TUGAS AKHIR KAPASITAS LENTUR BALOK BETON … · Tabel 2.2 Spesifikasi expanded...
Transcript of TUGAS AKHIR KAPASITAS LENTUR BALOK BETON … · Tabel 2.2 Spesifikasi expanded...
TUGAS AKHIR
KAPASITAS LENTUR BALOK BETON BERTULANG DENGAN MENGGUNAKAN STYROFOAM
DISUSUN OLEH :
A.BESSE ANUGRAH
D111 11 903
JURUSAN SIPIL
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
ABSTRAK Berbagai macam inovasi telah dilakukan untuk medapatkan beton ringan, antara lain dengan menggunakan styrofoam sebagai pengganti sebagian agregat beton. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kapasitas lentur balok dengan penambahan 30% styrofoam terhadap volume beton normal. Balok beton styrofoam (SFC) akan dibandingkan dengan balok beton bertulang biasa (BN). Metode yang digunakan yaitu metode pembebanan monotonik yang menggunakan Two Point Load pada kecepatan Ramp Actuor Konstan sebesar 0.1 mm/dt sampai balok runtuh. Pengujian dilakukan terhadap dua variasi benda uji dengan total 4 (empat) benda uji. Benda uji I terdiri atas 2 (dua) buah beton normal,benda uji II terdiri atas 2 (dua) buah balok styrofoam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas beban balok normal styrofoam lebih tinggi 11,21 % dibandingkan balok normal. Kata kunci : Beton styrofoam, Kapasitas beban.
ABSTRACT
There is a lot of innovation that has been done in order to find hight weight concrete, such as using styrofoam as partial replacement of concrete aggregate. This research was intended to analyze, flrxurel capacity of concrete beam by adding 30% styrofoam by the volume of normal concrete, styrofoam concrete bean (SFC) will be compared with a normal reinforced concrete beam. The specimens was loaded by monotonic loading (two point load) with constant speed 0.1 mm/dt until the concrete be a failure. The testing was conductedon two variant specimens, with total 4 (four) specimens. First specimet consist of two normal concretes,second specimen consist of two styrofoam concretes, The result show that the load capacity of styrofoam concrete higher 11,21 % than normal concrete. Key words : Styrofoam concrete, Load capacity .
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
segala berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir
yang berjudul “Kapasitas Lentur Balok Beton Bertulang dengan menggunakan
Styrofoam ”, sebagai salah satu syarat yang diajukan untuk menyelesaikan studi pada
Fakultas Teknik Jurusan Sipil Universitas Hasanuddin. Tugas akhir ini disusun
berdasarkan hasil penelitian di Laboratorium Struktur dan Bahan Jurusan Sipil
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selesainya tugas akhir ini berkat bantuan
dari berbagai pihak, utamanya dosen pembimbing :
Pembimbing I : Dr. Rudi Djamaluddin, ST.M.Eng
Pembimbing II : Dr. Eng. Rita Irmawaty, ST. MT.
Dengan segala kerendahan hati, penulis juga ingin menyampaikan terima
kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas kasih sayang, pengorbanan dan doanya.
2. Bapak Dr. Ing Ir. Wahyu H. Piarah, MS, ME., selaku Dekan Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin.
3. Bapak Dr.Ir.H. Muhammad Arsyad Thaha, selaku ketua Jurusan Sipil Fakultas
Teknik Universitas Hasanuddin.
4. Bapak Dr. Rudi Djamaluddin, ST.M.Eng., selaku dosen pembimbing I, yang
telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan
mulai dari awal penelitian hingga selesainya penulisan ini.
5. Ibu Dr. Eng. Rita Irmawaty, ST. MT. selaku dosen pembimbing II, yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan mulai
dari awal penelitian hingga selesainya penulisan ini.
6. Bapak Dr. Rudi Djamaluddin, ST.M.Eng.,selaku kepala Laboratorium Struktur
dan Bahan Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
7. Bapak Dr. Ir. H. Mubassirang Pasra , selaku penasehat akademik Jurusan Sipil
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
8. Ibu Dr. Eng. Rita Irmawaty, ST. MT., yang telah banyak meluangkan waktu
dan tenaga untuk bimbingan dan pengarahan dalam penelitian ini.
9. Ibu Wa Ode Amala ST. selaku Mahasiswa S2 , Bapak Sudirman Sitang ST,
selaku staf Laboratorium Struktur dan Bahan Jurusan Sipil Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin atas segala bimbingan dan pengarahan selama
pelaksanaan penelitian di Laboratorium.
10. Seluruh dosen, staf dan karyawan Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas
Hasanuddin.
11. Rekan-rekan mahasiswa Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
khususnya Mizwar,Sabrina dan Kawan-kawan serta teman-teman yang tidak
dapat disebutkan satu persatu yang senantiasa memberikan semangat dan
dorongan. Serta adik-adik angkatan 2012,2013 Jurusan Sipil Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddi dan teman-teman angkatan yang tidak dapat disebutkan
satu persatu yang membantu dan mendukung dalam penyelesaian tugas akhir
ini.
12. Kakanda Wawa ST, kak Erwin ST, terkhusus Kak Rifaat, Atas segala
dukungan, doa, dan tenaga dalam membantu selama proses penelitian hingga
akhir penyusunan laporan ini serta sahabatku Zulkaidah S.Sos dan Sumarni
Usman calon SP. Semoga cepat nyusul, yang selalu mendukung, membantu
dan mendoakan
Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan.
Oleh karena itu penulis mengharapkan kepada para pembaca, kiranya dapat
memberikan sumbangan pemikiran demi kesempurnaan dan pembaharuan tugas akhir
ini.
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan Rahmat-Nya kepada
kita, dan Tugas Akhir ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang
berkepentingan.
Makassar, Januari 2016 Penulis
v
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ................................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. viii
DAFTAR TABEL.................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ....................................................................................... I-1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... I-3
1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................................... I-4
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................... I-4
1.5. Ruang Lingkup/Batasan Masalah ............................................................. I-4
1.6. Sistematika Penulisan .............................................................................. I-5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hasil penelitian sebelumya ...................................................................... II-1
2.2. Material Penyusun Beton Ringan Styrofoam ........................................... II-2
2.2.1 Semen Portland Komposit ............................................................. II-3
2.2.2 Agregat ......................................................................................... II-5
2.3.3 Air ................................................................................................ II-8
2.2.4 Styrofoam...................................................................................... II-9
2.2.5 Kuat Tekan ................................................................................... II-14
vi
2.2.6 Kuat Lentur .................................................................................... II-16
2.3 Hubungan Beban dan Lendutan.... ............................................................ II-18
2.4. Retak pada Balok...................................................................................... II-20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian dan Desain Penelitian ..................................................... III-1
3.1.1 Jenis Penelitian ............................................................................... III-1
3.1.2 Desain Benda Uji ......................................................................... III-2
3.1.3 Rancangan Benda uji untuk Penelitian Karakteristik Lentur ......... III-3
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... III-5
3.3. Alat dan Bahan Penelitian ........................................................................ III-5
3.4. Prosedur Penelitian .................................................................................. III-6
3.5. Kerangka Prosedur Penelitian .................................................................. III-9
3.6. Varibel Penelitian .................................................................................... III-10
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengujian Agregat .......................................................................... IV-1
4.1.1 Agregat Halus ............................................................................... IV-1
4.1.2 Agregat Kasar ............................................................................... IV-2
4.1.3 Komposisi Mix Design ................................................................. IV-3
4.1.4 Metode Pengecoran Balok Beton Beton Bertulang...........................IV-3
4.1.5 Karakteristik Beton Normal dan Styrofoam Fil Concrete ............... IV-5
4.2. Pola Sebaran Butiran Styrofoam.................................................................. IV-8
4.3. Pengujian Tarik Baja Tulangan....................................................................IV-9
4.4. Hasil Analisis Beton Bertulang dengan menggunakan
vii
Styrofoam Fill Concrete .................................................................................. IV-10
4.4.1 Kapasitas Momen .......................................................................... IV-12
4.4.2 Hubungan Beban dan Lendutan..................................................... IV-14
4.4.3 Hubungan Beban, Regangan dan Tegangan dan Lendutan ............. IV-19
4.4.4 Analisis Momen - Kurvatur ......................................................... IV-26
4.4.5 Analisa Retak dan Lebar Retak ..................................................... IV-29
4.4.6 Pola Retak...................................................................................... IV-31
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ............................................................................................. ..V-1
5.2. Saran ....................................................................................................... V-1
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
LAMPIRAN ..........................................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Semen PCC
Gambar 2.2 Pasir Sungai
Gambar 2.3 Batu Pecah (Chipping)
Gambar 2.4 Styrofoam
Gambar 2.5 Analisis Balok Bertulangan Rangkap
Gambar 2.6 Hubungan antara Beban dan Lendutan
Gambar 3.1 Desain Balok dan Penampang Balok untuk Pengujian Lentur
Gambar 3.2 Kerangka Prosedur Penelitian
Gambar 3.3. Penepatan Strain Gauge beton dan Penempatan Strain Gauge baja
Gambar 4.1 Bagan Alir dan Proses pengecoran Balok beton bertulang
Gambar 4.2 Pengujian Silinder Beton umur 28 hari
Gambar 4.3 Pola Sebaran Styrofoam
Gambar 4.4 Alat Static Frame Loading untuk pengujian lentur
Gambar 4.5 Perbandingan Grafik Beban Lendutan
Gambar 4.6 Hubungan Beban dan Regangan Tekan Beton pada Balok Normal
Gambar 4.7 Hubungan Beban dan Regangan Tarik Beton pada Balok Normal
Gambar 4.8 Hubungan Beban dan Regangan Tekan Beton
Gambar 4.9 Hubungan Beban dan Regangan Tarik Beton pada Balok SFC
Gambar 4.10 Hubungan Tegangan dan Reagangan Tekan Beton pada Balok
Normal
ix
Gambar 4.11 Hubungan Beban dan Tegangan Beton pada Balok Normal
Gambar 4.12 Hubungan Tegangan dan Regangan Tekan Beton pada Balok
Styrofoam
Gambar 4.13 Hubungan Beban dan Regangan Tekan Beton pada BAlok
Styrofoam
Gambar 4.14 Momen kurvatur BN dan BSFC
Gambar 4.15 Distribusi Tegangan dan regangan Teori pada Balok Normal
Gambar 4.16 Distribusi Tegangan dan regangan pada hasil uji laboratorium
Gambar 4.17 Retak Lentur BN
Gambar 4.18 Retak Lentur BSFC
Gambar 4.19 Pola Retak Lentur BN 1
Gambar 4.20 Pola Retak Lentur BN 2
Gambar 4.21 Pola Retak Lentur BSFC 1
Gambar 4.22 Pola Retak Lentur BSFC 2
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Spesifikasi Semen Portland Komposit
Tabel 2.2 Spesifikasi expanded polystyrene/styrofoam
Tabel 3.1 Variabel Benda Uji
Tabel 4.1 Rekapitulasi Hasil Pengujian Agregat Halus
Tabel 4.2 Rekapitulasi Hasil Pengujian Agregat Kasar
Tabel 4.3 Komposisi Kebutuhan Bahan Campuran Beton 1 m3
Tabel 4.4 Karakteristik Beton Normal dan SFC
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Kuat Tekan Beton (MPa)
Tabel 4.6 Hasil Pengujian Baja Tulangan
Tabel 4.7 Beban – Lendutan Pada Balok
Tabel 4.8 Hasil Analisa Momen pada Balok Normal
Tabel 4.9 Hasil Analisa Momen pada Styrofoam
Tabel 4.10 Analisa Beban Lendutan BN
Tabel 4.11 Analisa Beban Lendutan Balok SFC
Tabel 4.12 Hubungan beban dan lendutan pada Balok BN dan pada Balok
SFC
Tabel 4.13 Persentase Peningkatan Kapasitas Beban
Tabel 4.14 Persentase Peningkatan Kapasitas Momen
Tabel 4.15 Analisa Momen – kurvatur rata-rata pada balok Normal
xi
Tabel 4.16 Analisa Momen – kurvatur rata-rata balok SFC
Tabel 4.17 Panjang dan Lebar Retak Hasil Uji Lentur
Tabel 4.18 Analisa Lebar Retak
I-1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beton sebagai bahan bangunan sudah lama diketahui dan digunakan secara
luas oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena beton mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan bahan lainnya, diantaranya harganya yang relatif murah,
mudah dalam pengerjaan, dan perawatannya, mudah dibentuk sesuai kebutuhan,
tahan terhadap cuaca, tahan terhadap korosi, dan lebih tahan api. Oleh karena itu,
beton sebagai bahan bangunan memiliki peranan yang penting dalam kehidupan
masyarakat dan seringkali mempengaruhi suasana hidup bagi setiap individu.
Sebagian besar dari hidup manusia berada di sekitar atau di dalam
bangunan,seperti; perumahan, kantor-kantor, pabrik-pabrik, rumah sakit, jembatan
dan sebagainya. Pengaruh yang sedemikian luas itu mengakibatkan sektor
bangunan memegang peranan penting dalam meningkatkan kesejahteraan dan
perekonomian suatu negara.
Beton terbentuk dari campuran semen, air dan agregat yang akan mengeras
melalui proses kimiawi. Semen dan air akan membentuk pasta yang mengikat
agregat halus (pasir) dan agregat kasar (kerikil). Seiring perkembangan
infrastruktur yang pesat, material beton seringkali banyak diambil dari alam
secara berlebihan tidak melihat dan lupa akan dampak yang timbul, jika terjadi
pengambilan berlebihan akan terjadi kerusakan lingkungan dan ekosistem alam.
Mengingat sumber daya agregat kasar yang terbatas dan biasanya
mempunyai berat jenis yang besar, maka perlu adanya alternatif agregat halus
I-2
maupun kasar dari bahan lain untuk menggantikan agregat halus dan kasar alami
yang mempunyai berat jenis yang relatif kecil. Disamping itu, saat ini mulai
banyak dikembangkan agregat - agregat buatan dari bahan non-alami dan limbah.
Perkembangan industri yang sangat pesat ini menimbulkan dampak negatif
bagi lingkungan diantaranya semakin banyak limbah yang akan dihasilkan oleh
industri - industri tersebut. Untuk memperkecil dampak negatif dari banyaknya
limbah yang akan dihasilkan terhadap lingkungan, maka diupayakan untuk
mempergunakan salah satu dari sekian banyak limbah menjadi lebih bermanfaat
bagi kehidupan kita terutama dalam dunia teknik sipil.
Penggunaan material ringan sebagai bahan pembentuk struktur akan
mengurangi berat total dari suatu bangunan. Seperti diketahui bahwa penggunaan
bahan bangunan dengan massa rendah akan menjadikan berat struktur menurun
yang akan membawa berbagai macam keuntungan.
Beton ringan adalah beton yang mempunyai berat satuan tidak lebih dari
1900 kg/m2 (SNI 03-2847-2002). Pemakaian beton ringan pertama kali
diperkenalkan di Amerika pada Perang Dunia I (1917) oleh perusahaan
Emergency Fleet Bulding dengan memakai aggregate axpanded shale, dan
dipakai untuk konstruksi kapal serta perahu. Beton ringan bertulang tersebut
mempunyai kekuatan 34,4 Mpa dan berat isi 1760 kg/m3. Penggunaan beton
ringan dalam berbagai konstruksi berkembang dengan cepat. Dalam pembuatan
beton ringan salah satu bahan yang digunakan adalah Styrofoam.
Styrofoam biasa dikenal sebagai gabus putih yang umumnya digunakan sebagai
I-3
sebagai gabus putih pembungkus barang - barang elektronik. Styrofoam
merupakan salah satu bahan material yang memiliki berat jenis yang rendah.
Selain harganya yang relatif murah, styrofoam atau expanded polystyrene
yang terbuat dari polisterin atau yang lebih dikenal dengan gabus putih kerap
menjadi limbah industri maupun limbah rumah tangga yang menjadi masalah
lingkungan karena sifatnya yang tidak dapat membusuk dan susah terurai di alam.
Dengan digunakannya styrofoam pada campuran beton, maka secara total
berat beton akan lebih ringan serta nilai guna styrofoam akan bertambah, namun
hal ini akan berpengaruh pada kekuatan beton tersebut seiring dengan
penambahan styrofoam pada campuran beton. Pada penelitian ini dipakai beton
styrofoam ringan pada balok beton bertulang untuk diteliti sifat mekanikanya.
Sifat mekanika beton yang dimaksud adalah kapasitas lentur balok, dan pola retak
pada balok. Berdasarkan uraian di atas maka disusunlah tugas akhir dengan judul
“Kapasitas Lentur Balok Beton Bertulang dengan menggunakan Styrofoam ”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, maka
dirumuskanlah permasalahan penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh penambahan Styrofoam 30%, terhadap kapasitas
lentur balok ?.
2. Bagaimana pola retak balok pada penambahan Styrofoam sebanyak
30% ?.
I-4
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penilitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis pengaruh penambahan Styrofoam pada kekuatan
lentur balok normal dan balok beton Styrofoam.
2. Untuk membandingkan pola retak antara balok beton normal dengan
balok beton ringan styrofoam.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penilitian ini adalah:
1. Memberi informasi mengenai kapasitas lentur balok beton bertulang
menggunakan styrofoam.
2. Dapat dijadikan bahan referensi mengenai persentase styrofoam yang
baik digunakan dalam campuran beton.
3. Mengurangi pencemaran lingkungan dengan memanfaatkan limbah
sebagai bahan pengganti agregat yang akan bernilai ekonomis.
1.5 Ruang Lingkup/ Batasan Masalah
Dalam penelitian yang dilakukan, ada beberapa lingkup masalah yang
dibatasi untuk mencapai maksud dan tujuan yaitu :
1. Desain tulangan yang digunakan tulangan utama 3D13 (tulangan bawah),
2ɸ8 (tulangan atas).
2. Styrofoam yang digunakan berdiameter 3 mm-5mm.
3. Berupa agregat halus (pasir) dari bili bili.
I-5
4. Air yang digunakan dalam penelitian adalah air tanah.
5. Cetakan benda uji kuat lentur balok terbuat dari pelat baja dengan ukuran
lebar 15 cm, tinggi 25 cm dan panjang 310 cm. Semen yang digunakan
adalah Semen Portland Pozolan produksi PT. Semen Tonasa.
6. Kondisi styrofoam yang digunakan dalam adukan beton adalah kondisi
kering.
7. Benda uji terdiri dari 2 balok normal, 2 balok SFC.
8. Mutu beton yang direncanakan yaitu fc’ 25 MPa dan penambahan styrofoam
30% terhadap volume beton.
9. Nilai faktor air semen digunakan dari nilai mix design yang didapatkan dari
perhitungan metode DOE.
10. Pengujian beton dilakukan setelah beton berumur 28 hari.
11. Pencampuran bahan dilakukan dengan menggunakan alat mixer agar
tercampur secara homogen.
12. Uji eksperimental dilakukan dengan beban vertikal berupa beban terpusat
ganda (two points load) simetris secara monotonik.
1.6 Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan tugas akhir ini, sistematika yang digunakan
adalah dengan membagi kerangka penulisan dalam bab dan sub bab dengan
maksud agar lebih jelas dan mudah dimengerti. Terdapat 5 (Lima) pokok bahasan
berturut-turut yaitu :
I-6
BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini menyajikan tentang gambaran umum mengenai latar belakang
pemilihan judul tugas akhir, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, batasan masalah, serta sistematika penulisan yang mengurai secara
singkat komposisi bab yang ada pada penulisan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan teori secara singkat dan gambaran umum mengenai
karakteristik beton, kapasitas lentur balok, dan Styrofoam atau expanded
polystyrene.
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menyajikan bahasan mengenai tahapan, pengumpulan data, bahan
penelitian, lokasi penelitian, dan pengujian yang dilakukan.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini menyajikan hasil analisis perhitungan data-data yang diperoleh dari
hasil pengujian serta pembahasan dari hasil pengujian yang diperoleh.
BAB V. PENUTUP
Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil analisis
masalah dan disertai dengan saran-saran yang diusulkan.
II - 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hasil Penelitian Sebelumnya
Beton normal merupakan bahan yang cukup berat, dengan berat sendiri
mencapai 2400 kg/m3. Untuk mengurangi beban mati pada suatu struktur beton
maka telah banyak dipakai jenis beton ringan. Menurut Standar Nasional
Indonesia 03-2847 tahun 2002, beton dapat digolongkan sebagai beton ringan jika
beratnya kurang dari 1900 kg/m3. Dalam membuat beton ringan tentunya
dibutuhkan material yang memiliki berat jenis yang ringan pula. Pada umumnya
berat jenis yang lebih ringan dapat dicapai jika berat beton diperkecil yang
berpengaruh pada menurunnya kekuatan beton tersebut. Pembuatan beton ringan
pada prinsipnya adalah membuat rongga di dalam beton. Semakin banyak rongga
udara dalam beton semakin ringan beton yang dihasilkan. Ada 3 macam cara
membuat rongga udara dalam beton, yaitu :
a. Yang paling sederhana yaitu dengan memberikan agregat ringan. Agregat
itu bisa berupa batu apung, styrofoam, batu alwa, atau abu terbang (fly ash)
yang dijadikan batu.
b. Menghilangkan agregat halus (agregat halus disaring, contohnya debu/abu
terbangnya dibersihkan).
c. Meniupkan atau mengisi udara di dalam beton. Cara ketiga ini terbagi lagi
menjadi secara mekanis dan secara kimiawi. Bahan campuran antara lain
II - 2
pasir kwarsa, semen, kapur, sedikit gypsum, air, dan dicampur alumunium
pasta sebagai bahan pengembang secara kimiawi.
Secara umum kandungan udara mempengaruhi kekuatan beton. Kekuatan
beton berkurang 5.5% dari kuat tekan setiap pemasukan udara 1% dari volume
campuran. Beton dengan bahan pengisi udara mempunyai kekuatan 10% lebih
kecil daripada beton tanpa pemasukan udara pada kadar semen dan workabilitas
yang sama (Murdock & Book, 1999). Pada beton dengan kekuatan menengah dan
tinggi, tiap 1% peningkatan kandungan udara akan mengurangi kekuatan tekan
beton sektar 5% tanpa perubahan air semen (Mehta, 1986). Pada penelitian ini
material tambahan yang digunakan adalah styrofoam.
2.2 Material Penyusun Beton Ringan Styrofoam
Pada umumnya, beton mengandung rongga udara sekitar 1% - 4%, pasta
semen (semen dan air) sekitar 25% - 40%, dan agregat (agregat halus dan agregat
kasar) sekitar 60% - 75% . Pencampuran bahan – bahan tersebut menghasilkan
suatu adukan yang mudah dicetak sesuai dengan bentuk yang diinginkan, karena
adanya hidrasi semen oleh air maka adukan tersebut akan mengeras dan
mempunyai kekuatan untuk memikul beban.
Material penyusun beton yang digunakan pada penelitian ini yakni Semen
PCC, agregat kasar dan halus, air, serta styrofoam dengan perbandingan variasi
yang berbeda - beda yakni 30% dan terhadap volume beton keseluruhan.
II - 3
2.2.1 Semen Portland Komposit
Semen Portland Komposit (semen PCC), cocok untuk bahan pengikat serta
direkomendasikan untuk penggunaan konstruksi umum dan bahan bangunan.
Semen PCC memenuhi kriteria SNI 15-7064-2004.
Gambar 2.1 Semen PCC
Semen adalah suatu jenis bahan yang memiliki sifat adhesi (adhesive) dan
kohesif (cohesive) yang memungkinkan melekatnya fragmen - fragmen mineral
menjadi suatu massa yang padat.
Semen portland komposit merupakan bahan pengikat hidrolis hasil
penggilingan bersama - sama terak semen portland dan gipsum dengan satu atau
lebih bahan anorganik. Bahan anorganik tersebut antara lain terak tanur tinggi
(blast furnace slag), pozolan, senyawa silikat, batu kapur, dengan kadar total
bahan anorganik 6-35% dari massa semen portland komposit. Semen portland
komposit dikategorikan sebagai semen ramah lingkungan dan digunakan untuk
hampir semua jenis konstruksi. Adapun Spesifikasi Semen Portland Komposit
II - 4
dapat dilihat pada tabet 2.1.
Tabel 2.1 Spesifikasi Semen Portland Komposit
Jenis Pengujian Satuan SNI 15 – 7064 - 2004 Semen Tonasa
(PCC)
Pengujian Kimia
SO3 Max 4.0 2.16
MgO Max 6.0 0.97
Hilang Pijar Max 5.0 1.98
Pengujian Fisika
Kehalusan
- Dengan Alat Belaine
- Sisa di atas ayakan 0.045 mm
m2/kg
%
Min 280
-
365
9.0
Waktu Pengikatan (Alat Vicast)
- Setting awal
- Setting akhir
Menit
Menit
Min. 45
Max. 375
120
300
Kekekalan dengan Autoclave
- Pemuaian
- Penyusutan
%
%
Max. 0.8
Max. 0.2
-
0.02
Kuat Tekan
- 3 hari
- 7 hari
- 28 hari
Kg/cm2
Kg/cm2
Kg/cm2
Min. 125
Min. 200
Min. 250
185
263
410
Panas Hidrasi
- 7 hari
- 28 hari
Cal/gr
Cal/gr
Max. 12
-
-
2.75
65.00
72.21
Kandungan Udara Mortar % Max. 12 5.25
(Sumber : PT. Semen Tonasa)
II - 5
Keunggulan dari semen PCC (Portland Composite Cement) yaitu lebih mudah
dikerja, suhu beton lebih rendah sehingga tidak mudah retak, permukaan acian
dan beton lebih halus, lebih kedap air, mempunyai kekuatan yang lebih tinggi
dibanding OPC (Ordinary Portland Cement). Hasil pengujian kimia dan
pengujian fisika dapat dilihat pada tabel 2.1.
2.2.2 Agregat
Mengingat bahwa agregat menempati 70-75% dari total volume beton maka
kualitas agregat sangat berpengaruh terhadap kualitas beton. Dengan agregat yang
baik, beton dapat dikerjakan (workable), kuat, tahan lama (durable), dan
ekonomis. Agregat yang digunakan dalam campuran beton dapat berupa agregat
alam atau agregat buatan (artificial aggregates). Secara umum, agregat dapat
dibedakan berdasarkan ukurannya, yaitu agregat kasar dan agregat halus.
Agregat yang baik dalam pembuatan beton harus memenuhi persyaratan,
yaitu (PBI, 1971) :
1. Harus bersifat kekal, berbutir tajam dan kuat.
2. Tidak mengandung lumpur lebih dari 5 % untuk agregat halus dan 1 %
untuk agregat kasar.
3. Tidak mengandung bahan-bahan organik dan zat-zat yang reaktif alkali.
4. Harus terdiri dari butir-butir yang keras dan tidak berpori.
A. Ageregat Halus
Dalam penelitian ini digunakan agregat halus yang berasal dari Sungai
Jeneberang, Sulawesi Selatan. Agregat halus dapat berupa pasir alam, pasir olahan
II - 6
atau gabungan dari kedua pasir tersebut. Ukurannya bervariasi antara No. 4 dan
No. 100 saringan standar Amerika.
Gambar 2.2 Pasir sungai
Agregat halus dapat digolongkan menjadi 3 jenis (Wuryati Samekto
2001:16):
1. Pasir Galian
Pasir galian dapat diperoleh langsung dari permukaan tanah atau dengan
cara menggali dari dalam tanah. Pada umumnya pasir jenis ini tajam,
bersudut, berpori, dan bebas dari kandungan garam yang membahayakan.
2. Pasir Sungai
Pasir sungai diperoleh langsung dari dasar sungai. Pasir sungai pada
umumnya berbutir halus dan berbentuk bulat, karena akibat proses gesekan
yang terjadi sehingga daya lekat antar butir menjadi agak kurang baik.
3. Pasir Laut
Pasir laut adalah pasir yang dipeoleh dari pantai. Bentuk butiran halus dan
bulat, karena proses gesekan. Pasir jenis ini banyak mengandung garam,
II - 7
oleh karena itu kurang baik untuk bahan bangunan. Garam yang ada dalam
pasir ini menyerap kandungan air dalam udara, sehingga mengakibatkan
pasir selalu agak basah, dan juga menyebabkan pengembangan setelah
bangunan selesai dibangun.
Agregat halus yang baik harus bebas bahan organik, lempung, partikel yang
lebih kecil dari saringan No. 100 atau bahan-bahan lain yang dapat merusak
campuran beton. (Edward G. Nawy hal : 14 )Agregat halus merupakan pasir alam
sebagai hasil disintegrasi ( alami ) batuan atau pasir yang dihasilkan oleh industri
pemecah batu dan mempunyai ukuran butir terbesar 5,0 mm. (SK SNI 03-2847-
2002).
B. Agregat Kasar
Gambar 2.3 Batu pecah (chipping)
Dalam penelitian ini digunakan agregat kasar yang berasal dari Sungai
Jeneberang, Sulawesi Selatan dengan ukuran diameter maksimum 20 mm.
Agregat kasar diperoleh dari alam dan juga dari proses memecah batu alam.
Agregat alami dapat diklasifikasikan ke dalam sejarah terbentuknya peristiwa
II - 8
geologi, yaitu agregat beku, agregat sediment dan agregat metamorf, yang
kemudian dibagi menjadi kelompok - kelompok yang lebih kecil. Agregat
pecahan diperoleh dengan memecah batu menjadi berukuran butiran sesuai yang
diinginkan dengan cara meledakan, memecah, menyaring dan seterusnya. Agregat
disebut agregat kasar apabila ukurannya sudah melebihi ¼ in ( 6 mm ).
Sifat agregat kasar mempengaruhi kekuatan akhir beton keras dan daya
tahannya terhadap disintegrasi beton, cuaca, dan efek-efek perusak lainnya.
Agregat kasar mineral ini harus bersih dari bahan-bahan organik, dan harus
mempunyai ikatan yang baik dengan gel semen. (Nawy 1998 : 13).
2.2.3 Air
Air adalah bahan dasar pembuatan beton. Berfungsi untuk membuat semen
bereaksi dan sebagai bahan pelumas antara butir-butir agregat. Pada umumnya air
minum dapat dipakai untuk campuran beton. Air yang mengandung senyawa-
senyawa yang berbahaya, yang tercemar garam, minyak, gula atau bahan kimia
lainnya, bila dipakai untuk campuran beton akan sangat menurunkan kekuatannya
dan dapat juga mengubah sifat-sifat semen. Selain itu air yang demikian dapat
mengurangi afinitas antara agregat dengan pasta semen dan mungkin pula
mempengaruhi kemudahan pengerjaaan. (Nawy 1998 : 12)
Air yang diperlukan dipengaruhi faktor-faktor yaitu :
1. Ukuran agregat maksimum : diameter membesar, maka kebutuhan air
menurun.
2. Bentuk butir : bentuk bulat, maka kebutuhan air menurun (batu pecah perlu
banyak air).
II - 9
3. Gradasi agregat : gradasi baik, maka kebutuhan air menurun untuk
kelecakan yang sama.
4. Kotoran dalam agregat : makin banyak silt, tanah liat dan lumpur, maka
kebutuhan air meningkat.
5. Jumlah agregat halus (dibandingkan agregat kasar) : agregat halus lebih
sedikit, maka kebutuhan air menurun. (Paul Nugraha 2007:74).
Adapun air yang digunakan pada penelitian ini adalah air PDAM yang
berada di Laboratorium Struktur dan Bahan Teknik Sipil Universitas Hasanuddin,
Gowa.
2.2.4 Styrofoam
Gambar 2.4 Styrofoam
Styrofoam yang memiliki nama lain polystyrene, begitu banyak digunakan
oleh manusia dalam kehidupannya sehari hari. Begitu Styrofoam diciptakan pun
langsung marak digunakan di Indonesia. Styrofoam pada umumnya digunakan
sebagai pembungkus barang elektronik dan makanan karena sifatnya yang tidak
mudah bocor, praktis dan ringan.
II - 10
Polystyrene ini dihasilkan dari styrene (C6H5CH9CH2) yang mempunyai
gugus phenyl yang tersusun secara tidak teratur sepanjang garis karbon dari
molekul. Styrofoam ini memiliki berat jenis sampai 1050 kg/m3, kuat tarik sampai
40 MN/m2, dan modulus lentur sampai 3 GN/m2, modulus geser sampai 0,99
GN/m2, angka poison 0,33 (Dharmagiri, I.B, dkk, 2008). Dalam bentuk butiran
(granular) expanded polystyrene mempunyai berat satuan sangat kecil yaitu 13-22
kg/m3. Sehingga expanded polystyrene dalam campuran beton sangat cocok
digunakan untuk mendapatkan berat jenis beton yang ringan.
Pada penelitian ini digunakan styrofoam dengan ukuran butir 3 mm – 5 mm.
Persentase penggunaan styrofoam sebesar 30% dari volume beton. Penetapan
persentase styrofoam berdasarkan penelitian variasi persentase styrofoam terhadap
volume beton normal untuk mendapatkan beton jenis beton ringan. (Agung, 2015)
dalam penelitiannya terhadap variasi persentase styrofoam 10%, 20%, 30% dan
50% yang mendapatkan berat jenis 1881 kg/m3 pada persentase styrofoam 30%.
Penelitian lainnya (Satyarno, 2006) menyatakan bahwa penambahan 30%
styrofoam meningkatkan kuat tarik lentur sebesar 1,21% terhadap kuat tarik lentur
pada penambahan 20% styrofoam.
Sifat– sifat Styrofoam :
1. Mempunyai berat jenis yang relatif ringan.
2. Tahan terhadap asam, basa, dan zat korosif.
3. Mempunyai titik leleh pada suhu 1020 - 1060 C.
4. Mampu menahan panas.
5. Dapat memperlambat timbulnya panas hidrasi.
II - 11
6. Dapat mengurangi beban gempa yang berkerja pada struktur.
Tabel 2.2 Spesifikasi expanded polystyrene/styrofoam
Spesifikasi
Ukuran butiran Styrofoam 3 mm – 5 mm
Berat jenis styrofoam (density) 13 – 22 kg/m3
Modulus young’s (E) 3000 – 3600 MPa
Kuat tarik styrofoam (tensile strength) 40 – 60 MPa
Specific heat styrofoam (c) 1,3 kJ/(kg.K)
Thermal conductivity styrofoam (k) 0,08 W/(m.K)
Sumber : Susanto, Ricki (2011)Analisis penambahan fly ash dalam campuran beton
dengan expanded polystyrene sebagai agregat ringan.
Penggunaan styrofoam dalam beton dapat dianggap sebagai rongga udara.
Namun keuntungan menggunakan styrofoam dibandingkan dengan rongga udara
dalam beton berongga adalah styrofoam mempunyai kuat tarik. Kerapatan atau
berat jenis beton dengan campuran styrofoam dapat diatur dengan mengontrol
jumlah campuran styrofoam dalam beton (Dharmagiri, I.B, dkk, 2008).
Menurut Tjokrodimulyo (1996) beton yang baik adalah jika beton tersebut
memiliki kuat tekan tinggi. Dengan kata lain bahwa mutu beton ditinjau hanya
dari kuat tekannya saja.
Beton ringan berdasarkan varian aggregatnya memiliki berbagai kekuatan
tekan yang berbeda-beda. Kuat tekan beton ringan berkisar antara 20 – 50 MPa,
sedang untuk beton normal berkisar antara 20 – 70 MPa. Beton ringan dapat
dibagi lagi dalam tiga golongan berdasarkan tingkat kepadatan dan kekuatan
II - 12
beton yang dihasilkan dan berdasarkan jenis aggregat ringan yang dipakai, beton
ringan dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu:
1. Beton insulasi (insulating concrete) yaitu beton ringan dengan berat
(density) antara 300 kg/m3 - 800 kg/m3 dan berkekuatan tekan berkisar 0,69
- 6,89 Mpa, yang biasanya dipakai sebagai beton penahan panas (insulasi
panas) disebut juga low density concrete. Beton ini banyak digunakan untuk
keperluan insulasi, karena mempunyai kemampuan konduktivitas panas
yang rendah, serta untuk peredam suara.
2. Beton ringan dengan kekuatan sedang (Moderate Streng th Concrete) yaitu
beton ringan dengan berat (density) antara 800 kg/m3 - 1440 kg/m3, yang
biasanya dipakai sebagai beton struktur ringan atau sebagai pengisi (fill
concrete). Beton ini terbuat dari aggregat ringan buatan seperti: terak (slag),
abu terbang (fly ash), lempung, batu sabak (slate), batu serpih (shale), dan
aggregat ringan alami, seperti pumice, skoria, dan tufa. Beton ini biasanya
memiliki kekuatan tekan berkisar 6,89 - 17,24 Mpa.
3. Beton Struktural (Structural Concrete) yaitu beton ringan dengan berat
(density) antara 1440 kg/m3 - 1850 kg/m3 yang dapat dipakai sebagai beton
struktural jika bersifat mekanik (kuat tekan) dapat memenuhi syarat pada
umur 28 hari mempunyai kuat tekan berkisar > 17,24 Mpa Untuk mencapai
kekuatan sebesar itu, beton ini dapat memakai aggregat kasar seperti
expanded shale, clays, slate, dan slag.
Pada penelitian ini digunakan expanded polystyrene yang memiliki ukuran
butiran sebesar 3 mm – 5 mm. Persentase penggunaan expanded polystyrene pada
II - 13
campuran beton bervariasi yaitu sebesar 30%, dan dari volume beton. Penetapan
persentase expanded polystyrene yang bervariasi dimaksudkan untuk mengetahui
sifat mekanik beton (kuat tekan, kuat tarik belah, serta kuat lentur) terbaik dalam
campuran beton.
Styrofoam pada penelitian ini diperoleh dari pabrik P.T Kemasan Cipta
Nusantara Makassar yang merupakan salah satu produsen kemasan dari styrofoam
yang berada di wilayah Makassar, Sulawesi Selatan.
Sifat-sifat utama beton yang berhubungan dengan kepentingan praktisnya
adalah mengenai kekuatan, karakteristik, tegangan-regangan, penyusutan dan
deformasi, respon terhadap suhu, daya serap air, dan ketahanannya. Diantara sifat-
sifat beton yang paling mendapat perhatian adalah kekuatan beton, karena hal
tersebut yang merupakan gambaran umum mengenai kualitas beton.
I Gusti Ketut Sudipta dan Ketut Sudarsana (2009) bahwa koefisien
permeabilitas beton mengalami peningkatan akibat meningkatnya persentase
penambahan butiran styrofoam dalam campuran beton.
Giri I.B.D., I Ketut S., & Ni Made T (2008) tentang “Kuat Tekan dan
Modulus Elastisitas Beton Dengan Penambahan Styrofoam (Styrocon)”
menyimpulkan bahwa penambahan butiran styrofoam pada campuran beton dapat
menambah kelecakan (workability); penambahan butiran styrofoam membuat
beton lebih ringan dibandingkan dengan beton normal dan pada penambahan 40%
butiran styrofoam, berat isi beton sebesar 1838,267 kg/m3 (tergolong beton
ringan); kuat tekan beton dan modulus elastisitas beton mengalami penurunan
dengan bertambahnya butiran styrofoam.
II - 14
Yasser (2014) tentang Pengaruh tulangan sistem rangka terhadap kekuatan
lentur pada balok beton berlapis styrofoam, hasil uji lentur salah satu jenis
sampelnya menunjukkan bahwa penambahan styrofoam 30 % pada daerah tarik
dan tulangan vertikal (BSC) menyebabkan peningkatan kekuatan lentur balok
sebesar 0,98 % atau relatif sama terhadap balok normal. Dan pada tulangan sistem
rangka (BSCTR) kekuatan lentur meningkat sebesar 24,4% terhadap balok
normal.
Yoppi Juli Priyono (2014) pada penelitiannya menyimpulkan bahwa pada
penambahan 1% stryofoam akan menurunkan berat volume beton rata-rata sebesar
12% dengan rincian campuran 1% (turun 13%) , 2% (turun 22%) , 3% (turun
32%). Selain hal tersebut penambahan stryofoam pada beton menurunkan kuat
tekan beton normal.
Subhan, Tengku Fitriani L. (2005) dalam penelitiannya tentang Compressive
and Tensile Strength of Expanded Polystyrene Beads Concrete menyimpulkan
bahwa peningkatan kadar butiranpolystyrene akan mengurangi kuat tekan dan
kuat tarik beton.
2.2.5 Kuat Tekan
Kuat Tekan merupakan suatu parameter yang menunjukkan besarnya beban
persatuan luas yang menebabkan benda uji hancur oleh gaya tekan tertentu. Kuat
tekan menjadi parameter untuk menentukan mutu dan kualitas beton yang
ditentukan oleh agregat, perbandingan semen, dan perbandingan jumlah air.
Pembuatan beton akan berhasil jika dalam pencapaian kuat tekan beton telah
II - 15
sesuai dengan yang telah direncanakan dalam mix design. Adapun hal-hal yang
mempengaruhi kuat tekan beton yaitu :
1. FAS atau faktor air semen, hubungan fas dengan kuat tekan beton adalah
semakin rendah nilai fas maka semakin tinggi nilai kuat tekan beton. Tetapi
pada kenyataannya pada suatu nilai fas tertentu semakin rendah nilai fas
maka kuat tekan beton akan rendah. Hal ini terjadi karena jika fas rendah
menyebabkan adukan beton sulit dipadatkan. Dengan demikian ada suatu
nilai optimal yang menghasilkan kuat tekan beton yang maksimal.
2. Umur beton, kekuatan beton akan bertambah sesuai dengan umur beton
tersebut. Kecepatan bertambahnya kekuatan beton dipengaruhi oleh fas dan
suhu perawatan. Semakin tinggi fas, maka semakin lambat kenaikan
kekuatan betonnya, dan semakin tinggi suhu perawatan maka semakin cepat
kenaikan kekuatan betonnya.
3. Jenis Semen, kualitas pada jenis-jenis semen memiliki laju kenaikan
kekuatan yang berbeda.
4. Efisiensi dari perawatan (curing), kehilangan kekuatan sampai 40% dapat
terjadi bila terjadi pengeringan terjadi sebelum waktunya. Perawatan adalah
hal yang sangat penting pada pekerjaan dilapangan dan pada pembuatan
benda uji.
5. Sifat agregat, dalam hal ini kekerasan permukaan, gradasi, dan ukuran
maksimum agregat berpengaruh terhadap kekuatan beton.
II - 16
2.2.6 Kuat Lentur
Kuat lentur beton adalah kemampuan beton untuk menahan gaya dengan
arah tegak lurus sumbu memanjang serat ditengah-tengah balok yang disangga
kedua ujungnya. Pada setiap penampang terdapat gaya-gaya dalam yang dapat
diuraikan menjadi komponen-komponen yang saling tegak lurus dan
menyinggung terhadap penampang tersebut. Komponen-komponen yang tegak
lurus terhadap penampang tersebut merupakan tegangan-tegangan lentur (tarik
pada salah satu sisi di daerah sumbu netral dan tekan pada sisi penampang
lainnya). Fungsi dari komponen ini adalah untuk memikul momen lentur pada
penampang.
Kuat lentur balok beton terjadi karena berlangsungnya mekanisme
tegangan-regangan yang timbul di dalam balok, pada keadaan tertentu dapat
diwakili oleh gaya-gaya dalam. Kuat lentur balok dikenal sebagai modulus runtuh
(modulus of rupture).
Seperti tampak pada gambar 2.3, di mana ND merupakan resultan gaya
tekan dalam dan merupakan resultan gaya tekan pada daerah yang berada diatas
garis netral. Sedangkan NT adalah merupakan resultan gaya tarik dalam dan
merupakan seluruh gaya tarik yang direncanakan untuk daerah yang berada di
bawah garis netral.
Resultan gaya tekan dalam dan resultan gaya tarik dalam arah garis kerjanya
sejajar, sama besar namun berlawan arah dengan jarak z sehingga membentuk
kopel momen tahanan dalam, dimana nilai maksimumnya disebut sebagai kuat
lentur (Istimawan; 1996).
II - 17
Gambar 2.3 Analisis Balok Bertulangan Rangkap
Langkah-langkah analisis balok persegi bertulangan rangkap:
a. Anggap bahwa tulangan tarik dan tulangan tekan telah leleh sehingga :
fs = fs’ = fy .................................................................. (2.1)
b. Dengan menggunakan persamaan pasangan kopel beton tekan dan tulangan
baja tarik dan tekan, tinggi balok tekan a dihitung dengan :
T = Cc + Cs …………………………………………………..(2.2)
As fy = (0.85f’c)ab + As’fy ........................................... (2.3)
a = (As - As ' ) fy = As1fy 0,85 fc’ b 0,85 fc’b…………………………...(2.4)
c. Tentukan letak garis netral c = a β1…………………………………………...(2.5)
d. Periksa regangan yang terjadi pada tulangan baja tekan dan baja tarik
dengan menggunakan diagram regangan.
ε’s = c – d’ . 0,003………………………………………(2.6) c
II - 18
εs = d – c . 0,003………………………………………...(2.7)
c
Dengan menganggap ε s ≥ ε y, yang berarti tulangan baja tarik telah leleh,
akan timbul salah satu dari kedua antara kondisi I dan kondisi II.
a. Kondisi I : εs’ ≥ εy, menunjukkan bahwa tulangan baja tekan leleh.
b. Kondisi II : εs’ ≤ εy, menunjukkan bahwa tulangan baja tekan belum leleh.
2.3 Hubungan Beban dan Lendutan
Hubungan beban - defleksi balok beton bertulang pada dasarnya dapat
diidealisasikan menjadi bentuk trilinier sebelum terjadi rupture seperti pada
diagram gambar 2.4 (Nawy, 2003):
lendutan
Gambar 2.4 Hubungan antara Beban dan Lendutan(Nawy, 2003)
Beb
an (k
N)
I II III
II - 19
Daerah I : Taraf praretak, dimana batang-batangnya strukturalnya bebas
retak. Segmen praretak dari kurva beban - defleksi berupa garis lurus yang
memperlihatkan perilaku elastis penuh.Tegangan tarik maksimum pada balok
lebih kecil dari kekuatan tariknya akibat lentur atau lebih kecil dari modulus
rupture ( fr) beton.
Daerah II : Taraf beban pascaretak, dimana batang-batang struktural
mengalami retak-retak terkontrol yang masih dapat diterima, baik distribusinya
maupun lebarnya. Balok pada tumpuan sederhana retak akan terjadi semakin lebar
pada daerah lapanga, sedangkan pada tumpuan hanya terjadi retak minor yang
tidak lebar. Apabila sudah terjadi retak lentur maka kontribusi kekuatan tarik
beton sudah dapat dikatakan tidak ada lagi. Ini berarti pula kekakuan lentur
penampangnya telah berkurang sehingga kurva beban –defleksi didaerah ini akan
semakin landai dibanding pada taraf praretak. Momen inersia retak disebut Icr.
Daerah III : Taraf retak pasca-serviceability, dimana tegangan pada
tulangan tarik sudah mencapai tegangan lelehnya. Diagram beban defleksi daerah
III jauh lebih datar dibanding daerah sebelumnya. Ini diakibatkan oleh hilangnya
kekuatan penampang karena retak yang cukup banyak dan lebar sepanjang
bentang. Jika beban terus ditambah, maka regangan εs pada tulangan sisi yang
tertarik akan terus bertambah melebihi regangan lelehnya εy tanpa adanya
tegangan tambahan. Balok yang tulangan tariknya telah leleh dikatakan telah
runtuh secara struktural. Balok ini akan terus mengalami defleksi tanpa adanya
penambahan beban dan retaknya semakin terbuka sehingga garis netral terus
mendekati tepi yang tertekan. Pada akhirnya terjadi keruntuhan tekan sekunder
II - 20
yang mengakibatkan kehancuran total pada beton daerah momen maksimum dan
segera diikuti dengan terjadinya rupture.
2.4 Retak pada Balok
Retak terjadi pada umumnya menunjukkan bahwa lebar celah retak
sebanding dengan besarnya tegangan yang terjadi pada batang tulangan baja tarik
dan beton pada ketebalan tertentu yang menyelimuti batang baja tersebut.
Meskipun retak tidak dapat dicegah, namun ukurannya dapat dibatasi dengan cara
menyebar atau mendistribusikan tulangan. Apabila struktur dibebani suatu beban
yang menimbulkan momen lentur masih lebih kecil dari momen retak maka
tegangan yang timbul masih lebih kecil dari modulus of rupture beton maka :
푓 = 0,70√f’c ………………………………………………. (2.8)
Apabila beban ditambah sehingga tegangan tarik mencapai 푓 , maka retak
kecil akan terjadi. Apabila tegangan tarik sudah lebih besar dari 푓 , maka
penampang akan retak.
Ada tiga kasus yang dipertimbangkan dalam masalah retak yaitu :
a. Ketika tegangan tarik 푓 <푓 , maka penampang dipertimbangkan untuk tidak
terjadi retak. Untuk kasus ini maka:
퐼 =1/12b.h³……………………………………………….. (2.9)
b. Ketika tegangan tarik 푓 =푓 , maka retak mulai timbul. Momen yang timbul
disebut momen retak dapat ditulis :
푀 = 푓 ……………………………………….. (2.10)
Dimana : c= h/2
II - 21
c. Apabila momen yang bekerja sudah lebih besar dari momen retak, maka
retak penampang sudah meluas. Untuk perhitungan digunakan momen
inersia retak (퐼 ), transformasi balok beton yang tertekan dan transformasi
dari tulangan n.퐴 .
Pada dasarnya ada tiga jenis keretakan pada balok (Gilbert, 1990):
1. Retak lentur (flexural crack), terjadi di daerah yang mempunyai harga
momen lentur lebih besar dan gaya geser kecil. Arah retak terjadi hampir
tegak lurus pada sumbu balok.
2. Retak geser (flexural shear crack), terjadi pada bagian balok yang
sebelumnya telah terjadi keretakan lentur. Retak geser lentur merupakan
perambatan retak miring dari retak lentur yang sudah terjadi sebelumnya.
3. Retak geser pada bagian balok (web shear crack), yaitu keretakan miring
yang terjadi pada daerah garis netral penampang dimana gaya geser
maksimum dan tegangan aksial sangat kecil.
Beton hanya mampu memikul regangan tarik yang relatif rendah sebelum
retak, setelah retak beton mengalami perpanjangan (elongation) dengan
melebarnya retakan dan pertambahan retakan yang baru. Dengan mengabaikan
regangan elastis yang kecil antar retakan, maka hubungan antara lebar retak
(crack width) dan regangannya dapat ditulis :
.…………………………………………(2.11)
dimana :
Wm = lebar retak rata-rata
εcf = regangan tarik
mcfm SW .
II - 22
Sm = spasi rata-rata retakan
Retak utama (primary crack) terbentuk setelah tegangan tarik pada serat tepi
beton mencapai kuat tarik beton, dan pada daerah sekitar retakan beton akan bebas
dari tegangan (stress-free-zone). Bila jarak maksimum dari tulangan ke serat tepi
luar dinyatakan sebagai Cmaks, maka :
..3 maksm CS ………………………………………….......... (2.12)
Ada beberapa ketentuan untuk menentukan lebar dan spasi retak yaitu :
a. Lebar retakan berdasarkan SKSNI T-15-1993-03
b. Lebar dan spasi retakan menurut CEB-FIP Code (1978)
c. Lebar retak menurut Gergely – Lutz
d. Spasi retakan menurut Collins dan Mitchell (1991)
Adapun lebar menurut SK SNI T-15-1991-03 lebar retakan dapat dihitung
seperti pada persamaan 14.
3 ..11 AdfW csh ……………………………………………… (2.13)
dimana :
W = lebar retak dalam mm x 10-6
βh = perbandingan lebar retak pada penampang tak bertulang terhadap lebar
retak penampang bertulang, mulai dari lubang retak ke garis netral. SKSNI
menetapkan nilai βh = 1,2
fs = tegangan pada tulangan, diambil sebesar fs = 0,6 fy
dc = jarak antara titik berat tulangan utama sampai ke serat tarik terluar
II - 23
A = penampang potongan tarik efektif yang berada disekeliling tulangan,
dimana letak dari tulangan sentris terhadap penampang tersebut. Untuk
pada persamaan 15. balok nilai A diambil :
nbdA c.2
…………………………………………………... (2.14)
n = jumlah batang tulangan perlebar balok (b)
III-1
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian dan Desain Penelitian
3.1.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini selain kajian pustaka, juga dilakukan uji eksperimental
tentang kapasitas lentur balok styrofoam. Untuk mencapai tujuan penelitian ini,
maka perlu direncanakan tahapan pelaksanaan. Tahapan - tahapan yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah :
1. Uji material dan mix design beton
Pengujian ini terdiri dari pemeriksaan aggregat halus, aggregat kasar, air
dan semen. Mix desain beton f’c = 25 MPa dengan perhitungan sesuai SNI
03-3449-2002 tentang tata cara pembuatan campuran beton ringan dengan
agregat ringan.
2. Uji karakteristik baja tulangan
Pengujian ini meliputi pengujian kuat tarik tulangan ∅8 dan D13 yang akan
digunakan sebagai tulangan memanjang. Adapun tulangan geser
menggunakan tulangan ∅8. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui
tegangan leleh dan modulus elastisitas baja.
3. Uji kuat tekan
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kuat tekan beton yang telah
mengeras dengan benda uji berbentuk selinder.
III-2
4. Uji kuat lentur
Untuk mengetahui kuat lentur beton (modulus of rupture) dengan benda uji
balok berdimensi lebar 15 cm, tinggi 25 cm dan panjang 310 cm. Pembebanan
dilakukan pada ½ bentang atau 1/3 bentang agar diperoleh lentur murni (tanpa
gaya geser).
5. Pengujian balok utama
Dimensi dan tulangan balok dianalisa dengan metode kekuatan batas
(ultimate strength design) dan pengujian balok dilakukan dengan instrumen
standar pengujian balok eksperimental.
Sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui kapasitas lentur balok mbeton
bertulang dengan mengguankan Styrofoam sebanyak 30% dari volume beton
normal maka untuk mencapai tujuan tersebut akan dilakukan pengujian lentur.
3.1.2 Desain Benda Uji
Diketahui:
1. Kuat tekan beton f’c = 25 MPa
2. Tegangan leleh bajaa. D13 = 460 MPa
θ 8 = 349 Mpa
3. Modulus elastisitas baja Es = 200.000 MPa
4. Berat jenis beton = 24 kN/m3
5. Selimut beton (SNI-03-2847-2002, 7.7)d’ = 25 mm
6. Beban satuan P = 20 kN
III-3
3.1.3 Rancangan Benda Uji untuk Penelitian Karakteristik Lentur
1. Untuk mencapai keruntuhan lentur, maka balok dibuat menjadi balok
panjang.
2. Keruntuhan yang diinginkan adalah keruntuhan lentur lebih dahulu terjadi
sebelum keruntuhan geser.
3. Untuk memastikan bahwa keruntuhan geser tidak terjadi maka dipasang
tulangan geser lebih banyak ( beban keruntuhan geser 2 x beban keruntuhan
lentur).
Untuk keperluan pengujian karakteristik lentur balok, digunakan balok panjang
dengan dimensi :
Tinggi balok b = 150 mm.
Lebar balok h = 250 mm.
Tinggi efektif d = 175 mm.
Panjang balok L = 310 mm.
Digunakan tulangan longitudinal:
As = 324,03 mm2 ===> 3 D 13 = 339,12 mm2 > 324,03 mm2 .
As’ = 54,20 mm2 ===> 2 8 = 56,52 mm2 > 54,20 mm2.
Vu = 2(1/2 qL + P) = 41,8 kN.
Digunakan Sengkang :
∅ 8 – 8,5 cm.
∅ 8 – 17,5 cm (pada tengah bentang).
III-4
0.3 0.3 0.95 0.95 0.6
(a) Desain balok untuk pengujian lentur.
(b) Penampang balok untuk pengujian lentur.
Gambar 3.1 Desain balok dan penampang balok untuk pengujian lentur.
310
8 – 8,5
2 8
3 D13 A
A
B
B
12,5 12,5
8 – 17,5
potongan A-A
15 2 8 15
8–17,5 8–8,5 22,5
Beton normal f’c=25 MPa
3 D13
12,5
12,5
potongan B-B
25
perletakan
III-5
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Bahan dan Struktur Gowa,
Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. Waktu penelitian
berlangsung selama kurang lebih 5 bulan dari tanggal 5 Mei sampai tanggal 18
Oktober.
3.3 Alat dan Bahan Penelitian
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah :
- Universal testing Machine kapasitas 1000 KN untuk uji tekan dan tarik
belah menggunakan standar ASTM C39-94. dan uji modulus elastisitas
beton menggunakan standar ASTM C469-94.
- Alat uji lentur. Balok yang akan dilakukan pengujian lentur diletakkan pada
loading frame. Pada tengah bentang diletakkan seperangkat alat
pembebanan balok :
a. Actuator yaitu alat untuk memberi beban dengan kapasitas 80 kN
b. Load cell kapasitas 500 kN
c. Hydraulic ram berfungsi sebagai jack pemberi beban.
d. Data logger dan seperangkat komputer yaitu alat untuk merekam data yang
diukur oleh strain gauge, lvdt dan load cell.
- Alat ukur regangan baja. Strain gauge tipe FLA-2-11 (gauge factor 2,12 ±
1%) dipasang pada tulangan longitudional daerah tarik tengah bentang.
- Alat ukur regangan beton. Strain gauge tipe PFL-60-11( gauge factor 2,09 ±
1%).
III-6
- Alat ukur lendutan. LVDT (Linier Variable Displacement Tranducer)
dengan ketelitian 0,01 mm.
- Alat pendeteksi lebar retak.
- Cetakan silinder ukuran 10 cm x 20 cm.
- Cetakan balok ukuran 10 cm x 10 cm x 40 cm.
- Cetakan balok ukuran 15 cm x 25 cm x 310 cm.
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu :
- Semen Portland Komposit (Portland Composite Cement, PCC)
- Agregat halus dan kasar berasal dari Bili-Bili.
- Tulangan ulir D13 dan polos 8 produksi PT. Barawaja.
- Styrofoam 3 mm – 5 mm.
3.4 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Uji material dan mix design beton
Pengujian ini terdiri dari pemeriksaan aggregat halus, aggregat kasar, air
dan semen. Mix desain beton f’c = 25 MPa dengan perhitungan sesuai
metode DOE.
2. Uji karakteristik baja tulangan
Pengujian ini meliputi pengujian kuat tarik tulangan polos ∅8 dan ulir D13
yang akan digunakan sebagai tulangan memanjang. Adapun tulangan geser
III-7
juga menggunakan tulangan polos ∅8. Pengujian ini bertujuan untuk
mengetahui tegangan leleh dan modulus elastisitas baja.
3. Uji kuat tekan
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kuat tekan beton yang telah
mengeras dengan benda uji berbentuk selinder.
APf ci '
1
''1
2
Nff
Sn
cri
………………………………….. (3.1)
Sff crc 64.1''
dimana:
P = beban maksimum (N)
A = luas penampang selinder (mm2)
S = standar deviasi
f’ci = kuat tekan setiap sampel (MPa)
f’cr = kuat tekan rata-rata (MPa)
f’c = kuat tekan beton yang disyaratkan (MPa)
4. Uji kuat tarik belah
Pengujian tarik belah (splitting test) ini dilakukan untuk mengetahui kuat
tarik belah (ft) beton yang telah mengeras dengan benda uji berbentuk
selinder.
LDPf t
2. …………………………………………………. (3.2)
dimana:
III-8
ft = kuat tarik belah (MPa)
D = diameter selinder (mm)
L = panjang selinder (mm)
5. Uji Modulus Elastisitas
Dengan semakin berkembangnya penggunaan beton ringan, dipandang perlu
untuk menyertakan kerapatan ( density ) pada penetapan Modulus Elastisitas
bahan beton. Sesuai dengan SNI-03-1726-2002 dan SNI-03-2847-2002 di
gunakan rumus – rumus nilai modulus elastisitas beton yaitu :
Ec = 0,043Wc1,5 √fc’` ............................................ (3.3)
Di mana :
Ec = Modulus Elastisitas beton tekan ( Mpa )
Wc = Berat isi beton tekan ( Mpa )
fc’ = Kuat tekan beton ( Mpa )
Untuk beton kepadatan normal dengan berat isi ± 23 KN/m3 Ec boleh di
ambil sebesar 4700 √f’c.6.
6. Uji kuat lentur untuk mengetahui kuat lentur beton (modulus of rupture)
dengan benda uji balok berdimensi lebar 15 cm, tinggi 25 cm dan panjang
310 cm.
III-9
3.5 Kerangka Prosedur Penelitian
Gambar 3.2 Kerangka Prosedur Penelitian
Uji kuat tekan benda uji
ya
tidak
Pembahasan dan Kesimpulan
Kajian Pustaka
Teori Dasar dan Jurnal
Persiapan
Desain, Bahan dan Alat Pengujian
Beton Normal f’c 25 Mpa dan Styrofoam
Uji karakteristik material, Mix design / buat sampel
Baja Tulangan
Menentukan : fy, Es.
Mulai
Desain / Pembuatan Balok dan Perawatan
Pengujian Lentur Balok
- Setting-Up Instrumen - Pengukuran Lendutan dan Lebar Retak
Hasil Tes dan Pengolahan Data
Selesai
f’c ≥ 25 MPa
III-10
3.6 Variabel Penelitian
Variabel balok lentur (15 cm x 25 cm x 310 cm) yang akan diteliti bisa
dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Variabel Benda Uji
NO.
KODE PROFIL BALOK
1.
Balok
Normal
2.
Balok Styrofoam
III-11
Adapun penempatan strain gauge untuk mengukur regangan beton, baja
tulangan dan C seperti pada Gambar 3.3
(a). Penempatan strain gauge beton
(b). Penempatan strain gauge baja
(c). Penempatan LVDT
Gambar 3.3 Penempatan strain gauge beton,strain gauge baja, dan LVDT
IV-1
1 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil pengujian Agregat
Pengujian agregat dilakukan di Laboratorium Struktur dan Bahan Jurusan
Sipil Fakutas Teknik Universitas Hasanuddin. Pengujian agregat didasarkan.pada
standar ASTM. Hasil rekapitulasi pengujian agregat dapat dilihat pada Tabel 4.1.
4.1.1 Agregat Halus
Pengujian karakteristik agregat didasarkan pada SNI. Hasil pengujian dapat
dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Rekapitulasi Hasil Pengujian Agregat Halus
NO KARAKTERISTIK
AGREGAT
INTERVAL
SPESIFIKASI
HASIL
PENGAMATAN KETERANGAN
1 Kadar lumpur
Maks 5 % 3.00% Memenuhi
2 Kadar organic
< NO. 3 NO. 1 Memenuhi
3 Kadar air
2% - 5% 2.04% Memenuhi
4 Berat volume
a. Kondisi
lepas 1.6 - 1.9 kg/liter 1.46 Memenuhi
b. Kondisi padat
1.6 - 1.9 kg/liter 1.51 Memenuhi
5 Absorpsi
Maks 2% 1.01% Memenuhi
6 Berat jenis
spesifik
a. Bj. Curah
1.6 - 3.3 2.40 Memenuhi
b. Bj. Kering Permukaan 1.6 - 3.3 2.43 Memenuhi
c. Bj. Semu
1.6 - 3.3 2.46 Memenuhi
7 Modulus kehalusan
1.50-3.80 2.56 Memenuhi
4.1.2 Agregat Kasar Ket : Agregat dicuci terlebih dahulu sebelum diuji
IV-2
4.1.2 Agregat Kasar
Pengujian karakteristik agregat didasarkan pada SNI. Hasil pengujian dapat
dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Rekapitulasi Hasil Pengujian Agregat Kasar
NO. KARAKTERISTIK AGREGAT
INTERVAL SPESIFIKASI
HASIL PENGAMATAN KETERANGAN
1 Kadar lumpur 0.2% - 1% 0.30% Memenuhi
2 Kadar air 0.5% - 2% 1.01% Memenuhi
3 Berat volume
a. Kondisi lepas 1.6- 1.9 kg/liter 1.63 Memenuhi
b. Kondisi padat 1.6- 1.9 kg/liter 1.67 Memenuhi
4 Absorpsi maks 4% 3.31% Memenuhi
6 Berat jenis spesifik
a. Bj. Curah 1.6 - 3.3 2.49 Memenuhi
b. Bj. Kering Permukaan 1.6 - 3.3 2.58 Memenuhi
c. Bj. Semu 1.6 - 3.3 2.72 Memenuhi
7 Modulus kekasaran 6.0 - 7.1 6.72 Memenuhi
Agregat dicuci terlebih dahulu sebelum diuji
Pada Tabel 4.2 menunjukkan hasil pengujian karakteristik agregat kasar
yang diperoleh melalui tahap pengujian berdasarkan pada SNI. Hasil pengujian
karakteristik agregat kasar telah memenuhi spesifikasi 4.1.3 Komposisi Mix
Design.
IV-3
4.1.3 Komposisi Mix Design
Dari hasil pemeriksaan material dan hasil perhitungan mix design beton,
diperoleh komposisi agregat dan faktor air semen dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Komposisi kebutuhan bahan campuran beton untuk 1 m3
No Jenis Beton Berat (Kg) Kerikil Pasir Semen Air Styrofoam
1 Beton Normal 911.91 535.80 489.38 230.69 -
2 Beton styrofoam 30% 689.79 326.59 489.38 230.69 2.474
4.1.4 Metode Pengecoran Balok Beton Bertulang
Langkah-langkah pembuatan benda uji
1. Alat-alat yang akan digunakan dibersihkan terlebih dahulu, kemudian
menimbang bahan-bahan yang akan digunakan sesuai dengan komposisi
hasil mix design.
2. Menyiapkan molen yang bagian dalamnya sudah dilembabkan. Kemudian
pertama-tama tuangkan agregat kasar, agregat halus, dan semen. Aduk
hingga ketiga bahan tersebut tercampur merata.
3. Setelah ketiga bahan tersebut tercampur rata, masukkan air sedikit demi
sedikit (untuk beton normal), dan styrofoam (untuk beton styrofoam) secara
bergantian sesuai dengan variasi yang telah ditentukan.
4. Setelah tercampur rata, dilakukan uji slump untuk mengukur tingkat
workability adukan.
Sumber: Hasil Pengujian- Laboratorium Struktur & Bahan
IV-4
5. Apabila nilai slump telah memenuhi spesifikasi, selanjutnya adukan beton
dituangkan ke dalam cetakan.Agar beton menjadi padat, metode yang
dilakukan dengan vibrator untukbalok normal, sedangkan pada balok
styrofoam pemadatan dilakukan secara manual dengan tongkat pemadat
diameter 16 mm dan panjang 600 mm.
6. Diamkan selama 24 jam.
7. Setelah 24 jam, cetakan dibuka kemudian dilakukan perawatan beton.
Adapun Bagan alir metode pengecoran balok beton bertulang dapat dilihat pada
Gambar 4.1 (a). serta proses pengecoran pada Gambar 4.2 (b).
Tidak Ya
Memenuhi Spesifikasi
Perawatan Beton ≥ 28 hari
(a). Bagan alir metode pengecoran balok beton betulang
Persiapan alat dan
bahan
Balok beton bertulang siap diuji
Diamkan selama 24 jam, setelah itu cetakan dibuka
Adukan beton dituangkan ke dalam cetakan dengan cara dipadatkan.
Uji Slump test
Melakukan Mix/ mencampur alat dan bahan dengan menggunakan molen
IV-5
(b). Proses pengecoran balok beton bertulang
Gambar 4.1 Bagan Alir Proses pengecoran balok beton bertulang
4.1.5 Karakteristik Beton Normal dan Styrofoam Fill Concrete
Benda uji silinder dan balok beton diuji pada umur 28 hari.Pada gambar
berikut adalah pengujian silinder beton BN dan SFC menggunakan Universal
Testing Machine.
IV-6
Gambar 4.2 Pengujian silinder beton umur 28 hari
Adapun karakteristik beton normal dan styrofoam fill concrete (SFC) dalam
penelitian ini seperti ditampilkan pada Tabel 4.4.
IV-7
Tabel 4.4. Karakteristik Beton Normal dan SFC.
Parameter Beton Normal SFC Reduksi
Kuat tekan (f’c) 27,74 MPa 13,12 MPa 52,5 %
Berat Jenis (Wc) 22,86 Kg/m3 1881 Kg/m3 17,7 %
Kuat Tarik Belah (ft) 3,74 MPa 2 MPa 46,0 %
Kuat lentur (fr) 6,13 MPa 4,24 MPa 30,0 %
Modulus elastisitas (Ec) 22467,8 MPa 14967,9 MPa 33,4 %
Poison ratio (μ) 0.20 0.19 5 % Sumber: Hasil Pengujian- Laboratorium Struktur & Bahan Jurusan Sipil
Dari Tabel diatas terlihat bahwa kuat tekan SFC mengalami reduksi sebesar
52,5 % dibandingkan dengan BN karena semakin ringan berat jenis beton maka
kuat tekannya juga semakin kecil, penggunaan 30% styrofoam mengurangi berat
jenis beton sampai 17,7% dari berat jenis beton normal. Begitu pula dengan kuat
tarik belah turun sebesar 46 % dari beton normal karena styrofoam merupakan
bahan kedap air dan permukaan bahan yang licin sehingga lekatannya dengan
pasta beton kurang baik. Kuat lentur turun sebesar 30 % dan modulus elastisitas
33,4 %. Hal ini berarti penambahan styrofoam sebesar 30 % dapat menyebabkan
terjadinya penurunan kekuatan atau mutu beton dengan kata lain dapat diketahui
bahwa penurunan berat jenis beton diikuti oleh penurunan kekuatan beton.
Turunnya nilai modulus elastisitas SFC dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah kuat tekan beton. Makin rendah kuat tekannya maka modulus
elastisitasnya juga makin kecil, dimana perubahan panjang yang terjadi akibat
pembebanan tekan akan makin besar.
IV-8
Pengujian kuat tekan beton menggunakan mesin UTM kapasitas 1000 KN.
Adapun hasil perhitungan kuat beton rata-rata dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Kuat Tekan Beton(MPa)
Volume Styrofoam (%)
Umur Pengujian (Hari)
Kuat Tekan Beton Rata-Rata (Mpa)
0
7
14
28
20.94
24.25
27.74
30
7
14
28
8.21
11.03
13.12
Sumber: Hasil Pengujian- Laboratorium Struktur & Bahan
Dari Tabel 4.5 menunjukkan bahwa kuat tekan beton meningkat seiring
dengan bertambahnya umur beton. Hal ini disebabkan karena proses hidrasi pada
pasta semen yang terus meningkat dan memperkuat ikatan antara material. Namun
penambahan volume styrofoam akan menurunkan kuat tekan beton secara
signifikan yang disebabkan bobot styrofoam yang sangat ringan, sehingga
styrofoam dianggap sebagai rongga udara pada beton.
4.2 Pola Sebaran Butiran Styrofoam
Adapun pola sebaran styrofoam dalam beton dapat dilihat pada hasil core
drill balok SFC seperti tampak pada Gambar 4.3.
IV-9
Gambar 4.3 Pola sebaran styrofoam dalam beton
Pada Gambar 4.3 terlihat butiran styrofoam tersebar merata pada balok, dan
tidak mengalami perubahan bentuk butiran (tidak menyusut). Beton styrofoam
terlihat padat tanpa rongga walaupun metode pemadatannya tidak menggunakan
vibrator.
Untuk itu perlu juga diketahui bagaimana selanjutnya kekuatan balok SFC
apabila diaplikasikan pada beton bertulang dengan perencanaan tulangan under
reinforced menggunakan baja ulir.
Diharapkan ada pengaruh yang signifikan terhadap perilaku lentur balok
SFC pada saat dikombinasikan dengan tulangan baja ulir.
4.3 Pengujian Tarik Baja Tulangan
Hasil Pemeriksaan kuat tarik baja tulangan dapat dilihat pada Tabel 4.6.
IV-10
Tabel 4.6 Hasil pengujian tarik baja tulangan
Diameter Sampel
Fy (MPa)
fs maks (MPa)
Regangan ԑs
Es
MPa
θ 8
349
469
0,0025
187,77
D13
460
606
0.0021
288,72 Sumber : Hasil olahan data
4.4 Hasil Analisis Kapasitas Beton Bertulang dengan Menggunakan
Styrofoam Fill Concrete
Pengujian balok beton dilakukan saat umur beton 28 hari. Pengujian balok
ini dilakukan dengan meletakan balok diatas 2 tumpuan dan dibebani 2 beban
terpusat. Pembebanan dilakukan secara bertahap sampai balok runtuh. Adapun
data-data yang diambil pada penelitian ini adalah beban saat terjadi retakan
pertama, beban pada saat tulangan mengalami leleh, beban ultimit dan lendutan
pada beton. Nilai lendutan diperoleh dari pembacaan LVDT yang diletakkan di
bawah specimen balok seperti terlihat pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Alat Static Frame Loading untuk pengujian lentur
IV-11
Balok mempunyai karakteristik utama yaitu lentur.Dengan sifat tersebut,
balok merupakan elemen bangunan yang dapat diandalkan untuk menangani
momen lentur.
Pengujian balok lentur pada penelitian ini dibuat benda uji dengan dimensi
balok: lebar 150 mm, tinggi 250 mm dan panjang 3.100 mm, tulangan utama tarik
dan tekan 2 Ø 8 mm dan 3 D13 mm, tulangan sengkang Ø 8 – 100 mm sebanyak 4
buah balok dengan 2 variasi. Balok beton bertulang tersebut diletakkan pada
loading frame yang kuat dan ditumpu sendi – rol pada kedua ujungnya.Bentang
bersih balok 2500 mm, dan dibebani secara simetris pada titik sejauh 950 mm dari
masing-masing tumpuan.
Pembebanan statik dilakukan dengan hydraulic jack, secara bertahap dengan
interval kenaikkan beban sebesar 1 kN dan kecepatan pertambahan beban 0,1
kN/detik sampai beban maksimum. LVDT untukmengukur defleksi dipasang pada
tiga titik dibawah balok tepatnya pada titik two point loading dan tengah
bentangnya.
Data hasil pengujian kemampuan balok normal dan balok SFC dalam
menahan beban dan besarnya lendutan yang terjadi dapat dilihat dalam Tabel 4.7
Tabel 4.7 Beban – lendutan pada balok
Balok Retak awal (kN)
Beban leleh (kN)
Ultimit (kN)
Lendutan tengah bentang
cr (mm)
cr (mm)
cr (mm)
BN 1 12,66 55,34 56,67 1,58 10,15 10,48 BN 2 10,00 55,84 59,51 1,06 11,28 12,84
Rata-rata 11,33 55,59 58,09 1,32 10,71 11,66 BSFC 1 15,17 63,51 64,34 1,91 12,88 16,42 BSFC 2 24,50 64,84 66,51 3,99 11,38 15,51
Rata-rata 19,88 64,18 65,43 2,95 12,14 15,97
Sumber: Hasil olahan data
IV-12
Dari Tabel 4.7 terlihat kekuatan ultimit rata-rata balok terhadap uji lentur
menunjukkan terjadinya peningkatan kekuatan balok SFC sebesar 11,21%
terhadap balok normal.
4.4.1 Kapasitas Momen
A. Kapasitas Momen pada balok Normal
Pada Tabel 4.8 ditampilkan perbandingan besarnya kapasitas momen yang
terjadi pada kondisi awal retak, kondisi tulangan leleh dan kondisi ultimit antara
perhitungan desain dan hasil penelitian laboratorium pada balok normal.
Kapasitas momen pada balok normal terdapat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Hasil analisa momen pada balok normal
Kondisi Teori Hasil Penelitian
BN rata-rata
P(kN) Momen
(kNm) P (kN)
Momen
(kNm) Awal retak (Mcr) 9,32 5,468 11,336 6,424 Awal Leleh (My) 54,28 26.82 55,595 27,586 Beban Ultimit (Mu) 74,46 36,413 58,095 27,636
Pada Tabel 4.8 analisa kapasitas momen balok BN pada pengujian kapasitas
lentur balok. Kondisi retak awal terjadi pada beban 11,336kN dengan kapasitas
momen sebesar 6,424 kNm, hasil ini kurang lebih sesuai dengan hasil perhitungan
teoritis. Demikian pada kondisi kapasitas momen pada saat terjadi kondisi beban
leleh.Hasil ini sedikit berbeda dengan analisa desain yang menghasilkan beban
lebih tinggi yaitu 74,46 kN, dan Mu sebesar 36,41 kNm.Sedangkan Nilai Mu
pada hasil uji 58,095 dan Mu sebesar 27,636 kNm.
Sumber : Hasil olahan data
IV-13
Secara garis besar, momen kapasitas pada kondisi awal retak dan tulangan
leleh data analisa desain dan hasil pengujian penelitian relatif sesuai.
B . Kapasitas Momen Pada Balok Styrofoam
Pada Tabel 4.9 perbandingan besarnya kapasitas momen yang terjadi pada
kondisi awal retak, kondisi tulangan leleh dan kondisi ultimit antara perhitungan
desain dan hasil penelitian laboratorium pada balok dengan Penambahan
Styrofoam sebesar 30%.
Tabel 4.9 Hasil analisa momen pada balok Styrofoam
Kondisi
Teori Hasil Penelitian BN rata-rata
P
(kN)
Momen
(kNm)
P
(kN)
Momen
(kNm)
Awal retak (Mcr)
5,39
3,82
19,88 9,534
Awal leleh baja (My) 32,77
29,31
64,180 31,309
Beban ultimit (Mu) 62,24 30,389 65,430 31,902
Pada Tabel 4.9 analisa kapasitas momen balok Styrofoam pada pengujian
kapasitas lentur balok. Kondisi retak awal terjadi pada beban 19,88 kN dengan
kapasitas momen sebesar 9,534 kNm, hasil ini kurang lebih, sesuai dengan hasil
perhitungan teoritis. Demikian pada kondisi kapasitas momen pada saat terjadi
kondisi beban leleh dan kondisi pada beban ultimit
Sumber: Hasil olahan data
IV-14
4.4.2 Hubungan Beban dan Lendutan
A. Hubungan Beban dan Lendutan pada Balok Normal
Pada Tabel 4.10 perbandingan besarnya beban, lendutan dan yang terjadi
pada kondisi awal retak, kondisi tulangan leleh dan kondisi ultimit antara hasil
perhitungan desain dan hasil penelitian laboratoriump ada balok normal.
Tabel 4.10 Analisa beban lendutan BN
Kondisi Teori Hasil Penelitian
BN rata-rata
P (kN) δ(mm) P (kN) δ(mm)
Awal retak (Mcr)
9,32
1,20 11,336 1,32
Awal leleh baja (My) 54,28 2,00 55,595 10,715
Beban ultimit (Mu) 74,46 4,17 58,095 11,66
Sumber : Hasil Olahan Data
Pada Tabel 4.10 analisa beban-lendutan balok BN pada pengujian kapasitas
lentur balok, kondisi retak awal terjadi pada beban 11,336 kN, Hasil ini lebih
besar dari analisa desain yaitu 9,322 kN dengan lendutan kurang lebih mendekati
antara desain dan hasil uji yaitu 1,32 mm. Pada kondisi tulangan leleh, hasil
pengujian diperoleh beban 55,595 kN kurang lebih sesuai dengan hasil analisa
desain yaitu 54,28 kN. Demikian juga lendutan sesuai dengan hasil perhitungan
teoritis. Pada kondisi ultimit, hasil pengujian diperoleh beban puncak 58,095 kN,
lendutan 11,66 mm.
Secara garis besar, beban pada kondisi awal retak dan tulangan leleh data
analisa desain dan hasil pengujian penelitian relatif sesuai, hanya pada beban
IV-15
ultimit yang berbeda, dimana hasil uji BN hanya mencapai 71,83 % dari hasil
beban desainnya.
B. Hubungan Beban dan Lendutan pada Balok Styrofoam
Pada Tabel 4.11 perbandingan besarnya beban, lendutan dan yang terjadi
pada kondisi awal retak, kondisi tulangan leleh dan kondisi ultimit antara
perhitungan desain dan hasil penelitian laboratorium pada balok dengan
penambahan Styrofoam sebanyak 30% dari volume beton.
Tabel 4.11 Analisa beban lendutan balok SFC
Kondisi
Teori Hasil Penelitian
SFC rata-rata
P (kN) Δ
(mm) P (kN)
Δ
(mm)
Awal retak (Mcr)
5,39
0,63 19,838 2,95
Awal leleh baja (My) 32,77 3,24 64,180 12,14
Beban ultimit (Mu) 62,24 6,05 65,430 15,97
Sumber : Hasil Olahan data
Pada Tabel 4.11 pengujian kerakteristik lentur balok SFC kondsi retak awal
terjadi pada beban rata-rata 19,838 kN, atau persentase kenaikan terhadap beban
desain sebesar 72.412 %.Pada kondisi tulangan leleh, hasil pengujian diperoleh
beban 64,180 kN lebih besar 95,8 % dari hasil analisa desain yaitu 32,770 kN dan
lendutan lebih besar dari teori yaitu 12,14 mm . Pada kondisi ultimit, hasil
pengujian menunjukkan kesesuaian antara hasil uji dan hasil desain.
IV-16
C. Perbandingan Balok Styrefoam dan Balok Normal
Dari tabel tiap - tiap variasi balok yang terlihat pada Gambar 4.10 dan
Gambar 4.11 maka diperoleh data seperti pada Tabel 4.12.
Tabel 4.12 Hubungan beban dan lendutan pada Balok BN dan Balok SFC
Tipe
Beban (kN) Lendutan (mm)
Pcr Py Pu Δcr Δy Δu
BN 11,336 55,595 58,095 1,32 10,715 11,66
BSFC 19,838 64,180 65,430 2,95 12,14 15,97
Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium Struktur dan Bahan
Tabel 4.12 menjelaskan peningkatan kapasitas beban seiringan dengan
penambahannStyrofoam sebanyak 30%. Dimana pada Balok normal kapasitas
beban maksimumnya yaitu sebesar 58,095 kN dengan lendutan sebesar 11,66 mm.
Setelah diberi penambahan 30% Styrefoam yaitu pada Balok SFC, kapasitas
beban maksimal meningkat sebesar 65,430kN dengan lendutan sebesar 15,97 mm.
Hubungan kapasitas beban dan lendutan pada penambahan Styrofoam
sebesar 30% dari volume beton terlihat juga pada gambar 4.5.
IV-17
0
10
20
30
40
50
60
70
0 5 10 15
beba
n(kN
)
lendutan(mm)
BN
SFC
Gambar 4.5 Perbandingan grafik beban-lendutan
Pada Gambar 4.5 kuat lentur rata-rata BN pada saat retak awal lebih rendah
dari balok SFC.Karena sifat BN yang lebih getas bila dibandingkan dengan SFC
sehingga BN lebih cepat mengalami retak.
Kemudian pada saat tulangan leleh, BN juga menunjukkan kekuatan lentur
yang lebih rendah.
Pada saat beban ultimit, kuat lentur balok Normal sebesar 58,095 kN dengan
lendutan 11,66 mm sedangkan beban ultimit balok SFC sebesar 65,430 kN
dengan lendutan sebesar 15,97 mm, lebih besar dari balok normal kemungkinan
karena penggunaan styrofoam dan tulangan baja ulir menjadikan struktur balok
lebih daktail sehingga meningkatkan kekuatannya dalam menahan lentur. Dari
kurva tersebut dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu : jika mutu beton lebih
IV-18
tinggi, maka modulus elastisitasnya akan semakin besar sehingga beton bersifat
lebih getas (brittle); sedangkan beton dengan kekuatan lebih rendah lebih ductile
(ulet) daripada beton berkekuatan lebih tinggi, artinya beton tersebut akan
mengalami regangan yang lebih besar sebelum mengalami kegagalan (failure).
Presentase Peningkatan kapasitas beban balok normal terhada balok
Styrofoam dapat lebih detail dilihat pada Tabel 4.13.
Tabel 4.13 Persentase Peningkatan Kapasitas Beban
Tipe Beban (kN) Persentase Peningkatan
Pcr Py Pu Pcr Py Pu BN 11,336 55,595 58,095 - - -
BSFC 19,838 64,180 65,430 42,85% 13,376% 11,21%
Dari Tabel 4.13 menjelaskan persentase peningkatan kapasitas beban balok
BN dan balok SFC seiring dengan penambahan Styrofoam sebanyak 30%.
Pada beban ultimit pada tabel 4.9 diperoleh momen ultimit dan persentase
peningkatan momen ultimit terhadap balok kontrol yang dapat dilihat pada tabel
4.14.
Tabel 4.14 Persentase Peningkatan Kapasitas Momen
Tipe
Beban Ultimate (kN)
Momen Ultimate (kNm)
% kekuatan balok terhadap balok kontrol
BN 58,095 27,636 -
BSFC 65,180 31,902 13.372%
Sumber: Hasil olahan data
Sumber: Hasil Pengujian- Laboratorium Struktur & Bahan
IV-19
0
10
20
30
40
50
60
70
-200-150-100-500
Beba
n (k
N)
Regangan tekan beton pada balok normal (10-6)
Dari Tabel 4.14 menjelaskan persentase peningkatan kapasitas beban seiring
dengan penambahan styrofoam sebanyak 30%.
4.4.3 Hubungan Beban, Regangan dan Tegangan
A. Hubungan Beban dan Regangan pada Balok Normal
Hubungan beban dan regangan yang ditinjau,adalah regangan tekan beton
dan regangan tarik baja pada kondisi awal retak,kondisi tulangan leleh dan kondisi
ultimit.
Gambar 4.6 Hubungan Beban dan Regangan tekan Beton
Pada Balok Normal
IV-20
0
10
20
30
40
50
60
70
0 100 200 300 400 500 600 700
Beba
n (k
N)
Regangan tarik baja pada balok normal (10-6)
Pada Gambar 4.6 menjelaskan hubungan beban dan regangan tekan beton
Balok Normal. Pada kondisi retak awal 11,336 kN, regangan yang terjadi sebesar
31 x 10-6 sedangkan pada kondisi leleh 55,595 kN regangannya sebesar 173 x 10-6
dan regangan yang terjadi pada kondisi ultimit 58,095 kN sebesar 180 x 10-6.
Sedangkan hubungan beban dan regangan tarik beton pada Balok Normal dapat
dilhat pada Gambar 4.7.
Gambar 4.7 Hubungan Beban dan Regangan Tarik Beton
pada Balok Normal
Gambar 4.7 menjelaskan hubungan beban dan regangan tarik Balok
Normal. Pada kondisi retak awal 11.336 kN regangan yang terjadi sebesar 39 x
10-6 sedangkan pada kondisi leleh 55,595 regangan yang terjadi sebesar 575 x 10-6
dan regangan yang terjadi pada kondisi ultimit 58,095 sebesar 635 x 10-6.
IV-21
0
10
20
30
40
50
60
70
-180-160-140-120-100-80-60-40-200
Beba
n (k
N)
Regangan tekan beton pada balok SFC (10-6)
B. Hubungan Beban dan Regangan pada Balok Styrofoam
Hubungan beban dan regangan yang ditinjau,adalah regangan tekan beton
dan regangan tarik baja pada kondisi awal retak,kondisi tulangan leleh dan kondisi
ultimit.
Gambar 4.8 Hubungan Beban dan Regangan Tekan Beton
pada Balok Styrofoam
Pada Gambar 4.8 menjelaskan hubungan beban dan regangan beton pada
balok Styrofoam. Pada kondisi retak awal 19,838 kN regangan yang terjadi
sebesar 78 x 10-6 sedangkan pada kondisi leleh 64,180 kN regangan yang terjadi
sebesar 157 x 10-6 dan regangan yang terjadi pada kondisi ultimit 65,430 kN
sebesar 166 x 10-6.. Hubungan beban dan regangan tarik pada baja dapa dilihat
pada Gambar 4.9.
IV-22
0
10
20
30
40
50
60
70
0 200 400 600 800 1000 1200
Beba
n (k
N)
Regangan tarik baja pada balok SFC (10-6)
Gambar 4.9 Hubungan Beban dan Regangan Tarik Beton pada Balok SFC
Pada Gambar 4.9 menjelaskan hubungan beban dan regangan beton SFC.
Pada kondisi retak awal 19,838 kN regangan yang terjadi sebesar 393 x 10-6
sedangkan pada kondisi leleh 64,180 kN regangan yang terjadi sebesar 980 x 10-6
dan regangan yang terjadi pada kondisi ultimit 65,430 kN sebesar 1008 x 10-6.
C. Hubungan Tegangan dan Regangan pada Balok Normal
Hubungan tegangan dan regangan yang terjadi pada beton balok normal
dapat dilihat pada Gambar 4.10.
IV-23
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
-200-150-100-500
Tega
ngan
(Mpa
)
Regangan tekan beton pada balok normal (10-6))
Gambar 4.10 Hubungan Tegangan dan Regangan Tekan Beton
pada Balok Normal
Gambar 4.10 menjelaskan regangan sebesar 31 x 10-6 memiliki tegangan
sebesar 0,302 MPa. Sedangkan pada regangan sebesar 173 x 10-6 , tegangan yang
diperoleh sebesar 1,482 MPa dan pada saat regangan 180 x 10-6 tegangan yang
dihasilkan sebesar 1,549 MPa. Gambar 4.11 menjelaskan hubungan beban dan
tegangan yang terjadi pada Balok Normal.
IV-24
0
10
20
30
40
50
60
70
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8
Beba
n (k
N)
Tegangan pada beton ( MPa)
Gambar 4.11 Hubungan Beban dan Tegangan Beton pada Balok Normal
Pada gambar 4.11 mejelaskan hubungan antara beban dan tegangan pada
kondisi awal retak, kondisi leleh, dan kondisi ultimit berbanding lurus. Dimana
semakin besar beban maka tegangan yang diperoleh juga semakin besar.
D. Hubungan Tegangan dan Regangan pada Balok SFC
Hubungan tegangan dan regangan yang terjadi pada beton Balok
SFC dapat dilihat pada Gambar 4.12.
IV-25
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
-180-160-140-120-100-80-60-40-200
Tega
ngan
( M
pa)
Regangan tekan beton pada balok SFC (10-6)
Gambar 4.12 Hubungan Tegangan dan Regangan Tekan Beton
pada Balok Styrofoam
Gambar 4.12 menjelaskan regangan sebesar 78 x 10-6 memiliki tegangan
sebesar 0,529 MPa. Sedangkan pada regangan sebesar 130 x 10-6 tegangan yang
diperoleh sebesar 1,471 MPa dan pada saat regangan 166 x 10-6 tegangan yang
dihasilkan sebesar 1,744 MPa.Gambar 4.13 menjelaskan hubungan beban dan
tegangan yang terjadi pada Balok Styrofoam.
IV-26
0
10
20
30
40
50
60
70
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2
Beba
n (k
N)
Tegangan pada beton (MPa)
Gambar 4.13 Hubungan Beban dan Regangan Tekan Beton
pada Balok Styrofoam
Pada gambar 4.13 mejelaskan hubungan antara beban dan tegangan pada
kondisi awal retak, kondisi leleh, dan kondisi ultimit berbanding lurus. Dimana
semakin besar beban maka tegangan yang diperoleh juga semakin besar.
4.4.4 Analisis Momen - kurvatur
A. Momen- Kurvatur pada Normal (BN)
Tabel 4.15. Analisa momen - kurvatur rata-rata balok BN
Kriteria Mcr Фcr My Фy Mu Фu
(kNm) 1/mm (10-
5) (kNm) 1/mm (10-5) (kNm) 1/mm (10-5)
Desain 5,469 0,119 15,26 2,58 33,57 5,13
Aktual 6,425 0,218 27,467 2,324 28,636 4,93 Sumber : Olahan data
IV-27
Dari Tabel 4.15 di atas dapat dilihat hubungan momen kurvatur pada
pengujian lentur balok BN bahwa hasil perhitungan desain maupun hasil
pengujian pada saat awal retak tidak nampak perbedaan yang signifikan, kecuali
momen lentur pada kondisi tulangan leleh ada perbedaan pada momen desain dan
hasil pengujian dimana momen balok hasil uji melampaui momen desain sebesar
79,99% . Kemudian pada kondisi beban ultimit, momen lentur hasil uji yang
dicapai hanya 82,77% dari momen lentur desain.
B. Momen- kurvatur pada Balok SFC
Tabel 4.16. Analisa momen - kurvatur rata-rata balok SFC
Kriteria Mcr Фcr My Фy Mu Фu
(kNm) 1/mm (10-5) (kNm) 1/mm (10-5) (kNm) 1/mm (10-5)
Desain 3,961 0,118 14,920 2,77 28,403 4,26
Aktual 9,751 0,227 31,526 2,80 32,119 3,00
Sumber : Olahan Data
Dari Tabel 4.16 di atas menunjukkan hubungan momen kurvatur pada
pengujian lentur balok SFC bahwa hasil perhitungan desain sesuai dengan hasil
pengujian laboratorium, kemudian kurvatur pada kondisi ultimit berkurang 42%
dari kurvatur desain.
Untuk jelasnya ditunjukkan pada Gambar 14 berikut menunjukkan
perbandingan momen kurvatur antara BN, SFC dan hasil penelitian.
IV-28
BN Ɛc=0,003 21.3As' a=42.9579 136928.00 46244
c= 50.538
189.5As
Ɛs=0,00953 46244136928.00
d =
211
mm
0
5
10
15
20
25
30
35
0 1E-09 2E-09 3E-09 4E-09 5E-09 6E-09
Mom
en (k
Nm
)
Kurvatur (rad/mm)
Bn
SFC
Gambar 4.14. Momen kurvatur BN dan BSFC
Adapun Perbedaan blok tegangan antara BN dan SFC dapat dilihat pada gambar
4.15 dan gambar 4.16. Secara analisis blok tegangan dihitung berdasarkan
persamaan 2.1 hingga persamaan 2.7.
Gambar 4.15 Distribusi Tegangan-regangan Teori pada balok normal.
IV-29
BN Ɛc=0,00104 23.6As' a=38,72 136928.00 46244
c= 45,55
191.6As
Ɛs=0,002 46244
SFC Ɛc=0,002053 11.2As' C=136928 46244
c=96,3 a=81,85
z=170,07As
Ɛs=0,00214 T=136928 46244
136928.00d
= 21
1 m
md
= 21
1 m
m
Gambar 4.16 Distribusi Tegangan-regangan pada hasil uji laboratorium.
4.4.5 Analisa Retak dan Lebar Retak
A. Analisa Retak
Analisa lebar retak dilakukan dengan 3 cara sesuai perolehan data, yaitu :
a. Perhitungan lebar retak berdasarkan data perencanaan balok (desain).
b. Pengukuran retak secara langsung pada pengujian lentur balok (hasil).
c. Perhitungan berdasarkan hasil pengujian lentur balok, dimana besarnya
beban saat retak awal dihitung kembali untuk memperoleh pusat
transformasi penampang, yaitu nilai yb dan ya.
B. Panjang dan Lebar Retak
Panjang dan lebar retak yang diperoleh pada hasil uji terdapat pada Tabel
4.16.
IV-30
Tabel 4.16 Panjang dan lebar retak hasil uji lentur
Balok Awal Retak Awal Leleh Baja Beban Ultimit
P (mm) L (mm) P (mm) L (mm) P (mm) L (mm)
BN 50,20 0,23 100,00 0,52 170,80 0,61
SFC 30,00 0,04 90,60 0,39 160,50 1,13
Sumber: Hasil Pengujian- Laboratorium Struktur & Bahan Jurusan Sipil
Tabel 4.16 memperlihatkan panjang (P) dan lebar retak (L) pada masing
masing balok setelah pengujian.Panjang dan lebar retak terjadi pada beban yang
berbeda-beda, setiap balok mempunyai besaran beban disaat kondisi crack, leleh
dan ultimit.
Retak tertinggi terjadi pada balok normal dibandingkan dengan balok
SFC.Pada awal retak, lebar retak balok normal lebih besar 15% dari balok SFC,
artinya balok normal bersifat lebih getas sebaliknya balok SFC lebih fleksibel
dalam menahan retak yang terjadi akibat pembebanan.
Pada saat beban ultimit, tinggi retak pada balok normal lebih besar namun
lebar retaknya masih lebih kecil 0,24% dari balok SFC. Tetapi hal itu disebabkan
karena balok SFC menanggung beban ultimit yang lebih besar.
Tabel 4.17 Analisa lebar retak
Balok Lebar retak
Desain Hasil BN1 0,27 0,4 BN2 0,27 0,82 SFC1 0,26 1,11 SFC2 0,26 1,15
Sumber: Hasil Pengujian- Laboratorium Struktur & Bahan Jurusan Sipil
IV-31
Pada Tabel 4.17 analisa lebar retak pada balok berdasarkan data hasil
pengujian dan data desain.
4.4.6 Pola Retak
Pengamatan pola retak dilakukanterhadap benda uji pada saat beban retak
pertama sampai beban retak maksimum. Pengamatan pola retak hanya pada satu
sisi balok dengan asumsi bahwa pola retak yang terjadi sama setiap sisinya.
Adapun pola retak yang terjadi pada balok normal dan balok Styrofoam bisa
dilihat pada Gambar 4.17 hingga Gambar 4.18.
Gambar 4.17 Retak lentur balok BN Gambar 4.18 Retak lentur balok BSFC
Gambar 4.19 Pola retak balok BN 1
Terjadi retak lentur
Terjadi retak lentur
IV-32
Gambar 4.20 Pola retak balok BN 2
Gambar 4.21 Pola retak balok BSFC 1
Gambar 4.22 Pola retak balok BSFC 2
Menurut Mccromac (2001), retak lentur adalah retak vertikal yang
memanjang dari sisi tarik dan mengarah keatas sampai daerah sumbu netral. Pola
retak yang terjadi pada semua benda uji balok pengujian ini adalah pola retak
lentur, hal ini dilihat dengan adanya retak-retak yang arah rambatannya vertical
dari sisi tarik menuju ke garis netral balok.
V - 1
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan :
1. Perilaku lentur balok pada semua benda uji mengalami retak lentur pada 1/3
bentang. Retak Pertama pada balok BN terjadi lebih lambat dibandingkan
pada balok BSFC. Namun kapasitas memikul beban pada balok BN lebih
rendah dibandingkan balok BSFC.
2. Pengaruh penambahan Styrofoam 30% dari volume beton terhadap lentur
balok mampu meningkatkan kapasitas beban sebesar 11.21 %.
3. Pola retak pada seluruh benda uji menunjukkan pola retak lentur (flexural
crack). Hal ini ditunjukkan dengan arah retakan vertikal dari daerah tarik
balok menuju ke daerah tekan.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka diajukan beberapa saran berikut :
1. Diperlukan penelitian lanjutan, balok beton bertulang Styrofoam dengan
variasi penambahan Styrofoam untuk memperbaiki sifat - sifat yang lain,
seperti : ketahanan terhadap api, zat kimia dan, lain sebagainya.
2. Untuk menghindari terjadinya cacat beton antara tulangan, penggunaan
vibrator harus dilakukan secara tepat.
Daftar Pustaka
Akkas, Abdul Majid, 1996, Rekayasa Bahan / Bahan Bangunan, Jurusan Sipil,
Makassar
Departemen Pekerjaan Umum, 1971, Peraturan Beton Bertulang Indonesia (PBI
1971), Departemen Pekerjaan Umum, Bandung.
Departemen Pekerjaan Umum, 2002, Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk
Bangunan Gedung dengan Standar SK SNI 03-2487-2002, Badan Standarisasi
Nasional
Dharmagiri, I.B, dkk. 2008. Kuat Tekan dan Modulus Elastisitas Beton dengan
Penambahan Styrofoam (Styrocon), Jurnal Ilmiah Teknik Sipil, Vol 12 No. 1
Giri I.B.D., I Ketut S., dan Ni Made T. 2008. Kuat Tekan dan Moduus Elastisitas
Beton dengan Penambahan Styrofoam (Styrocon). Jurnal Ilmiah T.Sipil
Vol.12, No.1,Jan 2008.
I Gusti Ketut Sudipta dan Ketut Sudarsana.2006.Permeabilitas Beton dengan
Penambahan Styrofoam. Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 13, No. 2, Juli
2009.
Istimawan Dipohusodo. 1999, Struktur Beton Bertulang Berdasarkan SK SNI T-15-
1991-03 Departemen Pekerjaan Umum RI. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Murdock, L.J, Brook,K.M. Concrete Material and Practice, Edward Arnold,
5thed.,1984.
Nawy,E.G. 1998, Beton Bertulang Suatu Pendekatan Dasar, Refika Aditama,
Bandung.
Paul Nugraha, Antoni. 2007. Teknologi Beton. Penerbit C.V Andi Offset,
Yogyakarta
Samekto, Wuriyati dan Rahmadianto, Candra. 2001, Teknologi Beton, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
Lampiran Dokumentasi
Persiapan pengujian benda Uji
Proses saat pengujain berlansung
Setalah Pengujian
Alat Pengujian