Trauma Maksilofasial

11
Trauma Maksilofasial Fraktur muka dibagi menjadi: Fraktur tulang hidung Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma Fraktur tulang maksila Fraktur tulang orbita Fraktur tulang mandibula. Trauma muka dapat menyebabkan beberapa komplikasi, antaranya adalah obstruksi saluran napas, perdarahan, gangguan pada vertebra servikalis atau terdapatnya gangguan fungsi saraf otak. Penanganan khusus pada trauma muka, harus dilakukan segera (immediate) atau pada waktu berikutnya (delayed). Penanggulangan ini tergantung kepada kondisi jaringan yang terkena trauma. Pada periode akut setelah terjadi kecelakaan, tidak ada tindakan khusus untuk fraktur muka kecuali mempertahankan jalan napas, mengatasi perdarahan dan memperbaiki sirkulasi darah serta cairan tubuh. Tindakan reposisi dan fiksasi definitif bukan tindakan life-saving. Anatomi

description

trauma mf

Transcript of Trauma Maksilofasial

Page 1: Trauma Maksilofasial

Trauma Maksilofasial

Fraktur muka dibagi menjadi:

Fraktur tulang hidung Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma Fraktur tulang maksila Fraktur tulang orbita Fraktur tulang mandibula.

Trauma muka dapat menyebabkan beberapa komplikasi, antaranya adalah obstruksi saluran napas, perdarahan, gangguan pada vertebra servikalis atau terdapatnya gangguan fungsi saraf otak. Penanganan khusus pada trauma muka, harus dilakukan segera (immediate) atau pada waktu berikutnya (delayed).

Penanggulangan ini tergantung kepada kondisi jaringan yang terkena trauma. Pada periode akut setelah terjadi kecelakaan, tidak ada tindakan khusus untuk fraktur muka kecuali mempertahankan jalan napas, mengatasi perdarahan dan memperbaiki sirkulasi darah serta cairan tubuh. Tindakan reposisi dan fiksasi definitif bukan tindakan life-saving.

Anatomi

Page 2: Trauma Maksilofasial

Manifestasi KlinisPada penderita trauma muka dapat timbul beberapa kelainan seperti

Kerusakan jaringan lunak (edema, kontusio, ekskoriasi, laserasi dan avulsi) Emfisema subkutis Rasa nyeri Deformitas yang dapat dilihat atau diperiksa dengan cara perabaan Epistaksis Obstruksi hidung yang disebabkan timbulnya hematom pada septum nasi, fraktur septum atau

dislokasi septum Gangguan pada mata (diplopia, ekimosis pada konjungtiva, abrasi kornea) Gangguan saraf sensoris berupa anestesia atau hipestesia dari ketiga cabang nervus cranialis kelima, Gangguan saraf motorik Trismus Maloklusi Kebocoran cairan cerebrospinalis Krepitasi tulang hidung, maksila dan mandibula.

Fraktur Tulang HidungJika hanya fraktur tulang hidung sederhana dapat dilakukan reposisi fraktur tersebut dalam analgesia lokal. Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga hidung. Kerusakan atau kelainan pada kulit dari hidung diusahakan untuk diperbaiki atau direkonstruksi.

Gejala dan Tanda :

Epistaksis Pembengkakan mukosa hidung Hematoma / dislokasi / deviasi septum dapat dilihat dengan atau tanpa rhinoskopi anterior Robekan mukosa hidung Ada bekuan darah

Pemeriksaan :

Palpasi Ada krepitasi

Fraktur tulang zigoma dan arkus zigomaTulang zigoma ini dibentuk oleh bagian yang berasal dari tulang temporal, tulang frontal, tulang sfenoid dan tulang maksila.

Gejala dan Tanda :

Pipi menjadi lebih rata Diplopia Edema periorbiat Perdarahan subkonjungtiva Hipestesia atau anestesia Emfisema subkutis Epistaksis Nyeri sewaktu berbicara atau mengunyah Trismus (Gejala ini timbul karena terdapatnya perubahan letak dari arkus zigoma terhadap prosesus

koronoid dan otot temporal)

Pemeriksaan Fisik :

Palpasi depresi dari arkus zigoma

Page 3: Trauma Maksilofasial

Fraktur Tulang MaksilaJika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan untuk mendapatkan fungsi normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuan tindakan penanggulangan ini adalah untuk memperoleh fungsi normal pada waktu menutup mulut atau oklusi gigi dan memperoleh kontur muka yang baik. Harus diperhatikan juga jalan napas serta profilaksis kemungkinan terjadinya infeksi. Edema faring dapat menimbulkan gangguan pada jalan napas sehingga mungkin dilakukan tindakan trakeostomi. Perdarahan hebat yang berasal dari arteri maksilaris interna atau arteri ethmoidalis anterior sering terdapat fraktur maksila dan harus segera diatasi. Jika tidak berhasil dilakukan pengikatan arteri maksilaris interna atau arteri karotis eksterna atau arteri etmoidalis anterior. Jika kondisi pasien cukup baik sesudah trauma tersebut, reduksi fraktur maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali kerusakan pada tulang sangat hebat atau terdapatnya infeksi. Reduksi fraktur maksila mengalami kesulitan jika pasien datang terlambat atau kerusakan sangat hebat yang disertai dengan fraktur servikal atau terdapatnya kelainan pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang timbul harus diperiksa dan dilakukan fiksasi.

Fraktur maksila Le Fort IPada fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal bagian bawah antara maksila dan palatum. Garis fraktur berjalan ke belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral atau bilateral. Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah trauma dari anteroposterior bawah dapat mengenai nasomaksila, bagian bawah lamina pterigoid, anterolateral maksila, palatum durum, dasar hidung, septum, apertura piriformis. Gerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan jari pada saat pemeriksaan palpasi. Garis fraktur yang mengarah ke vertikal, yang biasanya terdapat pada garis tengah, membagi muka menjadi dua bagian.

Gambar 3.1 fraktur maksila Le Fort I

Fraktur maksila Le Fort II Pada fraktur maksila Le Fort II (fraktur piramid) berjalan melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan menyebrang ke bagian atas dari sinus maksila juga ke arah lamina pterigoid sampai ke fossa pterigopalatina. Fraktur pada lamina kribriformis dan atap sel etmoid dapat merusak sistem lakrimalis.

Gambar 3.2 fraktur maksila Le Fort II

Fraktur maksila Le Fort III

Page 4: Trauma Maksilofasial

Pada fraktur maksila Le Fort III (craniofacial dysjunction) garis fraktur berjalan melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang taut etmoid melalui fisura orbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke orbita, sutura zigomatiko frontal dan sutura temporo-zigomatik. Fraktur Le Fort III ini biasanya bersifat kominutif yang disebut kelainan dishface. Fraktur maksila Le Fort III ini sering menimbulkan komplikasi intrakranial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak melalui atap sel etmoid dan lamina kribriformis.

Gambar 3.3 fraktur maksila Le Fort III

Fraktur Tulang Orbita Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbita terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor.

Gejala dan Tanda :

Enoftalmus Exoftalmus Diplopia Asimetris pada wajah Gangguan saraf sensoris

Fraktur Tulang Mandibula Fraktur tulang mandibula adalah kedua terbanyak dari fraktur wajah.

Gejala dan Tanda :

Maloklusi Nyeri pada pergerakan rahang Pembengkakan Laserasi pada kulit yang meliputi mandibula Anestesi pada bibir bawah atau gusi Gangguan jalan nafas bila terjadi kerusakan hebat pada mandibula seperti perubahan posisi,

hematoma, edema jaringan lunak

DiagnosisSebuah riwayat trauma yang lengkap dibutuhkan, mulai dari kapan kejadian, penyebab trauma, bagaimana mekanisme kejadiannya, pertolongan pertama yang sudah dilakukan dan jumlah perdarahan. Sebuah riwayat trauma yang lengkap akan berpengaruh terhadap jenis dan waktu perawatan terjadi serta hasil akhirnya.

Nilai lokasi, panjang dan kedalaman dari robekan dari wajah. Robekan, memar, terbakar berdampak merusak struktur yang lebih dalam. Bila ada hal tersebut, lakukan pemeriksaan teliti terhadap regio di sekitarnya. Selalu diasumsikan terdapat fraktur di bawah luka robekan atau memar sampai pemeriksaan klinis dan hasil radiologis membuktikannya.

Pemeriksaan fisik yang akurat dimulai dengan inspeksi bagian wajah simetris atau tidak. Perbandingan kedua sisi muka amat penting dan dapat digunakan referensi dari foto pasien. Setelah semua dilakukan inspeksi, dilanjutkan dengan palpasi dengan jari-jari di atas kelopak mata, hidung, arcus zigomatikus, dan batas-batas mandibula.

Page 5: Trauma Maksilofasial

Pada pemeriksaan intraoral lakukan palpasi regio maksila dan mandibula, kemudian waspadai ada tidaknya pecahan gigi atau kehilangan gigi. Rahang dinilai dari gerakannya ke lateral atau ke depan belakang. Rasa lunak yang terlokalisasi atau pergerakan yang abnormal mengindikasikan adanya fraktur. Sensasi di daerah wajah dinilai.

Pemeriksaan intranasal mengidentifikasi robekan, hematoma dan area obstruksi dari dalam hidung. Mengalirnya cairan jernih dari hidung menunjukan rhinorrhea dari cairan cerebrospinal dan penting untuk kemungkinan fraktur di fossa anterior cranium dan dapat juga mengenai daerah cribiformis.

Penggunaan CT Scan dan foto roentgen sangat membantu menegakkan diagnosa, mengetahui luasnya kerusakan akibat trauma, dan perawatan. CT scan pada potongan axial maupun coronal merupakan gold standard pada pasien dengan kecurigaan fraktur zigoma, untuk mendapatkan pola fraktur, derajat pergeseran, dan evaluasi jaringan lunak orbital. Secara spesifik CT scan dapat memperlihatkan keadaan dari midfasial, seperti nasomaxillary, zygomaticomaxillary, infraorbital, zygomaticofrontal, zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal.Penilaian radiologis dari foto polos dapat menggunakan foto waters, caldwel, submentovertek dan lateral. Dari foto waters dapat dilihat pergeseran pada tepi orbita inferior, maksila, dan zigoma. Foto caldwel dapat menunjukkan region frontozigomatikus dan arkus zigomatikus. Foto submentovertek menunjukkan arkus zigomatikus.

Pemeriksaan Fisik :

Pemeriksaan fisik wajah diperlukan, karena beberapa cedera mudah terjadi. Bagian dari pemeriksaan

khusus untuk tulang wajah ditandai dengan asterisk.

Inspeksi simetris wajah, cara yang mudah untuk melakukannya adalah dengan melihat kebawah dari

ujung atas tempat tidur.

Inspeksi luka terbuka untuk mencari benda asing dan meraba untuk cedera tulang.

Palpasi struktur tulang supraorbital dan tulang frontal untuk fraktur step-off.

Seksama memeriksa mata untuk melihat cedera, kelainanan gerakan mata, dan ketajaman visual.

Periksa hidung untuk deviasi dan pelebaran jembatan hidung, dan untuk meraba permukaan mukosa

dan krepitus.

Periksa hidung untuk septum untuk hematoma dan rhinorea yang mungkin melibatkan kebocoran

LCS.

Palpasi zygoma sepajang lengkungan serta artikulasi dengan tulang frontal, tulang temporal dan

maksila.

Periksa stabilitas wajah dengan menggenggam gigi dan langit-langit secara keras dan lembut dengan

mendorong maju dan mundur. Lalu naik dan turun, perasaan untuk gerakana dan ketidakstabilan

midface.

Periksa gigi untuk melihat patah tulang dan perdarahan di garis gusi (tanda fraktur melalui alveolar),

dan uji stabilitas.

Periksa gigi untuk memeriksa maloklusi dan step-off, periksa juga perdarahan antara gigi pada garis

gusi (tanda fraktur mandibula).

Palpasi rahang bawah untuk memeriksa nyeri, bengkak, dan step-off sepanjang simfisis, tubuh, sudut,

dan anterior condilus ke meatus acusticus externus.

Page 6: Trauma Maksilofasial

Evaluasi supraorbital, infraorbital, alveolar inferior, dan distribusi saraf mental untuk memeriksa

adanya hiperestesia dan anesthesia.

Pada patah tulang hidung didiagnosis oleh riwayat trauma dengan bengkak, ketegangan dan krepitasi

pada jembatan hidung. Pasien mungkin mengalami epistaksis namun tidak harus selalu bercampur

dengan CSF.

Fraktur nasoethmoidal dicurigai jika pasien memiliki bukti patah hidung dengan telechantus,

pelebaran jembatan hidung, dengan canthus medial terpisah, dan epistaksis atau rhonorea CSF.

Fraktur zygoma pada : temuan fisik tampak bukti malar tertekan dengan regangan kearah zygoma

atau fraktur arch zygomatic. Seringkali ditandai dengan edema yang dapat mengaburkan adanya

depresi tulang. Pasien mungkin mengeluhkan rasa sakit di pipi atas pergerakan rahang. Pasien

memiliki trismus atau kesulitan membuka mulut dari kontak dengan otot temporalis saat lewat

dibawah zygoma tersebut

Fraktur tripod terjadi jika terdapat benturan benda tumpul langsung ke pipi dengan temuan fisik

berupa edema periorbital ditandai dengan ekimosis. Malar difus yang dapat dilihat awalnya, tetapi

pembengkakan jaringan atasnya sering mengaburkan temuan ini. canthus lateral mungkin tertekan

jika zygoma tersebut bergeser ke inferior. Hipestesia dari syaraf infraorbital sering muncul, karena

faktor dapat meluas melalui orbita ke daerah zygomaticomaxillary, dimana tempat keluarnya saraf.

Palpasi lengkung zygomaticomaxillary dari dalam mulut dapat mengungkapkan fraktur step-off, step-

off ditemukan pada sutura zygomaticofrontal atau pada lengkungan zygomatic juga. Cedera mata

dapat berhubungan dengan patah tulang ini, dengan demikian, pemeriksaan mata menyeluruh adalah

penting didokumentasikan dan sebagai tindakan.

Fraktur le fort I

Temuan fisik fraktur le fort I : meliputi edema wajah dan mobilitas dari palatum durum, hal ini di evaluasi

dengan memegang gigi seri dan palatum durum dan mendorong masuk dan keluar secara lembut.

Fraktur Le Fort II: temuan meliputi edema wajah ditandai dengan telechantus, pendarahan subjunctional

bilateral, dan mobilitas rahang atas. Epistaksis dan rhinorea CSS perlu diperhatikan.

Fraktur Le Fort III : temuan meliputi penampilan perpanjangan wajah dan merata (yaitu deformitas dishface).

Rahang sering bergeser ke belakang, menyebabkan maloklusi terbuka ke anterior. Memegang gigi dan palatum

durum serta menggeraknnya secara lembut dapat menggerakan semua tulang wajah dalam kaitannya dengan

cranium. Rhinorea CSF hampir selalu tampak namun mungkin tidak jelas karena adanya epistaksis.

Pemeriksaan Radiologis trauma maksilofasial

a. Fraktur nasal

Patah tulang hidung dapat didiagnosis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Foto polos hidung terdiri

dari sudut lateral mengerucut di bawah hidung dan foto waters dapat mengkonfirmasikan diagnosis

Page 7: Trauma Maksilofasial

terapi kegunaan praktis bernilai kecil. Jika edema telah diselesaikan dan tidak ada keluhan lain yang

ditemukan x-ray tidak diperlukan.

b. Fraktur nasoethmoidal

Jika dicurigai fraktur nasal dan bukti-bukti menunjukan keterlibatan tulang ethmoidal, seperti

rhinorea CSF atau pelebaran jembatan hidung dengan telechantus, pemeriksaan rontgen biasa jarang

digunakan. CT scan koronal tulang wajah adalah pemeriksaan terbaik untuk menentukan tingkat

fraktur. Sebuah rekonstuksi 3-D dapat diperlukan dalam membantu konsultan dalam operasi.

c. Fraktur Zygoma

Jenis foto terbaik untuk mengevaluasi arkus zygomatic adalah sudut submental, juga dikenal dengan

bucket handle view, karena lengkungan tampak seperti pegangan ember. Kasus ini dapat dilihat

dengan foto water’s dan beberapa kasus dengan foto towne

d. Fraktur Tripod

Jika dicurigai fraktur tripod, foto polos harus disertai foto waters, cladwell,dan posisi submental

underexposed.

Posisi waters posisi terbaik untuk mengevaluasi rima orbital inferior, perpanjangan rahang atas dari

zygoma, dan sinus maksilaris.

Posisi cladwell dapat mengevaluasi bagian frontal dari zygoma dan sutura zygomaticofrontal.

Posisi submental underexposed dapat megevaluasi arkus zygomatic. CT scan coronal tulang wajah

sering digunakan untuk lebih mengevaluasi fraktur, terutama dengan menggunakan rekonstruksi 3-D

untuk meningkatkan visualisasi dari reduksi fraktur. Jika diduga kuat fraktur tripod, memeriksa CT

scan secara langsung tanpa pemeriksaan foto polos dapat mengurangi biaya.

e. fraktur Le Fort

CT scan koronal tulang wajah telah menggantikan foto polos dalam evalusi fraktur Le fort, terutama

dengan penggunaan rekonstruksi 3-D. karena fraktur le fort sering bercampur dari satu sisi ke sisi

lainnya, CT scan lebih unggul daripada foto polos dan membuat visualisasi dari yang lebih mudah

dalam rekonstruksi fraktur.

Jika CT scan tidak tersedia dapat dilakukan foto lateral, waters dan cladwell untuk mengevaluasi

fraktur. Hampir semua fraktur Le fort menyebabkan darah berkumpul di sinus maksilaris.

Fraktur Le fort I : menunjukan pelebaran fraktur ke horizontal di mandibula inferior, kadang –kadang

termasuk fraktur dari dinding lateral sinus, memanjang ke tulang palatine dan pterygoid.

Fraktur Le fort II : pemeriksaan radiologis menunjukan gangguan dari pelek orbital inferior lateral

saluran orbital dan patah tulang dari dinding medial orbital dan tulang nasal. Fraktur memperluas

posterior kedalam piring pterygoid.

Fraktur Le fort III : pemeriksaan radiologis menunjukan patah tulang pada sutura zygomaticofrontal,

zygoma, dinding medial orbita, dan tulang hidung meluas ke posterior melalui orbita di sutura

pterygomaksilaris ke fosa sphenopalatina.

Penatalaksanaan Fase akutMasalah medis / komplikasi

Page 8: Trauma Maksilofasial

Fraktur frontal Perbaikan dinding anterior mungkin dapat ditunda,tetapi fraktur dinding posterior memerlukan evaluasi bedah saraf langsung. Keputusan mengenai apakah profilaksis dengan antibiotik dibutuhkan harus diserahkan kepada konsultan ahli bedah.

Fraktur orbitalPengobatan awal umumnya terapi suportif, termasuk elevasi kepala, es dan analgesik. Indikasi untuk perbaikan secara bedah adalah kontroversial dan mungkin termasuk diplopia yang berlangsung 2 minggu setelah cedera, patah tulang besar, dan enophthalmos. Fraktur tulang orbital menyebabkan otot rektus inferior terjepit, nervus orbitalis terjepit, enophthalmus, atau dystopia orbitalyang dapat menyebabkan gangguan,baik kosmetik dan fungsional dan harus dirujuk ke dokter spesialis (yaitu, dokter mata, ahli bedah oral-maxillofacial, atau ahli bedah plastik) dalam 24 jam untuk memastikan resolusi yang cepat.

Fraktur nasalFraktur nasal angulasidapat dikurangi dengan mereposisi, dengan tekanan cepat dengan ibu jari ke arah garis tengah atau dengan memasukkan probe lunak di nares untuk meningkatkan septum depresi atau menyimpang pada posisi anatominya. Manajemen berkelanjutan dari cedera ini terdiri dari kontrol perawatan epistaksis dan mendukung dengan analgesik. Perbaikan operasi yang terbaik dilakukan di awal, dalam waktu 1-2 jam setelah cedera, atau dalam 10-14 hari setelah cedera serta pembengkakan dan edema telah berkurang. Setiap luka terbuka memerlukan antibiotik.

Fraktur zygomatica / zygomaticomaxillaryReduksi terbuka dan fiksasi internal untuk mengembalikan kontur normal adalah standar perawatan.

Fraktur Maxillary (Le Fort)Reduksi terbuka dengan fiksasi internal adalah terapi yang standar. Jika terdapat LCS rinore , ahli bedah saraf harus dikonsultasikan. Antibiotik profilaksis diperlukan jika fraktur meluas melalui wilayah bantalan gigi atau melalui mukosa hidung atau sinus.

Fraktur mandibulaSebagian besar kasus memerlukan fiksasi. fraktur ini sering memerlukan antibiotik karena lokasi mereka di daerah bantalan gigi. Penisilin atau klindamisin adalah antara pilihan yang dapat digunakan.