titien(2)

12
KAJIAN KELENGKAPAN RESEP PEDIATRI YANG BERPOTENSI MENIMBULKAN MEDICATION ERROR DI 2 RUMAH SAKIT DAN 10 APOTEK DI YOGYAKARTA Th.B. Titien Siwi Hartayu, Aris Widayati *) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Intisari Medication error (ME) merupakan kesalahan yang terjadi pada proses pengobatan yang sebenarnya dapat dicegah apabila faktor-faktor penyebab dapat diidentifikasi secara dini (Cohen, 1991). Medication error dapat terjadi pada fase prescribing, transcribing, dispensing dan administration. Penelitian ini merupakan penelitian observasional-deskriptif yang dilakukan terhadap resep untuk anak-anak di 2 rumah sakit (RS I: n= 315, RS II: n=1051) dan 10 apotek (n=612) di Yogyakarta, yang diambil secara aksidental dilengkapi wawancara dengan dokter penulis resep serta apoteker penerima resep di rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidaklengkapan resep yang banyak dijumpai adalah tidak tercantumnya berat badan (RS I: 65,71%; RS II: 100%; Apotek: 98,53%) dan umur pasien (RS I: 49,84%; RS II: 100%; Apotek: 14,05%). Faktor lain yang potensial yaitu adanya resep racikan dengan >3 jenis obat (RS I: 23,81%; RSII: 65,65%; Apotek: 3,43%) dan adanya aturan pakai yang tidak sesuai yaitu obat kausatif kombinasi obat simptomatika (RS I; 73,97%; RS II: 74,88%; Apotek: 73,37%). Menurut dokter penyebab tidak lengkapnya penulisan resep adalah tingginya tingkat kesibukan dokter sehubungan dengan banyaknya pasien (rata-rata 60 pasien per dokter) dan format blanko resep tidak lengkap. Bagi dokter tidak ada masalah untuk memenuhi kelengkapan resep, bila diperlukan dan tidak mengganggu pelayanan. Menurut apoteker bahwa resep yang tidak lengkap tetap dapat dilayani dengan terlebih dulu konfirmasi ke dokter penulis resep. Kata kunci: medication error, peresepan pediatri ________________ Bab I. Pendahuluan Medication error adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi kesehatan, pasien atau konsumen, dan seharusnya dapat dicegah (Cohen, 1991, Basse & Myers, 1998). Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pengertian medication error adalah kejadian yang merugikan 89

Transcript of titien(2)

Page 1: titien(2)

KAJIAN KELENGKAPAN RESEP PEDIATRI YANG BERPOTENSI MENIMBULKAN MEDICATION ERROR DI 2 RUMAH SAKIT DAN

10 APOTEK DI YOGYAKARTA

Th.B. Titien Siwi Hartayu, Aris Widayati *) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Intisari

Medication error (ME) merupakan kesalahan yang terjadi pada proses

pengobatan yang sebenarnya dapat dicegah apabila faktor-faktor penyebab dapat diidentifikasi secara dini (Cohen, 1991). Medication error dapat terjadi pada fase prescribing, transcribing, dispensing dan administration.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional-deskriptif yang dilakukan terhadap resep untuk anak-anak di 2 rumah sakit (RS I: n= 315, RS II: n=1051) dan 10 apotek (n=612) di Yogyakarta, yang diambil secara aksidental dilengkapi wawancara dengan dokter penulis resep serta apoteker penerima resep di rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidaklengkapan resep yang banyak dijumpai adalah tidak tercantumnya berat badan (RS I: 65,71%; RS II: 100%; Apotek: 98,53%) dan umur pasien (RS I: 49,84%; RS II: 100%; Apotek: 14,05%). Faktor lain yang potensial yaitu adanya resep racikan dengan >3 jenis obat (RS I: 23,81%; RSII: 65,65%; Apotek: 3,43%) dan adanya aturan pakai yang tidak sesuai yaitu obat kausatif kombinasi obat simptomatika (RS I; 73,97%; RS II: 74,88%; Apotek: 73,37%).

Menurut dokter penyebab tidak lengkapnya penulisan resep adalah tingginya tingkat kesibukan dokter sehubungan dengan banyaknya pasien (rata-rata 60 pasien per dokter) dan format blanko resep tidak lengkap. Bagi dokter tidak ada masalah untuk memenuhi kelengkapan resep, bila diperlukan dan tidak mengganggu pelayanan. Menurut apoteker bahwa resep yang tidak lengkap tetap dapat dilayani dengan terlebih dulu konfirmasi ke dokter penulis resep. Kata kunci: medication error, peresepan pediatri

________________

Bab I. Pendahuluan

Medication error adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang

masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi kesehatan, pasien atau

konsumen, dan seharusnya dapat dicegah (Cohen, 1991, Basse & Myers, 1998).

Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004

disebutkan bahwa pengertian medication error adalah kejadian yang merugikan

89

Page 2: titien(2)

pasien, akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang

sebetulnya dapat dicegah. Kejadian medication error dibagi dalam 4 fase, yaitu fase

prescribing, fase transcribing, fase dispensing dan fase administration oleh pasien.

Medication error pada fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase penulisan

resep. Fase ini meliputi: obat yang diresepkan tidak tepat indikasi, tidak tepat pasien

atau kontraindikasi, tidak tepat obat atau ada obat yang tidak ada indikasinya, tidak

tepat dosis dan aturan pakai. Pada fase transcribing, error terjadi pada saat

pembacaan resep untuk proses dispensing, antara lain salah membaca resep karena

tulisan yang tidak jelas, misalnya Losec® (omeprazole) dibaca Lasix® (furosemide),

aturan pakai 2 kali sehari 1 tablet terbaca 3 kali sehari 1 tablet. Salah dalam

menterjemahkan order pembuatan resep dan signature juga dapat terjadi pada fase

ini. Error pada fase dispensing terjadi pada saat penyiapan hingga penyerahan resep

oleh petugas apotek. Salah satu kemungkinan terjadinya error adalah salah dalam

mengambil obat dari rak penyimpanan karena kemasan atau nama obat yang mirip

atau dapat pula terjadi karena berdekatan letaknya. Selain itu, salah dalam

menghitung jumlah tablet yang akan diracik, ataupun salah dalam pemberian

informasi. Sedangkan error pada fase administration adalah error yang terjadi pada

proses penggunaan obat. Fase ini dapat melibatkan petugas apotek dan pasien atau

keluarganya. Error yang terjadi misalnya pasien salah menggunakan supositoria yang

seharusnya melalui dubur tapi dimakan dengan bubur, salah waktu minum obatnya

seharusnya 1 jam sebelum makan tetapi diminum bersama makan.

Menurut Cohen (1991) dari fase-fase medication error di atas, dapat

dikemukakan bahwa faktor penyebabnya dapat berupa: 1) Komunikasi yang buruk,

baik secara tertulis (dalam resep) maupun secara lisan (antar pasien, dokter dan

apoteker). 2) Sistem distribusi obat yang kurang mendukung (sistem komputerisasi,

sistem penyimpanan obat, dan lain sebagainya). 3) Sumber daya manusia (kurang

pengetahuan, pekerjaan yang berlebihan). 4) Edukasi kepada pasien kurang. 5) Peran

pasien dan keluarganya kurang.

90

Page 3: titien(2)

Medication error yang terjadi pada fase apapun tentu merugikan pasien dan

dapat menyebabkan kegagalan terapi, bahkan dapat timbul efek obat yang tidak

diharapkan. Menurut Buck (1999), beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh dokter

dalam penulisan resep untuk anak-anak, yaitu: 1) Mengetahui kebutuhan terapi

pasien, alergi obat, potensial interaksi obat. 2) Menuliskan berat badan anak. 3)

Menggunakan nama generik. 4) Menghindari penggunaan singkatan nama obat. 5)

Waspada terhadap peresepan obat yang “look alike” dan “sound alike”, contohnya

Celebrex® dan Cerebyx®. 6) Menyesuaikan dosis dengan referensi yang terkini. 7)

Pembulatan dosis dilakukan terhadap angka terdekat. 8) Untuk pecahan

menggunakan angka nol di depan koma (contoh: ..,5 mg sebaiknya ditulis 0,5 mg )

dan menghindari angka nol dibelakang koma (contoh: 5,0 mg, cukup ditulis 5 mg). 9)

Memeriksa ulang semua hitungan dan satuannya. 10) Menggunakan instruksi dosis

yang spesifik, hindari instruksi semacam “prn” atau “ titrate”, 10) Menghindari order

secara verbal.

Hasil cohort study oleh Kozer, et al (2005) melibatkan 1532 peresepan pasien

anak-anak di ICU 12 Rumah Sakit di Amerika yang disampling secara random,

sekitar 10% di antaranya mengalami medication error yang terinci menjadi

prescribing error (10.1%) dan drug administration error (3,9%). Medication error

pada anak-anak merupakan kejadian yang penting, jika dibandingkan dengan

kejadian pada dewasa maka potensi merugikannya tiga kali lipat. Dari studi terhadap

10788 peresepan pediatri, 616 potensial untuk terjadi error. Sejumlah 120 (19,5%)

termasuk kategori sangat membahayakan, 115 (18,7%) potensial terjadi ADR

(Adverse Drug Reaction), 5 kasus (0,8%) adalah ADR yang dapat dicegah.

Sehubungan dengan hal tsb., ada tiga cara yang dinyatakan dapat mencegah

medication error yaitu: 1) Penulisan resep oleh dokter secara komputerisasi (76%). 2)

Ward clinical pharmacist (81%). 3) Peningkatan komunikasi antar dokter,

apoteker/perawat dan pasien (86%) (Fortescue et al, 2003).

Penerapan sistem komputerisasi untuk peresepan atau Computerized

Physician Order Entry (CPOE) mempunyai potensial untuk menurunkan angka

91

Page 4: titien(2)

kejadian medication error (medication error rate / MER). Suatu hasil penelitian oleh

King, et al (2003), menunjukkan CPOE mampu menurunkan MER 40% lebih rendah

dibanding kelompok kontrol (ratio=0,60; 95%, CI=0,48; 0,74) dengan total pasien

5786.

Berdasarkan laporan dari USP Medication Error Reporting Program,

beberapa hal berikut dapat dilakukan ketika dokter menulis resep untuk mencegah

salah interpretasi terhadap penulisan resep, yaitu: 1) Mencantumkan identitas dokter

yang tercetak dalam kertas resep. 2) Menuliskan nama lengkap obat (dianjurkan

dalam nama generik), kekuatan, dosis dan bentuk sediaan. 3) Nama pasien, umur dan

alamat, juga berat badan dan nama orang tua untuk pasien anak (Katzung and

Lofholm, 1997).

Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa Apoteker harus memahami dan

menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam

proses pengobatan. Dalam pelayanan resep Apoteker harus melakukan skrining resep

yang meliputi: 1) Persyaratan administratif (a. nama, SIP dan alamat dokter, b.

tanggal penulisan resep, c. tanda tangan / paraf dokter penulis resep, d. nama, alamat,

umur jenis kelamin dan berat badan pasien, e. nama obat, potensi, dosis dan jumlah

yang diminta, f. cara pemakaian yang jelas, g. informasi lainnya). 2) Kesesuaian

farmasetika (a. bentuk sediaan, b. dosis, c. potensi, d. stabilitas, e. inkompatibilitas, f.

cara dan lama pemberian). 3) Pertimbangan klinis (a. efek samping, b. alergi,

c. interaksi, d. kesesuaian indikasi, dosis, pasien, dan lain-lain).

Untuk memudahkan cara pemakaian, pemberian terapi pada kelompok anak-

anak memerlukan bentuk sediaan khusus, misal sirup atau puyer. Sayangnya,

seringkali kemudahan cara pakai tidak mendukung ketepatan aturan pakai yang harus

dipenuhi. Padahal, aturan pakai (signatura) sangat penting karena berkaitan dengan

ketersediaan obat di dalam tubuh yang diperlukan untuk mencapai tujuan terapi.

Sebagai contoh, untuk obat simtomatika seperti obat penurun panas, diperlukan hanya

pada saat demam. Ketika suhu tubuh kembali normal maka obat simtomatika harus

92

Page 5: titien(2)

segera dihentikan karena sudah tidak diperlukan lagi. Sedangkan obat kausatif seperti

antibiotika, diperlukan dalam jumlah dan waktu tertentu sehubungan dengan

ketersediaannya di dalam tubuh untuk mencapai tujuan terapi. Dengan demikian,

meskipun kondisi tubuh tampak sudah baik (terasa nyaman) tetapi obat tetap harus

diberikan sampai jumlah dan waktu yang diperlukan terpenuhi. Jika kedua obat

diberikan bersama dalam satu racikan puyer/sirup maka obat simtomatika akan terus

terminum padahal sudah tidak diperlukan lagi. Keadaan itu akan dapat memicu

timbulnya efek yang tidak diinginkan dan tentunya akan mempengaruhi keberhasilan

terapi. Hal tersebut sering terjadi pada peresepan racikan. Sayangnya tidak banyak

data tentang kejadian medication error terutama di Indonesia. Hal itu kemungkinan

karena tidak teridentifikasi secara nyata, tidak dapat dibuktikan atau tidak dilaporkan.

Mengingat berbagai hal di atas, apa yang seharusnya dilakukan para farmasis

sebagai mitra kerja dokter untuk mencegah terjadinya medication error dengan

mengidentifikasi secara dini dan menganulir faktor-faktor pemicunya menjadi hal

yang sangat penting.

Bab II. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional-deskriptif dengan

rancangan cross-sectional. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dan

wawancara mendalam kepada dokter penulis resep. Penelitian dilakukan pada resep

pasien anak-anak di 10 Apotek di Yogyakarta (Januari – Maret 2005), resep pasien

anak-anak rawat jalan di Rumah Sakit I (September – Nopember 2004) dan Rumah

Sakit II (Oktober – Desember 2005) dengan metode convinience atau accidental

nonprobabilistic sampling (Trochim, 2003).

Variabel penelitian meliputi:

1. Kelengkapan resep meliputi: identitas dokter, identitas pasien, nama obat, bentuk

sediaan, kekuatan, jumlah obat dan signatura (aturan dan cara pakai).

93

Page 6: titien(2)

2. Jumlah obat dalam kombinasi / racikan dan kesesuaian aturan pakai dalam

kombinasi obat yaitu adanya obat yang mempunyai aturan pakai yang berbeda

(obat simptomatika dan kausatif) yang diresepkan dalam satu resep racikan.

3. Wawancara mendalam terhadap 2 orang dokter penulis resep dan apoteker

penerima resep di rumah sakit.

Data dikumpulkan dengan menggunakan lembar kerja, dan dilakukan

langkah-langkah sebagai berikut:

1. identifikasi kelengkapan resep meliputi identitas dokter ( nama, alamat, No. SIK,

spesialisasi), identitas pasien (nama, umur, berat badan, nama orang tua, alamat),

petunjuk bentuk sediaan obat (BSO), kekuatan obat, jumlah obat, cara pakai,

aturan pakai, dan waktu minum.

2. identifikasi kombinasi/racikan obat lebih dari 3 jenis.

3. identifikasi kombinasi/racikan obat dengan aturan pakai yang berbeda.

4. melakukan wawancara mendalam terhadap 2 orang dokter penulis resep dan

apoteker penerima resep di rumah sakit.

Data yang tercatat dalam lembar kerja dan hasil wawancara diolah secara

deskriptif dan dianalisis dengan kajian mendalam.

Bab III. Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi tertinggi ketidaklengkapan

resep yang dapat memicu terjadinya medication error adalah tidak tercantumnya

berat badan (RS I: 65,71%; RS II: 100%; Apotek: 98,53%) dan umur pasien (RS I:

49,84%; RS II: 100%; Apotek: 14,05%). Berat badan pasien pediatri merupakan data

penting sebagai dasar perhitungan dosis obat. Jika informasi berat badan tidak ada

dalam resep maka perhitungan dosis obat sulit ditentukan dan juga tidak dapat

dijamin ketepatannya. Perhitungan dosis dapat pula didasarkan pada umur pasien lalu

dikonversikan ke dalam berat badan, namun pada kenyataannya berat badan tiap anak

berlainan meskipun umurnya sama.

94

Page 7: titien(2)

Faktor penting lain yang berpotensi cukup tinggi dan sering dijumpai adalah

adanya resep racikan dengan lebih dari 3 jenis obat (RS I: 23,81%; RSII: 65,65%;

Apotek: 3,43%) dan adanya aturan pakai yang tidak sesuai yaitu pada obat kausatif

yang dicampur dengan obat simptomatika dalam racikan (RS I; 73,97%; RS II:

74,88%; Apotek: 73,37%).

Pada resep pediatri, nama orang tua dan alamat sangat penting dituliskan. Hal

ini perlu untuk pelacakan jika terjadi kesalahan dalam pelayanan resep. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa RS I: 98,73% tidak terdapat nama orang-tua dan

63,17% tidak ada alamatnya, di RS II: 100,00% tidak ada nama orang-tua maupun

alamat, sedang di apotek 100,00% tidak ada nama orang-tua dan 81,70% tidak ada

alamat pasien. Nama orang tua dan alamat merupakan hal sederhana dan seringkali

terabaikan tetapi sesungguhnya mempunyai peran sangat penting dalam pencegahan

terjadinya kesalahan penggunaan obat.

Pada penelitian ditemukan resep di apotek tanpa nama pasien (2,12%) dan

penyerahan obat hanya berdasarkan nomor urut yang diberikan apotek. Hal tersebut

merupakan temuan yang menarik karena mempunyai potensi yang besar untuk

menimbulkan terjadinya kesalahan.

Pada penelitian ini juga ditemukan adanya resep tanpa kekuatan obat (RS I:

3,81%, RS II: 5,80%, Apotek: 48,04 %), padahal kekuatan obat diperlukan dalam

penentuan dosis. Mengingat adanya obat yang sama, dikemas dengan kekuatan

berbeda, misalnya amoksisilin 500 mg dan amoksisilin 250 mg, kotrimoksasol dan

kotrimoksasol forte, maka kekuatan obat perlu ditulis dalam peresepan. Ada

kesepakatan tidak tertulis dalam pelayanan obat baik di rumah sakit maupun di

apotek bahwa jika kekuatan obat tidak ditulis maka diberikan obat dengan kekuatan

kecil. Namun apakah ada jaminan bahwa obat dengan kekuatan kecil itu akan mampu

memenuhi dosis untuk tercapainya tujuan terapi.

Penulisan jumlah obat dalam resep mutlak diperlukan untuk menentukan lama

terapi pasien. Jika jumlah obat tidak dituliskan, maka berapa banyak obat yang harus

diberikan kepada pasien tidak dapat ditentukan, akibatnya resep tidak dapat dilayani.

95

Page 8: titien(2)

Untuk dapat melayaninya diperlukan konfirmasi ke dokter, padahal untuk konfirmasi

bukan merupakan hal yang mudah dilakukan mengingat tingkat kesibukan kedua

belah pihak, yaitu dokter dan farmasis. Keadaan itu berpotensi menghambat

pelayanan, disamping itu juga akan dapat memberikan peluang untuk

penyalahgunaan misalnya pada resep psikotropika pasien bisa menuliskan sendiri

jumlah obatnya sesuai keinginannya. Pada penelitian ini ditemukan adanya resep

tanpa jumlah obat baik di apotek (3,59%) maupun di rumah sakit (RS I; 0,95% dan

RS II 0,19%).

Pada resep, signatura atau aturan dan cara pakai obat harus dituliskan dengan

lengkap dan jelas agar tidak memicu terjadinya administration error. Misalnya obat

harus diminum 1 jam sebelum makan, atau 2 jam sesudah makan, harus dikunyah

dulu atau langsung ditelan bersama air matang, atau harus dihisap seperti permen,

dsb. Dengan informasi tersebut diharapkan pasien akan dapat menggunakan obat

dengan benar. Pada penelitian ini ditemukan resep tanpa signatura baik di rumah

sakit (RS I: 0,63% dan RS II: 0,38%) maupun di apotek (3,76%).

Dalam resep racikan, petunjuk pembuatan bentuk sediaan seperti m.f.pulv.dtd;

m.f. suppositoria, m.f. unguentum, dan lain-lain harus dituliskan dengan jelas, karena

setiap bentuk sediaan mempunyai tujuan tertentu, dan dapat mempengaruhi dosis

obat (m.f.pulv. dengan dtd. atau tanpa dtd.). Dengan demikian, penulisan order

bentuk sediaan ini juga tidak kalah pentingnya apalagi untuk pasien anak-anak yang

lebih sesuai dengan bentuk sediaan obat tertentu, misalnya pulveres atau sirup. Hasil

penelitian menunjukkan adanya resep yang tidak mencantumkan petunjuk bentuk

sediaan yang diminta (RS I: 6,67%; RS II: 61,94%; apotek: 22,71%).

Menurut American Medical Association (AMA) (1994), disebutkan bahwa

suatu kombinasi obat dikatakan rasional jika mengandung tidak lebih dari 3 macam

obat dan tidak boleh mengandung lebih dari satu macam obat dengan aksi

farmakologis yang sama. Pada penelitian ini ditemukan adanya resep racikan dengan

lebih dari 3 jenis (RS I: 23,81%, RS II: 65,65%, Apotek: 3,43%). Resep dengan

96

Page 9: titien(2)

aturan pakai tidak sesuai (RS I: 26,03%, RS II: 25,12%, Apotek: 26,63%) yaitu

pencampuran antara obat yang bersifat simptomatika dan obat kausativa dalam satu

racikan. Obat simptomatika seperti analgetika, antipiretika, mukolitika dan lainnya

digunakan ”jika perlu” atau ”prn”, misalnya jika masih nyeri untuk pemakaian

analgetika, dan ketika demam untuk pemakaian antipiretika. Obat kausatif digunakan

sampai kausanya diperkirakan telah tereradikasi. Misalnya antibakteri digunakan

minimal selama 5 hari dengan harapan setelah terpapar antibakteri selama 5 hari

maka bakteri penginfeksi telah tereradikasi. Berdasarkan hal tersebut seharusnya

pemberian antipiretika (parasetamol) dan antibiotika (amoksisilin) tidak dapat

digabung dalam satu racikan.

Tabel I. Frekuensi Ketidaklengkapan Resep Pasien pediatri di Rumah Sakit I, Rumah Sakit II dan 10 Apotek di Yogyakarta Tahun 2005

No Ketidaklengkapan Resep pada Komponen

Rumah sakit I (n=315) (%)

Rumah sakit II (n=1051) (%)

Apotek (n=612) (%)

1 Nama dokter 1,27 0,28 1,47 2 Spesialisasi 1,90 2,38 38,40 3 Nama pasien 0,00 0,00 2,12 4 Umur 49,84 100,00 14,05 5 Berat badan 65,71 100,00 98,53 6 Nama ortu 98,73 100,00 100,00 7 Alamat 63,17 100,00 81,70 8 Kekuatan obat 3,81 5,80 48,04 9 Jumlah obat 0,95 0,19 3,59 10 Signature 0,63 0,38 3,76 11 Petunjuk bentuk sediaan 6,67 61,94 22,71 Tabel II. Persentase Potensial Medication Error pada Resep Kombinasi/Racikan

untuk pediatri di Rumah Sakit I, Rumah Sakit II dan 10 Apotek di Kota Yogyakarta

No Potensial Medication Error Rumah sakit I (n=315)

(%)

Rumah sakit II (n=1051) (%)

Apotek (n=612)

(%) > 3 obat 23,81 65,65 3,43 1 Jumlah obat dalam racikan < 3 obat 76,19 34,35 96,57 Tidak sesuai 26,03 25,12 26,63 2 Kesesuaian aturan pakai

obat simptomatik dan kausatif

Sesuai 73,97 74,88 73,37

Hasil wawancara mendalam dengan apoteker penerima resep, pelayanan resep

yang tidak lengkap selalu dikonfirmasikan ke dokter. Untuk Instalasi Farmasi di RS,

97

Page 10: titien(2)

konfirmasi dapat dilakukan dengan relatif lebih mudah, namun jika frekuensi

konfirmasi cukup tinggi seperti pada kasus tidak adanya petunjuk bentuk sediaan

yang harus dibuat (61,94%) maka hal itu akan mengganggu keduabelah pihak, baik

instalasi farmasi maupun dokter. Ketidaklengkapan supersciptio terjadi di RS karena

pasien adalah karyawan RS atau keluarganya yang bertemu dokter tidak di poliklinik

sehingga dokter menulis resep tidak pada blangko resep yang seharusnya.

Hasil wawancara mendalam dengan dokter penulis resep diketahui penyebab

tidak lengkapnya penulisan resep adalah tingginya tingkat kesibukan dokter

sehubungan dengan banyaknya pasien yang harus dilayani setiap kali praktek (rata-

rata 60 pasien per dokter). Selain itu format blanko resep yang tersedia tidak lengkap.

Akibatnya pengisian data pasien pada blanko resep menjadi tidak lengkap. Dalam

wawancara tersebut terungkap bahwa bagi dokter tidak ada masalah untuk memenuhi

persyaratan kelengkapan resep yang diperlukan, sejauh formatnya dapat menunjang

keperluan dan tidak mengganggu pelayanan. Untuk obat racikan dengan jumlah obat

lebih dari 3 jenis dengan aturan pakai tidak sesuai, dokter mengemukakan hal tersebut

dilakukan karena memang dibutuhkan untuk terapi dan tingginya tingkat kesibukan

sehingga tidak cukup waktu untuk menuliskannya secara terpisah. Dokter

mengharapkan apoteker dapat mengatasinya secara profesional sesuai peraturan yang

berlaku.

Bab IV. Kesimpulan dan Saran

Dikaji dari aspek kelengkapan resep maka dapat disimpulkan bahwa semua

peresepan pediatri pada penelitian ini berpotensi menimbulkan medication error

dengan faktor penyebab tingkat kesibukan dokter yang relatif tinggi dan blangko

resep yang tidak mengakomodasi aspek kelengkapan resep yang dipersyaratkan. Hal

ini menunjukkan bahwa pelayanan obat terutama pada pediatri belum dapat dikatakan

aman dan diperlukan adanya perbaikan.

98

Page 11: titien(2)

Perbaikan dapat dilakukan dengan pengembangan model resep baik manual

atau komputerisasi yang dapat menunjang kebutuhan data pasien maupun obatnya

mengacu pada peraturan yang berlaku.

_________________

Daftar Pustaka

AMA (American Medical Association), 1994, Drug Evaluations Annual, AMA, USA Buck, L.M., 1999, Preventing Medication Error in Children, in Pediatric

Pharmacotherapy, A Monthly Review for Health care Professionals of the Children’s Medical Center, Vol. 5 Number 10, Oct.

Basse, B. and Myers, L., 1998, Medication Error - Definition and Procedure, Hill Country Memorial Health System Frederickburg, Texas.

Chambers, F.H., 2002, Antimicrobial Agents, in Hardman, G.J., Limbird, E.L., Gilman, G.A., (eds): Pharmacological Basic of Therapeutics, 10th Ed., p.1143-1169, McGraw-Hill, New York.

Cohen, M.R.,, 1991, Causes of Medication Error, in: Cohen. M.R., (Ed), Medication Error, American Pharmaceutical Association, Washington, DC.

De Vries,T.P.G.M., Henning, R.H., Hogerzeil, H.V., Fresle, D.A., 1994, Guide to good prescribing, WHO, Geneva.

Dwiprahasto, 2003, Penggunaan Obat Pada Anak, Ibu Hamil, dan Ibu Menyusui, Makalah, Seminar Kajian Resep Dokter dan Strategi Pelayanan Obat Masa Kini di Apotek, FK UGM, Yogyakarta.

Fortescue, E.B., et al, 2003, Prioritizing Strategies for Preventing Medication Errors and Adverse Drug Events in Pediatric Inpatients, Pediatrics, American Academy of Pediatrics, Vol. III. No. 4 April, p.722-729.

Gennaro, A.R., 1985, Remington’s Pharmaceutical Sciences, 17th Edition, Merck Publishing Company, Easton, USA.

Hughes, J., 1998, Paediatrics, in: Hughes, J., Donnelli, R., James – Chatgilaou, G. (Eds)., Clinical Pharmacy A Practical Approach, SHPA, Australia, 36 -49

Katzung, B.G., and Lofholm, P.W., 1997, Peresepan Rasional dan Penulisan Resep, dalam: Katzung, B.G., Basic & Clinical Pharmacology, diterjemahkan oleh Agoes, H.A., (ed), Edisi VI, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, hal: 1010 – 1021

Kausal, R., Jaggi, T., Walsh, K., Fortescue, E.B., Bates, D.W., 2004, Pediatric Medication Errors: What Do We Know? What Gaps Remain?, Ambulatory Pediatrics, Vol. 4, number 1, P. 73-81.

KepMenKes RI Nomor 26 MenKes/Per/1981, Departemen Kesehatan RI, Jakarta KepMenKes Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, Standar Pelayanan Kefarmasian

di Apotek, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

99

Page 12: titien(2)

King, W.J., Paice, N., Rangrej, J., Forestell, G.J., Swartz, R., (2003), The Effect of Computerized Physician Order Entry on medication Errors and Adverse Drug Events in Pediatric Inpatients, Pediatrics, Vol. 112 No. 3 September, P. 506 – 509.

Kozer, E. , et al, 2005, Variables Associated With Medication Errors in Pediatric Emergency Medicine, Pediatrics, American Academy of Pediatrics, March 4, p. 737-743

Prest, M., 2003, Penggunaan Obat Pada Anak – Anak, dalam: Aslam, M., Tan, C.K., Prayitno, A. (Eds), Farmasi Klinis Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien, Gramedia, Jakarta, 191 – 199.

_________________________

100