan 200 – 800 μg untuk dewasa. Fentanyl mempunyai berat
molekul yang rendah dan kelarutan lemak yang tinggi sehingga memungkinkan untuk
diabsorbsi secara transdermal. Obat yang diabsorbsi bergantung pada luas permukaan
namun dapat dipengaruhi juga oleh kondisi sirkulasi darah daerah tersebut.2
Distribusi
Ambilan opioid oleh bermacam-macam organ dan jaringan merupakan fungsi
dari faktor fisiologis dan kimiawi. Meskipun semua opioid terikat dengan protein plasma
dengan afinitas yang berbeda, obat-obat itu mengalir keluar dari darah secara cepat dan
menempati dengan konsentrasi yang tinggi pada jaringan-jaringan yang perfusinya besar
seperti otak, paru, hati, ginjal dan limpa. Konsentrasi obat diotot skletal mungkin lebih
rendah, tapi jaringan tersebut merupakan cadangan obat yang utama karena timbunannya
yang besar. Penimbunan pada jaringan juga penting, terutama setelah sering diberi obat
opioid lipopilik dengan dosis tinggi yang metabolismenya lambat seperti fentanyl.1
Karena ada sawar darah otak, konsentrasi opioid diotak biasanya relatif lebih
rendah dibandingkan dengan organ lainnya. Kesulitannya menuju otak tampak lebih
besar apabila menggunakan agen amfoterik (misal, obat-obat yang memiliki grup asam
(sebuah bidroksil C3) dan grup basa (amine N17) seperti morphine). Pada neonatus sawar
darah otak terhadap opioid tidak efektif karena analgesik opioid mudah masuk melalui
plasenta, penggunaannya untuk analgesi obstetrik dapat menyebabkan kelahiran bayi
dengan depresi nafas.1
Waktu paruh distribusi obat-obat opioid berlangsung dalam waktu yuang cepat
(5 – 20 menit). Kelarutan lemak yang rendah dari morfin menyebabkan morfin lambat
melintasi sawar darah otak sehingga mula kerjanya lambat dan lama kerjanya panjang.
Hal ini berlawanan dengan fentanyl dan sufentanil yang mempunyai kelarutan lemak
yang tinggi sehingga mula kerja dan lama kerjanya singkat. Alfentanil mempunyai mula
kerja dan lama kerja yang lebih singkat dari fentanyl setelah pemberian secara bolus
walaupun mempunyai kelarutan lemak yang lebih rendah, hal ini disebabkan tingginya
fraksi non ionic alfentanil pada pH fisiologis dan tingginya jumlah obat dalam bentuk
bebas yang beredar sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya dalam darah. Opioid
dapat langsung diserap oleh paru-paru (first pass uptake) dan hal ini bergantung pada
akumulasi obat di paru-paru sebelumnya (menurun), riwayat merokok (meningkat), dan
pemberian obat anestesi (menurun).2
Metabolisme1
Opioid diubah sebagian besar menjadi metabolit polar yang diekskresikan
dengan segera oleh ginjal. Senyawa-senyawa yang mengandung kelompok hidroksil
bebas dengan segera mengalami konjugasi dengan asam glukoronat contohnya morphine
dan levophanol. Ester-ester contohnya heroin dan remifentanil terhidrolisis dengan cepat
oleh esterase jaringan umum.
Metabolisme oksidasi hepatis merupakan jalur degradasi utama opioid
phenylpiperidine (fentany;, alfentanil, sufentanyl) dan akhirnya hanya menyisakan
sejumlah kecil senyawa induk yang tak berubah untuk diekskresi. Metabolisme fentanyl
oleh isozim P450 CYP3A4 melalui N- dealkilasi di hati. CYP3A4 juga terdapat dalam
mukosa usus halus dan megontribusi metabolisme lintas pertama dari opioid, ketika
opioid tersebut diberikan per oral. Sebuah obat baru remifentanyl merupakan opioid
potensi kuat yang cepat dimetabolisasi oleh jaringan esterase jaringan non spesifik,
sehingga dapat memperpendek masa kerjanya.
Biotransformasi2
Opioid bergantung pada hati untuk biotransformasinya dan dipengaruhi aliran
darah hati. Alfentanil banyak terdapat dalam jumlah bebas sehingga waktu paruh
eliminasinya pendek (11/2 jam). Morfin mengalami konyugasi dengan asam glukuronat
membentuk morfin 3-glukuronat dan morfin 6-glukuronat. Meperidin dimetilasi menjadi
normeperidin suatu bentuk metabolit aktif yang sering dihubungkan dengan munculnya
kejang. Hasil akhir metabolisme fentanyl, sufentanil dan alfentanil menjadi bentuk
inaktif.
Struktur ester dari remifentanil memungkinkan opioid ini mengalami hidrolisa
dengan esterase non spesifik dalam darah maupun jaringan sehingga waktu parah
eliminasinya sangat singkat, kurang dari 10 menit. Biotransformasi dari remifentanil
terjadi amat cepat sehingga pemberian infus remifentanil hanya berefek kecil terhadap
waktu pulih. Tidak adanya akumulasi obat setelah pemberian bolus berulang maupun
infus dalam waktu lama membedakan remifentanil dari obat opioid lainnya. Selain itu
dengan adanya hidrolisis ekstrahepatik pasien dengan disfungsi hati pun tidak akan
mengalami efek toksik dari metabolit.
Ekskresi
Metabolit-metabolit polat opioid terutama diekskresikan lewat urine. Sejumlah
kecil obat yang tak berubah mungkin juga ditemukan dalam urine. Konjugat glukoronide
ditemukan dalam empedu tapi pada sirkulasi enterohepatis hanya menunjukkan sebagian
kecil dari proses ekskresi.
Hasil akhir biotransformasi morfin dan meperidin diekskresikan oleh ginjal,
kurang dari 10 % yang mengalami ekskresi melalui empedu. Sebanyak 5 –10 % morfin
tidak mengalami perubahan dan diekskresi di urin sehingga gagal ginjal akan
memperpanjang lama kerja. Akumulasi metabolit morfin pada pasien dengan gagal ginjal
menimbulkan efek narcosis dan depresi pernapasan hingga beberapa hari. Bahkan
morfin-6-glukoronat adalah agonis yang lebih kuat dan mempunyai masa kerja yang lebih
lama dari morfin. Adanya disfungsi ginjal juga akan mennimbulkan akumulasi metabolit
meperidin yang mempunyai efek eksitasi pada SSP sehingga sering menyebabkan kejang
myoklonik yang tidak bisa diatasi dengan naloxon.
Dapat terjadi puncak konsentrasi plasma kedua setelah pemberian fentanyl
intravena yang terjadi hingga 4 jam setelah pemberian yang mungkin disebabkan oleh
sirkulasi enterohepatik. Metabolit utama remifentanil diekskresi melalui ginjal namun
ribuan kali lebih lemah dibanding bahan asalnya sehingga jarang menimbulkan efek
opioid yang jelas. Penyakit hati berat tidak mengganggu farmakokinetik atau
farmakodinamik remifentanil.2
Farmakodinamika
A. Mekanisme kerja
Agonis opioid menghasilkan efek analgesi dengan mengikat reseptor khusus
yang terutama terletak pada daerah otak dan korda spinalis yang terlibat dalam transmisi
dan modulasi rasa nyeri.
1. Tipe-tipe reseptor
Tiga kelas utama reseptor opioid yang telah teridentifikasi pada wilayah-wilayah sistem
saraf yang bervariasi dan pada jaringan yang lain. Kelas mayor dari reseptor adalah µ
(mu), δ (delta) dan κ (kappa). Ketiga reseptor merupakan anggota dari family reseptor
yang terhubung dengan protein G dan menunjukkan sekuens asam amino homologis yang
signifikan. Subtipe-subtipe reseptor yang telah diajukan: mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1,
kappa2, dan kappa3, adalah yang paling didukung oleh kriteria farmakologis. Karena
sebuah obat opioid mungkin berfungsi dengan kemampuan yang berbeda sebagai agonis,
agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari satu kelas reseptor atau subtipe, tidaklah
mengejutkan jika agen-agen tersebut dapat menimbulkan berbagai efek farmakologis.
2. Hubungan efek fisiologis dengan tipe reseptor
Sebagian besar analgesik opioid yang ada sekarang saat ini bereaksi terutama
pada reseptor mu. Faktanya, reseptor mu yang pada awalnya didefinisikan untuk analgesi
dengan potensi relatif pada penggunaan klinis untuk seragkaian opioid alkaloid.
Reseptor-reseptor delta dan kappa juga bisa menyebabkan analgesi. Agonis reseptor delta
menahan sifat analgesik dari reseptor mu pada tikus.
3. Kerja seluler
Pada level molekuler, reseptor opioid dihubungkan dengan protein G dan oleh
karena itu dapat mempengaruhi gerbang ion, disposisi intraseluler Ca2+ dan fosfolirasi
protein. Opioid tersebut mempunyai efek langsung pada neuron: mereka menutup kanan
kalsium diatur voltase pada terminal saraf prasinaps sehingga menurunkan rilis
transmitor, atau menyebabkan hiperpolarisasi dan menghambat neuron pascasinaps
dengan membuka kanal kalium.
4. Distribusi reseptor dengan mekanisme neural dari analgesi
Situs-situs yang mengikat reseptor opioid telah diketahui dilokalisasi secara
autoradiografis menggunakan ikatan radioligan berafinitas tinggi dengan antibodi untuk
sekuens peptida yang unik dalam tiap subtipe reseptor. Ketiga rseptor besar mempunyai
konsentrasi yang tinggi di kornu dorsalis korda spinalis. Reseptor-reseptor terdapat pada
neuron-neuron korda spinalis transmisi nyeri dan aferen utama yang merelai rasa sakit.
Agonis opioid menghambat rilis transmitor eksitatorik dari aferen primer, dan mereka
secara langsung menghambat neuron transmisi rasa sakit pada kornus dorsalis tersebut.
Sehingga opioid menggunakan pengaruh analgesik yang kuat secara langsung terhadap
korda spinalis. Kerja/ aksi spinal ini telah dimanfaatkan secara klinis dengan penerapan
agonis opioid terhadap korda spinalis secara langsung, yang memberikan efek analgesik
regional, bersamaan dengan meminimalkan depresi napas yang tak diinginkan, mual dan
muntah dan sedasi yang mungkin terjadi karena kerja/ aksi supraspinal karena obat-obat
secara sistemik.
Tabel 1. Klasifikasi reseptor opioid
Reseptor Efek Klinis Agonis
Mu Analgesia supraspinal Morfin
Depresi pernapasan Met-enkephalin
Ketergantungan fisik Beta-endorphin
Kekakuan otot Fentanyl
Kappa Sedasi Morfin
Kappa Analgesia spinal Nalbuphine
Butorphanol
Dynorphin
Oxycodone
Delta Analgesia Leu-enkephalin
Tingkah llaku Beta-endorphine
Epileptogenik
Sigma Disforia Pentazosin
Halusinasi Nalorphine
Stimulasi Respirasi Ketamin
Fentanyl ialah zat sintetik dengan kekuatan 100 kali morfin. Lebih larut dalam
lemak dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan
dan distribusinya secara kuantitatif hampir sama dengna morfin tetapi fraksi terbesar
dirusak paru ketika pertama kali melewatinya.5
Fentanyl memiliki efek depresi nafas lebih lama dibandingkan dengan
analgesinya. Dosis 1-3 µg/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit
karena itu hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.5
Efek pada Organ Tubuh2
Kardiovaskular
Secara umum opioid tidak terlalu mengganggu fungsi kardiovaskular.
Meperidin cenderung meningkatkan denyut jantung, sementara dosis tinggi morfin,
fentanyl, sufentanil, remifentanil dan alfentanil menyebabkan bradikardia kecuali
meperidin, opioid tidak menghambat kontraktilitas miokard akan tetapi tekanan darah
arteri biasanya turun, sebagai hasil dari bradikardia, venodilatasi dan penurunan refleks
simpatis yang kadang membutuhkan pemberian vasopresor (efedrin).
Lebih jauh lagi, morfin dan meperidin menyebabkan pelepasan histamin yang
dapat menybebkan penurunan tekanan darah dan resistensi vascular yang cukup besar.
Efek ini dapat diminmalisasi dengan pemberian opioid dengan infus perlahan, menjaga
volume intravaskular yang adekuat, dan premedikasi dengan antagonis histamin H1 dan
H2. Kenaikan tekanan darah pada pemberian morfin dan meperidin jarang terjadi, dan bila
terjadi itu biasanya anestesi yang dangkal dan dapat dikendalikan dengan penambahan
vasodilator atau obat anesetsi inhalasi.
Kombinasi opioid dengan obat anestesi lain (mis. N20 benzodiaz kedalamanin,
barbiturat, dan anestesi inhalasi dapat menyebabkan depresi miokard yang sinifikan).
Respirasi
Opioid mendepresi respirasi terutama frekuensi respirasi. CO2 meningkat dan
respons terhadap CO2 menurun. Efek ini terjadi melalui pusat pernapasan di batang otak,
di mana ambang apnea –PaCO2 di mana pasien menjadi apnea- meningkat, sedangkan
hypoxic drive menurun. Efek depresi pernapasan pada perempuan lebih besar.
Morfin dan meperidin dapat menyebabkan bronkospasme yang disebabkan
pelepasan histamin pada pasien yang rentan. Opioid (terutama fentanyl, sufentanil, dan
alfentanil) dapat menimbulkan kekakuan dinding dada hingga ke tingkat dapat
menghambat ventilasi yang adekuat. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme secara
sentral dan dapat diatasi dengan pemberian pelumpuh otot. Opioid dapat pula digunakan
untuk menumpulkan respons bronkokonstriktif akibat stimulasi jalan napas seperti yang
timbul saat intubasi
Sistem Saraf Pusat
Secara umum opioid mengurangi konsumsi oksigen otak, aliran darah otak, dan
tekanan intrakranial tetapi pada potensi yang lebih lemah dari pada barbiturat maupun
benzodiazepin yang pada akhirnya mampu menjaga otak tetap dalam keadaan
normokarbia.
Ditemukan juga bahwa setelah pemberian bolus pasien dengan tumor otak
ataupun trauma kepala terjadi peningkatan kecepatan aliran darah dan tekanan
intrakranial. Selain itu karena opioid memberikan efek penurunan MAP, penurunan CPP
terjadi secara signifikan pada pasien dengan volume intrakranial yang terganggu.
Fentanyl jarang menimbulkan kejang, walaupun pernah ditemukan beberapa
kasus. Ransangan pada CTZ menjadi penyebab tingginya mual dan muntah, dapat terjadi
ketergantungan fisik terhadap opioid yang biasanya terjadi pada pasien dengan pembeian
opioid berulang. Tidak seperti barbiurat dan benzodiazepin, dibutuhkan dosis besar untuk
memberikan efek hipnotik pada pasien.
Opioid tidak memberikan efek amnesia. Pemberian secara intravena menjadi
pilihan sebagai analgesia dan penggunaannya kini semakin meluas dengan penggunaan
opioid epidural ataupun subdural yang memberikan perubahan yang besar dalam
penanganan nyeri.
Sameridine mempunyai struktur yang menyerupai meperidine namun dalam
penggunaan klinis tidak menunjukkan efek klasik opioid yang menonjol seperti (mual,
muntah, dan gatal-gatal). Pemberian meperidine intravena (25 mg) memberikian efek
yang paling efektif untuk mengurangi keadaan menggigil.
Gastrointestinal
Opioid memperlambat waktu pengosongan lambung dengan mengurangi
peristaltik. Dapat juga terjadi kolik bilier akibat rangsangan morfin terhadap kontraksi
sphincter Oddi. Spasme bilier yang dapat menyamarkan batu duktus koledokus saat
kolangiografi dapat ditekan dengan pemberian antagonis morfin murni (naloxon). Pada
pasien dengan pemberian jangka panjang, efek samping pada saluran gastrointestinal
biasanya sudah dapat ditolerir kecuali konstipasi akibat berkurangnya motilitas lambung.
Endokrin
Respons stress terhadap operasi dapat dilihat dengan adanya sekresi hormon-
hormon tertentu termasuk katekolamin, antidiuretik hormon, dan kortisol. Opioid
menghambat pelepasan hormon lebih menyeuruh dari anestesi inhalasi. Efek ini terutama
diperoleh dari opioid yang kuat seprti fentanyl, sufentanil, alfentanil dan remifentanil.
Pasien dengan penyakit jantung iskemik akan memperoleh keuntungan dari
penghambatan stress respons ini.
Interaksi Obat
Kombinasi opioid dengan MAO inhibitor dapat menimbulkan gagal napas,
hipertensi atau hipotensi, koma, dan hiperpireksia dengan mekanisme yang belum
diketahui. Opioid mempunyai efek sinergis dengan obat-obatan barbiturat,
benzodiazepin, dan depresan SSP lainnya. Biotransformasi alfentanil akan terhambat
dengan pemberian erythromycin sehingga menyebabkan efek sedasi yang memanjang
hingga gagal napas.
Ketorolac
Aktivitas antiinflamasi dari NSAID terutama diperantarai melalui hambatan
biosintesis prostaglandin. Berbagai NSAID mungkin memiliki mekanisme kerja
tambahan termasuk hambatan kemotaksis, regulasi rendah produksi interleukin 1,
penurunan produksi radikal bebas dan superoksida dan campur tangan dengan kejadian-
kejadian intraseluler yang diperantarai kalsium.1
NSAID menghasilkan analgesi dengan bekerja ditempat cedera melalui inhibisi
sintesi prostaglandin dari prekusor asam arakidonat. Prostaglandin (terutama PGE2, PGE1,
PGI1 ) mensensitasi nosiseptor dan bekerja secara sinergik dengan produk inflamatorik
lain di tempat cedera misalnya bradikinin dan histamin untuk menimbulkan hiperalgesia.
Dengan demikian NSAID mengganggu mekanisme tranduksi di nosiseptor aferen primer
dengan menghambat sintesis prostaglandin.3
Selama terapi dengan obat-obat ini, inflamasi dikurangi oleh penurunan rilis
mediator-mediator granulosit, basofil dan sel-sel mast. NSAID mengurangi kepekaan dari
pembuluh darah terhadap bradikinin dan histamin, mempengaruhi produksi lymphokine
dari limfosit T dan membalikkan vasodilatasi. Dalam tingkat yang berbeda semua
NSAID yang baru adalah analgesik, antiinflamasi dan antipiretik dan semua (kecuali
agen-agen selektif COX-2) menghambat agregasi platelet dan juga menyebabkan iritan
lambung. Nefrotoksis telah teramati untuk semua obat yang penggunaannya secara
ekstensive dan juga bisa terjadi hepatotoxic.1
Ketorolac adalah NSAID dengan kerja menengah/ sedang (waktu paruh 4-6
jam) yang dipromosikan untuk pemakaian sistemik terutama sebagai analgesik, bukan
sebagai obat antiinflamasi. Ketorolac memiliki ikatan protein tinggi dan dimetabolisme
secara ekstensif menjadi metabolit yang aktif dan inaktif. Obat ini nampaknya
mempunyai efektivitas analgesik yang nyata dan telah dipakai dengan hasil yang baik
untuk menggantikan morfin pada nyeri ringan hingga sedang sesudah operasi.
Kebayankan diberikan secara intramuskular atau intravena tetapi juga terdapat dalam
bentuk oral. Pemakaian ketorolac lebih dari 5 hari dapat menyebabkan ulkus peptikum
dan gangguan ginjal. Dosis ketorolac adalah 30-120 mg/hari. Bila dipakai bersama opioid
ketorolac bisa menurunkan kebutuhan opioid sebesar 25-50%. 1
Gambar 1. Respon tubuh terhadap nyeri4
Gambar 2. Perbedaan peran NSAID dan opioid terhadap nyeri4
Ketorolac dapat diberikan secara oral, intramuskular atau intravena. Tidak
dianjurka untuk intratekal atau epidural. Setelah suntikan intramuskular atau intravena
efek analgesinya dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2 jam dengan lama kerja
sekitar 4-6 jam dan penggunaannya dibatasi sampai 5 hari. Dosis awal 10-30 mg dan
dapat diulang setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan. Untuk pasien normal dosis sehari dibatasi
maksimal 90 mg dan untuk berat< 50 kg, manula atau gangguan faal ginjal dibatasi
maksimal 60 mg.5
Sifat analgesik ketorolac setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolac= 12 mg
morfin= 100 mg petidin, sedangkan sifat antipiretik dan antiiflamasinya rendah.
Golongan NSAID tidak dianjurkan diberikan pada wanita hamil untuk mengurangi nyeri
persalinan, wanita sedang menyusui, usia lanjut, usia< 4 tahun, dan gangguan
perdarahan.5
Tabel 2. Perbedaan antara OPIOID dan NSAID
OPIOID NSAID
Bekerja di sentral Bekerja di perifer
Cara kerja: OPIOID menimbulkan efek
dengan mengikat reseptor opioid dengan
cara serupa dengan opioid endogen (agonis
opioid). Dengan mengikat reseptor opioid
di nukleus modulasi nyeri di batang otak,
opioid menimbulkan efek pada sistem
desendens yang menghambat nyeri.
Ditingkat kornu dorsalis medula spinalis
opioid juga menghambat transmisi impuls
nosiseptor yang datang dan mengikat
reseptor opioid di substansia gelatinosa
Cara kerja : NSAID menghasilkan analgesi
dengan bekerja ditempat cedera melalui
inhibisi sintesis prostaglandin dari prekusor
asam arakidonat. Prostaglandin
mensensitisasi nosiseptor dan bekerja
secara sinergik dengan produk inflamatori
untuk menghasilkan nyeri. NSAID
mengganggu tranduksi di nosiseptor aferen
primer dengan menghambat sintesis
prostaglandin
Efek analgesik fentanyl: 30 menit karena
itu hanya digunakan untuk pembedahan
tidak pasca bedah
Efek analgesi ketorolac : efek analgesinya
dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah
1-2 jam dengan lama kerja sekitar 4-6 jam
Menimbulkan ketergantungan atau
toleransi fisik (kebutuhan tubuh untuk
dosis yag lebih tinggi untuk
mempertahankan efek analgesik obat)
Tidak menimbulkan ketergantungan atau
toleransi fisik
Efek samping: sedasi, depresi nafas, Efek samping: iritasi lambung,
konstipasi menghambat agregasi platelet, nefrotoksik,
hepatotoksik penurunan rilis mediator-
mediator granulosit, basofil dan sel-sel
mast
Tidak mempunyai efek anti inflamasi Ada efek antiinflamasi
Tidak ceilling effect Celling effect :peningkatan dosis tidak
meningkatkan efek analgesik obat dalam
menangani nyeri melainkan meningkatkan
efek samping
2. Tehnik anestesi umum?
Tehnik anestesi umum
A. Inhalasi dengan respirasi spontan
- sungkup wajah
- intubasi endotrakeal
- Laryngeal mask airway (LMA)
Indikasi:
- Tindakan singkat (1/2 - 1 jam)
- Keadaan umum baik (ASA I-II)
- Lambung harus kosong
B. Inhalasi dengan respirasi kendali
- intubasi endotrakeal
- Laryngeal mask airway (LMA)
Indikasi:
operasi lama dan sulit mempertahankan airway (operasi dibagian leher dan kepala)
C. Anestesi intravena total (TIVA)
- tanpa intubasi endotrakeal
- dengan intubasi endotrakeal
Sistem atau sirkuit anestesi
Sistem atau sirkuit anestesi ialah alat yang bukan saja menghantarkan gas atau
uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalan nafas atas pasien tetapi juga harus sanggup
membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran gas segar atau dengan
menghisapnya dengan kapur soda.
Klasifikasi yang membagi sirkuit anestesi menjadi open, semiopen, closed,
semiclosed membingungkan. Klasifikasi yang membagi sirkuit anestesi menjadi nafas
ulang (rebreathing) dan non nafas ulang (non rebreathing) juga tidak memuaskan, karena
bagaimanapun terjadi hirupan kembali udara ekspirasi walaupun hanya kecil.
Sistem tetes terbuka
Sistem tetes terbuka ialah sistem anestesi yang sederhana yaitu dengan
meneteskan cairan anestetik (eter, kloroform) dari botol khusus ke wajah pasien dengan
bantuan sungkup muka. Sistem ini tahanan nafasnya minimal dan dapat ditambahkan
pipa kecil ke dalam sungkup. Keburukan sistem ini ialah selain boros, udara ekspirasi
mencemari lingkungan sekitar.
Sistem insuflasi
Sistem ini diartikan sebagai penghembusan gas anestetik dengan sungkup muka
melalui salah satu sistem ke wajah pasien tanpa menyentuhnya. Biasanya dikerjakan pada
bayi atau anak kecil yang takut disuntik atau pada mereka yang sedang tidur supaya tidak
terbangun. Untuk menghindari penumpukkan gas CO2, aliran gas harus cukup tinggi
sekitar 8-10 L/menit. Seperti sistem tetes terbuka cara ini memcemari udara sekitar.
Sistem mapleson
Sistem mapleson tak dilengkapi dengan penyerapan CO2 sehingga aliran gas
harus sanggup membuang CO2. Sistem ini disebut juga sistem nafas terkendali.
Sistem mapleson A: sistem ini paling cocok digunakan pada anestesi dengan pernafasan
spontan. Katup ekspirasi diletakkan didekat sungkup muka, menggunakan pipa ombak,
sedangkan aliran masuk gas segar di dekat atau pada kantong cadang.
Sistem mapleson B: sama seperti mapleson A, pada mapleson B katup ekspirasi tetap
didekat sungkup muka, tetapi lubang masuk aliran segar juga didekat sungkup atau katup.
Pipa ombak dan kantoong cadang berfungsi sebagai ruang tertutup, tempat berkumpulnya
gas segar, gas ruang mati dan gas alveolar. Kadang-kadang sistem ini digunakan di ruang
pulih pada pasien dengan nafas spontan dan pada sistem ini diperlukan aliran gas segar
sekitar dua kali ventilasi semenit.
Mapleson C sama seperti mapleson B tetapi tidak menggunakan pipa ombak.
Mapleson D: pada mapleson D katup ekspirasi diletakkan didekat kantong cadangdan
lubang masuk aliran gas segar didekat sungkup muka.untuk mencegah penghisapan
kembali CO2 perlu aliran gas segar 2,5 x ventilasi semenit
Mapleson E: hanya terdiri dari sungkup muka, lubang masuk untuk aliran gas segar dan
pipa ombak sebagai pipa cadang, tanpa kantong cadang.
Mapleson F : terdiri dari sungkup muka, lubang masuk untuk aliran gas segar dan pipa
ombak sebagai pipa cadang, dengan kantong cadang. Tambahan kantong cadang ini
memudahkan memonitor nafas spontan dan melakukan nafas kendali. Untuk mencegah
dilusi oleh gas inspirasi dengan udara atau inspirasi dengan CO2 maka diperlukan aliran
gas segar 2x ventilasi semenit.
Sistem lingkar
Sistem ini menggunakan dua katup ekspirasi, satu didekat pasien dan yang
lainnya didekat kantong cadang. Aliran gas cukup 2-3 L/menit asalkan kadar oksigen
>25%.sistem ini variasinya cukup banyak dan umumnya terdiri dari beberapa komponen
yaitu:
- Tempat masuk campuran gas segar
- katup inspirasi dan ekspirasi searah
- pipa ombak inspirasi dan ekspirasi
- konektor Y
- katup pop-off
- kantong cadang
- kanister berisi kapur soda
Keuntungan sistem ini:
- ekonomis
- konsentrasi gas inspirasi relatif stabil
- ada kehangatan dan kelembapan pada jalan nafas
- tingkat polusi rendah dan resiko kebakaran rendah
Kerugian sistem ini:
- resistensi tinggi
- tidak ideal untuk anak
- pengenceran oleh udara ekspirasi
3. Bagaimana fisiologis pengosongan lambung?
Aktifitas pengosongan lambung mencakup proses penampungan bahan makanan
solid maupun liquid, penghancuran bahan solid serta mencampurnya dengan asam
lambung sehingga partikel-partikel kecil yang optimal bagi pencernaan, pengosongan
bahan liquid dan bahan solid yang telah dihancurkan ke duodenum pada periode digestif
postprandial, dan pengosongan semua sisa makanan termasuk bahan yang non digestible
pada periode interdigestif. Proses pengosongan lambung tersebut diatur oleh aksi yang
bersamaan dengan fundus,antrum,pylorus dan duodenum.6
Lambung proksimal yaitu fundus dan sepertiga atas corpus merupakan bagian
lambung yang tidak memiliki aktivitas listrik miogenik spontan. Lambung proksimal ikut
berperan dalam proses pengosongan liquid karena adanya perbedaan tekanan fundic-
duaodenum akibat kontraksi tonik yang lambat (1-3menit) yang terjadi di fundus.
Kontraksi tonik ini distimulasi oleh excitatory fibers dari nervus vagus dan neurohormon
seperti motilin.6
Fungsi lain dari lambung proksimal adalah sebagai penampung makanan. Pada
waktu proses menelan lambung proksimal mengalami fase relaksasi yang disebut
receptive relaxation, dimana terjadi peningkatan volume lambung tanpa disertai
peningkatan tekanan lambung sehingga dapat berfungsi sebagai reservoir. Kemampuan
relaksasi tersebut dipertahankan oleh inhibitor fibers dari nervus vagus dan pengaruh
inhibisi dari neurohormonal.5
Berbeda dengan lambung proksimal maka otot-otot lambung distal mulai dari
corpus sampai ke cincin pylorus memiliki aktivitas listrik spontan (autorythmicity),
namun kontraksi lambung distal ini diatur oleh suatu pacemaker yang terletak di
curvatura mayor yang melepaskan gelombang depolarisasi spontan (basal electrical
rhythm) dengan kecepatan 3 siklus / menit. Kecepatan ini tidak berubah baik pada waktu
puasa, makan, beraktifitas ataupun tidur. Depolarisasi spontan tersebut akan berubah
menjadi sebuah kontraksi (yang ekuivalen dengan sebuah aksi potential) ataupun tidak,
tergantung ada tidaknya rangsang syaraf atau hormonal tertentu. Lambung akan sangat
mudah berkontraksi selama waktu makan karena adanya distensi akan menstimulasi
aferen vagus yang disertai pelepasan peptida post prandial dan karena adanya stimulasi
oleh bahan-bahan makanan yang kontak ke mukosa. Pada periode digestif kontraksi
tersebut berperan penting dalam proses pengosongan lambung dimana kontraksi tersebut
akan mendorong isi lambung ke arah gastroduodenal junction.6
Makanan solid sebelum dikosongkan akan mengalami proses pencampuran dan
penggilingan (mixing & grinding) oleh kontraksi otot-otot antrum yang tebal, sehingga
menjadi pertikel-pertikel kecil (<1 mm) agar dapat melewati pylorus. Waktu yang
diperlukan untuk proses tersebut disebut lag phase.6
Pada periode intergestif yaitu ± 2 jam sesudah makan dan pada waktu tidur,
lambung melakukan aktivitas motorik secara siklik dengan waktu ± 100 menit / siklus.
Fase I dari siklus ini merupakan fase diam karena jarang terjadi kontraksi, berlangsung ±
1 jam. Fase 2 berlangsung ± 30 menit, lebih aktif dimana terjadi 1 atau 2 kontraksi setiap
beberapa menit yang sifatnya intermitten dan irregular. Puncak aktivitas dari interdigestif
adalah fase 3 dimana terjadi rentetan kontraksi dengan kecepatan 3 kontraksi, bersifat
singkat, ritmik, kuat dan mendorong ke arah duodenum, berlangsung selama 5 – 10
menit. Pada fase ini berlangsung pengosongan terhadap bahan-bahan solid digestible
(seperti serat, biji, sayur ataupun partikel makanan keras yang tidak dapat dihancurkan
oleh lambung) sebab pada saat yang bersamaan terjadi pembukaan dan relaksasi dari
pylorus. Fase 4 merupakan transisi dari fase 3 ke fase 4. Aktivitas interdigestif ini
dipengaruhi oleh nervus vagus. 6
Pylorus dan duodenum berfungsi sebagai pengatur ataupun barier mekanis
terhadap aliran keluar dari lambung, pylorus berbentuk terowongan berdinding tebal yang
dapat secara aktif mengubah ukuran lumennya dibawah pengaruh neurohumoral akibat
stimulasi reseptor-reseptor di duodenum maupun usus halus lainnya. Segera setelah
makan, kontraksi lambung akan mendorong makanan ke arah pylorus, namun pylorus
akan terbuka sebahagian saja sehingga hanya bagian liquid atau partikel kecil saja yang
dapat lewat, sedangkan partikel yang lebih besar akan tertahan diantrum untuk menjalani
proses mixing dan grinding oleh konstruksi antrum. Pada fase 3 interdigestif pylorus
terbuka lebar sehingga bahan solid nondigestible dengan pertikel besar dapat melewati
pylorus oleh dorongan kontraksi antrum yang terkoordinasi dengan motilitas duodenum. 5
Di duodenum terdapat reseptor-reseptor sensorik yang akan terstimulasi oleh
bahan-bahan nutrien yang melewati lumen duodenum. Bahan nutrien dengan kalori
tinggi, kandungan lemak tinggi, osmolitas tinggi ataupun pH yang lebih tinggi asam akan
memberikan stimulasi yang lebih kuat terhadap reseptor tersebut yang akan menyebabkan
relaksasi fundus, terlambatnya peristaltik antrum, mengecilnya lumen antrum, pylorus
dan duodenum, terangsangnya kontraksi lokal di pylorus, berkurangnya aktivitas
peristaltik di duodenum, serta berkurangnya koordinasi kontraksi antara antrum dan
duodenum, sehinngga keseluruhan efek ini akan berfungsi sebagai rem terhadap proses
pengosongan lambung. 6
Karbohidrat selain dapat memperlambat pengosongan lambung melalui efek
stimulasi langsung reseptor-reseptor di usus halus, juga efek peningkatan gula darah yang
diakibatkannya. 6
Kecepatan lambung mengosongkan isinya ke dalam duodenum bergantung juga
pada jenis makanan yang dimakan. Makanan yang banyak mengandung karbohidrat
meninggalkan lambung dalam beberapa jam. Makanan kaya protein meninggalkan
lambung lebih lambat, dan pengosongan paling lambat setelah makan makanan yang
mengandung lemak. Kecepatan pengosongan lambung juga bergantung pada tekanan
osmotik bahan yang masuk ke dalam duodenum. Hiperosmolalitas isi duodenum akan
dirasakan oleh “osmoreseptor duodenum” yang mencetuskan pernurunan pengosongan
lambung yang mungkin berasal dari saraf. 5 Pengosongan lambung dipengaruhi oleh
beberapa hal seperti jenis nutrisi, kalori, volume lambung, volume makanan yang
dimakan, osmolalitas, jumlah asam yang dihasilkan lambung.6
Lemak, gula, asam amino tertentu (khususnya triptofan) dan titrateable acid yang
memiliki osmolaritas tinggi juga menghambat pengosongan lambung. Produk-produk
pencernaan protein dan ion hidrogen yang membasahi mukosa duodenum mencetuskan
penurunan motilitas lambung melalui perantaraan saraf yaitu refleks enterogasti.
Peregangan duodenum, distensi rektum dan kolon, juga mencetuskan refleks ini. Gastric
inhibitory polypeptide dan kolesistokinin menghambat motilitas lambung.6
Pasien dengan Pengosongan Lambung yang Lambat6
Ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan pengosongan lambung menjadi
terlambat seperti pada pasien diabetes, obesitas, dan kehamilan. Kehamilan dapat
memperlambat pengosongan lambung dan menurunkan motilitas usus. Selain itu, akan
terjadi peningkatan sekresi mukosa, pH gaster meningkat (40% lebih tinggi daripada
perempuan tidak hamil). Hal ini terjadi karena pengaruh hormonal.Pada pasien DM juga
mengalami penurunan dalam pengosongan lambung karena terjadi gastroparesis
diabetika. Dari hasil berbagai laporan disimpulkan bahwa sekitar 30-60% penderita
diabetes mengalami keterlambatan waktu pengosongan lambung. Pada gastroparesis
diabetika terjadinya neuropati diabetik yang mengakibatkan rusaknya syaraf-syaraf
ekstrinsik lambung.
Adanya korelasi antara kadar gula darah yang tinggi dengan keterlambatan
pengosongan lambung. Hiperglikemia memperlambat pengosongan lambung dengan cara
tak langsung yang melibatkan perubahan pada aktivitas vagus, aktivitas listrik lambung,
sekresi hormon-hormon gastrointestinal dan mekanisme miogenik. Fischer dkk
menunjukkan bahwa hiperglikemia post prandial pada penderita diabetes menyebabkan
terjadinya penurunan aktivitas mioelektrik lambung, pengurangan aktivitas motorik
antrum dan keterlambatan pengosongan lambung.
DAFTAR PUSTAKA
1. Katzung, B.G. 2007. Basic and Clinical Pharmacology.10th edition. USA: McGraw-
Hil
2. Morgan, Edward G,Mikhail MS, Murray M J. Clinical Anesthesiology 4thEdition.
2007. The Mc Graw Hill Companies. Ebook.
3. Price, SA. Wilson, LM. 2003. Patofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi ke-6. Jakarta: EGC
4. www. Medscape.com (diakses tanggal 22 mei 2014)
5. Latief, SA. Suryadi, KA. Dachlan, MR. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universita
Indonesia
6. Jolliffe, DM. 2009. Practical gastric physiology. Volume 9. Contin Educ Anaesth
Crit Care Pain. 9(6):173-177.