Tradisi Ziarah Kubur Masyarakat Betawi Pada Makam Muallim...
Transcript of Tradisi Ziarah Kubur Masyarakat Betawi Pada Makam Muallim...
TRADISI ZIARAH KUBUR MASYARAKAT BETAWI
PADA MAKAM MUALLIM KH. M. SYAFI’I HADZAMI KAMPUNG
DUKUH JAKARTA SELATAN
Oleh
CHAERUL ANWAR
Nim: 203051001426
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2007 M / 1428 H
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, Agustus 2007 Chaerul Anwar
ABSTRAK
Nama : Chaerul Anwar Judul : Tradisi Ziarah Kubur Masyarakat Betawi Pada Makam Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami Kampung Dukuh Jakarta Selatan.
Tradisi mempunyai banyak makna dipandang dari berbagai macam ilmu kemasyarakatan. Salah satu makna tradisi adalah suatu kebiasaan yang turun menurun dalam sebuah masyarakat, dengan sifatnya yang luas. Tradisi bisa meliputi segala kompleks kehidupan, sehingga tidak mudah disisihkan dengan perincian yang tepat dan pasti, terutama sulit diperlakukan serupa atau semirip, karena tradisi bukan objek mati, melainkan alat yang hidup untuk manusia yang hidup juga.
Begitupula makna ziarah mempunyai banyak makna, salah satunya bahwa ziarah kubur adalah mendatangi makam dengan tujuan untuk mendoakan ahli kubur dan sebagai ibroh (pelajaran) bagi peziarah bahwa tidak lama lagi juga akan menyusul. Hukum ziarah kubur pada mulanya haram, kemudian Rasulullah Saw membolehkannya.
Tradisi ziarah kubur yang penulis fokuskan adalah tradisi ziarah kubur yang ada di masyarakat Betawi. Masyarakat Betawi itu sendiri adalah sebutan orang pribumiterhadap Batavia. Objek ziarah kubur penulis fokuskan pada makam Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami, makam beliau terletak di Kampung Dukuh Jakarta Selatan.
Masyarakat Betawi adalah masyarakat yang cenderung senang berziarah kubur. Mereka mengunjungi makam-makam para alim ulama, para wali, para habaib, yang dianggap mempunyai karamah. Mereka berziarah kubur pada bulan-bulan tertentu, seperti bulan Muharram, Rajab, Sya’ban, dan Syawal. Juga pada hari-hari tertentu, seperti hari Jum’at. Cara berziarah kubur dilakukan secara individu, atau rombongan, dan hal-hal yang dibaca adalah surah Yasiin dan tahlil, rattib, shalawat, dan berdoa sebagai tawasulan kepada si ahli kubur.
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الر حمن الر حيم Alhamdulillah dengan mengucapkan puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Tradisi Ziarah Kubur Masyarakat Betawi Pada
Makam Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami Kampung Dukuh Jakarta Selatan”, sebagai tugas
akhir guna untuk memperoleh gelar sarjana Sosial Islam pada Fakultas Dakwah Dan Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat teriring salam selalu tercurahkan kepada pemimpin
revormasi Islam Baginda Nabi besar Muhammad Saw yang telah mampu merobah pola pikir
manusia dari zaman biadab sampai ke zaman yang beradab. Skripsi ini selesai tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak baik dari moril maupun materiil, untuk itu penulis menyampaikan terima
kasih tiada terhingga dengan iringan do’a semoga Allah SWT meridhoinya dalam beraktifitas
dan membalas jasa baik kepada yang penulis hormati:
1. Bapak Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi dan sekaligus pembimbing Dr. H.
Murodi, M.A yang telah meluangkan waktunya di tengah-tengah kesibukannya untuk
memberikan nasehat, pemasukan, dan mengarahkan penulis dengan perhatian dan
kesabaran. Pudek I, II, dan III.
2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Bapak Drs.Wahidin
Saputra, M.A dan Ibu Ummi Musyarofah, M.A
3. Kordinator dan Sekretaris Non Reguler Fakultas Dak’wah dan Komunikasi Ibu Dra. Hj.
Astriati Jamil, M. Hum dan Ibu Dra. Hj. Musyfirah Nurlaili, M.A.
4. Penasehat Akademik angkatan 2003 Bapak. Drs. H. Mahmud Jalal, M.A.
5. Seluruh Dosen Fakultas Dak’wah dan Komunikasi yang telah mendidik dan membina
penulis dengan berbagai ilmu pengetahuannya yang sangat berharga selama masa
perkuliahan.
6. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Dak’wah dan Komunikasi beserta staf
jajarannya yang telah melayani peminjaman buku-buku literatur selama perkuliahan
khususnya dalam penyusunan skripsi ini.
7. Ibunda Eka dan Ayahanda Zulchair tercinta yang senantiasa ikhlas dan sabar dalam
mengarungi pahit getirnya perjuangan hidup demi kelangsungan pendidikan penulis dan
juga yang telah memberikan do’a restunya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di
Universitas tercinta ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatannya dan
memberkati keduanya. (Amin)
8. Seluruh Staf Kelurahan Kebayoran Lama Utara terkhusus kepada Bapak. H. M. Isa dan
Ibu Kusmiaty selaku Seksi Pemberdayaan Masyarakat yang telah meluangkan waktunya
guna untuk memberikan informasinya yang penulis butuhkan.
9. Pengurus Yayasan Al-Assirotusy Assyafi’iyyah Ustdz. H. Abdul Malik yang telah
mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di makam Muallim KH. M. Syafi’i
Hadzami memberikan arahan dan pemasukannya.
10. Seluruh santri Ma’had Al-Assirotusy Assyafi’iyyah khususnya Saudara Sholeh yang
telah memberikan informasi, petunjuknya dan mengantarkan penulis dalam penelitian.
11. Seluruh teman-teman Dak’wah dan Komunikasi khususnya Wahyudin yang telah
menjemput dan menghantarkan pulang penulis selama kuliah, Abang Toni dan rekan-
rekan seperjuangan.
12. Team Boegenvil yang keren dan gokil abis yang selalu menghibur dan membuat penulis
ceria, selalu kompak senang susah bersama, semoga kalian tetep eksis.
13. Teman-teman di Ikrima, Iresa, Remalmu yang selalu mendoakan dan memberikan
dukungannya, khususnya Robby Auliya yang tidak pernah bosen menemani penulis
dalam penelitian, Abang Deden, Abang Iyang, Andi, Farhan Kaila, Ustdz. Nurdin
Hidayat, Ustdz. Fathullah yang telah memberikan pemasukannya.
14. Adik tercinta Siti Rahma dan Suli Selvia yang selalu memberikan senyumannya dan
memberikan semangat untuk penulis dalam penyusunan skripsi ini serta yang selalu
memberikan kasih sayang dan cintanya.
15. Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu
persatu dengan harapan dan doa semoga Allah SWT membalas jasa dan kebaikannya.
Dan tentunya masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis
sangat mengharapkan saran, kritik konstruktif dari semua pihak. Harapan penulis semoga karya
ilmiah ini memiliki kontributif dan bermanfaat untuk kita semua. (Amin).
Jakarta, Agustus 2007
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................ 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 8
D. Metode Penelitian .............................................................................. 9
E. Sistematika Penulisan ........................................................................ 11
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Ziarah Kubur Sebagai Unsur Dakwah ............................................... 13
1. Pengertian Ziarah Kubur................................................................ 13
2. Ziarah Kubur Menurut Pandangan Islam....................................... 15
B. Ziarah Kubur Sebagai Unsur Betawi ................................................. 16
1. Pengertian Tradisi dan Budaya ...................................................... 16
2. Pengertian Masyarakat Betawi ...................................................... 19
BAB III DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
A. Letak Geografis .......................................................................... 26
B. Biografi Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami ............................... 27
C. Pandangan Ulama....................................................................... 31
1. KH. Abdurasyid Abdullah Syafi’i ............................................... 31
2. Habib Ali bin Abdurrahman As-Seggaf ...................................... 32
3. Muallim KH. Bunyamin .............................................................. 32
4. KH. Sabilar Rasyad...................................................................... 33
D. Ringkasan Riwayat Hidup.......................................................... 35
BAB IV MASYARAKAT BETAWI KAMPUNG DUKUH DAN TRADISI ZIARAH
KUBUR
A. Objek ziarah ....................................................................................... 46
B. Waktu Ziarah ..................................................................................... 48
1. ............................................................................................... Bulan-bulan dan
hari-hari tertentu.............................................................................. 48
2. Sebelum Hajatan .............................................................................. 49
C. Cara-cara berziarah ............................................................................ 51
1. ............................................................................................... Bersama
Keluarga............................................................ 51
2. Individu … ....................................................................................... 52
3.Rombongan ..…….. ........................................................................... 53
D Berbagai Pendapat................................................................................ 58
BAB V PENUTUP
A. ................................................................................................. Kesimpulan
............................................................................................................ 63
B. ................................................................................................. Saran
............................................................................................................64
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 66
LAMPIRAN – LAMPIRAN.............................................................................. 70
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fakta menunjukan bahwa tradisi ziarah kubur di kalangan masyarakat Betawi begitu
mengakar kuat. Tradisi ini menurut Ja’far Subhani, mempunyai pengaruh terhadap etika dan
pendidikan. Karena dengan ziarah kubur, manusia akan mengingat akhirat. Dengan demikian
meniscayakan manusia beriman untuk semakin ingat Tuhan. Bila seseorang melihatnya dengan
kaca mata, maka ia akan dapat mengambil pelajaran dari pristiwa ini. Ia akan berfikir dan
berkata pada dirinya sendiri bahwa “kehidupan dunia adalah sementara, dan akan berakhir
dengan kemusnahan. Karena itu sangat tidak sebanding dengan usaha manusia dalam mencari
harta dan kedudukan, sehingga tak jarang menganiaya diri sendiri dan orang lain.”1
Senada dengan pendapat di atas, Jalaluddin as-Suyuthi menjelaskan, bahwa manusia
sesungguhnya tertidur, ketika mati mereka terjaga. Ungkapan ini tampaknya lebih merupakan
peringatan ketimbang pelajaran. Bahwa hidup ini tidak lebih dari sekedar mimpi sesaat. Kita
akan benar-benar terjaga justru setelah kematian. Dalam konteks ini, memahami realitas
kehidupan pasca kematian akan senantiasa releven dan signifikan bagi setiap muslim. Tujuannya
bukanlah semata-mata memahami makna kehidupan pasca kematian itu, melainkan juga lebih
penting lagi memaknai hakikat kehidupan di alam fana ini.2 Hal ini berarti bahwa ziarah ke
kubur akan mengingatkan orang pada kematian.
1 Syaikh Ja’far Subhani, Tawassul Tabarruk Ziarah Kubur Karamah Wali, (Jakarta: Pustaka Hidayah,
1989), h. 47. 2 Jalaluddin as-Suyuthi, Ziarah Ke Alam Barzakh, (Bandung: PT. Pustaka Hidayah, 1999), h. 7.
Dalam konteks ini menegaskan bahwa kematian adalah nasehat bagi yang masih hidup.
Bagaimana tidak, dengan adanya kematian manusia yang masih hidup bisa lebih berhati-hati lagi
dalam menjalani kehidupan. Artinya ketaqwaan perlu ditingkatkan, karena setelah kematian akan
ada kehidupan lain yaitu kehidupan alam kubur. Kita mesti percaya bahwa alam kubur itu ada
dan di alam kubur itulah segala amal perbuatan manusia di dunia dipertanggung jawabkan. Jika
amal manusia itu baik di dunia, maka ia akan mendapatkan nikmat kubur, dan jika sebaliknya
maka siksa kubur yang didapatkannya.
Alam kubur adalah alam kedua setelah alam dunia. Kalau di alam dunia, manusia
masih bisa tolong-menolong jika mendapatkan kesusahan. Tapi di alam kubur manusia sendiri,
tidak ada yang memberikan pertolongan. Untuk itulah ziarah kubur diadakan, dimana tujuannya
adalah mendoakan ahli kubur agar diringankan siksanya dari yang Maha Kuasa (Allah SWT).
Ziarah kubur juga diadakan untuk memohon keberkahan dari para ahli kubur, apabila ahli kubur
itu adalah wali, ulama, dan orang-orang shalihin. ( Kutip dari peziarah ).
Ziarah dalam kamus bahasa arab diambil dari kata زيارة- يزور –زار yang berarti
menziarahi, mengunjungi.3 Menurut Munzir Al-Musawa Ziarah kubur yaitu mendatangi kuburan
dengan tujuan untuk mendoakan ahli kubur dan sebagai pelajaran (ibrah) bagi peziarah bahwa
tidak lama lagi juga akan menyusul menghuni kuburan, sehingga dapat lebih mendekatkan diri
kepada Allah SWT.4
Nabi yang mulia mengisyaratkan manfaat ini dalam sabdanya :
) رواه الحاآم(زر القبور تذآر بها الآخرة : قال . عن بريدة رض
3 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989), h. 159. 4 Munzir Al-Musawa, Kenalilah Aqidahmu, (Jakarta: Majelis Rasulullah, 2007), h. 65.
“Rasulullah Saw bersabda: Berziarahlah ke kubur karena hal itu dapat mengigatkan kalian
akan akhirat.5
Ziarah juga dapat dikatakan sebagai mengunjungi suatu tempat yang dimuliakan atau
yang dianggap suci, misalnya mengunjungi makam Nabi Muhammad Saw di Madinah seperti
yang lazim dilakukan oleh jamaah haji. Dalam peraktiknya ziarah juga dilakukan untuk meminta
pertolongan (syafaat) kepada seseorang yang dianggap keramat, agar berkat syafaat tersebut
kehendak orang yang bersangkutan dikabulkan Allah dikemudian hari. Ziarah semacam ini oleh
sebagian umat Islam dianggap sebagai bid’ah dan dilarang dilakukan misalnya oleh pengikut
Ibnu Taimiyah dan kaum Wahabi.6
Dahulu Rasulullah pernah melarang ziarah kubur, karena bobot kepentingan praktik
tersebut cenderung berlebihan dan menyimpang dari ruh Islam. Karena hal tersebut
dikhawatirkan akan menggoncang keimanan orang yang berziarah.7 Selain itu, beliau
melarangnya karena biasanya mayat-mayat yang mereka ziarahi adalah orang-orang kafir
penyembah berhala, sementara Islam telah memutuskan hubungan dengan kemusyrikan.
Mungkin karena ada sebagian orang yang baru memeluk Islam dan belum mengerti mereka
mengeluarkan ucapan-ucapan diatas kuburan yang nadanya bertentangan sumbangan
pengetahuan tentang masalah yang di kaji untuk memperkaya dengan Islam.8
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman dalam Surah At-Taubah/9:84 berikut:
ولا تصل على أحد منهم مات أبدا ولا تقم على قبره إنهم آفروا بالله ورسوله
وماتوا وهم فاسقون
5 Syaikh Ja’far Subhani, Tawasul Tabarruk Ziarah Kubur Karamah Wali, h. 48. 6 Hassan Shadily, “Zerubabel”, Ensiklopedia Indonesia, Vol 4, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve), h.
4044 7 John L Esposito, ”Ziarah,” Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 195. 8 Syaikh Ja’far Subhani, Tawasul Tabarruk Ziarah Kubur Karamah Wali, h. 48.
Artinya: “Dan janganlah engkau shalat bagi salah satu di antara mereka yang mati (orang-orang munafik) untuk selama-lamanya, dan jangan berdiri (untuk meminta ampun) di atas kuburnya. Mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mati dalam keadaan fasik.”(At-Taubah:84).
Ayat tersebut menyatakan bahwa ayat itu diturunkan untuk penghuni kubur yang
tergolong kaum munafik dan kafir pada zamannya Ubaidillah bin Salul. Lantas bagaimana
mungkin orang seperti Ibnu Taimiyah beserta kelompok Wahabi memutlakkannya yang berarti
mencangkup segenap kaum muslimin secara keseluruhan, sehingga mencangkup kuburan wali
Allah.
Pada hal mayoritas ulama Ahlusunah menafsirkan ayat tersebut dengan tegas menyatakan
bahwa ayat itu berkaitan dengan kuburan kaum munafik, bukan kaum muslim, apalagi kaum
mukmin. Jadi ayat tersebut tidak berlaku jika penghuni kubur itu adalah seorang muslim dan
mukmin sejati, apalagi jika penghuni kubur tadi tergolong kekasih (Wali) Allah SWT.9
Setelah meluasnya Islam dan kukuhnya iman di hati para pengikutnya serta akidah
Islam sudah sedemikian mantap dalam hati umat dan telah diketahui seluk-beluk hukum
berziarah dan tujuannya, maka ziarah kubur di perbolehkan oleh Nabi Saw.10 Bahkan ziarah
merupakan suatu perbuatan saleh (ibadah) yang dipercayai dapat membawa berkah di dunia dan
akhirat.11
Tentang jaiz atau bolehnya ziarah kubur telah disepakati di kalangan kaum muslimin.
Hal ini dapat dibaca dan di telaah dalam buku-buku fikih maupun hadis. Dalam kitab ‘Alal
Madzahib al-Arba’ah menyatakan antara lain sebagai berikut:
9 Sastro, “Ziarah Kubur Salafy Indonesia”, artikel diakses pada Senin, 12 Febuari 2007 dari Ads by
Google In Depth Critical Studies Christianity Islam Ismailism Quran alone keeps Islam pure. Website: www.mostmerciful.com, h. 2.
10 Syaikh Ja’far Subhani, Tawasul Tabarruk Ziarah Kubur Karamah Wali, h. 50. 11Ammatullah Amstrong, Khanazah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tashawuf (Bandung: Mizan,
2002), h. 301.
”Ziarah ke kubur adalah perbuatan yang dianjurkan untuk menimbulkan kesadaran hati dan mengingatkan kepada akhirat, terutama pada hari Jumat sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya. Para peziarah sebaiknya menyibukan diri dengan doa, tadharru (berdoa dengan khusyu dan merendah), mengingat mereka yang telah mati serta membaca al-Quran untuk mengingat mereka. Yang demikian inilah yang sangat bermanfaat bagi si mayit”. Selanjutnya Kitab tersebut juga menerangkan bahwa “Tidak ada bedanya dalam hal berziarah apakah tempat pemakaman itu dekat ataupun jauh, artinya bagi peziarah tidak masalah walaupun hanya memberikan doa dengan jarak yang berjauhan atau tidak ditempat pemakaman.”12
Makam yang menjadi perhatian para peziarah, khususnya kaum Muslim, biasanya
merupakan makam orang-orang yang semasa hidupnya membawa misi kebaikan bagi
masyarakatnya, yaitu:13
a. Para Nabi dan pemimpin agama, mereka yang telah mengemban misi ketuhanan yang
memberikan petunjuk kepada manusia dengan mengorbankan jiwa dan hartanya, serta
menghaturkan darah para kekasih-Nya dan menanggung semua derita serta memperkenalkan
dengan ilmu-ilmu agama.
b. Para wali, ulama dan ilmuan besar, yang memberikan ilmu pengetahuan serta mengenalkan
manusia terhadap kitab Tuhan serta ilmu alam dan ilmu ciptaan dan selalu menyelidiki ilmu-
ilmu agama, kemanusiaan dan alam tabiat.
c. Kelompok orang-orang tertentu seperti: sahabat, kerabat dan saudara terdekat, mereka yang
mempunyai tali kasih atau pengorbanan semasa hidupnya yang memberikan kasih sayang
serta perjuangan pada orang-orang.
Kelompok-kelompok inilah yang dikunjungi orang-orang, tidak jarang mereka
meneteskan air mata kerinduan, serta mengingat-ingat dengan khidmat amal mereka yang
berharga, serta perjuangan mereka yang suci, dengan membacakan salah satu surah al-Quran,
serta menghidupkan ingatan kepada mereka lewat syair-syair yang berkenaan dengan
pengorbanan, keutamaan dan perangai mereka. Berkunjung ke makam orang-orang tersebut
12 Ja’far Subhani, Tauhid dan Syirik (Bandumg : Mizan, 1996), h. 222. 13 Syaikh Ja’far Subhani, Tawasul Tabarruk Ziarah Kubur Karamah Wali, h. 55.
menandaskan rasa terimakasih dan penghargaan terhadap perjuangan mereka, sekaligus dapat
mengingatkan kepada generasi yang ada, bahwasanya mereka yang menempuh jalan kebenaran
dan keutamaan, rela mengorbankan jiwa demi mempertahankan keyakinan dan
menyebarluaskan kebebasan, tidak akan pernah hilang dari ingatan sampai kapanpun. Mereka
tak akan pernah menjadi usang dan musnah bersama lewatnya zaman. Bahkan selalu
memanaskan dan mengobarkan api kerinduan di hati-hati yang suci dan tulus. Dengan demikian
alangkah baiknya jika generasi sekarang dan yang akan datang juga menempuh jalan mereka.14
Ziarah kubur para Nabi dan wali, berdoa di makam-makam, bertawasul, meminta
syafaat ataupun pertolongan dari ahli kubur, memeperingati hari lahir dan wafat, bertabarruk
(meminta berkah) dari bekas dan peninggalan mereka, mengucapkan sumpah dengan nama
mereka, mendirikan bangunan di atas kuburan, dan lain sebagainya, merupakan hal-hal yang
sejak ratusan tahun lalu dan masih terus berlanjut sampai sekarang. Namun praktik ziarah
tersebut selalu diperselisihkan di antara berbagai kelompok kaum Muslim tentang boleh atau
tidaknya menurut ajaran Islam. 15
Di Indonesia terutama Jawa, kebiasaan ziarah kubur tersebar luas, di antaranya ke
makam para wali dan tokoh yang dianggap suci. Di sana mereka melakukan berbagai kegiatan
seperti membaca Al-Quran atau kalimat syahadat, berdoa, bertafakur, atau tidur dengan harapan
memperoleh firasat dalam mimpi. Banyak juga orang-orang berziarah ke kubur tertentu, disertai
kepercayaan bahwa tokoh di dalam kubur tersebut dapat sesuai dengan kebutuhan pribadi
mereka. Antara lain dengan ziarah kubur seseorang dapat berdampak pada kemungkinan
perolehan rezeki dan syafaat.16
14 Syaikh Ja’far Subhani, Tawasul Tabarruk Ziarah Kubur Karamah Wali, h. 56.
15 Ja’far Subhani, Tauhid dan Syirik, (Bandung: Mizan, 1996), h. 7 16 Haryadi Soebady, Agama dan Upacara (Jakarta : Buku Antar Bangsa, 2002), h.34.
Dari uraian yang sudah di kemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk menulis
sebuah penelitian skripsi dengan judul ” Tradisi Ziarah Kubur Masyarakat Betawi Pada
Makam Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami Kampung Dukuh Jakarta Selatan.” Alasan penulis
memilih judul ini, karena di daerah kampung atau warga masyarakat Betawi yang ada di wilayah
tersebut ada sebuah makam ulama Betawi yaitu bernama Muallim Kyai Haji Muhammad Syafi’i
Hadzami. Makam tersebut banyak di kunjungi para peziarah khususnya masyarakat Betawi yang
mempunyai etos yang khas dan menarik baik dari segi sosial maupun budaya. Sifat yang aktif
dalam ziarah dan cara berziarah yang turun menurun pada masyarakat tersebut sangat menarik
untuk diobservasi.
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Penulis membatasi masalah pada tradisi ziarah kubur yang dilakukan masyarakat
Betawi di makam ulama Betawi yaitu Muallim Kyai Haji Muhammad Syafi’i Hadzami.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan utama dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana tradisi ziarah kubur yang ada dalam masyarakat Betawi kampung Dukuh baik
dalam obyek ziarah, waktu ziarah, dan cara berziarah?.
2. Apakah motivasi ziarah kubur masyarakat Betawi sepenuhnya ajaran Islam yang telah
digariskan oleh Rasulullah Saw, yaitu untuk mengingat mati atau tidak ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tradisi ziarah yang ada dalam
masyarakat Betawi khususnya mereka yang tinggal di lingkungan kampung Dukuh Jakarta
Selatan.
Setelah mengkaji masalah ini, penulis berharap dapat memperoleh manfaat, di antaranya:
1. Memberi khazanah literatur di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Melestarikan tradisi Betawi dalam kegiatan ziarah kubur.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan metode
deskriptif. Kualitatif di sini, merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis lisan dari orang-orang dan dari perilaku yang di amati untuk di analisis.
Adapun pendekatan yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan Antropologis.
Di samping itu, penelitian deskriptif yang digunakan bertujuan menggambarkan dan
menganalisis fenomena tradisi ziarah kubur bedasarkan data yang diperoleh untuk
menyelesaikan kejadian sesungguhnya secara deskriptif dan sistematis atas fenomena yang
diteliti.17
Adapun studi kasus yang diambil yaitu dengan bentuk penelitian yang mendalam. Artinya mengambil data-data yang peneliti inginkan.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini terletak di Yayasan Al-Assirotusy Assyafi’iyyah, di Jl. KH. M.
Syafi’i Hadzami, kampung Dukuh Jakarta Selatan.
3. Tahapan Pengumpulan Data
17 Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hal 18.
Tahapan Pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi dan wawancara.
Selain itu, penulis juga menggunakan dokumentasi berupa kodak fuji film dan tabel sebagai
pelengkap. Observasi digunakan untuk mendapatkan data hasil pengamatan, pengamatan bisa
dilakukan terhadap suatu benda, keadaan, kondisi, situasi, kegiatan. proses, atau penampilan
tingkah laku seseorang.18 Sedangkan wawancara yang dilakukan dengan informan adalah untuk
memeperoleh keterangan-keterangan secara mendalam, karena wawancara tersebut sangat
memainkan peranan besar dalam penelitian studi kasus, selain itu wawancara juga merupakan
suatu peroses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka antara pewawancara dengan responden.19
Dalam hal ini, penulis menggunakan metode wawancara bebas terpimpin yang berarti
penulis membawa pedoman yang merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan,
di samping itu dalam pelaksanaanya, peneliti akan menanyakan apa saja, tetapi juga mengingat
akan data apa yang akan dikumpulkan.
Selain itu, penulis juga akan melakukan penelitian partisipasi, yaitu mengikuti acara-
acara ritual dan tradisi ziarah yang dilakukan oleh masyarakat Betawi.
4. Analisis Data
Data-data yang terkumpul akan dianalisa sesuai dengan jenis data yang terkumpul,
dengan menggunakan analisis kualitatif yaitu penelitian yang berupaya menarik nilai-nilai dari
data yang diperoleh di lapangan secara mendalam.
5. Tinjauan Pustaka
18 Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 135. 19 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan dan Peraktik (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1998), hal. 145-146.
Mengkaji karya orang lain berupa artikel, skripsi, tesis, atau disertasi yang berkaitan
dengan objek penelitian, yaitu tradisi ziarah kubur bagi masyarakat Betawi pada warga Kampung
Dukuh Jakarta Selatan.
E. Sistematika Penulisan
Berdasarkan uraian tersebut di atas dan dengan tujuan untuk mempermudah
pembahasan, maka di perlukan suatu Sistematika penulisan. Adapun sistematika penulisan
sebagi berikut:
Bab 1 Pendahuluan yang berisi latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan teori, meliputi ziarah kubur sebagai unsur dakwah, yang mencangkup 1.
Pengertian ziarah kubur 2. Ziarah kubur menurut pandangan Islam.
Bab III Deskripsi makam daerah penelitian, meliputi letak geografis, biografi Muallim
KH. M. Syafi’i Hadzami, yang mencangkup, Pandangan ulama, Ringkasan
riwayat hidup
Bab IV Masyarakat Betawi Kampung Dukuh dan tradisi ziarah kubur yang didalamnya
meliputi sarana objek ziarah, waktu ziarah, cara- berziarah, dan berbagai
pendapat tentang ziarah.
Bab V Penutup merupakan bagian akhir dari pembahasan yang berisi kesimpulan, dan
saran.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Ziarah Kubur Sebagai Unsur Dakwah
1. Pengertian Ziarah
Ziarah dalam kamus bahasa arab diambil dari kata زيارة- يزور –زار yang berarti
menziarahi, mengunjungi.20 Menurut Munzir Al-Musawa ziarah kubur adalah mendatangi
kuburan dengan tujuan untuk mendoakan ahli kubur dan sebagai pelajaran (ibrah) bagi peziarah
bahwa tidak lama lagi juga akan menyusul menghuni kuburan sehingga dapat lebih mendekatkan
diri kepada Allah SWT.21
Ketahuilah berdoa di kuburan pun adalah sunnah Rasulullah Saw, Beliau Saw bersalam
dan berdoa di pekuburan Baqi’, dan berkali-kali Beliau Saw melakukannya, demikian
diriwayatkan dalam At-Turmudzy, dan Beliau Rasulullah Saw bersabda :
قد آنت نهيتكم عن زيارة القبور فقد أذن لمحمد في زيارة قبر أمه، فزرها،
)رواه الترميذى(فإنها تذآر اآلخرة
“Dulu aku pernah melarang kamu menziarahi kubur. Kemudian Muhammad telah diizinkan untuk menziarahi kubur ibunya, maka ziarahlah kubur, karena menziarahi kubur itu mengingatkan kepada hari akhirat.” (H.R At-Turmudzy).22
20 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989), h. 159. 21 Munzir Al-Musawa, Kenalilah Aqidahmu, (Jakarta: Majelis Rasulullah, 2007), h. 65. 22 Munzir Al-Musawa, Kenalilah Aqidahmu, h. 65.
Dari hadis ini jelaslah bahwa Nabi Muhammad Saw pernah melarang ziarah kubur
namun lantas membolehkannya setelah turunnya pensyariatan (legalitas) ziarah kubur dari Allah
SWT Dzat penentu hukum (Syari’ Muqaddas).
Jadi jelas bahwa ziarah kubur merupakan sesuatu yang syar’i (legal).23
Dan Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk mengucapkan salam untuk ahli kubur
dengan ucapan:
السالم على اهل الديار من المؤمنين والمسلمين، يرحم اهللا المستقدمين منكم
وإنا إنشاء اهللا بكم الحقون، السالم عليكم دار قوم . ومنا والمستأخرين
إن شاء اهللا بكم الحقون، السالم عليكم يا اهل القبور، يغفر اهللا مؤمنين، وإنا
.لنا ولكم ، أنتم سلفنا ونحن باألثر“Salam sejahtera bagi kaum Muslimin dan Mukminin yang menghuni rumah (kubur) ini.
Semoga Allah selalu merahmati orang-orang yang datang lebih awal dari kita dan kalian serta mereka yang menyusul kemudian. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian. Salam sejahtera kepada kalian, tempat tinggal orang-orang yang beriman. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian. Salam sejahtera untuk kalian wahai penghuni kubur. Semoga Allah mengampuni kami dan kalian. Kalian adalah pendahulu kami dan kami akan menyusul.”
Ini merupakan penjelaskan bahwa Rasulullah Saw bersalam pada ahli kubur dan
mengajak mereka berbincang-bincang dengan ucapan “Sungguh Kami Insya Allah akan
menyusul kalian”.24
Dan ziarah kubur ini merupakan kunjungan kubur yang (bentuk jamak dari qabr) yakni
kuburan atau makam. Sedangkan secara teknis merunjuk pada aktivitas mengunjungi
kepemakaman dengan maksud mendoakan bagi yang meninggal serta mengingatkan kematian.25
23 Sastro, “Ziarah Kubur Salafy Indonesia.”artikel diakses pada Senin, 12 Febuari 2007 dari Ads by Google
In Depth Critical Studies Christianity Islam Ismailism Quran alone keeps Islam pure. Website: www.mostmerciful.com, h. 2.
24 Munzir Al-Musawa, Kenalilah Aqidahmu, h.65.
Ziarah juga dapat dikatakan sebagai mengunjungi suatu tempat yang dimuliakan atau
yang dianggap suci, misalnya mengunjungi makam, nabi Muhammad Saw di madinah seperti
yang lazim dilakukan oleh jamaah haji, dalam perakteknya ziarah juga dilakukan untuk meminta
pertolongan (syafaat) kepada seseorang yang dianggap keramat, agar supaya berkat syafaat
tersebut kehendak orang yang bersangkutan dikabulkan Allah dikemudian hari. Ziarah semacam
ini oleh sebagian umat islam dianggap sebagai bid’ah dan dilarang dilakukan misalnya oleh
pengikut Ibnu Taimiyah dan kaum Wahabi.26
Dari makna yang sudah di singgung di atas, sehingga tradisi ziarah dapat di artikan
sebagai adat-istiadat atau kebiasaan masyarakat untuk berkunjung ke kubur apabila dilakukan
dengan tuntunan Islam maka akan menjadi perbuatan baik yang membuahkan pahala.
2. Ziarah Kubur Menurut Pandangan Islam
Islam memandang bahwa ziarah kubur itu diperbolehkan dan bisa dikatakan amal ibadah
selama yang di ziarahi itu adalah kaum muslimin. Para peziarah yang diperbolehkan itu adalah
para peziarah yang telah mempunyai akidah islam yang kuat dan mengetahui hukum ziarah dan
tujuannya. Salah satu tujuan dari ziarah kubur itu adalah bertawasul kepada seorang yang
dianggap mempunyai karamah agar mendapatkan syafaat, keberkahan, dan dikabulkan segala
apa yang diminta. Jika para peziarah itu belum mempunyai akidah yang kuat wal hasil akan
terjadi kekhawatiran bahkan cenderung berlebihan dan menyimpang dari norma-norma ajaran
agama Islam. Pendeknya kesyirikan yang timbul. Islam juga melarang kepada orang-orang
muslim berziarah ke makam orang-orang kafir, dan orang-orang munafik.
B. Ziarah Kubur Sebagai Unsur Budaya Betawi
25 Espito,”Ziarah,” Dunia Islam Modern, h. 195 26 Hassan Shadily, ”Zerubabel,” Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve), Vol 4, h.
4044
1. Pengertian Tradisi Dan Budaya
Secara defenisi istilah ”tradisi” yang telah menjadi lingua franca bahasa Indonesia
dipahami sebagai segala sesuatu yang turun-temurun dari nenek moyang.27 Tradisi dalam kamus
Antropologi sama dengan adat istiadat yakni kebiasaan yang bersifat magis religius dari
kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi mengenai nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum
dan aturan-aturan yang saling berkaitan, dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan yang
sudah mantap serta mencakup segala konsepsi sistem budaya dari suatu kebudayaan untuk
mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosial.28 Sedangkan dalam kamus
sosiologi, diartikan sebagai kepercayaan dengan cara turun menurun yang dapat dipelihara.29
Tradisi merupakan pewarisan norma-norma, kaidah-kaidah, dan kebiasaan-kebiasaan.
Tradisi tersebut bukanlah suatu yang tidak dapat diubah, tradisi justru dipadukan dengan aneka
ragam perbuatan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya. Karena manusia yang membuat
tradisi maka manusia juga yang dapat menerimanya, menolaknya dan mengubahnya.30
Tradisi juga dapat dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang turun-menurun dalam sebuah
masyarakat, dengan sifatnya yang luas tradisi bisa meliputi segala kompleks kehidupan, sehingga
tidak mudah disisihkan dengan perincian yang tepat dan pasti, terutama sulit diperlakukan serupa
atau mirip, karena tradisi bukan obyek yang mati, melainkan alat yang hidup untuk melayani
manusia yang hidup pula.31
Tradisi dipahami sebagai suatu kebiasaan masyarakat yang memiliki pijakan sejarah
masa lampau dalam bidang adat, bahasa, tata kemasyarakatan keyakinan dan sebagainya,
27 W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985), h. 1088. 28Ariyono dan Aminuddin siregar, Kamus Antropologi, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), h. 4. 29 Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 1993), h. 459. 30 Van Peursen, Strategi Kebudayaan, (Jakarta: Kanisius, 1976), h. 11. 31 Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), h. 3.
maupun proses penyerahan atau penerusannya pada generasi berikutnya. Sering proses
penerusan terjadi tanpa dipertanyakan sama sekali, khususnya dalam masyarakat tertutup dimana
hal-hal yang telah lazim dianggap benar dan lebih baik diambil alih begitu saja. Memang tidak
ada kehidupan manusia tanpa sesuatu tradisi. Bahasa daerah yang dipakai dengan sendirinya
diambil dari sejarahnya yang panjang tetapi bila tradisi diambil alih sebagai harga mati tanpa
pernah dipertanyakan maka masa kinipun menjadi tertutup dan tanpa garis bentuk yang jelas
seakan-akan hubungan dengan masa depan pun menjadi terselumbung. Tradisi lalu menjadi
tujuan dalam dirinya sendiri.32
Adapun adalah berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah yang berarti akal atau
pikiran. Ki Hajar Dewantara tokoh budaya dan pendidikan nasional menyebutkan budaya
sebagai “daya dari budi” atau “buah budi” manusia dalam masyarakat. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) mengartikan budi sebagai paduan dari akal perasaan manusia, sedangkan budi
daya adalah segala usaha yang memberikan hasil atau nilai lebih dari suatu produk usaha
manusia. Dalam bahasa Inggris, budaya disebut culture. Dalam bahasa Belanda, culture berasal
dari bahasa latin colore yang berarti mengolah atau mengerjakan tanah. Dalam KBBI kata kultur
diartikan sebagai budaya. Jadi istilah kultur, budaya, kebudayaan mempunyai pengertian yang
sama.33
Menurut E.B Taylor, seorang ahli antropologi dari Inggris mengemukakan bahwa
kebudayaan adalah kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
hukum, moral, kebiasaan, dan lain-lain kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat penduduk kebudayaan tersebut.
32 Hassan Shadily, ”Tracy Spencer,” Ensiklopedi Islam, Vol 6, (Jakarta: PT. Ichatiar Baru Van Hoeve) h.
3608. 33 Tim Antropologi, (Jakarta: Yudhistira, 2001), cet ke-2, h. 152.
Menurut W.A Haviland seorang ahli antropologi dari Amerika Serikat menyatakan
kebudayaan sebagai seperangkat peraturan atau norma yang memiliki bersama oleh para anggota
masyarakat, yang apabila dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan prilaku yang
dipandang layak dan dapat diterima.
Sedangkan menurut Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan adalah seluruh
sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan cara belajar.
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli antropologi di atas maka
dapat disimpulkan bahwa kebudayaan semata-mata merupakan sistem gagasan atau ide dalam
bentuk kebiasaan, adat-istiadat, sistem nilai, dan norma, serta aturan-aturan. Dan kebudayaan
merupakan keseluruhan dari sistem gagasan, kompleks prilaku, dan hasil dari gagasan dan
prilaku.34
2. Pengertian Masyarakat Betawi
Sebelum penulis menjelaskan tentang pengertian Betawi, penulis terlebih dahulu akan
menjelaskan arti dari masyarakat itu sendiri.
Dalam bahasa Arab, masyarakat asal mulanya dari kata musyarak yang kemudian
berubah menjadi musyarakat dan selanjutnya mendapatkan kesepakatan dalam bahasa Indonesia,
yaitu masyarakat. Adapun pengertiannya adalah sebagai berikut : Musyarak artinya bersama-
sama, lalu musyarakat artinya berkumpul bersama, hidup bersama, dengan saling berhubungan
dan saling mempengaruhi. Sedangkan pemakainnya dalam bahasa Indonesia telah disepakati
dengan sebutan masyarakat.
Dalam bahasa Inggris masyarakat diterjemahkan menjadi Society, atau sebaliknya Society
diterjamahkan menjadi masyarakat. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa masyarakat
34 Tim Antropologi, (Jakarta: yudhistira, 2001), cet ke-2, h. 153.
dapat diterjemahkan menjadi dua pengertian dalam bahasa Inggris, yaitu Society dan
Community.35
Jadi definisi di atas hanya bermaksud menjelaskan perbedaan lingkup masyarakat yang
lebih luas daripada lingkup kelompok sosial. Kelompok-kelompok sosial hanya merupakan
segmen-segmen atau bagian-bagian dari masyarakat. Dapat dikatakan pula bahwa kelompok
sosial terdiri dari individu-individu, sedangkan masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok
sosial. Maka, kalau orang hendak mempelajari masyarakat perhatiannya mesti diarahkan kepada
kelompok-kelompok social, bilamana orang hendak mempelajari kelompok, fokus perhatiannya
harus ditujukan kepada individu-individu.
Kalau kita memandang kelompok-kelompok sebagai komponen-komponen masyarakat,
kita dapat memberi definisi lain: “Masyarakat adalah suatu jalinan kelompok-kelompok sosial
yang saling mengait dalam kesatuan yang lebih besar, berdasarkan kebudayaan yang sama”.36
Dalam definisi tersebut di atas, satu aspek lain hendak ditonjolkan, yaitu bahwa
kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat itu tidak hidup sendiri-sendiri, melainkan
saling membutuhkan. Kelompok-kelompok itu hanya dapat hidup berkat adanya kesadaran akan
perlunya kerja sama untuk saling memberi dan saling melengkapi kebutuhan bersama. Juga
hendak ditonjolkan dasar lain, selain kebutuhan bersama yang memungkinkan mereka bersedia
bekerja sama, yakni kebudayaan yang sama. Ini terbukti dari pengalaman umum yang terjadi dari
zaman ke zaman, bahwa seseorang atau sekelompok orang sulit menggabungkan diri dengan
masyarakat yang berkebudayaan lain.
Sedangkan jika didasarkan oleh faktor teritorial, yakni bahwa suatu masyarakat berada
dan berlangsung dalam suatu daerah dengan batas-batas tertentu, maka definisi masyarakat
35 Abdul Syani, “Sosiologi Kelompok Dan Masalah Sosial“, (Jakarta : Fajar Agung, 1987). Cet, 1, h. 1-4.
36 D. Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989), h. 74
hendaknya dirumuskan sebagai berikut: “Masyarakat adalah kesatuan yang tetap dari orang-
orang yang hidup di daerah tertentu dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok, berdasarkan
kebudayaan yang sama”.37
Suatu masyarakat, baik di dalam sebuah negara, kota, ataupun desa memiliki empat ciri
khusus, yaitu (1) interaksi antar warga; (2) adat-istiadat, norma-norma, hukum serta aturan-
aturan yang mengatur semua pola tingkah laku warga; (3) kontinuitas dalam waktu; (4) rasa
identitas yang kuat yang mengikat semua warga. Itulah sebabnya suatu negara, kota, atau desa
dapat kita sebut masyarakat (misalnya masyarakat Indonesia, masyarakat Filipina, masyarakat
desa Trunyan, Masyarakat kota Jakarta, dan sebagainya).38
Adapun pengertian Betawi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah nama yang di
berikan oleh orang Belanda dahulu kota Jakarta, ibu kota Rebuplik Indonesia dewasa ini, berasal
dari kata Batavia. Kota Betawi didirikan oleh Jan Pierterszoon coen pada tahun 1819 sesudah
berperang dengan pangeran Jakarta dan mangkubumi Banten.39
Menurut Hasan Shadily dalam Ensiklopedia Indonesia, menyatakan Betawi adalah
sebutan orang pribumi terhadap Batavia (nama Jakarta pada zaman penjajahan Belanda). Ciri
khas orang Betawi bisa dikenal dari bahasa dibelakangnya yang banyak menggunakan E dan In
pada akhir kata seperti siape, dimane, ditungguin, dikerjain dan lain sebagainya. Suku betawi
bisa juga dikenal dengan ciri-cirinya secara jelas pada akhir abad ke-19 atau + ke-17, ketika
terjadi akulturasi, asimilasi, pencampuran antara suku etnis yang bermukim di Sunda kelapa,
kemudian Jayakarta dan Batavia. Sebelum menjadi Jakarta, orang Betawi penjelmaan dari
pencampuran berbagai suku bangsa di Jakarta (orang Melayu, Bali, Sunda, Jawa, Sumbawa,
37 D. Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, h. 75 38 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), Cet. Ke-3, Jilid 1, h. 121
39 Badaduan dan Sultan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan , 1996), h. 177.
Sulawesi Selatan dan lain-lain). Seni Betawi pun mencerminkan pencampuran suku tersebut,
seperti : sambrah, gambang kromong, tari topeng, gambus, rebana, pencak silat, lenong dan lain-
lain. Betawi juga merupakan suku asli Jakarta yang mendiami wilayah sampai daerah perbatasan
Jawa Barat, seperti Tanggarang Bogor, Bekasi, dan Karawang.40
Sementara Ridwan Saidi menyatakan bahwa secara umum nama Betawi diyakini berasal
dari kata Batavia, yaitu nama yang digunakan penjajah Belanda untuk menyebut kota yang
sebelumnya dikenal dengan Sunda Kelapa.41
Lebih lanjut Ridwan Saidi menyatakan dalam buku Profil Orang Betawi, Asal Muasal,
Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya, bahwa Betawi adalah sebuah suku yang berdomisili di
Jakarta dan sekitarnya yang menjadi penduduk asli Jakarta. Betawi juga merupakan suku terlama
yang ada di Indonesia.42
Sifat yang amat diperlukan oleh manusia Indonesia dalam menyongsong milenium ke
tiga adalah tahan uji, inovatif, kreatif, percaya diri, ulet, legaliter, dan demokratis. Kalaupun
tidak semuanya, sebagian sifat-sifat yang terurai itu secara potensial mengedap dalam
kebudayaan Betawi. Namun bagi masyarakat luas, sifat yang paling menonjok bagi orang Betawi
adalah seleranya yang tinggi terhadap humor. Boleh dikatakan tidak ada orang Betawi, baik tua
atau muda, baik perempuan atau laki –laki, yang tidak dapat melucu. Bias-bias humor itu terasa
pada setiap bentuk komunikasi orang Betawi, sekalipun dalam memberi nasehat yang mestinya
seratus persen serius.43
Masyarakat Jakarta dalam perpektif nasional secara keseluruhan merupakan orang
Betawi, namun jika di tarik kedalam perspektif kultural, maka orang Betawi adalah orang dengan
40 Hassan Shadily, ”Besi,” Ensiklopedi Indonedia,, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), Vol. 1, h. 458
41 Ridwan Saidi, Orang Betawi dan Modernisasi, (Jakarta: LSIP, 1994), Cet. Ke-1, h. 2. 42 Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya, (Jakarta: PT. Gunara Kata, 2001), h. 7
43 Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, kebudayaan, dan Adat Istiadat, h. 219.
jumlah tertentu yang memiliki norma, sistem sosial, dan tingkah laku tersendiri, dan tentunya
mereka telah lama menetap di Jakarta. Jadi makna Betawi adalah suku asli yang menempati
pertama kalinya kota Jakarta atau yang dulu lebih dikenal dengan nama Sunda kelapa. Suku
Betawi juga termasuk suku terlama yang ada di negeri ini, jadi mereka bukanlah suku yang baru-
baru saja mucul atau istilah Ridwan Saidi adalah, ‘suku yang tulangnya masih muda'.44
Betawi adalah mosaik kebudayaan yang memiliki teksture Islami tanpa kehilangan nuasa
tradisionalnya. Karena peran Jakarta menjadi semakin penting sebagai Ibukota negara, maka
dengan sendirinya tata pergaulan dan bahasa yang digunakan masyarakat Jakarta menjadi
parameter modernisme bagi orang-orang daerah. Maka, peran komunitas Betawi dalam
modernisasi Indonesia menjadi makin penting. Untuk menyongsong milenium ketiga dalam
beberapa tahun sejak sekarang, diperlukan suatu perencanaan kebudayaan yang
memperhitungkan kedudukan strategis kebudayaan Betawi dalam mandala kebudayaan
Nasional. Apalagi wilayah kebudayaan Betawi makin luas melebihi wilayah administrasinya.
Dan orang Betawi itu merupakan inti masyarakat Jakarta.45
Kematian adalah akhir dari siklus kehidupan manusia. Bagi orang Betawi kematian
adalah sesuatu yang nyata yang akan dihadapi pleh manusia. Menghadapi kenyataan kematian,
orang Betawi bersedih, bahkan menangis, tetapi tidak meratap-ratap. Sanak keluarga, para
tetangga, bahkan orang yang tidak kenal dengan almarhum, berkunjung ke rumah duka.
Menyelipkan uang selawat di baskom yang berisi beras yang ditutupi kain putih. Dan
penguburan jenasah harus disegerakan. Sedapat mungkin jenasah dikubur di hari yang sama
44 Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat, h. 7. 45 Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat, h. 219.
dengan hari kematiannya, paling lambat sebelum waktu Magrib tiba. Pemakaman tidak
dilakukan malam hari. Wanita tidak ikut mengantar ke kubur.46
Selamatan bagi masyarakat diadakan di hari ke-3, ke -7, dan ke-40 dengan mengundang
kerabat untuk tahlilan. Upacara kematian diselenggarakan dengan berpegang kepada ajaran dan
tradisi Islam.47
Dari beberapa pandangan para pakar, sebagaimana diuraikan di atas, yang dimaksud
dengan Betawi adalah penduduk asli Jakarta yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu.
Berdasarkan uraian di atas tentang pengertian masyarakat dan Betawi, maka yang
dimaksud dengan masyarakat Betawi adalah sebuah komunitas penduduk asli yang bermukim di
Jakarta dan sekitanya, yang terbentuk dari interaksi antara bebagai suku atau etnik.
Biasanya masyarakat Betawi yang dikenal sebagai masyarakat tradisionalis, religius dan
kental dengan nuansa Islam maka Ramadhan memiliki arti penting bagi masyarakat Betawi.
Sepekan menjelang Ramadhan atau sebelum masuknya bulan puasa, masyarakat Betawi pada
umumnya lakukan tradisi ziarah ke kubur dan munggahan (silaturahmi kerumah keluarga dan
kerabat terdekat). Bagi mereka yang orang tua atau keluarganya telah meninggal dunia maka
mereka menziarahi makam atau kubur untuk mendoakan, sedangkan yang keluarganya masih
hidup maka wajib datang untuk bersilaturahmi dan saling bermaafkan agar dalam menjalankan
puasa di bulan Ramadhan lebih afdhol dan khusyu.48
Kegiatan ziarah kubur yang menjadi rutinitas pada masyaakat Betawi ini, bukan hanya
dilaksanakan pada menjelang bulan Ramadhan saja, melainkan pada waktu kapan saja, tetapi
46 Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat, h, 160 47 Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat,. h. 160. 48 Bo/Babe, “ Tradisi Ziarah dan Munggahan,” artikel diakses pada 06/10/2005 dari Website:
www.indosiar.com, Jakarta.
yang paling idealnya dilaksanakan pada bulan Hijriah, yaitu pada bulan Dzulhijjah, Muharram,
Rajjab, pertengahan bulan Sya’ban (Roahan), dan pada bulan Syawal.
BAB III
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
A. Letak Geografis
Jakarta yang berstatus sebagai ibu kota negara Republik Indonesia merupakan suatu
kawasan administratif kota yang terletak pada 106° 48’ Bujur Timur dan 11° 15’ Lintang
Selatan. Letaknya itu memasukkannya ke dalam daerah tropik sehingga suhu udaranya tinggi,
yakni rata-rata 27° C. Sebagai bagian Indonesia, Jakarta dipengaruhi oleh angin muson dengan
kelengasan udara berkisar antara 80-90 %.
Kawasan ini terletak di daratan rendah pantai utara bagian barat Pulau Jawa. Ketinggian
maksimal di bagian utara (Tanjung Priok) adalah 7 meter di atas permukaan laut dan makin ke
selatan medannya relatif bergelombang. Daerah yang sangat datar kira-kira mulai dari Banjir
Kanal ke arah laut sehingga dearah ini sering dilanda banjir di musim hujan. Di pantai Jakarta
terdapat juga rawa-rawa.49
Sedangkan letak makam Muallim Kiyai Haji Muhammad Syafi’i Hadzami berada di
Yayasan Al-Asyirotusy Syafi’iyyah di jalan KH. M. Syafi’i Hadzami, Kampung Dukuh
Kecamatan Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Berdiri di atas area tanah secara keseluruhan seluas
1 : 12500 meter berada di pinggir jalan raya, jarak makam Muallim Kiyai Haji Muhammad
Syafi’i Hadzami ± 900 meter, dari kantor Kelurahan Kebayoran Lama Utara, ± 700 meter dari
kantor Kecamatan Kebayoran Lama dan Polsek, serta dengan batas-batas sebagai berikut :
1. Sebelah Utara : Sultan Iskadar Muda (Kel. Grogol Selatan)
2. Sebelah Timur : Gandaria (Kel. Keramat Pela)
49Tim Penyusun Department Pendidikan dan Kebudayaan, Perkampungan Di Pekotaan Sebagai Proses
Adaptasi Sosial Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, (Jakarta : Depdikbud, 1985), h. 10.
3. Sebelah Selatan : Bungur (Kel. Kebayoran Lama Selatan)
4. Sebelah Barat : Peninggaran Timur (Kel. Keb. Lama Utara)
Untuk datang ke makam Muallim Kiyai Haji Muhammad Syafi’i Hadzami sangat mudah
apabila ingin berziarah, bisa dari arah Ciputat, Lebak Bulus, Pondok Pinang, dan lebih dekat lagi
dari arah Kebayoran Lama. Lokasinya bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum
maupun pribadi. Jika menggunakan kendaraan umum bisa naik mikrolet DO1 jurusan Ciputat
Kebayoran Lama dan metromini 85 jurusan Lebak Bulus Kali Deres. Jika dari arah Ciputat turun
di Alteri menyeberangi jalan kearah Jl. KH. M. Syafi’i Hadzami letaknya tidak jauh ± sekitar 50
meter.
Jangan takut kesasar menuju makam Muallim Kiyai Haji Muhammad Syafi’i Hadzami
karena penduduk asli setempat pada umumya pasti sudah mengenal sosok Muallim Kiyai Haji
Muhammad Syafi’i Hadzami, dan beliau ini pendiri Yayasan Al-Asyirotusy-Asyafi’iyyah.
B. Biografi Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami
Muhammad Syafi’i. Itulah nama yang diberikan oleh pasangan Bapak Muhammad Saleh
Raidi dan Ibu Mini untuk anak tertua mereka yang lahir pada tanggal 31 Januari 1931 M
bertepatan dengan 12 Ramadhan 1349 H. Di kemudian hari ia lebih dikenal dengan nama Syafi’i
Hadzami atau lengkapnya KH. M. Syafi’i Hadzami. Oleh anak-anak dan cucunya, ia kini biasa
dipanggil jid (dari kata bahasa arab yang berarti kake). Ada pula yang memanggil buya.
Sedangkan murid-muridnya biasa menyebutnya dengan sebutan Muallim. Nama Hadzami
sebutan dari salah seorang sahabatnya, karena kepintaran beliau. Di kemudian hari nama
Hadzami menjadi sangat melekat pada dirinya dan banyak orang mengira bahwa Syafi’i
Hadzami adalah nama beliau sejak lahir. Sehingga, jika disebut nama Muhammad Syafi’i,
mungkin orang tidak tahu bahwa itu adalah nama beliau.50
Ayah Muallim yang dilahirkan pada tanggal 31 Desember 1911 adalah seorang Betawi
asli, sedangkan ibunya berasal dari daerah Citeureup, Bogar, Jawa Barat. Ketika Muallim Syafi’i
dilahirkan, ayahnya ini sedang bekerja di sebuah perusahaan minyak asing di Sumatera Selatan.
Sekitar 2 tahun ayah Muallim bekerja di sana. Setelah kontraknya selesai ia kembali ke kampung
halamannya, Rawabelong. Muallim Syafi’i mempunyai tujuh saudara kandung. Tidak seperti
Muallim yang tinggal bersama kakeknya, semua saudaranya ini ketika kecil tinggal bersama
kedua orang tua mereka. Mereka adalah Solehah, Safri, Sa’diah, Suhairi, Sahlani, Saidi, dan
Syafwani.
Sejak kecil, Syafi’ tidak lagi tinggal dengan orang tua dan adik-adiknya, melainkan
dengan kakeknya yang tinggal di Batu tulis XIII (dulu disebut Gang Lebar), Pecenongan yang
bernama Husin. Ketika itu ia belum berusia 2 tahun karena seingatnya masih suka jatuh bila
berjalan. Ia memanggil Kakek Husin dengan sebutan jid. Orang-orang lain di Kampungnya juga
memanggilnya dengan panggil yang sama. Kakek Husin tidak mempunyai anak. Maka jadilah
Syafi’i sebagai pengganti anak baginya. Dulu ayah Syafi’i ketika kecil juga dirawat oleh Kakek
Husin. Ketika Muallim mulai tinggal bersamanya, Kakek Husin sudah pensiun. Sebelumnya ia
bekerja sebagai pegawai percetakan. Setelah pensiun, waktunya diisi dengan mengajar ngaji
anak-anak di samping juga berdagang kecil-kecilan.
Kakek Husin mengajari ngaji Muallim sampai fasih, berserta ilmu tajwidnya. Dalam
mengajar Al-Qur’an, Kakeknya bener-bener memberikan perhatian, bukan asal khatam saja.
Kakeknya ingin sang cucu bener-bener memahami apa yang dipelajarinya. Cara Kakek Husin
50 Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, (Jakarta: Yayasan Al-Asyirotusy Syafi’iyyah, 1999). Cet 1,
h. 11-12.
dalam mendidik dirasakan Syafi’i sangat keras. Shalat, misalnya, harus dilaksanakan tepat
waktu. Bila waktu subuh telah tiba tetapi ia belum bangun, ia diguyurin air. Sikap disiplin
menjalankan perintah agama semacam inilah yang ditanamkan oleh Kakeknya. Begitu
disiplinnya beliau sampai main-main pun Syafi’i dilarang.
Pada usia 9 tahun Syafi’i sudah khatam Al-Qur’an di bawa asuhan Kakeknya yang
disiplin dan tegas dalam pendidikan, Syafi’i juga mengajar anak-anak lain pada usia itu. Mereka
itu anak-anak sekampungnya dan kurang lebih sebaya dengannya. “Kalau tidak begitu cara
Kakek mendidik, saya mungkin enggak jadi orang,” begitu kata Muallim.51
Sejak kecil, Muallim Syafi’i senang melihat orang-orang pinter, terutama para Kiyai. Ia
ingin bisa seperti mereka. Karena itu, ketika kecil ia senang berpakaian seperti ulama. Namun ia
tidak tahu, dari mana datangnya keinginan itu. Pada keluarganya, ia tak melihat ada
kecendrungan untuk menjadi Kiyai. Barang kali didikan Kakeknya yang selalu menyuruh untuk
mengaji dan sering mengajaknya ke tempat-tempat para ulama yang membuatnya ingin menjadi
seperti mereka.
Sejak kecil Muallim Syafi’i tak mengalami benturan cita-cita dengan Kakeknya.
Seandainya Kakek Husin seorang yang sangat kaya dan pergaulannya sangat luas, mungkin lain
lagi ceritanya. Bukan mustahil Kakeknya menghendaki Syafi’i menjadi “kantoran”. Mungkin
juga ia disekolahkan agar menjadi dokter atau ahli hukum. Tetapi sebagai seorang guru ngaji,
Kakeknya tak melihat segi lain dalam kehidupannya selain bahwa cucunya pun harus bergulat di
bidang agama.
51 Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, h. 13.
Dalam pendidikan agama, bisa dikatakan ia tidak ditunjang oleh orang tua. Semua
dilakukan dengan kemauan sendiri. Ia mengembangkan semangat sendiri dan belajar keras
sendiri. Jadi, ia bener-bener mandiri. Hanya watak Kakeknya sangat mempengaruhidirinya.52
Sepuluh tahun lalu, tepatnya tanggal 22 April 1997 ayah Muallim telah berpulang ke
rahmatullah dan dimakamkan di pemakaman umum Gandaria, tidak jauh dari kediaman
Muallim. Sedangkan setahun yang lalu tepatnya hari minggu tanggal 07 Mei 2006 sekitar jam
08.30 kurang lebih Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami penerang kota Jakarta berpulang ke
rahmatullah setelah mengajar di Masjid Ni’ matul- Ittihad Pondok pinang, Ciputat Raya.
C. Pandangan Ulama Mengenai Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami.
Dengan segala kelebihan yang dimilikinya dan pengakuan-pengakuan orang-orang besar
tentang keistimewaannya, Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami tetap menampilkan dirinya
sederhana dan tak berlebihan. Walaupun demikian, kita tetap melihatnya memiliki wibawa yang
kuat sebagai pancaran kealiman, kesalehan, dan keikhlasannya.
Untuk lebih mengenal pribadi Muallim lebih jauh lagi, berikut ini kita perhatikan
beberapa komentar dan kesan tentang beliau yang dituturkan oleh orang-orang terdekatnya, baik
dari murid-murid, maupun kawan-kawannya.
1. KH. Abdurrasyid Abdullah Syafi’i
(Pimpinan Perguruan asy-Syafi’iyyah, Tebet Jakarta)
Beliau adalah seorang Kiyai yang berpenampilan sederhana namun memancarkan
charisma yang kuat karena dorongan sinar iman, ilmu, dan al-akhlaqul-karimah. Sejak lebih dari
30 tahun yang lalu nama beliau sebagai ulama sudah harum di telinga ummat Islam, khususnya
di Jakarta.
52 Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, h. 13
Di antara ulama Betawi yang menjadi murid Habib Ali Bungur, tampaknya beliaulah
yang memang paling dapat diandalkan. Kalau boleh saya katakana, yang “menguras” ilmu Habib
Ali Bungur adalah beliau. Bila di zaman Habib Ali bin Husein al-Aththas (Habib Ali Bungur)
dulu yang paling menonjol adalah Habib Ali, maka wajar bila di kemudian hari yang paling
menonjol di kalangan ulama Betawi adalah KH. M. Syafi’i Hadzami. Kata orang, kalau ingin
mengambil berlian, ya ambil dari laut! Bila kita melihat KH. M. Syafi’i Hadzami bertaburkan
berlian, itu karena beliau mengambilnya dari lautan ilmu Habib Ali.53
2. Habib Ali bin Abdurrahman as-Seggaf
Bertemu dengan KH. M. Syafi’i Hadzami itu menyenangkan. Beliau orang yang bersih
hatinya dan indah akhlaknya. Kita merasa tidak ada jarak dengan beliau. Beliau tidak
menonjolkan diri sebagai orang yang memiliki kelebihan. Di hadapan beliau, kita merasa sebagai
anak yang harus diayomi, seperti di hadapan orang tua sendiri.
Beliau itu seorang yang sederhana dan senantiasa membingkai tingkah lakunya dengan
norma-norma sebagaimana para ulama ahli fiqih pada umumnya. Beliau menghargai orang lain
dengan baik. Pendeknya, beliau selalu menjaga adab dan sopan santun.54
3. Muallim KH. Bunyamin, murid (lahir 1955)
Dibandingkan murid-murid terdekat beliau, saya belum lama mengenal beliau. Saya baru
mulai mengikuti beliau sejak tahun 1990. Sejak pertama kali mengenal beliau, saya bener-bener
cocok dengan beliau dan tak mau lagi lepas dari beliau. Ulama memang banyak, tetapi KH. M.
Syafi’i Hadzami hanya satu. Sekali lagi saya katakana, hanya satu! Sulit dicari orang seperti
beliau.
53 Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, “Kutipan Komentar Para Tokoh”, h. ix 54 Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, “Kutipan Komentar Para Tokoh”, h. ix
Kealiman beliau tak perlu disangsikan lagi, karena pengetahuannya beliau penuh dan
meliputi bermacam-macam ilmu. Kelebihan lain dari beliau adalah istiqamahnya. Beliau bener-
bener seorang yang istiqamahdan itu diakui oleh semua orang. Saya rasa istiqamahnya ini yang
membuat ilmu beliau bisa seperti itu. Beliau juga bersikap tawadhu’ dan selalu menghormati
orang lain, baik yang lebih tua atau yang lebih muda dari beliau.
Sepanjang yang saya tahu saya denger, ulama-ulama sangat menghormati beliau,
termasuk para ulama terkemuka. Di Mekkah saya lihat sendiri bagaimana perlakuan Kiyai
Damanhuri dan juga Syekh Ismail al-Yamani terhadap beliau. Dari perlakuan yang mereka
tunjukan kepada beliau, kita mengetahui bahwa beliau dihormati oleh ulama-ulama terkemuka.
Selama saya mengenal dan mengikuti beliau, saya belum pernah melihat beliau marah.
Dalam perjalanan, beliau lebih banyak mengisi waktu dengan berdzikir. Beliau tak mau
berbicara yang tak bermanfaat, yang sekedar mengisi kekosongan waktu saja. Terkadang kita
yang muda-muda ini suka malu kepada beliau.
Dalam mengajar, selain tampak sekali kealimannya, beliau juga menunjukan keterbukaan
dan kebesaran jiwanya. Beliau selalu menerima dengan senang hati bila ada murid-muridnya
yang memberikan pandangan yang berbeda atau mengoreksi bila beliau secara tak sengaja salah
atau kurang tepat dalam membaca. Pendapat orang lain bener-bener diperhatikan oleh beliau,
walaupun pendapat itu datang dari murid-muridnya sendiri.55
4. KH. Sabilar Rasyad, murid
Pertama kali saya mengetahui dan tertarik dengan Muallim adalah ketika mengikuti acara
Tanya jawab di Radio Cenderawasih yang diasuh beliau pada awal tahun 70. Saya tertarik dan
kagum karena jawaban-jawaban beliau atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menurut saya
sangat mantap.
55 Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, “Kutipan Komentar Para Tokoh”, h. 238-239.
Kemudian sekitar tahun 1975 saya sering dating menghadiri majlis beliau di masjid an-
Nur, jalan Taman Sari II, Kota setiap hari Ahad. Tetapi ketika itu saya belum mengikuti secara
rutin. Sekitar tahun 1976 barulah saya dapat hadir secara rutin. Mulai tahun 1977 saya mulai ikut
pengajian hari Sabtu di rumah beliau. Kemudian saya juga mengikuti pengajian malam Minggu
di Jalan Cilamaya, Cideng di rumah Haji Ali Dimung. Selain itu juga pengajian malam Rabu di
masjid Muyassarin, Kebayoran Lama.
Di antara pengajian-pengajian Muallim tersebut yang saya terus hadir adalah pengajian
hari Sabtu. Saya sengaja tidak mau menerima undangan setiap hari Sabtu bila waktunya
bersamaan dengan waktu pengajian di tempat beliau. Bila tidak ada kepentingan mendadak yang
tidak bisa dihindari sedapat mungkin saya akan mengikuti majlis beliau.
Muallim memiliki kelebihan pada pemahaman ilmu. Pengetahuan beliau tentang berbagai
hal sangat luas, tidak terbatas persoalan agama saja. Dalam menjabarkan suatu permasalahan
agama, beliau biasanya menjelaskan secara detil dan rinci. Bahkan, beliau tak jarang member
pandangan dari pengetahuan umum untuk memperkuat uraian-uraian keagamaannya. Jadi,
Muallim Syafi;i Hadzami tak sekedar menguasai ilmu keagamaan.
Dalam menjabarkan persoalan agama, Muallim tidak hanya mendasarkan keterangannya
dari satu kitab saja. Melainkan, ia memberikan penjelasan lewat berbagai kitabyang sangat
berkaitan. Hal ini memang tidak sulit dilakukan oleh beliau, karena di samping memiliki
wawasan yang sangat luas dalam berbagai cabang keilmuan Islam, beliau juga mempunyai
referensi yang sangat banyak. Itulah mungkin yang membedakan Muallim dengan guru-guru
lainnya.56
D. Ringkasan Riwayat Hidup Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami
56 Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, “Kutipan Komentar Para Tokoh”, h. 223-225
Waktu Peristiwa
31 Januari 1931 Lahir dengan nama Muhammad Syafi’i sebagai anak pertama pasangan
Bapak Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini.
1933 Mulai tinggal bersama Kakek Husin di Batu Tulis XIII, Pecenongan.
1935 Belajar Al-Qur’an beserta tajwidnya kepada Kakek Husin. Ia belajar
kepadanya hingga Kakeknya itu wafat sekitar tahun 1944.
1936 Masuk sekolah dasar HEI (Hollandche Engels Instituut) yang terletak di
Jalan Ketapang.
Sekitar 1938 Mulai diajak Kakek Husin untuk mengaji dan membaca dzikir di tempat
Kiyai Abdul Fattah, pemimpin tarekat Idrisiah. Rumah Kiyai Abdul Fattah
dan masjidnya terletak di daerah Batu Tulis juga. Pembacaan dzikir
dilakukan di malam hari. Kakek Husin juga biasa shalat berjamaah di sana
dan Syafi’i kecil selalu diajak.
Sekitar 1939 Berdagang kue buatan Neneknya dengan berkeliling sekitar kampungnya
sebelum berangkat sekolah. Kegiatan ini dijalaninya selama lebih kurang 2
tahun.
1940 Mengkhatamkan Al-Qur’an dan mulai membantu mengajar teman-
temannya.
Sekitar 1941 Belajar Al-Qur’an, lughah, nahwu, dan shorof kepada Pak Sholihin. Lebih
kurang 2 tahun ia belajar.
1942 Lulus dari HEI
Sekitar 1945 Mengikuti kursus stenografi dan pembukuan.
1946 Berdagang barang-barang kelontong di Pasar Atom, setelah kedatangan
NICA di Indonesia.
1947 Bekerja di Balai Pustaka sebagai tenaga pemeriksa pembukuan. Ia bekerja
selama lebih kurang 2 tahun.
1948 Menikah dengan gadis tetangganya di Batu Tulis bernama Nonon yang di
kemudian hari dipanggil dengan panggilan Hajjah Siti Khiyar. Ketika
menikah Muallim Syafi’i Hadzami telah tinggal di Kemayoran.
1948 Mulai belajar kepada Guru Sa’idan di daerah Kemayoran. Pada beliau ia
mempelajari ilmu tajwid, ilmu nahwu dengan kitab pegangan Mulhatul-
I’rab, dan ilmu fiqh dengan pegangan kitab ats-Tsimarul-Yani’ah yang
merupakan syarah atas kitab ar-Riyadhul-Badi’ah. Guru Sa’idan pula
yang menyuruhnya belajar kepada guru-guru lain, di antaranya kepada
Guru Ya’kub Sa’idi (Kebon Sirih). Lebih kurang 5 tahun Muallim Syafi’i
belajar kepada Guru Sa’idan, yaitu sampai tahun 1953.
1950 Belajar kepada seorang ulama keluaran Mekkah yang terkenal alim, yaitu
KH. Ya’kub Saidi yang biasa dipanggil Guru Ya’kub. Selama sekitar 5
tahun (sampai tahun 1955), ia mengaji kepada Guru Ya’kub. Banyak kitab
yang telah dibacanya sampai khatam, terutama kitab-kitab dalam ilmu
ushuluddin dan manthiq. Di antara kitab-kitab yang dikhatamkan padanya
adalah Idhahul-Mubham, Darwisy Quwaysini, dan lain-lain.
1950 Mulai belajar kepada KH. Mahmud Romli (Guru Mahmud) Muallim
mengaji kitab kepada Guru Mahmud hingga beliau wafat pada tahun 1959.
Kitab-kitab yang dipelajari diantaranya adalah Ihya’ Ulumiddin (tashawuf)
dan Bujairimi (fiqih).
1951 Mendapatkan anak pertama yang diberi nama Ahmad Chudlory. Kini H.
Ahmad Chudlory menjadi anggata DPRD DKI Jakarta dari fraksi PPP.
1953 Selama lebih kurang 5 tahun, yaitu sampai tahun 1985, Muallim Syafi’i
belajar kepada KH. Mukhtar Muhammad di Kebon Sirih yang masih
terhitung mertuanya sendiri juga murid dari Guru Ya’kub. Di antara kitab
yang dibaca ketika mengaji padanya adalah Kafrawi (dalam ilmu Nahwu).
Sekitar 1956 Bekerja di RRI sebagai pegawai negeri. Tugasnya adalah transcription
service, yaitu rekaman music-musik.
1958 Mulai belajar kepada Habib Ali bin Husein al-Aththas (Habib Ali
Bungur). Muallim Syafi’i belajar kepadanya hingga beliau wafat pada
tahun 1976. Ia banyak sekali mengaji kitab kepada beliau. Biasanya
sebelum berangkat ke kantor di RRI, Muallim datang ke tempat Habib Ali
Bungur dan membaca kitab di hadapannya.
Sekitar 1960 Muallim meminta rekomendasi kepada Habib Ali bin Abdurrahman al-
Habsyi (Habib Ali Kwitang) atas karangannya yang berjudul al-Hujajul-
Bayyinah (argumentasi-argumentasi yang jelas). Setelah melihat karangan
Muallim itu, Habib Ali bukan hanya memberikan rekomendasinya dalam
bahasa Arab melainkan juga memberikan sebuah Al-Qur’an, tasbih, dan
uang sebesar 5.000 rupiah kepadanya. Uang sebesar itu sangat lumayan
untuk ukuran waktu itu.
1963 Sewaktu Muallim Syafi’i Hadzami baru mengajar pada 14 majlis taklim,
terbentuk sebuah badan yang bernama BMMT (Badan Musyawarah Majlis
Taklim) yang mengkoordinasikan majlis-majlis itu. Dalam musyawarah
yang diadakan pada tanggal 7 April 1963 dan dipimpin langsung oleh
Muallim Syafi’i Hadzami, dapat ditetapkan dan disahkan susunan
pengurus BMMT yang diberi nama Al-‘Asyirotusy-Syafi’iyyah sekaligus
mengukuhkan pimpinan-pimpinan majlis taklim tersebut.
1966 Menunaikan haji yang pertama bersama kawan dagangnya, Haji Abdul
Qadir Ghozali.
1969 Setelah bertugas cukup lama, maka atas pertimbangan-pertimbangan
tertentu, Muallim memutuskan berhenti dari RRI. Statusnya sebagai
pegawai negeri ia tinggalkan dan ia mencari pekerjaan lain.
1970 Mulai mengasuh pengajian udara di Radio Cenderawasih, Jakarta selama
beberapa tahun. Pada mulanya berbentuk ceramah sebagaimana biasa.
Karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang masuk, maka pihak radio
memintanya untuk mengasuh acara tanya jawab. Dengan jawaban-
jawaban yang argumentative berdasarkan dalil-dalil yang kuat, para
penanya dan permisa radio lainnya merasa puas. Karenanya, tidak heran
bila kemudian acara ini banyak dipuji orang. Bahkan, salah seorang
gurunya yang paling utama pun, Habib Ali bin Husein al-Attas (Habib Ali
Bungur) menyatakan kegembiraannya dan memujinya.
1971 Jawaban-jawaban yang beliau sampaikan di radio Cenderawasih berikut
dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, diterbitkan dengan judul
Taudhihul-Adillah yang artinya menjelaskan dalil-dalil, disertai judul
dalam bahasa Indonesia Seratus Masalah Agama. Hingga saat ini telah
tujuh jilid buku yang diterbitkan. Inisiatif penerbitannya datang dari
Muallim sendiri. Selain di Indonesia, buku itu juga pernah dicetak di
Malaysia.
1972 Setelah BMMT berjalan sekitar 10 tahun, majelis-majelis taklim yang
diasuh Muallim bertambah lagi 9 buah, sehingga semuanya menjadi 23
majelis taklim. Dengan adanya perkembangan ini, maka dalam
musyawarah pengurus tanggal 16 pebruari 1972 yang dipimpin langsung
oleh KH. M. Syafi’i Hadzami diputuskan untuk mengadakan penyegaran
anggota pengurus.
1973 Muallim untuk kedua kalinya kembali mendapatkan kesempatan
menunaikan ibadah haji. Kali ini ia berangkat bersama istrinya. Ikut pula
bersama Muallim beberapa orang jamaah al-Asyirotusy-Syafi’iyyah.
1975 Jumlah majelis taklim beliau bertambah menjadi 26 buah yang tepatnya
lebih tersebar luas lagi. Berlandaskan musyawarah mufakat segenap
anggota majelis-majelis taklim, maka pada tahun 1975 dengan akte
Notaris M.S. Tadjoedin no. 288 tertanggal 30 Juni 1975, dibentuk suatu
yayasan yang bernama Yayasan BMMT al-‘Asyirotusy-Syafi’iyyah
dengan ketua umumnya KH. Muhammad Syafi’i Hadzami.
1 Juni 1975 Dalam suatu pertemuan antara pengurus Yayasan BMMT dengan para
anggota majelis taklim, Yayasan telah menerima tanah untuk modal
pembangunan kompleks pesantren. Tanah untuk membangun gedung
pesantren itu terletak di Kampung Dukuh, kebayoran Lama Jakarta
Selatan.
1975 Di angkat menjadi salah satu anggota pengurus MUI DKI untuk periode
1975-1980.
20 Januari 1976 Guru Sa’idan wafat dan dimakamkan di daerah Kranji, Bekasi.
16 Pebruari 1976 Habib Ali bin Husein al-Aththas, salah seorang guru utama dari Muallim
KH. M. Syafi’i Hadzami wafat dan dimakamkan di dekat masjid al-Hawi,
Cililitan, Jakarta Timur.
19 Januari 1977 Dalam suatu upacara peresmian dimulailah pelaksanaan pembangunan
kompleks pesantren. Dalam kesempatan itu sambutan-sambutan yang
bersifat dukungan telah diberikan oleh Bapak Haji Urip Widodo selaku
Wakil Gubernur DKI, Bapak KH. Dr. Idham Chalid, dan beberapa ulama
terkemuka Jakarta.
1980 Diberi kepercayaan yang lebih tinggi dalam kepengurusan MUI DKI
periode 1980-1985, yaitu sebagai salah satu ketua.
1985 Jabatan sebagai salah satu ketua MUI DKI untuk periode kepengurusan
1985-1990 kembali dipercayakan kepada Muallim KH. M. Syafi’i
Hadzami.
1990 Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami mendapatkan kepercayaan yang lebih
tinggi lagi dalam kepengurusan MUI DKI. Kali ini beliau diberi amanah
sebagai ketua umumnya.
1994 Menjadi salah satu anggota delegasi MUI yang berangkat ke Malaysia
dalam rangka memenuhi undangan Pemerintah Malaysia untuk
menghadiri suatu pertemuan yang berkaitan dengan persoalan Darul-
Arqam. Tokoh-tokoh lain yang ikut berangkat ke Malaysia dalam
kesempatan itu adalah KH. Ilyas Ruhiyat, KH. Sahal Mahfudz, KH.
Ma’ruf Amin, Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif, dan beberapa orang lainnya.
1994 Pada Muktamar NU ke-29 yang berlangsung tanggal 1 sampai 5 Desember
1994 di pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Muallim KH. M. Syafi’i
Hadzami ikut menghadirinya. Dalam muktamar ini beliau dipilih sebagai
salah satu rois syuriah.
1995 Dipilih kembali sebagai ketua umum MUI DKI untuk periode 1995-2000.
22 April 1997 Muhammad Saleh Raidi, ayah Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami
berpulang ke rahmatullah dan dimakamkan di pemakaman umum
Gandaria, tidak jauh dari kediaman Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami.
1999 Muallim menunaikan ibadah haji yang ketiga kalinya bersama dengan
anak angkatnya, H. Muhammad Erwin Indrawan.
07 Mei 2006 Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami pulang ke rahmatullah tepatnya pada
hari Minggu kurang lebih jam 08.30 wib setelah mengajar taklim di masjid
Ni’matul-Ittihad Pondok Pinang, Ciputat.57
57 Ali Yahya, Sumur Yang Tak Pernah Kering, h. 281-287
BAB IV
MASYARAKAT BETAWI KAMPUNG DUKUH
DAN TRADISI ZIARAH KUBUR
Hal yang penting dalam memahami tradisi ziarah kubur pada masyarakat Betawi
Kampung Dukuh adalah melihat kegiatan atau aktivitas mereka sehari-hari. Aktivitas tersebut
umumnya merupakan bagian dari tradisi termasuk tardisi keagamaan yang berupa ziarah
kubur.
Dalam upacara tradisi keagamaan dikenal apa yang disebut ”tradisi besar” (great
tradition) dan ”tradisi kecil” (little tradition), yakni sepasang konsep yang pertama kali
diperkenalkan oleh pakar antropologi Amerika Robert Redfield. Konsep ini kemudian banyak
digunakan para antropolog lain dalam studi mereka terhadap masyarakat beragama di
berbagai negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin.58
Konsep tersebut mengungkapkan bahwa dalam suatu peradaban terdapat dua macam
tradisi yang dapat dikatagorikan sebagai great tradition di satu pihak dan little tradition di
58 Dua konsep tentang ”tradisi besar” dan ”tradisi kecil” ciptaan Redfield ini menuai kritik dari di antaranya
Bambang Pranowo. Menurutnya. Kategorisasi Redfieldian terkesan menyederhanakan persoalan, bagaimana mungkin tradisi yang sedemikian kompleks memungkinkan dipahami hanya dalam dua cara pandang. Terlebih, dua konsep tersebut tidak dapat dioperasionalisasikan secara jelas. Bambang menambahkan bahwa betapa naifnya konsep ini ketika dipakai untuk memotret fenomena sekte atau aliran keagamaan. Di dalam Islam misalnya, sekalipun umat Islam disatukan oleh Tuhan dan kitab suci yang sama, toh pada lapangan teoritis dan praksis mereka tercerai-berai ke dalam beribu-ribu sekte: ada Syiah (Bahaiyyah, Zaidiyah, Ismailiyah, Imamiyah, dst), Sunni (Asyariyah, Maturidi: Bukhara, Khurasan), Ahmadiyah (Qadiyan dan Lahore), mazhab Maliki, Syafi`I, Hambali, Hanafi, Dawud al-Dzahiri, dan seterusnya. Jika konsep ini tetap dipaksakan, maka akan muncul kesalahan sistematis (systematic error) yang tak terhindarkan. Kekhawatiran inilah yang mendasari kritik Marshall Hodgson terhadap trikotomisasi santri, priyayi, dan abangan Geertzian yang diterapkan pada masyarakat Islam Jawa pada dekade 1950-an. Lihat Bambang Pranowo, Islam Faktual: Antara Tradisi dan Relasi Kuasa (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998), h. 8-9.
pihak lain. Tradisi besar adalah tradisi dari mereka yang suka berpikir dan dengan sendirinya
hanya mencangkup sejumlah orang yang relatif sedikit (the reflective few). Sedangkan tradisi
kecil adalah tradisi massa yang tidak pernah memikirkan secara mendalam tradisi yang
mereka miliki. Tradisi dari para filsuf, ulama dan kaum terpelajar adalah termasuk tradisi
besar. Tradisi ini ditanamkan dan diwariskan dengan penuh kesadaran melalui wacana
intelektual baik lisan maupun tertulis. Sementara tradisi orang kebanyakan adalah tradisi kecil
yang diterima saja dari pendahulu secara apa adanya (taken for granted) dan tidak pernah
diteliti atau disaring isi maupun asal-usul ataupun dalam perspektif ini, kebiasaan berziarah
(kubur) atau berkunjung ke kubur dalam berbagai bentuk dan keperluan digolongkan sebagai
tradisi kecil (kebiasaan orang kebanyakan).59
Para peziarah atau pengunjung makam terbagi atas dua
kategori yang pertama wong ziarah dan yang kedua wong nyepi.
Kategori pertama adalah mereka yang datang untuk singgah,
berdoa, melihat-lihat atau tanpa mengelilingi kompleks, dan
kemudian kembali pulang. Sedangkan yang kedua adalah
mereka yang tinggal bermalam ditempat-tempat tersebut selama
beberapa hari atau bahkan berminggu-minggu. Beberapa di
antaranya adalah pendatang baru, sedangkan yang lain adalah
mereka yang sudah terbiasa atau telah sering mengunjungi
59 Bambang Pranowo, Islam Faktual: Antara Tradisi dan Relasi Kuasa, h. 8-9.
tempat pemakaman tersebut.60 Obyek ziarah pun terbagi menjadi
dua yang pertama merujuk pada kunjungan kepada orang
terkemuka atau orang-orang penting seperti kiai, dan tokoh-tokoh
lainnya yang masih hidup, yang tujuannya untuk penghormatan
biasa. Yang kedua ke sebuah tempat suci seperti makam keramat
dan peninggalan wali serta orang takwa, yang mengisyaratkan
harapan untuk mendapatkan barakah. Pembahasan tentang
ziarah di sini hanya menyangkut kunjungan ke objek yang di
sebut terakhir, yaitu kunjungan ke tempat-tempat sacral, yakni
berupa ziarah kubur.
A. Obyek Ziarah
Masyarakat Betawi merupakan masyarakat yang cenderung senang berziarah kubur.
Dimana aktivitas yang berlaku di kalangan masyarakat Betawi ini adalah berkunjung ke berbagai
situs, termasuk makam-makam keluarga, Wali dan para Kiyai terkemuka. Kegiatan semacam itu
selain ibadah, mempunyai nilai kebaikan. Bagi masyarakat Betawi, berziarah juga dipandang
sebagai suatu aktivitas sosial keagamaan, di mana orang-orang yang berziarah dapat memberikan
doa kepada orang yang sudah meninggal.
60 Muhaimin, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu,
2001), h. 272-273.
Sebagian besar pula masyarakat Kampung Dukuh menjadikan obyek ziarahnya ke
makam ibu, ayah, kakek, nenek, saudara atau sanak familihnya maupun orang-orang tua yang
sudah mendahuluinya, bukti kecintaannya, dan sebagai tempat tujuan penghormatan.
Selain itu, Ustdz Ibrohim Usman (31) mengatakan, kegiatan yang sering dilaksanakan
pada masyarakat Kampung Dukuh adalah berkunjung keberbagai pemakaman ulama-ulama
Jakarta, seperti makam KH. M. Syafi’i Hadzami bin Muhammad Soleh Roi’di, Kampung
Dukuh Jakarta Selatan, makam Al-Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus, Kramat Luar
Batang, Jakarta Utara, makam Al-Habib Ahmad bin Alwi Al- Haddad (Habib Kuncung), Kali
Bata Jakarta Selatan, makam Al-Habib Ali bin Husein Al-Aththas (Habib Ali Bungur), di
dekat masjid al-Hawi Cililitan Jakarta Timur, makam Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-
Habsyi, Kwitang Jakarta Pusat, makam Al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, Condet
Jakarta Timur, makam KH. Mursidi bin H. Maisin Klender Jakarta Timur, dan masih banyak
lagi makam ulama yang ada di Jakarta.
Masyarakat Betawi tampaknya lebih senang berkunjung ke makam Wali-wali dan
Ulama-ulama, karena menurut mereka dapat memperbanyak ibadah maupun dapat mengambil
manfaat dan keberkahan. Karena ziarah ke makam Wali atau Ulama secara budaya maknanya
adalah bertawasul mencari keberkahan, karena kedekatannya orang-orang shalihin tersebut
kepada Allah SWT semasa hidupnya. Karena orang alim matinya bukan mati kayu.
العلم حي بقي، حي جسده تحت نور رب رميم لها
Orang ahli ilmu hidupnya kekal, walaupun jasadnya di bawa tanah hancur.61
61 Wawancara pribadi dengan Ustdz Ibrohim Usman (31) ”Pimpinan Majlis Tak’lim Darul As’yiq” , Jakarta 22 Juni 2007.
B. Waktu Ziarah
1. Bulan-bulan dan hari-hari tertentu
Sebagai masyarakat yang dikenal tradisionalis, religius dan kental dengan nuansa Islam
maka Ramadhan memiliki arti penting bagi masyarakat Betawi. Sepekan menjelang Ramadhan
atau sebelum masuknya bulan puasa, masyarakat Betawi pada umumnya lakukan tradisi ziarah
ke kubur dan munggahan (silaturahmi kerumah keluarga dan kerabat terdekat). Bagi mereka
yang orang tua atau keluarganya telah meninggal dunia maka mereka menziarahi makam atau
kubur untuk mendoakan, sedangkan yang keluarganya masih hidup maka wajib datang untuk
bersilaturahmi dan saling bermaafkan agar dalam menjalankan puasa di bulan Ramadhan lebih
afdhol dan khusyu.62
Kegiatan ziarah kubur yang menjadi rutinitas pada masyaakat Betawi ini, bukan hanya
dilaksanakan pada menjelang bulan Ramadhan saja, melainkan pada waktu kapan saja, tetapi
yang paling idealnya dilaksanakan pada bulan Hijriah, yaitu pada bulan Dzulhijjah, Muharram,
Rajjab, pertengahan bulan Sya’ban (Roahan), dan pada bulan Syawal.
Sedangkan hari yang paling afdhol untuk berziarah yaitu pada hari kamis, jumat ba’da
shalat Subhu, dan ba’da shalat Jum’at. Banyak penziarah yang mengunjungi makam Muallim
KH. M. Syafi’i Hadzami dalam tradisi ziarah ini, bahkan tidak hanya dari kalangan
masyarakat Betawi saja, namun dari kalangan Jawa, Sunda, Padang pun berziarah. Ustdz
H.Abdul Malik (31) pengurus Yayasan Al-Assirotusy Syafi’iyyah mengungkapkan bahwa
bukan hanya pada hari Jum’at saja penziarah berkunjung ke makam Muallim KH. M. Syafi’i
Hadzami, pada hari-hari biasa ada juga yang berziarah, seperti hari rabu, kamis, sabtu,
62 Bo/Babe, “ Tradisi Ziarah dan Munggahan,” artikel diakses pada 06/10/2005 dari Website:
www.indosiar.com, Jakarta.
minggu. Biasanya mereka yang berziarah ke makam Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami
dilaksanakan usai mengikuti ta’lim (pengajian) yang diadakan pagi, siang dan malam hari.
Pada hari sabtu pengajian umum yang dipimpin oleh KH.Maulana Kamal Yusuf, asal
Cengkareng Jakarta Barat. Beliau murid kepercayaannya Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami
untuk mengajar di Yayasan Al-Assirotusy Syafi’iyyah. Setelah ta’lim (pengajian) jama’ah
berziarah, sebagai bukti kecintaannya dan pengabdiannya sebagai murid. Di hari minggu
paginya ta’lim (pengajian) yang dipimpin oleh Muallim KH. M. Bunyamin, asal kelapa Dua
Jakarta Barat. Beliau murid kepercayaannya juga untuk mengajar di Yayasan Al-Assirotusy
Syafi’iyyah, setelah usai ta’lim (pengajian) jama’ah berziarah. Dan hari-hari biasa santri-
santri ma’had Al-Assirotusy Syafi’iyyah yang berziarah, selain membaca Yasin, tahlil
(dzikir), santri-santri selalu khataman Al-Qur’an yang di hadiakan terkhusus untuk Almarhum
Almagfurlah Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami.63
2. Sebelum Hajatan
Menurut Ustdz Fathullah (32) seorang guru Mts Al-Fachriyyah dan SLTP Al-Fajar
mengungkapkan disaat berziarah ke makam Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami Sebelum
tasakuran atau resepsi pernikahan di mulai, biasanya berziarah terdahulu, tidak ada salahnya
berziarah ke makam wali, ulama, orang shalihin, kerabat, maupun saudara, lebih baik lagi
kemakam orang-orang tua kita, karna bukti bakti kita terhadap orang tua dan pengabdian
terhadap guru, yang tujuannya agar kita mendapatkan keberkahan dan segala hajat yang
diinginkan terwujud. Dan di pemakaman sebaiknya bacalah Yasin, Tahlil (dzikir), Rattib Al-
Haddad, dan Doa untuk dikirimkan kepada si mayit.
63 Wawancara Pribadi dengan Ustdz H.Abdul Malik (31) “Pengurus Yayasan Al-Assirotusy Syafi’iyyah,
Jakarta 11 juli 2007.
Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda dalam haditsnya:
أو علم ينتفع به صدقة جارية : انقطع عنه عمله إال من ثال ثة إذا مات ابن أدم
أو ولد صالح يدعوله
“Apabila anak cucu Nabi Adam mati maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara,
yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (H.R.
Muslim).
Hal demikian, dapat membawa kita ke jalan yang baik, dan kita pun yang berziarah Insya
Allah akan diberi jalan yang diridhoi oleh Allah SWT. Demikian ungkapan Usdz Fathullah,
dimana beliau mempunyai hajat yang ingin mengadakan repsesi pernikahan.64
Dari paparan di atas, masyarakat setempat cenderung berpendapat bahwa tidak ada
salahnya kalau sebelum acara pesta pernikahan dan sebagainya dimulai, keluarga yang masih
hidup mendoakan si ahli kubur dan meminta doa restu kepada sanak familih (ayah dan ibu), dan
mencari keberkahan kepada mereka yang sudah meninggal guna memperoleh keridhoan atau doa
restu serta keselamatan.
C. Cara Berziarah
1. Bersama Keluarga
Dalam hal ini, Bpk Muzakir Lutfi (31) asal Tebet Jakarta Selatan berkomentar ketika
berziarah bersama istrinya ke makam Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami. Dalam kunjungan
kubur bersama keluarga ini, biasanya masyarakat berkunjung ke makam orang-orang tua,
64 Wawancara pribadi dengan Ustdz Fathullah (32). “Guru Mts Al-Fachriyyah Dan SLTP Al-Fajar”,
Jakarta, 01 Juli 2007.
Wali, Ulama, dan orang-orang shalihin, dilakukan pada saat menjelang bulan suci Ramadhan
atau pertengahan dan akhir bulan Sya’ban (roahan), dan setelah lebaran satu hari, tidak jarang
kaum muslim yang berkunjung keberbagai makam sanak famili dan tokoh-tokoh penting
lainnya. Sebelum mendoakan biasanya masyarakat terlebih dahulu membesihkan tempat
makam yang ia ziarahi, selain itu, setelah mereka membaca doa mereka tak lupa untuk
menaburkan bunga di atas makam, selain mendoakan dan memohon rahmat Allah SWT, di
lain hal untuk mengambil pelajaran dan peringatan bagi orang-orang yang masih hidup.
Dalam kunjungannya bapak Muzakir Luthfi bukan hanya mendatangi makam Muallim
KH. M. Syafi’i Hadzami saja, melainkan berkunjung ke makam Shohibul Rattib Al-Walid Al-
Habib Husain bin Abu Bakar Alaydrus, yang terletak di kramat Luar Batang Jakarta Utara,
kemudian berkunjung ke makam Al-Habib Ahmad bin Alwi Al-Haddad (Habib Kuncung) di
Kali Bata Jakarta Selatan. Selain untuk mendoakan dan memohon rahmat Allah SWT, dilain
hal untuk mengambil pelajaran dan peringatan bagi orang yang hidup dan mencari keberkahan
dan memohon kepada Allah SWT agar istrinya yang sedang mengandung diberikan anak
yang selalu berbakti kepada kedua orang tua, cinta kepada ulama dan semoga menjadi orang
yang kaya ilmu.65
2. Individu
Kunjungan kubur dengan sendiri-sendiri ini, biasanya ketika seseorang ingin
melaksanakan hajatan atau keperluan. Beberapa masyarakat biasanya berkunjung ke makam
tokoh-tokoh yang menurutnya penting, tetapi beberapa kalangan cenderung hanya berkunjung
ke makam Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami, saudara dan sanak famili saja yang sudah
mendahului. Menurut Ade Nugroho (28) berziarah ke makam orang-orang sholihin seperti
65 Wawancara Pribadi dengan Bpk Muzakir Lutfi (31), Jakarta 02 Juli 2007
Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami yaitu mencari keberkahan memohon kepada Allah SWT
agar segala hajat dan keperluan cepat terwujud dan dipermudah yang diinginkannya. Beliau
(Ade Nugroho) melakukan kunjungan ziarah tujuannya untuk diberikan keselamatan agar
resepsi pernikahannya yang akan diselenggarakan menjadi terlaksana dengan baik tanpa ada
hambatan
sedikitpun. Selain itu, beliau (Ade Nugroho) juga berdoa agar jodoh yang ia dapatkan
menjadi langgeng dan menjadi keluarga sakinah, mawaddah, dan warohmah.66
3. Rombongan
Kegiatan ziarah ke pemakaman Wali dan Ulama merupakan kunjungan yang sering
diikuti oleh rombongan jama’ah majlis taklim ke makam Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami.
Ziarah yang biasa dilakukan bagi warga Kampung Dukuh adalah melakukan kunjungan ke
makam Wali atau Ulama maupun makam tokoh-tokoh tertentu lainnya. Pada kunjungan
tersebut, banyak dari mereka yang memanjatkan doa bersama. Kegiatan ini selain sudah
terbiasa dilakukan oleh masyarakat, disamping itu, kegiatan ziarah ini juga diharapkan dapat
membawa seseorang dalam kesuksesan dunia dan akhirat.
Dalam kunjungannya Ustzd H. Abdul Malik (31) mengatakan bahwa masyarakat
Kampung Dukuh biasanya mendatangi ke berbagai makam Ulama yang ada di Jakarta.
Adapun kunjungannya ke makam tersebut di antaranya makam Muallim KH. M. Syafi’i
Hadzami bin M. Sholeh Roi’di, makam Shohibul Rattib Al-Habib Husain bin Abu Bakar
Alaydrus, makam Al-Muhaddits Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, makam Al-Walid
Al-Habib Ali bin Husain Al-Aththas, makam Al-Habib Ahmad bin Alwi Al-Haddad (Habib
Kuncung). Dalam kegiatan ziarah kubur ini, peziarah melakukan pemanjatan doa bersama,
66 Gawancara Pribadi dengan Ade Nugroho (27), Ketua Umum Majlis Taklim Ikrima, Jakarta 5 Juli 2007.
yang dipimpin oleh salah seorang jama’ah. Pemanjatan doa ini bertujuan untuk si mayit agar
diterima disisi-Nya. Setelah itu peziarah memohon keinginannya melalui perantara makam
Ulama dan orang-orang Sholihin kepada Allah SWT. Baginya banyak manfaat dan
hikmahnya berkunjung ke makam Wali, Ulama, dan orang-orang Sholihin, disamping untuk
memperbanyak ibadah, mencari keberkahan, selain itu juga agar mengingatkan kita kepada
akhirat dan kematian.67 Selain itu, masyarakat yang berziarah mayoritas dari rombongan
majlis taklim, diantaranya rombongan jama’ah dari Iresa berziarah ke makam Muallim KH.
M. Syafi’i Hadzami pada malam Jum’at usai menghadiri ta’lim (pengajian), Ustdz Nurdin
Hidayat (23), perwakilan jama’ah tersebut berkometar bahwa tujuan berziarah salah satunya
adalah mengingatkan kita akan asal muasal sebagai manusia yang pada akhirnya akan kembali
kepada Zat Yang Maha Abadi (kematian). Adapun ziarah secara rombongan bisa
mendatangkan Ridho Allah secara kolektif (kumpulan), melalui sang Wali atau Ulama yang
terkenal kemahabbaannya (kecintaannya) kepada Allah Swt.
Jama’ah majlis taklim Iresa melakukan pemanjatan doa bersama yang dipimpin oleh
seorang imam yaitu Ustdz Nurdin Hidayat. Sebelum berdoa mereka memberi salam kepada
ahli kubur sesuai dengan ajaran Islam, ketika mengunjungi makam. Salam tersebut seperti:
ا ستقدمين من رحم اهللا الم سلمين وي ؤمنين والم ن الم ديار م ل ال يكم أه سالم عل ال
والمستأخرين وإنا إن شاء اهللا يكم لال حقون
Sejahtera atasmu wahai ahli kubur mu’minin dan kami insya Allah akan segera bersamamu,
kami memohon kepada Allah kesehatan bagi kami dan bagimu.
67 Wawancara Pribadi dengan Ustdz H. Abdul Malik (31), tokoh masyarakat Kampung Dukuh dan
pengurus Yayasan Al-Asyirotusy Assyafi’iyyah, Jakarta 11 Juli 2007.
Setelah usai memberikan salam, kemudian jama’ah untuk memulai membaca sholawat
sambil berdiri terlebih dahulu, setelah itu barulah jama’ah duduk, membaca surat Al-Fatihah,
surat Yasiin, tahlil, tahmid, tazkir, dan mendoakan,68
Adapun menurut Sholeh (25) santri Assirotusy Syafi’iyyah, mengungkapkan Do’a
yang umum yang dipanjatkan dalam ke makam Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami dan Ulama
lainnya adalah mengucapkan salam terlebih dahulu dalam keadaan berdiri, kemudian duduk
membaca surah Fatihah 6 kali, Yasiin, At-Takaasurt 3 kali, berdzikir, tasbih, tahlil, dan
berdoa, yang masing–masing ditujukan kepada arwah beberapa almarhum. Yang pertama
ditujukan kepada Nabi Muhammad Dan para sehabatnya, istri-istrinya, keturunan, penghuni
rumahnya (ahl al-bayt). Yang kedua adalah kepada empat sehabat (empat khalifah) dan
beberapa sehabat dekat (Thalhah, Sa’ad, Sa’id, Adb Rahman bin ‘Awf, Abi’ubaidah, Amir
bin Jarrah, Zubair bin ‘Awwam). Yang ketiga kepada para imam mazhab, para pengikutnya,
ulama, ahli hukum, ahli hadist, pembaca Qur’an, ahli tafsir, sufi yang benar dan mengikuti
mereka dengan sepenuh hati (ihsan) sampai hari kiamat. Yang keempat ditujukan kepada para
pejuang (syuhada) yang dimakamkan di al-Ma’la, al-Shubaikah, al-Baqi’,dan seluruh kaum
muslimin yang telah meninggal di Timur dan Barat, di darat dan di laut. Yang kelima kepada
semua wali di Timur dan di Barat, di darat dan di laut, terutama Abdul al-Qadir al-Jilani,
Junaidi al-Baghdadi, Ahmad al-Badawi, Ahmad al-Rifa’i, Ja’far al-Sadiq, Abu Yazid al-
Bustami, Yusuf al-hamdani, Hasan al- Harqani, Ma’ruf al-kurkhy, Sirr al-Saqty, Habib al-
‘Ajamy dan sufi lainya. Yang keenam adalah dikhususkan untuk Al-marhum Al-Magfurllah
Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami, dan Al-Fatihah yang terakhir (ketujuh) dialamatkan kepada
68 Wawancara Pribadi dengan Ustdz Nurdin Hidayat (24), Guru tetap Majlis Taklim Iresa, 12 Juli 2007
arwah para orang tua, leluhur, orang–orang muslim, dan seluruh saudara seagama yang masih
hidup dan yang telah meninggal.69
Bacaan yang digunakan ketika berziarah ke makam Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami
yaitu memakai buku Tuntunan Ziarah Ke Makam Fadhilatus Syaikh KH. M. Syafi’i Hadzami
Rohimahuallah Rahmatal Abror yang disusun oleh Muhammad Fakhruddin Al-Bantani, yang
meliputi mengucapkan salam rerlebih dahulu sambil berdiri kepada ahli kubur, setelah itu
bacaan pertama Al-Fatihah, bacaan kedua Yasiin, bacaan ketiga At-Takasurt, bacaan keempat
Al-Ikhlas, bacaan kelima Al-Alaq, bacaan keenam An-Naas, bacaan ketujuh Al-Baqaroh,
bacaa kedelapan Ayat Kursi, bacaan kesembilan Ammanarrusul, bacaan kesepuluh dzikir, dan
terakhir ditutup dengan doa dan mengucapkan salam.70
Setelah menyebutkan nama–nama ahli kubur, dibacakanlah do’a khusus seperti yang
digunakan pada hadiwan:71 “Tolonglah kami dengan izin Allah dan Allah memberkati orang–
orang yang telah meninggal dunia yang nama–namanya telah kami sebutkan, kami memohon
syafa’at, berkah, pahala dan keselamatan”
Kunjungan ke makam para wali atau ulama ini, pengunjung biasanya dengan
membawa rombongan, baik dari rombongan pengajian Majlis Ta’lim maupun dari organisasi-
organisasi lainnya, sangat jarang apabila masyarakat melakukan kunjungan ziarah ini dengan
sendirian.
Mengamati aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat Betawi dalam ziarah ke makam
Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami. Hal demikian, tidak hanya dilakukan oleh masyarakat
69 Wawancara Pribadi dengan Sholeh (25) Santri Ma’had Al-Assirotusy Assyafi’iyyah Jakarta 04 Juli 2007. 70 Muhammad Fakhruddin Al-Bantani, “ Tuntunan Ziarah Ke Makam Fadhilatus Syaikh KH. M. Syafi’i
Hadzami” (Jakarta: 09 Mey 2006), h. 1-26 71 Hadiwan adalah pemanjatan doa kepada Tuhan melalui perantara atau meminta pertolongan wali,
pemanjatan doa ini dilakukan oleh sekelompok orang, dan dipimpin oleh seorang imam.
Betawi Kampung Dukuh saja, melainkan dari berbagai suku dan daerah pun berziarah,
mereka kebanyakan datang dengan membawa rombongan diantaranya dari daerah Pancoran,
Tebet, Kali Bata, Kelapa Dua, Srengseng, Cengkareng, dan dari daerah wilayah lainnya.
Tujuan bagi pengunjung berbeda-beda seperti ada yang ingin mencari keberkahan, bertawasul
agar segala kesulitannya dipermudah, ada yang berkeinginan memiliki anak yang Sholeh dan
Sholeha, dan ada pula memohon agar acara perkawinannya diperlancar dan lain sebagainya.
D. Berbagai Pendapat Tentang Ziarah Menurut Masyarakat Kampung Dukuh
Sesungguhnya masalah ziarah kubur adalah masalah yang rumit dan pelik, erat
hubunganya dengan akidah Islamiyah. Melihat adanya tradisi ziarah di kalangan masyarakat
Betawi, berbagai pendapat tentang ziarah menjadi kontrofersi, yakni, antara ziarah yang harus
dikerjakan (mengikuti syariat Islam), dan yang tidak boleh di kerjakan (bid’ah dan musyrik).
Menurut pendapat Ustdz Sarnubih, SQ (36) pimpinan majlis taklim dan zikir
Darrudda’wah Tariqoh Sa’da Baalawy mengungkapkan bahwa para ulama Ahlussunnah Wal
Jama’ah menyepakati do’a dan istighfar seorang muslim yang masih hidup kepada Allah
untuk orang yang telah mati itu bermanfaat. Demikian juga membaca Al-Qur’an di atas
kuburan juga bermanfaat terhadap ahli kubur. Dalil kebolehan membaca Al-Qur’an diatas
kuburan adalah bahwa hadist Nabi Muhammad Saw membelah pelepah yang basah menjadi
dua bagian kemudian Nabi Muhammad Saw menanamkan masing-masing di dua kuburan
yang ada. Imam Nawawi berkata para Ulama mengatakan sunnah hukumnya membaca Al-
Qur’an di atas kubur berdasarkan hadist Nabi. Rasulullah Saw bersabda:
)رواه الشيخان(لعله يخفف عنهما مالم بيبسا
Artinya: Semoga keduanya mendapatkan keringanan siksa kubur selama pelepah ini
belum kering.
Dapat diambil dalil dari hadits ini bahwa boleh menancapkan pohon dan membaca Al-
Qur’an di atas kuburan. Jika pohon saja bisa meringankan adzab kubur lebih-lebih bacaan Al-
Qur’an orang mukmin. Jelas bacaan Al-Qur’an dari manusia itu lebih agung dan lebih
bermanfaat dari pada tasbihnya pohon. Jika telah terbukti Al-Qur’an bermanfaat bagi sebagian
orang yang ditimpah bahaya dalam hudupnya, maka mayyit begitu juga. Di antara dalil bahwa
mayyit mendapat manfaat dari bacaan Al-Qur’an orang lain adalah hadits dari Ma’qil bin
Yasar, Rasulullah Saw bersabda:
) وصححهرواه أبو داود والنسائى وابن ماجه وابن حبان(اقرءوا يس على مو تكم
Maknanya: “Bacalah surah Yaasin untuk mayyit kalian” (H.R Abu Dawud An-Nasai,
Ibn Majah, dan Ibn Hibban dan di Shahikannya).
Namun jika ziarahnya hanya sekedar untuk meminta pertolongan dunia dan
menjadikan makam sebagai tempat pertolongan, ini menjadi terlarang dan bid’ah. Adapun
mengambil berkah atau tabaruk terhadap makam Wali dan Ulama itu diperbolehkan.72
Sementara ziarah Kubur menurut Ustdz Ibrohim Usman, S.Sos,I (31) pimpinan Majlis
Taklim Darrul Asyiq berkomentar ziarah kubur terbagi menjadi dua macam yakni ziarah
72 Wawancara Pribadi denagn Ustdz Sarnubi (36), “Pimpinan Majlis Taklim dan Dzikir Darrud da’wah
Tariqoh Sa’ad Baalawy”, Jakarta 30 Juni 2007.
syar’iyyah (ziarah yang disyariatkan). Sifatnya adalah mengucapkan salam. Dan ziarah
bid’iyah (ziarah yang mengandung bid’ah). Sifatnya adalah menjadikan kuburan sebagai
masjid dan sebagai tempat berkumpul. Ziarah ini dilarang oleh Rasulullah. Para ulama telah
sepakat bahwa ziarah bid’ah tidak disyariatkan dan ziarah ini menyerupai orang-orang
Yahudi, Nasrani dan ahli bid’ah. Sesungguhnya ketika seseorang pergi ke kubur manusia
yang kuat (imannya), dan sempurna hatinya, serta berdiri sejenak di depan makamnya, maka
ia akan memperoleh kesan yang membekas di dirinya. Peziarah tersebut kan memiliki ikatan
dengan yang di ziarahi dan sebaliknya. Maka pada saat itulah jiwa kedua makhluk itu
bertemu. Kedua jiwa itu seperti cermin yang gilap dan saling berhadapan, sehingga sinar
cermin yang satu akan diterima dan dipantulkan oleh cermin yang lain. Semua pengetahuan,
ilmu, akhlak mulia, kekhusuan dan keridhoan peziarah kepada ketentuan Allah akan menjadi
cahaya memantul dan diterima oleh ruh yang di ziarahinya. Dengan cara seperti inilah sebuah
ziarah dapat memberikan manfaat yang sangat besar dan kesenangan yang luar biasa bagi ruh
peziarah yang di ziarahinya. Dan inilah sebab utama di syariatkannya ziarah.73
Dengan demikian,Bapak H. Junin (67) menyatakan bahwa ziarah kubur adalah perbuatan
yang sunnah, jika dilakukan dengan ajaran syar’iyyah yaitu dengan tujuan untuk mendoakan,
dan mengingatkan kita kepada kematian. Tetapi jika tujuannya hanya untuk meminta
pertolongan duniawi, maka ziarah itu menjadi terlarang. Ziarah yang dilakukan pada masyarakat
Betawi adalah merupakan kebudayaan Islam dengan sejarah nenek moyang mereka. Karena
mereka melakukan tradisi tersebut faktor budaya dan keagamaan, sehingga mereka terkesan
73 Wawancara Pribadi dengan Ustdz Ibrohim Usman (31), ” Pimpinan Majlis Taklim Darul Asyiq”, Jakarta
22 Juni2007.
dengan tradisi yang sudah berjalan, dan masyarakat tersebut peduli dengan adanya tradisi yang
sudah berjalan.74
B
rdasarka
n hasil
penelitia
n di atas
dapat
disimpul
kan,
bahwa
mayorita
s para
peziarah mengunjungi makam Muallim KH. M. Syafi’i Hadzami, karena di samping sebagai
objek ziarah yang penulis tulis juga karena beliau adalah salah seorang ulama Betawi yang cukup
dikenal di Jakarta ini, bahkan di luar Jakarta.
Lain halnya dengan makam-makam yang lain, yaitu makam-makam para Habaib dan
kiyai-kiyai lainnya, mereka kurang banyak dikenal entah karena mereka bukan suku Betawi atau
tidak dikenal asal-usulnya.
74 Wawancara Pribadi dengan Bpk. H. Junin (67), “ Tokoh Masyarakat Betawi Kampung Dukuh”, Jakarta
07 Juni 2007.
TABEL. I
KEGIATAN MASYARAKAT BETAWI
No. Objek Ziarah Waktu Ziarah Cara Ziarah
1 Makam Muallim KH.M.Syafi’i Hadzami Malam Jum’at Yasiin, Tahlil, Doa
2 Makam Habib Husien Alaydrua Malam Rabu, Sya’ban Shalawat, Rattib
3 Makam Habib Ali Al-Aththas Bungur Malam Selasa, Hari Jum’at Tahlil, Doa, Shalawat
4 Makam Habib Ali Al-Habsyi Kwitang Sya’ban, Ramadhan Shalawat, Doa
5 Habib Salim Jindan Malam Senin Rattib, Qashidah
6 Makam Habib Ahmad Al -Haddad Hari Sabtu Shalawat, Rattib, Doa
7 Makam KH. Mursidi Ba’da Jum’at Tahlil, Doa
8 Makam KH. Karim Hari Senin Tahlil, Dzikir, Doa
9 Makam KH. Ibrohim Bulan Syawal Yasiin, Tahlil, Doa
10 Makam Habib Nouvel Jindan Malam Kamis Shalawat, Rattib
B
erdasarka
n hasil
wawanca
ra dan
observasi
yang
penulis
jalani,
dapat
disimpul
kan
bahwa
para
responden adalah suku Betawi dan usia mereka rata-rata antara 24-67 tahun. Rata-rata semua
responden menjawab bahwa motivasi ziarah kubur adalah mengingat kematian, mencari
keberkahan, dan untuk menenangkan hati.
TABEL. II
MOTIVASI MASYARAKAT BETAWI DALAM BERZIARAH KUBUR
Motivasi No. Responden Usia Suku Mengingat
Mati Keberkahan Ketenangan Hati
1 Ust.Ibrohim 31 Betawi YA YA YA
2 Ust.H.Abdul Malik 31 Betawi YA YA YA
3 Ust.Fathullah 32 Betawi YA YA YA
4 Bpk.Muzakir 31 Betawi YA YA YA
5 Ust.Sarnubi 36 Betawi YA YA YA
6 Bpk.H.Junin 67 Betawi YA YA YA
7 Sholeh 25 Betawi YA YA YA
8 Ust.Nurdin Hidayat 24 Betawi YA YA YA
9 Ade Nugroho 28 Betawi YA YA YA
10 Ubaydillah 27 Betawi YA YA YA
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan
sebagai berikut:
Perilaku aktifitas ziarah kubur bagi masyarakat Betawi yaitu berupa sarana, waktu, dan
cara berziarah di masyarakat Kampung Dukuh yang merupakan akulturasi dari kebudayaan
Islam dengan sejarah nenek moyang mereka. Mengapa hal ini bisa terjadi? Setidaknya ada dua
konsep yang melatar belakanginya, yaitu: Pertama, mereka melakukan tradisi tersebut karena
faktor budaya maupun keagamaan. Kedua, sekiranya masyarakat tersebut peduli dengan tradisi
yang sudah berjalan, sehingga mereka terkesan nampak antusias dengan tardisi ziarah yang
sudah terbentuk.
Melihat aktifitas ziarah kubur yang masih aktif di masyarakat Kampung Dukuh
nampaknya mereka lebih berhati-hati dalam melakukan praktik ziarah kubur, karena dalam
kegiatannya masyarakat lebih menekankan pada syariat Islam yaitu mengikuti anjuran Rasul
seperti telah digariskan bahwa berziarah adalah untuk mengingatkan kepada kematian dan
akhirat. Jika ada masyarakat yang tidak mengikuti anjuran Rasul hanya masyarakat awam saja.
Mengapa hal ini bisa terjadi pada masyarakat awam? Setidaknya ada dua faktor yang
melatarbelakanginya, yaitu: Pertama, mereka enggan (malas) dalam mempelajari agama Islam,
karena itu mereka awam terhadap perkara-perkara yang menyangkut masalah agamanya sendiri.
Meraka menganggap tradisi yang mereka lakukan selama ini adalah benar. Kedua, sedikitnya
ulama yang perduli terhadap masalah ini dan tidak adanya usaha untuk meluruskan mereka,
bahkan sebagian mereka terkesan mendiamkan. Dengan demikian, jadilah bid’ah berkembang
luas ditengah–tengah masyarakat Islam.
Dan mengenai berdoa di kuburan sungguh hal ini adalah perbuatan sahabat Rasul dan
memang seluruh permukaan bumi adalah milik Allah SWT, boleh berdoa kepada Allah di
manapun, bahkan di toilet sekalipun boleh berdoa, lalu dimanakan dalilnya yang mengharamkan
doa di kuburan ? Sungguh yang mengharamkan doa di kuburan adlah orang yang dangkal
pemahamannya, karena doa boleh saja di seluruh permuka bumi ini tanpa kecuali.
B. Saran
Di akhir penulisan ini ada beberapa hal yang penulis sarankan, antara lain adalah:
1. Tradisi yang ada sebaiknya perlu dijaga dengan baik perkembangannya, hal demikian, guna
agar tidak adanya kesalahpahaman antara ziarah dan syirik, karena masih ada masyarakat
awam yang masih menggunakan makam sebagai tempat pertolongan duniawi bukan semata-
mata karena Allah SWT.
2. Hendaknya para ulama yang berkiprah dimasyarakat perlu lebih banyak mengungkap
dakwah dengan topik-topik yang bertema dengan syariat-syariat Islam atau hukum-hukum
Islam guna untuk menyentuh dan menimbulkan semangat ibadah bagi masyarakat.
3. Perlu adanya pertimbangan logis dalam melakukan tradisi ziarah yang ada, jadi tidak hanya
sekedar warisan semata, masyarakat juga perlu melihat apakah tardisi tersebut benar adanya
atau melenceng pada hukum agama.
4. Harapan penulis semoga semua pihak dengan tulus ikhlas bersedia melakukan penilain
kembali terhadap segala aspek yamg berkaitan dengan hal—hala tersebut di atas. Agar di
satu pihak tidak tersjadi penyimpangan dari sendi—sendi tauhid dengan bersikap berlebih-
lebihan dalam pengagungan terhadap para wali dan ulama, sehingga melupakan Allah SWT.
Sebagai satu-satunya yang menentukan segalanya di alam smesta ini dengan kekuasaan dan
kemandirian penuh. Dan pada pihak lainnya agar dapat mengekang dirib sehingga tidak
tergesah-gesah melemparkan tuduhan “kufur, Syirik, bid’ah” dan sebagainya kepada sesame
muslim, semata-mata karena perbedaan dalam pemahaman. Kalaupun hendak melakukan
koreksi, seyogyanya hal iyu di lakukan bil hikmah wal mau’idhah al-hasanah (dengan
bijaksana dan nasihat yang baik). Bukankah masing-masing kita mengakui Allah SWT
sebagai Tuhan, Muhammad SAW sebagai Nabi, Al-Qur’an sebagai pegangan hidup, ka’bah
sebagai kiblat dan semua muslim sebagai sesame ikhwan. Akhirnya marilah kita menahan
diri dari keterlibatan dalam perdebatan berlarut-larut mengenai soal khilafiyah yang satu ini
seraya mencurahkan lebih banyak perhatian pada banyak persoalan lebih mendesak yang
dihadapi dunia Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, Ammatullah, Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tashawuf, Bandung:
Mizan, 2002.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan dan Praktik, Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1998.
Ariyono dan Siregar, Aminuddin, Kamus Antropologi, Jakarta: Akademika Pressindo, 1985.
Babe, Bo “Tradisi Ziarah dan Munggahan”. Artikel diakses pada 06/10/2005 dari Website:
www.indosiar.com, Jakarta.
Badaduan, J.S, Prof. Dr. dan Sultan Zain, Muhammad, Prof., Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Ensiklopedi Hukum Islam 6, "Ziarah,” Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Espito, John L., "Ziarah,” Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Vol 1, Bandung: Mizan,
2001.
Faisal, Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Fakhruddin, Al-Bantani Muhammad, Tuntunan Ziarah Ke Makam Fadhilatus Syeikh KH.
Muhammad Syafi’i Hadzami, Jakarta: Yayasan Al-Assirotusy Syafi’iyyah, 2006.
Hendropuspito, D, Sosiologi Sistematik, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005.
Muhaimin, Dr, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, Jakarta: PT. Logos
Wacana Ilmu, 2001.
Musawa, Munzir, Kenalilah Aqidahmu, Jakarta: Majelis Rasulullah, 2007.
Peursen, Van, Strategi Kebudayaan, Jakarta: Kanisius, 1976.
Pranowo, Bambang, Islam Faktual: Antara Tradisi dan Relasi Kuasa, Yogyakarta: Adi Citra
Karya Nusa, 1998.
Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, Jakarta: PT. Gramedia, 1983.
Saidi, Ridwan, Orang Betawi dan Modernisasi, Jakarta: LSIP, 1994.
-----------------, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat, Jakarta: PT. Gunara Kata, 2001.
Sastro, “Ziarah Kubur Salafy Indonesia”. Artikel diakses pada Senin, 12 Febuari 2007 dari Ads by Google In Depth Critical Studies
Christianity Islam Ismailism Quran alone keeps Islam pure, Website: www.mostmerciful.com.
Shadily, Hassan, "Tracy Spencer,” Ensiklopedi Islam, Vol 6, Jakarta: PT. Ichatiar Baru Van
Hoeve.
---------------------, "Besi”, Ensiklopedi Indonesia, vol 1, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
--------------------, "Zerubabel”, Ensiklopedi Indonesia, Vol 4, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Shalih, Abu Umar, bin Ali Al-Masnad At-Tamimi, Ziarah Kubur, Solo: At-Tibyan, 2001.
Soebadyo, Haryadi, Prof. Dr., Agama dan Upacara, Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.
Soekanto, M.A., Prof. Dr., Kamus Sosiologi, Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 1993.
Subhani, Syaikh Ja’far., Tawassul Tabarruk Ziarah Kubur Karamah Wali, Jakarta: Pustaka
Hidayah, 1989.
--------------------------, Tauhid dan Syirik, Bandumg: Mizan, 1996.
Suryabrata, Sumardi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Suyuthi, Jalaluddin, Ziarah Ke Alam Barzakh, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
Syani, Abdul, Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial, Jakarta: Fajar Agung, 1987.
Tim Anropologi, Jakarta: Yudhistira, 2001
Tim Penyusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, “Perkampungan di Perkotaan Sebagai
Proses Adaptasi Sosial Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta”, Jakarta: Depdikbud, 1985.
Wawancara pribadi dengan Ade Nugroho. Jakarta, tanggal 05 Juli 2007.
Wawancara pribadi dengan Bapak. H. Junin. Jakarta, tanggal 07 Juli 2007.
Wawancara pribadi dengan Bapak. Muzakir Lutfi. Jakarta, tanggal 02 Juli 2007.
Wawancara pribadi dengan Sholeh. Jakarta, tanggal 04 Juli 2007.
Wawancara pribadi dengan Ustdz. Fathullah Husaini, S.S. Jakarta, 01 Juli 2007.
Wawancara pribadi dengan Ustdz. H. Abdul Malik. Jakarta, tanggal 11 Juli 2007.
Wawancara pribadi dengan Ustdz Ibrohim Usman, S. Sos. I. Jakarta tanggal 22 Juli
2007.
Wawancara pribadi dengan Ustdz Nurdin Hidayat. Jakarta, tanggal 12 Juli 2007.
Wawancara pribadi dengan Ustdz Sarnubi, S.Q. Jakarta, tanggal 30 Juni 2007.
Yahya, Ali, S.Psi, Sumur Yang Tak Pernah Kering, Jakarta: Yayasan Al-Asyirotusy Syafi’iyyah,
1999.
Yunus, Mahmud, Prof. Dr. H, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989.