Gene expression profiling of adult acute myeloid leukemia ...
Tranplantasi sel punca hematopoetik pada penderita leukemia myeloid akut
description
Transcript of Tranplantasi sel punca hematopoetik pada penderita leukemia myeloid akut
BAB I
PENDAHULUAN
Leukemia myeloid akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dangan
transformasi neoplastik dan gangguan differensiasi sel-sel progenitor dari seri myeloid.
Bila tidak diobati penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu
beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah diagnosis(1).
Pada tahun 2010 diperkirakan sekitar 12.330 orang menderita LMA dan 8.950
orang meninggal karena penyakit tersebut. Di Negara maju seperti Amerika Serikat,
LMA merupakan 32 % dari seluruh kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan
pada dewasa muda(85 %) daripada anak(15%). Insiden LMA umumnya tidak berbeda
dari masa anak-anak hingga dewasa muda. Sesudah usia 30 tahun, insiden LMA
meningkat secara exponensial sejalan dengan meningkatnya usia. Secara umum tidak
didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi LMA, meskipun pernah
dilaporkan adanya insiden LMA tipe M3 2,9 hingga 5,8 kali lebih besar pada ras
hispanik yang tinggal di Amerika Serikat dibandingkan dengan ras kaukasia(1)
Terapi standar dari LMA adalah regimen kemoterapi tujuh tiga yaitu kemoterapi
induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubisin. Sekitar 30-40 % pasien mengalami
remisi komplit dengan terapi sitarabin dan daunorubisin yang diberikan sebagai obat
tunggal, sedang bila diberikan sebagai kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari
60 % pasien. Bila terdapat residual disease pada hari ke 28 perlu dipertimbangkan
adanya gagal terapi primer dan perlu dimulai terapi alternatif dengan regimen lain(1).
Tranplantasi sel punca hematopoetik merupakan salah satu pilihan untuk terapi
LMA pasca remisi. Terapi ini merupakan suatu terapi sel punca multipoten dengan
menggunakan sel induk darah yang didapatkan dari sumsum tulang, darah tepi ataupun
tali pusat bayi baru lahir. Saat ini teknik dan angka keberhasilannya semakin meningkat,
sehingga tranplantasi sel punca hematopoetik merupakan salah satu pengobatan yang
penting pada pasien-pasien dengan keganasan haematologik termasuk didalamnya
pasien dengan leukemia myeloid akut(2,3). The International Bone Marrow Transplant
1
Registry melaporkan bahwa lebih dari 25.000 tranplantasi sel punca hematopoetik
dilakukan setiap tahunnya di Amerika dan Eropa(4).
Berdasarkan hubungan antara sumber donor sel punca dan penerimanya maka
tranplantasi sel punca hematopoetik dapat digolongkan menjadi tiga yaitu autologus,
allogenik dan singenik(5).
Jenis ataupun tehnik tranplantasi yang digunakan dalam pengobatan leukemia
myelositik akut akan memberikan hasil yang berbeda-beda. Berdasarkan dari berbagai
macam laporan maka tranplantasi allogenik akan memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan tranplantasi autologus terutama pada pasien usia muda dan tipe
sitogenik yang unfavourable/buruk(6).
Tranplantasi autologus merupakan suatu teknik untuk memperoleh sel punca
dari satu individu dan mentranplantasikannya ke individu tersebut. Jenis tranplantasi
ini digunakan pada pasien leukemia myeloid akut yang mengalami remisi komplit
pertama atau kedua ataupun yang relaps tetapi masih respon dengan kemoterapi induksi
intensif(7,8)
Sedangkan tranplantasi allogenik merupakan suatu tehnik untuk memperoleh sel
punca dari satu individu kemudian ditranplantasikan ke individu lain. Tranplantasi jenis
ini digunakan pada pasien leukemia myeloid akut dengan sitogenik intermediate/
unfavourable, refrakter / relaps dengan menggunakan standar kemoterapi induksi serta
relaps setelah dilakukan tranplantasi sel punca hematopoetik autologous sebelumnya(7,8)
Reperat ini di buat dengan tujuan untuk lebih mengetahui terapi tranplantasi sel
punca hematopoetik pada pasien leukemia myeloid akut.
2
BAB II
LEUKEMIA MYELOID AKUT
Leukemia myeloid akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dangan
transformasi neoplastik dan gangguan differensiasi sel-sel progenitor dari seri myeloid.
Bila tidak diobati penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu
beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah diagnosis. Sebelum tahun 1960an
pengobatan LMA terutama bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun yang lalu
pengobatan penyakit ini berkembang secara cepat dan dewasa banyak pasien LMA yang
dapat disembuhkan dari penyakitnya. Kemajuan pengobatan LMA ini dicapai dengan
regimen kemoterapi yang lebih baik, kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok
sumsum tulang dan terapi suportif yang lebih baik(1).
3.1 Epidemiologi
Di Negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32 % dari seluruh
kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa muda(85 %) daripada
anak(15%). Insiden LMA umumnya tidak berbeda dari masa anak-anak hingga dewasa
muda. Sesudah usia 30 tahun, insiden LMA meningkat secara exponensial sejalan
dengan meningkatnya usia. Secara umum tidak didapatkan adanya variasi antar etnik
tentang insidensi LMA, meskipun pernah dilaporkan adanya insiden LMA tipe M3 2,9
hingga 5,8 kali lebih besar pada ras hispanik yang tinggal di Amerika Serikat
dibandingkan dengan ras kaukasia(1).
3.2 Etiopatogenesis
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Meskipun
demikian ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya
menjadi faktor predisposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa kimia
yang banyak digunakan pada industri penyamakan kulit dinegara sedang berkembang,
diketahui merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu radiasi ionik juga
diketahui dapat menyebabkan LMA. Ini diketahui dari penelitian tentang tingginya
insidensi kasus LMA pada orang-orang yang selamat dari serangan bom atom Hirosima
3
dan Nagasaki pada tahun 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut
mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7
tahun sesudah pengeboman. Faktor lain yang diketahui merupakan predisposisi untuk
LMA adalah trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit sindroma down. Pasien
sindroma down dengan trisomi kromosom 21 mempunyai risiko 10 sampai 18 kali lebih
tinggi untuk menderita leukemia khususnya LMA tipe M7. Selain itu beberapa sindrom
genetik seperti sindrom Bloom dan anemia Fanconi juga diketahui mempunyai risiko
yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk menderita LMA(1).
Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan
kemoterapi tumor padat. Leukemia myeloid akut akibat terapi adalah komplikasi jangka
panjang yang serius dari pengobatan limfoma, myeloma multiple, kanker payudara,
kanker ovarium dan kanker testis. Jenis kemoterapi yang paling sering memicu
timbulnya LMA adalah golongan alkylating agent dan topoisomeraseII inhibitor.
Leukemia myeloid akut akibat terapi mempunyai prognosis yang lebih buruk
dibandingkan dengan LMA de novo sehingga klasifikasi leukemia versi WHO
dikelompokkan tersendiri(1).
Patogenesis utama LMA adalah blockade maturitas yang menyebabkan proses
diferensiasi sel-sel seri myeloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi
akumulasi blast disumsum tulang. Keadaan ini akan menyebabkan gangguan
hematopoesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan sindrrom kegagalan
sumsum tulang yang ditandai dengan adanya sitopenia. Adanya anemia akan
menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang berat dapat disertai dengan sesak
napas, adannya trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan sedang
adanya leukopenia akan menyebabkan pasien akan menyebabkan pasien rentan
terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunis dari flora bakteri normal yang ada didalam
tubuh manusia. Selain itu sel-sel bast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk
migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit,tulang,
jaringan lunak, dan sistem syaraf pusat serta merusak organ-organ tersebut dengan
segala akibatnya(1).
4
3.3 Diagnosis
Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, morfologi sel, pengecatan sitokimia. Sekitar dua dekade tahun yang lalu
bekembang dua tehnik pemeriksaan terbaru: immunophenotyping dan analisis
sitogenetik.
Pemeriksaan penentuan imunofenotip adalah suatu tehnik pengecatan modern
yang dikembangkan berdasarkan reaksi antigen dan antibodi. Diketahui bahwa
permukaan membran sel-sel darah mengekspresikan antigen yang berbeda-beda
tergantung dari jenis dan tingkat differensiasi sel-sel tersebut. Sebagai contoh sel
limfosit mengekspresikan antigen yang berbeda dengan sel granulosit maupun sel
trombosit dan eritrosit. Selain itu sel-sel blast mengekspresikan antigen yang berbeda
dengan sel-sel leukosit yang lebih matur. Bila antigen yang terdapat di permukaan
membran sel tersebut dapat diidentifikasi dengan antibodi yang spesifik, maka akan
dapat dilakukan identifikasi jenis sel dan tingkat maturitasnya yang lebih akurat.
Identifikasi sel dengan tehnik immunohenotyping biasanya diberi label CD ( cluster of
differentiation ). Saat ini terdapat lebih dari 200 CD yang menjadi penanda berbagai
jenis dan tingkat maturitasel-sel darah. Selain berfungsi sebagai alat diagnostik, tehnik
immunohenotyping juga menilai prognostik dan terapi(1).
Analisis sitogenik pada keganasan hematologi telah dimulai sejak awal 1960
dan berkembang lebih pesat sejak awal 1980an. Terdapat dua kelainan dasar sitogenetik
pada LMA(1)
1. Kelainan yang menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom seperti
delesi, duplikasi, monosomi, trisomi, ataupun tetrasomi
2. Kelainan yang menyebabkan perubahan yang seimbang tanpa menyebabkan
hilang atau bertambahnya materi kromosom seperti tranlokasi ataupun inversi.
5
3.4 Klasifikasi
Klasifikasi WHO untuk LMA yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Klasifikasi Leukemia myeloid akut berdasarkan WHO 2008 (10)
3.5 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada pasien LMA adalah untuk mengeradikasi sel-sel
klonal leukemik dan untuk memulihkan hematopoesis normal didalam sumsum tulang.
Untuk mencapai eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal maka diperlukan strategi
pengobatan yang baik(11).
Pada dasarnya penatalaksanaan LMA dapat digolongakan menjadi dua, yaitu
6
1. Terapi spesifik : Dalam bentuk kemoterapi ataupun tranplantasi sumsum tulang.
2. Terapi suportif: Untuk mengatasi kegagalan sumsum tulang, baik karena proses
leukemia sendiri atau sebagai akibat terapi(11).
3.5.1 Terapi spesifik
Pada umumnya regimen kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari dua fase: fase
induksi dan fase konsolidasi. Kemoterapi fase induksi adalah regimen kemoterapi
intensif yang bertujuan untuk mengeradikasi sel-sel leukemik secara maksimal sehingga
tercapai remisi komplit. Istilah remisi komplit digunakan bila jumlah sel-sel darah di
peredaran darah tepi kembali normal serta pulihnya populasi sel di sumsum tulang
termasuk tercapainya jumlah sel –sel blast < 5 %. Meskipun telah terjadi remisi komplit
tidak berarti bahwa sel-sel klonal leukemik telah tereradikasi seluruhnya, masih tersisa
sejumlah signifikan sel-sel leukemik didalam tubuh pasien tetapi tidak dapat terdeteksi.
Bila dibiarkan, sel-sel ini berpotensi menyebabkan kekambuhan dimasa yang akan
dating. Oleh karena itu, meskipun pasien telah mencapai remisi komplit perlu ditindak
lanjuti dengan program pengobatan selanjutnya yaitu kemoterapi konsolidasi.
Kemoterapi konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan
menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar dari dosis yang
digunakan pada fase induksi.
Kemoterapi standar untuk LMA adalah regimen tujuh tiga yaitu kemoterapi
induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubisin. Sekitar 30-40 % pasien mengalami
remisi komplit dengan sitarabin dan daunorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal,
sedang bila diberikan sebagai kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60 %
pasien. Bila terdapat residual disease pada hari ke 28 perlu dipertimbangkan adanya
gagal terapi primer dan perlu dimulai terapi alternatif dengan regimen lain(1).
Pilihan untuk terapi post remisi pasien LMA dapat berupa kemoterapi
konsolidasi ataupun tranplantasi sel punca hematopoetik. Jenis terapi pasca remisi
ditentukan berdasarkan usia dan faktor prognostik, terutama propil sitogenik. Sebagian
besar pasien usia muda memberikan respon yang lebih baik dibandingkan dengan usia
tua(1).
7
Gambar 1. Pilihan terapi LMA post remisi(12)
3.5.2 Terapi suportif
Terapi suportif pada penderita leukemia tidak kalah pentingnya dengan terapi
spesifik karena akan menetukan angka keberhasilan terapi. Kemoterapi intensif harus
ditunjang oleh terapi suportif yang intensif pula, kalau tidak maka penderita dapat
meninggal karena efek samping obat, suatu kematian iatrogenik. Terapi suportif
berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh penyakit leukemia itu
sendiri dan juga mengatasi efek samping obat. Terapi suportif yang diberikan adalah(11):
1. Terapi untukmengatasi masalah anemia: Tranfusi PRC untuk mempertahankan
haemoglobin sekitar 9-10 g/dl.
2. Terapi untuk mengatasi infeksi, sama seperti kasus anemia aplastik terdiri atas:
a. Antibiotik adekuat
b. Tranfusi konsentrat granulosit
c. Perawatan khusus ( isolasi )
d. Haemopoietic growth factor (G-CSF atau GM-CSF )
3. Terapi untuk mengatasi perdarahan terdiri atas:
a. Tranfusi konsentrat trombo
b. Pada M3 diberikan heparin untuk mencegah DIC
8
4. Terapi untuk mengatasi hal-hal lain, yaitu:
a. Pengelolaan leukostasis : dilakukan dengan hidrasi intravenous dan
leukapheresis. Segera lakukan induksi remisi untuk menurunkan jumlah
leukosit
b. Pengelolaan sindrom lisis tumor : dengan hidrasi yang cukup, pemberian
alopurinol dan alkalinisasi urine
3.6 Prognosis
Prognosis dari LMA dapat dilihat dari tabel dibawah ini. Prognosis ini dibuat
berdasarkan kelainan sitogenik yang dijumpai pada LMA. Propil kelainan sitogenik ini
juga mempunyai implikasi terhadap penatalaksanaan pasien-pasien dengan LMA(12,13).
Tabel 2. Prognosis leukemia myeloid akut(12).
BAB III
9
ASPEK DASAR SEL PUNCA DAN POTENSI KLINISNYA
Sel punca adalah sel-sel yang berasal dari embrio, janin ataupun individu yang
belum berdifferensiasi dengan kemampuan memperbaharui diri yang tak terbatas atau
terus menerus dan dengan induksi yang spesifik dapat berdifferensiasi menjadi sel- sel
yang spesifik(5).
2.1 Ragam sel punca
Sel punca dapat digolongkan berdasarkan potensi yang dimiliki oleh sel tersebut
maupun berdasarkan asalnya. Berdasarkan pada potensi atau kemampuannya untuk
berdifferensiasi sel puncadikelompokkan menjadi(2):
1. Totipoten yaitu sel punca yang dapat berdifferensiasi menjadi semua jenis sel.
Yang termasuk dalam sel punca totipoten adalah zigot dan morula. Sel-sel ini
merupakan sel embrionik awal yang mempunyai kemampuan untuk membentuk
berbagai jenis sel termasuk sel-sel yang menyusun plasenta dan tali pusat.
Karenanya sel punca kelompok ini mempunyai kemampuan untuk membentuk
satu individu yang utuh.
2. Pluripoten yaitu sel punca yang dapat berdifferensiasi menjadi 3 lapisan
germinal (ektoderm, mesoderm, dan endoderm) tetapi tidak dapat menjadi
jaringan ekstraembrionik seperti plasenta dan tali pusat. Yang termasuk sel
punca pluripoten adalah sel punca embrionik (embryonic stem cells).
3. Multipoten yaitu sel punca yang dapat berdifferensiasi menjadi berbagai jenis
sel misalnya sel punca hemopoetik (hemopoetic stem cells) yang terdapat pada
sumsum tulang yang mempunyai kemampuan untuk berdifferensiasi menjadi
berbagai jenis sel yang terdapat di dalam darah seperti eritrosit, lekosit dan
trombosit. Contoh lainnya adalah sel punca saraf (neural stem cells) yang
mempunyai kemampuan berdifferensiasi menjadi sel saraf dan sel glia.
4. Unipoten yaitu sel punca yang hanya dapat berdifferensiasi menjadi 1 jenis sel.
Berbeda dengan non sel punca, sel punca mempunyai sifat masih dapat
memperbaharui atau meregenerasi diri (self-regenerate/self renew) Contohnya
10
erythroid progenitor cells hanya mampu berdifferensiasi menjadi sel darah
merah.
Gambar-2. Sel punca multipoten dan unipoten pada sumsum tulang(2)
Sedangkan berdasarkan sumbernya, sel punca dibagi menjadi(9):
1. Zygote. Yaitu pada tahap sesaat setelah sperma bertemu dengan sel telur
2. Sel puncaembryonik. Diambil dari inner cell mass dari suatu blastocyst (embrio
yang terdiri dari 50 – 150 sel, kira-kira hari ke-5 pasca pembuahan). Sel punca
embryonik biasanya didapatkan dari sisa embrio yang tidak dipakai pada IVF (in
vitro fertilization). Tapi saat ini telah dikembangkan teknik pengambilan sel
punca embryonik yang tidak membahayakan embrio tersebut, sehingga dapat
terus hidup dan bertumbuh. Untuk masa depan hal ini mungkin dapat
mengurangi kontroversi etis terhadap sel puncaembryonik.
3. Fetus. Fetus dapat diperoleh dari klinik aborsi.
4. Sel punca darah tali pusat. Diambil dari darah plasenta dan tali pusat segera
setelah bayi lahir. Sel puncadari darah tali pusat merupakan jenis sel punca
11
hematopoietik, dan ada yang menggolongkan jenis sel punca ini ke dalam sel
punca dewasa.
5. Sel punca dewasa. Diambil dari jaringan dewasa dan mempunyai sifat plastis,
artinya selain berdiferensiasi menjadi sel yang sesuai dengan jaringan asalnya,
sel punca dewasa juga dapat berdiferensiasi menjadi sel jaringan lain.
2.2 Potensi klinis sel punca
Penggunaan sel punca untuk mengobati berbagai macam penyakit saat ini sudah
berkembang sangat pesat dan pengobatan ini dikenal sebagai Cell Based Therapy.
Prinsip terapi adalah dengan melakukan transplantasi sel punca pada organ yang rusak.
Tujuan dari transplantasi sel punca ini adalah(2)
1. Mendapatkan pertumbuhan dan perkembangan sel-sel baru yang sehat pada jaringan
atau organ tubuh pasien
2. Menggantikan sel-sel spesifik yang rusak akibat penyakit atau cidera tertentu dengan
sel-sel baru yang ditranspalantasikan.
Sel puncaembryonik sangat plastik dan mempunyai kemampuan untuk
dikembangkan menjadi berbagai macam jaringan sel seperti neuron, kardiomiosit,
osteoblast, fibroblast, sel-sel darah dan sebagainya, sehingga dapat dipakai untuk
menggantikan jaringan yang rusak. Sel punca dewasa juga dapat digunakan untuk
mengobati berbagai penyakit, tetapi kemampuan plastisitasnya sudah berkurang.
Keuntungan dari penggunaan sel punca dewasa yaitu tidak atau kurang menimbulkan
masalah dan kontroversi etika(2).
Ada 3 golongan penyakit yang dapat diatasi oleh sel punca(9):
a. Penyakit autoimun. Misalnya pada lupus, artritis reumatoid dan diabetes tipe 1.
Setelah diinduksi oleh growth factor agar sel punca hematopoietik banyak
dilepaskan dari sumsum tulang ke darah tepi, sel punca hematopoietik dikeluarkan
dari dalam tubuh untuk dimurnikan dari sel imun matur. Lalu tubuh diberi agen
sitotoksik atau terapi radiasi untuk membunuh sel-sel imun matur yang tidak
mengenal self antigen (dianggap sebagai foreign antigen). Setelah itu sel punca
hematopoietik dimasukkan kembali ke tubuh, bersirkulasi dan bermigrasi ke
12
sumsum tulang untuk berdiferensiasi menjadi sel imun matur sehingga sistem imun
tubuh kembali seperti semula.
b. Penyakit degeneratif. Pada penyakit degeneratif seperti stroke, penyakit Parkinson,
penyakit Alzheimer, terdapat beberapa kerusakan atau kematian sel-sel tertentu
sehingga bermanifestasi klinis sebagai suatu penyakit. Pada keadaan ini sel punca
setelah dimanipulasi dapat ditransplantasi ke dalam tubuh pasien agar sel punca
tersebut dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel organ tertentu yang menggantikan sel-
sel yang telah rusak atau mati akibat penyakit degeneratif.
C Penyakit keganasan. Prinsip terapi sel punca pada keganasan sama dengan penyakit
autoimun. Sel punca hematopoetik yang diperoleh baik dari sumsum tulang atau darah
tali pusat telah lama dipakai dalam terapi leukemia dan penyakit darah lainnya.
13
BAB IV
TRANPLANTASI SEL PUNCA HEMATOPOETIK PADA
LEUKEMIA MYELOID AKUT
Tranplantasi sel punca hematopoetik merupakan prosedur pencangkokan sel
punca darah dari satu individu ke individu lain, atau dari individu itu sendiri yang
disimpan terlebih dahulu sebelum pemberian kemoterapi dan kemudian dicangkokkan
ke dalam dirinya sendiri pasca pemberian kemoterapi tersebut (5).
Berdasarkan hubungan antara sumber donor sel punca dan penerimanya maka
tranplantasi sel punca hematopoetik dapat digolongkan menjadi tiga yaitu(5):
1. Autologus : Sel punca berasal dari pasien sendiri.
2. Allogenik : Sel punca berasal dari donor saudara kandung ( yang cocok sistem
HLA-nya ) atau dari orang lain (yang cocok sistem HLA-nya ).
3. Singenik : Sel punca donor berasal dari spesies yang sama dan identik secara
genetik, misalnya pada saudara kembar.
4.1 Tranplantasi sel puncal hematopoetik autologus
Tranplantasi sel punca hematopoetik autologus merupakan suatu teknik untuk
memperoleh sel punca dari satu individu dan mentranplantasikannya ke individu
tersebut(14).
Tranplantasi jenis ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan dibandingkan
dengan tranplantasi allogenik. Kelebihannya antara lain(14):
1. Tidak diperlukan donor untuk memperoleh stem sel
2. Tidak ada timbul komplikasi seperti GvHD ( graft versus host desease)
3. Masa penyembuhan jauh lebih singkat
4. Pemuihan imunologi jauh lebih cepat dan komplit.
5. Pekerjaannya lebih mudah
Sedangkan kekurangannya adalah(14):
1. Tingkat relaps jauh lebih tinggi, karena kurangnya pengaruh graft-versus-
leukemia (GvL)dan kontaminasi graft sel leukaemik
14
2. Kesulitan dalam mengumpulkan stem sel yang cukup memadai untuk
ditranplantasikan
3. Pada leukemia myelositik akut dengan prognostik yang intermediate dan jelek
tranplantasi jenis ini memberikan hasil yang kurang memuaskan.
Berdasarkan data dari Acute Leukaemia Working Party (ALWP) tahun 1996-
2001 dari 2100 pasien AML yang menjalani tranplantasi autologous didapatkan hasil
pada 5 tahun: Leukemia free survival 43%, Overall Survival 51%, Relapse Risk 53%
dan Transplan Related Mortality 9%(15)
Levi dkk (2004) dalam suatu study meta analisisnya mencoba membandingkan
terapi tranplantasi autologous dengan kemoterapi saja dan didapatkan hasil bahwa
tranplantasi autologous hanya memperbaiki event-free survival tetapi tidak memperbaiki
overall survival(16).
Sementara itu Nathan PC et al (2004) dalam studi meta analisisnya mendapatkan
bahwa pasien yang mendapatkan tranplantasi autologous memiliki disease free survival
lebih baik dibandingkan dengan kemoterapi saja tetapi untuk overall survival tidak
terdapat perbedaan sehingga dalam penelitian ini tidak menganjurkan penggunaan
terapi tranplantasi autologous pada pasien LMA setelah remisi komplit pertama(17).
Dikarenakan tingkat kekambuhan yang tinggi dan belum adanya metode yang
baik untuk mengurangi kekambuhan serta memiliki overall survival yang relatif sama
dengan kemoterapi saja maka tranplantasi jenis ini sudah mulai kurang diminati(14,17).
4.2 Tranplantasi sel punca hematopoetik allogenik
Transplantasi sel punca hematopoetik alogenik merupakan suatu teknik untuk
memperoleh sel punca dari satu individu dan mentranplantasikannya ke individu lain
atau dengan kata lain transplantasi antara dua orang yang berbeda. Saudara kandung
merupakan donor yang cocok untuk resipien karena keduanya menerima komposisi
genetik mereka dari orangtua yang sama. Fakta ini tidak menjamin kompatibilitas
ataupun kecocokan tipe jaringanya tapi sangat meningkatkan kemungkinan nya (17).
Sebelum keputusan dibuat untuk menggunakan donor beberapa tes dilakukan
untuk menentukan tingkat kompatibilitas(18).
15
Ada dua jenis donor alogenik(18):
1. Related donor : Donor saudara kandung
2. Unrelated donor : Orang lain yang cocok tipe jaringannya dengan resipien
Transplantasi alogenik, baik yang berasal dari related donor ataupun unrelated
donor, berbeda dengan syngenik ataupun autologous dalam potensi penolakan sistem
imun resipien terhadap stem sel yang ditranplantasikan (Host Versus Graft
effect/HVGE) dan reaksi imun stem sel yang ditranplantasikan terhadap resipien (Graft
Versus Host Disease/GVHD). Host Versus Graft Effect biasanya dicegah dengan terapi
intensif sebelum transplantasi (conditioning) sedangkan GVHD dapat dicegah dengan
memberikan obat kepada resipien setelah transplantasi untuk mengurangi kemampuan
stem sel yang ditranplantasikan untuk menyerang dan melukai jaringan(18).
Suciu dkk (2005) dalam suatu study multisenternya terhadap 1198 pasien
leukemia myelostik akut yang berumur dibawah 46 tahun dan kemudian di obati
didapatkan 822 orang mengalami remisi komplit. Pasien yang mempunyai donor
saudara kandung yang cocok dilakukan tranplantasi allogenik sedangkan yang pasien
yang tidak mempunyai donor yang cocok dilakukan tranplantasi autologus. Pada
penelitian ini didapatkan disease free survival selama 4 tahun 52,2 % pada kelompok
tranplantasi allogenik dan 42,2 % pada kelompok tranplantasi autologous. Hasil ini
memberikan kesimpulan bahwa tranplantasi allogenik lebih baik daripada tranplantasi
autologous terutama pada pasien usia muda ataupun pasien dengan prognostik sitogenik
yang buruk(6).
4.3 Indikasi tranplantasi sel punca hematopoetik
Adapun indikasi untuk dilakukan tranplantasi sel punca hematopoetik pada
leukemia myelositik akut adalah(7,8)
A. Tranplantasi sel punca hematopoetik allogenik
1. Myeloablative conditioning regimen:
Leukemia myeloid akut dengan prognosis intermediate dan
unfavourable
16
Leukemia myeloid akut yang refrakter atau relaps dengan
menggunakan standar kemoterapi induksi
Leukemia myeloid akut yang relaps setelah dilakukan tranplantasi
stem sel hematopoetik autologous sebelumnya.
2. Reduced-intensity conditioning regimen
Leukemia myeloid akut yang sudah mengalami remisi komplit tetapi
karena suatu alasan sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan
suatu Myeloablative conditioning regimen.
Gambar 3. Proporsi relaps pasien LMA yang menjalani tranplantasi allogenik(20)
B. Tranplantasi sel punca hematopoetik autologous
Di indikasikan untuk pasien leukemia myeloid akut diluar indikasi yang sudah
disebutkan di atas seperti pasien LMA yang mengalami remisi komplit yang pertama
atau kedua ataupun yang relaps tetapi masih respon dengan kemoterapi induksi
intensif(7,8).
17
Gambar 4. Algoritma penatalaksanaan pasien leukemia myeloid akut(21).
4.4 Kegiatan memperoleh dan menyediakan sel punca darah
Perolehan dan penyediaan sel punca merupakan salah satu kegiatan terpenting dari
rangkaian tranplantasi sumsum tulang. Jumlah, kualitas, dan viabilitas sel punca yang
baik dan optimal merupakan syarat mutlak keberhasilan tranplantasi. Langkah- langkah
tersebut adalah(5):
1. Memperoleh sel punca darah dari sumsum tulang, darah tepi, atau darah tali
pusat bayi baru lahir.
2. Pemisahan sel punca diikuti dengan pemrosesan sekunder yang mencakup
pemekatan stem sel, deplesi sel limfosit T, pembersihan stem sel dari sel tumor,
seleksi sel CD34+ dan lain-lain
3. Penilaian/ pengendalian kualitas dan viabilitas sel punca yang didapat
18
4. Kriopreservasi dan penyimpanan sel punca
5. Pencairan sel punca yang disimpan beku
6. Tranplantasi sel punca
4.4.1 Kegiatan memperoleh sel punca
Tindakan untuk memperoleh sel punca dari tiga jenis sumber sangat berbeda.
Pada tranplantasi sumsum tulang, sel punca darah diambil dengan melakukan aspirasi
sumsum tulang pada spina iliaka posterior /anterior donor sehat ataupun dari pasien
sendiri yang sudah dinyatakan remisi lengkap pasca kemoterapi sitostatika. Tindakan ini
dilakukan di kamar bedah steril dibawah anstesi umum dan memerlukan penggantian
volume sumsum tulang yang dikumpulkan dengan tranfusi darah autologous(5).
Pada tranplantasi sel punca darah tepi, sel induk darah dalam sumsum tulang
dimobilisasi ke darah tepi dengan rangsangan faktor pertumbuhan hemopoetik (G-CSF,
GM-CSF) atau dengan sitostatika tunggal dosis tinggi (siklofosfamida ) atau kombinasi
keduanya. Untuk donor allogenik, digunakan G-CSF/GM-CSF, sedangkan untuk pasien
tranplantasi autologus dapat digunakan kombinasi keduanya.
Sedangkan tranplantasi sel punca darah tali pusat bayi baru lahir, sel induk
diambil dari bayi baru lahir dengan mengaspirasi darah langsung dari tali pusat dalam
keadaan steril dan kemudian ditampung dalam kantung darah steril.
Agar tranplantasi berhasil, jumlah sel punca darah harus harus memenuhi syarat
minimal dan optimal yang diperoleh dari satu kali atau beberapa pengambilan(5)
.
4.4.2 Pemisahan sel punca darah dan pemrosesan kedua
Sel punca darah yang diperoleh dengan cara diatas dipisah-pisahkan dengan alat
pemisah komponen darah kemudian dilakukan pemrosesan sekunder yang meliputi(5)
Pemekatan stem sel darah
Deplesi limfosit T pada tranplantasi alogenik
Pembersihan stem sel darah dari sel tumor
Pemilihan sel punca darah ( sel CD 34+ )
19
Pemekatan sel punca darah bertujuan memudahkan pemrosesan selanjutnya dan
kriopreservasi. Agar tidak hancur pada suhu dibawah 00C, kedalam konsentrat tersebut
dimasukkan dimetilsulfoksida (DMSO) 10% dan untuk pertumbuhannya digunakan
plasma autologous.
Deplesi sel T dilakukan pada tranplantasi alogenik untuk mengurangi terjadinya
dan beratnya GVHD, karena kejadiannya berkaitan erat dengan dosis sel limfosit T
yang diinfuskan. Salah satu tehnik deplesi sel T adalah dengan antibodi monoklonal in
vitro dan in vivo.
Pembersihan sel punca darah dari kontaminasi sel tumor ( purging tumor ) masih
bersifat spekulatif, karena belum ada tehnik purging yang menunjukkan masa bebas
penyakit. Tehnik- tehnik tersebut mencakup tehnik fisika, kimia, dan imunologik.
4.4.3 Penilaian kualitas dan viabilitas sel punca yang didapat
Di samping harus memenuhi syarat kuantitas, sel punca darah yang diambil juga
harus mempunyai viabilitas yang optimal. Kuantitas sel punca darah dinilai dengan
menghitung sel CD34+ dengan alat sitometri arus ( flowcytometry ). Tehnik ini cepat
dan akurat. Jumlah koloni sel yang tumbuh dengan tehnik kultur forming unit-
granulocyte macrophage ( CFU-GM ) dapat juga digunakan untuk menentukan jumlah
stem sel darah namun hasilnya lama (10-14 hari). Tehnik ini dapat digunakan untuk
menilai viabilitas sel punca darah. Tehnik lain adalah dengan pewarnaan trypan blue(5).
Disamping tes kuantitas dan viabilitas, harus dipastikan tes mikrobiologi bahwa
stem sel darah yang diambil tidak terinfeksi mikroorganisme aerob atau anaerob. Juga
virus hepatitis B, hepatitis C, HIV, virus sitomegalo, VDRL dan malaria(5)
4.4.4 Kriopreservasi dan penyimpanan sel punca
Setelah menjalani pemrosesan sekunder, sel punca darah harus disimpan dalam
nitrogen cair ( bersuhu -197oC ) agar tetap hidup dalam jangka waktu lama berbulan-
bulan atau bahkan bertahun- tahun asalkan menjalani proses kriopreservasi dengan
DMSO 10%. Selain kantung sel punca darah yang telah dikonsentrasikan, kedalam
tangki nitrogen juga dimasukkan beberapa tabung kecil berisi sampel stem sel darah,
untuk penilaian kualitas secara periodik atau pemeriksaan lainnya bila diperlukan.
20
Selama penyimpanan, harus dilakukan pemantauan rutin kerja tanki dan pengisian
periodik nitrogen cair selama konsentrat sel punca darah berada dalam tanki tersebut(5).
4.4.5 Pencairan sel punca yang disimpan beku
Bila ingin digunakan, sel punca darah harus dicairkan terlebih dahulu sesuai
proedur baku.
4.4.6 Kegiatan tranplantasi sel punca
Sel punca darah yang telah dicairkan kemudian diinfuskan kepada pasien.
Tranplantasi dilakukan satu hari pasca conditioning. Sebelum tranplantasi, resipien perlu
mendapat premedikasi untuk mencegah timbulnya reaksi toksisitas(5).
Conditioning merupakan tindakan pemberian sitostatika dosis tinggi dengan atau
tanpa kombinasi iradiasi tubuh (TBI). Tujuan conditioning adalah untuk mengosongkan
sumsum tulang dari stem sel darah resipien, sehingga stem sel darah yang
ditranplantasikan dapat tumbuh(5).
Karena sel punca darah disimpan pada suhu beku dengan DMSO4 10 %, perlu
tindakan pencegahan untuk mengurangi toksisitas akibat DMSO4 dengan pemberian
antihistamin. Salah satu toksisitas akibat DMSO4 adalah renjatan akibat pelepasan
histamin. Toksisitas lainnya merupakan dampak langsung terhadap sistem
kardiovaskuler yaitu hipertensi, bradikardi, dan blok jantung. Efek samping lain
tranplantasi sel puncadarah yang mengalami kriopreservasi adalah hematuria, nausea,
muntah dan diare. Hemoglobinuria dapat terjadi akibat lisisnya eritrosit setelah
pencairan. Sesak napas, kram perut, mual, muntah, dan diare dapat disebabkan oleh
histamin yang dilepaskan akibat DMSO4(5).
21
Gambar 5. Alur tranplantasi sel punca darah(5)
4.5 Komplikasi tranplantasi
Pasca pemberian kemoterapi sitostatika dosis tinggi, pasien dapat mengalami
komplikasi. Agar pemberian kemoterapi dosis tinggi dengan atau tanpa iradiasi tubuh
total (ITT) pada resipien dapat berhasil baik, maka komplikasi baik yang bersifat akut,
maupun yang timbulnya lambat, harus dicegah, dikurangi dan ditanggulangi secara
cepat. Mukositis, diare dan oklusi vena hepatika merupakan komplikasi yang sering
terjadi pada tahap conditioning sedangkan pneumonia, leukoensefalopati, katarak,
infeksi serta oklusi vena hepatika merupakan komplikasi yang sering ditemukan pasca
tranplantasi(5) .
22
BAB V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Sel punca adalah sel yang belum berdiferensiasi dan mempunyai kemampuan
untuk berkembang menjadi berbagai jenis sel-sel yang spesifik
2. Berdasarkan kemampuannya berdifferensiasi maka dikenal empat kelompok sel
punca yaitu totipoten, pluripoten, multipoten dan unipoten.
3. Tranplantasi sel punca hematopoetik merupakan terapi sel punca multipoten
dengan menggunakan sel induk darah yang didapatkan dari sumsum tulang,
darah tepi ataupun tali pusat bayi baru lahir.
4. Berdasarkan hubungan antara sumber donor sel punca dan penerimanya maka
dikenal tiga jenis tranplantasi sel punca hematopoetik yaitu autologus, allogenik
dan singenik.
5. Tranplantasi sel punca autologus di indikasikan untuk pasien LMA yang
mengalami remisi komplit pertama atau kedua ataupun yang relaps tetapi masih
respon dengan kemoterapi induksi intensif
6. Tranplantasi sel punca allogenik di indikasikan pada LMA dengan sitogenik
intermediate/ unfavourable, refrakter / relaps dengan menggunakan standar
kemoterapi induksi serta relaps setelah dilakukan tranplantasi sel punca
hematopoetik autologous sebelumnya.
4.2 Saran
Perlunya pemeriksaan sitogenetik pasien LMA yang akan menjalani tranplantasi
sel punca hematopoetik untuk menentukan jenis tranplantasi yang cocok serta prognosis
pasien kedepan.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Kurniada J. Leukemia myeloblastik akut. Dalam : Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Editor Sudoyo AW dkk. Jilid II Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta
2006:716-9.
2. Jusuf AA. Jusuf AA. Aspek dasar sel punca embrionik dan potensi
pengembangannya. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta 2008.
3. Wikipedia. Sel punca. Diakses dari http://id.wikipedia.org
4. Sierra J. Hematopoietic Transplantation. In: Imaging in transplantation. Ed:
Bankier A. Springer-Verlag Heidelberg. Berlin 2008: 177-86.
5. Reksodiputro AH. Tranplantasi sel asal/ induk darah. Dalam : Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Editor Sudoyo AW dkk. Jilid II Edisi IV. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.Jakarta 2006:755-8.
6. Suciu S, Mandelli F, De Witte T, et al., 2003. Allogeneic compared with
autologous stem cell transplantation in patients younger than 46 years with acute
myeloidleukemia (AML) in first complete remission (CR1): an intention-to-treat
analysis of the EORTC/ GIMEMA AML-10 trial. Blood 102: 1232–40.
7. BlueCross BlueShield of North Carolina. Hematopoeitic stem cell transplant for
acute myeloid leukemia. Diakses dari http://notes.bluecrossmn.com
8. NCHC policy. Hematopoeitic stem cell transplant for acute myelogenous
leukemia. Diakses dari http://www.ncdhhs.gov
9. Irawan C. Sel punca dan potensi klinisnya. Dalam : Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Editor Sudoyo AW dkk. Jilid II Edisi V. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta
2009:1401-5
10. Falini B. New classification of acute myeloid leukemia and precursor-related
neoplasms: changes and unsolved issues Discov Med 2010:10(53):281-292.
24
11. Bakta IM. Leukemia dan penyakit mieloproliperatif. Dalam: hematologi klinik
ringkas. EGC. Jakarta 2006:120- 91
12. National comprehensive cancer network. Acute myeloid leukemia. National
comprehensive cancer network clinical practice guidelines in oncology 2011.
Diakses dari http://guidelines.nccn.org
13. Yanada M, Matsuo K, Emi N, et al. Efficacy of allogenic stem cell
transplantation depends on cytogenetic risk for acute myeloid leukemia in first
remission: a meta analysis. Cancer 2005;123(5): 1652-8
14. Frassoni F, Veraldo R. HSCT for acute myeloid leukemia in adult. In: The
EBMT-ESH Handbook on Haemopoietic Stem Cell Transplantation. Ed:
Apperley J, Carreras E, Gluckman E et al. Villaroel. Barcelona 2008:356-71
15. Breems DA, Löwenberg B. Acute myeloid leukemia and the position of
autologous stem cell transplantation. Semin Hematol 2007; 44: 259-266.
16. Levi I, Grotto I, Yerushalmi R, Ben-Bassat I, Shpilberg O. Meta-analysis of
autologous bone marrow transplantation versus chemotherapy in adult patients
with acute myeloid leukemia in fi rst remission. Leuk Res 2004; 28: 605–12.
17. Nathan PC, Sung L, Crump M et. Consolidation Therapy With Autologous Bone
MarrowTransplantation in Adults With Acute Myeloid Leukemia: A Meta-
analysis. Journal of the National Cancer Institute 2004; 96(1) :38-45.
18. Leukemia and lymphoma society. Blood and marrow stem cell transplantation.
Diakses dari http://www.leukemia-lymphoma.org
19. Savutra p. Dasar-dasar Stem Cel dan Potensi Aplikasinyadalam Ilmu Kedokten.
Cermin Dunia Kedokteran No. 153, 2006.
20. Cohen, S. and Forman, S.J. Allogeneic and autologous stem cell transplantation
for acute lymphoblastic leukemia, acute myelogenous leukemia and
myelodysplasia in the adult. Stem Cell Transplantation for Hematologic
Malignancies. Ed:Soiffer R.J. Humana Press.Totowa 2004:78-91.
21. Stein A, Forman SJ. Allogenic and autologous stem cell hematopoietic
transplantation for acute lymphoblastic leukemia and acute myelogenous
leukemia in adult. In: Hematopoietic stem cell transplantation. Second edition.
Ed: Soiffer RJ. Humana press. Boston 2008:57-82.
25