Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject
-
Upload
arsip-komunitas-gubuak-kopi -
Category
Documents
-
view
84 -
download
1
description
Transcript of Tongkat Yang Hanyut - Jejakkotaproject
JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]
TONGKAT YANG HANYUT
RISALAH BATANG JAO DAN LEGENDA TONGKAT DATUAK PARPATIAH NAN SABATANG
Oleh: Albert Rahman Putra
Pesta demokrasi barang kali sudah dimulai,beberapa bulan terakhir proporsi berita
dalam media secara dominan diisi oleh berita partai politik (Parpol). Disepanjang jalan juga
sudah cukup banyak poster dan bendera parpol. Tapi saya juga sedikit ragu dengan defenisi
pesta politik ini. Mungkin lebih tepatnya saya menggunakan istilah kampanye parpol1, yang
popular dikenal sebagai penciteraan atau usaha untuk menggaet partisipan sebanyak mungkin.
Kalau itu benar, sepertinya pesta politik atau kampanye politik yang saya maksud sudah
berlangsung setiap hari. Ada banyak bentuknnya, seperti membuat iklan layanan masyarakat,
pembagian topi, stiker, baju secara gratis dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang
memberikan semacam ongkos untuk masyarakat yang bersedia menempelkan stiker calon
pemimpin itu di kendaraan mereka.
Foto 1 – Baliho di Batang Jao, Juli 2012
Foto 2 – Baliho di Batang Jao, Maret 2012
Pada Sabtu, 21 Juli 2012 lalu, saya menemukan baliho di satu tempat yang kembali menarik
perhatian saya. Apakah ini bagian dari kamapenya juga atau tidak, silahkan bermain dengan
pikiran masing-masing.
Kampanye bukanlah sesuatu yang menjijikkan atau seuatu yang mulia. Itu adalah suatu
kewajaran. Itu adalh wujud dari usaha. Namun kampanye yang tidak tertib, itu baru masalah.
Lalu jika pemasangan baliho partai di Salah satu Benda Cagar budaya2, dan Benda cagar alam3;
1 Kampanye politik adalah sebuah upaya yang terorganisir bertujuan untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih dan kampanye politik selalu merujuk pada kampanye pada pemilihan umum (http://id.wikipedia.org/wiki/Kampanye_politik; diakses pada Juli 2012)
2 Benda cagar budaya adalah: a.benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yangberupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yangberumur sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) tahun, atau mewakili masa gaya yangkhas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, sertadianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dankebudayaan;
JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]
Batang Jao, apakah itu salah? Setelah mempelajari undang-undang tentang cagar budaya, dan
cagar alam, ternyata itu salah. Lalu saya mulai ragu lagi, ketika saya berasumsi cagar budaya
yang dimaksud bercerita tentang demokrasi. Apakah pemasanagn poster politk ini masih teap
salah?
Batang Jao adalah sebutan untuk sebuah pohon yang diyakini sebagai sepotong kayu yang dulu
ditancapkan oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang (Tokoh legendaris Masyarakat Minangkabau)
di perbatasan antara Nagari Solok dan Selayo yang kini tumbuh sebagai pohon besar dan pohon
langka. Setelah melakukan riset beberapa bulan terakhir saya menemukan dua versi legenda4
dari Batang Jao ini, seperti keterangan dari Datuak Rajo Bantan, ketua Kerapatan Adan Nagari
(KAN) Salayo; pohon ini adalah sebuah tongkat yang ditancapkan oleh Datuak Parpatiah Nan
Sabatang, kemudian dari keterangan Bapak Tan Ali, Ketua Kerapatan Adat Lubuak Sikarah,
mengatakan bahwa itu adalah batang jenis langka yang sengaja ditanam oleh Datuak Parpatiah
Nan Sabatang yang menghasilkan buah andaleh. Buahnya selalu dua, satu pada sisi Solok, dan
satu pada sisi Selayo. Sekilas saya menangkap, pohon ini berbicara tetang keadilan.
Memang sulit ditelaah legenda mana yang paling tepat, karena sejarah batang jao ini adalah
legenda yang tidak begitu tersebar dalam bentuk Kaba5ataupun teangkum dalam berbagai versi
Tambo6.
Dari narasi yang saya kumpulkan terkait batang jao dilapangan, Cerita seperti yang dikatakan
Datuak Rajo Bantan lah yang paling banyak diyakini masyarakat. Tapi inti dari cerita itu semua
b.benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagisejarah, ilmu pengetahuan , dan kebudayaan. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya)
3 Cagar alam adalah suatu kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. (http://id.wikipedia.org/wiki/Cagar_alam; diakses padaa Juli 2012)
4 Legenda (bahasa Latin: legere) adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang mempunyai cerita sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu, legenda sering kali dianggap sebagai "sejarah" kolektif (folk history). (http://id.wikipedia.org/wiki/Legenda; diakses pada juli 2012)
5 Kaba adalah genre sastra tradisional Minangkabau. Kata kaba sendiri berasal dari bahasa Arab khabar, yang sinonim dengan kata berita (Minangkabau: barito). Namun dalam peristilahan Minangkabau kedua kata ini dibedakan, kaba disini adalah seni sastra minangkabau yang berisikan cerita-cerita rakyat atau legenda. Kaba biasa disajikan dalam kesenian-kesian sebagai music vocal padakesenian randai, rabab, dan lain-lain. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kaba)
6 Tambo Minangkabau adalah karya sastra sejarah yang merekam kisah-kisah legenda-legenda yang berkaitan dengan asal-usul suku bangsa, negeri dan tradisi dan alam Minangkabau. Tambo Minangkabau ditulis dalam bahasa Melayu yang berbentuk prosa.
JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]
dapat ditemukan sebuah titik yang bisa menjadi kunci untuk membuka rahasia dibalik batang
jao ini, yakni batang jao adalah pohon yang keberadaannya sangat erat dengan keberadaan
Datuak Parpatiah Nan Sabatang ditanah Solok dan Selayo.
Jika kita melihat batang jao menggunakan prespektif semiotika7 yang dikembangkan oleh
Ferdinand De Saussure, maka ada beberapa sistem tanda yang bisa kita pakai dalam
mengungkap makna dari Batang jao ini Seperti Batang jao itu sendiri baik itu sebagai tongkat
atau bukan, hubungannya dengan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, dan lain sebagainya.
***
Tongkat memiliki perngertian yang begitu luas, ada yang menggunakan tongkat untuk kaki
tambahan, ada yang menggunakan tongkat sebagai properti kepemimpinan, ada pula yang
menggunakan tongkat sebagai senjata. Lalu apa itu tongkat bagi masyarakat Solok – Selayo?
Foto 3 – Diskusi Komunitas Gubuak Kopi dan Bapak Bustanul Arifin Dt. Badara kayo, 25 Februari 2012 di kantor
BMN Salayo.
Pada diskusi yang digelar oleh komunitas Gubuak kopi 25 Februari 2012 lalu. Bapak Bustanul
Arifin Datuak Bandaro Kayo (Penulis buku Budaya Alam Minangkabau, dan tokoh Adat)
7 Semiotika : Semiotika ialah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda,
seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda, tanda sebagai produk kebudayaan. (Marcell Bonneff, op. cit., hlm. 4-5)
JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]
menjelaskan bahwa tongkat dalam masyarakat Solok dan Salayo adalah alat untuk
menyeberangi sungai, kemudian ditancapkan setelah pemakai tongkat sampai di seberang. Dan
tongkat yang ditancapkan ini digunakan jika ingin menyeberang kembali, atau orang lain yang
ingin menyeberang. Sepintas akan timbul kesan bahwa bagi masyarakat Solok dan Salayo
tongkat Bukanlah sesuatu yang di Agung-agungkan, sesuatu yang keramat, atau sesuatu yang
mahal untuk dijadikan properti kebangsawanan. Melainkan Tongkat adalah alat bantu sehari-
hari yang tidak jarang mereka temui dilingkungan sekitar mereka.
Lalu Bagaimana dengan Tongkat Datuak Parpatiah Nan Sabatang? Yang Pertama membuat
tongkat ini begitu sepesial tentu karena yang menancapkannya bukanlah sembarang orang,
melainkan pucuk pimpinan masyarakat Minangkabau; Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Tapi
tidak se-simpel itu pula. Karena banyak pula barang Datuak Parpatiah Nan Sabatang lainnya
yang mungkin lebih layak dianggap spesial, seperti cincin, deta, baju, dan lain sebagainya. Disisi
lain saya sadar bahwasanya tidak akan sembarangan masyarakat Minangkabau menetapkan
sesuatu sebagai simbol, apa lagi itu dari seorang Datuk.
Datuak Bandaro Kayo, mengatakan bahwa Datuak Parpatiah Nan Sabatang memang sengaja
menacapkan tongkat tersebut dikhalayak ramai sebagai sebuah simbol yang diharapkan dapat
selalu diingat oleh masyarakatnya. Lalu simbol apakah itu? menurut Datuak Rajo Bantan, ada
tiga poin yang disamapaikan oleh Datuak Parptiah Nan Sabatang pada waktu itu, intinya tokoh
legendaries itu mengajak masyarakt Solok dan Salayo untuk mengolah tanah mereka sebagai
lahan pertanian. Tidak ada bukti kuat untuk hal ini. Namun tidak ada salahnya untuk
menerkanya dengan mengkaji kembali fungsi tongkat tadi dan mengkaitkannya dengan filosofi
hidup masyarakat Minangkabau, Alam Takambang Jadi Guru.
Tongkat adalah alat untuk menyeberangi sungai, Jika sungai adalah fenomena alam yang dapat
menghayutkan maka tongkat adalah alat bantu untuk tetap kuat, dan jika dalam sungai yang
keruh kita kesulitan untuk melihat lubang, batu, atau benda-benda berbahaya yang ada di
dalam sungai, maka tongkat adalah alat bantu agar tetap aman mencapai tujuan. Jika sungai
adalah konotasi dari nafsu yang akan membuat kita terjerumus, maka tongkat adalah alat bantu
untuk tetap teguh pada kebenaran. Jika sungai keruh adalah konotasi dari pikiran yang keruh
atau keadaan yang diluar kendali maka tongkat adalah alat bantu untuk kita tetap menemukan
JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]
jalan yang terbaik. Ada banyak hal yang bisa dijadikan konotasi dari fenomena tongkat dan
sungai ini, semuanya multi tafsir.
Namun jika kita melihat tanda ini dari prespektif semiotik pragmatik8, tentang konteks tanda,
serta arti yang ingin disampaikan pembuat tanda, maka kita sebaiknya juga mengenal lebih
jauh tentang Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan kenapa tongkat ini ditancapkan di perbatasan
antara Solok Dan Salayo.
Solok - Salayo pada masa itu disanjung dengan sebutan Ibu Solok, Bapak Salayo. Ibu bapak
adalah orang tua. Orang tua adalah bahasa Indonesia yang lazim di katakan dengan istilah
induak oleh masyarakat Minangkabau. Solok Salayo adalah induak dari konfederasi Kubuang
Tigo Baleh.
Kubuang Tigo Baleh adalah semacam otonomi khusus yang berdiri atas izin Kerajaan Pariangan
(beberapa sumber menyebutnya sebagai kerajaan Pagaruyung), namun memiliki beberapa
perbedaan paham dengan Pariangan yang bersifat kerajaan pada masa itu9. Dan Kubuang Tigo
Baleh konon adalah Otonomi yang paling demokratis pada masa itu. Jika Pariangan meliputi
luhak nan tigo10; luhak tanah datar, luhak agam, dan luhak limo puluah koto maka Kubuang
Tigo Baleh sudah barang tentu berada diluar 3 luhak itu. Para pemimpin Kubuang Tigo Baleh
membuka daerah baru yakni ditanah Solok dan Selayo. Kemudian menyebar hingga Guguak,
Talang, dan sebagai Pusatnya Solok Salayo. Belum ada penjelasan mendalam tentang kenapa
memilih Solok Salayo sebagai pusat Kubuang Tigo Baleh.
Kisah Kubuang Tigo Baleh ini diawali dengan 13 datuk yang menentang sistem kerajaan
Pariangan yang melanggar kebiasaan musyawarah dan lebih menonjolkan kekuasaan,
kemudian 13 pemimpin ini dibuang ke daerah Agam. 13 belas pemimpin ini adalah orang-orang
8 Semiotika pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya dan efek tanda bagi yang
menginterpretasikan dalam batas perilaku subjek.
9 Menurut Ismar Maadis Dauak Putiah, pada masa itu sudah lahir istilah Minangkabau. Sedangkan menurut analisa penulis pada masa itu belum
lahir istilah Minangkabau.
10 Luhak adalah wilayah konfederasi dari beberapa nagari di Minangkabau yang terletak di Sumatera Barat. Wilayah ini merupakan wilayah
pemukiman awal penduduk Minangkabau yang (dulunya adalah wilayah kekuasaan kerajaan Pagaruyung) dikenal dengan istilah Darek. Luhak
Nan Tigo adalah luhak tanah datar, meliputi sebagian besar kabupaten tanah datar dan kota Batusangkar sekarang, kemudian luhak agam yang
meliputi sebagian besar kabupaten agam dan kota bukittinggi sekarang, dan luhak Limo puluah koto, meliputi sebagian besar kabupaten limo
puluah kota dan kota payakumbuh. Daerah diluar tiga luhak ini disebut juga dengan daerah rantau.
JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]
penting, sehingga ketika kerusuhan menimpa Pariangan, Pencurian, pemberontakan dan lain-
lain, 13 orang pemimpin yang sangat berpengaruh ini dipanggil kembali untuk membantu
Pariangan. Pada awalnya 13 pemimpin ini spontan menolak, kemudian setelah beberapa kali
permohonan akhirnya mereka memenuhi permintaan raja dengan pesyaratan setelah keadaan
kembali tentram mereka diizinkan untuk membuka wilayah baru dan memiliki hak untuk
mengatur otonomi sendiri11.
Akhirnya setelah Pariangan kembali aman, maka raja pun menepati janji mereka untuk
melakukan perjalan, membuaka wilayah baru, dengan membawa marawa12 dari raja.
Perjalanan tersebut mengarah kedaerah lauk sumpu13 kemudian menuju Solok Salayo. Alasan
yang paling logis yang bisa diyakini adalah karena berangkat dari Pagaruyung, maka kubu
pemberhentian yang paling tepat adalah Solok, kemudian melakukan perluasan pertama ke
daerah Salayo. Dua daerah ini adalah lahan yang paling datar dan cukup strategis untuk
dijadikan sebagai kubu. Dan dari sinilah para tokoh Kubuang Tigo Baleh berpencar dan
membuka daerah baru dengan tetap membawa marawa.
Salah Satu kesimpulan yang menarik untuk kita ambil dari Kubuang Tigo Baleh dalam konteks
ini, yakni Solok Salayo adalah daerah yang pertama di Minangkabau menegakkan otonomi yang
belakangan dikenal dengan cikal bakal demokrasi. Tapi sebenarnya pada masa itu Minangkabau
belumlah ada, yang ada pada masa itu adalah Pariangan. Dan disinialah mulai terangnya
hubuangan Datuak Parpatiah Nan Sabatang dengan tanah Salayo. Pagaruyung yang menganut
sistem kerajaan pada masa itu dipimpin oleh Datuak Katumanggungan kakak tiri dari Datuak
Parpatiah Nan Sabatang. Datuak Katumanggungan dibesarkan di kalangan kraton Majapahit14.
11 Para pemimpin gerakan Kubuang Tigo Baleh membuka wilayah baru diluar luhak nan tigo, sebagai konfederasi baru yang tetap menjadi bagian
dari Pariangan, namun memiliki cara pemerintahan yang berbeda. Konfederasi ini juga dikenal sebagai Luhak Kubuang Tigo Baleh, bukan
daerah rantau, walaupun Kubuang Tigo Baleh berada diluar Luhak Nan Tigo.
12 Semacam bendera kebesaran kerajaan Pagaruyung, yang kini juga menjadi bendera kebesaran masyarakat Minangkabau. Marawa memiliki 3
buah warna yakni; hitam, merah dan kuning. Membawa marawa dalam perjalanan, artinya perjalanan atas izin serta perlindungan dari
pagaruyung.
13 Danau Singkarak sekarang
14 Gus Tf Sakai dalam bukunya (Tambo, Sebuah Pertemuan; th 2000) menyebutkan bahwa Dt. Katumanggungan adalah nama lain dari
Adityawarman yang dibesarkan di Majapahit. Sedangkan dalam Tambo versi Bahar Dt. Nagari Basa Adityawarman bukanlah Dt.
Katumanggungan dan Dt. Katumanggungan bukanlah orang dibesarkan di Majapahit. Dalam konteks ini penulis menggunakan versi yang
dikembangkan oleh Gus Tf Sakai.
JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]
Dia adalah salah satu panglima perang yang handal. Pengalaman perangnya-lah yang membuat
beliau tertarik untuk kembali kedaerah asalnya dan memimpin kerajaan Pagaruyung15. Disisi
lain, adik satu ibu belainan bapaknya, yakni Datuak Paraptiah Nan Sabatang yang tidak begitu
setuju dengan konsep kerajaan memutuskan untuk marantau16.
Setelah Datuak Parpatiah Nan Sabatang menjelajahi negeri cina, romawi, dan sebagian besar
ranah asia, Dia tertarik untuk menyempurnakan sistem yang berkembang di daerahnya. Dari
sanalah Ia mengenal dan mempelajari konsep suku17, aturan dalam kehidupan masyarakat.
Kemudian konsep itu ditawarkan kepada kakaknya yang pada masa itu memimpin kerajaan.
Karena merasa sama-sama punya hak untuk membenahi tanah lahir mereka, dan karena
Datuak Katumanggungan merasa mubazir untuk membuang ilmu perang yang telah digaulinya
semenjak kecil akhirnya kehendak Datuak Parpatiah Nan Sabatang sedikit demi sedikit diterima
oleh raja. Dan sementara proses itu berlangsung Datuak Parpatiah Nan Sabatang lebih sering
bergaul dan belajar di Kubuang Tigo Baleh yang telah menganut cikal bakal dari sistem yang Ia
inginkan.
Dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang hadir untuk menyempurnakan melalui pembagian suku
dan lain sebagainya. Salah satu tujuan pembagian suku ini adalah pembuktian bahwasanya
konsep kerajaan tidaklah begitu efektif dalam kehidupan masyarakat. Bala tentara, tidaklah
diperlukan jika masing—masing suku diatur untuk saling membutuhkan saling mengunci, saling
membuhur. Kasta bisa dihapuskan, karena semuanya sama di mata alam. Semua pekerjaan
saling membutuhkan, tidak ada yang tidak penting. Baginya tidak pula dibutuhkan wilayah-
wilayah baru untuk mengumpulkan upeti.
Lalu bagaimana jika kerajaan lain yang datang menjajah?
Menurut sebagian besar kitab Tambo inilah yang melatarbelakangi hadirnya Minangkabau.
Seperti yang digambarkan, Gus Tf Sakai, dalam bukunya “Tambo Sebuah Pertemuan”
15Kerajaan pagaruyung hadir setelah masa kerajaan Pariangan.
16 Merantau adalah perginya seseorang dari tempat ia tumbuh besar ke wilayah lain untuk menjalani kehidupan atau mencari pengalaman.
17 Suku ; Klan
JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]
(Gramedia Widiasarana Indonesia; tahun 2000), Pada pada masa itu datanglah penjajah dari
tanah jawa, yang ingin mengusai pagaruyung. “hal seperti inilah yang kau katakan tidak
membutuhkan tentara?” barang kali itulah cemooh yang ingin disampaikan oleh raja. Namun
Datuak Parpatiah Nan Sabatang dapat mengakalinya. Beliau melakukan semacam kesepakatan
kepada utusan jawa yang datang menjajah. Ia menawarkan untuk melakukan perperangan
tanpa bala tentara. Dan tentu saja para utusan Jawa semakin heran namun makna pepatah,
Perang tak ubahnya “kalah jadi abu menang jadi arang” itu juga disadari oleh tentara Jawa.
Parang hanya membinasakan kedua belah pihak. Tapi utusan Jawa tak bakal mau pula pulang
tanpa membawa kabar. Artinya usaha perebutan kekuasaan akan tetap ada, Kemudian Datuak
Paraptiah menyuguhkan kesepakatan menarik, yang memikat hati bala tentara Jawa. Bahwa
jika Pagaruyung kalah, maka seluruh kekuasaan Pagaruyung diserahkan pada kerajaan jawa.
Dan jika Pagaruyung menang Pagaruyung tidak akan menuntut apa-apa. Maka sepakatlah
kedua belah pihak untuk melakukan perang yang diwakili dengan aduan kerbau.
Minangkabau
Kisah aduan kerbau ini barang kali semua orang sudah tau. Bahwa Jawa mendatangkan kerbau
yang paling besar dan paling tangguh, sedangkan dari Pagaruyung hanya mengutus anak kerbau
yang membuat semua bala tentara tertawa. Anak kerbau itu tidak dibiarkan menyusu selama 3
hari, dan tanduknya diberi permata runcing.
Pada hari kesepakatan perang, anak kerbau ini yang sudah kehausan ini tentu tidak tahan untuk
menyusu, ketika melihat induk kerbau yang besar anak kerbau ini langsung mencari sesuatu
yang ia butuhkan dibawah perut sang kerbau besar dan tanduknya yang telah di setting
sedemikian rupa berhasil merobek perut induk kerbau itu. Seketika Pagaruyung menang. Dari
pihak kerajaan yang sebenarnya juga ragu akan menang, mengakui kecerdikan taktik Datuak
Parpatiah Nan Sabatang. Dan pahamnya yang selama ini dianggap konyol itu mulai mendapat
perhatian dari masyarakat dan pihak kerajaan. Baik kaum-nya, dan utusan dari jawa itu sendiri
mengenang peristiwa tersebut sebagai “Menang kerbau”, yang secara tak langsung menamai
JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]
paham Datuak Parpatiah Nan Sabatang selama ini, dan pada pola bahasa masyarakat setempat
menang kerbau adalah Minangkabau.18
Cerita diatas memang tidak dibuktikan secara mutlak kebenarannya. Ada banyak pula cerita
lainnya tentang asal nama Minangkabau, itulah uniknya Minangkabau, sejarahnya adalah
legenda yang tidak disangka-sangka, tinggal bagaimana kita memilah atau menemukan legenda
yang paling tepat.
***
Kemudian mulailah paham yang disebarkan Datuak Parpatiah Nan Sabatang ini benar-benar
mendapat tempat di mata raja. Namun Datuak Parpatiah Nan Sabatang juga tidak ingin
membubarkan kerajaan Pagaruyung. Pagaruyung tetap ada, entah itu untuk menghargai kakak
tirinya atau memang kekuatan kerjaan juga dibutuhkan untuk memudahkan penanaman sistem
yang dimaksud pada kaum yang selama ini lebih patuh terhadap Pagaruyung.
Kemudian dibagilah dua induk suku yang di pimpin oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang, dan
Datuak Katumanggungan keduanya disebarkan pada daerah yang berbeda-beda. Kemudian
suku-suku tersebut dikunci dengan sistem perkawinan yang diatur oleh kedua tokoh kakak
beradik itu. Suku A (beserta cabangnya) hanya boleh kawin dengan Suku B (beserta cabangnya).
dan sebaliknya, kemudian diatur pula pembagian warisan pusako dan sako melalui garis ranji
suku. Alhasil memang hal ini begitu efektif dalam menjaga ketentraman masyarakat. Dan
kerajaanlah yang mengawassi berjalanya sistem ini.
***
Kembali pada hubungannya dengan Solok Salayo. Sebagai daerah yang telah lebih dahulu
menjalankan cikal bakal demokrasi, maka Solok sebagai ibu menganut Suku Bodi Caniago yang
dipimpin oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang, dan Salayo dengan Suku Koto Piliang yang
dipimpin oleh Datuak Katumanggungan. Ini pulalah yang membuat Datuak Parpatiah Nan
Sabatang lebih dekat dengan masyarakat Solok Salayo sedangkan Datuak Katumanggungan
sibuk di Pagaruyung. Dengan pembagian suku itu, maka Salayo adalah daerah tempat Datuak
18
Legenda Minangkabau, namun ada juga yang menyatakan tentara yang menjajah bukan dari tanah jawa.
JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]
Paraptiah mengadu dan Solok adalah tempat ia mengabdi. Beliau tidur di rumah Datuak
Gadang, Salayo, dan beraktivitas di tanah Solok. Beliau jatuh sakit dan meninggal ditanah
Salayo, dan dikuburkan di tanah datuak Gadang, di munggu tanah, Salayo.
Foto 4 – Lokasi Makam Datuak Parptiah Nan Sabatang
Foto 5 – Makam Datuak Parpatiah Nan Sabatang, di Munggu Tanah – Salayo.
Sebagai tanda telah dibaginya suku dua daerah induk Kubung Tigo Baleh ini, maka
ditacapkanlah tongkat tersebut sebagai daerah percontohan bagi cabang-cabang Kubuang Tigo
JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]
Baleh lainnya dan daerah lainnya diluar Kubuang Tigo Baleh. Tongkat sebagai alat bantu
melintas juga berarti sebagai penghubung antara dua suku.
Apapun makna yang diwakili oleh tongkat ini jika kita menggalinya lebih dalam tentu kita sadar
bahwa batang jao adalah suatu petanda besarnya peranan Solok Selayo dalam sejarah
demokrasi di Minangkabau. Datuak Parpatiah Nan Sabatang tentu memiliki alasan tersendiri
kenapa memilih tongkat, atau sepotong kayu yang nantinya akan tumbuh besar dan memiliki
kemungkinan mati jika tidak dirawat dengan baik, barang kali itulah petanda bahwa besarnya
keinginan Datuak Parptiah Nan Sabatang agar generasi berikutnya terus merawat hingga
menjadi kokoh dan tidak membiarkan demokrasi itu mati.
Jika kita masih percaya demokrasi adalah pilihan yang baik, dan jika benar kata orang-orang
selama ini demokrasi telah kacau maka tidak ada salahnya untuk menghargai dari sejarah yang
dibawa batang jao ini. Ada banyak macam cara untuk menghargai sejarah demokrasi tersebut,
mungkin itu membuka ruang diskusi lebih dalam tentang apa itu demokrasi, atau apa itu
demokrasi yang sebenarnya. Namun jika ada pula yang berfikiran demokrasi yang
dikembangkan Datuak Parpatiah Nan Sabatang tidak lagi sesuai dengan kenyataan sekarang,
tetaplah tidak ada salahnya kita mengetahui lebih dalam tentang bagaimana demokrasi ini bisa
efektif pada masa itu kemudian mencari titik temunya dengan fenomena kekinian.
Pudarnya Pesona Batang Jao
Beberapa pihak barangkali heran, batang jao yang ternyata juga dapat membawa kita untuk
mengenal perjalanan demokrasi ini tidak begitu dipedulikan.
Sungguh mengherankan, karena setelah saya mengumpulkan data-data tentang batang jao ini,
rupanya tidak pula sedikit yang mengetahui tentang keberadaan batang jao ini. Hanya saja
beberapa diantaranya tidak begitu mengetahui, atau ingin tau apa sejarah yang
melatarbelakangi cagar budaya tersebut.
Beberapa waktu lalu saya sempat berulang kali bolak balik mengkomfirmasi pada tokoh-tokoh
adat setempat. Datuak Rajo Bantan menyatakan benar, itu adalah pohon yang diyakini sebagai
tongkat yang ditancapkan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Datuak Gadang, tokoh adat Salayo
JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]
juga mengatakan benar. Datuak Bandaro Kayo, tokoh adat selayo, penulis buku BAM, juga
menyatakan benar. Datuak Tan Ali, ketua KAN Salayo juga menyatakan benar. Kemudian di luar
tokoh adat yang saya temui seperti Bapak J. otri St. Mantari, anggota koramil yang bermarkas
disebelah lokasi batang jao ini juga menyatakan benar hanya saja sama seperti beberapa
pemuda, serta tukang ojek didekat lokasi batang jao itu berpendapat, bahwa tidak seluruhnya
warisan budaya itu wajib kita pertahankan. Saya juga heran kenapa? Lalu kepada mereka yang
menjawab demikian saya bertanya, apa cerita dibalik batang jao ini, ternyata 90% dari mereka
memang hanya sebatas mengetahui bahwa tongkat itu ditancap oleh Datuak Parpatiah Nan
Sabatang, dan bahwasanya beliau adalah tokoh besar dalam adat Minangkabau. Hanya sebatas
itu. Tak heran pula saya, kenapa masyarakat tidak begitu peduli dengan pohon ini. Karena
barang kali mereka mengira Datuak Parpatiah Nan Sabatang juga menancapkan tongkat-
tongkat ditempat lain, atau mungkin mereka mengira bahwa Datuak Parpatiah Nan Sabatang
juga pernah membangun rumah di daerah-daerah tertentu tapi tidak juga perlu di ekspose
secara berlebihan. Sedangkan ini hanya tongkat, yang tumbuh menjadi pohon, suhu, iklim, api,
dan gergaji pun bisa membuatnya hilang.
Foto 6 – Diskusi bersama tokoh adat Salayo, di kediaman Dt. Rajo Bantan (ketua KAN Salayo), 7 Januari 2012
JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]
Foto 7 – Datuak Gadang di kediamannya, 3 Maret 2012.
Foto 8 – Bapak J. Otri dan penulis, di Markas Koramil
cabang, batas kota Solok (disebelah lokasi Batang
Jao), Januari 2012.
Pohon Demokrasi
Sepertinya memang tidak semua orang butuh pengetahuan tentang itu, tampaknya beberapa
orang juga tidak peduli dengan hal ini. Seperti fakta yang bebarapa kali saya temukan. Batang
jao yang belakangan saya anggap guru, atau buku yang menyimpan pelajaran tentang
kedamainan ini ternyata bagi orang lain hanyalah suatu pohon yang terletak pada
persimpangan, yang strategis dijadikan sebagai papan iklan. Banyak perusahaan komersil yang
pernah mengikatkan baliho/spanduk mereka pada pohon ini, ada pula beberapa instansi non-
komersial yang juga menompang penciteraan mereka dengan menempel baliho atau poster
mereka dibatang tersebut. Namun belakangan, yang paling ramai memasang poster berasal
dari partai-partai politik. Seperti pengamatan saya sejak satu tahun terakhir --- dalam masa
proses mengumpulkan data-data ini --- banyak baliho yang di tempel, di-paku-kan. Dan
diikatkan pada pohon ini. Saya kira yang melatarbelakangi hal ini adalah sejarah demokrasi
pohon tersebut yang mungkin telah berkembang menjadi mitos demokrasi, atau mungkin
demikianlah cara mereka untuk menghargai demokrasi itu. Tapi setelah saya bersama teman-
teman dari komunitas Gubuak Kopi meng-komfirmasi pada beberapa pimpinan partai itu, kami
keliru. Mereka bahkan tidak tahu tentang sejarah pohon itu, dan rata-rata semuanya
menyalahkan pihak percetakan yang mereka percayakan untuk mencarikan tempat strategis
untuk memasang baliho/poster mereka.
JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]
Foto 9 – Baliho dan bendera partai di Batang Jao, 5
September 2011
Foto – 10 Pada saat membersihakan Batang Jao, 25
Februari 2012
Foto 11 - Pada saat membersihakan Batang Jao dan
disaksikan oleh salah satu anggota koramil, 25
Februari 2012
Foto 12 – Banner pemberitahuan cagar budaya Batang
Jao. 20 Mei 2012
Foto 13 - Banner pemberitahuan cagar budaya
Batang Jao dan Baliho yang diikatkan di Batang Jao,
20 Mei 2012.
Foto 14 – Baliho di Batang Jao, 20 Agustus 2012
JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]
Diketahui oleh tokoh-tokoh adat Salayo, kami meminta mereka untuk memindahkan baliho
mereka tersebut. Dan memang dipindahkannya. Lalu untuk mencegah itu saya dan teman-
teman di komunitas Gubuak Kopi berinisiatif untuk membuat banner sementara untuk
mengingatkan bahwa ini adalah batang jao, benda cagar budaya yang sebaiknya lindungi (lihat;
Foto 12). Namun karena kami pun harus menuntut ilmu diluar kota tidak selalu kami dapat
mengontrol hal ini. Pemasangan poster liar itu kembali terjadi, walau kami sempat berincang-
bincang tentang hal ini pada koramil disebelahnya, walau disana juga lintas utama Kota dan
kabupaten Solok, Walau disimpang itu juga merupakan baypass (terminal alternative) jurusan
Solok-Padang, walau di simpang itu juga ramai tukang ojek yang juga asli masyarakat Solok dan
Salayo, yang juga pernah melihat kami memasang banner. Tapi pemasangan iklan liar tetap saja
terjadi. Beberapa waktu lalu sebelum ramadhan 1433 H (20 Agustus 2012), saya pulang ke
Solok dan melihat ternyata banner (pemberitahuan) yang pernah kami pasang itu telah hilang.
Dan dua baliho partai kembali terpampang (lihat; Foto 14).
*(Foto: Arsip Komunitas Gubuak Kopi)
JURNAL JEJAK KOTA ©2012 KOMUNITAS GUBUAK KOPI www.gubuakkopi.org | email: [email protected]| [email protected]
Profil Penulis:
Albert Rahman Putra, akrab disapa Albert. Lahir di Solok, 31 Oktober
1991. Pendiri dan aktif di komunitas Gubuak Kopi Solok. Penulis dan
fotografer freelance. beberapa tulisan dan fotonya pernah dimuat di
media local, dan nasional, seperti Singgalang, majalah Pituluik,
inioke.com, jurnal www.akumassa.org, jurnal www.gubuakkopi.org,
Info Sumbar, dan lain-lain. Saat ini bekerja sebagai penyiar di salah
satu radio swasta di Kota Padang Panjang, dan tengah merintis
sebuah yayasan untuk seni budaya; Bujangkatapel Foundation.
Di Publikasikan pada 12 Agustus 2012 oleh:
Jurnal Jejak Kota
salah satu program yang digagas Komunitas Gubuak Kopi dalam rangka
mengkaji dan memetakan sejarah budaya lokal, menyajikanya pada publik
sebagai wacana pengantar dalam menemukan identitas kota dan menghadapi
kedinamisan budaya
Jalan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, No 52
Air Mati, Kota Solok
Sumatera Barat – Indonesia.
www.gubuakkopi.org Email: [email protected] | [email protected]
KOMUNITAS GUBUAK KOPI Organisasi non-profit yang yang didirikan oleh beberapa pemuda yang terdiri
dari mahasiswa, pelaku seni, dan pengamat budaya asal Solok pada 01 Agustus
2011. Gubuak Kopi hadir sebagai sarana diskusi yang mengkaji kehidupan sosial
dan kedinamisan budaya lokal (tempat komunitas berkembang) dengan
berbagai disiplin ilmu.
©GBKAgus2012
Program Jejak Kota Komunitas Gubuak Kopi 2012